5
Karakteristik Batuan Ultrabasa Di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara Tafaqquh Fiddin 1 , Agus Hendratno 2 1). Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada; email: [email protected] 2). Dosen Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 ABSTRACT The Ultramafic rock contains mafic mineral more than 90 %. mineral such as olivine, pyroxene or serpentine which are first formed in Bowen reaction series. Chemical characteristic of ultramafic rock have SiO 2 of less than 45%, but some ultramafic rock have SiO 2 more than 45% such as hasburgit. Ultramafic rock research sites is on Halmahera island. Halmahera island has ultramafic rock at a wider area which have economic minerals. The lithology in Halmahera island are enriched in olivine which in some place had altered to serpentin, this process know as serpentinization. The rock belong to dunit, hasburgit and serpentinite. Chemically, these rock are tholeiite series which low in K 2 O and high in MgO. Ultramafic rock in Halmahera island are formed in mid oceanic ridge basalt (MORB) with N-MORB type. The type has characteristic value of K 2 O less than 0,01. This type is formed in depleted mantle about 60-80 km above upper mantle, and it has K 2 O less than 0,1 % The ultramafic rock exposed at the surface due to the collision between Philippine plate and Eurasian plate Keywords : Ultramafic, Halmahera, MORB 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumberdaya mineral yang cukup besar. Salah satu dari potensi sumberdaya mineral tersebut adalah nikel dan kromit yang dihasilkan dari batuan ultrabasa. Sebaran ultrabasa di Indonesia sendiri ditentukan berdasarkan proses tektonik yang membentuknya. Daerah yang diyakini memiliki ultrabasa adalah Sulawesi, Kalimantan, Papua dan Halmahera. Dalam Sukamto (2001) disebutkan kelompok mineral industri asal batuan ultramafik seperti peridotit, serpentinit dan asbes terdapat dalam komplek ofiolit yang tersebar seluas 36.970 km 2 yang tersebar di Indonesia bagian timur. Pulau Halmahera yang terdapat di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki persebaran batuan ultrabasa yang cukup luas. Batuan ultrabasa tersebut tersebar di bagian tengah memanjang ke lengan timur atas. Pada daerah tersebut banyak terdapat perusahaan yang sudah melakukan eksplorasi maupun sudah beroperasi dan mengeksploitasi sumberdaya mineral hasil dari lapukan batuan ultrabasa tersebut yang berupa nikel. Potensi yang sangat besar terdapat pada batuan ultrabasa daerah tersebut, namun sangat jarang penelitian tentang batuan ultrabasa yang dilakukan pada daerah sekitar Halmahera. Hal ini disebabkan oleh karena lokasinya yang susah di jangkau, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar dalam melakukan penelitian. Penelitian di daerah tersebut kebanyakan berupa hasil dari eksplorasi sumberdaya yang dilakukan oleh perusahaan yang berlokasi di pulau tersbut. Penelitian banyak dipublikasikan berupa model tatanan tektonik pulau Halmahera yang cukup kompleks, karena merupakan pertemuan dari tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Filipina dan Lempeng Australia (Hall, 1988) Wilayah penelitian terdapat pada Pulau Halmahera dengan lokasi administratif berada pada Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Gambar 1). Daerah tersebut meliputi Kecamatan Wasile, Subaim dan Buli yang termasuk pada Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Lelilef dan Patani yang termasuk Kabupaten Halmahera Tengah. Ruang lingkup penelitian berupa studi karakteristik mineralogi dan kimia dari contoh batuan ultrabasa yang diambil pada daerah penelitian dengan melihat kenampakan megaskopis batuan dan menggunakan analisis petrografi, XRF dan ICP-MS. Dari hasil analisis ketiga metode tersebut kemudian dilakukan interpretasi mengenai karakteristik dan asal mula jadi dari batuan ultrabasa tersebut. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan jenis batuan ultrabasa di daerah penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan geokimia batuan ultrabasa yang terdapat di daerah penelitian dan mengetahui genesa atau asal mula terbentuknya batuan ultrabasa di daerah penelitian dilihat dari karakteristik mineralogi dan geokimianya

18-65-1-PB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporana

Citation preview

  • Karakteristik Batuan Ultrabasa Di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara Tafaqquh Fiddin1, Agus Hendratno2

    1). Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada; email:

    [email protected] 2). Dosen Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika

    No.2 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

    ABSTRACT

    The Ultramafic rock contains mafic mineral more than 90 %. mineral such as olivine, pyroxene or serpentine which are first formed in Bowen reaction series. Chemical characteristic of ultramafic rock have SiO2 of less than 45%, but some ultramafic rock have SiO2 more than 45% such as hasburgit. Ultramafic rock research sites is on Halmahera island. Halmahera island has ultramafic rock at a wider area which have economic minerals. The lithology in Halmahera island are enriched in olivine which in some place had altered to serpentin, this process know as serpentinization. The rock belong to dunit, hasburgit and serpentinite. Chemically, these rock are tholeiite series which low in K2O and high in MgO. Ultramafic rock in Halmahera island are formed in mid oceanic ridge basalt (MORB) with N-MORB type. The type has characteristic value of K2O less than 0,01. This type is formed in depleted mantle about 60-80 km above upper mantle, and it has K2O less than 0,1 % The ultramafic rock exposed at the surface due to the collision between Philippine plate and Eurasian plate

    Keywords : Ultramafic, Halmahera, MORB 1. Pendahuluan

    Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumberdaya mineral yang cukup besar. Salah satu dari potensi sumberdaya mineral tersebut adalah nikel dan kromit yang dihasilkan dari batuan ultrabasa. Sebaran ultrabasa di Indonesia sendiri ditentukan berdasarkan proses tektonik yang membentuknya. Daerah yang diyakini memiliki ultrabasa adalah Sulawesi, Kalimantan, Papua dan Halmahera. Dalam Sukamto (2001) disebutkan kelompok mineral industri asal batuan ultramafik seperti peridotit, serpentinit dan asbes terdapat dalam komplek ofiolit yang tersebar seluas 36.970 km2 yang tersebar di Indonesia bagian timur.

    Pulau Halmahera yang terdapat di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki persebaran batuan ultrabasa yang cukup luas. Batuan ultrabasa tersebut tersebar di bagian tengah memanjang ke lengan timur atas. Pada daerah tersebut banyak terdapat perusahaan yang sudah melakukan eksplorasi maupun sudah beroperasi dan mengeksploitasi sumberdaya mineral hasil dari lapukan batuan ultrabasa tersebut yang berupa nikel. Potensi yang sangat besar terdapat pada batuan ultrabasa daerah tersebut, namun sangat jarang penelitian tentang batuan ultrabasa yang dilakukan pada daerah sekitar Halmahera. Hal ini disebabkan oleh karena lokasinya yang susah di jangkau, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar dalam melakukan penelitian. Penelitian di daerah tersebut kebanyakan berupa hasil dari eksplorasi sumberdaya yang dilakukan oleh perusahaan yang berlokasi di pulau tersbut. Penelitian banyak dipublikasikan berupa model tatanan tektonik pulau Halmahera yang cukup kompleks, karena merupakan pertemuan dari tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Filipina dan Lempeng Australia (Hall, 1988)

    Wilayah penelitian terdapat pada Pulau Halmahera dengan lokasi administratif berada pada Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Gambar 1). Daerah tersebut meliputi Kecamatan Wasile, Subaim dan Buli yang termasuk pada Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Lelilef dan Patani yang termasuk Kabupaten Halmahera Tengah.

    Ruang lingkup penelitian berupa studi karakteristik mineralogi dan kimia dari contoh batuan ultrabasa yang diambil pada daerah penelitian dengan melihat kenampakan megaskopis batuan dan menggunakan analisis petrografi, XRF dan ICP-MS. Dari hasil analisis ketiga metode tersebut kemudian dilakukan interpretasi mengenai karakteristik dan asal mula jadi dari batuan ultrabasa tersebut. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan jenis batuan ultrabasa di daerah penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan geokimia batuan ultrabasa yang terdapat di daerah penelitian dan mengetahui genesa atau asal mula terbentuknya batuan ultrabasa di daerah penelitian dilihat dari karakteristik mineralogi dan geokimianya

  • . Gambar 1. Peta index lokasi penelitian.

    2. Metode Penelitian Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap analisis laboratorium dan tahap

    akhir. Tahap awal meliputi studi pustaka dan pekerjaan lapangan. Tahap analisis laboratorium meliputi pembagian sampel petrografi dan geokimia. Tahap akhir meliputi pengolahan data, pembahasan, interpretasi dan pembuatan laporan.

    2.1. Tahap awal.

    Pada tahap awal meliputi studi pustaka untuk mencari landasan teori dan kondisi serta gambaran secara umum daerah penelitian, kemudian Mengumpulkan data-data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Pada tahap ini dilakukan pengamatan lapangan yang digunakan untuk mengetahui kondisi umum geologi seperti pengamatan umum litologi dan morfologi. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel batuan, Sampel batuan terdiri dari 10 batuan ultrabasa yang diambil di 5 lokasi berbeda yang tersebar di Pulau Halmahera.

    2.2. Tahap analisis laboratorium

    Tahapan analisis laboratorium merupakan tahapan mempersiapkan sampel batuan yang berasal dari lapangan untuk digunakan dalam pengamatan laboratorium. Preparasi sampel yang dilakukan adalah pembuatan sayatan tipis untuk pengamatan petrografi batuan dan penghalusan sampel untuk analisis geokimia XRF dan ICP-MS. Selanjutnya adalah adalah pengamatan petrografi dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Sehingga dapat diketahui deskripsi petrografi dari sampel yang digunakan dalam penelitian. Analisis tersebut menggunakan 10 batuan utrabasa yang diambil dari lima lokasi yang berada di Pulau Halmehera

    2.3. Tahap pengolahan data dan interpretasi Pengolahan data yang telah disiapkan sebelumnya dilakukan dengan cara mengkompilasi data baik data

    primer maupun data sekunder. Pengolahan data petrografi menggunakan klasifikasi dari USGS untuk mengetahui jenis batuannya yang dibedakan dari mineral mineral yang dikandungnya. Analisis XRF menggunakan diagram segitiga beberapa oksida utama, seperti MnO, TiO2, P2O5 dan K2O, sedangkan untuk hasil dari analisis ICP-MS berupa unsur jejak (trace element) menggunakan diagram yang melibatkan unsur Cr, Y, Ti, Sr, V, Zr, NB dan Ta. Kemudian dari data - data yang sudah diolah, nantinya akan diketahui tenteng karakteristik dan ganesa dari batuan ultrabasa tersebut.

  • 3. Hasil dan Pembahasan Penelitian yang berjudul karakteristik batuan ultrabasa di Pulau Halmahera, profinisi Maluku Utara

    secara umum memiliki dua tujuan, yaitu mengetahui karakteristik mineralogi dan geokimia batuan ultrabasa tersebut dan juga mengetahui proses pembentukan dan lokasi pembentukannya atau petroganesa batuan ultrabasa.

    Karakteristik mineralogi dapat dilihat pada analisis petrografi dengan melihat sayatan tipis batuan tersebut di bawah mikroskop polarisasi. Secara mikroskipis, batuan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok dunit yang dicirikan dengan komposisinya yang hampir semua berupa olivin, hasburgit yang dicirikan dengan adanya orto-piroksen pada batuan tersebut (klasifikasi USGS dalam Winter, 2001) dan serpentinit yang dicirikan dengan mineral serpentin seperti antigorit dan krisotil yang melimpah (Tabel 1).

    Tabel 1. Komposisi mineral pada setiap batuan.

    Kode Sampel

    Mineral (dalam %) Nama Batuan olivin orto-piroksen antigorit krisotil magnetit

    TF/HB/1 10 55 30 5 Serpentinit TF/HL/2 70 20 10 Dunit TF/HS/3 55 15 15 10 5 Hasburgit TF/HS/4 70 25 5 Dunit TF/HS/5 65 10 20 5 Dunit

    TF/HW/6 70 25 5 Hasburgit

    TF/HW/7 75 5 15 5 Dunit TF/HW/8 10 55 30 5 Serpentinit TF/HP/9 15 50 25 10 Serpentinit

    TF/HP/10 10 65 20 5 Serpentinit

    Tipe dunit terdapat pada kecamatan Subaim. Pada batuan ini memiliki komposisi utama olivin dengan tekstur porfiroafanitik dengan tambahan mineral serpentin seperti krisotil dan antigorit dalam jumlah sedikit. Mineral serpentin ini merupakan perubaha dari mineral olivin karena proses hidrotermal metasomatisme, dimana perubahan tersebut merupakan perubahan secara kimiawi. Perubahan ini biasa juga disebut dengan serpentinisasi.

    Kelompok kedua adalah kelompok hasburgit yang berada pada Lelilef dan wasile, dimana batuan ini juga di dominasi oleh komposisi magnesian olivin yang melimpah, namun terdapat sedikit orto-piroksen dengan tekstur porfiro afanitik,. Orto-piroksen pada batuan ultrabasa biasa berupa enstantit dengan rumus kimia MgSiO3. Pada batuan ini juga terjadi proses serpentinisasi seperti halnya pada batuan dunit.

    Kelompok ketiga adalah serpentinit, kelompok batuan ini ditemukan pada daerah Patani dan Buli. Batuan ini memiliki kompisisi serpentin yang melimpah seperti antigorit dan krisotil. Pada kelompok ini masih terdapat mineral olivin meskipun hanya sekitar 10%. Mineral olivin ini adalah mineral asal yang masih belum terubah akibat pengaruh serpentinisasi.

    Pada mineral serpentin, yang lebih dominan adalah mineral antigorit dibandingkan dengan krisotil. Hal ini dikarenakan oleh perubahan yang terjadi sudah sangat lanjut, sehingga mengenai hampir seluruh batuan, sehingga perubahan tidak terjadi hanya pada daerah sekitar rekahan, namun juga pada seluruh tubuh batuan. Perubahan kimiawi tersebut dapat ditulis dengan persamaan di bawah ini, dimana Mg2SiO4 adalah olivin dan Mg3Si2O5 adalah serpentin (Williams dkk, 1982).

    2 Mg2SiO4 + 3 H2O -> Mg3Si2O5(OH)4 + Mg(OH)2 Secara kimiawi, ketiga kelompok batuan tersebut memiliki komposisi yang sama, hanya ada sedikit

    anomali komposisi kimia pada beberapa batuan. Secara umum, batuan ultrabasa memiliki nilai SiO2 yang rendah, dibawah 45%., namun ada beberapa sampel yang memiliki nilai Nilai SiO2 yang cukup besar bedanya. Nilai SiO2 yang tinggi terdapat pada sampel TF/HS/4 dan TF/HW/7 yang masuk dalam kelompok dunit dengan total SiO2 49% dan 50,93%

    Nilai anomali tersebut merupakan hasil dari perubahan komposisi asli dari batuan tersebu. Dilihat dari hasil analisis petrografi diketahui bahwa mineral sekunder berupa mineral serpentin pada setiap batuan memiliki persentase yang besar, rata rata memiliki kandungan diatas 20%. Dilihat dari komposisi kimia, batuan yang mengandung SiO2 yang tinggi memiliki komposisi mineral pada kedua batuan tersebut, memiliki komposisi krisotil yang cukup melimpah (>10%). Mineral krisotil tersebut diatas sudah disebutkan bahwa terbentuk akiba

  • larutan hidrotermal yang melewati rekahan rekahan pada dunit atau hasburgit tersebut, kemudian berubah menjadi krisotil. Kemungkinan pada proses tersebut, SiO2 yang terbawa larutan hidrotermal tersebut tercampur pada batuan, sehingga menaikkan nilai SiO2. Namun hal tersebut bisa juga menjadi normal, karena nilai SiO2 pada hasburgit dapat mencapai 50% karena keterdapatan piroksen pada batuan tersebut.

    Gambar 2. Diagram AFM. (Rollinson, 1993)

    Afinitas pada batuan tersebut dapat terlihat dalam diagram AFM (Rollinson, 1993). afinitas ini dapat

    memperlihatkan derajat keasaman batuan yang berimplikasi pada interpretasi proses perubahan dari magma induk menjadi magma yang lebih asam. Dilihat dari kedua diagram tersebut, batuan ultrabasa tersebu termasuk dalam tholeitik (Gambar 2). Tipe ini sangat umum di jumpai pada seting tektonik berupa zona pemekaran samudra, dimana nilai SiO2 dan K2O kecil sedangkan kaya akan komposisi ferromagnesian seperti MgO dan FeO.

    Gambar 3. Diagram segitiga FeO, MgO dan Al2O3 (Pearce

    dkk, 1977 dalam Rollinson, 1993).

    Dari diagram segitiga FeO, MgO dan Al2O3 (Pearce dkk, 1977 dalam Rollinson, 1993) diketahui seting tektonik batuan tersebut termasuk dalam ocean ridge dan floor (Gambar 3). Lokasi tersebut sama dengan seting tektonik mid-oceanic ridge basalt. Lokasi pembentukan batuan ini berada pada zona rekahan samudra, dimana pada seting tektonik dari Pulau Halmahera lempeng yang berperan dalam pembentukan batuan tersebut terdapat 3 lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Australia dan lempeng samudra Filipina.

    Dari ketiga lempeng tersebut, kemungkinan yang berperan langsung dalam pembentukan batuan ultrabasa tersebut adalah lempeng samudra Filipina yang berada di sebelah timur dan lempeng Australia yang berada di sebelah selatan. Kedua lempeng tersebut merupakan lempeng samudra yang memungkinkan

  • terbentuknya seting tektonik berupa MORB karena keduanya merupakan lempeng samudra yang tipis. Batuan tersebut tersingkap karena adanya proses kolusi, dimana dalam Hall (1999) digambarkan bahwa terjadi dua subduksi atau yang lebih dikenal dengan doble arc system, yaitu subduksi di sebelah timur yang berupa lempeng samudra maluku masuk kedalam lempeng Filipina dan di sebelah barat lempeng samudra Maluku masuk kedalam lempeng Eurasia. Tumbukan dari kedua lempeng tersebut menyebabkan batuan ultrabasa yang terbentuk pada saat pemekaran muncul ke permukaan. Doble arc system tersebut yang menyebabkan perbedaan fisiografi Halmahera barat yang berisi kompleks ofiolit dan bagian timur yang berisi kompleks gunungapi.

    Kelompok batuan serpentinit kemungkinan besar baru terbentuk setelah proses tumbukan kedua lempeng tersebut, dimana pada proses tersebut terjadi proses perubahan suhu dan tekanan yang menyebabkan proses hidrotermal metasomatisme yang terjadi pada batuan tersebut, sehingga mineral olivin berubah menjadi serpentin.

    Dilihat dari nilai K2O yang memiliki nilai kurang dari 0,1maka dapat disimpulkan bahwa tipe dari MORB yang membentuk batuan tersebut adalah tipe normal. MORB tipe N atau tipe normal terbentuk pada kedalaman yang dangkal, yaitu antara 60-80 km dari mantel atas (Wilson, 1989). Nilai K2O digunakan untuk interpretasi ini karena nilai unsur tersebut paling sedikit terdapat pada MORB. Batuan yang memiliki nilai K2O yang cukup banyak merupakan batuan yang sudah mengalami difrensiasi magma yang biasanya bersifat asam yang memiliki afinitas seri kalk alkali. Nilai unsur ini biasanya banyak terdapat pada seting tektonik yang terjadi peleburan dari kerak benua yang tebal, biasanya terdapat pada zona subduksi atau zona pemekaran tengah benua. (Best, 2003)

    Proses pembentkannya pertama terjadi pemekaran di tengah samudra, kemudian pada bagian atas material yang berasal dari mantel bergeser sesuai dengan pergerakan pemekaran. Pada saat tersebut magma yang terbentuk akibat dekompresi partial melting dengam komposisi magma awal berupa dunit yang kemudian berubah dengan bertambahnya tekanan adiabatik menjadi hasburgit. Terbentuknya magma tersebut dengan komposisi isotop yang homogen dan masih sama, well mixed dengan peningkatan tekanan adiabatik dan kemudian naik keatas. lokasi terbentuknya magma tersebut berada pada depleted mantle. Pada tipe ini, tidak terjadi pertambahan unsur unsur kimia dari mantel atas yang dekat dengan batas mantel atau moho, dimana biasanya lokasi ini. Secara umum, seting tetonik di Halmahera juga tidak mendukung terbentuknya MORB tipe E, dimana pada setting ini, biasanya berdekatan dengan hotspot.

    4. Kesimpulan Batuan ultrabasa pada lokasi penelitian secara mineralogi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok

    dunit, kelompok hasburgit dan kelompok serpentinit. Ketiga kelompok tersebut mempunyai karakteristik yang sama, yaitu telah mengalami proses serpentinisasi dilihat dari kandungan mineral serpentinitnya yang rata rata diatas 10%. Batuan ultrabasa termasuk dalam seri toleitik yang memiliki nilai K2O yang rendah dan MgO yang tinggi dari kebanyakan batuan ultrabasa lainnya. Nilai unsur jarang yang tinggi meliputi Co, Ni, Cr, Fe dan Mg yang merupakan unsur unsur yang biasa terdapat pada batuan ultrabasa.

    Seting tektonik batuan ultrabasa pada daerah Halmahera terbentuk pada zona rekahan tengah samudra atau MORB (mid-oceanic ridge basalt). Magma awal berupa magma pembentuk dunit, kemudian berubah menjadi hasburgit, hal ini dilihat dari derajat keasaan magma dengan afinitas toleitik. Tipe MORB batuan adalah tipe normal yang ditandai dengan nilai K2O yang kurang dari 0,01. Sumber magma yang membentuk batuan tersebut berasal dari mantel atas bagian atas. Batuan tersebut secara regional tersingkap ke permukaan akibat kolusi antara lempeng Eurasia dan lempeng Filipina.

    Daftar pustaka Best, M., G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology 2nd Edition, Blackwell Publishing Company, Australia Hall, R., Audley-Charles, M. G., Banner, F. T., Hidayat, S. and Tobing, S. L. 1988, The Basement Rocks Of The

    Halmahera Region, East Indonesia: A Late Cretaceous-Early Tertiary Forearc. J. geol. Soc. Lond. 145, 65-84.

    Rollinson, H., R., 1993, Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation, Longman Group, Singapura.

    Sukamto, Rob, 2000, Pengetahuan Geologi Indonesia : Tantangan dan Pemanfaatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

    Williams, H., Turner, F., J., Gilbert., C.,M., 1982, Petrography, An introduction to the Study of Rocks in Thin Section 2nd Edition, W. H. Freeman and Company, New York

    Wilson, Mrajorie, 1989, Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach, Unwin Hyman, London Winter, John, Dunann, 2001, An Indtroduction To Igneous And Metamorphic Petrology, Parentice-Hall, New

    Jersey