38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Universal precaution adalah suatu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan dengan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan yang lain (Nursalam & Ninuk, 2007). Dasar universal precaution ini meliputi cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan, serta pengelolaan limbah (DepKes RI, 2003). Tenaga kesehatan berisiko tinggi terinfeksi penyakit yang dapat mengancam keselamatannya saat bekerja. WHO mencatat kasus infeksi nosokomial di dunia berupa penularan Hepatitis B sebanyak 66.000 kasus, Hepatitis C 16.000 kasus, dan 1000 kasus penularan HIV (WHO, 2004). Selain itu, telah diperkirakan terjadi penularan Hepatitis B (39%), Hepatitis C (40%), dan HIV (5%) pada tenaga kesehatan di seluruh dunia 1

3- Thesis Bagian Isi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bagian Isi

Citation preview

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle, Linn) DALAM MEMPERCEPAT PENGANGKATAN JARINGAN NEKROTIK LUKA INFEKSI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus Strain Wistar) DIBANDINGKAN DENGAN HIDROGEN PEROKSIDA 3%

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahUniversal precaution adalah suatu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan dengan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan yang lain (Nursalam & Ninuk, 2007). Dasar universal precaution ini meliputi cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan, serta pengelolaan limbah (DepKes RI, 2003).Tenaga kesehatan berisiko tinggi terinfeksi penyakit yang dapat mengancam keselamatannya saat bekerja. WHO mencatat kasus infeksi nosokomial di dunia berupa penularan Hepatitis B sebanyak 66.000 kasus, Hepatitis C 16.000 kasus, dan 1000 kasus penularan HIV (WHO, 2004). Selain itu, telah diperkirakan terjadi penularan Hepatitis B (39%), Hepatitis C (40%), dan HIV (5%) pada tenaga kesehatan di seluruh dunia (Maja, 2009). Asia Tenggara memiliki tingkat infeksi penyakit di rumah sakit yang cukup tinggi. Angka kejadian infeksi nosokomial di negara Eropa dan Timur Tengah sebesar 8,7% sedangkan Asia Tenggara lebih tinggi sekitar 10% (WHO, 2002). Prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan angka 9,1% dengan variasi 6,1-16% (Depkes RI, 2003).Kejadian infeksi nosokomial yang tinggi merupakan indikator pentingnya suatu usaha pengendalian infeksi dengan menerapkan standart kewaspadaan infeksi (standar precaution). Standart precaution pada dasarnya merupakan transformasi dari universal precaution, suatu bentuk precaution pertama yang bertujuan untuk mencegah infeksi nosokomial (Kathryn, 2004). WHO (2004) telah menetapkan tentang pentingnya penerapan standard precaution pada tenaga kesehatan dalam setiap tindakan untuk mencegah peningkatan infeksi nosokomial. Infeksi silang yang terjadi di suatu pusat pelayanan kesehatan merupakan salah satu resiko kerja terbesar yang dihadapi oleh tenaga kesehatan yang ada di setiap pusat pelayanan kesehatan. Seperti yang diperkirakan WHO pada tahun 2002, telah terjadi lebih dari 16.000 kasus penularan hepatitis C virus, 66.000 kasus penularan hepatitis B dan 1000 kasus penularan HIV pada tenaga kesehatan diseluruh dunia (Yusran, 2008).Perawat dan mahasiswa praktik keperawatan merupakan bagian dari pemberi layanan kesehatan di rumah sakit memiliki peran yang besar dalam upaya pengendalian infeksi. Penggunaan APD wajib dilaksanakan oleh perawat maupun mahasiswa praktik keperawatan. Keamanan dan keselamatan seluruh penyedia layanan kesehatan termasuk mahasiswa praktik merupakan bagian penting dalam menjaga keselamatan (Maja, 2009).Penerapan standard precaution bagi mahasiswa praktik bertujuan untuk melatih dan membiasakan diri selalu mengutamakan keselamatan dan upaya pengendalian infeksi di rumah sakit. Penerapan APD dalam standard precaution belum sepenuhnya dijalankan dengan baik oleh perawat. Haryanti (2009) mengidentifikasi 40% perawat di RSUD Salatiga yang bersikap bertanggungjawab dengan baik terhadap penggunaan APD. Selain itu, Yulia (2009) mengidentifikasi 49% perawat di RSU Pusat Haji Adam Malik Medan tidak mengetahui penggunaan APD dengan benar. Soni (2011) mengidentifkasi 70% perawat di Rumah Sakit Setjonegoro Wonosobo melakukan tindakan tidak sesuai dengan universal precaution. Maja (2009) mengidentifikasi 17,8% mahasiswa tidak menggunakan APD karena kekurangan APD dan 11,1% mahasiswa tidak menggunakannya dalam menjalankan praktik keperawatan.Penerapan APD dalam tindakan keperawatan dipengaruhi berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah perilaku dalam menggunakan APD. Perilaku merupakan semua kegiatan manusia yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor besar yang mempengaruhinya yaitu faktor pengetahuan dan sikap. Perawat maupun mahasiswa sebagai bagian dari pemberi asuhan keperawatan diharapkan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik ketika menggunakan APD dalam memberikan asuhan keperawatan. Penggunaan APD sebagai pencegahan infeksi di rumah sakit merupakan tindakan yang perlu untuk dilakukan. Tenaga kesehatan termasuk didalamnya mahasiswa praktik memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan dalam menjalankan tindakan keperawatan (Depkes, 2003).Berdasarkan fenomena tersebut penggunaan universal precaution oleh mahasiswa praktik sangat minim. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan eksplorasi dan menggali lebih dalam pengalaman mahasiswa dalam menerapkan universal precaution di IGD.

1.2 Pertanyaan PenelitianBerdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik pertanyaan penelitian sebagai berikut:1) Bagaimana pengalaman mahasiswa praktik dalam penerapan universal precaution di IGD?2) Apa latar belakang penggunaan universal precaution bagi mahasiswa praktik di IGD?

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan UmumMenguraikan pengalaman pengalaman mahasiswa dalam menerapkan universal precaution di IGD.1.3.2 Tujuan Khusus1) Mengeksplorasi pengalaman mahasiswa dalam menerapkan universal precaution di IGD2) Menguraikan latar belakang penggunaan universal precaution bagi mahasiswa praktik di IGD

1.4 ManfaatPenelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak dalam pengembangan pelayanan keperawatan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, meliputi:1.4.1 Bidang PendidikanMenjadi sumber data dasar untuk mengembangkan konsep maupun teori keperawatan di rumah sakit yang memerlukan kemampuan tenaga keperawatan untuk menerapkan universal precaution dalam melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial.1.4.2 Profesi KeperawatanMenjadi bahan masukan dan pertimbangan bidang keperawatan dalam membuat panduan atau pedoman teknis bagi perawat yang bertugas di IGD untuk memperhatikan penggunaan universal precaution.1.4.3 MasyarakatMembantu memberikan informasi tentang pencegahan infeksi nosokomial penggunaan universal precaution.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 PerilakuPerilaku merupakan suatu respon individu akibat adanya pengaruh sebelumnya. Perilaku individu dapat terbentuk akibat adanya penyebab yang melatar belakanginya. Perilaku dalam KBBI (2007) didefinisikan sebagai suatu reaksi individu terhadap rangsangan. Teori perilaku dalam keperawatan jiwa menjelaskan bahwa inti dari perilaku adalah hubungan antara stimulus dan respon yang akan dihasilkan (Katherine, 2006).Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcment atau punishment kepada individu sehingga stimulus tersebut akan diinternalisasi dan menghasilkan perilaku yang diharapkan (Allender, 2001).Perilaku individu tentang penggunaan Alat pelindung Diri (APD) pada dasarnya adalah hasil dari interaksi sekelompok stimulus. Terdapat beberapa kelompok stimulus yang dikelompokkan dalam beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan APD. Bloom dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor predisposisi yang berupa pengetahuan dan sikap tentang APD. Sedangkan faktor pendukung mengacu pada daya dukung lingkungan secara fisik meliputi ketersediaan alat APD untuk menunjang perilaku penggunaan APD. Faktor yang terakhir, faktor pendorong yaitu daya dukung sumber daya manusia disekitar individu yang selalu melakukan pengawasan pengggunaan APD saat praktik.

2.2 PengetahuanPengetahuan merupakan hasil dari pengamatan dan pengalaman individu terhadap suatu hal baru yang dapat berguna bagi individu tersebut. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai proses tahu dari suatu hal baru yang dapat bermanfaat bagi dirinya. Talbot dalam Potter & Perry (2005) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu informasi.Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam pengetahuan. Bloom dalam Notoatmodjo (2003) membagi pengetahuan menjadi beberapa tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tahu sebagai individu sebatas memperoleh informasi yang nantinya diingat kembali (Notoatmodjo, 2003). Tingkat memahami sebagai tingkatan individu mampu menginterpretasikan informasi yang didapat (Potter & Perry, 2005).Tingkat aplikasi pengetahuan yaitu individu mampu menerapkan pengetahuan pada kondisi yang nyata. Tingkat analisis pengetahuan yaitu individu mampu mengintegrasikan satu ide dengan ide yang lain untuk menghasilkan suatu solusi (Notoatmodjo, 2003). Tingkat sintesis pengetahuan ditandai dengan individu mampu menghubungkan bagian-bagian dari pengetahuan menjadi suatu pemahaman yang baru (Potter & Perry, 2005). Terakhir tingkat evaluasi, individu mampu melakukan penilaian dari pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh (Brunner & Suddarth, 2002).Tingkat pengetahuan individu terhadap suatu materi pengetahuan dapat dilakukan pengukuran pengetahuan. Pengukuran pengetahuan individu dapat dilakukan dengan menggunakan angket yang berisi pertanyaan telah disesuaikan dengan kebutuhan. Hasil pengukuran tersebut dapat dikatkan excellet jika memiliki nilai >85% dan sangat memuaskan jika dibawah nilai tersebut (UI, 2007).

2.3 SikapSikap individu merupakan bagian dari reaksi individu terhadap rangsangan yang tidak dapat diamati secara langsung oleh individu. Sikap sebagai bagian dari perilaku individu berupa reaksi tertutup terhadap stimulus yang ada (Notoatmodjo, 2003). Sehingga sikap lebih sering disebut sebagai respon tertutup individu. Dalam teori psikologi, sikap merupakan suatu keadaan (respon tertutup individu) yang memungkinkan untuk timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Dayakisni & Hudaniah, 2003).Stimulasi RangsanganProses StimulusSikap(Tertutup)Reaksi Tingkah Laku (Terbuka)

Gambar 1. Bagan proses terbentuknya sikap dan reaksi (Notoatmodjo, 2003). Setiap individu memiliki sikap yang berbeda-beda satu sama lain. Individu memiliki sikap yang positif ketika individu merasa senang dan mampu menempatkan dirinya pada tingkatan sikap yang ada (Sarlito, 2009). Individu akan memiliki sikap yang negatif ketika individu tersebut tidak merasa senang dan menerima stimulus yang ada. Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap pada individu terdiri dari empat tingkatan yaitu menerima, merespon, menghargai, dan bertanggungjawab.

2.4 Precaution (Kewaspadaan)Precaution sebagai prosedur yang diciptakan dan dikembangkan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan dan pencegahan infeksi. Penciptaan precation bermula dari tingginya kejadian infeksi penyakit HIV, hepatitis B, dan infeksi yang ditransmisikan melalui darah di negara Amerika (Kathryn, 2004).Kejadian ini memicu diciptakannya universal precaution.Universal precaution memberikan kontrol terhadap tata cara kewaspadaan terhadap infeksi yang ditransmisikan melalui darah. Prosedur mencuci tangan, menggunakan sarung tangan, dan penggunaan peralatan telah dianjurkan pada prosedur ini (Kathryn, 2004; Hegner, 2010).Seiring dengan kejadian infeksi yang terjadi, pada tahun 1990 dikembangkan Body Substance Isolation (BSI). BSI merupakan prosedur isolasi terhadap klien dan lebih fokus pada pencegahan transmisi infeksi melalui darah dan semua jenis cairan tubuh (sekresi maupun ekskresi). BSI juga mengenalkan prosedur penggunaan alat pelindung diri, akan tetapi tidak mewajibkan mencuci tangan ketika melepas sarung tangan. Hal ini bertentangan dengan proseduruniversal precaution yang menganjurkan cuci tangan setelah menggunakan alat. Dari kedua jenis precaution tersebut akhirnya dikembangkan standardprecaution sebagai transformasi dari keduanya (Kathryn, 2004; Hegner, 2010; Depkes RI, 2003).Standard precaution merupakan penggabungan dari universal precaution dan body substance isolation. Standard precaution sebagai upaya kewaspadaan transmisi infeksi yang dapat terjadi tidak hanya melalui darah tetapi juga segala cairan tubuh (ekskresi dan sekresi) dan melindungi membran mukosa (Kathryn,2004). Standard precaution merupakan prosedur dasar yang diterapkan pada seluruh klien dengan mengesampingkan jenis diagnosa medis (Rosdahl & Marry, 2008). Standard precaution memiliki tujuan yang sama dengan kedua precaution sebelumnya yaitu memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan maupun klien dan mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Penerapan standardprecaution terdiri dari beberapa tindakan salah satunya yaitu penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sebagai upaya perlindungan utama bagi tenaga kesehatan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini (Depkes RI, 2003; Kathryn, 2004; Hegner, 2010).

2.5 Alat Pelindung Diri (APD)Alat pelindung diri merupakan peralatan yang digunakan tenaga kesehatan untuk melindungi diri dan mencegah infeksi nosokomial. Tujuan penggunaan APD untuk melindungi kulit dan selaput lendir tenaga kesehatan dari pajanan semua cairan tubuh dari kontak langsung dengan pasien (Depkes, 2003). APD perawat ketika praktik terdiri dari sarung tangan, alat pelindung wajah, penutup kepala, gaun pelindung atau apron, dan alas kaki atau sepatu. (Depkes RI,2003; Potter & Perry, 2005; Rosdahl & Marry, 2008; WHO,2004).2.5.1 Sarung tanganPemakaian sarung tangan merupakan bagian terpenting dari standar precaution bagi perawat yang sering berinteraksi dengan pasien maupun alat-alat yang terkontaminasi. Sarung tangan dapat membantu perawat untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi (Depkes RI, 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sarung tangan meliputi (Depkes RI, 2003; Rosdahl & Marry, 2008; WHO, 2004):a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan, b. Mengganti sarung tangan jika berganti pasien atau sobek,c. Mengganti sarung tangan segera setelah melakukan tindakan,d. Menggunakan sarung tangan saat menggunakan alat nonkontaminasi,e. Menggunakan satu sarung tangan untuk satu prosedur tindakan,f. Menghindari kontak dengan benda-benda selain dalam tindakan,g. Menghindari penggunaan atau mendaur ulang kembali sarung tangang sekali pakai.Perawat maupun tenaga kesehatan lainnya perlu memperhatikan jenis dari sarung tangan yang digunakan. Sarung tangan secara umum terdiri dari dua jenis yaitu sarung tangan bersih dan steril. Perawat perlu menggunakan sarung tangan bersih jika akan kontak dengan kulit, luka, atau benda yang terkontaminasi. Sarung tangan steril dapat digunakan dalam tindakan bedah dan kontak dengan alat-alat steril (Potter & Perry, 2005).2.5.2 Alat pelindung wajahAlat pelindung wajah merupakan peralatan wajib perawat untuk menjaga keamanan dirinya dalam menjalankan asuhan keperawatan. Alat pelindung wajah dapat melindungi selaput lendir dibagian mulut, hidung, dan mata perawat terhadap resiko percikan darah maupun cairan tubuh pasien (Hegner, 2010). Alat pelindung wajah terdiri dari dua alat yaitu masker dan kaca mata pelindung (Depkes RI, 2003). Kedua jenis alat pelindung diri tersebut dapat digunakan terpisah maupun bersamaan sesuai dengan jenis tindakan.Masker bagian dari alat pelindung wajah khususnya untuk melindungi membran mukosa pada mulut dan hidung perawat ketika berinteraksi dengan pasien. Masker dianjurkan untuk selalu digunakan perawat ketika melakukan tindakan dengan semua pasien khususnya pasien TB (Depkes RI, 2003). Hal ini diharapkan mampu melindungi perawat terhadap transmisi infeksi melalui udara.Secara umum masker dibagi menjadi dua jenis yaitu masker standart dan masker khusus yang dibuat untuk menyaring patikel-partikel atau mikroorganisme kecil (Rosdahl & Marry, 2008).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan masker (Rosdahl & Marry, 2008; WHO, 2004):a. Memasang masker sebelum memasang sarung tangan, b. Tidak dianjurkan menyentuh masker ketika menggunakannya,c. Mengganti masker ketika kotor dan lembab, d. Melepaskan masker dilakukan setelah melepaskan sarung tangan dan cuci tangan, e. Tidak membiarkan masker menggantung di leher, f. Segera melepaskan masker jika tidak digunakan, g. Tidak dianjurkan menggunakan kembali masker sekali pakai.Kaca mata sebagai bagian dari APD yang bertujuan melindungi mata. Kaca mata digunakan untuk mencegah masuknya cairan darah maupun cairan tubuh lainnya pada mata (Potter & Perry, 2005). Penggunaan kaca mata digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang memiliki resiko tinggi terpapar dengan darah atau cairan tubuh lainnya.

2.6 Kerangka KonsepRangsangan StimulusPengetahuan tentang APD:

(Depkes RI, 2003; Hegner, 2010; Rosdahl & Marry, 2008; WHO, 2004)Proses StimulusSikap tentang APD: Positif (mendukung) Negatif (tidak mendukung)

(Notoatmodjo, 2003;Sarlito, 2009)Perilaku mahasiswa dalam menggunakan APD: Baik Kurang Baik

(Allender, 2001; Katherine, 2006; Notoatmodjo, 2003)

Gambar 2. Kerangka konsep

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan desain riset kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai salah satu pendekatan penelitian yang dimulai dengan asumsi, lensa penafsiran/teoritis, dan studi tentang permasalahan riset yang meneliti bagaimana individu atau kelompok memaknai permasalahan social atau kelompok (Cresswell, 2013).Penggunaan studi fenomenologi disesuaikan dengan hasil studi pendahuluan yang menemukan tentang masalah kurangnya penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD. Dalam hal ini peneliti harus menjawab masalah tersebut dengan menguraikan atau mengeksplorasi pengalaman mahasiswa praktik dalam penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD melalui wawancara mendalam, sehingga metode fenomenologi dirasa tepat digunakan dalam penelitian ini.Pendekatan fenomenologi merupakan sebuah metode yang mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomenologi. Para fenomenologi memfokuskan untuk mendeskripsikan apa yang sama atau umum dari semua partisipan ketika mereka mengalami fenomena, yang bertujuan untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal (Manen, 1990; Cresswell, 2013).Metode fenomenologi dipilih karena ingin menguraikan atau memaparkan dan mengeksplorasi tentang pengalaman mahasiswa praktik dalam penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD.Menurut Spezialle dan Carpenter, (2003 dalam Ngadiran, 2010), terdapat enam langkah utama pada studi fenomenologi yaitu descriptive phenomenology, phenomenology of essences, phenomenology of apperances, constitutive phenomenology, reductive phenomenology, dan hermeneutic phenomenology.Penelitian ini dilakukan oleh peneliti hanya menggunakan langkah awal dalam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dengan mengeksplorasi langsung, menganalisis dan mendeskripsikan fenomena penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD. Proses penelitian fenomenologi deskriptif terdiri dari tiga tahap, yaitu intuiting, analiyzing dan transcribing.Tahap intuiting adalah tahap dimana peneliti mulai masuk secara total atau menyatu dengan fenomena yang akan diteliti. Agar data-data yang diberikan partisipan bersifat alami dan bebas dari asumsi peneliti. Agar data-data yang diberikan partisipan bersifat alami dan bebas dari asumsi peneliti. Pada tahap analiyzing, peneliti mengidentifikasi esensi/intisari fenomena penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD dengan mengeksplorasi hubungan dan keterkaitan elemen-elemen (kata kunci, kategori, sub tema, dan tema) yang terkait dengan fenomena. Tahap transcribing, merupakan tahap terakhir dari fenomenologi deskriptif. Pada tahap ini peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena, yaitu mendeskripsikan penerapan universal precaution oleh mahasiswa praktik di IGD dalam bentuk makalah atau laporan penelitian.

3.2 Landasan TeoriParadigma yang digunakan dalam penelitian kualitatif dibagi menjadi menjadi tiga kelompok (Almanshur dan Ghony, 2012), yaitu:1) Orientasi PospositivisDalam perspektif pospositivis, penelitian kualitatif bersifat eksploratif, eksplanatif, dan teoritis. Yang dimaksud dengan eksploratif adalah peneliti berusaha memahami fenomena secara lebih menyeluruh tanpa mengabaikan kemungkinan terhadap hal-hal yang bersifat focus dan secara khusus. Dalam eksplanatif, peneliti kualitatif dituntut untuk memahami ciri dan hubungan yang sistematis dan fenomena yang berdasarkan pada fakta sebenarnya dikenyataan. Peneliti kualitatif diharapkan untuk mampu menghasilkan formasi teori berdasarkan secara substantive dan memahami makna fenomena yang dihubungkan dengan keperluan praktis merupakan penjabaran dari konsep teoritis (Almanshur dan Ghony, 2012).2) Orientasi KonstruktivisRealita dalam perspektif konstruktivis dianggap suatu hal yang bersifat relatif dan dinamis. Artinya bahwa realitas harus disikapi dengan pemiiran terbuka dan tidak menutup kemungkinan dalam memahaminya ada keterkaitan atau pertalian dari masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sehingga, pemahaman pada setiap orang tidak bersifat tertutup, tetapi harus melihat atas kesadaran realitas luar, bersifat terbuka, dan akumulatif (Almanshur dan Ghony, 2012).3) Orientasi PostmodernisBerbeda dengan konsep postpositivis dan konstruktivis, perspektif postmodernis ini memiliki pemahaman pada kondusi dekonstruksif. Pemahaman ini tidak hanya bergantung pada subjek, namun pada realitas yang ada. Realitas juga disebutkan memiliki pertalian yang beragam dalam makna, konsep dan karakteristik (lmanshur dan Ghony, 2012).Tradisi penelitian kualitatif dibedakan berdasarkan tujuan studi yang akan dilakukan. Secara teoretikal, penelitian kualitatif dibagi menjadi disiplin antropologi, filosofi dan psikologi, sosiologi, sosiolinguistik, dan sejarah. Setiap disiplin tersebut memilii domain atau perhatian yang dilakukan di setiap penelitiannya (Beck and Polit, 2012).Studi fenomenologi merupakan bagian dari dua disiplin yaitu psikologi dan filosofi. Domain yang difokuskan pada penelitian ini adalah human experience. Studi ini merupakan studi yang dikembangkan oleh Huserl dan Heidegger, yang keduanya mengembangkan bagaimana menjelaskan pengalaman hidup manusia sehari-harinya.

3.3 Populasi dan Partisipan PenelitianPopulasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa praktik di IGD RSUD dr. R. Koesma Tuban. Sampel penelitian ini adalah partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dan diseleksi melalui proses recruitment. Recruitment dilakukan melalui metode purposive sampling, dimana peneliti sengaja memilih partisipan karena dianggap mempunyai karakteristik tertentu yang dapat memperkaya data penelitian (Macne, 2004).Partisipan pada penelitian ini adalah mahasiswa praktik di IGD RSUD dr. R. Koesma Tuban. Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah, mampu berkomuniasi dalam bahasa Indonesia, bersedia menjadi partisipan dengan memberikan persetujuan dan menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan.Pada penelitian ini partisipan yang digunakan adalah 8 partisipan. Rencana pemilihan jumlah partisipan sesuai dengan rekomendasi dari Riemen (1986 dalam Cresswell, 2013) bahwa jumlah partisipan yang ideal dalam kualitatif dengan metoda fenomenologi adalah 3-10 partisipan.

3.4 Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan pada mahasiswa praktik di IGD RSUD dr. R. Koesma Tuban. Waktu yang digunakan dalam penelitian adalah selama 4 minggu dimulai dari awal minggu pertama bulan Juni sampai akhir minggu keempat bulan Juni 2016.

3.5 Etika PenelitianDalam pertimbangan etik penelitian untuk melindungi hak partisipan, terutama jika penelitian dilakukan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, lanjut usia, pasien gangguan jiwa maupun keluarganya. Peneliti harus sensitive dan hati-hati saat bekerja pada kelompok ini. Prinsip etik yang menjadi acuan peneliti dalam hal ini adalah3.5.1. BeneficenceMenghargai martabat manusia, dan prinsip keadilan menurut Polit dan Hungler (1997) dalam Ngadiran (2010), adalah untuk memenuhi prinsip beneficience peneliti harus memastikan bahwa penelitian ini bebas bahaya (fisik maupun emosional) dan eksploitasi serta menjamin bahwa manfaat dari penelitian lebih besar dari risiko yang mungkin ditimbulkan.3.5.2. Self DeterminationYaitu menghargai martabat manusia dengan memberikan hak untuk menentukan pilihan dan hak mendapatkan penjelasan seara lengkap. Selain menentukan keterlibatannya, partisipan juga berhak menentukan waktu dan tempat dimana wawancara akan dilakukan.

3.5.3. Informed ConsentYaitu hak untuk menentukan pilihan, mendapatkan penjelasan lengkap merupakan dua elemen utama yang menjadi dasar dilakukan sebelum penelitian. Sebelum peneliti melakukan wawancara peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta konsekuensinya, semua partisipan tidak keberatan dan langsung menandatangani persetujuan menjadi partisipan (Hamid, 2008 dalam Ngadiran, 2010).3.5.4. Prinsip KeadilanYaitu meliputi hak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak mendapatkan keleluasaan pribadi (privacy). Keadilan terbagi menjadi keadilan komparatif dan keadilan non-komparatif. Keadilan komparatif adalah memberikan sesuatu sesuai kebutuhan subjek sementara keadilan non-komparatif memberikan sesuatu secara adil tanpa melihat kebutuhan (Potter dan Pery, 2005).3.5.5. Hak AnonymityMerupakan hak yang diberikan kepada partisipan untuk tidak mencantumkan nama dan inisial partisipan pada data, namun hanya menuliskan kode. Jaminan akan hak anonymity dan confidential membuat partisipan lebih terbuka dan nyaman dalam menguraikan beban yang dirasakan dan sumber dukungan dalam merawat anggota keluarga klien dengan perilaku kekerasan (PK).

3.6 Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen penelitian yaitu peneliti sendiri sebagai instrumentnya, dengan menggunakan alat bantu camera digital/perekam suara, pedoman wawancara dan field note (catatan lapangan). Sebagai alat, kemampuan peneliti melakukan wawancara sangatlah penting karena kemampuan wawancara yang baik akan menghasilkan data yang kaya (Irawan, 2006).Saat menggali data, peneliti mengabaikan segala asumsi pribadi terkait fenomena yang diteliti, mengesampingkan pengetahuan dan pemahaman pribadinya, serta berusaha sepenuhnya untuk memposisikan diri sebagai partisipan dan memandang segala sesuatu dari perspektif partisipan. Konsep ini disebut dengan epoche atau bracketing (Creswell, 2008). Untuk mengevaluasi kemampuan peneliti, meningkatkan kesiapan serta pemahaman mengenai metode penelitian, peneliti perlu melakukan uji wawancara sebelum melakukan wawancara kepada partisipan. Dalam hal ini, uji wawancara akan dilakukan dengan pendampingan dari dosen pembimbing.Pedoman wawancara berisi pertanyaan terbuka yang dikembangkan oleh peneliti tentang pengalaman keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Bahasa yang dibuat dalam panduan wawancara akan disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti dengan terlebih dahulu dilakukan uji wawancara untuk mengetahui apakah bahasa yang digunakan dapat dimengerti oleh partisipan. Untuk merekam percakapan verbal maka digunakan alat perekam suara dengan digital audio recorder. Alat perekam yang digunakan memperhatikan kejernihan, kekuatan dan daya tahan baterai dan kemampuan untuk diolah dalam komputer menggunakan sound organizer. Field note/Catatan berisi mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan, kalimat-kalimat kunci, serta istilah-istilah yang digunakan partisipan selama wawancara. Penggunaan buku catatan ini membantu peneliti untuk melengkapi data pada saat melakukan analisis (Patton, 2006). Buku catatan juga akan digunakan oleh peneliti untuk mencatat respon partisipan ataupun ekspresi non verbal yang terjadi selama wawancara yang akan bermakna bagi peneliti dalam proses analisis data.

3.7 Prosedur Pengumpulan Data Pada penelitian ini peneliti menggunakan tehnik wawancara(indepth interview) mendalam dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan semi terstruktur dalam proses pengumpulan data. Selain wawancara mendalam peneliti juga menggunakan catatan lapangan untuk mengidentifikasi. Sebelum wawancara dilakukan peneliti menemui partisipan dengan didampingi oleh perawat ruangan yang akan membantu mengenalkan dengan pasien dan keluarganya. Pertemuan pertama bertujuan untuk membina hubungan saling percaya (bagi partisipan yang belum mengenal peneliti), melakukan informed consent, penandatanganan lembar persetujuan berpartisipasi dalam penelitian, pengisian data demografi, dan menyepakati waktu wawancara akan dilaksanakan. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap teminasi. 3.7.1 Tahap persiapan Pada tahap ini, peneliti mengurus izin penelitian yang di awali dengan minta surat permohonan penelitiaan dari fakultas di tujukan direktur RSUD dr. R. Koesma Tuban, tembusan kepada Kepala bidang perawatan. Selanjutnya peneliti meminta izin dengan kepala instalasi dan kepala ruangan IGD untuk mengidentifikasi partisipan yang sesuai dengan kreteria yang sudah di tetapkan. Setelah teridentifikasi partisipan sesuai kriteria, peneliti membuat kontrak untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, dan partisipan mengisi lembar persetujuan menjadi partisipan dalam penelitan ini sambil melengkapi data demografi partisipan. Peneliti membuat kontrak waktu, tempat dan lamanya penelitian sesuai kesepakatan dengan partisipan. 3.7.2 Tahap pelaksanaan Pada tahap ini peneliti melakukan wawancara sesuai kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dengan mengingatkan kembali kontrak yang sudah dibuat bersama partisipan. Selanjutnya peneliti menghidupkan alat perekam sambil mengajukan pertanyaan yang tentang pengalaman mahasiswa praktik dalam menerapkan universal precaution di IGD. Selama wawancara peneliti juga melakukan catatan lapangan untuk menuliskan respon non verbal dari partisipan. Setelah selesai wawancara peneliti membuat kesimpulan tentang hasil wawancara sambil mengklarifikasi peryataan dari partisipan. Selanjutnya peneliti memberikan ucapakan terimakasih kemudian membuat terminasi sementara dengan membuat kontrak untuk pertemuan selanjutnya.3.7.3 Tahap terminasi Pada tahap ini peneliti melakukan validasi tema akhir atau gambaran fenomena yang dialami oleh partisipan sebelum menggabungkan data yang muncul selama validasi di lakukan oleh peneliti, kemudian peneliti menanyakan apakah hasil transkrip tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan partisipan selama proses wawancara.

3.8 Keabsahan Data Terdapat empat (4) langkah dalam melakukan validasi data pada penelitian kualitatif menurut Streubert & Carpenter, (1999), dan Maleong (2004) yaitu: credibility, dependability, comfirmability dan transferability. Berikut ini diuraikan kriteria validasi tersebut yaitu.1) Credibility (kepercayaan) dilakukan peneliti dengan cara mengembalikan transkrip wawancara atau data yang diperoleh kepada partisipan untuk mengecek kebenaran dari data yang diberikan mengenai pengalaman dalam merawat klien dengan perilaku kekerasan. Pada akhir wawancara peneliti mengulangi kembali garis besar hasil wawancara baik secara lisan maupun laporan tertulis kepada partisipan (member check),2) Dependability (kebergantungan) adalah kestabilan data pada setiap waktu dan kondisi. Pada criteria ini kebergantungan peneliti harus berkomunikasi dengan peneliti lain untuk berdiskusi atau eksternal review peneliti akan mengkonsultasikan hasil temuan dengan pembimbing sebagai narasumber (Polit & Beck, 2004). Eksternal reviewer dalam penelitian ini adalah dosen pembeimbing tesis yang memeriksa cara dan hasil analis yang dilakukan olch peneliti, memberikan penekan dan arahan dalam menggunakan data hasil penelitian yang telah di peroleh untuk di gunakan selama proses analisa data. 3) Transferability (keteralihan) mengandung makna sejauh mana hasil penelitian yang dilaksanakan pada populasi tertentu dapat diterapkan pada populasi yang lain (Polit & Beck, 2004). Menurut Maleong (2000) untuk melakukan pengalihan tersebut, peneliti hendaknya mengumpulkan kejadian ilmiah (empiris) tentang kesamaan konteks. Menyerahkan hasil temuan terhadap segala kemungkinan, agar tetap memiliki makna terhadap orang lain dalam situasi yang sama (Streubert& Carpenter, 1999). Pada penelitian ini proses transferability dengan cara menggambarkan tema-tema hasil penelitian kepada partisipan lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini dan memiliki karateristik yang sama. Kemudian mengidentifikasi apakah partisipan tersebut menyetujui tema- tema yang dihasilkan oleh peneliti. 4) Confirmability mengadung pengertian bahwa sesuatu itu obyektif jika mendapakan persetujuan dari pihak pihak lain terhadap pandangan, dan penemuan seseorang (Streubert & Carpenter, 1999). Confirmability dalam penelitian ini dilakukan dengan inguiry audit melalui penerapan audit data. Peneliti menyimpulkan hasil wawancara dan catatan lapangan, dan meminta dosen pembimbing tesis membandingkan sebagai ektemal reviewer dengan melakukan analisis mbanding untuk menjamin hasil Penelitian Selain itu confirmbility juga dilakukan dengan memina konfirmasi kepadi partisipan terkait transkrip wawancara atau kisi-kisi hasil analisis tema yang di susun.

3.9 Pengolahan dan Analisa DataMetode analisis data yang lazim digunakan pada studi fenomenologi yaitu metode Collaizi, Giorgi, dan Van Kam (Polit dan Beck 2004). Peneliti memilih metode Collaizi karena metode ini memberikan langkah-langkah yang sederhana, jelas, dan rinci. Proses transkripsi ini dilakukan dengan cara: 1) Memutar kembali kaset hasil rekaman dan menuliskannya kata demi kata ke dalam file komputer2) Transkrip ini diuji keakuratannya dengan mendengarkan kembali rekaman wawancara sambil membaca transkrip.3) Hasil catatan lapangan berupa respon non verbal partisipan, diintegrasikan dalam transkrip sesuai saat kejadian respon tersebut selama proses wawancara. 4) Setelah membaca berulang-ulang, peneliti menentukan pemyataan - pernyataan yang signifikan terkait dengan fenomena yang diteliti sesuai dengan tujuan penelitian.5) Jika terdapat pengulangan pernyataan yang mengandung makna yang sama atau hampir sama pada transkrip partisipan yang sama, maka pernyataan tersebut diabaikan.6) Kata kunci diidentifikasi melalui penyaringan pernyataan-pernyataan tersebut. Kata kunci-kata kunci yang memiliki arti yang relatif sama diformulasikan menjadi satu kategori. 7) Penentuan kategori dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi penyimpangan arti dari pemyataan partisipan. Kategori-kategori yang sama dikelompokan dalam satu sub-sub tema. Sub-sub tema yang sejenis selanjutnya dikelompokkan ke dalam sub tema yang lebih umum. Tema terbentuk dari penggelompokkan beberapa sub tema yang mengandung makna yang setara.Selanjutnya peneliti merujuk kesesuaian tema yang terbentuk dengan tujuan khusus penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Almanshur, F. Dan Ghony, M.D. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-ruzz MediaAllender, J. A. (2001). Community health nursing. Philadelphia: Lippincott. Carpenter, D. A. (2008). Clarifying normalization. Journal of Information Systems Education, 19(4), 379-382.Creswell, J.W. (201). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Edisi 3.Yogyakarta:Pustaka PelajarDayakisni & Hudaniah. (2003). Psikologi sosial. Malang: UMM Press. Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed-3. Jakarta: Balai Pustaka. Depkes, RI. (2003). Pedoman pelaksanaan kewaspadaan universal di pelayanankesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan. Depkes, RI. (2005). Pedoman pelaksanaan program pelayanan kesehatan dirumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan. Direktorat, Pendidikan UI. (2007). Himpunan peraturan akademik. Jakarta: UI Haryanti, A. (2009). Gambaran universal precaution di Rumah Sakit UmumDaerah Salatiga. Universitas Sahid, Surakarta. Habni, Y. (2009). Perilaku perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial diRindu A, Rindu B, ICU, IGD, dan Rawat Jalan di RSU Pusat Haji AdamMalik Medan. Skripsi: Tidak dipublikasikan, PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.Hegner, R., Barbara A., & Esther C. (2010). Nursing assistant: a nursingprocess approach basic. Clifton Park: Delmar. Katherine, M. & Patricia A. (2004). Psychiatric mental health nursing. St Louis: 2004.Kathryn, A. (2006). Phlebotomy technician specialist. (2nd ed). Clifton Park: Maja, TMM. (2009). Precaution use by occupational health nursing studentsduring clinical placement. Adelaide: Tswane University of Technology. McGovern, P., Vesley, D., Kochevar,. Factors affecting universal precautions compliance. Journal of Business and Psychology; Fall 200; 15,1; ProQuest pg 149. Maleong, L. J.(2004). Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. BandungNotoatmodjo, S. (2003). Pendidikann dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.Nursalam dan Ninuk. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.Polit, Dennise, Cherry Beck, & Hungler. (2011). Essentials of nursing research:methods,appraisal, &utilitation. Philadelpia: Lippincott. Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing. (6th ed). Philadelphia: Mosby. Rosdahl, C. Bunker, dan Marry T. Kowalski. (2008). Textbook of basic nursing. (9th ed). Philadelphia: Lippincott. Streubert, H.J, & Carpenter, D.R. (1999). Qualitative Research in Nursing :Advancing the Humanistic Imperative, 2nd Ed. Philadelpia. Lippincott Williams & WilkinsWHO. (2002). Prevention of hospital-acquired infection.(Ed. Ke-2). Malta: Department of Communicable Disease.WHO. (2004). Practical guidelines for infection control in health care facility India: WHO Regional office South East Asia.Yusran, M. 2008. Kepatuhan Penerapan Prinsip-Prinsip Pencegahan Infeksi (Universal Precaution) Pada Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Muluk Bandar Lampung. Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung24