44
Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites PRESENTASI KASUS EPILEPSI

242420483 Epilepsi Case Novi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

https://www.homeworkping.com/,homework help,online homework help,online tutors,online tutoring,research paper help,do my homework,

Citation preview

Get Homework/Assignment Done

Homeworkping.com

Homework Help

https://www.homeworkping.com/

Research Paper help

https://www.homeworkping.com/

Online Tutoring

https://www.homeworkping.com/

click here for freelancing tutoring sites

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI

PEMBIMBING

Dr. Marwatal Hutadjulu, SpS

PENYUSUN

Tri Novia Maulani

030.08.243

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RSUP FATMAWATI

PERIODE 10 JUNI – 14 JULI 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I

Pendahuluan

Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau

penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum

terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi

medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun

keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi

masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 2

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan

permasalahan yang komplek. Epilepsi memiliki beban sakit yang

signifikan,terutama dinegara-negara berkembang dimana menunjukkan bahwa

tingkat cedera dan kematian lebih tinggi pada penyandang epilepsy dibanding

populasi normal. Epilepsi juga dihubungjan dengan konsekuensi psikososial yang

lebih berat bagi para panyandangnya.Stigma sosial yang melekat pada epilepsi

juga menghambat panyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga ,

pekerjaan, pendidikan dan pernikahan.

Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan

mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan

psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. 3 Oleh

karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi,

epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi

epilepsi

BAB II

STATUS NEUROLOGI

I. IDENTITAS PASIENNo RM : 00902181

Nama : Tn. W

Usia : 62 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir : Jakarta, 5 Juli 1951

Pekerjaan : Pensiunan

Pendidikan terakhir : SMA

Status pernikahan : Menikah

Suku : Jawa

Alamat : Jl.Gunung Merbabu

Agama : Islam

Tanggal Kunjungan RS : 17 Juni 2013

II. ANAMNESISTanggal 17 Juni 2013 pasien masuk Poli Saraf & dilakukan anamnesis pukul 09.00 WIB

Keluhan Utama : -

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang kontrol dengan riwayat kejang berulang

Pasien datang ke poli saraf untuk kontrol karena obat habis.

Terakhir kali kejang sekitar 2 tahun yang lalu. Kejang terjadi dikarenakan

pasien tidak meminum obat. Kejang terjadi 1 kali. Dengan durasi sekitar

10 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu

perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun merasakan perubahan

pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai pencetus kejang.

Kejang dideskripsikan oleh ibu pasien sebagai “kelojotan”.

Didahului dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti kelojotan,

seluruh anggota gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada saat kejang

pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang berbusa.

Setelah selesai serangan, pasien mengaku tidak ingat apa yang telah

terjadi pada dirinya. Pasien mengaku selama ini rajin control sebulan

sekali dan minum obat secara teratur.

Penyakit yang menyertai seperti pusing, demam, mual, serta

muntah proyektil disangkal. Pandangan ganda(-), bicara pelo (-),

kesemutan (-), kelemahan tiba-tiba (-). Rasa tidak nyaman ketika melihat

cahaya yang terang maupun mendengar suara yang bising disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pertama kali kejang pada usia 8 ½ bulan. Pada saat itu

sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi dan kemudian

mengalami kejang yang memiliki durasi sekitar 1 menit. Sekitar kurang

lebih 6 jam kemudian pasien kembali kejang untuk kedua kalinya. Ibu

pasien tidak ingat persis bagaimana deskripsi kejang pada saat itu.

Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUP Fatmawati pada

tanggal 27 Agustus 2004 dengan keluhan kejang dari tanggal 19 Agustus

– 21 Agustus. Selama 3 hari tersebut kejang sebanyak 10x per hari.

Dengan durasi 2 menit. Pola kejang selalu sama. Kejang tidak didahului

dengan gerakan salah satu anggota tubuh. Pada saat kejang seperti

kelojotan dan disertai mata mendelik keatas serta mulut yang berbusa.

Setelah kejang pasien tertidur sempat terbangun kembali sebelum

mengalami serangan yang kedua. Begitu seterusnya. Pada saat itu pasien

berusia 10 tahun dengan BB 44 kg. diberikan obat Trileptal ½-1-1,

depakote 2 x 250 mg, Asam folat 2 x 1 tab.

Setelah itu pasien rutin kontrol tiap bulan ke poli saraf RSUP

Fatmawati. Dan setiap bulan mengalami bangkitan 1 -2 kali.

Riwayat tumbuh kembang :

Pasien lahir normal, cukup bulan. Dengan BB 4,25 Kg dan TB 50

cm. pasien menangis spontan dan tidak ada kelainan pada saat itu. Pada

saat hamil, ibu pasien mengaku tidak memiliki penyakit apapun, riwayat

demam saat hamil disangkal. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat –

obatan apapun selama kehamilan.

Pasien mulai berjalan pada usia 1 tahun. Dan mulai berbicara pada

usia 1,5 tahun.

Riwayat jatuh atau terbentur pada bagian kepala saat pasien masih

balita tidak diketahui oleh ibu pasien karena pasien dirawat oleh

pembantu rumah tangga.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang

sama seperti pasien. Riwayat kejang demam dalam keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4M6V5

Keadaan Umum : Baik

Status gizi : Baik

Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88x/menit,regular,isi cukup

Suhu : 36,5o C

Pernafasan :19x/menit regular

Keadaan Lokal

Trauma Stigmata : -

Perdarahan perifer : Capillary refill time < 2 detik

Pulsasi arteri karotis : cukup, regular –equal kanan kiri

KGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)

Columna Vertebralis : Lurus ditengah, tidak ada nyeri tekan

Kepala : rambut hitam, tidak mudah dicabut, jejas (-), nyeri tekan perikranial (-)

Mata : conjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (-)/(-). Pupil bulat isokhor, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+)

THT

Telinga :Deformitas (-)/ (-): serumen minimal

Hidung : Pernafasan cuping hidung ( - ): Deformitas (-)

Tenggorokan : T1/T1 Tidak hiperemis

Gigi & Mulut : Oral trusth ( - )

Leher : Tiroid tidak teraba, JVP 5-2 cmH20

Penggunaan otot pernafasan tambahan m. sternokleidomastoideus (-): pembesaran KGB (- ) nyeri tekan (-)

Paru

Inspeksi : gerakan nafas simetris dalam statis & dinamis

Palpasi : Nyeri tekan (-), emphysema subkutis (-) vocal fremitus sama pada lapang paru dextra et sinistra

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas lapang paru dextra et sinistra vesikuler; Tidak ada suara nafas tambahan. Ronkhi ataupun wheezing pada kedua lapang paru

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi : teraba Ictus ordis pada 2 jari medial Linea Midclavicula ICS 5 sinistra

Perkusi : Pinggang jantung ICS III Linea parasternalis sinistra

: Batas kanan ICS 4 linea parasternalis dextra

: Batas Kiri 2 jari medial Linea midclavicularis sinistra ICS 5 sinistra

Auskultasi : BJ I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar, tidak tampak buncit.

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defanse muscular (-), hepatoslenomegali (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+) normal

Punggung :deformitas (-), gibus (-)

Genitalia Eksterna : tidak diperiksa

Ekstremitas : perfusi baik, akral hangat +/+,edem pitting -/-, sianosis -/-,clubbing finger -/-

Kelenjar Getah Bening : Tidak ada kelainan

Status Neulologis

GCS : E4M6V5

TRM :

Kaku kuduk (-)

Brudzinski I (- / -)

Brudzinski II (- / - )

Laseque >70o/>70o

Kernig >135o/>135o

Saraf Kranialis

N.I - Olfaktori : baik

N.II - Optikus

Acies Visus : kesan baik Dextra et Sinistra

Visus Campus : kesan baik Dextra et Sinistra

Lihat warna : kesan baik Dextra et Sinistra

Funduskopi : tidak diperiksa

N. III (oculomotor) ,IV (tokhlearis) dan VI (absusen)

Kedudukan bola mata : Ortophori Dextra et Sinistra

Pergerakan bola mata : Baik ke segala arah

Eksoftalmus : Dextra et Sinistra -/-

Nistagmus : Dextra et Sinistra -/-

Pupil bulat, isokor, Ø 3mm/3mm RCL +/+ RCTL +/+

Akomodasi : Dextra et Sinistra +/+

Konvergensi : Dextra et Sinistra +/+

N. V (trigeminus)

Cab. Motorik

Gerakan Rahang : Dextra et Sinistra baik

Menggigit : Dextra et Sinistra baik

Cab. Sensorik

Opthalmicus : Dextra et Sinistra baik

Maksilaris : Dextra et Sinistra baik

Mandibularis : Dextra et Sinistra baik

Reflek

Corneal reflex : Dextra et Sinistra +/+

Jaw refleks : Dextra et Sinistra -/-

N. VII (fasialis)

Motorik orbitofrontal: baik

Motorik orbikularis: baik

Pengecap lidah : baik

N.VIII (vestobulochoclear)

Vestibular : Dextra et Sinistra baik

Koklear : Dextra et Sinistra baik

N. IX (glosofaringeus), X (vagus)

Motorik : Dextra et Sinistra baik

Sensorik : Dextra et Sinistra baik

N. XI (Aksesorius)

Mengangkat bahu: baik

Menoleh : baik

N. XII (Hipoglosus)

Pergerakkan lidah : baik

Atrofi :-

Fasikulasi : -

Tremor : -

Trofi :Eutrofi

Tonus : Normotonus

Sistem Motorik : Ekstremitas : Atas 5555 | 5555

: Bawah 5555 | 5555

Sistem Sensorik

Propioseptif : Dextra et Sinistra baik

Eksteroseptif : Dextra et Sinistra baik

Fungsi Otonom

Miksi : Baik

Defekasi : Baik

Sekresi Keringat : Baik

Reflek Fisiologis

Biseps : +2 |+ 2

Triseps : +2 |+ 2

Radius : +2 |+ 2

Patella : +2 |+ 2

Achiles : +2 |+ 2

Reflek Patologi

Hoffman tromer : - | -

Babinski : - | -

Chaddok : - | -

Oppenhein : - | -

Schafer : - | -

Gonda : - | -

Mendel-Bechterew : - | -

Klonus Patella : - | -

Klonus Achiles : - | -

Gerakan Involunter

Tremor : - | -

Khorea : - | -

Atetose : - | -

Mioklonik : - | -

Tik : - | -

Fungsi Serebelar

Ataksia : - | -

Disdiadokinesis : - | -

Jari-jari : - | -

Jari-hidung : - | -

Tumit-lutut : - | -

Fenomena Rebound : - | -

Hipotoni : - | -

Fungsi Luhur

Astereognosia : - | -

Apraksia : - | -

Afasia : - | -

Keadaan Psikis

Inteligensia : baik

Tanda regresi : -

Demensia : -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Lab darah

PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN HASIL

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Lekosit

Trombosit

Eritrosit

11,7 – 15, 5 g/dl

33 – 45 %

5, 0 – 10,0 ribu/ul

150 – 440 ribu/ul

3,80 – 5,20 juta/ul

13,3

40

5,7

331

4,69

VER/HER/KHER/RDW

VER

HER

KHER

RDW

80,0 – 100,0 fl

26,0 – 34,0 pg

32,0 – 36,0 g/dl

11,5 – 14,5%

84,4

28,4

33,6

11,4

HITUNG JENIS

Basofil

Eosinofil

Netrofil

Limfosit

Monosit

0,0 – 1,0%

1,0 – 3,0%

50,0 – 70,0 %

20,0 – 40,0 %

2,0 – 8,0 %

0,0

1,0

55,0

39,0

5,0

FUNGSI HATI

SGOT

SGPT

0 – 34 U/l

0 – 40 U/l

22

21

FUNGSI GINJAL

Ureum darah

Creatinin darah

20 – 40 mg/dl

0,6 – 1,5 mg/dl

10

0,4

2. EEG

Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.

V. RESUMEPasien datang kontrol dengan Riwayat kejang.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang kontrol dengan riwayat kejang berulang

Pasien terakhir kali kejang sekitar 2 bln yg lalu. Kejang terjadi

dikarenakan pasien tidak meminum obat. Kejang terjadi hanya 1 kali.

Dengan durasi sekitar 2 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak

merasakan suatu perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun

merasakan perubahan pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai

pencetus kejang.

Kejang tidak didahului dengan pergerakan dari salah satu anggota

badan terlebih dahulu. Kejang dideskripsikan oleh ibu pasien sebagai

“kelojotan”. Didahului dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti

kelojotan, seluruh anggota gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada

saat kejang pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang

berbusa.

Setelah selesai serangan, pasien kemudian tertidur kurang lebih 1

jam. Pasien mengaku setelah kejang langsung tertidur dan begitu

terbangun tidak merasakan keanehan apapun pada tubuhnya.

Pasien pertama kali kejang pada usia 8 ½ bulan. Pada saat itu

sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi dan kemudian

mengalami kejang yang memiliki durasi sekitar 1 menit. Sekitar kurang

lebih 6 jam kemudian pasien kembali kejang untuk kedua kalinya. Ibu

pasien tidak ingat persis bagaimana deskripsi kejang pada saat itu.

Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUP Fatmawati pada

tanggal 27 Agustus 2004 dengan keluhan kejang pada tanggal 19-21

Agustus kejang sebanyak 10x per hari. Dengan durasi 2 menit. Pola

kejang selalu sama. Kejang tidak didahului dengan gerakan salah satu

anggota tubuh. Pada saat kejang seperti kelojotan dan disertai mata

mendelik keatas serta mulut yang berbusa. Setelah kejang pasien tertidur

dan pasien sempat terbangun sebelum bangkitan berikutnya. Begitu

seterusnya. Pada saat itu pasien berusia 10 tahun dengan BB 44 kg.

diberikan obat Trileptal ½-1-1, depakote 2 x 250 mg, Asam folat 2 x 1

tab.

Setelah itu pasien rajin kontrol setiap bulan ke poli saraf RSUP

Fatmawati. Dan setiap bulan mengalami bangkitan 1 – 2 kali.

Pemeriksaan penunjang

EEG

Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.

VI. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis : Bangkitan epilepsi umum tipe tonik klonik

Diagnosis Etiologis : idiopatik

Diagnosis Topis : Korteks lobus temporalis

VII. TATALAKSANAFarmakologi

• Depakote 2 x 250 mg• Luminal 2x 3 ½ • Asam folat 2 x 1

Non-Farmakologi

• Hindari pemicu bangkitan • Minum obat teratur

VIII. PROGNOSISQuo Ad Vitam : Bonam

Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam

Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan

tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International

Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu

kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat

mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan

adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan

sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5

Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit

atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua

serangan kejang.5

2.2 . EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum

terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.

Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju

ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai

100/100,000.7

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan

pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di

bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000

kasus). 9

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang

muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik

jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.

Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Pendataan secara global

ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan

dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.2,3

Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung

pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik

abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron

kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah

ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran

ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter.

Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya

ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang

berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta

mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri

2.3. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11

1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari

penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,

awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih

kelompok ini makin kecil

2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf

pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),

gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,

lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),

kelainan neurodegeneratif.

3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut

dan epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League

Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12

I . Kejang Parsial (fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala sensorik

3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1.    Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2.    Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-

klonik, tonik atau klonik)

1.    Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.    Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.    Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,

dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A.     Absens

B.     Mioklonik

C.    Tonik

D.    Atonik

E. Klonik

F.     Tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :

I. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

West’s syndrome (infantile spasms)

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

 

2.5. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter

eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan

neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf

dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil

dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter

eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan

neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)

dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi

transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron

mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi

potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan

melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau

mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh

ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan

letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur

dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara

sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan

epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses

inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang

epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang

menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang

peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti

ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi

otak.13

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

2.6 GEJALA

Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan

mengalami gejala berupa:

- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama

sebelumnya.

- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak

dapat dijelaskan

- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

bagian tubih tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

- Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak

yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar

sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi:

- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah

- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan

pakaiannya

- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling

dalam keadaan seperti sedang bingung

- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang

- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal), merupakan tipe kejang yang paling

sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau

kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik

atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan

perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,

kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan

kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,

berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada

saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,

mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat

pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah

serangan semacam ini.14

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik

dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15

2.7.1 Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.

Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan

kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler

dan penggunaan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

a) Pola / bentuk serangan

b) Lama serangan

c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan

d) Frekueensi serangan

e) Faktor pencetus

f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g) Usia saat serangan terjadinya pertama

h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan

epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,

gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-

sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota

tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

a) Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan

merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk

rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold

standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung

oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan

adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada

EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama

di kedua hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan

gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b) Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita

yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis

dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan

hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal

ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui

secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.

Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat

diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan

untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan

dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan

tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus

kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

VIII. TERAPI

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.

Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat

minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah

mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma

ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol

bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai

kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak

dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila

kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas

pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala

disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,

Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap

merupakan problem medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh

gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental

dalam hal gangguan kognitif.

Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan

kognitif. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah

penting mengingat efek obat yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik

tapi juga bisa berefek pada gangguan memori. Levetirasetam salah satu obat

antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan protein SVA2 di

presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan

kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang mengidap penyakit

termasuk ansietas dan depresi.

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka

mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,

penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi

eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok

inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai

sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),

klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin

(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital

(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat

(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).10

Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi

benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin

bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok

loncatan listrik.11

Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai

efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap

gangguan kognitif ringan dan sedang.12-14 Melihat banyaknya efek samping dari

obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu

mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap

jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron

sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-

5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor

NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang

bisa menstimulasi kematian dari sel.6

Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan

antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam

penelitian lanjut.15,16 Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat

antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai

mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor

NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).17 Pada hewan percobaan

ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat

tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.18

Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan

pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti

pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak

berinteraksi dengan obat CNS lainnya.19-21 Salah satu andalan dari levetirasetam

yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan

levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan

bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang

mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta

pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada

hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein

SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.22

Sedangkan jika pasien sedang mengalami serangan sikap kita adalah jangan

panik , Biarkan serangan berlalu karena serangan akan berhenti dengan sendirinya ,

amankan penderita dari lingkungan yang membahayakan penderita, longgarkan pakaian

yang ketat, posisi kepala dimiringkan (bila kejang sudah berhenti), serta bila serangan

berkepanjangan: kirim ke RS

Nama obat Dosis/kgBB ESO

Fenobarbital 2-5 mg/kgBB/Hari Mengantuk

Difenilhidantoin [DFH]

(Phenitoin,Dilantin)

4-10mg/kgBB 1-2dd Sedasi, nistagmus,

ataksia

Karbamazepin (Tegretol,

temporol)

400-1600mg/kgBB /hari Efek psikotropik

Diazepam

(valium,stesolid)-status

epilepsi

Penghentian pemberian OAE

Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas

serangan .

Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau

keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis

semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai

dari satu OAE yang bukan utama

VIII. ASPEK SOSIAL

Cenderung dikucilkan dari lingkungan, cenderung ditolak untuk sekolah

Sulit mencari pekerjaan, merupakan aib bagi keluarga, menurunkan rasa percaya

diri sertalebih mudah mengalami cedera

Mengenai kesempatan bekerja pada dasarnya tidak ada larangan untuk

bekerja bagi penderita epilepsi hanya pekerjaan disesuaikan dengan jenis

serangan dan penderita harus paham tentang penyakit yang dideritanya. Satu lagi

yaitu dukungan positip dari keluarga dan lingkungan kerja

Menikah adalah hak azasi manusia, perhatian lebih khusus pada penderita

perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui), Suami-isteri harus selaras,

keputusan pahit adalah menunda kehamilan

Mengenai mengemudi ada prasyarat yang harus dipenuhi penderita. Yaitu

sifatnya sangat terbatas. Lebih aman apabila penderita tidak mengemudi

kendaraan (bermotor). Penderita harus memahami kondisinya sendiri secara jujur

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.

In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press. 2005. p119-127.

2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric

Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007

3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical

development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.

4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and

Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing

Ltd. 2005

5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

8. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008

9. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau neotransmiter.Departemen Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta

10. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta . 2008