25
PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari, sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak. Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After injected intraperitoneal injection (0.1 mL/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the non- haemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Non- haemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused 48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β- haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes, microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish. Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus

2011ehh-Patogenesitas Bakteri Streptococcus Agalacine

Embed Size (px)

Citation preview

46

PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK

PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila

dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari, sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak.

Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus

ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the

pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After injected intraperitoneal injection (0.1 mL/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the non-haemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Non- haemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused 48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β-haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes, microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish.

Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus

47

Pendahuluan

Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas

tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan

bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan

dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh

S. agalactiae.

Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang

menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan non-

hemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai

patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe β-

hemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang

disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian.

Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah

satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari

perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui

pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada

histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda

karakter (β-hemolitik dan non-hemolitik) terhadap ikan nila.

Bahan dan Metode

Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 30 ekor per akuarium

dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah

lima isolat S. agalactiae (Tabel 3) dan sebagai kontrol adalah ikan nila diinjeksi

dengan 0.1 ml BHI. Persiapan ikan uji dan kelima bakteri yang digunakan dalam

penelitian patogenisitas S. agalactiae ini dijabarkan dalam metodologi umum.

Ikan disuntik sebanyak 0.1 ml/ ekor dengan kepadatan masing-masing isolat

bakteri, dan dipelihara selama 14 hari.

48

Parameter yang diukur dan analisa data

Dalam pelaksanaan penelitian patogenisitas S. agalactiae dilakukan

pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola berenang, tingkah laku

makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis,

gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta

pengamatan kematian ikan. Pengamatan parameter dilakukan setiap 1, 3, 6, 12,

24 jam pasca injeksi dan dilanjutkan setiap 24 jam hingga hari ke-14. Cara kerja

dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum.

Hasil dan Pembahasan

1 Perubahan pola berenang

Jika dikaitkan dengan uji ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan

aktivitas hemaglutinasi yang merujuk pada S. agalactiae kapsul dan non kapsul

menunjukkan bahwa bakteri yang diduga non kapsul (isolat 3) memiliki

patogenisitas yang lebih rendah dari bakteri yang diduga berkapsul (isolat 2, 4 dan

5) karena dalam tubuh inang bakteri non kapsul akan lebih mudah difagosit oleh

sel-sel fagositik sehingga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam

tubuh inang juga terbatas, tidak seperti bakteri berkapsul yang permukaan selnya

tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik sehingga lebih sulit untuk dilisis oleh sel

fagosit. Hal inilah yang menyebabkan bakteri berkapsul lebih mudah tumbuh,

berkembang dan mengembangkan virulensinya.

Perubahan pola renang yang dimunculkan oleh inang yang terinfeksi

S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang

mengembang atau berenang lemah di dasar akuarium. Perubahan terjadi mulai

jam ke-6 pasca injeksi yaitu pola renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung

soliter yaitu berenang terpisah dari kelompok (Gambar 9B) sedangkan kontrol

menunjukkan pola renang yang berkelompok dan teratur (Gambar 9A). Ikan uji

menunjukkan berenang gasping (mengambil udara tepat di bawah permukaan air)

pada jam ke-12 pasca injeksi. Bakteri tipe non-hemolitik (isolat 5 dan isolat 2)

lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan (pada jam ke-12

49

pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium) sedangkan gejala

yang sama baru muncul jam ke-48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik.

Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus

agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B: tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping; D: sirip mengembang (abnormal) dan cara berenang normal (tanda panah)

Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang

whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf

“C” juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik

mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan

gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang diinjeksi

S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium,

respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf ”C”.

Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe

non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3

pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya

ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12

jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi

perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling

lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu

makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4.

Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target

S. agalactiae (mata, otak dan ginjal). Keberadaan bakteri pada organ mata dapat

50

menyebabkan perubahan pada mata (opacity, purulens, eksoptalmia dan

sebagainya). Keberadaan bakteri pada organ otak dapat menyebabkan ikan

berenang abnormal (gasping, berenang miring bahkan whirling) sedangkan

keberadaan bakteri pada ginjal ikan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh

menjadi lebih hitam.

Masing-masing tipe bakteri menyebabkan respon yang berbeda terhadap

ikan nila. Baik bakteri tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik memiliki

karakteristik yang berbeda dalam tubuh inang untuk tumbuh, berkembang dan

mengembangkan virulensi. Perubahan tingkah laku ikan yang muncul akibat

diinjeksi dengan tipe bakteri non-hemolitik lebih beragam dan lebih cepat muncul

dibandingkan dengan ikan yang diinjeksi dengan tipe β-hemolitik. Ini semakin

menguatkan data bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen.

2 Perubahan tingkah laku makan

Umumnya respon terhadap pakan pasca injeksi S. agalactiae tampak

lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau

makan sejak jam ke-72 pasca injeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang

diinjeksi bakteri tipe β-hemolitik terlihat pada jam ke-144 (lebih lama dari bakteri

tipe non-hemolitik). Pada Gambar 10 tampak, ikan kontrol (sehat) umumnya

dapat mencerna pakan dengan baik (A), sedangkan ikan yang terinfeksi S.

agalactiae lambat mencerna pakan yang diberikan (B). Pada Gambar 10C terlihat

organ ikan yang menjadi pucat pasca infeksi S. agalactiae.

Gambar 10 Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila (pencernaan makanan menjadi lambat) ditunjukkan dengan tanda panah biru; C. organ dalam ikan nila menjadi pucat (tanda panah merah).

Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan

masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling

51

5 menit setelah pemberian pakan. Hal tersebut dimungkinkan karena

terganggunya enzim pencernaan ikan akibat adanya infeksi dalam otak ikan yang

mengatur gerak peristaltik usus. Sehingga pencernaan ikan lebih lama dari kondisi

normal.

Bakteri yang menginfeksi otak ikan mengganggu kerja hipotalamus bagian

lateral yang mengatur rasa lapar. Terganggunya sel-sel dalam hipotalamus yang

berada dalam telencephalon (otak depan) akibat adanya S. agalactiae, inilah yang

menyebabkan ikan mulai mengalami penurunan nafsu makannya bahkan tidak

mau makan pasca injeksi.

3 Perubahan patologi anatomi ikan nila secara makroskopis

Pasca diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan nila menunjukkan perubahan

makroskopis pada anatomi organ luar (mata, operkulum dan kepala) dan anatomi

organ dalam (otak, ginjal berupa perubahan warna dan konsistensinya). Pada

Tabel 13 dijabarkan gejala klinis yang terjadi pada ikan pasca diinjeksi dengan S.

agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik.

Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Patologi anatomi organ luar secara makroskopis

Waktu terjadinya (pasca injeksi) (jam) non-hemolitik β-hemolitik

Garis vertical tubuh menghitam 6 24 Clear operculum 24 72 Mata mengkerut 24 264 Eksoptalmia & purulens 96 120 Pendarahan di mata 24 - Ulcer pada kepala 264 - Abses pada perut 336 - “C” shape 288 -

Keterangan : (-) tidak ditemukan adanya gejala

Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe

non-hemolitik dan jam ke-24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata

seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca

injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi

bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan

munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.

52

Gambar 11 menunjukkan perubahan yang terjadi pada mata ikan yang

terinfeksi S. agalactiae. Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut

(Gambar 11B) kemudian yang terjadi adalah, pupil mata mengecil (Gambar 11C-

D), kemudian mata seperti berkabut/purulens (Gambar 11F) hingga sebelah mata

dapat hilang (Gambar 11E). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai

dengan pendarahan terjadi pada hari ke-4 (tipe non-hemolitik) dan pada hari ke-5

(tipe β-hemolitik).

Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B. mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity (kekeruhan mata); E. mata lisis dan F. Purulens (mata putih).

Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi

dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia (Gambar 12C-D). Gejala

Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai

tahapan (Gambar 13). Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya

warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum

muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S.

agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe β-

hemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi

pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang

dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear

operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.

53

Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan

pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada

ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka

(ulcer) di bagian kepala ikan nila (Gambar 14C) pada hari ke-8 dan muncul abses

(Gambar 14D) di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke-

14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan

bakteri tipe β-hemolitik.

Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B & E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf “C” disertai lateral eksoptalmia.

Streptococcosis (Streptococcus agalactiae dan S. iniae) umumnya ditandai

dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila (Gambar 15),

Gambar 12 Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; A. pendarahan pada mata; B & C lateral eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia.

Gambar 13 Perubahan yang terjadi pada operkulum ikan nila (tanda panah); A. normal; B & C clear operculum, D. clear operculum disertai pendarahan.

54

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

24 168 336

Tota

l Leu

kosi

t (1

05 sel

/mm

3 )

Waktu Pengamatan (jam)

isolat 1

isolat 2

isolat 3

isolat 4

isolat 5

kontrol

ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap

produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh.

Gambar 15 Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. garis vertikal tubuh menghitam; B. warna tubuh ikan normal.

4 Gambaran darah

Total Leukosit

Rataan total leukosit ikan nila selama percobaan cenderung naik mulai 1

jam pertama hingga hari ke-10 pasca injeksi dengan S. agalactiae (Gambar 16)

dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Kenaikan ini berkaitan dengan

pertahanan seluler yang meningkat karena adanya infeksi pasca injeksi.

Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan (injeksi dengan

kelima isolat) dengan kontrol (p<0.05); sedangkan antar perlakuan isolat bakteri

(isolat 1–isolat 5) tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, keberadaan infeksi S.

agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila

sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal.

4.5

4.0

3.5

3.0

2.5

2.0

1.5

1.0

0.5

0

55

Peningkatan dan aktivitas leukosit dapat disebabkan oleh infeksi yang

memicu aktivitas pembelahan sel (Evenberg et al., 1986) dan Anderson (1974)

menyebutkan bahwa perubahan populasi leukosit dapat diamati setelah 7 hari

pasca pemaparan. Adanya infeksi S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan

sel leukosit lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan. Sel-sel

leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri yang ada agar tidak

dapat berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang sehingga sering

ditemukan jumlah total leukosit mengalami peningkatan pasca infeksi oleh

bakteri.

Differensial Leukosit (Limfosit, Monosit dan Neutrofil)

Jenis leukosit ikan nila terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil

sebagaimana diungkapkan Clem et al., (1985), bahwa leukosit terdiri dari 3 jenis.

Namun terkadang juga ditemukan basofil dan eusinofil. Jenis leukosit ikan nila

tampak pada Gambar 17, limfosit lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan

kedua jenis leukosit lainnya.

Gambar 17 Differensial leukosit dan trombosit ikan nila. E: eritrosit, IME: immature eritrosit, T: trombosit, M: monosit, L: limposit dan N: neutrofil. 1 bar = 20 µm

Rataan proporsi leukosit ikan nila normal yaitu: limfosit (68-86%),

monosit (3.9-5.9%) dan neutrofil (10-18.1%). Rataan porposi jenis leukosit ikan

yang diinjeksi bakteri S. agalactiae lebih bervariatif yaitu limfosit (72–81%),

56

monosit (4.4–5.3%) dan neutrofil (13.5–21.2%). Proporsi jenis leukosit antara

ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β dan non- hemolitik tidak berbeda nyata.

Leukosit pada ikan menurut Fujaya (2004) terdiri atas 7 bentuk yaitu 3 tipe

eosinofil granulosit dan masing-masing satu tipe neutrofil granulosit, limfosit,

monosit dan trombosit. Neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit kuat.

Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan

difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel,

selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu untuk melakukan fagositasi.

Satu neutrofil dapat menfagosit 5 sampai 20 bakteri. Monosit lebih kuat karena

dapat menfagosit partikel yang lebih besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi

berperan dalam pembentukan antibodi.Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan

S. agalactiae lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan juga

terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 hingga hari ke-5 pasca injeksi. Pada

akhir penelitian (336 jam) neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari

kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada

organ ikan (ginjal dan mata) yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari

pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk

mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat

menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan

sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa (debris), sedangkan

monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk

terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau

untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya

selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan

jaringan yang rusak.

Total Eritrosit

Menurut Fujaya (2004), jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan

berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah

mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke

jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat

dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan

57

0

10

20

30

40

50

60

70

0 1 3

Tota

l Eri

tros

it (1

05 se

l/m

m3 )

Waktu Pengamatan (jam)

isolat 1

isolat 2

isolat 3

isolat 4

isolat 5

kontrol

air, sehingga darah dapat mengedarkan karbondioksida dari jaringan menuju

insang.

Total eritrosit ikan nila normal berkisar antara 30-39 (105 sel/mm3)

sedangkan ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae rataan jumlah eritrosit

lebih berfluktuatif yaitu berkisar 12-60 (105 sel/mm3

Dari hasil uji statistik, keseluruhan isolat berbeda nyata nilai total

eritrositnya dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae)

(p<0.05) pada jam ke-24 hingga jam ke-336. Artinya, keberadaan infeksi

S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total eritrosit ikan nila

secara nyata.

). Peningkatan eritrosit terjadi

pada jam ke-3 pasca injeksi dan kenaikan berlangsung hingga 24-48 jam pasca

injeksi (Gambar 18) dan data selengkapnya tertuang pada Lampiran 5.

Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada

tubuh ikan (infeksi patogen) dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak

untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi.

Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai

adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang

memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit (lihat aktivitas

hemolitik) sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah

dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi.

24 168 336

58

05

10152025303540455055

24 168 336

Hem

atok

rit

(%)

Waktu pengamatan (jam)

isolat 1

isolat 2

isolat 3

isolat 4

isolat 5

kontrol

5 Patologi klinik darah

Hematokrit

Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar 27.3–37.8% dan kadar

hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi,

nilainya berkisar 15.9–43.15% (bakteri tipe non-hemolitik) dan 12.9–43.14%

(bakteri tipe β-hemolitik) (Gambar 19). Data pengamatan hematokrit ikan nila

pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 19 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami

peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol (ikan yang tidak

diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah

hari ke-14 (336 jam) kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal.

Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan

pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung

kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat

digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat

digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam

penelitian faktor penyebab stress seperti lingkungan dan penanganan

diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya

infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam

ke-24 (bakteri tipe β-hemolitik) dan jam ke-72 (bakteri tipe non-hemolitik).

59

02468

1012141618

24 168 336

Hem

oglo

bin

(g %

)

Waktu Pengamatan (jam)

isolat 1

isolat 2

isolat 3

isolat 4

isolat 5

kontrol

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang

merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari

haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb

mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4

molekul oksigen (Fujaya, 2004).

Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah,

peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang

sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe non-

hemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12

kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120.

Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi

kenaikan (puncak) pada jam ke-6 (Gambar 20). Data pengamatan hemoglobin

ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar 10–11.01 (g%), sedangkan

ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar 4–14.4 (g%). Pada jam

ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada

nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi

pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5.

Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah.

Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi

kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih

60

0

20

40

60

80

100

120

140

24 168 336

Glu

kosa

dar

ah (m

g/10

0ml)

Waktu Pengamatan (Jam ke-)

kontrol

isolat 1

isolat 2

isolat 3

isolat 4

isolat 5

rendah sehingga menyebabkan lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor

virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme

menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan

menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau

berenang lemah.

Glukosa Darah

Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara 80.02-

113.21 (mg/100 ml) dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi

(Gambar 21).

Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae

Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima

isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan

kadar glukosa berkisar 73.79–121.67 (mg/100 ml) dan yang diinjeksi β-hemolitik

berkisar 69.34–129.17 (mg/100 ml). Data pengamatan glukosa darah ikan nila

pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah

terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol

(p<0.05), artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan

perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata.

Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan

yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia

(kualitas air), faktor biologi (adanya infeksi patogen) juga dapat karena

penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini

61

disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja

lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja

ginjal terganggu (termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem

imun). Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi

menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan

menyebarkan virulensi pada tubuh ikan (Anderson, 1990). Evans (2003)

mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae

pada kondisi stress (sublethal DO) yang ditandai dengan adanya peningkatan

glukosa darah.

Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena

penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan

mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada

ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon

dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati

dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi

kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung

mengabsorbsi air dari lingkungan (over-hydrate), ikan air laut cenderung

kehilangan air dari dalam tubuh (dehydrate). Kondisi ini perlu energi ekstra untuk

memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi

darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat,

respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin (Anderson, 1990).

6 Kematian ikan

Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan

kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan

isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48. Jumlah ikan yang mati pada akhir

pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan

dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih

virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan

pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22.

62

05

101520253035404550

0 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312

kem

atia

n ik

an

waktu pengamatan (jam)

isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol

Gambar 22 Kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae

Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death (MTD) atau rerata

waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian

ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14.

Tabel 14 Mean Time Death (MTD) hasil pengujian patogenisitas S. agalactiae terhadap ikan nila

Waktu pengamatan Isolat 1 Isolat 2 Isolat 3 Isolat 4 Isolat 5 Kontrol

1 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 6 0 2 0 0 0 0

12 0 1 0 0 0 0 24 3 0 0 0 0 0 48 3 0 1 0 7 0 72 0 3 1 0 2 0 96 8 1 6 0 12 0 120 2 3 0 0 2 0 144 0 0 0 0 0 0 168 8 10 1 3 10 0 192 1 6 1 0 3 0 216 6 5 4 0 4 1 240 0 4 1 1 0 0 264 1 1 0 3 1 0 288 2 1 0 0 2 0 312 0 0 0 3 0 0 336 1 1 1 3 0 1

MTD 149.5 169.9 156 267.7 135.6 -

63

Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada

ikan nila, isolat 4 rata-rata menyebabkan kematian setelah 268 jam setelah infeksi

dan ini merupakan waktu terlama dibandingkan dengan keempat isolat lainnya.

Sedangkan isolat 5 rata-rata menyebabkan kematian hanya dalam waktu 136 jam

setelah infeksi, dan isolat ini menyebabkan kematian paling cepat diantara isolat

S. agalactiae lainnya.

Dari hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa

S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian

namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih

dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD 12-28

jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian

secara cepat (Murdjani, 2002).

7 Histopatologi

Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah

satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang

perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990).

Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan

yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan

maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya

perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren,

1990). Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung

pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati,

kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler.

Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan

umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan

non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan

pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam

ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi

yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15.

64

Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae

Jam setelah injeksi

Organ ikan Mata Otak Ginjal

24 Belum tampak Belum tampak Belum tampak 168 Hipertropi, hyperplasia,

pendarahan, degenerasi dan nekrosa bagian choroid

Hipertropi, kongesti, degenerasi dan nekrosa pada otak depan, otak tengah dan otak belakang

Hipertropi, hemorrhagi, nekrosa di ginjal bagian depan dan belajkang

336 Hipertropi, kongesti pada bagian choroid

degenerasi, kongesti di myelencephalon dan cerebellum

hemmorhagi, degenerasi dan ginjal depan dan belakang

Organ Mata

Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid,

retina dan iris yang tampak pada Gambar 23.

Gambar 23 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus

agalactiae. A mata ikan nila normal: A1 Choroid; A2 Retina; A3 Iris. B. bagian retina mata; B1 pigment epithelium; B2 lapisan photoreceptor; B3 membran pembatas luar; B4 outer nuclear layer; B5 lapisan luar plexiform; B6 lapisan dalam nuclear; B7 lapisan plexiform dalam; B8 lapisan sel ganglion. C. choroid. H hipertropi; hr. hemorrhage; Hp hiperplasi. A&C 1 bar=200 µm, B.1 bar=50 µm

Perubahan pada mata ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae secara

makroskopis tampak adanya eksoptalmia, pengerutan mata, pendarahan dan mata

keruh sampai berkabut (purulens, opacity). Secara histologi (mikroskopis)

perubahan tampak seperti pada Gambar 23C. Hiperplasi, terjadi pada bagian

choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hemorrhagi juga

65

tampak terjadi, ini membuktikan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang

merusak pembuluh darah yang ditandai dengan adanya pendarahan.

Hipertropi tampak dengan adanya pembesaran sel, yang disebabkan oleh

adanya infeksi bakteri patogen. Hipertropi dan hiperemi terjadi pada bagian

choroid ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Bakteri

berkembang dalam organ mata, didalam perkembangannya sejalan dengan

munculnya sifat virulensinya bakteri menghasilkan eksotoksin (salah satunya

hemolisin) yang merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata

mengalami perubahan-perubahan tersebut dan tidak ditemukan adanya perubahan

pada bagian retina mata. Choroid merupakan bagian dari mata yang mengandung

banyak pembuluh darah karena letaknya diantara arteriole dan kapiler yang

membentuk rete mirabile. Arteri dan vena saling berdekatan dan sebagai tempat

pertukaran darah, ion dan gas antara dinding pembuluh darah sehingga

S. agalactiae sebagai bakteri septicemia dengan mudah tumbuh dan berkembang

di daerah ini (Ferguson, 1989).

Adanya hipertropi dan hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan

mengalami eksoptalmia dan hemorrhagi bisa tampak secara makroskopis pada

mata ikan. Sama halnya dengan Filho et al. (2009) menemukan adanya infiltrasi

pada bagian choroid dan periorbital, dan tidak ditemukan kelainan pada bagian

retina mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae.

Perubahan pada mata (eksoptalmia dan purulens) mulai tampak pada jam

ke-24 pasca injeksi dengan S. agalactiae tipe non hemolitik dan 120 jam pasca

injeksi dengan β-hemolitik. Perubahan secara histopatologi juga terdeteksi pada

jam tersebut dan perubahan masih ditemukan pada ikan nila hingga hari ke-14

pasca injeksi. Filho et al. (2009) juga masih menemukan perubahan pada

histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-

hemolitik hingga hari ke-14 dan tidak ditemukan histopatologinya pada hari ke-21

dan 28 pasca injeksi.

66

Organ Otak

Menurut Rahardjo (1985) otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu

telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan

myelencephalon. Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat

pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon

terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian

yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya

terdapat hypophysa (kelenjar pituitary). Mesencephalon (otak tengah) pada ikan

relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting

yaitu tektum optikum (organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan)

dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam

metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan

tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan

medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk

menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial.

Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang

abnormal (miring, berulang) dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang

whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan

nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan

encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi

Streptococcus iniae pada ikan yellowtails (Ferguson, 1989). Selain itu tampak

adanya kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya

jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon (otak belakang), yang ditunjukkan

dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh

kranial (Gambar 24D). Hipertropi juga terjadi pada neuron (Gambar 24C) yaitu

adanya peningkatan komponen sel neuron.

67

Gambar 24 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. otak belakang (myelencephalon) normal 1 bar = 20µm B. otak belakang cg: kongesti dan hemorrhagik pada otak, h: hipertropi, 1 bar = 20µm. C & D otak cerebellum. c. bagian kranial mengalami vacuolar (v) 1 bar = 50µm; dg: degenerasi dan nekrosa pada kranial 1 bar = 20µm.

Ikan nila yang mengalami whirling pasca injeksi S. agalactiae ditemukan

adanya pendarahan pada bagian telencephalon dan cerebellum. Kadang juga

ditemukan juga adanya inflamasi dan infiltrasi pada bagian myocardium pada ikan

yang diinjeksi dengan S. agalactiae pada hari ke-3, 7 dan 14. Histopatologi pada

otak tidak ditemukan lagi pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi (Filho et al., 2009).

Vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel (nekrosis) pada bagian kranial

dalam cerebellum, selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal

sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi

secara sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan

menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut (Gambar 24C.v).

Apabila kerusakan terjadi pada syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya

syaraf yang mengontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang,

sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar

(whirling). Vakuolisasi juga ditemukan pada otak ikan kerapu tikus (Cromileptes

altivelis) yang mengalami whirling akibat infeksi bakteri Vibrio alginolyticus

(Murdjani, 2002)

68

Organ Ginjal

Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya

kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa. Pada

Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi

dengan S. agalactiae.

Gambar 25 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae.

A. normal. B, C, D. ginjal yang mengalami perubahan n: degenerasi dan nekrosa, h: hypertropi pada epitelium tubulus ginjal, p: pendarahan. 1 bar = 100 µm (A, C, D) dan 50 µm (B)

Hipertropi dan pendarahan yang terjadi disebabkan karena S. agalactiae

masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal.

Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses

enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa

pada tubulus ginjal. Kondisi ini merusak struktur dan fungsi ginjal, yang

n

69

mengakibatkan terganggunya proses-proses fisiologik di dalam tubuh ikan bahkan

dapat menyebabkan kematian.

Perubahan yang tampak umumnya tidak berbeda dengan perubahan yang

terjadi pada mata dan otak, degenerasi dan nekrosa terjadi akibat adanya infeksi

bakteri. Pendarahan juga terjadi, sama halnya yang terjadi pada mata, yang

menunjukkan bahwa S. agalactiae merusak jaringan dalam organ. Penyebaran

bakteri ini ke dalam organ ikan dilakukan melalui darah, S. agalactiae masuk ke

dalam aliran darah, dapat tumbuh, berkembang dan menyebar melalui darah

sehingga disebut juga sebagai bakteri septicemia. Infiltrasi ditemukan pada ginjal

ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae, selain itu tampak juga adanya

melanomacrophages pada ginjal ikan yang mengalami perubahan warna

menghitam (Filho et al., 2009).

Nekrosis juga terjadi pada kapsul bowman yang diduga sebagai akibat

infeksi bakteri yang mengeluarkan toksin dan dapat merusak sel-sel ginjal.

Dengan rusaknya ginjal, akan memudahkan bakteri masuk ke dalam jaringan

ginjal dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sama halnya dengan ikan

kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus

pada organ ginjalnya ditemukan adanya nekrosa dan pendarahan, yang diduga

akibat toksin yang dikeluarkan bakteri (Murdjani, 2002). Perubahan yang terjadi

secara mikroskopis antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan

non-hemolitik tidak jauh berbeda. Kedua bakteri menyebabkan perubahan seperti

yang terjadi pada organ mata, otak dan ginjal ikan nila.

Simpulan

Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati,

diperoleh beberapa simpulan yaitu :

1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat

secara makroskopis maupun mikroskopis.

2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran

darah dan patologi klinik darah.

3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan

dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat

70

dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan

patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat

pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik.

Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki

perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan

nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe

non-hemolitik dan isolat 3 (tipe β-hemolitik) untuk selanjutnya diuji toksisitas

extracellular product (ECP) untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari

S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila.