3.Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat) Dalam Hukum Islam

Embed Size (px)

Citation preview

  • OLEH: SYARIF HIDAYATULLAH, S.S.I, MA

  • A. Pengertian IkhtilafSecara bahasa/etimologi ikhtilaf adalah: berbeda atau bertentangan.Secara istilah/terminologi ikhtilaf adalah: perbedaan/berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang tentang suatu obyek/permasalahan tertentu, baik berlainan dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara diametral.Sedangkan ikhtilaf yang dibahas disini adalah: perbedaan pendapat diantara para ulama ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furuiyyah (cabang), bukan pada masalah yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), yang disebabkan adanya perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu masalah dan lain-lain. Perbedaan antara orang awam Muslim yang mengikuti ulama/imam-imam mujtahid (muqallid) dengan para ahlul kitab yang mengikuti para pendetanya adalah: pendapat para ulama/imam-imam mujtahid diistinbathkan (diambil/digali/disimpulkan) dari Al-Quran atau As-Sunnah, Firman Allah:... Maka bertanyalah pada orang yang berilmu/yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Al-Quran Surah An-Nahl ayat 43). sedangkan pendapat para pendeta mereka banyak diambil berdasarkan dirinya sendiri atau hawa nafsunya, sehingga bisa bertentangan dengan perintah Tuhan, Firman Allah: ... Mereka menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (Al-Quran Surah At-Taubah ayat 31).

  • B. Sebab-sebab terjadinya ikhtilafSetiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pokoknya adalah sama, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Tetapi kadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal dengan hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam, yaitu:Pemahaman Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAWSebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW.Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyyah atau fiqhiyyahSebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW

  • 1.Pemahaman Al-Quran dan SunnahDiantara kata-kata dalam Al-Quran dan As-Sunnah ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak / ). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkannya khusus. Adapun perbedaan tinjauan dari segi lughawi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.Contoh musytarak: kata / memaafkan mengandung dua arti musytarak, yaitu (menggugurkan) dan (menghibahkan). Konsekuensinya adalah para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali atau suami.

  • Nash (Teks )Al-Quran dalam hal tersebut adalah:

    Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang mempunyai ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan, janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakkan (Al-Baqarah: 237).

    Kata (orang yang mempunyai ikatan nikah) dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Jika kata / memaafkan diartikan (menggugurkan), maka lebih sesuai kalau yang dimaksud dengan (orang yang mempunyai ikatan nikah) Itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang menggugurkan kewajiban/membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan.Tetapi kalau kata / memaafkan diartikan dengan (menghibahkan), maka maka lebih sesuai kalau yang dimaksud dengan (orang yang mempunyai ikatan nikah) itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi ia malah membayar mahar penuh. Maka jika suami itu membayar mahar penuh seperti itu, berarti ia menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya. Pendapat pertama dipelopori oleh Ibrahim, Alqamah Hasan, Malik dan Imam al-Syafii dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib, Syuraihah, Said bin al-Musaiyyab, Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafii dalam qaul jadidnya.

  • Contoh lainnya yaitu: kata al-nafyu / , dalam bentuk kata (dibuang) pada ayat Al-Quran. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metafora) dan hakiki (makna sebenarnya). Sebab itu para ulama mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah SWT:

    Sesungguhnya pembalasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka timbal balik atau dikeluarkan dari ( pemukiman) bumi/dibuang dari {negeri (tempat kediamannya)}, yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah: 33)

    Jumhur (mayoritas) Fuqaha berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah hakiki, yaitu dikeluarkan dari pemukiman di bumi atau diasingkan.Sedangkan ulama Hanafiyah (ulama yang bermazhab Hanafi) berpendapat lain, meneurut mereka kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan kalimat itu adalah penjara. Sebab, kalau ditafsirkan secara hakiki {dikeluarkan dari (pemukiman) bumi}, itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman mati sudah ada ketentuannya secara jelas.

  • 2.Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah SAWPerbedaan dalam penerimaan hadits, sampai atau tidaknya suatu hadits kepada sebagian sahabatPerbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya)Perbedaan mengenai kedudukan Syakhshiyyah (diri/pribadi) Rasul

  • a)Perbedaan dalam penerimaan haditsKesempatan para sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadits tidak sama. Ada yang rajin menghadiri majelis Rasul dan ada pula yang jarang hadir. Padahal biasanya dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu.Contohnya: Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Mendengar fatwa itu, Aisyah RA (isteri Rasulullah SAW) merasa heran dan berkata: Sungguh aneh Ibnu Umar memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi junub untuk membuka sanggulnya. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja? Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu:

    Artinya: Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari 3 siraman.

  • Contoh lain adalah riwayat Az-Zuhri, bahwa Hindun belum mengetahui hukum shalat dalam keadaan mustahadhah (keluar darah sesudah batas maksimal haidh), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat. Padahal ada hadits mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah, yaitu: : : : ( ) Artinya: Dari Aisyah RA ia berkata, bahwa Fatimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, Wahai Rasulullah aku adalah seorang wanita musthahadhah, bolehkan aku meninggalkan shalat? Rasulullah SAW menjawab: Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haidh, maka bila datang waktu haidhmu, tinggalkanlah sholat, dan bila selesai waktu haidh, cucilah darah itu, kemudian sholatlah engkau. (Muttafaq alaih / HR Bukhari dan Muslim).

  • b)Perbedaan dalam menilai periwayatan haditsAdakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih sedangkan menurut ulama lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad(jalur periwayatan), maupun matan(isi)nya.

    Contoh dari segi sanad(jalur periwayatan), adalah seperti hadits yang dijadikan dasar oleh Imam al-Syafii tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi makmum dalam shalat.

  • Haditsnya sebagai berikut: : : . : : ( ) Artinya: Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selesai sholat, Rasulullah berkata, Aku memperhatikan kalian membaca di belakang imam. Kami menjawab, Ya Rasul, demi Allah memang kami membaca. Rasulullah berkata, Janganlah kalian membaca, kecuali Ummu Al-Quran (Fatihah), karena sesungguhnya tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya. (HR Abu Dawud).Menurut Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitabnya al-Mughni, menyatakan bahwa Hadits Ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali Ibnu Ishaq dan Nafi bin Mahmud bin al-Rabi. Sedangkan Ibnu Ishaq adalah Mudallis (orang yang menyembunyikan aib dalam suatu hadits dan menampakkan kebaikan pada zhahirnya), dan Nafi lebih rendah lagi (lebih buruk lagi) keadaannya dari Ibnu Ishaq.

  • Contoh dari segi matan (isi) hadits shahih adalah seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: : Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Siapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka itu untuk ahli warisnya, dan siapapun yang meninggalkan harta kekayaannya tanpa ahli waris (kalalah) atau sebaliknya (meninggalkan ahli waris tanpa harta kekayaan), maka itu adalah tanggunganku.

    Imam Abu Hanifah tidak mengakui adanya kata haqqan/ (hak) dalam muatan hadits tersebut, sehingga ia tidak memasukkan sebagai tirkah/harta waris: hak cipta, khiyar, syufah (harta bersama yang tidak bisa dibagi) dan sebagainya. Sedangkan jumhur fuqaha (Imam al-Syafii, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) menetapkan adanya kata haqqan/ (hak) dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukkan dalam tirkah/harta waris: hak cipta, khiyar, syufah (harta bersama yang tidak bisa dibagi), dsb.

  • c)Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAWSebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (QS Al-Kahfi ayat 110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadits berikut ini: : Artinya: Siapa yang menggarap tanah mati, maka dia menjadi pemiliknya (HR al-Tirmidzi, Abu Daud dan Nasai)Mengenai hadits ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasulullah sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap penggarap tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadikan tanah itu miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara dimana orang itu hidup.Sebaliknya jumhur fuqaha yang lain memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.

  • 3.Perbedaan mengenai Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid FiqhiyyahSebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul) di antaranya adalah mengenai istitsna (pengecualian) yakni: apakah istitsna (pengecualian) yang terdapat sesudah beberapa kalimat yang diathaf kan (terdapat kata dan, atau, dll diantara keduanya) satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada kalimat terakhirnya saja?Jumhur fuqaha (mayoritas ulama ahli fiqh) berpendapat, bahwa istitsna itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istitsna itu hanya kembali kepada jumlah terakhir saja.Perbedaan ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan firman Allah SWT:

    Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik2 (berbuat zina), dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera & janganlah kami terima kesaksian mereka selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS Al-Nur ayat 4).

  • Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina, tanpa membuktikan dengan 4 orang saksi adalah sbb:Dera/Cambuk 80 kali.Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapunOrang itu dinyatakan fasiq.

    Kemudian terdapat istitsna(pengecualian) bagi orang-orang yang bertaubat, yaitu pada ayat berikutnya:

    Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Nur ayat 25).

    Bagi yang berpendapat bahwa istitsna (pengecualian) itu kembali pada kalimat terkahir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi dinyatakan fasik, tetapi tetap harus dikenakan dera/cambuk serta tidak bisa dijadikan saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan bahwa istitsna (pengecualian) kembali kepada semuanya, orang yang sudah bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera karena hukuman dera ini menyangkut hak adami (manusia) yang tidak bisa digugurkan dengan taubat.

  • Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan qawaid fiqhiyyah )kaidah-kaidah fiqh( contohnya antara lain sbb:Salah satu kaidah fiqh yang digunakan dalam Madzhab Syafii adalah: Hukum asal/yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, hingga/sampai terdapat dalil yang mengharamkannyaDasar dari kaidah ini adalah firman Allah: ... Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu... (QS. Al-Baqarah: 49)

    Serta sabda Nabi SAW: : : ( ) Artinya: Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah (maka itu) adalah dimaafkan, maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya Allah tidak akan lupa pada sesuatu. (HR. Al-Bazzar dan al-Thabarany)

  • Sedangkan kaidah fiqh yang berlaku dalam Madzhab Hanafi adalah: Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.

    Pendapat ini berkebalikan dengan pendapat Madzhab Syafii dan dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.

  • 4.Perbedaan Penggunaan Dalil di Luar Al-Quran dan As-Sunnah Ulama kadang berbeda pendapat mengenai fikih, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Quran dan Sunnah, seperti: Amal Ahli Madinah (perbuatan/kesepakatan penduduk Madinah ) dijadikan dasar hukum fiqh oleh Imam Malik, namun tidak dijadikan dasar oleh para imam lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, sad al-dzariah, istishhab, urf dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama lain tidak menjadikannya dasar dalam mengistinbathkan (mengambil/menggali/menyimpulkan) hukum Islam, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaan saja.

  • C. Kesimpulan dari uraian sebab-sebab ikhtilafPerbedaan ulama mengenai sumber hukum yang utama (Al-Quran) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang zhanny (tidak pasti dalalahnya (apa yang ditunjukkannya).Perbedaan mengenai sumber hukum yang kedua, sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadits), di samping segi dalalahnya (apa yang ditunjukkannya)., serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah Rasul sesudah dikaitkan dengan Syakhsiyyah Rasul (Sebagai Rasul atau insaniyyahnya).Perbedaan pendapat dalam Hukum Islam, bukanlah mengenai dasar (pokok), baik di kalangan Ahlu Sunnah, maupun Syiah dan Mutazilah, melainkan perbedaan pandangan dan penilaian terhadap nushush (teks-teks Al-Quran dan Sunnah) yang memungkinkan dan memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karena itu, penganut madzhab tertentu sering berbeda pendapat dengan imam madzhabnya sendiri, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim terhadap Imam Ahmad bin Hanbal, serta Abi Yusuf dan Muhammad Al-Hasan al-Syaibani terhadap Imam Abi Hanifah.Perbedaan yang disebabkan penggunaan dalil di luar Al-Quran dan Sunnah seperti ijma, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dll.

  • **