68
REFERAT RHINOSINUSITIS KRONIS ALERGIKA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan pendidikan profesi dokter Pembimbing : dr. Dony Hartanto, Sp.THT, M.Kes Disusun Oleh : IDA WULANDARI J500050028 RISA AGUSTINA J500050035 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 1

46594160 Referat Sinusitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat sinusitis

Citation preview

Page 1: 46594160 Referat Sinusitis

REFERAT

RHINOSINUSITIS KRONIS ALERGIKA

Diajukan untuk memenuhi

sebagian persyaratan pendidikan profesi dokter

Pembimbing :

dr. Dony Hartanto, Sp.THT, M.Kes

Disusun Oleh :

IDA WULANDARI J500050028

RISA AGUSTINA J500050035

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

201

1

Page 2: 46594160 Referat Sinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di

dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung

dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau

sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera

Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama

dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung

dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut

adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.1

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama

sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan

sinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran

pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan

bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus

terutama berisi udara.2

Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi

bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan

maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan

intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor

predisposisi yang tak dapat dihindari.

Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan

merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,

diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis

kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan,

baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. Penderita biasanya mempunyai

keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung,

hidung berbau dan penciuman berkurang.6 Berbagai etiologi dan faktor

2

Page 3: 46594160 Referat Sinusitis

predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini, seperti deviasi septum, polip

kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi.6 Menurut Lucas seperti

yang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25%

disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan

ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-

perubahan pada mukosa sinus.3

Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis

maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini

akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini

sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.2 Penyakit

alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing

yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada

kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.3 Gangguan alergi pada

hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu

menyerang sekitar 10 % dari populasi umum.4

Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 %

panduduk diberbagai kota di dunia. Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di Sub

Bagian Alergi-Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah

1,14 % dan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%.5

Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau

lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata

gatal, ingus encer lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan

positif. Hampir 50 % diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis

maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit

(Prick tes, tes tusuk). 7

BAB II3

Page 4: 46594160 Referat Sinusitis

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Sinusitis

Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi dari hidung

dan mukosa sinus paranasal dengan durasi lebih dari 12 minggu. Sinusitis

diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus

disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut

pansinusitis.

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Perdefinisi,

sinusitis kronis berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis

kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar

disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Pada sinusitis akut,

perubahan patologik membrana mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear,

kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, yang semuanya

reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan

irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau

pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi,

regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada

suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan

granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara

4

Page 5: 46594160 Referat Sinusitis

menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam

lapisan submukosa.10

Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam.

Pada era pre-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis

akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam

patofisiologi sinusitis kronis beberapa faktor ikut berperan dalam siklus

peristiwa yang berulang. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak,

sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung

dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan

mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi

kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya

infeksi akan menyebabkan udem konka, sehingga drainase sekret akan

terganggu. Drainase sekret yang terganggu akan menyebabkan silia rusak

dan begitu seterusnya.2

Sinusitis kronik adalah sinusitis yang terjadi lebih dari 8 minggu.

Pada sinusitis kronik, rongga di sekitar lubang hidung (sinus) menjadi

meradang dan bengkak. Ini mengganggu drainase yang menyebabkan

lendir menumpuk. Kondisi umum seperti ini disebut juga rinosinusitis

kronik. Daerah sekitar mata dan wajah mungkin akan terasa bengkak, sakit

wajah atau sakit kepala. Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh infeksi,

tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya polip hidung atau septum hidung

yang bengkok (menyimpang).8

5

Page 6: 46594160 Referat Sinusitis

2. Anatomi Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa

rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali

sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak

lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak

yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8

– 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus

ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun.2

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian

lateral rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus

– sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama

sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir

biasanya berupa kelompok – kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang

saling berhubungan, masing – masing kelompok bermuara ke dalam hidung.

Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi,

dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga

hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.2

6

Page 7: 46594160 Referat Sinusitis

Pembagian sinus paranasalis :11

a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus

maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila

berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang

disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal

maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding

superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris

dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial

sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi

mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.

b. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan

keempat fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel

infundibulum etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4

cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus

berlekuk – lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita

dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke

daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus

frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.

Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear

yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri

7

Page 8: 46594160 Referat Sinusitis

carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan

supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus.

c. Sinus Etmoid

Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di

bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan

lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid

berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang

terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka

media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17

sel (rata – rata 9 sel).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior

yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di

meatus superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak,

letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid

posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-

superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior

ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus

frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina.

Inervasi mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid

posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5 – 7,5 ml.

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan

8

Page 9: 46594160 Referat Sinusitis

arteri oftalmikus berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri

sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina mayor.

Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris

dari nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang

berasal dari nervus oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian

besar mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion

sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan

sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom pada mukosa hidung.

Ganglion ini menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V –

2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut –

serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak

di belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media

3. Fungsi Sinus Paranasal 11

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara

lain :

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan

mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi

sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga

dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus

b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan

fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini

tidak dianggap bermakana.

d. Membantu resonansi udara

9

Page 10: 46594160 Referat Sinusitis

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan

mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan

ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.

4. Patofisiologi

Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke

dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi

dan tahap efektor.20

Fase sensitisasi

Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung

sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama

inhalasi udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung

tersebut kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai

fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari

atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari

komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil

atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho

bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel

penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T

(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta

molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu

terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus

sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.20

Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang

10

Page 11: 46594160 Referat Sinusitis

mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji

antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel

B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang

diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan

dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil

dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang

kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa

dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam

keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat

belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika

dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.

11

Page 12: 46594160 Referat Sinusitis

12

Page 13: 46594160 Referat Sinusitis

13

Page 14: 46594160 Referat Sinusitis

Fase elisitasi

1. Tahap aktifasi

Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang

dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa

hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan

pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-

linking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel

mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine

triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C

untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol

triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol

triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum

endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim

seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang mengaktifkan enzim

myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan

membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi

ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed

mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet

activating factors (PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator

14

Page 15: 46594160 Referat Sinusitis

kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan

bradikinin.20

Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast

karena histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung

( bersin, rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek

langsung pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang

menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin

pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V

menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin.

Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek

meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous.

Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka.

Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau

reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan

dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel

maupun pada endotel.20

2. Tahap efektor

Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah

mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan

berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi

endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi

pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan

alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya

berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang

merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma

bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/

lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari

tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel

dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti perlekatan pada

15

Page 16: 46594160 Referat Sinusitis

dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel

seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi

molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel

eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1.

ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang

mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep

adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi

terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).

Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan

perilaku spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-

inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal

dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum

tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan

di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan

sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam).

Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan

patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor

basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived

neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek

menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf

mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.20

Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis

alergi

Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada

rhinitis alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu

hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai

mediator lain.15

1. Bersin-bersin (sneezing)

Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya

merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan

alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan

16

Page 17: 46594160 Referat Sinusitis

hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor

H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang

dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.15

2. Gatal-gatal (pruritus)

Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui

dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak

bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang Dapat

menimbulkan rasa gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron

sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris.

Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rhinitis alergi secara

khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat histamin berikatan

dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi

langsung pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan

namun hanya kecil saja disalurkan secara lamba.15

3. Beringus (rhinorrhea)

Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa

hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan

berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala dominan

sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut

merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan

plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh

darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang

diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi

langsung pada reseptor H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus

dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks

nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh

atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat

kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa

hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.

17

Page 18: 46594160 Referat Sinusitis

Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus

melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar.

Mediator lain yang juga berperan pada proses

beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP).15

4. Buntu hidung (nasal congestion)

Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang

tidak menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat

vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang

berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga

terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung

juga menambah sumbatan hidung.

Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan

akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung

lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2,

LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung

singkat saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL,

peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran

leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat

dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan

tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus.

PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung.

Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene related dapat

menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung

(Sumarman,2001).

Peran sitokin pada rinitis alergi

Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan

oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung

memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda. Berdasarkan jenis produk

sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2.

Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh jenis

antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,

18

Page 19: 46594160 Referat Sinusitis

lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T

serta faktor genetik. Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut

sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-∂ dan IL-2.

Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan

IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN-∂ dianggap sebagai prototipe

sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.

Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami

polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin

yang disebut pula sebagai sitokin tipe 2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-

9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik

yaitu menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel

dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain

yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN-∂ dan IL-2.

Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi

oleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien,

dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam.

Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk

memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk

terjadinya penyakit atopi.

Sitokin IFN-∂ selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel

NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa

sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T,

sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh

makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN-∂ sendiri. Dalam respon primernya

terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh

lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN-∂ dan IL-12 terlibat

dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.

Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-

makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang

merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan

menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel

19

Page 20: 46594160 Referat Sinusitis

penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan sel

dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah

dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang

lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya,

sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan mengubah

ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin

imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool like

receptor (TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal

bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk

memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.

Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang

terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan

produksi IL-12 adalah IFN-∂ dan TNF-ß, sedangkan yang menghambat

produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator

tersebut IFN-∂ merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara

itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-∂, meskipun secara

invitro untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-∂. Produksi

IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh

lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme patogen. Dengan

demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas

seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk

diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN-∂

oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam

makrofag dan monosit oleh IFN-∂ sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu

jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada

respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat

ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel

Th2.

Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara

sitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13

akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat

20

Page 21: 46594160 Referat Sinusitis

stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-

4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang

penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyai

efek menekan produksi IL-12.

Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas

karena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan

timbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya

penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu

diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN- ∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2

(IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1

(IFN-∂). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi

penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif

tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi

sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya

dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian

sel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-

12 yang merupakan pemicu IFN-∂ yang poten. Suatu penemuan yang

menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif fleksibel dan

dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan mempunyai

arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi.

Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2

menjadi respon imun TH1 telah disemonstrasikan baik secara invitro maupun

invivo. Secara in vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4

dalam suatu kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh

monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4

dan IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN-∂ pada sel T CD4+

pada penderita rinitis alergi.

2.9 Antigen

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat

kimia yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar

21

Page 22: 46594160 Referat Sinusitis

secara kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor

penting yang akan menentukan tingginya kadar IgE spesifik. Secara umum

paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi

atopi terhadap antigen bersangkutan.16

Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat

dan antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai

adjuvan alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang

seharusnya dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi

sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu

sendiri, mungkin dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada

struktur protein khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat

bahwa protein itu alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang

sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi,

dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh.16

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,

sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala

asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh,

terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat

nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada atau ada

defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons tertier.

Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh .20

22

Page 23: 46594160 Referat Sinusitis

23

Page 24: 46594160 Referat Sinusitis

Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap

normal. Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu

sendiri. Pada komplek osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi

gangguan drainase serta ventilasi yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen,

peningkatan p C02 dan gangguan PH serta pembengkakan mukosa hidung dan

akhirnya menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar (Busquets ,2006 ;

Ballenger , 1994; Wilma ,2007). Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi

lendir dan menurunkan kandungan oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH,

mengurangi aliran darah mukosa. Pembengkakan membran mukosa juga akan

menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.16

Menurut Sakakura(1997), patogenesis dari rhinosinusitis kronik berawal

dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator

diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune

complek , lipolisaccharide dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya

kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar.

Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukos. Akibat hal

ini lah maka bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi

inflamasi akan kembali terjadi.16

5. Etiologi13

24

Page 25: 46594160 Referat Sinusitis

a. Infeksi

Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel

virus sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu system

mukosiliar rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan

masuk ke sel tubuh dan menginfeksi secara cepat. Dengan menggunakan

cahaya mikroskop dan transmisi mikroskop elektron dapat dideteksi

abnormalitas silia yang disebabkan oleh infeksi virus. Bentuk dismorphic dari

silia tampak lebih sering pada tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal.

Epitel yang normal kembali setelah infeksi mereda 2-10 minggu. Pada

populasi normal yang terinfeksi dengan rhinovirus type 44 dan rata-rata waktu

transportasi mukosiliar dengan menggunakan label radioaktif sebagai cara

pemeriksaan nya mendapatkan transport mukos yang menurun pada 2 hari

terinfeksi. Dan secara signifikan rata-rata waktu transportasi mukosiliar yang

tampak meningkat pada hari ke 9-11 setelah terinfeksi. Di samping itu virus

juga meningkatkan kekentalan mukus, kematian silia, dan edema pada

b. Alergi : reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang

menghasilkan edema dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan

inflamasi ini menyebabkan blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan

membuat daerah yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus.

Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi

disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang

dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga

menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel

permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis

kronis. 4

Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul

pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus.7

Selain faktor alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan .

Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung

dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan

25

Page 26: 46594160 Referat Sinusitis

terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah

obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi

septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor

ganas hidung dan nasofaring sering disertai dengan penyumbatan muara

sinus.8

Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi

rinitis, yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus,

para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan

infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi

bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya

fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk

perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu

bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab

otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun

ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob,

Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan

oleh bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena

sinusitis kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun

fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung

oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan

rutin tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati

untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi

yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus

viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis,

Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk

Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi

campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.9

c. Struktur dan anatomi hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar

secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih

26

Page 27: 46594160 Referat Sinusitis

mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti.

Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah

kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi

mukosiliar.22

d. Iklim

Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak langsung

berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga,

disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam

jamur.

e. Hormonal

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau

sedang hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.

f. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan

Obat dekongestan topikal juga terlihat dapat menghambat fungsi silia.

Penggunaan obat tersebut paling kurang menyebabkan gangguan

fungsi mukosiliar sementara. Pemberian obat-obat seperti

phenylephrine 0,5 % dan oxymetazoline Hcl 0,05 % dapat

menghambat gerakan silia secara sementara pada binatang percobaan

tapi hal ini belum dapat dibuktikan pada manusia.22

Gejala Klinis

International Conference on Sinus Disease 1995 membuat kriteria mayor

dan minor untuk mendiagnosa rhinosinusitis kronis. Rinosinusitis

didiagnosa apabila dijumpai 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor

dan 2 gejala minor.21

- Gejala Mayor :

• Obstruksi hidung

• Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering

disebut PND (Postnasal drip)

• Sakit kepala

• Nyeri /rasa tertekan pada wajah

27

Page 28: 46594160 Referat Sinusitis

• Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)

- Gejala minor

• Demam

• Halitosis

• Batuk dan iritabilitas

Pada sinusitis kronik terdapat gejala Subyektif dan gejala objektif.

a. Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca

nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya

sedikit tersumbat.

Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan

tuba eustachius.

Ada nyeri atau sakit kepala.

Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis

atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.

Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

b. Gejala Objektif

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak

terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat

ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior,

dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi

posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat

ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis

atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung

kronis. Kadang-kadang gejala sangat ringan hanya terdapat sekret di

nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang teus menerus

akan mengakibatkan batuk kronik. Nyeri kepala pada sinusitis kronis

28

Page 29: 46594160 Referat Sinusitis

biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang

hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin pada

malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta

adanya stasis vena. Pada sinusitis kronis, temuan pemeriksaan klinis tidak

seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada

rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus

medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret

purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. Diagnois dibuat berdasarkan

anamnesis yang cermat, pemeriksan rinoskopi anterior dan posterior serta

pemeriksaan penunjang berupa transluminasi untuk sinus maksila dan sinus

frontal, pemeriksaan radiologik, pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus

maksila, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang diambil pada waktu

dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus superior

dengan menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan IgE total serumSecara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat

pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis

alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai

pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada

orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya

dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat

berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit

(dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada

imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan

umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai

golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan

penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.15

Transiluminasi

29

Page 30: 46594160 Referat Sinusitis

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya.

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis

(sinus penuh dengan cairan)

Rontgen sinus paranasalis

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :

1. Penebalan mukosa,

2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat

pada foto waters.

Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki

kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan

penebalan mukosa sinus.

CT Scan

CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang

paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang

relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian,

harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang

berbahaya bagi mata.

30

Page 31: 46594160 Referat Sinusitis

Sinoscopy

Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi

akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus,

dan letak dan keadaan dari ostium sinus.

Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu

keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.

Pemeriksaan mikrobiologi

Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring

biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung

bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga

lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menagspirasi

pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk

membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.

Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri.

Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar

jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus

maksila mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18

kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan

Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%) dari 40 sampel penelitian

pada tahun 2007. Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada

satu sediaan.

Legent F dkk (Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis

maksila kronis yang terbanyak adalah. Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus

influensa, Streptokokus pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994)

menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari

sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenza,

Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp. Dari penelitian dan berbagai teori

yang ada menyebutkan bahwa terdapat campur tangan bakteri pada sinusitis

b. Terapi

31

Page 32: 46594160 Referat Sinusitis

Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan

pencegahan infeksi, memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar,

dan menekan proses inflamasi pada mukosa saluran nafas. Pada kasus-

kasus kronis atau rekuren penting juga menyingkirkan faktor-faktor iritan

lingkungan.19

Antibiotik merupakan modalitas terapi primer pada rhinosinusitis . Setelah

diagnosa ditegakkan dapat diberikan antibiotik lini pertama berdasarkan

pengalaman empirik, sambil menunggu hasil kultur.Berdsasarkan

efektivitas potensi dan biaya, jenis antibiotik yang banyak digunakan

adalah sefalosporin dan amoksisilin.Untuk kasus akut diberikan selama 14

hari, sedangkan untuk kasus kronik diberikan sampai 7 hari bebas

gejala.Lamanya terapi biasanya 3-6 minggu.19

Terapi tambahan untuk mengurangi gejala adalah kortikosteroid

intranasal, mukolitik dan dekongestan. Antihistamin hanya hanya efektif

untuk kasus kasus alergi yang merupakan penyakit dasar rhinosinusitis

pada beberapa pasien.18

Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam

hipertonik (3 %, pH 7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam

hipertonik baik digunakan pada sinusitis kronis atau pasca operasi karena

dapat mengurangi edema melalui difusi osmolaritas (Talbot, 1997) Selain

terapi medikamentosa yang dijelaskan diatas, rinosinusitis rekuren atau

kronis memerlukan tindakan bedah. Pada saat ini tindakan bedah yang

palling direkomendasi adalah bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)

atau sering disebut dengan Fungsional endoskopi sinus surgery (FESS).17

- Antihistamin

Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi

bersatunya histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan

epitel kelenjar pada mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin

didefenisikan sebagai inverse H1-receptor agonists yang menstabilkan

reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamine dapat dicegah.

Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan

32

Page 33: 46594160 Referat Sinusitis

bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA.16

Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat

efektif mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek

samping yang kurang menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk

karena obat tersebut masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu

penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan untuk tidak mengendarai

mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan. Secara

klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena

mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan

obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada

reseptor kolinergik. Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama

adalah ikatannya yang tidak stabil dengan reseptor H1, sehingga daya

kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :

mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang

antihistamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif

dan murah. Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini

masih popular adalah : klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin.16

Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan

antihistamin lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru

bersifat non-sedatif, sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat

aman dan tidak terhambat dalam melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain

antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja yang panjang sehingga

penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali sehari.

Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin,

terfenadin. Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan

gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin),

sehingga dibeberapa negara obat –obat tersebut tidak digunakan lagi.

Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat dengan waktu kerja

yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik terhadap

jantung.16

33

Page 34: 46594160 Referat Sinusitis

Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat

dalam mencegah dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk

meningkatkan keamanan obat. Akhir – akhir ini beberapa antihistamin

generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas mencegah lepasnya

mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda

ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin

dapat mencegah terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor

(PAF), prostaglandin serta mencegah migrasi eosinofil, basofil dan

netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten (RAP) buntu hidung merupakan

gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya infiltrasi sel

radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru

inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru

yang dipasarkan akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan

terfenadin, desloratadin sebagai turunan loratadin dan levosetirizin sebagai

stereoisomer setirizin. Desloratadin adalah antihistamin baru yang

merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik untuk rinitis alergi

maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah metabolit aktif dari

loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja yang

lama sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang.

Dilaporkan juga bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja

sel inflamasi dalam melepaskan mediator-mediator seperti sitokin,

kemokin dan molekul adesi yang merupakan komponen pengatur respon

alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian klinik

dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada

pengobatan rinits alergi persisten (RAP) dan rinitis alergi intermiten (RAI)

serta keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya. Dilaporkan pula

bahwa obat ini juga mempunyai khasiat mengurangi buntu hidung.16

34

Page 35: 46594160 Referat Sinusitis

Pembedahan

Radikal

a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.

35

Page 36: 46594160 Referat Sinusitis

Non Radikal

a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

c. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun nyata sejak diberikannya antibiotik.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

1. Kelainan pada orbita

Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang

berdekatan dengan mata.

Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Komplikasi dapat melalui 2 jalur :

a) Direk/langsung   : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi   

pada tulang barier terutama lamina papirasea.

b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang

berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita

yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi

ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di

dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada

isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini

terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang

memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada

kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif

menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding

tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

36

Page 37: 46594160 Referat Sinusitis

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur

dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik

dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot

ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin

bertambah.

Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri

melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk

suatu tromboflebitis septik.

Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa pemberian antibiotik

intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk membebaskan pus

dari rongga abses. Gejala sisa trombosis sinus kavernosus seringkali berupa

atrofi optik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

i. Oftalmoplegia.

ii. Kemosis konjungtiva.

iii. Gangguan penglihatan yang berat.

iv. Kelemahan pasien.

v. Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang

berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga

dengan otak.

2. Kelainan intrakranial

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar

sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,

seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina

kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna

kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul

lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus

yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

37

Page 38: 46594160 Referat Sinusitis

Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid

atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura,

yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-

tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum

tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam

ruang subarachnoid.

c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi,

maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam

otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang

meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim

adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan

arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea

korteks seebri.

Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu

sinusitis supuratif yang berat, dan pembentukan abses otak dapat

berlanjut sekalipun penyakit pada sinus telah memasuki tahap resolusi

normal. Oleh karena itu, kemungkinan terbentuknya abses otak perlu

dipertimbangkan pada semua kasus sinusitis frontalis, etmoidalis, dan

sfenoidalis supuratif akut yang berat, yang pada fase akut dicirikan oleh

suhu yang meningkat tajam dan menggigil sebagai sifat infeksi

intravena. Kasus seperti ini perlu diobservasi selama beberapa bulan.

Hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kakeksia sedang,

demam derajat rendah sore hari, nyeri kepala berulang, serta mual dan

muntah yang tak dapat dijelaskan mungkin merupakan satun-satunya

tanda infeksi yang berlokasi dalam hemisfer serebri.

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase

secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan

penyebaran infeksi.

3. Kelainan pada tulang

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada

tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat

38

Page 39: 46594160 Referat Sinusitis

sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil.

Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila

terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita

dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri

tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan

hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut,

radiogram memperlihatkan gambaran seperti “digerogoti rayap” pada batas –

batas sinus, menunjukkan infeksi telah meluas melampaui sinus. Destruksi

tulang dan pembengkakan jaringan lunak, demikian pula cairan atau mukosa

sinus yang membengkak paling baik dilihat dengan CT scan. Sebelum

penggunaan antibiotik, penyebaran infeksi ke kalvaria akan mengangkat

perikranium dan menimbulkan gambaran klasik tumor Pott yang bengkak.

Pengobatan komplikasi ini termasuk antibiotik dosis tinggi yang diberikan

intravena, diikuti insisi segera abses periosteal dan trepanasi sinus frontalis

guna memungkinkan drainase. Suatu tabung drainase atau kateter dijahitkan

ke dalam sinus hingga infeksi akut mereda sepenuhnya dan duktus

frontonasalis berfungsi dengan baik. Jika duktus frontonasalis tidak lagi dapat

diperbaiki, perlu dilakukan prosedur lanjutan untuk menciptakan suatu duktus

frontonasalis baru. Pada osteomilitis kalvarium yang menyebar, diharuskan

suatu debridement yang luas dan terapi antibiotik masif. Untunglah,

komplikasi ini jarang terjadi.

4. Kelainan pada paru

Bronkitis kronik

Bronkhiektasis

5. Mukokel dan piokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul

dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering

disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat

membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini

dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis

39

Page 40: 46594160 Referat Sinusitis

dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat

menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf

didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan

mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah

eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang

terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

6. Otitis media

7. Toxic shock syndrome

d. Pencegahan

Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau

kronis. Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:  

· Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering

diirigasi.

· Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.  

· Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau

aroma bahan kimia yang keras.10

BAB III40

Page 41: 46594160 Referat Sinusitis

PENUTUP

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing masing sisi

hidung. Seperti sinus maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus

spenoidalis. Sinus paranasalis ini mempunyai fungsi :

1. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

2. Penahan suhu (thermal insulators)

3. Membantu keseimbangan kepala

4. Membantu resonansi udara

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

6. Membantu produksi mukus

Penyebab terjadinya sinusitis adalah inflamasi dan infeksi, struktur atau

anatomi dari sinus, kebiasaan atau gaya hidup, inherited atau acquired, dan

lingkungan.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan

diagnosis dari sinusitis adalah transiluminasi, rontgen sinus paranasalis, CT scan,

sinoscopy, dan pemeriksaan mikrobiologi.

Pada penderita sinusitis berdasarkan hasil kultur ditemukan bakteri

seperti Streptokokus pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas sp, Streptokokus

piogenes dan Klebsiela pneumonia. Sehingga antibiotik masih di butuhkan pada

penderita sinusitis tersebut. Antibiotic yang sensitive adalah terutama adalah

Streptomisin, rimfapicin, kanamisin, gentamisin yang berbentuk injeksi.

Sedangkan untuk obat antibiotic oral yaitu doksisiklin, tetrasiklin, enteromisin,

ciprofloksasin.

DAFTAR PUSTAKA41

Page 42: 46594160 Referat Sinusitis

1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium

sinusitis,Jakarta 1999, 1 – 6.

2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N.

dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta

1990 ;85-87

3. Michael A. Kaliner MD. Recurent Sinusitis Examine Medical Treatment

Options.American Journal of Rhinologi. Vol II No. 2 March April 1997

123-30.

4. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam

GL, Boies LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology,

6th ed. Philadelphia 1989, 195 – 205.

5. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalh Simposium UP Date in Ig

E Mediated Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 – 26.

6. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and

Accessory Sinuses. Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat,

ear,head and neck.13th ed. Philadelphia 1985, 1 – 25.

7. Mygind Robert N. Alergic Diagnosis. Allergic dan Non Allergic Rinitis

Frankland AW. Editor. Nasal allergy 2 nd ed. Blackwell Scientific

Publication Oxford London Edinbergh, Melbourne 1978 ; 182 - 98.

8. Becker W. at all. Inflamation of Sinuses. Clinical Aspects of Desease of

the Nose and Throat Desease. A Pocket Reference, second Edition.

Thieme New York 1994, page 224-37

9. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger

Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,

1990 49 – 270

10. Dina,2010. Alergi sebagai faktor sinusitis

kronis.www.google.com.Download tanggal 1 oktober 2010

11. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus

Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai

Penerbit FK UI, Jakarta, 1990 ; 75 – 84

42

Page 43: 46594160 Referat Sinusitis

12. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005.

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

13. Budianto. 2005. Guidance to Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar

asisten anatomi FK UNS Surakarta.

14. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi

Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach in

Treatment of Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT

FK UI / RSCM, Jakarta,pp.14-18

15. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :

Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical

Immunology”,Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta

16. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi

pada Simtom, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional

Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta

Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan

Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18

17. Kennedy DW, Lee JT, 2006, Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck

Surgery-Otolaryngology, Vol I, Fourth Edition, ByronJ.Bailey Lippincott

Wiliams and Wilkins, Philadelphia,459-75

18. Sakakura Y, 1997, Mucociliary Transport in Rhinologic Disease, in

Bunnag C, Muntharbornk, Asean Rhinological Practice, Siriyot Co,Ltd,

Bangkok,137-43

19. Weir N, Golding-Wood DG(1997) Infective rhinitis and Sinusitis.in :

mackay IS, Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology(Rhinologi).6th

ed.Oxford,Boston,Singappore:Butterworth-Heinemann:4/8/1-49

20. Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah

SimposiummNasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa

Penyakit PenyertamRinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral,

Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15

43

Page 44: 46594160 Referat Sinusitis

21. Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World

Health Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma (ARIA), WHO, pp.3-7

22. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following

Endoscopic Sinus Surgery, Laryngoscope(Supplement),105, 1-40

44