43
31 BAB I LATAR BELAKANG Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau lebih kurang 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan. 1 Salah satu penyebab morbiditas dan mortilitas ibu dan janin adalah preeklampsia (PE) yang menurut WHO angka kejadiannya berkisar antara 0,51%-38,4% (WHO, 2006). Preeklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan dengan kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrupsio plasenta. 2 Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. 3

4. Impending Eklamsia

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

LATAR BELAKANG

Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang

terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal

setiap harinya atau lebih kurang 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena

kehamilan dan persalinan. 1

Salah satu penyebab morbiditas dan mortilitas ibu dan janin adalah preeklampsia

(PE) yang menurut WHO angka kejadiannya berkisar antara 0,51%-38,4% (WHO, 2006).

Preeklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan

tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan dengan kejang (eklampsia)

dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi

pertumbuhan dan abrupsio plasenta.2

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada

kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan

perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas

namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi

preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal

kehamilan.3

Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi, preeklampsia masih merupakan sebab

utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis

dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya

perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PREEKLAMPSIA

2.1.1 Definisi

Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai

wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda utama berupa

adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria preeclampsia

dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma

maka ia dikatakan mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil tersebut tidak

menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya. Kumpulan

gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah

perifer, dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut

mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai

peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.

2.1.2 Etiologi

Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak

teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan.

Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai “the disease of theory”. Teori

yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:

1. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda,

hidramnion, dan mola hidatidosa

2. Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia kehamilan

3. Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus

4. Penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya

5. Mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi, edema,

proteinuria, kejang dan koma

Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat ini, yaitu:

2

1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spirali

sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat

berkembang menjadi iskemia plasenta.

Gambar 2.1. Etiologi preeklampsia menurut teori iskemik plasenta

Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta normal

yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom

di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan

berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel

dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh

darah.

2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).

3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh

sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh

peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.

4. Genetik.

3

Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak

faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara faktor-faktor yang

ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau

merupakan akibat.

2.1.3 Klasifikasi

Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat

(PEB):

1. Preeklampsia ringan

Dikatakan preeklampsia ringan bila:

a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah

b. diastolik 90-110 mmHg

c. Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)

d. Tidak disertai gangguan fungsi organ

2. Preeklampsia berat

Dikatakan preeklampsia berat bila:

a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg

b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif

c. Bisa disertai dengan:

i. Oliguria (urine ≤ 400 mL/24jam)

ii. Keluhan serebral, gangguan penglihatan

iii. Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerahepigastrium

iv. Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia

v. Edema pulmonum, sianosis

vi. Gangguan perkembangan intrauterine

vii. Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia

3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan

adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.

4

Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:

a. PEB tanpa impending eclampsia

b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di antaranya

nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri

abdomen kuadran kanan atas

2.1.4 Insidens dan Faktor Risiko

Insidens preeklampsia sebesar 4–5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada

Negara maju. Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6–10 kasus

per 10.000 kelahiran hidup.

Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%.Angka

kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem

tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia adalah

perdarahan intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia pada kematian perinatal

berkisar antara 10-28%. Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan

prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75%

eklampsia terjadi antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum. Hampir semua kasus

(95%) eklampsia antepartum terjadi pada trimester ketiga.

Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan

dan 12% pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai

pada primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.

Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia dilakukan

di Rumah Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi preeklampsia/eklampsia lebih

tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia pada primigravida 11,03%.

Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka kematian perinatal

27,42%. Sedangkan pada periode Juli 1997 s/d Juni 2000 didapatkan 191 kasus

(1,21%) PEB dengan 55 kasus di antaranya dirawat konservatif.

Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya adalah:

1. nullipara

2. kehamilan ganda

5

3. obesitas

4. riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia

5. riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

6. abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada usia kandungan 18 dan

24 minggu

7. diabetes melitus gestasional

8. trombofilia

9. hipertensi atau penyakit ginjal

2.1.5 Patofisiologi

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme

pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar juga

ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang

meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer agar

oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan edema

yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum

diketahui penyebabnya. Beberapaliteratur menyebutkan bahwa pada preeklampsia

dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi

dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan

volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada preeklampsia

permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Turunnya tekanan darah

pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang diakibatkan turunnya

tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya kadar

progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti

angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap

zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi

vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan

terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti tekanan darah sebelum

hamil.

6

1. Regulasi volume darah

Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia. Kemampuan

untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat

bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika

dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita

hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu

peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.

2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah

Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan hamil

normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi

dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).

3. Aliran Darah di Organ-Organ

a. Aliran darah di otak

Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini

berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan

suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun

perdarahan otak.

b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal

Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi

penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-

rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus

berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi

penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada

sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.

Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya

mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin perfusi yang

adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen

II, dan aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil.

Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron

dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,

7

angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada

preeklampsia.

Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah iskemi

uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang

meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Apabila

terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang

mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah. Di

samping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek

prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.

Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsia,tetapi

karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%,nilai

pada preeklampsia masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil.Klirens

fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada

perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal.Dijumpai

pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.Preeklampsia

merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada kehamilan.

Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah bagiandari lesi

morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapilerglomerulus

yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.

c. Aliran darah uterus dan choriodesidua

Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi

terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan faktor penentu hasil

kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum ada satu pun metode

pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus maupun di desidua.

d. Aliran darah di paru-paru

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema paru

yang menimbulkan dekompensasi cordis.

e. Aliran darah di mata

Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila terjadi

halhal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain

yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini

8

disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan

dikorteks serebri atau dalam retina.

f. Keseimbangan air dan elektrolit

Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam

laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat organik

dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan

terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih

kembali.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan

proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh wanita

hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan

nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya

sudah berat.

Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme

arteriol sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.

Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan

tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap

menunjukan keadaan abnormal. Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan

yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda

pertama preeklampsia. Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah

normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka

kemungkinan terjadinyapreeklampsia harus dicurigai. Peningkatan berat badan

yang mendadak serta berlebihan terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu

dapat ditemukan sebelum timbul gejala edema nondependent yang terlihat jelas,

seperti edema kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.

Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu

penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria

mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat,

proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir

selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi

setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.

9

Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin

sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah

frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada

wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir

selalu mendahului serangan kejang pertama.

Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas

merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat

menjadi presiktorserangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin

disebabkan oleh regangankapsula hepar akibat edema atau perdarahan. Gangguan

penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan

yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan

inidisebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks

oksipital.

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah

1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada

ibu maupun janin

2. kelahiran bayi yang dapat bertahan

3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau

diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah

mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk

menurunkan risiko kematian neonatus.

Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri

dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB

umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir,

sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah.

Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok

wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa

memperburuk keamanan ibu.

10

Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB

antara lain adalah:

a. tirah baring

b. oksigen

c. kateter menetap

d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid

maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada

diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan

ini harus selalu diawasi.

e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20%

secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan

MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14

tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:

1. refleks patella normal

2. frekuensi respirasi >16x per menit

3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam 4.

disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila

nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas

tersebut diberikan dalam tiga menit.

f. Antihipertensi

Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan

antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika

tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan

interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan

darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang

dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan

karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan

efektifitas yang cukup baik.

11

g. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia

kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien

dengan PEB.

Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur.

Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres

sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk,

tidak terjadi percepatan pematangan paru pada penderita preeklampsia.

Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang

oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang

berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison

(1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam

kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan

bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak

memberikan keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan

Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress

syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam

kehamilan.

Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa

antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi

prematur. Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid

sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi

keuntungan yang lebih besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38

terjadinya RDS. Sementara apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan

apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.

Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna

insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu

dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian

Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu

antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari

tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus

12

diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya

terhadap pematangan paru janin.

Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi

sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:

1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24–34 minggu yang dalam

persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk pemberian

kortikosteroid antenatal dosis tunggal.

2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis

dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis

intramuskular dengan interval 12 jam.

3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung

selama tujuh hari. Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan di

FK-USU yaitu 15 mg dalam sekali pemberian.

13

Gambar 2.2. Penanganan preeklampsia berat22

14

Tabel 2.1. Penanganan preeklampsia

Ibu Fetus

Terminasi

kehamilan

Hipertensi yang tak terkontrol ( TD >

160/110 mmHg dengan penggunaan

antihipertensi) Eklampsia Trombosit

<100.000/mm3 Fungsi hati >2x batas atas

nilai normal dengan adanya nyeri

epigastrium Edema paru Gangguan fungsi

ginjal Solusio plasenta Gangguan

penglihatan

Dijumpai gambaran NST

yang non-reaktif Biophysic

profile <4 pada 2

pemeriksaan yang berbeda

Jumlah cairan amnion <2cm

EBW dari USG <5th

Persentil

Penanganan

ekspektatif

Hipertensi terkontrol Fungsi hati >2x

batas atas nilai normal

dengan adanya nyeri epigastrium

Biophysic profile >6 Jumlah

cairan amnion > 2 EBW dari

USG > 5th persentil

2.1.7.1 Penanganan Aktif

Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan

peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.

Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia

kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang

terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB. Indikasi untuk

penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:

1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:

a. kegagalan terapi medikamentosa:

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan

darah yang persisten

setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi

kenaikan desakan darah yang persisten

b. tanda dan gejala impending eklampsia

c. gangguan fungsi hepar

15

d. gangguan fungsi ginjal

e. dicurigai terjadi solusio plasenta

f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan

g. umur kehamilan ≥ 37 minggu

h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG

timbulnya oligohidramnion

2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:

3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP

(hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).

Dalam ACOG Practice Bulletin7 mencatat terminasi sebagai terapi untuk

PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan

janinnya. Sementara Nowitz ER29 dkk membuat ketentuan penanganan PEB

dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil

penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan

kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.

Ahmed M30 dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa

terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien

telah diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi.

Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB.

Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor

stress dari operasi sesar.

2.1.7.2 Penanganan Ekspektatif

Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi

kehamilan pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk

memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya

pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun

penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:

1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang

memenuhi syarat janin dapat dilahirkan

16

2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan

ibu.

Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien

PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan

lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu

(misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25

sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih disarankan.

Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson

dan Petrie33 pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan

usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid

mempercepat pematangan paru.

Kemudian Rick34 dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien

dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S)

menunjukkan ketidak matangan paru.

Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan

ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal

dkk35 yang melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif

pada 58 wanita dengan PEB dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini

diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru.

Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.

Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin

setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi

kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif

melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal35 dkk juga

menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan penanganan

ekspektatif.

Penelitian lain yang dilakukan Witlin36 dkk melaporkan peningkatan angka

pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan

selama penanganan secara ekspektatif.

Sedangkan Haddad B37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia

kehamilan 24-33 minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12

bayi pada kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif.

17

Sementara angka kematian ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini

menyimpulkan penanganan PEB secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33

minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada

ibu. Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam

dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Penderita belum inpartu

a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥8

Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan

serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II

dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus

disusul dengan pembedahan sesar.

b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk

persalinanpervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal

distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33 minggu. 38

2. Bila penderita sudah inpartu

a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman

b. Memperpendek kala II

c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress.

d. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.

e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia

umum.

2.2 SINDROMA HELLP

2.2.1 Definisi

Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)

sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PEB. Weinstein (1982) melaporkan

sindroma HELLP merupakan varian yang unik dari preeklampsia, tetapi Mackenna dkk

(1983) melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Di lain

pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk lain dari

disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terlewatkan karena proses

pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.

18

2.2.2 Insidens

Sampai saat ini insidens sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti.

Hal ini disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip dengan

penyakit nonobstetri.

Menurut Sibai (1964) angka kejadian sindroma HELLP berkisar antara 4 -

14% dari seluruh penderita PEB, sedangkan angka kejadian Sindroma HELLP pada

seluruh kehamilan adalah 0,2 – 0,6%. Sindroma ini secara bermakna lebih tinggi

pada wanita kulit putih dan multigravida.

2.2.3 Klasifikasi

Terdapat 2 klasifikasi yang digunakan pada Sindroma HELLP, yaitu:

1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang dijumpai.

Audibert dkk (1996 ) melaporkan pembagian Sindroma HELLP

berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang didapati, yaitu: sindroma

HELLP murni bila didapati ketiga parameter, yaitu (1) hemolisis, peningkatan

enzim hepar, dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik gambaran darah

tepi dijumpainya burr cell, schistocyte, atau spherocytes, LDH > 600 IU/L,, SGOT

> 70 IU/ L, bilirubin >1,2 ml/dl, dan jumlah trombosit <100.000/mm3, (2)

sindroma HELLP parsial bila dijumpai hanya satu atau dua parameter sindroma

HELLP.

2. Berdasarkan jumlah trombosit.

Martin (1991) mengelompokkan penderita Sindroma HELLP dalam tiga kelas:

a. kelas I: jumlah trombosit ≤50.000/mm3

b. kelas II: jumlah trombosit 50.000 - ≤100.000/mm3

c. kelas III: jumlah trombosit 100.000 - ≤150.000/mm3

2.2.4 Gejala dan Tanda Klinis

Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau

kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa

ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%).1,4 Selain itu, dapat pula

ditemukan penambahan berat badan dan edema (60%). Hipertensi tidak dijumpai

sekitar 20% kasus, hipertensi ringan 30%, dan hipertensi berat 50%.2,3

19

Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan

gastrointestinal, dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai hipoglikemi, koma,

hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal, dan diabetes insipidus yang nefrogenik.

Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasa dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang

onsetnya postpartum atau antepartum yang ditangani secara konservatif.

2.2.5 Penatalaksanaan

Protokol manajemen sindroma HELLP:

1. Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.

2. Adanya Sindroma HELLP bukan merupakan indikasi untuk segera melakukan

terminasi kehamilan. Stabilisasi ibu adalah prioritas utama

2.3 EKLAMPSIA

2.3.1 Definisi

Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut

dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa

didahului oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah preeklampsia

yang disertai dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma.Menurut saat

timbulnya, eklampsia dibagi atas:

1. eklampsia antepartum (eklampsia gravidarum), yaitu eklampsia yang terjadi

sebelum masa persalinan 4-50%

2. eklampsia intrapartum (eklampsia parturientum), yaitu eklampsia yang terjadi

pada saat persalinan 4-40%

3. eklampsia postpartum (eklampsia puerperium), yaitu eklampsia yang terjadi

setelah persalinan 4-10%

2.3.2 Frekuensi

Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain.

Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan

antenatal yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan

preeklampsia yang sempurna. Di negara-negara berkembang frekuensi eklampsia berkisar

antara 0,3% - 0,7%, sedangkan di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu

0,05% - 0,1 %.

20

2.3.3 Gejala dan Tanda Klinis

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan

terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual

yang hebat, nyeri epigastrium, dan hiperreflexia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan

tidak segera diobati, akan timbul kejang. 2,3,7

Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:

1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)

Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan gerakan-gerakan

kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak -mata dan tangan

bergetar. Setelah beberapa detik seluruh tubuh menegang dan kepala berputar ke

kanan dan ke kiri. Hal ini berlangsung selama sekitar 30 detik.

2. Stadium kejang tonik

Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki

membengkok ke dalam, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, dan

lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20 - 30 detik.

3. Stadium kejang klonik

Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi berulang-ulang dalam tempo

yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, lidah dapat tergigit,

mata melotot, muka kelihatan kongesti, dan sianotik. Kejang klonik ini dapat

demikian hebatnya hingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah

berlangsung selama 1 - 2 menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar,

menarik nafas seperti mendengkur.

4. Stadium koma

Koma berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan

penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan

baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.

2.3.4 Diagnosis

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda

dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan,

21

diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus

dibedakan dari:

1. Epilepsi Pada anamnesis pasien epilepsi akan didapatkan episode serangan sejak

sebelum hamil atau pada hamil muda tanpa tanda preeklampsia.

2. Kejang karena obat anestesi

Apabila obat anestesi lokal disuntikkanke dalam vena, kejang baru timbul.

3. Koma karena sebab lain, seperti diabetes melitus, perdarahan otak, meningitis,

ensefalitis, dan lain-lain.

2.3.5 Prognosis

Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria Eden

antara lain:

1. koma yang lama (prolonged coma)

2. nadi diatas 120

3. suhu 39,4°C atau lebih

4. tekanan darah di atas 200 mmHg

5. konvulsi lebih dari 10 kali

6. proteinuria 10 g atau lebih

7. tidak ada edema, edema menghilang Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di

atas, eklampsia masuk ke kelas ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas

berat dan prognosis akan lebih buruk.

Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh

kurang sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia

sering datang terlambat sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan

cepat. Biasanya preeklampsia dan eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi

menahun.

2.3.6 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan eklampsia sama dengan PEB. Tujuan utamanya

ialah menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan

secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan. 37-40 Pada

22

dasarnya pengobatan eklampsia terdiri pengobatan medikamentosa dan obstetrik.

Namun, pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena penyebab

eklampsia belum diketahui dengan pasti.

23

2.4 Kerangka Teori

PREECLAMSIA

MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION24

2.5 Kerangka Konsep

PEB < 37

MINGGU Penangan ekspektatif

Penganan aktif

25

luaran bayi (nilai APGAR, beratlahir, kematian, dan lama rawat)

luaran ibu (eklampsia, impendingeklampsia, edema paru, stroke,

gangguan fungsi ginjal, sindromaHELLP, solusio plasenta, lama rawat,

kematian, cara persalinan, danperdarahan pasca persalinan)

BAB III

3.1 EKTRAKSI VACUM

3.1.1 Definisi

Vakum adalah semacam alat penghisap (negative-pressure vacuum extractor) yang

digunakan untuk membantu mengeluarkan bayi.persalinan dengan menggunakan vakum

biasanya disebut ekstraksi vacum.vakum membantu memberi tenaga tambahan untuk

mengeluarkan bayi dan biasanya digunakan saat persalinan sudah berlangsung terlalu

lama,ibu sudah terlalu capek sehingga tidak kuat mengedan lagi.

3.1.2 Alat-alat Ekstraksi Vacum

1. Satu botol vakum dengan manometer

2. Beberapa mangkok ( terbuat dari besi ) dengan diameter 30, 40, 50 dan 60

3. Selang karet

4. Rantai besi

5. Pompa tangan

6. Alat penarik khusus

26

3.1.2 Etiologi

Ekstraksi vakum dilakukan karena kesukaran bersalin sehingga proses kelahiran

berlangsung lama. Proses persalinan yang lama disebabkan oleh berbagai keadaan

antara lain disebabkan:

Kontraksi Rahim yang kurang intensif (kekuatan dan frekuensi )

Pengembangan Rahim yang berlebihan (kandungan kembar dan bayi besar)

Posisi bayi tidak sesuai

Tulang pelvis sempit sehingga kepala bayi tidak dapat melewatinya

3.1.3 Indikasi

Kelelahan ibu

Partus tak maju

Gawat janin yang ringan

Toksenia Gravidarum

Ruptur uteri iminens

Untuk mempersingkat kala II pada ibu-ibu yang tidak boleh mengedan lama seperti

ibu-ibu yang menderita vitium kordis, anemia, tb paru dan asma bronkial

3.1.4 Kontraindikasi

Ibu : robekan pada serviks uteri, robekan pada dinding vagina, perineum

Janin: perdarahan dalam otak, kaput suksedaneum artifisialis, yang biasanya akan

hilang sendiri setelah 24-48 jam

3.1.5 Syarat Ekstraksi Vacum

Pembukaan servik lengkap

Kepala janin berada di Hodge III dan engaged

Tidak ada disporposi sevalopelvik atau fotopelvis

Ada his atau tenaga mengejan

Ketuban sudah pecah atau dipecahkan

27

3.1.6 Persiapan Tindakan

Persiapkan ibu dalam posisi litotomi

Kosongkan kandung kemih dan rectum

Bersihkan vulva dan perineum dengan antiseptic

Siapkan alat alat yang diperlukan

Pasang infus bila perlu

Lakukan pemeriksaan dalam dan pilih ukuran mangkos sesuai

3.1.7 Tekhnik Vakum

Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang pada

kepala bayi dengan titik tengah mangkok pada sutura sagitalis + 1 cm anterior dari

ubun ubun kecil dan menjauhi ubun-ubun besar.

Penempatan mangkok pada daerah ini dapat membantu mempertahankan fleksi

kepala.

Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomy tidak diperlukan pada saat

Pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum meregang, ketika

kepala akan lahir.

Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit

Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif - 0,2 kg/cm2 (Malmstrom),

dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan tekanan secara bertahap)

Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif - 0,6 kg/cm2 (Malm

strom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.

Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan

lepaskan jaringan yang terjepit tersebut

Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal,lakukan traksi searah dengan

sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.

Tarikan dilakukan pada puncak his dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada saat

penarikan (pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan luar

menarik pengait Ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada

kulit kepala bayi

28

Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.

Lakukan pemeriksaan di antara kontraksi:

Denyut jantung janin,

Aplikasi mangkok.

Saat suboksiput sudah berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga

lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera lepaskan mangkok vakum

dengan menghilangkan tekanan negatif.

Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan persalinan

normal.

Eksplorasi jalan lahir dengan menggunakan spekulum Sims atas dan bawah untuk

melihat apakah ada robekan pada dinding vagina atau perluasan luka episiotomi.

3.1.8 Resiko Pada Bayi

29

Sefalhematoma

Laserasi kulit kepala

Hematoma subdural

3.1.9 Kriteria Kegagalan

Dalam setengah jam traksi tidak berhasil

Mangkuk terlepas 3 kali

Penyebab kegagalan: tenaga vakum terlalu rendah,tekanan negative dibuat terlalu

cepat,selaput ketuban melekat,bagian jalan lahir terjepit,koordinasi tangan kurang

baik,traksi terlalu kuat,cacat alat dan disporposi sevalopelvik yang sebelumnya

tidak diketahui.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant F.G, et al, William Manual of Obstetrics, 21st Edition Boston,

McGraw Hill, 2003: P 339-347.

2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan Kelima, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, 1999: P 281-300

3. Mansjoer A, Triyantib K, Preeklampsia/Eklamsia, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3,

Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,2001,

270-273, 344-349.

4. Brooks MB, Pregnancy, Preeclampsia, Diunduh dari URL

http://www.emedicine.com/med/topic3238.htm

5. Mochtar Rustam, Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2, Jakarta, EGC, 2004: P 47-49.

6. Alarm International: A Program to Reduce Maternal Mortality and Morbidity, second

Edition, Canada, 2001: P 85-91.

7. Martaadisoebrata D, Wijayanegara H, et al, Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi

Edisi 2, Jakarta, EGC, 2004: P 68-76.

8. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan dan Neonatal Jakarta, 2002: P M37-M42.

9. Varney, Helen, Buku Saku Bidan. EGC. Jakarta: 2002,165-173

10. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam

Kehamilan Di Indonesia, Edisi 2, Semarang, 2005.

31