4. BAB I - BAB VI

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    1/182

    1Hukum Laut Indonesia

    BAB I

    PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK

    HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK

    A.

    Pengertian Pola Ilmiah Pokok

    Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan mene-

    rapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau da-

    lam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP).

    PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengem-

    bangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Pene-

    rapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di da-sarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di mi-

    likinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk mela-

    kukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan

    tinggi.

    Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin

    suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama

    dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama

    intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan

    nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang

    dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan

    Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975.

    PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan meru-

    pakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang

    sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga

    dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah

    bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi,

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    2/182

    2 Hukum Laut Indonesia

    atau perguruan tinggi, serta sekaligus dapat memberikan

    nuansa spesifik kepada pelbagai disiplin ilmu yang dikem-

    bangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas

    Hasanuddin, 1999:1).

    Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan

    tinggi, dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya

    fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan,

    kebudayaan, dan sejarah kehidupan masyarakat luas, dimana

    perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diha-

    rapkan memberikan warna dan nuansa spesifik, terhadapperguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga setiap luaran-

    nya diharapkan, memiliki kemampuan untuk memberikan

    warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu

    yang dikembangkannya.

    Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar, melalui

    pelbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai

    fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat,

    pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program

    studi, yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam

    dan melalui satu fakultas.

    B.Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP

    Universitas Hasanuddin

    Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai lembaga

    pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, telah memilih dan

    menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai

    suatu kompe-tensi yang harus dibangun, dipelihara, serta

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    3/182

    3Hukum Laut Indonesia

    dikembangkan, dengan harapan dapat memberikan nuansa

    spesifik bagi uni-versitas, dalam rangka melakukan kerjasama

    intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi

    lain, baik milik pemerintah ataupun swasta.

    Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP

    UNHAS didasarkan atas kesepakatan yang dica-pai melalui

    pelbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada

    Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng (salah

    satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan) pada tahun

    1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melaluiRapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam

    Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tang-

    gal 27 Desember 1975.

    Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah

    pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis

    yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI kala itu (Bapak

    Soeharto), ketika UNHAS merayakan Dies Natalisnya (hari

    jadi) yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka

    Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS:2). Beliau mengatakan

    antara lain, Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan

    yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan,

    karena letak geografis UNHAS berada di belahan Timur Nu-

    santara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta

    agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan

    diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh

    berhenti.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    4/182

    4 Hukum Laut Indonesia

    Kenyataan menunjukkan bahwa, lautan di wilayah

    Indonesia yang luas dan kaya itu, sebagian terbesar belum

    diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika

    Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi

    memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan

    dan teknologi di bidang ini.

    Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Prog-

    ram Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang

    ditempatkan pada Fakultas Peternakan UNHAS pada tahun

    1988, dimana pembentukan program studi tersebut dilakukanberdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan

    Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program

    Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan

    cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi

    Kelautan.

    Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,

    maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan, pada akhir-

    nya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang

    disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun

    1996, yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan

    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal

    29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan

    Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam

    pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong

    timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    5/182

    5Hukum Laut Indonesia

    academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA, dan Fa-

    kultas Teknik.

    Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah ter-

    jadi, dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu

    Kelautan dan Perikanan sudah teratasi, dan hal ini hanya

    dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang

    berkepentingan, guna menemukan solusi terbaik dari kemelut

    memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi

    terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan

    pendekatan win-win solution, dimana tidak ada pihak yangkalah dan tidak ada pihak yang menang, sebab semua

    menang, sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan

    sebagai PIP UNHAS ini benar-benar dapat berkembang dan

    memberi manfaat, serta kontribusi positif bagi pembangunan

    nasional pada umumnya, dan pembangunan masyarakat Su-

    lawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan

    meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi

    Selatan.

    C.Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi

    Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk

    pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang

    dapat diajukan adalah, apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang

    ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih

    relevan, dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat

    yang senantiasa berubah, serta masih sejalan dengan arah

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    6/182

    6 Hukum Laut Indonesia

    pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara

    umum.

    Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan menga-

    mati beberapa kecenderungan perkembangan, baik yang ber-

    sifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini,

    antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan

    Pengembangan PIP Unhas:3) :

    1.Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natu-

    ral resources), menghadapi kendala dengan semakin ber-

    kurangnya ketersediaan sumber daya alam, yang terda-pat di wilayah daratan, sehingga memaksa manusia un-

    tuk beralih, kepada kemungkinan pemanfaatan sumber

    daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini

    antara lain, dapat dilihat dengan semakin meningkatnya

    kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut,

    seperti kegiatan penangkapan ikan, penambangan

    minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan

    sebagainya.

    2.Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua

    Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawa-

    san negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian

    atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis

    yang dimiliki oleh negara-negara, tersebut didominasi

    oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa, karakteristik

    perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    7/182

    7Hukum Laut Indonesia

    diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, ter-

    masuk jasa lingkungan laut.

    3.Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan per-

    mukaan tanah, dalam menelaah siklus iklim ternyata

    sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh, tentang terja-

    dinya anomaly iklim, atau penyimpangan iklim yang se-

    dang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari

    bahwa adanya penyimpangan iklim itu, hanya dapat

    dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir

    dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnyaperan lautan sebagai regulator, proses alamiah yang

    terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan)

    yang secara langsung maupun tidak langsung mempe-

    ngaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain,

    kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting

    dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan

    kualitas kesejahteraan umat manusia.

    4.Dicetuskannya konsepsi Benua Maritim Indonesia

    (konsepsi BMI), dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26

    September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan

    bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan

    (opportunity, challenge, and hope) bagi masa depan per-

    satuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menun-

    jukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi

    strategis laut bagi masa depan Republik ini. Hal ini

    diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang seca-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    8/182

    8 Hukum Laut Indonesia

    ra geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia, yang

    memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, dibandingkan

    dengan wilayah daratannya, dan secara budaya terletak

    di lingkungan masyarakat bahari, dengan latar belakang

    sejarah dan budaya bahari yang kental.

    5.Faktor terakhir, yang juga tak kalah pentingnya adalah

    apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain

    mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang

    perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh

    dunia dalam menghadapi pelbagai tantangan yang demi-kian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang

    dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan, termasuk

    di dalamnya pelestarian lingkungan laut, serta pemba-

    ngunan yang berkelanjutan, yang dengan sendirinya

    menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalam-

    nya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus

    dikaji dan dikembangkan, dalam rangka mewujudkan

    kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan

    masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya.

    D.Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin (Tujuan

    dan Pendekatan)

    Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa

    pengelolaan sumber daya kelautan, hanya dapat dilakukan

    dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju,

    karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan

    hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    9/182

    9Hukum Laut Indonesia

    pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan

    asing yang dicangkokkan ke dalam sistem budaya masyara-

    kat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya

    masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok UNHAS dapat

    dirumuskan sebagai berikut, yakni UNHAS sebagai pusat

    pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian

    dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka

    Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:10-13).

    Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP UNHAS

    dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :1.Menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan ke-

    UNHAS-an dalam pelbagai disiplin ilmu dan strata

    pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan

    teknologi kelautan;

    2.Mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan de-

    ngan pengelolaan sumber daya kelautan;

    3.Mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya

    masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera, dan ber-

    orientasi kepada prestasi.

    Wawasan ke-UNHAS-an mengandung pengertian

    bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi

    kemandirian, dan senantiasa memiliki dan memelihara komit-

    men terhadap pengembangan budaya bahari.

    Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka

    tujuan pegembangan PIP UNHAS adalah sebagai berikut :

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    10/182

    10 Hukum Laut Indonesia

    1.Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengem-

    bangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang

    kelautan yang berskala dunia.

    2.

    Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik

    yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong ber-

    kembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi, yang

    bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tang-

    gap terhadap dinamika perubahan lokal maupun global.

    3.Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan,

    teknologi, dan seni yang berkaitan dengan pengelolaansumber daya kelautan, melalui penyelenggaraan prog-

    ram-program studi, penelitian, pengembangan kelem-

    bagaan serta pengembangan sumber daya manusia

    akademik.

    4.Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran,

    khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pemba-

    ngunan kelautan.

    5.Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian

    di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia.

    Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas,

    UNHAS melaksanakan pola pendekatan melalui institusio-

    nalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan.

    Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian

    bahwa seluruh unsur dari Universitas Hasanuddin bertang-

    gungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lemba-

    ga-lembaga yang sudah ada, dengan bantuan supervisi

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    11/182

    11Hukum Laut Indonesia

    manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pe-

    ngenalan prosedur, cara kerja dan pelbagai aspek kelemba-

    gaan, berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing

    lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functiona-

    lization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksa-

    nakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berha-

    sil guna semua sumber daya yang dimliki.

    Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan

    dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan mau-

    pun unsur-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa,sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal.

    Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam

    semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan

    mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait.

    Sedangkan kemitraan (partnership) dimaksudkan bahwa

    dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembang-

    kan kerjasama dengan pelbagai pihak di luar universitas,

    terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha

    dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelemba-

    gaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di

    luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    12/182

    12 Hukum Laut Indonesia

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    13/182

    13Hukum Laut Indonesia

    BAB II

    PRINSIP NEGARA NUSANTARA

    (ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE)

    A.

    Pelbagai Istilah dan Pengertiannya

    Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Ar-

    chipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipe-

    lagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepu-

    lauan (Archipelagic State), dan ada pula istilah Benua Maritim

    Indonesia (The Indonesian Maritime Continent), dan mungkin

    ke depan akan muncul lagi istilah-istilah lain terkait dengankonsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawa-

    san nusantara adalah suatu wawasan atau outlookatau cara

    pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan

    kesatuan bangsa dalam pelbagai bidang yang esensial bagi

    eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan

    negara Republik Indonesia.

    Adanya wawasan seperti ini, tentu saja tidak terlepas

    dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi

    pelbagai tantangan, baik yang berasal dari luar negeri atau

    dari negara kolonial, dengan politik divide et impera, dengan

    tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara, maupun

    yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri, khususnya

    kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri

    dari negara kesatuan. Di samping itu, tantangan tersebut bisa

    berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua

    faktor baik internal maupun eksternal.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    14/182

    14 Hukum Laut Indonesia

    Selanjutnya istilah Konsepsi Nusantara untuk

    pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,

    dimana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di

    dalam, dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada tanggal 13

    Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama

    Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri Republik Indo-

    nesia pada zaman Presiden RI pertama, Bapak Ir. Sukarno)

    menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusuma-

    atmadja, 1978:25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ka-

    rena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutamawilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu

    konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah

    Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian

    besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat

    dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh.

    Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua

    pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisah-

    kan, tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari

    wilayah daratannya (berupa pulau-pulau, baik pulau yang

    ukurannya besar maupun kecil) sehingga harus dipandang

    sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja,

    1978:28).

    Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Dekla-

    rasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka

    menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi ini sebenarnya

    juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertuju-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    15/182

    15Hukum Laut Indonesia

    an untuk menyatukan wilayah Indonesia, yang merupakan

    wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapai-

    nya kesatuan atas seluruh wilayah kepulauan melalui

    konsepsi yuridis, atau konsepsi pengaturan hukum mengenai

    terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau

    antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai

    dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek

    kehidupan bangsa dan negara.

    Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan nega-

    ra dalam berbagai aspek kehidupan, senantiasa harus terusdiperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk

    mewujudkan secara aktual kesatuan wilayah Indonesia yang

    terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara sema-

    kin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui

    ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 yang menetapkan

    wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari Garis-

    Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita

    untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek

    kehidupan bangsa dan negara (aspek ideologi, politik, ekono-

    mi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan) tertuang

    dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara, yang

    dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV

    Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan

    pembangunan bangsa dan negara.

    Dengan demikian, istilah wawasan nusantara sesung-

    guhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat poli-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    16/182

    16 Hukum Laut Indonesia

    tis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan

    negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar

    Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi

    yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi

    pengembangan wawasan nusantara.

    Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris

    disebut Archipelagic State ditegaskan di dalam ketentuan

    Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta Pasal 1 Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang

    Wilayah Perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakanbahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah

    negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih

    dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan

    sebagai negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruh-

    nya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup

    pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan

    Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepu-

    lauan Natuna dan pelbagai macam kepulauan lain yang dimi-

    liki oleh Indonesia.

    Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa,

    Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beribu-

    ribu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan, sebab semuanya

    ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia

    mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulau-

    pulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat

    besar. Istilah kepulauan (archipelago) diartikan sebagai suatu

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    17/182

    17Hukum Laut Indonesia

    gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagi-

    an pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara

    satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah

    lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian erat-

    nya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lain-

    nya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan

    ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis

    dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations

    Convention on the Law of the Sea,A/ Conf.62/ 122, 7 October

    1982).Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI)

    dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang di-

    selenggarakan di Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1998

    (Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok

    Universitas Hasanuddin:14). Di dalam konvensi atau perte-

    muan yang dihadiri oleh pelbagai kalangan dicapai kesepaka-

    tan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan

    Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI), dan pem-

    bangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia

    (PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk

    mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal

    sejak lama.

    Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman

    terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulau-

    pulau yang dikelilingi dengan laut, seolah-olah wilayah laut

    menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    18/182

    18 Hukum Laut Indonesia

    ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau

    baik besar maupun kecil. Dengan demikian, Konsepsi Benua

    Maritim Indonesia menitikberatkan negara Indonesia sebagai

    sebuah benua laut atau benua maritim yang di atasnya

    bertaburan dengan pulau-pulau, baik pulau yang berukuran

    besar maupun kecil, sehingga menggambarkan pulau-pulau

    yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wila-

    yah laut yang begitu luas.

    Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI

    sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia.Perhatian terhadap pembangunan kini dan di masa

    mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada

    adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama

    perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi

    BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang domi-

    nan karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas

    daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah

    perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka

    Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:14).

    Mengapa dikatakan berinterseksi? Sebabnya adalah

    karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat

    wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan

    di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar, terda-

    pat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam,

    seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe,

    dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba, serta terdapat

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    19/182

    19Hukum Laut Indonesia

    pula perairan sungai yang lebar dan panjang, seperti misalnya

    di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai

    Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai

    istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik

    Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan.

    B.Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia

    Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan

    yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan

    maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen

    Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlakusejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau

    baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang

    berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda

    mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.

    Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial

    Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut

    sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah

    pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah

    daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indo-

    nesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau

    atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut

    (Mochtar Kusumaatmadja:187)

    Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau

    mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya

    sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap

    pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terben-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    20/182

    20 Hukum Laut Indonesia

    tuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas

    atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian

    pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga

    membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi

    kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.

    Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan

    hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut

    (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui

    pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak

    Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus

    1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II),

    dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal

    13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerin-

    tah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini me-

    nyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang

    menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang

    termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa meman-

    dang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar

    daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan

    dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional

    yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Repub-

    lik Indonesia.

    Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi

    kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan

    dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    21/182

    21Hukum Laut Indonesia

    batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari

    garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada

    pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan

    dengan undang-undang.

    Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan

    Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan

    berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatma-

    dja, 1978:187) sebagai berikut :

    1.Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu

    negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulaumempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memer-

    lukan pengaturan tersendiri;

    2.Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Repub-

    lik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak

    di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang

    bulat;

    3.Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang

    diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercan-

    tum di dalam Territoriale Zee en Maritieme Kriengen

    Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi de-

    ngan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara

    Republik Indonesia;

    4.Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban

    untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya

    perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan

    negaranya.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    22/182

    22 Hukum Laut Indonesia

    Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya

    telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13

    Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undang-

    undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu

    yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari

    1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang

    No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusuma-

    atmadja, 1978:194) :

    1.

    Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuanekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang

    menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau

    terluar;

    2.Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di

    dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut

    dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya

    dengan segala kekayaan alam yang terkandung di

    dalamnya;

    3.Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur

    atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini;

    4.Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui

    perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama

    tidak merugikan kepentingan negara pantai dan meng-

    ganggu keamanan serta ketertibannya.

    Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya

    terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    23/182

    23Hukum Laut Indonesia

    laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah

    selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air

    rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil

    diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke

    ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus

    ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam

    hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasio-

    nal (International Court of Justice) dalam perkara sengketa

    perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case)

    tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, InternationalLaw through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan

    dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial,

    dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam

    Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982.

    Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke

    ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua

    akibat :

    1.Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan

    Indonesia;

    2.Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis

    pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut

    wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan

    pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan

    status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing

    yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah,

    maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    24/182

    24 Hukum Laut Indonesia

    tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air

    asing.

    Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-

    Undang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka

    para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau

    keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan

    ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan

    nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang-

    Undang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan

    lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayarmelalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

    1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan

    Indonesia.

    Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun

    1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang

    Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai

    kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang

    dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas

    damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat

    spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal

    nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan

    kapal niaga).

    Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di

    dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8

    Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    25/182

    25Hukum Laut Indonesia

    melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari

    laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan

    dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap

    damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, keter-

    tiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perda-

    maian Negara Republik Indonesia.

    Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk

    melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku

    kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran.

    Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan ataumondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia

    tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut

    peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai

    larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi

    bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk

    sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk

    menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing

    yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia

    disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indo-

    nesia.

    Kapal perang asing yang akan melintasi perairan

    Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahu-

    an atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Ang-

    katan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas

    permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan

    dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    26/182

    26 Hukum Laut Indonesia

    tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi

    negara yang merupakan negara bendera (Flag State).

    Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan

    tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah

    ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal

    perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta

    kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur

    tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran

    tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi

    lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alurpelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam

    praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban

    pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara.

    Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal

    nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang

    antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan

    menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan

    tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena

    banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian

    dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencu-

    rian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada

    umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya,

    kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian

    yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusan-

    tara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    27/182

    27Hukum Laut Indonesia

    Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut

    pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi

    Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut

    teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas,

    Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan

    hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas

    kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah

    Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik

    Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat

    pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja,1978:37-38) :

    1.Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan

    alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme

    hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di

    landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau

    milik dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan

    dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang

    bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia

    adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di

    luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengan-

    nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

    4/Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200

    meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedala-

    man tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia

    masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    28/182

    28 Hukum Laut Indonesia

    2.Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis

    batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui

    perundingan.

    3.

    Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas

    kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di

    tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan

    titik terluar wilayah negara tetangga.

    4.Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mem-

    pengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas

    landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikianpula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus seba-

    gai ruang udara internasional.

    Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut

    memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas

    kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata

    konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di

    dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas

    daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan

    jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan

    mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas

    kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini

    lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan

    mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di

    daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut

    Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena

    Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mem-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    29/182

    29Hukum Laut Indonesia

    punyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka

    pemerintah Republik Indonesia perlu menyelesaikan masalah

    garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga

    sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas

    bumi di landas kontinennya.

    Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas

    Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan

    terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas

    kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian

    garis batas landas kontinen antara Republik Indonesiadengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas

    kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian

    antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971

    mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian

    Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara Republik

    Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai

    garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara;

    perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia

    tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut

    Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun

    1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia

    tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah

    dasar laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau

    Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India

    mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974.

    Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Per-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    30/182

    30 Hukum Laut Indonesia

    tambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang

    dibentuk oleh Departemen tersebut.

    Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi

    landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam

    Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan

    ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang

    dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

    Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsip-

    prinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu

    pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (GenevaConvention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas

    kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights),

    penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan

    negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan

    yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun

    dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

    Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan

    alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya pengua-

    saan dan pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia,

    juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas peneli-

    tian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur

    dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

    Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan

    mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat

    dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melak-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    31/182

    31Hukum Laut Indonesia

    sanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat

    di landas kontinen Indonesia.

    Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat

    lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan

    pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang

    disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500

    meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat

    lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan

    daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter

    terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu dimana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membong-

    kar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal

    dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala

    peraturan perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan

    atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang

    dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi

    kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan

    Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah

    karantina dan daerah keimigrasian.

    Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumu-

    man Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi

    Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar

    Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk

    mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain

    diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai

    hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    32/182

    32 Hukum Laut Indonesia

    menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft

    Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat

    pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara

    umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak

    yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari berbagai

    kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang

    diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil,

    zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis

    pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi

    eksklusif.Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal

    20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara

    yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum

    Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE

    Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial

    Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut

    itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung

    dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan Undang-

    Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pe-

    ngertian ZEE Indonesia yang mengikuti kecenderungan

    perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu,

    tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional

    Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara.

    Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Re-

    publik Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak

    berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    33/182

    33Hukum Laut Indonesia

    atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hak-

    hak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk

    melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun

    pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non

    hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar

    laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak

    untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti

    membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak

    dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur

    laut 200 mil.Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat

    ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau

    kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pe-

    manfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi

    (installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona

    tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah ke-

    lautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi

    yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingku-

    ngan laut (protection and preservation of the marine environ-

    ment).

    Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagian-

    bagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih

    (overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga, maka

    Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan

    perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyang-

    kut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara. Sela-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    34/182

    34 Hukum Laut Indonesia

    ma belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut,

    maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengah-

    tengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan

    wilayah pantai dari negara tetangga yang bersangkutan.

    Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut

    juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di

    bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen

    Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewa-

    jiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut

    Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973,perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan

    negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum

    internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerin-

    tah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia

    yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap ber-

    status sebagai perairan internasional sehingga di perairan

    tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam

    bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar

    (freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan pener-

    bangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE

    Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan

    saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan

    prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.

    Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman

    Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana

    halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    35/182

    35Hukum Laut Indonesia

    (Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik

    Indonesia tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke

    dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinama-

    kan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

    1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga

    memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu

    pengumuman dan pernyataan semata-mata.

    Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan

    umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti

    sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati danlain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat,

    yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang

    dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah

    penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983).

    Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peratu-

    ran pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang

    pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.

    Sumber daya alam hayati yang istilah populernya ada-

    lah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai

    dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek

    negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat

    internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut inter-

    nasional yang melandasi Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam haya-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    36/182

    36 Hukum Laut Indonesia

    ti yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik

    Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih

    harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum inter-

    nasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah

    tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch),

    besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan

    Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk

    pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk

    memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing,

    untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjangjumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya

    dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia.

    Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khu-

    susnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam

    hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu

    sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung

    melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung

    sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat

    fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya

    perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini

    berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang

    tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang

    melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber

    daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara

    Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    37/182

    37Hukum Laut Indonesia

    Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Repub-

    lik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perika-

    nan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara

    lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan

    atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang

    artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelola-

    an dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya

    ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lain-

    nya.Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya

    yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan

    secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan

    sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan

    atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai

    istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi

    istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang

    ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah

    perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia

    (laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman),

    sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di

    dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona

    ekonomi eksklusif Indonesia.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

    1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    38/182

    38 Hukum Laut Indonesia

    dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan

    bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia,

    dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan penge-

    lolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan

    melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi

    kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

    Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan,

    Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat

    tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi

    oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan

    pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta

    ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan

    waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran

    dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya

    ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pem-

    budidayaan ikan dan perlindungannya.

    Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan

    melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Repub-

    lik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Repub-

    lik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan penge-

    cualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara

    Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan inter-

    nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang

    melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha

    perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    39/182

    39Hukum Laut Indonesia

    perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata

    pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

    tidak dikenakan kewajiban tersebut.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

    1985 telah dicabut berlakunya sejak diundangkannya

    Undang-Undang Perikanan berdasarkan Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang azas-azasnya

    pada waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok

    Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tamba-han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Di

    dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

    2004, dikemukakan pelbagai macam istilah yang terkait

    dengan masalah perikanan, seperti istilah perikanan yang

    diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan

    pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingku-

    ngannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

    sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu

    sistem bisnis perikanan.

    Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.

    Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat

    kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor

    alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang

    seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam

    lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan

    untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    40/182

    40 Hukum Laut Indonesia

    dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegi-

    atan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

    menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau

    mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upa-

    ya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan

    informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan ke-

    putusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta

    penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di

    bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau oto-

    ritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsunganproduktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang

    telah disepakati.

    Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di

    dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

    2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemu-

    kakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan

    atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keter-

    paduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelan-

    jutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah: a) meningkatkan

    taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.; b)

    meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong

    perluasan dan kesempatan kerja; d) meningkatkan keter-

    sediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimal-

    kan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan produk-

    tivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan

    ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h)

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    41/182

    41Hukum Laut Indonesia

    mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudi-

    dayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara opti-

    mal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembu-

    didayaan ikan dan tata ruang.

    Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya

    Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa undang-

    undang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara

    Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indo-

    nesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan

    perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-nesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan

    kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan

    perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

    nesia; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang

    melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan

    perikanan Republik Indonesia; d) setiap kapal perikanan

    berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan,

    baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk

    kerjasama dengan pihak asing.

    Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau

    pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan

    Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia, ZEE

    Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air

    lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan

    ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelo-

    laan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Repub-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    42/182

    42 Hukum Laut Indonesia

    lik Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan

    berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan

    dan atau standar internasional yang diterima secara umum.

    Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terda-

    pat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

    Tahun 2004.

    Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik In-

    donesia mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum

    Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehinggasejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan

    melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973

    hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum

    positif Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensi yang isinya bersifat

    komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya

    lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah

    menjadi hukum positif kita.

    Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif

    pada waktu itu atau belum come into force, namun bagi

    Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual

    sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17

    Tahun 1985. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat

    (2) KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara

    yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini

    setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, konvensi

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    43/182

    43Hukum Laut Indonesia

    mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendeposit-

    an piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada

    ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama (Pasal 308, ayat 1)

    menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan

    setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi

    yang ke-60.

    Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara

    internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah

    ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan,

    namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlakusecara individual. KHL baru berlaku secara internasional atau

    secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu

    tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993,

    Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL

    1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen

    PBB.

    Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menin-

    daklanjuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17

    Tahun 1985 mengenai pengesahan Indonesia terhadap KHL

    1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

    Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya Undang-

    Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya

    undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar penga-

    turan wilayah perairan Indonesia, sebagaimana tercantum di

    dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    44/182

    44 Hukum Laut Indonesia

    disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan

    mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara Kepulau-

    an (Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV

    KHL 1982. Demikian di dalam undang-undang ini terdapat

    pengertian Indonesia sebagai Negara Kepulauan, berbagai ma-

    cam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus kepulauan

    yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara

    silih berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis

    pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada

    teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya.Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia

    yang baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

    Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai

    macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit

    dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi

    (terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga).

    Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindak-

    lanjuti ketentuan pasal dari Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal

    lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan

    mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

    Nomor 61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan

    pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah

    tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-

    Titik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut

    Natuna (lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    45/182

    45Hukum Laut Indonesia

    tambal sulam, sebab hanya mengatur masalah penarikan

    garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan Natuna,

    namun dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dila-

    tarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang maksimal

    setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai

    100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase

    tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak

    semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak di sekitar

    laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan

    digunakan sebagai titik pangkal.Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan ke-

    sempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan

    khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada

    kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik pang-

    kal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang

    mensyaratkan Republik Indonesia untuk membuat peta garis

    pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya harus

    membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal

    lurus kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis

    pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di

    dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

    1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan Peraturan

    Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

    Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat

    Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72 ).

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    46/182

    46 Hukum Laut Indonesia

    Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

    Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Repub-

    lik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan Indo-

    nesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat

    dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal

    biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang

    tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup

    pada sungai atau muara sungai, garis penutup pada pela-

    buhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang

    semuanya itu berada pada suatu pulau terluar.C.Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

    Perkembangan hukum laut Republik Indonesia selan-

    jutnya adalah ketika Pemerintah Republik Indonesia pada

    tahun 2005 lalu mengundangkan Peraturan Presiden Repub-

    lik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005, yaitu Peraturan Presiden

    tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan

    pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang

    dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengem-

    bangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari

    wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (lihat Perpres

    Nomor 78 Thun 2005, 29 Desember 2005) Sedangkan penger-

    tian pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang

    atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titik-

    titik dasar geografis yang menghubungkan garis pangkal

    lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan

    nasional.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    47/182

    47Hukum Laut Indonesia

    Dengan demikian tujuan dari pengundangan Peratu-

    ran Presiden ini antara lain terkait dengan keutuhan NKRI,

    keamanan nasional, pertahanan negara, optimalisasi sumber

    daya alam serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh

    karena itu pengelolaan pulau-pulau terluar ini harus dilaku-

    kan dengan berlandaskan pada azas-azas wawasan nusan-

    tara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masya-

    rakat.

    Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan seca-

    ra terpadu antara Pemerintah (dalam hal ini PemerintahPusat) dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan tersebut menca-

    kup bidang-bidang seperti sumber daya alam dan lingkungan

    hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah,

    pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, di

    mana semuanya ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan. Pemerintah Republik Indo-

    nesia juga mengundangkan Undang-Undang Otonomi Daerah

    berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

    Tahun 1999 yang kemudian telah diganti dengan peraturan

    perundangan baru, yakni Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal

    18 dari Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 menyata-

    kan :

    1.Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewe-

    nangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    48/182

    48 Hukum Laut Indonesia

    2.Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber

    daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai

    dengan peraturan perundang-undangan.

    3.

    Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di

    wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meli-

    puti :

    a.eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

    kekayaan laut;

    b.pengaturan administratif;

    c.

    pengaturan tata ruang;d.penegakan hukum (law enforcement) terhadap

    peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang

    dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah (Pe-

    merintah Pusat) kepada Daerah;

    e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan;

    f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara;

    4.Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah

    laut sebagaimana diatur pada ayat (3) paling jauh 12 mil

    laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan

    atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan

    sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk

    kabupaten/kota.

    5.Apabila wilayah laut antara dua propinsi kurang dari 24

    mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di

    wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai

    prinsip garis tengah dari wilayah antar dua propinsi ter-

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    49/182

    49Hukum Laut Indonesia

    sebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh sepertiga

    dari wilayah kewenangan propinsi yang dimaksud.

    6.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat

    (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nela-

    yan kecil (penangkapan ikan tradisional).

    7.Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut

    dalam peraturan perundang-undangan.

    Dengan mencermati ketentuan Pasal 18 dari Undang-

    Undang Otonomi Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dapatdisimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Propinsi

    dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas

    wilayah laut, dalam hal ini hak untuk mengelola untuk

    mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang

    terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya.

    Hal ini juga berlaku bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya

    dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam setiap Propinsi juga

    memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat

    dalam masing-masing wilayah kewenangannya.

    Secara khusus untuk pengelolaan sumber daya alam

    yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed

    and subsoil) dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya,

    maka daerah yang bersangkutan Pusat, namun pengaturan

    bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundang-

    undangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber

    daya alam meliputi berbagai kewenangan seperti kewenangan

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    50/182

    50 Hukum Laut Indonesia

    untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dan membuat

    peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewe-

    nangan mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang

    penegakan hukum atas peraturan yang dikeluarkan oleh dae-

    rah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada

    Daerah.

    Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan

    daerah propinsi, khususnya hak pengelolaannya itu ditetap-

    kan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari garis pangkal di

    sepanjang pantai dari wilayah propinsi yang bersangkutan.Karena di dalam setiap propinsi terdapat beberapa kabupaten

    dan atau kotamadya, maka setiap daerah kabupaten ataupun

    kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4

    dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap

    propinsi itu terhitung dari batas 4 mil hingga 12 mil laut.

    Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua propinsi

    bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah

    laut yang berada di antara dua propinsi mempunyai lebar

    kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini berpotensi untuk

    menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara

    dua daerah propinsi yang bersangkutan.

    Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyang-

    kut garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya,

    maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

    2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line)

    atau garis sama jarak (equidistance line) sebagai acuan atau

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    51/182

    51Hukum Laut Indonesia

    pedoman bagi kedua propinsi untuk menyelesaikannya mela-

    lui perundingan guna mencapai kesepakatan.

    Ketika sudah terjadi kesepakatan antardua propinsi,

    maka masing-masing kabupaten atau kotamadya mendapat-

    kan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan

    masing-masing propinsi. Walaupun batas-batas kewenangan

    dari setiap propinsi maupun kabupaten dan atau kotamadya

    telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku dan tidak boleh

    dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga

    suatu propinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yangberasal dari propinsi lain.

    Demikian pula suatu kabupaten atau kotamadya

    tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari kabupa-

    ten lain yang ada di dalam propinsi yang sama, demikian

    pula sebaliknya Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang

    Pemerintahan Daerah (Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun

    2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan terhadap

    wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam

    Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

    Indonesia. Wilayah perairan yang ditetapkan oleh masing-

    masing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim oleh

    masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu pro-

    pinsi tetap berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara

    Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan.

    Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber

    daya kelautan, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    52/182

    52 Hukum Laut Indonesia

    memberi kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah

    untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

    pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangan-

    nya, namun disertai dengan kewajiban untuk memelihara

    kelestarian lingkungan, kewajiban untuk berpartisipasi dalam

    memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk berpar-

    tisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara.

    Pemberian kewenangan kepada Daerah untuk menge-

    lola sumber daya kelautan serta kewenangan-kewenangan

    lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagai-mana diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 32

    Tahun 2004 tidak akan menghapuskan komitmen Pemerintah

    RI dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan

    apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi internasional,

    seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai

    Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan

    Tubrukan Kapal, ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai

    standardisasi keamanan kapal dan pelabuhan (ISPS Code)

    dan konvensi-konvensi internasional lainnya yang telah

    mengikat RI.

    D.Dewan Kelautan Indonesia

    Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagai-

    mana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun

    2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan :

    a.Bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan

    Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, di

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    53/182

    53Hukum Laut Indonesia

    perlukan langkah-langkah penanganan yang menye-

    luruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan

    pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pe-

    ngelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi,

    efektif, dan efisien;

    b.Bahwa kebijakan publik di bidang kelautan meru-

    pakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang peme-

    rintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam

    perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal;

    c.

    Bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebi-jakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indo-

    nesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia

    Nomor 161 Tahun 1999;

    d.Bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan De-

    wan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang ter-

    batas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas

    dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut;

    e. Bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana di

    maksud pada huruf a sampai dengan huruf d, me-

    mandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim

    Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan

    Keputusan Presiden.

    Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum

    konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang

    kelautan. Dewan ini memiliki tugas untuk memberikan

    pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya sebagai

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    54/182

    54 Hukum Laut Indonesia

    Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan

    kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan.

    Dalam menjalankan tugas sebagaimana ditentukan di

    atas, maka Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan

    fungsi-fungsi sebagai berikut a) mengkaji dan memberikan

    pertimbangan maupun rekomendasi kebijakan dalam bidang

    kelautan kepada Presiden sebagai Ketua Dewan Kelautan

    Indonesia; b) mengadakan konsultasi dengan lembaga peme-

    rintah dan lembaga non pemerintah maupun dengan wakil-

    wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebi-jakan serta penyelesaian masalah dalam bidang kelautan; c)

    memantau dan mengevaluasi kebijakan, strategi dan pemba-

    ngunan kelautan; d) melakukan hal-hal lain atas permintaan

    Presiden

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    55/182

    55Hukum Laut Indonesia

    BAB III

    JALUR LAUT DAN GARIS PANGKAL

    A.Jalur-Jalur Laut dari Negara Kesatuan Republik

    Indonesia Sebagai Negara Kepulauan.

    Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 hak dan kewa-

    jiban negara (negara pantai pada umumnya) dalam meman-

    faatkan laut dan sumber dayanya ditentukan berdasarkan

    status hukum dari berbagai bagian laut atau jalur laut. Jalur-

    jalur laut itu dapat dikelompokkan sebagai berikut. Ada jalur

    laut yang berada di bawah kedaulatan penuh dari negara(dalam pengertian negara pantai), seperti Perairan Pedalaman

    (Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters),

    Laut Teritorial (Territorial Sea), termasuk di dalamnya Selat

    yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used

    for International Navigation).

    Ada pula jalur laut yang berada di bawah yurisdiksi

    khusus dari negara pantai, seperti Jalur Tambahan (Conti-

    guous Zone). Ada pula jalur laut yang berada di bawah hak-

    hak berdaulat (souvereign rights) dari negara pantai, seperti

    Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) serta

    Landas Kontinen (Continental Shelf). Ada juga jalur laut atau

    bagian laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,

    termasuk oleh negara pantai yang laut wilayahnya, atau ZEE

    maupun Landas Kontinennya berdekatan dan berbatasan

    dengan bagian laut lepas. Ada pula bagian laut yang dinyata-

    kan sebagai milik bersama umat manusia (Common Heritage

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    56/182

    56 Hukum Laut Indonesia

    of Mankind), yakni bagian dasar laut yang dinamakan Area

    atau Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed

    Area) yang terletak di luar batas-batas terluar dari landas

    kontinen suatu negara pantai (Barbara Kwiatkowska,

    1989:xx-xxvi; dan R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:19; juga

    Rene-Jean Dupuy, 1974:3-6).

    Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya

    mempunyai pengertian yang luas sebab negara pantai dapat

    dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal

    state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negarakepulauan (archipelagic state), dan dapat pula diartikan

    sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung

    (geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut

    negara pantai normal (normal coastal state) bilamana negara

    itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh

    atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu

    negara disebut sebagai negara yang secara geografis kurang

    beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan geog-

    rafisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga

    negara tersebut tidak dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai

    batas maksimal yang diperkenankan atau ditentukan.

    Suatu negara dinamakan Negara Kepulauan (Archi-

    pelagic State), apabila wilayahnya terdiri dari satu kepulauan

    atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara

    Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan atau dikualifi-

    kasi sebagai Negara Kepulauan karena wilayah Indonesia

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    57/182

    57Hukum Laut Indonesia

    terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup

    pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan

    Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Nusa Tenggara,

    kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulau-

    an Natuna dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang

    dimiliki negeri tercinta.

    Selain daripada pelbagai macam kepulauan yang

    dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau Suma-

    tera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang

    dimiliki negeri ini. Selanjutnya pengertian kepulauan (archi-pelago) adalah gugusan atau kumpulan pulau-pulau, ter-

    masuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau

    tersebut, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semua-

    nya ini membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan po-

    litik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demiki-

    an.

    Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka

    Indonesia dapat mengklaim dan menetapkan berbagai jalur

    laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan kepu-

    lauan, perairan pedalaman, laut teritorial, jalur tambahan,

    zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Perairan

    kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang berada

    pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic

    baselines) atau garis pangkal lurus kepulauan (straight archi-

    pelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan

    yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya

  • 7/26/2019 4. BAB I - BAB VI

    58/182

    58 Hukum Laut Indonesia

    terdapat perairan kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sen-

    diri tanpa dukungan garis-garis pangkal lainnya sehingga

    bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu

    dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal bia-

    sa, garis pangkal lurus dan garis penutup pada teluk, muara

    sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau ter-

    luar serta lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta

    garis penutup pada perairan pelabuhan yang terletak pada

    pulau terluar Indonesia.

    Pengertian perairan kepulauan seperti itu dapat di-simpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang

    mengenai Perairan Indonesia yang berpedoman pada Undang-

    Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 atau KHL

    1982. Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996,

    dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002

    ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal

    kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan,

    dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis

    pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk,

    garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala