Upload
ararapia
View
27
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
malaria
Citation preview
7
2.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi
parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis
(Sudoyo dkk., 2009).
2.2 Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel
darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan
seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari
100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil serta 22 pada
binatang primata) (Sudoyo dkk., 2009).
Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falsiparum yang merupakan malaria yang
dapat mengakibatkan hal yang paling serius dan dapat berakibat fatal apabila tidak segera
diobati pada individu yang tidak kebal. Tiga spesies lainnya
yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax (tertiana) yang tersebar luas
tapi jarang fatal, meskipun gejala selama serangan utama mungkin parah; Plasmodium
malariae menyebabkan malaria kuartan yang umumnya ringan, tetapi dapat menyebabkan
nefrosis fatal; dan Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale (Sweetman, 2009).
2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Plasmodium
8
Setiap siklus hidup Plasmodium memiliki beberapa bentuk morfologi yang berbeda-beda
pada tiap fasenya (Kasper, et all, 2005). Adapun morfologi atau bentuk-bentuk dari
Plasmodium falciparum dapat dilihat pada gambar 2.1 dimana bentuk-bentuknya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Sporozoit
Bentuk sporozoit ini merupakan bentuk infektif dari parasit yang berada dalam
kelenjar ludah nyamuk yang dibentuk dalam ookista melalui proses sporogoni.
2. Tropozoit muda
Pada bentuk tropozoit muda dapat dilihat adanya cincin berbentuk halus dengan 2 -
3 bintik kromatin kecil, mengandung sedikit sitoplasma yang mengelilingi vakuola.
Bentuk tropozoit merupakan suatu bentuk aseksual yang dapat ditemukan dalam eritrosit.
3. Tropozoit tua
Pada bentuk ini ditemukan cincin yang semakin besar dan tidak teratur.
4. Skizon
Pada bentuk ini bintik yang ada didalam sel tersebut merupakan suatu merozoit,
yang mana apabila skizon yang ada telah matang maka skizon yang ada akan pecah dan
melepaskan merozoit yang terkandung dalamnya.
5. Makrogametosit
Bentuk makrogamet ini merupakan suatu bentuk gametosit betina yang hanya
membentuk satu makrogamet. Pada bentuk ini ditemukan adanya sitoplasma yang
berwarna kebiruan dengan kromatin yang padat. Bentuk dari makrogamet ini menyerupai
bulan sabit.
6. Mikrogametosit
9
Pada bentuk ini ditemukan adanya warna dari sitoplasma yang kemerahan dengan
kromatin yang tidak padat.
Tropozoit muda Tropozoit tua Pigment dalam sel polimononuklear
dan tropozoit
Skizon Makrogametosit Mikrogametosit
Gambar 2.1. Morfologi Plasmodium falciparum
(Kasper, et all.editors, 2005)
Plasmodium memiliki 2 hospes untuk melangsungkan hidupnya yaitu pada manusia dan
nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut skizogoni dan siklus
seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk disebut sporogoni (Zein, 2005).
10
Gambar 2.2. Siklus hidup Plasmodium
(Zein, 2005)
Siklus aseksual dimulai dari sporozoit infeksius daari kelenjar ludah nyamuk anopheles
betina dimasukkan ke dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu
tiga puluh menit jasad tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium
eksoeritrositik dari pada daur hidupnya. Di dalam sel hati parasit tumbuh menjadi skizon dan
berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar
dengan bebas, sebagian di fagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit
maka disebut stadium preeritrositik atau eksoeritrositiki. Siklus eritrositik dimulai saat
merozoit memasuki sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi
oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit,
tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang
11
dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah
merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki plasma darah. Parasit
memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit
memasuki eritrosit dan membentuk skizon dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk
seksual (Zein, 2005).
Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang bersama darah tidak
dicerna oleh sel-sel lain. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang
bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk menjadi seperti cambuk
dan bergerak aktif seperti mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke
dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek
disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membrane basal dinding lambung.
Di tempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan
sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk menggigit
atau menusuk manusia maka sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre
eritrositik (Zein, 2005).
2.4 Patogenitas dan Gejala Klinis
Perjalanan penyakit malaria berbeda antara orang yang tidak kebal (tinggal di daerah
non-endemis) dan orang yang kebal (tinggal di daerah endemis malaria). Kesalahan atau
keterlambatan diagnosis malaria pada orang non-imun, akan menyebabkan risiko tinggi
terjadinya malaria berat atau malaria dengan komplikasi (Sutanto dkk., 2008).
Perjalanan penyakit malaria dimulai dari serangan demam dengan disertai oleh gejala
lainnya dimana dalam perjalanan ini akan diselingi oleh periode bebas penyakit juga. Gejala
khas demamnya adalah periodisitasnya. Masa tunas instrinsik pada malaria adalah waktu
antara sporozoit masuk dalam badan hospes sampai timbulnya gejala demam, biasanya
berlangsung antara 8- 37 hari, tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk P.
12
falciparum, terpanjang untuk P. malariae), pada beratnya infeksi dan pada pengobatan
sebelumnya atau pada derajat imunitas hospes. Di samping itu juga tergantung pada cara
infeksi, yang mungkin disebabkan oleh tusukan nyamuk atau secara induksi, misalnya
melalui transfusi darah yang mengandung stadium aseksual (Gandahusada dkk., 1998).
Waktu terjadinya infeksi pertama kali sampai timbulnya gejala penyakit disebut masa
inkubasi. Masa inkubasi maupun periode prapaten ditentukan oleh jenis plasmodiumnya.
Masa prapaten berlangsung sejak saat infeksi sampai ditemukan parasit malaria dalam darah
untuk pertama kali, karena jumlah parasit telah melewati ambang mikroskopik (microscopic
threshold) (Gandahusada dkk., 1998). Berikut tabel periode prapaten dan masa inkubasi
plasmodium:
Tabel 2.1 Periode Prapaten dan Masa Inkubasi Plasmodium
Jenis Plasmodium Periode Prapaten Masa Inkubasi
P. Vivax 12,2 hari 12-17 hari
P. Falciparum 11 hari 9-14 hari
P. malariae 32,7 hari 18-40 hari
P. Ovale 12 hari 16-18 hari
Umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.falciparum lebih berat dan lebih akut
dibandingkan dengan jenis plasmodium yang lain, sedangkan gejala yang disebabkan oleh
P.malariae dan P.ovale adalah yang paling ringan. Gambaran khas dari penyakit malaria
ialah adanya demam yang periodik, pembesaran limpa (splenomegali), dan anemia (turunnya
kadar hemoglobin dalam darah) (Depkes RI, 2008a).
1. Demam
Sebelum timbul demam biasanya penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit kepala,
nyeri tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak di bagian perut, diare ringan, dan
13
kadang-kadang merasa dingin di punggung. Umumnya keluhan seperti ini timbul pada
malaria yang disebabkan P.vivax dan P.ovale, sedangkan pada malaria karena P.falciparum
dan P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas (DepKes RI, 2008a).
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan
bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau
limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (tumor nekrosis
faktor). TNF akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh dan terjadi demam (DepKes RI, 2008b).
Pada orang non imun biasanya demam terjadi lebih kurang 2 minggu setelah kembali dari
daerah endemis malaria. Demam atau riwayat demam dengan suhu tubuh lebih dari 38°C
biasanya ditemukan pada penderita malaria. Pada permulaan penyakit, biasanya demam tidak
bersifat periodik, sehingga tidak khas dan dapat terjadi setiap hari. Demam dapat bersifat
remiten (febris remitens) atau terus menerus (febris kontinua) (Sutanto dkk., 2008).
Demam pada malaria bersifat periodik dan berbeda waktunya, tergantung dari plasmodium
penyebabnya. P.vivax menyebabkan malaria tertiana yang timbul teratur tiap tiga hari.
P.malariae menyebabkan malaria quartana yang timbul teratur tiap empat hari dan
P.falciparum menyebabkan malaria tropika dengan demam yang timbul secara tidak teratur
tiap 24 – 48 jam. Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan
berlangsung selama 8 – 12 jam. Lamanya serangan demam berbeda untuk tiap spesies
malaria (DepKes RI, 2008a).
Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium, yaitu :
a. Stadium menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering membungkus
badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil seluruh tubuhnya bergetar, denyut
nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, serta kulit pucat. Pada anak-anak
14
sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit – 1 jam dan dengan
meningkatnya suhu badan.
b. Stadium puncak demam
Penderita berubah menjadi panas tinggi. Wajah memerah, kulit kering dan terasa panas
seperti terbakar, frekuensi napas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala
semakin hebat, muntah-muntah, kesadaran menurun, sampai timbul kejang (pada anak-anak).
Suhu badan bisa mencapai 41°C. Stadium ini berlangsung selama 2 jam atau lebih diikuti
dengan keadaan berkeringat.
c. Stadium berkeringat
Seluruh tubuhnya berkeringat banyak, sehingga tempat tidurnya basah. Suhu badan turun
dengan cepat, penderita merasa sangat lelah, dan sering tertidur. Setelah bangun dari tidur,
penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan tugas seperti biasa. Padahal, sebenarnya
penyakit ini masih bersarang dalam tubuhnya. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
(DepKes RI, 2008a)
2. Pembesaran limpa
Limpa merupakan organ retikuloendotel, dimana parasit malaria dieliminasi oleh sistem
kekebalan tubuh hospes. Pada keadaan akut limpa membesar dan tegang, penderita merasa
nyeri di perut kwadran kiri atas. Pada perabaan konsistensinya lunak. Bila sediaan limpa
diwarnai terlihat stadium parasit lanjut dan pigmen hemozoin yang tersebar bebas atau dapat
juga ditemukan dalam monosit. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti.
Kemudian limpa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang
mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal
mengandung parasit dan butir hemozoin tampak dalam histosit di pulpa dan sel epitel
sinusoid. Hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus
nekrosis tampak dalam pulpa limpa (Sutanto dkk., 2008).
15
Dengan meningkatnya imunitas, limpa yang mula-mula kehitaman karena banyaknya
pigmen menjadi keabuan karena pigmen dan parasit menghilang perlahan-lahan. Hal ini
diikuti dengan berkurangnya kongesti limpa, sehingga ukuran limpa mengecil dan dapat
menjadi fibrosis. Pada malaria menahun konsistensi limpa menjadi keras (Sutanto dkk.,
2008).
3. Anemia
Pada malaria terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Anemia tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran
eritrosit yang cepat dan hebat yaitu pada malaria akut dan berat. Pada serangan akut kadar
hemoglobin turun secara mendadak. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom
dan normositik atau hipokrom. Dapat juga makrositik bila terdapat kekurangan asam folat.
Pada darah tepi selain parasit malaria, dapat ditemukan polikromasi, anisositosis,
poikilositosis, sel target, basophilic stippling pada sel darah merah. Pada anemia berat dapat
terlihat Cabot’s ring, Howel Jolly bodies dan sel darah merah yang berinti. Dapat terjadi
trombositopenia baik pada infeksi P. falciparum dan P. vivax. Leukopenia ditemukan dalam
penderita malaria tanpa komplikasi dan leukositosis pada penderita malaria berat. Pigmen
malaria (hemozoin) dapat ditemukan dalam sel monosit atau sel PMN (Sutanto dkk., 2008).
Anemia disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit
terjadi di dalam limpa. Dalam hal ini, faktor autoimun memegang peranan.
b. Reduced survival time (eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup lama)
c. Diseritropoesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer).
(Sutanto dkk., 2008)
16
Perbedaan yang penting antara P. falciparum dan lainnya adalah bahwa P. falciparum
dapat memodifikasi permukaan eritrosit yang terinfeksi sehingga stadium aseksual dan
gametosit dapat melekat ke endotel kapiler alat dalam dan plasenta. Akibatnya hanya bentuk
cincin P. falciparum yang dapat ditemukan dalam sirkulasi darah tepi. Permukaan eritrosit
yang terinfeksi trofozoit dan skizon P. falciparum akan diliputi dengan tonjolan yang
merupakan tempat parasit melekat dengan sel hospes. Bila parasit melekat pada sel endotel,
maka parasit tersebut tidak akan dibawa aliran darah ke limpa yang merupakan tempat
eliminasi parasit. Reseptor endotel pada hospes sangat bervariasi dan parasit yang berbeda
dapat melekat dan pada berbagai kombinasi reseptor tersebut. Suatu protein yang dikenal
sebagai P. falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP1) diekspresikan pada
permukaan eritrosit yang terinfeksi dikode oleh famili gen var yang cukup besar dan sangat
bervariasi. Gen ini dikatakan memegang peranan penting dalam patogenesis P. falciparum
(Sutanto dkk., 2008).
Pada sebagian besar kasus malaria falsiparum, ikatan antara knob dengan endotel
hospes tidak selalu menyebabkan malaria berat. Penyebab infeksi P. falciparum tanpa
komplikasi menjadi malaria berat seperti malaria otak, sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Kemungkinan adalah ekspresi reseptor hospes yang berbeda pada sekuestrasi akan
mempengaruhi terjadinya patogenesis tertentu (Sutanto dkk., 2008).
Secara garis besar eritrosit yang terinfeksi dapat menimbulkan 3 jenis gangguan yaitu
hemodinamik, imunologik dan metabolik. Gejala klinis malaria yang kompleks merupakan
keseluruhan interaksi ketiga gangguan tersebut. Eritrosit yang terinfeksi parasit akan bersifat
mudah melekat. Eritrosit cenderung melekat pada eritrosit di sekitarnya yang tidak terinfeksi,
sel trombosit dan endotel kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan pembentukan roset dan
gumpalan dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi. Akibatnya
secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak dan syok. Kelainan metabolik yang
17
berhubungan dengan infeksi Plasmodium merupakan konsekuensi dari gangguan pada
membran eritrosit, kebutuhan nutrisi parasit,peningkatan gangguan hemodinamik dan
imunologik dan efek pengobatan (Sutanto dkk., 2008).
Penderita malaria falsiparum berat biasanya datang dalam keadaan kebingungan atau
mengantuk dan keadaanya sangat lemah (tidak dapat duduk atau berdiri). Pada pemeriksaan
darah ditemukan P. falciparum stadium aseksual (trofozoit atau skizon) dan penyebab lain
(infeksi bakteri atau virus) disingkirkan. Selain itu, dapat ditemukan satu atau lebih keadaan
di bawah ini:
1. Malaria otak dengan koma
2. Anemia normositik berat
3. Gagal ginjal akut
4. Asidosis metabolik dengan gangguan pernapasan
5. Hipoglikemia
6. Edema paru akut (acute respiratory distress syndrome)
7. Syok dan sepsis (malaria algida)
8. Pendarahan abnormal
9. Kejang umum yang berulang
10. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
11. Jaundice (ikterus)
12. Haemoglobinuria
13. Demam tinggi
14. Hiperparasitemia
(Sutanto dkk., 2008)
Kelompok risiko tinggi untuk menderita malaria berat adalah di daerah
hiper/holoendemik yaitu anak berumur lebih dari 6 bulan (angka kematian tertinggi pada 1-3
18
tahun) dan ibu hamil. Selain itu, di daerah hipo/mesoendemik yaitu anak-anak dan orang
dewasa. Pendatang (transmigran) dan pelancong (travellers) juga memiliki risiko tinggi
(Sutanto dkk., 2008).
Mortalitas malaria berat masih cukup tinggi, yaitu 20-50% dan hal ini tergantung umur
penderita, status imun, asal infeksi, fasilitas kesehatan serta kecepatan menegakkan diagnosis
dan pengobatan. Prognosis penderita malaria falsiparum berat akan jauh lebih baik bila
penderita sudah ditangani dalam 48 jam sejak masuk ke stadium malaria berat (Sutanto dkk.,
2008).
2.5 Malaria Berat
Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi P.falciparum yang disertai
gangguan berbagai sistem/organ tubuh. Kriteria diagnosis malaria berat yang ditetapkan
WHO, yaitu adanya satu atau lebih komplikasi, seperti malaria serebral, anemia berat, gagal
ginjal akut, edema paru, hipoglikemia (kadar gula <40 mg%), syok, pendarahan spontan dari
hidung, gusi, dan saluran cerna, kejang berulang, asidemia dan asidosis (penurunan pH darah
karena gangguan asam-basa di dalam tubuh), serta hemoglobinuria makroskopik (adanya
darah dalam urine) (DepKes RI, 2008a).
Infeksi malaria falciparum pada ibu hamil dapat menyebabkan anemia pada ibu dan
janinnya, dan bayi yang dilahirkannya akan mempunyai berat badan rendah. Tentu hal ini
dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Komplikasi infeksi malaria pada
kehamilan dapat berupa abortus, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), anemia,
edema paru oleh karena penimbunan cairan di jaringan paru-paru, gangguan fungsi ginjal,
dan malaria kongenital. Oleh karena itu, pemberian obat pencegah malaria pada ibu hamil
yang tinggal di daerah endemis malaria sangat penting (DepKes RI, 2008a).
19
Meskipun hanya 1-2% penderita malaria falciparum yang mengalami malaria berat,
tetapi sering menimbulkan kematian. Sekurang-kurangnya 2 juta orang setiap tahun di
seluruh dunia meninggal terutama oleh malaria serebral (DepKes RI, 2008a).
Berikut ini beberapa komplikasi malaria berat:
1. Malaria serebral
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang mengenai otak, yang disertai kejang-
kejang dan koma tanpa penyebab lain dari koma. Malaria serebral merupakan komplikasi
yang paling sering menimbulkan kematian. Diduga penyebabnya adalah sumbatan kapiler
pembuluh darah otak oleh sel darah merah yang mengandung parasit malaria sehingga otak
kekurangan oksigen (anoksia otak). Gejala dapat timbul secara lambat atau mendadak.
Biasanya didahului oleh sakit kepala dan rasa mengantuk, disusul dengan gangguan
kesadaran, kelainan saraf, dan kejang-kejang. Penurunan tingkat kesadaran bisa berupa
gangguan ringan (seperti apatis, somnolen, delirium, dan perubahan tingkah laku) sampai
berat (keadaan koma). Biasanya, koma pada anak berlangsung satu hari, sedangkan pada
orang dewasa bisa 2-3 hari.
2. Gagal ginjal akut
Pada malaria falsiparum yang berat, kelainan fungsi ginjal sering terjadi terutama pada
penderita dewasa, jarang pada anak-anak. Angka kematian pada malaria berat dengan
gangguan fungsi ginjal dapat mencapai 45%, dibandingkan tanpa kelainan fungsi ginjal yang
hanya 10%. Diduga gangguan pada ginjal diakibatkan oleh sumbatan pada kapiler darah
ginjal oleh parasit malaria sehingga menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal.
Akibatnya, terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus ginjal. Komplikasi gagal ginjal akut
dapat menimbulkan asidosis metabolik, hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat dalam
darah), gagal jantung kongestif, aritmia jantung (gangguan irama jantung), dan perikarditis
(peradangan pada perikardium jantung).
20
3. Demam kencing hitam (black water fever)
Black water fever adalah sindroma dengan gejala serangan akut, berupa demam,
menggigil, penurunan tekanan darah, hemolisis (penghancuran sel darah merah)
intravaskuler, hemoglobinuria (adanya darah dalam urine), dan gagal ginjal. Namun, parasit
malaria yang dijumpai dalam darah hanya sedikit. Penderita adalah orang yang tidak kebal
malaria, yang terinfeksi P.falciparum secara berulang-ulang, dan pernah mendapat
pengobatan dengan kina secara tidak teratur. Biasanya, penderita mengeluh nyeri pinggang,
muntah, diare, gangguan berkemih, dan kencing yang berwarna hitam. Mekanisme timbulnya
black water fever sampai saat ini masih belum jelas, mungkin disebabkan oleh sumbatan dan
gangguan mikrosirkulasi di ginjal.
4. Anemia berat
Anemia berat timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat. Anemia
berat lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Pada 30% kasus malaria dengan
anemia diperlukan transfusi darah. Anemia berat sering memberikan gejala serebral, seperti
tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-
paru. Diagnosis anemia ditentukan dengan pemeriksaan kadar hemoglogin dalam darah.
Anemia paling berat adalah yang disebabkan oleh P.falciparum.
5. Gangguan fungsi hati
Pada gangguan fungsi hati akibat infeksi malaria falciparum, timbul ikterus (kuning pada
kulit, selaput lendir, mata dan mukosa) akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Jika
gangguan fungsi hati disertai gangguan organ vital lain seperti gagal ginjal akut, maka
prognosisnya lebih buruk. Gangguan fungsi hati dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis
metabolik, dan gangguan metabolisme obat di dalam tubuh.
6. Komplikasi lain
21
Malaria berat juga dapat menimbulkan komplikasi lainnya, seperti edema paru,
pendarahan spontan, hiperpireksia (suhu tubuh di atas 41ºC), dan sepsis (timbulnya reaksi
inflamasi yang mengenai seluruh tubuh akibat adanya infeksi).
(DepKes RI, 2008a)
2.6 Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat
(RDT-Rapid Diagnostik Test). Diagnosis malaria dapat sulit dilakukan, bila :
a. Malaria bukan merupakan penyakit endemik (seperti di AS). Petugas kesehatan tidak
familiar dengan penyakit ini. Petugas kesehatan yang memeriksa dapat lupa untuk
mempertimbangkan adanya penyakit tersebut dan tidak meminta dilakukan tes diagnostik.
Petugas laboratorium dapat kurang berpengalaman terhadap malaria dan gagal
mendeteksi parasit saat meneliti sampel darah dalam mikroskop.
b. Di beberapa area penyebaran malaria cukup besar, sehingga sebagian besar populasi
terinfeksi tetapi penderita tidak sampai sakit. Beberapa pembawa (carier) mempunyai
cukup imunitas untuk melindungi dari sakit malaria, tetapi tidak dari infeksi malaria.
c. Pada banyak daerah endemik malaria, kurangnya sumber daya merupakan hambatan
besar untuk menentukan diagnosis. Petugas kesehatan kurang terlatih, kurang cukup
perlengkapan dan kurang mendapat imbalan. Mereka juga harus membagi perhatian
untuk malaria dan penyakit lain seperti pneumonia, diare, TB dan HIV/AIDS.
(DepKes RI, 2008a)
2.6.1 Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
22
a. Keluhan utama: demam, menggigilm berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,mual,
muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
c. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
d. Riwayat sakit malaria.
e. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
f. Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal di atas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan keadaan di
bawah ini:
a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk atau berdiri).
c. Kejang-kejang.
d. Panas sangat tinggi.
e. Mata atau tubuh kuning.
f. Pendarahan hidung, gusi, atau saluran pencernaan.
g. Nafas cepat dan atau sesak nafas.
h. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
i. Warna air seni seperti the tua dan dapat sampai kehitaman.
j. Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria).
k. Telapak tangan sangat pucat.
(DepKes RI, 2008b)
2.6.2 Pemeriksaan fisik
1. Demam (pengukuran dengan termometer 37,5°C).
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
3. Pembesaran limpa (splenomegali).
23
4. Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
1. Temperatur rektal 40ºC.
2. Nadi cepat dan lemah atau kecil.
3. Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak <50mmHg.
4. Frekuensi nafas >35 kali per menit pada orang dewasa atau > 40 kali per menit pada
balita, anak di bawah 1 tahun > 50 kali per menit.
5. Penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) < 11.
6. Manifestasi pendarahan (petekie, purpura, hematom).
7. Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor, dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering,
produksi air seni berkurang).
8. Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat dan lain-
lain).
9. Terlihat mata kuning atau ikterik.
10. Adanya ronki pada kedua paru.
11. Pembesaran limpa dan atau hepar.
12. Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
13. Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologik).
(DepKes RI, 2008b)
2.6.3 Diagnosis atas dasar pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Tetesan preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria
karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat
khusunya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk
memudahkan identifikasi parasit. Tetesan darah tipis digunakan untuk identifikasi jenis
24
plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Pengecatan dilakukan dengan
cat Giemsa, atau Leishman’s atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang
umum dipakai pda beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan
hasil yang cukup baik (Sudoyo dkk., 2009).
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di puskesmas/lapangan/rumah sakit
untuk menentukan:
a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b. Spesies dan stadium plasmodium
c. Kepadatan parasit:
1. Semi kuantitatif
(-) = Negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan > 10 parasit dalam 1 LPB)
2. Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau
sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh:
a. Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit 8.000/µl maka
hitung parasit= 8.000/200 x 1500 parasit= 60.000 parasit/µl.
b. Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5% dan jumlah eritrosit 450.000 maka
hitung parasit= 450.000/1000 x 50 = 225.000 parasit/µl.
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam
sampai 3 hari berturut-turut.
25
b. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan
parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
(DepKes RI, 2008b)
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan
menggunakan metode imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini sangat bermanfaat
pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang
tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survei tertentu. Tes yang tersedia di pasaran saat ini
mengandung:
a. HRP-2 (Histidine rich protein 2) yang diproduksi oleh trofozoit, skizon dan gametosit
muda P. falciparum.
b. Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi oleh
parasit bentuk aseksual atau seksual Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale dan P.
malariae.
Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
a. Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum.
b. Combo yang mampu mendiagnosis infeksi Plasmodium falciparum dan non falsiparum.
Oleh karena teknologi baru sangat perlu untuk memperhatikan kemampuan sensitivitas
dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan
minimal sensitifitas 95% dan spesifisitas 95% . Hal yang penting lainnya adalah
penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezzer pendingin
(DepKes RI, 2008b).
Kelemahan rapid test adalah:
a. Kurang sensitive bila jumlah parasit dalam darah rendah (kurang dari 100 parasit/µl
darah).
26
b. Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif).
c. Antigen yang masih beredar beberapa hari-minggu setelah parasit hilang memberikan
reaksi positif palsu.
d. Gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin masih dapat
dideteksi.
e. Biaya tes ini masih cukup mahal.
f. Tidak stabil pada suhu ruang di atas 30ºC.
(Sutanto dkk., 2008)
3. Tes serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik indirect
fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai
alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes
serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer >
1:200 dianggap sebagi infeksi baru dan tes > 1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes
serologi antara lain indirect haemagglutination test, immuno-precipitation technique, ELISA
test, dan radio-immunoassay (Sudoyo dkk., 2009).
4. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebaga sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin (Sudoyo dkk., 2009).
5. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
a. Hemoglobin dan hemotokrit.
b. Hitung jumlah leukosit dan trombosit.
27
c. Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah).
d. EKG.
e. Foto toraks.
f. Analisis cairan serebrospinalis.
g. Biakan darah dan uji serologi.
h. Urinalisis.
(DepKes RI, 2008b)
2.6.4 Diagnosis banding Malaria
Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada
hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem respiratorius, influenza,
bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia,
infeksi saluran kencing, dan tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai
penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnose banding tergantung
manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnose banding ialah demam
tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul
ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria serebral harus dibedakan dengan
infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis.
Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolic (diabetes, uremi),
gangguan serebrovaskular (stroke), eklampsia, dan tumor otak (Sudoyo, dkk., 2009).
2.7 Pencegahan dan Vaksin Malaria
28
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun,
khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaksis yang dianjurkan
ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya masih sangat
dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk yaitu dengan cara:
1. Tidur dengan kelambu, sebaiknya dengan kelambu impregnated (kelambu yang dicelup
dengan pemethrin atau deltamethrin).
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk baik dalam bentuk spray, lotion, asap, atau
elektrik.
3. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk akan dapat menggigit dan harus
memakai proteksi (baju lengan panjang, kaos kaki/stocking). Nyamuk akan menggigit di
antara jam 18.00 sampai jam 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2.000m.
4. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dengan kawat anti nyamuk.
(Sudoyo dkk., 2009)
Tabel 2.2 Obat-obat untuk mencegah malaria pada wisatawan
No Nama Obat Penggunaan Dosis Dewasa
1
2
3
4
Klorokuin
Meflokuin
Doksisiklin
Klorokuin
ditambah
Proguanil
Daerah tanpa P.falciparum
resisten
Daerah dengan P.falciparum
resisten kloroquin
Daerah dengan P.falciparum
resisten multiobat
Regimen alternatif
menggantikan meflokuin
500 mg setiap minggu
250 mg setiap minggu
100 mg setiap hari
500 mg kloroquin setiap
minggu ditambah 200
mg proguanil setiap hari
29
5 Primakuin Profilaksis terminal infeksi
P.vivax dan P.ovale
26,3 mg (15 mg base)
setiap hari selama 14
hari setelah perjalanan
(Katzung, 2006)
Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi terhadap klorokuin, maka
doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin diberikan setiap hari dimulai
1-2 hari sebelum pergi ke daerah endemis malaria dengan dosis 2 mg/kg BB selama tidak
lebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan pada anak umur <8 tahun dan ibu
hamil (DepKes RI, 2008a).
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang menyulitkan
ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk
stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah adalah P. falciparum
sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi terhadap P. falciparum. Pada
dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik),
vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk
gametosis (Sudoyo dkk., 2009)
2.8 Pengobatan Malaria Falciparum
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya plasmodium
aseksual di dalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan parasit dalam darahnya perlu
diobati. Prinsip pengobatan malaria:
1. Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat atau
dengan komplikasi. Penderita dengan komplikasi atau malaria berat memakai obat
parenteral, malaria biasa diobati dengan per oral.
30
2. Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan
pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT
(Artemisinin base Combination Therapy).
3. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang
positif dan dilakukan monitoring efek atau respon pengobatan.
4. Pengobatan malaria klinis atau tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT.
(Sudoyo dkk., 2009)
Menurut Gandahusada, dkk. (1998) ada lima golongan obat yang dapat digunakan pada
pengobatan kausal berdasarkan mekanisme kerjanya, kelima golongan itu adalah :
1. Skizontosida jaringan primer
Obat – obat ini mampu membasmi praeritrosit sehingga mencegah parasit ini untuk
masuk ke dalam eritrosit. Biasanya digunakan sebagai profilaksis kausal, yaitu pengobatan
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya gejala. Contoh obat
golongan ini, yaitu pirimetamin, proguanil
2. Skizontosida jaringan sekunder
Obat ini mampu membasmi parasit pada daur hidup eksoeritrosit dan digunakan untuk
pengobatan radikal infeksi sebagai obat anti relaps. Namun dalam pengobatan malaria
Tropikana ini, obat yang termasuk dalam golongan ini tidak dapat digunakan sebab parasit
Plasmodium falciparum tidak mengalami fase eksoeritrosit. Contoh obatnya adalah
primakuin.
3. Skizontosida darah
Obat- obat ini memiliki kemampuan dalam membasmi parasit pada stadium eritrosit
dengan cara mengakhiri serangan yang terjadi, dimana hal ini berhubungan dengan penyakit
akut yang disertai gejala klinis. Obat golongan ini dibagi menjadi 2 yaitu yang kerjanya
lambat dan yang kerja cepat.
31
Contoh obat golongan skizontosida kerja lambat yaitu; golongan penghambat sintesis
folat dan antibiotik kecuali antibiotik golongan sepalosporin dan Contoh obat skizontosida
kerja cepat yaitu: derivate artemisin, amodiaquin, chloroquin, kinin dan kinidin, antibiotik
golongan sepalosporin, meflokuin, atovaquone, dan halofantrin.
4. Gametositosida
Obat ini memiliki kemampuan dalam penghancuran semua bentuk seksual termasuk pada
stadium gametosit sehingga transmisinya menuju ke nyamuk dapat dicegah. Contoh obatnya
adalah primakuin.
5. Sporontosida:
Obat ini memiliki kemampuan dalam mencegah atau menghambat gametosit dalam
darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Contoh obatnya
adalah primakuin dan proguanil.
Obat-obat malaria yang ada, dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus kimianya,
yaitu:
1. 4-aminoquinolons contohnya kloroquin dan amodiaquin.
2. Diaminopiridins contohnya pirimetamin, trimetoprim.
3. Biguanida contohnya proguanil dan klorproguanil.
4. 8-aminoquinolon contohnya Primakuin.
5. Alkaloid cinchonae contohnya quinin dan quinidin.
6. Sulfon dan Sulfonamida contohnya sulfadoksin.
7. Kuinolinmetanol dan fenantrenmetanol contohnya meflokuin.
8. Antibiotik contohnya tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, dan minosiklin.
9. 9-aminoakridin contohnya mepakrin.
(Gandahusada dkk., 1998)
2. 8.1 Penatalaksanaan terapi malaria falsiparum menurut DepKes RI (2008)
32
Di Indonesia saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan oleh program malaria,
yaitu Artesunate – Amodiaquin serta Dihydroartemisinin - Piperaquin
1. Pengobatan lini pertama
Saat ini Pada Program Malaria untuk pengobatan lini pertama Malaria falsiparum
digunakan obat Artemisinin Combination Therapy (ACT), yaitu Artesunat + Amodiakuin +
Primakuin atau Dihydroartemisinin + Piperakuin + Primakuin.
Obat program yang tersedia saat ini adalah sediaan artesunate – amodiaquin dan
dihydroartemisinin – piperaquin. Setiap kemasan artesunate – amodiaquin terdiri dari 2
blister, yaitu blister amodiakuin 200 mg ( setara amodiakuin basa 153 mg) 12 tablet dan
blister artesunat 50 mg 12 tablet. Obat diberikan selama 3 hari dengan dosis tunggal harian
amodiakuin basa 10 mg/kg BB dan artesunat 4 mg/kg BB, primakuin 0,75 mg/kg BB.
Tabel 2.3 Pengobatan lini pertama malaria falsiparum dengan artesunat-amodiakuin-
primakuin berdasarkan umur
33
Dosis menurut Berat Badan:
a. Amodiakuin basa 10 mg/kg BB
b. Artesunat 4 mg/kg BB
c. Primakuin 0,75 mg/kg BB
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin, untuk anak umur kurang dari satu tahun dan ibu
hamil serta penderita defisiensi G6PD tidak boleh menerima primakuin. Obat program untuk
dihidroartemisinin - piperakuin adalah Fixed Dose combination (FDC) setiap kemasan
terdapat 8 tablet, setiap tablet mengandung dihydroartemisinin 40 mg dan piperakuin 320 mg.
Dosis obat Dihydroartemisinin 2-4 mg/kg BB, piperakuin 16-32 mg/kgBB, dan primakuin
0,75 mg/kg BB. Sebaiknya dosis ditentukan berdasarkan berat badan. Regimen dosis untuk
anak berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. 4 Pengobatan lini pertama malaria falsiparum dengan dihidroartemisinin –
piperakuin- primakuin berdasarkan umur
Anak dengan berat badan dibawah 10 kg diberikan sesuai dengan dosis dengan
melarutkan 1 tablet dengan 5 ml air minum atau sirup.
2. Pengobatan lini kedua
34
Bila pengobatan lini pertama tidak efektif, gejala klinis tidak memburuk tapi parasit
aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi) maka diberikan
pengobatan lini kedua malaria falsiparum. Obat lini kedua adalah kombinasi Kina +
Doksisiklin /Tetrasiklin + Primakuin.
Kina diberikan per oral, 3 kali sehari dengan dosis 10 mg/kg BB/hari selama 7 hari.
Dosis maksimal kina adalah 9 tablet untuk dewasa. Kina yang beredar di Indonesia adalah
tablet yang mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Doksisiklin yang beredar di
Indonesia adalah kapsul atau tablet yang mengandung 50 mg dan 100 mg Doksisiklin HCl.
Doksisiklin diberikan 2 kali perhari selama 7 hari, dengan dosis orang dewasa adalah 4
mg/kg BB/hari. Sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg BB/hari. Bila tidak
ada doksisiklin dapat digunakan tetrasiklin.Tetrasiklin diberikan 4 kali sehari selama 7 hari
dengan dosis 4-5 mg/kg BB. Doksisiklin maupun Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak
dibawah 8 tahun dan ibu hamil.
Primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Dosis maksimal primakuin 3 tablet untuk
penderita dewasa. Pengobatan lini kedua untuk anak berdasarkan umur dapat dilihat pada
table 5 dan 6 dibawah ini.
Tabel 2. 5 Pengobatan lini kedua malaria falsiparum kombinasi kina – doksisiklin
berdasarkan umur
Keterangan: * Dosis di berikan dalam kg/BB
** 2x 50 mg doksisiklin
35
*** 2 x 100 mg doksisiklin
Tabel 2.6 Pengobatan lini kedua malaria falsiparum kombinasi kina – tetrasiklin berdasarkan
umur
Keterangan: * Dosis di berikan dalam kg/BB
** 4 x 250 mg tetrasiklin
2.8.2 Kombinasi Artesunat dan Amodiaquin
Kombinasi obat malaria adalah pemberian secara bersamaan dua atau lebih obat
skizontosida darah yang mempunyai cara kerja atau target biokimia yang berbeda. Kombinasi
berbasis artemisin adalah kombinasi yang menggunakan artemisin sebagai salah satu
komponen obat kombinasi. Terapi kombinasi dapat berupa fixed combination dimana semua
komponen diformulasikan dalam satu tablet atau kapsul yang sama, atau setiap komponen
36
berupa tablet atau kapsul yang berbeda, tetapi diberikan secara bersamaan (co-administrated)
(Sutanto, 2008).
Terapi kombinasi berbasis derivat artemisin seperti direkomendasikan oleh WHO
berdasarkan adanya argumentasi:
a. Obat-obat dengan mekanisme kerja yang berbeda dapat meningkatkan efikasi.
b. Obat-obat ini dapat meningkatkan efikasi yang lebih tinggi dan penurunan jumlah
gametosit dan menurunkan penyebaran malaria.
c. Obat-obat ini dapat memperlambat resistensi oleh karena kemungkinan resistensi parasit
terhadap obat-obat ini lebih rendah dan oleh karena artesunat dengan cepat mengurangi
resistensi multidrug parasit, dapat membunuh parasit dengan konsentrasi yang tinggi dari
obat kombinasi ini.
(Zein, 2005)
Hasil studi Adjuik tahun 1999 di Gabon, menunjukkan bahwa kombinasi artesunat dan
amodiaquin dapat meningkatkan efikasi pengobatan di Gabon dan Kenya dan juga di
Senegal. Kombinasi artesunat dan amodiaquin merupakan kombinasi yang efektif dan
ditoleransi dengan baik. Angka kesembuhan parasit selama 14 hari pemberian kombinasi >
90% pada semua tempat studi. Kombinasi artesunat dengan amodiaquin merupakan pilihan
pada daerah dimana efikasi klorokuin sudah diketahui (Zein, 2005).
2.8.2.1 Artesunat
Artesunat merupakan salah satu derivat dari artemisin. Qinghaosu (artemisin) merupakan
obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P.
falsiparum dan P. vivax. Sebenarnya obat ini merupakan obat tradisional Cina untuk
penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua (qinghao) yang sudah
dipakai sejak ribuan tahun lalu. Obat ini terutama digunakan untuk pengobatan malaria
37
falsiparum resisten klorokuin atau multidrug dan malaria berat atau dengan komplikasi
karena efek obat yang sangat cepat dan toksisitas rendah (Tjitra, 1994).
Artesunat terikat sangat kuat dengan parasit pada membrane eritrosit. Gugus fungsi yang
bertanggung jawab pada aktifitas antimalaria dari artesunat ini adalah adanya ikatan
endoperoksid. Dihasilkannya oksigen aktif dari ikatan inilah yang membunuh parasit jika
terakumulasi dalam sel eritrosit. Oksigen aktif ini juga menekan produksi atau aktifitas dari
enzim antioksidan dalam eritrosit sehingga menyebabkan lisis pada sel parasit akibat adanya
radikal bebas (Hardman, et all. 2001).
Artemisin khususnya artesunat dan artemeter memainkan peranan penting dalam
mengobati malaria tropika yang resisten terhadap berbagai macam obat dimana obat
golongan ini merupakan satu-satunya obat yang efektif terhadap strain yang resisten kinin.
WHO merekomendasikan pengunaan artesunat untuk malaria falsiparum tanpa komplikasi.
Artesunat ketika digunakan dengan obat antimalaria lainnya (amodiakuin, meflokuin atau
pirimetamin-sulfadoksinj) diberikan secara oral kepada dewasa dan anak-anak dengan dosis 4
mg/kg) (Sweetman, 2009).
a. Spektrum aktifitas
1. Skizontisida darah
Artesunat efektif terhadap stadium aseksual Plasmodium falciparum, Plasmodium vivas,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Artesunat mempunyai waktu paruh yang
pendek dan obat bekerja sangat cepat sehingga penggunaan artesunat harus dikombinasikan
dengan obat anti malaria lainnya, seperti amodiakuin (Menkes RI, 2006).
2. Gametosida
Artesunat membunuh stadium gametosit muda Plasmodium falciparum. Untuk
pengobatan radikal penderita malaria falsiparum diperlukan penambahan primakuin. Sama
38
dengan artemisin, efektif melawan Plasmodium falciparum yang resisten terhadap obat anti
malaria lainnya. Tidak bersifat hipnozoidal tetapi menurunkan angka gametosit karier
artemisin potent dan aktifitasnya cepat terhadap skintosida darah, waktu parasit menghilang
lebih pendek daripda klorokuin/kinina dan respon simptomatik yang cepat. Derivat artemisin
ini hanya sedikit larut dalam minyak. Beberapa studi menunjukkan bahwa artemisin efektif
melawan parasit yang resisten terhadap penggunaan seluruh obat antimalaria. Senyawa ini
tidak bersifat hipnozoitisidal dan menurunkan gametosid bawaan atau carrier (Menkes RI,
2006).
b. Penggunaan
Artesunat (tablet) digunakan sebagai bagian dari kombinasi artesunat dan amodiakuin.
Obat ini menggantikan klorokuin sebagai lini pertama untuk malaria falsiparum tanpa
komplikasi. Khusus artesunat injeksi digunakan untuk pengobatan penderita malaria berat
atau malaria dengan komplikasi terutama di Rumah Sakit. Pengobatan malaria berat atau
malaria dengan komplikasi di fasilitas kesehatan lainnya menggunakan artemeter
intramuscular atau kina parenteral (intramuscular atau intravena). Sebagai bagian dari
kombinasi artesunat untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi digunakan artesunat dengan
dosis harian tunggal 4mg/kgBB selama 3 hari dengan amodiakuin basa dosis harian tunggal
10 mg/kgBB selama 3 hari. Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk
kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%
(Menkes RI, 2006).
c. Farmakokinetik
Farmakokinetik artesunat menyerupai artemeter, setelah pemberian oral atau parenteral,
artesunat dengan cepat dihidrolasi menjadi metabolit aktif yaitu dihidroartemisin. Pada
pemberian oral penyerapan obat sangat cepat dan hanya mencapai 60%. Kemudian obat
tersebut terakumulasi dalam jaringan hati, sedangkan sebagian kecil pada kulit dan mata.
39
Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai 1-2 jam setelah pemberian oral (Menkes RI,
2006).
d. Toksisitas dan efek samping
Artemisin dan turunannya umumnya dapat ditoleransi dengan baik, meskipun terdapat
laporan gangguan pencernaan ringan (termasuk muak, muntah, diare dan sakit perut), pusing,
sakit kepala, tinnitus, neutropenia, nilai enzim hati yang tinggi dan abnormalitas ECG
termasuk perpanjangan interval QT. Bukti neurotoksisitas parah telah terlihat pada hewan
bila diberikan pada dosis tinggi (Sweetman, 2009).
e. Kontraindikasi
Seperti artemeter yaitu tidak diberikan pada kehamilan trisemester 1 (MenKes RI, 2006).
2. 8. 2. 2 Amodiakuin
a. Spektrum aktifitas obat
Amodiakuin adalah senyawa 4 aminokuinolin merupakan obat antimalaria dimana
struktur dan aktivitasnya mirip dengan klorokuin yaitu:
1. Skizontisida darah
Efektif terhadap stadium aseksual Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.
2. Gametositosida
Membunuh stadium gametosit Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium
malariae. Seperti klorokuin, senyawa ini juga mempunyai efek antipiretik dan antiradang.
Pada beberapa studi di Afrika menunjukan bahwa bereaksi baik terhadap Plasmodium
40
falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin. Sebagai bagian dari kombinasi artesunat
untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi digunakan artesunat dengan dosis harian tunggal
4mg/kgBB selama 3 hari dengan amodiakuin basa dosis harian tunggal 10 mg/kgBB selama 3
hari.
b. Penggunaan:
Amodiakuin digunakan bersama artemisinat terutama untuk pengobatan malaria
falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau resisten multidrug. Kombinasi
artesunat dan amodiakuin dipilih sebagai pengganti klorokuin untuk pengobatan malaria
falsiparum tanpa komplikasi. Khusus untuk darah yang mempunyai masalah dengan
Plasmodium vivax yang resisten klorokuin (antara lain Papua, Lampung), kombinasi obat ini
dapat juga digunakan sebagai pengganti.
c. Farmakokinetik
Penyerapan melalui usus cepat dan sempurna, dan segera diubah dalam hati menjadi
metabolit aktif desetilamodiakuin. Metabolit ini memiliki efek sebagai antimalaria. Data
kurang lengkap tentang eliminasi waktu paruh dalam plasma dari desetilamodiakuin.
Amodiakuin dan desetilamodiakuin dapat dideteksi melalui urine beberapa bulan setelah
minum obat.
d. Toksisitas dan efek samping
Toksisitas amodiakuin sama dengan klorokuin. Amodiakuin mempunyai rasa yang lebih
enak daripada klorokuin, namun resiko yang tinggi untuk terjadi agranulositosis letal,
hepatitis toksik bila digunakan sebagai profilaksis yaitu terjadi 1:1000 dan 1:5000. Belum
jelas apakah resiko lebih rendah bila amodiakuin digunakan sebagai pengobatan. Dosis yang
berlebihan dapat menimbulkan kardiotoksik tapi kasus lebih kecil dibandingkan klorokuin,
spastic, pingsan, konvulsi, gerakan involunter. Efek samping pengobatan (dosis standard)
41
untuk terapi malaria adalah sama dengan klorokuin seperti mual, muntah, sakit perut, diare
dan gatal-gatal. Penanganan efek samping dengan pengobatan simtomatik.
e. Kontraindikasi
Penderita dengan hipersensitif terhadap amodiakuin, klorokuin dan gangguan hepar.
f. Interaksi obat
Tidak ada data yang cukup tentang interaksi obat.
(MenKes RI, 2006)
2. 8. 3 Kombinasi Dihydroartemisinin dan Piperaquin
Hasil penelitian di Timika ( Papua) Obat antimalaria Dihydroartemisinin – Piperaquin,
efikasinya lebih dari 95 % dan efek samping yang lebih rendah /sedikit dibanding Artesunat–
Amodiakuin. Selanjutnya obat tersebut diharapkan dapat digunakan di seluruh Indonesia,
terutama jika terjadi efek samping terhadap obat Artesunat – Amodiakuin (Depkes RI,
2008a).
2. 8. 3. 1 Dihydroartemisin
Dihydroartemisinin adalah metabolit aktif utama derivat artemisinin, tetapi
dihidroartemisinin dapat juga diberikan langsung secara oral atau melalui rektal.
Dihidroartemisinin relatif tidak larut dalam air dan membutuhkan bahan tambahan lain untuk
menjamin absorpsinya. Efektifitas pengobatannya sebanding dengan artesunat oral. Saat ini,
kombinasi fixed-dose dihydroartemisinin dengan piperakuin sedang dievaluasi sebagai
kombinasi berbasis artemisinin (ACT) baru yang menjanjikan (DepKes RI, 2008a).
Dihydroartemisin cepat diabsorbsi bila diminum oral, puncak level dicapai setelah 2,5
jam. Absorbsi melalui rektal lambat, dengan puncak level terjadi ± 4 jam setelah digunakan.
Ikatan protein plasma sekitar 55%. Eliminasi waktu paruh 45 menit melalui usus dan
glukuronidase hepatik (Depkes RI, 2008b).
42
Artemisin dan turunannya umumnya dapat ditoleransi dengan baik, meskipun terdapat
laporan gangguan pencernaan ringan (termasuk muak, muntah, diare dan sakit perut), pusing,
sakit kepala, tinnitus, neutropenia, nilai enzim hati yang tinggi dan abnormalitas ECG
termasuk perpanjangan interval QT. Bukti neurotoksisitas parah telah terlihat pada hewan
bila diberikan pada dosis tinggi (Sweetman, 2009).
2. 8. 3. 2 Piperaquin
Piperaquin adalah derivate bisquinoline yang pertama disintesa pada tahun 1960 dan
digunakan luas di China dan Indochina sebagai profilaksis dan pengobatan selama lebih dari
20 tahun. Sejumlah penelitian dari China melaporkan bahwa ini ditoleransi baik pada
chloroquine untuk membunuh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Obat ini
merupakan salah satu campuran yang aman untuk ACT (Artemisinin Combination Therapy),
dimana mempunyai keuntungan antara lain murah, terapi jangka pendek dengan
penyembuhan yang sangat baik dan toleransi yang baik dan dapat menurunkan transmisi dan
munculnya resistensi parasit (DepKes RI, 2008b).
Beberapa studi melaporkan hasil efikasi kombinasi Dihydroartemisinin-Piperaquin
kombinasi (cure rate 28 hari > 95%) dan regimen tidak berhubungan dengan sifat
kardiotoksik dan efek samping yang lain. Karakteristik piperaquin baru-baru ini diungkapkan
bahwa obat ini larut dalam minyak dengan volume yang besar untuk didistribusikan saat
bioavaibilitas, waktu paruh yang panjang yang terjadi pada anak dibandingkan dengan
dewasa. Toleransi, efikasi, profil dan biaya murah dari piperaquin membuatnya menjanjikan
sebagai partner ACT (DepKes RI, 2008b).
2. 8. 4 Primakuin
Termasuk golongan 8 aminokuinolin yang mempunyai aktivitas gametositosida terhadap
4 strain Plasmodium dan hipnozoitisida terhadap P. vivax dan P. ovale. Merupakan satu-
43
satunya obat di pasaran yang dapat digunakan untuk mencegah relaps. Derivat lainnya yaitu
bulakuin dan tafenokuin masih dalam penelitian. Pemakain primakuin untuk profilaksis
masih dalam penelitian (Sutanto dkk., 2008)
Primakuin diberikan secara oral dan diabsorpsi baik dari saluran cerna. Metabolismenya
terjadi cepat dan sangat sedikit obat yang tertinggal dalam tubuh setelah 10-12 jam. Waktu
paronya 3-6 jam. Tafenokuin terurai lebih lambat sehingga menguntungkan dan dapat
diberikan per minggu. Pada dosis terapi primakuin menyebabkan nyeri abdominal jika
diberikan dalam keadaan lambung kosong. Efek samping lain meliputi anemia dan
leukositosis ringan. Overdosis dapat menimbulkan leukopenia, agranulositosis, simptom
saluran cerna, anemia hemolitik dan methemoglobinemia dengan sianosis. Hindari
penggunaan primakuin bersama obat-obat yang dapat meningkatkan risiko hemolisis atau
yang mensupresi sumsum tulang (DepKes RI, 2008a).