26
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stunting Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein atau energi (Setiawan, 2010). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan motolik (retensi kalsium, dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja (Supariasa, et al, 2001). 11

11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stunting Stunting adalah

Embed Size (px)

Citation preview

11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur

berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau

malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa

penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan

dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak

seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal). Gizi kurang

dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa

perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa

disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein

atau energi (Setiawan, 2010).

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,

ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran

berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan

keseimbangan motolik (retensi kalsium, dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan adalah

peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi

sampai remaja (Supariasa, et al, 2001).

11

12

2.2 Indikator Stunting

Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk mengetahui

seseorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri

yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan

tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif

terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Indeks TB/U

menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi

(Supariasa et al 2001).

Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling populer

dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adalah

antropometri. Di Indonesia antropometri telah digunakan secara luas sebagai alat

untuk menilai status gizi masyarakat dan pertumbuhan perorang pada beberapa

dasawarsa belakang ini (Supariasa et al, 2001).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur

beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran tunggal dari ukuran tubuh

manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah

lalu dan keadaan sekarang. Pengukurang tinggi badan atau panjang badan pada anak

dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi/panjang badan dengan presisi 0.1 cm.

(Supariasa et al, 2001).

Penggunaan indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan antara lain 1)

merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau. 2)

Alat mudah dibawa-bawa, murah. 3) Pengukuran objektif. Sedangkan kelemahannya

13

antara lain : 1) dalam penilaian intervensi harus disertai dengan indeks lain (seperti

BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat, 2)

ketepatan umur sulit didapat.

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik

sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup

sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan

yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas, 2010).

Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan indikator tinggi

badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U) disajikan

pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks PB/U atau TB/U

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan

menurut Umur (TB/U) anak umur 0-60 bulan

Sangat Pendek < - 3 SD Pendek -3 SD s/d ≤ -2 SD Normal -2 SD s/d 2 SD Tinggi > 2 SD

Sumber : Kepmenkes RI, 2010

Pada waktu lahir, panjang badan bayi rata-rata adalah 50 cm, tinggi badan 75

cm dicapai pada usia 1 tahun, 85 cm pada usia 2 tahun dan 100 cm yaitu 2 kali

panjang lahir dicapai pada usia 4 tahun, dan pada usia 6 tahun tingginya berkisar 130

cm. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersama dengan pertumbuhan umur.

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang

cukup lama.

14

Tabel 2.2. Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun

No Kelompok Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)

1 0 - 6 bulan 6 60 2 7 - 12 bulan 8,5 71 3 1 - 3 tahun 12 90 4 4 – 6 tahun 17 110

Sumber : AKG 2004

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan negara miskin mengalami

stunting dengan jumlah kejadian tertinggi berada dikawasan Asia Selatan yang

mencapai 46% disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38%, sedangkan secara

keseluruhan angka kejadian stunting dinegara miskin dan berkembang mencapai

32%. Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam waktu

lama dan frekuensi menderita penyakit infeksi (UNICEF, 2007). Akibat dari stunting

ini meliputi perkembangan motorik yang lambat, mengurangi fungsi kognitif dan

menurunkan daya fikir.

Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah 5 tahun mengalami

stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF. dan

memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak di

bawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan

angka kejadian stunting secara nasional sebesar 36,7 % yang berarti 1 dari 3 anak

dibawah 5 tahun mengalami stunting, yang merupakan proporsi yang menjadi

masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

(UNICEF Indonesia, 2012). Meskipun telah terjadi penurunan angka kejadian

stunting pada Riskesdas 2010 menjadi 35,7 %, namun di beberapa Provinsi di

15

Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka

kejadian stunting.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Stunting

2.3.1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat

kurang dari 2500 gram, tanpa memandang usia kehamilan (IDAI, 2009). Bayi yang

lahir dengan BBLR tergolong bayi dengan resiko tinggi, karena angka kesakitan dan

kematiannya tinggi. Oleh karena itu pencegahan BBLR adalah sangat penting,

dengan pemeriksaan prenatal yang baik dan memerhatikan kebutuhan gizi ibu.

Dikatakan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR kurang baik karena pada bayi BBLR

telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak di dalam kandungan, lebih-lebih jika tidak

mendapat nutrisi yang baik setelah lahir (Soetjiningsih, 1995)

Menurut Sitohang (2004) bayi berat lahir rendah (BBLR) dibagi menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Prematur

Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi < 37 minggu dan berat badan ≤

2500 gram. Biasanya kelahiran premature ini disebabkan oleh ibu yang

mengalami perdarahan antepartum, trauma fisik, psikologis, usia ibu terlalu

muda (20 tahun), multigravida dengan jarak kehamilan dekat, keadaan

ekonomi rendah dan kehamilan ganda atau hidramnion.

16

2. Dismatur

Bayi lahir kecil dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi. Kondisi

ini dapat terjadi preterm, aterm, maupun posterm. Dalam hal ini bayi

mengalami retardas pertumbuhan intra uterin dan merupakan bayi kecil untuk

masa kehamilanya. Bayi kecil masa kehamilan sering disebut juga dengan

intra uterin growth retardation (IUGR).

Ada dua bentuk IUGR yaitu :

a. Propotionate IUGR, janin lahir dengan berat, panjang, dan lingkar kepala

dalam porposi yang seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih dibawah

masa gestasi yang sebenarnya.

b. Disproportionate IUGR, janin lahir dengan panjang, dan lingkar kepala

normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah sering mengalami masalah

sukar bernafas, reflek menghisap dan menelan belum sempurna, mudah mengalami

hipotermia jika tidak dalam inkubator, mudah terkena infeksi. Gambaran klinis bayi

BBLR antara lain fisiknya masih lemah, kepala lebih besar dari badannya, kulit tipis,

rambut tipis dan halus, genitalia belum sempurna, ubun-ubun lebar, tulang rawan

elastis kurang, otot-otot masih hipotonik dan pernafasan belum teratur (Sitohang,

2004 dalam Arnisam, 2006).

Data Nasional tentang gizi ibu sangat tidak tersedia, tetapi berat lahir rendah

dan anemia memberikan sebuah indikasi. Berat anak saat lahir merupakan akibat

langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Secara

17

nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010 (11% dengan berat

badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun

2007. Di empat belas provinsi, prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun

2007 sampai 2010 (UNICEF Indonesia, 2012).

Menurut Nurlinda (2013) yang menguti pendapat Reyes (2005), banyak faktor

yang mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama

masa kehamilan. Berat badan ibu < 50 kg, keluarga yang tidak harmonis termasuk

didalamnya kekerasan dalam rumah tangga dan tidak adanya dukungan dari keluarga

selama masa kehamilan, gizi ibu buruk selama masa kehamilan, kenaikan berat badan

ibu kurang dari 7 kg selama hamil, infeksi kronik, tekanan darah tinggi selama hamil,

kadar gula darah ibu tinggi, merokok, alkohol, serta genetik merupakan faktor

penyebab bayi yang dilahirkan BBLR (Nurlinda, 2013).

Berbagai faktor yang mempengaruhi BBLR yaitu jenis kelamin bayi, ras,

keadaan plasenta, umur ibu, aktivitas ibu, kebiasaan merokok, paritas, jarak

kehamilan, tinggi badan dan berat badan ibu sebelum kehamilan, keadaan sosial

ekonomi, gizi, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pertambahan berat badan ibu

selama kehamilan (Turhayati, 2006 dalam Subkhan, 2011).

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu

yang lain yaitu umur, paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,

kehamilan kembar serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR

(IDAI, 2004).

18

Menurut Mochtar (1998) dalam Subkhan (2011) faktor-faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya persalinan prematur atau berat badan lahir rendah adalah:

1. Faktor Ibu

a. Gizi saat hamil yang kurang

b. Umur kurang dari 20 tahun atau di atas 35 tahun

c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

d. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah.

e. Merokok

f. Faktor pekerjaan yang terlalu berat

2. Faktor Kehamilan

a. Hamil dengan hidramnion

b. Hamil ganda

c. Perdarahan antepartum

d. Komplikasi hamil : pre-eklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini

3. Faktor Janin

a. Cacat bawaan

b. Infeksi dalam rahim

4. Faktor lain yang masih belum diketahui

2.3.2 Resiko BBLR terhadap Pertumbuhan

Berat lahir memilki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak,

perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Kegagalan pertumbuhan

anak terjadi dari konsepsi sampai dua tahun dan dari tahun ketiga anak seterusnya

19

tumbuh dengan cara yang rata-rata sama. Hal ini juga diakui bahwa penyebab

stunting berawal dari pertumbuhan janin yang tidak memadai dan ibu yang kurang

gizi, dan sekitar setengah dari kegagalan pertumbuhan terjadi didalam rahim,

meskipun proporsi ini mungkin bervariasi diseluruh negara ( Azwar, 2004).

Bayi lahir dengan BBLR akan beresiko tinggi terhadap morbiditas, kematian,

penyakit infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatal sampai

masa kanak-kanak. Bayi dengan berat lahir 2000-2499 gram 4 kali beresiko

meninggal 28 hari pertama hidup daripada bayi dengan berat 2500-2999 gram, dan 10

kali lebih beresiko dibandingkan bayi dengan berat 3000-3499 gram. Berat lahir

rendah dikaitkan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif

yang buruk, dan beresiko tinggi terjadinya diare akut dan pneumoni (Podja & Kelley,

2000 dalam Arnisam, 2006).

Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Diperkirakan 15% dari

seluruh bayi yang dilahirkan merupakan bayi dengan berat lahir rendah. Berat badan

lahir rendah erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan bayi,

penghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan penyakit kronik ketika

menginjak usia dewasa seperti diabetes, hipertensi dan jantung (UNICEF, 2004)

Terhambatnya pertumbuhan meningkat secara signifikan dengan adanya diare,

infeksi saluran pernafasan, demam, pemberian makanan tambahan dini dan berat lahir

rendah. Berat lahir memberikan kontribusi utama pada tahun pertama lalu menyusul

proses menyusui, pelayanan kesehatan dan postur ibu yang tinggi secara signifikan

20

menurunkan kemungkinan terhambatnya pertumbuhan anak (Adair dan Guilkey,

1997).

Dari Penelitian Fitri (2012) proporsi kejadian stunting pada balita (12-59

bulan) lebih banyak ditemukan pada balita dengan berat lahir rendah (49,3%)

dibandingkan dengan balita dengan berat lahir normal (36,9%). Balita yang

mempunyai berat lahir rendah memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,7 kali

dibanding dengan balita yang mempunyai berat lahir normal.

Menguti pendapat Azwar (2004) dalam Arnisam (2006), berat badan lahir

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa akan datang.

Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan dan belum sempurna pertumbuhan

dan pematangan organ/alat-alat tubuhnya, akibatnya bayi BBLR sering mengalami

komplikasi yang berakhir dengan kematian. Berat badan lahir rendah erat kaitannya

dengan kurang gizi selama kehamilan. Selain berdampak pada angka kematian bayi ,

BBLR juga berdampak pada tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada balita

(Arnisam, 2006).

Stunting yang dibentuk oleh growth faltering catch upgrowth yang tidak

memadai merupakan suatu keadaan yang patologis. Stunting mencerminkan

ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang disebabkan oleh status

kesehatan atau status gizi yang suboptimal.

Dari hasil penelitian Kusharisupeni (2002) menyimpulkan bahwa jumlah bayi

stunting tinggi saat lahir, menurun pada umur 4-6 bulan, dan meningkat sesudahnya

hingga umur 12 bulan. Semua kelompok lahir berkontribusi terhadap stunting hingga

21

umur 12 bulan dengan kontribusi terbesar dari kelompok IUGR dan terkecil dari

kelompok normal.

2.3.3 Asupan Makanan

Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang

terkandung di dalam makanan yang dimakan. Dikenal dua jenis nutrisi (zat gizi) yang

terkandung didalam makanan yang dimakan. Ada dua jenis nutrisi yaitu makronutrisi

dan mikronutrisi. Makronutrisi merupakan nutrisi yang menyediakan kalori atau

energi, diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya.

Makronutrisi ini diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar, terdiri dari karbohidrat,

protein, dan lemak. Nutrisi (zat gizi) merupakan bagian yang penting dari kesehatan

dan pertumbuhan. Nutrisi yang baik berhubungan dengan peningkatan kesehatan

bayi, anak-anak, dan ibu, sistem kekebalan yang kuat, kehamilan dan kelahiran yang

aman, resiko rendah terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit

jantung, dan umur yang lebih panjang (WHO, 2011).

Apabila defisiensi (kekurangan) asupan gizi ini terjadi pada ibu hamil, maka

janin yang dikandung dapat kekurangan gizi. Wanita hamil yang kekurangan gizi bisa

melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Hal ini bahkan dapat terjadi pada masa

konsepsi (pertumbuhan), pada kondisi (calon) ibu kekurangan gizi sehingga janin

tidak dapat tumbuh dalam kondisi optimal. Kenyataan itu bisa bertambah parah bila

pemberian ASI kurang, pemberian makanan pendamping ASI terlambat, kuantitas

serta kualitas makanan tambahan kurang, dan terjadi gangguan penyerapan zat gizi

akibat infeksi disaluran cerna. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan tinggi

22

badan pada anak, sehingga tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya atau lebih

pendek daripada teman sebayanya (Setiawan, 2010).

Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya, makanan

merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktivitas manusia.

Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran

karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi

energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup pula kedalam

tubuhnya. Manusia yang kurang makanan akan lemah, baik daya kegiatan pekerjaan

fisik atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima

tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (mengutip pendapat Suhardjo (2003)

dalam Fitri (2012).

Pemberian makan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang

cukup. Zat gizi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Disamping itu zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan. Zat

gizi pada anak sangat penting karena pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan

anak ditentukan sejak bayi bahkan sejak dalam kandungan (Suhardjo, 1992 dalam

Ahmad, 2012).

Tanpa nutrisi yang baik akan mempercepat terjadinya stunting selama usia 6-

18 bulan, ketika seorang anak berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan

perkembangan otak hampir mencapai 90 % dari ukuran otak ketika anak tersebut

dewasa. Periode-periode ini merupakan periode dimana mulai diperkenalkannya

makanan pendamping ASI (Dairy Global Nutrition). Usia balita terutama baduta

23

merupakan usia yang paling rentan terhadap perubahan keadaan gizi dan kesehatan.

Jika pada masa ini anak tidak mendapatkan zat gizi yang baik dan cukup, maka akan

mudah mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dalam

arti proses bertambahnya struktur serta ukuran tubuh dimana kebutuhan gizi yang

sangat berperan khususnya energi dan protein.

Tingkat pertumbuhan berbeda untuk setiap anak, begitu juga dengan

kebutuhan energinya. Kebutuhan energi balita dan anak-anak sangat bervariasi

berdasarkan perbedaan tingkat pertumbuhan dan tingkat aktivitas. Tingkat

pertumbuhan untuk umur 1-3 tahun dan 7-10 tahun lebih cepat sehingga

mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Usia dan tahap perkembangan

anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi (Sharlin & Edelstein dalam Fitri, 2012).

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang

terdapat pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas

hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan

tubuh didalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang

lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh.

Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun

kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi baik, disebut

dengan konsumsi adekuat. Kalau komsunsi baik dari segi kuantitas dan kualitasnya

melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu

keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas maupun

24

kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit

(Sediaoetama, 2000).

Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting dari

status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan

seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Berdasarkan angka

kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasonal Pangan dan Gizi

ke VIII (LIPI, 2004) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-rata Perhari

No Golongan Umur Energi (kcal) Protein (gram) 1 0-6 bulan 550 10 2 7-11 bulan 650 16 3 1-3 tahun 1000 25 4 4-6 tahun 1550 39

Sumber: WNPG, LIPI (2004)

Hasil penelitian Hautvast et al (1999) dengan sampel bayi umur 6-9 bulan dan

anak usia 14 - 20 bulan menemukan asupan harian total energi tidak cukup

dibandingkan dengan asupan harian yang direkomendasikan pada bayi dan balita.

Bayi dan balita yang stunting cenderung memiliki asupan rendah energi dibandingkan

dengan yang tidak stunting. Asupan energi harian perkilogram berat badan tidak

menunjukkan perbedaan antara stunting dan tidak stunting pada anak-anak.

Hasil penelitian Fitri (2012) menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting

pada balita lebih banyak ditemukan pada asupan protein kurang dibandingkan dengan

balita dengan asupan protein cukup. Balita yang mempunyai asupan protein kurang

25

memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,2 kali dibanding balita yang mempunyai

asupan protein cukup.

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung

zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan

gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). Untuk tumbuh kembang optimal anak

membutuhkan asupan gizi yang cukup. Bagi bayi 0-6 bulan, pemberian ASI saja

sudah cukup, namun bagi bayi usia 6 bulan keatas diperlukan makanan selain ASI

yaitu berupa makanan pendamping ASI.

Pemberian MP-ASI bertujuan untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang

diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus

menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan

cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Apabila setelah usia 6 bulan,

berat badan seorang anak tidak mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa

kebutuhan energi dan zat-zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan asupan

makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan

kurang memenuhi syarat (Krisnatuti dalam Ahmad, 2012).

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for

Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal

penting yang harus dilakukan yaitu :

1. Memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah

bayi lahir

26

2. Memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara

eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan

3. Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia

6 bulan sampai 24 bulan

4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

Rekomendasi tersebut menekankan secara sosial budaya MP-ASI hendaknya

dibuat dari bahan pagan yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat

(indigenous food) (Aritonang, 2012).

2.3.4 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan

bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin bertahan

hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu

mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Penyebaran mikroba

patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan

sakit (penderita). Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit

serta sedang dalam proses penyembuhan akan memperoleh “tambahan beban

penderitaan” dari penyebaran mikroba patogen ini (Darmadi, 2008).

Scrimshaw et.al, (1959) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat

antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan

interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi

akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi (Supariasa, et.al, 2001) .

27

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri

maupun bersamaan, yaitu:

a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya

absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit

b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah

dan pendarahan yang terus menerus

c. Meningkatnya kebutuhan, baik peningkatan kebutuhan akibat sakit (human

host) dan parasit yang tedapat dalam tubuh (Supariasa et.al, 2001).

Penyakit infeksi pada anak-anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA

didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan

(pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari)

dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek dan

atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu

14 hari diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa

penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari. Sedangkan diare didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan

berak cair lebih dari tiga kali sehari (Darmadi, 2008).

Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah tindakan

yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara memutuskan

rantai penularannya. Rantai penularannya adalah rentetan proses berpindahnya

mikroba sehari-hari, pathogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu

dengan/tanpa media perantara. Sebagai sumber penularan atau reservoir adalah orang

28

(penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang

sekaligus dapat berfungsi sebagai media parantara. Contoh lain adalah sampah,

limbah, sisa makanan dan lain-lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi

budaya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta sanitasi lingkungan

yang sudah terjamin, diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi dapat ditekan

seminimal mungkin (Darmadi, 2008).

Peyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular

terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Faktor ini banyak

terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan

hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah

ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci

tangan pakai sabun, buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam

rumah dan sebagainya (Abas, 2012).

Hasil penelitian Nashikhah dan Margawati (2012) hasil analisis bivariat

menunjukkan bahwa riwayat diare akut merupakan faktor resiko kejadian stunting

(p=0,011) dimana balita yang sering mengalami diare akut beresiko 2,3 kali lebih

besar tumbuh menjadi stunting.

Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah diare dan ISPA.

Penyakit diare dan ISPA dapat membuat anak-anak tidak mempunyai nafsu makan

sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk kedalam

tubuhnya dan dapat mengakibatkan kekurangan gizi.

29

2.3.5 Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas

makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam pemenuhan

makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga makin banyak

makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang dikonsumsi.

Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan

dapat menimbulkan kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Tingkat pendapatan

dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan

membelanjakan sebagaian besar pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang

dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan.

Penghasilan merupakan faktor yang menentukan kualitas makanan, didorong

oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat baik perbaikan

gizi kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi,

yang jelas kalau rendahnya tingkat penghasilan orang miskin dan lemahnya daya beli

keluarga telah tidak memungkinkannya untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-

cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak

mereka (Berg, 1986).

Menurut Suhardjo (2003), keluarga yang termasuk dalam kategori

berpendapatan terbatas menggunakan sebagian besar dari pendapatan yang

diperoleh untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan untuk keluarga. Di negara

berkembang dengan populasi rumah tangga lebih banyak rumah tangga

30

berpendapatan rendah sebagian besar pengeluaran rumah tangganya dialokasikan

untuk makanan.

Penelitian di Bangladesh dengan jumlah sampel 1.182 anak berusia 12-30

bulan menemukan prevalensi pendek sebesar 50,9% diantara mereka. Risiko kejadian

pendek 3,6 kali lebih besar pada anak yang berasal dari rumah tangga paling miskin

dibandingkan dengan anak yang berasal dari rumah tangga paling kaya (Hong et al

dalam Nurlinda, 2013). Pendapatan perkapita merupakan faktor yang turut

menentukan status gizi balita. Hasil penelitian Nasikhah dan Margawati (2012)

menujukkan bahwa pendapatan perkapita merupakan faktor resiko kejadian stunting

pada balita usia 24-36 bulan.

Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari pendapatan seseorang yang

akan memberikan dampak kearah yang baik atau kearah yang buruk, keadaan

ekonomi akan berpengaruh terhadap penyediaan gizi yang cukup, dimana kurangnya

pendapatan akan menghambat aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non

materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan.

Pendapatan/penghasilan keluarga Provinsi Aceh dapat dikategorikan sebagai berikut

(Upah Minimum Provinsi Aceh, UMP tahun 2014):

a. Tinggi apabila penghasilan ≥ UMP Rp. 1.750.000,00

b. Rendah apabila penghasilan < UMP Rp. 1.750.000,00

Kemiskinan adalah keadaan sebuah keluarga yang tidak sanggup memelihara

dirinya dan keluarganya dengan taraf kehidupan, dan juga tidak mampu

31

memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya.

Keluarga miskin yang memiliki anak balita tidak dapat memenuhi kebutuhan

pertumbuhan dan perkembangannya, dimana anak mengalami penyimpangan dari

pertumbuhan dan perkembangan normal (Almatsier, 2005).

Jika dilihat hubungannya dengan pekerjaan kepala keluarga maka prevalensi

kependekan tertinggi ditemukan pada rumah tangga petani/nelayan/buruh yaitu

sebesar 42,9% dan terendah pada rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja

sebagai pegawai tetap yaitu 21,1%. Prevalensi kependekan juga terlihat berhubungan

terbalik dengan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin tinggi keadaan ekonomi

rumah tangga semakin rendah prevalensi kependekan dan sebaliknya (Riskesdas,

2010).

2.3.6 Pola Asuh

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam hal kedekatannya

dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan sebagainya

(Depkes RI, 2001). Pola asuh yang baik pada anak balita dapat dilihat pada praktek

pemberian makanan yang bertujuan untuk mendapatkan zat-zat gizi yang cukup bagi

pertumbuhan fisik dan mental anak. Zat gizi juga berperan dalam memelihara dan

memulihkan kesehatan anak dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. aspek gizi

juga mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang dan kecerdasan anak yang

ditentukan sejak bayi, bahkan dalam kandungan (Suhardjo, 1992).

Pola asuh adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak. Pola asuh ini

termasuk pangan dan gizi, kesehatan dasar, imunisasi, penimbangan, pengobatan,

32

papan/pemukiman yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang dan

rekreasi (Soekirman dalam Yusnidaryani, 2009). Pola asuh yang memadai pada bayi

adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak terpenuhi secara optimal. Hal

ini dilakukan melalui pemberian gizi yang baik berupa pemberian ASI, pemberian

makanan pendamping ASI tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan menyusui sampai

anak berumur 2 tahun, ibu punya cukup waktu merawat bayi, imunisasi dan

memantau pertumbuhan melalui kegiatan penimbangan.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, UNICEF merumuskan

tiga faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang secara tidak langsung

(underlying factors), yaitu pangan rumah tangga, pengasuhan, dan sanitasi

lingkungan. ketiga faktor tersebut mempengaruhi status gizi dan juga tingkat

kesehatan anak yang juga turut menentukan kualitas pertumbuhan serta

perkembangan anak (Engel et al dalam Nurlinda, 2013).

Berbagai studi telah mengidentifikasikan faktor-faktor risiko tinggi yang

mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor tersebut berkaitan dengan

kondisi medis, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan, mencakup berat bayi lahir

rendah, kembar, jumlah anak dalam keluarga, penyakit infeksi, pemberian makanan

tambahan terlalu dini atau terlalu lambat. Jika anak mempunyai salah satu ciri

tersebut harus diberikan perhatian khusus. Perhatian itu berupa pola asuh yang baik,

agar kemungkinan timbulnya gizi kurang pada anak yang bersangkutan dapat dicegah

(Suhardjo, 1992). Menurut Soetjiningsih (1995) pertumbuhan dan perkembangan

anak balita sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan postnatal. Faktor lingkungan

33

postnatal sangat erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh ibu kepada

anaknya, antara lain gizi dan status kesehatan.

Menurut Yusnidaryani (2009) yang mengutip pendapat Budi (2006)

menjelaskan bahwa bayi adalah kelompok usia yang rentan terserang penyakit, terkait

interaksi dengan sarana dan prasarana dirumah tangga dan sekelilingnya. Jenis sakit

yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit, penanganan bayi sakit dan status imunisasi

adalah faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan bayi dan status gizi bayi.

Perilaku ibu dalam mengahadapi bayi yang sakit dan pemantauan kesehatan

terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi tumbuh

kembang bayi. Bayi yang mendapatkan imunisasi akan lebih rendah mengalami

resiko penyakit. Bayi yang dipantau pertumbuhan diposyandu melalui kegiatan

penimbangan akan lebih dini mendapatkan informasi akan adanya gangguan

pertumbuhan. Sakit yang lama dan berulang akan mengurangi nafsu makan yang

berakibat pada rendahnya asupan zat gizi.

Pola pengasuhan anak usia 1-2 tahun memang spesifik, mereka bukan bayi

lagi, tetapi juga terlalu muda untuk dikatakan sebagai anak-anak. Akibatnya, banyak

timbul masalah kesehatan termasuk kasus gizi buruk yang prevalensinya tinggi (rata-

rata 50% pada setiap daerah penelitian), yang tidak saja mengganggu tumbuh

kembang anak seperti stunted, penurunan IQ, tapi bahkan berakhir dengan kematian

(Nurlinda, 2013).

34

2.4 Landasan Teori

Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Faktor

langsung yang mempengaruhi status gizi pada balita yaitu asupan makanan dan

penyakit infeksi. Status gizi kurang pada dasarnya disebabkan oleh interaksi antara

asupan gizi yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Faktor lain yang juga

berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6

bulan (ASI Eksklusif), usia enam bulan keatas (MP-ASI), dan pangan yang bergizi

seimbang khususnya ibu hamil. Semua itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola

asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama

tentang gizi dan kesehatan (UNICEF, 1998). Kondisi status sosial ekonomi

memengaruhi konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang rendah berakibat pada

gizi yang buruk. Gizi buruk pada ibu hamil mengakibatkan anak yang dikandungnya

mengalami BBLR (FAO, 2003). BBLR secara tidak langsung dipengaruhi oleh status

gizi ibu buruk. Riwayat Berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi secara

langsung status gizi anak balita. Secara tidak langsung berat badan lahir rendah

dipengaruhi oleh status gizi dan kesehatan ibu, paritas, jarak kelahiran, usia hamil

pertama dan status sosial ekonomi ibu sebelum hamil (Mochtar, 1998). Kerangka

Teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

35

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi pada Anak Balita Modifikasi dari UNICEF (1998), Mochtar (1998), FAO (2003)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dirumuskan kerangka konsep

penelitian sebagai berikut: variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian

stunting pada anak balita sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah

riwayat BBLR, pemberian ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, riwayat penyakit

infeksi, pola asuh makan dan pola asuh perawatan kesehatan yang merupakan faktor

yang mempengaruhi stunting pada anak balita. Kerangka konsep dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Kurang Gizi

Asupan Makanan

Penyakit Infeksi

BBLR Penyebab Langsung

Pola Asuh Ketersediaan Pangan TK.

Rumah Tangga

Pelayanan Kesehatan & Sanitasi

Penyebab tidak

Langsung

Kemiskinan, Pendapatan, Pendidikan, Ketrampilan, Ketersediaan Pangan dan

kesempatan kerja

Krisi Politik, Sosial dan Ekonomi

Masalah Utama

Akar Masalah

Status Gizi Ibu Ketika

Hamil

- Status Gizi dan Kesehatan Ibu

- Paritas - Jarak Kelahiran - Usia Hamil

Pertama - Status Sosial

Ekonomi Ibu

Dampak

36

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

BBLR

Pemberian ASI Eksklusif

Pendapatan Keluarga

Penyakit Infeksi

Pola Asuh - Pola asuh makan - Pola asuh perawatan

kesehatan

Stunting