104
5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2 nd Regular Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western And Central Pacific Ocean pada tanggal 12 -16 yang terdiri dari : (1) ketentuan mengikat (legally binding) yakni Conservation and Management Measures (CMM), (2) ketentuan tidak mengikat (non legally binding) yakni Resolution, dan (3) urusan administratif (Administrative Matters). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua ketentuan yang mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management Measures (CMM). 5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC dilaksanakan melalui Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (Konvensi WCPFC) sebagai dasar pembentukan WCPFC yang diadopsi pada tanggal 5 September 2000. Konvensi WCPFC terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun demikian, tidak semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC menimbulkan implikasi bagi Indonesia, sehingga tidak perlu dibahas (Ariadno, 2012) (Lihat Lampiran 4). Pada Konvensi terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia, baik statusnya sekarang sebagai Contracting Non-Member maupun dimasa depan akan menjadi member (negara anggota), yaitu: (1) Wilayah penerapan, (2) Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan, (3) Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di wilayah- wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota Komisi, (7) Kewajiban- Kewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak.

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA · c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek

Embed Size (px)

Citation preview

75

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2nd

Regular

Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly

Migratory Fish Stocks in The Western And Central Pacific Ocean pada tanggal 12

-16 yang terdiri dari : (1) ketentuan mengikat (legally binding) yakni

Conservation and Management Measures (CMM), (2) ketentuan tidak mengikat

(non legally binding) yakni Resolution, dan (3) urusan administratif

(Administrative Matters). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua ketentuan

yang mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management

Measures (CMM).

5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan

Perundang-Undangan

Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC

dilaksanakan melalui Convention on the Conservation and Management of

Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean

(Konvensi WCPFC) sebagai dasar pembentukan WCPFC yang diadopsi pada

tanggal 5 September 2000.

Konvensi WCPFC terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun

demikian, tidak semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC

menimbulkan implikasi bagi Indonesia, sehingga tidak perlu dibahas (Ariadno,

2012) (Lihat Lampiran 4).

Pada Konvensi terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian

pemerintah Indonesia, baik statusnya sekarang sebagai Contracting Non-Member

maupun dimasa depan akan menjadi member (negara anggota), yaitu: (1) Wilayah

penerapan, (2) Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan,

(3) Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di wilayah-

wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-langkah

konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota Komisi, (7) Kewajiban-

Kewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan

Penyalahgunaan Hak.

76

5.1.1 Wilayah Penerapan

Batas wilayah Konvensi WCPC pada bagian timur tumpang tindih dengan

wilayah kewenangan Inter American Tropical Tuna Commision (IATTC)

sehingga menjadi konflik kewenangan pengelolaan. Sehubungan dengan hal ini

WCPFC telah membuat perjanjian kerjasama dengan IATTC pada tahun 2009

yang meliputi pertukaran data dan informasi, kerjasama penelitian terutama pada

sediaan spesies yang diatur kedua RFMO, dan kerjasama tindakan konservasi dan

pengelolaan. Menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut pada tanggal 27

November 2012 IATTC dan WCPFC telah menyepakati rekomendasi tentang

wilayah yang menjadi tumpang tindih dan mengatur kewajiban negara bendera

yang menangkap ikan diwilayah sangketa. Berdasarkan dua kesepakatan tersebut

dapat dikatakan bahwa telah ada upaya Komisi WCPFC untuk menyelesaikan

batas koordinat yang menjadi sangketa pada bagian timur Konvensi WCPFC.

Sedangkan pada bagian barat wilayah Konvensi yakni Laut Cina Selatan

dan Perairan Asia Tenggara tidak ada batas tegas koordinat pengelolaan dan

upaya komisi untuk menyelesaikannya melalui suatu ketentuan. Meskipun hal ini

telah dibahas sejak Pertemuan MHLC ke-3 sampai dengan MHLC ke-6, namun

tidak ada ketentuan terkait dengan batas wilayah Konvensi pada perairan tersebut.

Meskipun pada Chair Statement penutupan MHLC ke-6 pada tanggal 11- 19

April 2000 di Honolulu disampaikan bahwa Perairan Asia Tenggara dan Laut

Cina Selatan bukan merupakan bagian Samudera Pasifik, namun pernyataan

bukanlah ketentuan yang mengikat.

Disamping itu, Indonesia berkeberatan wilayah sebagian besar perairan

Indonesia masuk menjadi wilayah Konvensi WCPFC kecuali ZEEI Samudera

Hindia dan Laut Timor. Sikap ini juga didukung oleh Philipinna, Kepulauan

Salomon dan Papua New Guinea yang juga berkeberatan wilayah perairan

teritorialnya masuk menjadi wilayah Konvensi.

77

Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com

Gambar 9 Peta Wilayah Tumpang Tinding Wilayah Kewenangan antara WCPFC

dengan IATTC

Masuknya sebagian besar perairan teritorial Indonesia menimbulkan

permasalahan bagi Indonesia, karena status hukum perairan kepulauan adalah

kedaulatan (sovereingty). Keberatan Indonesia disampaikan pada Fith Regular

Session pada tanggal 8 -12 Desember 2008 di Busan Korea yang meminta Komisi

WCPFC tidak memasukkan perairan Laut Cina Selatan dan perairan Asia

Tenggara, termasuk perairan teritorial Indonesia menjadi bagian wilayah

Konvensi WCPFC karena bukan menjadi bagian dari Samudera Hindia (Gambar

10).

Pernyataan Indonesia dipertegas kembali pada Ninth Regular Session pada

tanggal 2-6 Desember 2012 di Manila Philipina yang berpendapat bahwa

berdasarkan UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement serta Pasal 4

Konvensi jelas disebutkan bahwa pelaksanaan kerjasama perikanan regional

hanya pada laut lepas dan ZEE tidak termasuk perairan teritorial dan perairan

kepulauan.

78

Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com

Gambar 10 Peta Wilayah Konvensi WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial

Indonesia

Oleh karena itu, dalam pengesahan Konvensi WCPFC, maka Indonesia

harus mengesampingkan Pasal 3 ayat (1). Hal ini sebagaimana yang dipaparkan

Ariadno (2012), bahwa Indonesia perlu hati-hati dalam ratifikasi Konvensi

WCPFC.

Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia harus mengklarifikasi

pelaksanaan Konvensi WCPFC yang memasukkan hanya pada ZEE Indonesia

pada perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Halmahera (WPP-RI 716) dan

perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP-RI 717).

Pada tingkatan nasional, Indonesia memiliki wilayah pengelolaan

perikanan (WPP) dalam mewujudkan efektivitas pengelolaan perikanan. Menurut

Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana di ubah dengan UU No. 45

Tahun 2009, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia;

(b) ZEEI; dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang

79

dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah

Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) menambahkan bahwa

pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima

secara umum. Dengan demikian, wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah

mulai dari perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic

waters), laut teritorial (territorial sea), dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

(ZEEI).

Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan dalam pengelolaan

perikanan berbasis wilayah. Oleh karena itu, dalam persiapan ratifikasi Konvensi

WCPFC, Indonesia harus mengecualikan ketentuan penerapan wilayah WCPFC

yang memasukan beberapa wilayah perairan kepulauan Indonesia.

5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas)

Kerjasama internasional terkait pengelolaan sediaan ikan yang beruaya

jauh di wilayah konvensi merupakan amanat UNCLOS 1982. Oleh karena itu,

negara-negara anggota WCPFC berkewajiban untuk melaksanakan UNCLOS

1982, UNFSA 1995 dan Konvensi WCPFC. Hal-hal yang diatur terkait dengan

dasar pelaksanaan (azaz) dijelaskan pada Pasal 5 Konvensi, yakni:

a. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka

panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi dan

mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal.

b. Memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti ilmiah

terbaik yang tersedia dan di rancang untuk mempertahankan atau

memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi hasil

maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor

lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk persyaratan-persyaratan

khusus bagi negara-negara berkembang di wilayah konvensi, khususnnya

negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang (SIDS/Small Island

Developing State) dan mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan,

saling ketergantungan antar sediaan dan standar minimal internasional yang

80

pada umumnya di rekomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun

global.

c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan

semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek dan

prosedur yang direkomendasikan .

d. Mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan faktor-

faktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies

yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau

berhubungan dengan sediaan target;

e. Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan,

tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang

berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun

non-ikan (selanjutnya disebut spesies non-target) dan dampaknya terhadap

spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang

terancam punah dan mempromosikan pengembangan dan penggunaan

secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan

dan berbiaya efektif;

f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;

g. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meniadakan

penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang

berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya penangkapan ikan

tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya

perikanan yang berkelanjutan;

h. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;

i. Mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan akurat

mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan

spesies target dan non-target dan upaya penangkapan ikan, serta informasi

dari program penelitian nasional dan internasional; dan

j. Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan

pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara

efektif.

81

Dengan demikian terdapat sembilan azas tindakan konservasi dan

pengelolaan pada WCPFC yakni :

a. Optimalisasi pemanfaatan spesies ikan yang beruaya jauh (highly migratory

speies);

b. Penggunaan data ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence

avalaible);

c. Penerapan pendekatan kehati-hatian;

d. Kajian dampak terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang

berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau

berhubungan dengan sediaan target;

e. Menimalisasi limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang

ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies

non-target, baik ikan ataupun non-ikan;

f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;

g. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;

h. Memberikan informasi kegiatan penangkapan ikan;

i. Pelaksanaan pemantauan, pengendalian dan pengawasan (Monitoring

Controlling Surveilne/MCS) secara efektif.

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,

kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004). Sementara prinsip-prinsip umum

yang di muat dalam UU No. 21 Tahun 2009, yaitu:

a. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan

yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan

tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut;

b. Menjamin bahwa tindakan tersebut di dasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang

ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada

tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari;

c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian;

d. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan

faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk

82

dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau

bergantung pada sediaan target tersebut;

e. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam

ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung

pada sediaan target tersebut;

f. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan tangkapan yang

tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan tangkapan spesies non target,

baik ikan maupun bukan spesies ikan, dan dampak terhadap spesies, melalui

tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta

teknik yang ramah lingkungan dan murah;

g. Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;

h. Mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau mengurang kegiatan

penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi

kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak

melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;

i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;

j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang lengkap dan

akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan

spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan ikan, serta informasi dari

program riset nasional dan internasional;

k. Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi

yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan;

l. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui

pemantauan, pengawasan, dan pengendalian

Berdasarkan ketentuan asas-asas di atas, peraturan perundang-undangan

Indonesia sudah memiliki asas-asas pengelolaan perikanan dalam mewujudkan

perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.

83

5.1.3 Penerapan Pendekatan Kehati-hatian

Menurut Pasal 6 ayat (1) Konvensi WCPFC, setiap anggota Komisi wajib

menerapkan pendekatan kehati-hatian. Beberapa pendekatan kehati-hatian yang

perlu diperlu diperhatikan, yaitu:

a. Menetapkan titik-titik acuan spesifik sediaan dan tindakan yang akan diambil

apabila dilampauinya acuan spesifik sediaan tersebut berdasarkan informasi

ilmiah terbaik yang tersedia,

b. Memerhatikan dampak kegiatan penangkapan ikan terhadap spesies non-target

dan spesies yang berhubungan atau saling bergantung,

c. Mengembangkan program pengumpulan data dan penelitian untuk mengkaji

dampak penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang

berhubungan atau yang bergantung dan lingkungannya.

Pendekatan kehati-hatian adalah upaya untuk menghindari terjadinya

kehancuran perikanan, baik dalam konteks nasional suatu negara pantai maupun

di perairan internasional (laut lepas). Pengelolaan perikanan dalam wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat

yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan

(Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004). Artinya, pendekatan kehati-hatian dalam

pengelolaan perikanan Indonesia dilaksanakan secara optimal, berkelanjutan dan

kelestarian. Hal ini diperkuat dengan kewajiban Indonesia dalam UU No. 21

Tahun 2009, bahwa negara wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian

(precautionary approach) ketika menetapkan tindakan konservasi dan

pengelolaan sediaan ikan.

Pendekatan kehati-hatian dicerminkan dengan adanya data awal tentang

potensi perikanan suatu negara. Indonesia menetapkan potensi sumberdaya

ikannya melalui Kepmen KP No. 45/Men/2011. Data estimasi potensi

sumberdaya ikan tersebut disajikan pada Tabel 14.

84

Tabel 14 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI

(dalam 1.000 ton per tahun)

WPP

Kelompok Sumberdaya Ikan

Ikan

Pelagis

Besar

Ikan

Pelagis

Kecil

Ikan

Demersal

Udang

Penaeid

Ikan

Karang

Konsumsi

Lobster Cumi-

cumi

Total

Potensi

(1.000

ton/tahun)

571 27,7 147,3 82,4 11,4 5,0 0,4 1,9 276,0

572 164,8 315,9 68,9 4,8 8,4 0,6 1,7 565,2

573 201,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491,7

711 66,1 621,5 334,8 11,9 21,6 0,4 2,7 1.059,0

712 55,0 380,0 375,2 11,4 9,5 0,5 5,0 836,6

713 193,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929,7

714 104,1 132,0 9,3 - 32,1 0,4 0,1 278,0

715 106,5 379,4 88,8 0,9 12,5 0,3 7,1 595,6

716 70,1 230,9 24,7 1,1 6,5 0,2 0,2 333,6

717 105,2 153,9 30,2 1,4 8,0 0,2 0,3 299,1

718 50,9 468,7 284,7 44,7 3,1 0,1 3,4 855,5

Total 1.145,4 3.645,7 1.452,5 98,3 145,3 4,8 28,3 6.520,1

Sumber: Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011

Tabel 14 yang berisi estimasi potensi perikanan yang dijadikan sebagai

acuan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Dengan demikian,

Indonesia sudah memiliki aturan dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian.

Sementara aturan Indonesia terkait dengan spesies non-target yang dibahas pada

bagian hasil tangkapan sampingan, dan aturan Indonesia terkait dengan

pengumpulan data dibahas pada bagian MCS, khususnya mengenai logbook

penangkapan ikan.

Estimasi potensi perikanan tersebut di atas tidak lepas dari berbagai

permasalahan karena masih mengacu kepada konsep maximum sustainable yield

(MSY) atau tangkapan lestari yang dikembangkan sejak tahun 1950-an oleh

Schaefer. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep MSY terbukti tidak

efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, terutama Indonesia dengan

karakteristik perikanan tangkap multi-alat dan multi-spesies. Kajian sediaan ikan

harus terus dibenahi karana kekuarangan data statistik perikanan yang akurat

sebagai dasar perhitungan MSY akan menghasilkan kebijakan pengelolaan

sumberdaya ikan yang tidak tepat sasaran.

85

5.1.4 Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi

Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas

Asas-asas pengelolan dan konservasi di laut lepas sebagaimana dituangkan

dalam Pasal 5 dan pendekatan kehati-hatian yang di tuangkan dalam Pasal 6,

wajib diterapkan oleh negara-negara pantai di dalam wilayah yurisdiksinya (Pasal

7 ayat 1). Sementara bagi negara berkembang, khususnya SIDS diberikan

pertimbangan oleh Komisi untuk menerapkan Pasal 5 dan Pasal 6 di dalam

wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. Tujuan dari pasal ini adalah

dalam rangka mewujudkan perikanan yang bersifat lintas batas.

Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia

berkewajiban melaksanakan pengelolaan secara penuh di wilayah yurisdiksinya.

Artinya, Indonesia harus mampu mewujudkan perikanan berkelanjutan di laut

terirotial (12 mil) dan ZEE Indonesia (200 mil). Hal ini ditekankan dalam UU No.

21 Tahun 2009. Pengelolaan di wilayah yurisdiksi juga di muat dalam Pasal 2 UU

No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah dimuat diatas. Aturan khusus mengenai

pengelolaan perikanan tangkap di wilayah yurisdiksi diatur dalam Permen KP No.

Per.30/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan

ikan yang lokasinya berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik

Indonesia.

Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas adalah perhatian Indonesia sejak

UU No. 31 Tahun 2004 di sahkan. Pada Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa

pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima

secara umum. Pada bagian penjelasan di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar

kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus

mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP

No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan

penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.

86

5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi

Kewajiban para anggota Komisi tertuang pada Pasal 23 Konvensi, yakni :

a. Memberikan laporan tahunan kepada Komisi mengenai data statistik, biologis,

dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I.

b. Memberikan informasi aktivitas penangkapan ikannya di Wilayah Konvensi,

termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan untuk memfasilitasi

penghimpunan statistik tangkapan dan upaya yang dapat dipercaya.

c. Memberikan informasi tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah-

langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi.

d. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah mereka terima untuk

konservasi dan pengelolaan HMS di wilayah di dalam lingkup Wilayah

Konvensi di bawah yurisdiksi nasionalnya.

e. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah diterimanya untuk mengatur

aktivitas kapal perikanan berbendera negaranya yang menangkap ikan di

Wilayah Konvensi.

Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan

Indonesia jika merativikasi Konvensi dan menjadi anggota yakni :

a. Sistem informasi dan pelaporan kegiatan penangkapan ikan. Data terbaik yang

dimiliki Indonsia dibangun dari informasi pendaratan ikan (pelabuhan

perikanan). Hal ini sebagaimana diatur dalam Permen KP No. 18 Tahun 2010,

bahwa setiap kapal penangkap ikan wajib menyerahkan logbook penangkapan

ikan. Logbook Penangkapan Ikan adalah bukan salah satu dokumen kapal,

namun menjadi syarat dalam pengajuan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)

yang dikeluarkan Syahbandar. Oleh karena itu, setiap kapal perikanan yang

memiliki SIPI wajib mengisi logbook Penangkapan Ikan. Pengisian logbook

Penangkapan Ikan dilakukan pada setiap operasi penangkapan ikan (satu kali

trip), yang merupakan tanggung jawab nakhoda. Logbook Penangkapan Ikan

berisi informasi mengenai: data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan,

data operasi penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Logbook

Penangkapan Ikan wajib dilakukan sesuai dengan data yang sebenarnya

(objective) dan tepat waktu (up to date).

87

b. Aturan pengelolaan ikan beruaya jauh. Hingga saat ini, Indonesia belum

memiliki aturan khusus mengenai pengelolaan ikan beruaya jauh.

c. Aturan kapal kapal penangkap ikan. Aturan Indonesia mengenai kapal

perikanan dibahas secara rinci pada bagian kapal penangkap ikan. Dengan

demikian, hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia

adalah aturan pengelolaan jenis ikan beruaya juah.

5.1.6 Kewajiban Negara Bendera

Kewajiban negara bendera yang melakukan penangkapan ikan di wilayah

WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 24, yaitu:

a. Mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan langkah-langkah konservasi

dan pengelolaan yang diterima sesuai dengan Konvensi.

b. Tidak melakukan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing) di

wilayah yurisdiksi negara pihak penandatangan Konvensi.

c. Kegiatan penangkapan ikan beruaya jauh di luar wilayah yurisdiknya harus

mendapatkan izin dari lembaga suatu negara anggota.

d. Mensyaratkan kapal perikanan yang menangkap ikan beruaya jauh di laut

lepas wilayah WCPFC menggunakan near real-time satelite position-fixing

transmitters ketika berada di wilayah tersebut.

e. Mensyaratkan kapal perikanannya yang menangkap ikan di Wilayah Konvensi

di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari anggota lain agar

mengoperasikan near real-time satelite position fixing transmitters sesuai

dengan standar, spesifikasi dan prosedur yang di tetapkan oleh negara pantai.

f. Wajib bekerjasama untuk memastikan kesesuaian antara sistem pemantauan

kapal nasional dan sistem pemantauan kapal di laut lepas.

Berdasarkan ketentuan diatas, setidaknya terdapat dua hal yang harus

menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yaitu:

a. Kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yurisdiksi yang menjadi

kewenangan negara anggota. Pemerintah Indonesia sudah mengatur kegiatan

penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia melalui

Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur secara

khusus semua kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.

88

b. Sistem pemantauan kapal. Ketentuan ini diatur dalam Permen KP No.

Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. 30/Men/2012. Kewajiban penggunaan

transmitter atau VMS dibahas secara khusus pada bagian Penggunaan

Transmitter.

Dengan demikian, ketentuan kewajiban negara bendera kapal telah diatur

oleh Indonesia melalui beberapa peraturan menteri.

5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan

Sumberdaya ikan beruaya jauh bersifat lintas batas, sehingga diperlukan

adanya sinergi antar negara dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dengan

wilayah yurisdiksi suatu Negara (Pasal 8 ayat 1). Beberapa penetapan langkah-

langkah konservasi dan pengelolaan untuk ikan beruaya jauh adalah (Pasal 8 ayat

2):

a. Kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan

hubungan antara sebaran sediaan, perikanan dan keadaan geografi tertentu

wilayah bersangkutan, termasuk sampai sejauh mana sediaan berada dan

ditangkap di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional.

b. Mempertimbangkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sesuai

dengan Pasal 61 UNCLOS 1982 terkait dengan sediaan yang sama oleh

negara-negara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi

nasional.

c. Tindakan penetapan sediaan yang sama untuk laut lepas yang merupakan

bagian dari Wilayah Konvensi oleh negara-negara pantai dan negara–negara

penangkap ikan di laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi

WCPFC.

d. Mempertimbangkan langkah-langkah yang sebelumnya telah di sepakati dan

di terapkan sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi WCPFC dalam hal

sediaan yang sama oleh RFMO.

e. Mempertimbangkan ketergantungan masing-masing negara-negara pantai

dan negara-negara penangkap ikan di laut lepas atas sediaan terkait.

89

5.1.8 Penaatan dan Penegakan

Menurut Pasal 25, setiap anggota Komisi mempunyai kewajiban dalam hal

menjalankan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di

wilayah WCPFC. Beberapa kewajiban penaatan dan penegakan, tersebut yaitu:

a. Menegakkan ketentuan Konvensi WCPFC dan setiap langkah-langkah

konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi.

b. Wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal

perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi WCPFC

atau langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh

Komisi.

c. Menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang dengan tujuan untuk

mengajukan gugatan secepatnya sesuai dengan hukumnya dan bilamana

layak, menahan kapal yang bersangkutan.

d. Memastikan kapal yang bersangkutan tidak lagi melakukan kegiatan

penangkapan ikan dan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut di dalam

Wilayah Konvensi, sampai saat seluruh sanksi yang dikenakan oleh negara

bendera sehubungan dengan pelanggaran tersebut telah dipenuhi.

Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah Indonesia sudah mengatur

tindakan penegakan hukum. Adapun tindakan hukum dilakukan di tengah laut

melalui inspeksi kapal yang dibahas secara khusus pada bagian Program Observer

dan Inspeksi Kapal, sementara tindakan di darat melalui pelabuhan perikanan.

Pemerintah Indonesia mengatur pelabuhan perikanan pada Permen KP No. Per.

08/Men/2012. Menurut Pasal 3 ayat (2), pelabuhan perikanan mempunyai fungsi

pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan,

yaitu meliputi: fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian,

pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di

pelabuhan perikanan.

5.1.9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak

Menurut Pasal 33, kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi harus

dipenuhi dengan itikad baik dan hak-hak yang di akui di dalam Konvensi dan

harus dilaksanakan dengan cara yang bukan merupakan penyalahgunaan hak.

90

Implementasi Itikad Baik dan Penyalahgunan Hak sesuai dengan pembahasan

Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional

dan Pengelolaan di Laut Lepas. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas bagi

Indonesia tertuang pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 yang

menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar

internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di

laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan

globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di

laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini

mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.

5.2 Conservation and Management Measures (CMM): Implikasi Bagi

Indonesia

Conservation and Management Measures (CMM) adalah implementasi

Pasal 10 Konvensi terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan

pengelolaan untuk spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau

beraosiasi dengan sedian target, serta MCS (monitoring, control, and

surveillance). Sampai dengan tahun 2012 terdapat 31 CMM yang telah ditetapkan

(Tabel 15).

Tabel 15 Conservation and Management Measures (CMM)

No CMM Perihal

1. CMM 2004-03 Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan

Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of

Fishing Vessels).

2. CMM 2004-04 Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on

Conservation and Management Measures)

3. CMM 2005-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Albacore Pasifik Utara

(Conservation and Management Measure for North Pacific

Albacore)

4. CMM 2006-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Marlin di Pasifik Selatan

Barat (Conservation and Management Measure for Striped

Marlin in the Southwest Pacific)

91

No CMM Perihal

5. CMM 2006-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer

Regional (Conservation and Management Measure for the

Regional Observer Programme)

6. CMM 2006-08 Komisi WCPFC untuk Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal

(WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures )

7. CMM 2007-01 CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi

Program Observer Regional (Conservation and Management

Measure for the Regional Observer Programme)

8. CMM 2007-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Mengurangi Dampak

Penangkapan Ikan Beruaya Jauh Terhadap Burung Laut

(Conservation And Management Measure to Mitigate the

Impact of Fishing for Highly Migratory Fish Stock on Seabirds).

9. CMM 2008-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna

Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure

for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC)

10. CMM 2008-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And

Management of Sea Turtles)

11. CMM 2008-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang

Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi

(Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of

Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area)

12. CMM 2009-01 Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing

Vessels And Authorization to Fish)

13. CMM 2009-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan

Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure

on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch

Retention)

14. CMM 2009-03 Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation

and Management for Swordfish)

15. CMM 2009-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan

Ikan dengan Data Buoys (Conservation and Management

Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys)

16. CMM 2009-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen

(Conservation and Management Measure on Regulation of

Transshipment)

17. CMM 2009-09 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Kapal-Kapal Tanpa

Kebangsaan (Conservation and Management Measure for Vessels

Without Nationality).

18. CMM 2009-10 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pemantauan Pendaratan

Kapal Purse Seine di Pelabuhan untuk Menjamin Data Tangkapan

yang Baik berdasarkan Spesies (Conservation and Management

Measure to Monitor Landings of Purse Seine Vessels at Ports so

as to Ensure Reliable Catch Data by Species).

19. CMM 2009-11 Cooperating Non-Member.

20. CMM 2010-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped

Marlin (Conservation and Management Measure for North

Pacific Striped Marlin)

21. CMM 2010-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Area Pengelolaan

Khusus Sebelah Timur (Conservation and Management Measure

for the Eastern High-Seas Pocket Special Management Area)

22. CMM 2010-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan Pacific

Bluefin Tuna (Conservation and Management Measure for

92

No CMM Perihal

Pacific Bluefin Tuna)

23. CMM 2010-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi South Pacific Albacore

(Conservation and Management Measure for South Pacific

Albacore)

24. CMM 2010-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Menetapkan Kapal

yang Diduga Melakukan Kegiatan IUU Fishing di WCPO

(Conservation and Management Measure to Establish a List of

Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and

Unregulated Fishing Activities in the WCPO)

25. CMM 2010-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and

Management Measure for Sharks)

26. CMM 2011-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan

Sementara CMM 2008-01 (Conservation and Management

Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01)

27. CMM 2011-02 Komisi Vessel Monitoring System (VMS)

28. CMM 2011-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Perlindungan

Cetacean dari Operasi Penangkapan Purse Seine (Conservation

and Management Measure for Protection of Cetaceans from

Purse Seine Fishing Operations).

29. CMM 2011-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip

Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic

Whitetip Shark)

30. CMM 2011-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Skema Penyewaan

(Conservation and Management Measure on Charter Notification

Scheme)

31. CMM 2011-06 Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan

dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for

Compliance Monitoring Scheme) Sumber : Dikompilasi dari CMM WCPFC tahun 2004 -2011

Sejumlah 31 CMM tersebut dapat dikelompokkan menjadi sembilan hal

yang perlu menjadi perhatian Indonesia yakni (1) Penggunaan Transmitter

(VMS), (2) Terkait dengan Penegakan Hukum, (3) Kapal Penangkapan Ikan , (4)

Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, (5) Pengelolaan

Tangkapan Utama, (6) Pengelolaan Tangkapan Sampingan, (7) Program Observer

dan Inspeksi Kapal, (8) Data Buosy dan (9) Transhipment.

5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS)

Penggunaan VMS ditetapkan melalui CMM 2011-02 tentang Komisi

Vessel Monitoring System (VMS) yang merupakan pelaksanaan Pasal 10

Konvensi WCPFC. VMS harus diaktifkan sejak tanggal 1 Januari 2008 didaerah

sekitar selatan konvensi 20 ° LU, dan timur 175 ° BT didaerah area utara konvensi

20 ° LU. Khusus untuk area utara 20 ° LU dan barat dari 175 ° BT, sistem akan

93

diaktifkan pada suatu tanggal yang akan ditentukan oleh Komisi. Setiap kapal

penangkapan ikan yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai koordinat yang

ditetapkan komisi harus mengatifkan Automatic Location Communicators

(ALCs). VMS berlaku untuk semua kapal penangkapan ikan yang menangkap

ikan diarea Konvensi, untuk kapal panjang lebih dari 24 meter tanggal aktivasi

mulai 1 Januari 2008, dan semua kapal panjang 24 meter atau kurang tanggal

aktivasi mulai 1 Januari 2009.

Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan VMS yang tertuang

pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 2004, bahwa setiap orang yang

melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: sistem pemantauan

kapal perikanan.

Kewajiban pemasangan transmitter tersebut untuk kapal perikanan

Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing (Pasal 11

ayat 1 Permen KP No. Per.05/Men/2007). Selanjutnya Pasal 11 ayat (4)

menambahkan, bahwa transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib di

daftarkan pada Direktorat Jenderal, dengan menyebutkan dan/atau

mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan

provider, yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan

pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Transmitter harus dapat

mengirim data posisi kapal sekurang-kurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam

keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi (Pasal 11 ayat

5). Dengan demikian, kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan

seluruh kapal asing wajib menghidupkan transmitter (online).

Sementara itu, kewajiban transmitter online di atas tidak berlaku bagi

kapal perikanan Indonesia ukuran 30 GT – 60 GT. Hal ini di atur dalam Pasal 12

ayat (1), bahwa kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai

dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter off line yang disediakan oleh negara.

Aturan transmitter juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per.

12/Men/2012. Adapun aturannya yaitu: (a) surat keterangan pemasangan

transmitter (online) pada saat pengajuan SIPI (Pasal 8 ayat 3) dan pengajuan

SIKPI (Pasal 10 ayat 3); (b) surat keterangan aktivisi transmitter (online) untuk

94

perpanjangan SIPI (Pasal 22 ayat 2) dan SIKPI (Pasal 27 ayat 2); (c) transmitter

(on line) aktif serta dapat terpantau untuk kapal penangkap ikan yang melakukan

transhipment di laut lepas (Pasal 30 ayat 2) dan transhipment di pelabuhan

negara lain (Pasal 30 ayat 3); (d) transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau

untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan transhipment di laut lepas (Pasal

30 ayat 4) dan transhipment di pelabuhan negara lain (Pasal 30 ayat 5). Begitu

juga dengan aturan penangkapan di WPP-NRI, yaitu: (a) surat keterangan

pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI (Pasal 19 ayat 1); (b)

surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI bagi

kapal perikanan yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau

perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan atau penelitian/eksplorasi

perikanan (Pasal 22); dan (c) surat keterangan pemasangan transmitter VMS

pada saat pengajuan SIKPI (Pasal 24 ayat 1).

Salah satu manfaat data VMS adalah untuk mengetahui posisi dan

pergerakan kapal penangkapan ikan. Berdasarkan data VMS tahun 2012,

sebagian besar kapal yang menangkap ikan di laut lepas berada pada Samudera

Hindia yang menjadi wilayah kewenangan IOTC dan CCSBT. Sedangkan untuk

wilayah Konvensi WCPFC, kapal penangkapan ikan Indonesia lebih banyak

terkonsentrasi pada perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Posisi kapal Indonesia

yang terpantau pada Fisheries Monitoring Center (FMC) Kementerian Kelautan

dan Perikanan dapat dilihat pada Gambar 12.

Penggunaan VMS belum seluruhnya dipatuhi oleh kapal penangkapan

ikan Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran Ditjen PSDKP tahun 2012

terhadap lacak (tracking) VMS dari 93 kapal penangkapan ikan Indonesia yang

beroperasi di laut lepas hanya 64 kapal (68,8 persen) yang berhasil dilacak,

sedangkan tidak bisa dilacak 29 kapal yang terdiri dari kapal dibawah 60 GT

sejumlah 13 kapal, tidak terdaftar 9 kapal dan alasan GPS error 4 kapal.

Beberapa pelanggaran pelaku usaha penangkapan ikan yang mengakibatkan

transmitter tidak terdeksi di Fisheries Monitoring Center (FMC) Ditjen P2SDKP

adalah ; (1) tidak memasang transmitter pada kapal yang telah ditentukan, (2)

memasang transmitter tetapi tidak dapat dipantau pada FMC, (3) tidak

mengaktifkan transmitter, (4) tidak mendaftarkan transmitter yang telah

95

terpasang pada kapal perikanan, (5) tidak melaporkan perubahan kepemilikan,

keagenan, nama, spesifikasi dan perubahan id transmitter.

Sumber : Sumber Ditjen PSDKP KKP, 2013

Gambar 11 Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan Data VMS

tahun 2012

5.2.2 Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada WCPFC terdapat lima ketentuan CMM. Pertama,

CMM 2009-01 tentang Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of

Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin

penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk

memiliki kemanpuan untuk mengedalikan secara efektif termasuk penegakan

hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran.

Kedua CMM 2009-09 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi

untuk Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan (Conservation and Management Measure

for Vessels Without Nationality) yang merupakan implementasi pasal 10 konvensi,

di mana kapal yang tidak memiliki kebangsaan adalah kapal yang tidak

mengibarkan bendera suatu negara atau mengibarkan dua atau lebih bendera

negara sesuai dengan padal 92 UNCLOS 1982. Penegakan hukum dalam konteks

ini terkait dengan kebangsaan kapal yang diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002.

Aturan tersebut dituangkan dalam bagian kedua Bab V tentang pendaftaran dan

96

kebangsaan kapal Indonesia. Menurut Pasal 41 ayat (1), kapal yang telah didaftar

di Indonesia dapat diberikan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai bukti

kebangsaan. Surat tanda kebangsaan tersebut di berikan dalam bentuk (Pasal 41

ayat 2):

a. Surat laut untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase

kotor 175 (GT. 175) atau lebih.

b. Pas tahunan untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan

tonase kotor 7 (GT. 7) dan sampai dengan tonase kotor kurang dari 175 (<

GT.175).

c. Pas kecil untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase

kotor kurang dari 7 (< GT. 7).

d. Pas perairan daratan untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan daratan.

Surat tanda kebangsaan kapal diberikan sebagai dasar bagi kapal untuk

dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan (Pasal 42 ayat

1), yang harus selalu berada di atas kapal bila sedang berlayar (Pasal 42 ayat 2).

Selain itu, UU No. 21 Tahun 2009 menambahkan kewajiban pemberantasan

penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi

kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas.

Sebelum tahun 2008, Indonesia pernah menerapkan sistem perjanjian

bilateral dengan tiga negara yakni China, Thailand dan Philipina untuk

memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia. Perjanjian bilateral dengan

ketiga negara tersebut sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Namun kerja

sama dengan Thailand dilanjutkan dalam bentuk usaha patungan, sewa atau

impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks

kapal lisensi (eks. kapal ikan berbendera Thailand) sesuai dengan ketentuan yang

tertuang dalam Permen KP No. 17/2006 tentang Usaha Penangkapan Ikan.

Permen KP No 17/2006 telah direvisi beberapa kali, terakhir menjadi Permen KP

No. Per.30/Men/2012.

Sistem skim lisensi yang pernah dilaksanakan memang menguntungkan

bagi peningkatan devisa dari pungutan perikanan terhadap kapal asing. Namun

juga banyak merugikan karena menyebabkan armada nasional tidak berkembang,

97

dominasi tenaga kerja asing dan pengurasan sumber daya ikan terutama di

perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. Diharapkan dengan sistem usaha

patungan armada nasional dapat berkembang karena kapal ikan asing akan

berubah kepemilikan atau alih bendera sehingga memperbesar jumlah armada

perikanan nasional. Disamping itu, armada perikanan nasional diharapkan

bertambah dari kapal ikan yang akan dibangun di Indonesia.

Sejak tahun 2008 pemerintah untuk tidak melanjutkan sistem skim lisensi

kapal asing ditujukan untuk meningkatkan kemampuan armada perikanan

nasional. Melalui sistem usaha patungan, diharapkan ada penyertaan modal dari

pengusaha perikanan domestik dan kewajiban membangun unit pengolahan ikan

sehingga meningkatkan usaha pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri.

Namun dalam perkembangan usaha patungan banyak terjadi penyimpangan.

Sampai dengan tahun 2012, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencabut

1.166 buah izin. Pencabutan izin dilakukan antara lain karena hal-hal sebagai

berikut : (1) Pemilik izin tidak merealisasikan alokasi SIUP yang dimilikinya

dalam jangka waktu 2 (dua) tahun; (2) Kapal dilaporkan dan telah terbukti

melakukan IUU Fishing (masuk dalam IUU List RFMO’s); (3) Tidak

melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan SIPI/SIKPI; dan (4)

Permohonan pelaku usaha karena kapal terbukti telah tidak ada (tenggelam atau

rusak/hancur) atau tidak beroperasi lagi.

5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan

Beberapa ketentuan WCPFC yang terkait dengan kapal penangkapan

ikan, yaitu Call Sign dan Identification Number (WIN), Pendataan dan pemberian

izin kapal penangkapan ikan serta Laporan Tangkapan.

1) Call Sign dan Identification Number (WIN)

Call Sign dan Identification Number (WIN) ditetapkan melalui CMM

2004-03 tentang Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal

Penangkapan Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of Fishing

Vessels). CMM 2004-03 ini bertujuan untuk menentukan identifikasi kapal

penangkapan ikan yang beroperasi di area Konvensi. Kewajiban negara anggota

untuk mendesak operator/pengusaha penangkapan ikan untuk mengadopsi

98

International Telecommunication Union Radio Call Signs (IRCS) dan kapal

harus memiliki nomor identitas WCPFC (WCPFC Identification Number/WIN).

Menurut Pasal 48 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2002, kapal Indonesia yang

dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio kapal harus mempunyai tanda

panggilan (call sign) sebagai salah satu identitas kapal. Aturan call sign juga

dituangkan dalam Lampiran III Permen KP No. Per.30/Men/2012, sedangkan

WIN di tuangkan dalam Lampiran II Permen KP No. Per.12/Men/2012.

Berdasarkan 430 kapal penangkapan ikan Indonesia yang terdaftar pada

Komisi WCPFC sampai dengan tahun 2012 terdapat 399 kapal atau 93 persen

yang telah memiliki IRCS/WIN, sedangkan 31 kapal atau tujuh persen belum

memiliki IRCS/WIN sehingga sesuai dengan ketentuan WCPC 31 kapal tersebut

dikategorikan illegal.

2) Pendataan dan Pemberian Izin Kapal Penangkapan Ikan.

Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan ditetapkan pada

CMM 2009-01 tentang Pendataan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of

Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin

penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk

memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara efektif termasuk penegakan

hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Pendataan kapal sesuai pasal 24

Konvensi WCPFC mensyaratkan bahwa penangkapan ikan di wilayah Konvensi

hanya dilakukan oleh kapal-kapal negara anggota sedangkan penangkapan ikan

diwilayah jurisdiksi negara negara lain harus memiliki izin negara bersangkutan

sesuai dengan peraturan negara tersebut. Jumlah izin harus sesuai dengan potensi

penangkapan diwilayah Konvensi dan tidak memiliki catatan IUU Fishing.

Sampai dengan tahun 2012 terdapat 430 kapal bendera Indonesia yang

telah didaftarkan pada Komisi WCPFC yang terdiri dari kapal gillnet, pole and

line, kapal pendukung, longline, dan purse seine. Dari jumlah tersebut, kapal

bendera Indonesia yang memiliki izin di atas 30 GT (izin pusat) sampai dengan

2012 berjumlah 363 kapal atau 84 persen dari jumlah kapal yang terdaftar pada

WCPFC. Komposisi kapal perjenis alat tangkap pada Gambar 12.

99

Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC dan Data Perizinan Ditjen Perikanan Tangkap

Gambar 12 Kapal Bendera Indonesia yang didaftarkan pada Komisi

WCPFC

Pengaturan pemenuhan dan standar umum operasional kapal diatur dalam

PP No. 51 Tahun 2002. Sementara aturan pengadaan kapal ikan di atur dalam

Permen KP No. Per.12/Men/2012. Menurut Pasal 50, setiap orang yang akan

mengadakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan untuk

dipergunakan di laut lepas, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis

dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lampiran untuk pengadaan

kapal baru, yaitu:

a. Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan

ikan di Laut Lepas;

b. Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk

spesifikasi alat penangkapan ikan;

c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi untuk kapal

pengangkut ikan;

d. Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan

e. Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun.

69

128

76 82

8 1

23

62

182

160

2 0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Gillnet Pole and line Support Vessel(Purse seine)

Longline Purse sein Kapal tidakspesifik

Handline

Izin Indonesia Terdaftar WCPFC

100

Sementara lampiran untuk pengadaan kapal bukan baru, yaitu:

a. Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di Laut Lepas;

b. Grosse akta;

c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi alat penangkapan

ikan;

d. Fotokopi gambar rencana umum, untuk kapal pengangkut ikan;

e. Bendera kapal sebelumnya;

f. Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan

g. surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU Vessel List RFMO

Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat

dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Pasal 50 ayat 3). Lebih lanjut,

pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang berasal

dari dalam negeri, dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 30 GT.

Sementara pengadaan kapal penangkap ikan yang berasal dari luar negeri hanya

dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 100 GT. Sedangkan pengadaan

kapal pengangkut ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk

kapal berukuran di atas 500 GT - 1.500 GT.

Aturan pengadaan kapal ikan dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan

Bupati/Walikota. Kewenangan Menteri diberikan kepada Direktur Jenderal

Perikanan Tangkap untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan

ukuran diatas 30 GT, Gubernur memberikan kewenangan persetujuan dengan

ukuran diatas 10 GT - 30 GT, dan Bupati/Walikota memberikan kewenangan

persetujuan dengan ukuran sampai dengan 10 GT (Pasal 30). Pengadaan kapal

penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam

negeri dan/atau luar negeri dengan cara membeli, membangun, atau

memodifikasi (Pasal 31 ayat 1).

3) Laporan Tangkapan

Laporan tangkapan salah satunya melalui logbook penangkapan ikan,

dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal

dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data

dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan

dalam logbook penangkapan ikan. Aturan logbook penangkapan ikan ditetapkan

101

dalam Permen KP No. Per.18/Men/2010. Logbook yang ada saat ini melengkapi

sistem pendataan statistik perikanan tangkap dan kebutuhan pengkajian stock.

Informasi yang tercatat dalam logbook berupa :

a. Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi (active vessel) berdasarkan ;

jenis alat penangkap ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan

keberangkatan (Pelabuhan yang mengeluarkan SPB/ Port Clearance) dan

wilayah pengelolaan perikanan (WPP)

b. Jumlah hasil tangkapan yang terdiri dari ; jenis alat penangkapan ikan, jenis

ikan dan hasil tangkapan sampingan.

c. Produktivitas kapal penangkapan ikan berdasarkan jenis alat penangkapan

ikan/GT/WPP/tahun.

Pengisiaan logbook mulai di laksanakan sejak Januari 2011 pada 22

pelabuhan perikanan unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, satu pelabuhan perikanan

swasta (Barelang) dan satu pelabuhan umum (Benoa). Jenis informasi yang

dikumpulkan antara lain adalah jenis alat penangkapan ikan, ukuran kapal,

pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan, jenis ikan, dan hasil tangkapan

sampingan.

Berdasarkan rekapitulasi data logbook tahun 2011 tingkat kesadaran

pelaku usaha penangkapan ikan yang menangkap ikan di wilayah kewenangan

RFMO masih rendah, yakni IOTC 332 kapal atau 44,87 persen dari 740 kapal

yang terdaftar pada IOTC, CCSBT 76 kapal atau 33,48 persen dari 227 kapal

yang terdaftar pada CCSBT, dan WCPFC 41 kapal atau 31,30 persen dari 131

kapal yang terdaftar pada WCPFC. Data logbook pada UPT pusat tahun 2012

adalah disajikan pada Tabel 16.

Pelaksanaan logbook penangkapan ikan di Indonesia dihadapkan pada

beberapa permasalahan dan kendala, yaitu: (a) kurangnya sosialisasi pengisian

logbook oleh para nakhoda. (b) pengisian logbook banyak diisi oleh pengurus

perusahaan di darat, sehingga manipulasi data sangat besar, dan (c) Format

logbook penangkapan ikan dirasakan nakhoda kurang sederhana sehingga

membingungkan nakhoda dalam mengisi buku logbook.

102

Tabel 16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012

No. Pelabuhan Perikanan

Jumlah Yang Malaksanakan

Logbook Wilayah

Kewenangan

RFMO Kapal Trip

1 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan 1.262 40.867 -

2 Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 13 15 IOTC

3 Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam

Zachman 1.481 1.519

-

4 Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap 304 363 IOTC/CCSBT

5 Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung 1.394 2.168 IOTC

6 Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari 413 754 WCPFC

7 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga - - IOTC

8 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung

Pandan 24 24

WCPFC

9 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat 707 1.118 WCPFC

10 Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu - - WCPFC

11 Pelabuhan Perikanan Nusantara

PalabuhanRatu 862 1.786

IOTC/CCSBT

12 Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan 135 135 WCPFC

13 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan 52 52 WCPFC

14 Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong - - WCPFC

15 Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi 332 477 WCPFC

16 Pelabuhan Perikanan Nusantara

Pengambengan 301 803

IOTC/CCSBT

17 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat 307 518 WCPFC

18 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon 201 226 WCPFC

19 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual 129 142 WCPFC

20 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 234 489 WCPFC

21 Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Batang - - WCPFC

22 Pelabuhan Perikanan Pantai Kwandang 62 62 WCPFC

Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap Tahun 2012

5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan

Ketentuan pengaturan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

ikan ditetapkan melalui dua CMM yakni CMM 2008-04 tentang Tindakan

Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada

Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit

the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area), dan

CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon

103

dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure on the

Aplication of High Seas FAD Closures And Catch Retention).

1) CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring

Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation

and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on

the High Seas in the Convention Area)

CMM 2008-04 mengadopsi Resolusi United Nations Nomor 46/215 yang

menyerukan perlunya moratorium global untuk jaring insang hanyut skala besar

karena berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekosistem. Ketentuan ini berlaku

bagi negara anggota WCPFC di wilayah Konvensi terkecuali jika negara bendera

menangkap ikan di wilayah yurisdikasi dimana jaring insang hanyut diizinkan.

Jaring insang hanyut diatur melalui Pasal 13 dan Pasal 28 Permen KP No.

Per.02/Men/2011 yang merupakan alat penangkapan ikan bersifat pasif

dioperasikan dengan menggunakan ukuran :

a. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 500 m, menggunakan kapal motor berukuran

< 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPP-

NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712,

WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717

dan WPP-NRI 718.

b. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 1.000 m, menggunakan kapal motor

berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB,

II, dan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711,

WPPNRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716,

WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718.

c. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor

berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III

di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI

712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-

NRI 717 dan WPP-NRI 718.

d. mesh size > 4 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran

> 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571,

104

WPPNRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713,

WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI

718.

Berdasarkan data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap sampai dengan

tahun 2012 terdapat satu kapal jaring insang hanyut yang diberi izin penangkapan

ikan di ZEE Indonesia Samudera Pasifik yakni KM Ericaristine dengan ukuran

517 GT. Namun berdasarkan Record of Fishing Vessel (RVF) WCPFC kapal

tersebut telah dihapus pada daftar kapal WCPFC per tanggal 12 November 2009.

2) CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan

Rumpon dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure

on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention)

CMM 2009-02 melengkapi dan menjadi bagian dari CMM 2008-01

tentang bigeye dan yellowfin di area WCPFC yang bertujuan untuk memastikan

implemetasi konsisten dari penutupan rumpon diarea perairan antara 200 LS

derajat dan 200 LU pada periode 1 Agustus sampai dengan 30 September.

Pengertian rumpon pada CMM 2008-01 adalah benda atau kelompok benda dari

berbagai ukuran, yang telah atau belum di gunakan/di pasang, baik hidup atau

tidak hidup, termasuk tetapi tidak terbatas pada buoys, mengapung, jaring,

anyaman, plastik, bambu, kayu dan hiu paus mengambang didalam atau dekat

permukaan air yang berasosiasinya.

Selama periode penutupan rumpon, semua kapal purse seine tanpa

observer di atas kapal wajib menghentikan kegiatan penangkapan ikan.

Sedangkan kapal penangkapan ikan yang dapat melakukan operasi penangkapan

ikan yang hanya terdapat observer diatas kapal dari Regional Observer Program

untuk memonitor kapal tersebut tidak memasang atau menangkap ikan di rumpon.

Permintaan observer dari Regional Observer Program harus memberitahukan

kepada koordinator program observer selambatnya 21 hari sebelumnya. Namun

jika tidak tersedia observer dari Regional Observer Program maka negara

bendera dapat menempatkan observer nasionalnya pada kapal tersebut.

Selama waktu penutupan rumpon, kapal purse seine hanya diperbolehkan

untuk melakukan operiasonal penangkapan berada satu mil dari rumpon. Operator

105

kapal wajib melarang kapalnya untuk mengumpulkan ikan atau menggiring ikan

dengan menggunakan lampu dalam air menuju lokasi tertentu. Peralatan

pendukung rumpon seperti perlengkapan elektronik dapat diangkat selama periode

penutupan jika langsung disimpan kedalam kapal untuk dibawa ke pelabuhan.

Penutupan rumpon pada periode Agustus – September akan sangat

berpengaruh kepada hasil tangkapan purse seine. Jika mengacu pada data

pendaratan kapal purse seine pada Agustus- September 2012 setidaknya potensi

nelayan purse seine untuk tidak dapat menangkap skipjack 4.588,33 ton, bigeye

16,19 ton dan yellowfin 393,26 ton (Gambar 12). Besarnya potensi kerugian

tersebut dapat diatasi jika pemerintah segera merekrut tenaga observer untuk

ditempatkan pada kapal-kapal purse seine yang menangkap ikan diwilayah

Konvensi.

Sumber : Diolah dari Data Logbook Penangkapan Ikan PPS Bitung Tahun 2012

Gambar 13 Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli –

November 2012

Penggunaan alat bantu penangkapan rumpon telah lama dikenal oleh

nelayan Kota Bitung yang menangkap ikan di Laut Sulawesi dan Samudera

Pasifik. Rumpon pada Permen KP Nomor Per.02/Men/2011 di defenisikan

sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai

Juli Agustus September Oktober November

Skipjack 2,044.72 2,386.65 2,201.67 2,513.24 2,416.86

Bigeye 6.84 7.15 9.04 2.11

Yellowfin 393.26 544.07 294.02 289.78 512.13

0.00

500.00

1,000.00

1,500.00

2,000.00

2,500.00

3,000.00

Jum

lah

Tan

gkap

an (

ton

)

PERIODE PENUTUP PURSE SEINE

106

bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat

ikan agar berkumpul.

Penggunaan rumpon di Kota Bitung umumnya menjadi satu paket dengan

kapal purse seine dan kapal lampu. Satu paket armada purse seine biasanya terdiri

dari 3-4 kapal angkut (carrier vessel), satu kapal penangkapan dan 3-4 kapal

lampu. Operasional penangkapan dapat dilakukan 1-2 kali penangkapan setiap

malam dengan satu trip 60-90 hari.

Alat bantu penangkapan ikan rumpon sangat membantu efesiensi usaha

penangkapan ikan di Kota Bitung, karena keberadaan rumpon menjadikan

penangkapan ikan menjadi lebih fokus dan berkurangnya waktu operasional

penangkapan ikan yang biasanya tanpa menggunakan rumpon bisa memakan

waktu pengejaran 4-6 jam perhari. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu rumpon

dapat membantu nelayan untuk menekan biaya bahan bakar minyak (BBM).

Jenis rumpon yang berkembang di perairan Sulawesi Utara umumnya

adalah rumpon laut dalam yang ditempatkan pada kedalaman 200 m. Jenis

rumpon ini telah lama di kembangkan oleh nelayan Sulawesi dengan sebutan

Rompong yang dilengkapi rakit dengan kamar perangkap ikan yang berfungsi

sebagai bubu apung (floating traps).

Gambar 14 Kapal Purse Seine (A), Rumpon (B) dan Ponton (C) di Kota Bitung

Berdasarkan rekomendasi Ditjen Perikanan Tangkap, pada tahun 2001-

2009 telah direkomendasi izin rumpon pada perairan ZEE Indonesia di Laut

Sulawesi dan Samudera Pasifik sejumlah 284 titik rumpon. Jumlah tersebut akan

bertambah jika termasuk rumpon izin pemerintah daerah. Peta rekomendasi

rumpon pada peraiaran ZEE Indonesia Laut Sulawsi dan Samudera Pasifik dapat

dilihat pada gambar 14.

A B C

107

Sejak tahun 2010 pemberian izin rumpon dihentikan sementara untuk

seluruh perairan ZEE Indonesia melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap

Nomor KEP.08/DJPT/2010. Keputusan ini mengatur pemberhentian sementara

pemberian izin bagi usaha baru alat penangkapan ikan dan alat bantu

penangkapan ikan tertentu. Peraturan ini terkait dengan penutupan purse seine

Pelagis Besar (diatas 200GT) untuk semua daerah penangkapan dan rumpon

semua ZEE Indonesia.

Sumber : Diolah dari data izin rumpon pusat tahun

Gambar 15 Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001 – 2009

Penggunaan rumpon sebenar telah menjadi permasalahan dalam

pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Utara karena banyak rumpon yang

tidak memiliki izin dan penempatannya tidak sesuai peraturan dan kepemilikan

rumpon oleh nelayan Philipina yang menggunakan pumpboat.

Pumpboat rata-rata berukuran 5 – 10 GT dengan mesin 60-100 PK yang

menggunakan alat tangkap handline dengan lama operasi 10 hari. Satu unit kapal

pumpboat membawa 5-14 perahu kecil dengan mesin 5-10 PK yang merupakan

sebagai armada semut. Kepemilikan pumpboat sebagian besar dimiliki oleh warga

negara Philipina yang memanfaatkan kesamaan budaya dengan masyarakat

108

Kepulauan Sangihe Talaud. Keberadaan pumpboat telah menjadi ancaman

pemanfaatan sumberdaya tuna dan terindikasi bahwa hal ini didorong oleh

keinginan Philipina untuk menjadikan peraiaran Laut Sulawesi menjadi

traditional fishing right nelayan philipinna.

Disamping hal tersebut, keberadaan pumpboat dianggap illegal karena

banyak yang tidak memiliki izin penangkapan ikan dan memiliki izin ganda dari

beberapa kabupaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada Pertemuan

Pengelolaan Pumpboat pada tanggal 28 Mei 2010 di Manado terdata 457 unit

pumpboat diperairan Indonesia yang memiliki izin dari Kota Bitung 289 unit,

Kota Ternate 50 unit, Kabupaten Halmahera Utara 50 unit dan Halmahera Tengah

58 unit.

Terkait dengan Ketentuan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu

Penangkapan Ikan yang ditetapkan melalui CMM 2008-04 dan CMM 2009-02

telah diatur Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan

alat bantu penangkapan ikan. Tujuan Peraturan Menteri ini adalah untuk

mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab optimal dan

berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan

berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan. Menurut Peraturan Menteri

ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:

a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: (1) jalur penangkapan ikan IA, meliputi

perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut

pada surut terendah, dan (2) Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan

pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.

b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I

sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.

c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur

penangkapan ikan II.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2012 sesuai dengan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2011 tentang

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/Men/2011 tentang

Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu

Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

109

Sementara itu, dalam Permen KP No. Per.05/Men/2012 disebutkan bahwa

pemberlakuan beberapa Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan

mulai berlaku tanggal 1 Februari 2013. Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu

Penangkapan Ikan tersebut, yaitu:

a. Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal dengan alat bantu penangkapan

ikan (ABPI) berupa rumpon dan lampu sebagaimana diatur dalam Pasal 22

ayat (1);

b. Lampara dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (7);

c. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal 24

ayat (2);

d. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal

24 ayat (8);

e. Bagan berperahu dengan ABPI berupa lampu sebagaimana diatur dalam Pasal

26 ayat (2);

f. Pukat labuh (long bag set net) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4);

g. Muro ami sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (11); dan

h. Rawai dasar (set longlines) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (7);

Khusus pengaturan rumpon pada Permen KP No. Per.02/Men/2011 belum

diatur lebih rinci dan diamanatkan akan diatur menjadi peraturan menteri sendiri.

Oleh karena itu seharusnya peraturan menteri terkait dengan rumpon segera

ditetapkan sehingga pengelolaan rumpon dapat dilakukan dengan baik. Sebelum

Permen KP No. Per.02/Men/2011 terbit telah terdapat Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No Kep.30/Men/2004 tentang Pemasangan dan

Pemanfatan Rumpon. Dalam Kepmen ini diatur mekanisme pemberian izin

rumpon dari tingkat pusat hingga daerah dan penempatan rumpon yang

memerhatikan habitat, jalur ruaya, kawasan lindung, Alur Layar Kepulauan

Indonesia (ALKI), jalur navigasi pelayaran dan batas wilayah.

110

5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama

Berdasarkan pelaporan statistik WCPFC dari jumlah tersebut di atas hanya

terdapat delapan spesies yang menjadi spesies target utama di wilayah Konvensi

WCPFC. Sedangkan yang menjadi target sasaran oleh kapal Indonesia di wilayah

Konvensi WCPFC yakni lima spesies yakni bigeye, yellowfin, skipjack, swordfish,

dan striped marlin. Sedangkan albacore ditangkap diluar wilayah Konvensi yakni

di Samudera Hindia dan Laut Timor, dan dua spesies lainnya yakni black marlin

dan blue marlin tidak tertangkap oleh kapal bendera Indonesia.

Berdasarkan data statistik WCPFC pada tahun 2002-2011, spesies

tangkapan utama Indonesia didominasi oleh (1) skipjack dengan rata-rata

tangkapan pertahun sebesar 224.384 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 3,34

persen, (2) yellowfin dengan rata-rata tangkapan pertahun 70.806 ton atau

meningkat setiap tahun sebesar 3,42 persen, dan (3) bigeye dengan rata-rata

tangkapan pertahun 14.071 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 4,03 persen.

Sedangkan untuk swordfish dan kelompok marlin sangat sedikit tertangkap karena

umumnya ikut tertangkap pada alat tangkap longline dan purse seine. Data rinci

tangkapan tuna Indonesia per spesies terdapat pada Gambar 16.

Sumber : Diolah Data Base WCPFC

Gambar 16 Tangkapan dari Kapal Bendera Indonesia pada Wilayah Konvensi

pada tahun 2002 – 2011

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Swordfish 253 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644

Striped Marlin 88 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227

Blue Marlin 545 799 1,135 1,146 1,605 1,431 1,512 1,441 1,383 1,408 1,478

Black Marlin 164 240 341 344 652 480 430 489 413 420 557

Yellowfin 68,779 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 64,155 103,595

Skipjack 173,265 173,336 163,583 191,653 173,203 218,310 243,118 255,917 279,985 273,637 270,100

Bigeye 10,395 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 13,472 16,584

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

450,000

Ton

111

Berdasarkan daerah penangkapan yang diolah dari data logbook

penangkapan ikan PPS Bitung dan PPN Ternate tahun 2012, tangkapan Indonesia

masih berada di dalam perairan Indonesia. Spesies bigeye umumnya tertangkap di

Laut Maluku diatas Kepuluan Sula. Sedangkan yellowfin tertangkap merata di

Laut Sulawesi terutama antara perairan Kota Bitung dan Kepulauan Sangihe,

disekitar Laut Seram dan Laut Halmahera. Sedangkan untuk skipjack banyak

tertangkap pada Laut Sulawesi dan Laut Maluku. Daerah penangkapan ikan

berdasarkan analisa logbook di sajikan pada Gambar 16.

Sumber : Diolah Data Logbook Penangkapan Ikan

Gambar 16 Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan

Keragaan spesies yang menjadi tangkapan utama kapal bendera Indonesia

di wilayah Konvensi adalah sebagai berikut :

1) Bigeye (Thunnus obesus)

Pengaturan bigeye dan yellowfin tuna ditetapkan melalui CMM 2008-

01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna

Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and

Yellowfin Tuna in the WCPFC) dan diperpanjang melalui CMM 2011-01 tentang

112

Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM

2008-01 (Conservation and Management Measure for Temporary Extension of

CMM 2008-01). Pengaturan bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat

upaya penangkapan kedua spesies ini terutama kematian juvenile akibat

penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon. Penutupan

berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September antara tahun 2009 – 2012 yang

selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01. Namun ketentuan ini tidak

berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang dilaporkan ke Komisi.

Berdasarkan data logbook penangkapan ikan PPS Bitung pada periode

Agustus – September 2012 (Gambar 12), jumlah tangkapan bigeye sebesar 16,19

ton dan yellowfin sebesar 838,09 ton. Jika hasil tangkapan tersebut dikalikan

dengan Harga Patokan Ikan (HPI) tahun 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri

Perdagangan No: 13/M-DAG/PER/5/2011, untuk bigeye dengan HPI Rp.9000/kg

maka nilai ekonominya sebesar Rp.129.480.000,- dan yellowfin dengan HPI

Rp.18.400/kg maka nilai ekonominya mencapai Rp.15.420.837.600,-. Total nilai

ekonomi dari kedua spesies tersebut pada periode Agustus – September 2012

sebesar Rp.15.550.317.600,-.Nilai ekonomi akibat penutupan rumpon di wilayah

Konvensi untuk kedua spesies tersebut sangat besar bagi nelayan yang

mendaratkan ikan di PPS Bitung. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia

mengantisipasi hal tersebut dengan segara mengangkat obsever untuk ditempatkan

pada kapal-kapal Indonesia yang menangkap di wilayah Konvensi terutama pada

saat penutupan penggunaan rumpon. Dampak ekonomi terutama untuk tangkapan

juvenile bigeye dan yellowfin akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

Berdasarkan data statistik WCPFC, jumlah tangkapan bigeye di wilayah

Konvensi 149.356 ton atau meningkat 0,71 persen pertahun. Indonesia memiliki

peran penting terhadap tangkapan bigeye di wilayah Konvensi, karena kontribusi

tangkapan kapal-kapal Indonesia setiap tahun mencapai 9,68 % dan laju

peningkatan tangkapan bigeye kapal-kapal Indonesia yang lebih besar yakni 6,17

persen pertahun, angka tersebut jauh kebih tinggi dari laju peningkatan bigeye di

wilayah Konvensi.

Kajian sediaan bigeye yang di lakukan oleh WCPFC Scientific Committe

antara tahun 2005 – 2009 mengindikasikan telah terjadi penuruan sediaan bigeye

113

tuna. Oleh karena itu, setiap negara diminta untuk mengurangi jumlah tangkapan

secara bertahap dari kondisi tahun 2004 yakni 10 persen tahun 2009, 20 persen

tahun 2010 dan 30 persen tahun 2011. Dalam upaya membatasi tangkapan bigeye

tuna WCPFC telah menetapkan catch limit untuk bigeye tuna Indonesia sejak

tahun 2009 sebesar 7.572 ton, tahun 2010 sebesar 6.730 ton, dan tahun 2011 dan

2012 masing-masing sebesar 5.889 ton. Grafik tangkapan bigeye terdapat pada

Gambar 17.

Dibandingkan dengan trend jumlah tangkapan bigeye kapal-kapal

Indonesia menunjukkan arah peningkatkan yang seharusnya sesuai dengan

ketentuan tersebut harus turun dan melampaui batas tangkapan yang telah

ditetapkan setiap tahun. Posisi Indonesia juga semakin sulit, karena berdasarkan

Scientific Committe tahun 2009 menyimpulkan bahwa tangkapan domestik dari

longline Indonesia berkontribusi menyebabkan turun sediaan bigeye tuna di

wilayah Konvensi.

Sumber : Diolah Data Base WCPFC

Gambar 18 Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010

2) Yellowfin (Thunnus albacares)

Pengaturan yellowfin ditetapkan bersamaan dengan ketentuan pengaturan

bigeye yakni melalui CMM 2008-01 yang kemudian diperpanjang melalui CMM

2011-01. Trend penangkapan yellowfin pada wilayah WCPFC selama tahun 2002-

2011 rata-rata meningkat 70.550 ton pertahun atau meningkat 1,96 persen setiap

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

WCPFC 161,404 131,694 173,576 146,802 159,816 143,006 152,024 153,750 130,014 153,521

Indonesia 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 13,472 16,584

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

180,000

200,000

Ton

114

tahun. Sama halnya dengan bigeye, kapal-kapal Indonesia memiliki peran penting

dalam laju penangkapan yellowfin. Setiap tahun kontribusi rata-rata Indonesia

sebesar 13,74 persen. Grafik Tangkapan yellowfin terdapat pada Gambar 19.

Berdasarkan laporan Fith Regular Session Scientific Committe pada tahun

2009, Scientific Committe merekomendasikan bahwa yellowfin telah berada pada

tingkat fully exploited. Salah satu penyebabnya adalah besarnya jumlah tangkapan

juvenile yellowfin oleh kapal purse seine yang menggunakan alat bantu rumpon

sehingga terjadinya penurunan populasi.

Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC

Gambar 19 Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010

3) Skipjack (Katsuwonus pelamis)

Berbeda dengan spesies bigeye dan yellowfin yang telah menjadi ketentuan

sebagai spesies utama dalam pengelolaan pada WCPFC, skipjack belum diatur

secara khusus dalam suatu ketentuan. Namun demikian akibat penutupan rumpon

pada Agustus – September akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan

karena sebagian besar tangkapan purse seine adalah skipjack. Data logbook

penangkapan ikan PPS Bitung tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah tangkapan

skipjack sebesar 4.588 ton atau jika dikalikan dengan HPI tahun 2011 sebesar

Rp.8.800 per kg maka nilai ekonominya sebesar Rp. 40.377.268.000,-.

Jumlah tangkapan skipjack di wilayah Konvensi WCPFC pada tahun

2002- 2011 mengalami peningkatan rata-rata setiap sebesar 1.522.730 ton atau

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

WCPFC 471,37 512,22 503,76 561,56 486,06 507,81 573,15 506,87 541,82 476,84

Indonesia 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 64,155 103,59

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

Ton

115

setiap tahun meningkat sebesar 2,89 persen .Sedangkan kontribusi Indonesia pada

tangkapan skipjack adalah sebesar 15 persen (Gambar 20).

Sumber : Diolah Data Base WCPFC

Gambar 20 Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010

4) Swordfish (Xiphias gladius)

Pengaturan Swordfish ditetapkan melalui CMM 2009-03 tentang

Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation and Management

for Swordfish) yang betujuan melindungi kepentingan SIDS yang perekonomiaan

sangat bergantung pada perikanan swordfish. Berdasarkan kajian Widodo tahun

2010 swordfish dan kelompok marlin oleh kapal-kapal bendera Indonesia di

Samudera Pasifik tidak termasuk tangkapan utama. Oleh karena itu jumlah

tangkapannya relatif kecil dibanding kelompok tuna.

Rata-rata jumlah tangkapan swordfish pada tahun 2002-2011 di wilayah

Konvensi meningkat sebesar 12.972 ton pertahun dengan peningkatan setiap

tahun sebesar 4,95 persen. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan swordfish

rata-rata setiap tahunnya adalah 4,94 persen (Gambar 20).

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

WCPFC 1,220, 1,220, 1,308, 1,378, 1,481, 1,646, 1,645, 1,794, 1,678, 1,550,

Indonesia 173,33 163,58 191,65 173,20 218,31 243,11 255,91 279,98 273,63 270,10

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

To

n

116

Sumber : Diolah Data Base WCPFC

Gambar 21 Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010

5) Kelompok marlin

Jenis marlin yang terdata dalam statistik WCPFC sejumlah tiga jenis yakni

black marlin (Makaira indica), Blue marlin (Makaira nigricans) dan Striped

marlin (Tetrapturus audax). Namun dari ketiga spesies tersebut yang telah diatur

melalui CMM hanya Striped marlin melalui ketentuan CMM 2010-01 tentang

Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped Marlin

(Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin).

CMM ini bertujuan untuk mengurangi laju tangkapan secara bertahap dengan

jumlah tangkapan mulai per 1 Januari 2012 sebesar 80 persen dari jumlah

tangkapan tahun 2000-2003. Disamping itu berdasarkan laporan International

Scientific Committee for Tuna and Tuna-like Species in the North Pacific Ocean

(ISC) menyatkan bahwa sediaan North Pacific Striped Marlin mulai terancam dan

sediaan mulai berkurang dari tahun 2003.

Jumlah tangkapan striped marlin WCPFC pada periode tahun 2002-2011

meningkat sebesar 3.840 ton pertahun atau meningkat sebesar 1,86 persen setiap

tahun. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan striped marlin setiap tahun

mencapai 6,58 persen (Gambar 22).

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

WCPFC 11,090 13,826 12,676 12,226 13,025 14,003 13,414 12,544 11,396 12,021

Indonesia 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

To

n

117

Sumber : Diolah Data Base WCPFC

Gambar 22 Tangkapan striped marlin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010

Kepedulian pengelolaan perikanan Indonesia di laut lepas dituangkan

dalam UU No. 31 Tahun 2004. Menurut Pasal 10 ayat (1), untuk kepentingan

kerja sama internasional, Pemerintah: (a) dapat memublikasikan secara berkala

hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya

ikan; (b) bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam

rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang

bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan

serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang

dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam

konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.

5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan

Dalam ketentuan WCPFC terdapat tiga kelompok spesies yang dimasukan

dalam kelompok tangkapan sampingan (bycatch) yakni hiu, penyu dan burung

laut. Tangkapan sampingan ketiga jenis tersebut diatur melalui CMM 2004-04

Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and

Management Measures) merupakan tindaklanjut dari Pasal 5 Konvensi WCPFC

yang mengatur perlunya tindakan mitigasi akibat tangkapan tangkapan sampingan

untuk spesies hiu, penyu dan burung laut.

Tangkapan sampingan diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target

pada suatu perikanan tertentu (Pauly, 1984; Alverson et al 1994). Pada alat

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

WCPFC 4,380 4,660 4,660 4,220 4,124 3,405 4,107 3,233 2,791 3,358

Indonesia 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227

-

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

To

n

118

tangkap longline, jenis-jenis hiu , sering tertangkap sebagai tangkapan sampingan.

Khusus Indonesia yang berada pada perairan tropis tangkapan sampingan lebih

banyak pada hiu dan penyu sedangkan burung laut lebih banyak terjadi pada

perairan sub-tropis.

1) Hiu

Konservasi dan pengelolaan hiu ditetapkan melalui CMM 2010-07

tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and

Management Measure for Sharks). Salah satu pertimbangan penetapan CMM

2010-07 dikarenakan beberapa jenis hiu telah masuk dalam Appendix II CITES

yakni basking shark and great white shark.

Dalam rangka implementasi IPOA Conservation and Management of

Sharks perlu negara anggota FAO segera mengadopsi dalam National Plan of

Action (NPOA) untuk meminimalkan tangkap yang tidak termanfaatkan dan

mendorong pelepasan jika tertangkap.

Ketentuan pengaturan hiu ditetapkan melalui CMM 2011-04 tentang

Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark

(Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark).

Berdasarkan kajian Komite Ilmiah WCPFC mengindikasikan telah terjadi

penurunan sediaan Oceanic Whitetip Shark (Carcharhinus Longimanus) akibat

penangkapan longline dan puirse seine di wilayah WCPFC. Member, Cooperating

Non Member dan Participating Territories pada ketentuan ini melarang kapal

bendera negarannya untuk melakukan transhipment, penyimpanan atau

mendaratkan Oceanic Whitetip Shark secara utuh atau sebagian. CMM ini berlaku

mulai 1 Januari 2013.

Hasil penelitian hiu di Indonesia menyimpulkan bahwa di perairan

Indonesia sekurang-kurangnya terdapat sekitar 137 jenis hiu dan pari : 76 spesies

hiu dan 61 spesies pari. Dari 76 spesies hiu yang dimanfaatkan di Indonesia tidak

termasuk spesies Carcharodon megalodon (white shark) yang sampai saat ini

belum pernah tertangkap sebagai komoditas perikanan cucut. Di perairan

Samudera Pasifik jenis hiu yang banyak tertangkap oleh longline adalah pari

manta (manta birostris) yang merupakan salah satu spesies ikan tebesar di dunia.

119

Tankapan hiu merupakan kegiatan sampingan dari kegiatan perikanan

longline, gillnet, fish net dan trammel net. Aktivitas perikanan ini ditemukan

hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hasil tangkapan cucut

dimanfaatkan oleh nelayan sebagai hasil tambahan perikanan dalam berbagai

bentuk komoditas : bahan makanan olahan (diasin), produk ekspor dari sirip

cucut, kulitnya sebagai bahan berbagai bentuk asesoris (tas, sepatu, dompet dll)

untuk kebutuhan dalam negeri, tulang belakang dipasarkan sebagai bahan obat

kanker dan organ dalam (hati) terutama dari jenis cucut botol (Squalidae) dapat

menghasilkan minyak.

Berdasarkan data Statitik WPP Perikanan Tangkap tahun 2007 – 2011,

jenis hiu dominan yang tertangkap di WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara

Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik)

adalah requiem sharks (hiu lanyam). Rata-rata tangkapan requiem sharks sebesar

57,71 persen dari jumlah tangkapan hiu, terutama antara tahun 2008-2011

(Gambar 22).

Sumber : Diolah Data Statistik Perikanan Tangkap per WPP tahun 2012

Gambar 22 Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717

2007 2008 2009 2010 2011

Whitespotted wedgefishes 301 19 157 161

Stingrays 84 244 330 213 217

Requiem sharks 74 736 726 723 740

Thresher sharks 1,028 226 344 373

-

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

Ton

120

2) Penyu

Tangkapan sampingan penyu ditetapkan melalui CMM 2008-03 tentang

Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of

Sea Turtles) yang merupakan adopsi Pedoman FAO tahun 2005 untuk

mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan. Terdapat

lima jenis penyu di wilayah konvensi yang tertangkap pada alat tangkap longline

yakni, Green turtle, Loggerhead, Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley.

Berdasarkan pasal 5 dan 10 Konvensi, Komisi mendesak semua negara

anggota unruk mengimplementasikan Pedoman Penangkapan Alat Tangkap Purse

Seine di wilayah perairan nasional dan di area Konvensi. Pada kondisi penyu

tertangkap dengan tidak sengaja maka awak kapal perlu melakukan upaya

pelepasan dan memastikan penyu tersebut dalam kondisi selamat. Kelima jenis

penyu tersebut terdapat di perairan Indonesia yang telah dilindungi melalui

Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan

Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun

1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Sebagaimana pengelolaan tangkapan utama, pengelolaan tangkapan

sampingan di laut lepas mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004.

Ketentuan tersebut dikuatkan dengan UU No. 21 Tahun 2009, yaitu pelaksanaan

Pasal 8 mengenai kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan. Aturan lebih rinci

mengenai pengelolaan tangkapan sampingan dituangkan dalam Permen KP No.

Per.12/Men/2012. Pada Bab X bagian kesatu mengenai hasil tangkapan

sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related

species) perikanan tuna. Menurut Pasal 39, setiap kapal penangkap ikan yang

melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan

sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related

species) perikanan tuna berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut

termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Hasil

tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa

hiu dengan ketentuan bukan hiu juvenile dan hiu dalam kondisi hamil, dan harus

didaratkan secara utuh (Pasal 40 ayat 1).

121

Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait

dengan perikanan tuna berupa burung laut pada wilayah 25 derajat lintang ke

arah selatan wajib menerapkan tindakan mitigasi yang efektif untuk menghindari

tertangkapnya burung laut (Pasal 41 ayat 1). Lebih lanjut, Pasal 41 ayat (2)

menyebutkan bahwa tindakan mitigasi tersebut terdiri dari: (a) setting di malam

hari dengan pencahayaan minimum di atas dek kapal; (b) menggunakan tali

pengusir burung (tori line); (c) menggunakan pemberat untuk branch line agar

umpan cepat tenggelam; (d) umpan cumi diberikan warna biru; (e) kendalikan sisa

debit/limbah; dan (f) penggunaan alat pelempar tali.

Menurut Pasal Pasal 42 ayat (1), setiap penangkapan ikan di laut lepas

yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut

termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup. Dalam hal burung laut,

penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus yang tanpa sengaja tertangkap

dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan

pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur

Jenderal Perikanan Tangkap (Pasal 42 ayat 2).

Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang yang secara ekologis

terkait dengan perikanan tuna berupa hiu monyet dengan ketentuan harus

dilepaskan dalam keadaan hidup, sedangkan dalam hal hiu monyet yang tanpa

sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala

pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Selanjutnya ditambahkan bahwa setiap

kapal penangkap ikan yang menangkap, memindahkan, mendaratkan,

menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (thresher sharks) dari semua family

Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi IUU Fishing (Pasal

43).

Aturan lain terkait tangkapan sampingan ditetapkan dalam Permen KP No.

Per.40/Men/2012. Pasal 73 menyebutkan, bahwa setiap kapal penangkap ikan

yang memiliki SIPI di WPP-NRI wajib melakukan tindakan konservasi

terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang

ditetapkan oleh RFMO.

122

Khusus tentang pengelolaan hiu, Indonesia atas bantuan SEAFDEC sejak

tahun 2004 telah menyusun National Plan of Action (NPOA) Shark Management

namun hingga saat ini rencana aksi tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan

menteri.

5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal

Ketentuan observer di WCPFC di tetapkan melalui empat CMM. Pertama,

CMM 2006-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer

Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer

Programme). CMM 2006-07 merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 Konvensi,

yaitu Komisi wajib mengembangkan suatu program pengamat regional untuk

mengumpulkan data hasil tangkapan yang terverifikasi, data ilmiah lain dan

informasi tambahan terkait dengan perikanan dari Wilayah Konvensi dan untuk

memantau pelaksanaan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang telah

diterima oleh Komisi. Oleh karena itu, dengan mengadopsi ketentuan Pasal 10

Konvensi tentang Fungsi Komisi, maka Komisi menetapkan prosedur untuk

mengembangkan Program Observer Regional.

Kedua, CMM 2006-08 tentang Komisi Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki

Kapal (WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures ). CMM 2006-

08 adalah implementasi Pasal 26/Lampiran III dan Pasal 6 (2) Konvensi yang

bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur mengenai pemeriksaan

dan menaiki kapal serta tindakan konservasi dan pengelolaan. Pelaksanaan

prosedur harus memperhitungkan kehadiran inspektur dalam kapal, frekuensi, dan

hasil pemeriksaan sebelumnya. Kapal-kapal yang menjadi prioritas pemeriksaan

adalah; (1) kapal yang tidak terdata pada daftar kapal yang diizin WCPFC tetapi

berbendera negara anggota komisi, (2) kapal yang tidak di periksa langsung oleh

negara bendera, (3) kapal penangkapan ikan yang tidak terdapat observer, (4)

kapal perikanan tuna skala besar, (5) kapal yang pernah melanggar langkah-

langkah konservasi dan pengelolaan sesuai dengan hukum internasional dan

nasional.

Ketiga, CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi

Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the

123

Regional Observer Programme). Program Observer Regional bertujuan untuk

pengumpulan data hasil tangkapan, pemantauan pada pelaksanaan CMMs, dan

mengumpulkan informasi tambahan yang terkait dengan perikanan. Sekretariat

wajib mengkoordinasikan program dan kuasa kepada penyedia observer pada

Program Observer Regional. Pengembangan panduan observer oleh komisi harus

mencakup : (1) hak dan tanggung jawab observer, (2) hak dan tanggung jawab

operator kapal, kapten, dan awak buah kapal, dan (3) jadwal Pelaksanaan.

Keempat, CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan

untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management

Measure for Compliance Monitoring Scheme) . CMM 2011-06 bertujuan untuk

melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan

mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)

menangkap dan batas upaya untuk spesies target, (2) menangkap dan pelaporan

upaya untuk spesies target, (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan

pada penggunaan perangkat ikan, (4) pengamat dan cakupan VMS, dan (5)

penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah

yang akan diberikan kepada Komisi.

Pelaksanaan program observer di atur dalam Permen KP No.

Per.12/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) surat kesanggupan menerima,

membantu kelancaran tugas, serta menjaga keselamatan pemantau di atas kapal

penangkap ikan (observer on board); (b) sanksi administrasi bagi penolakan

observer di atas kapal. Adapun sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis

dikenakan dalam jangka waktu satu bulan; pembekuan SIPI dikenakan apabila

penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya huruf a dan

SIPI dibekukan selama enam bulan; dan pencabutan SIPI dikenakan apabila

penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya

sebagaimana dimaksud pada huruf b dan SIPI dicabut. Selain itu, kegiatan

transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer

on board) dari RFMO.

Aturan observer juga dituangkan dalam Permen KP No.

Per.30/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) permohonan SIPI harus ada

kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (b) Permohonan SIKPI harus

124

ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (c) pelaksanaan

transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan; dan (d) menempatkan pemantau (observer) di atas kapal

penangkap ikan berukuran diatas 1.000 GT dengan menggunakan alat

penangkapan ikan purse seine.

Rekrutmen tenaga observer telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan

dan Perikanan sejak tahun 2006 sejumlah 20 orang yang penempatan di atas kapal

baru terealisasi pada tahun 2007 sejumlah 2 orang untuk kapal longline dengan

daerah penangkapan di Samudera Hindia.

Disamping rekrutmen tenaga observer, sampai dengan tahun 2012 telah

dilaksanakan pelatihan sejumlah 68 orang yang terdiri dari 34 pegawai negeri sipil

dan 34 orang eks anak buah kapal (ABK). Disamping itu, telah ditempatkan 14

observer untuk kapal longline di Samudera Hindia terkait dengan kewajiban

Indonesia sebagai anggota IOTC.

Sedangkan untuk WCPFC belum ada penempatan observer, sampai

dengan tahun 2012 upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah melakukan

perjanjian kerjasama dengan Komisi WCPFC. Sebagai tindaklanjut dari perjanjian

tersebut pada tahun 2013, Ditjen Perikanan Tangkap akan mendapatkan hibah

pelatihan tenaga observer. Kebutuhan observer untuk 153 kapal yang memiliki

izin penangkapan ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dibutuh 153 tenaga

observer.

5.2.8 Data Buoys

Data Buoys ditetapkan melalui CMM 2009-05 tentang Tindakan

Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys

(Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys) .

Pengembangan buoys bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai

tujuan seperti cuaca, pencarian dan keselamatan di laut, ramalan cuaca, peringatan

tsunami dan lain-lain, tetapi tidak untuk keperluan kegiatan penangkapan.

Spesies tuna dan and tuna-like species biasanya berkumpul di sekitar data buoys,

terutama juvenile bigeye tuna dan yellowfin tuna. Hal ini mendorong penangkapan

ikan disekitar buoys sehingga mengakibat kerusakan, kegiatan ini termasuk

125

pelanggaran berat sesuai pasal 25 Konvensi. Komisi telah mengeluarkan banyak

biaya dan waktu untuk memperbaiki dan mengganti buoys yang rusak dan hilang

akibat penangkapan. Jarak yang tidak diperbolehkan untuk penangkapan dari

buoys adalah kurang dari satu mil laut.

Aturan mengenai data buoys dituangkan dalam Permen KP No.

12/Men/2012. Menurut Pasal 47 ayat (1), kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan dilarang: (a) melakukan kegiatan penangkapan ikan atau

kegiatan pengangkutan ikan dalam jarak 1 (satu) mil laut dari lokasi data buoys;

(b) mengambil data buoys pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan atau

pengangkutan ikan; dan/atau (c) menganggu keberadaan dan posisi data buoys.

Data buoys merupakan alat yang mengapung, baik hanyut ataupun menetap,

yang dipasang oleh Pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan tujuan untuk

mengumpulkan data secara elektronik dan pengukuran data lingkungan dan bukan

untuk tujuan aktvitas penangkapan ikan (Pasal 47 ayat 2).

Di perairan Indonesia, pemasangan data buoys telah dimulai pemasangan

sejak tahun 2006 bekerjasama dengan NOAA di Samudera Hindia. Sedangkan

untuk Samudera Pasifik, pada tahun 2012 Indonesia bekerjasama dengan Jepang

dalam pemasangan satu unit data buoys pada koordinat 138000 BT dan 0

0 00

(Equator) atau di atas Papua.

5.2.9 Transhipment

Transhipment ditetapkan melalui CMM 2009-06 tentang Tindakan

Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen (Conservation and

Management Measure on Regulation of Transhipment). CMM 2009-06 di

tetapkan berdasarkan fakta keberhasilan dan kegagalan pengelolaan ikan beruaya

jauh di area Konvensi. Tidak adanya pengaturan dan pelaporan transshipment

berkontribusi ketidakuratan pelaporan IUU fishing.

Berdasarkan pasal 29 Konvensi, transhipment mengharuskan pada

pelabuhan perikanan yang ditunjuk sesuai dengan hukum nasional yang berguna

untuk mempermudah perolehan data dan spesies yang di transhipment.

Berdasarkan jenis alat tangkap, purse seine dilarang kecuali jika penangkapan

126

ikan beruaya jauh pada perairan kepulauan/teritorial negara anggota yang

besangkutan.

Selanjutnya CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan

untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management

Measure for Compliance Monitoring Scheme) yang bertujuan untuk melakukan

pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan

mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)

menangkap dan batas upaya untuk spesies target; (2) menangkap dan pelaporan

upaya untuk spesies target; (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan

pada penggunaan perangkat ikan menggabungkan; (4) pengamat dan cakupan

VMS, dan (5) penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah

yang akan diberikan kepada Komisi.

Jumlah kegiatan transhipment di wilayah Konvensi untuk seluruh kapal

penanngkapan ikan negara anggota dalam tiga tahun terakhir sejumlah 158 kali

(2010), 280 kali (2011) dan 193 kali (2012). Berdasarkan laporan WCPFC

terdapat 7 kapal longline Indonesia yang melakukan transhipment seperti Tabel

14.

Transhipment diatur dalam Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Menurut

Pasal 30 ayat (1), kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut

lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada

wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment

di laut lepas harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 2):

a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam

sebelum pelaksanaan transhipment;

b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;

c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar

kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized

vessels);

d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment

dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)

127

128

b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;

c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar

kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized

vessels);

d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment

dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)

kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling

lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;

e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan

transhipment;

f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat

transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment

declaration); dan

g. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan

transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para

pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15

hari setelah transhipment.

Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas

harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 4):

a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam

sebelum pelaksanaan transhipment;

b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;

c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar

kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized

vessels);

d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment

dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)

kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO

paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment;

129

e. transhipment di saksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan

(observer on board) dari RFMO; dan

f. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan

transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para

pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15

hari setelah transhipment.

Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan

negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus

memenuhi persyaratan:

a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam

sebelum pelaksanaan transhipment;

b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;

c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar

kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized

vessels);

d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment

dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)

kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling

lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;

e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan

transhipment;

f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat

transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment

declaration);

g. nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan

transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para

pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15

hari setelah transhipment.

130

Aturan transhipment juga ditetapkan dalam Permen KP No.

Per.30/Men/2012. Menurut Pasal 69 ayat (1), setiap kapal penangkap ikan dapat

melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut

ikan. Transhipment dilakukan dengan ketentuan:

a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama.

b. pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap

ikan dan kapal pengangkut ikan (observer);

c. transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online;

d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum

dalam SIPI atau SIKPI;

e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan

sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan

f. mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang

ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan

kepada kepala pelabuhan pangkalan.

Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan

pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi

kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine

berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal (Pasal 69

ayat 3). Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar

ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI

dan SIKPI (Pasal 69 ayat 4).

Sementara itu, Pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap kapal

pengangkut ikan yang digunakan dalam usaha pengangkutan ikan dengan pola

kemitraan dapat melakukan transhipment dengan ketentuan: (a) kapal penangkap

ikan berukuran sampai dengan 10 GT; (b) kegiatan penangkapan ikan dan

pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan

Kapal dan merupakan mitranya; (c) ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di

pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan

hasil tangkapan; dan (d) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan

dan ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada

131

kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib

didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIKPI dan tidak di bawa keluar negeri

(Pasal 70 ayat 2). Setiap kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan

transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIKPI.

5.3 Implikasi Hukum WCPFC

Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional

terdapat enam permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan

ketentuan WCPFC, yaitu:

1) Status wilayah WCPFC

Permasalahan mendasar Indonesia dalam ratifikasi Konvensi WCPFC

adalah wilayah penerapannya memasukan perairan kepulauan Indonesia dan Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini tidak berlaku umum bagi RFMO yang

wilayah penerapannya di luar Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai.

Mengingat dalam UNCLOS 1982, perairan kepulauan memiliki rezim hukum

kedaulatan (sovereignty) dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki rezim hukum hak

berdaulat (sovereignt right). Dengan demikian, sebagai Negara yang berdaulat

dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka dalam ratifikasi Konvensi WCPFC

perlu dipertegas hanya untuk perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 (Laut

Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih

dan Samudera Pasifik).

2) Pengawasan dan penegakan hukum

Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, setidaknya terdapat

tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Penataan sistem informasi dan data. Pengelolaan perikanan berkelanjutan

dapat diwujudkan dengan statistik perikanan yang baik dalam rangka

menghasilkan the best scientific data sebagaimana yang diwajibkan dalam

hukum internasional. Namun demikian, statistik perikanan Indonesia

dihadapkan pada permasalahan akurasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan

sistem pelaporan dan pendataan penangkapan ikan. Selain itu, terkait dengan

perizinan kapal perikanan berbendera Indonesia yang akan melakukan

132

penangkapan di wilayah WCPFC perlu singkronisasi data perizinan dengan

WCPFC Identification Number (WIN).

b. Penataan sistem pengawasan. Sistem pengawasan yang berlaku umum adalah

berupa program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan transmitter

(VMS). Dalam konteks hukum, pemerintah Indonesia sudah mengatur ketiga

hal tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dihadapkan pada

berbagai kendala. Program observer misalnya, masih terkendala sumberdaya

manusia (SDM) yang mampu bertahan berbulan-bulan di atas kapal.

Sementara pemasangan VMS terkendala kepatuhan operator kapal dalam

menyalakan alat tersebut. Oleh karena itu perlu ada program sistematis untuk

penambahan jumlah tenaga observer serta peningkatan kualitas sehingga

mampu bekerja secara efektif.

c. Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC. Praktik-praktik

IUU Fishing sangat beragam, sehingga dalam mengurangi terjadinya

pelanggaran, maka perlu dikaji secara lebih rinci mengenai praktik-praktik

IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan bendera Indonesia.

d. Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum. Pemerintah Indonesia perlu

pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang

mengatur jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun

pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalkan tertangkapnya

baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna).

3) Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan

Organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional

mampu membuat sumber hukum. Oleh karena itu, ketentuan yang selama ini

bersifat softlaw (non-legally binding) ditetapkan oleh RFMO sebagai hardlaw

(legally binding). Dengan demikian, setiap negara yang akan melakukan ratifikasi

terhadap Konvensi WCPFC akan terikat juga dengan aturan turunannya, yaitu

Conservation and Management Measures (CMM). Beberapa ketentuan CMM

WCPFC yang perlu diperkuat dalam hukum Indonesia dalam bentuk Peraturan

Perundang-Undangan yaitu:

133

a. Program observer. Permen KP ini harus memerhatikan perkembangan

hukum internasional, mulai dari standar SDM hingga tugas dan peran

observer.

b. Port State Measures Agreement. Ketentuan negara pelabuhan dalam

pemberantasan IUU Fishing sebagaimana diatur dalam PSM Agreement 2009

perlu diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui pengeluaran Peraturan

Presiden.

c. Pembatasan upaya tangkapan. Indonesia perlu memerhatikan pembatasan

upaya tangkapan sebagaimana diamanatkan dalam CMM 2004-04. Hingga

saat ini, pembatasan upaya tangkapan belum diatur, karena Indonesia tidak

menerapkan kuota tangkapan. Namun demikian, penutupan wilayah dan

waktu tangkapan diatur Pasal 45 ayat (1) Permen KP No. Per.12/Men/2012.

d. Pengelolaan rumpon. Aturan yang terkait dengan pemasangan rumpon di

tetapkan dengan Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan

Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan

Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Menurut

Pasal 19 ayat (1), rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan

dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda

padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Lebih lanjut, Pasal

19 ayat (2) menyebutkan bahwa rumpon terdiri dari: (a) rumpon hanyut,

merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan

jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan (b) rumpon menetap, merupakan

rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar

dan/atau pemberat, terdiri dari: (1) rumpon permukaan, merupakan rumpon

menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan

perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan (2) rumpon dasar,

merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di

dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal. Namun demikian,

Permen KP tersebut hanya mengatur pemasaangan rumpon di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, aturan

pemasangan dan pemanfaatan sebagaimana diamanatkan Pasal 19 ayat (3)

134

Permen KP No. Per.12/Men/2012 perlu memerhatikan ketentuan rumpon

yang diatur CMM 2009-02.

e. Hasil tangkapan sampingan. Aturan hasil tangkapan sampingan diatur dalam

Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012.

Namun demikian, perlu diatur secara lebih khusus terkait dengan jenis-jenis

hasil tangkapan sampingan diamanatkan dalam CMM, yaitu: burung laut

(CMM 2007-04), penyu (CMM 2008-03), hiu (CMM 2010-07), Cetacean

(CMM 2011-03), Oceanic Whitetip Shark (CMM 2011-04).Oleh karena itu,

perlu penetapan aturan khusus Permen KP tentang hasil tangkapan

sampingan.

f. National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of

Sharks dan NPOA for the Conservation and Management of Seabird.

Pemerintah perlu menetapkan Permen KP tentang Rencana Aksi Nasional

untuk Tindakan Konservasi dan Pengelolaan hiu dan penyu.

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

I.

Kon

ven

si

1.

Wil

ayah

Pen

erap

an

-

Sed

ang

Rat

ifik

asi

Ind

on

esia

har

us

men

gen

yam

pin

gkan

wil

ayah

Ko

nven

si

WC

PF

C y

ang m

em

asu

kan

per

aira

n

kep

ula

uan

In

do

nes

ia d

an Z

EE

In

do

nes

ia.

2.

Aza

z P

elak

san

aan

- S

edan

g

Pri

nsi

p-p

rin

sip

in

i h

aru

s dit

erap

kan

dal

am s

emu

a p

erat

ura

n p

eru

nd

ang-

un

dan

gan

In

do

nes

ia

3.

Pen

erap

an K

ehat

i-h

atia

n

Ku

at

4.

Pel

aksa

naa

n A

zas-

Aza

s d

i

wil

ayah

Ber

das

arkan

Yuri

sdik

di

Nas

ional

K

uat

5.

Kes

esuai

an t

ind

akan

konse

rvas

i d

an

pen

gel

ola

an

Ku

at

6.

Kew

ajib

an P

ara

An

ggo

ta

Kom

isi

-

Sed

ang

a. P

enin

gkat

an s

iste

m p

engu

mp

ula

n d

ata

dan

pen

yer

ahan

kep

ada

CM

M

b. K

eber

adaa

n l

og

bo

ok

pen

ang

kap

an i

kan

lebih

pen

tin

g d

arip

ada

pri

nsi

p-p

rin

sip

MC

S

7.

Kew

ajib

an-K

ewaj

iban

Neg

ara

Ben

der

a

- S

edan

g

a. In

do

nes

ia p

erlu

men

ingkat

kan

syst

em

pel

apo

ran

.

b. S

iste

m p

elap

ora

n t

erse

but

har

us

tran

spar

an s

ehin

gga

men

yed

iakan

dat

a

yan

g a

ku

rat

dan

jel

as

8.

Pen

aata

n d

an p

eneg

akan

Sed

ang

Per

men

KP

No

. 1

2/M

en/2

01

2 m

engat

ur

135

Tab

el 1

8. K

esia

pan

Reg

ula

si N

asio

nal

dan

Ren

cana

Aksi

ter

had

ap K

eten

tuan

WC

PF

C

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

pen

egak

an h

uku

m k

apal

per

ikan

an

ber

ben

der

a In

do

nes

ia y

ang m

elak

ukan

pen

angkap

an i

kan

di

Lau

t L

epas

9.

Itik

ad B

aik D

an

Pen

yal

ahgu

naa

n H

ak

Ku

at

II.

CM

M

1.

Pen

ggu

naa

n

transm

itte

r/V

MS

Ku

at

a.

CM

M 2

011

-02

:

tenta

ng K

om

isi

Ves

sel

Mo

nit

ori

ng

Sys

tem

(VM

S)

Ku

at

2.

Pen

egak

an h

uku

m

a.

20

09-0

1:

Rec

ord

of

Fis

hin

g V

esse

ls A

nd

Au

tho

riza

tio

n t

o F

ish

-

Sed

ang

a. F

un

gsi

pem

erin

tah

an t

erm

asu

k

pen

dat

aan k

apal

ikan

di

pel

abu

han

per

ikan

an s

udah

dia

tur

dal

am P

erm

en

KP

No

. P

er.0

8/M

en/2

01

2.

b. P

erkem

ban

gan

in

tern

asio

nal

men

gat

ur

pem

ber

anta

san

IU

U F

ish

ing d

i w

ilay

ah

pel

abu

han

, se

hin

gga

dal

am m

em

per

ku

at

Per

men

KP

No

. P

er.0

8/M

en.2

01

2

dip

erlu

kan

pen

ges

ahan

Agre

emen

t P

ort

Sta

te M

easu

res

(PS

M A

gre

emen

t 2

00

9)

b.

20

10-0

6:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

to

Est

abli

sh a

Lis

t o

f V

esse

ls

- S

edan

g

Ind

on

esia

per

lu m

erin

ci k

egia

tan

IU

U d

i

wil

ayah

Ko

nven

si W

CP

FC

136

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

Pre

sum

ed t

o H

ave

Ca

rrie

d o

ut

Ille

ga

l,

Un

rep

ort

ed a

nd

Un

reg

ula

ted

Fis

hin

g

Act

ivit

ies

in t

he

WC

PO

3.

Kap

al I

kan

a.

20

04-0

3:

Sp

ecif

icati

ons

for

the

Ma

rkin

g a

nd

Iden

tifi

cati

on

of

Fis

hin

g V

esse

ls

-

Sed

ang

Per

lu d

ilak

ukan

pen

yes

uai

an d

engan

WIN

b.

20

04-0

4 :

Res

olu

tio

n

on

Co

nse

rvati

on

an

d

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

s

-

Lem

ah

Per

lu d

ilak

ukan

pen

yu

sun

an P

erat

ura

n

Men

teri

Kel

auta

n t

erkai

t d

engan

pem

bat

asan

up

aya

tan

gkap

an (

inp

ut

rest

rict

ion)

c.

20

06-0

8:

WC

PF

C

Co

mm

issi

on

Bo

ard

ing

an

d I

nsp

ecti

on

Pro

ced

ure

s

-

Sed

ang

a. A

tura

n i

nsp

eksi

kap

al d

an o

bse

rver

dim

uat

dal

am P

erm

en K

P N

o.

Per

.12/M

en/2

01

2 d

an P

erm

en K

P N

o.

Per

.30/M

en/2

01

2.

b. N

amu

n k

edu

a P

erm

en t

erse

bu

t ti

dak

men

gat

ur

seca

ra d

etil

ten

tan

g

mekan

ism

e o

bse

rver

, se

hin

gga

per

lu

pen

etap

an P

erm

en

KP

ten

tan

g

Ob

serv

er,

yan

g t

entu

saj

a se

suai

den

gan

per

kem

ban

gan

hu

ku

m i

nte

rnas

ion

al

137

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

d.

20

09-0

1:

Rec

ord

of

Fis

hin

g V

esse

ls a

nd

Au

tho

riza

tio

n t

o F

ish

K

uat

a.

Fu

ngsi

pem

erin

tah

an t

erm

asu

k

pen

dat

aan k

apal

ikan

di

pel

abu

han

per

ikan

an s

udah

dia

tur

dal

am P

erm

en

KP

No

. P

er.0

8/M

en/2

01

2.

b. P

erkem

ban

gan

in

tern

asio

nal

men

gat

ur

pem

ber

anta

san

IU

U F

ish

ing d

i w

ilay

ah

pel

abu

han

, se

hin

gga

dal

am m

em

per

ku

at

Per

men

KP

No

. P

er.0

8/M

en.2

01

2

dip

erlu

kan

pen

ges

ahan

Agre

emen

t P

ort

Sta

te M

easu

res

(PS

M A

gre

emen

t 2

00

9)

e.

20

09-0

9:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

fo

r V

esse

ls

Wit

ho

ut

Nat

ional

ity

K

uat

f.

20

10-0

6:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

to

Est

abli

sh a

Lis

t o

f V

esse

ls

Pre

sum

ed t

o H

ave

Ca

rrie

d o

ut

Ille

ga

l,

Un

rep

ort

ed a

nd

Un

reg

ula

ted

Fis

hin

g

Act

ivit

ies

in t

he

WC

PO

-

Sed

ang

Ind

on

esia

per

lu m

erin

ci k

egia

tan

IU

U d

i

wil

ayah

Ko

nven

si

138

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

4.

Ala

t pen

angkap

ikan

dan

alat

ban

tu p

enan

gkap

an

ikan

a.

CM

M 2

008

-04 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

to P

rohib

it t

he

Use

of

La

rge-

Sca

le D

rift

net

s

on

th

e H

igh

Sea

s in

th

e

Co

nve

nti

on

Are

a

K

uat

b.

CM

M 2

009

-02:

FA

D

Clo

sure

s a

nd

Ca

tch

Ret

enti

on

-

Sed

ang

a. R

um

po

n d

iatu

r d

alam

Per

en K

P N

o.

Per

.02/M

en/2

01

2.

b. P

erlu

atu

ran

tek

nis

ten

tan

g r

um

po

n

seb

agai

man

a m

and

at P

asal

19

ayat

(3)

Per

men

KP

No

. P

er.0

2/M

en/2

01

2

5.

Pen

gel

ola

an T

angkap

an

Uta

ma

a.

20

04-0

4 :

Res

olu

tio

n

on

Co

nse

rvati

on

an

d

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

s

S

edan

g

Per

lu d

ilak

ukan

pen

yu

sun

an P

erat

ura

n

Men

ter

Kel

auta

n t

erkai

t d

engan

pem

bat

asan

up

aya

tan

gkap

an

b.

20

06-0

4:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

fo

r S

trip

ed

Ma

rlin

in

th

e

So

uth

wes

t P

aci

fic

se

dan

g

Pem

ben

ahan

sis

tem

pen

dat

aan

keg

iata

n

per

ikan

an d

i la

ut

lep

as,

kh

usu

snya

Str

iped

Ma

rlin

in

th

e S

outh

wes

t P

aci

fic

c.

20

08-0

1:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

fo

r B

ig-e

ye

- S

edan

g

a. In

do

nes

ia p

erlu

pen

gaw

asan

pel

aksa

naa

n P

erat

ura

n M

ente

ri y

ang

sud

ah d

itet

apkan

, b

aik y

ang

men

gat

ur

139

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

an

d Y

ello

w-f

in T

un

a i

n

the

WC

PF

C

jalu

r ta

ngkap

an d

an a

lat

ban

tu

pen

angkap

an i

kan

, m

aup

un

pel

aksa

naa

n p

rogra

m o

bse

rver

yan

g

bet

uju

an m

emin

imal

isir

tert

angkap

nn

ya

bab

y t

un

a (y

ello

wfi

n

dan

big

eye)

b. p

enges

ahan

Per

men

KP

ten

tan

g

Ob

serv

er,

yan

g t

entu

saj

a se

suai

den

gan

per

kem

ban

gan

hu

ku

m i

nte

rnas

ion

al

d.

CM

M 2

009

-02:

FA

D

Clo

sure

s a

nd

Ca

tch

Ret

enti

on

- S

edan

g

a. R

um

po

n d

iatu

r d

alam

Per

en K

P N

o.

Per

.02/M

en/2

01

2.

b. P

erlu

atu

ran

tek

nis

ten

tan

g r

um

po

n

seb

agai

man

a m

and

at P

asal

19

ayat

(3)

Per

men

KP

No

. P

er.0

2/M

en/2

01

2

e.

20

09-0

3:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t fo

r

Sw

ord

fish

- S

edan

g

Pem

ben

ahan

sis

tem

pen

dat

aan

keg

iata

n

per

ikan

an d

i la

ut

lep

as,

kh

usu

snya

Sw

ord

fish

di

Pas

ifik

Bar

at D

aya

f.

20

10-0

1:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

fo

r N

ort

h

Pa

cifi

c S

trip

ed M

arl

in

- S

edan

g

Pem

ben

ahan

sis

tem

pen

dat

aan

keg

iata

n

per

ikan

an d

i la

ut

lep

as,

kh

usu

snya

Str

iped

Ma

rlin

di

Pas

ifik

Bar

at D

aya

g.

20

10-0

4:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

fo

r P

aci

fic

Blu

efin

Tun

a

- se

dan

g

Ind

on

esia

men

do

ron

g k

om

un

ikas

i

den

gan

IA

TT

C s

ecar

a b

ilat

eral

ter

kai

t

den

gan

pen

gel

ola

an p

erik

anan

tun

a

siri

p b

iru

h.

20

10-0

5 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

- S

edan

g

Ind

on

esia

akan

men

jaga

Sou

th P

aci

fic

Alb

aco

re d

ari

keg

iata

n k

apal

per

ikan

an

140

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

for

Sou

th P

aci

fic

Alb

aco

re

6.

Pen

gel

ola

an T

angkap

an

Sam

pin

gan

a.

20

04-0

4 :

Res

olu

tio

n

on

Co

nse

rvati

on

an

d

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

s

-

Sed

ang

Per

lu d

ilak

ukan

pen

yu

sun

an P

erat

ura

n

Men

ter

Kel

auta

n t

erkai

t d

engan

pem

bat

asan

up

aya

tan

gkap

an

b.

20

08-0

3 :

Co

nse

rva

tio

n A

nd

Ma

na

gem

ent

of

Sea

Tu

rtle

s

- S

edan

g

Pen

ges

ahan

Per

atura

n M

ente

ri K

elau

tan

dan

Per

ikan

an t

enta

ng H

asil

Tan

gkap

an

Sam

pin

gan

c.

20

10-0

7 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

Sha

rks

- S

edan

g

Pen

ges

ahan

In

do

nes

ia -

Nat

ion

al P

lan

of

Act

ion (

NP

OA

) fo

r th

e C

on

serv

atio

n a

nd

Man

agem

ent

of

Shar

ks

d.

20

11-0

3 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

Pro

tect

ion

of

Cet

ace

an

s fr

om

Purs

e

Sei

ne

Fis

hin

g

Op

era

tio

ns

- S

edan

g

Pen

ges

ahan

Per

atura

n M

ente

ri K

elau

tan

dan

Per

ikan

an t

enta

ng H

asil

Tan

gkap

an

Sam

pin

gan

e.

20

11-0

4 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

Oce

an

ic W

hit

etip

Sh

ark

- S

edan

g

Pen

ges

ahan

In

do

nes

ia -

Nat

ion

al P

lan

of

Act

ion (

NP

OA

) fo

r th

e C

on

serv

ati

on

an

d M

an

ag

emen

t of

Sh

ark

s

141

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

7.

Pro

gra

m O

bse

rver

dan

Insp

eksi

Kap

al

a.

20

06-0

7 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

the

Reg

ion

al

Ob

serv

er P

rog

ram

me

- S

edan

g

a. A

tura

n i

nsp

eksi

kap

al d

an o

bse

rver

dim

uat

dal

am P

erm

en K

P N

o.

Per

.12/M

en/2

01

2 d

an P

erm

en K

P N

o.

Per

.30/M

en/2

01

2.

b. N

amu

n k

edu

a P

erm

en t

erse

bu

t ti

dak

men

gat

ur

seca

ra d

etil

ten

tan

g

mekan

ism

e o

bse

rver

, se

hin

gga

per

lu

pen

etap

an P

erm

en

KP

ten

tan

g

Ob

serv

er,

yan

g t

entu

saj

a se

suai

den

gan

per

kem

ban

gan

hu

ku

m i

nte

rnas

ion

al

b.

20

06-0

8 :

WC

PF

C

Co

mm

issi

on

Bo

ard

ing

an

d I

nsp

ecti

on

Pro

ced

ure

s

- S

edan

g

a. A

tura

n i

nsp

eksi

kap

al d

an o

bse

rver

dim

uat

dal

am P

erm

en K

P N

o.

Per

.12/M

en/2

01

2 d

an P

erm

en K

P N

o.

Per

.30/M

en/2

01

2.

b. N

amu

n k

edu

a P

erm

en t

erse

bu

t ti

dak

men

gat

ur

seca

ra d

etil

ten

tan

g

mekan

ism

e o

bse

rver

, se

hin

gga

per

lu

pen

etap

an P

erm

en

KP

ten

tan

g

Ob

serv

er,

yan

g t

entu

saj

a se

suai

den

gan

per

kem

ban

gan

hu

ku

m i

nte

rnas

ion

al

c.

20

07-0

1 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

the

Reg

ion

al

- S

edan

g

a. A

tura

n i

nsp

eksi

kap

al d

an o

bse

rver

dim

uat

dal

am P

erm

en K

P N

o.

Per

.12/M

en/2

01

2 d

an P

erm

en K

P N

o.

Per

.30/M

en/2

01

2.

142

Per

ihal

Hu

ku

m N

asi

on

al

Imp

lem

enta

si

Sta

tus

Ura

ian

Ren

can

a A

ksi

UU

P

P

Per

pre

s P

erm

en K

P

Ob

serv

er P

rog

ram

me

b. N

amu

n k

edu

a P

erm

en t

erse

bu

t ti

dak

men

gat

ur

seca

ra d

etil

ten

tan

g

mekan

ism

e o

bse

rver

, se

hin

gga

per

lu

pen

etap

an P

erm

en

KP

ten

tan

g

Ob

serv

er,

yan

g t

entu

saj

a se

suai

den

gan

per

kem

ban

gan

hu

ku

m i

nte

rnas

ion

al

d.

20

11-0

6 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

for

Co

mpli

ance

Mo

nit

ori

ng

Sch

eme

- S

edan

g

Ind

on

esia

mem

ilik

i at

ura

n k

egia

tan

pen

angkap

an i

kan

, b

aik d

i W

PP

-NR

I

mau

pu

n d

i la

ut

lep

as. K

edua

per

atura

n

ini

men

jadi

lan

das

an d

alam

mel

aku

kan

pen

angkap

an i

kan

di

laut

lep

as

8.

Data

Bu

oys

a.

20

09-0

5:

Co

nse

rva

tio

n

an

d M

an

ag

emen

t

Mea

sure

Pro

hib

itin

g

Fis

hin

g o

n D

ata

Bu

oys

Ku

at

9.

Tra

nsh

ipm

ent

b.

20

09-0

6 :

Co

nse

rva

tio

n a

nd

Ma

na

gem

ent

Mea

sure

on

Reg

ula

tio

n o

f

Tra

nss

hip

men

t

Ku

at

Ket

eran

gan

:

Kuat

: H

uku

m N

asio

nal

(ad

a) P

erm

en (

ada)

Im

ple

men

tasi

(ad

a)

Sed

ang

:

Hu

ku

m N

asio

nal

(ad

a) P

erm

en (

ada)

Im

ple

men

tasi

(ti

dak

ada)

Lem

ah

:

Hu

ku

m N

asio

nal

(ad

a) P

erm

en (

tidak

ada)

Im

ple

men

tasi

(ti

dak

ada)

San

gat

Lem

at

:

Hu

ku

m N

asio

nal

(ti

dak

ada)

Per

men

(ti

dak

ada)

Im

ple

men

tasi

(ti

dak

ada)

143

144

5.4 Analisa Ekonomi

Analisa ekonomi di lakukan mengkaji dampak ekonomi terhadap

pelaksanaan CMM 2008-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna

Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure

for Big-eye and Yellowfin Tuna in the WCPFC). Pengaturan bertujuan untuk

mengurangi tingkat kematian akibat upaya penangkapan kedua spesies ini

terutama kematian juvenile akibat penggunaan alat tangkap purse seine dengan

alat bantu rumpon. Penutupan berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September

antara tahun 2009 – 2012 yang selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01.

Namun ketentuan ini tidak berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang

dilaporkan ke Komisi.

Berdasarkan data hasil tangkapan per jenis alat tangkap yang didaratkan

di PPS Bitung periode tahun 2005 -2009, hasil tangkapan sebagian besar berasal

dari alat tangkap purse seine dan pole and line. Rata-rata hasil tangkapan purse

seine pada periode tersebut sebesar 78,57 persen dan pole and line sebesar 20,33

persen. Rata-rata peninkatan tangkapan purse seine setiap tahun sebesar 28,45

persen dan pole and line lebih tinggi takni 71,15 persen per tahun. Tingginya

pertumbuhan pole and line disebabkan semakin meningkatnya nelayan yang

menggunakan pole and line setiap tahun. Perkembangan pendaratan ikan di PPS

Bitung tahun 2005 -2009 dilihat pada Gambar 23.

Sumber : Diolah Data Statistik PPS Bitung 2010

2005 2006 2007 2008 2009

Long Line 330.23

Gill Net 110.00 320.61

Hand Line 1.42 0.51 0.51 4.33 57.30

Pole and Line 603.56 1,434.37 1,500.26 3,010.24 4,383.21

Purse Seine 5,026.12 7,333.98 5,065.32 9,883.84 10,248.96

- 2,000.00 4,000.00 6,000.00 8,000.00

10,000.00 12,000.00 14,000.00 16,000.00 18,000.00

Ton

Gambar 24a Jumlah Tangkapan Berdasarkan Jenis Alat Penangkapan Ikan di PPS

Bitung tahun 2005-2009

145

Nelayan purse seine merupakan nelayan dominan yang mendaratkan ikan

PPS Bitung dan pemasok utama industri pengolahan ikan di Kota Bitung.

Menurut Zulham(2011), PPS Bitung memberikan pasokan kontribusi sebesar 65

persen terhadap bahan baku industri pengolahan ikan sedangkan 35 persen

langsung didaratkan di masing-masing perusahaan.

Industri perikanan merupakan motor penggerak pembangunan Kota

Bitung. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 20 perusahaan pengolahan ikan

dengan tujuan ekspor, tiga perusahaan pengalengan dan empat perusahaan

pengolahan ikan kayu (arubishi). Penutupan selama dua bulan penggunaan alat

tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon dan larangan penangkapan baby

tuna tentunya akan mengurangi pendapatan nelayan dan pasokan bahan baku bagi

industri perikanan di Kota Bitung.

Responden analisa ekonomi dampak pelarangan penangkapan baby tuna

berasal dari 15 nelayan purse seine yang aktif mendaratkan ikan di PPS Bitung

selama tahun 2012. Karaktepristik variabel responden disajikan pada tabel 19.

Gambar 24b Tangkapan juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS

Bitung

146

Tabel 19. Rataan variable pendapat responden

Aspek Rata-rata Keterangan

Umur 27 Umur nelayan umumnya 27 tahun

Pendidikan 12 SMA

Pendapatan 20.520.000 Pendapatan per tahun

Lingkungan 3 Biasa saja

Pengetahuan 3 Kurang tahu

Kepentingan 3 Kurang tahu

Persetujuan 2 Cukup setuju

Pemanfaatan 3 Kurang tahu

Aturan 3 Kurang tahu

Perdagangan 3 Kurang tahu

Dampak 4 Kurang berdampak

Model regresi kesediaan nelayan purse seine untuk menerima pembayaran

(WTA) atas kesediaannya untuk tidak melakukan penangkapan juvenile (baby

tuna). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar persepsi masyarakat

nelayan purse seine tentang pentingnya mewujudkan perikanan tuna

berkelanjutan. Dengan kata lain, adanya imbal jasa sebagai kompensasi kepada

nelayan purse seine di harapkan mampu mengurangi tekanan terhadap terhadap

ikan tuna yang masih kecil (baby tuna), sehingga ikan tuna bisa tumbuh besar dan

bernilai ekonomi tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan protein hewan yang

sehat.

Analisa WTA dalam penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu:

1) Memberikan pemahaman tentang kemungkinan larangan penangkapan baby

tuna

Seluruh responden diberikan informasi, bahwa kemungkinan akan

dilakukannya pelarangan penangkapan baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna)

di wilayah Laut Sulawesi apabila Indonesia melakukan pengesahan terhadap

Konvensi WCPFC. Adapun responden adalah nelayan pengguna alat tangkap

purse seine.

2) Memperoleh Nilai WTA

Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara dengan

menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner (Lampiran 3).

Berdasarkan hasil analisa, nilai rataan kesediaan menerima pembayaran (WTA)

147

kompensasi atas larangan penangkapan baby tuna per orang sebesar Rp 4.774.000

per tahun atau Rp 397.433 per bulan.

Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar

Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000 per bulan. Dengan demikian, apabila

larangan penangkapan baby tuna diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse

seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp

397.433 per bulan. Oleh karena itu, dengan rata-rata nilai jual baby tuna Rp

10.000 per kg, maka untuk mempertahankan pendapatan nelayan purse seine

sebesar Rp 1.710.000 per bulannya, perlu kompensasi atau subsidi harga sebesar

Rp 3.031 per kg baby tuna. Hasil analisa sintesa dimuat pada Tabel 15, didukung

oleh pendapat responden yang dituangkan dalam Tabel 16

3) Evaluasi WTA

Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa variabel-variabel umur, tingkat

pendidikan, jumlah pendapatan, kondisi lingkungan, pengetahuan terhadap

Konvensi WCPFC, kepentingan terhadap perdagangan tuna, persetujuan terhadap

ratifikasi Konvensi WCPFC, pola pemanfaatan, aturan penangkapan baby tuna,

peluang perdagangan tuna dan dampak terhadap pendapatan, di duga signifikan

memengaruhi kemampuan atau kesediaan untuk menerima pembayaran dengan

menggunakan model persamaan multiple regression. Hasil sintesa atas

pengolahan data menghasilkan bahwa nilai R square pada model ini nilainya

adalah 0,996 yang menunjukkan bahwa seberapa besar pengaruh variabel-variabel

penduga dalam menentukan peluang responden bersedia dibayar (WTA). Dengan

kata lain, 99,6 persen peluang respon bersedia untuk dibayar apabila dilakukan

larangan penangkapan baby tuna.

Sementara hasil sintesa pada penetapan variabel in the equation, maka

nilai koefisien dari setiap peubah pada model persamaan regresi disajikan pada

Tabel 20 yang ditunjukan pada nilai signifikan nilai kepecayaan 99 persen.

148

Tabel 20. Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima

Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bitung

2012

Coefficien

ts

Standard

Error t Stat P-value

Lower

95%

Upper

95%

Lower

95.0%

Upper

95.0%

Intersep

-271501.85

76 1691412.03

-0.1605178

71

0.882672

927

-5654329.8

21

5111326.1

06

-5654329.8

21

5111326.1

06

Umur 128813.74

63 15838.3984 8.1330032

89 0.003886

622 78408.893

81 179218.59

87 78408.893

81 179218.59

87

Pendidikan

-

78324.6366

38801.79022

-

2.018583064

0.13684334

-

201809.2505

45159.97732

-

201809.2505

45159.97732

Pendapatan

0.203017325

0.023448626

8.657962377

0.00324153

0.128393331

0.27764132

0.128393331

0.27764132

Lingkungan

-

492251.3052

200132.8332

-

2.459622927

0.090897998

-

1129163.301

144660.6905

-

1129163.301

144660.6905

Pengetahuan

114699.1526 147241.93

0.778984306

0.492789732

-

353890.3833

583288.6886

-

353890.3833

583288.6886

Kepentingan

874425.4573

276364.7804

3.164026386

0.050713466

-

5090.616762

1753941.531

-

5090.616762

1753941.531

Persetujuan

-

652544.3475

76164.88169

-

8.567522629

0.003341989

-

894934.9938

-

410153.7012

-

894934.9938

-

410153.7012

Pemanfaa

tan

1128123.6

13

293706.560

1

3.8409888

17

0.031128

702

193418.25

6

2062828.9

7

193418.25

6

2062828.9

7

Aturan

-

934489.42

47

234233.790

8

-

3.9895585

58

0.028200

658

-

1679925.8

87

-

189052.96

27

-

1679925.8

87

-

189052.96

27

Perdagan

gan

-

393041.81

95

292539.691

1

-

1.3435504

02

0.271680

639

-

1324033.6

78

537950.03

93

-

1324033.6

78

537950.03

93

Dampak

-

275987.81

79

139855.842

6

-

1.9733735

31

0.142976

35

-

721071.52

73

169095.89

16

-

721071.52

73

169095.89

16

Sumber: Data diolah

4) Analisa faktor yang memengaruhi WTA

Tabel 16 di atas merupakan hasil sintesa atas pengolahan data yang

menghasilkan nilai variable in the equation dari persamaan regresi berikut:

Y WTA= -2,7150 + 1,2881 X1 -7,832 X2 + 0,0203 X3 - 4,9225 X4 + 1,1469

X5 + 8,7442 X6 – 6,5254X7 + 1,1281 X8 - 9,3448 X9 - 3,9304 X10 -

2,7598 X11

Hasil analisa dari model regresi YWTA maka koefisien dari model WTA

tersebut yang signifikan adalah variabel pendapatan, persetujuan dan umur, yaitu

sebesar 0,003 (P-Value) lebih kecil daripada 0,05. Artinya, setiap kenaikan 1 unit

pendapatan akan mengakibatkan kenaikan 2,03 kali kesediaan untuk menerima

pembayaran (WTA). Dengan kata lain, bila terjadi kenaikan kesediaan untuk

149

menerima pembayaran jasa lingkungan dari masyarakat sebesar 2,03 kali maka

secara signifikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan terjadi pula kenaikannya

pada tingkat kepercayaan 99 persen. Selain pendapatan, variabel lain yang juga

berpengaruh signifikan adalah persetujuan sebesar 0.003 (penurunan 6,52 kali

untuk 1 unit), umur sebesar 0,003 (kenaikan 1,28 kali untuk 1 unit), aturan sebesar

0,02 (penurunan 9,34 kali untuk 1 unit), dan dampak pemanfaatan sebesar 0,03

(kenaikan 112 kali untuk 1 unit).

Tabel 21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012

No Nama WTA Pendapatan Tetap

1 Rml 4.320.000 21.600.000

2 RD 3.600.000 18.000.000

3 JB 4.500.000 18.000.000

4 NM 3.600.000 18.000.000

5 Mx 3.600.000 18.000.000

6 Srd 4.320.000 24.000.000

7 Jhr 5.250.000 21.000.000

8 Jh L 7.200.000 24.000.000

9 Tbh 3.600.000 15.600.000

10 RR 4.320.000 21.600.000

11 EW 6.000.000 30.000.000

12 Sml 6.300.000 18.000.000

13 TT 9.000.000 30.000.000

14 Le 2.400.000 12.000.000

15 FM 3.600.000 18.000.000

Total Per Tahun 4.774.000 20.520.000

Total per Bulan 397.833 1.710.000

Sumber: Data diolah

5.5 Analisa AWOT

Posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dipengaruhi

oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian ini mengkombinasikan teknik-teknik

pembobotan (weighting) terhadap faktor internal dan eksternal dengan teknik

perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari Saaty (1983). Menurut

Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini

menghasilkan teknik yang disebut sebagai AWOT atau AHP-SWOT. Cara ini

akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti.

5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Strategi diplomasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas

yang dikelola oleh WCPFC disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal

150

dan eksternal. Faktor internal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam

lingkungan organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia,

sedangkan faktor eksternal adalah factor yang berasal dari luar (Pearce &

Robinson, 1997).

A. Faktor Internal

Kekuatan (Strength)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan

internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor

diidentifikasi sebagai kekuatan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.

Kekuatan-kekuatan tersebut mencakup:

1) Adanya asosiasi perikanan tuna. Pengusaha perikanan tuna mempunyai

organisasi dalam memperjuangkan haknya serta berbagai informasi dalam

pelaksanaan usahanya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor Kep.14/Men/2012 tentang Pedoman Umum Penumbuhan dan

Pengembangan Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan, Asosiasi Perikanan

didefinisikan sebagai kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang

mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama. Adapun

organisasi pengusaha perikanan tuna di Indonesia, yaitu Asosiasi Tuna

Indonesia (ASTUIN) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI).

2) Pelayanan perikanan satu atap. Pelayanan perikanan satu atap dilakukan di

kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, seperti Otoritas

Pengelolaan Pelabuhan Perikanan terkait dengan pelayanan SHTI (Sertifikat

Hasil Tangkapan Ikan), PSDKP terkait dengan pelayanan SLO (Surat Laik

Operasi), dan Syahbandar Perikanan terkait dengan SPB (Surat Persetujuan

Berlayar) dan STBLK (Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan) kapal.

Pelayanan satu atap ini memudahkan pelaku usaha perikanan tangkap,

khususnya pemilik kapal dalam mengurus dokumen operasional penangkapan

dan pengangkutan ikan.

3) Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia. Fasilitas pelabuhan

merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk

151

mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Adapun fasilitas di

PPS Bitung, yaitu (DJPT, 2009):

a. Fasilitas pokok di PPS Bitung relatif lengkap dimana fasilitas-fasilitas

yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan tambat labuh tersedia.

Sebagian besar fasilitas dalam kondisi baik dan dimanfaatkan sesuai

dengan peruntukkannya. Namun demikian, masih ada fasilitas pokok yang

pemanfaatannya tidak sesuai seperti Pencegah Benturan Kapal (fender). Data

selengkapnya mengenai fasilitas pokok disajikan pada Tabel 22.

b. Fasilitas fungsional PPS Bitung sebagian besar dalam kondisi baik dan

pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya

mengenai fasilitas fungsional di PPS Bitung disajikan pada Tabel 23.

c. Fasilitas penunjang digunakan untuk mendukung aktifitas operasional

pelabuhan dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan

peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas penunjang di PPS

Bitung disajikan pada Tabel 24.

Tabel 22. Fasilitas Pokok PPS Bitung

Nama Fasilitas Jumlah

(unit) Volume

Satuan

Volume Kondisi Manfaat

Areal Daratan

Pelabuhan 1 4,6 ha Baik Sesuai

Dermaga 2 1.764-

1.610

m² Baik Sesuai

Kolam Pelabuhan 1 6 ha Baik Sesuai

Alur Pelayaran 1 Baik Sesuai

Pencegah Benturan

Kapal (Fender) 25 m Baik

Tidak

Sesuai

Tempat Tambat

(Bollard) 25 m Baik Sesuai

Jalan 1 7.185 m² Baik Sesuai

Drainase 1 490 m² Baik Sesuai

152

Tabel 23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung.

Nama Fasilitas Jumlah

(unit) Volume

Satuan

Volume Kondisi Manfaat

Tempat Pelelangan

Ikan (TPI) 1 1.420 m² Baik Sesuai

Menara Pengawas 1 9 m² Baik Sesuai

Penampung/Tangki Air 1 938 m3 Baik Sesuai

Pengolahan Air 1 9,38 m³ Baik Sesuai

Pabrik Es 1 1 ha Baik Sesuai

Gudang Es 1 500 m³ Baik Sesuai

Mesin Penghancur Es 3 Unit Baik Sesuai

Genset 1 Baik Sesuai

Daya Listrik 7,158,125 Paket Baik Sesuai

Rumah Genset 1 99 m² Baik Sesuai

SPBN 1 616

m² Baik Sesuai

Tangki BBM 1 1.000 KL Baik Sesuai

Docking 1 1

ha Baik Sesuai

Bengkel 1 Baik Sesuai

Perbaikan Jaring 1 9 m² Baik Sesuai

Tempat Pengolahan

Ikan 1 1 m² Baik Sesuai

Tempat Penyimpanan

Ikan Segar 1 1 m² Baik Sesuai

Cold Storage 1 1 ha

Lab Pembinaan dan

Pengujian Mutu Hasil

Perikanan

1 928,13 m² Baik Sesuai

Syahbandar 1 168,92 m² Baik Sesuai

Kantor Administrasi

Pelabuhan 1 651,50 m² Baik Sesuai

Kantor Pengawas

Perikanan 1 19,50 m² Baik Sesuai

Kendaraan Inventaris

Roda 4 2 Unit Baik Sesuai

Kendaraan Inventaris

Roda 2 1 Unit Baik Sesuai

Tempat Parkir 1 ha Baik Sesuai

Kapal Pengawas 1 Unit Baik Sesuai

IPAL 1 20 m² Baik Sesuai

153

Tabel 24. Fasilitas penunjang PPS Bitung.

Nama Fasilitas Jumlah

(unit) Volume

Satuan

Volume Kondisi Manfaat

Mess Karyawan 3 240,88 m² Baik Sesuai

Pos Jaga 2 42,25 m² Baik Sesuai

Pos Pelayanan Terpadu 1 150 m² Baik Sesuai

Guest House 2

Tempat Peribadatan 2

935,52 m² Baik Sesuai

Klinik Kesehatan 1

150

MCK 1 45 m² Baik Sesuai

Waserda/toko 4 30,71 m² Baik Sesuai

4) Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil. Pancing

hand line berkembang di Bitung. Hal ini dalam rangka menekan biaya

operasional laut yang monthly fishing menjadi one day fishing. Dengan

demikian, Anak Buah Kapal (ABK) purse seine berubah menjadi hand line.

5) Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan analisa

peraturan perundang-undangan tingkat nasional, peraturan perundang-

undangan Indonesia dalam pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan

perikanan di laut lepas cukup lengkap. Bahkan, perkembangan terakhir, sudah

ada aturan usaha perikanan tangkap di laut lepas, yaitu Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012.

6) Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Estimasi jumlah

tangkapan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

(Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi

Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik

Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP Nomor

45/Men/2011 yaitu sebesar 6.520.100 ton/tahun, dimana ikan pelagis kecil

menempati urutan pertama, yaitu 3.645.700 ton/tahun, kemudian ikan

demersal (1.452.500 ton/tahun), ikan pelagis besar (1.145.400 ton/tahun),

ikan karang konsumsi (145.300 ton/tahun), udang penaeid (98.300 ton/tahun),

cumi-cumi (28.300 ton/tahun), dan lobster (4.800 ton/tahun). Sementara

154

berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu 1.059.000

ton/tahun, kemudian WPP 713 (929.700 ton/tahun), WPP 718 (855.500

ton/tahun), WPP 712 (836.600 ton/tahun), WPP 715 (595.600 ton/tahun),

WPP 572 (565.200 ton/tahun), WPP 573 (491.700 ton/tahun), WPP 716

(333.600 ton/tahun), WPP 717 (299.100 ton/tahun), WPP 714 (278.000

ton/tahun), dan WPP 571 (276.000 ton/tahun.

7) Perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik

diindikasikan sebagai spawning ground yellowfin. Sebagaimana Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, terdapat 11 WPP Republik

Indonesia. Kedua WPP-RI tersebut diindikasikan sebagai spawning ground

tuna yellowfin (yellowfin). Adapun kedua WPP-RI tersebut, yaitu WPP 716

(Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), meliputi Provinsi

Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan

Provinsi Gorontalo; dan WPP 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan

Samudera Pasifik), meliputi : Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan

Provinsi Maluku Utara.

8) Jumlah armada penangkapan dan nelayan pada WPP 716 dan 717 cukup

besar. Data statistik perikanan tangkap per WPP tahun tahun 2011

menunjukan bahawa terdapat 754 kapal penangkapan ikan, dimana 84 persen

atau 630 kapal berukuran antara 20 -100 GT

Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode

perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada

Gambar 25 dan Tabel 25.

Gambar 25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan

M o d e l N a m e : S t r e n g t - S

Priorities with respect to:

Goal: Kekuatan

Adanya asosiasi perikanan tuna .058

Pelayanan perikanan satu atap .088

Pelabuhan perikanan dan sarana .099

Terdapat pelaku usaha perikana .036

Kelengkapan peraturan perundan .137

Adanya estimasi jumlah tangkap .169

Perairan Laut Sulawesi dan ZEE .373

Jumlah armada penangkapan dan .041

Inconsistency = 0.02

with 0 missing judgments.

Page 1 of 12/17/2013 11:02:21 AM

akhmad solihin

155

Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio

No. Aspek Skor

Bobot Rangking

1 Adanya asosiasi perikanan tuna 0,035 6

2 Pelayanan perikanan satu atap 0,053 5

3 Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0,059 4

4 Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala

industri dan kecil

0,022 8

5 Kelengkapan peraturan perundang-undangan

Indonesia

0,082 3

6 Adanya estimasi jumlah tangkapan yang

diperbolehkan

0,101 2

7 perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di

Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning

Gound yellow fin tuna

0,224 1

8 Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup

besar

0,024 7

Hasil analisis pembobotan faktor kekuatan yang memberikan peluang

menunjukkan bahwa perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera

Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellow fin tuna mendapatkan

bobot relatif tertinggi (0,224) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif

lainnya adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (0,101),

kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia (0,082), pelabuhan

perikanan dan sarana penunjang tersedia (0,059), pelayanan perikanan satu atap

(0,053), adanya asosiasi perikanan tuna (0,035), jumlah armada penangkapan dan

nelayan cukup besar (0,024), dan terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala

industri dan kecil (0,022)

(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup

konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat

dilakukan apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau

melakukan pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983).

Tabel 21. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan

156

Kelemahan (Weaknes)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan

internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor

diidentifikasi sebagai kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.

Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup:

(1) Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan. Kementerian Kelautan dan

Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat

Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia Menurut Peraturan Menteri ini, jalur

penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:

a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi

perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air

laut pada surut terendah, dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi

perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.

b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan

ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut

terendah.

c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur

penangkapan ikan II.

(2) Sistem pendataan perikanan Indonesia masih belum baik. Permasalahan

klasik dan mendasar dalam pengelolaan perikanan Indonesia adalah

lemahnya sistem pendataan. Namun demikian, dalam perkembangannya,

sistem pendataan perikanan tangkap dibenahi dengan cara dikeluarkannya

aturan logbook penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Per.18/Men/2010. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam

konsideran menimbang, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan

pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta

terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi

perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam

logbook penangkapan ikan. Alur dan mekanisme pelaksanaan logbook

157

Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Permen KP Nomor

18/Men/2010 disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26. Alur dan Mekanisme Logbook Penangkapan Ikan

(3) Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal. Berdasarkan

analisa peraturan sebelumnya, bahwa kegiatan observer dan board inspection

sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 dan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012. Namun

program tersebut dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan jumlah

sumberdaya manusia.

(4) Pelaksanaan VMS masih belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan

sebelumnya, kewajiban penggunaan VMS diatur dengan UU No. 31 Tahun

2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.05/Men/2007, Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.12/Men/2012, dan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2012. Namun demikian, banyak

nelayan yang tidak mengaktifkan VMS tersebut.

158

(5) Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Setiap WPP-NRI

seharusnya memilki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Namun untuk

kedua WPP tersebut hingga saat ini belum ditetapkan dalam suatu Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan dokumen RPP yang disahkan

secara hukum, dikhawatirkan mendukung kerusakan sumberdaya dan

ekosistem perairannya.

(6) NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi

peraturan. National Plan of Action (NPOA) untuk IUU Fishing dan Shark

merupakan dokumen yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola IUU

Fishing dan hiu. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menetapkannya

sebagai dokumen hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan pengelolaan

hiu dan pemberantasan IUU fishing.

(7) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi

tawar pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang

diapit dua samudera yang didalamnya menyimpang potensi sumberdaya ikan.

Perkembangan hukum internasional, menempatkan laut lepas bukan lagi

sebagai kawasan bebas untuk penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan, hukum

internasional memberikan mandat kepada RFMO untuk mengelola suatu

kawasan laut lepas. Oleh karena itu, dalam mensejajarkan diri dengan Negara

tetangga, maka Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan posisi

tawar pemerintah Indonesia dalam forum internasional atau regional.

(8) Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal

penangkapan berukuran kecil. Armada perikanan nasional Indonesia

didominasi oleh armada penangkapan ikan skala kecil. Pada tahun 2011, dari

58.651 unit armada penangkapan ikan pada WPP 716 dan 717 didominasi

oleh armada perikanan tangkap skala kecil, yaitu perahu tanpa motor

sebanyak 28.583 unit (48,73%), motor tempel sebanyak 23.198 (39,55%),

dan kapal motor sebanyak 6870 unit (11,62%).

Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode

perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada

Gambar 27 dan Tabel 26.

159

Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan

Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan

No. Aspek Skor

Bobot Rangking

1 Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0,018 7

2 System pendataan perikanan Indonesia masih

belum baik

0,034 5

3 Pelaksanaan observer dan board inspection belum

optimal

0,047 4

4 Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0,028 6

5 Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera

Pasifik

0,096 1

6 NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum

ditetapkan menjadi peraturan

0,071 3

7 Belum adanya kebijakan dan strategi nasional

dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah

Indonesia.

0,094 2

8 Armada penangkapan ikan nasional didominasi

oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil

0,012 8

Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio

(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup

konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk

analisis lebih lanjut.

Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang

menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (0,096)

dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya

kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah

Indonesia (0,094), NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan

160

menjadi peraturan (0,071), pelaksanaan observer dan board inspection belum

optimal (0,047), system pendataan perikanan Indonesia masih belum baik (0,034),

pelaksanaan VMS masih belum optimal (0,028), penempatan rumpon tidak sesuai

peraturan (0,018) dan Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-

kapal penangkapan berukuran kecil (0,012)

B. Eksternal

Peluang (Opportunity)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan

internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor

diidentifikasi sebagai peluang dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.

Peluang-peluang tersebut mencakup:

1) Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Mengacu

kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/Men/2011

tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia, WPP 716 dan 717 untuk skipjack

berstatus moderate.

2) Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan. Minapolitan dan

industrialisasi perikanan merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan

Perikanan dalam mendorong industri perikanan, termasuk didalamnya adalah

untuk komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Kebijakan ini mendukung

pengembangan industri tuna di Indonesia. Landasan hukum kebijakan

industrialisasi perikanan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Per.27/Men/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi

Kelautan dan Perikanan. Sementara landasan hukum pengembangan

minapolitan, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

Per.18/Men/2012.

3) Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies. WCPFC mengeluarkan

beberapa CMM untuk melakukan mitigasi terhadap kematian non-target

spesies, seperti burung laut, penyu, hiu, dan Cetaceans.

161

4) Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten. Konvensi WCPFC

memuat ketentuan mengenai pertimbangan nelayan artisanal dan subsisten.

Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 butir h Konvensi WCPFC.

5) Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari

embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota

WCPFC

6) Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC . Status Indonesia sebagai

CNM hanya memiliki hak bicara dalam setiap pertemuan, sementara member

akan memilki hak suara. Dengan demikian, keterlibatan aktif Indonesia dalam

WCPFC akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan

informasi diantara negara anggota serta terhindar dari ancaman embargo.

7) Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta

memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara

negara anggota

Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode

perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada

Gambar 28 dan Tabel 27.

Gambar 28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang

162

Tabel 27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang

No. Aspek Skor

Bobot Rangking

1 Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.033 7

2 Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan

perikanan

0,047 6

3 Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies

(burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans)

0,099 4

4 Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0,073 5

5 Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari

WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor

produk perikanan Indonesia oleh negara-negara

anggota WCPFC.

0,133 3

6 Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0,333 1

7 Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang

diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia

dalam hal pertukaran data dan informasi diantara

negara anggota

0,282 2

Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio

(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup

konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk

analisis lebih lanjut.

Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang

menunjukkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC

mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,333) dibandingkan faktor lainnya. Urutan

bobot relatif lainnya adalah Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang

diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan

informasi diantara negara anggota (0,282); Tersedianya bantuan teknis dan

finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan

Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC (0,133); Kajian dan mitigasi

kematian non-target spesies (burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans) (0,099);

Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten (0,073); Regulasi/kebijakan

industrialisasi dan minapolitan perikanan (0,047); dan Potensi SDI belum

dimanfaatkan secara optimal (0.033)

163

Ancaman (Threat)

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan

internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor

diidentifikasi sebagai ancaman dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.

Ancaman-ancaman tersebut mencakup:

(1) Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing. Perairan Sulawesi umumnya

menjadi tempat praktik-praktik illegal fishing nelayan Filipina. Nelayan

Filipina sekarang banyak menggunakan pump boat untuk mencuri ikan di

Indonesia.

Gambar 29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung

(2) Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Dalam

rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, maka WCPFC

mengeluarkan CMM 2008-02 (Conservation and Management Measure

for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC) untuk melarang

penangkapan baby tuna, untuk tuna yellowfin dan bigeye. Hal ini harus

menjadi perhatian stakeholder perikanan tuna Indonesia, karena bisa

berdampak terhadap embargo ekspor tuna Indonesia.

(3) Transshipment di tengah laut. Salah satu praktik-praktik IUU Fishing yang

marak di wilayah Bitung adalah transshipment di tengah laut. Ikan hasil

tangkapan transshipment tersebut dibawa ke Filipina, yaitu General

Santos.

(4) Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia.

Wilayah penerapan WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3

memasukan wilayah perairan kepulauan Indonesia. Hal ini menimbulkan

164

penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi

WCPFC.

(5) Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang

dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific

Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North

Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark.

Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM.

(6) Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 (FAD Closures And

Catch Retention) mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam

penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse

seine Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan.

(7) Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela

telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana

diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of

Action (IPOA) untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC,

mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu

dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing.

(8) Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan

dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC

yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia

adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan

oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa

mendapatkan teguran atau bahkan sanksi.

Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode

perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada

Gambar 33 dan Tabel 28.

Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman

Model Name: Threath-T

Priorities with respect to:

Goal: Ancaman

Kegiatan illegal fishing oleh .022

Larangan penangkapan baby tuna .291

Transhipment di tengah laut .032

Wilayah penerapan WCPFC memasu .167

Pembatasan penangkapan spesies .217

Pembatasan penggunaan rumpon .116

Beberapa ketentuan internasion .098

Aturan pengelolaan SDI di wila .056

Inconsistency = 0.02

with 0 missing judgments.

Page 1 of 12/17/2013 11:59:15 AM

akhmad solihin

165

Tabel 28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman

No. Aspek Skor

Bobot Rangking

1 Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0,009 8

2 Aturan internasional yang melarang penangkapan

baby tuna

0,116 1

3 Transhipmen di tengah laut 0,013 7

4 Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan

kepulauan Indonesia

0,067 3

5 Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0,087 2

6 Pembatasan penggunaan rumpon 0,046 4

7 Beberapa ketentuan internasional yang pada

awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi

bersifat wajib dan mengikat.

0,039 5

8 Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi

nasional diindikasikan dikendalikan oleh

internasional dan regional

0,023 6

Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio

(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup

konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk

analisis lebih lanjut.

Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang

menunjukkan bahwa aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna

mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,116) dibandingkan faktor lainnya. Urutan

bobot relatif lainnya adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu (0,087);

wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia (0,067);

pembatasan penggunaan rumpon (0,046); beberapa ketentuan internasional yang

pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat

(0,039); pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan

dikendalikan oleh internasional dan regional (0,023); transhipmen di tengah laut

(0,013); dan kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing (0,009).

5.5.2 Matriks IFE dan EFE

Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,

maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta

matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.

166

Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti

yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden

dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan

rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk

mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut

dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada

Tabel 29.

Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna

Faktor Strategis Internal Rata-rata

Skor Bobot Rating

kekuatan

A Adanya asosiasi perikanan tuna 0.035 2 0.070

B Pelayanan perikanan satu atap 0.053 2 0.106

C Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0.059 2 0.119

D Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala

industri dan kecil

0.022 1 0.022

E Kelengkapan peraturan perundang-undangan

Indonesia

0.082 3 0.247

G Adanya estimasi jumlah tangkapan yang

diperbolehkan

0.101 3 0.304

H perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di

Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning

0.224 4 0.895

I Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup

besar

0.024 2 0.048

0.6

Kelemahan

K Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0.018 2 0.037

L System pendataan perikanan Indonesia masih belum

baik

0.034 2 0.068

M Pelaksanaan observer dan board inspection belum

optimal

0.047 2 0.094

N Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0.028 2 0.055

O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0.096 4 0.382

P NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum

ditetapkan menjadi peraturan

0.071 3 0.212

Q Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam

meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia

0.094 3 0.283

R Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh

kapal-kapal penangkapan berukuran kecil

0.012 1 0.012

0.400

Total 1 2.954

167

Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan

bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam

kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954.

Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan

adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik

diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah

Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam

setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya

diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan

penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan

spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah.

Faktor kedua adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang

diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia

merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam

pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik

adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana

tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan

Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan

perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah

lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian,

kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan

Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian

yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan

dan bertanggung jawab.

Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana

Pengelolaan Perikanan (RPP) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai

sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan

perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah

kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam

meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174.

Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga

168

kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat

utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU

Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA

tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU

Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action (IPOA) yang bersifat

softlaw. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah

menjadi hardlaw melalui CMM.

Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna

dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh

jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini

memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam

level rata-rata.

Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna

Faktor strategis eksternal Rata-rata

Skor Bobot Rating

A Peluang

Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal

0.0198

1

0.020

B Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan 0.0282 2 0.056

C Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies 0.0594 3 0.178

D Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0.0438 2 0.088

E Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta

terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia

oleh negara-negara anggota WCPFC

0.0798 3 0.239

F Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0.1998 4 0.799

G Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil

WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran

data dan informasi diantara negara anggota

0.1692 3 0.508

0.6

Ancaman

H Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0.009 2 0.018

I Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna 0.116 4 0.466

J Transhipmen di tengah laut 0.013 2 0.026

K Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan

Indonesia

0.067 3 0.200

L Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0.087 2 0.174

M Pembatasan penggunaan rumpon 0.046 2 0.093

N Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat

sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat

0.039 2 0.078

P Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional

diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional

0.023 1 0.023

0.4

Total 1.000 2.965

169

Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi

Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat

dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang

dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi

MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan.

Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi

keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam

hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar

0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan

berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga

adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari

embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC

dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa

keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga

mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di

wilayah WCPFC.

Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah

aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki

nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM

yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh

karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga

telah dikeluarkan.

Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki

perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah

penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam

ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan

catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan

RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies

tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga

keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari

perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2.954

dan 2.965. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan

170

menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima

(V) seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik

yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang

selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara

penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system

pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan.

Total Rata-rata Tertimbang IFE

Kuat Rata-rata Lemah

(3,0-4.0) (2,0-2,99) (1,0-1,99)

Tinggi

(3,0-4,0)

Total Sedang

Rata-rata (2,0-2,99)

Tertimbang EFE Rendah

(1,0-1,99)

Gambar 31 Matriks IE

5.6 Strategi Kebijakan

Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal,

selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks

SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT.

perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu

kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi

yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strength-opportunities), ST (strength-

threats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats) yang

dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun

dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 27.

I II III

IV VI

VII VIII IX

V

T

abel

31. M

atri

k S

WO

T u

ntu

k P

eru

musa

n S

trat

egi

Dip

lom

asi

Indones

ia

I

FA

S

E

FA

S

Kek

ua

tan

(S

tren

gth

s)

S1

. A

dan

ya

aso

siasi

per

ikanan

tuna;

S2

. P

elay

anan

per

ikanan s

atu a

tap

;

S3

. P

elab

uhan

per

ikanan

dan

sar

ana

pen

unja

ng t

erse

dia

;

S4

. T

erd

apat

pel

aku u

saha

per

ikan

an t

ang

kap

skal

a

ind

ust

ri d

an k

ecil

;

S5

. K

elen

gkap

an p

erat

ura

n p

erund

ang

-und

angan

Ind

ones

ia;

S6

. A

dan

ya

esti

masi

ju

mla

h t

ang

kap

an y

ang

dip

erb

ole

hkan

;

S7

. S

pa

wn

ing

Go

un

d

yell

ow

fin

tu

na

;

S8

. Ju

mla

h a

rmad

a p

enan

gkap

an d

an n

elayan c

uk

up

bes

ar;

Kel

em

ah

an

(W

ea

kn

esse

s)

W1

. P

enem

pat

an r

um

po

n t

idak

ses

uai

per

atura

n;

W2

. S

yst

em

pend

ataa

n p

erik

anan

Ind

ones

ia m

asih

bel

um

bai

k;

W3

. P

elak

sanaa

n o

bse

rver

dan

bo

ard i

nsp

ecti

on b

elu

m

op

tim

al;

W4

. P

elak

sanaa

n V

MS

mas

ih b

elu

m o

pti

mal

;

W5

. B

elum

ad

a R

PP

Lau

t S

ula

wesi

dan

Sam

ud

era P

asif

ik;

W6

. N

PO

A I

UU

Fis

hin

g d

an S

ha

rk M

an

ag

emet

bel

um

dit

etap

kan

men

jad

i p

erat

ura

n;

W7

. B

elum

ad

anya

keb

ijak

an d

an s

trat

egi

nas

ional

dal

am

men

ing

kat

kan p

osi

si t

aw

ar p

emer

inta

h I

nd

onesi

a;

W8

. A

rmad

a p

enan

gkap

an i

kan n

asi

onal

did

om

inas

i o

leh

kap

al-k

apal

pen

ang

kap

an b

eru

kura

n k

ecil

Pel

ua

ng

(O

pp

ort

un

itie

s)

O1

. P

ote

nsi

SD

I b

elu

m d

iman

faat

kan

sec

ara

op

tim

al;

O2

. R

egu

lasi

/keb

ijak

an i

nd

ust

rial

isas

i p

erik

anan

dan

min

apo

lita

n;

O3

. K

ajia

n d

an m

itig

asi

kem

atia

n n

on-t

arget

spes

ies;

O4

. M

emp

erti

mb

ang

kan

nel

ay

an a

rtis

anal

dan

sub

sist

en;

O5

. T

erse

dia

nya

ban

tuan

tek

nis

dan

fin

ansi

al d

ari

WC

PF

C;

O6

. P

enguat

an p

osi

si I

nd

onesi

a d

alam

fo

rum

WC

PF

C;

O7

. D

apat

mem

engar

uh

i kep

utu

san

-kep

utu

san

yan

g d

iam

bil

WC

PF

C s

erta

mem

ud

ahkan

Ind

ones

ia d

alam

hal

per

tukar

an d

ata

dan

info

rmas

i d

ianta

ra n

egar

a an

ggo

ta

SO

SO

1.

Pen

elit

ian p

erik

anan s

ecar

a ru

tin (

S3

, S

6,

S7

, S

8,

S9

, O

1,

O3

, O

4,

O5

, O

6,

O7

)

SO

2.

Pen

gem

bangan f

asil

itas

dan

pel

ayanan p

elab

uhan

per

ikan

an (

S1

, S

2,

S3

, S

4,

S8

, O

1,

O2

, O

4)

SO

3.

Pen

guat

an p

eran

aso

siasi

per

ikan

an t

una

(S1

, S

4,

O1

, O

2,

O4

)

WO

WO

1.

Pen

gem

ban

gan

sis

tem

info

rmas

i d

an d

ata

(W2

, W

3,

W4

, O

1,

O3

, O

4,

O5

, O

6,

O7

)

WO

2. P

enin

gkat

an M

CS

(W

1,

W2

, W

3, W

4, W

5, W

7,

O3

,

O4

, O

5)

WO

3. P

enet

apan

do

ku

men

RP

P (

W5,

W6,

W7,

O1

, O

2, O

3,

O4

, O

5,

O6

, O

7)

WO

4. P

enguata

n a

rmad

a ta

ng

kap

(W

1,

W8

, O

1, O

2,

O4

)

171

An

cam

an

(T

hre

ats

)

T1.

Keg

iata

n i

lleg

al f

ishin

g o

leh n

elayan a

sing

;

T2.

Atu

ran i

nte

rnas

ional

yan

g m

elar

ang

pen

angkap

an b

aby t

una;

T3. T

ranss

hip

men

t d

i te

ngah

lau

t;

T4.

Wil

ayah p

ener

apan

WC

PF

C m

em

asu

ki

per

aira

n k

epula

uan

Ind

ones

ia;

T5.

Pem

bat

asan

pen

an

gkap

an s

pes

ies

tert

entu

.

T6.

Pem

bat

asan

pen

ggu

naa

n r

um

po

n;

T7.

Beb

erap

a ket

entu

an i

nte

rnas

ional

yan

g p

ada

aw

aln

ya

ber

sifa

t su

kar

ela

tela

h b

erub

ah

men

jad

i b

ersi

fat

waj

ib d

an m

engik

at;

T8.

Pen

gel

ola

an s

um

ber

daya

di

wil

ayah

yuri

sdik

si

nas

ional

dii

nd

ikas

ikan d

ikend

alik

an o

leh

inte

rnasi

onal

dan r

egio

nal;

ST

ST

1. P

enguat

an s

iste

m p

eneg

akan

huk

um

(S

2,

S5

, T

1,

T2, T

3, T

5, T

6, T

7)

ST

2. P

enguat

an k

erja

sam

a re

gio

nal

den

gan W

CP

FC

(S1

, S

2,

S3

, S

4,

S6,

S7

, S

8,

S8

, T

2, T

4, T

5,T

6, T

7,

T8)

WT

WT

1.

Sin

ergis

asi

atu

ran p

em

asa

ngan

ru

mp

on (

W1

, T

1, T

2,

T5, T

6)

172

173

Berdasarkan analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi

yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Strategi Strength-Opportunities (SO)

Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk

memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang

diperoleh, maka strategi yang seharusnya dilakukan adalah penelitian perikanan

secara rutin. Hal ini didasarkan adanya perbaikan data setiap tahun terkait dengan

estimasi, penelitian spawning ground yang dapat dijadikan alat diplomasi, dan

adanya bantuan teknis dan keuangan sehingga perlu peningkatan penelitian yang

dasar dan strategis.

Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah pengembangan fasilitas dan

pelayanan pelabuhan perikanan. Pengembangan fasilitas dan pelayanan di

pelabuhan perikanan. Strategi ini berdasarkan adanya dukungan dari pemerintah

yang dicerminkan dengan program minapolitan dan industrialisasi perikanan.

Sementara strategi ketiga yang dapat dilakukan adalah penguatan peran

asosiasi perikanan tuna. Strategi ini didasari oleh keberadaan asosiasi tuna,

sehingga memudahkan dalam memfasilitasi kepentingan pemerintah dan

pengusaha perikanan tuna.

b. Strategi ST (strength-threats)

Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk

menghindari ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah

penguatan sistem penegakan hukum. Strategi ini ditempuh untuk menciptakan

efektivitas penegakan hukum, mulai dari pengawasan hingga penyidikan. Hal ini

untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.

Strategi kedua adalah penguatan kerjasama regional dengan WCPFC.

Hingga saat ini, Indonesia berstatus sebagai contracting non-member atau negara

peninjau. Oleh karena itu, perlu penguatan kerjasama dengan keterlibatan aktif di

WCPFC.

c. Strategi WO (weakness-opportunities)

Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan

memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah

pengembangan sistem informasi dan data. Strategi ini didasari oleh lemahnya

174

sistem pendataan Indonesia sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah dalam

penentuan kebijakan.

Strategi kedua adalah Peningkatan MCS. Kelemahan yang dapat dihindari

dari strategi ini adalah belum optimalnya penggunaan logbook penangkapan ikan,

observer dan board inspection serta penggunaan trasmiter. Strategi ini

memanfaatkan peluang berupa tersedianya bantuan teknis dan finansial.

Sementara strategi ketiga adalah Penetapan dokumen RPP. Strategi ini didasari

oleh belum adanya dokumen pegangan dalam mengelola suatu wilayah. Ketiadaan

dokumen menyebabkan kebingungan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Sedangkan strategi WO yang keempat adalah penguatan armada tangkap. Strategi

ini didasari oleh perpindahan penggunaan perahu besar menjadi lebih kecil dan

bersifat individual. Peluang yang digunakan pada strategi ini adalah potensi belum

dimanfaatkan secara optimal dan peluang pasar yang baik.

d. Strategi WT (weakness-threats)

Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan

menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mensinergikan

aturan pemasangan rumpon sebagaimana yang diatur oleh WCPFC dengan

peraturan Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun perikanan berkelanjutan

yang disebabkan penggunaan rumpon.

Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas

didapatkan tujuh rekomendasi strategi alternative yakni :

1) Penelitian perikanan secara rutin. Strategi ini dalam rangka menghasilkan

data ilmiah terbaik yang tersedia. Salah satu penelitian yang harus

dilakukan adalah mengenai lokasi pasti spawning ground tuna (yellowfin

dan bigeye). Mengingat, lokasi spawning ground kedua tuan tersebut

diindikasikan berada di Indonesia, sehingga kebenaran data tersebut dapat

dijadikan alat dilomasi Indonesia.

2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Strategi ini

dalam rangka mengoptimalkan fungsi pelabuhan dalam kegiatan bisnis dan

pemerintahan, khususnya pencatatan kegiatan perikanan. Pengembangan

fasilitas pelabuhan disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan masing-

masing dan daya dukung infrastrukturnya, seperti listrik. Sementara

175

pengembangan pelayanan adalah dengan cara pelayanan satu atap yang

dilaksanakan di semua pelabuhan perikanan Indonesia. Pelayanan

pemberian izin, perlu pembangunan gedung pelayanan satu atap yang

didalamnya tergabung beberapa lembaga Negara, seperti Pelabuhan

Perikanan, PSDKP, Imigrasi, Bea Cukai, Perhubungan Laut, Badan

Karantina Ikan. Adanya pelayanan satu atap tersebut memudahkan nelayan

dalam setiap pengurusan dokumen perizinan, baik yang terkait dengan

penangkapan maupun dengan pemasaran atau ekspor-impor. Selain itu,

perlu pembuatan system informasi pelayanan yang terintegrasi sehingga

lebih menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan perizinan.

3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna

Pelibatan asosiasi tuna dalam semua aspek, mulai dari penangkapan hingga

pemasaran dapat memudahkan pemerintah dalam pengembangan industry

perikanan tuna di Indonesia umumnya, dan Bitung khususnya. Pelibatan

asosiasi perikanan tuna juga bisa dilakukan pada saat memberikan data dan

informasi untuk pembuatan kebijakan.

4) Penguatan sistem penegakan hokum

Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, system penegakan

hukum perlu ditata dan disinergikan antar lembaga, sehingga strategi ini

mendukung industry perikanan tuna. Selain itu, pemberantasan IUU fishing

di wilayah perairan Laut Sulawesi perlu dilakukan secara koordinatif dan

sinergis, sehingga potensi sumberdaya ikan tidak dicuri oleh nelayan asing.

Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah adanya standar operasional

yang sama antar penegak hukum, sehingga tidak membingungkan nelayan

ketika terjadi pelanggaran. Selain itu, efektivitas penegakan hukum

terhadap pelaku IUU Fishing diharapkan mampu menjamin keberlanjutan

usaha perikanan tuna. Mengingat, IUU Fishing menyumbangkan 30 persen

dari total tangkapan dunia selama ini.

5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC

Dalam rangka memperkuat diplomasi Indonesia di WCPFC, maka

pemerintah Indonesia harus melakukan ratifikasi Konvensi WCPFC

sehingga dengan demikian Indonesia menjadi negara full member

176

(member contracting parties). Perubahan status tersebut menempatkan

Indonesia mempunya hak bicara dan suara, yang selama ini hanya

mempunyai hak bicara karena statusnya negara peninjau (member non-

contracting parties).

6) Pengembangan system informasi dan data

Statistik perikanan Indonesia sebagaimana statistik lainnya di Indonesia

dihadapkan pada permasalahan “keabsahan”. Hal ini dikarenakan, data

dikumpulkan tidak secara benar. Oleh karena itu, pengembangan system

informasi dan data perlu menjadi perhatian pemerintah. Dukungan teknis

dan financial dari lembaga internasional bisa diperoleh dalam pelaksanaan

pengembangan system informasi dan data.

7) Peningkatan MCS

Pemerintan Indonesia sudah memiliki aturan mengenai observer, inspeksi

kapal dan transmitter. Permasalahannya adalah pada tahap pelaksanaan.

Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah peningakatn MCS

yang efektif dan efisien dalam mendukung perikanan berkelanjutan.

8) Penetapan dokumen RPP

Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana

ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun

demikian, pelaksanaan pengelolan WPP tersebut dihadapkan pada

kebingungan apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya

dokumen RPP. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah

menetapkan dokumen RPP sebagai pedoman hukum dalam pengelolaan

WPP.

9) Penguatan armada tangkap

Strategi mendapat dukungan dari program minapolitan dan industrialisasi

perikanan, sehingga pemerintah bisa membangun armada tangkap tuna

yang. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah modernisasi armada

sesuai dengan daya dukung potensi tuna.

10) Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon

WCPFC memiliki aturan mengenai pemasangan rumpon, begitu juga

Indonesia dengan Peratutan Menterinya. Oleh karena itu, strategi yang

177

harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah mensinergikan

pemasangan rumpon yang diatur oleh WCPFC dengan Indonesia,

khususnya di WPP 717 dan 718.

178