Upload
puspita-wulan-so
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 1/31
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Dasar-Dasar Perpajakan
II.1.1. Definisi Pajak
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu Negara dalam
pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam
negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna
bagi kepentingan bersama.
Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian
pajak yang dikemukakan Soemitro dalam Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum (h. 1).
Pengertian pajak menurut Adriani dalam M. Zain (2003) menyatakan bahwa
pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10).
Kemudian Smeets dalam Waluyo (2003) menyatakan bahwa pajak adalah
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 2/31
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang
dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah (h. 5).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya
yang sifatnya dapat dipaksakan.
2. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
II.1.2. Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2005) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan,
pengelompokan pajak dibagi atas :
1. Menurut golongannya
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 3/31
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
3. Menurut lembaga pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea
Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas :
● Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
● Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 4/31
Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. (h. 5, 6).
II.1.3. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-asas
pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Dengan demikian, terdapat
keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi,
yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature
and Cause of the Wealth of Nation menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada:
1. Keadilan ( Equality )
Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah.
2. Kepastian ( Certainty )
Pajak yang dibayar oleh wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi.
Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak,
objek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya.
3. Kemudahan ( Confinience of Payment )
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu
saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan / keuntungan yang
dikenakan pajak.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 5/31
4. Ekonomi ( Economic of Collection )
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, juga
sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.
Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih
besar dari penerimaan pajak yang diperoleh.
II.1.4. Fungsi-Fungsi Dan Tata Cara Pemungutan Pajak
Menurut Resmi, S. (2005) sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat
pada pengertian pajak dari berbagai definisi, ada dua fungsi pajak, yaitu :
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di
bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih
tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan.
Demikian pula terhadap barang mewah. ( h. 3).
Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2005) terdiri atas :
1) Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 6/31
a) Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
b) Stelsel anggapan ( fictieve stelsel )
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
c) Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya.
2) Asas Pemungutan Pajak
a) Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
b) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 7/31
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c) Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
untuk Wajib Pajak Luar Negeri.
3) Sistem Pemungutan Pajak
a) Official Assessment System
Adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak.
b) Self Assessment System
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 8/31
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c) With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. (h. 8, 9)
II.1.5. Subjek Dan Objek Pajak
Menurut Mardiasmo (2005), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek
Pajak atas penghasilan yang diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek
Pajak adalah :
1. a. Orang pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
2. Badan
3. Bentuk usaha tetap
Subjek pajak dibedakan menjadi :
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 9/31
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melelui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (h. 105).
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan. Yang termasuk penghasilan adalah:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
termasuk gaji, upah, honorarium, bonus, uang pensiun, atau imbalan dalam
bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 10/31
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
c.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran atau
pengambilalihan usaha.
d. Keuntungan karena hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan social yang ditetapkan Menteri Keuangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan
pengembalian utang
7. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8.
Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau prolehan pembayaran berkala.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 11/31
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha dari pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
II.2. Pajak Penghasilan
II.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan
Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No. 7
Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17
Tahun 2000, menyatakan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak.
Pajak Penghasilan menurut Waluyo (2003), menyatakan bahwa Pajak
Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya
dikategorikan sebagai Pajak Subjektif. Dengan pengertian bahwa Pajak
Penghasilan ini berpangkal atau didasarkan pada Subjek Pajaknya. (h. 54).
Menurut Suandy, E. (2005), Pajak Penghasilan termasuk sebagai kategori
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 12/31
pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah
memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Perpajakan. (h. 33).
Pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menurut Mardiasmo (2005)
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pajak Negara dan pajak daerah. Pajak
Negara yang masih berlaku sampai saat ini adalah : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM),
Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak daerah merupakan iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. (h. 97- 99).
II.2.2. Wajib Pajak dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Wajib Pajak PPh pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Keputusan Direktur
Jendral Pajak Nomor Kep-545 / PJ / 2000 adalah :
1. Pejabat Negara, adalah :
a) Presiden dan Wakil Presiden.
b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
c) Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 13/31
d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung.
e) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
f) Menteri dan Menteri Negara.
g) Jaksa Agung.
h) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi.
i) Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten.
j) Walikota dan Wakil Walikota.
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, PNS lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8
tahun 1974.
3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk
yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD.
4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang
menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.
5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya
menerima imbalam apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 14/31
7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk
orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau
Tunjangan Hari Tua.
8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh
imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.
Objek Pajak PPh Pasal 21
Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen
Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 tanggal 23 Pebruari 2006 pasal 5 adalah :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah honorarium (termasuk
honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi
bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan
istri, tunjangan anak.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau
mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, tunjangan
cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, dan penghasilan sejenis
lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima
atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 15/31
atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan
yang merupakan calon pegawai.
4. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT),
uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan
hubungan kerja.
5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain yang dilakukan Wajib
Pajak dalam negeri, terdiri dari :
a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara,
crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
c) Olahragawan.
d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f) Pemberi jasa dalam bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial.
g) Agen iklan.
h) Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan, peserta sidang atau rapat.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 16/31
i) Pembawa pesanan atau menemukan langganan.
j) Peserta perlombaan.
k) Petugas penjaja barang dagangan.
l) Petugas dinas luar asuransi.
m) Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan
sebagai calon pegawai.
n) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang sifatnyan terkait dengan
gaji yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS.
Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen
Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 pasal 7 adalah :
1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diatur dalam pasal 5
ayat (2).
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan
penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 18/31
2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong
Pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun
takwim.
3. Wajib Pajak berkewajiban memasukan SPT tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai
penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. (h. 146 dan 147).
II.2.4. Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Menurut Ilyas,W., B. (2003), yang bertindak sebagai Pemotong Pajak PPh
pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan penyelenggara
jamsostek, perusahaan, bentuk usaha tetap, yayasan, penyelenggara kegiatan yang
membayar honorarium kepada Wajib Pajak. Sedangkan yang tidak termasuk
Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah Badan perwakilan Negara asing dan Organisasi
internasional yang dikecualikan sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan.
Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah :
1. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21. Pengajuan permohonan dilakukan
secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan pajak sementara
pajak terutang dalam satu tahun pajak. Pengajuan permohonan paling lambat
tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 19/31
2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21
dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan
berikutnya dalam tahun yang bersangkutan.
3. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT
tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan
penghitungan tahunan.
4. Pemotong Pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri
dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun
sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat Direktur
Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan.
5. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur
Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Nihil.
6. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah :
1. Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam
rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 20/31
3. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap bulan takwim.
4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh pasal 21 sekalipun nihil
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik
diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang
pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima
Jaminan Hari Tua, dan penerima dana pensiun.
6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan
kepada pegawai tetap.
7. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak wajib
menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan
penerima pensiun bulanan menurut tariff UU Nomor 17 tahun 2000.
8. Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT
tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak
terdaftar.
9. Pemotong Pajak wajib melampiri SPT tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-
lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 21/31
10. Pemotong Pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila
jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar
daripadaPPh Pasal 21 yang disetor. (h. 128-130).
II.2.5. Tarif Dan Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21
Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 adalah sebagai berikut :
1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
a. Pegawai tetap, termasuk pejabat Negara, PNS, Anggota TNI / Polri, pejabat
Negara lainnya, pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris, atau
dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama.
b. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan.
c. Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai.
d. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenisnya.
Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar :
(1) Bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya
jabatan; iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai (termasuk iuran
tabungan hari tua/ tunjangan hari tua).
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 22/31
(2) Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar
penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya pensiun dan PTKP.
(3) Bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai adalah sebesar
penghasilan bruto dikurangi PTKP.
(4) Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP
per bulan.
PPh pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17 UU PPh
2. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto berupa :
a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pangawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama.
c. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
d. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun.
PPh pasal 21 = Penghasilan Bruto x tarif pasal 17 UU PPh
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 23/31
3. Tarif sebesar 15 %, ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau
terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan,
arsitek,dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris). Besarnya perkiraan
penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau
imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
PPh pasal 21 = ( Penghasilan Bruto x 50% ) x 15%
4. Tarif sebesar 5% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,- sehari tetapi
tidak melebihi Rp 1.100.000,- dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan
secara bulanan.
PPh pasal 21 sehari = ( Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,- ) x 5%
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Tabel II.1. Tarif Pajak atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Rp 0,- s.d. Rp 25.000.000,- 5%
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 24/31
Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,-
Di atas Rp 200.000.000,-
10%
15%
25%
35%
II.2.6. Pengurangan Yang Diperbolehkan
Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 yang terutang kepada penerima
penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi menurut Peraturan
Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :
1. Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang besarnya 5 % dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp
1.296.000,- setahun atau 108.000,- sebulan.
2. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang
pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan
jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp
36.000,- sebulan.
3. Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan UU PPh pasal 17 tahun
2000, Keputusan Menteri Keuangan No. 564/ KMK.03 /2004, dan Peraturan
Menteri Keuangan No.137/ PMK.03 / 2005.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 25/31
Tabel II.2. Penyesuaian PTKP Dari Waktu ke Waktu
Keterangan UU PPh pasal
17 (tahun 2000)
KMK No. 564/
KMK.03/2004
(tahun 2005)
PMK No. 137/
PMK.03/2005
(tahun 2006)
1. Untuk diri Wajib
Pajak ybs.
2. Tambahan untuk
Wajib Pajak yang
berstatus kawin.
3. Tambahan untuk
seorang isteri
yang
penghasilannya
digabung dengan
penghasilan
suami.
4. Tambahan untuk
setiap anggota
keluarga sedarah/semenda dalam
garis keturunan
lurus serta anak
Rp. 2.880.000,-
Rp 1.440.000,-
Rp 2.880.000,-
Rp 1.440.000,-
Rp 12.000.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 12.000.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 13.200.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 13.200.000,-
Rp 1.200.000,-
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 26/31
angkat, yang
menjadi
tanggungan
sepenuhnya,
paling banyak
tiga orang.
4. Keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang.
5. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya
sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya
sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya.
6. Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah
setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau
memperoleh penghasilan diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 1.200.000,-
setahun atau Rp 100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.
7. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim.
Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian
tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan
dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 27/31
8. Pengurangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) sampai (3) tidak berlaku
terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan
pemotongan PPh pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan
bruto.
II.2.7. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
Menurut Suandy, E. (2006), penghitungan Pajak Penghasila pasal 21 dilakukan
dengan mengkalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pajak Penghasilan Kena
Pajak adalah penghasilan neto dikurang dengan PTKP. Penghasilan neto dihitung
dengan 2 cara yaitu :
1. Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan.
2. Penghasilan bruto dikalikan dengan persentase norma penghiungan
penghasilan neto.Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai
dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP.
3. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim.
Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam
bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. (h.
121).
Berikut ini perhitungan PPh pasal 21 yang terutang pada pegawai tetap secara umum :
Gaji pokok xxx
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 28/31
Jamsostek xxx
Tunjangan-tunjangan xxx +
Penghasilan bruto xxx
Pengurangan:
Biaya jabatan xxx
Iuran pensiun xxx
Iuran Jaminan Hari Tua xxx +
xxx -
Penghasilan neto sebulan xxx
Penghasilan netto setahun xxx
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :
Wajib Pajak xx
Tambahan menikah xx
Tanggungan (maksimum 3) xx +
Penghasilan Tidak kena Pajak xxx -
Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh pasal 21 setahun terutang:
5% ( Penghasilan sampai dengan Rp 25.000.000,- )
10% ( Diatas Rp 25.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- )
15% ( Diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- )
25% ( Diatas Rp 100.000.000,- sampai dengan Rp 200.000.000,- )
35% ( Diatas Rp 200.000.000)
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 30/31
c. Loopholes, shelters dan havens . (h. 14).
III.3.2. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak
Menurut E. Suandy (2005), dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan
yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak
sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus
memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat local maupun internasional, maka
agar tax planning dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perncanaan
itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut :
1. Analisis informasi yang ada (analysis of the existing data base).
2. Buat satu model atau lebih rencana kemungkinana besarnya pajak (design of one
or more possible tax plans).
3. Evaluasi pelaksanaan rencana pajak (evaluating a tax plan).
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plan).
5. Mutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan). (h. 14).
III.3.3. Pengelolaan Efisiensi PPh dengan pemberian kesejahteraan
Peluang melakukan efisiensi PPh badan sangat banyak yang dapat dilakukan
pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi
yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan,
8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2
http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 31/31
sebagai berikut :
1. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah
dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikankesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena
pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan secara final, sebaiknya
memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena
pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek pajak PPh pasal 21
dan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan.
3. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan
menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.