180
GENERASI KAMPUS VOLUME 4, NOMOR 1, APRIL 2011 DITERBITKAN OLEH : PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2011 ISSN 1978-869X MAJALAH / JURNAL

4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

GENERASI KAMPUSVOLUME 4, NOMOR 1, APRIL 2011

DITERBITKAN OLEH :PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2011

ISSN 1978-869X

MAJALAH / JURNAL

Page 2: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

MAJALAH/JURNAL

GENERASI KAMPUS(CAMPUS GENERATION)

VOLUME 4, NOMOR 1, APRIL 2011 APRIL 2011Terbit Dua kali setahun pada bulan April dan September. Berisi ringkasan hasil penelitian, gagasan kopseptual, kajian teori, aplikasi teori yang dimuat dalam Majalah/jurnal Generasi Kampus .

Pelindung : Rektor Unimed (Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.)

Pengarah : *Pembantu Rektor 1 Unimed (Prof. Slamat Triono, M.Sc, Ph.D.). *Pembantu Rektor 2 Unimed (Drs. Chairul Azmi, M.Pd). *Pembantu Rektor IV Unimed (Prof. Dr. Berlin Sibarani, M.Pd)

Penanggung jawab : Pembantu Rektor III Unimed (Dr. Biner ambarita, M.Pd.)

Ketua Penyunting : Hariadi, S.Pd., M.Kes.

Sekretaris Penyunting : Tappil Rambe, S.Pd, M.Si

Penyunting Pelaksana : *Dr. Biner Ambarita, M.Pd *Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd *Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd *Drs. Wanapri Pangaribuan, M.T.* Mangaratua Simanjorang, M.Pd *Lamhot Sihombing, S.Pd, M.Pd. *Miswaruddin Daulay, S.Pd. *Drs. Swardi Rajaguguk. *Drs. Indra Meipita, M.Sc. *Ir. Haikal Rahman, M.Sc. *Syamsul Gutom S.Mas, M.Kes. * PD 3 FIP (Drs. Nasrun M.S), *PD 3 FBS (Dr. Daulat Saragi, M. Hum), *PD 3 FT (Drs. Manintin Banjarnahor, M.Pd), *PD 3 FPMIPA (Drs. Asrin Lubis, M.Pd), *PD 3 FIS (Drs. Liber Siagian, M.Si) *PD 3 FIK (Prof. Dr. Agung Sunarno M.Pd), dan *PD 3 FE (Drs. Bangun Napitupulu, M.Si)

Penyunting Ahli :Prof. Selamat Triono, M.Sc, PhD (Universitas Negeri Medan)Prof. Dr. Hamka (Universitas Negeri Padang)Dr. Herminarta Sofyan (Universitas Negeri Yogyakarta)Prof. Yusuf Sudo Hadi (Institut Pertanian Bogor)Eddy Nur Ilyas, S.H, M.Hum (Universitas Syah Kuala Darussalam B. Aceh)Ir. H.RB. Ainurrasyid, NIS (Universitas Brawijaya)Syarif A. Barmawi, S.H, M.Si (Universitas Pajajaran Bandung)Prof. Dr. H.R. Boenyamin (Universitas Jendral Sudirman)

Kontributor : *Samrah, S.Pd. *Nurhaida, SH, M.Kn. *Surbita, SH. *Dra. Hayati Tamba. *Dra. Susiarni. *Nusawati BA. *Drs. Idrus. *Dra.Nismawarni Harahap. *

Pelaksana Tata Usaha : Bani Ismail; Dewita Rita

Alamat Tata Usaha : Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Medan, Lantai 3. Jln. Williem Iskandar, Pasar V, Medan Estate. Kotak Pos 1589, Medan 20221. Telp : (061) 6613276, 6613365, 6618754. Fax : (061) 6613319.

e-mail : [email protected]

ISSN 1978-869X

Penyunting menerima

sumbangan tulisan

yang belum pernalh

diterbitkan dalam

media cetak lain.

Naskah diketik dengan

spasi 1,5 pada kertas

A4 dengan jumlah

halaman 10-15. (lebih

jelas baca petunjuk

bagi penulis pada

sampul dalam

belakang). Naskah

yang masuk di evaluasi

oleh penyunting ahli.

Penyunting dapat

melakukan perubahan

pada tulisan yang

Page 3: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

PETUNJUK BAGI PENULIS

1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi

pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work)

dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu

bulan sebelum bulan penerbitan.

2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian

teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus.

3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul

subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf

besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak

tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal)

4. Artikel hasil penelitian memuat :

a. Judul

b. Nama Penulis

c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil

penelitian : 50 – 80 kata)

d. Kata-kata kunci)

e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan

masalah, dan rangkuman kajian teoritik)

f. Metode penelitian

g. Hasil penelitian

h. Pembahasan

i. Kesimpulan dan saran

j. Daftar pustaka

5. Artikel Non Penelitian memuat :

Page 4: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

a. Judul

b. Nama Penulis

c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata)

d. Kata-kata kunci)

e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan

rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas).

f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)

g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)

h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan)

i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran)

j. Daftar pustaka

6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja,

diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut :

Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa.

Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc

ISSN 1978-869X

Page 5: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf
Page 6: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

1Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

RESTRUKTURISASI JURUSAN DAN PROGRAM STUDI BERBASISTAXONOMI ANDERSON UNTUK PEMBELAJARAN YANG BERKUALITAS

MENCAPAI KOMPETENSI STANDAR LULUSAN

Oleh:

Biner Ambarita

Abstrak

Tingginya tuntutan terhadap kualitas dan relevansi lulusan Pendidikan Tinggi, menuntut perumusan kompetensi lulusan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Khusus dalam kompetensi ranah kognitif berpedoman pada Taxonomi Anderson. Taxonomi Anderson menegaskan bahwa ranah kognisi harus mencapai tingkat kreativitas dan daya cipta sesuai dengan tuntutan Standar Kompetensi Lulusan secara nasional. Analisis struktur organisasi Jurusan dan program studi berdasarkan Taxonomi Anderson merumuskan adanya restrukturisasi dalam mana Jurusan harus memiliki unit-unit penjaminan mutu Konowledge, afektif , psikomotorik, dan hubungan eksternal.Kata kunci: Kompetensi lulusan, Taxonomi anderson

PENDAHULUAN

Pendidikan mengembangkan

sumber daya manusia sehingga memiliki

kompetensi-kompetensi dan kemampuan

hidup dan berdaya saing secara nasional

maupun internasional. Harapan tersebut

harus diwujudkan oleh segenap rakyat

Indonesia dan pemerintah dengan

berbagai kemampuan yang ada. Namun

Pemerintah dianggap masih memliki

kemampuan politik (political will) yang

belum memadai untuk memajukan

pendidikan di Indonesia. Indonesia

mengalami penurunan peringkat yang

berkelanjutan ditinjau dari Human

Development Indeks (HDI) jika

disbanding dengan berbagai Negara.

Berdasarkan laporan United Nations

Development Programme (UNDP) pada

Human Development Report 2005

ternyata Indonesia menduduki peringkat

110 dari 177 negara di dunia (Nandika,

2008). Peringkat tersebut menurun dari

tahun sebelumnya. Pada tahun 1997 HDI

Indonesia berada pada peringkat 99 dan

menjadi peringkat 102 pada tahun 2002.

Semakin menurunnya peringkat

HDI menggambarkan banyaknya

masalah pendidikan yang dihadapi,

khususnya masalah kualitas dan

relevansi. Dengung peningkatan kualitas

dan relevansi pendidikan terjadi di

Negara Indonesia, hingga perumusan

kebijakan strategis pembangunan

pendidikan yang merupakan acuan

pembangunan pendidikan salah satunya

adalah peningkatan kualitas dan relevansi

pendidikan. Mengimplementasikan

kebijakan tersebut, Pemerintah

mencanangkan pendidikan 3 M yaitu

mutu, murah dan merata (Nandika,

2008). Namun hingga saat ini

Page 7: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

2Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

permasalahan mutu dan relevansi

pendidikan masih menjadi tugas yang

belum selesai dikerjakan, dan harus

dilakukan percepatan penyelesaiannya.

Penyelesaian masalah kualitas

dan relevansi pendidikan ditinjau secara

mikro, menyangkut kualitas

pembelajaran. Kualitas pembelajaran di

satuan pendidikan dan program studi

ataupun jurusan pada Pendidikan Tinggi

masih jauh dari harapan. Permasalahan

kualitas pembelajaran dapat dimulai dari

perencanaan pembelajaran, implementasi

rencana pembelajaran, evaluasi, sarana

dan prasarana, manajemen, lingkungan,

dan lain-lain.

Khususnya dalam perencanaan

pembelajaran masih sering terjadi

pengkajian yang tidak detail sehingga

menjadi perencanaan yang tidak dapat

diimplementasikan. Agar pengkajian

tersebut baik dan berkualitas serta dapat

diimplementasikan, haruslah dilakukan

oleh sejumlah orang yang khusus, multi

disiplin ilmu, dan memiliki komitment

tinggi.

PEMBAHASAN

Kompetensi Lulusan Program Studi

Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 19 tahun 2005,

tentang Standar Nasional Pendidikan,

pasal 26 ayat 4 mengatakan bahwa

standar kompetensi lulusan pada jenjang

pendidikan tinggi bertujuan untuk

mempersiapkan peserta didik untuk

menjadi anggota masyarakat yang

berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,

keterampilan, kemandirian, dan sikap

untuk menemukan, mengembangkan,

serta menerapkan ilmu, teknologi, dan

seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Kompetensi tersebut menyangkut

kompetensi kognisi, afeksi, dan

psikomotorik.

Boyatzis (2008) mengatakan

bahwa kompetensi yang harus dimiliki

lulusan adalah (1) kompetensi kognisi,

seperti sistem berpikir dan pengenalan

pola, (2) kompetensi kercerdasan emosi,

seperti penguasaan diri dan pengendalian

diri, (3) kompetensi kecerdasan sosial,

seperti penguasaan kondisi sosial dan

hubungan sosial yang terlihat dari empati

dan tim kerja. Williams (2008) melihat

bahwa kompetensi kecerdasan

emosional, kecerdasan sosial, dan

kompetensi adaptif terhadap lingkungan

adalah tuntutan abat ke-21. Kompetensi

kognisi haruslah meliputi tingkatan

tertinggi dari Taxonomi Bloom yaitu

tingkat evaluasi (Bloom, 1956).

Taxonomi Bloom dalam ranah kognisi

menyangkut kemampuan mengingat,

memahami, mengaplikasikan,

menganalisis, mengsintesis, dan

mengevaluasi.

Page 8: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

3Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

Dalam ranah kognisi, seharusnya

terjadi pergeseran perumusan indikator

berdasarkan Taxonomi Bloom menjadi

Taxonomi Anderson. Taxonomi Bloom

menempatkan tingkat tertinggi pada

evaluasi, namun Taxonomi Anderson

menempatkan tingkat tertinggi pada

kreativitas atau daya cipta. Pada

Taxonomi Bloom, kemampuan

menganalisis dibedakan dengan

kemampuan mensintesa, sedangkan pada

Taxonomi Anderson sintesa menjadi satu

kesatuan dalam analisis. Taxonomi

Anderson dapat memenuhi kompetensi

lulusan dibidang kognisi sebagai mana

tuntutan Peraturan Pemerintah Indonesia

No. 19 tahun 2005, tentang Standar

Nasional Pendidikan.

Tabel 1. Tingkatan kognisi defenisi dan Kata indikator (Bloom, 1956)

Level of Cognition

Defenition Behavioral Verbs

Knowledge Recognizes and remembers names, ideas, terms

Name, lebel, describe, define, select

Comprehension Explain, summarizes, make simple interpretations

Explain, predict, sort, distinguish between

Apllication Applies rules or procedures to novel situations

Compute, solve, demonstrate

Analysis Identifies component parts, reasons deductively or inductively

Discriminate, infer, diagram, resolve

Synthesis Puts disparate elements together to create a new idea or product

Devise, generate, construct, compose

Evaluation Uses criteria to judge qualities of products or performances

Contrast, discriminate, interpret, judge.

Taxonomi Anderson menyangkut

Remembering, understanding, apllying,

analyzing, evaluating, dan creating.

Untuk rincian taxonomi tersebut

ditampilkan pada tabel 2 berikut

.

Table 2. Defenisi dan kata kerja operasional Taxonomi Anderson (Anderson, 2001)

Definition Verbs

Remembering: can the student recall or remember the information?

Define, duplicate, list, memorize, recall, repeat, reproduce, state

Understanding: can the student explain ideas or concepts?

Classify, describe, discuss, explain, identify, locate, recognize, report, select, translate,

paraphrase

Applying: can the student use the Choose, demonstrate, dramatize, employ,

Page 9: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

4Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

Definition Verbs

information in a new way? illustrate, interpret, operate, schedule, sketch, solve, use, write

Analysing: can the student distinguish between the different parts?

Appraise, compare, contrast, criticize, differentiate, discriminate, distinguish,

examine, experiment, question, test

Evaluating: can the student justify a stand or decision?

Appraise, argue, defend, judge, select, support, value, evaluate

Creating: can the student create new product or point of view?

Assemble, construct, create, design, develop, formulate, write

Tingkat tertinggi dari Taxonomi

Anderson adalah kreativitas, yaitu

menciptakan produk baru, hal baru

ataupun ide baru. Indikator kreativitas

tersebut adalah meramu, mengkonstruksi,

mencipta, mendisain, mengembangkan,

merumuskan, dan menulis. Kompetensi

lulusan harus mampu menulis yang

dalam hal ini secara umum mampu

menulis skripsi. Akan tetapi lebih

spesifik, kompetensi menulis tidak hanya

pada penulisan skripsi, akan tetapi

haruslah penulisan makalah pada setiap

mata kuliah bahkan setiap topik

pembelajaran.

Membangun Kreativitas

Membangun kreativitas subjek

didik hanya dapat dilakukan oleh

pendidik yang memiliki kreativitas

tinggi. Sejalan dengan hal itu, maka

ujung tombak pembangunan kreativitas

mahasiswa berada pada dosen. Dosen

terlebih dahulu harus mengembangkan

kreativitasnya, baik dalam metode

pembelajaran maupun materi

pembelajaran. Metode pembelajaran

dibutuhkan untuk menyikapi kekangan

kondisi untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang berkualitas. Materi

pembelajaran merupakan kompetensi

profeional yang harus dimiliki dan harus

mencapai tingkat tertinggi yaitu

kreativitas.

Fadjar (2004) mengatakan bahwa

: “ kreativitas atau berpikir kreatif

sebagai kemampuan untuk melihat

bermacam-macam kemungkinan

penyelesaian terhadap suatu masalah,

yang merupakan bentuk pemikiran yang

sampai saat ini masih kurang mendapat

perhatian dalam pendidikan. Di sekolah

terutama dilatih kepada siswa adalah

penerimaan pengetahuan, ingatan, dan

penalaran (berpikir logis). Kreativitas

yang memungkinkan manusia

meningkatkan kualitas terhadapnya.

Dalam era globalisasi ini kesejahteraan

dan kejayaan masyarakat dan Negara

tergantung pada sumbangan kreatif,

Page 10: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

5Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

berupa ide-ide baru, penemuan-

penemuan baru, dan teknologi baru,

pemikiran dan perilaku kreatif, perlu

dipupuk sejak dini”.

Banyak pendapat dan penelitian

yang dialkukan untuk mengembangkan

kreativitas. Hasil penelitian Gordon yang

dilaporkan kembali oleh Timpe (1987)

mengatakan kreativitas adalah hasil

pekerjaan kolaborasi otak kiri dan otak

kanan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa

otak kanan melakukan gagasan-gagasan

kreatif yang dikirimkan ke otak kiri, dan

otak kiri melakukan evaluasi terhadap

gagasan tersebut dan dikirimkan kembali

ke otak kanan untuk dilaksanakan. Timpe

(1987) juga mengutip hasil penelitian

Alyce M. Green yang menyimpulkan

bahwa gagasan kreatif muncul beberapa

saat sebelum tidur (dalam kondisi

setengah sadar) dan beberapa saat

sebelum terjaga (bangun tidur pada pagi

hari).

Dari kedua penelitian tersebut

dapat dikaji bahwa dosen dan mahasiswa

akan memunculkan gagasan

kreativitasnya sesaat sebelum tidur dan

sesaat sebelum bangun. Kalau demikian

adanya pemunculan kreativitas, dosen

harus mengkaji metode lain dalam

pemunculan kreativitas tersebut, apakah

ada hukum atau dalil yang berlaku

secara umum ataupun khusus.

Menurut Robert Fromen yang

dikutip Timpe (1987) bahwa hukum-

hukum penalaran kreativitas adalah: (1)

mengumpulkan fakta, (2) penalaran

induktif, (3) penalaran deduktif.

Pernyataan Robert Fromen tersebut di

atas, jika dikaji adalah hanya prasyarat

berpikir kreatif. Johanssons Frans (2004)

mengemukakan inovasi titik temu dalam

menghasilkan produk dan ide kreativitas.

Inovasi titik temu tersebut mempunyai

karakteristik sebagai berikut: (1)

mengejutkan dan memesona, (2)

meloncat kea rah yang baru, (3)

membuka bidang yang barus sama sekali,

(4) menyediakan ruang bagi orang, tim,

atau perusahaan, (5) menghasilkan

pengikut, yang berarti penciptaannya bias

menjadi pemimpin, (6) member sumber

inovasi terarah untuk tahun-tahun

selajutnya, (7) dapat mempengaruhi

dunia dengan cara yang belum pernah

sebelumnya. Anderson menegaskan kate

kerja opreasional untuk kreativitas

seperti Assemble, construct, create,

design, develop, formulate, write.

Pada tabel 3 berikut diperlihatkan

Kategori Kreativitas dari Taxonomi

Anderson, yang menyangkut: kategori,

contoh kalimat pemulaan kreativitas,

aktivitas dan produk potensial yang

menggambarkan nilai-nilai kreativitas.

Tugas dosen selanjutnya adalah

Page 11: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

6Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

merumuskan sejumlah indicator-

indikator yang sesuai dengan tabel 3

untuk dirinya sendiri dan untuk

mahasiswa pada setiap pertemuan dalam

proses pembelajaran.. Rumusan aktivitas

atau proses haruslah dapat menggiring

perilaku pembelajar dan pengajar sendiri

ke arah dan pencapaian indikator yang

telah dirumuskan.

Tabel 3. Kategori Kreativitas, Kalimat Pemulaan, dan Aktivitas Potensial

Category Sample sentence starters Potential activities and products

CREATEGeneratingComing up with alternatives or hypotheses based on criteriaSynonyms : HypothesizingPlanningDevising a procedure for accomplishing some task. producingSynonyms : DesigningProducingInventing a product.Synonyms : Constructing

Can you design a...to...?Can you see a possible solution to...?If you had access to all resources, how would you deal with...?Why don't you devise your own way to...?What would happen if ...?How many ways can you...?Can you create new and unusual uses for...?Can you develop a proposal which would...?

Invent a machine to do a specific task.Design a building to house your study.Create a new product. Give it a name and plan a marketing campaign.Write about your feelings in relation to...Write a TV show play, puppet show, role play, song or pantomime about..Design a record, book or magazine cover for...Sell an ideaDevise a way to...

Restrukturisasi Program Studi dan

Jurusan

Program studi di Universitas

negeri Medan, memiliki hanya satu orang

personalia yaitu Ketua Program studi,

dalam mana program studi

bertanggungjawab kepada jurusan.

Fungsi program studi adalah pelaksana

teknis pembelajaran dan fungsi jurusan

sebaiknya pusat pengembangan program

studi secara internal maupun secara

eksternal. Namun demikian masih

diperlukan pengkajian yang lebih

mendalam hal keorganisasian jurusan

dan program studi.

Robbins (2007) mendefenisikan

struktur organisasi sebagai pengaturan

formalisasi tugas dalam sebuah orginsasi.

Ketika dilakukan restrukturisasi dalam

sebuah organisasi, sesungguhnya

melaksanakan sepesifikasi dan

pengembangan tugas-tugas sehingga

organisasi dapat lebih berkembang.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada

enam elemen kunci dalam perencanaan

struktur oragnisasi, yaitu: (1) spesialisasi

tugas, (2) pengelompokan departemen,

Page 12: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

7Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

(3) rantai komando, (4) rentangan

kendali, (5) sentralisasi dan

desentralisasi, (6) formalisasi. Robbins

(2007) juga mengatakan bahwa untuk

dapat membentuk struktur oraganisasi

maka sebaiknya mengikuti langkah

berikut: (1) Uraikan pekerjaan yang lebih

spesifik dan departemen, (2) Uraikan

tugas dari pekerjaan untuk individu

dalam departemen dan oragnisasi, (3)

Buat koordinasi tugas-tugas yang

berbeda dalam organisasi, (4) lakukan

kluster untuk unit-unit kecil, (5) tetapkan

hubungan kerja setiap individu,

kelompok, dan departemen, (6) tetapkan

garis komando dan koordinasi secara

formal sebagai otoritas, (7) alokasikan

dan bagikan sumber daya yang ada

kesetiap komponen struktur.

Lussier (1997) menegaskan ada

sepuluh elemen kunci dalam penetapan

strukur organisasi, yaitu: (1) kesatuan

komando dan arah, (2) rantai komando,

(3) rentangan manajemen (garis

horizontal dan vertical), (4) pembagian

tenaga kerja (spesialisasi), (5) koordinasi,

(6) penyeimbangan penghargaan dan

otoritas, (7) delegasi, (8) flexibelitas, (9)

pembuatan departemen (sub komponen

organisasi), (10) integritas.

Dari kedua pendapat tersebut di

atas, maka untuk restrukturisasi jurusan

dan program studi harus berangkat dari

harapan-harapan, kompetensi-

kompetensi lulusan, visi dan misi

masing-masing jurusan.

Sejalan dengan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 19

tahun 2005, tentang Standar Nasional

Pendidikan, pasal 26 ayat 4, maka

kompetensi lulusan pendidikan tinggi

harus memiliki komponen: sikap dan

berakhlak mulia, memiliki pengetahuan

dan keterampilan, kemandirian,

mengembangkan dan menerapkan ilmu,

teknologi, dan seni yang bermanfaat bagi

kemanusiaan. Kompetensi-kompetensi

tersebut diuraikan menjadi indikator-

indikator yang sangat rinci dan target

capaian indikator harus ditetapkan secara

hati-hati dan berbasis evaluasi diri.

Dengan demikian, departemen

sikap dan akhlak mengurusi kompetensi

sikap dan akhlak mulia serta sosial;

Departemen pengetahuan kognisi

mengurusi kompetensi standar isi

kognitif, Departemen keterampilan dan

psikomotorik mengeurusi kompetensi

praktikum dan psikomotorik; departemen

penelitian dan pengabdian masyarakat

mengurusi penelitian dan pengabdian

masyarakat; departemen kerja sama,

mengurusi kerja sama eksternal.

Departemen-departemen ini menjadi unit

penjaminan mutu dan relevansi lulusan di

jurusan dan program studi.

Page 13: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

8Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

Sejalan dengan hal itu, maka

struktur organisasi jurusan dan program

studi, dapat didisain seperti gambar

model-model berikut.

Gambar 1. Model 1. Struktur Organisasi Jurusan dan Program Studi

Model 1 ini memperlihatkan Unit

Penjaminan Mutu memiliki kekuatan

untuk memberi perintah kepada Ketua

Jurusan, Kaprodi, dosen, dan Laboran

dalam hal mutu dan relevansi. Ketua

Jurusan bertanggung jawab kepada

Dekan, dan Kaprodi bertanggung jawab

kepada Ketua Jurusan, serta dosen dan

laboran bertanggungjawab kepada

Kaprodi. Kaprodi, dosen, dan laboran

bertanggungjawab juga kepada Unit

Penjaminan Mutu. Kaprodi dan Unit

Penjaminan Mutu bertanggungjawab

kepada dekan. Ketua Jurusan dan Unit

Penjaminan Mutu saling

bertanggungjawab satu dengan lainnya.

Model 2 memperlihatkan bahwa

Unit penjaminan mutu menyatu dalam

Jurusan, dalam mana unit penjaminan

mutu bertanggungjawab kepada ketua

jurusan. Hal ini diperlihatkan pada

gambar 2 model 2.

Gambar 2. Model 2 Struktur Organisasi Jurusan dan Prodi

JURUSAN: Ketua dan Sekretaris,

UNIT PENJAMINAN MUTU: departemen-departemen: Knowledge, afektif, psikomotorik, Hubungan eksternal

PRODI:Ketua dan Sekretaris

LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran

DOSEN:kelompok

disiplin ilmu

JURUSAN: Ketua dan Sekretaris

PRODI: Ketua dan Sekretaris

LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran

DOSEN: kelompok

disiplin ilmu

UNIT PENJAMINAN MUTU: departemen-departemen: Knowledge, afektif,

psikomotorik, Hubungan eksternal

Page 14: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

9Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

Gambar 3. Struktur Organisasi Jurusan dan Prodi aebelum direstrukturisasi

Dilihat dari kedua model, maka model

yang lebih baik adalah model 2, dalam

mana harapan penjaminan mutu dapat

digapai tanpa terjadi dualism

kepemimpinan.

PENUTUP

Restrukturisasi Jurusan dan prodi

sangat perlu dilaksanakan, hanya saja

perlu pengkajian yang lebih mendalam

melalui analisis pakar maupun

penelitian-penelitian. Restruturisasi

Jurusan dan program studi dalam kajian

dalam makalah ini, adalah sebuah ide

sederhana yang perlu ditindaklanjuti

dalam bentuk penelitian lanjutan. Tujuan

restrukturisasi Jurusan dan Program studi

adalah untuk menjamin ketercapaian

kompetensi lulusan yang bermutu dan

relevan sehingga sesuai dengan harapan

bangsa dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). 2001. A taxonomy for learning, teaching and assessing:

A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman.

Bloom, B. S. (Ed). 1956. Taxonomy of Edocational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook 1. Cognitive Domain. New York: Longmans Green.

Boyatzis Richard E. 2008. Competencies in the 21 st century. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.

Fadjar A. Malik. 2004. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Buku IV, Januari 2004 – Oktober 2004.Jakarta: Depdiknas

Johanssons Frans. 2004. Inovasi Titik Temu. Rahasia Sukses Menemukan Ide Bisnis Cemerlang dan Menguntungkan. Jakarta : Serambi

Lussier Robert N. 1997. Management, Concepts, Applications, Skill Development. Massachusetts: South-Western College Publishing.

Nandika Dodi. 2008. Political Will Pendidikan Menuju Indonesia 2020. Teropong Pendidikan Kita. Ontologi Artikel 2007-2008. Jakarta: Depdiknas.

JURUSAN: Ketua dan Sekretaris,

PRODI: Ketua

LABORATORIUM:Kepala Lab. Laboran

DOSEN: kelompok

disiplin ilmu

Page 15: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

10Biner Ambarita adalah dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed

Nandika Dodi. 2008. Pendidikan 3 M. Opini Pendidikan 2008. Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.

Robbins Stephen P., Mary Coulter. 2007. Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Timpe A. Dale. 1987. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia-

Kreativitas. Jakarta: Alex MediaComputindo.

Williams Helen W. 2008. Characteristics that Distinguish Outstanding Urban Principles. Emotional Intelligence, social intelligency, and environmental Adaptation. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.

Page 16: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

11Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

APLIKASI GRUP DIHEDRAL D5 DALAM DETEKSI ERROR

Oleh:Pardomuan N. J. M. Sinambela

Abstrak

Mendektesi error dalam suatu permasalahan string alfabet dan digit dapat dilakukan dengan menerapkan aplikasi grup dihedral. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menggunakan grup dihedral D5. Metode ini dapat mendeteksi sekitar 90% dari semua tipe error. D5 merupakan grup dihedral yang dapat digunakan dalam mendeteksi error yang dapat digunakan untuk mendeteksi error pada string alfabet dan digit yang terdiri atas beberapa karakter. Setiap anggota D5 yang berupa transformasi dipasangkan dengan tepat satu karakter. Kata kunci: Grup Dihedral

PENDAHULUAN

Ada berbagai cara menambahkan

cek digit pada suatu nomor identifikasi

untuk dapat mendeteksi error nomor

identifikasi tersebut. Satu diantaranya

adalah metode International Standard

Book Number (ISBN) yang

menggunakan modulo 11. Tetapi dalam

penggunaan metode ini diperlukan

karakter abjad X untuk menggantikan

bilangan 10. Pada akhir tahun 1960-an,

ditemukan cara mendeteksi kesalahan

digit suatu nomor identifikasi tanpa

menambahkan suatu karakter baru.

Metode ini menggunakan grup D5 dan

permutasi σ = (0)(14)(23)(58697).

PEMBAHASAN

Grup Dihedral Berorder 10 (D5)

Grup dihedral berorder 10 yang

dinotasikan dengan D5, disebut juga grup

simetri segilima beraturan. Grup D5

adalah himpunan semua transformasi

yang mengakibatkan segilima beraturan

invarian (berimpit dengan dirinya

sendiri), beserta operasi .

Himpunan D5 terdiri atas 10

transformasi yang meliputi 5 rotasi dan 5

refleksi. Rotasi yang dipergunakan

adalah rotasi berlawanan arah jarum jam

terhadap titik pusat segilima. Kelima

rotasi itu adalah R0, R72, R144, R216, dan

R288. Sedangkan refleksi yang

dipergunakan adalah refleksi terhadap

garis I, II, III, IV, dan V yang masing-

masing dinotasikan sebagai MI, MII, MIII,

MIV, dan MV. Letak garis-garis tersebut

pada segilima beraturan ABCDE

digambarkan sebagai berikut.

Page 17: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

12Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Berikut ilustrasi anggota-anggota D5

garis II

garis I

garis III

garis IV

garis V

B

A

ED

C

0 = R0 = rotasi 0

B

C A

B

C A

R0

1 = R72 = rotasi 72

B

C A

A

B E

R72

3 = R216 = rotasi 216

2 = R144 = rotasi 144

B

C A

E

A D

R144

B

C A

D

E C

R216

Page 18: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

13Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Pola dari D5 dapat dijumpai pada bintang laut. Gambar-gambar berikut juga

menggunakan pola D5.

4 = R288 = rotasi 288

5 = MI = refleksi terhadap garis I

B

C A

C

D B

R288

6 = MII = refleksi terhadap garis II

7 = MIII = refleksi terhadap garis III

8 = MIV = refleksi terhadap garis IV

9 = MV = refleksi terhadap garis V

B

C A

A

E B

MI

B

C A

E

D A

MII

D

C E

MIII

B

C A

B

C A

C

B D

MIV

B

C A

B

A C

MV

Page 19: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

14Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Operasi didefinisikan sebagai

operasi “diikuti oleh”. A B adalah

transformasi A diikuti oleh transformasi

B. Operasi ini tidak komutatif.

Contoh

1. R72 R144 = R216 atau 1 2 = 3

2. R144 MIII = MV atau 2 7 = 9

3. MIII R144 = MI atau 7 2 = 5

Berikut Tabel Cayley untuk D5 dengan operasi

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91 1 2 3 4 0 6 7 8 9 52 2 3 4 0 1 7 8 9 5 63 3 4 0 1 2 8 9 5 6 74 4 0 1 2 3 9 5 6 7 85 5 9 8 7 6 0 4 3 2 16 6 5 9 8 7 1 0 4 3 27 7 6 5 9 8 2 1 0 4 38 8 7 6 5 9 3 2 1 0 49 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

A

B E

D

E C

R144R72

B

C A

B

A C

MIIIR144

B

C A

E

A D

A

E B

R144MIII

D

C E

B

C A

Page 20: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

15Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Tabel Cayley dapat dipergunakan

untuk menunjukkan bahwa D5 dengan

operasi memenuhi sifat tertutup,

memiliki unsur identitas yaitu R0 (0), dan

setiap anggota D5 mempunyai invers

yang juga anggota D5. Kesepuluh

transformasi anggota D5 dapat dipandang

sebagai fungsi dari segilima beraturan ke

bidang segilima beraturan itu sendiri, dan

operasi merupakan komposisi fungsi.

Karena komposisi fungsi bersifat

asosiatif, berarti operasi juga bersifat

asosiatif. Dan karena telah ditunjukkan

bahwa operasi tidak komutatif, maka

D5 dengan operasi adalah grup non-

Abelian.

Permutasi σ

Permutasi suatu himpunan A

adalah fungsi bijektif dari himpunan A

ke himpunan A sendiri. Permutasi dapat

disajikan dalam notasi baris atau notasi

siklis (bentuk sikel).

Permutasi yang digunakan dalam

tulisan ini adalah permutasi σ dari

himpunan A = {0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,

9}. Setiap anggota himpunan A mewakili

tepat satu anggota himpunan D5.

Penyajian permutasi σ dalam notasi baris adalah sebagai berikut

Penyajian permutasi σ dalam

notasi siklis adalah sebagai berikut

Permutasi σ = (0)(14)(23)(58697)

Cek Digit

Metode penambahan cek digit

pada nomor identifikasi yang dibahas

dalam tulisan ini menggunakan D5 dan

permutasi σ.

Untuk menentukan cek digit dari

suatu nomor identifikasi, setiap digit

pada nomor identifikasi diberi bobot

pangkat σ yang terus meningkat, dimulai

dari digit paling kanan. Bilangan-

bilangan yang diperoleh dioperasikan

mengunakan operasi , invers dari hasil

akhir setelah pengoperasian menjadi cek

digit dari nomor identifikasi tersebut.

Berikut contoh penentuan cek digit untuk

nomor identifikasi 793.

1. Setiap digit pada nomor identifikasi

diberi bobot pangkat σ yang terus

meningkat, dimulai dari digit paling

kanan.

σ3 = 2

σ29 = σ(σ9) = σ7 = 5

σ37 = σ(σ(σ7)) = σ(σ5) = σ8 = 6

2. Bilangan-bilangan yang diperoleh

dioperasikan menggunakan operasi

6 5 2 = 3

3. Bilangan hasil operasi diinverskan

3-1 = 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9Permutasi σ =

Page 21: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

16Pardomuan N.J.M. Sinambela adalah dosen jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Invers dari hasil akhir setelah

pengoperasian ini menjadi cek digit

dari nomor identifikasi. Dengan

demikian nomor identifikasi yang

dilengkapi dengan cek digit adalah

7932.

PENUTUP

Berdasarkan cara menentukan cek

digit suatu nomor identifikasi yang telah

diuraikan, maka suatu nomor identifikasi

bebas error lengkap dengan cek digitnya

yang berbentuk anan-1 … a1a0 mempunyai

sifat

σnan σn-1an-1 … σa1 a0 = 0 …()

Jika terjadi single digit error atau

kesalahan penulisan meskipun hanya satu

angka dari nomor identifikasi, maka hasil

operasi tidak akan sama dengan 0. Hal

ini disebabkan setiap faktor dari ruas

kanan persamaan () mempunyai peran

yang unik (khusus) dalam menentukan

hasil operasi.

Jika terjadi transposition error

atau kesalahan berupa pertukaran tempat

digit nomor identifikasi juga akan cepat

terdeteksi, karena untuk 2 digit a dan b

yang berbeda, σa b ≠ σb a

(grup D5 adalah grup non-Abelian),

berarti σi+1a σib ≠ σi+1b σia. Dengan

demikian jika terjadi pertukaran tempat 2

digit yang berdekatan dalam suatu nomor

identifikasi, maka hasil operasi tidak

akan sama dengan 0.

DAFTAR PUSTAKA

Durbin, J.R. (1992). Modern Algebra An Introduction Thrid Edition. New York. John Wiley & Sons, Inc.

Gallian, Joseph A. (1990). Contemporary Abstract Algebra 2nd Edition. Toronto: D.C. Heath and Company.

Raisinghania,M.D & Aggarwal, R.S (1980). Modern Algebra. New Delhi. S. Chand & Company Ltd.

Page 22: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

17Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

KENDALI KUALITAS PENDIDIKAN PADA PROGRAM STUDI DENGAN METODE KENDALI KOKOH (ROBUST CONTROL)

Oleh: Drs. Wanapri Pangaribuan, MT

AbstrakKendali internal sesuai dengan karakteristik kendali kokoh (robust control), yang menekankan dan memiliki kekuatan pada perencanaan, pemodelan, standar operasional prosedur, dan pemaksaan terhadap subjek didik untuk selalu berada dalam trackingkendali. Komponen kendali, ketua dan sekretaris jurusan atau prodi, dosen, tenaga administrator, dan laboran harus merumuskan standar kerja dan indikator-indikator capaian serta instrument pengukurannya. Kendali kokoh berbasis evaluasi diri secara internal, dan kokoh pada rencana dan prosedur. Kata kunci : Kendali kokoh, Kualitas

PENDAHULUAN

Tiga pilar pembangunan

pendidikan nasional yang juga menjadi

pilar pembangunan pendidikan di

program studi adalah pemerataan dan

perluasan akses pendidikan, peningkatan

kualitas dan relevansi pendidikan, dan

peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan

pencitraan publik. Pilar peningkatan

kualitas dan relevansi pendidikan di

program studi merupakan pilar

pendukung segala program, kegiatan,

proses belajar dan pembelajaran, serta

pengadaan sarana dan prasarana untuk

tujuan menghasilkan lulusan yang

berdaya saing tinggi dan untuk

keberlangsungan (susteinibility) program

studi tersebut.

Kualitas dan relevansi adalah

menggambarkan kemampuan dan

kompetensi pengetahuan, sikap,

keterampilan kerja yang relevan dengan

kebutuhan kerja, serta keunggulan

kompetitif lulusan ketika bersaing

dengan lulusan-lulusan lainnya, adalah

hal yang harus dipenuhi program studi.

Untuk memenuhi kualitas dan

relevansi yang diharapkan, program studi

pertama sekali harus merumuskan

standar program, kegiatan, proses, sarana

dan prasarana, indikator ketercapaian,

operasional prosedur. Perumusan standar

ini merupakan patokan yang harus

dicapai dan merupakan tujuan dan arah

perjalanan program studi.

Dalam perjalanannya, program

studi melaksanakan segala program dan

kegiatan serta aktivitasnya diarahkan dan

dikendalikan oleh standar. Kendali

terhadap program, kegiatan dan aktivitas

program studi harus mempertimbangkan

deviasi minimal yang diizinkan

dibandingkan dengan standar, serta juga

mempertimbangkan interval waktu

Page 23: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

18Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

kendali, model pengendalian, dan

actuator yang mengeksekusi minimalisasi

diviasi (error).

Sejumlah standar dapat dikaji

untuk melengkapi Standar Nasional

Pendidikan, diantaranya Standar Malcon,

Standar Baldrige, Standar Ernest, dan

juga berbagai standar yang dirumuskan

oleh berbagai Perguruan Tinggi.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah

standar-standar tersebut sudah meliputi

indikator kualitas dan relevansi ?;

bagaimana tindakan kendali yang harus

dilakukan untuk memenuhi standar

tersebut; apakah tindakan kendali

tersebut efektif mengendalikan proses

yang efisien?. Jawaban atas pertanyaan

tersebutlah yang merupakan kajian yang

dilakukan dalam makalah ini.

PEMBAHASANStandar Nasional Pendidikan

Standar Nasional Pendidikan

yang dirumuskan dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor

19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, menyangkut delapan standar,

yaitu Standar kompetensi lulusan, standar

isi, standar proses, standar pendidik dan

tenaga kependidikan, standar sarana dan

prasarana, standar pengelolaan, standar

pembiayaan, dan standar penilaian.

Standar Nasional pendidikan tersebut

sering sekali menimbulkan permasalahan

di tingkat satuan pendidikan ketika

diimplementasikan. Permasalahan

tersebut timbul karena keharusan

penerapan oleh tingkat satuan pendidikan

akan tetapi pada sisi lain satuan

pendidikan tidak mampu

merealisasikannya, dan pemerintah

kurang mampu juga membantu satuan

pendidikan dalam perealisasian tersebut.

Manajemen pengelolan

pendidikan yang dilaksanakan

pemerintah secara makro harus dikaji

kembali. Standarisasi pendidikan yang

mengacu pada delapan standar nasional

pendidikan, umumnya tidak dapat

direalisasikan oleh stuan pendidikan.

Seharusnya, kedelapan standar nasional

pendidikan tidak serta merta

diaplikasikan sekali gus, akan tetapi

tahap demi tahap.

Gambar 1. Delapan Standar Nasional Pendidikan Mempengaruhi Kualitas, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan

Standar Kompetensi Lulusan

Standar Isi

Standar Proses

Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Standar sarana dan prasarana

Standar Pengelolaan

Standar pembiayaan

Standar penilaian

Kualitas, Relevansi , dan Daya

saing Pendidikan

Page 24: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

19Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Standar utama yang harus

dirumuskan adalah standar kompetensi

lulusan dan standar isi, karena kedua

standar ini terkait langsung dengan

kualitas, relevansi dan daya saing

pendidikan. Agar lulusan berdaya saing,

maka dirumuskanlah isi pembelajaran

yang dalam hal ini adalah kurikulum,

kompetensi yang bagai mana yang harus

dimiliki oleh lulusan. Khususnya

program studi di Pendidikan Tinggi harus

betul-betul serta cermat menentukan

standar isi dan kompetensi serta

indikator-indikatornya.

Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 19 tahun 2005,

tentang Standar Nasional Pendidikan,

pasal 26 ayat 4 mengatakan bahwa

standar kompetensi lulusan pada jenjang

pendidikan tinggi bertujuan untuk

mempersiapkan peserta didik untuk

menjadi anggota masyarakat yang

berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,

keterampilan, kemandirian, dan sikap

untuk menemukan, mengembangkan,

serta menerapkan ilmu, teknologi, dan

seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Rincian standar tersebut di atas

diserahkan kepada dan menjadi otoritas

perguruan tinggi. Kendali terhadap

perguruan tinggi oleh pemerintah

dilaksanakan oleh Badan Akreditasi

Nasional Perguruan Tinggi (BANPT).

Gambar 2. Parameter Kompetensi Lulusan Pendidikan Tinggi

Lulusan Pendidikan Tinggi

disebut memiliki kompetensi jika

menerapkan IPTEKS yang dipelajari,

ditemukan, dan dikembangkannya

kepada kebaikan dan kesejahteraan

masyarakat. Dengan demikian

Pengetahuan dan

keterampilan

Sikap dan Ahlak Mulia

Menemukan dan Mengembangkan

Ilmu dan teknologi dan

Menerapkan IPTEKS yang

bermanfaat bagi manusia

Kompetensi Lulusan

Pendidikan Tinggi

Page 25: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

20Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

kompetensi lulusan Pendidikan Tinggi

haruslah menyangkut Kompetensi

Profesi, kompetensi Strategi, kompetensi

Sosial, dan Kompetensi kepribadian.

Kompetensi strategi yang dimaksudkan

adalah kemampuan mempelajari,

menemukan, mengembangkan dan

menerapkan IPTEKS dengan berbagai

metode dan kiat yang tepat, efektif, dan

efisien.

Hal menyangkut standar isi yaitu

kurikulum program studi, sebaiknya

disusun dengan cermat dengan mengacu

pada prinsip keterbaruan (up to date),

serta standar isi tersebut seharusnya

dirumuskan secara nasional yang disebut

kurikulum nasional (kurnas). Kurikulum

nasional berlaku secara nasional meliputi

pengetahuan utama yang mendasar

dalam program studi tersebut. Hal

menyangkut kurikulum yang dirumuskan

oleh perguruan tinggi yang sering disebut

kurikulum muatan lokal, disusun

berorientasi pada kesanggupan dan

kebutuhan lokal atau daerah.

Perpaduan kurikulum nasional

dan lokal harus dapat menjawab

pertanyaan “kompetensi apa yang harus

dimiliki oleh lulusan untuk dapat

berkompetisi dan relevan dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta seni ?”. Kompetensi

tersebut bersifat prediktif, dan masih

merupakan pendekatan. Boyatzis (2008)

mengatakan bahwa kompetensi yang

harus dimiliki lulusan adalah (1)

kompetensi kognisi, seperti sistem

berpikir dan pengenalan pola, (2)

kompetensi kercerdasan emosi, seperti

penguasaan diri dan pengendalian diri,

(3) kompetensi kecerdasan sosial, seperti

penguasaan kondisi sosial dan hubungan

sosial yang terlihat dari empati dan tim

kerja. Williams (2008) melihat bahwa

kompetensi kecerdasan emosional,

kecerdasan sosial, dan kompetensi

adaptif terhadap lingkungan adalah

tuntutan abat ke-21. Kompetensi kognisi

haruslah meliputi tingkatan tertinggi dari

Taxonomi Bloom yaitu tingkat evaluasi

(Bloom, 1956). Taxonomi Bloom dalam

ranah kognisi menyangkut kemampuan

mengingat, memahami, mengaplikasikan,

menganalisis, mengsintesis, dan

mengevaluasi.

Tabel 1. Tingkatan kognisi defenisi dan Kata indikator (Bloom, 1956)Level of

CognitionDefenition Behavioral Verbs

Knowledge Recognizes and remembers names, ideas, terms

Name, lebel, describe, define, select

Comprehension Explain, summarizes, make simple Explain, predict, sort,

Page 26: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

21Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Level of Cognition

Defenition Behavioral Verbs

interpretations distinguish betweenApllication Applies rules or procedures to novel

situationsCompute, solve, demonstrate

Analysis Identifies component parts, reasons deductively or inductively

Discriminate, infer, diagram, resolve

Synthesis Puts disparate elements together to create a new idea or product

Devise, generate, construct, compose

Evaluation Uses criteria to judge qualities of products or performances

Contrast, discriminate, interpret, judge.

Hal yang penting yang harus hati-

hati dalam merumuskan manual instruksi

adalah kelima tingkatan psikomotorik

terlatihkan dalam eksperimen atau

praktikum tersebut. Dengan demikian

indikator-indikator standar harus tegas

dan jelas dirumuskan, dan indikator-

indikator tersebutlah yang menjadi target

capaian. Indikator-indikator

psikomotorik setiap praktikum ataupun

kerja praktek membutuhkan kajian yang

mendalam sesuai dengan karakteristik

eksperimen yang dipraktimumkan.

Peningkatan psikomotorik dapat juga

dilakukan dengan memperbanyak

pelatihan psikomotorik, praktek lapangan

industri.

Perencanaan Standar Capaian Belajar

Standar capaian belajar hanya

dapat diperoleh jika terlebih dahulu

direncanakan dengan baik serta

dilaksanakan proses pencapaian dengan

cermat. Dokumen perencanaan

pembelajaran haruslah memuat berbagai

komponen atau bagian-bagian yang

distandarkan. O’Shea (2005) mengatakan

ada lima langkah perencanaan

pembelajaran yang sukses dalam topic

yang ditentukan yaitu:

Langkah I : Identifikasi standar yang akan dituju (merumuskan tujuan pembelajaran).

Langkah II : Menganalisis dan menyeleksi standard dan rencana kerja.

Langkah III : Merumuskan indikator-indikator capaian setiap standar dalam ketiga

ranah Kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Langkah IV : Pilih dan tentukan urutan pembelajaran dan metode serta seluruh

kelengkapan yang dibutuhkan. Tentukan rencana proses pencapaian

indikator-indikator dengan cermat.

Langkah V : Laksanakan evaluasi terhadap performansi dan produk pembelajaran.

Page 27: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

22Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Dari hasil evaluasi akan diperoleh

gambaran performansi dan kompetensi

pembelajar, yang merupakan

pertimbangan untuk langkah selanjutnya

untuk meneruskan topik baru atau

mengadakan pembelajaran remedial.

Berbagai umpan balik dari hasil belajar

dapat member informasi untuk perbaikan

berbagai hal dalam pembelajaran, seperti

persiapan, proses, peralatan dan media

pembelajaran, bahkan instrument

evaluasi.

Kendali Internal dengan Metode Kendali Kokoh

Struktur organisasi program studi

atau jurusan memberi informasi yang

dapat dimanfaatkan sebagai komponen

kendali. Jurusan dan program studi

seharusnya memiliki Ketua, sekretaris,

dosen, pegawai, laboran, dan mahasiswa.

Secara struktur, dosen bertanggungjawab

kepada ketua jurusan dan atau sekretaris

jurusan atau program studi sebagai

pimpinan. Dengan demikian, ketua dan

sekretaris jurusan atau program studi

sebagai pengendali internal jurusan.

Gambar 3. Sistem kendali internal Jurusan atau prodi

Deskripsi tugas komponen kendali:Controller:

Ketua dan sekretaris jurusan atau

prodi bertugas sebagai pengendali,

membangun dan menjaga budaya ilmiah,

budaya sukses, membangun komitment,

memotivasi, membangun iklim kondusif,

membangun kerja sama internal dengan

eksternal, mengadministrasikan

dokumen-dokumen standar, merumuskan

standar kerjanya sendiri, merumuskan

Standar Operasional Prosedur (SOP),

menilai kinerja dosen, administrator,

laboran. Memodelkan actuator sehingga

dapat melakukan kendali pada actuator.

Actuator:Dosen sebagai actuator bertugas

sebagai perumus perencanaan

pembelajaran, pelaksana pembelajaran,

evaluator proses dan hasil belajar, serta

motivator belajar subjek didik, fasilitator

pembelajaran. Seorang dosen harus

merumuskan standar-standar

pembelajaran yang selanjutnya diurai

ε

Keterangan: Controller = Ketua dan sekretaris; Actuator = dosen, laboran, dan administrator; plant = mahasiswa; ε = error (selisih standar dengan fakta.

Controller Actuator Plant

Evaluation

Standar

+–

output

Page 28: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

23Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

menjadi indikator-indikator proses dan

capaian pembelajaran. Marshall (2009)

mengatakan bahwa dosen harus

membangun standar kerja dan dokumen

evaluasi diri menyangkut: perencanaan

dan persiapan pembelajaran, manajemen

kelas, perumusan proses pembelajaran,

monitoring, penilaian dan proses

lanjutan, komunikasi dengan orang tua

dan masyarakat, pemerhati pendidikan

dan lembaga professional lainnya. Dosen

harus menuruti dan berjalan sesuai

dengan rencana yang dirumuskannya

dengan kesadaran diri dan komitmen

sendiri. Hal ini dapat terlaksana ketika

budaya ilmiah, etos kerja tinggi telah

terbangun dalam diri dosen. Memodelkan

plant sehingga dapat melakukan aksi

pada plant.

Plant:

Mahasiswa sebagai plant harus

mengembangkan dirinya dengan kerja

keras dan pantang menyerah untuk

mencapai standar-standar kompetensi

yang harus dicapai.

Evaluation:

Instrumen-instrumen penilaian harus

sudah sirumuskan dan distandarisasi.

Output :

Output adalah kompetensi-kompetensi

capaian.

Error:

Error adalah selisih kompetensi standar

dengan kompetensi capaian.

Pemodelan actuator dan plant

jika sangat dinamis akibat dari

banyaknya pengaruh eksternal jurusan

ataupun program studi harus diatasi.

Pangaribuan (2010) memberi solusi

pemodelan yang sangat dinamis dengan

menerapkan fuzzy logic, serta

pengendaliannya juga dengan fuzzy

control. Dalam pemodelan dan

pengendalian seperti itu, berdasarkan

stimulus-respon (input-output), sehingga

controller menjadi kotak hitam (black

Box). Pengaruh eksternal secara otomatis

menyatu dengan respon plant, dan

kendali mengikuti respon tersebut dan

mengarahkannya secara halus pada target

dan standar.

Dalam pengendalian metode

kendali kokoh, actuator memaksa plant

untuk tetap berjalan sesuai dengan track,

walaupun banyak factor eksternal yang

mempengaruhinya. Kekuatan kendali

kokoh berada dalam perencanaan standar

pembelajaran, spesifikasi indikator

capaian, standar operasional prosedur,

pemodelan plant atau sistem. Metode

kendali kokoh (robust control) sesuai

dengan karakteristik kendali internal.

PENUTUPBerdasarkan kajian dapat

disimpulkan bahwa kendali internal

Page 29: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

24Wanapri Pangaribuan adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

sesuai dengan karakteristik kendali

kokoh (robust control), yang

menekankan dan memiliki kekuatan pada

perencanaan, pemodelan, standar

operasional prosedur, dan pemaksaan

terhadap subjek didik untuk selalu berada

dalam tracking kendali.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). 2001. A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman.

Bloom, B. S. (Ed). 1956. Taxonomy of Edocational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook 1. Cognitive Domain. New York: Longmans Green.

Boyatzis Richard E. 2008. Competencies in the 21 st century. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.

Marshall Kim. 2009. Rethinking Teacher Supervision and Evaluation. How to work smart, built

collaboration, and close the achievement gap. San Francisco: John Wiley & Sons, inc.

Nobar P.M., G. McGrath, S, S, tan. Computer Aided Experimentation in Engineering. Int. J.Engng Ed. Vol 8 No. 3. Pp. 192-204, 1992. Printed in Great Britain.

Nolker dan dan E. Schoenfeldt. 1983. Pendidikan Kejuruan: Pembelajaran, Kurikulum, dan Perencanaan. Jakarta: Gramedia

O’Shea Mark R. 2005. From Standards to Success, a guide for school leaders. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD)

Pangaribuan Wanapri. Sistem Pengendalian Pembangunan Pendidikan Berbasis LogikaKabur (Fuzzy Logic). Jurnal Generasi Kampus, Volume 3, Nomor 1, April 2010. Universitas Negeri Medan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan

Williams Helen W. 2008. Characteristics that Distinguish Outstanding Urban Principles. Emotional Intelligence, social intelligency, and environmental Adaptation. Journal of Management Development. Vol. 27 Number 1.

Page 30: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

25Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI MENUJU SEKOLAH EFEKTIFOleh:

Paningkat Siburian Abstrak

Budaya organisasi meliputi norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi. Prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah : (1) berfokus pada visi, misi, dan tujuan sekolah; (2) penciptaan komunikasi formal dan informal; (3) inovatif dan bersedia mengambil resiko; (4) memiliki strategi yang jelas; (5) berorientasi kinerja; (6) sistem evaluasi yang jelas; (7) memiliki komitmen yang kuat; (8) keputusan berdasarkan konsensus; (9) sistem imbalan yang jelas; dan (10) evaluasi diri Selanjutnya, asas-asas pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah kerja sama tim, kemampuan, keinginan, kegembiraan, hormat, jujur, disiplin,empati, pengetahuan dan kesopanan.Pengembangan budaya organisasi sekolah bertujuan untuk menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang positif dalam sikap dan perilaku warga sekolah dan pihak pelanggan lainnya dalam rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Sekolah yang memiliki budaya organisasi yang baik menjadikan guru memiliki komitmen organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang tinggi; dan peserta didik memiliki komitmen organisasi, motivasi belajar, dan kerajinan belajar yang tinggi. Adanya komitmen organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang tinggi dari guru yang disertai dengan komitmen organisasi, motivasi belajar, dan kerajinan belajar yang tinggi dari peserta didik akan menyebabkan peningkatan prestasi belajar. Jadi, pengembangan budaya organisasi adalah faktor penting yang dapat meningkatkan keefektifan sekolah, sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai.Kata kunci : Budaya organisasi, keefektifan

PENDAHULUAN

Sejalan dengan persaingan global

dalam dunia pendidikan dan dunia kerja,

terjadi akselerasi tuntutan masyarakat

terhadap mutu pendidikan. Untuk

memenuhi tuntutan tersebut muncul

berbagai ide persekolahan modern

dengan nama sekolah percontohan,

sekolah terpadu, sekolah berstandar

nasional, sekolah berstandar

internasional, sekolah efektif atau

sekolah unggul. Sehubungan dengan ide

persekolahan modern, dapat diketahui

bahwa dalam kehidupan modern muncul

berbagai fenomena yang bisa

mengancam kehidupan manusia yang

terdiri dari virus akal budi, krisis

spiritual, tantangan globalisasi, dan

paradoks kehidupan (Belferik

Manullang, 2006: 9 – 18). Virus akal

budi merupakan suatu kekuatan yang

mengganggu pola pikir, sehingga sadar

Page 31: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

26Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

atau tidak sadar cenderung menghasilkan

tindakan merusak tatanan hidup manusia.

Selain itu juga terjadi krisis spiritual para

pekerja dan pemimpin organisasi yang

mengutamakan kepentingan pribadi

dengan mengorbankan kepentingan

lembaga.

Fenomena lain yang menjadi

realita dalam kehidupan modern adalah

paradoks kehidupan, yang mana semakin

banyak gedung-gedung yang tinggi ,

semakin sedikit orang yang memiliki

kesabaran yang tinggi, dan semakin

banyak orang yang berpengetahuan,

semakin sedikit orang yang memiliki

kearifan. Gejala tersebut

menggambarkan bahwa lulusan lembaga

pendidikan belum memiliki karakter

yang dibutuhkan organisasi di mana

mereka membangun kemitraan.

Secara rinci dikemukakan bahwa

meskipun telah dilakukan berbagai upaya

dalam dunia pendidikan guna

menghasilkan lulusan yang mampu

menguasai ilmu pengetahuan dan

teknologi, namun muncul keluhan

pelanggan tersier, yaitu pihak pengguna

lulusan yang mengemukakan bahwa

lulusan lembaga pendidikan kurang

memiliki soft skills, antara lain : kurang

tangguh, kurang jujur, cepat bosan, tidak

bisa bekerja sama, dan minim

kemampuan berkomunikasi (Martua

Manullang, 2009 : 1).

Sehubungan dengan itu dijelaskan

bahwa budaya organisasi yang disebut

sebagai budaya sekolah merupakan

faktor yang paling penting dalam

membentuk peserta didik menjadi

manusia yang penuh optimis, berani

tampil, berperilaku kooperatif, dan

memiliki kecakapan personal dan

akademik (Direktorat Tenaga

Kependidikan 2, 2007 : 2).

Oleh karena itu, dalam rangka

rangka meningkatkan mutu, relevansi,

dan daya saing lulusan lembaga

pendidikan perlu dilakukan kajian

tentang pengembangan budaya organisasi

menuju sekolah unggul.

PEMBAHASAN

Budaya Organisasi Sekolah (Budaya Sekolah)

Secara etimologis dapat diketahui

bahwa budaya (colere) dan organisasi

(organum) berasal dari bahasa Latin,

yang mana colere berarti membajak

tanah, dan organum berarti alat, bagian,

anggota badan.

Budaya adalah keseluruhan nilai-

nilai, norma, filsafat, peraturan, pola

perilaku, benda hasil karya dalam bentuk

artefak atau produk, dan asumsi dasar

yang dibentuk serta diberlakukan oleh

sekelompok manusia.

Page 32: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

27Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Budaya organisasi didefinisikan

sebagai ”... the body of solution to

external and internal problems that has

worked consistently for a group and that

is therefore taught to new members as

the correct way to perceive, think about

and feel in relation to those problem …”

(R.G.Owen , 1991 : 135). Berdasarkan

definisi di atas dapat diketahui bahwa

budaya organisasi dinyatakan sebagai

bentuk solusi masalah eksternal dan

internal yang dilakukan secara konsisten

bagi suatu kelompok dan oleh karena itu

diajarkan kepada anggota-anggota baru

sebagai cara yang benar dalam

merasakan, memikirkan dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Budaya organisasi mengacu ke sistem

makna bersama yang dianut oleh

anggota-anggota yang membedakan

organisasi itu dari organisasi-organisasi

lain (Stephen P.Robbins, and Timothy

A.Judge, 2009 : 585). Sistem makna

bersama dimaksudkan adalah

seperangkat karakteristik utama yang

dihargai oleh organisasi itu. Budaya

organisasi adalah suatu wujud anggapan

yang dimiliki, diterima secara implisit

oleh kelompok dan menentukan

bagaimana kelompok tersebut merasa,

berpikir, dan bereaksi terhadap

lingkungannya yang beraneka ragam

(E.H.Schein, 1996 : 236).

Budaya organisasi merupakan

pengendali sosial dan pengatur jalannya

organisasi atas dasar nilai dan keyakinan

yang dianut bersama, sehingga menjadi

norma kerja kelompok (Nevizond

Chatab, 2007 : 10 – 11). Secara rinci

budaya organisasi didefinisikan sebagai

norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan,

filsafat, kebiasaan organisasi, yang

dikembangkan dalam waktu yang lama

oleh pendiri, pemimpin, dan anggota

organisasi yang disosialisasikan dan

diajarkan kepada anggota baru serta

diterapkan dalam aktivitas organisasi

sehingga memengaruhi pola pikir, sikap,

dan perilaku anggota organisasi dalam

memproduksi produk, melayani para

konsumen, dan mencapai tujuan

organisasi (Wirawan, 2007 : 10).

Berkaitan dengan uraian di atas

dapat dikemukakan bahwa budaya

organisasi meliputi artefak dan produk,

asumsi dasar, serta nilai dan norma yang

dijadikan sebagai pedoman berperilaku

dan pemecahan masalah yang dihadapi.

Dalam lingkup tatanan dan pola

yang menjadi karakteristik sekolah,

budaya organisasi sekolah memiliki

dimensi yang menjadi ciri budaya

sekolah, yaitu: (1) tingkat tanggung

jawab, dan kebebasan personil sekolah

maupun komite sekolah dalam

berinisyatif; (2) tingkat sejauh mana

Page 33: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

28Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

personil sekolah dianjurkan dalam

bertindak progresif, inovatif, dan berani

mengambil resiko; (3) tingkat sejauh

mana sekolah menciptakan dengan jelas

visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan

upaya mewujudkannya; (4) tingkat

sejauh mana unit-unit sekolah didorong

untuk bekerja dengan cara yang

terkoordinasi; (5) tingkat sejauh mana

kepala sekolah memberi informasi yang

jelas, bantuan serta dukungan terhadap

personil sekolah; (6) jumlah pengaturan

dan pengawasan langsung yang

digunakan untuk mengawasi dan

mengendalikan perilaku personil sekolah;

(7) tingkat sejauh mana personil sekolah

mengidentifikasi dirinya secara

keseluruhan dengan sekolah ketimbang

kelompok kerja tertentu atau bidang

keahlian profesional; (8) tingkat sejauh

mana alokasi imbalan diberikan

berdasarkan prestasi; (9) tingkat sejauh

mana personil sekolah didorong untuk

mengemukakan kritik secara terbuka;

dan (10) tingkat sejauh mana komunikasi

antar personil sekolah dibatasi oleh

hierarkhi formal (Stephen P.Robbins

dalam Direktorat Tenaga Kependidikan

3, 2007 : 7 – 8).

Berdasarkan uraian di atas dapat

diketahui bahwa budaya organisasi

sekolah meliputi nilai-nilai, kepercayaan,

norma, dan aturan yang diterima serta

dilaksanakan personil sekolah, sehingga

mencerminkan sikap dan perilaku

personil sekolah , baik secara individual,

kelompok, dan organisasi.

Sekolah Efektif

Sekolah adalah suatu organisasi

sosial yang memberikan layanan

pendidikan kepada masyarakat guna

dapat mewujudkan manusia seutuhnya.

Efektivitas sekolah menujuk kepada

derajat pencapaian sekolah terhadap

tujuan yang seyogyanya dicapai.

Sehubungan dengan itu, dijelaskan

bahwa keefektifan organisasi adalah

derajat di mana organisasi mencapai

tujuannya (Amitai Etzioni, 1964 : 187).

Efektivitas organisasi menunjukkan

ketercapaian sasaran/tujuan organisasi

yang telah ditetapkan, kemampuan

beradaptasi dengan lingkungan, dan

kemampuan bertahan untuk tetap hidup.

Ada dua model pendekatan yang

dapat digunakan untuk untuk

menentukan sekolah yang unggul atau

sekolah efektif, yaitu : (1) model

pendekatan tujuan; dan (2) model

pendekatan proses. Model pendekatan

tujuan memandang bahwa sebuah

sekolah efektif, jika dapat mencapai

tujuan yang telah ditetapkan, yang mana

tingkat pencapaian tersebut ditandai

dengan prestasi lulusan sekolah.

Selanjutnya, model pendekatan proses

Page 34: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

29Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

memandang sebuah sekolah efektif, jika

memiliki konsistensi internal, efisiensi

penggunaan sumber daya yang baik, dan

mekanisme kerja yang baik.

Sehubungan dengan itu,

dikemukakan bahwa sekolah efektif

adalah sekolah yang menetapkan

keberhasilan pada input, proses, output,

dan outcome yang ditandai dengan

berkualitasnya komponen-komponen

sistem tersebut (Aan Komariah dan Cepi

Triatna, 2008 : 28). Hasil penelitian

Koster mengidentifikasi variabel sekolah

efektif adalah (1) input dengan

subvariabel karakteristik sekolah,

karakteristik guru, dan karakteristik

peserta didik; (2) proses dengan

subvariabel kepuasan guru, iklim

sekolah, dan partisipasi orang tua; dan

(3) outcome dengan subvariabel hasil

belajar, dan konsep diri peserta didik

(Koster dalam Aan Komariah dan Cepi

Triatna, 2008 : 50-51). Selanjutnya,

dapat dijelaskan bahwa asas terpenting

yang menjadi landasan pengelolaan

pendidikan menuju sekolah efektif

adalah pernyataan bahwa semua anak

dapat belajar. Sekolah yang dapat

membuat semua anak dapat belajar

memiliki perilaku (1) memberdayakan

sumber daya manusia seoptimal

mungkin; (2) memfasilitasi warga

sekolah untuk belajar terus-menerus; (3)

memberikan tanggung jawab kepada

warganya; (4) mendorong adanya tim

kerja sama yang kompak ; (5)

mendorong warganya untuk berpikir

sistem; (6) mendorong kemandirian

setiap warganya; (7) menanggapi dengan

cepat tuntutan pelanggan; (8) mengajak

warganya siap menghadapi perubahan;

(9) mengajak warganya menjadikan

sekolahnya berfokus pada pelanggan;

(10) mengajak warganya memiliki

komitmen yang tinggi terhadap

keunggulan kualitas; (11) mengajak

warganya untuk melakukan perbaikan

secara terus-menerus; (12) melibatkan

semua warganya dalam penyelenggaraan

sekolah. Ciri-ciri sekolah efektif meliputi

(1) tujuan sekolah dinyatakan secara jelas

dan spesifik; (2) pelaksanaan

kepemimpinan yang kuat oleh kepala

sekolah; (3) ekspektasi guru dan staf

tinggi; (4) ada kerja sama kemitraan

antara sekolah, orang tua, dan

masyarakat; (5) adanya iklim yang positif

dan kondusif bagi peserta didik untuk

belajar; (6) kemajuan peserta didik sering

dimonitor; (7) menekankan kepada

keberhasilan peserta didik dalam

mencapai keterampilan aktivitas yang

esensial; dan (8) komitmen yang tinggi

dari sumber daya manusia sekolah

terhadap program pendidikan (Aan

Komariah dan Cepi Triatna, 2008 : 37-

Page 35: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

30Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

39). Sekolah efektif menunjuk kepada

lima karakteristik, yakni: (1) harapan

yang tinggi dari keefektifan pengajaran;

(2) kepemimpinan instruksional yang

kuat oleh kepala sekolah; (3) iklim yang

teratur, tenang, dan berorientasi kerja

sekolah; (4) melaksanakan kegiatan

administrasi keuangan dan akademik,

dan (5) pemantauan ats kemajuan belajar

peserta didik (Direktorat Tenaga

Kependidikan 1, 2007 : 96-97).

Karakteristik organisasi sekolah efektif

tersebut didasarkan pada pendekatan

internal , yang mana ukuran keefektifan

berfokus pada proses pengelolaan semua

program sekolah secara efektif dan

efisien. Sehubunga dengan itu,

dikemukakan bahwa karakteristik

organisasi sekolah efektif menurut hasil

penelitian Purkey dan Smith didasarkan

pada 13 ( tiga belas) indikator organisasi

efektif, yakni: (1) fokus manajemen

didasarkan pada kapabilitas sekolah; (2)

kepemimpinan yang kuat; (3) stbilitas

staf; (4) konsensus tujuan; (5)

pengembangan dan pembinaan staf

sekolah; (6) dukungan orangtua; (7) hasil

akademik yang berkualitas; (8)

penggunaan waktu yang efektif; (9) ada

dukungan kuat dari pemerintah daerah;

(10) hubungan kolegial danperencanaan;

(11) komitmen organisasi; (12) tujuan

yang jelas dan harapan yang tinggi di

sekolah; dan (13) aturan yang baik dan

kuat ( Purkey dan Smith dalam

Direktorat Tenaga Kependidikan 1, 2007

: 98). Selanjutnya, dijelaskan bahwa

indikator kepemimpinan sekolah yang

efektif meliputi; (1) penerapan

pendekatan partisipatif dan demokratis;

(2) menyiapkan waktu untuk

berkomunikasi dengan warga sekolah;

(3) menekankan kepada guru dan staf

untuk memenuhi norma pembelajaran;

(4) memantau kemajuan belajar siswa via

guru; (5) aktif melakukan pertemuan

dengan warga sekolah tentang topik

aktual; (6) dana dialokasikan sesuai

prioritas yang ditentukan; (7) melakukan

kunjungan kelas; (8) peka terhadap

kebutuhan guru, staf, peserta didik, dan

warga sekolah; (9) menunjukkan sikap

dan perilaku sebagai model teladan; (10)

mengarahkan inovasi organisasi; (11)

akuntabel, transparan, dan profesional di

bidang keuangan; (12) membangun

kelompok kerja aktif; (13) memiliki

komitmen terhadap penjaminan mutu

sekolah; (14) memberikan ruang

pemberdayaan sekolah (Direktorat

Tenaga Kependidikan 1, 2007 : 102).

Dari indikator kepemimpinan di atas

dapat diketahui bahwa kepemimpinan

yang efektif membuat sekolah efektif,

dan sebaliknya kepemimpinan yang tidak

Page 36: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

31Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

efektif membuat sekolah gagal

mewujudkan visi, misi, dan tujuannya.

Secara rinci dijelaskan bahwa

kriteria sekolah efektif adalah : (1)

mempunyai standar kerja yang tinggi dan

jelas bagi peserta didik; (2) mendorong

aktivitas, pemahaman multi budaya,

kesetaraan gender, dan mengembangkan

secara tepat pembelajaran berdasarkan

standar potensi yang dimiliki peserta

didik; (3) menerapkan metode

pembelajaran yang berakar pada

penelitian pendidikan; (4) mendorong

peserta didik bertanggung jawab dalam

belajar dan berbuat; (5) memiliki harapan

yang tinggi kepada semua staf; (6)

mempunyai instrumen evaluasi dan

penilaian prestasi belajar; (7) membuat

keputusan yang demokratis dan

akuntabilitas; (8) mengorganisakan

sekolah untuk mendukung kegiatan

pembelajaran; (9) menciptakan rasa

aman, sifat saling menghargai, dan

mengakomodasi lingkungan secara

efektif; (10) melibatkan keluarga

membantu peserta didik untuk mencapai

sukses; dan (11) bekerja sama dengan

masyarakat dan pihak terkait lainnya

(Danim, 2006 : 62).

Berdasarkan uraian di atas dapat

diketahui bahwa sekolah efektif adalah

sekolah yang melakukan perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, dan

pengendalian semua sumber daya

pendidikan untuk menjamin semua

peserta didik belajar, sehingga tercapai

tujuan pendidikan yang ditetapkan.

Hubungan Budaya Organisasi dengan

Keefektifan Sekolah

Keefektifan sekolah menunjuk

kepada kesesuaian hasil yang dicapai

dengan tujuan yang ditetapkan.

Sehubungan dengan itu, dijelaskan

bahwa efektivitas adalah melakukan

segala sesuatu yang benar atau

menyelesaikan kegiatan-kegiatan

sehingga sasaran organisasi dapat

tercapai (Stephen P.Robbins and Mary

Coulter, 2007 : 39). Efektivitas sekolah

menunjuk kepada tingkat kesesuaian

antara hasil yang dicapai dengan hasil

yang diharapkan berupa sasaran atau

tujuan yang telah digariskan.

Keefektifan sekolah terkait dengan

jumlah dan kualitas lulusan yang

diharapkan dalam kurun waktu tertentu

untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Sekolah yang efektif dapat menghasilkan

lulusan yang memiliki hard skills dan

soft skills yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat pengguna. Untuk menjadikan

sekolah efektif, perlu dilakukan

pengembangan budaya organisasi

sekolah yang mendukung terhadap

pencapaian tujuan sekolah.

Page 37: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

32Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Budaya organisasi sekolah

meliputi nilai-nilai, kepercayaan, norma,

dan aturan yang diterima serta

dilaksanakan personil sekolah, sehingga

mencerminkan sikap dan perilaku

personil sekolah , baik secara individual,

kelompok, dan organisasi. Adapun

budaya organisasi sekolah yang

diharapkan tumbuh pada sekolah efektif

adalah budaya yang mampu memberikan

karakteristik utama pada perlakuan

sekolah terhadap peserta didik agar dapat

mencintai pelajaran , sehingga mereka

memiliki motivasi belajar yang tinggi

secara terus-menerus. Untuk

mengembangkan budaya organisasi

sekolah yang kuat, perlu dibina rasa

saling percaya, rasa memiliki sekolah,

dan rasa kebersamaan yang menciptakan

perasaan sebagai satu keluarga yang

memiliki tujuan yang sama.

Pengembangan budaya organisasi

sekolah memiliki manfaat sebagai

berikut: (1) menjamin kualitas kerja yang

lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan

komunikasi, baik secara vertikal maupun

secara horizontal; (3) membuat sekolah

lebih terbuka dan trasparan; (4)

menciptakan kebersamaan dan rasa

memiliki yang tinggi; (5) meningkatkan

solidaritas dan rasa kekeluargaan; (6) jika

menemukan kesalahan akan segera

diperbaiki; (7) dapat beradaptasi dengan

baik terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi; (8)

meningkatkan kepuasan kerja; (9)

membuat pergaulan lebih akrab; (10)

meningkatkan disiplin; (11)

meminimalisasi pengawasan fungsional;

(12) memunculkan keinginan berbuat

secara proaktif; (13) meningkatkan

kegiatan belajar dan prestasi; dan (14)

menjadikan keinginan untuk selalu

memberikan yang terbaik bagi sekolah,

keluarga , orang lain, dan diri sendiri

(Direktorat Tenaga Kependidikan 3,

2007 :12-13). Pengembangan budaya

organisasi sekolah dapat dilakukan

melalui tim khusus dengan melibatkan

semua warga sekolah, kemudian

ditetapkan menjadi kebijakan sekolah

sebagai strategi dalam meningkatkan

keefektifan sekolah. . Kebijakan

pengembangan budaya tersebut

disosialisasikan kepada warga sekolah ,

orang tua, dan pihak terkait lainnya

untuk dipahami, disetujui, dan diikuti

sebagai aturan sekolah. Selanjutnya,

diimplementasikan dan dievaluasi untuk

mengetahui kesesuaiannya dengan tujuan

yang diharapkan, kemudian

membicarakannya dengan pihak terkait

guna mendapat masukan dalam rangka

perbaikan sebagai tindak lanjut

pengembangan budaya organisasi

menuju sekolah efektif.

Page 38: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

33Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Prinsip-prinsip yang menjadi

acuan dalam pengembangan budaya dan

iklim sekolah adalah sebagai berikut: (1)

berfokus pada visi, misi, dan tujuan

sekolah; (2) penciptaan komunikasi

formal dan informal; (3) inovatif dan

bersedia mengambil resiko; (4) memiliki

strategi yang jelas; (5) berorientasi

kinerja; (6) sistem evaluasi yang jelas;

(7) memiliki komitmen yang kuat; (8)

keputusan berdasarkan konsensus; (9)

sistem imbalan yang jelas; dan (10)

evaluasi diri (Direktorat Tenaga

Kependidikan 3, 2007 : 16-18).

Selanjutnya, asas-asas pengembangan

budaya dan iklim sekolah adalah kerja

sama tim, kemampuan, keinginan,

kegembiraan, hormat, jujur,

disiplin,empati, pengetahuan dan

kesopanan (Direktorat Tenaga

Kependidikan 3, 2007 : 18-21).

Pengembangan budaya organisasi

sekolah sebagai suatu kebijakan

melibatkan semua warga sekolah guna

menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi,

pengambilan keputusannya melalui

kesepakatan yang bersifat demokratis,

dan berdampak pada peningkatan

keefektifan sekolah yang ditandai dengan

kesesuaian mutu lulusan dengan mutu

yang diharapkan.

PENUTUP

Pengembangan budaya organisasi

sekolah bertujuan untuk menciptakan

kebiasaan-kebiasaan yang positif dalam

sikap dan perilaku warga sekolah dan

pihak pelanggan lainnya dalam rangka

meningkatkan keefektifan sekolah.

Sekolah yang memiliki budaya

organisasi yang baik menjadikan guru

memiliki komitmen organisasi, motivasi

kerja, dan kinerja yang tinggi; dan

peserta didik memiliki komitmen

organisasi, motivasi belajar, dan

kerajinan belajar yang tinggi. Adanya

komitmen organisasi, motivasi kerja, dan

kinerja yang tinggi dari guru yang

disertai dengan komitmen organisasi,

motivasi belajar, dan kerajinan belajar

yang tinggi dari peserta didik akan

menyebabkan peningkatan prestasi

belajar. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa budaya organisasi

yang baik merupakan faktor penting yang

dapat meningkatkan keefektifan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Aan Komariah dan Cepi Triatna. 2008.Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta : Bumi Aksara

Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah : Dari Unit Borikrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta : Bumi Aksara.

Direktorat Tenaga Kependidikan 1. 2007. Perubahan dan Pengembangan Sekolah Menengah sebagai

Page 39: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

34Paningkat Siburian adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Organisasi Belajar yang Efektif. Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional.

Direktorat Tenaga Kependidikan 2. 2007. Budaya Mutu Sekolah Dasar. Jakarta :Departemen Pendidikan Nasional.

Direktorat Tenaga Kependidikan 3. 2007. Pengembangan Budaya dan IklimPembelajaran di Sekolah. Jakarta : Departemen PendidikanNasional.

Etzioni, Amitai. 1964. Modern Organizational. New Jersey : Prentice Hall, Inc.

Manullang, Belferik. 2006. Kepemimpinan Pedagogis (Membangun Karakter Sumber Daya Manusia). Medan : Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.

Manullang, Martua. 2009. Implementasi Soft Skills dalam Pembelajaran. Medan : Politeknik MBP Medan.

Nevizond Chatab. 2007. Profil Budaya Organisasi. Bandung : Alfabeta.

Owen, Robert G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston : Allyn and Bacon.

Robbins, Stephen P and Mary Coulter. 2007. Management. New Jersey : Pearson Education, Inc.

Robbins, Stephen P and Timothy A.Judge. 2009. Organizational Behavior. New Jersey : Pearson Education, Inc.

Schein, Edgar H. 1996. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco : Jossey Bass Publisher.

Wirawan. 2007. Budaya dan Iklim Organisasi. Teori Aplikasi dan Penelitian.Jakarta : Salemba Empat.

Page 40: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

35Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

PENGARUH PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING TIPE TANDUR UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK

DINAMIKA GERAK LURUS DI KELAS XSMA NEGERI 17 MEDAN

Oleh:

Betty M. Turnip

Abstract

The low student learning outcomes for teaching in the school system is still centered on teachers, theoretical, lecture, so that poses a one-sided learning. This study aims to determine the type of teaching quantum impact on the results of graft student learning in subject matter dynamics in the class X straight SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007. The population in this study are all students of class X SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007, which consists of 9 classes with 360 students total. The sampling technique with random cluster sampling, a total of two classes of quantum learning X6 given teaching graft type (experimental class) and class X2 dieri learning without teaching quantum graft type (control class) instrument was used in the test subject matter dynamics straight as much as 20 about valid and reliable option with 5 answers. Results of data analysis found that the average pretest value learning students who are given teaching quantum of 27.50 and the posttest average value 72.50 while the average value of the pretest students who were given conventional learning at 23.25 and the average value posttest of 60.25. data in the two groups of normal distribution and variance classes both groups of homogeneous samples. Hypothesis testing is based on t test, t = 5.093 obtained prices while prices on dk table = n2 = n1 + - 2 = 40 + 40 - 2 = 78 and standard pricing obtained t table = 1.986 thus obtained t calculation = 5.093> = 1.986 which t table Ha declared acceptable and reject H0, which means there is significant influence of quantum learning teaching graft type on student learning outcomes on the dynamics of the subject matter straight in the class X SMA Negeri 17 Medan TP2006/2007Key words:, teaching quantum, type of graft, learning outcomes,dynamics matter straight

PENDAHULUAN

Rendahnya hasil belajar siswa

karena sistem pembelajaran di sekolah

masih berpusat pada guru, teoritis,

ceramah sehingga proses pembelajaran

cenderung sepihak , seperti pendapat dari

Gunawan (2004 : 86). Guru mengajar

menggunakan media papan tulis (visual)

mengerjakan mencatat (visual)

mengerjakan tugas tertulis (visual). Hal

ini dapat kita lihat dari hasil evaluasi

setia akhir semesternya dengan

mengevaluasi nilai pelajaran fisika dari

nilai US (ujian sekolah) SMA Negeri 17

Medan T.P.2005/2006 dan menurut

kepala sekolah tersebut yaitu bapak

Drs.Karbin Tarigan, M.pd diketahui nilai

rata-rata fisika 6,36 sedangkan nilai rata-

rata matematika, biologi, kimia, bahasa

inggris 8,21. dilihat dari komunikasi

yang satu arah, dalam hal ini sangatlah

diperlukan model pembelajaran yang

lebih tepat dan salah satunya dengan

menggunakan pembelajaran quantum

Page 41: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

36Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

teaching. Karena kuantum teaching

mempunyai banyak bagian maka menjadi

batasannya, cukup menggunakan tipe

tandur. Belajar dari segala defenisinya

adalah full-contact ( kegiatan yang saling

memberi umpan balik). Tindakan

memimpin ,menuntun, akan

memudahkan menuju kesadaran dan ilmu

pengetahuan yang lebih luas. Belajar

melibatkan semua aspek kepribadian

semua manusia ,pikiran,perasaan dan

bahasa tubuh, disamping pengetahuan

sikap dan keyakinan serta mengajar

adalah hak yang harus diraih dan

diberikan oleh siswa. Quantum teaching

adalah pembelajaran strategi

menciptakan lingkungan yang efektif ,

merancang kurikulum, menyampaikan isi

dan memudahkan belajar sehingga

menjadi menyenangkan. Tandur

merupakan singkatan dari kata

Tumbuhkan , Alami , Namai ,

Demonstrasikan , Ulangi dan Rayakan.

Model pembelajaran ini memastikan

siswa mengalami pembelajaran, berlatih

menjadikan isi pelajaran nyata bagi

siswa. Bobbi (2000:88) menyatakan

bahwa : ”apapun mata pelajaran, tingkat

kelas atau pendengar , kerangka ini

menjamin siswa menjadi tertarik dan

berminat pada setiap pelajaran” . Metode

pembelajaran quantum teaching ini juga

pernah dilakukan Sugiarto (2006:30)

yang diterapkan dikelas X semester

1(satu) SMA Istiqlal Deli Tua T.A

2005/2006 Dengan Materi Pokok Tata

Surya. Besarnya peningkatan hasil

belajar siswa menggunakan pembelajaran

quantum teaching diperoleh sebesar 15

%, hal ini dapat dilihat dari rata-rata

postes siswa kelas eksperimen sebesar 69

dan kelas kelas kontrol sebesar 60 atau

selisih sebesar 9 ini disebabkan

kurangnya penguasaan rancangan

quantum teaching. Berdasarkan uraian

diatas maka penulis terdorong untuk

melakukan penelitian dengan judul

”Pengaruh Pembelajaran Quantum

Teaching Tipe Tandur Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada

Materi Pokok Dinamika Gerak Lurus di

Kelas X SMA Negeri 17 T.P.2006/2007”

Identifikasi Masalah

Proses belajar mengajar berpusat

pada guru dan teoritis, kurang tepatnya

metode pembelajaran yang digunakan

oleh guru, kurangnya motivasi siswa

dalam mengikuti pelajaran dikelas dan

rendahnya hasil belajar siswa.

Batasan masalah

Mengorkestrasi Suasana Yang

Terpendam , Mengorkestrasi Landasan

Yang Kukuh, Mengorkestrasi

perancangan pengajaran yang dinamis

(tandur), Mengorkestrasi Prestasi Prima,

Mengorkestrasi Fasilitas Yang Luwes,

Page 42: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

37Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Mengorkestrasi keterampilan belajar

untuk belajar, Mengorkestrasi

Keterampilan Hidup, Mengorkestrasi

Kesuksesan Melalui Praktik,pada pokok

bahasan dinamika gerak lurus.

Rumusan masalah

Bagaimana hasil belajar siswa

pada materi pokok dinamika gerak lurus

sebelum dan sesudah pembelajaran

dengan menggunakan pembelajaran

quantum teaching tipe tandur di kelas X

SMA Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?

Adakah pengaruh yang signifikan akibat

pembelajaran quantum teaching type

tandur terhadap hasil belajar siswa di

kelas X SMA Negeri 17 Medan

T.P.2006/2007?

Tujuan

untuk mengetahui hasil belajar

siswa pada materi pokok dinamika gerak

lurus sebelum dan sesudah pembelajaran

dengan menggunakan pembelajaran

quantum teaching tipe tandur di kelas X

SMA Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?

Mengetahui pengaruh pembelajaran

quantum teaching type tandur terhadap

hasil belajar siswa di kelas X SMA

Negeri 17 Medan T.P.2006/2007?

Manfaat penelitian

Sebagai informasi bagi guru

fisika dan salah satu alternatif model

pembelajaran yang dapat dipilih dalam

pembelajaran

Anggapan Dasar

Pembelajaran quantum teaching

tipe tundur dilakukan nilai hasil belajar

siswa di kelas X SMA Negeri 17 Medan

T.P.2006/2007 bervariasi.

METODE PENELITIAN.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan

(dilaksanakan) di SMA Negeri 17 Medan

dan waktu penelitiannya T.P.2006/2007

semester satu di kelas X.

Populasi dan Sampel

Yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa kelas

X SMA Negeri 17 Medan sebanyak 9

kelas,dimana setiap kelas terdiri dari 40

orang siswa sehingga populasi

seluruhnya berjumlah 360

orang.sedangkan sampel terdiri dari 80

orang dari kelas X6 dan X2. Pada sampel

X6 yang diberi pembelajaran quantum

teaching tipe tandur (kelas eksperimen)

dan X2 sebagai kelas kontrol ,teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan

cara cluster random sampling.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini

adalah ada dua jenis yaitu variabel bebas

dan variabel terikat.Sebagai varibel bebas

adalah pembelajaran kuantum teaching

tipe tandur, sebagai variabel terikatnya

Page 43: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

38Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

adalah hasil belajar pada Materi Pokok

Dinamika Gerak Lurus.

Desain Penelitian

Adapun desain penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Tabel 1.Desain penelitian(two group-pretes-postes design)

SAMPEL PRETES PERLAKUAN POSTESKELAS EKSPERIMEN T.1 X T.2KELAS KONTROL T.1 O T.2

Keterangan : X = Pembelajaran quantum teaching tipe tandur

O = Pembelajaran tanpa quantum teaching tipe tandur

T.1 = Pretes

T.2 = Postes

Instrument Penelitian

Alat pengumpulan data pada

penelitian ini adalah tes obyektif yang

berjumlah 20 (dua puluh) soal dan

dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu:

pretes(tes awal) dan postes (tes akhir).

Validitas Isi

Valaditas yang digunakan adalah

valaditas isi (content validity) yang

berdasarkan kurikulum , buku pegangan

guru dan siswa dan dituangkan dalam

bentuk table spesifikasi.yng dapat diuji

menggunakan rumus yang dikemukakan

oleh Arikanto (1999:72) yaitu :

}2222 )(}{)({

))((

YYNXXN

YXXYNrxy

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi antara variable

X dan variable Y , dua variable

yang dikorelasikan

X = skor nomor item

Y = skor total

N = jumlah subjek

Reliabilitas Tes

Untuk menguji reliabilitas dapat

menggunakan rumus varian yaitu :

)1(

)( 22

NN

XiXiNSD

Keterangan :

S = varians

X2 = jumlah kuadrat X

X = skor nomor item

N = jumlah subjek

Page 44: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

39Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Tingkat Kesukaran (TK) dan Daya Pembeda (DP)

Rumus untuk menghitung taraf kesukaran yaitu :

JS

BP

dengan : P = indeks kesukaran

B = banyaknya siswa yang

menjawab soal dengan betul

JS = jumlah seluruh siswa

peserta tes

Menurut Arikunto, ketentuan

yang sering diikuti, indeks kesukaran

sering diklasifikasikan sebagai berikut

soal dengan P 0,00 sampai 0,30 adalah

soal sukar, soal dengan P 0,30 sampai

0,70 adalah soal sedang, soal dengan P

0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah.

Soal yang dianggap baik, yaitu soal yang

sedang adalah soal – soal yang

mempunyai indeks kesukaran 0,30

sampai 0,70. Sedangkan untuk mencari

tarif daya pembeda digunakan rumus

sebagai berikut :

PBPAJB

BB

JA

BAD

Keterangan :

BA = banyaknya kelompok atas yang

menjawab item dengan benar

BB = banyaknya kelompok bawah yang

menjawab item dengan benar

JB = jumlah peserta kelompok bawah

JA = jumlah peserta kelompok atas

D = indeks daya pembeda

PA = proporsi peserta kelompok atas

yang menjawab benar

PB = proporsi peserta kelompok bawah

yang menjawab benar

Butir-butir soal yang baik adalah

butir-butir soal yang mempunyai indeks

diskriminasi 0,4 sampai 0,7. Klasifikasi

daya pembeda :

D : 0,00 – 0,20 = jelek

D : 0.21 – 0,40 = cukup

D : 0,41 – 0,70 = baik

D : 0,71 – 1,00 = sangat baik

Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini dikategorikan

dalam penelitian eksperimen. Jenis

desain penelitian ini adalah desain yang

menggunakan pre tes dan pos tes.

Diagram dari desain tersebut adalah :

Tabel 2.Rancangan Penelitian

Kelas Pre Test Perlakuan Post TestEksperiment P1 X1 P2Kontrol P 1 X2 P2

Page 45: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

40Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Keterangan :

P1 = Pre Tes X1 =

Pembelajaran kooperatif tipe TPS

P2 = Pos Tes X2 =

Pembelajaran dengan pendekatan

konvensional

Prosedur Penelitian.

Untuk melaksanakan penelitian

ini ditempuh langka-langkah sebagai

berikut : Tahap Persiapan : menyusun

jadwal penelitian, membuat RP dan LKS,

menyiapkan tes, Tahap Pelaksanaan :

menentukan kelompok eksperiment dan

kelompok pembanding (kontrol) ,

memberikan pre tes kepada kedua

kelompok untuk mengetahui kondisi

awal sampel , mengajarkan materi ,

memberikan pos tes kepada kedua

kelompok, Tahap Pengolahan Data :

langkah-langkah yang dilakukan peneliti

yaitu mentabulasi data , menghitung nilai

rata-rata dan standart deviasi , uji

normalitas , uji homogenitas , dan uji

hipotesis.

Teknik Analisa Data

- Menghitung jumlah skor untuk tiap

kelompok

Untuk menghitung rata – rata

skor dapat menggunakan rumus yaitu :

N

XX i

Keterangan : X = rata – rata skor

∑ Xi = jumlah skor

N = jumlah sample

- Menghitung standar deviasi

Dapat menggunakan rumus

berikut :

)1(

)( 22

NN

XiXiNSD

- Menguji Normalitas Data

Untuk menguji kenormalan data

digunakan uji liliefors dengan langkah –

langkah sebagai berikut :

- mencari bilangan baku dengan rumus :

S

XXiZi

- untuk setiap bilangan baku dengan

menggunakan daftar distribusi normal

baku, kemudian dihitung peluang F(Zi)

= P(Z≤Zi)

- menghitung proporsi

Z1,Z2,……………,Zn yang lebih kecil

atau sama dengan Z4.

N

ZniyangbanyaknyaZZiS

)(

- Menghitung selisih F(Z4)-S(Z4)

kemudian menetapkan harga

mutlaknya.

- Mengambil harga mutlak yang paling

besar diantara harga mutlak selisih

tersebut, harga terbesar ini disebut Lo

atau Lhitung. Membandingkan Lo

dengan harga Ltable (α = 0,05).

- Menguji Homogenitas

Page 46: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

41Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Uji homogenitas bertujuan untuk

melihat kedua kelompok yang diuji

memiliki kemampuan dasar yang sama

apakah data mempunyai kesamaan

variansnya dan menggunakan

kesamaan uji statistic F dengan rumus:

dimana : S12 = varians dari kelompok

eksperimen, S22 = varians dari

kelompok kontrol

22

21

S

SF

- Menguji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis digunakan

rumus uji t yaitu :

21

2

r

Nrt

Dengan

}2222 )(}{)({

))((

YYNXXN

YXXYNrxy

dimana :

r = koefisien antara variable X dan

variable Y, dua variable yang

dikorelasikan.

N = jumlah sampel kelas eksperiment

X = nilai rata – rata kerja kelompok

Y = nilai pos tes

Hasil dan Pembahasan

Setelah dilakukan uji coba tes

hasil belajar yang akan digunakan

sebagai instrument penelitian, sebanyak

20 butir soal yang seluruhnya dinyatakan

valid. Dengan demikian sebanyak 20

butir soal dipakai sebagai alat

pengumpulan data hasil belajar fisika

siswa pada materi pokok dinamika gerak

lurus dan mempunyai realiabilitas yang

tinggi. Data tes awal kedua kelompok

dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 3. Data Pretes Kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol

KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL

Nilai pretes

F Rata rata Nilai pretes F Rata-rata

15202530354050

4 7 9 10 7 2

1

27,50

10152025303540

16

1410

52

2

23,25

JUMLAH 40 JUMLAH 40

Page 47: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

42Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Berdasarkan tabel diatas dapat

dilihat bahwa rata-rata tes awal siswa

kelas eksperimen sebesar 27,50 dengan

nilai tertinggi 50 dan terendah 15,

sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh

kelas rata-rata sebesar 23,25 dengan nilai

tertinggi 40 dan terendah 10. Setelah

pembelajaran diberikan kepada kedua

kelompok siswa dimana kelompok

eksperimen diberi pembelajaran quantum

teaching tipe tandur sedangkan kelompok

kontrol diberi pembelajaran tanpa

quantum teaching tipe tandur,

selanjutnya dilakukan tes akhir (postes)

pada akhir pertemuan , data tes akhir dari

kedua kelompo dapat di lihat pada tabel

dibawah ini.

TABEL 4. Perbandingan kelas kontrol dan kelas eksperimen

KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROLNilai pretes F Rata-rata Nilai pretes F Rata-rata

505560657075808590

2 2 2 7 5 7

8

6 1

72,50

35404550556065707580

12

26

48

4751

60,25

JUMLAH 40 JUMLAH 40

Berdasarkan tabel diatas

diperoleh rata-rata nilai postes siswa

untuk kelas eksperimen sebesar 72,50

dengan nilai terendah 50 dan tertinggi 90,

sedangkan rata-rata pestes siswa kelas

kontrol sebesar 60,25 dengan nilai

terendah 35 dan tertinggi 80. sebelum

pengujian homogenitas data dan

normalitas data harus memenuhi

beberapa persyaratan, dimana pengujian

homogenitas itu dilakukan untuk

mengetahui apakah sampel yang

digunakan dalam penelitian homogen apa

tidak, artinya aakah sampel yang

digunakan dalam penelitian dapat

mewakili seluruh populasi yang ada.

Pengujian homogenitas dilakukan dengan

uji F. Sedangkan pengujian normalitas

dilakukan dengan uji liliefors untuk kelas

ekserimen diperoleh harga L0 = 0,1364.

pada taraf signifikasi 05,0 dan n=40

diperoleh harga Ltabel = 0,1401 . dengan

demikian diperoleh L0 < Ltabel yang

Page 48: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

43Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

artinya data dari dua kelompok dapat

mewakili seluruh populasi yang ada.

Beardasarkan data yang telah diperoleh

dapat dipastikan bahwa Ha diterima

sehingga diperoleh kesimpulan bahwa

ada pengaruh yang signifikan

pemelajaran quantum teaching tipe

tandur terhadap hasil belajar fisika siswa

pada materi pokok dinamika gerak lurus

di kelas X semester 1 SMA Negeri 17

Medan Tahun Pembelajaran 2006/2007.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian

sebelum diberikan pembelajaran kepada

kedua kelompok sampel diperoleh tes

awal siswa kelas eksperimen 27,50 dan

kelas kontrol 23,25. setelah diberikan

pembelajaran yang berbedadimana kelas

eksperimen diberi pembelajaran quantum

teaching tipe tandur dan kelas kontrol

pembelajaran tanpa quantum teaching

tipe tandur diperoleh rata-rata tes akhir

untuk kelas eksperimen sebesar 72,50

dan kelas kontrol sebesar 60,25. adanya

perlakuan tersebut dikarenakan

pembelajaran quantum teaching tipe

tandur yang memberikan kebebasan

kepada siswa untuk berekspresi sehingga

pemahaman yang didapat khususnya

tentang materi pelajaran fisika akan lebih

terdalam dan terkesan, karena pada

pembelajaran quantum teaching tipe

tandur guru dapat memotivasi siswa

untuk meningkatkan pengetahuan siswa.

Dengan menerapkan TANDUR

maka siswa akan lebih tertarik terhadap

mata pelajaran yang diajarkan,

membangkitkan kembali pengalaman

siswa dan mampu mengasah otak siswa,

siswa tertarik karena simbol, gambar dan

informasi yang diberikan oleh guru

sehingga menjadikan siswa aktif belajar,

membuat siswa bersemangat dalam

belajar karena ada perayaan dalam proses

pembelajaran. Besar peningkatan hasi

belajar siswa belum sepenuhnya optimal

hal ini dikarenakan masih ada terdapat

kendala-kendala di lapangan pada saat

proses belajar mengajar yaitu dalam

pembelajaran, peneliti kurang

mengekspresikan sebagian kerangka

rancangan pembelajaran quantum

teaching tipe tandur terutama dalam

tumbuhkan dan namai, sedangkan dari

segi siswa kurang serius dalam belajar

hal ini dpat dilihat dari sebagian siswa

yang masi menyontek dalam

mengerjakan tes. Untuk itu diperlukan

kemampuan untuk menarik perhatian

siswa dengan pengalaman guru yang

dituangkan dalam simbol, gambar,

sehingga proses belajar mengajar akan

lebih efektif dan menyenangkan. Namun

demikian dari hasil penelitian di

lapangan dari uji normalitas data

Page 49: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

44Betty M. Turnip adalah dosen jurusan FisikaFMIPA Universitas Negeri Medan

diperoleh nilai kelas ekspermen 72,50

dan kelas kontrol 60,25 sedangkan

penelitian Bambang Sugiyarto

sebelumnya didapat dari nilai uji

normalitas data yang diperoleh siswa

kelas eksperimen 69,00 dengan selisih

09,00 sehingga hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada pengaruh yang

signifikan akibat pembelajaran quantum

teaching tipe tandur terhadap hasil

belajar fisika siswa dibandingkan dengan

pembelajaran tanpa quantum teaching

tipe tandur pada materi pokok dinamika

garak lurus di kelas X SMA Negeri 17

Medan T.P.2006/2007 sebesar 20,33%

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan peningkatan hasil

belajar siswa menggunakan pembelajaran

quantum teaching tipe tandur diperoleh

persentase peningkatan sebesar 20,23 %.

Saran

Bagi peneliti yang ingin meneliti

topik atau masalah yang sama tentang

pembelajaran quantum teaching

disarankan agar;(1)menguasai kerangka

rancangan pembelajaran quantum

teaching tipe tandur;lebih menguasai hal

tumbuhkan dan namai pada materi

pokok yang lain;(2)memberikan

kebebasan kepada siswa dalam

berinteraksi dengan siswa lain dalam

proses belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto,S.,(1998). Prosedur Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Bobbi, D., (2002) .Quantum Teaching. Terjemahan Oleh Nilandari Ary, Bandung.

Depdikbud, (1991) Kamus Besar Indonesia. Edisi ke- 2 . Balai Pustaka. Jakarta

Depdiknas. (1991). Kurikulum 2004 SMA. Depdiknas. Jakarta

FMIPA. (2007).Buku Pedoman Penulian Skripsi dan Proposal Kependidikan. FMIPA.UMIMED

Foster, B.,(2000). Terpadu Fisika Jilid 1A. Penerbit Erlangga. Jakarta

Gulo,W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Penerbit PT Grasindo. Jakarta

Gunawan,. (2004).Born To Be A Genius. Penerbit PT .Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Nazir, M. (1998).Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.Jakarta

Ruwanto,B.(2002). Asas-asas Fisika 1A Kurikulum Berbasis Kompetensi.Yudhistira. Bogor

Sudjana. (1998). Metode Statistik Edisi V. Bandung. Tarsito

Sugiarto, B.,(2006). Pengaruh Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Tata Surya Di Kelas X Semester 1 Sma Istiqlal Deli Tua Tahun Ajaran 2005/2006. Skripsi. FMIPA UNIMED.MEDAN

UZER, U (1992). Menjadi Guru Profesional. PT. Remaja Ros Dakarya. Bandung

Page 50: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

45Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PROBLEM BASED INSTRUCTION) YANG MELIBATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL DAN INTERPERSONAL

DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH(Penelitian Tindakan pada Matakuliah Sejarah Indonesia I (satu) untuk

Mahasiswa Pendidikan Sejarah FIS Unimed)

Oleh :

Tappil Rambe

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menghasilkan perangkat model pembelajaran, 2) Mendeskripsikan kadar akrivitas mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran berdasarkan masalah, 3) Mendeskripsikan persentase penguasaan mahasiswa terhadap materi ajar dalam perkuliahan, 4) Mendeskripsikan tingkat kemampuan dosen mengelola pembelajaran berdasarkan masalah, 5) Mendeskripsikan respons mahasiswa terhadap proses pembelajaran, 6) Mendeskripsikan persentase ketuntasan belajar mahasiswa yang diajar dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal, 7) Membandingkan hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dengan hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya secara konvensional.Berdasarkan hasil uji coba diperoleh bahwa semua butir tes memenuhi karakteristik butir tes yang baik yaitu valid dan reliabel. populasi dalam penelitian ini adalah jurusan pendidikan sejarah. Subjek penelitian adalah seluruh mahasiswa yang mengikuti matakuliah Sejarah Indonesia 1 pada tahun akademik 2010-2011. Metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Hasil analisis tingkat kemampuan dosen mengelola pembelajaran pada siklus 1, sampai dengan siklus 3 meningkat dengan rata-rata nilai kategori kemampuan masing-masing adalah 2,81; 3,06; 3,50. menunjukkan kemampuan dosen mengelola pembelajaran dari mulai siklus 1 sampai siklus 3 meningkat. Penerapan model Problem Based Instruction yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dari siklus 1 sampai siklus 3Kata kunci : Problem Based Instruction, kecerdasan intrapersonal dan interpersonal

PENDAHULUAN

Dampak pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di

dalam era globalisasi dapat dipandang

sebagai masalah adaptasi, dengan asumsi

bahwa setiap individu memiliki

kelebihan dan kelemahan serta dalam

kehidupan, kita selalu dihadapkan

dengan masalah, karena masalah adalah

kesenjangan antara harapan dengan

kenyataan. Masalah itulah yang harus

diantisipasi dan diselesaikan secara arif

dan kreatif. Kita akan sukses, jika

mampu secara kreatif mengubah masalah

menjadi peluang. Dengan demikian,

setiap individu diharapkan mampu

beradaptasi dengan keadaan dan

perubahan yang terjadi serta mampu

bekerja sama secara kolaboratif dalam

memecahkan masalah kehidupan.

Page 51: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

46Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

Perubahan yang terjadi sebagai

dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi cenderung menimbulkan

pergeseran nilai dan melahirkan makna

ganda dari kebenaran. Pergeseran

pandangan dualistik menuju pandangan

yang pluralistik, dari filosofi pluralistik

menuju konsep yang holistik. Pergeseran

filosofi yang terjadi tergantung pada hasil

budaya baru yang tercipta. Sementara

jarak tidak menjadi kendala utama

mengalirnya arus informasi. Dalam

keadaan demikian ini, sangat terasa

pentingnya peranan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang memiliki

kemampuan komparatif dan adaptif,

inovatif dan kompetitif, dan mampu

berkolaborasi. Sumber daya manusia

yang terdidik ini, akan dapat lebih mudah

menyerap informasi baru lebih efektif,

sehingga mereka mempunyai

kemampuan yang handal dalam

beradaptasi untuk menghadapi perubahan

zaman yang semakin cepat.

Pada abad pengetahuan atau abad

informasi saat ini, mahasiswa dituntut

memiliki kemampuan memecahkan

masalah baru secara inovatif. Para

mahasiswa diharapkan mampu

bekerjasama secara kolaboratif,

berperilaku unik dan mampu berpikir

divergen (Arend et al., 2001; Reigeluth,

1999). Kompetensi tersebut sulit tercapai

secara optimal, karena sampai saat ini

terdapat kecenderungan masih

diterapkannya paradigma pembelajaran

yang bernuansa transmisi, pemecahan

masalah secara linier, tuntutan pola

perilaku yang seragam, dan pembelajaran

yang bernuansa kompetitif dan

persaingan. Jika dosen menerapkan

pendekatan pembelajaran yang sama

(berdasarkan pengalaman mengajar

sebelumnya) pada sistem pembelajaran

sejarah yang telah mengalami perubahan

(pola pembelajaran yang sesuai dengan

kurikulum berbasis komptensi (KBK)

dan kurikulum bermuatan sof skill, maka

dimungkinkan tujuan-tujuan

pembelajaran atau kompetensi yang

diharapkan dari mahasiswa tidak

tercapai.

Menanggapi rendahnya kualitas

pendidikan kita saat ini dan merespons

tuntutan masa depan, Rektor (pimpinan)

Unimed mengeluarkan kebijakan penting

pada asfek kurikulum antara lain adalah

jati diri mahasiswa berupa motivasi,

traits, konsep diri, kerja keras, kejujuran,

kerjasama, integritas, pengetahuan,

keterampilan, dan kemandirian yang

dikembangkan melalui pembelajaran.

Kebijakan nasional di tingkat perdosenan

tinggi (khususnya yang menghasilkan

dosen) tertuang dalam KPPT-JP IV

(HELTS) 2003-2010. Ide utama

Page 52: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

47Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

kebijakan itu antara lain: contributes to

the nation's competitiveness, producing

qualified teachers, access and adapt

global knowledge to local use, to

produce graduates with immense self

learning capacity, shifting from teaching

centered to learning centered

(Brojonegoro, Satryo Soemantri, 2003).

Kedua kebijakan ini masih sebatas

konsep, sehingga diperlukan usaha-usaha

kearah perbaikan kualitas lulusan

pendidikan dosen, membantu dosen

menerapkan paradigma baru

pembelajaran sejarah di kelas. Dosen dan

mahasiswa memerlukan pedoman berupa

model pembelajaran. Untuk

mengembangkan model pembelajaran

yang inovatif dan relevan dengan

pembelajaran sejarah serta sesuai dengan

kondisi daerah dan budaya mahasiswa

kita, dapat ditemukan melalui penelitian.

Juga melalui bandingan model

pembelajaran yang telah teruji di tingkat

internasional.

Kecerdasan interpribadi dan

intrapribadi adalah dua dari delapan

kecerdasan yang dikemukakan oleh

Gardner. Gardner (1999, 2001)

mengemukakan bahwa ada delapan

kecerdasan yang meliputi: kecerdasan

musik, kecerdasan gerak badan,

kecerdasan logika-sejarah, kecerdasan

linguistik, kecerdasan ruang, kecerdasan

interpersonal, kecerdasan intrapersonal,

dan kecerdasan naturalistik. Selanjutnya

Gardner juga mengemukakan bahwa

kecerdasan interpribadi dan intrapribadi

belum dipahami sepenuhnya, sulit untuk

dipelajari, tetapi amat penting (Gardner,

1993; Wahl, 1998; Martin, 2000).

Dryden dan Vos (2001) meyakini bahwa

penemuan yang dilakukan oleh Gardner

sangat penting dalam perencanaan

pendidikan masa depan.

Pembelajaran konvensional hanya

berorientasi pada hasil belajar yang dapat

diamati dan diukur hal ini hampir

sepadan dengan pandangan Behavioristik

yaitu mahasiswa bersifat pasif dan dosen

cenderung memberikan/memindahkan

informasi yang sebanyak-banyaknya

kepada mahasiswa maka konsep, prinsip

dan aturan-aturan dalam sejarah saling

terisolasi dan tidak bermakna. Akibatnya

mahasiswa tidak dapat menerapkan

konsep karena tidak memahami

bagaimana terbentuknya konsep tersebut

dan selanjutnya sukar untuk

mengadaptasikan pengetahuannya

terhadap keadaannya.

Salah satu model pembelajaran

dengan paham konstruktivis yang

penekanannya memampukan mahasiswa

memecahkan masalah dan dimungkinkan

mengangkat masalah serta berorientasi

pada pemahaman adalah Model

Page 53: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

48Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

Pembelajaran Berdasarkan Masalah

(Problem-Based Instruction). Arends

(1997: 160) menyatakan bahwa,

“Pembelajaran berdasarkan masalah berusaha untuk memandirikan mahasiswa. Tuntutan dosen yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mahasiswa untuk bertanya dan mencari solusi sendiri masalah nyata, dan mahasiswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan dorongan inkuiri terbuka”.

Dari kutipan ini, penerapan model

pembelajaran berdasarkan masalah

dianggap dapat menanamkan

pemahaman pengertian serta

membimbing mahasiswa agar mampu

memahami konsep, prinsip ilmu sejarah.

Penulis melihat bahwa pembelajaran

berdasarkan masalah dapat dijadikan

salah satu alternatif pembelajaran untuk

membimbing mahasiswa dalam

memahami konsep dan prinsip. Dalam

pembelajaran berdasarkan masalah

mahasiswa mampu mengembangkan

kemampuan berpikir, memecahkan

masalah sehingga mahasiswa itu dengan

sendirinya dapat menemukan bagaimana

konsep itu terbentuk. Ini sesuai dengan

pendapat Ibrahim dan Nur (2000:7)

menyatakan pembelajaran berdasarkan

masalah (Problem-Based Instruction)

utamanya dikembangkan untuk

membantu mahasiswa mengembangkan

kemampuan berpikir, pemecahan

masalah, dan keterampilan intelektual;

belajar berbagai peran orang dewasa

melalui pelibatan mereka dalam

pengalaman nyata atau simulasi; dan

menjadi pebelajar yang otonom dan

mandiri.

Pada proses pembelajaran, dosen

terjebak pada kegiatan pembelajaran

yang lebih menekankan pada

kemampuan intelektual dan mengabaikan

pembelajaran nilai. Hal ini tidak boleh

terjadi, karena tanggung jawab

perdosenan tinggi untuk memajukan

nilai-nilai afektif sejajar dengan

tanggung jawab terhadap peningkatan

ranah kognitif dan psikomotor (Ansyar,

2001). Proses pembelajaran sejarah di

kelas pada umumnya “hanya”

menekankan pemberian informasi yang

sebanyak-banyaknya pada mahasiswa

tanpa mempertimbangkan kebermaknaan

pengetahuan dibenak mahasiswa.

Dengan penekanan pada pemberian

informasi tanpa makna, standar

kompetensi mata pelajaran sejarah tidak

akan dapat tercapai. Untuk mencapai

standar kompetensi tersebut, seharusnya

pembelajaran sejarah mendorong

perkembangan seluruh potensi peserta

didik (Dryden dan Vos, 2001).

Potensi yang dimaksud adalah

kedelapan kecerdasan seperti yang

Page 54: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

49Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

dikemukakan Gardner. Kedelapan

kecerdasan itu seringkali disebut sebagai

kecerdasan majemuk. Pelibatan

kecerdasan majemuk pada proses

pembelajaran merupakan proses

pembelajaran yang disarankan oleh

David Lazear (dalam Al-Rawahi, 1996).

Hal ini diperlukan bila para mahasiswa

diinginkan mampu menggunakan seluruh

kecerdasan yang mereka miliki. Dengan

demikian diharapkan pembelajaran yang

dilaksanakan dosen akan menjadi lebih

bermakna dan dapat memberi mahasiswa

berbagai cara untuk mendemonstrasikan

bagaimana mereka dapat mengerti

sejarah (Lappan, Glenda, Fey, Fizgerald,

Friel, dan Phillips 2002b). Pada

penelitian ini yang dilibatkan pada proses

pembelajaran sejarah adalah

kekecerdasan intrapribadi dan

interpribadi, karena dengan kecerdasan

intrapribadi mahasiswa dapat

mendemonstrasikan bagaimana

pengertian mereka terhadap sejarah

Indonesia I dan dengan kecerdasan

interpribadi mahasiswa dapat menerima

perbedaan pendapat yang terjadi selama

proses pembelajaran berlangsung.

(Dalam tulisan ini kata peserta didik dan

mahasiswa keduanya digunakan dalam

arti sama).

Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa dalam proses

pembelajaran di perdosenan tinggi,

kompetensi yang terkait dengan IQ

dirancang dengan baik oleh dosen, tetapi

kompetensi yang terkait dengan EQ tidak

secara sengaja dirancang dalam

pembelajaran. Ketercapaiannya

“digantungkan” sebagai dampak

pengiring yang secara otomatis terbentuk

seiring dengan terkuasainya materi

pelajaran (Tim Broad-Based Education,

2000 b).

Kondisi belajar terbaik dapat

tercapai, bila dosen dapat

mengorkestrasikan lingkungan,

menyiapkan suasana yang kondusif dan

“mencuri” perhatian mahasiswa, serta

membuat aktivitas yang menarik.

Kebanyakan proses pembelajaran

“tradisional” tidak memperhatikan hal-

hal tersebut. Dengan perkataan lain,

dosen perlu menciptakan kondisi belajar

yang menyenangkan. “Pintu” untuk

belajar harus terbuka sebelum proses

pembelajaran terjadi. “Pintu” itu bersifat

emosional (Dryden dan Vos, 2001).

Karena pintu itu bersifat emosional,

maka kecerdasan emosional peserta didik

harus benar-benar dilibatkan dalam

proses pembelajaran. Jadi dengan

melibatkan kecerdasan interpribadi dan

intrapribadi, yang tercakup dalam

kecerdasan emosional, pada proses

pembelajaran, berarti dosen berusaha

Page 55: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

50Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

untuk membuka pintu agar proses

pembelajaran yang berlangsung dapat

menyenangkan mahasiswa.

Jika perguruan tinggi ingin benar-

benar mewujudkan tujuan pendidikan,

yaitu menyiapkan peserta didik untuk

menghadapi masa depan mereka dan

menghadapi dunia kerja, maka pelibatan

kecerdasan interpribadi dan intrapribadi

dalam proses pembelajaran tidak dapat

ditangguhkan lagi. Alasan peneliti adalah

semakin banyak pencari tenaga kerja

yang mensyaratkan kedua kecerdasan

tersebut dimiliki oleh calon pegawainya.

Hal ini dapat dilihat dari syarat yang

harus dipenuhi pencari kerja, antara lain:

having good interpersonal; able to work

under pressure; have a wide social

contact; good leadership; team

motivator; have good integrity and

commitment; highly motivated, high

integrity, and plenty initiative; self

motivate and can work together within

teamwork; good communication skills;

serta berdedikasi tinggi, loyal, dan jujur

(Kompas, Minggu 19 Januari 2003 dan

Sabtu 6 Juli 2003; Jawa Pos, Sabtu 18

Januari 2003). Persyaratan-persyaratan

yang harus dipenuhi oleh pencari tenaga

kerja tersebut terkait dengan kecerdasan

intrapribadi dan interpribadi.

Berdasarkan uraian di atas, maka

fokus penelitian ini adalah mengukur

keefekktivan model pembelajaran

masalah (problem-based instruction)

yang melibatkan kecerdasan

interpersonal dan intrapersonal

mahasiswa dalam pembelajaran sejarah

Indonesia I.

METODE PENELITIAN

Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada

jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unimed.

Sedangkan subjek penelitian adalah

seluruh mahasiswa yang mengikuti

matakuliah Sejarah Indoensia I pada

tahun akademik 2010-2011.

Faktor yang Diselidiki

Untuk memberikan pemecahan

yang tepat terhadap permasalahan

penelitian yang dikemukakan, maka ada

beberapa faktor yang akan diselidiki,

yaitu:

a. Faktor Mahasiswa: yaitu dengan

melihat apakah tindakan yang

diberikan oleh peneliti (dosen) dapat

meningkatkan kemampuan strategi

kognitif mahasiswa dalam memahami

materi dan memecahkan masalah

melalui aktivitas problem based

instruction pada matakuliah Sejarah

Indonesia I.

b. Faktor Peneliti (Dosen): yaitu dengan

melihat bagaimana dosen

menyiapkan materi perkuliahan

Page 56: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

51Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

apakah sudah mencerminkan

tindakan-tindakan yang ingin

diterapkan atau belum. Selian itu,

juga diamati apakah proses

perkuliahan sudah berjalan sesuai

dengan rencana atau belum.

c. Faktor Sumber Belajar: yaitu apakah

sumber belajar yang dipergunakan

oleh dosen dapat menunjang

tindakan-tindakan yang akan

diterapkan atau apakah sudah sesuai

dengan tujuan penelitian atau tidak.

Sesuai dengan Rencana Tindakan

Penelitian tindakan ini

dilaksanakan selama 3 (tiga) siklus, yaitu

siklus I, II, dan III. Sebelum penerapan

tindakan pada siklus pertama, terlebih

dahulu diadakan tes diagnostik dan

observasi awal tentang kemampuan

strategi kognitif mahasiswa (perkuliahan

I-II). Model dan format tindakan yang

akan diberikan pada siklus I disesuaikan

dengan hasil observasi awal mahasiswa,

sedangkan tindakan yang diterapkan

pada siklus II adalah ditentukan

berdasarkan hasil refleksi pada siklus I.

Demikian juga tindakan untuk siklus III

ditentukan berdasarkan hasil refleksi

pada silkus II.

Hakekat penelitian tindakan

kelas, maka prosedur pelaksanaan

penelitian untuk masing-masing siklus

melalui tahap-tahap (a) perencanaan

(planning), (b) pelaksanaan tindakan

(action), (c) observasi dan evaluasi

(observation & evaluation), dan (d)

refleksi (reflection).

Prosedur pelaksanaan penelitian

secara terperinci adalah sebagai berikut:

Siklus pertama (Perkuliahan III

sampai VI)

a) Perencanaan: Adapun kegiatan yang

dilakukan pada tahap ini

adalah:

Mengidentifikasi startegi problem

based instruction yang akan diajarkan

dan dilatihkan kepada mahasiswa.

Mengidenitifkasi strategi dalam

problem based instruction yang cocok

untuk masing-masing topik dalam

matakuliah Sejarah Indonesia I.

Membuat skenario perkuliahan yang

menggunakan metode dan aktivitas

problem based instruction dalam

perkuliahan matakuliah Sejarah

Indonesia I

Membuat lembar observasi untuk

mengamati proses pembelajaran

selama penerapan tindakan.

Menyusun tes diagnostik untuk

mendiagnostik kemampuan problem

based instruction yang telah dimiliki

oleh mahasiswa.

Menyusun tes untuk mengukur

kemampuan mahasiswa dalam

Page 57: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

52Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

memahami materi matakuliah Sejarah

Indonesia I.

Menyusun rubrik penilaian penelitian

yang dilakukan secara kelompok

Menyusun kuesioner untuk

memperoleh tanggapan mahasiswa

terhadap pelaksanaan tindakan dan

pelaksanaan perkuliahan secara umum.

b) Pelaksanaan Tindakan:

Kegiatan yang dilaksanakan pada

tahap ini adalah melaksanakan

perkuliahan sesuai dengan skenario

perkuliahan yang telah disusun. Sekali

lagi, skenario perkuliahan harus

menonjolkan tindakan yang ingin

diterapkan, yaitu problem based

instruction dalam perkuliahan Sejarah

Indonesia I.

c) Observasi dan Evaluasi: Kegiatan

yang dilakukan pada tahap ini adalah:

Melaksanakan observasi terhadap

pelaksanaan tindakan secara khusus

dan proses perkuliahan secara umum

dan kesungguhan pelaksanaan

problem based instruction dengan

menggunakan lembar observasi yang

telah disiapkan. Observasi

dilaksanakan selama proses

perkuliahan dan penelitian

berlangsung.

Melaksanakan evaluasi untuk

mengukur kemampauan mahasiswa

dalam memahami materi Sejarah

Indonesia I yang sudah diajarkan

dengan menggunakan instrumen yang

telah disusun.

Menjaring tanggapan mahasiswa

tentang pelaksanaan tindakan dengan

menggunakan kuesioner yang telah

disiapkan. Evaluasi dan penjaringan

tanggapan dilakukan pada akhir

siklus.

d) R e f l e k s i

Refleksi dilakukan berdasarkan

hasil analisis data, baik data hasil

observasi maupun data hasil evaluasi

belajar. Refleksi ini dilakukan dengan

tujuan untuk menilai apakah problem

based instruction dalam perkuliahan

sudah berjalan secara optimal dan apakah

betul tindakan tersebut dapat

meningkatkan kualitas belajar dan

kemandirian mahasiswa dalam

perkuliahan matakuliah Sejarah

Indonesia I. Selain itu, refleksi juga

mempelajari kelemahan-kelemahan dan

kendala yang dihadapi serta

kemungkinan pengembangannya pada

siklus berikutnya. Hasil refleksi dan

analisis data pada tahap ini selanjutnya

dipergunakan untuk merencanakan

tindakan pada siklus berikutnya.

Siklus II (Perkuliahan VIII-XI) dan

Siklus III (Perkuliahan XII-XV)

Siklus II dimulai pada

perkuliahan VIII karena pada

Page 58: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

53Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

perkuliahan VII dialokasikan untuk

mengadakan ujian mid semester,

sedangkan ujian akhir semester dapat

dilakukan pada perkuliahan ke XVI.

Secara garis besar kegiatan-

kegiatan yang dilakukan pada setiap

tahap dalam siklus II dan III adalah sama

dengan kegiatan-kegiatan pada siklus I.

Perubahan yang mendasar adalah pada

jenis tindakan yang diberikan.

Sebagaimana sudah dikemukakan

sebelumnya, bahwa rencana tindakan

pada siklus II disusun berdasarkan hasil

refleksi dan analisis data pada siklus I.

Demikian juga rencana tindakan pada

siklus III disusun berdasarkan hasil

refleksi dan analisis data pada siklus II.

Data dan Cara Pengambilan Data

Sumber data: Sumber data adalah

personil penelitian yang terdiri dari

peneliti (dosen) dan mahasiswa.

Jenis data: Jenis data yang diperoleh

adalah data kuantitatif

dan data kualitatif

Cara pengambilan data:

Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes

diagnostik untuk menyelidiki

kemampuan problem based instruction

mahasiswa, tes kemampaun

memahami materi Sejarah Indonesia I

dan hasil pelaksanaan pada akhir

setiap siklus, sedangkan data kualitatif

diperoleh dari hasil tes diagnostik,

hasil observasi dan pengisian

kuesioner tanggapan oleh mahasiswa.

Analisis Data

Sesuai dengan jenis data yang

akan dikumpulkan, maka analisis data

penelitian dilakukan dalam dua macam

yaitu analisis kualitatif dan analisis

kuantitaif. Analisis kualitatif

diberlakukan pada data hasil tes

diagnostik, data hasil observasi, dan data

pengisian keusioner tanggapan

mahasiswa. Sedangkan analisis

kuantitatif diberlakukan pada data hasil

tes kemampuan awal dan data hasil tes

kemampuan pemahaman materi Sejarah

Indonesia I dan produk pembelajaran

untuk masing-masing siklus.

INDIKATOR KINERJA

Untuk menilai adanya

peningkatan kualitas belajar mahasiswa

dipergunakan indikator peningkatan

pemahaman mahasiswa terhadap materi

Sejarah Indonesia I yang diajarkan,

sedangkan peningkatan kemandirian

mahasiswa diukur dari kualitas tugas

yang dikerjakan. Kualitas proses

pelaksanaan perkuliahan secara umum

juga dapat dilihat dari hasil tanggapan

umum mahasiswa dan hasil pengamatan

langsung selama perkulihan berlangsung

tentang minat, motivasi, dan keaktifan

mahasiswa. Dengan demikian indikator

keberhasilan penelitian ini adalah:

Page 59: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

54Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

a. Tersedia model pembelajaran Sejarah

Indonesia I yang dapat meningkatkan

kualitas belajar dan kemampuan

mahasiswa dalam memecahkan

berbagai masalah.

b. Tersedianya instrumen penilaian

kemampuan mahasiswa memecahkan

masalah.

c. Tersedia modul pembelajaran Sejarah

Indonesia I yang disusun berdasarkan

hasil kajian mendalam tentang PBI

yang dilakukan.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian,

sebelum diberi tindakan nilai rata-rata

pre tes adalah 5,73% dengan persentase

ketuntasan belajar klasikal 0%. Setelah

diberi tindakan 1 menggunakan model

pembelajaran berdasarkan masalah (PBI)

yang melibatkan kecerdasan

intrapersonal dan interpersonal, skor rata-

rata menjadi 40,66 dengan nilai 61,61

dengan presentase ketuntasan belajar

klasikal adalah 54,55%. Kemudian

setelah pemberian tindakan II, dengan

menggunakan model pembelajaran yang

sama diperoleh skor rata-rata post tes

adalah 41,39 dengan nilai 62,71 dengan

presentase ketuntasan belajar adalah

61,36%. Selanjutnya setelah diberi

perlakuan tindakan III, dengan

menggunakan model pembelajaran yang

sama diperoleh skor rata-rata post tes

43,55 dengan nilai 65,98 dengan

presentase ketuntasan belajar adalah

75%. Hal ini berarti telah mencapai

ketuntasan belajar klasikal yaitu 65%.

Dengan demikian penerapan

model pembelajaran berdasarkan

masalah (PBI) yang melibatkan

kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal mampu meningkatkan hasil

belajar mahasiswa pada mata kuliah

Sejarah Indonesia 1. Penerapan model

pembelajaran berdasarkan masalah yang

melibatkan kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal memampukan mahasiswa

menemukan makna dari materi

perkuliahan yang diberikan sehingga

membuat mahasiswa belajar mandiri dan

terarah sehingga hasil belajar mahasiswa

meningkat.

Jika dibandingkan kelas yang

dikenai perlakuan model pembelajaran

berdasarkan masalah (PBI) yang

melibatkan kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal dengan kelas yang dikenai

perlakuan model konvensional maka

model konvensional hanya mampu

memperoleh rata-rata skor sebesar 33,09

dengan nilai 50,10. Ketuntasan belajar

secara klasikal pada kelas kontrol yang

dikenai perlakuan model konvensional

hanya sebesar 41,46% maka dapat

disimpulkan bahwa kelas yang dikenai

perlakuan penerapan model pembelajaran

Page 60: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

55Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

berdasarkan masalah (PBI) yang

melibatkan kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal lebih baik dari pada kelas

yang dikenai perlakuan model

konvensional.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Penerapan model pembelajaran

berdasarkan masalah (PBI) yang

melibatkan kecerdasan intrapersonal

dan interpersonal mampu

meningkatkan hasil belajar

mahasiswa pada mata kuliah Sejarah

Indonesia 1. Yang dilakukan dalam 3

siklus.

2. Model pembelajaran berdasarkan

masalah (PBI) yang melibatkan

kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal efektif dalam

pembelajaran mata kuliah Sejarah 1.

Hal ini ditunjukkan dengan

kemampuan dosen dalam mengelola

pembelajaran berada pada kategori

baik, aktivitas siswa tertumpu pada

bagaimana menyelesaikan

permasalahan yang diberikan, respon

mahasiswa terhadap pembelajaran

positip, dan presentase ketuntasan

belajar secara klasikal terpenuhi.

3. Hasil belajar mahasiswa yang dikenai

perlakuan model pembelajaran

berdasarkan masalah (PBI) yang

melibatkan kecerdasan intrapersonal

dan interpersonal lebih baik

dibandingkan dengan model

konvensional.

Saran

1. Kepada dosen jurusan sejarah

khususnya, hendaknya selalu

berupaya meningkatkan hasil belajar

mahasiswa dan mempertimbangkan

model pembelajaran berdasarkan

masalah (PBI) yang melibatkan

kecerdasan intrapersonal dan

interpersonal sebagai alternatif model

pembelajaran yang dilaksanakan

dalam pembelajaran.

2. Kepada mahasiswa, diharapkan untuk

mau lebih aktif selama pembelajaran

dan berlatih menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang

kompleks agar hasil belajar lebih

meningkat.

3. Kepada peneliti yang berminat

melakukan penelitian dengan objek

yang sama dengan penelitian ini,

disarankan untuk mengembangkan

penelitian ini dengan memvariasikan

dengan metode, teknik, strategi, gaya

pembelajaran yang lain dan berupaya

merangsang dan memotivasi

mahasiswa untuk lebih berani

memberikan tanggapan dan

pertanyaan terkait dengan mata

kuliah yang diberikan.

Page 61: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

56Tappil Rambe adalah dosen jurusan SejarahFIS Universitas Negeri Medan

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Lewis. (1997). Psychological Testing and Assessment. Ed.9, USA, Allyn and Bacon

Arikunto, (1999). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi), Bandung, Bumi Aksara

Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York, Mc Graw-Hill Companies, Inc.

---------------------- (2001). Instruction to Teach. Fifth Edition. New York: McGraw Hill Companies

Arends, R. I., Wenitzky, N.E., & Tannenboum, M. D. (2001). Exploring Teaching: An Introduction to Education. New York, McGraw-Hill Companies, Inc.

---------------------------- (2003) Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional

Borich, Gary D. (1990). Observation for Effective Teaching. Englewood Cliffs, Merrill Publishers.

Eggen, Paul D & Kauchak (1988). Strategies for Teacher Teaching Content and Thinking Skills. New Jersey, Prentice Hall.

Ferguson, George A. (1989). Statistical Analisys in Psychology and Education. Sixth Edition, Singapore, Mc Graw-Hill International Book Co.

Gardner, H. (1983). Frames of Mind-The Theory of Multiple Intelligences. New York, Basic Books.

Grinnell, Jr, Richard M. (1988). Social Work Research and Evaluation, Third Edition. Illionis, F.E Peacock Publishers, Inc.

Page 62: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

57Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA MATERI POKOK BESARAN DAN PENGUKURAN

DI MTs SWASTA PAB I HELVETIA MEDANOleh :

Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra RitongaAbstrak

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan alat penyajian lembar observasi aktivitas siswa dan penyajian soal tes dalam bentuk pilihan berganda yang uji persyaratan instrumen tes hasil belajarnya telah terpenuhi. Pada penelitian ini dilakukan dua siklus, keduanya menggunakan pendekatan kontekstual, namun metode yang digunakan bervariasi. Adapun pada siklus I digunakan kombinasi metode mengajar (demontrasi, eksperimen, diskusi, tanya jawab, ceramah, dan pemberian tugas), sedangkan pada siklus II menggunakan metode eksperimen, tanya jawab, dan pemberian tugas. Terlebih dahulu diadakan tes awal. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh tentang materi pokok besaran dan pengukuran pada tes awal sebesar 31. Pada siklus I tingkat pencapaian hasil belajar siswa meningkat menjadi 51,8. Pada siklus II, hasil belajar siswa menjadi 82,2. hasil menunjukkan peningkatan yang terjadi signifikan dan seluruh siswa telah mencapai ketuntasanKata kunci: Penelitian tindakan kelas, Pendekatan kontekstual

PENDAHULUAN

Upaya mencerdaskan kehidupan

bangsa dan mengembangkan kualitas

manusia seutuhnya adalah misi

pendidikan yang menjadi tanggung

jawab setiap guru. Pendidikan IPA

khususnya fisika merupakan salah satu

pendidikan di sekolah yang menentukan

keberhasilan mutu pendidikan.

Kenyataannya, masih banyak siswa yang

takut dan sulit untuk mempelajari fisika,

sehingga siswa memproleh hasil belajar

fisika yang rendah.

Berdasarkan data TIMSS ( Third

Matemathics and Science Study )

lembaga yang mengukur hasil

pendidikan di dunia, melaporkan

kemampuan IPA anak SMP di Indonesia

berada pada urutan 32 dari 38 negara di

dunia ( Nurhadi, 2004: 6 ). Hasil belajar

siswa yang rendah tersebut disebabkan

oleh beberapa faktor, diantaranya:

kurangnya pemahaman siswa dan

penguasaan materi pelajaran, kesalahan

konsepsi siswa pada materi pokok,

perbedaan intelegensi masing-masing

siswa, kurangnya motivasi siswa

terhadap pelajaran fisika, dan pendekatan

pembelajaran yang kurang tepat.

Diantara faktor-faktor tersebut yang

menyebabkan rendahnya hasil belajar

fisika siswa yang paling dominan adalah

pendekatan pembelajaran yang kurang

tepat, kurang tepatnya pendekatan

pembelajaran yang digunakan berdampak

Page 63: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

58Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

pada kurangnya pemahaman siswa,

penguasaan materi dalam jangka panjang

sehingga hasil belajar siswa rendah.

Pendekatan Pembelajaran selama

ini berorentasi pada target penguasaan

materi terbukti berhasil dalam kompetisi

mengingat jangka pendek, tetapi gagal

dalam membekali anak memecahkan

persoalan dalam kehidupan jangka

panjang sehingga life skill pada bidang

fisika tidak tercapai. Selain itu sulitnya

keterampilan proses sains, penguasaan

konsep dan semangat berkreatifitas tanpa

mengikutsertakan siswa agar bekerja

lebih aktif dan kreatif.

Selama ini fisika terasa sangat

sulit dan memusingkan siswa, karena

cara pengajaranya yang kurang

menyenangkan, dan kurang tepatnya

metode pembelajaran. Terlalu banyak

teori dan menghapal rumus membuat

siswa semakin pusing. Andaikan fisika

diajarkan dengan eksperimen dan

pemahaman maka fisika akan terasa

mudah bagi siswa.

Menurut Basar (2004) “jika

ditanyakan kepada siswa sekolah

menengah tentang pelajaran apa yang

dianggap paling sulit umumnya sebagian

besar menjawab fisika, penyebabnya

adalah proses pembelajaran fisika kurang

memberikan perhatian dalam kehidupan

sehari-hari dan selalu membahas hal

yang abstrak”

(http://id.ppi.Jepang.org/article php id-

45/, 2005 ). Oleh karena itu agar kegiatan

belajar mengajar berhasil, guru sebagai

pengajar harus mampu merancang teknik

pengajaran yang sesuai dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran

yang sesuai dan metode yang bervariasi

sehingga dapat membangkitkan minat,

motivasi, dan ketertarikan belajar fisika.

Salah satu pendekatan yang

melibatkan siswa lebih aktif dan dapat

membangkikkan minat, motivasi belajar

fisika adalah pembelajaran pendekatan

kontekstual atau Contextual Teaching

and Learning (CTL). Pendekatan ini

menjadikan siswa terlibat aktif dalam

kegiatan yang bermakna, yang

diharapkan dapat membuat siswa untuk

dapat mengkonstruksikan pengetahuan

dibenak mereka sendiri dan dapat

menghubungkan pengetahuan yang

diperoleh dengan konteks situasi dunia

nyata.

Pembelajaran kontekstual

berdasarkan hasil penelitian Dewey

(dalam Toharuddin, 2005) bahwa siswa

akan belajar dengan baik jika apa yang

dipelajari terkait dengan apa yang telah

diketahui dan kegiatan yang terjadi di

sekelilingnya. Pembelajaran ini

menekankan pada daya pikir yang tinggi,

transfer ilmu pengetahuan,

Page 64: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

59Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

mengumpulkan data, menganalisis data,

dan memecahkan masalah-masalah

tertentu baik secara individu maupun

kelompok.

Berdasarkan batasan masalah,

maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah 1) Apakah penerapan

pembelajaran pendekatan kontekstual

dapat meningkatkan hasil belajar fisika

siswa pada materi pokok besaran dan

pengukuran; 2) Apakah penerapan

pembelajaran pendekatan kontekstual

dapat meningkatkan aktivitas siswa pada

materi pokok besaran dan pengukuran.

Sedangkan Tujuan Penelitian antara lain

1) Untuk mengetahui peningkatan hasil

belajar siswa melalui penerapan

pembelajaran pendekatan kontekstual

pada materi pokok besaran dan

pengukuran; 2) Untuk mengetahui

peningkatan aktivitas belajar siswa

melalui penerapan pembelajaran

pendekatan kontekstual dapat

meningkatkan aktivitas siswa pada

materi pokok besaran dan pengukuran.

Pembelajaran kontekstual

(Contextual Teaching Learning) adalah

konsep belajar dimana guru

menghadirkan dunia nyata ke dalam

kelas dan mendorong siswa membuat

hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sehari-hari, sementara

siswa memperoleh pengetahuan dan

keterampilan dari konteks yang terbatas,

sedikit demi sedikit, dan dari proses

mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal

untuk memecahkan masalah dalam

kehidupannya sebagai anggota

masyarakat (Nurhadi, 2003 : 13).

Menurut Sanjaya (2005: 109)

CTL adalah suatu pendekatan

pembelajaran yang menekankan kepada

proses keterlibatan siswa secara penuh

untuk dapat menemukan materi yang

dipelajari dan menghubungkannya

dengan situasi kehidupan nyata sehingga

mendorong siswa untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupan

mereka.

Dari defenisi di atas, CTL

hakikatnya adalah suatu pendekatan

pembelajaran dan pengajaran yang

mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan

mendorong siswa membuat hubungan

antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan

sehari-hari.

Penerapan pendekatan CTL

bertujuan untuk meningkatkan prestasi

belajar siswa melalui peningkatan

pemahaman makna materi pelajaran yang

dipelajari dikaitkan dengan dunia nyata

siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mencapai tujuan tersebut sejumlah

Page 65: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

60Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

hasil yang diharapkan dari penerapan

pendekatan CTL adalah :

Guru yang berwawasan CTL.

Wawasan tersebut dapat diperoleh

melalui pelatihan pemagangan, studi

banding, dan pemenuhan bacaan CTL

yang lengkap.

Materi pembelajaran yang dijiwai

oleh konteks perlu disusun agar lebih

bermakna bagi siswa.

Strategi, metode dan teknik belajar

dan mengajar dapat mengaktifkan

semangat siswa dan menggunakan

realita dan lebih nyata.

Media pendidikan bernuansa CTL,

seperti misalnya situasi alamiah,

benda nyata, alat peraga, film nyata

dan VCD perlu di rancang

sedemikian rupa agar belajar lebih

bermakna.

Fasilitas pendukung CTL seperti

peralatan dan perlengkapan,

laboratorium alamiah dan buatan

dalam tempat-tempat praktek.

Dalam proses kegiatan belajar

mengajar, guru mampu memotivasi

siswa agar berprilaku semangat

belajar, keseriusan perhatian,

keaktifan dan keingintahuan.

Penilaian/ evaluasi autentik,

sebaiknya menyangkut banyak segi

pandang, baik dari segi kognitif,

efektif, psikomotorik dan dalam

bentuk yang bermacam-macam,

mulai dari tes tertulis, hasil pekerjaan

rumah, proyek, kuis, karya tulis

siswa, laporan, jurnal portofolio,

observasi, praktek dan tanya jawab di

kelas.

Suasana iklim sekolah yang

bernuansa CTL lebih baik dipilih

sesuai dengan kehidupan nyata siswa,

tidak hanya di ruang kelas tetapi juga

dapat dilakukan di alam terbuka,

rumah, masyarakat dan tempat

tinggal siswa.

Sebuah pebelajaran di kelas

dikatakan menggunakan pendekatan CTL

apabila telah menerapkan tujuh

komponen di bawah ini, yaitu:

1) Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan

landasan berfikir (Filosofi).

Pembelajaran kontekstual yaitu

pengetahuan dibangun oleh manusia

sedikit demi sedikit, yang hasilnya

diperluas melalui konteks yang terbatas.

Dalam proses pembelajaran siswa

membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan aktif dalam proses

KBM, berdasarkan pengalaman nyata.

Siswa menjadi pusat kegiatan bukan

guru.

2) Menemukan (Inquiry)

Page 66: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

61Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

Inkuiri adalah inti dari kegiatan

pembelajaran CTL, mengenai

pengetahuan dan keterampilan yang

diperoleh siswa bukan hasil mengingat

praktek-praktek, tetapi hasil menemukan

sendiri.

3) Bertanya (Questioning)

Dalam proses pembelajaran CTL,

guru tidak menyampaikan informasi

begitu saja, akan tetapi memancing agar

siswa dapat menemukan sendiri melalui

pertanyaan-pertanyaan guru dapat

membimbing dan mengarahkan siswa

untuk menemukan setiap materi yang

dipelajarinya.

4) Masyarakat belajar (Learning Community)

Leo Semenovich Vygotsky,

seorang psikolog Rusia menyatakan

bahwa pengetahuan dan pemahaman

anak banyak ditopang oleh komunikasi

dengan orang lain melalui kerja sama

orang lain untuk memudahkan suatu

permasalahan.

Pembentukan masyarakat belajar

ini, siswa dibagi dalam kelompok-

kelompok yang heterogen 5-6 orang

berkelompok.

5) Pemodelan (modeling)

Dalam pembelajaran CTL, dapat

menghadirkan model sebagai contoh

pembelajaran, pada CTL guru bukan

satu-satunya model, model dapat

dirancang dengan melibatkan siswa atau

dapat didatangkan dari luar, model

biasanya berupa benda, cara kerja atau

yang lain yang bisa ditiru oleh siswa.

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berfikir

tentang apa yang baru dipelajari agar

siswa dapat secara apa yang baru

dipelajari agar siswa dapat secara bebas

menafsirkan pengalamannya sendiri,

sehingga ia dapat menyimpulkan tentang

pengalaman belajarnya.

7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)

Penilaian yang sebenarnya adalah

proses pengumpulan berbagai data yang

bisa memberikan gambaran belajar

siswa. Penilaian autentik diupayakan

karena CTL menuntut pengukuran hasil

belajar dengan cara yang tepat dan

variatif merupakan kombinasi dari cara

penilaian (tes tertulis, PR, kuis, karya

tulis, laporan, jurnal, fortopolio, praktek

dan tanya jawab di kelas).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di MTs

Swasta PAB I Helvetia Medan. Populasi

adalah Seluruh siswa kelas VII semester

1 MTs Swasta PAB 1 Helvetia pada

Tahun Ajaran 2007/2008. Sedangkan

sampel penelitian diambil satu kelas

Page 67: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

62Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

secara Cluster Random Sampling dari 3

kelas siswa kelas VII MTs Swasta PAB 1

Helvetia pada Tahun Ajaran 2007/ 2008

yang berjumlah 52 orang.

Penelitian ini dilakukan dalam

bentuk PTK ( Action Research ).

Prosedur Penelitian adalah tahap-tahap

kegiatan yang dilakukan dalam proses

penelitian sesuai dengan tujuan yang

hendak dicapai. Ciri khas PTK adlah

dilakukan siklus dalam proses penelitian.

Secara sederhana, proses/tahapan pada

satu siklus penelitian tindakan kelas

adalah sbb:

Perencanaan

Perencanaan adalah tahap

persiapan dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini, kegiatan awal yang

dilakukan peneliti adalah

mengidentifikasi masalah hasil belajar

fisika yang rendah, melalui data angket

siswa, observasi kegiatan belajar

mengajar, dan wawancara dengan guru

fisika di MTs Swasta PAB I Medan,

yang kemudian peneliti menyusun suatu

skenario/ rancangan pembelajaran.

Identifikasi kesulitan siswa juga

dilakukan dengan tanya jawab kepada

siswa pada awal pembelajaran.

Pelaksanaan

Tahapan ini adalah pelaksanaan

pembelajaran yang sudah direncanakan

dalam tahap perencanaan. Dalam tahapan

ini, peneliti melaksanakan pembelajaran

di kelas dengan pendekatan kontekstual.

Pengamatan

Pengamatan pada penelitian ini

dilakukan oleh observer. Observasi

bertujuan untuk melihat seluruh aktivitas

siswa dalam pelaksanaan pembelajaran.

Instrumen untuk melihat aktifitas siswa

dirancang pada saat perencanaan.

Refleksi

Dalam tahapan ini dilakukan

evaluasi pelaksanaan pembelajaran.

Evaluasi berupa tes untuk melihat hasil

belajar siswa dan analisis terhadap hasil

observasi untuk melihat aktivitas siswa.

Setelah di evaluasi, kemudian dianalisis

hasil pembelajaran untuk perbaikan

dalam pembelajaran berikutnya.

Secara umum, penelitian tindakan

kelas memiliki alur sebagai berikut:

Page 68: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

63Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

Refleksi dan analisis evaluasi dan dapat juga dipergunakan jurnal yang dibuat oleh guru dan merencanakan apa yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya

Identifikasi masalah hasil belajar fisika rendah, melalui angket siswa, wawancara dengan guru dan observasi

Pelaksanaan skenario pembelajaran untuk menemukan kesulitan pada materi pokok besaran dan Pengukuran

Perencanaan skenario pembelajaran

Evaluasi hasil pembelajaran 1 dengan cara: pengamatan prilaku/ respon siswa, pemberian tes hasil belajar, dan observasi kegiatan siswa

Refleksi dan analisis hasil evaluasi tahap II

Evaluasi dengan melakukan tes hasil belajar

Identifikasi masalah baru, yang baru muncul

Perencanaan penyusunan skenario pembelajaran berdasarkan identifikasi II untuk meningkatkan hasil belajar

Pelaksanaan skenario yang direvisi berdasarkan data yang diperoleh dalam implementasi I

SIKLUS II

SIKLUS I

SIKLUS n

Gambar. 3.1. Desain siklus penelitian tindakan kelas( Kemmis dan Mc Taggart )

Dalam penelitian ini instrumen

yang digunakan peneliti ada 2 yaitu

pertama test hasil belajar siswa yakni

sebanyak 25 item dengan 4 option,

sebelum digunakan lebih dahulu diuji

validitas soal test. Validitas yang

digunakan adalah validitas isi ( content

validity ) yang berdasarkan kurikulum,

buku pegangan guru dan siswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalami 2

siklus pembelajaran. Selain itu untuk

meihat hasil belajar, penelitian ini juga

bertujuan untuk melihat aktivitas siswa

dalam pembelajaran. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan,

diperoleh data hasil belajar siswa sebagai

berikut:

Tabel 1. Rata-rata hasil belajar siswaNo Jenis Nilai Rata-Rata

Nilai1 Hasil Tes Awal

(pre tes)31

2 Hasil Post Tes Siklus I

58

3 Hasil Post Tes Siklus II

82,8

Page 69: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

64Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

Sesuai dengan rencana penelitian,

penelitian ini juga bertujuan untuk

meningkatkan aktivitas belajar siswa.

Hasil penelitian diperoleh dengan

melakukan penilaian terhadap aktivitas

siswa dalam kelas. Adapun hasil

observasi penelitian adalah sebagai

berikut:

Tabel 2. Peningkatan aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan

No Aspek yang dialamiJumlah %

P. I P. II P. III P. I P. II P.III1 Menyajikan pertanyaan 11 30 30 21.2 57.7 57.72 Memberi kritik pada guru dan teman 8 10 28 15.4 19.2 53.93 Memberikan tanggapan 30 34 50 57.7 65.4 96.2

4Memberikan jawaban yang tepat dari suatu masalah 5 20 39 9.6 38.5 75.00

5 Berani dan bebas mengeluarkan ide 30 36 39 57.7 69.2 75.006 Mengerjakan sendiri tugas – tugas 15 40 48 28.9 76.9 92.37 Bekerja dengan menggunakan alat 14 20 47 26.9 38.5 90.4

8Mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru 35 40 49 67.3 76.9 94.2

Ket: P : Pertemuan

Gambar 1. Grafik Peningkatan Aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan

Pembahasan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian diperoleh

bahwa hasil tes awal siswa sebesar 31

atau berada di bawah 65. ini artinya

kemampuan awal siswa terhadap mata

pelajaran fisika masih rendah.

Setelah dilakukan tes awal, maka

selanjutnya dilakukan pembelajaran

dengan menerapkan pembelajaran

pendekatan kontekstual. Setelah

pembelajaran, maka dilakukan pos-tes

untuk mengetahui hasil belajar siswa

setelah diberi pembelajaran, diperoleh

nilai rata rata pos-tes masih di bawah 65

yaitu rata-rata sebesar 58,5.

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8

Pertemuan 1

Pertemuan 2

Pertemuan 3

JUMLAH

SISWA

AKTIVITAS SISWA

Page 70: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

65Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

Untuk mencapai hasil yang

diinginkan, kembali melaksanakan

perbaikan pembelajaran (siklus II) yang

masih menerapkan pendekatan

pembelajaran kontekstual dan dilakukan

beberapa penyempurnaan. Metode

mengajar yang digunakan adalah dengan

eksperimen, tanya jawab, dan pemberian

tugas melalui latihan soal. Setelah selesai

dilakukan pembelajaran maka dilakukan

pos-tes untuk mengetahui hasil belajar

siswa setelah diberikan pembelajaran

pada siklus II, diperoleh persentase

semua item soal di atas 65, yaitu

persentase rata-rata 82,8. Hal ini

menunjukkan dengan penerapan

pembelajaran pendekatan kontekstual

dapat meningkatkan hasil belajar siswa

dan juga sekaligus menandakan bahwa

tidak perlu lagi dilaksanakan perbaikan

pembelajaran karena kemampuan rata-

rata belajar siswa untuk tiap soal sudah

mencapai diatas nilai standart ketuntasan.

Hasil observasi tentang aktivitas

siswa dari tabel 2 di atas dapat dilihat

bahwa aktivitas siswa dari semua aspek

pada pertemuan 1 yang dialami masih

tergolong kurang atau berada < 49 %,

kecuali memberikan tanggapan, berani

dan bebas mengeluarkan ide, dan

mendengarkan dan memperhatikan

penjelasan guru, masing-masing

memiliki persentase sebesar 57,7%, 57,7

%, dan 67,3 %.

Pada pertemuan ke 2, aktivitas

siswa masih tergolong bervariasi, yaitu

memberi kritik pada guru dan siswa,

memberikan jawaban yang tepat dari

suatu masalah, bekerja dengan

menggunakan alat, masing-masing 19,2

%, 38,5 %, 38,5% yang masih

dikategorikan kurang, sementara yang

masih dikategorikan cukup yaitu,

memberikan tanggapan dan berani dan

bebas mengeluarkan ide, masing- masing

persentasenya 65,4 %, 65,4%, dan 69,2

%. Sedangkan yang termasuk kategori

baik yaitu mengerjakan tugas sendiri dan

mendengarkan dan memperhatikan

penjelasan guru, dengan persentase

masing-masing sama yaitu sebesar 76,9

%.

Aktivitas siswa pada pertemuan

ketiga menunjukkan hasil yang lebih

baik, namun aspek tentang siswa

memberikan kritik pada guru dan teman

serta menyajikan pertanyaan tergolong

cukup, yang masing-masing mempunyai

persentase 19,2 % dan 57,7 %.

Perkembangan aktivitas belajar

siswa dapat dilihat dari grafik di atas.

Secara umum terjadi peningkatan

aktivitas siswa dari pertemuan I hingga

pertemuan III. Diantara kedelapan

aktivitas, yang paling menonjol

Page 71: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

66Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

peningkatannya terdapat tiga aktivitas

siswa, ditunjukkan pada aktivitas

diantaranya, urutan pertama nilai yang

tertinggi ditunjukkan pada aktivitas ke -

empat yaitu memberikan jawaban yang

tepat dari suatu masalah, yang berada

pada urutan ke – dua peningkatan

tertinggi ditunjukkan pada aktivitas ke-

enam, yaitu mengerjakan sendiri tugas-

tugas, sedangkan yang berada pada

urutan ke-tiga peningkatan tertinggi

ditunjukkan pada aktivitas ke-tujuh, yaitu

bekerja dengan menggunakan alat.

Aktivitas yang menunjukkan jumlah

aktivitas yang banyak diikuti siswa pada

aktivitas ke- tiga, yaitu memberi

tanggapan. Namun aktivitas yang kurang

diikuti siswa ditunjukkan pada aktivitas

ke- dua, yaitu memberi kritik pada guru

dan teman.

Dari tiga aktivitas yang paling

besar peningkatannya dilakukan siswa,

hal tersebut mengindikasikan bahwa

keaktifan siswa, minat, motivasi, dan

ketertarikan untuk belajar fisika semakin

meningkat. Hal tersebut dikarenakan

pendekatan pembelajaran yang

digunakan lebih menekankan pada proses

keterlibatan siswa secara penuh, untuk

dapat menemukan materi yang dipelajari

dengan menghubungkan dengan situasi

dunia nyata siswa sehingga mendorong

siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan sehari-hari, dalam artian

pendekatan yang digunakan dapat

membawa siswa kedunia nyata yaitu

dengan adanya penggunaan media

sehingga siswa aktif dan bekerja

menggunakan alat, dengan demikian

pembelajaran yang dilakukan

berdasarkan pengalaman nyata, siswa

menjadi pusat kegiatan, serta penggunaan

metode yang bervariasi dalam kegiatan

belajar mengajar, sehingga hasil belajar

siswa juga dapat meningkat. Dengan

demikian penerapan pembelajaran

pendekatan kontekstual yang digunakan

pada pembelajaran dapat meningkatkan

aktivitas dan hasil belajar fisika MTs

Swasta PAB I Helvetia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah dilakukan pengamatan

dan analisis data diperoleh beberapa

kesimpulan antara lain:

1. Terdapat peningkatan yang

signifikan hasil belajar siswa pada

materi pokok besaran dan

pengukuran setelah diterapkannya

pembelajaran pendekatan

kontekstual. Hal ini terlihat dari rata-

rata persentase siklus I untuk pos-tes

I sebesar 58, 5 % dan meningkat

menjadi 82,8 % pada siklus II (pos-

tes II) atau sudah mencapai rata-rata

di atas 65 % tiap soal. Total

peningkatan hasil belajar siswa dari

Page 72: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

67Alkhafi Ma’as Siregar dan Winsyahputra Ritongaadalah dosen jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan

pre-tes hingga pos-tes sebesar 51,8

%.

2. Aktivitas belajar siswa selama

proses pembelajaran pendekatan

kontekstual dari siklus I

dikategorikan cukup menjadi baik

pada siklus II yaitu adanya

peningkatan keaktivan siswa, minat,

motivasi, dan ketertarikan untuk

belajar fisika semakin meningkat

dan kondisi suasana kelas menjadi

lebih baik.

Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka penulis memberikan beberapa

saran sebagai berikut:

1. Bagi guru khususnya guru fisika

sebaiknya menggunakan PTK dalam

pembelajaran melalui pendekatan

kontekstual dengan metode yang

bervariasi dalam upaya meningkatkan

hasil belajar para siswa.

2. Bagi peneliti lanjut diharapkan untuk

lebih memperhatikan jumlah siswa,

media serta kelengkapan alat-alat

praktikum dalam pelajaran fisika

karena hal tersebut dapat

mempengaruhi kondisi belajar siswa

dan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Z., (2006), Penelitian Tindakan Kelas, Yrama Widya, Bandung.

Arikunto, S., (1997), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.

Basar, K., (2004), Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika di Sekolah Menegah (SMP dan SMA): http://id.ppi.Jepang.org/article php id-45/2005.

Dimiati dan Mudjono, (2002), Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta.

Jatmiko, B., (2003), Penelitian Tindakan Kelas, Depdiknas, Jakarta.

Nurhadi, (2004), Kurikulum 2004,: PT. Gramedia Widia Sarana, Jakarta.

Nurhadi, dan Senduk, A. G,. (2003), Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching an Learning (CTL) dan penerapannya dalam KBK, Universitas Negeri Malang, Malang.

Rustana, C. E., (2002), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,: Departemen Pendidikan Nasiona, Jakarta.

Sanjaya, W., (2005), Pembelajaran dan Implementasi kurikulum berbasis Kompetensi, Kencana Penada Media Group, Jakarta.

Toharudin, UUS., (2005), Kompetensi Guru Dalam Strategi Ajar: http://www.Pikiran Rakyat.com/cetak/2005/1005/24]/0803.html.

Page 73: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

68Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DENGAN SETTING KOOPERATIF

Oleh:Humuntal Banjarnahor

Abstrak

Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan. Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru. Penggunaan kelompok belajar heterogen dalam pembelajaran merupakan salah satu pembelajaran yang mendukung terjadinya aktivitas aktif siswa yang dapat merangsang kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah yang merupakan tujuan dari pembelajaran matematika. Salah satu pembelajaran yang menggunakan kelompok belajar heterogen dan memperhatikan interaksi sosial sesama siswa adalahpembelajaran kooperatif. Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dibentuk suatu pembelajaran kooperatif sebagai setting untuk PMR(Pembelajaran Matematika Realistik). PMR dengan setting kooperatif yang dimaksud adalah pembelajaran menggunakan sintaks (langkah-langkah) pembelajaran kooperatif yang memasukkan prinsip dan karakteristik PMR.Kata kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Pembelajaran kooperatif

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Peranan pembelajaran

matematika di sekolah cukup besar

dalam memberikan berbagai kemampuan

kepada siswa untuk keperluan penataan

kemampuan berpikir dan kemampuan

memecahkan masalah dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini sesuai dengan tujuan

pendidikan matematika. Menurut

Soedjadi (2000: 45), pendidikan

matematika seharusnya memperhatikan

dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang bersifat

formal, menekankan pada penataan nalar

serta pembentukan kepribadian, dan (2)

tujuan yang bersifat material,

menekankan pada penerapan matematika

dan keterampilan matematika.

Kurikulum di Indonesia secara

jelas menguraikan tujuan pembelajaran

matematika, yaitu:

1. Melatih cara berpikir dan bernalar

dalam menarik kesimpulan, misalnya

melalui kegiatan penyelidikan,

eksplorasi, eksperimen, menunjukkan

persamaan, perbedaan, konsistensi

dan inkonsistensi.

2. Mengembangkan aktivitas kreatif

yang melibatkan imajinasi, intuisi,

dan penemuan dengan

mengembangkan pemikiran divergen,

orisinil, rasa ingin tahu, membuat

prediksi dan dugaan, serta mencoba-

Page 74: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

69Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

coba.

3. Mengembangkan kemampuan

memecahkan masalah.

4. Mengembangkan kemampuan

menyampaikan informasi atau

mengko-munikasikan gagasan antara

lain melalui pembicaraan lisan,

catatan, grafik, peta, diagram, dalam

menjelaskan gagasan.

Kenyataan saat ini menunjukkan

bahwa pencapaian tujuan pembelajaran

matematika seperti diuraikan di atas

masih belum memenuhi harapan. Hal ini

diindikasikan dengan rendahnya mutu

hasil belajar siswa. Baik hasil ujian akhir

nasional maupun hasil-hasil penelitian

menunjukkan bahwa penguasaan siswa

terhadap bahan ajar matematika masih

relatif rendah. Kenyataan ini mungkin

disebabkan sifat abstrak yang terdapat

pada matematika. Mungkin pula karena

selama ini siswa hanya cenderung diajar

untuk menghafal konsep atau prinsip

matematika, tanpa disertai pemahaman

yang baik.

Kondisi hasil belajar siswa yang

memprihatinkan tersebut harus terus

diupayakan untuk diperbaiki. Upaya

tersebut dapat dilakukan di antaranya

melalui perbaikan kegiatan mengajar

belajar. Kegiatan mengajar belajar

merupakan faktor penting yang perlu

mendapat perhatian. Kegiatan mengajar

belajar yang berpusat pada guru sudah

saatnya diganti menjadi berpusat pada

siswa. Soedjadi (2000:201) mengatakan

bahwa proses mengajar belajar

matematika perlu lebih menekankan pada

keterlibatan secara optimal para peserta

didik secara sadar.

Peran aktif siswa dalam

membangun pengetahuannya

sebagaimana yang dikehendaki oleh

kurikulum bersesuaian dengan

konstruktivisme. Menurut Soedjadi

(2000:156) pada dasarnya penerapan

konstruktivisme dalam belajar adalah

bahwa siswa haruslah secara individual

menemukan dan mentransformasikan

informasi yang kompleks, memeriksa

informasi yang baru dan aturan yang ada

serta merevisinya bila perlu.

Konstruktivisme menempatkan

siswa pada peranan utama dalam proses

belajar (student centered). Peranan guru

lebih bersifat fasilitator dan memiliki

kewajiban dalam upaya peningkatan

kualitas pembelajaran. Oleh karena itu

guru dituntut untuk selalu berinovasi

dalam melaksanakan proses

pembelajaran. Inovasi guru tersebut

misalnya dalam hal pemilihan

pendekatan pembelajaran.

Di Indonesia mulai diperkenalkan

suatu pendekatan baru dalam

pembelajaran matematika yang disebut

Page 75: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

70Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

Realistic Mathematics Education (RME),

yang dalam bahasa Indonesia berarti

Pendidikan Matematikan Realistik.

Secara operasional biasa disebut

Pembelajaran Matematika Realistik

(PMR). PMR adalah suatu pembelajaran

yang didasarkan pada prinsip

konstruktivis dan merupakan pendekatan

pembelajaran yang berfokus pada

aktivitas siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuan. Pendekatan ini menuntut

keaktifan siswa dalam proses belajar.

Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide

dan konsep-konsep matematika melalui

permasalahan kontekstual yang berkaitan

dengan lingkungan siswa tersebut. Hal

ini sejalan dengan Kurikulum 2004

(Depdiknas, 2003: 12) yang menekankan

penggunaan masalah yang sesuai dengan

situasi (contextual problem) dalam

memulai kegiatan pembelajaran

matematika. Selanjutnya, secara bertahap

siswa dibimbing untuk menguasai

konsep-konsep matematika.

Menurut Slavin (1997: 273),

Constructivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that students will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the problems.

Kutipan tersebut menjelaskan

bahwa pembelajaran dengan pendekatan

konstruktivis umumnya banyak

menggunakan pembelajaran kooperatif,

yang didasarkan pada teori bahwa siswa

lebih mudah menemukan dan memahami

suatu konsep jika mereka saling

mendiskusikan masah tersebut dengan

temanya. Hal ini sejalan dengan pendapat

Piaget dan Vigotsky (dalam Slavin,

1997: 270) yang menekankan adanya

hakikat sosial dalam belajar. Keduanya

menyarankan untuk menggunakan

kelompok beajar yang anggotanya

berkemampuan berbeda. Pendapat serupa

juga dikemukakan oleh Freudenthal

(dalam Terwel, 1990) “I believe in the

social learning process, and on the

strength of this belief I advocate the

heterogeneous learning group.”

Pendapat-pendapat di atas

merekomendasikan penggunaan

kelompok belajar heterogen dalam

pembelajaran. Salah satu pembelajaran

yang menggunakan kelompok belajar

heterogen dan memperhatikan interaksi

sosial sesama siswa adalah pembelajaran

kooperatif. Berdasarkan pemikiran

tersebut, penulis memilih pembelajaran

kooperatif sebagai setting untuk PMR.

PMR dengan setting kooperatif yang

penulis maksud adalah pembelajaran

menggunakan sintaks pembelajaran

Page 76: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

71Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

kooperatif yang memasukkan prinsip dan

karakteristik PMR.

Berdasarkan uraian di atas,

diharapkan PMR dengan setting

kooperatif dapat menjadi alternatif

pembelajaran yang baik.

PEMBAHASAN

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Pendidik sebagai salah satu

pelaku utama dalam pengajaran harus

memahami teori-teori belajar, metode-

metode mengajar dan lain-lain.

Penerapan teori belajar merupakan suatu

tuntutan yang harus dilaksanakan dan

disesuaikan dengan topik-topik tertentu

untuk dipraktekkan di lapangan. Dalam

buku Petunjuk Pelaksanaan Proses

Belajar Mengajar Kurikulum 1994

disebutkan bahwa proses mengajar

belajar tidak hanya berlandaskan pada

teori pembelajaran perilaku, tetapi juga

menekankan pada pembentukan

keterampilan mendapatkan pengetahuan

sendiri. Dengan menerapkan metode

pembelajaran tertentu siswa dituntut

untuk menemukan sendiri jawaban

terhadap permasalahan yang diberikan

atau dihadapi.

Menurut Sukahar (1992: 3),

belajar matematika pada hakekatnya

adalah belajar yang berkenaan dengan

ide-ide, struktur-struktur yang diatur

menurut urutan logis. Belajar matematika

tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan

saja. Belajar matematika baru bermakna

bila dimengerti.

Pembelajaran secara bermakna

(meaningful learning) terjadi bila pelajar

mencoba menghubungkan fenomena

baru ke dalam struktur pengetahuan

mereka. Ini terjadi melalui belajar

konsep, dan perubahan konsep yang telah

ada, yang mengakibatkan pertumbuhan

dan perubahan struktur konsep yang

dimiliki si pelajar (Ausubel dalam

Suparno, 2001: 54). Dengan belajar

bermakna, diharapkan siswa dapat

memahami setiap kegiatan yang

dilaksanaan. Siswa menyadari tentang

mengapa, bagaimana dan untuk apa ia

melakukan sesuatu dalam kegiatan

belajar. Dengan begitu akan timbul

suasana pembelajaran yang harmonis,

penuh gairah, riang gembira, komunikasi

guru dengan siswa dan antar sesama

siswa dapat berjalan lancar.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

Pendekatan dalam pembelajaran

adalah suatu jalan, cara atau

kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru

atau siswa dalam pencapaian tujuan

pembelajaran dilihat dari sudut

bagaimana proses pembelajaran atau

materi pembelajaran itu, umum atau

Page 77: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

72Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

khusus, dikelola (Ruseffendi dalam

Fauzi, 2002:13).

Soedjadi (2000:102-103) membedakan

pendekatan menjadi dua, yaitu:

1. pendekatan materi (material

approach) yaitu proses menjelaskan

topik matematika tertentu

menggunakan materi matematika

lain, misalnya menjelaskan topik

“kongruensi dua segitiga”

menggunakan “transformasi”; dan

2. pendekatan pembelajaran (teaching

approach) yaitu proses penyampaian

atau penyajian topik matematika

tertentu agar mempermudah siswa

memahaminya. Misalnya

mengajarkan tentang banyaknya

diagonal suatu segi-n beraturan

dengan menggunakan “penemuan”.

Trefers (1991:32),

mengelompokkan pendekatan

pembelajaran dalam pendidikan

matematika ke dalam empat macam

pendekatan, yaitu: meknistik,

strukturalistik, empiristik, dan realistik.

Pengelompokan ini didasarkan pada

komponen proses matematisasinya, yakni

matematisasi horisontal dan matematisasi

vertikal. Matematisasi adalah kegiatan

pengorganisasian yang dapat berupa

realitas-realitas yang perlu diorganisir

secara matematis dan juga ide-ide

matematika yang perlu diorganisir dalam

konteks yang lebih luas.

Pada proses matematisasi

horisontal, dengan pengetahuan atau

pengalam-an yang dimilikinya, siswa

dapat mengorganisasikan dan

memecahkan masalah nyata dalam

kehidupan sehari-hari. Proses

matematisasi horisontal bergerak dari

dunia nyata ke dunia simbol. Proses ini

meliputi proses informal yang dilakukan

siswa dalam menyelesaikan suatu soal.

Contohnya adalah proses yang dilalui

siswa untuk membuat model, membuat

skema dan menemukan hubungan-

hubungan.

Proses matematisasi vertikal,

merupakan proses pengorganisasian

kembali dengan menggunakan

matematika. Proses ini antara lain

meliputi proses menyatakan suatu

hubungan dengan suatu formula,

membuat berbagai model, merumuskan

konsep/prinsip dan melakukan

generalisasi (Yuwono, 2001: 4).

Perbedaan keempat pendekatan

pembelajaran dalam pendidikan

matematika ini menekankan pada sejauh

mana pendekatan tersebut memuat atau

menggunakan kedua komponen

matematisasi tersebut. Tabel 1 di bawah

ini menunjukkan perbedaan tersebut

(tanda “+” berarti lebih banyak

Page 78: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

73Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

menekankan pada jenis matematisasi itu

dan tanda “–“ berati kurang/sedikit atau

tidak memperhatikan pada jenis

matematisasi tersebut).

Tabel 1. Pendekatan Pembelajaran dalam Matematika

NoJenis pendekatan

pembelajaran

Komponen matematisasi

Horisontal Vertikal

1. Mekanistik – –

2. Empiristik + –

3. Strukturalistik – +

4. Realistik + +

Sumber: (de Lange, 1987: 101)

Dari pendapat-pendapat di atas,

pendekatan yang dimaksud pendekatan

pembelajaran matematika yang

merupakan suatu cara/prosedur dalam

penyampaian bahan pelajaran

matematika untuk mencapai tujuan

pembelajaran, agar siswa mudah

memahaminya. Dalam hal ini,

pendekatan yang dipilih adalah

pendekatan realistik.

Pendekatan Pembelajaran

Matematika Realistik

Pendekatan pembelajaran

matematika realistik (PMR) merupakan

suatu pendekatan pendidikan matematika

yang telah dikembangkan di Nederlands

sejak tahun 1970 dengan nama asli

Realistic Mathematics Education (RME).

Kata “realistic” diambil dari klasifikasi

yang dikemukakan oleh Treffers (1987),

yang membedakan empat pendekatan

dalam pendidikan matematika seperti

yang telah disebutkan, yaitu mekanistik,

empiristik, strukturalistik, dan realistik.

Pendekatan ini mengacu pada pendapat

Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994)

yang mengatakan bahwa matematika

harus dikaitkan dengan realita dan

matematika merupakan aktivitas

manusia. Ini berarti matematika harus

dekat dengan anak dan relevan dengan

situasi anak sehari-hari. Anak harus

diberi kesempatan seluas-luasnya untuk

menemukan kembali ide atau konsep

matematika.

Berdasarkan uraian di atas, dapat

dijelaskan bahwa pembelajaran

matematika realistik bertolak dari

masalah-masalah yang sesuai dengan

pengalaman siswa. Dalam hal ini, siswa

aktif, guru berperan sebagai fasilitator,

siswa bebas mengemukakan dan

mengkomunikasikan ide-idenya satu

sama lain. Guru hanya membantu siswa

secara terbatas untuk membandingkan

Page 79: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

74Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

ide-ide itu dan membimbing mereka

mengambil kesimpulan tentang ide mana

yang benar, efisien, dan mudah dipahami

mereka. Dalam kaitannya dengan

matematika sebagai kegiatan manusia,

siswa harus diberi kesempatan seluas-

luasnya untuk menemukan kembali ide

atau konsep matematika secara mandiri

sebagai akibat dari pengalaman siswa

dalam berinteraksi dengan realitas.

Setelah menemukan dan terbentuk

konsep-konsep matematika, siswa

menggunakannya untuk menyelesaikan

masalah kontekstual selanjutnya sebagai

aplikasi untuk memperkuat konsep. de

Lange (1987: 72), mengatakan bahwa

proses tersebut merupakan proses

matematisasi konseptual (conseptual

mathematizing), yang dapat digambarkan

seperti pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Matematisasi Konseptual

Agar pembelajaran bermakna

bagi siswa, maka pembelajaran

seyogyanya dimulai dari masalah

kontekstual. Selanjutnya, siswa diberi

kesempatan seluas-seluasnya untuk

menyelesaikan masalah itu dengan

caranya sendiri-sendiri. Artinya siswa

diberi kesempatan melakuakan refleksi,

interpretasi dan mencari strategi yang

sesuai. Keaktifan siswa dalam

pembelajaran matematika haruslah

dipahami sebagai keaktifan melakukan

matematisasi, baik horizontal maupun

vertikal, yang memuat kegiatan refleksi,

interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi

terjadi bila siswa dalam aktivitasnya

melakukan refleksi, interpretasi dan

abstraksi. Rekonstruksi itu dimungkinkan

terjadi dengan probabilitas yang lebih

besar melalui diskusi, baik dalam

kelompok kecil maupun diskusi kelas

atau berbagai bentuk interaksi dan

negosiasi. Secara perlahan siswa dilatih

untuk melakukan rekonstruksi atau

reinvention. Mula-mula matematisasi

berlangsung secara horisontal dan

dengan bimbingan guru secara terbatas

siswa melakuakan matematisasi vertikal.

Matematisasi horisontal meliputi antara

lain proses informal yang dilakukan

siswa dalam menyelesaikan masalah

Dunia nyata

Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dan refleksi

Anstraksi dan formalisasi

Page 80: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

75Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

kontekstual , membuat model, membuat

skema, dan menemukan jawaban.

Menurut Seodjadi (2001b:3) pada

matematisasi horisontal memungkinkan

siswa dapat melakukan kegiatan yang

mengarah pembentukan “konsep antara”

(misalnya konsep antara ke-1). Setelah

konsep antara ke-1 diperoleh, mungkin

diperlukan konsep antara ke-2 yang

dibangun sejalan dengan konsep antara

ke-1. Pencapaian konsep antara ke-1 dan

sebagainya memungkinkan dilakukan

dengan berbagai cara berbeda oleh siswa

melalui kegiatan informal membangun

konsep utama yang menjadi tujuan utama

pembelajaran. Jika siswa sudah sampai

ke konsep utama, aktivitas pembelajaran

dilanjutkan dengan matematisasi vertikal

melalui kegiatan formal matematika

meliputi antara lain proses menyatakan

suatu hubungan dengan suatu formula

(rumus), membuat berbagai model,

merumuskan konsep baru dan melakukan

generalisasi (de Lange, 1987). Artinya

matematisasi konseptual de Lange ini

tidak diterapkan pada setiap proses

belajar mengajar. Jika siswa sudah

sampai ke konsep utama dilanjutkan

dengan kegiatan formal matematika,

tidak kembali ke proses informal

matematika.

Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Gravemeijer (1994:90),

ada tiga prinsip kunci dalam mendesain

pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Guided reinvention dan progressive mathematizing

Prinsip pertama adalah penemuan

kembali secara terbimbing dan

matematisasi secara progresif. Melalui

topik-topik yang disajikan, siswa harus

diberi kesempatan untuk mengalami

proses yang sama membangun dan

menemukan kembali tentang ide-ide dan

konsep-konsep secara matematika.

Maksud dari mengalami proses yang

sama dalam hal ini adalah masing-

masing siswa diberi kesempatan yang

sama merasakan situai dan jenis masalah

kontekstual yang mempunyai berbagai

kemungkinan solusi. Dilanjutkan dengan

matematisasi prosedur pemecahan

masalah yang sama, serta perancangan

rute belajar sedemikian rupa, sehingga

siswa menemukan sendiri konsep-konsep

atau hasil (Fauzan, 2000: 4). Prinsip ini

sejalan dengan paham konstruktivis yang

menyatakan bahwa pengetahuan tidak

dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru,

tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh

siswa itu sendiri.

b. Didactical phenomenology

Prinsip kedua adalah fenomena

yang bersifat mendidik. Dalam hal ini

Page 81: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

76Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

fenomena pembelajaran menekankan

pentingnya masalah kontekstual untuk

memperkenalkan topik-topik matematika

kepada siswa. Topik-topik ini dipilih

dengan pertimbangan: (1) aspek

kecocokan aplikasi yang harus

diantisipasi dalam pengajaran; dan (2)

kecocokan dampak dalam proses re-

invention, artinya prosedur, aturan dan

model matematika yang harus dipelajari

oleh siswa tidaklah disediakan dan

diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus

berusaha menemukannya dari masalah

kontekstual tersebut.

Jika kita lihat secara histories,

matematika berkembang dari

penyelesaian masalah praktis, karenanya

beralasan jika diharapkan dapat

ditemukan masalah yang memunculkan

proses tersebut dalam penerapan pada

saat sekarang ini. Selanjutnya, kita dapat

membayangkan bahwa matematika

formal berasal dari generalisasi dan

formalisasi prosedur penyelesaian

masalah untuk situasi khusus dan konsep

dari berbagai situasi. Oleh karena itu,

tujuan dari investigasi fenomenologi

adalah menemukan situasi masalah

sehingga pendekatan situasi khusus dapat

digeneralisasi, dan menemukan situasi

yang dapat menimbulkan prosedur

penyelesaian yang dapat dijadikan dasar

untuk matematisasi vertikal.

c. Self developed models

Prinsip yang ketiga adalah

pengembangan model sendiri. Prinsip ini

berfungsi menjembatani jurang antara

pengetahuan informal dengan

matematika formal. Siswa

mengembangkan model sendiri sewaktu

memecahkan soal-soal kontekstual.

Sebagai konsekuensi dari kebebasan

yang diberikan kepada siswa untuk

memecahkan masalah, sangat mungkin

muncul berbagai model hasil pemikiran

siswa, yang mungkin masih mirip atau

jelas terkait dengan masalah kontekstual.

Melalui proses generalisasi dan

formalisasi, model tersebut diarahkan

untuk menuju model matematika formal.

Pada awalnya siswa akan

membangun model dari situasi nyata

(soal kontekstual), setelah terjadi

interaksi dan diskusi kelas, siswa

menyusun model matematika untuk

menyelesaikaan soal hingga

mendapatkan pengetahuan formal

matematika. Soedjadi (2001d: 4)

mengatakan bahwa model yang

dikembangkan siswa tersebut diharapkan

akan berubah dan mengarah kepada

bentuk yang lebih baik, akan efisien

menuju ke arah pengetahuan matematika

formal, sehingga diharapkan terjadi

urutan pembelajaran seperti “situasi

nyata” “model dari situasi itu”

Page 82: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

77Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

“model ke arah formal” “pengetahuan

formal”.

Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

PMR memiliki lima karakteristik

yang merupakan operasionalisasi dari

prinsip PMR (Fauzi, 2002: 19;

Gravemeijer,1994:114-115, 145).

Karakteristik tersebut sebagai berikut.

a. Menggunakan masalah konstekstual (the use of context)

Pembelajaran diawali dengan

menggunakan masalah kontekstual, tidak

dimulai dari sistem formal. Masalah

kontekstual yang diangkat sebagai topik

awal pembelajaran harus merupakan

masalah sederhana yang dikenali oleh

siswa.

b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)

Istilah “model” berkaitan dengan

model yang dikembangkan sendiri oleh

siswa dari situasi yang sebenarnya.

Model tersebut diharapkan menjadi

jembatan antara level pemahaman yang

satu ke level pemahaman yang lain.

c. Menggunakan kontribusi siswa (students contribution)

Kontribusi yang besar pada

proses mengajar belajar datang dari

siswa, artinya semua pikiran (konstruksi

dan produksi) siswa diperhatikan.

Kontribusi dapat berupa aneka jawab,

aneka cara, atau aneka pendapat dari

siswa. Misalnya pada pengertian skala,

pada awalnya siswa diberi kebebasan

penuh untuk mendefinisikan pengertian

skala dengan kalimat mereka sendiri,

kemudian dari beragam jawaban siswa

dikompromikan dan dipakai salah satu

pendapat yang benar. Jika tidak ada yang

benar, guru hanya membimbing ke arah

pengertian yang benar.

d. Interaktivitas ( interactivity)

Mengoptimalkan proses mengajar

belajar melalui interaksi siswa dengan

siswa, siswa dengan guru dan siswa

dengan sarana prasarana merupakan hal

yang penting dalam pembelajaran

matematika realistik. Interaksi terus

dioptimalkan sampai konstruksi yang

diinginkan diperoleh, sehingga interaksi

tersebut bermanfaat.

e. Terkait dengan topik lainnya (intertwining )

Struktur dan konsep matematika

saling berkaitan. Oleh karena itu,

keterkaitan dan keterintegrasian antar

topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi

untuk mendukung terjadinya proses

mengajar belajar yang lebih bermakna.

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Pembelajaran kooperatif

merupakan ide lama (Johnson dan

Johnson, 2004). Talmud, seorang filosof,

berpendapat bahwa untuk dapat belajar

seseorang harus memiliki teman. Pada

Page 83: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

78Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

awal abad pertama, Quintillion

berargumen bahwa siswa mendapatkan

manfaat dari saling mengajar satu sama

lain. Seorang filosof Romawi, Seneca,

mengatakan bahwa when you teach, you

learn twice. Dari sinilih ide pembelajaran

kooperatif dikembangkan (Ibrahim, dkk,

2000: 12). Menurut Arends (2001: 316)

ide tentang pembelajaran kooperatif

dapat ditelusuri kembali dari zaman

Yunani kuno. Namun demikian,

perkembangannya pada masa kini dapat

dilacak dari karya para ahli psikologi

pendidikan dan teori belajar pada awal

abad ke-20. Para ahli tersebut di

antaranya adalah John Dewey (1916) dan

Herbert Thelan (1954, 1969).

John Dewey dan Herbert Thelan

(dalam Arends, 1997, 114; 2000: 316)

berpendapat bahwa pendidikan dalam

masyarakat yang demokratis seyogyanya

mengajarkan proses demokrasi secara

langsung. Kelas seharusnya dipandang

sebagai cermin masyarakat yang lebih

besar. Tingkah laku kooperatif dipandang

oleh Dewey dan Thelan sebagai dasar

demokrasi, dan sekolah dipandang

sebagai laboratorium untuk

mengembangkan tingkah laku

demokrasi.

Sekarang, pembelajaran

kooperatif terus dikembangkan. Jacobs

dan Hannah (2004) mendefinisikan

cooperative learning, also known as

collaborative learning, is a body of

concepts and techniques for helping to

maximize the benefits of cooperation

among students (pembelajaran

kooperatif, yang juga dikenal sebagai

pembelajaran kolaboratif, adalah sebuah

konsep dan teknik untuk membantu

memaksimalkan manfaat dari kerjasama

antar siswa). Menurut Kauchak dan

Eggen (Ratumanan, 2002: 107), belajar

kooperatif merupakan suatu kumpulan

strategi mengajar (belajar-pen) yang

digunakan siswa untuk membantu satu

dengan yang lain dalam mempelajari

sesuatu.

Cooper, dkk (2002) menyatakan

cooperative learning is a structured,

systematic instructional strategy in which

small groups of students work together

toward a common goal (pembelajaran

kooperatif adalah sebuah strategi

pembelajaran yang sistematik dan

terstruktur dimana siswa bekerja dalam

kelompok kecil untuk mencapai tujuan

bersama). Hal serupa diungkapkan

Thompson dan Smith (Ratumanan, 2002:

107-108), bahwa dalam pembelajaran

kooperatif siswa bekerjasama dalam

kelompok-kelompok kecil untuk

mempelajari materi akademik dan

keterampilan antar pribadi. Anggota-

anggota kelompok bertanggung jawab

Page 84: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

79Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

atas ketuntasan tugas-tugas kelompok

dan untuk mempelajari materi itu sendiri.

Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Menurut Johnson dan Johnson

(2001), terdapat lima unsur penting

dalam belajar kooperatif, yaitu seperti

berikut ini.

a. Saling ketergantungan secara positif (positiv interdependence)

Dalam belajar kooperatif siswa

merasa bahwa mereka sedang bekerja

sama untuk mencapai satu tujuan dan

terikat satu sama lain. Seorang siswa

tidak akan sukses kecuali semua anggota

kelompoknya juga sukses. Siswa akan

merasa bahwa dirinya merupakan bagian

dari kelompok yang juga mempunyai

andil terhadap suksesnya kelompok.

b. Interaksi antar siswa yang semakin meningkat (face to face promotive Interaction)

Belajar kooperatif akan

meningkatkan interaksi antara siswa. Hal

ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan

membantu siswa lain untuk sukses

sebagai anggota kelompok. Saling

memberikan bantuan ini akan

berlangsung secara alamiah karena

kegagalan seseorang dalam kelompok

mempengaruhi suksesnya kelompok.

Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang

membutuhkan bantuan akan

mendapatkan dari teman sekelompoknya.

Interaksi yang terjadi dalam belajar

kooperatif adalah dalam hal tukar

menukar ide mengenai masalah yang

sedang dipelajari bersama.

c. Tanggung jawab individual (induvidual accountability/personal responsibility)

Tanggung jawab individual dalam

belajar kelompok dapat berupa tanggung

jawab siswa dalam hal: (1) membantu

siswa yang membutuhkan bantuan dan

(2) siswa tidak dapat hanya sekedar

“membonceng” pada hasil kerja teman

sekelompoknya.

d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil (interpesonal and small group skill)

Dalam belajar kooperatif, selain

dituntut untuk mempelajari materi yang

diberikan seorang siswa dituntut untuk

belajar bagaimana berinteraksi dengan

siswa lain dalam kelompoknya.

Bagaimana siswa bersikap sebagai

anggota kelompok dan menyampaikan

ide dalam kelompok akan menuntut

keterampilan khusus.

e. Proses kelompok (group procesing)

Belajar kooperatif tidak akan

berlangsung tanpa proses kelompok.

Proses kelompok terjadi jika anggota

kelompok mendiskusikan bagaimana

mereka akan mencapai tujuan dengan

baik dan membuat hubungan kerja yang

baik.

Page 85: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

80Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

Lima unsur dasar di atas harus

dipenuhi dalam pembelajaran kooperatif

untuk mencapai hasil maksimal. Oleh

karena itu dalam pelaksanaannya kelima

unsur itu harus dapat dilaksanakan

dengan baik. Selain itu, kelima unsur di

atas sekaligus menjadi pembeda

pembelajaran kooperatif dengan

pembelajaran kelompok tradisional /

konvensional.

Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Arends (1997: 111) menyatakan

bahwa the cooperative learning model

was developed to achieve at least three

important instructional goals: academic

achievement, acceptance of diversity,

and social skill development, yang

maksudnya adalah bahwa model

pembelajaran kooperatif dikembangkan

untuk mencapai setidaknya tiga tujuan

pembelajaran penting, yaitu hasil belajar

akademik, penerimaan terhadap

perbedaan individu, dan pengembangan

keterampilan sosial.

Hasil belajar akademik

Pembelajaran kooperatif

memberikan keuntungan baik pada siswa

kelompok atas maupun kelompok bawah

yang bekerja bersama menyelesaikan

tugas-tugas akademik. Siswa kelompok

atas akan menjadi tutor bagi siswa

kelompok bawah. Jadi, siswa kelompok

bawah memperoleh bantuan dari teman

sebaya yang memiliki orientasi dan

bahasa yang sama. Siswa kelompok atas

akan meningkat kemampuan

akademiknya, karena memberikan

pelayanan sebagai tutor membutuhkan

pemikiran yang mendalam tentang

hubungan ide-ide yang terdapat pada

materi tertentu.

Penerimaan terhadap perbedaan individu

Pembelajaran kooperatif

menyajikan peluang bagi siswa dari

berbagai latar belakang dan kondisi,

untuk bekerja dan saling bergantung satu

sama lain atas tugas-tugas bersama

Pengembangan keterampilan sosial

Pembelajaran kooperatif

mengajarkan kepada siswa keterampilan

kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan

ini sangat penting untuk dimiliki di

dalam masyarakat.

Keterampilan-keterampilan

khusus dalam pembelajaran kooperatif,

disebut keterampilan kooperatif dan

berfungsi untuk melancarkan hubungan

kerja dan tugas. Lundgren (1994: 22-26)

merinci keterampilan-keterampilan

kooperatif tersebut sebagai berikut.

1. Keterampilan kooperatif tingkat awal

meliputi: menggunakan kesepakatan,

menghargai kontribusi, mengambil

giliran dan berbagi tugas, berada

Page 86: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

81Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

dalam kelompok, berada dalam tugas,

mendorong partisipasi,

menyelesaikan tugas pada waktunya,

dan mengundang orang untuk

berbicara, menyebut nama dan

memandang pembicara, mengatasi

gangguan, menolong tanpa

memberikan jawaban, dan

menghormati perbedaan individu.

2. Keterampilan kooperatif tingkat

menengah meliputi: menunjukkan

penghargaan dan simpati,

mengungkapkan ketidaksetujuan

dengan cara yang dapat diterima,

mendengarkan dengan aktif,

bertanya, membuat ringkasan,

mengatur dan mengorganisir,

memeriksa ketepatan, menerima

tanggung jawab, menggunakan

kesabaran, dan tenang/mengurangi

ketegangan.

3. Keterampilan kooperatif tingkat

mahir meliputi: mengelaborasi,

memeriksa dengan cermat,

menyatakan suatu justifikasi,

menganjurkan suatu posisi,

menetapkan tujuan, berkompromi,

dan mampu menghadapi masalah

khusus.

Semua keterampilan kooperatif

tersebut, tidak langsung keseluruhan

dilatihkan guru dalam kegiatan

pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit

demi sedikit yang dianggap sesuai

dengan kepentingan hingga mencapai

harapan dan seluruh keterampilan

kooperatif.

Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Terdapat 6 fase atau langkah

utama pembelajaran kooperatif,

pembelajaran diawali dengan guru

menyampaikan tujuan pembelajaran

disertai dengan memotivasi siswa untuk

belajar dengan sungguh-sungguh. Fase

ini diikuti dengan penyampaian

informasi dengan lisan atau dalam bentuk

bacaan. Selanjutnya siswa

dikelompokkan ke dalam kelompok-

kelompok belajarnya. Tahap ini diikuti

bimbingan guru pada saat siswa bekerja

bersama untuk menyelesaikan tugas

secara berkelompok. Tahap terakhir

pembelajaran kooperatif meliputi

presentasi hasil akhir kerja kelompok,

atau evaluasi tentang materi yang telah

dipelajari dan memberikan penghargaan

terhadap usaha-usaha kelompok maupun

individu.

Keenam langkah pembelajaran

kooperatif oleh Arends (2001: 332)

disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.

Page 87: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

82Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

Tabel. 2. Langkah-langkah Pembelajaran KooperatifFase Kegiatan Guru

Fase-1Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Fase-2Menyajikan informasi

Fase-3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.

Fase-4Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Fase-5Evaluasi

Fase-6

Memberikan penghargaan

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan peragaan atau teks.

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan efisien.

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasekan hasil kerjanya.

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber: Arends (2001: 332)

Pembelajaran Matematika Realistik dengan Setting Kooperatif

Pembelajaran matematika

realistik (PMR) adalah suatu

pembelajaran yang didasarkan pada

prinsip konstruktivis. Menurut Slavin

(1997: 273),

Constructivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that students will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the

problems. (Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis umumnya banyak menggunakan pembelajaran kooperatif, yang didasarkan pada teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masah tersebut dengan temanya).

Hal ini sejalan dengan pendapat

Piaget dan Vigotsky (dalam Slavin,

1997: 270) yang menekankan adanya

hakikat sosial dalam belajar. Keduanya

menyarankan untuk menggunakan

Page 88: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

83Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

kelompok belajar yang anggotanya

berkemampuan berbeda. Pendapat serupa

juga dikemukakan oleh Freudenthal

(dalam Terwel, 1990) “I believe in the

social learning process, and on the

strength of this belief I advocate the

heterogeneous learning group.”

Pendapat-pendapat di atas

merekomendasikan penggunaan

kelompok belajar heterogen dalam

pembelajaran. Salah satu pembelajaran

yang menggunakan kelompok belajar

heterogen dan memperhatikan interaksi

sosial sesama siswa adalah pembelajaran

kooperatif. Berdasarkan pemikiran

tersebut, dapat dibentuk suatu

pembelajaran kooperatif sebagai setting

untuk PMR. PMR dengan setting

kooperatif yang dimaksud adalah

pembelajaran menggunakan sintaks

(langkah-langkah) pembelajaran

kooperatif yang memasukkan prinsip dan

karakteristik PMR.

Memperhatikan langkah-langkah

pembelajaran kooperatif serta prinsip dan

karakteristik PMR yang telah diuraikan

sebelumnya, langkah-langkah PMR

dengan setting kooperatif dirancang

sebagai berikut.

Tabel 3. Langkah-langkah PMR dengan setting kooperatif

Fase-fase pembelajaranPrinsip dan Karakteristik

PMR yang relevan

1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa2. Menyajikan informasi3. Mengorganisasikan siswa ke dalam

kelompok-kelompok belajar4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar

a. Meminta siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan

b. Meminta siswa menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan

5. Evaluasia. Meminta siswa membandingkan dan

mendiskusikan jawaban (presentasi hasil kerja kelompok)

b. Mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan tentang konsep atau prinsip yang dipelajari

c. Memberikan tes individual (kuis)6. Memberikan penghargaan

-

-

-

P2, K1, K4, K5

P1, P2, P3, K1, K2, K4, K5

P2, P3, K2, K3, K4

P1, P2, K3, K4

--

Keterangan:

Hurup P menyimbolkan prinsip dan

huruf K menyimbolkan karakteristik.

P1: Guided reinvention dan progressive

mathematizing

P2: Didactical phenomenology

Page 89: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

84Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

P3: Self developed models

K1: Menggunakan masalah konstekstual

K2: Menggunakan model

K3: Menggunakan kontribusi siswa

K4: Interaktivitas

K5: Terkait dengan topik lainnya

PENUTUP

PMR menekankan bagaimana

siswa menemukan kembali (reinvention)

konsep-konsep atau prosedur-prosedur

dalam matematika melalui masalah-

masalah kontekstual. Pembelajaran

matematika dengan pendekatan realistik

pada dasarnya adalah pemanfaatan realita

dan lingkungan yang dipahami peserta

didik untuk memperlancar proses

pembelajaran matematika sehingga

mencapai tujuan pendidikan matematika

yang lebih baik daripada masa yang telah

lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan

yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-

hal yang nyata atau konkret yang dapat

diamati atau dipahami peserta didik lewat

membayangkan, sedangkan yang

dimaksud dengan lingkungan adalah

lingkungan tempat peserta didik berada

baik lingkungan sekolah, keluarga

maupun masyarakat yang dapat dipahami

peserta didik. Lingkungan ini disebut

lingkungan sehari-hari.

Beberapa karakteristik dari

pembelajaran kooperatif, antara lain:

a. siswa bekerja dalam kelompok secara

kooperatif untuk menuntaskan materi

belajarnya;

b. kelompok dibentuk dari siswa dengan

kemampuan tinggi, sedang, rendah;

c. jika mungkin, anggota kelompok

berasal dari ras, budaya, suku, dan

jenis kelamin berbeda.

d. penghargaan lebih berorientasi pada

kelompok daripada individu.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.

-----------, 2001. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.

Cooper, J. L., P. Robinson, dan M. McKinney. 2002. Cooperative Learning in the Classroom. http://www.csudh.edu/SOE/cl_network/WhatisCL.html.

de Lange, J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Ultrecht: OW&OC.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Depdiknas.

Fauzan, A., 2001. Pengembangan Dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat Pembelajaran Geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME. Makalah disampaikan pada seminar Nasional di

Page 90: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

85Humuntal Banjarnahor adalah dosen jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan

FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari 2001.

Fauzi, K.M.S. 2002. Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok Bahasan Pembagian di SD. Tesis magister Pendidikan. Universitas Negeri Surabaya.

Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education.Utrecht : Freudenthal Institute.

Ibrahim, Muslimin.2000. Pembelajaran Kooperatif. Pusat Sains dan Matematika Sekolah. Unesa: Surabaya.

Johnson, R. dan D. Jhonson. 2001. An Overview of Cooperative Learning. http:/www.cooplearn.org/pages/overviewpaper.html.

Lundgren, L.. 1994. Cooperative Learning In The Science Classroom. New New York: Glencou/Mc Graw-Hill.

Ratumanan, T. G. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: University Press.

----------, 1997. Cooperative Learning: Theory & Practice. Second Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon.

----------, 2000. Educational Psychology Theory Into Practice. Edisi 6.Boston: Allyn & Bacon.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (konstatasi keadaan masa kinimenuju harapan masa depan). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas.

-----------, 2001a. Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembudayaan penalaran, Media Pendidikan Matematika. Surabaya; IKIP Surabaya.

-----------, 2001b. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari2001.

Sukahar. 1992. Diagnosis Kemampuan Menguasai Konsep dan Melakukan Operasi Hitung Mahasiswa FPMIPA IKIP Surabaya Angkatan 1991/1992.Surabaya: FPMIPA IKIP Surabaya.

Terwel, J. 1990. Real Maths in Cooperative Groups in Secondary Education. Dalam Cooperative Learning in Mathematics. Neil Davidson (Ed). New York: Addison-Wisley Publishing Company.

Treffers. A. 1991. “Didactical Background of a Mathematics Programs for Primary Education” dalam L. Streefland (Editor): Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute – Utrecht University

Yuwono, I.. 2000. Model Pembelajaran Matematika Secara Membumi.Proposal Disertasi Program S3

Pendidikan Matematika Pasca Sarjana. Unesa. UNESA Surabaya.

Page 91: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

86Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKANTERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN

DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKANKABUPATEN/KOTA

Oleh :

Lamhot Basani Sihombing

Abstrak

Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut.

Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan partisipatif, kebijakan pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi

PENDAHULUAN

Era reformasi telah membawa

perubahan-perubahan mendasar dalam

berbagai kehidupan termasuk kehidupan

pendidikan. Salah satu perubahan

mendasar adalah manajemen Negara,

yaitu dari manajemen berbasis pusat

menjadi manajemen berbasis daerah.

Secara resmi, perubahan manajemen ini

telah diwujudkan dalam bentuk Undang-

Undang Republik Indonesia No. 22

Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan

disempurnakan menjadi Undang-Undang

No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun

telah dibuat melalui Peraturan

Page 92: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

87Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Pemerintah Republik Indonesia No. 25

tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi

sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi

logis dari Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah tersebut adalah bahwa

manajemen pendidikan harus

disesuaikan dengan jiwa dan semangat

otonomi.

Penyesuaian dengan jiwa dan

semangat otonomi itu, antara lain

terwujud dalam bentuk perubahan arah

paradigma pendidikan, dari paradigma

lama ke paradigma baru, yang tentu juga

berdampak pada paradigma perencanaan

pendidikannya. Secara ideal, paradigma

baru pendidikan tersebut mestinya

mewarnai kebijakan pendidikan baik

kebijakan pendidikan yang bersifat

substantif maupun implementatif. Seperti

yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra

(2002: xii) bahwa dengan era otonomi

daerah :

”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan”

Agar dampak positif dapat benar-

benar terwujud, kemampuan perencanaan

pendidikan yang baik di daerah sangatlah

diperlukan. Dengan kemampuan

perencanaan pendidikan yang baik

diharapkan dapat mengurangi

kemungkinan timbulnya permasalahan

yang serius. Fiske (1996) menyatakan

bahwa berdasarkan pengalaman berbagai

negara sedang berkembang yang

menerapkan otonomi di bidang

pendidikan, otonomi berpotensi

memunculkan masalah: perbenturan

kepentingan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, menurunnya mutu pendidikan,

inefisiensi dalam pengelolaan

pendidikan, ketimpangan dalam

pemerataan pendidikan, terbatasnya

gerak dan ruang partisipasi masyarakat

dalam pendidikan, serta berkurangnya

tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh

pemerintah serta meningkatnya

akuntabilitas pendidikan oleh

masyarakat.

Selain itu, dengan perencanaan

yang baik, konon, merupakan separoh

dari kesuksesan dalam pengelolaan dan

penyelenggaraan pendidikan yang telah

diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata

Abdul Madjid dalam tulisannya

”Pendidikan Tanpa Planning”

(Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa

rendahnya mutu pendidikan kita

Page 93: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

88Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

disebabkan oleh belum komprehensifnya

pendekatan perencanaan yang digunakan.

Perencanaan pendidikan, katanya, hanya

dijadikan faktor pelengkap atau dokumen

”tanpa makna” sehingga sering terjadi

tujuan yang ditetapkan tidak tercapai

secara optimal. Dapat juga terjadi, seperti

dinyatakan H. Noeng Muhadjir

(2003:89), bahwa ”pembuatan

implementasi kebijakan berupa

perencanaan, mungkin saja dilakukan

oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih

dahulu. Kemungkinan resikonya

beragam, misalnya membuat kesalahan

yang sama dengan eksekutif terdahulu,

tidak realistis, tidak menjawab masalah

yang dihadapi masyarakat, sampai ke

dugaan manipulatif-koruptif ”.

Era otonomi daerah telah

mengakibatkan terjadinya pergeseran

arah paradigma pendidikan, dari

paradigma lama ke paradigma baru,

meliputi berbagai aspek mendasar yang

saling berkaitan, yaitu (1) dari

sentralistik menjadi desentralistik, (2)

dari kebijakan yang top down ke

kebijakan yang bottom up, (3) dari

orientasi pengembangan parsial menjadi

orientasi pengembangan holistik, (4) dari

peran pemerintah sangat dominan ke

meningkatnya peranserta masyarakat

secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5)

dari lemahnya peran institusi non sekolah

ke pemberdayaan institusi masyarakat,

baik keluarga, LSM, pesantren, maupun

dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).

Agak berbeda dengan hal

tersebut, dalam buku Depdiknas

(2002:10) tentang Materi Pelatihan

Terpadu untuk Kepala Dinas

Kabupaten/Kota, selain perubahan

paradigma dari “sentralistik ke

desentralistik” dan orientasi pendekatan

“dari atas ke bawah” (top down

approach) ke pendekatan “dari bawah ke

atas” (bottom up approach) sebagaimana

yang sudah disebut dalam buku Fasli

Jalal, juga disebutkan tiga paradigma

baru pendidikan lainnya, yaitu dari

“birokrasi berlebihan” ke

“debirokratisasi”, dari “Manajemen

Tertutup” (Closed Management) ke

“Manajemen Terbuka” (Open

Management), dan pengembangan

pendidikan, termasuk biayanya,

“terbesar menjadi tanggung jawab

pemerintah” berubah ke “sebagian besar

menjadi tanggung jawab orang tua siswa

dan masyarakat (stakeholders).

Dengan terjadinya perubahan

paradigma baru pendidikan, maka sistem

perencanaan pendidikan dalam iklim

pemerintahan yang sentralistik, sudah

tidak sesuai lagi dengan kebutuhan

perencanaan pendidikan pada era

otonomi daerah, sehingga diperlukan

Page 94: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

89Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

paradigma baru perencanaan pendidikan.

Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2),

perubahan paradigma dalam sistem

perencanaan pendidikan di daerah

setidak-tidaknya akan menyentuh lima

aspek, yaitu sifat, pendekatan,

kewenangan pengambilan keputusan,

produk serta pola perencanaan

anggaran.

Dari segi sifat perencanaan

pendidikan, maka perencanaan

pendidikan pada tingkat daerah sebagai

kegiatan awal dari proses pengelolaan

pendidikan termasuk kegiatan yang wajib

dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu,

Pemerintah Pusat berkewajiban

merumuskan kebijakan tentang

perencanaan nasional, yang dalam

pelaksanaannya telah dituangkan dalam

bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun

2000 tentang Program Pembangunan

Nasional. Pada tingkat Departemen,

Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke

dalam dokumen Rencana Strategis

(Renstra) yang memuat strategi umum

untuk mencapai tujuan program

pembangunan di bidang masing-masing

dan dituangkan dalam Keputusan

Menteri. Berdasarkan Renstra itu,

Pemerintah Pusat menyusun Program

pembangunan tahunan yang disingkat

Propeta yang dituangkan dalam

Keputusan Menteri, sesuai dengan

lingkup tugas dan kewenangan masing-

masing.

Selain itu, pada era otonomi

daerah diharapkan akan lebih tumbuh

kreativitas dan prakarsa, serta mendorong

peran serta masyarakat sesuai dengan

potensi dan kemampuan masing-masing

daerah. Ini berarti bahwa dalam

membangun pendidikan di daerah

Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan

perencanaan pendidikan tingkat daerah

yang baik dan distinktif, tidak hanya

bertumpu kepada perencanaan nasional

yang makro, tetapi juga dapat

mempertimbangkan keunikan,

kemampuan, dan budaya daerah masing-

masing sehingga mampu menumbuhkan

prakarsa dan kreativitas daerah.

Perencanaan program pendidikan di

daerah bukan lagi merupakan bagian

atau fotokopi dari perencanaan program

tingkat nasional maupun propinsi, tetapi

merupakan perencanaan pendidikan yang

unik dan mandiri sehingga beragam,

walaupun disusun atas dasar rambu-

rambu kebijakan perencanaan nasional.

Dari segi pendekatan

perencanaan pendidikan, era otonomi

telah merubah paradigma dalam

pendekatan perencanaan pendidikan di

daerah dari pendekatan diskrit sektoral

menjadi integrated dengan sektor

lainnya di daerah. Sebelum otonomi,

Page 95: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

90Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

sistem alokasi anggaran pendidikan di

daerah diperoleh dari APBN pusat secara

sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda

dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah

otonomi diperoleh dari APBD yang

berasal dari berbagai sumber sebagai

bagian dari dana Daerah untuk seluruh

sektor yang menjadi tanggung jawab

daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana

bagi hasil, dana alokasi umum, dana

dekonsentrasi, dana perbantuan,

pendapatan asli daerah, dan bantuan

masyarakat. Dengan demikian, telah

terjadi perubahan sumber anggaran yang

semula bersifat tunggal-hierarkhi-

sektoral sekarang menjadi jamak-

fungsional-regional, tetapi dalam

persaingan antar sektor.

Dari segi kewenangan

pengambilan keputusan, sistem

perencanaan pendidikan yang sentralistik

telah menutup kewenangan Daerah

dalam pengambilan keputusan di bidang

pendidikan baik pada tataran kebijakan,

skala prioritas, jenis program, jenis

kegiatan, bahkan dalam hal rincian

alokasi anggaran. Namun, dalam era

otonomi Daerah dapat dan harus

menetapkan kebijakan, program, skala

prioritas, jenis kegiatan sampai dengan

alokasi anggarannya sesuai dengan

kemampuan Daerah, sepanjang tidak

bertentangan dengan kebijakan nasional

yang antara lain dalam bentuk Standar

Pelayanan Minimal (SPM) yang

ditetapkan.

Sementara dari segi produk

perencanaan pendidikan, pada era

desentralisasi produk perencanaan

pendidikan diharapkan merupakan

bagian tak terpisahkan dari perencanaan

pembangunan Daerah secara lintas

sektoral. Oleh karena itu, produk

perencanaan pendidikan yang dihasilkan

harus mencakup seluruh komponen

perencanaan pendidikan yang meliputi:

kebijakan, rencana strategis, skala

prioritas, program, sasaran dan kegiatan,

serta alokasi anggarannya dalam konteks

perencanaan pembangunan Daerah

secara terpadu. Semua komponen itu

perlu dikembangkan secara spesifik

sesuai dengan kemampuan dan

kharakteristik Daerah, sejauh tidak

bertentangan dengan kebijakan umum,

prioritas nasional, dan program-program

strategis yang ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat.

Dampak dari pergeseran

paradigma dari keempat aspek tersebut di

atas juga membawa dampak pada

perubahan pola perencanaan

anggarannya. Pola perencanaan anggaran

menggunakan pendekatan integratif,

sehingga pola dalam merencanakan

Page 96: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

91Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

anggaran selain mengacu pada sifat

prosedural juga menggunakan prinsip

efisiensi dengan berorientasi outcomes

karena tingkat keberhasilan pendidikan

dikontraskan dengan tingkat keberhasilan

sektor lain. Pola manajemen anggaran

yang tepat adalah manajemen strategik

anggaran yang lebih berorientasi kepada

pencapaian program dan upaya

pengembangan.

PEMBAHASAN

Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya

Paradigma baru perencanaan

pendidikan di atas, tentu saja

berimplikasi pada proses perencanaan

pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era

otonomi daerah, Sistem Perencanaan

Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK)

adalah bagian integral dari sistem

Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah

UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional,

terjadi perubahan paradigma perencanaan

pembangunan daerah, yaitu mendasarkan

pada perencanaan partisipatif, di mana

perencanaan dibuat dengan

memperhatikan dinamika, prakarsa dan

kebutuhan masyarakat setempat. Oleh

karenanya, dalam penyusunan

perencanaan pembangunan tersebut

diperlukan koordinasi antar instansi

Pemerintah dan partisipasi seluruh

pelaku pembangunan, melalui suatu

forum Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) tingkat

kelurahan, tingkat kecamatan, dan

tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja

Perangkat Daerah. Setiap perencanaan

pembangunan daerah selanjutnya harus

ditetapkan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20

tahun, Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun

dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD), untuk periode satu tahun.

Saling kait antar hierarkhi

perencanaan pembangunan daerah,

dengan dokumen perencanaan lainnya

sampai tersusunnya RAPBD adalah

sebagai berikut.

Page 97: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

92Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Gambar 1. Hubungan Antara Perencanaan Pembangunan di Daerah dengan Dokumen Perencanaan lainnya.

Dari bagan di atas Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah

(RPJPD) merupakan dokumen

perencanaan daerah yang digunakan

sebagai dasar untuk penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Kemudian Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

digunakan sebagai pedoman untuk

menyusun Rencana Strategis Satuan

Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD),

serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD) dengan tetap memperhatikan

RKP dan RKPD Provinsi. RKPD itu

sendiri merupakan dokumen perencanaan

teknis operasional untuk kurun waktu

satu tahun, merupakan penjabaran

RPJMD Kab/Kota. RKPD disusun

berdasarkan tugas pokok dan fungsi

SKPD serta aspirasi masyarakat melalui

penjaringan aspirasi, Musrenbang

kelurahan dan kecamatan, dan forum

SKPD.

Dengan demikian, SPPK sebagai

bagian integral dari perencanaan

pembangunan daerah dan sebagai satu

kesatuan tata cara perencanaan

pendidikan Kabupaten/Kota mesti

menghasilkan dokumen-dokumen

perencanaan pendidikan kabupaten/kota

dalam jangka panjang, jangka menengah,

dan tahunan yang dilaksanakan oleh

unsur penyelenggara pendidikan

kabupaten/kota dan masyarakat (diwakili

oleh Dewan Pendidikan).

RPPK (Rancangan Perencanaan

Pendidikan Kabupaten/Kota) Jangka

Panjang adalah dokumen perencanaan

pendidikan kabupaten/kota untuk periode

20 (dua puluh) tahun; RPPK Jangka

Menengah (Rencana Strategis) adalah

dokumen perencanaan pendidikan

kabupaten/kota untuk periode 5 (lima)

Page 98: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

93Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

tahun. Sedangkan RPPK Tahunan adalah

dokumen perencanaan pendidikan

kabupaten/kota untuk periode 1 (satu)

tahun.

Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Dalam upaya perumusan

dokumen-dokumen perencanaan

pendidikan tersebut, Slamet P.H. (2005),

mengemukakan sebuah model proses

perencanaan pendidikan Kabupaten/

Kota sebagai berikut.

Gambar 2. Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Model proses perencanaan

pendidikan di atas sekaligus memberi

gambaran mengenai tahap-tahap

perencanaan pendidikan kabupaten/kota.

Secara singkat, penjelasannya adalah

sebagai berikut.

a. Melakukan analisis lingkungan

strategis. Lingkungan strategis

adalah lingkungan eksternal yang

berpengaruh terhadap perencanaan

pendidikan kabupaten/kota, misalnya:

Propeda, Renstrada, Repetada,

peraturan perundangan (UU, PP,

Kepres, Perda, dsb), tingkat

kemiskinan, lapangan kerja, harapan

masyarakat terhadap pendidikan,

pengalaman-pengalaman praktek

yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan

globalisasi, dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Perubahan lingkungan strategis harus

diinternalisasikan ke dalam

perencanaan pendidikan

kabupaten/kota agar perencanaan

tersebut benar-benar menyatu dengan

perubahan lingkungan strategis.

Page 99: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

94Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

b. Melakukan analisis situasi untuk

mengetahui status situasi pendidikan

saat ini (dalam kenyataan) yang

meliputi profil pendidikan

kabupaten/kota (pemerataan, mutu,

efisiensi, dan relevansi), pemetaan

sekolah/ guru/ siswa, kapasitas

manajemen dan sumber daya pada

tingkat kabupaten/kota dan sekolah,

dan best practices pendidikan saat

ini.

c. Memformulasikan pendidikan yang

diharapkan di masa mendatang yang

dituangkan dalam bentuk rumusan

visi, misi, dan tujuan pendidikan,

yang mencakup setidaknya

pemerataan kesempatan, mutu,

efisiensi, relevansi, dan peningkatan

kapasitas pendidikan kabupaten/kota.

d. Mencari kesenjangan antara butir (2)

dan butir (3) sebagai bahan masukan

bagi penyusunan rencana pendidikan

keseluruhan yang akan datang (5

tahun) dan rencana jangka pendek (1

tahun). Kesenjangan/tantangan yang

dimaksud mencakup pemerataan

kesempatan, mutu, efisiensi,

relevansi dan pengembangan

kapasitas manajemen pendidikan

pada tingkat kabupaten dan sekolah.

e. Berdasarkan hasil butir (4)

disusunlah rencana kegiatan tahunan

untuk selama 5 tahun (rencana

strategis) dan rencana kegiatan rinci

tahunan (rencana operasional/renop).

f. Melaksanakan rencana

pengembangan pendidikan

kabupaten/kota melalui upaya-upaya

nyata yang dapat meningkatkan

pemerataan kesempatan, mutu,

efisiensi, relevansi dan kapasitas

manajemen pendidikan pada tingkat

kabupaten/kota dan sekolah.

g. Melakukan pemantauan terhadap

pelaksanaan rencana dan melakukan

evaluasi terhadap hasil rencana

pendidikan. Hasil evaluasi akan

memberitahu apakah hasil pendidikan

sesuai dengan yang direncanakan.

Dengan memperhatikan substansi

utamanya, model tahap-tahap

perencanaan pendidikan di atas bisa

digambarkan dalam bentuk sebagai

berikut.

Page 100: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

95Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Gambar 3. Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Sebagaimana sudah disebut

secara implisit di atas, bahwa pada

hakekatnya sebuah perencanaan dibuat

dalam rangka mengubah ”situasi

pendidikan saat ini” (dalam kenyataan)

menuju ke ”situasi pendidikan yang

diharapkan” di masa mendatang. Untuk

itu, ada tiga kata kunci yang harus

dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan

dan program pendidikan.

Kebijakan Pendidikan

Kebijakan dibuat mengacu pada

paradigma baru pendidikan. Kebijakan

adalah suatu ucapan atau tulisan yang

memberikan petunjuk umum tentang

penetapan ruang lingkup yang memberi

batas dan arah umum kepada para

manajer untuk bergerak. Kebijakan juga

berarti suatu keputusan yang luas untuk

menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan

manajemen. Keputusan yang dimaksud

telah dipikirkan secara matang dan hati-

hati oleh pengambil keputusan puncak

dan bukan kegiatan-kegiatan yang

berulang dan rutin yang terprogram atau

terkait dengan aturan-aturan keputusan

(Nurkolis, 2004).

Sementara, menurut Slamet

P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah

apa yang dikatakan (diputuskan) dan

dilakukan oleh pemerintah dalam bidang

pendidikan. Dengan demikian, kebijakan

pendidikan berisi keputusan dan tindakan

yang mengalokasikan nilai-nilai.

Menurutnya, kebijakan pendidikan

meliputi lima tipe, yaitu kebijakan

regulatori, kebijakan distributif,

kebijakan redistributif, kebijakan

kapitalisasi dan kebijakan etik.

Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90),

membedakan antara kebijakan substantif

dan kebijakan implementatif. Kebijakan

implementatif adalah penjabaran

Page 101: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

96Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

sekaligus operasionalisasi dari kebijakan

substantif.

Sementara itu, Sugiyono (2003)

mengemukakan tiga pengertian kebijakan

(policy) yaitu (1) sebagai pernyataan

lesan atau tertulis pimpinan tentang

organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai

ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan

pedoman, pegangan atau petunjuk bagi

setiap kegiatan, sehingga tercapai

kelancaran dan keterpaduan dalam

mencapai tujuan organisasi, dan (3)

sebagai peta jalan untuk bertindak dalam

mencapai tujuan organisasi. Menurutnya,

kebijakan yang baik harus memenuhi

syarat sebagai berikut.

a. Kebijakan yang dibuat harus

diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat;

b. Kebijakan yang dibuat harus

berpedoman pada kebijakan yang

lebih tinggi dan memperhatikan

kebijakan yang sederajat yang lain;

c. Kebijakan yang dibuat harus

berorientasi ke masa depan;

d. Kebijakan yang dibuat harus adil;

e. Kebijakan yang dibuat harus berlaku

untuk waktu tertentu;

f. Kebijakan yang dibuat harus

merupakan perbaikan atas kebijakan

yang telah ada;

g. Kebijakan yang dibuat harus mudah

dipahami, diimplementasikan,

dimonitor dan dievaluasi;

h. Kebijakan yang dibuat harus

berdasarkan informasi yang benar

dan up to date;

i. Sebelum kebijakan dijadikan

keputusan formal, maka bila mungkin

diujicobakan terlebih dulu.

Herman, J. dalam Hough, J. R.

(ed) (1984) menjelaskan bahwa “Policy

is sometimes used in a narrow sense to

refer to formal statements of action to be

followed, while others use the word

‘policy’ as a synonym for words such as

‘plan’ or ‘programme’. Many writers too

do not distinguish clearly between

‘policy-making’ and ‘decision-making’”.

Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan

tersebut disamaartikan dengan konsep

lain, yaitu :

a. Goals : desired ends to be achieved.b. Plans or proposals : specified means

for achieving goals.c. Programmes : authorized means,

strategies and details of procedure for achieving goals.

d. Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate programmes

e. Effects : measurable impact of programmes

f. Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies. Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than

Page 102: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

97Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

separate discrete decision; usually policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative policy.

Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa kebijakan pendidikan

adalah upaya perbaikan dalam tataran

konsep pendidikan, perundang-

undangan, peraturan dan pelaksanaan

pendidikan serta menghilangkan praktik-

praktik pendidikan di masa lalu yang

tidak sesuai atau kurang baik sehingga

segala aspek pendidikan di masa

mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan

pendidikan diperlukan agar tujuan

pendidikan nasional dapat dicapai secara

efektif dan efisien.

Perencanaan Pendidikan

Perencanaan pendidikan dibuat

dengan mengacu pada kebijakan

pendidikan yang telah ditetapkan.

Perencanaan pendidikan adalah proses

penyusunan gambaran kegiatan

pendidikan di masa depan dalam rangka

untuk mencapai perubahan/tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam

rangka membuat perencanaan pendidikan

tersebut, perencana melakukan proses

identifikasi, mengumpulkan, dan

menganalisis data-data internal dan

eksternal (esensial dan kritis) untuk

memperoleh informasi terkini dan yang

bermanfaat bagi penyiapan dan

pelaksanaan rencana jangka panjang dan

pendek dalam rangka untuk

merealisasikan atau mencapai tujuan

pendidikan kabupaten/kota.

Perencanaan pendidikan penting

untuk memberi arah dan bimbingan pada

para pelaku pendidikan dalam rangka

menuju perubahan atau tujuan yang lebih

baik (peningkatan, pengembangan)

dengan resiko yang kecil dan untuk

mengurangi ketidakpastian masa depan.

Tanpa perencanaan pendidikan yang baik

akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan

yang akan dicapai, resiko besar dan

ketidakpastian dalam menyelenggarakan

semua kegiatan pendidikan. Dengan

kemampuan perencanaan pendidikan

yang baik di daerah, oleh karenanya,

diharapkan akan dapat mengurangi

kemungkinan timbulnya permasalahan

yang serius sebagai dampak dari

diberlakukannya otonomi pendidikan itu

di tingkat daerah kabupaten/ kota.

Sebagai dasar dalam membuat

perencanaan di bidang pendidikan,

Page 103: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

98Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

umumnya orang menggunakan teknik

analisis SWOT, dimaksudkan untuk

mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,

kesempatan atau peluang dan tantangan

atau ancaman yang dihadapi oleh

organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan

posisi organisasi dalam berbagai aspek

bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu

bisa ditetapkan prioritas strategi dan

program-programnya, serta peta urutan

pelaksanaannya.

Program Pendidikan

Pada intinya, program pendidikan

adalah kegiatan-kegiatan yang akan

dilakukan dalam rangka mencapai

tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan

strategi dan kebijakan pendidikan yang

telah ditetapkan.

Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional

Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan

Sebagaimana diamanatkan dalam

UUD 1945, pada dasarnya pelayanan

pendidikan yang bermutu merupakan hak

bagi seluruh warga negara Indonesia.

Meskipun demikian kenyataan

menunjukkan bahwa saat ini belum

semua warga negara dapat memperoleh

haknya atas pendidikan. Oleh karena itu

pemerintah sebagai penyelenggara

negara wajib berupaya untuk

memenuhinya.

Dalam kebijakan Ditjen

Mandikdasmen, disebutkan mengenai

konsep, indikator keberhasilan, dan

sumber daya pendukung untuk kebijakan

pemerataan dan perluasan akses

pendidikan sebagai berikut.

Tabel 1. Kebijakan dan pemerataan Pendidikan

Page 104: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

99Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Studi yang secara langsung

diarahkan pada analisis kebijakan dalam

pemerataan pendidikan ialah studi yang

dilakukan oleh James Coleman (Ace

Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29)

yang berjudul Equality of Educational

Opportunity. Coleman membedakan

secara konsepsional antara pemerataan

kesempatan pendidikan secara pasif,

dengan pemerataan pendidikan secara

aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif

lebih menekankan pada kesamaan

memperoleh kesempatan untuk

mendaftar di sekolah, sedangkan

pemerataan aktif ialah kesempatan yang

sama yang diberikan oleh sekolah kepada

murid-murid terdaftar agar memperoleh

hasil belajar setinggi-tingginya.

Komponen-komponen konsep

pemerataan pendidikan ini secara lebih

jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan

Farrel (1982). Dalam studinya di Chili,

mereka menggunakan landasan konsep

pemerataan pendidikan yang relatif lebih

komprehensif daripada konsepsi

pemerataan pendidikan yang selama ini

digunakan. Berdasarkan konsep mereka,

pemerataan pendidikan atau equality of

educational opportunity tidak hanya

terbatas pada, apakah murid memiliki

kesempatan yang sama untuk masuk

sekolah (pemerataan kesempatan

pendidikan secara pasif menurut

Coleman), tetapi lebih dari itu, murid

tersebut harus memperoleh perlakuan

yang sama sejak masuk, belajar, lulus,

sampai dengan memperoleh manfaat dari

pendidikan yang mereka ikuti dalam

kehidupan di masyarakat.

Pertama, yaitu pemerataan

kesempatan memasuki sekolah (equality

of access). Konsep ini berkaitan erat

dengan tingkat partisipasi pendidikan

sebagai indikator kemampuan sistem

pendidikan dalam memberikan

kesempatan seluas-luasnya bagi anak

usia sekolah untuk memperoleh

pendidikan. Pemerataan pendidikan ini

dapat dikaji berdasarkan dua konsep

yang berlainan, yaitu pemerataan

kesempatan (equality of access) dan

keadilan (equity) di dalam memperoleh

pendidikan dan pelatihan.

Kedua, pemerataan kesempatan

untuk bertahan di sekolah (equality of

survival). Konsep ini menitikberatkan

pada kesempatan setiap individu untuk

memperoleh keberhasilan dalam

pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis

ini mencurahkan perhatian pada tingkat

efisiensi internal sistem pendidikan

dilihat dari beberapa indikator yang

dihasilkan dari metode Kohort. Metode

ini mempelajari efisiensi pendidikan

berdasarkan murid-murid yang berhasil

Page 105: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

100Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

dibandingkan dengan murid-murid yang

mengulang kelas dan yang putus sekolah.

Ketiga, pemerataan kesempatan

untuk memperoleh keberhasilan dalam

belajar (equality of output). Dilihat dari

sudut pandang perseorangan equality of

output ini menggambarkan kemampuan

sistem pendidikan dalam memberikan

kemampuan dan ketrampilan yang tinggi

kepada lulusan tanpa membedakan

variabel suku bangsa, daerah, status

sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep

output pendidikan biasanya diukur

dengan prestasi belajar akademis. Di

pandang dari sudut sistemnya itu sendiri,

konsep ini menggambarkan seberapa

jauh sistem pendidikan itu efisien dalam

memanfaatkan sumber daya yang

terbatas, efektif dalam mengisi

kekurangan tenaga kerja yang

dibutuhkan, dan mampu melakukan

kontrol terhadap kemungkinan kelebihan

tenaga kerja dalam hubungannya dengan

jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan

kerja.

Keempat, yaitu pemerataan

kesempatan dalam menikmati manfaat

pendidikan dalam kehidupan masyarakat

(equality ot outcome). Konsep ini

menggambarkan keberhasilan pendidikan

secara eksternal (exsternal efficiency)

dari suatu sistem pendidikan dan

pelatihan dihubungkan dengan

penghasilan lulusan (individu), jumlah

dan komposisi lulusan disesuaikan

dengan kebutuhan akan tenaga kerja

(masyarakat), dan yang lebih jauh lagi

pertumbuhan ekonomi (masyarakat).

Teknik-teknik analisis yang digunakan

biasanya meliputi analisis rate of return

to education, hubungan pendidikan

dengan kesempatan kerja, fungsi

produksi pendidikan dengan

menggunakan pendekaan ”status

attainment analytical model”, dan

sebagainya.

Kebijakan terhadap pemerataan

kesempatan meliputi aspek persamaan

kesempatan, akses dan keadilan atau

kewajaran. Contoh-contoh pemerataan

kesempatan, misalnya, beasiswa untuk

siswa miskin, pelatihan guru PLB,

pembenahan SMP terbuka, perencanaan

bagi daerah-daerah terpencil atau gender,

peningkatan APK dan APM, peningkatan

angka melanjutkan, pengurangan angka

putus sekolah, dan lain-lain.

Kualitas pendidikan

Realitas menunjukkan bahwa

kualitas pendidikan di Indonesia relatif

rendah yang menyebabkan sulitnya

bangsa Indonesia bersaing dengan

bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan

sebuah bangsa sangat ditentukan oleh

dua faktor yang mendukung, yaitu

internal dan eksternal (Dodi Nandika,

Page 106: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

101Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

2007:16). Faktor internal meliputi jajaran

dunia pendidikan, seperti Depdiknas,

Dinas Pendidikan daerah dan sekolah

yang berada di garis depan, dan faktor

eksternal yaitu masyarakat pada

umumnya. Dua faktor ini haruslah saling

menunjang dalam upaya peningkatan

kualitas tersebut. Salah satu implikasi

langsungnya ialah pada perlunya

program-program yang terkait seperti

penyediaan dan rehabilitasi sarana dan

prasarana belajar, guru yang berkualitas,

buku pelajaran bermutu yang terjangkau

masyarakat, alat bantu belajar untuk

meningkatkan kreativitas, dan sarana

penunjang belajar lainnya.

Kualitas pendidikan mencakup

aspek input, proses dan output, dengan

catatan bahwa output sangat ditentukan

oleh proses, dan proses sangat

dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input.

Contoh perencanaan kualitas misalnya,

pengembangan tenaga

pendidik/kependidikan (guru, kepala

sekolah, konselor, pengawas, staf dinas

pendidikan, pengembangan dewan

pendidikan, dan komite sekolah, rasio

(siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang

kelas, siswa/ sekolah), pengembangan

bahan ajar, pengembangan tes standar di

tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan

per siswa, pengembangan model

pembelajaran (pembelajaran tuntas,

pembelajaran dengan melakukan,

pembelajaran kontektual, pembelajaran

kooperatif dan sebagainya).

Efisiensi pendidikan

Efisiensi menunjuk pada hasil

yang maksimal dengan biaya yang wajar.

Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi

eksternal. Efisiensi internal merujuk

kepada hubungan antara output sekolah

(pencapaian prestasi belajar) dan input

(sumber daya) yang digunakan untuk

memproses/menghasilkan output

sekolah. Efisiensi eksternal merujuk

kepada hubungan antara biaya yang

digunakan untuk menghasilkan tamatan

dan keuntungan kumulatif (individual,

sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang

didapat setelah kurun waktu yang

panjang di luar sekolah. Contoh-contoh

perencanaan peningkatan efisiensi,

misalnya, peningkatan angka kelulusan,

rasio keluaran/masukan, angka kenaikan

kelas, penurunan angka mengulang,

angka putus sekolah, dan peningkatan

angka kehadiran dan lain-lain.

Relevansi pendidikan.

Relevansi menunjuk kepada

kesesuaian hasil pendidikan dengan

kebutuhan (needs), baik kebutuhan

peserta didik, kebutuhan keluarga, dan

kebutuhan pembangunan yang meliputi

berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-

Page 107: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

102Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

contoh perencanaan relevansi misalnya,

program ketrampilan kejuruan/

kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-

siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum

muatan lokal, pendidikan kecakapan

hidup dan peningkatan jumlah siswa

yang terserap di dunia kerja.

Pengembangan Kapasitas

Yang dimaksud dengan kapasitas

adalah kemampuan individu dan

organisasi atau unit organisasi untuk

melaksanakan tugas dan fungsinya secara

efektif, efisien, dan berkelanjutan

(UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi

pendidikan sangat ditentukan oleh

tingkat kesiapan kapasitas makro,

kelembagaan, sumber daya dan

kemitraan. Pengembangan kapasitas

tingkat makro meliputi : (1) arahan-

arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan,

pengawasan dan kontrol. Pengembangan

kapasitas kelembagaan mencakup

kemampuan dalam merumuskan visi,

misi, tujuan, kebijakan, dan strategi,

perencanaan pendidikan, manajemen

pada semua aspek pendidikan

(kurikulum, ketenagaan, keuangan,

sarana dan prasarana, dsb), sistem

informasi manajemen pendidikan,

pengembangan pengaturan (regulasi dan

legislasi), pendidikan, pengembangan

sumber daya manusia, pengembangan

organisasi (tugas dan fungsi serta struktur

organisasinya), proses pengambilan

keputusan dalam organisasi, prosedur

dan mekanisme kerja, hubungan dan

jaringan antar organisasi, pengembangan

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,

pengembangan kepemimpinan

pendidikan dan lain-lain.

Kesiapan kapasitas sumber daya

mencakup sumber daya manusia

(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana)

dan sumber daya selebihnya (uang,

peralatan, perlengkapan, bahan, dsb).

Sedangkan, pengembangan kapasitas

kemitraan dilandasi oleh kesadaran

bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan

harus dilakukan secara terpadu antara

lingkungan keluarga, sekolah dan

masyarakat karena masing-masing

memiliki pengaruh terhadap pendidikan

anak.

Khusus mengenai kebijakan

peningkatan mutu, relevansi dan daya

saing, dalam kebijakan Ditjen

Mandikdasmen, disebutkan mengenai

konsep, indikator keberhasilan, dan

pendukung sebagai berikut.

Page 108: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

103Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Dalam arah pengembangan

manajemen Dikdasmen juga

dikemukakan mengenai kebijakan

penguatan tatakelola, akuntabilitas dan

pencitraan publik, yang konsep, indikator

keberhasilan, pendukung dan

programnya sebagai berikut.

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat

disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai

berikut: 1) Era reformasi telah membawa

perubahan mendasar dalam pendidikan,

salah satunya adalah terjadinya

perubahan arah paradigma pendidikan,

termasuk dalam hal sistem perencanaan

pendidikan di daerah; 2) Dengan

Page 109: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

104Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

terjadinya perubahan paradigma baru

pendidikan, maka sistem perencanaan

pendidikan dalam iklim pemerintahan

yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi

dengan kebutuhan perencanaan

pendidikan pada era otonomi daerah,

sehingga diperlukan paradigma baru

perencanaan pendidikan; 3) Paradigma

baru perencanaan pendidikan akan

berimplikasi pada proses perencanaan

pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era

otonomi daerah, sistem perencanaan

pendidikan Kabupaten/Kota adalah

bagian integral dari sistem perencanaan

pembangunan daerah Kabupaten/Kota,

yaitu mendasarkan pada perencanaan

partisipatif, di mana perencanaan dibuat

dengan memperhatikan dinamika,

prakarsa dan kebutuhan masyarakat

setempat; 4) Dalam penyusunan

perencanaan pembangunan, termasuk

dalam perencanaan pendidikan di daerah

Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi

antar instansi Pemerintah dan partisipasi

seluruh pelaku pembangunan, melalui

suatu forum Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) tingkat

kelurahan, tingkat kecamatan, dan

tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja

Perangkat Daerah; 5) Dalam melakukan

perencanaan pendidikan

Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu

dilakukan analisis lingkungan strategis,

untuk mengetahui lingkungan eksternal

yang berpengaruh terhadap perencanaan

pendidikan kabupaten/kota. Selain itu,

berbagai perubahan lingkungan strategis

harus diakomodasi dan diinternalisasikan

ke dalam perencanaan pendidikan

kabupaten/kota agar perencanaan

tersebut benar-benar menyatu dengan

perubahan lingkungan strategis tersebut.

Kemudian, perlu analisis situasi untuk

mengetahui ”situasi pendidikan saat ini”

dan ”situasi pendidikan yang diharapkan

atau ditargetkan” menyangkut berbagai

kebijakan pendidikan yang ditetapkan,

sehingga kesenjangan dapat diketahui

dan kebijakan substantif dan

implementatif, program serta rencana

kegiatan dapat dipikirkan secara

integrated.

Depdiknas dan para stakeholders

pendidikan lainnya, perlu membuat

pemikiran inovatif-kreatif mengenai

model pembangunan sistem pendidikan

yang terintegrasi, yang dapat meramu

sekaligus mengakomodasi upaya

peningkatan dan pencapaian berbagai

kebijakan pendidikan (pemerataan dan

perluasan akses pendidikan, peningkatan

kualitas pendidikan, relevansi

pendidikan, dan lain-lain yang

ditargetkan) secara bersama-sama, bukan

secara parsial dan berurutan, termasuk

aspek sustainability (keberlanjutan) nya.

Page 110: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

105Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Sekedar sebagai contoh, hasil

peningkatan dan pencapaian pemerataan

dan perluasan akses pendidikan, perlu

dibarengi dengan peningkatan kualitas

pendidikan (dengan model peningkatan

kualitas yang massive, misalnya), tapi

juga perlu memperhatikan aspek

relevansi (dengan, misalnya,

mencocokkan kurikulum dengan empirik

yang ada, dengan mengupdate silabus

setiap tahun sekali, meski tanpa merubah

kurikulum formalnya). Aspek

keberlanjutannya perlu juga dipikirkan,

jangan sampai berjalannya sebuah

kebijakan hanya tergantung pada ada

tidaknya subsidi dari pusat, sementara

ketika subsidi ditiadakan atau dicabut,

misalnya, lalu tidak berjalan.

DAFTAR PUSTAKA

Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Alhumani,A. (11 September 2000).Pembangunan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi. Kompas, p.4.

Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.

Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat

Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).

Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.

Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.

Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES

Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia.

H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyani A. Nurhadi. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999. Yogyakarta: Seminar Nasional.

Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Telaah Cross Discipline. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori

Page 111: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

106Lamhot Basani Sihombing adalah dosen jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan

Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Slamet P.H. 2005. Kapita SelektaDesentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas.

UU RI No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional (Lembaran Negara RI tahun 2004 No.104, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2004 No.4421.

Page 112: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

107Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI SUPERVISI KLINIS KEPALA SEKOLAH

Oleh :Sukarman Purba

Abstrak

Supervisi pada hakikatnya dilakukan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor kepada guru agar dapat menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Mengingat beratnya tugas seorang guru dan menjadikan guru sebagai seorang yang profesional dalam bidangnya, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan profesionalisme dalam bidang pekerjaannya. Untuk itu, sudah menjadi suatu keharusan bahwa kepala sekolah haruslah melakukan supervisi klinis kepada guru. Supervisi klinis ialah suatu proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru khususnya dalam penampilan mengajar.Dalam melakukan supervisi klinis, kepala sekolah terlebih dahulu mengetahui konsep supervisi klinis dan menerapkan dengan sebaik-baiknya. Terdapat sejumlah langkah supervisi klinis untuk meningkatkan profesionalisme guru dan terdapat sejumlah indikator profesionalisme mengajar guru. Keberhasilan supervisiklinis ditandai dengan terpenuhinya indikator-indikator tersebut.

Kata kunci : Profesionalisme guru dan supervisi klinis

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu

faktor yang sangat fundamental dalam

mengangkat harkat dan martabat suatu

bangsa dan meningkatkan kualitas

kehidupan sehingga merupakan faktor

penentu bagi perkembangan sosial dan

ekonomi ke arah yang lebih baik.

Mengingat begitu pentingnya peran

pendidikan bagi kehidupan masayarakat,

maka pemerintah dewasa ini sangat

memperhatikan segala aspek pendidikan

yang ada untuk dikembangkan, dengan

harapan agar pendidikan di Indonesia

bangkit dari keterpurukan dan menjadi

yang terdepan dalam pembangunan. Saat

ini pemerintah pusat maupun daerah

tengah berkonsentrasi secara penuh

terhadap kemajuan dalam pembangunan

pendidikan, dalam rangka meningkatkan

sumber daya manusia yang diyakini

sebagai faktor penunjang akselerator

kemajuan daerah. Untuk itu, diperlukan

peningkatan kemampuan profesionalisme

guru dalam mengembangkan

pembelajaran yang dapat membawa anak

didik menjadi lulusan yang berkualitas

tinggi dan memiliki jiwa seorang sumber

daya manusia yang kompeten.

Peran guru sebagai ujung tombak

dalam pembelajaran haruslah menjadi

seorang yang profesional dalam

bidangnya, dan untuk mencapainya

diperlukan upaya untuk meningkatkan

profesionalisme guru tersebut.

Peningkatan profesionalisme guru harus

Page 113: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

108Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

dilakukan untuk menjawab tantangan

dunia pendidikan yang semakin komplek,

serta untuk lebih mengarahkan sekolah

ke arah pencapaian tujuan pendidikan

nasional secara efisien. Dalam

meningkatkan profesionalisme guru,

maka peran Kepala sekolah sangat

diperlukan dalam memberikan supervisi

terhadap kesulitan-kesuulitan atau

keluhan-keluhan yang dihadapi guru

dalam pembelajaran di Sekolah. Satu di

antara bentuk pengawasan yang

dilakukan kepala sekolah terhadap guru,

disebut supervisi klinis. Kata klinis

tersirat makna cara-cara pelayanan

seorang dokter kepada pasiennya yang

sedang menderita sakit. Seorang dokter

mengadakan pemeriksaan berdasarkan

keluhan-keluhan pasiennya yang sedang

menderita sakit. Dokter tersebut

memeriksa penyakit pasien berdasarkan

keluhan-keluhan tadi, kemudian

diberikan resep obat yang tepat untuk

penyembuhannya. Proses konsultasi

antara pasien dengan dokternya harus

dalam suasana keterbukaan dan kejujuran

si pasien agar dokter dapat memberikan

obat yang tepat.

Seperti diketahui, bahwa kegiatan

utama pendidikan di sekolah adalah

pembelajaran, yang bertujuan untuk

mencapai hasil belajar semaksimal

mungkin. Untuk mencapai tujuan

tersebut, maka perlu didukung oleh

sejumlah komponen sekolah. Satu di

antara komponen yang memegang

peranan penting adalah kepala sekolah.

Dalam konteks pembelajaran, kepala

sekolah memiliki peranan sebagai

supervisor, sehingga kepala sekolah

harus memiliki kompetensi supervisi.

Peranan supervisor dilakukan dengan

mensupervisi pekerjaan yang dilakukan

oleh guru.

Supervisi pada hakikatnya

dilakukan oleh kepala sekolah yang

berperan sebagai supervisor, tetapi dalam

sistem organisasi pendidikan modern

diperlukan supervisor khusus yang

independent, demi terciptanya

objektivitas dalam pembinaan dan

pelaksanaan tugasnya. Namun, jika

supervisi dilakukan oleh kepala sekolah,

maka ia harus mampu melaksanakan

berbagai pengawasan untuk

meningkatkan kinerja guru. Pengawasan

merupakan sarana kontrol agar kegiatan

pendidikan di sekolah terarah pada tujuan

yang telah ditetapkan. Pengawasan juga

merupakan tindakan preventif untuk

mencegah agar para guru tidak

melakukan penyimpangan dan lebih

berhati-hati dalam melaksanakan

pekerjaannya. Neagley & Evans (1999)

lebih menegaskan bahwa supervisi

merupakan pelayanan kepada pendidik

Page 114: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

109Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

agar dapat menghasilkan pembelajaran

yang lebih baik lagi. Lebih lanjut

dikatakannya bahwa peran kepala

sekolah sebagai supervisor mempunyai

tugas, yaitu (1) mengorganisasi-kan

kegiatan belajar mengajar, (2)

menyiapkan staf pendukung, (3)

menyiapkan fasilitas belajar mengajar,

(4) menyiapkan materi ajar, (5) melatih

para pendidikan, (6) memberikan

konsultasi, (7) mengkoordinasikan

layanan kepada siswa, (8) mengadakan

hubungan kepada masyarakat, dan (9)

melakukan penilaian pengajaran.

Menurut Peraturan Menteri

pendidikan Nasional Republik

Pendidikan Nasional Indonesia Nomor

13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala

Sekolah disebutkan salah satu

kompetensi yang harus dimiliki kepala

sekolah adalah kompetensi supervisi

dengan subkompetensi sebagai berikut:

(1) Merencanakan program supervisi

akademik dalam rangka peningkatan

profesionalisme guru, (2) Melaksanakan

supervisi akademik terhadap guru dengan

menggunakan pendekatan dan teknik

supervisi yang tepat, (3) Menindaklanjuti

hasil supervisi akademik terhadap guru

dalam rangka peningkatan

profesionalisme guru.

Menurut Wiles dan Bondi (2003)

bahwa evolusi peranan supervisi ada

delapan, yaitu: (1) Inspeksi dan

penguatan, (2) Supervisi ilmiah, (3)

Supervisi birokratik, (4) Supervisi

kooperatif, (5) Supervisi sebagai

pengembangan kurikulum, (6) Supervisi

klinis, (7) Supervisi sebagai manajemen,

dan (8) Manajemen instruksional. Pada

tulisan ini peranan supervisi dibatasi

hanya pada supervise klinis, karena

supervisi klinis adalah teknik supervisi

yang paling diperlukan oleh kepala

sekolah dan pengawas sekolah.

Menurut Depdiknas (1990)

pengertian supervisi klinis ialah satu dari

sejumlah bentuk bantuan profesional

yang diberikan secara sistematis kepada

guru berdasarkan kebutuhan guru yang

bersangkutan dengan tujuan membina

keterampilan mengajarnya. Dalam kata

klinis tersirat cara-cara pelayanan medis

seorang dokter kepada pasiennya. Di

level sekolah, pelayanan profesional

kepala sekolah diberikan kepada guru.

PEMBAHASAN

Profesionalisme Guru

Yamin (2007) menyatakan istilah

profesional pada umumnya adalah orang

yang mendapat upah atau gaji dari apa

yang dikerjakan, baik dikerjakan secara

sempurna maupun tidak. Menurut

Sanjaya (2008) bahwa pekerjaan

profesional ditunjang oleh suatu ilmu

tertentu secara mendalam yang hanya

Page 115: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

110Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

mungkin diperoleh dari lembaga-

lembaga pendidikan yang sesuai

sehingga kinerjanya didasarkan kepada

keilmuan yang dimilikinya dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dengan demikian, seorang guru perlu

memiliki kemampuan khusus,

kemampuan yang tidak mungkin dimiliki

oleh orang yang bukan guru, seperti yang

dikemukakan Cooper (1990), yaitu: “a

teacher is person sharged with the

responbility of helping orthers to learn

and to behave in new different ways” .

Dengan demikian,

profesionalisme guru adalah kemampuan

guru untuk melakukan tugas pokoknya

sebagai pendidik dan pengajar meliputi

kemampuan merencanakan, melakukan,

dan melaksanakan evaluasi

pembelajaran. Pada prinsipnya setiap

guru harus disupervisi secara periodik

dalam melaksanakan tugasnya. Jika

jumlah guru cukup banyak, maka kepala

sekolah dapat meminta bantuan wakilnya

atau guru senior untuk melakukan

supervisi. Keberhasilan kepala sekolah

sebagai supervisor antara lain dapat

ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja

guru yang ditandai dengan kesadaran dan

keterampilan melaksanakan tugas secara

bertanggung jawab.

Profesional adalah pekerjaan atau

kegiatan yang dilakukan oleh seseorang

dan menjadi sumber penghasilan

kehidupan yang memerlukan keahlian,

kemahiran atau kecakapan yang

memenuhi standar mutu atau norma

tertentu serta memerlukan pendidikan

profesi. Berdasarkan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2005 Tentang Guru dan Dosen, bahwa

seorang guru haruslah memiliki empat

kompetensi, yaitu : (1) Kompetensi

pedagogik, yaitu kemampuan

penguasaan materi pembelajaran secara

luas dan mendalam yang meliputi: (a)

konsep, struktur, dan metoda

keilmuan/teknologi/seni yang

menaungi/koheren dengan materi ajar;

(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum

sekolah; (c) hubungan konsep antar mata

pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-

konsep keilmuan dalam kehidupan

sehari-hari; dan (e) kompetisi secara

profesional dalam konteks global dengan

tetap melestarikan nilai dan budaya

nasional. (2) Kompetensi kepribadian,

yaitu merupakan kemampuan

kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil;

(c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e)

berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g)

menjadi teladan bagi peserta didik dan

masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja

sendiri; dan (i) mengembangkan diri

secara berkelanjutan. (3) Kompetensi

profesional, yaitu merupakan

Page 116: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

111Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

kemampuan penguasaan materi

pembelajaran secara luas dan mendalam

yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan

metoda keilmuan/teknologi/seni yang

menaungi/koheren dengan materi ajar;

(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum

sekolah; (c) hubungan konsep antar mata

pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-

konsep keilmuan dalam kehidupan

sehari-hari; dan (e) kompetisi secara

profesional dalam konteks global dengan

tetap melestarikan nilai dan budaya

nasional. (4) Kompetensi sosial, yaitu

merupakan kemampuan pendidik sebagai

bagian dari masyarakat untuk : (a)

berkomunikasi lisan dan tulisan; (b)

menggunakan teknologi komunikasi dan

informasi secara fungsional; (c) bergaul

secara efektif dengan peserta didik,

sesama pendidik, tenaga kependidikan,

orangtua/wali peserta didik; dan (d)

bergaul secara santun dengan masyarakat

sekitar.

Menurut Suparlan (2006) bahwa

guru selalu disebut sebagai salah satu

komponen utama pendidikan yang amat

penting. Sedangkan, guru, siswa, dan

kurikulum merupakan tiga komponen

utama dalam sistem pendidikan nasional.

Ketiga komponen pendidikan itu

merupakan condition sine quanon´ atau

syarat mutlak dalam proses pendidikan di

sekolah. Melalui mediator guru atau

pendidik, siswa dapat memperoleh menu

sajian bahan ajar yang diolah dalam

kurikulum nasional ataupun dalam

kurikulum muatan lokal. Guru memiliki

tugas sebagai fasilitator agar siswa dapat

belajar dan atau mengembangkan potensi

dasar dan kemampuannya secara optimal.

Menurut Suryasubroto (2002) tugas guru

dalam proses pembelajaran dapat

dikelompokkan ke dalam tiga kegiatan,

yaitu (a) menyusun program pengajaran

seperti program tahunan pelaksanaan

kurikulum, program

semester/caturwulan, program satuan

pengajaran, (b) menyajikan/

melaksanakan pengajaran seperti

menyampaikan materi, menggunakan

metode mengajar, menggunakan media /

sumber, mengelola kelas/mengelola

interaksi belajar mengajar, (c)

melaksanakan evaluasi belajar:

menganalisis hasil evaluasi belajar,

melaporkan hasil evaluasi belajar, dan

melaksanakan program perbaikan dan

pengayaan. Dengan demikian, dalam

pandangan umum pendidik tidak hanya

dikenal sebagai guru, pengajar, pelatih,

dan pembimbing tetapi juga sebagai

“social agent hired by society to help

facilitate member of society who attend

schools” (Cooper, 1986).

Tuntutan terhadap kualitas guru

yang profesional mendapat perioritas dari

Page 117: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

112Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

pemerintah saat ini. Menurut Isjoni

(2006) bahwa guru profesional bukan

lagi merupakan sosok yang berfungsi

sebagai robot, tetapi merupakan

dinamisator yang mengantar potensi-

potensi peserta didik ke arah kerativitas.

Tugas seorang guru profesional meliputi

tiga bidang utama, yaitu: (1) dalam

bidang profesi, (2) dalam bidang

kemanusiaan, dan (3) dalam bidang

kemasyarakatan.

Menurut Wardani, Irawan dan

Suparman (1996) bahwa ada delapan

ketrampilanyang harus dikuasai oleh

seorang guru yang profesional yang

dapat digunakan untuk mengetahui

profesionalisme guru dalam mengajar

antara lain adalah sebagai berikut:

(1)Keterampilan Bertanya Dasar,

(2)Keterampilan Bertanya Lanjut,

(3)Keterampilan Memberi Penguatan,

(4)Keterampilan Menjelaskan,

(5)Keterampilan Menggunakan Variasi,

(6)Keterampilan Mengajar,

(7)Keterampilan Membuat Garis-garis

Besar Program Pembelajaran (GBPP),

dan (8) Keterampilan Membuat Satuan

Acara Pembelajaran (SAP)

Supervisi Klinis

Menurut Sergiovani dan Starrat

(1993) pengertian supervisi adalah

“Supervision is a process designed to

help teacher and supervision leam more

about their practice; to better able to use

their knowledge ang skills to better serve

parents and schools; and to make the

school a more effective learning

community”. (Supervisi merupakan suatu

proses yang dirancang secara khusus

untuk membantu para guru dan

supervisor dalam mempelajari tugas

sehari-hari di sekolah; agar dapat

menggunakan pengetahuan dan

kemampuannnya untuk memberikan

layanan yang lebih baik pada orang tua

siswa dan sekolah, serta berupaya

menjadikan sekolah sebagai masyarakat

belajar yang lebih efektif).

Menurut Chung dan Megginson

(2004) bahwa supervisi klinis (clinical

supervision) adalah pendekatan

membimbing guru dengan penekanan

pada tatap muka dengan supervisor dan

terpusat pada perilaku guru di kelas.

Sedangkan, Acheson dan Gall (dalam

Sukirman, 2006) menyatakan bahwa

supervisi klinis ialah proses membina

guru untuk memperkecil ketidaksesuaian

(kesenjangan) antara tingkah laku

mengajar yang nyata dengan tingkah laku

mengajar yang seharusnya. Berdasarkan

uraian di atas, maka dapat disimpulkan

supervisi klinis ialah suatu proses

pembimbingan dalam pendidikan yang

bertujuan membantu pengembangan

profesional guru khususnya dalam

Page 118: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

113Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

penampilan mengajar berdasarkan

observasi dan analisis data secara teliti

dan objektif sebagai pegangan

untukperubahan perilaku mengajar guru.

Supervisi klinis dilakukan secara tatap

muka antara supervisor dengan guru

layaknya bagaikan dokter dengan

pasiennya.

Di sekolah, guru menyampaikan

keluhan-keluhannya atau permintaan-

permintaannya tentang persiapan,

pelaksanaan, dan penilaian proses

pembelajarannya kepada kepala sekolah

secara terbuka dan jujur. Kepala sekolah

sebagai supervisor mengadakan

observasi berdasarkan keluhan-keluhan

atau permintaan-permintaan guru tadi,

kemudian membimbing guru sedemikian

rupa sehingga memungkinkan guru itu

menemukan sendiri cara-cara mengatasi

keluhan-keluhannya atau bersama-sama

guru berusaha menemukan cara-cara

perbaikan bersama berdasarkan data

yang dikumpulkan selama observasi. Hal

inilah yang menjadi esensi supervisi

klinis. Dalam kenyataannya, yang

menjadi masalah di sekolah adalah

adanya kecenderungan guru enggan

meminta mengadukan masalah-

masalahnya kepada kepala sekolah

karena takut dikira tidak mampu dan

tidak mandiri mengatasi masalahnya

sehingga supervisi klinis menjadi kurang

efektif.

Guru sebagai pasien dengan

penuh kesadaran haruslah mendatangi

kepala sekolah sebagai dokter. Guru

mengungkapkan masalah-masalahnya

atau penyakit-penyakitnya untuk

dipecahkan atau disembuhkan kepada

kepala sekolah. Dalam berkonsultasi

tersebut harus ada keterbukaan guru

kepada kepala sekolah. Namun, dalam

praktiknya, justru yang terjadi

sebaliknya. Guru pada saat ini cenderung

tertutup terhadap masalah yang dihadapi

dan enggan berkonsultasi dengan kepala

sekolahnya. Penyebabnya adalah guru

biasanya merasa malu untuk

mengungkapkan masalah-masalahnya

karena kuatir dikira “bodoh” atau takut

dikira tidak mampu mengatasi

masalahnya sendiri. Guru juga kuatir jika

sudah dianggap tidak mampu mengatasi

masalahnya sendiri akan mempengaruhi

nilai butir prakarsa dalam Daftar

Penilaian Pelaksanaan Pegawai Negeri

Sipil (DP3) yang diberikan oleh kepala

sekolahnya sebagai atasan langsung guru

bersangkutan.

Depdikbud (1996) menjelaskan

adapun tujuan supervisi klinis diberikan

kepada guru adalah untuk menolong para

guru untuk mengerti inovasi dan

mengubah perilaku mereka sehingga

Page 119: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

114Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

cocok dengan inovasi pembelajaran.

Supervisi klinis juga bertujuan

memperbaiki perilaku guru-guru agar

mampu menciptakan suasana

Pembelajaran yang Aktif, Kreatif,

Efektif, Menyenangkan, dan Bermakna

(PAKEMB). Aktif, berarti siswanya

yang lebih banyak melakukan kegiatan-

kegiatan pembelajaran sementara

gurunya hanyalah sebagai fasilitator

belaka. Kreatif, artinya pembelajaran

mampu menggali hal-hal baru yang dapat

menginspirasi siswa. Efektif, berarti

tujuan pembelajaran tercapai dengan

hasil yang memuaskan segala pihak.

Menyenangkan, berarti suasana belajar

membuat siswa dan guru merasa betah

dan mengasyikkan. Bermakna, berarti

proses dan hasil pembelajaran

bermanfaat bagi kehidupan dan

penghidupan siswa baik untuk masa kini

maupun masa depan.

Tujuan khusus supervisi klinis

adalah sebagai berikut: (1) Menyediakan

umpan balik yang objektif dan

profesional bagi guru, (2) Mendiagnosa

masalah-masalah pembelajaran, (3)

Memecahkan masalah-masalah

pembelajaran, (4) Membantu guru dalam

mengembangkan keterampilan mengajar,

(5) Membantu guru dalam menggunakan

strategi pembelajaran, (6) Sebagai dasar

menilai guru dalam kemajuan dan

pendidikan promosi jabatan, (7)

Membantu guru dalam mengembangkan

sikap yang positif terhadap

pengembangan diri secara terus menerus

dalam karir dan profesi secara mandiri

(Depdikbud, 1996).

Sedangkan, fungsi Supervisi

klinis yang diperankan oleh kepala

sekolah adalah untuk: (1) menolong guru

dalam mendiagnosa keterampilan

mengajar guru, (2) meningkatkan

profesionalisme mengajar guru, (3)

menolong guru menetapkan target

pembelajaran, (4) menolong guru cara

mencapai target pembelajaran, (5)

memotivasi guru dalam mengajar yang

baik atau memberikan penguatan, (6)

memfasilitasi guru dalam melengkapi

sarana prasarana mengajar yang

dibutuhkan guru, (7) mengobservasi guru

mengajar di kelas, (8) memberikan

masukan-masukan perbaikan mengajar

kepada guru, (9) mengkaji strategi

pembelajaran yang tepat, (10)

menyediakan dan menyimpan

data/laporan kemajuan guru (Depdikbud,

1996).

Berdasarkan fungsi supervisi

klinis ini dapat dikembangkan atau

ditingkatkan subkompetensi-

subkompetensi supervisi klinis untuk

melaksanakan fungsi tersebut. Untuk

menolong guru dalam mendiagnosa

Page 120: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

115Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

keterampilan mengajar guru diperlukan

subkompetensi mampu mendiagnosis

keterampilan mengajar guru. Untuk

meningkatkan profesionalisme mengajar

guru diperlukan subkompetensi metode

mengajar guru. Untuk menolong guru

menetapkan target pembelajaran

diperlukan subkompotensi pemecahan

masalah. Untuk menolong guru dalam

mencapai target pembelajaran, maka

diperlukan subkompetensi kemampuan

mengajar. Untuk memotivasi guru dalam

mengajar yang baik atau memberikan

penguatan diperlukan sbukompetensi

memotivasi guru. Untuk memfasilitasi

guru dalam melengkapi sarana prasarana

mengajar yang dibutuhkan guru

diperlukan manajemen sarana dan

prasarana. Untuk mengobservasi guru

mengajar di kelas diperlukan

pengetahuan. Untuk memberikan

masukan-masukan perbaikan mengajar

kepada guru diperlukan subkompetensi

cara mengajar yang profesional. Untuk

mengkaji strategi pembelajaran yang

tepat diperlukan subkompetensi

pengetahuan strategi pembelajaran.

Untuk menyediakan dan menyimpan

data/ laporan kemajuan guru diperlukan

subkompetensi pengarsipan dan teknik

penyusunan laporan.

Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam meningkatkan Profesionalisme Guru

Kepala sekolah sebagai pemberi

supervisi klinis kepada guru dituntut

untuk mengetahui dan menerapkan

prinsip-prinsip supervisi klinis ketika

melaksanakan supervisi klinis terhadap

guru di sekolahnya. Menurut Acheson &

Gall (1980) bahwa prinsip-prinsip

supervisi klinis yang diterapkan oleh

setiap kepala sekolah sebagai supervisor

yang kompeten adalah: (1) interaktif

bukan direktif, artinya lebih

mengutamakan kesetaraan antara

supervisor dengan guru. Tidak ada atasan

dan bawahan, yang ada kemitraan.

Supervisor bersama-sama dengan guru

untuk membantu peningkatan

profesionalisme guru, (2) demokratik

bukan otoritatif, berarti sikap supervisor

yang tidak memaksakan kehendak,

menganggap diri sendiri yang paling

benar, sikap bebas berpendapat tetapi

bertanggung jawab, sikap yang mau

menghargai pendaoat orang lain,

mengahargai pendapat, mengangggap

perbedaan sebagai berkah, sikap untuk

bermusyawarah dan mufakat dalam

setiap diskusi dan mengambil keputusan.

Diskusi dan pengambilan keputusan

berdasarkan rambu-rambu profesional

dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku bukan atas opini atau ambisi

pribadi. dan (3) terpusat pada guru bukan

pada supervisor, artinya mengutamakan

Page 121: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

116Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

prakarsa dan tanggung jawab

peningkatan keterampilan mengajar lebih

terpusat pada guru.

Menurut Depdikbud (1996)

secara rinci prinsip-prinsip supervisi

klinis adalah: (1) mengutamakan

prakarsa dan tanggung jawab guru, (2)

hubungan supervisor dan guru kolegial

(sederajat) dan interaktif, (3) demokratik

yaitu kedua belah pihak bebas

mengemukakan pendapat yang

bertanggung jawab tetapi kedua pihak

mengkaji pendapat pihak lain untuk

mencapai kesepakatan, (4) sasaran

supervisi terpusat pada kebutuhan dan

aspirasi guru serta dalam kawasan

penampilan aktual guru di kelas, (5)

umpan balik diberikan dengan segera dan

sesuai dengan kontrak, (6) supervisi

bersifat bantuan dengan tujuan

peningkatan kemampuan mengajar dan

sikap profesional, dan (7) pusat perhatian

hanya pada beberapa keterampilan

mengajar tertentu.

Dengan demikian, prinsip-prinsip

supervisi klinis haruslah menjiwai

seluruh langkah-langkah supervisi klinis.

Sebelum melaksanakan supervisi klinis,

kepala sekolah sebagai supervisor harus

memahami prinsip-prinsip dan

menerapkan prinsip-prinsip tersebut agar

hasil supervisi klinisterlaksana dengan

baik sesuai dengan yang diharapkan.

Pidarta (1999) mengatakaan

supervisi klinis memiliki ciri-ciri

tersendiri yang membedakan dengan

model-model supervisi yang lain, yaitu:

(1) adanya kesepakatan antara supervisor

dengan guru yang akan disupervisi

tentang aspek perilaku yang akan

diperbaiki, (2) yang disupervisi atau

diperbaiki adalah aspek-aspek perilaku

guru dalam proses belajar mengajar yang

spesifik, (3) memperbaiki aspek perilaku

diawali dengan pembuatan hipotesis

bersama tentang bentuk perbaikan

perilaku atau cara mengajar yang baik,

(4) hipotesis di atas diuji dengan data

hasil pengamatan supervisor tentang

aspek perilaku guru yang akan diperbaiki

ketika sedang mengajar, (5) ada unsur

pemberian penguatan terhadap perilaku

guru terutama yang sudah berhasil

diperbaiki, (6) ada prinsip kerja sama

antara supervisor dengan guru yang

saling mempercayai dan sama-sama

bertanggung jawab, dan (7) supervisi

dilakukan secara kontinu, artinya aspek-

aspek perilaku itu satu persatu diperbaiki

sampai guru itu bisa bekerja dengan baik.

Untuk melakukan supervisi klinis

diperlukan langkah-langkah atau

prosedur yang harus dilakukan agar

supervisi klinis dapat terlaksana dengan

baik. Menurut Neagley dan Evans (1999)

bahwa langkah-langkah atau prosedur

Page 122: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

117Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

supervisi klinis adalah sebagai berikut:

(1) Menciptakan hubungan baik antara

supervisor dengan guru bersangkutan

agar makna supervisi ini menjadi jelas

bagi guru sehingga kerjasama dan

partisipasinya meningkat, (2)

Merencanakan aspek perilaku yang akan

diperbaiki serta pada subpokok bahasan

apa, (3) Merencanakan strategi observasi,

(4) Mengobservasi guru mengajar, boleh

memakai alat bantu, (5) Menganalisis

proses belajar mengajar oleh supervisor

dan guru secara terpisah, (6)

Merencanakan pertemuan boleh juga

dengan pihak ketiga yang ingin

mengetahui, (7) Melaksanakan

pertemuan, guru diberi kesempatan

menanggapi cara mengajarnya sebelum

dibahas bersama, (8) Membuat rencana

baru bila aspek perilaku itu belum dapat

diperbaiki dan mengulangi langkah awal

sampai akhir.

Secara skematis langkah-langkah

supervisi klinis di atas menurut Neagley

dan Evans (1999) adalah sebagai

berikut.

Gambar 1. Langkah-langkah dan siklus supervisi klinis

Pendapat lain tentang langkah-

langkah supervisi klinis sebagaimana

dinyatakan oleh Sukirman (2006), yaitu:

(1) pembicaraan pra-observasi, (2)

pelaksanaan observasi, (3) analisis hasil

observasi, (4) pembicaraan hasil analisis

observasi dan (5) analisis sesudah

pembicaraan. Bila diperhatikan pendapat

tersebut di atas, maka supervisi klinis

berfokus pada lima hal, yakni melakukan

perencanaan secara mendetail termasuk

membuat hipotesis, melaksanakan

pengamatan secara cermat, dan

menganalisis hasil pengamatan serta

memberikan umpan balik kepada guru

yang bersangkutan. Tetapi untuk

supervisor maupun guru baru, kelima

fokus ini belum cukup memberi bekal

kepada mereka. Menurut Pidarta (1999)

bahwa langkah-langkah dalam

Langkah 1

Langkah 2 & 8

Langkah 3

Langkah 4

Langkah 7

Langkah 6

Langkah 5

Page 123: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

118Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

pelaksanaan supervisi klinis adalah

sebagai berikut: (1) Pertemuan Awal atau

Perencanaan, meliputi: (a) menciptakan

hubungan yang baik dengan cara

menjelaskan makna supervisi klinis

sehingga partisipasi guru meningkat, (b)

menemukan aspek-aspek perilaku apa

dalam proses belajar mengajar yang perlu

diperbaiki, (c) membuat prioritas aspek-

aspek perilaku yang akan diperbaiki, dan

(d) membentuk hipotesis sebagai cara

atau bentuk perbaikan pada subtopik

bahan pelajaran tertentu; (2) Persipan

meliputi: (a) bagi guru tentang cara

mengajar yang baru hipotesis; dan (b)

bagi supervisor tentang cara dan alat

observasi seperti tape-recorder, video-

tape recorder, daftar cek, catatan

anecdotal dan sebagainya; (3)

Pelaksanaan meliputi: (a) guru mengajar

dengan tekanan khusus pada aspek

perilaku yang diperbaiki, dan (b)

supervisor mengobservasi; (4)

Menganalisis hasil mengajar secara

terpisah, yaitu pertemuan akhir, bisa juga

dengan orang-orang lain yang ingin tahu,

meliputi: (a) guru memberi

tanggapan/penjelasan/pengakuan, (b)

supervisor memberi tanggapan/ulasan,

(c) menyimpulkan bersama hasil yang

telah dicapai: hipotesa diterima, ditolak,

atau direvisi, dan (d) menentukan

rencana berikutnya, yaitu mengulangi

memperbaiki aspek tadi, dan atau

meneruskan untuk memperbaiki aspek-

aspek yang lain.

Depdikbud (1996) menytakan

alternatif lain dalam langkah-langkah

supervisi klinis adalah sebagai berikut:

1. Prasurvey: (a) mengadakan

perjanjian dengan guru, (b) memberi

bantuan kepada guru dalam

mendisain GBPP dan RPP, dan

memfasilitasi sarana prasarana

pembelajaran.

2. Tahap I. Pertemuan Awal: (a)

menciptakan suasana intim dan

terbuka antara kepala sekolah

sebagai supervisor dengan guru

sebelum maksud sebenarnya

dibicarakan; (b) membicarakan

rencana pelajaran yang telah dibuat

yang mencakup tujuan, bahan,

kegiatan pembelajaran, dan alat

evaluasinya; (c) mengidentifikasi

komponen-komponen keterampilan

mengajar serta indikator-

indikatornya yang akan dicapai guru;

(d) memilih atau mengembangkan

instrumen observasi yang akan

dipakai merekam data penampilan

guru sesuai dengan kesepakatan

keterampilan mengajar dan

indikator-indikatornya; dan (e)

membicarakan bersama instrumen

tersebut sebagai kesepakatan.

Page 124: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

119Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

3. Tahap II. Observasi: Dengan

menggunakan instrumen observasi

yang telah disepakati pada

pertemuan awal tadi.

4. Tahap III. Pertemuan Akhir: (a)

memberi penguatan dan menanyakan

perasaan guru secara umum dalam

suasana santai agar guru merasa

tidak diadili; (b) mereviu tujuan

pembelajaran; (c) mereviu target

keterampilan, (d) menanyakan

perasaan guru terhadap jalannya

pelajaran berdasarkan tujuan dan

target yang tealh direviu, pertanyaan

dimulai dengan hal-hal yang

dianggap baik oleh guru kemudian

hal-hal yang dianggap kurang

berhasil oleh guru; (e) menunjukkan

hasil observasi yang telah dianalisis

dan diinterpretasi oleh kepala

sekolah/madrasah sebelum

pertemuan akhir dimulai, kemudian

memberikan waktu kepada guru

untuk menganalisis data dan

menginterpretasikannya, dan

akhirnya hasil observasi tersebut

didiskusikan bersama-sama; (f)

menanyakan kembali perasaan guru

setelah mendiskusikan hasil analisis

dan interpretasi data hasil observasi;

(g) meminta guru menganalisis

proses dan hasil belajar yang telah

dicapai siswanya; (h) menanyakan

perasaan guru terhadap proses dan

hasil belajar tersebut; (i)

menyimpulkan hasil pencapaian dan

membandingkannya dengan kontrak

di atas; dan (j) menentukan bersama-

sama pembelajaran yang akan

datang.

Berdasarkan kedua macam

langkah-langkah supervisi klinis di atas,

maka perbedaan jumlah langkah

supervisi klinis tersebut hanyalah

perbedaan dalam penekanan saja, bukan

dalam perbedaan prinsip. Keduanya

dapat dipakai kepala sekolah dalam

meningkatkan kompetensi supervisi

klinisnya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan

Supervisi klinis merupakan

bantuan yang diberikan oleh kepala

sekolah sebagai supervisor kepada guru

supaya guru dapat melaksanakan tugas

pengajarannya secara profesional dengan

menggunakan langkah-langkah tertentu.

Supervisi klinis sangat tepat untuk

membantu guru dalam meningkatkan

profesionalisme mengajarnya. Dengan

demikian, tujuan supervisi klinis

diberikan kepada guru untuk

meningkatkan profesionalisme guru

terutama dalam proses pembelajaran

sehingga tujuan pembelajaran dapat

tercapai secara optimal. Supervisi klinis

Page 125: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

120Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

dinyatakan berhasil jika indikator

profesionalisme mengajar guru telah

tercapai. Untuk meningkatkan

profesionalisme guru supervisi klinis

kepala sekolah diperlukan pelatihan

supervisi klinis.

Rekomendasi

Untuk meningkatkan

profesionalisme guru dalam proses

pembelajaran, maka diperlukan Supervisi

Klinis. Untuk dapat memberikan

supervisi kepada guru, maka kepala

sekolah dituntut memiliki kompetensi di

bidang supervisi. Supervisi hendaknya

diberikan kepala sekolah secara intensif

kepada guru dalam bentuk bimbingan

dengan cara menerapkan langkah-

langkah supervisi klinis yang tepat

sehingga para guru dapat menjalankan

tugasnya dengan sebaik-baiknya dan

secara profesional. Guru haruslah selalu

terus berusaha meningkatkan

profesionalismenya dengan cara bekerja

sama dengan kepala sekolah sehingga

dapat mengurangi kesulitan-kesulitan

guru dalam menjalankan tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Acheson, K.A. & M.D. Gall, 1980. Techniques in the Clinical Supervision of Teachers, Preservice and Inservice Application. New York: Longman, Inc.

Chung, K. H., dan L. C. Megginson, 2004. Organizati-onal Behavior

Developing Managerial Skills. New York: Harper & Row, Publishers.

Cooper, J. M. 1990. Classroom Teaching Skills. Lexington. D. C: Heath and Company.

Depdikbud. 1996. Supervisi Klinis.Bahan Akta Mengajar V. Jakarta: Depdikbud.

Isjoni, 2006. Gurukah yang Dipermasalahkan: Menakar Posisi Guru di Tengah Dunia Pendidikan Kita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Neagly, R. L. & Evans, N. D. 1999.

Handbook for Effective Supervision

of Instruction. Englewood Cliffs,

New Jersey: Prentice Hall.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Pidarta, Made. 1990. Perencanaan Pendidikan Partisipatori Dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipa.

_________. 1999. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran BerorientasiStandard Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sergiovanni, T. J., & R. J. Starratt. 1993.Supervision: Human Perspectives. New York: McGraw-Hill.

Sukirman, Hartati. 2006. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Suparlan, 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing

Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 126: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

121Sukarman Purba adalah dosen jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Wardani., Prasetya Irawan., dan Atwi Suparman. 1996. Panduan Praktik Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Wiles, J. & J. Bondi, 2003. Supervision A Guide to Practice. Second Edition. London: Charles E. Merrill Publishing Company A Bell & Howell Company.

Yamin, Martinis. 2007. Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta : Gaung Persada Press.

Page 127: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

122Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

PERTUMBUHAN GERAK DAN KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK

Oleh:Indra Kasih

AbstrakSebagai mahluk hidup manusia terus mengalami perubahan sepanjang hidupnya. Mulai berada dalam kandungan, lahir, kemudian menjadi dewasa dan terus terjadi perubahan dalam aspek-aspek fisik, gerak, pikiran, emosi dan sosial. Pola perubahan mula-mula bersifat meningkat, kemudian menurun. Peningkatan terjadi akibat proses pertumbuhan, perkembangan dan kematangan; penurunan terjadi dalam proses penuaan. Studi tentang perkembangan gerak mencakup diskripsi dan penjelasan mengenai prilaku perak manusia sepanjang hidup dengan pertumbuhan perkembangan psikososial, kognitif, afektif dan psikomotorik. Perkembangan hidup manusia secara umum terjadi dalam 5 fase perkembangan, yaitu fase-fase sebelum lahir, bayi, anak-anak, adolesensi, dan dewasa. Setiap fase perkembangan terjadi pada batasan usia tertentu. Pembatasan setiap fase didasarkan pada kecendrungan karakteristik perkembangan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dalam usianya. Kata kunci: perkembangan, psikososial, kognitif, afektif, psikomotorik

PENDAHULUAN

Prinsip Perubahan Sepanjang Hidup

Manusia adalah mahluk hidup

yang selalu mengalami perubahan dari

waktu ke waktu. Bermula dari proses

perubahan yang terjadi dalam bentuk

menyatu sperma sang ayah dengan sel

telur ibu, terbentuklah serangkaian

organisme yang kemudian tumbuh

menjadi janin. Selama kurang dari

Sembilan bulan 10 hari, janin tumbuh

dan berkembang melengkapi diri dengan

organ-organ dan bagian-bagian sampai

menjadi wujud bentuk manusia kecil

yang akan lahir kedunia fana dengan

sebutan bayi. Setelah lahir, semua

bagian, organ dan fungsi yang ada pada

diri individu terus mengalami

perubahan.Bayi yang lahir dengan

ukuran-ukuran tubuh yang panjang lebih

dari 50 cm dan beratnya kurang dari 3

kg, akan bertambah panjang dan

bertambah berat sedikit demi sedikit

sampai mencapai ukuran panjang atau

tinggi orang dewasa yaitu lebih kurang

175 cm untuk laki-laki dan lebih kurang

160 untuk perempuan; dan berat lebih

kurang 65 kg untuk laki-laki dan lebih

kurang 50 kg untuk perempuan.

Pengkajian secara mendalam

aspek demi aspek yang tampak dalam

perkembangan individu terus dilakukan.

Perkembangan gerak merupakan salah

satu aspek pengkajian perkembangan

individu yang dewasa ini menjadi

semakin berkembangan. Perkembangan

psikiologis sudah lebih awal dikaji secara

Page 128: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

123Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

mendalam dibanding pengkajian tentang

gerak. Perkembangan psikologis dikaji

dalam bidang studi yang disebut

“Psikologis Gerak”.Gerakan manusia

selalu berkaitan dengan aspek-aspek

yang lain. Gerakan dipengaruhi oleh fisik

dan proses psikologis yang ada

didalamnya. Misalnya orang yang ukuran

fisiknya pendek-kecil cenderung lebih

lincah dibandingkan orang yang tinggi

dan gemuk. Juga misalnya orang yang

giji makanannya terpenuhi cenderung

lebih besar kapasitas geraknya dibanding

dengan orang yang gizi makannya

kurang.

Periodisasi Perkembangan

Sepanjang hidup manusia, mulai

masih dalam kandungan dilahirkan,

kemudian sampai tua memperoleh

sebutan berganti-ganti. Pergantian

sebutan berdasarkan pada usianya dan

merupakan fase-fase dalam

perkembangan yang dilewati. Secara

garis besar ada 5 paseperkembangan

dalam hidup manusia, yaitu:

1. Fase sebelum lahir (prenatal)

2. Fase bayi (infant)

3. Fase anak-anak (childhood)

4. Fase adolesensi (adolescence)

5. Fase dewasa (adulthood)

Fase sebelum lahir adalah fase

perkembangan selama masih berada

didalam kandungan. Lama kandungan

yang normal adalah 9 bulan 10 hari. Dua

minggu pertama sejak terjadi pembuahan

disebut fase awal (germinal). Antara 2

sampai 8 minggu berada di dalam

kandungan disebut embrio; dan antara 8

minggu sampai sahat kelahiran disebut

janin. (fetus)Fase bayi adalah fase

perkembangan mulai dilahirkan sampai

berumur 1 atau 2 tahun. Mulai saat lahir

sampai umur 4 minggu merupakan fase

kelahiran (neonatal).Fase anak-anak

adalah fase perkembangan mulai umur 1

atau 2 tahun sampai 10 atau 12 tahun.

Fase anak-anak di klasifikasikan menjadi

2 fase ; a) Fase anak kecil (early

childhood), b) Fase anak besar ( later

childhood).

Fase anak kecil adalah antara 1

dan 2 sampai 6 tahun. Fase anak besar

adalah antara 6 sampai 10 atau 12 tahun.

Fase adolesensi antara perempuan

dan laki-laki dimulai dan diakhiri pada

umur yang berbeda. Pada perempuan

mulai pada umur 10 tahun dan berakhir

pada umur 18 tahun. Sedangkan pada

laki-laki mulai umur 12 tahun dan

berakhir 20 tahun. Berarti perempuan

mencapai fase adolesensi 2 tahun lebih

awal dibandingkan laki-laki, dan berakhir

2 tahun lebih awal.

Fase dewasa terbagi menjadi 3 fase,

yaitu:

a. Fase dewasa muda (young adulthood)

Page 129: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

124Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

b. Fase dewasa madya ( middle

adulhood)

c. Fase dewasa tua (older adulhood)

Fase dewasa muda adalah antara

18 tahun (perempuan) atau 20 tahun(laki-

laki) sampai 40 tahun. Fase dewasa

madya adalah antara 40 sampai 60 tahun.

Fase dewasa tua adalah mulai umur 60

dan seterusnya.Pembagian fase-fase

perkembangan tersebut dibuat

berdasarkan identifikasi kecendruangan

karakteristik perkembangan pada masa-

masa usia tertentu. Usia tertentu itu yang

menjadi dasar setiap fase

perkembangan.Untuk lebih menjelaskan

mengenai batas setiap fase

perkembangan dapat digambarkan dalam

tabel berikut.

Tabel 1. Periodisasi Perkembangan Berdasarkan UmurNo Fase Perkembangan Umur1 Sebelum lahir Selama 9 bulan 10 hari

- Awal- Embrio- Janin

Saat pembuahan sampai 2 minggu2 sampai 8 minggu8 mingu sampai lahir

2 Bayi Sejak lahir sampai 1 tau 2 tahun- Neonatal Sejak lahir sampai 4 minggu

3 Anak-anak- Anak kecil- Anak besar

1 atau 2 sampai 10 atau 12 tahun1 atau 2 sampai 6 tahun6 sampai 10 atau 12 tahun

4 Adolesensi- Perempuan- Laki-laki

10 sampai 18 tahun12 sampai 20 tahun

5 Dewasa- Muda- Madya - Tua

18 atau 20 tahun sampai 40 tahun40 sampai 60 tahun60 tahun lebih

Karakteristik Perkembangan Anak

Pendapat Piaget dan Vigotsky ini

perlu diakomodasi untuk saling

melengkapi. Rancangan kegiatan perlu

dibagi dimana ada saat anak diberi

kesempatan menemukan dan

membangun pemahamannya (discovery

learning), tetapi guru tetap harus

berperan memperluas dan meningkatkan

efektifitas belajarnya dengan bantuan

arahan yang tepat (scaffolding) sehingga

anak dapat meningkatkan ZPD untuk

menjadi daerah kemampuan aktualnya.

Selain itu perlunya menunggu kesiapan

anak dari Piaget dan pemberian bantuan

dari orang dewasa untuk meningkatkan

kemampuan anak jangan dipandang

sebagai sesuatu yang kontradiktif, tetapi

dipahami sebagai batasan dalam

menetapkan kriteria Developmentally

Appropriate Practice. Pendidik perlu

meneliti sejauh mana kompetensi dasar

Page 130: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

125Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

usia tertentu, sekaligus mencoba

meningkatkan kemampuannya dengan

tetap memperhatikan kondisi psikologi

anak dan tanpa mematikan anak untuk

mencintai belajar.

Piget dalam bukunya The moral

judgement of the Child (1923) Piaget

menyatakan bahwa kesadaran moral anak

mengalami perkembangan dari satu tahap

yang lebih tinggi. Pertanyaan yang

melatar belakangi pengamatan Piaget

adalah bagaimana pikiran manusia

menjadi semakin hormat pada peraturan.

Ia mendekati pertanyaan itu dari dua

sudut. Pertama kesadaran akan

peraturan (sejauh mana peraturan

dianggap sebagai pembatasan) dan

kedua, pelaksanaan dari peraturan itu.

Piaget mengamati anak-anak

bermain kelereng, suatu permainan yang

lazim dilakukan oleh anak-anak

diseluruh dunia dan permainan itu jarang

diajarkan secara formal oleh orang

dewasa. Dengan demikian permainan itu

mempunyai peraturan yang jarang atau

malah tidak sama sekali ada campur

tangan orang dewasa. Dan melalui

perkembangan umur maka orientasi

perkembangan itupun berkembang dari

sikap heteronom ( bahwasannya

peraturan itu berasal dari diri orang lain)

menjadi otonom dari dalam diri sendiri.

Pada tahap heteronom anak-anak

menggangap bahwa peraturan yang

diberlakukan dan berasal dari bukan

dirinya merupakan sesuatu yang patut

dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati

oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-

anak beranggapan bahwa perauran-

peraturan merupakan hasil kesepakatan

bersama antara parapemain.

Anak-anak pada usia paling muda

hingga umur 2 tahun melakukan

aktivitas bermain dengan apa adanya,

tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut

untuk mereka patuhi. Mereka adalah

motor activity tanpa dipimpin oleh

pikiran. Pada tahap ini mereka belum

menyadari adanya peraturan yang

koersif, atau bersifat memaksa dan harus

di taati. Dalam pelaksanaannya peraturan

kegiatan anak-anak pada umur

itu merupakan motor activiy.

Anak-anak pada umur antara 2

sampai 6 tahun mereka telah mulai

memperhatikan dan bahkan meniru cara

bermain anak-anak yang lebih besar dari

mereka. Pada tahap ini anak-anak telah

mulai menyadari adanya peraturan dan

ketaatan yang telah dibuat dari luar

dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh

diganggu gugat. Pada tahap ini anak-

anak cenderung bersikap egosentris,

mereka akan memandang “sangat salah”

apabila aturan yang telah ada di ubah dan

dilanggar. Dan ia meniru apa yang

Page 131: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

126Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

dilihatnya semata-mata demi untuk

dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain

adalah aktivitas yang dilakukan dengan

anak-anak lainnya. Sehingga meskipun

bermain dilakukan secara bersama sama

namun sebenarnya mereka bermain

secara individu, sendiri-sendiri dengan

melakukan pola dan cara yang mereka

yakini sendiri.

Perkembangan Psycho-Sosial

Menurut ERICK ERICKSON

perkembangan Psycho-sosial atau

perkembangan jiwa manusia yang

dipengaruhi oleh masyarakat dibagi

menjadi 8 tahap:

1. Trust >< Mistrust (usia 0-1 tahun)

Tahap pertama adalah tahap

pengembangan rasa percaya

diri.Fokus terletak pada Panca

Indera,sehinggamerekasangatmemerl

ukansentuhandanpelukan.

2. Otonomi/Mandiri><Malu/Ragu-

ragu(usia2-3tahun) Tahap ini bisa

dikatakan sebagai masa

pemberontakan anak atau masa

'nakal'-nya. sebagai contoh langsung

yang terlihat adalah mereka akan

sering berlari-lari dalam sekolah.

Namun kenakalannya itu tidak bisa

dicegah begitu saja, karena ini adalah

tahap dimana anak sedang

mengembangkan kemampuan

motorik (fisik) dan mental (kognitif),

sehingga yang diperlukan justru

mendorong dan memberikan tempat

untuk mengembangkan motorik dan

mentalnya. Pada saat ini anak sangat

terpengaruh oleh orang-orang penting

disekitarnya(Orangtua-Gurudi

sekolah).

3. Inisiatif><Rasa Bersalah (usia4-

5tahun) Dalam tahap ini anak akan

banyak bertanya dalam segala hal,

sehingga berkesan cerewet. Pada usia

ini juga mereka mengalami

pengembangan inisiatif/ide, sampai

pada hal-hal yang berbau fantasi.

4. Industri/Rajin><Inferioriti(usia6-

11tahun)Anak usia ini sudah

mengerjakan tugas-tugas sekolah -

termotivasi untuk belajar. Namun

masih memiliki kecenderungan untuk

kurang hati-hati dan menuntut

perhatian.Sesuai dengan batasan usia

sekolah pada umumnya, maka empat

tahap berikutnya (Usia diatas 11

tahun) tidak dibahas dalam kolom ini.

Perkembangan Kognitif

Kognitif adalah proses yang

terjadi secara internal di dalam pusat

susunan saraf pada waktu manusia

sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris,

2006).Piaget membagi tahapan

perkembangan kognitif ke dalam empat

periode, yaitu:

Page 132: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

127Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

1. 0-2 tahun disebut sebagai periode kepandaian sensori-motorik (sesorimotorik)Periode ini terbagi atas 6 tahapan, antara lain:

Tahap 1. (lahir-1 bulan) penggunaan

refleks-refleks

Anak membangun

(mengkonstruk) skema-skema (skema

adalah struktur tindakan bayi) lewat

aktivitas anak sendiri. Skema pertama

dipengaruhi oleh refleks bawaan. Adapun

contoh refleks bawaan yang sangat jelas

pada bayi yaitu refleks untuk menghisap,

bayi otomatis akan menghisap kapan pun

bibir mereka disentuh. Anisiasi, bayi

mencari puting susu ibu sendiri ketika

baru lahir. Meskipun demikian gerak

refleks tersebut memiliki kepasifan

tertentu sehingga perlu distimulasi.

Namun sekali skema terbentuk maka kita

juga memiliki kebutuhan untuk

membuatnya aktif. Contoh bayi akan

terus menerus melakukan gerakan refleks

menghisap walaupun tidak ada yang

memicu gerak refleks tersebut. Tidak

hanya gerak refleks menghisap putting

susu, tetapi juga menghisap bantal,

pakaian, selimut, jari tangan, dsb. Bayi

mengasimilasi (memasukkan sesuatu)

semua jenis objek menjadi skema

menghisap. Bayi belajar untuk

mengorganisasikan gerakan-gerakan

tubuh agar proses perawatan menjadi

lebih lembut, cepat, dan efisien.

Contohnya, bayi belajar menyesuaikan

gerakan kepala dan bibir untuk

menemukan putting susu. Ciri ini disebut

dengan permulaan akomodasi (membuat

perubahan dalam struktur kita). Ciri lain

adalah bayi tidak memiliki konsepsi

objek apapun di luar dirinya. Misalnya,

jika seseorang/objek meninggalkan

wilayah pandangnya, maka bayi tidak

berusaha mencari, bayi akan mengamati

yang lain yang ada dalam wilayah

pandangnya. Bagi bayi, yang diluar

pandangnya berarti di luar pikirannya.

Tahap 2. (1-4 bulan) reaksi-reaksi sirkuler primer

Ciri tahap ini sama dengan tahap

pertama yaitu bayi tidak memiliki

konsepsi objek apapun diluar dirinya.

Namun pada tahap ini pula bayi

menghadapi suatu pengalaman baru dan

berusaha untuk mengulanginya.

Misalnya, tangan bayi yang secara tidak

sengaja menyentuh mulutnya, ketika

tangan itu jatuh, bayi berusaha untuk

menangkap tangannya agar dapat

melakukan kegiatan yang sama

sebelumnya. Walaupun kadang anak

merasa kesulitan, tangan memukul

wajah, tangan berputar agar menyentuh

mulut, bayi mengejar tangannya namun

tidak dapat karena seluruh tubuhnya

bergerak termasuk kaki dan tangan

kearah yang sama. Bayi pada tahap ini

belajar untuk mengorganisasikan dua

Page 133: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

128Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

gerakan tubuh yang sebelumnya terpisah.

Misalnya bayi mengkoordinasikan

pengamatan dan gerakan tangan, anak

perempuan yang berulang-ulang

meletakkan tangan pada wajah dan

menatapnya. Bayi berusaha

mengkoordinasikan gerakan-gerakan

yang terpisah hanya setelah mengalami

banyak kegagalan. Tahapan ini

melibatkan koordinasi bagian-bagian

tubuh bayi sendiri.

Tahap 3. (4-10 bulan) reaksi-reaksi sirkuler sekunder

Tahap ini terjadi ketika bayi

menemukan dan menghasilkan kembali

peristiwa menarik di luar dirinya.

Contoh, bayi yang berusaha untuk

menggapai mainan gantung yang ada

diatasnya. Bayi akan berusaha untuk

menggerakkan mainan tersebut sampai

bergoyang secara berulang-ulang. Jika

telah berhasil maka bayi akan terus

mengulanginya kegiatan tersebut dan

sering tertawa kecil jika mainan tersebut

bergoyang. Pada masa ini bayi tengah

menikmati kekuatannya sendiri yaitu

kemampuan untuk membuat suatu

peristiwa terjadi berulang-ulang,

membuat pemandangan yang menarik

bertahan selamanya. Anak menunjukkan

satu tindakan tunggal untuk mencapai

sebuah hasil. Tahapan ini ditandai

dengan ketertarikan anak akan dunia

eksternal. Bayi mencapai pengertian

yang lebih baik tentang permanensi hal-

hal eksternal. Misalnya, jika benda

dijatuhkan kebawah, bayi berusaha untuk

melihat ketempat dimana benda tersebut

jatuh. Walaupun bayi pada tahap ini

dapat menemukan objek-objek yang

tersembunyi sebagian namun ia tidak

bisa menemukan objek yang

disembunyikan seluruhnya oleh orang

lain.

Tahap 4. (10-12 bulan) koordinasi skema-skema sekunder

Pada tahap ini anak belajar untuk

mengkordinasikan dua skema terpisah

demi mendapatkan hasil. Pencapaian

baru ini terlihat ketika bayi berhadapan

dengan rintangan-rintangan. Misalnya,

bayi yang ingin memeluk mainan, namun

ada penghalang diantara mainan tersebut

sehingga tidak dapat dipeluk. Bayi akan

berusaha untuk mendapatkan mainan

dengan berbagai cara. Pada akhirnya bayi

dapat memeluk mainan ketika bayi

mengibaskan rintangan tersebut.

mengibaskan rintangan adalah satu

skema, memeluk mainan adalah bentuk

skema kedua. Tahapan ini juga ditandai

dengan pengertian sejati permanensi

objek. Pada tahapan ini bayi dapat

menemukan objek-objek yang

tersembunyi seluruhnya, namun belum

bisa mengikuti pengacakan (pergerakan

dari satu tempat persembunyian ke

tempat persembunyian lain).

Page 134: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

129Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

Tahap 5. (12-18 bulan) reaksi-reaksi sirkuler tersier

Pada tahap ini anak

bereksperimen dengan tindakan-tindakan

yang berbeda-beda untuk mengamati

hasil yang berbeda-beda. Contohnya,

seorang anak tertarik dengan meja baru

yang dibeli ayahnya. Anak tersebut

memukul meja dengan telapak tangannya

beberapa kali, kadang keras, kadang

lembut. Ini terus dilakukan karena anak

mendengarkan perbedaan bunyi yang

dihasilkan oleh tindakannya itu. Anak-

anak sesungguhnya belajar dari diri

mereka sendiri, tanpa perlu diajari orang

dewasa. Anak mengembangkan skema

semata-mata karena keingintahuan

instrinsik tentang dunia. Anak menjadi

ilmuwan kecil, membuat variasi tindakan

dan mengamati hasil-hasilnya. Semua

penemuan itu terjadi lewat tindakan-

tindakan fisik. Tahap ini pula

menunjukkan anak bisa mengikuti

serangkaian pemindahan, namun selama

mereka melihat kita melakukannya.

Misalnya, anak dapat menemukan bola

yang disembunyikan di tempat A dan B

selama anak melihat proses pemindahan

tersebut.

Tahap 6. (18 bulan-2 tahun) permulaan berpikir

Pada tahap ini anak mulai

memikirkan situasi secara lebih internal,

sebelum bertindak.Jika pada tahap 5 anak

mencoba memecahkan masalah dengan

coba-coba (trial and error) maka pada

tahap ini anak dapat memikirkan sejenak

cara untuk menyelesaikan masalah.

Contoh, anak yang ingin mengeluarkan

bola pada kotak mainan. Pada awalnya

anak mencoba untuk membuka dengan

berbagai cara, karena tidak berhasil,

maka anak diam sejenak untuk

mengamati kotak tersebut. Anak melihat

ada sedikit celah pada kotak, kemudian

tangannya masuk melalui celah tersebut

dan ia memperoleh bola yang diinginkan.

2. 2-7 tahun disebut sebagai periode pikiran operasional (praoperasional konkret)

Ciri periode ini yaitu:

Pikiran anak berkembang cepat ke

sebuah tatanan baru, yaitu simbol-

simbol.

Pikiran anak pada dasarnya tidak

sistematis dan tidak logis.

Anak-anak mulai menggunakan

simbol-simbol ketika menggunakan

sebuah objek atau tindakan untuk

merepresentasikan sesuatu yang tidak

hadir. Simbol-simbol pertama

bersifat motorik, bukan linguistik.

Bahasa mulai berkembang pada

tahapan ini.

Penalaran anak transduktif

(berpindah dari hal-hal khusus ke hal

khusus lainnya) terlihat dari

ketidakmampuan anak untuk

Page 135: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

130Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

mengkategorikan secara umum.

Misalnya, aku belum minum susu,

berarti ini belum siang, dan belum

waktunya untuk tidur siang.

Anak-anak gagal untuk

mengkonversi. anak hanya

memusatkan pada satu dimensi.

Misalnya, anak diminta untuk

memilih gelas yang paling banyak

berisi air pada dua tabung yang

berbeda namun memiliki jumlah

volume yang sama.

Anak sebenarnya telah memahami

adanya dua dimensi perceptual

(regulasi intuitif), namun belum bisa

memikirkan keberadaan keduanya

secara serempak sehingga baginya

perubahan pada satu dimensi

membatalkan perubahan pada

dimensi lainnya.

Anak belum mampu mengklasifikasi.

Misalnya ada 10 kancing dari kayu. 8

kancing berwarna coklat dan 2

kancing berwarna putih. Ketika anak

ditanya “lebih banyak mana, kancing

berwarna coklat atau seluruh kancing

kayu yang ada?” Anak menjawab

kancing coklat, tanpa menyadari

bahwa kancing coklat dan kancing

putih adalah bagian dalam kancing

kayu.

Anak berpikir egosentrisme,

menganggap segala sesuatu berasal

dari satu titik pandang saja. Anak

tidak mampu membedakan

perspektifnya sendiri dari perspektif

orang lain.

Anak belum memahami arti

kemenangan. Anak menganggap

kalau aku menang, kamu menang

juga.

Anak beranggapan bahwa benda

tidak hidup, adalah benda hidup juga

(keberjiwaan dunia = world

animistic). Misalnya, ketika anak

ditanya “apakah matahari hidup?”

anak akan menjawab ya karena ia

memberikan cahaya. Dia hidup

karena memberikan cahaya, dan tidak

hidup ketika tidak mampu

memberikan cahaya”.

Anak beranggapan bahwa mimpi itu

nyata dan dapat dilihat oleh orang

lain. Mimpi itu dianggap sebagai

sesuatu yang berasal dari luar (dari

malam atau langit, lewat jendela dari

cahaya-cahaya di luar).

Anak memiliki kepatuhan yang

membuta pada aturan-aturan yang

dipaksakan orang dewasa

(heteronomy moral).

3. 7-11 tahun disebut sebagai periode operasi-operasi berpikir konkret (operasional konkret)

Ciri periode ini, yaitu:

Page 136: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

131Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

Anak sudah memahami

pengkonversian zat cair. Anak

mengkonversi menggunakan tiga

argument yaitu argument identitas,

kompensatif, dan inversi. Misalnya,

ketika anak mampu menjawab

dengan benar cairan yang lebih

banyak. Anak menjawab “kita tidak

menambahkan atau mengurangi

apapun, jadi mestinya jumlah cairan

ini tetap sama” ini disebut sebagai

argument identitas. Jika jawaban

anak “gelas ini memang lebih tinggi

dan yang lain lebih lebar, meskipun

begitu jumlah cairannya tetap sama”

ini disebut sebagai argument

kompensatif. Anak menyadari

perbedaan perspektif masing-masing

orang. Anak sudah mampu bekerja

sama. Anak berusaha mengikuti

peraturan-peraturan permainan dan

berusaha menang mengikuti

peraturan tersebut.

Berangsur-angsur anak meninggalkan

label hidup pada objek-objek yang

bergerak, dan melabelkannya pada

tumbuhan dan hewan.

Anak menyadari kalau mimpi bukan

hanya tidak nyata, namun juga tidak

terlihat dari luar, berasal dari dalam.

Anak mampu memahami dua aspek

suatu persoalan secara serempak

membentuk landasan bagi pemikiran

sosial sekaligus pemikiran ilmiah.

Anak mampu berpikir sistematis

berdasarkan tindakan mentalnya

(mengacu pada objek-objek yang bisa

diindera dan aktivitas riil).

Dalam interaksi sosial anak

memahami bukan hanya apa yang

mereka katakana tetapi juga

kebutuhan pendengarnya.

4. 11 tahun sampai dewasa disebut sebagai periode operasi berpikir formal (operasional formal)

Pada tahapan ini remaja mulai

menata pikiran hanya di dalam pikiran

mereka sendiri. Kemampuan untuk

menalar terkait dengan kemungkinan-

kemungkinan hipotesis. Bekerja dengan

sistematis untuk mencoba semua

kemungkinan. Beberapa orang ada yang

mencoba beragam kombinasi/percobaan

namun kemudian mencoba untuk

menulis dahulu kemungkinan-

kemunginan yang ada sebelum bertindak

lebih jauh. Esensi dari penalaran ini

adalah pemikiran sistematis tentang

hipotesis-hipotesis. Pikiran mencapai

derajat kesetimbangan tertinggi. Mulai

memikirkan masalah-masalah yang lebih

jauh jangkauannya. Kekuatan baru

kognitif bisa mengarah pada idealisme,

memegang prinsip-prinsip dan ideal-ideal

yang abstrak. Egosentrisme pada tahap

ini muncul kembali ketika melekatkan

kekuatan tak terbatas pada pikiran

Page 137: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

132Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

mereka sendiri. Mimpi tentang masa

depan tanpa mengetesnya pada pikiran

yang realistis. Namun kemudian belajar

batasan-batasan dan resistensi bagi

pikiran-pikiran mereka sendiri. Mereka

belajar bahwa konstruksi teoritis dan

mimpi (visi utopian = tujuan tertentu

yang sulit untuk diwujudkan) akan

bernilai jika terkait dengan bagaimana

keduanya beroperasi dalam realitas.

Perkembangan Afektif

Afektif menurut kamus besar

bahasa indoensia adalah berkenaan

dengan rasa takut atau cinta;

mempengaruhi keadaan perasaan dan

emosi; mempunyai gaya atau makna

yang menunjukkan perasaan (tentang tata

bahasa atau makna).

1. Tahap oral (0-1 tahun)

Pada tahap ini zona utamanya

adalah mulut dan aktivitas inderawi.

Tahapan ini secara umum disebut sebagai

tahap kepercayaan versus

ketidakpercayaan mendasar. Bayi

berusaha untuk menemukan sejumlah

konsistensi, prediksi dan realibilitas

dalam tindakan pengasuhan. Jika orang

tua cukup konsisten dan dapat diandalkan

maka bayi mulai mengembangkan

kepercayaan mendasar kepada orang tua.

Sebaliknya, jika orang tua tidak bisa

diprediksi dan tidak bisa dipercaya

sehingga tidak akan pernah hadir jika

dibutuhkan maka yang berkembang

adalah rasa tidak percaya. Bayi yang bisa

menyeimbangkan rasa percaya dan tidak

percaya ini dengan berhasil maka akan

muncul harapan. Harapan sebagai sebuah

ekspektasi yang sekalipun terdapat rasa

frustasi, marah atau kecewa, hal-hal yang

baik tetap akan terjadi dimasa depan.

Harapan akan memampukan anak

bergerak maju ke dunia luar, menyambut

tantangan baru.

2. Tahap anal (1-3 tahun)

Pada tahap ini anak memperoleh

kontrol atas otot-otot perutnya sehingga

dapat menahan atau menghilangkan

dorongan untuk buang hajat sesuai

kehendak mereka. Bentuk dasar tahapan

ini adalah menahan atau melepaskan.

Tahapan umum pada tahapan ini adalah

otonomu versus rasa malu dan ragu-ragu.

Anak berusaha melatih kemampuan

memilih, melatih kehendak mereka

(otonomi). Penekanan yang kuat terhadap

kata “tidak”, anak menolak semua

kontrol eksternal atas dirinya. Bagi orang

tua anak tidak boleh mengatakan tidak,

karena mereka hidup dalam masyarakat

dan harus menghargai keinginan orang

lain. Otonomi muncul dari dalam sebagai

sebuah pendewasaan biologis yang

mengembangkan kemampuan anak untuk

melakukan segala hal dengan caranya

Page 138: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

133Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

sendiri. Sedangkan rasa malu dan ragu-

ragu muncul dari kesadaran akan

ekspektasi dan tekanan sosial, kesadaran

bahwa dirinya tidak begitu berkuasa

sehingga orang tua dapat mengontrol dan

bertindak lebih baik dari dia. Bagi anak

yang mampu menyeimbangkan rasio

otonomi dan rasa malu dan ragu-ragu

maka akan muncul kehendak yang

kokoh. Kehendak sebagai kebulatan

tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk

melatih pilihan bebas dan pengendalian

diri. Kemampuan pengendalian diri yang

percaya bahwa pernting bagi anak untuk

belajar mengontrol impuls mereka

sendiri dan menentukan apa yang tidak

pantas dilakukan. Jadi anak yang harus

berinisiatif demikian bukan kekuatan

eksternal.

3. Tahap falik (3-6 tahun)

Pada tahap ini anak

memfokuskan ketertarikannya pada alat

kelaminnya dan menjadi sangat ingin

tahu organ kelaminnya. Anak juga sudah

mulai membayangkan dirinya dalam

peran orang dewasa, bahkan berani

bersaing dengan salah satu orang tuanya

untuk memperoleh kasih sayang. Bentuk

utama tahap ini adalah intrusi yaitu

keberanian, keingintahuan dan

persaingan dalam diri anak. Tahapan

umum dalam tahap ini yaitu inisiatif

versus rasa bersalah. Inisiatif yang berarti

sama dengan intrusi, berarti pergerakan

kedepan. Lewat inisiatif anak membuat

rencana, menetapkan tujuan, dan

mempunyai semangat untuk

mencapainya, yang pada akhirnya

membentuk ambisi tertentu. Namun

dalam perjalannya anak mendapati

bahwa ambisi tersebut melanggar aturan

sosial yang ada dalam masyarakat

sehingga rasa bersalah itu muncul

pengendalian diri yang baru dimana anak

berusaha untuk mencari cara

menghubungkan ambisi dengan tujuan

sosial.

4. Tahap latensi (6-11 tahun)

Pada tahap ini anak belajar untuk

menguasai kemampuan kognitif dan

sosial yang penting. Tahap umum dalam

tahapan ini adalah industry versus

inferioritas. Anak melupakan harapan

dan keingian masa lalu, yang seringkali

merupakan harapan dan keinginan

keluarganya, dan sangat ingin

mempelajari kemampuan budaya

masyarakat (industri). Anak belajar untuk

bekerja sama dan bermain bersama

teman sebayanya. Keinginan ini

kemudian dibatasi dengan perasaan

berlebih-lebihan karena ketidak tepatan

dan inferioritas. Inferior yang terlalu

mendalam akan berakar dan

menyebabkan anak tidak memperoleh

talentanya. Misalnya, olok-olok dan rasa

Page 139: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

134Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

sakit hati pada masa sekolah akan

membentuk anak untuk tidak berhasil

memperoleh dirinya dengan penuh.

5. Tahap genital (11 tahun – dewasa)

Pada tahap ini remaja

membangun pemahaman baru mengenai

dirinya, perasaan tentang dirinya dan apa

tempatnya di tatanan sosial yang lebih

besar. Tahap utama dalam pentahapan ini

adalah identitas versus kebingungan

peran. Remaja mencari identitas dirinya,

merasa bahwa implus-implus tidak dapat

menyatu dengan dirinya, dan

pertumbuhan fisik yang sangat cepat

telah menciptakan rasa kebingungan

identitas. Untuk alasan inilah maka

banyak remaja yang menghabiskan

banyak waktunya didepan kaca dan

memperhatikan penampilannya. Upaya

ini dilakukan untuk menghilangkan

ketakutannya tidak terlihat baik atau

tidak memenuhi harapan orang lain.

Pencarian diri tersebut kemudian

membawa remaja pada komitmen

permanen sehingga keberhasilan pada

tahap ini membentuk kesetiaan yaitu

sebuah kemampuan untuk

mempertahankan loyalitas yang sudah

dinanti sejak dulu.

Perkembangan Psikomotor

Psikomotor secara harfiah berarti

sesuatu yang berkenaan dengan gerak

fisik yang berkaitan dengan proses

mental (kamus besar bahasa

Indonesia).Adapun tahapan

perkembangan motorik adalah sebagai

berikut;

1. Tahap gerakan refleks (0- 1 tahun)

Bentuk gerakan pada tahapan ini

tidak direncanakan, merupakan dasar dari

perkembangan motorik. Melalui gerak

refleks bayi memperoleh informasi

tentang lingkungannya, seperti reaksi

terhadap sentuhan, cahaya, suara.

Gerakan ini berkaitan dengan

meningkatnya pengalaman anak untuk

mengenal dunia pada bulan-bulan

pertama mengenal kehidupan setelah

kelahiran. Oleh karena itu kegiatan

bermain sangat penting untuk menolong

anak belajar teng dirinya dan dunia luar.

Tahapan gerak refleks terbagi atas dua

bentuk yaitu;

1. Refleks sederhana (0-4 bulan)Gerak

ini dikelompokkan sebagai

kumpulan informasi, mencari

makanan, dan respon melindungi.

Mengumpulkan informasi

membutuhkan rangsangan untuk

berkembang. Kemampuan mencari

makanan dan respon melindungi

merupakan bentuk alami yang

dimiliki manusia. contoh geak

Page 140: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

135Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

refleks sederhana seperti, bertumbuh

dan menghisap.

2. Refleks tubuh (4 bulan – 1

tahun)Refleks ini berkaitan dengan

saraf motorik untuk keseimbangan,

gerakan berpindah (lokomotor) dan

manipulative (menjalankan) yang

kemudian akan terkontrol. Refleks

langkah dasar dan merangkak terkait

dengan gerakan dasar untuk

berjalan.Perkembangan motorik

pada tahap refleks terdiri pula dalam

dua tingkatan yang saling

bertindihan, yaitu tingkat encoding

(mengumpulkan) informasi dan

decoding (memproses) informasi.

Pembagian ini pada dasarnya sama

dengan gerak refleks sederhana dan

refleks tubuh.

2. Tahap gerakan permulaan (lahir-2 tahun)

Gerak permulaan ini merupakan

bentuk gerak sukarela yang pertama.

Dimulai dari lahir sampai usia 2 tahun.

Gerakan permulaan membutuhkan

kematangan dan berkembang berurutan.

Urutan ini terbentuk alami. Rata-rata

kemampuan ini didapat dari anak ke

anak, meskipun secara biologis, dan

lingkungan sangat berperan. Gerakan ini

ada sebagai kemampuan untuk bertahan

hidup dan merupakan gerakan yang

mempersiapkan anak untuk memasuki

tahap gerakan dasar. Beberapa gerakan

keseimbangan seperti mengontrol kepala,

leher, dan otot badan. Gerakan

manipulative seperti menggapai,

menggenggam, dan melepaskan; dan

gerakan lokomotor seperti, merayap,

merangkak, dan berjalan. Gerakan ini

terbagi atas dua tahapan, yaitu;

1. Tahap refleks tertahan (lahir-1

tahun)Tahap ini dimulai dari lahir.

Peningkatan gerakan bayi ini

dipengaruhi oleh perkembangan

cortex. Pada tahap ini gerakan

sederhana dan gerakan tubuh

digantikan dengan gerakan sukarela,

namun berbeda dan terpadu karena

saraf motorik bayi masih dalam taraf

gerakan permulaan. Jika bayi ingin

menggapai benda, mereka akan

melakukan gerakan menyeluruh

yang dilakukan tangan, lengan, bahu,

dan ketika menggenggam. Proses

bergeraknya tangan dengan

penglihatan terhadap objek,

meskipun sukarela, namun

terkontrol.

2. Tahap prekontrol (1 – 2 tahun)Usia 1

tahun, anak mulai lebih baik

mengontrol gerakannya. Proses ini

menggabungkan antara sensori dan

sistem motorik dan memadukan

persepsi dan informasi motorik

kedalam kegiatan yang lebih

Page 141: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

136Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

bermakna. Pada tahap ini, anak

belajar untuk dapat menyokong

equilibriumnya, untuk memanipulasi

objek, dan untuk melakukan gerakan

lokomotor melalui lingkungan untuk

mengontrol perkembangannya.

3. Tahap gerakan dasar (2-7 tahun)

Gerakan ini muncul ketika anak

aktif bereksplorasi dan bereksperimen

dengan potensi gerak yang dimilikinya.

Tahap ini merupakan tahap menemukan

bagaimana menunjukkan berbagai gerak

keseimbangan, lokomotor dan

manipulative, maupun penggabungan

ketiga gerakan tersebut. anak

mengembangkan gerakan dasar ini untuk

belajar bagaimana merespon kontrol

motorik dan kompetensi gerakan dari

berbagai rangsangan. Gerakan dasar ini

juga digunakan sebagai dasar

pengamatan tingkah laku anak. Beberapa

kegiatan lokomotor seperti melempar dan

menangkap, dan kegiatan keseimbangan

seperti berjalan lurus dan keseimbangan

berdiri dengan satu kaki merupakan

gerakan yang dapat dikembangkan

semasa kanak-kanak. Tahap ini terbagi

atas 3 tingkat, yaitu;

1. Tingkat permulaan (2-3

tahun)Tingkatan ini menunjukkan

orientasi tujuan pertama anak pada

kemampuan permulaan. Gerakan ini

dicirikan dengan kesalahan dan

kegagalan bagian gerakan secara

berurutan, kelihatan membatasi atau

berlebihan menggunakan anggota

tubuh, tidak mampu mengikuti ritmk

dan koordinasi. Gerakan

keseimbangan, lokomotor, dan

manipulative benar-benar pada

tingkat permulaan.

2. Tingkat elementary (4-5

tahun)Tingkatan ini menunjukkan

kontrol yang lebih baik dan gerakan

permulaan koordinasi ritmik yang

lebih baik pula. Gerak spasial dan

temporal lebih meningkat, namun

secara umum masih kelihatan

membatasi atau berlebihan,

meskipun koordinasi lebih baik.

Intelegensi dan fungsi fisik anak

semakin meningkat melalui proses

kematangan.

3. Tingkat mature (6-7 tahun)Tingkatan

ini dicirikan oleh efisiensi secara

mekanik, koordinasi dan penampilan

yang terkontrol. Keahlian

manipulative semakin berkembang

dalam mengkoordinasi secara visual

dan motorik, seperti menangkap,

menendang, bermain voli, dsb).

4. Tahap gerakan keahlian (7-14 tahun)

Tahapan ini merupakan tahap

gerakan yang semakin bervariasi dan

kompleks, seperti gerakan sehari-hari,

rekreaasi dan olahraga baru. Periode ini

Page 142: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

137Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

merupakan tahap dimana keahlian

keseimbangan dasar, gerak lokomotor

dan manipulative meningkat,

berkombinasi, dan terelaborasi dalam

berbagai situasi. Misalnya gerakan dasar

melompat dan meloncat, dikombinasikan

kedalam kegiatan menari atau lompat-

jongkok-berjalan dalam mngikuti jejak.

Tahapan ini terbagi atas 3 tahap, yaitu;

1. Tahap transisi (7-10 tahun)Tahap ini

indivdu mulai mengkombinasi dan

mengunakan kemampuan dasarnya

dalam kegiatan olahraga. Misalnya,

berjalan mengikuti garis lurus,

lompat tali, bermain bola, dll.

Keahlian pada tahap ini lebih

kompleks dan spesifik.

2. Tahap aplikasi (11-13 tahun)Pada

tahap ini anak memiliki keterbatasn

dalam kemampuan kognitif, afektif

dan pengalaman, dikombinasikan

dengan keaktifan anak secara alami

mempengaruhi semua aktivitasnya.

Peningkatan kognitif dan

pengalaman anak dipengaruhi oleh

kemampuan individu untuk belajar

dan peran anak dalam berbagai jenis

aktifitas, indivudu dan lingkungan.

Keahlian kompleks dibentuk dan

digunakan dalam pertandingan,

kegiatan memimpin dan memilih

olahraga.

3. Tahap lifelong utilisasi (14 tahun

sampai dewasa)Tahapan ini

merupakan puncak proses

perkembangan motorik dan dicirikan

dengan gerakan yang sering

dilakukan sehari-hari. Minat,

kompetensi, dan pilihan

mempengaruhi, selain faktor uang

dan waktu, peralatan dan fasilitas,

fisik dan mental, bakat, kesempatan,

kondisi fisik dan motivasi pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Carbin, Charles B.1980, A Textbook of Motor Development, lowa: Wm. C.Brown Company Publishers.

Cratty, Briyant J.1988, Perceptual and motor Development in Childern, New Jersey: Prentice-Hal.

Deutsch, J.Anthony dan Deutsch, Diana.1973, Psykological Psykologi, lllinois: The Donsey Press.

Espenschale, S. Anna dan Eckent, M. Melen. 1980, Motor Development, Totonto: Charles E. Merril Publishing Company.

Haywood, Katleen M, Life Span Motor Depelopment.1986, Lllinois: Human Kinetices Publishers Inc.

http://martacgristianti.wordpress.com/2009/05/karakteristikkoknitif,afektif dan psikomotorik

http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/teori-perkembangan-anak-%e2%80%93- erickson-dan-gardner/

Munn, Noman L.1974,The Growth of human Behavior. Boston: Houghton Mifflin Company.

Page 143: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

138Indra Kasih adalah dosen FIK Universitas Negeri Medan

Papalia, Dlane E. dan Olds, Sally Wendkos. 1975, A Child,s Worid: Infancy Througk Adollescence, New York: Mc. Graw Hill Book Company.

Piaget. 1973, moral judgement of the Child.

Sage, George H. 1977, Introduction to Motor Behavior: A Nueropsycological Approach, Massachusets : Addison Wesley Publishing Company.

Page 144: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

139E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA(Studi Kasus di SMA Negeri Parongpong Kabupaten Bandung Barat)

Oleh :E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur

AbstrakStudi ini berupaya menggali dan mengungkap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA. Subyek penelitian adalah siswa kelas X yang diambil dari sebuah SMA negeri di Kabupaten Bandung Barat. Hasil studi memperlihatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih sangat lemah dan jauh untuk dapat dikatakan tuntas meski tingkat kesukaran instrumen berada pada kategori sedang. Secara umum, kemampuan subyek studi ini dalam pemecahan masalah matematis masih di bawah 50%. Melihat hasil ini dan himbauan Depdiknas melalui KTSP seyogianya dan sudah saatnya guru juga menerapkan pembelajaran berbasis masalah, di samping model pembelajaran konvensional, untuk memberikan kesempatan dan pengalaman bagi siswa melihat dan mengalami pemecahan masalah matematis di kelas.

Kata kunci: kemampuan pemecahan masalah

PENDAHULUAN

Pemecahan masalah merupakan

salah satu bentuk belajar terpenting

dalam pembelajaran matematika. Melalui

pemecahan masalah, siswa berusaha

memahami situasi masalah,

memanggildan membuat pengaitan

dengan pengetahuan relevan yang

dimilikinya dan juga mencoba

memanggil dan memanfaatkan

pengalaman menyelesaikan masalah

yang pernah dilakukannya guna

menyelesaikan masalah yang tengah

dihadapinya. Dalam proses

menyelesaikan masalah itu, siswa

memilih dan menerapkan satu atau

beberapa strategi (huristik) termasuk

membuat beragam representasi obyek

matematis sambil menarik simpulan-

simpulan yang akan mengantarnya ke

selesaian akhir masalah tersebut.Dalam

menyelesaikan masalah itu pulalah siswa

berkesempatan membangun sendiri

pengetahuan barunya. Jelaslah

pemecahan masalah melibatkan seluruh

daya matematislain seperti bernalar,

koneksi, representasi, dan

berkomunikasi. Kompleksnya tugas yang

terkandung dalam penyelesaian masalah

inilah tampaknya yang menjadi penyebab

utama kesulitan siswa menghadapinya.

Pentingnya kemampuan

memecahkan masalah matematis

dikemukakan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan dengan himbauan agar

pembelajaran matematika sedapat

mungkin dilakukan melalui pemecahan

masalah kontekstual (Depdiknas,

2006).SebelumnyaSchoenfeld (1980: 15)

menegaskan proses pemecahan masalah

Page 145: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

140E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

adalah salah satu aspek terpenting dari

matematika yang harus mendapat

perhatian dari guru. Dengan lebih

tajamNational Council of Science and

Mathematics (NCSM, 1997 dalam

Wilson, et al., 1997) mengatakan pada

dasarnya tujuan utama belajar

matematika ialah belajar memecahkan

masalah.

Meski disadari pentingnya dan

merupakan tujuan utama belajar

matematika, namun beberapa penelitian

mengungkap siswa SMP Indonesia

sangat lemah dalam menyelesaikan soal-

soal tidak rutin yang berkaitan dengan

pemberian alasan pembenaran

(justification) atau pembuktian dan

pemecahan masalah yang memerlukan

penalaran (Hamzah, 2003; Suryadi,

2005; TIMSS, 2003; Zulkardi, 2001).

Persoalan serupa dilaporkan juga terjadi

di tingkat sekolah dasar (Armanto, 2002;

Darhim, 2004; Fauzan, 2002; TIMSS.

2003). Di jenjang sekolah menengah

atas, kemampuan memecahkan masalah

hanya berada pada tingkat cukup dan

kurang terutama pada kelompok siswa

berkemampuan awal matematis sedang

dan kurang yang berasal dari sekolah

berperingkat menengah dan bawah

(Abdul Ghani, 2007; Wardani 2009).

Untuk mengetahui lebih luas dan

menganalisis lebih dalam dan rinci

tentang kemampuan pemecahan masalah

siswa ini, telah dilakukan sebuah studi

pada siswa kelas X di sebuah sekolah

menengah atas negeri di Kabupaten

Bandung Barat.Pelaksanaan studi

dilakukan di akhir semester genap setelah

siswa menerima seluruh bahan ajar di

kelas X, namun sebelum menjalani

ulangan akhir semester.

KERANGKA KERJA TEORETIS

Pemecahan masalah matematis

tidak diragukan lagi merupakan

jantungnya kegiatan bermatematika dan

pembelajaran matematika. Hal ini

tampak baik pada model pembelajaran

yang berpusat pada guru maupun yang

berpusat pada siswa. Dalam

pembelajaran matematika yang berpusat

pada guru misalnya, seluruh kegiatan

mulai dari pengenalan fakta, penanaman

konsep, penguasaan prosedur algoritmis,

dan pemahaman atas prinsip dan

penerapannya, ditujukan dan bermuara

pada upaya pemecahan masalah baik

dalam matematika sendiri maupun dalam

disiplin lain yang terkait. Refleksi yang

dilakukan guru bersama-sama dengan

siswa atas proses pemecahan masalah

yang baru saja dijalani, pada gilirannya

akan memperkuat pemahaman matematis

siswa dan memperlancar daya alih

pengetahuan siswa tersebut pada situasi

baru dan mungkin lebih rumit.

Page 146: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

141E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Sementara itu, dalam

pembelajaran yang berpijak pada paham

konstruktivisme kegiatan bermatematika

dimulai dan dipicu oleh adanya masalah

yang dihadapi dan harus diselesaikan

siswa baik secara perorangan maupun

berkelompok. Dalam menjalani proses

pemecahan masalah tersebut, siswa

dituntut keterampilannya

mengorganisasikan pengetahuan dan

pengalaman yang dimilikinya untuk

mengurai, menganalisis, mensintesis, dan

mengevaluasi masalah dan proses

pemecahannya. Selain terampil

memecahkan masalah, tujuan lain yang

ingin dicapai dalam proses tersebut

adalah kemampuan siswa membangun

sendiri pengetahuannya dan

meningkatkan kemandirian belajar.

Pengetahuan baru yang didapat dari

proses pemecahan masalah itu pada

gilirannya diharapkan dapat digunakan

kembali untuk memecahan masalah

berikutnya.

Dalam pembelajaran berbasis

pemecahan masalah, target utama adalah

pengetahuan konseptual. Sambil

memecahkan masalah diharapkan siswa

juga belajar algoritma dan menguasai

keterampilan dasar manakala mereka

terlibat dalam eksplorasi masalah penting

dan berharga (Cai, 2003). Dengan

mengutip beberapa penelitian, Cai

menegaskan studi secara konsisten

menunjukkan bahwa siswa yang

mendapat pembelajaran berbasis

pemecahan masalah memiliki

pemahaman dan keterampilan

pemecahan masalah lebih tinggi dan

relatif sama dalam hal keterampilan

numerik dengan mereka yang belajar

dengan cara biasa.

Campione, Brown, dan Connell

(dalam Herman, 2006) memberikan tiga

tahap penilaian untuk mengukur

kemajuan kegiatan pemecahan masalah.

Pertama, pemahaman terhadap masalah,

yaitu apakah informasi penting dan

gagasan dalam masalah itu telah

diketahui. Kedua representasi, yaitu

apakah mereka telah dapat membuat

representasi eksternal terhadap masalah

yang memudahkan mereka

menanganinya. Ketiga penyelesaian,

yaitu apakah strategi yang dipilih telah

tepat dan dijalankan dengan benar pula.

Dalam proses ini akan terpantau ada

tidaknya diskusi dan/atau refleksi

terhadap pendekatan yang digunakan

untuk menyelesaikan masalah.

Teknik lain untuk menilai kinerja

pemecahan masalah adalah penskoran

dari tes tertulis. Dalam hal ini siswa

diberikan masalah untuk diselesaikan

secara tertulis dan yang jadi fokus

penilaian adalah proses penyelesaian

Page 147: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

142E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

yang dibuat anak, bukan hanyapada hasil

akhir.Gronlund (2006: 51) mengatakan

tujuan alat penilaian ini ialah untuk

mengarahkan pengamatan langsung pada

unsur-unsur terpenting dari kinerja

siswadan memberikan tempat buat

merekam penskoran.

METODE

1. Disain dan subyek. Studi ini adalah

penelitian deskriprif-kualitatif

dengan mengambil kelas X/B di

sebuah sekolah menengah atas

negeri di Kabupaten Bandung Barat

sebagai subyek.

2. Instrumen. Data pada studi ini

dikumpulkan melalui ujian tulis

pemecahan masalah matematis.

Bahan uji diambil dari materi yang

tertuang dalam pokok bahasan

Aljabar, Trigonometri, dan Geometri

kelas X sebanyak 6 butir soal.Karena

tempat terbatas, laporan ini hanya

menganalisis kinerja siswa terhadap

4 dari 6 butir soal tersebut.Penskoran

didasarkan pada langkah holistik

dalam pemecahan masalah yang

diadopsi dari Arizona Mathematics

Rubric olehArizona Department of

Education.

Sebelum diujikan, terlebih dulu

dimintai pertimbangan dari tiga orang

penimbang ahli atas instrumen yang telah

disusun. Pertimbangan difokuskan untuk

melihat kesahihan isi dan konstruk.

Pengolahan data dilakukan dengan

bantuan perangkat lunak Micro-soft

Office Excel 2007 dan SPSS versi 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

a. Uji statistik menunjukkan kesahihan

isi dan konstruk tes adalah baik atau

para penimbang telah menimbang

keduanya secara sama atau seragam.

Dari perhitungan SPSS untuk

kesahihan isi didapat nilai

keberartian asimtotik sebesar 0,368

(lebih besar dari 0,05). Untuk

kesahihan konstruk, dari perhitungan

didapat nilai keberartian

asimtotiknya sebesar 0,607 (juga

lebih besar dari 0,05).Oleh sebab itu

disimpulkan para penimbang telah

melakukan pertimbangan konstruk

materi secara sama atau seragam.

b. Dari perhitungan korelasi produk

momen dari Pearson, disimpulkan

ke-enam butir soal yang dicobakan

sahih dengan tingkat keberartian

5%.Berdasarkan perhitungan Excel

didapat nilai Cronbach Alpha

sebesar 0,73. Jika dirujuk ke kriteria

(Ruseffendi, 2005 :160)untuk

kehandalan tes, disimpulkan

kehandalan instrumen masuk

kategori tinggi.

Page 148: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

143E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

c. Dari 6 soal, tiga butir memiliki daya

pembeda sangat baik, dua butir

berdaya pembeda cukup baik, dan

satu butir dengan daya pembeda

buruk. Terakhir, semua soal

memiliki tingkat kesukaran kategori

sedang.

d. Kinerja siswa atas empat butir dari

enam soal pemecahan masalah yang

diujikan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Distribusi Persentase Perolehan Skor untuk Tiap Butir SoalNomor

SoalFrekuensi Perolehan Skor Skor

Rataan0 %tase 1 %tase 2 %tase 3 %tase 4 %tase1 1 3,1 2 6,3 2 6,3 3 9,3 24 75 3,472 1 3,1 1 3,1 18 56,3 12 37,5 0 0 2,283 19 59,4 4 12,5 1 3,1 0 0 8 25 1,194 8 25 6 18,8 8 25 7 21,9 3 9,3 1,72

Catatan: Skor maksimum tiap butir soal adalah 4

Dari Tabel 1 tampak kinerja

terbaik siswa terjadi pada soal nomor 1.

Sebanyak 84,3 % siswa memperoleh skor

3 atau 4. Sebaliknya, kinerja terburuk

siswa ada pada soal nomor 3. Ada 75 %

dari seluruh siswa yang hanya

memperoleh skor 0 atau 1 atau 2. Untuk

soal nomor 2, mayoritas siswa

memperoleh skor 2 atau 3. Terakhir,

untuk soal nomor 4, ada 68,8% hanya

mendapat skor 0 atau 1 atau 2. Skor

rataan yang diperoleh siswa pada tiap

butir soal mempertegas fakta bahwa

kemampuan pemecahan masalah siswa

masih sangat lemah dan jauh untuk dapat

dikatakan tuntas.

PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dijelaskan,

analisis kinerja siswa atas butir soal

pemecahan masalah matematis dilakukan

terhadap empat dari enam butir soal yang

diujikan. Satu dari Bentuk Akar, dua dari

Persamaan Kuadrat, dan satu dari

Perbandingan Trigonometri. Berikut

analisis kinerja siswa atas 4 butir soal

dimaksud. Penomoran ulang butir soal

dilakukan sebagai berikut. Soal nomor 2,

3, 4, dan 5 pada naskah ujian berturut-

turut menjadi soal nomor 1, 2, 3, dan 4

pada tulisan ini.

Soal 1. Perajin di Cibaduyut dapat membuat 3 pasang sepatu dari

bahan kulit sebanyak √

m2.

Berapa pasang yang dapat mereka buat dari bahan sebanyak 5 m2.

Soal ini lebih menuntut penalaran

kesebandingan dan menarik simpulan

atas hasil perhitungan ke dalam konteks

masalah. Bagi siswa kelas X soal ini

mestinya rutin dan mudah

menyelesaikannya lantaran telah sering

menyelesaikan soal kesebandingan sejak

di sekolah menengah pertama dan bentuk

akar pada soal termasuk sederhana.

Page 149: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika

Namun demikian, seluruh siswa

melakukan perhitungan secara informal,

tidak ada yang membuat langsung

rumusan formal kesebandingan seperti

√ = misalnya. Selain itu, seluruh

siswa tak melakukan refleksi atas hasil

perhitungan untuk melihat

kebermaknaannya dalam konteks

masalah. Mereka berhenti setelah

melakukan perhitungan dan memperoleh

hasil √ . Tidak seorang pun siswa yang

melanjutkan kerjanya dengan memaknai

berapa sebenarnya nilai bilangan

Gambar 1 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 1

Soal 2. Upah pekerja pada suatu proyek bangunan dihitung berdasarkan rumusan fungsi U( ) = + 6000, dengan adalah banyak pekerja.a. Berapakah upah minimum

proyek tersebut.

E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika

Namun demikian, seluruh siswa

melakukan perhitungan secara informal,

tidak ada yang membuat langsung

rumusan formal kesebandingan seperti

misalnya. Selain itu, seluruh

lakukan refleksi atas hasil

perhitungan untuk melihat

kebermaknaannya dalam konteks

masalah. Mereka berhenti setelah

melakukan perhitungan dan memperoleh

. Tidak seorang pun siswa yang

melanjutkan kerjanya dengan memaknai

ilangan √

untuk konteks pasangan sepatu. Dari

kinerja siswa terhadap soal ini

disimpulkan mereka belum dapat

merumuskan format kesebandingan

secara formal dan belum dapat

mengaitkan atau memeriksa kembali

hasil perhitungan ke dalam konteks

masalah atau dengan kata lain tidak

menjalankan langkah ke

(refleksi)dari tahapan pemecahan

masalah Polya. Contoh cara siswa

menyelesaikan soal nomor 1 disajikan

pada Gambar 1 .

Gambar 1 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 1

. Upah pekerja pada suatu proyek bangunan dihitung berdasarkan

) = 2 - 30adalah banyak

a. Berapakah upah minimum

b. Upah minimum tercapai bila proyek dikerjakan oleh berapa orang?

Seluruh siswa merespon soal ini dengan

langsung menghitung = −menyulihkannya ke fungsi dan

memperoleh angka 5775. Namun hampir

144

untuk konteks pasangan sepatu. Dari

kinerja siswa terhadap soal ini

disimpulkan mereka belum dapat

merumuskan format kesebandingan

secara formal dan belum dapat

mengaitkan atau memeriksa kembali

hasil perhitungan ke dalam konteks

engan kata lain tidak

menjalankan langkah ke-empat

(refleksi)dari tahapan pemecahan

masalah Polya. Contoh cara siswa

menyelesaikan soal nomor 1 disajikan

b. Upah minimum tercapai bila dikerjakan oleh berapa orang?

Seluruh siswa merespon soal ini dengan

= 15 dan

menyulihkannya ke fungsi dan

memperoleh angka 5775. Namun hampir

Page 150: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika

semua mereka melakukan ini secara

mekanistik tanpa makna. Hanya 7 dari

mereka yang memaknai 5775 sebagai

upah minimum tetapi gagal memaknai

= 15 sebagai banyaknya pekerja yang

membuat upah tersebut menjadi

minimum. Malah untuk menjawab

pertanyaan (b) semua mereka

menghitung = 385 meski pada soal

Gambar 2 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 2

Soal 3. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara luas (L) dan lebar (w) persegi panjang yang kelilingnya 40 cm.

Luas (L) Lebar (w)75 596 8

Untuk menjawab soal ini, siswa

mesti memusatkan perhatian pada

pengaitan antara rumusan luas dengan

keliling suatu persegi panjang dan

dengan informasi yang diberikan dalam

E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan Matematika

semua mereka melakukan ini secara

mekanistik tanpa makna. Hanya 7 dari

g memaknai 5775 sebagai

upah minimum tetapi gagal memaknai

= 15 sebagai banyaknya pekerja yang

membuat upah tersebut menjadi

minimum. Malah untuk menjawab

pertanyaan (b) semua mereka

= 385 meski pada soal

jelas tertulis menyatakan b

pekerja. Kinerja siswa atas soal ini

memperlihatkan kurangnya pemahaman

mereka terhadap masalah,

pengetahuannya hanya sebatas

prosedural, dan sekaligus tak melakukan

refleksi atas proses menyelesaikan

masalah. Gambar 2memperlihatkan

contoh cara siswa menyelesaikan soal

ini.

Gambar 2 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 2

. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara luas (L) dan lebar (w) persegi panjang yang kelilingnya 40 cm.

Buat persamaan yang menyatakan hubungan antara L dengan w.

100 1096 1275 15

Untuk menjawab soal ini, siswa

mesti memusatkan perhatian pada

pengaitan antara rumusan luas dengan

keliling suatu persegi panjang dan

dengan informasi yang diberikan dalam

soal (keliling persegi panjang)

diharapkan dapat membuat persamaan

yang diminta (pemodelan matematika).

Dari 32 siswa, hanya 9 orang yang

membuat pengaitan rumusan luas dan

keliling persegi panjang untuk

145

menyatakan banyak

pekerja. Kinerja siswa atas soal ini

memperlihatkan kurangnya pemahaman

mereka terhadap masalah,

pengetahuannya hanya sebatas

prosedural, dan sekaligus tak melakukan

refleksi atas proses menyelesaikan

masalah. Gambar 2memperlihatkan

a menyelesaikan soal

Buat persamaan yang menyatakan hubungan antara L dengan w.

soal (keliling persegi panjang)

membuat persamaan

yang diminta (pemodelan matematika).

Dari 32 siswa, hanya 9 orang yang

membuat pengaitan rumusan luas dan

keliling persegi panjang untuk

Page 151: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

146E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

kemudian merumuskan persamaan yang

diminta. Enam diantaranya mengutak-

atik angka yang terdapat pada tabel

untuk menghitung panjang tanpa pernah

tiba pada apa yang diminta di soal.

Selebihnya tidak merespon. Dari kinerja

siswa atas soal ini disimpulkan sebagian

besar siswa tidak dapat melakukan

pengaitan konsep yang dimilikinya dan

pengalamannya bekerja atas konsep

tersebut ke dalam konteks masalah baru.

Ini menunjukkan rendahnya

kemampuan bernalar dan transfer

pengetahuansiswa. Gambar 3

memperlihatkan contoh cara siswa

menyelesaikan soal nomor 3.

Gambar 3 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 3

Soal 4. Kabayan mendaki jalan sejauh

½ km dengan kemiringan 60

terhadapgaris horisontal,

kemudian mendaki lagi sejauh ¾

km dengan kemiringan 150 juga

terhadap garis horisontal. Coba

bantu Kabayan menghitung

jarak horisontal dan vertikal

yang telah dilaluinya.

Soal ini dapat dijawab lebih

mudah bila menggunakan representasi

masalah dengan menggunakan dua buah

segitiga siku-siku. Kemudian siswa

mesti paham bahwa yang diinginkan

adalah jarak total yang ditempuh baik

arah vertikal maupun horisontal.

Sebanyak 17 orang (53%) dapat

merepresentasikan masalah dan

membuat perbandingan trigonometri

untuk menghitung jarak tempuh arah

vertikal dan arah horisontal. Namun,

hanya dua saja diantaranya yang tuntas

menghitung total jarak yang ditempuh

itu. Dalam hal ini diduga lemahnya

kemampuan bernalar yang membuat

siswa tidak utuh memahami masalah

dan mengakibatkan mereka tidak tuntas

menyelesaikannya. Contoh cara siswa

menyelesaikan soal ini tersaji pada

Gambar 4.

Page 152: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

147E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

Gambar 4 Contoh hasil kerja siswa untuk soal nomor 4

Dari kinerja siswa atas soal ini

disimpulkan hampir separuh dari

seluruh siswa masih kesulitan

menerjemahkan soal cerita ke dalam

sebuah representasi matematis yang

akan membuatnya lebih mudah

memahami masalah. Kesulitan siswa

dalam mengembangkan representasi

untuk masalah yang diberikan

diperkirakan karena pengetahuan yang

dimiliki siswa tentang perbandingan

triogonometri hanya sebatas prosedural,

belum relasional. Selain itu, meski

dapat membuat representasi masalah,

tampak banyak juga diantara mereka

yang mendapat kesulitan menghadapi

masalah yang dalam penyelesaiannya

memerlukan banyak langkah.

Mengomentari kinerja siswanya,

guru reguler di kelas tersebut

mengatakan siswa memang hampir

tidak pernah diberikan pengalaman

menyelesaikan soal-soal sejenis. Dalam

pembelajaran, guru hanya melatih siswa

menyelesaikan soal-soal rutin yang ada

di dalam buku teks baik di kelas

maupun untuk tugas rumah. Terkait

dengan penjelasan guru ini, NCTM

(2000: 21) telah menekankan bahwa

pengalaman belajar yang diberikan

gurulah yang banyak berperan dalam

menentukan keluasan dan kualitas

belajar siswa, termasuk untuk

keterampilan anak bernalar dan

memecahkan masalahmenyangkut

materi Pangkat dan Bentuk Akar,

Persamaan Kuadrat, dan Trigonometri.

SIMPULAN

Uraian di atas mempertegas

bahwa kinerja siswa dalam pemecahan

masalah matematis masih sangat lemah

dan jauh untuk dapat dikatakan tuntas.

Capaian siswa secara umum masih di

bawah 50% meski tingkat kesulitan soal

yang diberikan berkategori sedang.

Hasil ini dan penjelasan guru

Page 153: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

148E. Elvis Napitupulu dan Abil Mansyur adalah dosen Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Medan

matematika di kelas tersebut juga makin

menguatkan akan pentingnya siswa

diberi kesempatan dan pengalaman

melihat dan turut terlibat dalam

pemecahan masalah matematis di kelas.

Oleh sebab itu guru seyogiayanya mulai

menerapkan berbagai model

pembelajaran berbasis pemecahan

masalah di samping pembelajaran

konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani, R. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metoda Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Cai, J. (2003). What Research Tell Us about Teaching Mathematics through Problem Solving. In Lester, F. (Ed.) Research and Issues in Teaching Mathematics through Problem Solving. Reston, Va. National Council of Teachers of Mathematics.

Depdiknas, 2006. Permen Diknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta.

Hamzah, (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertma Negeri di Bandung

Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

MoE Singapore, 2007.Secondary Mathematics Syllabuses. Singapore.

NCTM, 2010. Agenda for Action:Problem Solving. Tersedia [email protected].

Reys, R. E., Lindquist, M. M., Lambdin, D. V., Smith, N. L., & Suydam, M. N. (2001). Helping children learn mathematics (6thed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Wardiani, S. (2009).Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreativitas dan kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas.Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Wilson, J.W., et al. (1997). Mathematical Problem Solving[Online]. Tersedia:http://jwilson.coe.uga.edu [10 Desember 2007].

Page 154: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

149Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

PENCAPAIAN STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGIDENGAN MODEL MANAJEMEN HOLISTIK

Oleh: Binahar Siagian

Abstrak

Standar mutu Pendidikan Tinggi mengacu pada Standar Nasional pendidikan. Pencapaian standar tersebut sangat ditentukan model manajemen pengelolaan Pendidikan Tinggi. Model Holistik Management adalah kolaborasi sejumlah model manajemen sesuai dengan karakteristik sub sistem di organisasi Pendidikan Tinggi, adalah model manajemen yang tepat diterapkan untuk percepatan standar mutu Pendidikan Tinggi.Kata kunci : Standar mutu pendidikan tinggi

PENDAHULUAN

Pendidikan tinggi merupakan

salah satu barometer kemajuan

pembangunan, khususnya pembangunan

pendidikan, yang juga merupakan

pembangunan peradaban bangsa

(Fadjar, 2004). Pembangunan

pendidikan harus selalu bertumpu pada

konsep pertumbuhan, pengembangan,

pembaharuan, dan kelangsungannya

sehingga penyelenggaraan pendidikan

harus dikelola secara profesional.

Pembangunan pendidikan

disokong oleh tiga pilar kebijakan

strategis pembangunan pendidikan,

yaitu: (1) Pemerataan dan perluasan

akses pendidikan; (2) Peningkatan

mutu, relevansi, dan daya saing lulusan

pendidikan; (3) Peningkatan tata kelola,

akuntabilitas, dan pencitraan publik

pengelolaan pendidikan.

Ketiga pilar kebijakan tersebut

merupakan acuan perencanaan

pembangunan pendidikan termasuk

pendidikan tinggi. Pemerataan dan

perluasan akses menekankan

memperbesar kesempatan belajar di

perguruan tinggi bagi masyarakat.

Berbagai strategi memungkinkan

dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan

pilar pertama, diantaranya adalah (1)

memperbanyak jumlah

mahasiswa/mahasiswi yang diterima

sebagai subjek didik belajar di

perguruan tinggi; (2) sistem penerimaan

mahasiswa baru yang berorientasi

pemerataan kesempatan belajar dari

berbagai daerah serta berwawasan

gender, seperti PMDK, dan sistem

kuota; (3) pengembangan perguruan

tinggi multi kampus; (4) pemberian

berbagai jenis beasiswa.

Page 155: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

150Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Peningkatan mutu, relevansi,

dan daya saing lulusan adalah

merupakan jaminan bagi lulusan dan

stakeholder atas kepastian

kebermanfaatan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni yang dipelajari

dalam kehidupan. Kebermanfaatan

tersebut dimaknai bahwa dengan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni yang

dimiliki oleh lulusan akan menjamin

mereka dapat menciptakan lowongan

kerja dan atau bekerja pada perusahaan

atau lembaga yang membutuhkannya.

Perguruan tinggi harus selalu

berorientasi mutu dalam

pengelolaannya sehingga dihasilkan

lulusan yang memiliki standar mutu

yang ditetapkan.Standar mutu harus

memungkinkan untuk ditingkatkan

sehingga daya saing lulusan dapat

dipertahankan bahkan diharapkan

unggul.

Salah satu strategi yang pernah

diuji coba diterapkan untuk mencapai

standar mutu pendidikan tinggi adalah

Total Quality Management (TQM).

TQM menggarap keseluruhan

pembangunan pendidikan tinggi, mulai

dari perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, dan pengendalian dalam

hal input, proses, dan output. Namun

Srikanthan mengatakan bahwa Total

Quality Managemen kurang tepat

dipergunakan di perguruan tinggi,

karena organisasi perguruan tinggi

adalah unik (Srikanthan, 2001). Lebih

lanjut dikatakannya bahwa model

manajemen Holistik adalah yang paling

tepat dipergunakan.

Menurut Peraturan Pemerintah

RI No. 60 Tahun 1999 tentang

Pendidikan Tinggi, tujuan Pendidikan

Tinggi adalah: (a) Menyiapkan peserta

didik menjadi anggota masyarakat yang

memiliki kemampuan akademik dan

atau profesional yang dapat

menerapkan, mengembangkan dan atau

memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan, teknologi dan kesenian;

(b) Mengembangkan dan

menyebarluaskan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan atau kesenian serta

mengupayakan penggunaannya untuk

meningkatkan taraf kehidupan

masyarakat dan memperkaya

kebudayaan nasional (Ricjardus, 2006).

Dalam upaya tercapainya tujuan

tersebut, Perguruan Tinggi menciptakan

dan mengimplementasikan tiga Dharma

Perguruan Tinggi, yaitu: Pengajaran,

Penelitian, dan Pengabdian. Pengajaran

merupakan knowledge transfer,

technology transfer, skill transfer, dan

Arts transfer. Penelitian adalah

pengembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni yang bermanfaat

Page 156: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

151Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

bagi manusia. Pengabdian adalah

implementasi ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni yang dipelajari,

dikembangkan di Perguruan Tinggi bagi

masyarakat. Ketiga dharma tersebut

masih dianggap relevan dengan tuntutan

masyarakat terhadap Perguruan Tinggi.

Ciptakan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni yang bermanfaat

bagi manusia melalui penelitian, ajarkan

kepada banyak orang dilembaga formal,

dan aplikasikan dan gunakan kepada

masyarakat seluas-luasnya untuk tujuan

kesejahteraan manusia.

PEMBAHASAN

STANDAR MUTU PERGURUAN TINGGI

Perguruan tinggi memiliki 5

(lima) dimensi, yaitu: (1) dimensi etis;

(2) dimensi keilmuan; (3) dimensi

pendidikan; (4) dimensi social; (5)

dimensi korporasi (Richardus, 2006)

Dimensi etis dimaknai bahwa Perguruan Tinggi sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan untuk kreativitas sendiri atau untuk ilmu itu sendiri akan tetapi demi kesejahteraan manusia. Dengan demikian ilmu pengetahuan, teknologi dan seni tidak boleh menghancurkan hidup dan kehidupan manusia akan tetapi justru untuk mensejahterakan manusia.

Dimensi keilmuan dimaknai

sebagai dunia perguruan tinggi adalah

dunia ilmu pengetahuan. Sejalan dengan

hal itu, tujuan utama perguruan tinggi

adalah mengembangkan dan

menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan

tekn ologi serta budaya-budaya kepada

masyarakat.

Dimensi pendidikan dimaknai

bahwa proses pendidikan merupakan

proses memanusiakan manusia yang

dewasa, bertanggungjawab, mandiri,

berilmu tinggi, serta berahlak mulia.

Perguruan Tinggi tidak hanya

melaksanakan pengajaran, akan tetapi

benar-benar melaksanakan pendidikan.

Dimensi sosial dimaknai bahwa

perguruan tinggi yang sering disebut

kampus atau perkampungan masyarakat

ilmiah, terjadi proses social yang indah

dan harmonis di kampus maupun diluar

kampus. Hasil pengembangan ilmu

pengetahuan bermanfaat untuk

peningkatan ekonomi masyarakat,

kesehatan masyarakat.

Dimensi korporasi dimaknai

sebagai bahwa Perguruan Tinggi adalah

sebuah organisasi penawaran jasa.

Perguruan Tinggi memiliki pelanggan

dan mengalami persaingan antara

berbagai perguruan tinggi, sehingga

perencanaan strategis korporasi menjadi

salah satu acuan dalam memenangkan

persaingan.

Standar mutu perguruan tinggi

dilihat dari dimensi tersebut adalah

harus mengarah kepada kepuasan

Page 157: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

152Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

pelanggan (stake holder). Kepuasan

pelanggan akan menjami nkeberlanjutan

sebuah Perguruan Tinggi. Meskipun

demikian standar mutu harus dilihat dari

sisi internal dan eksternal. Sisi internal

adalah bagaimana manajemen

perguruan tinggi tersebut dapat menjadi

korporasi yang baik (good Corporate

Governace). Sisi eksternal adalah

bagaimana stake holder memberikan

penilaian terhadap perguruan tinggi

tersebut. Sisi internal dan eksternal

sesungguhnya saling terkait dan tidak

dapat dipisahkan.

Prinsip dan aplikasi good

corporate governance di Perguruan

Tinggi yamng perlu distandarisasi dan

pengaturan sistem operasional prosedur

(SOP):

1. Struktur dan pengaruh kepemilikan:

a. transparansi kepemilikan

b. batas wewenang pemiliki dan pendiri

c. tugas dan wewenang penyelenggara

d. keterpisahan penyelenggara dan

pemilik

e. profesionalisme pengelola

2. Hubungan keuangan

a. tanggung jawab keuangan

b. otorisasi keuangan.

c. sumber keuangan

d. pembuatan anggaran

e. laporan tahunan

f. laporan keuangan

g. kebijakan pengelolaan

3. Transparansi keuangan dan

keterbukaan informasi

a. laporan keuangan

b. transparansi keuangan

c. perincian beban mahasiswa

d. audit keuangan

e. independensi auditor

f. pengumuman laporan keuangan

g. sistem penilaian kinerja

h. kemudahan akses informasi

i. kerahasiaan informasi

j. pencatatan penting

k. keterbukaan rapat

l. sistem imbal jasa

m. peraturan kepegawaian

4. Struktur dan proses pimpinan dan

manajemen

a. Organisasi dan hubungan lini dan

staf

b. unsur dan komposisi pimpinan

c. tugas dan tanggung jawab masing-

masing unsur pimpinan

d. hierarki pimpinan

e. wewenang penunjukan pimpinan

f. wewenang, tugas, dan tanggung

jawab badan lain

g. jangka waktu kepemimpinan

h. uraian tugas

i. persyaratan kerja dan rekrutmen

j. jabatan rangkap

k. etika profesi.

Page 158: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

153Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Good corporate governance

tersebut di atas adalah bagian pilar

ketiga dari tiga pilar perencanaan

strategis pembangunan pendidikan

Indonesia. Pemerintah Republik

Indonesia telah menetapkan 8 Standar

Nasional Pendidikan, yaitu: standar isi,

standar proses, standar kompetensi

lulusan, standar tenaga kependidikan,

standar sarana dan prasarana

pendidikan, standar pengelolaan,

standar pembiayaan, dan standar

penilaian. Standar-standar ini menjadi

acuan kualitas organisasi pendidikan

termasuk pendidikan tinggi.

STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGI

Mutu pendidikan tinggi

diperlihatkan lulusannya. Lulusan

adalah produk dari jasa yang telah

dipercayakan oleh pelanggan

(stakeholder) pada perguruan tinggi,

harus ditetapkan standar mutu yang

bagai mana yang diharapkan pelanggan.

Stake holder (orang tua) mempunyai

tuntutan terhadap perguruan tinggi

adalah bahwa anak mereka yang lulusan

dari perguruan tinggi harus memiliki

pekerjaan yang baik dari segi jaminan

kehidupan, dan atau juga dapat

menciptakan lapangan kerja sendiri.

Dari sisi organisasi yang akan

mempekerjakan lulusan, mengharapkan

bahwa lulusan tersebut memiliki ilmu

pengetahuan tinggi, berahlak mulia, dan

memiliki softskill yang baik. Disamping

itu, tentunya lulusan diharapkan mampu

mengembangkan, mengunggulkan, dan

mempertahankan keberlangsungan

(sustainibility) organisasi stake holder.

Namun demikian, harapan pelanggan

terhadap lulusan tergantung pada Visi

dan Misi perguruan Tinggi tersebut.

Sebuah perguruan tinggi dapat

mengarahkan visi dalam bidang

penelitian sehingga menjadi Research

University berkelas dunia, atau

mengarahkan dalam bidang pengajaran

sehingga menjadi Teaching University

berkelas dunia, atau mengarahkan

dalam pembinaan kepemimpinan dan

skill.

PENCAPAIAN STANDAR MUTU PENDIDIKAN TINGGI DENGAN MODEL MANAJEMEN HOLISTIK

Sejumlah model manajemen

diajukan oleh berbagai ahli manajemen.

Dalam makalah Srikantan dikaji

sejumlah model manajemen yang

diusulkan dipergunakan di pendidikan

tinggi sebagai mana diuraikan berikut.

Ada yang menfokuskan manajemen

terhadap proses pembelajaran subjek

didik yang oleh Harvey dan Knight

disebut manajemen berorientasi

pengalaman belajar yang disebutnya

sebagai “Total Transformative Model”.

Page 159: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

154Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

Howard dan Conrad mengajukan

Engagement Model yang berfokus pada

pengelolaan sumber daya instrumen

untuk meningkatkan kualitas lulusan.

Bowden dan Marton mengatakan bahwa

kualitas produk perguruan tinggi

tergantung pada kualitas pembelajaran.

Tierney mengatakan bahwa pelayanan

terhadap mahasiswa dalam arti terpusat

kepada mahasiswa segala program

adalah yang menentukan kualitas

lulusan.

Keseluruhan model tersebut

adalah berkolaborasi membentuk satu

model baru yang disebut model

manajemen holistic. Model holistic

mangatakan bahwa tidak mungkin TQM

dapat dipergunakan sepenuhnya pada

manajemen perguruan tinggi. Sebab

dalam pengelolaan sumber daya dosen

adalah manajemen kepemimpinan

transformative, dalam mana dosen

bukanlah dianggap sebagai bawahan

akan tetapi adalah sebagai rekan kerja.

Dalam pengelolaan sumber daya

instrument tidak terlepas pada

kebutuhan mahasiswa dan proses

pembelajarannya. Model Holistik

mengusulkan bahwa pencampuran

berbagai model yang disebut sebagai

kolaborasi berbagai model, sehingga

secara jelas membagi model dalam

ranah komponen perguruan tinggi.

TQM dipergunakan untuk manajemen

administratif dan Total Transformative

Learning model dipergunakan untuk

manajemen sumber daya dosen dan

mahasiswa dalam pembelajaran.

Engagement model untuk pengelolaan

sumber daya instrumentasi.

Perencanaan standar lulusan

Kebutuhanpelanggan

Perencanaan Strategis

Proses Pendidikan

Proses administrasi berbasis pelangganPerbaikan Sumber

daya manusia dan instrument secara

berkelanjutan

Lulusan Yang Bermutu

on the job traing, studi lanjut, up dating and re-engineering

dengan menggunakan transformative managemen

Quality Insurance

Evaluasi dan perbaikan

Pembudayaan kualitas Sumber daya

instrumentasiMenggunakan

Engagement model

Tujuan Pendidikan Nasional

Delapan Standar Nasional Pendidikan

Gambar 2. Blok diagram Model manajemen Holistik

Page 160: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

155Binahar Siagian adalah dosen Jurusan Teknik ElektroFT Universitas Negeri Medan

G. PENUTUP

Manajemen Holistik adalah

gabungan berbagai model manajemen,

yaitu sebagai sebuah model manajemen

mengarahkan proses administrasi

berorientasi pelanggan, sedangkan

proses pembelajaran, manajemen

sumber daya dosen, dan manajemen

sumber daya instrumentasi merupakan

model Total Transformatif Learning

dan Engagement model..

DAFTAR PUSTAKA

Darmono S D. 2010. President University, Where tomorrow’s leaders come together Prospectus 2010-2011. Jakarta: President University.

Malik A Fadjar. 2004. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Buku IV. Jakarta: Depdiknas

Richardus Eko Indrajit & Richardus Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi

Srikanthan Mr G., John Dalrymple. 2001. “A Fresh Approach to a Model for Quality in Higher Education. The Sixth Conference on ISO9000 and Total Quality Management, 17-19 April 2001, Ayr, Scotland, UK.

Srikanthan Mr G., John Dalrymple. 2002. “Developing a Holistik Model for Quality in Higher Education” 71CIT-2002: Developing a Holistic Model for Quality in Higher Education

Page 161: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

156Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU DALAM KONTEKS PENJAMINAN MUTU DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN MENGHADAPI

TANTANGAN GLOBALISASI MASA DEPAN

Oleh :

Danny Ivanno Ritonga, S. Pd

Abstrak

Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka kita akan ditinggalkan. Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini, adalah pertama, bagaimana pendidikan yang dapat menjawab tantangan di atas dapat dirancang?, kedua, dengan adanya persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan yang terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai dimensi pembaharuan, sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan pendidikan yang berkualitas dalam era global ini? dan ketiga, bagaimanakah profesionalisme guru tersebut disiapkan?

Kata kunci : Penjaminan Mutu Pendidikan, Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan, Profesionalisme Guru

PENDAHULUAN

Pendidikan berwawasan masa

depan diartikan sebagai pendidikan

yang dapat menjawab tantangan masa

depan, yaitu suatu proses yang dapat

melahirkan individu-individu yang

berbekal pengetahuan, keterampilan,

dan nilai-nilai yang diperlukan untuk

hidup dan berkiprah dalam era

globalisasi.

Komisi Internasional bagi

Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk

oleh UNESCO melaporkan bahwa di

era global ini pendidikan dilaksanakan

dengan bersandar pada empat pilar

pendidikan, yaitu learning to know,

learning to do, learning to be, dan

learning to live together (Delors, 1996).

Dalam learning to know peserta didik

belajar pengetahuan yang penting sesuai

Page 162: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

157Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

dengan jenjang pendidikan yang diikuti.

Dalam learning to do peserta didik

mengembangkan keterampilan dengan

memadukan pengetahuan yang dikuasai

dengan latihan (law of practice),

sehingga terbentuk suatu keterampilan

yang memungkinkan peserta didik

memecahkan masalah dan tantangan

kehidupan. Dalam learning to be,

peserta didik belajar menjadi individu

yang utuh, memahami arti hidup dan

tahu apa yang terbaik dan sebaiknya

dilakukan, agar dapat hidup dengan

baik. Dalam learning to live together,

peserta didik dapat memahami arti

hidup dengan orang lain, dengan jalan

saling menghormati, saling menghargai,

serta memahami tentang adanya saling

ketergantungan (interdependency).

Dengan demikian, melalui keempat

pilar pendidikan ini diharapkan peserta

didik tumbuh menjadi individu yang

utuh, yang menyadari segala hak dan

kewajiban, serta menguasai ilmu dan

teknologi untuk bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi (2001)

disebutkan tiga acuan dasar

pengembangan pendidikan di Indonesia

dalam era reformasi untuk menjawab

tantangan global, yaitu acuan filosofis,

acuan nilai kultural, dan acuan

lingkungan strategis.

Acuan filosofis, didasarkan pada

abstraksi acuan hukum dan kajian

empiris tentang kondisi sekarang serta

idealisasi masa depan. Secara filosofis

pendidikan perlu memiliki karakteristik:

(a) mampu mengembangkan kreativitas,

kebudayaan, dan peradaban; (b)

mendukung diseminasi dan nilai

keunggulan, (c) mengembangkan nilai-

nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan

dan keagamaan; dan (d)

mengembangkan secara berkelanjutan

kinerja kreatif dan produktif yang

koheren dengan nilai-nilai moral.

Kesemua ini tidak terlepas dari cita-cita

pembentukan masyarakat Indonesia

Baru, yakni apa yang disebut dengan

masyarakat madani.

Pendidikan kita harus pula

memiliki acuan nilai kultural dalam

penataan aspek legal. Tata nilai itu

sendiri bersifat kompleks dan

berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal,

nilai instrumental, sampai pada nilai

operasional. Pada tingkat ideal, acuan

pendidikan adalah pemberdayaan untuk

kemandirian dan keunggulan. Pada

tingkat instrumental, nilai-nilai yang

penting perlu dikembangkan melalui

pendidikan adalah otonomi, kecakapan,

kesadaran berdemokrasi, kreativitas,

daya saing, estetika, kearifan, moral,

harkat, martabat dan kebanggaan. Pada

Page 163: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

158Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

tingkat operasional, pendidikan harus

menanamkan pentingnya kerja keras,

sportifitas, kesiapan bersaing, dan

sekaligus bekerjasama dan disiplin diri.

Acuan lingkungan strategis

mencakup lingkungan nasional dan

lingkungan global. Lingkungan nasional

ditandai dengan dua hal yang

substansial yaitu: masih berlanjutnya

krisis dimensional yang menerpa bangsa

ini, dan tuntutan reformasi secara total

yang belum berjalan secara baik dan

optimal. Lingkungan nasional meliputi

perubahan demografis termasuk

didalamnya penyebaran penduduk yang

tidak merata dan keberhasilan KB,

pengaruh ekonomi yang tidak merata

sehingga penduduk yang berada di

bawah garis kemiskinan meningkat,

pengaruh sumber kekayaan alam yang

pemanfaatannya membutuhkan

pengelolaan yang baik, pengaruh nilai

sosial budaya di era global ini, dimana

munculnya nilai-nilai baru di

masyarakat seperti kerja keras,

keunggulan, dan ketepatan waktu,

pengaruh politik yang sejak era

reformasi terasa sangat labil, serta

pengaruh ideologi dimana pendidikan

ideologi perlu terkait dengan yang

universal. Lingkungan nasional yang

saat ini masih dalam situasi reformasi,

bertujuan untuk meningkatkan taraf

hidup masyarakat. Secara nasional

acuan strategis ini mengandung arti

bahwa pendidikan kita harus dapat

menjawab tantangan reformasi dan

membawa negeri ini keluar dari

berbagai krisis.

Lingkungan global ditandai

antara lain dengan pesatnya

perkembangan teknologi informasi

sehingga kita tidak bisa menjadi warga

lokal dan nasional saja, tetapi juga

warga dunia.Lingkungan strategis

sangat berpengaruh bagaimana

pendidikan masa depan tersebut

hendaknya dirancang.

Sebagai implikasi dari

globalisasi dan reformasi tersebut,

terjadi perubahan pada paradigma

pendidikan. Perubahan tersebut

menyangkut, pertama: paradigma

proses pendidikan yang berorientasi

pada pengajaran dimana guru lebih

menjadi pusat informasi, bergeser pada

proses pendidikan yang berorientasi

pada pembelajaran dimana peserta didik

menjadi sumber (student center).

Dengan banyaknya sumber belajar

alternatif yang bisa menggantikan

fungsi dan peran guru, maka peran guru

berubah menjadi fasilitator. Kedua,

paradigma proses pendidikan tradisional

yang berorientasi pada pendekatan

klasikal dan format di dalam kelas,

Page 164: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

159Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

bergeser ke model pembelajaran yang

lebih fleksibel, seperti pendidikan

dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu

pendidikan menjadi prioritas (berarti

kualitas menjadi internasional).

Keempat, semakin populernya

pendidikan seumur hidup dan makin

mencairnya batas antara pendidikan di

sekolah dan di luar sekolah.

Kondisi ini mengharuskan

pendidikan menerapkan berbagai

prinsip yang sangat mendasar seperti

penerapan standar mutu sehingga kita

bisa bersaing dengan dunia global, dan

penggunaan berbagai cara belajar

dengan mendayagunakan sumber

belajar. Bila kita cermati ketiga acuan di

atas merupakan dasar hukum dan

operasional pengembangan pendidikan

masa depan. Dalam pembangunan

pendidikan ke depan ini, ketiga acuan

itu merupakan dasar dalam

mengembangkan cetat biru (blueprint)

pendidikan nasional.

PEMBAHASAN

Kajian Konsepsional Mengenai Penjaminan Mutu Pendidikan

Dalam rangka pembaharuan

sistem pendidikan nasional telah

ditetapkan visi, misi dan strategi

pembangunan pendidikan nasional. Visi

pendidikan tersebut adalah terwujudnya

sistem pendidikan sebagai pranata sosial

yang kuat dan berwibawa untuk

memberdayakan semua warga negara

Indonesia berkembang menjadi manusia

yang berkualitas sehingga mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman

yang selalu berubah. Terkait dengan visi

tersebut telah ditetapkan serangkaian

prinsip untuk dijadikan landasan dalam

pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut

adalah bahwa pendidikan

diselenggarakan sebagai proses

pembudayaan dan pemberdayaan

peserta didik yang berlangsung

sepanjang hayat, di mana dalam proses

tersebut harus ada pendidik yang

memberikan keteladanan dan mampu

membangun kemauan, serta

mengembangkan potensi dan kreativitas

peserta didik. Implikasi dari prinsip ini

adalah pergeseran paradigma proses

pendidikan, yaitu dari paradigma

pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang

telah berlangsung sejak lama lebih

menitikberatkan peran pendidik dalam

mentransfer pengetahuan kepada

peserta didik. Seperti telah disebutkan

pada pendahuluan , dewasa ini

paradigma tersebut telah bergeser

menuju paradigma pembelajaran yang

memberikan peran lebih banyak kepada

peserta didik untuk mengembangkan

keterampilan yang dibutuhkan bagi

Page 165: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

160Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Untuk menyelenggarakan proses

pendidikan yang didasarkan paradigma

baru tersebut, diperlukan acuan dasar

bagi setiap satuan pendidikan yang

meliputi serangkaian kriteria dan

kriteria minimal sebagai pedoman, yang

saat ini dikenal dengan delapan standar

mutu nasional pendidikan.

Tujuan standar mutu pendidikan

ditetapkan adalah untuk menjamin mutu

proses transpormasi, mutu instrumental

dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1)

standar isi, (2) standar proses, (3)

standar kompetensi lulusan, (4) standar

pendidik dan tenaga kependidikan, (5)

standar sarana dan prasarana, (6)

standar pengelolaan, (7) standar

pembiayaan, dan (8) standar penilaian

pendidikan. Konsep tersebut di atas

dapat diwujudkan pada diagram berikut

:

Lingkungan

Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan dengan itu, Bapak

pendidikan Indonesia, Ki Hajar

Dewantara, sejak tahun 1920an telah

mengumandangkan pemikiran bahwa

pendidikan pada dasarnya adalah

memanusiakan manusia. Untuk itu

suasana yang dibutuhkan dalam dunia

pendidikan adalah suasana yang

berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan

hati, empati, cintakasih dan

penghargaan terhadap masing-masing

anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa

dasar cinta kasih. Dengan demikian

pendidikan hendaknya membantu

peserta didik untuk berkepribadian

merdeka, sehat fisik, sehat mental,

cerdas, serta menjadi anggota

masyarakat yang berguna. Manusia

merdeka adalah seseorang yang mampu

berkembang secara utuh dan selaras dari

segala aspek kemanusiannya dan

mampu menghargai dan menghormati

kemanusiaan setiap orang. Metode

pendidikan yang paling tepat adalah

sistem among yaitu metode

pembelajaran yang berdasarkan pada

Page 166: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

161Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

asih, asah dan asuh. Sementara itu

prinsip penyelenggaraan pendidikan

perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung

tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut

wuri handayani”.

Mengingat bahwa pendidikan itu

merupakan suatu sistem dengan

komponen-komponen yang saling

berkaitan, maka keseluruhan sistem

harus sesuai dengan ketentuan yang

diharapkan atau standar. Untuk itu

masing-masing komponen dalam sistem

harus pula sesuai dengan standar yang

ditentukan bersama. Hal ini mesti

dilakukan dalam kaitan terjadinya

penjaminan mutu pendidikan itu sendiri,

karena; penjaminan mutu adalah proses

penetapan dan pemenuhan standar

mutu pengelolaan secara konsisten dan

berkelanjutan, sehingga konsumen,

produsen, dan pihak lain yang

berkepentingan memperoleh kepuasan.

Bila dikaitkan dengan pengelolaan

pendidikan, penjaminan mutu yang

dimaksud adalah proses penetapan dan

pemenuhan standar mutu pengelolaan

pendidikan secara konsisten dan

berkelanjutan, sehingga stakeholders

memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam

PP 19/2005 delapan standar tersebut di

atas merupakan aspek-aspek yang harus

memenuhi standar mutu dalam kaitan

dengan penjaminan mutu suatu

lembaga.

Sehubungan dengan kerangka

konsep di atas, pada awal

perkembangan pendidikan,

masyarakatlah yang lebih berperan

dalam menentukan standar mutu

tersebut. Dalam perkembangan

selanjutnya dengan meluasnya

penyelenggaraan pendidikan formal

pemerintah lebih berperan dalam

menentukan standar mutu tersebut.

Dengan demikian, konsep penjaminan

mutu dapat ditinjau dari dua aspek yaitu

: (1) aspek deduktif ; dimana lembaga

pendidikan/sekolah mampu menetapkan

dan mewujudkan visinya melalui

pelaksanaan misinya, dan (2) aspek

induktif; dimana lembaga

pendidikan/sekolah, mampu memenuhi

kebutuhan stakeholders (kebutuhan

kemasyarakat, kebutuhan dunia kerja,

kebutuhan profesional). Konsep di atas

dapat divisualisasi dalam gambar

berikut :

Page 167: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

162Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

Gambar 2 : Konsep Penjaminan Mutu

Dalam kaitan dengan

penjaminan mutu seperti diagram di

atas, kualifikasi pendidik merupakan

salah satu Standard yang harus dipenuhi

sesuai dengan PP 19/2005. Dengan

terpenuhinya kualifikasi pendidik

diharapkan pengelolaan proses

pembelajaran dapat berlangsung secara

interaktif, inspiratif, menantang,

memotivasi dan menyenangkan (I2M3).

Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan

Terjadinya pergeseran

pendidikan nasional seperti telah

dikupas di depan, mengakibatkan

adanya berbagai kebijakan pendidikan

yang relevan dengan itu. Beberapa

kebijakan yang menonjol, antara lain

dalam bidang menajeman pendidikan

yaitu desentralisasi pendidikan (melalui

program menajemen pendidikan

berbasis sekolah), dalam bidang

kurikulum yaitu kurikulum tingkat

satuan pendidikan yang berbasis

kompetensi (KTSP), dalam proses

pembelajaran ada program percepatan

belajar (learning accelleration).

Kebijakan-kebijakan baru ini perlu

mendapat perhatian yang serius sampai

pada tataran guru sebagai ujung tombak.

Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

Hasil studi yang dilakukan Bank

Dunia, yang diberi judul Education in

Indonesia: from Crisis to Recovery

(1998) antara lain menghasilkan

simpulan bahwa ada tiga faktor

penyebab ketidakefisienan manajemen

sekolah, yaitu: (1) pada umumnya

kepala sekolah, terutama sekolah negeri

memiliki otonomi yang sangat terbatas

dalam menajemen sekolah dan dalam

memutuskan alokasi sumber-sumber,

(2) banyak kepala sekolah yang

mempunyai keterampilan yang terbatas

dalam menajemen sekolah, (3)

partisipasi masyarakat dalam

menajemen sekolah sangat terbatas, hal

Page 168: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

163Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

ini antara lain dapat dilihat dari

ketidakmampuan kepala sekolah dalam

memobilisasi dukungan masyarakat.

Sehubungan dengan itu,

Manajemen Pendidikan Berbasis

Sekolah (MPBS), yang dicanangkan

sejak tahun 2000 merupakan respon

terhadap kebutuhan penyesuaian

terhadap konsep demokrasi dan

otonomi. Inti dari MPBS adalah

pemberdayaan masyarakat sebagai

componen yang penting dalam

penyelenggaraan pendidikan. Jika

sebelumnya sekolah seolah-olah

merupakan milik pemerintah dalam

artian bahwa semua tanggungjawab

penyelenggaraannya menjadi beban

pemerintah, kini masyarakat menjadi

komponen penting dalam tanggung

jawab itu. Dengan pelibatan

masyarakat, diharapkan timbul suatu

kesadaran bahwa keberhasilan

pendidikan merupakan tanggung jawab

semua komponen masyarakat dan

pemerintah. Sharing ini antara lain telah

diwujudkan dalam bentuk Komite

Sekolah, dimana didalamnya terlibat

penyelenggara sekolah, orangtua murid,

maupun komponen masyarakat lainnya.

Dalam perjalanannya sampai saat ini,

Komite Sekolah sudah mulai

menjalankan fungsinya dan diharapkan

berkontribusi yang cukup significan

dalam penyelenggaraan pendidikan di

sekolah.

Ke depan, MPBS diharapkan

bukan hanya berbagi dalam fungís

sebagai penyandang dana, namun

pelibatan orangtua dan masyarakat

diharapkan juga terjadi. Di negara-

negara maju seperti AS, MPBS telah

lama dilakukan, kerjasama sekolah

dengan orangtua dan masyarakat juga

dilakukan dalam proses pembelajaran.

Kedatangan orangtua ke sekolah untuk

membantu guru dalam PBM, dokter

yang memberi masukan dalam suatu

proyek dalam pelajaran biologi

misalnya, bukanlah pemandangan yang

aneh.

Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan

Penggunaan Kuríkulum 1994 di

lapangan mengalami berbagai paradoks,

antara lain menyangkut universalisasi

pendidikan disatu pihak, dan tuntutan

akan mutu yang tinggi dipihak lain.

Setelah itu, ada upaya pembaharuan

kurikulum, dan salah satu upaya adalah

pengembangan kurikulum berbasis

kompetensi. Dengan kurikulum yang

berbasis kompetensi ini, ukuran

terpenting keberhasilan peserta didik

adalah penguasaan mereka terhadap

standar kompetensi. Pendekatan

kurikulum berbasis kompetensi ini (saat

ini terkenal dengan KTSP), dilakukan

Page 169: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

164Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

melalui identifikasi dan penentuan

kemampuan dasar lulusan/ Standar

Kompetensi Lulusan (SKL), yang

dijabarkan menjadi Standar Isi (SI)

yang memuat, Standar Kompetensi

(SK) dan Kompetensi Dasar (KD).

Berdasarkan SI tersebut masing-masing

Satuan Pendidikan menyusun

kurikulumnya dengan menjabarkan

menjadi Materi, Pengalaman Belajar,

Indikator. Terdapat peluang yang sangat

besar sekolah/guru mengembangkan

kurikulumnya sendiri (berorientasi pada

SI yang telah ditetapkan dalam Permen

Diknas, maupun mengembangkan dan

memasukkan keunggulan lokal sesuai

dengan kebutuhan masyarakatnya).

Untuk KTSP ini bisa dibicarakan

tersendiri secara lebih mendalam.

Program Anak Berbakat / Percepatan Belajar

Dalam rangka realisasi

pendidikan yang berwawasan masa

depan, perhatian harus diprioritaskan

pada pengklasifikasian peserta didik

sesuai dengan kemampuan, bakat,

maupun minat mereka. Ini sangat

penting agar pendidikan yang diikuti

benar-benar bermakna. Beberapa

progam telah dilakukan terkait dengan

kondisi peserta didik yang variatif ini,

yaitu melalui sistem akreditasi, sistem

sekolah unggulan, maupun program

umum plus seperti program akselerasi

belajar.

Diketahui bahwa lembaga

pendidikan yang ada adalah pendidikan

formal, nonformal, dan informal. Pada

jenjang sekolah pendidikan atas,

pendidikan formal dibedakan antara

SMA dan SMK. Pada hakekatnya di

jenjang SMA peserta didik diberikan

pengalaman belajar dalam rangka

penguasaan sains, teknologi, dan

pengalaman belajar yang dapat

membekali mereka melanjutkan

pendidikannya ke PT. Sedangkan pada

jenjang SMK peserta didik diarahkan

pada penguasaan keterampilan baik

yang bersifat jangka pendek maupun

jangka panjang, sehingga tamatan SMK

diharapkan langsung dapat masuk ke

dunia kerja.

Perkiraan Ward (dalam

Semiawan, 1997) di Indonesia terdapat

1,57 % anak yang berbakat tinggi

(highly gifted), dan 10 % yang berbakat

sedang (moderately gifted). Kedua

kelompok anak ini berbakat akademik

(akademic talented) atau keberbakatan

intelektual. Anak-anak berbakat ini

merupakan aset nasional yang sangat

penting, karena mereka memiliki interes

intelektual dan perspektif masa depan

yang jauh lebih baik dari anak

kebanyakan, baik secara genetis

Page 170: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

165Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

maupun dalam kecepatan tindakan.

Dengan kelebihan ini, diharapkan

tenaga dan pikiran mereka dapat

membawa berbagai pembaharuan dalam

bidang keilmuan, maupun perubahan

kearah perbaikan kehidupan

masyarakat, seperti apa yang telah

dilakukan Edison (sang penemu listrik)

yang sangat penting bagi kehidupan

manusia.

Sesuai dengan keberadaan kedua

kelompok ini sebagai kelompok yang

”berbeda” dengan anak normal lainnya,

dan sesuai pula dengan misi pendidikan

untuk memberikan kesempatan

pendidikan yang sebaik-baiknya bagi

mereka, maka kelompok ini perlu

mendapatkan pendidikan yang dapat

mengakomodasi kelebihan mereka.

Program untuk mereka dapat berupa

pendidikan khusus, atau pendidikan

umum untuk anak berbakat (saat ini

dikenal dengan program kelas

percepatan). Berkaitan dengan itu,

beberapa asumsi yang mendasari alasan

kenapa anak berbakat perlu

mendapatkan pendidikan yang berbeda

dengan anak-anak lainnya, adalah : (a)

anak berbakat secara kualitatif berbeda

dengan anak lainnya, (b) pendidikan

khusus bagi mereka sangat

menguntungkan, karena sesuai dengan

kemampuan mereka, (c) suatu program

harus dilaksanakan berdasarkan model

instruksional yang terarah, (d) program

anak berbakat harus lebih menekankan

perkembangan kreativitas dan proses

berpikir tingkat tinggi, (e) metode

pembelajaran bagi anak berbakat lebih

berorientasi pada pendekatan induktif.

Pendidikan anak berbakat harus

diwarnai oleh penekanan pada aktivitas

intelektual, kecepatan dan tingkat

kompleksitas sesuai dengan

kemampuan yang tinggi. Sehubungan

dengan itu, jika anak-anak berbakat

ditangani dengan program akselerasi,

maka ada dua hal penting yang harus

diperhitungkan, yaitu: (a) dalam

program akselerasi, beban belajar yang

oleh anak-anak biasa dapat diselesaikan

dalam tiga tahun, maka oleh anak-anak

berbakat ini hanya dibutuhkan waktu

dua tahun. Ini berarti terjadi proses

percepatan dalam belajar, (b) percepatan

ini juga harus mengandung arti

kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar

mereka ditekankan pada aktivitas

intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan

kenyataan bahwa, dalam perilaku

intelektual, aspek teoretis dan tingkat

abstraksi anak-anak berbakat

menunjukkan karakteristik mental yang

baik dalam melihat hubungan yang

bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi

logis, mudah mengadaptasikan prinsip

Page 171: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

166Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

abstrak kesituasi konkret, serta mampu

menggeneralisasikan.

Metode belajar yang relevan

adalah metode penemuan (discovery

learning) seperti yang dikembangkan

oleh Piaget dan Bruner, dan metode

induktif. Dalam discovery learning

aspek kognitif berkembang melalui

penemuan dan pengembangan hipotesis,

bukan dengan cara duduk, diam, dengar,

dan catat. Discovery learning

memberikan tantangan bagi

kemampuan berpikir abstrak yang

tinggi, dan pelibatan secara aktif dalam

menemukan jawaban dan tantangan

tersebut. Dengan cara ini, terjadilah

penanjakan dinamis dari kehidupan

mental yang disebut eskalasi

(Semiawan,1997).

Pembelajaran kognitif induktif

dideskripsikan melalui empat istilah,

yaitu: (a) inquiry, (b) problem solving,

(c) discovery learning, dan (d) scientific

method. Pembelajaran induktif memiliki

rasional yang kuat untuk meningkatkan:

(a) penggunaan inteligensia secara

optimal dengan memanfaatkan fungsi

kedua belahan otak secara penuh, (b)

kemampuan peserta didik untuk

mengarahkan diri dan tanggungjawab

untuk memperoleh kemajuan dalam

mencapai sasaran jangka panjang dan

jangka pendek, (c) kemampuan untuk

mensintesiskan informasi, konsep, dan

membuat generalisasi, dan (d)

kemampuan mentransper belajar dalam

situasi berbeda.

Profesionalisme Guru

Pendidikan merupakan aspek

kehidupan yang pasti dipengaruhi oleh

kuantitas dan kualitas dari aspek

kehidupan yang lain. Pendidikan

merupakan masalah semua orang,

karena melalui sentuhan pendidikan

proses pemanusiaan itu terjadi. Dalam

kaitan dengan itu, pada dasarnya

manusia mempunyai potensi menjadi

baik, seperti halnya juga memiliki

kecenderungan berbuat tidak baik, maka

diperlukan upaya untuk mewujudkan

harkat dan martabat kemanusiaan yang

tertinggi pada masing – masing

individu. Pendidikan merupakan proses

memanusiakan manusia. Manusia tidak

dengan sendirinya memanusia, seperti

binatang dengan sendirinya

membinatang. Maka dari itu manusia

harus mendapatkan sentuhan

pendidikan, serta hidup di lingkungan

masyarakat manusia, untuk dia bisa

menjadi manusia. Pendidikan

merupakan upaya sadar yang diarahkan

untuk mencapai perbaikan disegala

aspek kehidupan. Dalam upaya

pendidikan itulah keterlibatan orang tua

(sebagai pendidik pertama, utama dan

Page 172: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

167Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

kodrat), orang dewasa lainnya, tokoh

masyarakat serta guru, sangatlah nyata

terlihat.

Guru sebagai pendidik

memangku jabatan profesional, jabatan

tersebut adalah suatu profesi yang

sangat berperan dalam pendidikan

formal. Guru dapat dikatakan

menempati posisi yang sangat strategis

dalam pengelolaan proses belajar pada

pendidikan formal. Guru-lah yang

merancang, mengarahkan dan

mengelola proses belajar mengajar

dalam rangka (untuk) mencapai tujuan

yang telah ditentukan, dan sudah

tentunya untuk kesejahteraan subyek

didik. Dalam konteks itu, guru tidak

hanya membina anak untuk dapat

menguasai ilmu pengetahuan secara

kognitif saja, tapi lebih jauh dari itu

adalah untuk dapat membina nilai

kemanusiaan pada anak. Dengan kata

lain, disamping mencapai instructional

effects, pencapaian nurturant effects

sangat penting diupayakan, sehingga

empat pilar pendidikan yang

dirumuskan oleh UNESCO yaitu :

learning to know, learning to do,

learning to be, dan learning to live

together, bisa diimplementasikan secara

bersamaan dan atau silih berganti. Maka

dari itu kita membutuhkan guru yang

profesional. Dalam hubungan dengan

butir di atas, meskipun dalam kenyataan

menunjukkan perlakuan kita terhadap

guru masih cukup jauh dari yang

diharapkan, tetapi agaknya tidak sulit

untuk menyepakati bahwa tugasnya

adalah teramat penting. Secara makro,

tugas guru berhubungan dengan

pengembangan sumber daya manusia

yang pada akhirnya akan paling

menentukan kelestarian dan kejayaan

kehidupan bangsa. Dalam hubungan ini,

tampaknya memang ada kecenderungan

untuk memandang permasalahan secara

kurang jernih. Kesalahan perhitungan

oleh seorang insinyur bangunan dalam

merancang bangunan atau kesalahan

terapi yang diberikan oleh seorang

dokter segera disadari pentingnya oleh

masyarakat luas berhubung dengan

kedramatisan dampaknya, bangunan

bertingkat ambruk atau pasien

meninggal. Walaupun tidak langsung

terlihat, agaknya juga tidak sulit untuk

menyepakati, bahwa dampak negatif

kesalahan pendidikan juga tidak kalah

seriusnya. Kegawatan tersebut dapat

berupa terbunuhnya bakat yang secara

potensial dapat memberi sumbangan

bagi pembangunan dan kelestarian serta

kejayaan bangsa, sampai dengan

perusakan diri sendiri (karena kebiasaan

hidup yang salah dsb) maupun

Page 173: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

168Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

perusakan lingkungan, yang

kesemuanya itu juga tidak terperbaiki.

Bertolak dari keharusan menjaga

keseimbangan antara kedaulatan murid

dan otoritas guru, serta keserasian

antara penumbuhan kemampuan

mempertanyakan dan kesediaan

menerima nilai lingkungan, maka

peranan kunci guru di dalam interaksi

pendidikan adalah melakukan

pengendalian yang pada dasarnya dapat

ditinjau dari tiga segi. Peranan kunci itu

adalah: (a) secara sistematis

mengupayakan pembentukan

kemandirian murid dengan mengatur

pemberian kesempatan untuk

mengambil keputusan sesuai dengan

perkembangan kemampuannya, (b)

pemupukan kemampuan murid dalam

pengambilan keputusan dengan

meningkatkan pengetahuan serta

keterampilan yang relevan, dan (c)

penyediaan sistem dukungan yang

memungkinkan melaksanakan bergabai

alternatif bentuk kegiatan belajar yang

mencerminkan kemandirian dan

kemampuan mengambil keputusan yang

semakin meningkat dengan kata lain,

guru memang harus mengerahkan

segenap kemampuannya untuk

menyediakan kondisi belajar yang

kondusif untuk terjadinya proses

pembelajaran pada murid. Pengendalian

di sini perlu diartikan secara khas, sejak

awal tujuannya adalah pemandirian

murid, bukan penjinakannya. Oleh

karena itu, harus kokoh terpatri dalam

kesadaran guru bahwa segala

kelebihannya apabila dibandingkan

dengan murid adalah bersifat sementara

dan bukan hakiki. Bila dikaji lebih jauh

dari situasi yang telah dikemukakan

pada butir – butir di atas, jelas akan kita

pertanyakan profil guru bagaimana kita

harapkan untuk dapat mengelola proses

pembelajaran dalam rangka antisipasi

generasi muda kita untuk memasuki

gerbang abad ke 21, yang penuh dengan

gejolak kemajuan itu. Bila untuk itu,

seandainya kita menjawab bahwa guru

kita harus profesional (yang dicirikan

pada proses kemampuan pembelajaran

diri ), tetap kita harus pertanyakan

bagaimana ciri umum itu dan dengan

jalan bagaimana kita meningkatkan hal

tersebut.

Bila digambarkan dalam suatu

diagram bagaimana peran guru dalam

proses pembelajaran maupun dalam

kaitan dengan sistem persekolahan

sehingga variabilitas perkembangan

sistem tersebut dapat optimal terjadi

adalah sbb:

Page 174: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

169Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

Dalam pembahasan atau analisis

selanjutnya dalam kaitan dengan

globalisasi, satu asumsi yang harus

dipegang bahwa : untuk masa yang akan

datang kita tidak bisa mengatakan apa

yang pasti akan terjadi, tapi kita hanya

bisa mengatakan kemungkinan-

kemungkinan yang akan terjadi dari

menganalisa apa yang terjadi, dan

kecenderungan-kecenderungan yang

mungkin akan terjadi. Maka dari itu

guru harus disiplin menjalankan tugas

profesinya, dia tidak boleh kehilangan

idealisme profesinya/keguruannya.

Bertolak dari itu tampaknya profil guru

yang kita harapkan adalah :

a) Beriman dan taqwa pada Tuhan

Yang Maha Esa,

b) Memiliki dasar profesional yang

kuat, baik yang menyangkut

kemampuan pedagogik, profesional,

kepribadian dan sosial (yang

ditetapkan sebagai empat

kompetensi guru di Indonesia).

Untuk indikator ini meliputi

keterampilan / keahlian dalam

bidangnya yang diperoleh lewat

pendidikan dan pelatihan yang

intensif dari lembaga tertentu,

c) Memiliki tanggung jawab atas

layanan yang diberikan demi untuk

kemaslahatan orang lain (peserta

didik),

d) Memiliki kemampuan dasar untuk

berperilaku inovatif, kreatif dan

pembelajaran diri. Dengan

dimilikinya tiga kemampuan dasar

ini akan terjadi pengembangan diri

secara berlanjut sehingga dapat

beradaptasi secara berlanjut dengan

perubahan yang terjadi. Memang, di

samping pengembangan diri dapat

dilakukan secara personal dapat

dilakukan pula secara lebih

terencana melalui organisasi profesi.

Dalam kaitan dengan itu, salah

satu variabel yang dianggap dominan

berpengaruh dengan “keterjadian”

profesional guru tersebut, adalah

kedisiplinan seseorang dalam

Page 175: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

170Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

melakukan, mempertahankan dan

meningkatkan unjuk kerja

profesionalnya.

Sedangkan profesi dapat

diartikan sebagai suatu pekerjaan atau

jabatan yang menuntut keahlian

(expertise) dari para anggotanya. Ini

berarti pekerjaan atau jabatan itu harus

dikerjakan oleh orang yang sudah

terlatih/disiapkan untuk melakukan

pekerjaan itu. Sedangkan

profesionalisme merupakan suatu

pandangan yang dianut oleh seorang

tentang pekerjaannya atau dalam

melakukan pekerjaannya. Guru

merupakan suatu profesi, yang secara

hukum telah diakui dan secara

“expertise” memang tidak bisa

dikerjakan oleh orang yang tidak

disiapkan untuk itu. Dalam UU tentang

Guru pada Ketentuan Umum dikatakan

bahwa : Guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama adalah

mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada jalur

pendidikan formal, pada jenjang

pendidikan dasar dan pendidikan

menengah. Selanjutnya pada ayat 3

pasal 1 disebutkan bahwa, profesi guru

adalah pekerjaan dan atau jabatan yang

memerlukan kemampuan intelektual

khusus, yang didapatkan melalui

kegiatan belajar dan pelatihan yang

bertujuan untuk menguasai

keterampilan atau keahlian dalam

melayani orang lain dengan

memperoleh upah atau gaji dalam

jumlah tertentu. Pengakuan guru

sebagai tenaga profesional dibuktikan

dengan sertifikat kompetensi.

Kompetensi adalah bersifat personal

dan kompleks serta merupakan suatu

kesatuan utuh yang menggambarkan

potensi yang mencakup pengetahuan,

keterampilan, sikap dan nilai, yang

dimiliki seseorang yang terkait dengan

profesi tertentu berkenaan dengan

bagian-bagian yang dapat

diaktualisasikan atau diwujudkan dalam

bentuk tindakan atau kinerja untuk

menjalankan profesi tersebut.

Secara lebih detail dalam UU

Guru telah dicantumkan mengenai :

prinsip profesional guru, kualifikasi dan

kompetensi guru, tugas hak dan

kewajiban, pembinaan dan

pengembangan profesi guru. Bila

disimak secara lebih umum dapat

dikatakan bahwa ciri – ciri suatu

profesi, menyangkut tiga hal itu yaitu :

1) Didasarkan pada keilmuan tertentu

(expertise)

2) Pemberian jasa didasarkan pada

tanggung jawab (responsibility)

Page 176: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

171Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

demi untuk kemaslahatan orang

lain/ penerima jasa, dan

3) Keterikatan pada suatu kesejawatan.

Hal tersebut di atas (khususnya

butir 1) diterjemahkan oleh Departemen

(DIKNAS) dengan acuan bahwa guru

yang profesional adalah guru yang

menguasai standar kompetensi yang

terdiri dari empat standar kompetensi

yaitu: standar I : Penguasaan Bidang

Studi, Standar II yaitu: Pemahaman

tentang Peserta Didik, Standar III yaitu:

Penguasaan Pembelajaran yang

Mendidik, dan Standar IV yaitu:

Pengembangan Kepribadian dan

Keprofesional-an.

PENUTUP

Telah dibahas tantangan

pendidikan kita untuk masa depan.

Semua tantangan globalisasi dan krisis

multidimensional yang berkepanjangan

memang telah terjadi di negara kita.

Mau tidak mau dunia pendidikan harus

bahu membahu meningkatkan diri agar

bisa menjawab tantangan tersebut.

Dalam kaitan dengan itu, sesungguhnya

pendidikan kita menghadapi kendala

yang tak kurang seriusnya dibandingkan

dengan tantangan tersebut.

Dalam kaitan dengan itu,

minimal dapat diidentifikasi dua

kendala pokok yaitu: pertama, kesiapan

teknis komponen-komponen yang

terkait dengan upaya perbaikan

pendidikan. Dengan adanya berbagai

upaya perbaikan seperti otonomi

pendidikan memang memberikan angin

segar bagi kebermaknaan pendidikan.

Pengalaman beberapa tahun ini adalah

pengalaman yang sangat berharga bagi

daerah otonom untuk memperbaiki

kinerjanya yang masih kelihatan secara

nyata kedodoran diberbagai aspek yang

terkait dengan inovasi penyelenggaraan

tersebut. Kedua, faktor budaya meminta

petunjuk yang masih kental kelihatan

bagi penyelenggara pendidikan. Malah

diberbagai kesempatan wawancara

dengan guru menggambarkan kondisi

yang mengkhawatirkan, seperti ketidak

berdayaan guru untuk merumuskan

kurikulum yang sesuai dengan tingkat

satuan pendidikannya, bingungnya

menghadapi uji sertifikasi guru dan lain

sebagainya. Hal tersebut tidak boleh

terjadi, lebih-lebih dikalangan guru

sebagai ujung tombak. Idealisme

keguruan, kreativitas, komitmen guru

harus tumbuh dalam rangka

peningkatan profesinya. Guru kita harus

profesional, profesionalisme guru

menyangkut minimal tiga hal, yaitu : (i)

keahlian (expertise), (ii) komitmen dan

tanggungjawab (responsibility), dan (iii)

keterlibatan dalam organisasi profesi

Page 177: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

172Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

(involvement in professional

organizations).

Keahlian menyangkut konten

keilmuan yang harus dikuasai guru

sesuai dengan bidang yang didalami;

dan hal ini diperoleh melalui pendidikan

formal. Komitmen dan tanggungjawab

merupakan nilai profesi yang dianut

terkait dengan pelaksanaan tugas (tugas

pokok guru) demi kemaslahatan peserta

didik. Sedangkan keterlibatan dalam

suatu organisasi profesi diperlukan

dalam rangka meningkatkan secara

berkelanjutan keahlian maupun

komitmen guru terhadap profesinya.

Berdasarkan konsep di atas, bila

dirumuskan dalam suatu formula, maka

profesi guru dapat dirumuskan sebagai

fungsi dari keahlian (KA), komitmen

(KM), dan kinerja (KR); sehingga dapat

diformulasi sebagai berikut: Profesi = f

(KA + KM + KR), dan bila

digambarkan secara kuadrantik

terwujud sbb:

Menyimak berbagai uraian di

atas, satu hal yang sangat penting

direnungkan dan

diresapi oleh penyelenggara pendidikan,

adalah kearifan dalam menyikapi

berbagai perubahan dan inovasi

tersebut, sehingga tidak timbul kesan

kaget, bahkan asing terhadap

perubahan-perubahan itu, sebab it’s not

a complete change, but a modification.

DAFTAR BACAAN

Buchori, M., (2000). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.

Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for

the 21th Century. New York : UNESCO.

Depdiknas R.I (2003). UUSPN RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Page 178: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

173Danny Ivanno Ritonga adalah dosen Jurusan SendratasikFBS Universitas Negeri Medan

Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) UUGD RI No. 14 Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.

Jalal, F. & Supriadi, D., (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.

Semiawan, C.,(1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.

Syarief, I. & Murtadlo, D., (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru. 70 Tahun H.A.R.Tilaar. Jakarta : Grasindo.

Page 179: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

PETUNJUK BAGI PENULIS

1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work) dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan.

2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus.

3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal)

4. Artikel hasil penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil

penelitian : 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan

masalah, dan rangkuman kajian teoritik)f. Metode penelitiang. Hasil penelitian h. Pembahasan i. Kesimpulan dan saranj. Daftar pustaka

5. Artikel Non Penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan rumusan

tentang hal-hal pokok yang akan dibahas).f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan)i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran)j. Daftar pustaka

6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja, diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut :

Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa.Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for

Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc

Page 180: 4. JURNAL VOL 4 NO 1 APRIL 2011.pdf

ISSN 1978-869X