Click here to load reader
Upload
puspa-fitriyana-dewi
View
33
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
about biomarker
Citation preview
Akbar Tahir
1. PENDAHULUAN
1.1. Pencemaran Laut
Di seluruh dunia, terdapat sekitar 3,5 milyar manusia hidup
di sekitar wilayah pesisir, dengan radius hingga 100 km dari bibir
pantai. Sehingga tidak mengherankan apabila limbah yang
berasal dari rumah tangga dan industri menyebabkan dampak
merusak di wilayah pesisir (Moore et al., 2004). Pencemaran laut
baik oleh senyawa organik dan logam berat menjadi sedemikian
meluas, sejalan dengan semakin berkembangnya kegiatan-
kegiatan industri dan pertambangan di abad XIX dan semakin
berkembang hingga saat ini. Bahan-bahan pencemar di
lingkungan laut yang diketahui berasal dari berbagai aktifitas
manusia telah lama diketahui memiliki dampak buruk yang tidak
diinginkan, yang memiliki kemampuan dalam merusak integritas
ekosistem di lingkungan lautan. Hal ini terutama disebabkan
karena dampak pencemaran anthropogenik di lingkungan lautan
telah sedemikian lama dibiarkan terjadi tanpa ada kepedulian
(ignored and neglected) hingga dampak yang dahsyat terjadi
pada lingkungan dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya.
Masalah pencemaran laut telah menarik perhatian
masyarakat internasional karena berbagai jenis bahan pencemar
seperti: pestisida organoklorin (OCP), polychlorinated biphenyls
(PCBs), polyaromatic hydrocarbons (PAHs), polychlorinated
dibenzo-dioxins (PCDDs), berbagai jenis logam berat, dsbnya,
terakumulasi di dalam jaringan tubuh berbagai organisme laut
dan melalui jaring makanan dapat terakumulasi dan menimbulkan
bahaya pada kesehatan manusia.
Pemantauan pencemaran laut menjadi hal penting sejalan
dengan semakin banyaknya bahan pencemar yang masuk ke
1
Akbar Tahir
lingkungan laut setiap tahun (Livingstone et al., 2000). Sedang
kenyataan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan laut tidak
selamanya dapat didiagnosa hanya dengan melakukan analisis
kimia air, karena tidak mampu untuk memberikan informasi
tentang kesehatan organisme dan lingkungan tempat hidupnya.
Selain itu, analisis kimia air juga dapat mengalami kegagalan
dalam mendeteksi kehadiran bahan pencemar karena rendahnya
konsentrasi yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi yang
sangat lambat, namun bisa jadi memiliki dampak biologis yang
signifikan.
Oleh Walker et al. (1996), bahan pencemar (pollutant)
didefinisikan sebagai suatu bahan kimia yang telah melampaui
konsentrasi awalnya dan memiliki potensi menyebabkan bahaya
(harm). Bahaya yang dimaksud disini termasuk perubahan-
perubahan biokimiawi dan fisiologis yang dapat menghasilkan
dampak buruk pada kemampuan organisme untuk beranak atau
bertelur, tumbuh dan bertahan hidup. Sedangkan Rand and
Petrocelli (1985) menggunakan istilah toxicant (bahan toksik)
untuk menggambarkan suatu bahan kimia yang mampu
menghasilkan suatu dampak buruk (adverse effect ) dalam suatu
sistem biologis melalui pengrusakan struktur dan fungsi atau
menyebabkan kematian. Toxicant disini adalah bahan kimia
asing (xenobiotics) yang dapat memasuki lingkungan perairan
baik oleh unsur kesengajaan atau karena suatu kecelakaan yang
menyebabkan terganggunya kualitas air dan membuatnya tidak
layak untuk kehidupan perairan (Heath, 1995). Suatu senyawa
kimia asing tidak mendapat tempat dalam suatu proses biokimia
normal dari suatu organisme (Walker et al., 1996).
Bahan pencemar berbeda dengan toxicant dalam konteks
keluasan artinya, dimana bahan kimia pencemar dapat
2
Akbar Tahir
menyebabkan terjadinya perubahan faktor-faktor abiotik seperti
pH, salinitas dan suhu dari sistem perairan yang terkena dampak
pencemaran. Adapun terminologi kontaminan adalah mencakup
semua senyawa atau bahan yang melampaui konsentrasi
awalnya, baik berupa xenobiotics, bahan kimia yang terdapat
secara alamiah maupun sengaja dimasukkan, yang tidak harus
senantiasa menimbulkan bahaya bagi kemampuan organisme
untuk tetap hidup. Kontaminan akan berubah menjadi bahan
pencemar apabila kehadirannya dalam suatu lingkungan mampu
merubah kondisi faktor-faktor biotik atau abiotik (atau keduanya)
yang selanjutnya akan berdampak pada kemampuan biota
perairan untuk tetap hidup di lingkungan tersebut.
Baik bahan pencemar maupun toxicant adalah bahan kimia
yang konsentrasinya jauh di atas konsentrasi yang umumnya
terdapat di lingkungan. Kebanyakan dari bahan-bahan kimia
toksik yang merupakan bahan pencemar potensial, seperti logam
berat, dioksida sulfur, oksida nitrogen, methyl mercury dan PAHs,
terdapat di alam sebelum keberadaan manusia di bumi ini.
Namun akibat aktifitas manusia, maka terjadilah apa yang kita
kenal sebagai pencemaran dan menurut sumbernya dibedakan
atas ‘point sources’ (pembuangan yang dilakukan secara sengaja:
limbah kota, limbah pabrik, dsbnya) dan ‘non-point sources’ (dari
berbagai sumber yang sulit untuk secara langsung diidentifikasi,
misalnya: PAHs yang bersumber dari hasil pembakaran bahan
bakar minyak tidak sempurna pada kendaraan bermotor).
Bahan pencemar juga dapat diklasifikasikan menurut cara
aksi dan target lokasi (misalnya: ginjal, hati), dampak
fisiologisnya (misal: kanker, mutasi, respon immun), jenis
penggunaannya (misal: pestisida), bentuk fisik (misal: cairan,
gas), potensi toksiknya (misal: rendah, tinggi atau ekstrim) atau
3
Akbar Tahir
dampaknya pada sumberdaya perairan (Rand and Petrocelli,
1985). Selanjutnya, bahan pencemar dikategorikan menurut
bentuk kimianya (ion anorganik, bahan organik, senyawa
organometalik, isotop radioaktif atau lainnya.
Seperti telah kita ketahui bersama, sebagai akibat dari
beragam kegiatan pembangunan yang dilakukan manusia,
sejumlah bahan pencemar memasuki perairan (sungai, estuarin,
perairan laut) melalui udara, pembuangan limbah cair, drainase,
saluran irigasi, dsbnya. Di dalam kolom air bahan pencemar
mengalami proses transformasi sifat-sifat fisik dan/atau kimia-nya
melalui proses-proses sedimentasi, resuspensi, flokulasi, adsorpsi
atau desorpsi, presipitasi, oksidasi atau reduksi, dsbnya, dalam
berbagai kondisi perairan yang berbeda dalam hal pH, salinitas,
DO, potensi redoks, dsbnya, yang terdapat di alam. Tidak jarang,
transformasi bahan kimia pencemar dimediasi oleh mikroba.
Tingkah laku, nasib akhir (deposisi) dan toksisitas dari bahan
pencemar sangat bergantung pada kondisi fisik dan kimia
keberadaannya dalam suatu lingkungan. Sehingga untuk
mengevaluasi dampak bahan pencemar terhadap ekosistem,
maka diperlukan pemahaman pada tingkah lakunya pada
berbagai kondisi lingkungan dan mekanisme-mekanisme yang
mengendalikannya.
Bahan organik yang membusuk, baik yang berasal dari
limbah domestik dan limbah industri yang tidak atau belum
terolah baik, kemudian dirombak oleh mikroba yang
mengkonsumsi banyak DO selama proses dekomposisi. Konsumsi
oksigen mikroba ini disebut kebutuhan oksigen biologis (BOD:
biological oxygen demand). Bila tidak terjadi pengadukan yang
cukup baik dalam perairan, maka peningkatan nilai BOD akan
mengakibatkan peningkatan beban bahan organik yang berakhir
4
Akbar Tahir
pada kondisi dengan DO rendah/hypoxia (Heath, 1995). Hypoxia
dapat memiliki dampak signifikan pada proses fisiologis pada ikan
dan biota perairan lainnya, seperti semakin meningkatnya
toksisitas suatu bahan kimia pada kondisi DO rendah. Penelitian
Heath (1991) tentang pemaparan sublethal logam Cu selama
seminggu meningkatkan respon stress ikan bluegill (Lepomis
macrochirus) pada kondisi hypoxia.
Kandungan nitrogen dan/atau posfor dalam limbah
domestik, run-off pertanian dan deterjen, dapat berdampak toksik
pada organisme perairan bahkan pada konsentrasi rendah karena
kondisi eutrofikasi yang disebabkannya (Connel et al., 1999).
Eutrofikasi menyebabkan perubahan harian yang sangat besar
dalam DO perairan akibat fotosintesis pada siang hari dan
respirasi pada malam hari. Respirasi fitoplankton dapat
menyebabkan DO rendah hingga saat matahari terbit (Heath,
1995). Terhentinya eutrofikasi akibat habisnya nutrien bagi
fitoplankton pada akhirnya akan menimbulkan nilai BOD yang
tinggi.
1.2. Ekotoksikologi
Terminologi Ekotoksikologi berasal dari kata ‘ekologi’ dan
‘toksikologi’ yang pertama kali digunakan oleh Truhaut pada
tahun 1969 (Walker et al., 1996), merupakan cabang dari
toksikologi yang mempelajari dampak toksik dari bahan-bahan
alami dan buatan pada makhluk hidup (seperti: ikan, alga,
krustase), di daratan maupun di perairan, penyusun biosfir.
Sedang definisi lain dari ekotoksikologi adalah studi tentang
dampak berbahaya dari bahan-bahan kimia terhadap ekosistem
(Rand and Petrocelli, 1985).
5
Akbar Tahir
Fokus ekotoksikologi terutama pada dampak toksik bahan
kimia dan radiasi terhadap tingkatan biologis dari individu hingga
komunitas (Wright and Welbourn, 2002). Ekotoksikologi berakar
pada toksikologi klasik yang terfokus pada manusia, walaupun
seringkali menggunakan spesies lain sebagai model atau
pengganti manusia. Sedangkan ekotoksikologi lebih menekankan
pada studi tentang distribusi bahan-bahan kimia di lingkungan,
termasuk deposisi dan dampak yang ditimbulkannya. Sejatinya,
ilmu ekotoksikologi dapat dijadikan sebagai sumber informasi
baik kepada pihak legislatif maupun badan-badan pengawas
terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya dampak buruk
dari penggunaan bahan kimia terhadap individu organisme dan
ekosistem (van der Oost et al., 2003).
1.3. Perkembangan Toksikologi Perairan
Kepedulian terhadap lingkungan bukanlah fenomena baru.
Sejak tahun 500 SM, para legislator di Athena telah mengajukan
produk hukum tentang pelarangan pembuangan sampah di
tempat-tempat yang telah ditentukan di luar tembok kota, dan
kerajaan Roma Kuno memiliki hukum yang melarang
pembuangan sampah di sungai Tiber (Zakrzewski, 2002).
Berikutnya pada tahun 1775 seorang dokter di London, Percival
Pott, menghubungkan peningkatan tajam kasus kanker skrotum
pada pekerja pembersih cerobong asap yang mengandung
banyak debu batu bara (Zakrzewski, 2002). Kemudian pada tahun
1815, M.J.B. Orfila menerbitkan buku pertama tentang dampak
berbahaya bahan kimia pada organisme (Rand and Petrocelli,
1985). Pada tahun 1920-an kajian sistematik tentang dampak dari
bahan perasa makanan, obat-obatan dan pestisida pada hewan
percobaan (Rand and Petrocelli, 1985). Akan tetapi, kebanyakan
hasil dari studi-studi awal tentang toksikologi hanya terpusat
6
Akbar Tahir
pada deteksi dan penentuan bahan kimia contoh pada hewan
tumbuhan, sangat sedikit perhatian yang diberikan pada dampak
dari bahan-bahan kimia ini pada individu hewan atau pada
ekosistem (Walker et al., 1996).
Toksisitas dari bahan pencemar terhadap ekosistem
perairan sangat bergantung pada bentuk kimia dan fisik bahan
pencemar, dan dampak toksiknya bergantung pada asupan,
distribusi, proses eliminasi dan biotransformasi yang dilakukan
oleh organisme. Potensi toksik dari suatu bahan pencemar sangat
erat terkait dengan konsentrasi aktifnya dalam kompartemen
tubuh dimana bahan kimia mengeluarkan atau melepaskan
dampak toksiknya (bio-fase) yang berujung pada perubahan
respon biologisnya.
Selama dan sesaat setelah Perang Dunia II, industri kimia
mulai secara cepat mengembangkan bahan-bahan kimia, seperti
pupuk, pestisida dan herbisida yang dengan sangat cepat pula
digunakan secara global. Penggunaan bahan-bahan kimia
tersebut berdampak positif pada beberapa aspek seperti
peningkatan hasil pertanian, penurunan kasus kejadian malaria.
Hal ini mendorong produksi bahan-bahan kimia seperti PCBs,
OCPs, PAHs, PCDFs dan PCDDs, yang semakin menambah beban
lingkungan terhadap bahan-bahan kimia organik asing ini (van
der Oost et al., 2003). Sejalan dengan perkembangan waktu,
masyarakat mulai menyadari dan peduli dengan dampak dari
bahan-bahan kimia sintetis (seperti DDT dan PCBs), baik dari
aspek penyebaran residunya maupun pada aspek dampak yang
mulai terlihat pada ikan dan hewan-hewan lainnya di perairan. Hal
ini terlihat dari maraknya uji coba dalam toksikologi perairan yang
menggunakan uji akut menggunakan bahan-bahan kimia sintetik
pada berbagai laboratorium (Rand and Petrocelli, 1985).
7
Akbar Tahir
Kelompok utama dari bahan kimia toksik terhadap biota
perairan adalah logam, chlorine, sianida, ammonia, deterjen,
asam, pesitisida, PCBs, hidrokarbon minyak dan beberapa bahan
kimia lainnya (Heath, 1995).
Logam
Logam adalah bahan alami yang telah ada sejak bumi
terbentuk. Dalam banyak hal, logam menjadi bahan pencemar
dimana aktifitas manusia memaparkan dan melepaskannya dari
formasi batuan (melalui penambangan dan pelarutan) yang
kemudian menempatkan logam-logam pada posisi yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan (Heath, 1995; Walker et al.,
1996). Logam disini termasuk logam berat (misal: Cu, Zn, Hg),
logam alkali tanah (misal: Ca, Mg), logam alkali (misal: Na, K),
lantanida, aktinida (misal: Uranium) dan metalloida (misal: Si, As
dan Se). Logam memasuki lingkungan perairan dari buangan
berbagai jenis industri, limbah domestik, limbah ban bekas, bekas
tambang, dsbnya (Heath, 1995; Swan River Trust, 1999). Pada
kelompok logam dikenal istilah logam esensial (Ca, P, K, Mg, Na
dan S) yang dibutuhkan dalam proses fisiologis organisme, dan
juga dikenal ‘trace metals’ yaitu beberapa jenis logam yang
dibutuhkan dalam konsentrasi rendah untuk fungsi normal
proses-proses fisiologis hewan dan tumbuhan (termasuk: Cu, Zn,
Fe, Mn, Co, Se, I). Sedang banyak jenis logam lainnya bersifat
non-esensial (misal: Cd, Hg, Pb) yang bersifat sangat toksik pada
konsentrasi tertentu, yang dapat menimbulkan dampak defisiensi
karena berkompetisi dengan elemen-elemen penting pada bagian
aktif molekul-molekul yang secara biologis penting (Walker et al.,
1996).
Bahan Kimia Anorganik
8
Akbar Tahir
Bahan-bahan kimia toksik non-metal termasuk: Klorin,
Sianida, Boron, Ammonia, Nitrit, Nitrat dan Sulfida. Sifat-sifat
kimia dan toksisitas bahan-bahan anorganik tersebut dapat
bervariasi, tergantung pada spesies dan kondisi perairan (Rand
and Petrocelli, 1985). Bentuk klorin yang sangat berbahaya bagi
spesies perairan adalah HOCl atau OCl- yang terbentuk dari gas
klorin yang digunakan sebagai bahan anti-fouling dalam industri
pendinginan atau sebagai bahan disinfektan limbah cair. Kedua
bahan ini, dengan kehadiran ammonia, akan dikonversi menjadi
monochloramine (NH2Cl) yang merupakan bahan kimia stabil
yang dapat bertahan dalam lingkungan perairan dalam waktu
yang sangat lama.
Radikal bebas sianida terdapat pada beberapa proses
industri, termasuk pada industri-industri kain sintetis, plastik,
penyulingan minyak, lempeng-lempeng elektronik, limbah
pembangkit listrik dan pembakaran limbah padat (Eisler, 1991).
Di lingkungan perairan CN- terserap ke dalam insang ikan dan
secara cepat menyebabkan kondisi anoxia pada jaringan dan
berdampak hypoksia sitotoksik (Eisler, 1991).
Ammonia terdapat dalam limbah cair industri mengandung
bahan organik yang kemudian mengalami dekomposisi. Bentuk
ammonia yang tidak terionisasi bersifat sangat toksik pada ikan,
namun tingkat toksisitasnya banyak bergantung pada pH dan
suhu perairan. Peningkatan pH dan suhu air akan meningkatkan
toksisitas ammonia, yang disebabkan oleh semakin meningkatnya
konsentrasi ammonia yang tidak terionisasi (Heath, 1995). Sifat
toksik tersebut juga disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO2
pada insang ikan saat pH dan suhu air meningkat, yang
selanjutnya akan membentuk asam karbonat melalui katalisis CO2
9
Akbar Tahir
oleh enzim anhidrase karbonat yang terdapat dalam mukus
insang (Heath, 1995).
Walaupun nitrat dan posfat tidak secara langsung bersifat
toksik, namun dapat menyebabkan masalah dalam lingkungan
perairan jika penggunaannya terlalu banyak. Beberapa jenis
pupuk mengandung nitrat (NO2-) dan posfat (PO4
-2) yang
digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian. Baik nitrat
maupun posfat memasuki lingkungan perairan melalui proses run-
off, nitrat juga dikeluarkan selama proses dekomposisi tumbuhan
mati yang kemudian memasuki tanah lalu mencemari air bawah
tanah yang pada akhirnya menemukan jalannya untuk memasuki
perairan terbuka. Di perairan terbuka, NO2- dan PO4
-2 kemudian
menyebabkan kondisi eutrofikasi yang memicu timbulnya
blooming alga yang berlanjut pada kondisi anoxia, seperti telah
dijelaskan sebelumnya (Walker et al., 1996).
Deterjen sintetik, hingga dua dekade lalu, umumnya masih
berbasis posfat dan beberapa diantaranya masih memiliki
kandungan PO4-2yang sangat tinggi (Wright and Welbourn, 2002).
Namun sejak 1965, terjadi perubahan dari alkyl benzene
sulphonate (ABS) dari kandungan utama deterjen digantikan oleh
linear alkylate sulphonates (LAS) yang jauh lebih mudah
terdegradasi oleh proses-proses biologis di lingkungan perairan.
Walaupun LAS bersifat lebih toksik terhadap ikan dibandingkan
ABS, namun potensi toksiknya dapat secara cepat direduksi oleh
degradasi yang juga dapat terjadi secara cepat (Heath, 1995).
Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia dengan keragaman
kelompok yang sangat tinggi, mulai dari bahan anorganik yang
sangat sederhana hingga molekul organik kompleks (Rand and
10
Akbar Tahir
Petrocelli, 1985). Pestisida organik dapat dihasilkan dari
tumbuhan (misalnya: Pyrethrins), senyawa sintetik derivatif
bahan alami (misalnya: Fenvalerate) atau bahan kimia yang
sepenuhnya sintetik (misalnya: Dieldrin) (Radhaiah and Rao,
1990; Walker et al., 1996). Seluruh pestisida (insektisida,
herbisida, fungisida, pengawet kayu dan bahan anti-fouling)
bersifat toksik terhadap beberapa bentuk kehidupan yang
measuki lingkungan perairan dari berbagai jalur masuk.
Umumnya, pestisida yang efektif dirancang untuk bersifat
selektif dengan dampaknya yang sangat toksik bagi organisme
targetnya. Akan tetapi, hanya sedikit pestisida yang dapat
dikategorikan benar-benar selektif terhadap targetnya, sehingga
tidak sedikit organisme non-target juga terkena dampaknya.
Toksisitas akut pestisida terhadap ikan dan biota perairan lainnya
cenderung lebih besar pada golongan senyawa organoklorin dan
pyrethroids dibandingkan dengan senyawa organoposfat. Untuk
pembanding, herbisida memiliki toksisitas yang lebih rendah pada
ikan, namun dampak sekundernya akan lebih besar saat
diaplikasikan sebagai pengendali tumbuhan gulma perairan yang
disebabkan oleh proses dekomposisi tumbuhan air yang
menguras DO perairan dan sangat mematikan bagi ikan (Heath,
1995).
Senyawa Organik Sintetis
Masalah senyawa kimia organik mulai mengemuka sesaat
setelah PD II (Rand and Petrocelli, 1985; Walker, 2001). Hal ini
terutama ditunjukkan oleh bahan-bahan kimia sintetik seperti:
PCBs (polychlorinated biphenyls), PBBs (polybrominated
biphenyls), TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin) dan
dioksin-dioksin terkait, furan, PAHs (polycyclic aromatic
11
Akbar Tahir
hydrocarbons), PFCs (perfluorchemicals), dan berbagai bahan
pelarut (solvent) organik.
PCBs dan PBBs adalah bahan kimia industri bersifat lipofilik
yang sangat stabil baik secara kimia maupun biokimia, dan dapat
mengalami proses biokonsentrasi dan bioakumulasi yang sangat
kuat yang dapat secara cepat mencapai konsentrasi yang tinggi
dalam jaringan tubuh organisme, terutama predator puncak.
Karena konsekuensi ekologisnya yang sangat tinggi, bahan-bahan
kimia tersebut dilarang secara total atau penggunaannya sangat
dibatasi di banyak Negara (Walker, 2001). PCBs adalah kelompok
dari sekitar 209 bahan/unsur kimia penyusun (congeners) yang
diproduksi oleh industri kimia. PCBs dengan 5 atau lebih
kelompok klorin adalah yang terbanyak dan terluas diproduksi
oleh fabrikan bahan kimia (Walker et al., 1996). PCBs umumnya
digunakan dalam industri elektronika, penerus panas, sistem
hydraulic, penyusun minyak pelumas, bahan pencampur cat dan
tinta pada kertas cetak tanpa karbon (Walker, 2001). Pemaparan
pada PCBs dapat berdampak pada perubahan proses biokimia,
struktur sel, dan juga berdampak pada kapasitas reproduksi ikan
dan hewan perairan lainnya (Niimi, 1990). PCBs menjadi
penyebab penurunan populasi beberapa jenis burung pemakan
ikan, mamalia laut di Laut Utara (Walker, 2001).
Sedangkan PBBs, yang dibentuk dari proses brominasi
biphenyl, mulai diperkenalkan pada awal 1970-an sebagai bahan
pemadam api, namun produksinya dihentikan pada tahun 1974
setelah ditemukannya dampak toksik yang sangat mematikan
bagi hewan ternak. Konsentrasi PBBs yang sangat tinggi
ditemukan pada burung Falcon, burung Camar herring, paus biru,
singa laut, kerang dan beberapa jenis ikan di wilayah perairan
Norwegia (Walker, 2001; Brown, 2003).
12
Akbar Tahir
Gambar…..
PFCs adalah rantai atom-atom karbon yang terfluorinasi
penuh yang panjangnya bervariasi, menghasilkan bahan kimia
yang sangat tahan terhadap panas, bahan kimia, serta tahan
terhadap air dan minyak (Brown, 2003). Karena sifat-sifat yang
dimilikinya, PFCs banyak digunakan sebagai surfaktan,
pengemulsi dan produk-produk komersial seperti pewarna atau
penahan air karpet, tekstil, bahan interior mobil, penyamak kulit,
bahan kemasan makanan, shampoo, pembersih gigi, roll film dan
pelumas kendaraan, sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1980-an,
hasil degradasi PFCs seperti PFOA (perfluorooctanoic acid) dan
PFOS (Perfluorooctane sulfonate) telah menjadi bahan pencemar
persisten di lautan yang banyak ditemukan pada paus, ikan tuna,
ikan makaira, ikan salmon, 3 spesies lumba-lumba, burung laut
13
Akbar Tahir
Cormorant, singa laut, elang laut, penyu dan beruang es,
terutama didominasi oleh PFOS (Brown, 2003). Hasil studi
laboratorium menunjukkan bahwa PFOS mampu menembus otak
melalui aliran darah, mengganggu produksi hormon serta bersifat
karsinogenik (Austin et al., 2003).
PAHs terdapat di lingkungan secara alami pada deposit-
deposit minyak dan batu bara. PAHs juga memasuki lingkungan
melalui aktifitas manusia (misalnya dari hasil pembakaran tidak
sempurna bahan-bahan organik), dan beberapa kejadian alam
seperti kebakaran hutan dan meledaknya gunung berapi. Molekul-
molekul PAHs bersifat hidrofobik dan lipofilik yang berinteraksi
kuat dengan karbon organik yang terdapat di sedimen, sangat
jarang terlarut dalam air dan dengan daya uap rendah (Burgess
et al., 2003). Hidrokarbon aromatik tersusun oleh karbon dan
hidrogen dalam satu atau lebih cincin aromatik, yang memiliki
konfigurasi ikatan ganda stabil. Kelompok PAHs, seperti
Naphthalene, Anthracene dan Pyrene (Gambar…) memiliki 2 atau
lebih ikatan ganda yang tergabung (Wright and Welbourne,
2002).
Sumber antropogenik penting PAHs termasuk dari pembakaran batu bara, minyak bumi, gas alam dari berbagai jenis industri, dan dari penggunaan bahan-bahan tersebut dalam berbagai kegiatan industri pengoperasian mesin pabrik dan pembangkit listrik, kendaraan bermotor, dsbnya. Input PAHs di lingkungan perairan ditemukan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah estuarin dan pesisir dekat pusat-pusat kota. Jalur masuk PAHs ke dalam wilayah perairan diketahui berasal dari 2 sumber utama: (1) aliran air mengandung unsur-unsur PAHs baik yang terlarut maupun partikel dari sumber-sumber point-sources dan non-point sources, dan (2) deposisi atmosfir baik dalam bentuk hujan maupun debu-debu kering (Latimer and Zheng, 2003).
14
Akbar Tahir
Walaupun PAHs adalah merupakan bahan kimia yang
bersifat tidak reaktif dari strukturnya yang tidak memiliki
kelompok fungsional., mereka dapat mengalami oksidasi baik di
lingkungan alam atau secara biokimiawi. Adalah hasil atau
produk-produk transformasi PAHs yang bersifat reaktif yang
menentukan toksisitasnya, terutama pada cincin-cincin yang
menerima oksigen yang akhirnya bersifat polar (Walker, 2001).
Proses dekomposisi di udara akibat cahaya matahari,
diantaranya, menghasilkan produk-produk oksidatif toksik seperti
quinon dan endoperoksida.
Tempat penumpukan jenis-jenis PAHs berukuran besar,
dengan 4 - 6 cincin aromatik, dalam lingkungan perairan adalah
pada sedimen (Latimer and Zheng, 2003). Hal ini secara jelas
akan memberikan konsekuensi pemaparan PAHs terberat pada
organisme bentik di wilayah-wilayah estuarin dan pesisir (den
Besten et al., 2003).
15
Akbar Tahir
Gambar… Struktur PAHs penting yang merupakan bahan pencemar prioritas WHO (US.EPA, 2002).
PAHs dapat mengalami biokonsentrasi dan/atau
bioakumulasi oleh beberapa jenis avertebrata perairan yang
terletak pada posisi rendah di rantai makanan yang tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi secara
efektif. Sedangkan ikan dan beberapa jenis vertebrata perairan
lainnya umumnya mampu melakukan transformasi dan eliminasi
PAHs dari dalam tubuhnya. Oleh karena itu, bioakumulasi PAHs
pada spesies-spesies yang berada pada posisi tinggi di rantai
makanan memiliki kecenderungan menurun atau dapat dikatakan
rendah (den Besten et al., 2003). Namun beberapa jenis ikan,
burung dan mamalia laut yang memakan avertebrata dapat
mengakumulasi PAHs dengan konsentrasi tinggi, dari kandungan
bahan makanan yang dikonsumsinya. Meskipun mereka mampu
16
Akbar Tahir
untuk melakukan metabolism secara cepat dari kandungan PAHs
dalam bahan makanannya, metabolisme oksidatif berpotensi
untuk menghasilkan radikal bebas yang sangat merusak karena
sifat-sifat mutagenik dan karsinogenik yang dimilikinya (Walker,
2001; Payne et al., 2003).
PAHs dapat dikategorikan bersifat pyrogenik, petrogenik,
diagenetik atau biogenik tergantung sumbernya (Neff, 1979).
PAHs pyrogenik terbentuk dari pembakaran tidak sempurna dari
bahan-bahan organik pada suhu tinggi dalam waktu singkat, yang
membentuk interaksi kuat dengan partikel debu karbon yang
penting bagi ketersediaan biologis dan pemilahan PAHs.
Sedangkan PAHs petrogenik terbentuk pada suhu relatif rendah
selama periode waktu geologis tertentu (misal: minyak mentah
dan batu bara). PAHs petrogenik utamanya dalam bentuk molekul
ter-alkilasi sebagai bentuk pencerminan dari jenis-jenis tanaman
kuno pembentuknya. Sedangkan PAHs diagenetik berasal dari
senyawa terpen tumbuhan yang pada kahirnya memnetuk
senyawa-senyawa perylene, retene, phenantrene dan chrysene.
Jenis-jenis PAHs ini banyak ditemukan pada sedimen saat ini dan
sangat dominan pada sedimen sebelum adanya kegiatan industri.
Adapun PAHs biogenik terbentuk oleh bakteri, jamur, tumbuhan
dan hewan, yang terdapat pada lapisan sedimen paling bawah.
PAHs pyrogenik dan petrogenik menjadi perhatian utama
dalam kajian-kajian lingkungan. PAHs pyrogenik berasosiasi
dengan partikel debu karbon bersifat lebih persisten dan
terlindung dari proses degradasi lingkungan karena hampir tidak
mengalami oksidasi fotokimia dan mampu melawan aktifitas
degradasi mikroba. Sedang PAHs petrogenik nampaknya lebih
mudah terdegradasi melalui proses perubahan biokimiawi. PAHs
petrogenik berberat molekul rendah bisa dengan mudah
17
Akbar Tahir
terdegradasi oleh oleh mikroba, sementara PAHs berberat
molekul tinggi dihilangkan dari kolom air melalui proses
sedimentasi. Oleh karena itu PAHs petrogenik umumnya lebih
tersedia dalam air bagi organisme karena sifatnya yang lebih
larut dalam air (Neff, 1979; Burgess et al., 2003).
Seluruh jenis bahan pencemar tersebut di atas dapat
mempengaruhi sistem kehidupan pada beberapa tingkatan
organisasi biologis yang berbeda. Dampaknya tergantung pada
sifat-sifat kimia yang dimilikinya, lingkungan dimana mereka
berada dan organisme yang mengabsorpsi bahan-bahan
pencemar tersebut.
Sejumlah besar teknik untuk mengetahui dampak biologis
telah dikembangkan, untuk digunakan pada organisme laut, dan
beberapa diantaranya telah secara resmi diadopsi oleh lembaga-
lembaga internasional seperti: NOAA, WHO, Oslo-Paris Convention
(OSPAR, 2003; 2004) dan International Cooperation for
Exploration of the Sea (ICES, 2004) untuk kegiatan-kegiatan
pemantauan kondisi ekosistem laut.
Bukti-bukti biokimiawi dan histologis dapat mengidentifikasi
mekanisme-mekanisme merusak yang mungkin berperan dalam
dampak bahan kimia pencemar pada ikan (Niimi, 1999). Hal ini
karena toxicant dapat mengiduksi respon-respon biologis pada
tingkatan organisasi biologis yang berbeda. Pada tingkatan
fisiologis, misalnya, perubahan mungkin terobservasi dalam
kemampuan hewan dalam berburu, makan, tumbuh, menghindari
pemangsa atau bereproduksi. Sedang pada tingkatan biokimia,
toxicant dapat memicu atau menekan produksi enzim,
mengacaukan proses metabolisme normal atau merubah pola
biokimia esensial. Adapun pada tingkat molekul, toxicant
mengikatkan diri pada DNA, memodifikasi struktur DNA, atau
18
Akbar Tahir
memicu atau menekan ekspresi gen tertentu yang berakibat pada
berubahnya fungsi-fungsi molekuler (Connell et al., 1999).
Organisme telah diperlengkapi dengan sistem enzim yang
kompleks untuk mendetoksifikasi dan mengeliminasi bahan-
bahan beracun (toksin) dari dalam tubuhnya. Dalam lingkungan
perairan, kebanyakan senyawa organik memiliki daya larut tinggi
di dalam lemak, yang sebagai konsekuensi logisnya akan
mengalami bioakumulasi dalam tubuh organisme perairan. Untuk
mengkonversi toxicant lipofilik ke dalam bentuk yang lebih
mudah larut dalam air sehingga lebih mudah dihilangkan, maka
molekul-molekul lipofilik tersebut dimetabolisme menjadi bentuk-
bentuk senyawa yang lebih polar (hidrofilik). Pada vertebrata, hal
ini dicapai melalui 2 sekuensi proses transformasi yang dikenal
sebagai Fase I dan Fase II (Walker et al., 1996; Connell et al.,
1999).
19