31
BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar-Dasar Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu Negara dalam  pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna  bagi kepentingan bersama. Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian  pajak yang dikemukakan Soemitro dalam Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa  pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (h. 1). Pengertian pajak menurut Adriani dalam M. Zain (2003) menyatakan bahwa  pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10). Kemudian Smeets dalam Waluyo (2003) menyatakan bahwa pajak adalah

2007-1-00009-AK-Bab 2

Embed Size (px)

Citation preview

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 1/31

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Dasar-Dasar Perpajakan

II.1.1. Definisi Pajak

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu Negara dalam

pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam

negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna

bagi kepentingan bersama.

Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian

pajak yang dikemukakan Soemitro dalam Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa

pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang

langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

umum (h. 1).

Pengertian pajak menurut Adriani dalam M. Zain (2003) menyatakan bahwa

pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)

dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas

negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10).

Kemudian Smeets dalam Waluyo (2003) menyatakan bahwa pajak adalah

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 2/31

prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang

dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal

yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah (h. 5).

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang

melekat pada pengertian pajak adalah:

1. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya

yang sifatnya dapat dipaksakan.

2. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat

ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari

pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public

investment.

II.1.2. Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2005) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan,

pengelompokan pajak dibagi atas :

1. Menurut golongannya

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 3/31

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak

dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain.

2. Menurut sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

3. Menurut lembaga pemungutannya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea

Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak daerah terdiri atas :

● Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di

Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

● Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 4/31

Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. (h. 5, 6).

II.1.3. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-asas

pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Dengan demikian, terdapat

keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi,

yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak

sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature

and Cause of the Wealth of Nation menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya

didasarkan pada:

1. Keadilan ( Equality )

Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan

kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di

bawah perlindungan pemerintah.

2. Kepastian ( Certainty )

Pajak yang dibayar oleh wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi.

Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak,

objek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya.

3. Kemudahan ( Confinience of Payment )

Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu

saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan / keuntungan yang

dikenakan pajak.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 5/31

4. Ekonomi ( Economic of Collection )

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, juga

sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.

Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih

besar dari penerimaan pajak yang diperoleh.

II.1.4. Fungsi-Fungsi Dan Tata Cara Pemungutan Pajak

Menurut Resmi, S. (2005) sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat

pada pengertian pajak dari berbagai definisi, ada dua fungsi pajak, yaitu :

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan

pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di

bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih

tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan.

Demikian pula terhadap barang mewah. ( h. 3).

Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2005) terdiri atas :

1) Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 6/31

a) Stelsel nyata (riel stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga

pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah

penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

b) Stelsel anggapan ( fictieve stelsel )

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-

undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun

sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya

pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

c) Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,

kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang

sebenarnya.

2) Asas Pemungutan Pajak

a) Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang

bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam

maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

b) Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 7/31

wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

c) Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya

pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan

berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku

untuk Wajib Pajak Luar Negeri.

3) Sistem Pemungutan Pajak

a) Official Assessment System

Adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah

(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya :

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

2) Wajib Pajak bersifat pasif.

3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak.

b) Self Assessment System

Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya :

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib

Pajak sendiri.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 8/31

2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang.

3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c) With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak

ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk

menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada

pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. (h. 8, 9)

II.1.5. Subjek Dan Objek Pajak

Menurut Mardiasmo (2005), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek

Pajak atas penghasilan yang diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek

Pajak adalah :

1. a. Orang pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

2. Badan

3. Bentuk usaha tetap

Subjek pajak dibedakan menjadi :

1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 9/31

a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang

berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau

orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang

berhak.

2. Subjek Pajak luar negeri

a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melelui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (h. 105).

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan. Yang termasuk penghasilan adalah:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

termasuk gaji, upah, honorarium, bonus, uang pensiun, atau imbalan dalam

bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 10/31

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan

badan lainnya sebagai pengganti saham.

b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya

karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.

c.

Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran atau

pengambilalihan usaha.

d. Keuntungan karena hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan

kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan

badan keagamaan atau badan social yang ditetapkan Menteri Keuangan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan

pengembalian utang

7. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

8.

Royalti.

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. Penerimaan atau prolehan pembayaran berkala.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 11/31

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. Premi asuransi.

15. Iuran yang diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib

Pajak yang menjalankan usaha dari pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak.

II.2. Pajak Penghasilan

II.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan

Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No. 7

Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17

Tahun 2000, menyatakan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak.

Pajak Penghasilan menurut Waluyo (2003), menyatakan bahwa Pajak

Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya

dikategorikan sebagai Pajak Subjektif. Dengan pengertian bahwa Pajak

Penghasilan ini berpangkal atau didasarkan pada Subjek Pajaknya. (h. 54).

Menurut Suandy, E. (2005), Pajak Penghasilan termasuk sebagai kategori

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 12/31

pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah

memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Perpajakan. (h. 33).

Pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menurut Mardiasmo (2005)

dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pajak Negara dan pajak daerah. Pajak

Negara yang masih berlaku sampai saat ini adalah : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM),

Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak daerah merupakan iuran wajib yang

dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. (h. 97- 99).

II.2.2. Wajib Pajak dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21

Wajib Pajak PPh pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Keputusan Direktur

Jendral Pajak Nomor Kep-545 / PJ / 2000 adalah :

1. Pejabat Negara, adalah :

a) Presiden dan Wakil Presiden.

b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota.

c) Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 13/31

d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung.

e) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

f) Menteri dan Menteri Negara.

g) Jaksa Agung.

h) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi.

i) Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten.

j) Walikota dan Wakil Walikota.

2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, PNS lainnya yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8

tahun 1974.

3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan

perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk

yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD.

4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang

menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.

5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12

bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain

sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.

6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya

menerima imbalam apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 14/31

7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau

memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk

orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau

Tunjangan Hari Tua.

8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh

imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.

Objek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen

Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 tanggal 23 Pebruari 2006 pasal 5 adalah :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara

teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah honorarium (termasuk

honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi

bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan

istri, tunjangan anak.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau

mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, tunjangan

cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, dan penghasilan sejenis

lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.

3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima

atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 15/31

atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan

yang merupakan calon pegawai.

4. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT),

uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan

hubungan kerja.

5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam

bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain yang dilakukan Wajib

Pajak dalam negeri, terdiri dari :

a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,

akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.

b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara,

crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,

pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.

c) Olahragawan.

d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.

e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

f) Pemberi jasa dalam bidang termasuk teknik, komputer dan sistem

aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial.

g) Agen iklan.

h) Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu

kepanitiaan, peserta sidang atau rapat.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 16/31

i) Pembawa pesanan atau menemukan langganan.

j) Peserta perlombaan.

k) Petugas penjaja barang dagangan.

l) Petugas dinas luar asuransi.

m) Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan

sebagai calon pegawai.

n) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan

sejenis lainnya.

6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang sifatnyan terkait dengan

gaji yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS.

Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen

Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 pasal 7 adalah :

1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,

asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang

diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diatur dalam pasal 5

ayat (2).

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan

penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 17/31

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 18/31

2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong

Pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun

takwim.

3. Wajib Pajak berkewajiban memasukan SPT tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai

penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. (h. 146 dan 147).

II.2.4. Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Menurut Ilyas,W., B. (2003), yang bertindak sebagai Pemotong Pajak PPh

pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan penyelenggara

jamsostek, perusahaan, bentuk usaha tetap, yayasan, penyelenggara kegiatan yang

membayar honorarium kepada Wajib Pajak. Sedangkan yang tidak termasuk

Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah Badan perwakilan Negara asing dan Organisasi

internasional yang dikecualikan sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 berdasarkan

keputusan Menteri Keuangan.

Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah :

1. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka

waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21. Pengajuan permohonan dilakukan

secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan pajak sementara

pajak terutang dalam satu tahun pajak. Pengajuan permohonan paling lambat

tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 19/31

2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21

dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan

berikutnya dalam tahun yang bersangkutan.

3. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT

tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan

penghitungan tahunan.

4. Pemotong Pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri

dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun

sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat Direktur

Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan.

5. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur

Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat

Ketetapan Pajak Nihil.

6. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam

bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak

terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah :

1. Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam

rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 20/31

3. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh Pasal 21 yang

terutang untuk setiap bulan takwim.

4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh pasal 21 sekalipun nihil

dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan

Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik

diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang

pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima

Jaminan Hari Tua, dan penerima dana pensiun.

6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan

kepada pegawai tetap.

7. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak wajib

menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan

penerima pensiun bulanan menurut tariff UU Nomor 17 tahun 2000.

8. Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT

tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak

terdaftar.

9. Pemotong Pajak wajib melampiri SPT tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-

lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21

untuk tahun pajak yang bersangkutan.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 21/31

10. Pemotong Pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila

jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar

daripadaPPh Pasal 21 yang disetor. (h. 128-130).

II.2.5. Tarif Dan Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam

Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 adalah sebagai berikut :

1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :

a. Pegawai tetap, termasuk pejabat Negara, PNS, Anggota TNI / Polri, pejabat

Negara lainnya, pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris, atau

dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang

sama.

b. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan.

c. Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai.

d. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan

sejenisnya.

Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar :

(1) Bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya

jabatan; iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai (termasuk iuran

tabungan hari tua/ tunjangan hari tua).

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 22/31

(2) Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar

penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya pensiun dan PTKP.

(3) Bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai adalah sebesar

penghasilan bruto dikurangi PTKP.

(4) Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan

sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP

per bulan.

PPh pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17 UU PPh

2. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto berupa :

a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam

bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam

bentuk apapun.

b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan

pangawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang

sama.

c. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan

pegawai.

d. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh

Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun.

PPh pasal 21 = Penghasilan Bruto x tarif pasal 17 UU PPh

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 23/31

3. Tarif sebesar 15 %, ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau

terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan,

arsitek,dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris). Besarnya perkiraan

penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau

imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

PPh pasal 21 = ( Penghasilan Bruto x 50% ) x 15%

4. Tarif sebesar 5% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah

borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,- sehari tetapi

tidak melebihi Rp 1.100.000,- dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan

secara bulanan.

PPh pasal 21 sehari = ( Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,- ) x 5%

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang

Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

Tabel II.1. Tarif Pajak atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Rp 0,- s.d. Rp 25.000.000,- 5%

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 24/31

Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-

Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-

Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,-

Di atas Rp 200.000.000,-

10%

15%

25%

35%

II.2.6. Pengurangan Yang Diperbolehkan

Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 yang terutang kepada penerima

penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi menurut Peraturan

Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan

berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :

1. Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara

penghasilan yang besarnya 5 % dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud

dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp

1.296.000,- setahun atau 108.000,- sebulan.

2. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang

pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan

jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp

36.000,- sebulan.

3. Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan UU PPh pasal 17 tahun

2000, Keputusan Menteri Keuangan No. 564/ KMK.03 /2004, dan Peraturan

Menteri Keuangan No.137/ PMK.03 / 2005.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 25/31

Tabel II.2. Penyesuaian PTKP Dari Waktu ke Waktu

Keterangan UU PPh pasal

17 (tahun 2000)

KMK No. 564/

KMK.03/2004

(tahun 2005)

PMK No. 137/

PMK.03/2005

(tahun 2006)

1. Untuk diri Wajib

Pajak ybs.

2. Tambahan untuk

Wajib Pajak yang

berstatus kawin.

3. Tambahan untuk

seorang isteri

yang

penghasilannya

digabung dengan

penghasilan

suami.

4. Tambahan untuk

setiap anggota

keluarga sedarah/semenda dalam

garis keturunan

lurus serta anak

Rp. 2.880.000,-

Rp 1.440.000,-

Rp 2.880.000,-

Rp 1.440.000,-

Rp 12.000.000,-

Rp 1.200.000,-

Rp 12.000.000,-

Rp 1.200.000,-

Rp 13.200.000,-

Rp 1.200.000,-

Rp 13.200.000,-

Rp 1.200.000,-

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 26/31

angkat, yang

menjadi

tanggungan

sepenuhnya,

paling banyak

tiga orang.

4. Keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat

yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang.

5. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya

sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya

sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan

sepenuhnya.

6. Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah

setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau

memperoleh penghasilan diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 1.200.000,-

setahun atau Rp 100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.

7. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim.

Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian

tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan

dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 27/31

8. Pengurangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) sampai (3) tidak berlaku

terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan

pemotongan PPh pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan

bruto.

II.2.7. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Menurut Suandy, E. (2006), penghitungan Pajak Penghasila pasal 21 dilakukan

dengan mengkalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pajak Penghasilan Kena

Pajak adalah penghasilan neto dikurang dengan PTKP. Penghasilan neto dihitung

dengan 2 cara yaitu :

1. Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan.

2. Penghasilan bruto dikalikan dengan persentase norma penghiungan

penghasilan neto.Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai

dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP.

3. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim.

Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam

bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan

keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. (h.

121).

Berikut ini perhitungan PPh pasal 21 yang terutang pada pegawai tetap secara umum :

Gaji pokok xxx

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 28/31

Jamsostek xxx

Tunjangan-tunjangan xxx +

Penghasilan bruto xxx

Pengurangan:

Biaya jabatan xxx

Iuran pensiun xxx

Iuran Jaminan Hari Tua xxx +

xxx -

Penghasilan neto sebulan xxx

Penghasilan netto setahun xxx

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

Wajib Pajak xx

Tambahan menikah xx

Tanggungan (maksimum 3) xx +

Penghasilan Tidak kena Pajak xxx -

Penghasilan Kena Pajak xxx

PPh pasal 21 setahun terutang:

5% ( Penghasilan sampai dengan Rp 25.000.000,- )

10% ( Diatas Rp 25.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- )

15% ( Diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- )

25% ( Diatas Rp 100.000.000,- sampai dengan Rp 200.000.000,- )

35% ( Diatas Rp 200.000.000)

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 29/31

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 30/31

c. Loopholes, shelters dan havens . (h. 14).

III.3.2. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak

Menurut E. Suandy (2005), dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan

yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak

sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus

memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat local maupun internasional, maka

agar tax planning dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perncanaan

itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut :

1. Analisis informasi yang ada (analysis of the existing data base).

2. Buat satu model atau lebih rencana kemungkinana besarnya pajak (design of one

or more possible tax plans).

3. Evaluasi pelaksanaan rencana pajak (evaluating a tax plan).

4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak

(debugging the tax plan).

5. Mutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan). (h. 14).

III.3.3. Pengelolaan Efisiensi PPh dengan pemberian kesejahteraan

Peluang melakukan efisiensi PPh badan sangat banyak yang dapat dilakukan

pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi

yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan,

8/15/2019 2007-1-00009-AK-Bab 2

http://slidepdf.com/reader/full/2007-1-00009-ak-bab-2 31/31

sebagai berikut :

1. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah

dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikankesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena

pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.

2. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan secara final, sebaiknya

memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena

pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek pajak PPh pasal 21

dan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan.

3. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan

menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.