12
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah Selatan berbatasan dengan daratan utama Pulau Jawa dengan Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Tangerang, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Laut Jawa (Selat Sunda). Wilayah Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman perairan yang bervariasi yaitu berkisar antara kurang dari 5 m hingga lebih dari 75 m. Setiap pulau umumnya dikelilingi oleh paparan pulau (island shelf) yang luasnya dapat mencapai 20 kali lebih luas dari pulau tersebut serta memiliki kedalaman laut kurang dari 5 m. Selain paparan pulau, setiap pulau juga memiliki daerah rataan karang (reef flat) yang luas dengan kedalaman 0,5-1,0 m pada saat air surut dengan jarak 60-80 m dari garis pantai. Secara geologi gugus Kepulauan Seribu tergolong relatif muda, hal ini disebabkan inti utama batuan baru terbentuk kurang lebih 12.000 tahun sebelum masehi (Tomascik et al., 1997). Secara spesifik, pulau-pulau di kawasan tersebut dibentuk dari gosong terumbu. Gosong terumbu terbentuk karena pengaruh perubahan musim. Selama musim barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan membawa kandungan nutrien yang berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrien tersebut menyebabkan jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan ... · Terdapat 105 pulau di kepulauan Seribu, tetapi pulau yang dikatakan pulau berpenduduk hanya terdapat di 11 pulau, yaitu

  • Upload
    ngokiet

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu

Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut

Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

Selatan berbatasan dengan daratan utama Pulau Jawa dengan Kecamatan

Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan

Tangerang, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Laut Jawa (Selat

Sunda).

Wilayah Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman perairan yang

bervariasi yaitu berkisar antara kurang dari 5 m hingga lebih dari 75 m. Setiap

pulau umumnya dikelilingi oleh paparan pulau (island shelf) yang luasnya dapat

mencapai 20 kali lebih luas dari pulau tersebut serta memiliki kedalaman laut

kurang dari 5 m. Selain paparan pulau, setiap pulau juga memiliki daerah rataan

karang (reef flat) yang luas dengan kedalaman 0,5-1,0 m pada saat air surut

dengan jarak 60-80 m dari garis pantai.

Secara geologi gugus Kepulauan Seribu tergolong relatif muda, hal ini

disebabkan inti utama batuan baru terbentuk kurang lebih 12.000 tahun sebelum

masehi (Tomascik et al., 1997). Secara spesifik, pulau-pulau di kawasan tersebut

dibentuk dari gosong terumbu. Gosong terumbu terbentuk karena pengaruh

perubahan musim. Selama musim barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir

dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan membawa kandungan nutrien yang

berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrien tersebut menyebabkan

jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan

5

pertumbuhan karang dan menyebabkan karang memutih dan mati. Karang yang

mati tersebut membentuk gosong dan secara akumulatif dapat membentuk pulau-

pulau kecil setelah ratusan hingga jutaan tahun (Tomascik et al., 1997).

Wilayah Kepulauan Seribu merupakan ekosistem yang memiliki hamparan

terumbu karang yang cukup luas dan relatif datar. Kawasan Kepulauan Seribu

memiliki topografi daratan yang landai dengan ketinggian sekitar 0-2 meter di atas

permukaan laut. Luas darat dapat berubah dipengaruhi oleh dinamika pasang

surut yang tinggi pasangnya mencapai 1-1,5 meter. Terumbu di Kepulauan Seribu

umumnya merupakan gosong terumbu (patch reef), yang secara evolusi geologis

membentuk daratan pulau di permukaan lautnya.

2.2. Kondisi Oseanografi dan Klimatologi

Tipe iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu

maksimum mencapai 32 °C, minimum 21 °C, dan rata-rata mencapai 27 °C.

Kelembaban udara rata-rata 80% yang dipengaruhi oleh variasi tekanan udara.

Pada November hingga April berlangsung musim hujan dengan hari hujan

berkisar antara 10 sampai 20 hari per bulan. Sementara musim kemarau terjadi

pada Mei hingga Oktober dengan 4-10 hari hujan per bulan. Mengacu pada data

TERANGI tahun 2000, curah hujan bulanan di Kepulauan Seribu tercatat rata-rata

142,54 mm dengan curah hujan terendah pada Juni (0 mm) dan tertinggi pada

September (307 mm). Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim

barat berkisar antara 28,5-30,0 °C. Pada musim timur suhu air permukaan antara

28,5-31,0 °C. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata

antara musim barat dengan musim timur.

6

Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai

harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan 0,5 m di

bawah duduk tengah. Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 m

dan rata-rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m. Ketinggian air

tahunan terbesar mencapai 1,10 m (Estradivari et al., 2009).

Keadaan angin pada kawasan ini dipengaruhi oleh musim angin barat dan

musim angin timur. Biasanya musim angin barat terjadi pada bulan Desember

sampai dengan bulan Maret, kecepatan angin yang bertiup dari arah barat daya

sampai dengan barat laut adalah sebesar 7-20 knot/ jam. Pada bulan Desember

sampai dengan Februari biasanya angin bertiup dengan kecepatan di atas 20 knot/

jam. Pada musim angin timur, kecepatan angin yang bertiup dari arah timur laut

sampai tenggara berkisar antara 7-15 knot/jam, biasanya terjadi pada bulan Juli

sampai dengan September. Sementara itu, pada musim peralihan yang terjadi

pada bulan Juni sampai dengan bulan Mei, dan antara bulan Oktober dan

Nopember, angin bertiup dengan kecepatan relatif rendah.

Hasil survey TERANGI tahun 2007, didapatkan data kecepatan arus di

sejumlah lokasi pengukuran dalam waktu yang berbeda, kecepatan arus di

Kepulauan Seribu berkisar 0,6 cm/detik hingga 77,3 cm/detik. Kecepatan arus

dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada

musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan arah ke timur sampai

tenggara. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian

antara 0,5-1,175 m, sedangkan pada musim timur 0,5-1,0 m.

7

2.3. Kondisi Umum Demografi

Terdapat 105 pulau di kepulauan Seribu, tetapi pulau yang dikatakan pulau

berpenduduk hanya terdapat di 11 pulau, yaitu Pulau Panggang, Pulau Pramuka,

Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, Pulau Sebira, Pulau Tidung

Besar, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa.

Kondisi penduduk di Kepulauan Seribu setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak 19,255 jiwa dan pada tahun 2004

meningkat menjadi 19,593 jiwa (Estradivari et al., 2009).

Pada tahun 2002, mata pencaharian penduduk yang mendominasi di

Kepulauan Seribu ialah nelayan (69,36%) yang kemudian diikuti oleh mata

pencaharian sebagai pedagang (10,39%). Jumlah penduduk terbesar yang

berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Pari (84,51%) diikuti

Kelurahan Pulau Panggang. Sedangkan kelurahan yang penduduknya paling

sedikit berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Harapan (48,62%).

Mata pencaharian penduduk yang mendominasi di Kepulauan Seribu menurut

data TERANGI tahun 2003-2004 adalah nelayan sebanyak 5.430 orang, yang

kemudian diikuti oleh mata pencaharian sebagai petani rumput laut sebanyak

5.238 orang diikuti oleh pekerjaan sebagai swasta sebesar 5.008 orang.

2.4. Ekosistem Terumbu Karang

2.4.1. Definisi Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan (binatang) karang

(reef corals), yang hidup di dasar perairan yang berupa batuan kapur (CaCO3) dan

memiliki kemampuan cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut

(Supriharyono, 2007). Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif

8

terutama dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang (filum

Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria/Scleractenia) dengan sedikit

tambahan dari alga berkapur serta oragnisme lain yang mengeluarkan kalsium

karbonat (Dahuri et al., 1996). Menurut Odum (1993), terumbu karang

merupakan bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota (hewan maupun

tumbuhan), yang terus menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut

sehingga menghasilkan endapan kapur yang menjadi rangka, kemudian secara

keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur.

Karang terbagi menjadi dua kelompok yaitu karang pembentuk terumbu

(hermatipik) dan karang yang bukan pembentuk terumbu (ahermatipik). Karang

hermatipik bersimbiosis dengan zooxanthellae, membutuhkan sinar matahari

untuk membangun terumbu yang berasal dari endapan kapur. Karang ahermatipik

tidak dapat membangun terumbu sehingga dikenal sebagai non-reef building

coral, pada umumnya tidak tergantung sinar matahari (Veron, 1996).

2.4.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang

Sebaran karang tidak hanya terbatas secara horizontal namun juga terbatas

secara vertikal. Pertumbuhan dan kecepatan tumbuh berkurang secara

eksponensial dengan kedalaman. Keanekaragaman, penyebaran dan petumbuhan

karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya

tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik

dari faktor alam maupun dari aktifitas manusia. Gangguan yang berasal dari

alam berasal dari faktor biologis dan fisik-kimia. Faktor biologis adalah

gangguan dari predator (Supriharyono, 2007). Faktor fisik-kimia yang

mempengaruhi kehidupan dan/atau laju pertumbuhan karang antara lain :

9

1. Cahaya

Binatang karang bersimbiosis dengan algae zooxanthellae, sebagaimana telah

diketahui bahwa algae tersebut melakukan fotosintesis, maka faktor cahaya

sangat penting dalam kehidupan terumbu karang. Kompensasi binatang karang

dengan cahaya adalah pada intensitas antara 200-700 fc (foot candle), (pada

umumnya 300-500 fc) atau 15%-20% dari intensitas cahaya di permukaan,

dengan kondisi tersebut menyebabkan terumbu karang umumnya tersebar di

daerah tropis (Kanwisher and Wainwright 1967 in Supriharyono, 2007). Hal

ini berkaitan pula dengan faktor kedalaman, penetrasi cahaya dapat mencapai

kedalaman yang dalam pada kawasan yang memiliki perairan yang jernih.

Secara umum terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kedalaman kurang

dari 20 meter (Supriharyono, 2007).

2. Kedalaman

Distribusi vertikal tergantung dari kedalaman, hal ini berhubungan dengan

penetrasi cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh karang, pada sebagian daerah

masih maksimal hingga kedalaman 40 meter (Nontji, 2005).

3. Suhu

Suhu perairan berkaitan erat dengan proses metabolisme karang. Suhu rataan

tahunan yang optimal dalam pertumbuhan karang adalah 23-25 oC, namun

dalam Supriharyono (2007), suhu yang baik untuk habitat terumbu karang

berkisar antara 25-29 oC, dengan toleransi minimum 16-17

oC dan toleransi

maksimum 36 oC.

10

4. Salinitas

Salinitas berpengaruh dalam kehidupan karang. Menurut Nontji (2005),

kisaran perubahan salinitas yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 27-40

psu, namun juga ditemui terumbu karang yang hidup dengan nilai salinitas 42

psu di kawasan Teluk Persia. Supriharyono (2007), menyatakan bahwa

binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34-36 psu.

5. Sedimentasi

Pengaruh sedimen dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Sedimen

dapat langsung mematikan hewan karang bila ukurannya terlalu besar sehingga

menutupi polip karang (Supriharyono, 2007). Pengaruh tidak langsungnya

adalah berkurangnya intensitas cahaya sehingga menghambat laju fotosintesis.

6. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut dapat mempengaruhi kehidupan karang, nilai optimum yang

dibutuhkan untuk metabolism di perairan terumbu karang adalah >4,0 mg

/l atau

>80% saturasi (Clark, 1996).

7. Kandungan nutrien

Ekosistem terumbu karang merupakan kawasan yang minim unsur hara,

masukan nutrien yang berlebihan dapat meningkatkan pertumbuhan alga

sehingga terjadi kelimpahan yang berlebihan, hal ini dapat menghambat

pertumbuhan karang karena terjadi kompetisi ruang (Effendi, 2003). Bila hal

ini berlangsung dalam waktu yang lama akan menyebabkan kematian pada

terumbu karang di kawasan tersebut karena alga umumnya cenderung lebih

cepat laju pertumbuhannya daripada terumbu karang.

11

8. Arus dan substrat dasar

Pertumbuhan dari terumbu karang menurut Sukarno (1983), dipengaruhi juga

oleh arus dalam laut dan substrat dasar perairan. Arus diperlukan karang

terutama untuk menyuplai makanan berupa mikroplankton, juga membersihkan

permukaan karang dari endapan material tersuspensi (Dahuri, 2003). Menurut

Rachmawati (2001), kecepatan arus dan turbulensi mempengaruhi morfologi

dan komposisi taksonomi karang terumbu.

2.4.3. Rugositas Terumbu Karang

Rugositas merupakan suatu bentuk pengukuran sederhana yang biasa

digunakan untuk menggambarkan kekasaran atau bentuk permukaan dasar

perairan (Magno dan Villanoy, 2006), dalam ekologi kelautan rugositas

menggambarkan kerutan atau kekasaran dari bentuk terumbu karang. Rugositas

memiliki beberapa sebutan lain, yaitu kompleksitas habitat, kompleksitas

topografi, dan kemajemukan substrat (Beck, 1998). Menurut perkembangan

dalam dunia kelautan saat ini, rugositas sangat berpengaruh terhadap

keanekaragaman spesies (Gratwicke dan Speight, 2005).

Kekasaran bentuk permukaan dasar termasuk parameter ekologi yang

penting (Friedlander dan Parrish, 1998). Area yang memiliki kemajemukan

habitat makin tinggi, lebih disukai oleh ikan terumbu dan lebih memiliki tempat

untuk tumbuh bagi alga, terumbu karang dan biota bentik yang lain (Rooney,

1993 ; Mumby, 2006). Rugositas juga berhubungan dengan karakteristik dari

komunitas ikan, penutupan terumbu karang, jenis gangguan yang dialami suatu

lokasi dan penyerapan nutrient (Kuffner et al., 2007 ; Anderson dan Precht, 1995 ;

Cooper et al., 2009)

12

2.5. Pemijahan Ikan Terumbu

Berkembang biak merupakan salah satu ciri dari makhluk hidup. Ikan

pada umumnya melakukan proses perkembangbiakan dengan cara memijah. Pada

beberapa spesies ikan, proses pemijahan ini dilakukan dengan cara beramai-

ramai/masal.

2.5.1. Klasifikasi Ikan Terumbu

Setiap individu ikan yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang

dikenal dengan istilah ikan terumbu (Choat dan Bellwood, 1991). Ikan tersebut

menghabiskan masa hidupnya, dari fase juvenil sampai dewasa di kawasan

terumbu karang. Habitat terumbu karang yang kaya dan bervariasi sangat

bermanfaat untuk kehidupan ikan-ikan tersebut (Wheeler, 1975). Asosiasi ini

dapat terjadi karena ekosistem terumbu karang kaya akan bahan makanan, selain

itu bentuk-bentuk pertumbuhan karang digunakan sebagai tempat perlindungan

dari predator yang ada. Keberadaan ikan di dalam kawasan ekosistem terumbu

karang sangat di pengaruhi oleh tingkat kesehatan terumbu karang yang ada,

selain itu kerumitan bentuk substrat (landai, tebing, dan terdapat goa-goa) serta

jenis substrat (pasir, lumpur, dan batu) juga berpengaruh pada keberadaan ikan

terumbu di kawasan tersebut (Hutomo, 1986).

Kelompok ikan terumbu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu

kelompok ikan yang kadang-kadang berada di daerah terumbu karang (contoh :

family Scrombidae, Mytophidae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan hiu) dan

kelompok ikan yang menggantungkan seluruh hidupnya pada ekosistem terumbu

karang (contoh : family Pomacentridae). Sale (2002), mengelompokkan ikan

terumbu menjadi tiga kelompok famili utama berdasarkan keeratan hubungannya

13

dengan terumbu karang, yaitu: Labroid : Labridae (wrasses), Scaridae (parrotfish),

dan Pomacentridae (damselfish); Acanthuroid: Acanthuridae (surgeonfishes),

Siganidae (rabbitfishes), Zanclidae (mooris idol), dan; Chaetodontid:

Chaetodontidae (butterflyfishes) dan Pomacanthidae (angelfish).

2.5.2. Definisi Pemijahan

Pemijahan merupakan proses alami yang dilakukan tiap makhluk hidup

dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya. Proses

pemijahan pada ikan belangsung dengan pelepasan sel telur oleh betinayang

kemudian diikuti dengan penyemprotan sel sperma oleh pejantan. Agregasi

adalah kondisi berkumpulnya satu spesies dalam jumlah yang sangat banyak

untuk tujuan tetentu, salah satunya adalah untuk memijah.

Agregasi pemijahan merupakan suatu fenomena di mana ikan dari suatu

kelompok spesies yang sama berkumpul dengan tujuan bereproduksi dalam

jumlah yang tinggi (Colin et al., 2003). Terdapat beberapa alasan yang menjadi

penyebab terjadinya pemijahan agregasi antara lain : memungkinkan ikan

menemukan pasangan dan menyamakan kesiapan fisiologis untuk memijah, serta

meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari serangan predator (Russel, 2001).

2.5.3. Ciri-ciri dan Tipe Pemijahan Agregasi

Terdapat beberapa tanda yang dapat diperhatikan dalam memperkirakan

terjadinya pemijahan agregasi. Menurut Muljadi et al. (2001) selain

bertambahnya jumlah ikan dalam suatu lokasi, terdapat beberapa perilaku yang

merupakan ciri-ciri dari terjadinya pemijahan agregasi, yaitu :

1. Adanya kumpulan kelompok kecil ikan yang bermigrasi menuju ke satu

wilayah terumbu tertentu.

14

2. Terkadang dijumpai agresi antara ikan jantan dengan jantan yang lain.

3. Perubahan warna yang tidak dijumpai pada waktu atau lokasi lain (khusus

untuk sejumlah spesies tertentu).

4. Luka gigitan yang masih segar pada tubuh ikan

5. Perut betina bunting sehingga terlihat bengkak.

6. Ikan terlihat berenang atau merapat di substrat secara berpasangan.

7. Ikan bermanuver untuk melepaskan gametnya.

Menurut Domeier et al., (2002) pemijahan agregasi terbagi menjadi 2 tipe,

yaitu:

1. Resident spawning aggregation (agregasi menetap). Tipe pemijahan ini

berlangsung singkat (1-2 jam). Waktu terjadinya spesifik dalam satu hari dari

beberapa hari, dapat berlangsung sepanjang tahun, serta terdapat migrasi

singkat ke lokasi pemijahan yang biasanya berukuran kecil dan terletak tidak

jauh dari habitat ikan.

2. Transient spawning aggregation (agregasi sementara). Tipe pemijahan ini

berlangsung selama beberapa hari atau minggu, terjadi pada beberapa bulan

dalam 1 tahun, dipengaruhi oleh fase bulan. Berlangsung tidak sepanjang

tahun serta melibatkan migrasi yang panjang menuju lokasi pemijahan yang

berukuran besar (10-100 km).

2.6. Habitat Pemijahan Ikan Terumbu

Menurut Russel (2001), terdapat hubungan antara pemijahan dengan fase

bulan. Fase bulan mempengaruhi keadaan arus pasang surut, hal ini berhubungan

dengan penyebaran larva ikan. Arus yang kencang memungkinkan larva lansung

15

terbawa ke laut terbuka, sehingga terhindar dari predator serta tingkat bertahan

hidupnya meningkat. Tempat pemijahan memiliki karakteristik arus yang kuat

yang bergerak menjauhi terumbu karang.

Menurut Heyman et al. (2004), terdapat faktor lain yang dapat

mempengaruhi pemijahan agregasi, yaitu suhu, kecepatan arus dan arah arus.

Suhu yang diamati adalah suhu udara, permukaan, dan lokasi pemijahan. Suhu

menjadi faktor penting karena pada pemijahan spesies tertentu sangat dipengaruhi

oleh kondisi suhu perairan. Kecepatan dan arah arus berpengaruh langsung pada

penentuan penyebaran larva ikan.

Yayasan Taka (2003) menyebutkan bahwa lokasi pemijahan biasanya

berupa lokasi yang berada pada terumbu karang yang berbentuk

semenanjung/menjorok ke laut lepas. Bentuk topografi dasar perairan juga

menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi. Ketersediaan gua dan celah

karang memungkinkan betina untuk bersembunyi setelah pemijahan, sebab setelah

proses pemijahan ikan menjadi sangat rentan baik terhadap predator maupun

penangkapan berlebih oleh manusia. Proses pemijahan membuat ikan tersebut

melemah, sehingga sangat memerlukan tempat untuk berlindung.