15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh tersedianya kesempatan kerja produktif bagi penduduk yang tumbuh begitu cepat, nampaknya kurang berhasil mengurangi laju kemiskinan di suatu negara sedang berkembang (Arsyad, 2010: 280). Fakta ini juga terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menguat selama periode tahun 1999-2013 (Bank Dunia, 2015), ternyata hanya diikuti tingkat penurunan kemiskinan yang cenderung melambat dari tahun ke tahun. Dalam satu dekade terakhir, penurunan terendah terjadi di tahun 2014, yaitu menurun satu persen dari tahun sebelumnya. Nampaknya, isu kemiskinan ini masih memerlukan perhatian serius pemerintah Indonesia. Salah satu masalah krusial terkait kemiskinan yang dialami oleh suatu negara, termasuk Indonesia, adalah masalah pengukurannya. Selama ini, kemiskinan dianggap sebagai fenomena berdimensi tunggal, yang pengukurannya hanya dikaitkan dengan masalah moneter, yaitu kekurangan pendapatan atau pengeluaran. Kemiskinan moneter ini ditentukan berdasarkan garis kemiskinan. Seseorang dapat dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan, dan sebaliknya, jika seseorang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan, dapat dikategorikan tidak miskin (Tsui, 2002). Pengukuran kemiskinan yang menekankan dimensi moneter memang mudah namun hasilnya tidak memuaskan. Ketidakpuasan terhadap pengukuran

1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

  • Upload
    lamminh

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh tersedianya

kesempatan kerja produktif bagi penduduk yang tumbuh begitu cepat, nampaknya

kurang berhasil mengurangi laju kemiskinan di suatu negara sedang berkembang

(Arsyad, 2010: 280). Fakta ini juga terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi

Indonesia yang menguat selama periode tahun 1999-2013 (Bank Dunia, 2015),

ternyata hanya diikuti tingkat penurunan kemiskinan yang cenderung melambat

dari tahun ke tahun. Dalam satu dekade terakhir, penurunan terendah terjadi di

tahun 2014, yaitu menurun satu persen dari tahun sebelumnya. Nampaknya, isu

kemiskinan ini masih memerlukan perhatian serius pemerintah Indonesia.

Salah satu masalah krusial terkait kemiskinan yang dialami oleh suatu

negara, termasuk Indonesia, adalah masalah pengukurannya. Selama ini,

kemiskinan dianggap sebagai fenomena berdimensi tunggal, yang pengukurannya

hanya dikaitkan dengan masalah moneter, yaitu kekurangan pendapatan atau

pengeluaran. Kemiskinan moneter ini ditentukan berdasarkan garis kemiskinan.

Seseorang dapat dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per

bulan berada di bawah garis kemiskinan, dan sebaliknya, jika seseorang memiliki

rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan, dapat

dikategorikan tidak miskin (Tsui, 2002).

Pengukuran kemiskinan yang menekankan dimensi moneter memang

mudah namun hasilnya tidak memuaskan. Ketidakpuasan terhadap pengukuran

Page 2: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

2

kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju

pertumbuhan ekonomi pada tingkat nasional ternyata tidak mampu mengurangi

angka kemiskinan dan pengangguran di negara-negara sedang berkembang secara

langsung. Pernyataan tersebut disampaikan dalam World Employment Conference

pada 1976 (Muro et al., 2011).

Sen (1979; 1981) dan Alkire dan Santos (2014) telah merangkum 6

kelemahan pengukuran kemiskinan moneter. Keenam kelemahan tersebut adalah:

(1) pola perilaku konsumsi masing-masing individu tidak selalu sama, sehingga

pencapaian pada suatu garis kemiskinan (pendapatan atau pengeluaran) tertentu

tidak menjamin seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya; (2) dalam

pemenuhan kebutuhannya, masing-masing individu dihadapkan pada tingkat

harga yang kemungkinan berbeda, hal ini akan mengurangi tingkat akurasi dari

garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan atau pengeluaran tersebut; (3)

kemampuan masing-masing individu untuk mengonversikan sejumlah tertentu

pendapatan atau pengeluaran sesuai fungsinya sangat beragam, yang dipengaruhi

oleh faktor usia, jenis kelamin, kesehatan, lokasi, iklim, dan kondisi

ketidakmampuan seseorang; (4) kualitas pelayanan, seperti ketersediaan air

bersih, kesehatan, dan pendidikan yang terjangkau, seringkali tidak tersedia di

pasar; (5) tidak dapat menjelaskan distribusi pendapatan dalam rumah tangga; (6)

studi partisipatif menunjukkan bahwa individu yang mengalami kemiskinan

menggambarkan ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan, selain

rendahnya pendapatan.

Page 3: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

3

Pengukuran kemiskinan yang melibatkan multidimensi diperlukan untuk

mengatasi ketidakpuasan penggunaan pendekatan pengukuran kemiskinan

moneter. Seperti dikemukakan oleh Muro et al. (2011), beberapa masalah sosial

ekonomi merupakan fenomena yang kompleks, “complexity also implies

multidimensonality”, sehingga diperlukan pendekatan yang lebih tepat untuk

merepresentasikan fenomena yang kompleks dan kenyataan yang bersifat

multidimensi tersebut. Kemiskinan yang secara tradisional masih dipandang

sebagai kekurangan dari sisi pengeluaran atau pendapatan, akhirnya berkembang

menjadi fenomena yang bersifat multidimensi (Yu, 2013).

Kemiskinan multidimensi tidak hanya terbatas sebagai topik diskusi

akademis murni namun telah meluas menjadi perdebatan kebijakan baik domestik

maupun internasional (Ferreira dan Lugo, 2013). CONEVAL, Dewan Nasional

Meksiko untuk Evaluasi Kebijakan Sosial telah mengadopsi indeks kemiskinan

multidimensi sebagai ukuran resmi kemiskinan negara tersebut sejak Desember

2009. Kemiskinan di negara tersebut diukur dengan memperhitungkan komponen-

komponen sosial penting kemiskinan, seperti kualitas perumahan serta akses ke

pelayanan kesehatan dan makanan, yang seringkali diabaikan dalam menetapkan

ukuran kemiskinan (Launch of Mexico’s New Poverty Measure, 2009). Langkah

Meksiko tersebut selanjutnya diikuti oleh Columbia. Pada tahun 2011, Presiden

Columbia mengumumkan tentang penggunaan indeks kemiskinan multidimensi

sebagai ukuran resmi kemiskinan negara tersebut.

Studi tentang kemiskinan multidimensi juga mendorong Yu (2013) untuk

mengestimasi kemiskinan multidimensi di China, suatu negara dengan angka

Page 4: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

4

disparitas tinggi, tidak hanya antarprovinsi namun juga antarklasifikasi wilayah

perdesaan dan perkotaan. Penelitian Yu menghasilkan temuan bahwa pesatnya

tingkat pertumbuhan ekonomi berdampak pada turunnya angka kemiskinan di

China selama beberapa tahun terakhir, baik dari sisi moneter maupun

multidimensi.

Studi tentang kemiskinan multidimensi di Indonesia juga telah dilakukan

oleh sejumlah peneliti, seperti: Wardhana (2010), Alkire dan Foster (2011), serta

Ballon dan Apablaza (2012). Studi-studi tersebut dilakukan pada level provinsi

dengan metode dan dimensi kemiskinan yang berbeda-beda. Meskipun studi

kemiskinan multidimensi di Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah peneliti,

namun penelitian serupa masih diperlukan, terutama studi kemiskinan pada level

yang lebih kecil yaitu kabupaten/kota, seperti halnya yang dilakukan oleh

Prabowo (2012), Budiantoro dkk. (2013), serta Hanandita dan Tampubolon

(2015).

Studi kemiskinan multidimensi dalam penelitian ini dilakukan di

kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Studi kemiskinan multidimensi

di Provinsi Jawa Tengah penting, sebab salah satu permasalahan strategis yang

terjadi di Jawa Tengah adalah tingginya persentase jumlah penduduk miskin

(secara moneter) yang melebihi persentase rata-rata nasional. Pada September

2013, presentase jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah adalah 14,44 persen

jauh melebihi presentase jumlah penduduk miskin di tingkat nasional yang hanya

11,47 persen (BPS, 2014: 21). Meskipun tren persentase jumlah penduduk miskin

cenderung menurun, namun persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah

Page 5: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

5

adalah yang tertinggi kedua setelah D.I. Yogyakarta untuk seluruh wilayah Jawa.

Gambar 1.1 menunjukkan presentase jumlah penduduk miskin baik di tingkat

Jawa Tengah maupun nasional, selama kurun waktu 2011—2013.

Sumber: BPS 2011—2013, diolahGambar 1.1 Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Tengah dan Nasional, 2011—2013

Selain persentase jumlah penduduk miskin yang jauh melebihi angka

nasional, ternyata pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang mencapai 5,81 persen

pada tahun 2013, hanya menempati posisi terendah kedua di antara provinsi lain

yang berada di wilayah di Pulau Jawa, meskipun angka tersebut masih berada di

atas angka nasional (5,78 persen). Data mengenai pertumbuhan ekonomi dan

persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah selama 2013 ditunjukkan

pada Tabel 1.1. Data tersebut semakin menguatkan alasan tentang pentingnya

studi kemiskinan, dan kaitannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi

Jawa Tengah, melalui analisis kemiskinan multidimensi di level kabupaten/kota.

12,49

11,96

11,6611,37

11,47

15,76

15,34

14,9814,56

14,44

0,00

5,00

10,00

15,00

20,002011

Maret 2012

September2012

Maret 2013

September2013

Indonesia

Page 6: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

6

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin serta Pertumbuhan Ekonomise-Pulau Jawa, 2013

ProvinsiJumlah Penduduk Miskin

(000)Persentase Penduduk

Miskin (%)

PertumbuhanEkonomi 2013

(%)

Maret 2013 September 2013 Maret 2013 September 2013

(1) (2) (3) (4) (5) (6)DKI Jakarta 354,19 375,70 3,55 3,72 6,24

Jawa Barat 4.297,04 4.382,65 9,52 9,61 6,05Banten 656,24 682,71 5,74 5,89 5,86

Jawa Tengah 4.732,95 4.704,87 14,56 14,44 5,81D.I. Yogyakarta 550,19 535,18 15,43 15,03 5,40

Jawa Timur 4.771,26 4.865,82 12,55 12,73 6,59Indonesia 28.066,55 28.553,93 11,37 11,47 5,78

Sumber: BPS (2013), diolah

Pengujian hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang

diukur dengan multidimensi, semestinya juga memberikan alasan pentingnya

studi ini, sebab pengujian hubungan tersebut pada kebanyakan studi sebelumnya

dilakukan dengan pengukuran yang berbeda. Jika kemiskinan diukur dengan

dimensi tunggal (moneter), hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan

adalah linier negatif (lihat Ravallion dan Chen, 1997; Dollar dan Kraay, 2002;

Bourguinon, 2004; Iradian, 2005; Ghosh, 2011; Guiga dan Rejeb, 2012; dan Le et

al., 2014). Hasil yang sama ditunjukkan pada Gambar 1.2, bahwa hubungan

antara pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pendekatan PDRB per kapita

ADHK 2000 dan kemiskinan moneter berdasarkan perhitungan BPS adalah linier

negatif. Bagaimanakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan

yang diukur dengan multidimensi. Hal ini juga menjadi pusat perhatian dalam

studi kemiskinan multidimensi ini.

Page 7: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

7

Sumber: BPS, 2011—2013 ( diolah)Gambar 1.2 Persentase Jumlah Penduduk Miskin dan Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Tengah, 2011—2013

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat seharusnya mampu memberikan

manfaat yang lebih besar dalam mengurangi tingkat kemiskinan (Kakwani dan

Son, 2006). Konsistensi hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan

yang diukur dengan pendekatan multidimensi semestinya memberikan manfaat

yang lebih besar bagi pembuat kebijakan, sehingga dapat menentukan sasaran

yang lebih tepat dan terukur dalam menyusun perencanaan dan membuat

program-program penanggulangan kemiskinan. Selain itu, dengan memandang

kemiskinan bukan hanya sebagai fenomena yang bersifat unidimensional namun

sebagai bentuk deprivasi dari berbagai dimensi serta beberapa permasalahan

strategis yang terjadi, maka menarik untuk meneliti dan menganalisis variabel

kemiskinan yang diukur dengan pendekatan multidimensi di Provinsi Jawa

Tengah.

Page 8: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

8

1.2 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kemiskinan multidimensi dengan cakupan penelitian

yang lebih spesifik, misalnya pada tingkat provinsi maupun kabupaten, belum

banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa peneliti yang tercatat pernah melakukan

penelitian kemiskinan multidimensi di Indonesia sebelumnya, antara lain:

Wardhana (2010), Alkire dan Foster (2011), Prabowo (2012), Budiantoro dkk.

(2013), serta Hanandita dan Tampubolon (2015).

Wardhana (2010), misalnya, mengadakan penelitian mengenai kemiskinan

multidimensi di Indonesia menggunakan data IFLS 1993—2007, dengan metode

penghitungan kemiskinan multidimensi Multiple Correspondence Analysis

(MCA). Selanjutnya, Alkire dan Foster (2011) mencoba menghitung kemiskinan

multidimensi di Indonesia, dengan sumber data yang sama namun rentang waktu

dan metode pengukuran berbeda, yaitu data IFLS tahun 2000. Dalam penelitian

ini, Alkire dan Foster mencoba mengaplikasikan metode temuannya yang diberi

nama metode Alkire-Foster.

Mengacu pada metode yang sama seperti yang diterapkan dalam penelitian

Alkire dan Foster (2011) sebelumnya, Budiantoro dkk. (2013), serta Hanandita

dan Tampubolon (2015) berusaha mengaplikasikan metode Alkire-Foster dalam

penelitiannya tentang kemiskinan multidimensi dengan cakupan wilayah

Indonesia. Sementara Prabowo (2012), mencoba meneliti kemiskinan

multidimensi dalam lingkup yang lebih kecil yaitu tingkat provinsi dan

kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Selanjutnya pada 2014,

Page 9: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

9

Badan Pusat Statistik (BPS) juga pernah mengulas tentang penelitian sejenis,

namun terbatas pada rumah tangga petani.

Meskipun penelitian kemiskinan multidimensi di Indonesia masih jarang

dilakukan, beberapa penelitian bertema serupa sejatinya telah banyak dilakukan di

luar negeri, seperti: Muro et al. (2011), Salahudin dan Zaman (2012), Yu (2013),

Le et al. (2015), serta Alkire dan Santos (2014). Muro et al. (2011) mencoba

memperkenalkan metode baru untuk menghitung kemiskinan multidimensi, yaitu:

Mazziota-Pareto Approach. Berbeda dengan Muro et al. (2011), Salahudin dan

Zaman (2012), Yu (2013), Le et al. (2015), serta Alkire dan Santos (2014) tetap

konsisten untuk menerapkan metode Alkire-Foster dalam penelitian kemiskinan

multidimensinya.

Sementara itu, penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan

yang masih dipandang sebagai fenomena unidimensional, telah banyak dilakukan.

Guiga dan Rejeb (2012), misalnya, menggunakan analisis regresi data panel

dengan model regresi double-log untuk mengestimasi pengaruh pertumbuhan

ekonomi dengan kemiskinan. Hasil temuannya adalah pertumbuhan ekonomi

berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Beberapa penelitian

dengan temuan serupa juga dilakukan oleh Dollar dan Kraay (2002) serta Le et al.

(2014). Sementara itu, variabel independen berbeda digunakan oleh Saleh (2002)

untuk meneliti faktor-faktor penentu kemiskinan regional di Indonesia. Tabel 1.2

merupakan ringkasan dari beberapa penelitian terdahulu tentang kemiskinan

multidimensi dan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan moneter.

Page 10: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

10

No.Pengarang/

Peneliti(Tahun)

JudulMetode

TemuanData Metode Model

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)1. Wardhana

(2010)MultidimensionalPoverty Dynamics inIndonesia (1993 -2007)

Data IFLS1993—2007

Metode MultipleCorrespondenceAnalysis (MCA)

Metode ini menggunakan 3 dimensidasar, yaitu: pendidikan, kesehatan, danstandar hidup, sehingga menghasilkanCIP (Composite index of Poverty).

Kemiskinan di Indonesia periode1993-2007 merupakan fenomenaperdesaan dan lebih bersifat kronismeskipun cenderung mengalamipenurunan.

2. Muro,Mazziotta,dan Pareto(2011)

Composite Indices ofDevelopment andPoverty: AnApplication to MDGs

DataMDGs2003—2006

MetodeMazziotta-ParetoApproach

= + cvi

merupakan indeks kemiskinanyang dicari, dengan:= ∑ ; = ∑ ( )

;

dan cvi =

Metode penghitungan kemiskinanHPI dan Mazziotta-Pareto Index(MPI) memberikan gambaran yanghampir sama, namun jikadibandingkan dengan HDImenunjukkan hasil yang berbeda.

3 Prabowo(2012)

Analisis dan PemetaanKemiskinan ProvinsiSulawesi Utara danGorontalo, 2008 dan2011 (PendekatanMultidimensional danMoneter)

Susenas2008 dan2011

Metode Alkire-Foster

Penghitungan kemiskinan multidimensidalam penelitian ini menggunakan 3dimensi, yaitu: pendidikan, kesehatan,dan standar hidup

Kemiskinan yang diukur denganhanya mempertimbangkan dimensimoneter memberikan gambaranyang berbeda dengan hasilpengukuran kemiskinanmultidimensi dan merupakanfenomena perdesaan.

4. Salahudin danZaman (2012)

MultidimensionalPoverty Measurementin Pakistan: TimeSeries Trends andBreakdown

HIES, PSLM1998—2006serta (PDHS)2006—2007

MetodeAlkire- Foster

Menggunakan 7 dimensi, yaitu: standarhidup, kesehatan, air dan sanitasi,kualitas udara, aset, pendidikan, sertamata pencaharian.

Selama kurun waktu 1998-2006,dimensi Pendidikan dan Kesehatanmerupakan dimensi yang palingmembutuhkan perhatian.

5. Yu (2013) MultidimensionalPoverty in China:Findings Based on theCHNS

(CHNS)2000—2009

MetodeAlkire- Foster

Menggunakan 5 dimensi, yaitu:pendapatan, standar hidup, pendidikan,kesehatan, dan keamanan sosial dan 8indikator.

China memiliki tingkat disparitasyang tinggi, tingkat kemiskinan diperdesaan 1,5 kali lebih tinggidaripada kemiskinan di perkotaan.

Tabel 1.2

Ringkasan P

enelitianT

erdahulu

Page 11: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

11

No.Pengarang/

Peneliti(Tahun)

JudulMetode

TemuanData Metode Model

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)6. BPS Provinsi

Jawa Tengah(2014)

Analisis SosialEkonomi Petani diJawa Tengah

SurveiRTUP ST2013

MetodeAlkire- Foster

Menggunakan 3 dimensi, yaitu:kesehatan, pendidikan, dan standarhidup dan 10 indikator dengan cutoff33,33 persen.

Persentase kemiskinan multidimensiRTUP dengan pendapatan utama darisektor pertanian (26,53 persen)adalah jauh lebih besar jikadibandingkan RTUP denganpendapatan utama selain sektorpertanian (11,59 persen).

7. Le, Nguyen danPung (2015)

MultidimensionalPoverty: FirstEvidence fromVietnam

VHLSS2010 dan2012

MetodeAlkire- Foster

Menggunakan 5 dimensi, yaitu:kesehatan, pendidikan, asuransi danbantuan sosial, kondisi kehidupan,serta akses informasi dan partisipasisosial; dengan 16 indikator.

Ditemukan terdapat perbedaan hasilyang signifikan antara penghitungankemiskinan moneter dan kemiskinanmultidimensi.

8. Hanandita danTampubolon(2015)

MultidimensionalPoverty in Indonesia:Trend Over the LastDecade (2003—2013)

Susenas2003—2013

MetodeAlkire- Foster

Menggunakan 3 dimensi, yaitu:kesehatan, pendidikan, danpendapatan, serta 10 indikator

Penelitian menunjukkan bahwapengurangan kemiskinan moneteryang terjadi di Indonesia selamadekade terakhir, tidak dibarengi olehpenurunan dari sisi non moneter.

9. Dollar danKraay (2002)

Growth is Good forthe Poor

137 negara,1950—1999

Regresi OLS Menggunakan regresi OLS denganmodel: = α0 + α1yct+ α2 Xyct +µc+ εct

Pertumbuhan berperan penting dalammenurunkan angka kemiskinan.

10. Guiga danRejeb (2012)

Poverty, Growth andInequality inDeveloping Countries

52 NSB,1990—2005

Regresi datapanel

Model regresi linear sederhana dengandata panel: Log Pit = αi + α1 logGDPit +α2 logGiniit +α3logInfit+α4 logSavingit++α5 logSchoolit +εit

Pertumbuhan pendapatan riil perkapita memiliki peranan pentingdalam mengurangi tingkatkemiskinan moneter

11. Saleh (2002) Faktor-faktor PenentuTingkat KemiskinanRegional di Indonesia

IHDR,1996—1999

Regresi datapanel

Model regresi linear:POVit = αit + γi + εit

IPM dan tingkat kesenjanganpendapatan merupakan faktor-faktoryang mempengaruhi tingkatkemiskinan per provinsi diIndonesia.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel 1.2 L

anjutan

Page 12: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

12

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah wilayah,

periode, serta variabel penelitian. Wilayah yang menjadi fokus penelitian adalah

Provinsi Jawa Tengah, dengan rentang waktu 2011—2013. Untuk pengukuran

kemiskinan multidimensi mengadopsi dari teori dan penelitian-penelitian

sebelumnya, yaitu berdasarkan buku panduan Alkire dan Santos (2010; 2014),

Prabowo (2012), Hanandita dan Tampubolon (2015), serta beberapa jurnal terkait,

akan tetapi disesuaikan dengan ketersediaan data dan konsep yang ada di

Indonesia. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh

pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000

terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah, periode 2011—2013

dengan mengacu pada jurnal Dollar dan Kraay (2002), Saleh (2002), serta Guiga

dan Rejeb (2012), dan beberapa jurnal lain yang relevan dengan penelitian.

1.3 Rumusan Masalah

Beberapa kritikan dan kelemahan terkait pengukuran kemiskinan yang

hanya memandang kemiskinan dari 1 dimensi, yaitu pendapatan (monetary

approach) telah banyak disampaikan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Hal ini

memunculkan dugaan bahwa pengukuran kemiskinan dengan menggunakan 1 sisi

pendekatan, misalnya pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator tunggal

dinilai kurang memadai. Pengukuran kemiskinan yang kurang tepat dapat

berdampak pada kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan

program-program penanggulangan kemiskinan (Suryahadi, 2012). Untuk

mengantisipasi hal tersebut, maka dirasa perlu melakukan pendekatan dalam

mengukur kemiskinan ditinjau dari beberapa dimensi berbeda (multidimensi).

Page 13: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

13

Dengan memandang kemiskinan sebagai fenomena yang bersifat

multidimensi, maka kemiskinan multidimensi perlu dihadirkan sebagai pelengkap

terhadap pengukuran kemiskinan unidimensional yang bersifat monetary

approach (kemiskinan moneter). Selain itu, belum tereksplorasinya kemiskinan

yang diukur dengan pendekatan multidimensi serta beberapa permasalahan

strategis terkait kemiskinan yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah menjadi salah

satu motivasi terpenting untuk melakukan penelitian ini.

Namun demikian, penelitian tentang kemiskinan multidimensi yang

dilakukan di Indonesia, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih banyak

difokuskan pada analisis dan sebaran kemiskinan multidimensi tersebut di suatu

wilayah. Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian terdahulu yang

menganalisis bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan

dengan pendekatan multidimensi. Seandainya ada, maka penelitian-penelitian

terdahulu lebih fokus kepada pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap

kemiskinan moneter. Oleh karena itu, apakah terdapat pengaruh pertumbuhan

ekonomi dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat

kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah menjadi pertanyaan hipotesis yang

mendorong penelitian ini.

1.4 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana kondisi kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah beserta sebaran

spasialnya, selama kurun waktu 2011—2013?

Page 14: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

14

2. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan

pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan

multidimensi di Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013?

1.5 Tujuan Penelitian

Mengacu pada beberapa literatur yang sudah disebutkan sebelumnya dan

permasalahan strategis yang ada di Provinsi Jawa Tengah, menarik untuk diteliti

mengenai kondisi dan sebaran spasial kemiskinan multidimensi di Provinsi Jawa

Tengah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengukur, menganalisis, dan memetakan kondisi kemiskinan multidimensi di

Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013.

2. Menguji ada tidaknya pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan

PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di

Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.

1. Memberikan informasi mengenai kondisi kemiskinan multidimensi di Jawa

Tengah beserta sebarannya secara spasial, selama kurun waktu 2011—2013.

2. Memberikan strategi kebijakan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah

dalam menangani permasalahan kemiskinan.

3. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat menambah

pengetahuan, khususnya dalam ilmu ekonomi pembangunan, menambah

Page 15: 1.1 Belakang - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91827/potongan/S2-2015...kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan

15

literatur, melengkapi kajian mengenai studi kemiskinan yang lebih luas, serta

memperkaya sumber-sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam 5 bab. Bab I Pendahuluan menguraikan

tentang latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab

II Landasan Teori berisi tentang landasan teori, hipotesis, dan kerangka penelitian.

Bab III Metode Penelitian meliputi metode pengumpulan data, variabel penelitian,

definisi operasional, alat analisis, dan model penelitian. Bab IV Analisis memuat

pembahasan yang berisi hasil analisis, mencakup analisis kemiskinan

multidimensi, pemetaan kemiskinan, serta hasil pengujian hipotesis. Bab V

Simpulan dan Saran merupakan simpulan akhir dari hasil penelitian, implikasi

kebijakan, keterbatasan penelitian, serta saran untuk penelitian lebih lanjut.