163
1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Berangkat dari rumusan masalah, tujuan dan subyek penelitian serta karakteristik data yang akan ditelitinya, serta memperhatikan pula rumusan hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini, yakni studi evaluasi kinerja Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin, maka tanpa mengabaikan arti pentingnya penyajian angka-angka yang bersifat statistis, pendekatan yang dianggap tepat untuk melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang pas digunakan untuk mengkaji permasalahan sekaligus memperoleh makna yang lebih dalam tentang banyak fenomena sosial berkait dengan implementasi kebijakan penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam rangka membantu anak dari keluarga miskin. Pilihan untuk menentukan pendekatan atau metode kualitatif dalam penelitian ini bukan tanpa alasan. Pertama, dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola yang terkandung dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin. Kedua, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin dalam konteks ruang dan waktu yang sangat alami. 100

1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah, tujuan dan subyek penelitian serta

karakteristik data yang akan ditelitinya, serta memperhatikan pula rumusan hasil

akhir yang diharapkan dari penelitian ini, yakni studi evaluasi kinerja

Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin,

maka tanpa mengabaikan arti pentingnya penyajian angka-angka yang bersifat

statistis, pendekatan yang dianggap tepat untuk melakukan penelitian ini adalah

dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang pas

digunakan untuk mengkaji permasalahan sekaligus memperoleh makna yang

lebih dalam tentang banyak fenomena sosial berkait dengan implementasi

kebijakan penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam rangka membantu anak dari

keluarga miskin.

Pilihan untuk menentukan pendekatan atau metode kualitatif dalam

penelitian ini bukan tanpa alasan. Pertama, dalam penelitian ini peneliti

bermaksud untuk mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola

yang terkandung dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam

rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin.

Kedua, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud untuk menganalisis dan

menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkait dengan implementasi

kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin dalam konteks

ruang dan waktu yang sangat alami.

100

Page 2: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

2

Ketiga, bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan proses dan

kegiatan manajemen yang melibatkan proses ineraksi antara beberapa

stakeholders terkait, bahkan dengan komuniti masyarakat tertentu, masyarakat

miskin, yang tentunya memiliki karakter unik karena dikonstruksi oleh

latarbelakang kultur yang berbeda dengan komuniti masyarakat lainnya.

Oleh karena substansi penelitian ini tidak dirancang untuk menguji

hipotesis keculai mendeskripsikan kecenderungan fenomena–fenomena

simbolik dan merefleksikan fenomena itu apa adanya, maka teknis studi

deskriptif menjadi sangat relavan digunakan untuk tujuan penelitian ini.

Dalam penelitian ini, study deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi

sekaligus mengambarkan apa adanya mengenai dua hal pokok yang menjadi

sasaran penelitian, yakni deskripsi mengenai rumusan dan implementasi

kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Seperti

dikemukakan Best (1987 :116) : “A descriptive study describes and interprets

wahat is. It is concerned with condition or relationship that exist, opinion that

are held, processes that are going on, affects that are evidents, or trend that are

developing”. Singkatnya, metode deskriptif itu bersifat menjabarkan,

menguraikan dan menafsirkan kondisi, peristiwa dan proses yang sedang terjadi

dalam konteks permasalahan.

Penting untuk ditegaskan bahwa metode deskripsi yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif yang intinya ditujukan untuk

mengkaji dan memperoleh makna yang lebih dalam dari setiap gejala yang

diteliti berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak

Page 3: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

3

dari keluarga miskin. Seperti diungkapkan Lincoln dan Guba (1985 : 189) :

“....take their meaning as much from their contex as they do from themselves” .

Sesuai dengan sasaran dalam penelitian ini, maka studi deskripsi ini akan

menitik berakan pada studi kasus terhadap daerah-daerah yang memiliki banyak

kantong-kantong kemiskinan, baik yang ada dipedesaan maupun yang ada di

perkotaan. Sementara fokus studinya selain akan diarahkan kepada upaya untuk

menggali tingkat partisipasi mereka, yakni anak dari keluarga miskin dalam

mensuskseskan program Wajar Dikdas, juga akan difokuskan untuk menggali

persepsi sekaligus respon terhadap implementasi kebijakan Wajar Dikdas yang

sedang gencar dilaksanakan.

B. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, dan

sesuai pula dengan jenis dan karakteristik data yang dibutuhkannya, akan

digunakan beberapa metode yang relavan, yang meliputi eksplorasi, yaitu upaya

untuk menelusuri secara cermat berbagai dokumen yang terkait dengan masalah

penelitian, wawancara yang bersifat luas dan mandalam (deep interview), dan

pengamatan langsung atau observasi, termasuk juga focus group discussion

untuk menggali informasi berkat fokus penelitian, yakni implementasi kebijakan

Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin.

Jelasnya, studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data di dalam

dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan substansi penelitian,

khususnya dalam rangka menelusuri rumusan kebijakan penyelenggaraan Wajar

Dikdas 9 tahun. Sementara wawancara dan observasi akan digunakan peneliti

ketika harus membuat deskripsi tentang implementasinya. Adapun penggunaan

Page 4: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

4

FGD, disamping akan digunakan untuk menggali pemahaman mendalam

tentang sikap dan perilaku anak dari keluarga miskin sebagai penerima dari

dampak kebjakan, juga dalam beberapa aspeknya akan digunakan untuk

menggali informasi dari para orang tua murid, termasuk tokoh masyarakat dari

komunitas masyarakat miskin.

Diperolehnya informasi akurat berkenaan dengan masalah-masalah

pendidikan yang dihadapi dan dirasakan anak dari keluarga miskin, adalah

tujuan inti dari penggunaan FGD. Bukan hanya itu, informasi mengenai harapan

sekaligus kebutuhan yang merupakan tuntutan mereka dalam rangka bisa

mengakses layanan pendidikan dasar, merupakan tujuan inti lain dari pemakaian

metode FGD dimaksud.

Penting untuk diungkapkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti akan

menggunakan manusia sebagai instrumen utama yaitu peneliti sendiri. Seperti

diungkapkan Nasution (1992), instrumen manusia dalam penelitian kualitatif

dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) manusia sebagai

alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang

harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti; (2) manusia

sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat

mengumpulkan aneka ragam data sekaligus; (3) tiap situasi merupakan suatu

keseluruhan; (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat

dipahami dengan pengetahuan semata-mata; (5) peneliti sebagai instrumen

dapat segera menganalisis data yang diperoleh; (6) hanya manusia sebagai

instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan

pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh

Page 5: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

5

penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan; dan (7) manusia sebagai

instrumen, respon yang aneh, menyimpang justru diberi perhatian.

C. Unit Analisis dan Penentuan Informan Kunci

Sesuai dengan fokus masalah dan pendekatan yang akan digunakan,

yakni pendekatan kualitatif, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah

meliputi sekelompok orang atau individu, termasuk di dalamnya lembaga,

obyek atau kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan implementasi Kebijakan

akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin di

Kabupaten Cianjur.

Sementara sumber data atau informasi dalam penelitian ini ialah pilihan

peneliti terhadap aspek apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada

saat dan situasi tertentu berkaitan dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas

9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Karenanya, pemlihan nara sumber (atau

sampel dalam istilah penelitian kuantitatif) akan dilakukan terus-menerus

sepanjang penelitian, atau akan menggunakan tehnik yang sering disebut dengan

snowball sampling technique ( bekembang mengikuti informasi atau data yang

diperlukan). Melalui pengunaan tehnik ini, peneliti diharapkan bisa memperoleh

informasi yang lebih bervariasi dan memperluas informasi yang diperoleh

terdahulu sehingga dapat dipertentangkan dan diminimalisir kesenjangannya.

Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, maka sumber informasi

dalam garis besar penelitian ini akan dibagi dan diarahkan kepada tiga

kelompok nara sumber. Pertama, adalah narasumber yang diharapkan bisa

menjadi sumber informasi yang dibutuhkan untuk membuat deskripsi mengenai

rumusan kebijakan berkait dengan penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun,

Page 6: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

6

dalam hal ini adalah para pejabat dari Dinas Dikbud, Departemen Agama dan

Bappeda Kabupaten Cianjur.

Kedua, adalah nara sumber yang diharapkan bisa menjadi sumber

informasi berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, yakni

para implementor kebijakan pada lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Canjur

serta stakeholders dari lembaga terkait lainnya, termasuk para penyelenggara

pendidikan pada satuan pendidikan setingkat sekolah dasar dan SMP/ MTs.

Yang terakhir, ketiga, adalah sampel yang diharapkan bisa jadi representasi dari

objek yang menjadi sasaran kebijakan, dan yang akan menerima dampak

kebijakan, yakni anak usia SD/SLTP dari keluarga miskin.

D. Validasi Data

Guna memperoleh data yang sahih dan absah, terutama data yang

diperoleh melalui wawancawa dan observasi, diperlukan sebuah tehnik

pemeriksaan atau uji data untuk membuktikan kesahihan (validtas) dan

keandalan (reliabilitas) yang merupakan hal penting dalam sebuah penelitian.

Upaya untuk memvalidasi dibutuhkan untuk membuktikan bahwa apa yang

diamati oleh peneliti telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi

dalam dunia kenyataan (Nasution, 1988 : 105).

Dalam penelitian ilmiah, setidaknya ada dua sisi yang perlu dilakukan

dalam proses validasi tersebut; meliputi validasi internal yang berkatan dengan

instrumentasi dan validasi external yang berkatan dengan generalisasi. Validasi

external dalam penelitian kualitatif merupakan upaya peneliti untuk meyakinkan

baha konsep peneliti memiliki kesesuaian dengan konsep yang ada pada

persepsi responden. Sementara validasi external diperlukan untuk memastikan

Page 7: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

7

bahwa hasil penelitian memiliki kecockan (fittingness) sehingga memungkinkan

untuk diaplikasikan oleh peneliti yang lainnya..

Dengan mengacu kepada model yang dikemukakan Lincoln dan Guba

sebagaimana dikutip Burhan Bungin (2003:60), dalam penelitian ini akan

dilakukan langkah sebagai berikut :

1. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam proses pengumpulan data di

lapangan. Caranya antara lain dilakukan dalam bentuk peningkatan frekuensi

pertemuan peneliti dengan responden sebagai sumber informasi, atau

peningkatan frekuensi kontak dengan menggunakan berbagai momentum

yang relavan dengan masalah penelitian.

2. Melakukan observasi secara terus menerus dan sungguh-sungguh terhadap

masalah yang menjadi fokus penelitian, dalam hal ini berkait dengan isu

menyoal implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga

miskin. Langkah ini sangat diniscayakan agar si peneliti betul-betul bisa

memperoleh sekaligus membedakan antara informasi yang bermakna dan

kurang atau bahkan tidak bermakna berkait dengan maslah yang diteliti.

3. Melakukan trigulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang

diperoleh dari satu sumber dan membandingkannya kepada sumber yang

lainnya dalam waktu yang berbeda, atau membandingkan data yang

diperoleh dari satu sumber dengan menggunakan metode yang berbeda.

4. Melibatkan teman sejawat yang tidak terlibat dalam penelitian untuk

memberikan masukan, kritik atau tanggapan terhadap hasil penelitian (peer

debriefing). Teknik yang juga sering disebut dengan peer examination ini

akan dilakukan sejak proses awal penelitian sampai penyusunan laporannya

Page 8: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

8

untuk menyempurnakan keterbatasan peneliti dalam mengkaji dan

menganalisis hasil penelitian.

5. Mengupayakan referensi yang cukup untuk meningkatkan keabsahan

informasi yang diperlukan dengan memperbanyak dukungan bahan referensi

seperti buku, media cetak maupun elektronik, journal, makalah, artikel yang

berkait dengan impelemtasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka

merngankan beban anak dari keluarga miskin.

6. Melakukan pemeriksaan ulang atau sering disebut dengan “memberchek

pada setiap kali selesai melakukan wawancara untuk meyakinkan bahwa

informasi yang diperoleh peneliti mengenai segala masalah berkait dengan

implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin telah

sesuai dengan yang dimaksud responden.

E. Analisis dan Penafsiran Data

Setelah data seluruhnya terkumpul dan dipandang wajar, selanjutnya

dilakukan persiapan analisis yang menurut Moleong (1990 : 198) sulit

dipisahkan dari proses penafsiran data. Menurutnya, analsis data dimulai sejak

dilapangan karena sejak saat itu sudah ada proses penghalusan data,

penyusunan kategori, dan ada upaya dalam rangka penysusunan hypothesa,

yaitu teorinya itu sendiri. Jadi, proses analisis data selalu terjalin secara terpadu

dengan penafsiran data.

Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan beberapa saran penting

dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif, antara lain : (1) force

yourself to make decissions that narrow the study, (2) force yourself to make

decissions concerning the type of study you wan to accomplish, (3) develop

Page 9: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

9

analytic question, (4) plan data collection sessions in light of what you find in

previous observation, (5) write many “observer’s comments” about ideas you

generate, write memos to yourself about you are learning” .

Sejalan dengan pendapat di atas, Nasution (1988 : 126) mengemukakan

bahwa analisis data kualitatif adalah proses proses menyusun data

(mengolongkan ke dalam tema dan kategori) agar dapat ditafsirkan atau

diinterpretasikan. Dengan demikian, dalam proses analisis data kualitatif ini

sangat diperlukan daya kreatif dari penelti untuk mengolah data hasil

peneltiannya sehingga memiliki makna.

Berangkat dari pemahaman itu, maka proses analisis data dalam

penelitian ini akan mengacu pada model analisis data yang dikemukakan oleh

Miles dan Huberman (1994: 429), dikutip Burhan Bangin (2003), yang

menyajikan sebuah model siklus analisis data seperti bisa dilihat dalam gambar

di bawah ini

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Simpulan : Verifikasi

Penyajian Data

Gambar 3.1 Proses analisis data

Page 10: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

10

Model siklus analisis data seperti dikemukakan di atas menjelaskan

bahwa proses analisis data dalam penelitian ini senantiasa berlangsung

bersamaan dengan proses pengumpulan data. Jelasnya, setelah data terkumpul

(data collection), penulis mengadakan reduksi data (data reduction) dengan jalan

merangkum laporan lapangan, mencatat hal-hal pokok yang relevan dengan

fokus penelitian.

Langkah berikutnya adalah menyusun secara sistematik temuan hasil

penelitian berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu yang diikuti oleh

pembuatan display data (data display) dalam bentuk tabel ataupun gambar

sehingga hubungan antara data yang satu dengan yang lainnya menjadi jelas dan

utuh (tidak terlepas-lepas). Proses berikutnya adalah melaukan cross site

analysis dengan cara membandingkan dan menganalisis data secara mendalam.

Terakhir adalah menyajikan temuan, menarik kesimpulan (conclussion) dalam

bentuk kecenderungan umum dan implikasi penerapannya, dan rekomendasi

bagi pengambangan.

Melalui upaya-upaya itu diharapkan akan membantu peneliti untuk

mempertajam perumusan masalah penelitian, menyusun kerangka teoritik,

membina komunikasi dengan informan, mengumpulkan data, menganalisis data,

dan menyusun laporan penelitian. Lebih dari itu, tingkat akurasi dan kredibilitas

penelitian sudah memenuhi prosedur dan persyaratan ilmiah sebagai suatu

penelitian.

Page 11: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

11

F. Prosedur Penelitian

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, yaitu mendiskripsikan

rumusan kebijakan dan implementasinya, maka penelitian ini akan dilaksanakan

melalui prosedur sebagai berikut :

1. Persiapan (Pra-lapangan)

Dalam tahap paling awal ini, ada tiga langkah pokok yang dilakukan, yaitu :

a. Melakukan studi penjajagan untuk menentukan arah dan fokus penelitian.

b. Melakukan studi kepustakaan atau dokumentasi untuk menemukan acuan

dasar sekaligus mempertajam arah penelitian.

c. Menyusun rancangan atau desain penelitian sebagai pedoman pelaksanaan

penelitian

2. Orientasi.

a. Melakukan pembicaraan pendahuluan dengan Kepala Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Cianjur untuk

menjelaskan sekaligus meminta informasi yang relavan berkait dengan

rencana penelitian yang akan difokuskan kepada “Implementasi Kebijakan

Wajar Dikdas 9 Tahun dalam rangka membantu anak dari keluarga miskin.

b. Menghimpun data awal melalui studi dokumentasi dan wawancara dengan

Kepala Sub Dinas (Subdin) Perencanaan, Subdin Pendidikan Dasar, dan

Subdin Pendidikan Luar Sekolah pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Cianjur. Hal serupa juga dilakukan dengan Kepala Seksi terkait

di Departemen Agama, Kepala Bappeda dan Kepala Bidang (Kabid) Sosial

Page 12: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

12

Budaya pada Bappeda Kabupaten Cianjur, disamping lembaga terkait

lainnya sesuai dengan sasaran penelitian.

c. Menganalisis temuan data awal untuk mempertajam arah dan fokus

penelitian sekaligus fokus wilayah yang akan diteliti dikaitkan dengan

sasaran penelitian.

3. Pelaksanaan Penelitian Lapangan

a. Melakukan pengumpulan data dan penggalian informasi melalui studi

dokumentasi, wawancara, observasi, fokus group discussion (FGD), dan

penulusuran terhadap subyek-subyek penelitian yang dipandang perlu dan

ditentukan secara snowball dengan memperhatikan saran-saran dari

informan tedahulu

b. Menginterpretasikan, menganalisis dan memprediksi data dan informasi

yang telah berhasil dikumpulkan dan digali

c. Sementara penelitian dan penulisan laporan ini berlangsung, peneliti selalu

berupaya untuk selalu melengkapi dan memperbaharui data, serta melakukan

trianggulasi atau memberchek hingga akhir penelitian di lapangan

4. Penyusunan Laporan

.Kegiatan akhir dari penelitian ini berupa penyusunan laporan penelitian

secara lengkap ke dalam bentuk disertasi yang berjudul “Efektivitas

Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin”

(Studi Evaluasi Kinerja Kebijakan di Kabupaten Cianjur, termasuk di dalamnya

adalah rumusan rekomendasi dalam bentuk pengembangan model (hipotetik)

penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai bentuk penyempurnaan atau

perbaikannya.

Page 13: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

13

1. ORIENTASI DAN PERENCANAAN PENELITIAN

1. 2.PERSIAPAN LAPANGAN / PRA LAPANGAN

3. PELAKSANAAN PENELITIAN LAPANGAN

4. PENGAMBILAN DATA RUMUSAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DATA

DOKUMENTER)

5.PENGAMBILAN DATA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DOKUMENTER DAN

LAPANGAN)

6.PENGAMBILAN DATA TTG MASALAH PENDIDIKAN BAGI ANAK

DARI KELUARGA MISKIN YANG MENJADI SASARAN KEBIJAKAN

(DATA LAPANGAN)

TEORI DAN HASIL PENELITIAN

REKOMENDASI PENGEMBANGAN MDEL WAJAR DIKDAS 9 TAHUN

BAGI ANAK DARI KELUARGA MISKIN

KAJIAN TEORETIK

KAJIAN TEORETIK DAN EMPIRIK

KAJIAN EMPIRIK

HASIL ANALISIS 2

HASIL ANALISIS 3

HASIL ANALISIS 1,2 DAN 3

HASIL ANALISIS 1

KAJIAN TEORETIK

Secara keseluruhan, proses pelaksanaan penelitian sebagaimana

diuraikan diatas bisa dilihat dalam chrat di bawah ini yang mengambarkan

tahapan-tahapan penelitian, mulai dari tahap persiapan yang diawali dari

kegiatan orientasi dan perencanaan penelitian, persiapan lapangan, dan

pelaksanaan penelitian itu sendiri sampai kepada analisis hasil penelitian serta

perumusan rekomendasi, termasuk pengajuan model hipotetik penyelenggaraan

Wajar Dikdas 9 tahun yang didasarkan hasil kajian empirik dan teoretik dengan

menggunakan sumber-sumber yang relavan.

Gambar 3:2. Bagan Prosedur Penelitian

Page 14: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

14

BAB IV

DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Berikut ini adalah uraian mengenai dua hal penting yang akan menjawab

tujuan penelitian ini. Yang pertama, adalah deskripsi mengenai rumusan serta

bentuk-bentuk program implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang

telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur dalam kaitannya dengan

upaya untuk membantu meringankan beban anak dari keluarga miskin.

Termasuk dalam bagian ini adalah uraian mengenai kondisi umum kabupaten

Cianjur dilihat dari aspek geografis, demografis dan struktur pemerintahan serta

kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduknya. Informasi yang terakhir itu

penting untuk diangkat guna memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang

lingkungan kebijakan yang melatarbelakangi sekaligus akan mempengaruhi

rumusan kebijakan yang akan dilaksanakan.

Yang kedua, adalah deskripsi mengenai hasil atau kinerja kebijakan

dalam bentuk kecenderungan pencapaian tingkat partisipasi anak usia 7-15

tahun dalam mengkases pendidikan dasar 9 tahun. Lebih jauh lagi, dalam sub

bab ini juga akan diangkat sejumlah potret kasus anak dari keluarga miskin yang

sampai saat ini belum tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun,

diangkat dari hasil penelitian terhadap sejumlah kasus anak yang pada saat

dilakukan penelitian sedang tidak berada di sekolah, baik karena alasan tidak

melanjutkan ataupun karena putus di tengah jalan alias dropout. Alasan tentang

mengapa masih banyak anak usia 7-15 tahun dari keluarga miskin belum atau

tidak bisa mengikuti pendidikan dasar 9 tahun alias belum tersentuh dengan

kebijakan yang dilaksanakan pemerintah, adalah fokus dari uraian di atas.

113

Page 15: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

15

Informasi tersebut juga menjadi sangat penting dan relevan dalam

penelitian ini untuk menilai sampai sejauh mana tingkat efektivitas pelaksanaan

kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digencarkan pemerintah selama ini dalam

rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga

miskin. Bahkan dari informasi itulah pula, salah satunya, pengembangan model

peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka akselerasi penuntasan Wajar

Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin yang sekaligus merupakan

rekomendasi hasil penelitian ini akan dirumuskan.

A. Gambaran Umum Kabupaten Cianjur

Secara geografis, Cianjur yang merupakan salah satu kabupaten di

provinsi Jawa Barat ini memiliki letak yang cukup strategis karena posisinya

yang berada di tengah Propinsi Jawa Barat dengan jarak sekitar 65 Km dari Ibu

Kota Provinsi (Bandung) dan 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Karena

letaknya yang strategis itulah, Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduknya

yang telah mencapai angka 2 juta jiwa lebih ini tidak saja merupakan bagian

dari wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, melainkan dalam banyak

aspeknya juga juga sangat diperhitungkan sebagai daerah penyangga yang

diharapkan bisa mendukung pembangunan kawasan yang dikenal dengan

sebutan Botabekjur (Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur).

Masih secara geografis, kabupaten yang memiliki luas sebanyak

350.148 hektar dan merupakan daerah terluas kedua di Jawa Barat setelah

kabupaten Sukabumi ini dibatasi oleh Kabupaten Bogor dan Purwakarta di

sebelah Utara, Kabupaten Sukabumi disebelah Barat, Samudera Indonesia

Page 16: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

16

disebelah Selatan, dan Kabupaten Bandung dan Garut disebelah Timur

sebagaimana tergambar dalam peta wilayah berikut ini :

Gambar 4.1 : Peta Kabupaten Cianjur

Masih secara geografis, Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian

wilayah pembangunan, yakni Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah,

dan Cianjur Bagian Selatan. Pembagian wilayah pembangunan dengan berbagai

karakteristiknya ini penting untuk diangkat di sini karena dalam beberapa

aspeknya, langsung ataupun tidak langsung, akan ikut mempengaruhi

penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan.

Page 17: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

17

1. Cianjur Bagian Utara

Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian

besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi

merupakan areal perkebunan dan persawahan, dengan ketinggian sekitar 2.962

m di atas permukaan laut. Termasuk dalam wilayah ini adalah daerah Puncak

dengan ketinggian sekitar 1.450 m, Wilayah perkotaan Cipanas (Kecamatan

Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian sekitar 1.110 m, serta Kota Cianjur

dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian daerah ini

merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan perkebunan

dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat

Gunung Salak yang merupakan gunung api termuda dan sebagian besar

permukaannya ditutupi bahan vulkanik.

Kecamatan yang termasuk wilayah Utara dan relatif memiliki infra

struktur dan sarana pendidikan yang memadai ini adalah Kecamatan Cibeber,

Bojongpicung, Ciranjang, Karangtengah, Cianjur, Warungkondang, Cugenang,

Pacet, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Cilaku, Sukaresmi, Gekbrong dan

Cipanas.

2. Cianjur Bagian Tengah

Merupakan daerah perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah

berupa persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang

tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil sehingga sering terjadi

tanah longsor, dataran lainnya terdiri dan areal perkebunan dan persawahan.

Kecamatan Wilayah Tengah yang sarana pendidikannya relatif lebih baik ini

Page 18: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

18

terdiri dari Kecamatan Tanggeung Pagelaran, Kadupandak, Takokak,

Sukanagara, Campaka dan Campaka Mulya.

3. Cianjur Bagian Selatan

Merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit bukit kecil diselingi

oleh pegunungan yang melebar ke Samudra Indonesia, di antara bukit-bukit dan

pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran

terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m di atas

permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur bagian Tengah, bagian Cianjur

Selatan pun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Di wilayah pembangunan

ini terdapat juga areal perkebunan dan pesawahan tetapi tidak begitu luas.

Kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan ini adalah Agrabinta,

Leles, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Di

kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan inilah pula banyak

desa yang karena keterisolasiannya tidak memiliki sarana pendidikan yang

memadai. Masalah jarak antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah,

adalah merupakan persoalan berat tersendiri yang sering dihadapi anak

diwilayah Cianjur selatan ini. Bahkan kondisinya menjadi tambah parah ketika

sarana jalan dan transformasinya pun sering jauh dari keadaan yang memadai.

Secara demografis, kabupaten Cianjur yang memiliki luas sebanyak

3.501,46 km2 dan secara administratif dibagi ke dalam 30 kecamatan, 340 desa

dan 6 kelurahan ini memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, yakni sekitar

2.125.023 jiwa (BPS, 2006). Rincian menurut pembagian jenis seksnya,

1.100.412 jiwa merupakan penduduk laki-laki, dan 1.024.611 jiwa merupakan

penduduk perempuan. Dengan demikian, sex ratio penduduk kabupaten yang

Page 19: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

19

memiliki potensi pertanian ini jatuh pada angka 107,40. Arti demografisnya,

jumlah penduduk laki-laki di kabupaten yang banyak mengirim tenaga kerja

perempuan (TKI) ke luar negeri ini lebih besar dibanding jumlah penduduk

perempuan. Persisnya, 100 penduduk perempuan berbanding 107 penduduk

laki-laki. Karakteristik demografis ini sengaja diangkat di sini karena ada

kecenderungan bahwa keutuhan sebuah keluarga akan sangat mempengaruhi

dan menentukan kelangsungan pendidikan anak-anaknya.

Dibanding dengan luas daerahnya, maka tingkat kepadatan penduduk

(densitas) kabupaten ini sudah mencapai angka 598,14 jiwa / km2 dengan

sebaran penduduk yang relatif kurang merata sehingga dalam beberapa

aspeknya kurang menguntungkan, termasuk jika dikaitkan dengan

penyelenggaraan pembangunan dibidang pendidikan

Menurut persebarannya, kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan

yang berlokasi di wilayah Cianjur utara jauh lebih tinggi dibanding kecamatan

yang berada di wilayah Cianjur tengah dan Cianjur bagian selatan. Hal ini

terjadi karena sangat berkaitan erat dengan faktor daya tarik daerah, terutama

dengan faktor ekonomi dan kondisi sarana atau infrastruktur yang tersedia,

termasuk tentunya sarana pendidikan. Umumnya di wilayah pembangunan ini,

masalah jarak dan ketersediaan sarana pendidikan, termasuk tenaga pendidikan

relatif lebih memadai dibanding daerah yang ada diwilayah pembangunan yang

lainnya.

Sebaliknya, karena keterbatasan dalam beberapa faktor strategis itulah

pula, terutama infra struktur seperti jalan, maka kepadatan penduduk di wilayah

Cianjur selatan relatif masih cukup rendah. Di daearah-daerah yang termasuk

Page 20: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

20

wilayah pembangunan inilah pula, masalah transportasi dan ketersediaan sarana

pendidikan, termasuk tenaga pendidikan sering menjadi masalah. Itulah pula

beberapa faktor yang selama ini sering hadir menjadi salah satu penghambat

dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun.

Beberapa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi

adalah kecamatan Cianjur dengan kepadatan sebesar 6.275,98 jiwa/km2, disusul

kecamatan Karangtengah (3.073,68/km2), kecamatan Ciranjang (2.276,98/km2),

kecamatan Cipanas (1.834,47 jiwa/km2), kecamatan Pacet (1.496,18 jiwa/km2,

kecamatan Sukaluyu (1.546,98 jiwa/km2, dan kecamatan Cugenang sebesar

1.424,14 jiwa/km2. Sementara kecamatan dengan tingkat kepadatannya yang

relatif rendah adalah kecamatan Naringgul sebesar 180,75 jiwa/km2 disusul

kecamatan Agrabinta sebanyak 184,80 jiwa/km2.

Dilihat dari aspek pertumbuhannya, Susenas 2005 mengungkap bahwa

laju pertumbuhan penduduk (LPP) di kabupaten Cianjur ini mencatat angka 1,86

persen pertahun, atau naik dari posisi hasil Sensus penduduk tahun 2000 sebesar

1,57 persen. Ini semua menunjukan bahwa tren kependudukan di kabupaten ini

masih menjadi ancaman karena akan besar pengaruhnya terhadap kelancaran

pembangunan hampir seluruh sektor pembangunan, termasuk pembangunan di

sektor pendidikan. Logika demografisnya, semakin tinggi laju pertumbuhan

penduduk, maka akan semakin tinggi pula pertambahan jumlah absolutnya,

termasuk pertambahan penduduk usia sekolah yang menjadi sasaran Wajar

Dikdas 9 Tahun.

Dari sumber data yang ada juga terungkap bahwa tingginya laju

pertumbuhan penduduk tersebut tidak semata diakibatkan oleh faktor migrasi,

Page 21: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

21

melainkan justeru oleh faktor fertilitas yang trennya masih cukup

mengkhawatirkan. Masih menurut sumber BPS yang diambil dari hasil Suseda

tahun 2005, angka kelahiran total (Total Fertility Rate-TFR) untuk kabupaten

Cianjur selama ini masih bertengger pada angka 2.45 anak. Artinya, setiap

wanita usia subur di Kabupaten Cianjur saat ini masih berpotensi memiliki anak

antara 2-3 orang, tentu dengan segala implikasi demografisnya terhadap struktur

penduduk Kabupaten Cianjur.

Bandingkan dengan angka kelahiran atau TFR Jawa Barat yang

posisinya sudah mendekati angka 2.3. Itulah pula fakta demografis yang akan

menghambat upaya akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun. Di sini

berlakuk kaidah demografis sebagai berikut : semakin tinggi angka kelahiran,

maka akan semakin muda struktur umur penduduknya, dan pada gilirannya akan

semakin besar pula peningkatan penduduk usia sekolahnya, termasuk struktur

umur dalam kelompok usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9

tahun.

Di bawah ini adalah tren peningkatan jumlah penduduk usia 7-15

tahun, penduduk usia SD/SLTP di kabupaten Cianjur, diambil dari sumber hasil

Pendataan Keluarga yang setiap tahun dilakukan oleh Badan Koordinasi

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Cianjur :

Page 22: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

22

Tabel 4:2. Tren Peningkatan Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun

TAHUN JUMLAH

PENDUDUK PENDUDUK USIA

7-15 TAHUN % DARI TOTAL

PENDUDUK

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1.877.650 1.932.204 2.009.785 2.035.122 2.070.123 2.094.365 2.122.756

357.400 372.666 376.152 388.773 393.365 398.365 402.918

19,03 19,29 18,82 18,56 19,00 19,03 18,98

Sumber : Hasil Pendataan Keluarga BKKBN

Dari tabel di atas terungkap bahwa dalam periode enam tahun sejak

tahun 2001 sampai dengan 2007, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk

usia 7-15 tahun dari 357.400 jiwa pada tahun 2001 menjadi 402.918 jiwa pada

akhir tahun 2007, atau bertambah sebanyak 52.504 jiwa, atau sekitar 7.586 anak

untuk tambahan setiap tahunnya.

Dalam pandangan peneliti, itulah salah satu tantangan berat pelaksanaan

Wajar Dikdas dilihat dari aspek kependudukan. Disebut tantangan berat karena

dengan itu berarti bahwa setiap tahunnya diperlukan tambahan sarana dan

prasarana pendidikan dasar untuk bisa menampung sekaligus menjamin akses

tidak kurang dari 7.000 tambahan sasaran anak usia SD/SLTP, disamping

menjamin kelangsungan pendidikan dasar bagi anak yang telah ada. Bayangkan,

jika setiap tambahan 40 orang siswa saja membutuhkan tambahan satu ruang

kelas baru (RKB), maka di Kabupaten Cianjur ini setiap tahunnya dibutuhkan

tidak kurang dari 190 ruang kelas baru (RKB). Itu belum termasuk tambahan

yang dibutuhkan untuk penyediaan tenaga guru dan prasarana pendidikan yang

lainnya.

Page 23: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

23

Itulah fenomena demografis yang dalam pandangan peneliti sangat tidak

menguntungkan anak dari keluarga miskin. Alasannya, semakin terbatas sarana

pendidikan yang tersedia, maka akan semakin kecil kesempatan yang dimiliki

anak dari keluarga miskin untuk bisa menikmatinya. Dan di situlah pula letak

strategisnya upaya pengendalian kelahiran melalui intensifikasi program

Keluarga Berencana (KB) dalam menunjang sukses Wajar Dikdas 9 Tahun.

Sesuai dengan potensi yang dimilikinya, maka sektor pertanian menjadi

mata pencaharian pokok penduduk kabupaten Cianjur, yakni mencapai angka

59,18 persen, disusul sektor jasa sebesar 7,20 persen, sektor transportasi dan

kominikasi sebesar 7,17 persen, sektor perdagangan 6,03 persen, sektor industri

5,0 persen, dan sektor keuangan sebesar 0,61 persen. Itulah pula gambaran

mengenai potensi ekonomi kabupaten Cianjur yang dalam banyak aspeknya

akan berpengaruh dalam melihat potensi pembangunan di kabupaten ini,

termasuk potensi pembangunan di bidang pendidikan.

Namun perlu dicatat, meskipun mayoritas penduduknya banyak

berkiprah pada sektor pertanian, namun dilihat menurut kepemilikan lahan dan

statusnya ternyata menunjukan kondisi yang tidak menggembirakan.

Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003, sebesar 14,54 persen dari rumah

tangga yang bergerak dibidang pertanian adalah merupakan rumah tangga

penggarap lahan pertanian yang dimiliki orang lain, dan hanya 4,07 persen

rumah tangga yang mengolah tanah sendiri.

Bahkan menurut sumber data dari Bappeda, sebagaian besar dari mereka

yang mengolah tanah sendiri, sebanyak 76,69 persen, hanya memiliki lahan

pertanian kurang dari 0,5 hektar, dan hanya 23,31 persen petani yang memiliki

Page 24: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

24

lahan di atas 0,5 hektar. Tidak mengherankan kalau tingkat kesejahteraan petani

di kabupaten Cianjur ini relatif sulit ditingkatkan karena sebagain besar diantara

mereka itu statusnya justeru hanya sebagai buruh tani. Itulah pula fakta yang ada

di balik besarnya angka kemiskinan di Kabupaten Cianjur ini. Bahkan dalam

pandangan peneliti, itulah pula salah satu kendala utama dalam mensuskseskan

implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten berbasis

pertanian ini.

Berkait dengan itu, masalah partisipasi angkatan kerja yang berdampak

terhadap angka pengangguran, merupakan persoalan pelik tersendiri yang

dihadapi kabupaten Cianjur. Sebagai gambaran, dari jumlah angkatan kerja yang

ada pada tahun 2004, hanya 55,57 persen mereka yang bekerja. Bahkan kondisi

ini turun dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2000 sebesar

57,37 persen, bahkan jauh lebih rendah lagi jika dibanding dengan partisipasi

angkatan kerja tahun 1995 yang sudah mencapai angka 59,31 persen.

Tidak mengherankan jika laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Cianjur

pada tahun 2006 ini masih berkutat pada angka 3,82 persen, sebuah angka yang

menurut kajian Bappeda masih sangat tidak memadai. Disebut tidak memadai,

karena dengan LPE sebesar itu diperkirakan hanya mampu menyerap tenaga

kerja sebanyak sekitar 600.000 orang. Bahkan masih menurut hasil kajian

Bappeda, dengan LPE yang tidak memadai itu kini diperkirakan bakal ada

penganggur sebanyak sekitar 210.000 orang.

Itulah pula faktor yang selama ini banyak menyebabkan tingginya

kemiskinan. Sebagai gambaran, sumber BPS Kabupaten Cianjur mengungkap

bahwa jumlah penduduk kurang beruntung alias miskin di kabupaten yang

Page 25: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

25

memiliki basis pertanian dan pariwisata ini masih mencapai angka 651.329 jiwa,

atau mencapai 30,6 persen dari total jumlah penduduk kabupaten Cainjur (BPS

Cianjur, 2006). Di bawah ini adalah daftar jumlah penduduk miskin menurut

sumber paling akhir, tahun 2006, yang dikeluarkan Kantor Badan Pusat Statistik

(BPS) Kabupaten Cianjur.

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Cianjur

Menurut Kecamatan

No

Kecamatan

Jumlah Total Penduduk

Jumlah Penduduk

Miskin

Prosentase

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Agrabinta Leles Sindangbarang Cidaun Naringgul Cibinong Cikadu Tanggeung Kadupandak Cijati Takokak Sukanagara Pagelaran Campaka Campakamulya Cibeber Warungkondang Gekbrong Cilaku Sukaluyu Bojongpicung Ciranjang Mande Karangtengah Cianjur Cugenang Pacet Cipanas Sukaresmi Cikalongkulon

38.158 34.600 50.221 63.323 45.436 59.251 36.212 64.430 49.119 32.539 50.661 47.311 86.458 62.650 24.318 117.651 64.701 47.430 90.866 69.004 104.886 88.109 64.654 124.855 151.981 94.325 98.422 91.405 78.006 94.040

13.763 10.590 12.589 15.844 13.540 17.854 12.770 20.464 15.854 9.198 13.893 16.515 27.544 .19.707 6.021 38.167 21.655 15.134 26.098 23.107 29.596 34.327 25.729 35.085 44.456 26.256 23.655 21.507 24.710 35.597

35,94 30,06 25,06 25,02 29,80 30,13 35,26 31,76 32,27 28,26 27,42 34,90 31,85 31,45 24,75 32,44 33,46 31,90 28,72 33,48 28,21 38,95 39,79 28,07 29,25 17,23 24,03 23,52 31,67 37,85

Jumlah 2.125.023 651.239 30,6 Sumber : BPS Cianjur 2006

Page 26: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

26

Dari tabel di atas nampak jelas bahwa beberapa kecamatan di Kabupaten

Cianjur ternyata masih memiliki jumlah penduduk miskin dengan proporsinya

yang mencolok dibanding kecamatan yang lainnya. Lima kecamatan, yaitu

Mande, Ciranjang, Cikalongkolon, Agrabinta dan Cikadu, merupakan beberapa

kecamatan yang cukup parah karena prosentase jumlah penduduk miskinnya

masih berada di atas 35 persen.

Itulah pula salah satu tantangan yang akan menjadi penghambat dalam

implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Dalam pandangan Robert

Chambers sebagaimana dikutip Soetrisno (1997), misalnya, karena

kemiskinannya, mereka sering terpaksa tinggal di daerah yang secara geografis

terisolasi dari akses berbagai informasi, termasuk akses kepada pendidikan.

Karena kemiskinannya, mereka sering tidak berdaya ketrika berhadapan dengan

mereka yang tidak miskin.

Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini adalah potret kemiskinan yang

bersumber dari hasil Pendataan keluarga yang setiap tahun dilakukan BKKBN

dan sekaligus merupakan gambaran penduduk dilihat dari tahapan

kesejahteraannya sebagai berikut :

Tabel 4.3 Perkembangan Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera 1 Hasil Pendataan Keluarga BKKBN 2001-2007

TAHUN JUMLAH KEPALA

KELAURGA JUMLAH

PRA S DAN KS I %

2001 504.927 255.738 50,65

2002 519.734 270.921 52,13

2003 536.805 271.453 50,57

2004 547.426 269.309 49,20

2005 570.047 283.528 49,74

2006 597.792 261.021 45,02

Page 27: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

27

Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah maupun prosentase keluarga

yang masih tergolong Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera 1 (KS 1)

dengan enam indikatornya, termasuk di dalamnya satu indikator pendidikan,

dari tahun ke tahun masih menunjukan angka yang cukup memprihatinkan.

Itulah pula bukti sekaligus tantangan berat lain dalam pelaksanaan Wajar

Dikdas 9 Tahun di kabupaten Cianjur. Disebut tantangan berat, karena salah

satu indikator penting sebuah keluarga masuk dalam kategori KS 1 berkait

dengan ketidakmampuannya untuk mengakses pendidikan dasar dengan

berbagai alasannya. Sebaginnya tidak bisa mengakses sekolah karena berkait

dengan persoalan ekonomi keluarga mereka, sebagian yang lainnya berkaut

dengan persoalan tempat tinggal yang jauh dari lokasi sekolah, dan sebagian

yang lainnya karena persoalan kesadaran atau motivasinya yang kurang, atau

memang karena gabungan antara banyak faktor kemiskinan yang memang

melekat pada diri mereka. Seperti kata Amartya Sen (1997), dalam kemiskinan

ekonomi selalu melekat kemiskinan secara total; miskin pengetahuan, miskin

kesehatan dan miskin kesadaran. Di situlah kompleksnya menyoal dan

mengatasi masalah kemiskinan

Dilihat menurut rincian per kecamatannya, maka potret untuk masing-

masing daerah memiliki angka yang satu sama lain berbeda seperti terlihat

dalam tabel di berikut ini:

Page 28: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

28

Tabel 4.4 Tabel Keluarga Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera I (KS 1)

Menurut kondisi tiap kecamatan tahun 2006

NO KECAMATAN JUMLAH

KK PRA S DAN

KS I %

1 SINDANGBARANG 15,330 4,918 32.08

2 CIDAUN 19,009 6,411 33.73

3 CIBINONG 18,548 6,110 32.94

4 PAGELARAN 24,959 12,651 50.69

5 KADUPANDAK 13,433 5,257 39.13

6 SUKANAGARA 13,313 7,359 55.28

7 CAMPAKA 17,340 7,393 42.64

8 CIBEBER 32,699 12,271 37.53

9 BOJONGPICUNG 29,150 16,324 56.00

10 CIANJUR 37,827 13,749 36.35

11 WARUNGKONDANG

17,364 7,426 42.77

12 CUGENANG 25,481 12,868 50.50

13 KARANGTENGAH 32,343 16,536 51.13

14 CIRANJANG 23,320 13,167 56.46

15 MANDE 18,079 9,458 52.31

16 CIKALONGKULON 23,587 13,688 58.03

17 PACET 22,256 7,711 34.65

18 CILAKU 22,913 8,822 38.50

19 SUKALUYU 18,234 7,717 42.32

20 SUKARESMI 19,741 10,365 52.50

21 TAKOKAK 15,371 6,995 45.51

22 TANGGEUNG 18,610 7,476 40.17

23 CAMPAKAMULYA 7,364 3,750 50.92

24 AGRABINTA 11,946 4,074 34.10

25 NARINGGUL 13,096 4,312 32.93

26 CIKADU 10,028 5,166 51.52

27 GEKBRONG 13,169 6,614 50.22

28 CIPANAS 24,104 9,955 41.30

29 CIJATI 9,742 6,072 62.33

30 LELES 11,436 6,406 56.02

KABUPATEN 579,792 261,021 45.02

Page 29: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

29

Melihat angka kemiskinan seperti bisa dilihat dalam tabel di atas nampak

bahwa betapa masih berat beban pembangunan yang harus dihadapi Kabupaten

Cianjur saat ini. Beberapa kecamatan seperti Cijati, Cikalongkulon, Leles dan

Ciranjang, merupakan kecamatan yang memiliki beban paling berat karena

masih memilki jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I di atas 55%, jauh

lebih tinggi di atas rata-rata tingkat kabupaten, 40,02%.

Sebagai dampaknya, tidak mengherankan jika masalah pendidikan di

Kabupaten Cianjur ini masih berada dalam kondisi yang relatif masih cukup

memprihatinkan. Salah satu indikatornya, sumber BPS Cianjur (2006)

mengungkapkan bahwa 50% lebih penduduk Cianjur hanya mampu

menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar atau MI, dan hanya 1,8%

yang mampu menamatkan jenjang pendidikan setingkat D1 atau S1.

Bahkan yang sangat memprihatinkan, masih ada sekitar 2,3% penduduk

usia 10 tahun ke atas, atau sebanyak 39.820 oang dari sekitar 1.704.488 orang

penduduk Cianjur yang diketahui tidak atau belum pernah sekolah. Tidak

mengherankan pula jika di Kabupaten Cianjur ini masih ada penduduk yang

berstatus butu huruf, yakni sekitar 3,29%. Lengkapnya, berikut ini adalah potret

pencapaian pendidikan penduduk Kabupaten Cianjur usia 10 tahun ke atas,

dilihat menurut jenjangnya.

Page 30: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

30

Tabel 4.5 Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Status Pendidikan yang ditamatkan dan Jenis Kelamin

Pendidikan yang

ditamatkan Jenis Kelamin

Jumlah % Laki-laki Perempuan

Tidak/Belum

pernah sekolah

11.528 28.292 39.820 2,33

Tidak/belum tamat 225.119 225.876 450.995 26,45

SD/MI 467.157 425.830 892.987 52,39

SLTP/MTs 97.342 77.536 174.878 10,26

SLTA/SMK 66.262 48.746 115.008 6,74

D1/S1 18.088 12.712 30.800 1,80

Jumlah 885.496 818.992 1.704.488 100.00

Sumber : BPS Cianjur, Suseda 2006

Bukan hanya itu, dalam bidang kesehatan yang merupakan salah satu

faktor penting yang akan menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini

juga ternyata masih menunjukan angka yang relatif rendah. Sebagai gambaran,

data terakhir yang dikeluarkan BPS kabupaten Cianjur mengungkap bahwa

angka harapan hidup (life expectancy at birth) yang merupakan indikator

penting pencapaian kesehatan di kabupaten Cianjur ini masih bertengger pada

angka 66,0 tahun. Sementara rata-rata lama sekolah (rate of year schooling)

baru mencapai angka 6,6 tahun.

Bahkan jika melihat satu indikator penting yang lainnya, yakni indikator

daya beli, posisi kabupaten Cianjur masih sangat memprhatinkan karena masih

bertengger pada angka 54,81. Itu didasarkan kepada komponen daya beli

masyarakat kabupaten Cianjur yang menurut sumber BPS Cianjur (2006) baru

mencapai angka Rp.537.160,- perkapita. Inilah pula yang menjadi penyebab

kenapa posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten Cianjur

Page 31: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

31

sampai dengan tahun 2006 ini baru mencapai angka 67,44 dari target 76 untuk

mendukung pencapaian IPM Jawa Barat sebesar 80 pada tahun 2010.

Tabel berikut di bawah ini adalah posisi pencapaian IPM kabupaten

Cianjur hasil Survey BPS yang diselenggarakan pada tahun 2006, diperinci

menurut pencapaian tiga indikator penentunya :

Tabel 4.6 : Posisi Pencapaian IPM Kabupeten Cianjur 2006 KOMPONEN ANGKA INDEKS KOMPONEN

Pendidikan : a. Melek Huruf b. Rata-rata lama

sekolah

96,79

6,60

79,19

Kesehatan a. Rata-rata Usia

Harapan hidup Waktu lahir

66,0

68,33

Ekonomi – Daya beli a. Kemampuan Daya

beli

537.190

54,81

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

-

67,44

Sumber: BPS Cianjur 2007

Dengan memperhatikan kondisi obyektif permasalahan dan tantangan

yang dihadapi kabupaten Cianjur itulah, juga mempertimbangkan nilai-nilai

yang ada, maka Kabupaten Cianjur telah menetapkan visi dan misi, termasuk

didalamnya strategi pokok sebagai berikut:

1. Visi

Inilah harapan masa depan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah dan

masyarakat kabupaten Cianjur sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam

visinya sebagai berikut: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Cianjur yang

lebih Cerdas, Sehat, Sejahtera dan Berakhlakul-karimah”. Visi yang pada

Page 32: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

32

awalnya merupakan visi calon bupati dan wakil bupati tersebut, saat ini telah

disyahkan menjadi visi resmi pemerintah Kabupaten Cianjur.

Terkandung makna penting dalam visi untuk mewujudkan masyarakat

Cianjur yang lebih cerdas tersebut adalah kesadaran sekaligus komitmen kuat

pemerintah akan arti pentingnya pembangunan pendidikan sebagai pilar dasar

bagi pelaksanaan pembangunan sektor yang lainnya. Bukan hanya itu, melalui

visinya itu juga kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang tinggi akan arti

pentingnya pendidikan sebagai modal manusia (human capital) yang akan

menentukan masa depan masyarakat kabupaten Cianjur dimasa yang akan

datang.

Melalui visinya itu pula, pemerintah kabupaten Cianjur sadar bahwa

upaya untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas itu tidak akan banyak

memiliki banyak arti jika tidak dibarengan dengan upaya untuk meningkatkan

derajat kesehatannya dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan dalam

perkembangan yang paling kontemporer, konsepsi pembangunan manusia

(human development) itu sendiri senantiasa meniscayakan arti pentingnya

memadukan dan mensinergikan ketiga sektor pembangunan di atas; pendidikan,

kesehatan dan kesejahteraan. Karenanya, rumusan visi itu menjadi sangat pas

dengan upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang

sekaligus juga merupakan tekad yang ingin diwujudkan oleh pemerintah

provinsi Jawa Barat.

Tidak sampai di situ, melalui visinya itu pula pemerintah kabupaten

Cianjur sadar bahwa apalah artinya masyarakat yang cerdas, sehat dan sejahtera

secara materi jika tidak dibarengi dengan sikap dan perilakunya yang berakhlak

Page 33: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

33

mulia. Itu sebabnya, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat religious yang

ditandai dengan sekap dan perilakunya yang akhlakul-karimah (berakhlak

mulia), adalah harapan yang menjadi greget (creative tension) lain yang secara

eksplisit tercantum dalam visi kabupaten Cianjur.

Dengan visi itu, demikian diungkapkan bupati Cianjur yang sering

disampaikan dalam setiap kesempatan, maka setiap gerak dan langkah

pembangunan yang akan dilakukan di kabupaten yang terkenal dengan Kota

Santri-nya ini diharapkan selalu dilandasi oleh nilai-nilai agama (Islam) yang

diyakini bisa mejadi motivasi sekaligus landasan spiritual pelaksanaan

pembangunan masyarakat di kabupaten Cianjur.

2. Misi dan Strategi

Untuk menjabarkan visi tersebut di atas, maka telah dirumuskan empat

misi dengan beberapa strateginya sebagaimana tertuang dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Cianjur tahun 2006-2011

sebagai berikut:

Misi Pertama; yakni meningkatkan akses masyarakat terhadap

pendidikan yang bermutu dengan enam strateginya sebagai berikut:

a. Meningkatkan tarap pendidikan masyarakat Kabupaten Cianjur dengan

fokus pada akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun

b. Mengembangkan jumlah dan mutu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat

(PKBM)

c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, baik

pendidikan umum maupun agama

Page 34: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

34

d. Meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non-formal

e. Mengalokasikan dana yang relavan untuk meningkatkan sistem manajemen

pendidikan

f. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka pelayanan

pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi

Misi Kedua; Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan

sembilan strategi pokoknya sebagai berikut :

a. Meningkatkan peran Posyandu dan Puskesmas sebagai ujung tombak

pembangunan kesehatan masyarakat

b. Meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dan jumlah Rumah Sakit Umum

Daerah (RSUD)

c. Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga medik

d. Memberikan pelayanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin

e. Meningkatkan kesehatan lingkungan dan Pola Hidup Sehat

f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan dasar

g. Optimalisasi kinerja pelayanan kesehatan

h. Pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan informasi tentang

kesehatan

i. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program KB dan

kesehatan reproduksi

Misi Ketiga; Meningkatkan Pembangunan Ekonomi yang berbasis

potensi lokal melalui sepuluh strateginya sebagai berikut :

Page 35: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

35

a. Meningkatkan kegiatan usaha koperasi dan pelaku usaha skala mikro, kecil

dan menengah

b. Menciptakan iklim investasi yang kondusif

c. Meningkatkan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat petani dan

nelayan

d. Meningkatkan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja

e. Meningkatkan pembinaan dan pengelolaan kawasan wisata

f. Meningkatkan penguatan lembaga-lembaga ekonomi pendukung pertanian

dan kepariwisataan

g. Memelaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang.

h. Meningkatkan mutu pelayanan jasa transfortasi daerah

i. Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur wilayah

j. Meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah.

Misi Keempat ; Meningkatkan Pembinaan akhlakul – karimah dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui empat strategi

pokok sebagai berikut :

a. Meningkatkan kegiatan pembinaan kehidupan beragama

b. Meningkatkan forum-forum dialogis antar tokoh umat beragama

c. Meningkatkan kegiatan pembinaan keagamaan dilingkungan pemerintah

daerah dan masyarakat

d. Meningkatkan intensitas kemitraan antara legislatif dan eksekutif.

Itulah empat misi dengan dua puluh tiga strategi pokoknya yang

menjadi arah sekaligus acuan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur

Page 36: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

36

saat ini dan ke depan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang secara formal telah disahkan melalui

Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006. Berdasarkan visi dan misi itulah pula

pelaksanaan pembangunan seluruh sektor, termasuk sektor pendidikan di

Kabupaten Cianjur dilakukan.

B. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan

Hal penting yang bisa dipetik dari rumusan visi dan misi, termasuk

strategi pembangunan sebagaimana telah diangkat sebelumnya adalah, bahwa

urusan pembangunan disektor pendidikan, terutama pendidikan dasar 9 tahun,

ternyata memiliki posisi sekaligus landasan yang kuat dalam rumusan kebijakan

pembangunan di Kabupaten Cianjur. Itulah pula yang kemudian dijadikan arah

dan acuan pembangunan pendidikan sebagaimana dijabarkan dalam Rencana

Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten

Cianjur.

Secara garis besar, terdapat empat misi yang sekaligus merupakan arah

pelaksanaan pendidikan di kabupaten Cianjur. Sementara visinya itu sendiri

sebagaimana dijelaskan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat,

persis sama dengan visi pemerintah Kabupaten Cianjur. Alasannya, adalah

kebijakan Wakil Bupati Cianjur yang telah memerintahkan agar seluruh Satuan

Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ada di Kabupaten ini memiliki rumusan

visi yang persis sama dengan rumusan visi Pemerintah Daerah. Misi-lah yang

membedakan fungsi dan tugas yang mesti diemban oleh masing-masing SKPD.

Berkait dengan itu, ada lima misi yang telah dirumuskan sekaligus

ditetapkan dalam Renstra Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Page 37: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

37

Cianjur, yaitu (1) Menuntaskan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9

Tahun, (2) Meningkatkan mutu pendidikan, (3) Memeratakan pelayanan

pendidikan, (4) Mengembangkan nilai-nilai kebudayaan, dan (5)

Mengembangkan peran serta kepemudaan dan olah raga.

Untuk menjabarkan kelima misi tersebut, berikut ini adalah tujuan,

sasaran serta strategi yang sekaligus merupakan arah dan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Cianjur sebagaimana bisa dilihat

dalam tabel berkiut ini:

Figur 4.7 : Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Cianjur

Tujuan Sasaran Cara mencapai Tujuan dan Sasaran /

Strategi Uraian Indikator Kebijakan Program

1 2 3 4 5 1. Menuntaskan

pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Tuntasnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun dengan

Meningkatnya APM ( SD/MI/SLTP) menjadi 98%

Peningkatan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun melalui 1. Sekolah 2. Luar Sekolah

1. Program pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD )

2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

3. Program Pendidikan Menengah 4. Program Pendidikan Non Formal

2. Meningkatka

n mutu pendidikan

Meningkatnya mutu pendidikan

Meningkatnya jumlah siswa yang lulus dalam Unas menjadi 100%

Peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga pendidikan melalui diklat fungsional dan diklat teknis substantif serta pembinaan kepegawaian lainya

5. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga

6. Program Manajemen Peleyanan Pendidikan

7. Program Peningkatan Disiplin 8. Program Peningkatan Sumber

Daya Aparatur di bidang Pendidikan

9. Program Pengembangan budaya baca dan pembinaan

10. Program Pengembangan Pemdidikan Keagamaan

3. Memeratakan

pelayanan pendidikan

Meratanya pemberian pelayanan pendidikan kepada masyarakat

Terpenuhinya sarana/prasarana serta optimalisasi fungsi sarana/prasarana tersebut

Terpenuhinya kebutuhan ruang kelas dan sarana pendukung lainnya melalui proyek rehabilitasi dan penbangunan RKB

11. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Sumber Daya Aparatur di bidang Pendidikan

4. Mengembangkan nilai kebudayaan

Berkembangnya nilai-nilai kebudayaan

Terpeliharanya nilai-nilai kebudayaan

Terpelihara dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang telah ada

12. Program Pengembangan Nilai Budaya

13. Program Pengelolaan Budaya

5. Mengembangkan Pemuda dan Olah Raga

Mengembangkannya peranserta kepemudaan dan olah raga

Terpeliharanya dan berkembangnya nilai-nilai kebudayaan

Meningkatnya peranserta kepemudaan dan olah raga

14. Program Peningkatan Peranserta Kepemudaan

15. Program Kebijakan dan Manajemen Olah Raga

16. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olah Raga

Sumber : Renstra Dinas Pendidikan Kab. Cianjur

Page 38: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

38

Dari tabel di atas tampak bahwa pada tataran kebijakan, program

Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun yang ditandai dengan target pencapaian angka

partisipasi murni (APM) sebesar 98 persen pada tahun 2011, merupakan bukti

bahwa pemerintah Kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang cukup tinggi,

paling tidak pada tataran politis-yuridis, dalam mengupayakan pencapaian

Wajar Dikdas 9 tahun sebagaimana telah digariskan oleh kebijakan pemerintah

pusat dan provinsi Jawa Barat. Bahkan kebijakan penting itu secara langsung

didukung pula oleh dua kebijakan lainnya, yakni upaya peningkatan pemerataan

dan mutu pendidikan.

Melalui kebijakan pertamanya yang ditujukan kepada upaya pemerataan,

pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh

seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali lapisan masyarakat kurang

beruntung alias miskin yang selama ini masih banyak meninggalkan sasaran.

Melalui kebijakannya yang kedua, peningkatan mutu, pelaksanaan Wajar

Dikdas 9 tahun diharapkan bisa dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar

kuantitas yang ditandai dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) atau

Angka Partisipasi Murni (APM), melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan

pengetahuan dan keterampilan dasar bagi setiap warga masyarakat sebagai

modal utama untuk bisa mengakses hak-hak hidupnya dalam banyak aspek

kehidupan yang semakin mengglobal dan sarat dengan kompetisi ini.

C. Target Wajar Dikdas 9 Tahun yang ingin Dicapai

Inilah target yang ingin dicapai pemerintah Kabupaten Cianjur khusus

dalam rangka percepatan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun yang diukur

Page 39: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

39

berdasarkan pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi

Murni (APM), dirumuskan berdasarkan kesepakatan dan mempertimbangkan

kondisi permasalahan pendidikan yang ada.

Tabel 4 .8 : Target Pencapaian APK/ APM Kabupaten Cianjur 2004-2011

Indikator

Kondisi 2004*)

Target 2005 **)

Target 2006

Target 2007

Tahun 2008

Tahun 2011

APK

76,03

77,49 %

95,40 %

98,50

%

104%

Wajar

Dikmen

APM

68,99

70,20 %

83,56 %

95,00

%

98,50

%

Sumber : *) Kantor Infokom Kabupaten Cianjur, Potret Pendidikan 2008 **) Untuk angka target, diambil dari Makalah sekaligus arahan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang disajikan dalam Forum Rakor tahun 2008

Dari tabel di atas nampak bahwa ambisi Kabupaten Cianjur untuk

melakukan akselerasi dibidang Wajar Dikdas 9 Tahun cukup kuat. Bayangkan,

dari kondisi APK tahun 2004 yang baru mencapai angka 76,03 persen, dalam

satu tahun berikutnya, tahun 2005, ditargetkan bisa naik secara spektakuler

menjadi 77,79 persen, atau naik sebesar 22,85 point dalam jangka waktu satu

tahun. Bandingkan dengan posisi APK tahun 2001 sebesar 49,17 persen, atau

hanya mampu meningkatkan APK sebesar 5,47 point persen dalam jangka

waktu 4 tahun (2001 – 2005).

Demikian halnya dalam pencapaian APM yang ditargetkan naik secara

dari posisi 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 77,79 persen pada tahun 2005,

atau ditargetkan naik sekitar 1,76 point persen dalam jangka waktu satu tahun.

Page 40: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

40

Bandingkan pula dengan posisi APM tahun 2001 yang baru mencapai angka

38,32, atau bisa naik sebesar 37,71 point persen dalam jangka waktu 4 tahun

(2001 -2004).

Tuntas Wajar Dikdas 9 Tahun, itulah pula target yang ingin dikejar oleh

pemerintah Kabupaten Cianjur pada tahun 2008. Bahkan dari tabel diatas pula

nampak bahwa pada tahun 2011 nanti, Kabupaten Cianjur punya komitmen

yang tinggi untuk mendeklarasikan dimulainya program Wajib belajar pada

tingkat menengah (Wajar Dikmen). Dan menurut Kepala Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten Cianjur, penentuan target tersebut itu sekaligus juga

merupakan bentuk komitmen pemerinrtah Kabupaten Cianjur untuk

mewujudkan visinya, yakni mewujudkan masyarakat Cianjur yang lebih cerdas,

sehat, sejahtera dan berakhlakul karimah.

Bukan hanya itu, penentuan target tersebut juga merupakan keniscayaan

jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai kabupaten Cianjur

yang pada tahun 2008 yang ditargetkan bisa meningkatkan rata-rata lama

sekolah (rate of years schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31

tahun pada tahun 2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh

peningkatan indikator makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli,

Kabupaten Cianjur diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari

posisi 72,27 pada tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan

target akselerasi peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.

Lengkapnya, di bawah ini adalah rincian target pencapaian indikator

makro pendidikan dalam rangka akselerasi peningkatan IPM Kabupaten Cianjur

Page 41: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

41

yang telah ditetapkan pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagaimana tertera

dalam Program Akselerasi Pendidikan Jawa Barat tahun 2004 – 2008 :

Tabel 4 .9: Target peningkatan Indeks Pendidikan Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi pencapaian IPM Jawa Barat tahun 2008

Indikator 2004 2005 2006 2007 2008

Angka

Melek

Huruf

96,63 97,10 97,58 98,05 98,53

Rata-rata

lama

Sekolah

6,48

6,68

6,88

7,09

7,31

IPM 71,6 72,27 73,9 75,0 76,3

Sumber : Kantor Bappeda Jawa Barat 2004

Dari tabel di atas nampak bahwa rata-rata lama sekolah (RLS)

Kabupaten Cianjur yang pada tahun 2004 baru mencapai angka 6,48 tahun, pada

tahun 2008 ditargetkan naik menjadi 7,31 tahun. Itu semua mengandung arti

bahwa akselerasi peningkatan APK dan APM melalui akselerasi Wajar Dikdas 9

Tahun akan hadir menjadi faktor yang akan banyak menentukan.

Itu semua juga mengandung arti bahwa perlu ada terobosan program atau

gebrakan, termasuk di dalamnya dukungan sarana dan anggaran yang cukup

berarti untuk mendongkrak akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun sesuai

dengan taget berat yang telah ditentukan. Bukan hanya itu, besarnya beban

target itu juga sekaligus mengisyaratkan akan arti pentingnya dukungan

komitmen yang tingi dari semua pihak terkait, termasuk komitmen dari

masyarakat itu sendiri. Kesanalah pula mestinya implementasi Kebijakan Wajar

Dikdas 9 tahun diarahkan.

Page 42: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

42

D. Bentuk-bentuk Program Implementasi Untuk Mencapai Target

Tentang bagaimana target dan arah kebijakan itu dilaksanakan secara

operasional, berikut ini adalah deskripsi sekaligus pembahasan mengenai upaya

dan langkah yang ditempuh Kabupaten Cianjur dalam rangka melaksanakan

akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, dinarasikan dari hasil studi

dokumentasi, wawancara serta observasi selama penelitian berlangsung

sebagaimana bisa ditelaah dalam Grand Design berikut ini :.

Dari figur di atas dapat dijelaskan bahwa target yang akan dicapai

Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun

ini adalah meningkatkan Angka Partisipasi kasar (APK) pada jenajng SLTP dari

76,03 pada tahun 2008 menjadi 104 %, dan angka partisipasi murni (APM)

meningkat dari posisi 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 96,40 % pada

KONDISI TAHUN

2004

PROGRAM INTERVENSI

TARGET

JALUR PENDIDIKAN

FORMAL JALUR

PENDIDIKAN NON FORMAL

PEMBANGU NAN INFRA STRUKTUR

APK SLTP = 76,03

APM = 68,99

Pembent ukan Tim Koordina si WajarDikdasTingkat Kab s/dTk. Desa

PENGEMBANGAN SMP SEATAP

PENGEMBANGAN SMP TERBUKA PEMBUKAAN KELAS JAUH

PENGEMBANGAN SEKOLAH RAKYAT/ TERBUKA MANDIRI

PENGEMBANGAN PONTERN CERDAS

PENGEMBANGAN PONTREN

SALAFIYAH

PENGEMBANGAN PROGRAM PAKET

A, B MELALUI PENGEMBANGAN

PKBM

PEMBANGUNAMBAHAN

USB DAN RUANG KELAS BARU,

TRERMASUK REHAB

YANG BERSUMBE

R DARI BERBAGAI BANTUAN

TH 2008 :

APK = 98,50

APM = 95,40

TAHUN 2011 WAJAR 12 TAHUN

PENDATAAN

SOSIALISASI

BANTUAN OPERASIONAL – BOS, BAGUS, DLL

GAMBAR 4.10. GRAND DESIGN IMPLEMENTASI WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABU PATEN CIANJUR

Page 43: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

43

tahun 2008, sebuah target yang sangat berat sekaliogus spektakuler jika

dibanding dengan rata-rata kemampuan yang dicapai pada periode sebelumnya.

Dengan kata lain, pada tahun 2008 nanti, Kabupaten Cianjur yang pada

tahun 2006 yang lalu masih termasuk daerah yang paling rendah di Jawa Barat

dalam pencapaian APK-nya, bisa meningkat menjadi kabupaten yang termasuk

kategori tuntas secara paripurna dalam program Wajar Dikdasnya. Bahkan

karena begitu besar komitmen dan gregetnya, Kepala Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten Cianjur, Drs. Hidayat Atori Msi sering melontarkan

statemennya yang menantang ; ”Saya siap mengundurkan diri jika pelaksanaan

Wajar Dikdas 9 Tahun tidak berhasil mencapai sasaran yang telah ditetapkan”,

tegasnya hampir dalam setiap kesempatan.

1. Pembentukan Tim Koordinasi

Sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan tingkat pusat, maka salah

satu langkah awal yang dilakukan dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun ini

adalah membentuk Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9

Tahun yang melibatkan lembaga, Dinas / Instansi terkait disemua tingkatan,

mulai dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat desa. Hal ini antara lain

tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No. 421.10.05/Kep.97-Ks/2007 Tentang

Pembentukan Tim Koordinasi Perecepatan Penuntasan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 tahun yang sekaligus merupakan penyempurnaan terhadap

Tim yang telah dibentuk sebelumnya sebagaimana tertuang dalam SK Bupati

Nomor 41.10.05/Kep.21-Ks//2007, tanggal 26 Januari 2007 Tentang

Pembentukan Tim Sukses Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Page 44: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

44

Inilah struktur untuk melihat dinas /instansi atau lembaga terkait yang

terlibat secara langsung dalam Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar

Dikdas 9 Tahun Kabupaten Cianjur sebagaimana tertuang dalam Surat

Keputusan Bupati tersebut di atas :

Pelindung : Bupati Kabupaten Cianjur

Pengarah Operasional : Wakil Bupati Cianjur

Ketua Umum : Skretaris Daerah Pemda Kabupaten Cianjur

Ketua Harian : Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur

Ketua : Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesra Pemda Kabupaten Cianjur

Skretaris 1 : Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur

Sekretaris II : Kepala Bagian Kesra Pemda Kabupaten Cianjur

Bendahara I : Kepala Bagian Keuangan Setda Kab. Cianjur Bendahara II : Kepala Sub Bagian pada Bagian Tata Usaha

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Cianjur Anggota : 1. Kepala Bappeda

2. Kepala BKKBN

3. Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil

4. Kepala Kantor Departemen Agama

5. Kepala Sub Dinas Bina Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar pada Dinas P&K Cianjur

6. Kepala Sub Dinas PLS pada Dinas P&K Kabupaten Cianjur

7. Unsur Kodim 0608 Cianjur

8. Unsur Polres Cianjur

9. Koordinator Tim Sarjana Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB)

10. Kepala Kantor BPS Cianjur

11. Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur

Page 45: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

45

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur,

pelibatan banyak sektor terkait dalam Tim Koordinasi tersebut bukan tanpa

landasan dan alasan. Selain mengikuti pedoman yang diberikan melalui

kebijakan yang diberikan oleh tingkat yang lebih atas, kebijakan provinsi dan

pemerintah pusat, juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebagai sebuah

gerakan, pelaksanaan Wajar Dikdas sangat meniscayakan dukungan dan

partisipasi semua pihak sesuai dengan potensi dan fungsinya. Bukan saja

dukungan dalam bentuk kebijakan serta koordinasi sebagaimana bisa

deperankan oleh unsur pemerintah daerah, tetapi juga dukungan teknis dari

unsur dinas/ instansi terkait. Bahkan dukungan dari unsur Kodim dan Polres.

Untuk menentukan sasaran Wajar Dikdas, misalnya, BKKBN dan Kantor BPS

sengaja dilibatkan dengan harapan bisa berperan aktif memberikan informasi

tentang jumlah anak usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9

tahun, disamping membantu melakukan kegiatan sosialisasi.

Masih menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Cianjur, unsur Kodim dan Polres yang memiliki jaringan sampai dengan tingkat

desa, dan dengan fungsinya yang strategis, sengaja dilibatkan dengan harapan

bisa membuat kehadiran Tim Wajar Dikdas 9 tahun ini tampil lebih menggigit

dan menggetarkan. Melalui fungsi ketertiban dan keamanannya, kedua institusi

itu antara lain bisa membantu menggerakan partisipasi masyarakat dalam

melaksanakan program Wajar Dikdas sekaligus mengawasinya. Sementara

peran Departemen Agama lebih jelas lagi. Disamping institusi vertikal ini

memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara langsung

melalui jalur sekolah atau lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang

Page 46: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

46

menjadi binaannya sebagaimana diatur dalam ”Grand Design Penuntasan Wajar

Dikdas 9 Tahun 2006-2009” yang diterbitkan Depdiknas (2007), kehadiran

institusi ini juga menjadi sangat strategis karena fungsinya yang melekat dalam

melakukan sosialisasi, disamping dilakukan juga oleh kantor Infokom.

Sebagai gambaran, inilah beberapa tugas pokok Tim Koordinasi tingkat

kabupaten Cianjur yang sekaligus juga merupakan kepanjangan dari Tim

Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun tingkat provinsi,

tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 421.10.05/Kep. 97-Ks/

2007.

Tugas pokok pertama, adalah menyusun perencanaan program

penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, mulai dari proses pendataan sasaran,

perumusan bentuk program sampai kepada penentuan prioritas daerah dan

sasaran penggarapan dengan mempertimbangkan pencapaian angka partisipasi

sekolah (APK dan APM) masing-masing kecamatan.

Tugas pokok kedua, melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang arti

pentingnya gerakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun kepada

seluruh komponen masyarakat disemua tingkatan melalui berbagai media yang

tersedia, termasuk dilakukan melalui kegiatan yang disebut dengan kampanye

Wajar Dikdas melalui kegiatan ”Safari” oleh Tim tingkat Kabupaten ke setiap

kecamatan, pemanfaatan berbagai lembaga dan forum strategis seperti pengajian

atau majlis taklim, termasuk khitbah jumat dan forum penting lainnya.

Tugas pokok ketiga, adalah melakukan kegiatan pengendalian melalui

kegiatan monitoring, baik yang dilakukan melalui kegiatan kunjungan langsung

kelapangan atau sekolah-sekolah, disamping monitoring yang dilakukan melalui

Page 47: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

47

kegiatan pencatatan dan pelaporan secara rutin. Termasuk dalam kegiatan

tersebut adalah melakukan ketatausahaan atau kesekretariatan guna mendukung

sekaligus memastikan bahwa seluruh tugas pokok Tim Koordinasi bisa

memperoleh dukungan dan berjalan sesuai yang diharapkan.

2. Sosialisasi Wajar Dikdas

Jika Tim Koordinasi sebagaimana telah diuraikan di atas dibangun

dalam rangka memperkuat kelembagaan yang diharapkan mampu menjadi

motor penggerak dalam implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di

semua tingkatan, dan karenanya hadir menjadi salah satu aktor atau pelaku

kebijakan, maka kegiatan sosialisasi ditujukan dalam rangka meyakinkan arti

pentingnya pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh

seluruh lapisan masyarakat.

Menurut penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang

juga menjadi ketua Harian Tim Koordinasi, terdapat beberapa kegiatan strategis

yang telah dirumuskan dalam rangka melaksanakan langkah sosialisasi Wajar

Dikdas 9 tahun tersebut.

Yang pertama, adalah sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan

pertemuan atau rapat dinas antara jajaran pimpinan Dinas P & K Kabupaten

dengan para Kepala Cabang Dinas (Kacadin) yang diselenggarakan secara rutin

setiap bulan. Melalui forum itulah pula, kinerja masing-masing Tim Koordinasi

Wajar Dikdas tingkat kecamatan, bahkan desa, dievalusi, dibahas dan

diumpanbalikan. Tidak sampai di situ, melalui forum itulah pula, berbagai

masalah dan kendala yang muncul dalam proses sosialisasi diangkat dan

dipecahkan. Tidak sampai di situ, demikian ditegaskan Kepala Dinas

Page 48: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

48

Pendidikan Kabupaten Cianjur, melalui forum Rakor itulah pula akan

dianugerahkan berbagai pujian dan penghargaan kepada setiap kecamatan yang

berhasil dalam penyelenggaraan Wajar Dikdas, mulai dari aspek poses sampai

kepada hasilnya.

Yang kedua, sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai forum pertemuan

strategis, seperti Rapat Koordinasi bulanan disetiap tingkatan yang melibatkan

seluruh Dinas Instansi terkait. Agenda pokoknya adalah membahas dan

merumuskan arti pentingnya keterlibatan berbagai Dinas/ instansi atau sektor

terkait dalam pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sesuai dengan tugas dan

fungsinya masing-masing.

Yang ketiga, sosialisasi melalui berbagai media lain, khususnya media

cetak, terutama media cetak lokal seperti Pakuan (Suplemen Harian Umum

Pikiran Rakyat), Radar Bogor, Jurnalika dan sebagainya. Melalui media cetak

inilah seluruh kebijakan Wajar Dikdas yang telah dirumuskan disosialisasikan,

baik dalam bentuk opini maupun berita yang sengaja diterbitkan untuk

membantu dan mendukung pelaksaanaan Wajar Dikdas 9 tahun. Singkatnya,

melalui kegiatan sosialisasi semua informasi mengenai kebijakan Wajar Dikdas

9 tahun bisa tersampikan. Dampak lebih jauhnya, melalui kegiatan sosialisasi

dukungan masyarakat terhadai implenentasi kebijakan bisa diwujudkan

3. Pendataan Sasaran

Upaya ini dilakukan tidak saja dalam rangka membuat peta atau potret

tentang pencapaian pendidikan dasar yang telah dicapai oleh masing-masing

wilayah kecamatan sampai dengan Desa atau kelurahan, namun sekaligus juga

dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memperjelas sasaran yang akan

Page 49: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

49

menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar Dikdas 9 tahun menurut berbagai

tingkatannya.

Intinya, berapa seluruh anak usia 7-15 tahun yang sedang dan tidak

sedang sekolah, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal,

adalah sasaran pokok dari kegiatan pendataan yang secara serentak dilakukan

oleh Tim yang dibentuk pada setiap Desa atau kelurahan, bahkan sampai dengan

tingkat RT ini. Dan dari hasil pendataan yang dilakukan secara berjenjang

inilah, nama dan alamat dari anak usia 7-15 tahun yang sedang tidak sekolah

bisa diketahui untuk selanjutnya dijadikan sasaran penggarapan kegiatan Wajar

Dikdas oleh Tim Wajar Dikdas di semua tingkatan.

Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah bagan pelaksanaan pendataan sasaran

dan mekanisme pelaporannya oleh Tim Wajar Dikdas pada semua tingkatan

yang diangkat dari hasil penelitian :

Page 50: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

50

Dari figur diatas, nampak bahwa secara sistem, pelaksanaan pendataan

sasaran Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur sudah dirancang dalam

sebuah mekanisme yang terarah, diawali dengan pembentukan Tim Pendata

yang menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur sekaligus juga

merupakan Tim Koordinasi Wajar Dikdas. Melalui Tim yang melibatkan

TIM TINGKAT KABUPATEN SK No. 421.10.05./KEP.97-KS/2007

Rekapitulasi

TIM TINGKAT KECAMATAN Instruksi Bupati Cianjur

No. 421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi

TIM TINGKAT DESA/ KECAMATAN Instruksi Bupati No.

421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi

TIM TINGKAT RW/DUSUN Instruksi Bupati

N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi

TIM TINGKAT RT Instruksi Bupati

N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Pelaksanaan Operasional Pendataan

FIGURE 4.11. MEKANISME PENDATAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABUPATEN CIANJUR

INSTRUKSI

ALUR LAPORAN

Page 51: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

51

banyak sektor itulah, data sasaran Wajar Dikdas di data, bahkan disisir dan

dilaporkan secara berjenjang ketingkat yang lebih atas.

Namun sayangnya, dari hasil penelitian pula terungkap bahwa proses

pendataan sasaran tersebut baru sebatas dilaksanakan dalam rangka

mengungkap nama dan alamat, sementara alasan atau motif mereka tidak

bersekolah, apalagi sampai mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak

miskin, sama sekali absen dari perhatian. Itulah pula yang kemudian menjadi

salah satu penyebab munculnya kesulitan dalam merumuskan dan

menyampaikan pesan sosialisasi atau motivasi dan penenrtuan progran

intervensi yang perlu dilakukan dalam tahap berikutnya.

4. Upaya Peningkatan Akses

Berikut ini adalah deskripsi mengenai upaya yang telah dilakukan dalam

rangka meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang

diwujudkan dalam berbagai bentuk pengembangan program pelayanan

pendidikan alternatif yang secara khusus lebih banyak diperuntukan dalam

rangka menyediakan pelayanan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

Upaya ini juga sekaligus merupakan penjabaran dari arah kebijakan Wajar

Dikdas yang telah ditetapkan.

a. Upaya Peningkatan Akses melalui Pengembangan SMP Cerdas Seatap

Program ini pada intinya ditujukan dalam rangka memfasilitasi anak

usia13-15 tahun, sebutlah lulusan SD/MI yang selama ini belum tertampung di

sekolah setingkat SLTP yang ada, baik karena alasan geografis berupa jauhnya

jarak domisili anak dengan sekolah, maupun karena alasan ekonomi berkait

Page 52: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

52

dengan besarnya beban transportasi yang sering jadi kendala bagi anak dari

keluarga miskin.

Menampung mereka yang selama ini tidak mampu mengakses SLTP

yang ada, itulah tujuan dari pengembangan SMP Cerdas Seatap yang sekaligus

juga merupakan program unggulan dari Program Pendanaan Kompetisi dalam

rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) sektor

pendidikan yang digulirkan pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Gambaran konkritnya, demikian diungkapkan oleh Drs. Sulaeman Zuhdi,

Ketua Satlak (Satuan Pelaksana) PPK IPM Bidang Pendidikan Kabupaten

Cianjur, ketika program SMP Cerdas Seatap ini baru akan digulirkan, tahun

2006, di kabupaten Cianjur terdapat sekitar 59.722 anak lulusan SD/MI yang

belum tertampung oleh faslitas SMP/MTs yang ada, atau mencapai 1.990 anak

setiap kecamatannya.

Dan itulah pula yang dijadikan sasaran dari pengembangan program

SMP Cerdas Seatap yang merupakan bagian dari Program PPK-IPM sektor

pendidikan itu. Dijelaskan oleh Ketua Penanggung jawab Program ini,

kehadiran SMP Cerdas Seatap di Kabupaten Cianjur ini diharapkan bisa

menjadi pilihan yang rasional dalam rangka mengakselerasi Wajar Dikdas pada

umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada

khususnya.

Ditambahkannya, pengembangan program ini diharapkan mampu

membantu mempercepat pencapaian Wajar Dikdas 9 yang ditandai dengan

peningkatan angka partisipasi kasar maupun murni (APK dan APM) SLTP

Page 53: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

53

sekaligus meningkatkan angka rata-rata lama sekolah (rate of years schooling)

sebagaisalah satu komponen dalam peningkatan IPM.

Di bawah ini adalah gambaran mengenai kontribusi pengembangan SMP

Cerdas Seatap dalam penyerapan lulusan SD/MI terhadap upaya penuntasan

Wajar Dikdas 9 Tahun pada umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi

anak dari keluarga miskin pada khususnya, diambil dari dokumen Satuan

Pelaksana (Satlak) PPK-IPM Kabupaten Cianjur sebagai berikut :

Tabel 4.12 : Perkembangan SMP Cerdas Seatap 2006-2008

TAHUN JUMLAH

SEKOLAH

JUMLAH SISWA TOTAL

KELAS 7 KELAS 8 KELAS 9

2006

2007

2008

83

83

77

2.796

1.948

2.415

-

2.756

1.988

-

-

2.137

2.796

4.704

6.540

Dari figur di atas nampak bahwa jumlah sekolah yang berhasil

dikembangkan pada tahun pertama Program SMP Cerdas Seatap ini dirintis,

bulan Agustus 2006, adalah sebanyak 83 buah sekolah dan bertahan pada angka

yang sama pada tahun 2007, namun kemudian turun menjadi hanya 77 buah

pada tahun 2008, berkurang sebanyak 6 buah sekolah.

Alasan penurunannya, demikian diungkapkan oleh Ketua

Penanggungjawab Programnya, Drs. Sulaeman Zuhdi, adalah : pertama, 3

sekolah berganti status menjadi SMP Mandiri, 2 sekolah dinilai kurang efektif

dan efisien karena sasarannya nyaris habis dan dipindahkan ke SMP reguler,

sementara yang 1 sekolah yang berlokasi di Kecamatan Agrabinta, kehabisan

Page 54: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

54

murid karena ada pembukaan SMP baru disekitarnya, yakni di daerah

perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.

Dari figur di atas pula nampak bahwa pengembangan program SMP

Cerdas Seatap ini, pada tahun pertamanya berhasil menampung siswa, sebutlah

kelas 7 (setara dengan kelas 1 SMP/MTs) sebanyak 2.798 anak, atau sekitar 34

siswa setiap sekolahnya. Jika dibandingkan dengan jumlah anak sekolah lulusan

SD/MI yang tidak tertampung pada SMP/MTs yang tersedia sebanyak 59.722

anak sebagaimana telah diungkapkan pada uraian sebelumnya, maka kehadiran

SMP Cerdas Seatap pada tahun pertama berhasil menyerap sebanyak 4,7 persen

sekaligus juga merupakan gambaran tentang kontribusi model sekolah ini

terhadap peningkatan APK dan APM SMP

Pada tahun berikutnya, tahun 2007, pelaksanaan SMP Cerdas Seatap ini

hanya mampu menampung lulusan SD/MI, sebutlah siswa baru sebanyak 1.948

anak, atau turun sebanyak 848 siswa dibanding tahun 2006. Alasannya,

demikian diungkap oleh Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi PPK-IPM, Ir

Elizabet MT, berkait dengan keraguan sekaligus kekurangpercayaan masyarakat

akan kelangsungan program PPK-IPM ini yang dijadwalkan hanya akan

berlangsung 2 tahun. Tegasnya, masyarakat waktu itu khawatir jika anaknya

kelak akan terlantar ketika pemerintah provinsi Jawa Barat menghentikan

proyeknya.

Namun karena pihak pemerintah daerah berhasil meyakinkan masyarakat

bahwa kelangsungan program SMP Cerdas Seatap ini akan dijamin oleh

dukungan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Cianjur, bahkan

akan dijadikan program tetap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Page 55: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

55

Cianjur, maka siswa baru (kelas 7) pada tahun berikutnya, tahun 2008, kembali

meningkat menjadi 2.415 anak.

Dari tabel di atas pula nampak bahwa semakin tinggi tingkat kelas pada

SMP Cerdas Seatap ini, semakin berkurang pula jumlah siswanya. Angka

konkritnya, jumlah siswa yang pada tahun 2006 berada pada kelas 7 sebanyak

2.796, menurun menjadi 2.756 ketika mereka menduduki kelas 8 pada tahun

2007, dan menurun lagi menjadi hanya 2.137 ketika mereka berada pada kelas 9

pada tahun 2008, turun sekitar 30 persen.

Alasannya, demikian diaungkapkan oleh Tim Monev PPK IPM

Kabupaten Cianjur, sebagiannya, terutama murid perempuan, terpaksa drop out

karena dinikahkan orang tuanya, sebagiannya drop out karena lebih memilih

menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Timur Tengah karena faktor desakan

ekonominya, sebagian yang lainnya pindah ke SMP atau Tsanawiyah reguler,

disamping juga ada diantara mereka yang karena berbagai alasan berhenti di

tengah jalan.

Sebagai bagian dari program PPK-IPM pada sektor pendidikan, banyak

keuntungan bisa dipetik dari penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ini.

Diantaranya, demikian diungkapkan oleh Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K

Kabupaten Cianjur, Agus Maelani, bahwa dari aspek tempat, misalnya, program

ini bisa dikembangkan hanya dengan menggunakan bangunan SD yang ada

sehingga tidak memerlukan biaya pembangunan fisik. Bahkan karena

diselenggarakan di daerah terpencil, kehadiran SMP Cerdas Seatap ini mampu

mendekatkan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat atau anak yang

berada pada kantong-kantong drop out tingkat SLTP.

Page 56: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

56

Keunggulan lainnya, penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ternayata juga

mampu memberikan tambahan kesejahteraan para guru yang ada di daerah,

termasuk guru sukarelawan (Sukwan). Gambaran konkritnya, program yang

pertamanya didanai pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program PPK-IPM

ini, setiap bulannya menyediakan biaya oparasional dan transportasi yang

jumlahnya berkisar antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 200.000,- per guru per

bulan, baik untuk guru bidang studi maupun transport bagi guru yang menjadi

Wali Kelas di SD yang ditunjuk jadi lokasi SMP Cerdas Seatap, bahkan

program ini pun menyediakan biaya transport bagi guru dalam melakukan

kegiatan ekstra kulikuler.

Menurut pandangan peneliti, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini

mengandung inovasi yang penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan

dasar bagi anak dari keluarga miskin. Secara nyata, kegiatan SMP Cerdas

Seatap ini telah mampu mendekatkan akses pendidikan dasar kepada

masyarakat sehingga memudahkan siswa untuk menjangkau lokasi belajar yang

selama ini dirasakan cukup jauh. Hal ini pun membuat masyarakat menjadi

lebih ringan dalam hal beban biaya transportasi dari rumah ke sekolah, jalan

kaki tidak terlalu jauh, naik angkutan umum pun tidak terlalu mahal.

Selanjutnya, selain inovatif, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini juga bisa

dikatakan efisien dan efektif. Kegiatan SMP Cerdas Seatap yang berbasis

kegiatan ini cukup memanfatkan sarana prasarana milik SD setempat, tenaga

pengajarnya pun diambil dari sekitar sekolah SMP Cerdas Seatap tersebut.

Siswa yang menjadi muridnya pun tidak harus mengenakan pakaian seragam

Page 57: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

57

sekolah yang selama ini sering menjadi beban bagi anak dari keluarga miskin,

meskipun sekolahnya formal.

Itulah pula kultur sekolah yang dalam banyak aspeknya menjadi

kondusif dalam mendekatkan akses pelayanan pendidikan bagi anak dari

keluarga miskin. Dan yang menarik, dari jumlah siswa kelas 9 tahun 2008

sebanyak 2.137 anak, sebanyak 75 persen diantaranya dinyatakan lulus

mengikuti Ujian Nasional (UN), sebuah angka yang cukup tinggi jika

dibandingkan dengan input yang tersedia dalam penyelenggaraan SMP Cerdas

Seatap ini. Itulah pula fakta yang bisa diangkat untuk menjelaskan besarnya

kontribusi penyelenggaraan model pendidikan dasar model yang dikembangkan

dari program PPK-IPM ini terhadap upaya percepatan penuntasan Wajar Dikdas

9 tahun bagi anak dari keluarga miskin

b. Upaya perningkatan Akses Melalui Pengembangan SD/SMP Seatap

Jika program SMP Cerdas Seatap merupakan bagian dari program PPK-

IPM yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka akselerasi

peningkatan IPM, maka program SMP Seatap dilakukan dengan tujuan dan

sasaran yang sama namun dengan sumber pendanaan yang berbeda, yakni dari

APBD tingkat II Kabupaten Cianjur. Singkatnya, Program SD/SMP Seatap ini

dilakukan dalam rangka memberikan peluang yang lebih luas lagi bagi anak dari

keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun.

Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur,

meskipun rata-rata daya tampung sekolah pada beberapa kecamatan yang ada

masih memungkinkan, namun karena distribusinya tidak merata jika dikaitkan

dengan konsentrasi persebaran penduduk anak dari keluarga miskin, maka

Page 58: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

58

kebijakan pengembangan SD/SMP Satu atap di Kabupaten Cianjur ini masih

sangat relavan dan strategis dalam memperluas akses pendidikan bagi anak dari

keluarga miskin, bahkan untuk anak yang tinggal di daerah perkotaan sekali

pun. Singkatnya, kehadiran SD/SMP Seatap ini sekaligus diharapkan bisa

memperkuat program SMP Cerdas Seatap seperti telah diuraikan sebelumnya.

Konkritnya, inilah realisasi dari pengembangan SD/ SMP Satu Atap,

diluar SMP Cerdas Seatap, yang telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten

Cianjur mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 adalah sebagai

berikut :

Tabel 4.13 : Perkembangan Program SD/ SMP Seatap

Kabupaten Cianjur

TAHUN JML SISWA

TERTAMPUNG

JML ANAK SEKOLAH USIA

SLTP

% SISWA SMP SEATAP/ ANAK

SEKOLAH USIA SLTP

2004

2005

2006

2007

2008

-

-

2.796

4.704

6.540

100.803

104.632

111.435

133.094

120.130

-

-

2,51

3,53

5,44

Sumber : Subdin Dikdas P dan K Kabupaten Cianjur, 2007

Dari tabel di atas nampak bahwa kehadiran program SMP Seatap

sebagai salah satu program alternatif yang di Kabupaten Cianjur baru dimulai

tahun 2006 memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan akses

pendidikan dasar 9 tahun. Dibandingkan dengan total siswa pada tingkat SLTP

yang ada, pada tahun 2006 bisa memberikan kontribusi sebesar 2,51 persen, dan

kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 3,53 persen, dan meningkat lagi

menjadi 5,53 persen pada tahun 2008. Dengan angka-angka itu saja bisa

Page 59: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

59

disimpulkan bahwa kehadiran program SMP Seatap tidak sedikit sumbangannya

dalam memberi kesempatan bagi anak miskin untuk mengakses pendidikan

dasar 9 tahun.

c. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pesantren Salafiyah

Optimalisasi pencapaian target Wajar Dikdas di Kabupaten Cianjur tidak

hanya dilakukan di lingkungan pendidikan formal sekolah-sekolah umum, tetapi

juga melibatkan dan dilaksanakan di pondok-pondok pesantren yang

diselenggarakan atas kerjasma antara Pondok Pesantren Salafiyah (kajian kitab

kuning). Kegiatannya, Kata Kasi Mapenda, Dra. Ida Farida pada Kantor Depag

Cianjur, berupa pengintegrasian program wajar dikdas ke dalam kurikulum

pesantren, seperti Paket B yang diwajibkan bagi santri-santri sesuai usianya.

Masih menurutnya, bentuk penyelenggarakan kegiatan ini dirasakan

sangat membantu dalam menunjang akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9

tahun karena banyak dari para santri yang masuk pesantren itu adalah para

luiusan SD yang karena ketidakmampuan orang tuanya tidak mampu

melanjutkan ke SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Bahkan tidak sedikit dari

mereka yang memang atas keinginan atai dorongan orang tuanya lebih memilih

pesantren ketimbang sekolah formal.

Salah satu contoh pondok pesantren yang menerapkan program ini

adalah Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri yang terletak di Kecamatan

Ciranjang. Peserta santri warga belajar yang ditampung di pesantren ini berasal

dari desa-desa di sekitar kecamatan Ciranjang. Dalam rangka penuntasan Wajar

Dikdas 9 tahun, Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri ini terlibat juga

menyelanggarakan program Paket B setara SLTP bagi santrinya, bahkan Paket

Page 60: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

60

C setara SLTA pun dilaksanakan di pesantren ini. Yang cukup membanggakan,

meskipun kegiatan pembelajaran di pondok pesantren dilaksanakan secara

tutorial yang dilengkapi dengan fasilitas ICT.

Menurut data yang ada, dari banyak Pondok Pesantren yang telah

menyelenggarakan Program Wajar Dikdas ini, saat ini tercatat ada sekitar 2.875

santri yang tercatat sebagai siswanya. Artinya, kehadiran Pondok Pesantren

Salafiyah ini paling tidak telah menyumbangkan sebesar 2,8 persen dalam

menampung anak usia 13-15 tahun yang pada tahun 2008 berjumlah 137.015

anak.

Jika ditambah dengan jumlah santri yang sedang mengikuti program

yang disebut dengan Pontren Cerdas Seatap, bnetuk penyelenggaraan

pendidikan dasar 9 tahun di pesantren yang sengaja dikembangkan sebagai

bagian dari Program Proyek Pendanaan Kompetisi (PPK_ – IPM yang didanai

Pemerintah Provinsi sebanyak 7.703 siswa, maka jumlah total siswanya menjadi

10.578 anak, atau sekitar 3 persen dibanding dengan jumlah total SLTP

sederajat yang mencapai angka 344.739 anak.

d. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pengembangan SMP Terbuka

Masih dalam rangka meningkatkan pemerataan kesempatan belajar,

khususnya bagi tamatan SD/MI yang karena beberapa alasan tidak

berkesempatan mengikuti pendidikan pada jenjang SLTP, serta mengacu pula

kepada kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, maka

pengembangan SMP Terbuka yang memiliki karakteristik tersendiri itu juga

menjadi pilihan yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur dalam rangka

memperluas akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin.

Page 61: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

61

Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Cianjur, SMP terbuka ini tidak lain merupakan salah satu satuan penyelenggara

pendidikan tiga tahun yang menggunakan kurikulum seperti SLTP regular,

namun dengan pola kegiatan belajar mengajarnya yang berbeda, yakni yang

menekankan kepada prinsip belajar mandiri, atau cara belajar yang dilakukan

sendiri oleh siswa dan membatasi seminimal mungkin bantuan orang lain.

Itu sebabnya, media utama yang digunakannya adalah bahan belajar

mandiri berupa modul yang ditunjang oleh media lain yang relavan. Adapun

waktu dan tempat belajar secara kelompoknya ditentukan bersama oleh siswa

dan guru pembimbingnya. Sementara waktu dan tempat belajar mandirinya

ditentukan sendiri oleh siswanya.

Dijelaskan oleh Kasubdin Dikdas Dinas P dan K Kabupaten Cianjur,

Drs. Agus Maelani, bahwa kehadiran jenis satuan pendidikan yang merupakan

salah satu kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat ini sengaja

dikembangkan di Kabupaten Cianjur dengan maksud untuk memenuhi tuntutan

pelayanan pendidikan dasar yang tidak tertampung pada SLTP reguler yang

umumnya merupakan anak dari keluarga tidak mampu, disamping untuk

menampung anak lainnya yang kebetulan bertempat tinggal jauh dari lokasi

SLTP yang tersedia.

Lebih jauh diungkapkan, kehadiran SMP Terbuka juga sengaja

dikembangkan untuk memenuhi tuntutan pelayanan pendidikan dasar bagi anak

yang karena kemiskinannya, sebutlah karena harus banyak membantu beban

ekopnomi keluarganya, terpaksa tidak memiliki banyak kesempatan untuk

mengkuti pendidikan dasar pada sekolah reguler. Adanya fleksibilitas dalam

Page 62: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

62

cara belajar siswa, cara belajar mandiri, yang memungkinkan siswa tetap bisa

membantu pekerjaan orang tuanya, adalah hal lain yang dinilai sangat efektif

dalam rangka mempermudah akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin

Menurut sumber yang ada pada Kasubdin Dikdas Dinas P dan K

Kabupaten Cianjur, sampai tahun 2008 ini telah berhasil dikembangkan

sebanyak 41 buah SMP Terbuka yang tersebar di 30 kecamatan yang ada di

Kabupaten Cianjur dengan jumlah total murid sebanyak 9.285 siswa.

Rinciannya, sebanyak 3.947 merupakan murid yang masih duduk di kelas I,

sebanyak 2.710 untuk kelas 2, dan sisanya sebanyak 2.628 adalah anak yang

sudah berada pada bangku sekolah kelas 3, atau kelas akhir. Bandingkan dengan

jumlah total siswa SMP Terbuka pada tahun 2006 yang baru mencapai angka

1.170 siswa.

Dengan trend itu, dalam perkembangan terakhirnya kehadiran SMP

terbuka ini telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam

meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya,

dan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya.

Persisnya, jika jumlah total anak usia 13-15 tahun (usia SLTP) pada

tahun 2008 tercatat sebanyak 137.015 anak, maka kontribusi SMP Terbuka

dengan jumlah siswanya yang telah mencapai angka 9.285 anak jatuh pada

angka 6,77 persen, sebuah kontribusi yang secara kuantitatif cukup berarti jika

diakitkan dengan upaya peningkatan APK/APM pada khususnya, dan beban

berat pendidikan pemerintah Kabupaten Cianjur pada umumnya. Bahkan jika

dibandingkan dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebanyak 114.913,

Page 63: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

63

maka kontribusi SMP Terbuka dengan jumlah siswanya sebanyak 9.285 anak itu

menjadi lebih besar lagi, yakni 8,08 persen.

Namun diakui oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur,

besarnya kontribusi secara kuantitatif yang disumbangkan SMP Terbuka ini,

tidak berarti bahwa kehadiran satuan pendidikan ini tidak memiliki masalah dan

kendala. Masalah mutu yang ditandai rendahnya mutu lulusan, merupakan salah

satu masalahnya. Bahkan dari aspek proses belajar mengajar dengan

keterbatasan tenaga dan sarananya, termasuk kondisi sosial ekonomi para

muridnya, yakni anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu

kompleks, merupakan masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan SMP

Terbuka.

”Murid-murid di SMP Terbuka di sini sering tidak hadir di Tempat

Kegiatan Belajar (TKB) lantaran sering dipanggil orang tuanya untuk bekerja,

bahkan ada yang menikah”, tegas Drs Dadang yang selama ini mengelola SMP

Terbuka di Kecamatan Sukaresmi. Fakta ini sekaligus mengingatkan bahwa

upaya untuk mendekatkan pelayanan dan menggratiskan pendidikan saja

tidaklah cukup, karena banyak faktor lain yang selama ini belum disentuh

kebijakan yang dijalankan pemerintah.

e. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pembukaan Kelas Jauh

Jika model SMP Terbuka merupakan model penyelenggaraan pendidikan

mandiri yang dilaksanakan untuk menampung akses anak yang tinggal di daerah

terpencil, maka model SMP Kelas Jauh diselenggarakan di daerah atau lokasi

yang memiliki banyak calon anak namun karena beberapa alasan, sebutlah

karena keterbatasan anggaran, belum memungkinkan dibangun ruang kelas Baru

Page 64: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

64

(RKB). Namun demikian, penyelenggaraan Kelas Jauh dilaksanakan dilokasi

yang memungkinkan bisa dibangun Unit Sekolah Baru (USB) sehingga kelak,

setelah dukungan yang dibutuhkannya memungkinkan – ketersediaan dukungan

anggaran dan ketersediaan tanah - bisa diresmikan sebagai unit sekolah baru

(USB).

Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran model pendidikan

alternatif ini ternyata cukup membantu meningkatkan akses anak dari keluarga

miskin. Wujudnya, jumlah anak yang memanfaatkan model pendidikan ini

meningkat dari 2.968 anak pada tahun 2004 menjadi 3.124 pada tahun 2005, dan

meningkat lagi menjadi 3.760 pada tahun 2006. Satu tahun berikutnya, tahun

2007, jumlahnya meningkat menjadi 3.835 anak dan meningkat lagi menjadi

3.911 anak pada tahun 2008.

Jika dibanding dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebesar

114.913, maka secara kuantitatif kontribusi penyelenggaraan model SMP Kelas

Jauh ini mencapai angka 3,40 persen, sebuah angka yang walaupun lebih rendah

dibanding kontribusi penyelenggaraan model SMP Terbuka, namun relatif

cukup efektif dalam mendukung upaya percepatan Wajar Dikdas 9 tahun.

Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang penyelenggaranya, walaupun

mutu lulusan dari model sekolah ini tidak bisa disamakan dengan mutu lulusan

dari sekolah reguler, namun kehadirannya cukup membantu meringankan beban

pendidikan dasar bagi anak yang umumnya merukapan anak dari keluarga

miskin yang karena kemiskinannya tidak mampu sekolah dilokasi yang jauh

dari rumahnya.

Page 65: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

65

f. Upaya Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Non Formal

Deskripsi hasil penelitian terhadap sejumlah kasus berikut ini barangkali

bisa dijadikan salah satu illustrasi untuk menggambarkan tentang bagaimana

kontribusi penyelenggaraan pendidikan dasar jalur non formal dalam membantu

meringankan beban anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan

dasar yang menjadi haknya.

Muhamad Husaeni (18 tahun), anak ke 3 dari 6 bersaudara yang lahir

dari orang tua dengan pekerjaan hanya sebagai buruh di Bandung itu, adalah

salah satu anak yang cukup beruntung. Bukan semata karena ia telah berhasil

menamatkan pendidikan setara SMP atau Paket B pada tahun 2007 yang lalu,

namun karena motivasinya yang tinggi, ditambah karena tidak ada pungutan

biaya yang membebani orang tuanya, saat ini ia juga sudah nyaris berhasil bisa

menyelesaikan pendidikan setara SLTA pada program Paket C PKBM

”Mandiri Bersemi” yang beralamat di Desa dan Kecamatan Karangtengah

Cianjur.

Saya ingin pintar, punya ijazah dan bekerja. Bahkan saya ingin jadi

pengusaha sukses seperti orang lain, ungkapnya ketika ditanya mengenai

alasannya yang mendorong ia mengikuti program pendidikan non formal.

Waktu itu, pada tahun 2007, saya juga terpaksa mengikuti jalur pendidikan non

formal mengingat tidak ada beban biaya yang harus dikeluarkan orang tua,

disamping lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya di Rt 02 Desa

Hegarmanah Kecamatan Karangtengah. Ditambahkannya pula, mengikuti jalur

pendidikan non formal sangat didorong orang tuanya, Parhan Silmi (48), karena

Page 66: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

66

bisa dilakukan si anak sambil membantu pekerjaan rumah tangga orangtuanya

di rumah.

Hal yang hampir sama juga dialami oleh anak bernama Tati Setiawati

(16) yang kini duduk dibangku kelas 3 program Paket B pada PKBM

Ciimbangsari. Putri dari pasangan Suryana (40) dan Siti Chadijah (35) yang

sehari-harinya bekerja hanya sebagai buruh tani itu mengaku bangga kalau

dirinya bisa mengikuti pendidikan setara SMP sambil bisa mengikuti

pendidikan (ngaji) di Pesantran yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di

Kampung Cijerah Sukasari.

Hoyong gaduh ijazah kanggo neraskeun sakola ka SLTA (Ingin punya

ijazah dan bisa melanjutkan ke SLTA), ungkapnya ketika ditanya tentang cita-

citanya dikemudian hari setelah lulus dari Kejar Paket B yang diikutinya sejak

tahun 2006 itu. Mung hanjakal guruna (para tutornya) sering tara sumping

(namun sayangnya, para guru atau tutornya sering tidak hadir), disamping

kadang sulit membagi waktu antara kegiatan belajar di PKBM dengan

pesantren, tegasnya ketika ditanya tentang kendala yang sering dihadapinya

dalam kegiatan belajar di PKBM.

Sedikit berbeda dengan Tati Setiawati adalah apa yang dialami Siti

Fatimah (15). Saat ini, putri dari pasangan Sahmudin (38) dan Ibu Eeng (35) ini

berkesempatan bisa mengikuti program Paket B yang diintegrasikan dengan

pendidikan agama (ngaji) yang sedang dijalaninya di Pesantren. Paket B

Pontern, itulah sebutan program yang sedang dijalani anak bernama Siti Fatimah

ini. Jika anak bernama Tati Setiawati merasa terganggu karena harus mengikuti

dua program pendidikan ; PKBM dan Pesantern, maka Siti Fatimah justru

Page 67: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

67

merasa lebih beruntung karena bisa mengikuti program Paket B secara

terintegrasi dalam pengajaran di pesantren yang menjadi pilihannya setelah

menamatkan SD pada tahun 2007 lalu.

Hoyong gaduh ijazah sareng dipiwarang pa Ustadz sareng teu kedah

mayar (ingin punya ijazah dan disuruh pa Ustadz, disamping tidak harus

membayar), tegasnya ketika ditanya motivasi yang mendorongnya si anak

mengikuti program kesetaraan (Paket B) di pesantren Al Hikmah yang tidak

jauh dari lokasi tempat tinggalnya di Kampung Caringin Desa Sukasari. Orang

tuanya yang bekerja sebagai buruh tani itu mengaku kalau anaknya terpaksa

masuk pesantren karena tidak memiliki biaya untuk bisa melanjutkan ke SMP

sebagaimana dilakukan teman-teman yang lainnya.

Lain yang dialami oleh kasus tiga anak di atas, lain pula yang dialami

oleh anak yang bernama Ela Susilawati (16), anak ke 3 dari lima anak dari

pasangan Bapak Usep (40) dan Ibu Dedah (38) yang sehari-harinya bekerja

sebagai buruh tani itu. Anak yang pernah mengikuti pendidikan melalui jalur

SMP Terbuka ini dipaksa orang tua dan lingkungannya untuk melanjutkan

pendidikan dasarnya melalui program Paket B yang tidak jauh dari Rumahnya.

Namun baru saja menjalaninya sampai kelas 2 smester I, ia keluar alias drop out

dengan alasan malas belajar. Bosan sekolah, disamping malu, tegasnya ketika

ditanya tentang alasannya tidak mau melanjutkan sekolah.

Hal senada juga diungkapkan oleh orang tuanya yang berpendidikan SD

itu. Menurutnya, meskipun banyak pihak yang memotivasi dan sekaligus

menggiring anaknya supaya bisa menamatkan pendidikan melalui program

Paket B, namun karena anaknya yang memang malas, maka pada akhirnya ia

Page 68: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

68

pun harus merelakan anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan sebagaimana

diikuti oleh anak-anak yang lainnya. Tos teu hoyongeun sakola (sudah tidak

punya minat bersekolah), tegasnya menambahkan.

Itulah beberapa kasus yang berhasil diangkat untuk menggambarkan

tentang bagaimana anak dari keluarga yang kurang beruntung, sebut pula anak

dari keluarga miskin, dengan kondisi kehidupan sehari-harinya yang serba pas-

pasan, bahkan dengan kesibukannya yang harus membantu orang tua

mempertahankan hidupnya, tetap bisa mengikuti pendidikan dasarnya, kendati

hanya melalui jalur pendidikan non-formal.

Tentu saja, beberapa kasus yang diangkat di sini hanyalah bagian kecil

dari potret sekian banyak anak usia sekolah di Kabupaten Cianjur yang karena

banyak faktor, umumnya faktor ekonomi dan faktor geografis, atau kedua-

duanya, bahkan faktor psikologis dan faktor lainnya, terpaksa tidak bisa

mengikuti pendidikan pada jalur formal sebagaimana yang ditempuh oleh anak-

anak yang lainnya. Sebagiannya terdaftar mengikuti proses pembelajaran

melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (setara SD) atau B (setara SMP) di

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar disetiap kecamatan.

Sebagian yang lainnya aktif mengikuti program yang sama di beberapa Pondok

Pesantren Salafiyah dengan cara mengintegrasikan program Wajar Dikdas

(Paket A dan B) ke dalam Kurikulum pesantren.

Seperti diungkapkan oleh Kasubdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS),

Drs. Himam Haris MPd, sejak tahun 1994 yang lalu, persisnya sejak Program

Wajar Dikdas pertama kali mulai banyak diangkat dan digalakan, banyak upaya

dan langkah yang telah dan sedang dilakukan Bidang PLS dalam mendukung

Page 69: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

69

upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun selama ini, termasuk yang dilakukan

atas dasar kerja sama dan koordinasi dengan Kantor Departemen Agama

Kabupaten Ciajur.

Wujud konkritnya, jumlah kelompok maupun warga belajar yang aktif

berpartisipasi mengikukti program pendidikan kesetaraan, baik untuk jenjang

SD (Kejar Paket A) maupun SLTP (Kejar Paket B) yang diharapkan bisa

membantu mempercepat sukses Wajar Dikdas 9 Tahun, dari tahun ketahunnya

terus mengalami peningkatan. Peningkatan trend tersebut terjadi tidak saja

karena didukung oleh adanya kebijakan pusat yang memang banyak

mendukung, termasuk dukungan anggarannya, tetapi juga oleh adanya

komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sendiri,

termasuk komitmen sektor lain yang terkait.

Adanya MoU antara Ka Dinas P dan K, BKKBN serta Kantor

Departemen Agama dalam rangka Pembangunan Keluarga Sejahtera / Sakinah

melalui peningkatan peran PKBM, salah satunya, merupakan bukti bahwa

implementasi kebijakan pendidikan jalur non formal ini memperoleh dukungan

yang kuat dari sektor lainnya. Hal yang sama juga ternyata telah dilakukan dinas

P dan K Kabupaten Cianjur dengan Gerakan PKK dalam pemberantasan buta

aksara melalui Program Keaksaraan Fungsional, pendidikan berbasis kesetaraan

jender, Kelompok Belajar Usaha (KBU), pengembangan program PAUD dan

bahkan secara khusus dalam pelaksanaan percepatan pencapaian Wajar Dikdas

9 tahun.

Berikut ini adalah perkembangan jumlah kelompok belajar Kejar dan

warga belajar yang aktif dalam pelaksanaan Program Pendidikan Luar Sekolah,

Page 70: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

70

sebut pula pendidikan non formal, dalam rangka menunjang program percepatan

Wajar Dikdas 9 tahun, baik yang dikelola melalui jalur Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan maupun Jalur Departemen Agama sebagaimana bisa ditelaah

dalam figur di bawah ini :

Tabel 4.14 : Perkembangan Jumlah Kelompok dan Warga Belajar Program Pendidikan Luar Sekolah Kabupaten Cianjur

TAHUN Kejar Paket A Kejar Paket B

Jml Total Lulusan

Paket Kejar A dan B

Jml Kel

Jml WB

Ikut UN

Lulus Jml Kel

Jml WB

Peserta UN

Lulus

2004

2005

2006

2007

2008

13

9

10

10

11

260

268

284

300

409

119

106

165

50

249

94

58

144

27

112

208

336

336

398

367

4.160

6.720

5.180

7.803

8.398

1.362

1.416

2.943

3.420

6.519

877

989

707

1.953

3.497

971

1.047

851

1.980

3.609

Rata- Rata

- 302 138 87 - 6.452 3.132 1.605 1.692

Sumber : Dokumentasi Subdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur

Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah kelompok belajar (Kejar), baik

untuk Paket A (Setara SD/MI) maupun Paket B (setara SLTP), dari tahun

ketahunnya menunjukan trend peningkatan, khususnya untuk Kejar Paket B.

Demikian pula untuk warga belajarnya (WB). Jumlah anak yang mengikuti

program paket A, meningkat dari 260 anak pada tahun 2004 menjadi 302 anak

pada tahun 2008. Demikan halnya untuk paket B meningkat dari 4.160 anak

pada 2004 menjadi 8.398 anak pada tahun 2008, meningkat lebih dari 100

persen dalam kurun waktu lima tahun. Semua itu menunjukan bahwa kehadiran

jalur pendidikan non formal nampak merupakan pilihan akhir bagi anak dari

keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dasarnya.

Page 71: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

71

Namun dari tabel di atas pula nampak bahwa besarnya jumlah warga

belajar (WB) yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, ternyata tidak

sebanding dengan besarnya jumlah warga belajar yang mengikuti Ujian

Nasional (UN), bahkan sangat tidak sebanding dengan jumlah mereka yang

lulus UN. Persisnya, dari rata-rata jumlah warga belajar sebanyak 302 anak,

hanya 138 anak yang bisa mengikuti UN, atau sekitar 45 persen, dan hanya 87

anak yang berhasil atau lulus UN, atau sekitar 28 persen dari jumlah warga

belajar. Padahal menurut standar pelayanan minimum (SPM) yang telah

ditetapkan, jumlah WB yang diharapkan bisa mengikuti UN adalah sebesar 95

persen.

Demikian halnya untuk Paket B atau setara SLTP, dari rata-rata jumlah

warga belajar sebanyak 6.452 anak, hanya 3.132 yang mengikuti UN, atau

sekitar 48,5 persen. Bahkan dari jumlah warga belajar sebanyak itu, 6.452 anak

hanya sekitar 26 persen atau sebanyak 1.692 anak yang berhasil lulus ujian

nasional. Angka kelulusan ini sangat jauh dari SPM sebagaimana diatur

Kepmendiknas Nomor 129a Tahun 2004 yang menetapkan angka 95 persen.

Itu semua menunjukan bahwa ada masalah yang belum terpecahkan

dalam proses penyelenggaraan program kesetaraan yang berjalan selama ini.

Seperti diungkapkan Kasubdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Drs,

Himam Haris MPd, proses belajar mengajar di PKBM sering terganggu oleh

karena banyak warga belajar yang yang terpaksa tidak bisa mengikutinya hanya

karena mereka harus membantu pekerjaan orang tuanya yang memang miskin.

Buat mereka, belajar adalah pemanfaatan sisa waktu luang dari banyak kegiatan

yang harus dijalani untuk berjuang membantu kehidupan keluarganya.

Page 72: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

72

Fakta ini diakui oleh Muchtar Arief, salah seorang tokoh masyarakat

penggerak kegiatan PKBM di Kecamatan Karangtengah. Menurutnya, benar

bahwa dilihat dari banyak aspeknya, kehadiran Kejar Paket A dan B yang

tergabung dalam PKBM ini sangat membantu anak dari keluarga tidak mampu,

termasuk membantu pemerintah, dalam menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun.

Bahkan melalui program Life Skill-nya, pendidikan kesetaraan yang

dikembangkan pemerintah selama ini banyak membantu memberi mereka

berbagai keterampilan yang bisa dijadikan salah satu modal hidupnya.

Namun karena keterdesakan hidup yang harus dijalaninya, tak jarang

diantara mereka yang tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar sebagaimana

mestinya, bahkan untuk bisa belajar dari modul yang diberikan. Da karunya ema

(soalnya kasihan ibu), ungkap Hasan (14), salah seorang warga belajar di

PKBM Mandiri Karangtengah yang terpaksa sering absen karena sehari-harinya

harus membantu berdagang keliling dengan ibunya.

Ditambahkan Muchtar Arief, pemerintah daerah pun belum optimal

memperhatikan semua kebutuhan proses belajar mengajar (PBM), sebutlah

seperti honor para tutor yang selain kecil juga sering terlambat diterima,

disamping juga terhambat oleh ketersediaan sarana yang dibutuhkan untuk

mendukung kelancaran proses belajar-mengajarnya.

Kondisi itu diperparah oleh adanya perbedaan perlakukan antara PKBM

yang didanai dari sumber APBN dengan PKBM yang didanai APBD kabupaten.

Persisnya, jika penyerlenggaraan program Paket B yang didanai sumber APBN

menyiapkan biaya tambahan untuk ATK dan motivasi, maka sumber dari APBD

Page 73: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

73

tidak menyediakannya, tegas Drs. Dadang, salah seorang staf pengelola program

kesetaraan dilingkungan Dinas P dan K Kabupaten Cianjur ini.

Namun lepas dari semua masalah itu, dari hasil kajian peneliti

menunjukan bahwa kehadiran program kesetaraan ini tetap masih memiliki

kontribusi dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak,

program luar sekolah ini telah berhasil membantu mengurangi jumlah anak usia

7-15 tahun yang tidak bisa mengakses pendidikan dasar melalui jalur

pendidikan formal seperti bisa dilihat dalam figur di bawah ini :

Tabel 4.15 : Kontribusi Pendidikan non Formal Dalam Menyerap Akses Pendidikan Anak Usia 7-15 Tahun

No Tahun Jml Warga

Belajar Paket A dan B *)

Jml Anak Usia 7-15 Tahun

**)

Prosentase Penyerapan

1 2004 4.420 377.737 1,17 % 2 2005 6.988 393.365 1,77 % 3 2006 5.464 398.565 1,37 % 4 2007 8.112 402.918 2,01 % 5 2008 8.807 407.694 2,16 %

Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur

Dari figur di atas nampak bahwa dari total anak usia 7-15 tahun (anak

usia SD/SMP) pada tahun 2004 sebanyak 377.737, sebanyak 4.420 atau sekitar

1,17 persen diserap melalui program pendidikan dasar non formal.

Prosentasenya kemudian meningkat menjadi 1,77 % pada tahun 2005, dan

meningkat lagi menjadi 2,16 % pada tiga tahun berikutnya, tahun 2008.

Bahkan jika dibanding dengan jumlah total siswa SD/ SLTP yang ada, maka

prosentase kontribusinya lebih besar lagi sebagaimana bisa ditelaah dalam figur

di bawah ini :

Page 74: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

74

Tabel 4.19 : Kontribusi Pendidikan non Formal Di banding Jumlah Total Siswa SD/SLTP

No Tahun Jml Warga

Belajar Paket A dan B *)

Jml Total Siswa

SD/SLTP

Prosentase Penyerapan

1 2004 4.420 316.755 1,39 % 2 2005 6.988 341.315 2,04 % 3 2006 5.464 354.830 1,53 % 4 2007 8.112 363.867 2,29 % 5 2008 8.807 377.745 2,33 %

Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah warga belajar Paket Kejar A dan B

dibanding jumlah total anak yang trertampung dalam bangku pendidikan

SD/SLTP meningkat dari hanya 1,39 persen pada tahun 2004 menjadi 2,33

persen pada tahun 2008. Ini semua mengandung arti bahwa tidak sedikit

sumbangan telah diberikan oleh pendidikan jalur non formal ini dalam

membantu meningkatkan APK dan APM SD dan SLTP.

g. Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Sekolah Luar Biasa

(SDLB dan SMP LB)

Walaupun jumlahnya tidak banyak, kehadiran jalur pendidikan luar

biasa, baik untuk tingkat SD (LB) maupun SMP (LB) dalam memberikan akses

pendidikan dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus – ABK (Children with

special needs), merupakan program tersendiri yang layak diperhitungkan dalam

meningkatkan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten Cianjur. Alasannya,

meskipun anak berkebutuhan khusus ini tidak semuanya merupakan anak dari

keluarga miskin, namun dalam banyak aspeknya, kehadiran mereka, dengan

kelainan yang dimilikinya (kelainan phisik maupun kelainan mental-intelektual,

termasuk kelainan sosial dan emosionnalnya), layak diperhitungkan sebagai

Page 75: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

75

salah satu faktor yang apabila tidak ditangani akan menjadi salah satu faktor

penghambat dalam mendukung akseresai penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Di bawah ini adalah kontribusi lembaga pendidikan SDLB dan SMPLB

dalam melayani pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)

sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.17 Trend Peningkatan Akses Pendidikan Dasar Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kabupaten Cianjur

No Tahun Jenis

Sekolah Jumlah Sekolah

Jumlah Siswa

Kelas 1

Kelas 2

Kelas 3

Kelas 4

Kelas 5

Kelas 6

Jumlah

1 2004 SDLB 6 25 24 20 16 15 20 120

SMPLB 5 9 9 6 24

2 2005 SDLB 6 26 25 24 20 16 15 126

SMPLB 5 20 9 9 38

3 2006 SDLB 6 38 26 25 24 20 16 149

SMPLB 5 15 20 9 44

4 2007 SDLB 6 49 38 26 25 24 10 172

SMPLB 5 16 15 10 41

5 2008 SDLB 6 32 49 38 26 25 24 194

SMPLB 5 16 15 20 51 Sumber : Gugus SLB Kabupaten Cianjur

Dari tabel diatas nampak bahwa jika dibandingkan dengan jumlah total

siswa usia 7-15 tahun pada tahun 2008 sebesar 377.745, maka kontribusi SDLB

dan SMPLB dalam menunjang akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun

bagi anak dari keluarga tidak beruntung atau miskin jatuh pada angka 0.07 %,

sebuah angka yang relatif kecil namun memiliki makna penting tersendiri dalam

menjamin kelangsungan pendidikan mereka sebagai bagian dari salah satu

haknya sebagaimana telah dijamin Undang-undang.

Page 76: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

76

5. Upaya Peningkatan Daya Tampung

Jika program yang dibahas sebelumnya lebih terfokus pada implementasi

kebijakan Wajar Dikdas dilihat dari dimensi peningkatan akses melalui berbagai

programnya, maka uraian berikut ini lebih terfokus pada upaya peningkatan

daya tampung satuan pendidikan dasar dalam bentuk pembangunan unit

sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB) maupun dalam bentuk rehabilitasi

terhadap sekolah maupun ruang kelas yang kondisinya rusak, mulai dari rusak

ringan sampai rusak berat.

a. Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB)

Dari hasil penelitian terungkap bahwa sejak tahun 2004 sampai

dengan tahun 2008 telah berhasil dibangun sebanyak 17 Unit Sekolah Baru

(USB) yang seluruh pendanaannya berasal dari sumber pusat dengan

rincian sebagaimana bisa ditelaah dalam figur sebagai berikut :

TABEL 4.18 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN UNIT SEKOLAH BARU (USB)

TAHUN

JUMLAH USB YANG DIBANGUN (SD/SMP)

JML RUANG KELAS

KAPASITAS DAYA

TAMPUNG SISWA

SUMBER DANA

2004

2005

2006

2007

2008

-

2

4

4

7

-

6

12

12

21

-

240

480

480

840

-

APBN

APBN

APBN

APBN

JUMLAH 17 51 2.040 - Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008

Dari tabel di atas nampak bahwa dalam periode lima tahun sejak

tahun 2004 sampai 2008, pemerintah hanya mampu menambah Unit

Page 77: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

77

Sekolah Baru (USB) yang dapat membantu meningkatkan daya tampung

siswa sebanyak 17 buah dengan jumlah ruang kelas sebanyak 51 buah.

Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa, maka

pembangunan USB selama lima tahun hanya mampu menambah kapasitas

daya tampung sebesar 2.040 siswa, atau hanya 408 siswa setiap tahunnya.

Jika dibandingkan dengan penambahan secara absolut anak usia 7-15

tahun yang mencapai angka 7.500 anak setiap tahunnya, maka program

penambahan USB hanya menyumbangkan sekitar 5,44 persen dalam

meningkatkan daya tampung, angka yang sangat jauh dari kebutuhan yang

sesungguhnya.

b. Penambahan Ruang Kelas Baru (RKB)

Jika pembangunan USB lebih banyak ditujukan dalam rangka

memperluas akses pelayanan pendidikan dasar di daerah-daerah kantung,

sebut pula daerah-daerah terpencil dengan sasaran Wajar Dikdas yang

banyak namun dengan tingkat pencapaian APK dan APM yang rendah,

maka program penambahan ruang kelas baru (RKB) lebih banyak diarahkan

kepada upaya untuk meningkatkan daya tampung siswa bagi sekolah-

sekolah yang mengalami kelebihan kapasitas - over capacity.

Demikian kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Kabupaten

Cianjur sebagaimana ditegaskan Kasubdin Prasarban, Drs. Adang Subagja

M.Pd dalam sebuah wawancara dengan peneliti yang juga dikuatkan oleh

Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Drs. Djadjang Sofyan

Haris SH. MM. Ditambahkan oleh Wakadis, ada tiga faktor yang selama ini

sering menjadi penyebab sebuah sekolah mengalami over capacity, dan

Page 78: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

78

karenanya senantisa menjadi prioritas dalam penentuan lokasi penambahan

Ruang Kelas Baru (RKB) ini.

Yang pertama, adalah sekolah yang berlokasi di daerah dengan laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sementara dua penyebab lainnya

berkait dengan letak strategis lokasi sekolah kalau bukan karena

keberhasilan pihak sekolah dalam membangun public image yang

memungkinkan masyarakat lebih banyak meminatinya.

Di bawah ini adalah perkembangan jumlah penambahan RKB dalam

rangka meningkatkan daya tampung anak sekolah sebagai bagian tak

terpisahkan dari implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 Tahun

yang terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.

TABEL 4.19 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN RUANG KELAS BARU (RKB) BAGI SD/MI DAN SMP/MTs

TAHUN

JUMLAH SEKOLAH

YANG MENDAPAT BANTUAN

JML RUANG KELAS BARU

YANG DIBANGUN

TAMBAHAN KAPASITAS DAYA TAMPUNG SISWA

SUMBER DANA

2004

2005

2006

2007

2008

-

30

29

57

26

-

65

88

171

78

-

2.600

3.520

6.480

3.120

-

APBN

APBN

APBN

APBN

Jumlah 142 402 16.080 -

Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008

Jika melalui pembangunan USB dalam lima tahun sebagaimana telah

diungkapkan di atas mampu meningkatkan kapasitas daya tampung

sebanyak 2.040 siswa, atau sekitar 408 siswa setiap tahunnya, maka jumlah

anak yang bisa ditampung melalui pembangunan RKB yang jumlahnya

Page 79: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

79

mencapai 402 RKB itu bisa mencapai angka 16.080 siswa, atau sebanyak

3.216 siswa setiap tahunnya.

Dengan demikian, jumlah total daya tampung USB dan

pembangunan RKB dalam lima tahun mencapai angka 18.120 anak, atau

penambahan kapasitas daya tampung sebanyak 3.624 siswa setiap tahunnya.

Bandingkan dengan rata-rata penambahan anak usia 7-15 tahun, tambahan

anak usia Wajar Dikdas 9 tahun, yang setiap tahunnya mencapai angka

tidak kurang dari 7.500 anak, sebuah angka yang besarnya melebihi

kemampuan pemerintah untuk menampungnya.

Itu semua mengandung arti bahwa kemampuan pemerintah dalam

menambah daya tampung siswa dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9

tahun selama ini hanya mencapai angka sekitar 48 persen. Artinya, sulit

bagi pemerintah untuk bisa memenuhi kewajibannya menyediakan fasilitas

ruangan kelas yang memadai jika tidak diimbangi dengan pengembangan

jalur pendidikan alternatif, termasuk pengembangan jalur pendidikan non

formal kalau bukan ditunjang dengan pengembangan sekolah swasta.

Itulah pula yang menjadi kendala dalam membantu meningkatkan

akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin. Logikanya, semakin

banyak sekolah yang mengalami over capacity, maka akan semakin besar

kemungkinan anak dari keluarga miskin yang tidak bisa tertampung

mengikuti pendidikan.

c. Rehabilitasi Ruang Kelas

Dengan maksud untuk memelihara kelangsungan proses belajar dan

mengajar sesuai dengan yang diharapkan, terutama dikaitkan dengan

Page 80: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

80

banyaknya kondisi bangunan sekolah SD maupun SMP, termasuk MI dan

MTs yang dalam keadaan rusak sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian

sebelumnya, maka upaya untuk merehabilitasi banyak bangunan sekolah

rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat, merupakan langkah strategis

tersendiri dalam upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Seperti diungkapkan oleh Kadis Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Cianjur, meskipun program rehabilitasi ini tidak memiliki

dampak dalam meningkatkan daya tampung, tetapi membiarkannya,

terutama membiarkan bangunan sekolah yang dalam kondisi rusak berat,

justeru bisa berdampak mengurangi daya tampung sekolah yang ada.

Menurut sumber dari Kasubdin Prasarana dan Bantuan Dinas P dan

K Kabupaten Cianjur, jumlah total ruang kelas yang berhasil direhabilitasi

dalam kurun waktu lima tahun sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008

adalah sebanyak 1.598 ruang kelas, terdiri dari 1.084 ruang kelas untuk SD

dan MI dan sebanyak 234 ruang kelas untuk jenjang sekolah SMP dan

Madrasah Tsanawiyah.

Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa,

maka kegiatan rehabilitasi sekolah yang dilaksanakan dalam kurun waktu

lima tahun paling tidak telah memberikan sumbangan dalam memelihara

atau mempertahankan kemampuan sekolah untuk menampung sebanyak

63.920 siswa. Pengalaman selama ini menunjukan banyak proses belajar

dan mengajar menjadi terganggu, bahkan anak tidak bersekolah karena

ruang sekolahnya roboh atau tidak layak dipakai sebagaimana layaknya

sebuah sekolah.

Page 81: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

81

6. Upaya Pemberian Bantuan Untuk Meringankan Beban Pembiayaan Pendidikan Bagi Anak Dari Keluarga Miskin

Sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya yang tidak

mampu, banyak upaya pemerintah telah dilakukan dalam rangka membantu

meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin,

baik yang bersumber dari pemerintah pusat, provinsi maupun Kabupaten.

a. Pemberian Bantuan Melalui Program BOS

Esensi dari Program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

yang bersumber dari bantuan pemerintah pusat ini adalah untuk

memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran

siswa yang selama ini sering menjadi masalah bagi anak dari keluarga

miskin, dengan catatan bahwa sekolah penerima bantuan tetap dapat

mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat sesuai

dengan standar pelayanan yang telah ditentukan.

Adapaun sasaran program BOS sebagaimana telah ditetapkan

Pertunjuk Teknis yang dirumuskan tingkat pusat adalah semua sekolah pada

jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/ MTs) baik negeri maupun

swasta. Sementara untuk jalur pendidikan non formal seperti

penyelenggaraan Program Paket A, Paket B dan SMP Terbuka tidak

termasuk sasaran dari PKPS-BBM. Alasannya, ketiga program

penyelenggaraan pendidikan tersebut telah dibiayai secara penuh oleh

pemerintah.

Seperti tertera dalam buku petunjuk teknisnya, pemerintah

menggulirkan program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang

Page 82: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

82

dimulai pada tahun 2005 ini adalah untuk menanggulangi secara bertahap

pemenuhan Biaya Satuan Pendidikan (BSP) yang diperlukan untuk

menunjang terselenggaranya proses belajar mengajar sesuai dengan standar

pelayanan minimum yang telah dietapkan. BSP ini terdiri dari biaya

investasi, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan sumber daya

tidak habis pakai yang dapat digunakan lebih dari setahun (misalnya untuk

pengadaan tanah, bangunan, perabot kantor); dan biaya operasional, yaitu

biaya yang dipergunakan untuk menyediakan sumber daya yang habis pakai

yang mencakup biaya personil dan non personil. Unit cost BOS yang

ditetapkan untuk setiap siswa per tahun untuk tingkat SD/MI sebesar

Rp.235.000,00, dan untuk tingkat SMP/MTs sebesar Rp.324.500,00.

Dari hasil penelitian terungkap bahwa untuk tahun 2008 saja,

Kabupaten Cianjur telah menerima bantuan yang bersumber dari dana BOS

ini sebesar tidak kurang dari Rp.101.443.731.400,-, termasuk didalamnya

bantuan BOS untuk pembelian buku yang diperuntukan bagi tidak kurang

dari 1.587 buah sekolah untuk tingkat SD/MI dengan jumlah siswanya

sebanyak 272.149 anak, dan 172 buah sekolah untuk tingkat SMP/MTs

dengan jumlah siswanya sebanyak 75.672 anak.

Bandingkan dengan jumlah alokasi BOS tahun sebelumnya, tahun

2007, sebesar Rp. 99.443.731.000,- yang diperuntukan bagi 1237 SD/MI

dengan jumlah siswanya sebanyak 266.296 anak, dan 127 SMP/MTs

dengan jumlah siswanya sebanyak 57.185 anak. Bandingkan pula dengan

bantuan BOS untuk tahun 2006 yang baru mencapai angka

Rp.75.427.823.500,- yang diperuntukan bagi 1.465 SD/MI dengan jumlah

Page 83: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

83

siswanya sebanyak 287.452 anak, dan 228 SMP/MTs dengan jumlah

siswanya sebanyak 67.996 anak. Singkatnya, besaran jumlah bantuan dana

untuk BOS untuk Kabupaten Cianjur ini, setiap tahunnya terus mengalami

peningkatan sebagaimana tergambar dalam figur di bawah ini :

Tabel 4. 20 : Perkembangan Program Pemberian Bantuan Melalui

Program BOS Kabupaten Cianjur 2005-2008

THN

JML SD /MI

PENERIMA BOS

JUMLH SISWA

JML SMP PENERIMA BOS

JML

TOTALSISWA

JUMLAH TOTAL BIAYA

BOS YG DITERIMA KABUPATEN CIANJUR

2005 1.468 284.546 248 64.277 Rp. 10.428.943.250,- *) 2006 1465 287.452 228 67.996 Rp. 75.427.823.500,- 2007 1237 266.296 127 57.185 Rp. 99.187.766.000,- 2008 1.587 272.149 172 75.672 Rp.101.443.731.400,- Jml - - - - Rp.497.548.704.800,-

*) Hanya untuk periode Juli Desember 2008 dan tidak termasuk BOS untuk buku

Dari tabel di atas nampak bahwa sejak triwulan akhir tahun 2005

sampai dengan tahun 2008, pemerintah telah mengeluarkan dana BOS yang

dampaknya diharapkan bisa membantu meringankan beban pendidikan

bagi anak dari keluarga miskin ini tidak kurang dari Rp. 497.548.704.800,-,

disamping juga membantu meringankan beban pendidikan bagi anak

lainnya yang berada pada jenjang pendidikan dasar.

Paling tidak, demikian diungkapkan oleh salah seorang Kepala

Sekolah Dasar Sayang Semper Kecamatan Cianjur, Ibu Neneng, bahwa

besarnya jumlah dana BOS tersebut telah banyak membantu beban banyak

sekolah pinggiran yang sebelumnya sering dihadapkan kepada besarnya

beban opersional sekolah karena tidak sedikit anak dari keluarga miskin

yang tidak mampu membayar iuran sekolah. Jika dulu pihak sekolah sering

Page 84: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

84

dihadapkan kepada banyak kesulitan karena banyak anak dari keluarga

miskin yang tidak bisa membayar iuran sekolah, kini masalahnya teratasi

karena ada bantuan BOS.

b. Pemberian Bantuan Melalui Program Lainnya

Di luar Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang telah menjadi

kebijakan pemerintah pusat dalam rangka mempercepat pencapaian target

Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya, dan membantu meringankan beban

pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya, untuk maksud

dan sasaran yang sama, Kabupaten Cianjur juga, sebagaimana juga

kabupaten lainnya, memiliki program yang disebut dengan BAGUS, yakni

Bantuan Gubernur untuk Siswa Miskin yang bersumber dari APBD

Tingkat I jawa Barat yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi

Jawa Barat. Bedanya, jika bantuan dari program BOS diperuntukan untuk

membantu beban biaya operasional Sekolah pada jenjang SD/MI sampai

SMP/MTs, maka program BAGUS ditujukan untuk membantu secara

langsung meringankan beban biaya personal anak tidak mampu alias

miskin. Itu pun hanya diperuntukan bagi anak dari keluarga miskin yang

berada pada jenjang pendidikan tingkat SMP/MTs, termasuk anak yang

belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Persisnya, demikian dikemukakan dalam Petunjuk Teknis (Juknis)

Penyaluran dan Pemanfaatan Dana Bagus (2008), bahwa sasaran program

yang pada tahun sebelumnya (2007) yang terkenal dengan sebutan Kartu

Bebas Biaya Sekolah (KBBS) itu memiliki sasaran sebagai berikut (1) anak

lulusan SD/MI sederajat yang putus sekolah atau tidak melanjutkan

Page 85: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

85

sekolah, (2) anak yang drop out di kelas 1,2,3 pada jenjang pendidikan

SMP/MTs/PKBM, (3) siswa kelas 2 dan 3 SMP/MTs/PKBM (Paket B)

yang rawan DO berasal dari keluarga miskin yang pada tahun 2006 atau

2007 telah memperoleh BAGUS dan masih berada di sekolah.

Singkatnya, jika penerima dan yang mengatur penggunaan BOS

adalah Kepala Sekolah, maka penerima program KBBS dan BAGUS

adalah siswa secara langsung dengan besaran jumlah biaya yang diterima

persiswa adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) pertahun untuk KBBS

yang berjalan pada tahun 2005, dan Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)

persiswa pertahun untuk program BAGUS.

Adapun penggunaannya diarahkan kepada 8 komponen biaya

pendidikan yang selama ini sering menjadi beban pendidikan anak dari

keluarga miskin, yakni (1) pakaian seragam sekolah anak, (2) pakaian

khusus seragam sekolah, (3) pakaian pramuka, (4) pakaian olah raga, (5)

sepatu, (6) tas sekolah, (7) alat tulis, dan (8) pembelian buku tulis.

Sementara bagi anak yang menjadi warga belajar pada program Paket B

setara SMP, penggunaannya diarahkan kepada upaya untuk membiayai

lima komponen biaya pendidikan, yakni (1) pembelian alat tulis, (2)

penyelenggaraan tes belajar, (3) buku pelajaran, (4) bahan keterampilan

belajar, dan (5) biaya transportasi. Singkatnya, demikian diungkapkan

Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Agus S Maelani,

bantuan program bernama BAGUS ini diberikan untuk membantu

mengurangi beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang

tidak terbiayai oleh bantuan yang bersumber dari program BOS.

Page 86: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

86

Di bawah ini adalah data mengenai banyaknya sekolah (SMP/Mts),

besarnya biaya dan banyaknya jumlah anak dari keluarga miskin di

Kabupaten Cianjur yang telah dan sedang menikmati pemberian bantuan

program KBBS serta BAGUS, sebutlah pula beasiswa miskin, sebagai

berikut :

Tabel 4. 21 : Perkembangan Bantuan Bagi Anak Miskin yang dialokasikan Untuk Kabupaten Cianjur

No

Tahun

Sumber / Program

Jumlah Siswa

Penerima Bantuan

Besarnya

Bantuan per siswa

Jumlah Total Bantuan Biaya

(Rp)

1 2 3 4

2005

2006

2007 2008

Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) Bantuan Gubernur Untuk Sekolah (BAGUS) BAGUS Bantuan Siswa Miskin (BSM)

8.900 3.434 10.615 4.995

Rp1.000.000 Rp.500.000 Rp.500.000 Rp.576.000

Rp.8.900.000.000,- Rp. 1.717.000.000,- Rp. 5.307.500.000,- Rp. 1.438.560.000,-

Jumlah Sumber : Dokumentasi pada Subdin Dikdas Kantor P dan K Kab. Cianjur

Dari tebel diatas terungkap bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan

tahun 2008, terdapat tiga bentuk program bantuan yang digulirkan

pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dalam rangka membantu

meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

Yang pertama, tahun 2005, adalah program yang disebut dengan

Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) yang digulirkan pemerintah provinsi

Page 87: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

87

Jawa Barat untuk membantu 8.900 anak sekolah. Yang kedua, adalah

program yang dikenal dengan sebutan Bantuan Gubernur Untuk Sekolah

(BAGUS) yang sekaligus merupakan pengganti dari program KBBS dengan

jumlah biaya sebanyak 1,7 milyar untuk membantu sebanyak 3.434 siswa

miskin selama tahun 2006, dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 5,3

milyar untuk membantu tidak kurang dari 10.1000 siswa miskin, atau Rp.

500.000,- persiswa dalam setahunnya. Sementara yang ketiga, adalah

program yang disebut dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang

bersumber dari pemerintah pusat sekaligus juga sebagai pengganti dari

program BAGUS yang berakhir pada tahun 2007 dengan besaran biaya

sebanyak 1,4 milyar untuk membantu hampir 5.000 siswa miskin dengan

masing-masing siswa memperoleh bantuan sebesar Rp. 576.000,-

pertahunnya.

Tentang bagaimana implementasinya dilapangan, berikut ini adalah

hasil wawancara dengan beberapa siswa penerima manfaat dana Bagus,

termasuk wawancara dengan pengelolanya pada tingkat sekolah. Yang

pasti, hampir semua sekolah penerima bantuan dana Bagus, tidak serta

merta memberikan bantuan tersebut dalam bentuk pemberian bantuan uang

secara langsung kepada murid, melainkan semuanya dikelola oleh sekolah

sesuai dengan komponen peruntukan sebagaimana tercantum dalam Juknis.

Alasannya, demikian diungkapkan oleh para pihak sekolah penerima

dana BAGUS, pemberian uang tunai secara langsung kepada anak justeru

dikhawatirkan tidak mengenai sasaran karena sulit dalam pengendaliannya.

Lamun dipasihkeun artosna, saminggu oge seep (kalau diberikan uangnya,

Page 88: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

88

seminggu juga habis), kata Bapak Toto, guru olah raga sekaligus bagian

kesiswaan SMPN 4 Cianjur yang diberi tugas mengelola dana BAGUS

disekolahnya. Sebaliknya, dengan pengaturan oleh sekolah diharapkan

setiap anak bisa menikmati dan menggunakan bantuan dana dimaksud

sesuai dengan yang diharapkan.

Alasan lainnya, pihak sekolah terpaksa harus memutar otak karena

alokasi dan kuota jumlah siswa miskin yang menerima bantuan dana

BAGUS disekolahnya ternya jauh lebih kecil dibanding jumlah total anak

msikin yang diajukan. Parsisnya, kata Toto, dari 251 siswa miskin yang

diajukan pada tahun 2008, ternyata hanya 160 yang mendapatkan bantuan.

Karenanya, pihak sekolah terpaksa harus mengatur kembali pembagiannya

sesuai dengan jumlah anak miskin yang ada disekolahnya. Dan itulah pula

yang menyebabkan siswa tidak bisa memperoleh paket sesuai dengan yang

semestinya, Rp. 500.000,- persiswa dalam setahunnya.

Mardi Sucipto, salah satu siswa kelas 2 penerima dana BAGUS di

SMPN 5 Cianjur, misalnya, mengaku kalau dari sekolahnya pernah

menerima paket bantuan berupa buku tulis, seragam sekolah, baju pramuka,

kaos olah raga dan sepatu, kendati pun tidak mengetahui nilai harga dari

bantuan yang diterimanya, termasuk tidak mengetahui kalau bantuan

dimaksud berasal dari dana bantuan yang bersumber dari BAGUS.

Hal itu dikuatkan oleh pengakuan orang tuanya, Bapak Bedi yang

sehari-harinya bekerja sebagai tukang becak. Syukur we aya keneh nu

mantuan, sok sanajan teu nyukupkeun ( syukur masih ada yang membantu,

walau pun tidak mencukupi), tegasnya ketika ditanya tentang pemberian

Page 89: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

89

bantuan tersebut. Disebut tidak mencukupi, karena setiap harinya anak

masih harus mengeluarkan biaya transportasi, bahkan masih harus

mengeluarkan biaya untuk membeli keperluan sekolah yang lainnya, keluh

orang tuanya yang ternyata memiliki 7 orang anak tersebut.

Apa yang dialami Mardi Sucipto, berbeda dengan yang dialami

Nurinda, siswi kelas 2 SMPN 4 Cianjur. Anak dari seorang tukang Mie

Ayam ini mengaku telah menerima paket seperti yang diterima Mardi

Sucipto yang siswa SMPN 5 Cianjur itu. Bedanya, dari sekolahnya ia juga

menerima bantuan uang tunai sebesar Rp. 90.000,- untuk keperluan

transportasi. Hal ini dibenarkan oleh pihak sekolah yang mengatakan bahwa

setiap siswa memang memperoleh satu paket buku tulis, pakaian dan

sebagainya senilai Rp.410.000,-, dan sisanya sebesar Rp.90.000,- diberikan

tunai kepada setiap siswa untuk membantu transportasi.

Celakanya, Nurinda yang merupakan anak kedua dari 4 bersaudara

tersebut mengeluhkan kalau baju seragam yang diterima dari sekolahnya

ternyata tidak bisa dipakai karena kekecilan. Teu kaanggo, tuh masih

nagjugrug di bumi (tidak terpakai, sampai saat ini masih utuh ada di

rumah), keluh ibunya, Ibu Nuraeni, yang suhari-harinya bekerja hanya

membantu suaminya sebagai pedagang Mie Ayam. Ia juga mengeluhkan

beratnya beban biaya transportasi, termasuk uang jajan anaknya ke sekolah

yang bisa mencapai Rp.10.000,- setiap harinya, atau sekitar Rp. 250.000,-

setiap bulannya. Itu pun belum termasuk keperluan biaya sekolah yang

lainnya, sebut seperti pemberian Lembar Kerja Siswa (LKS) yang masih

sering dibebankan kepada siswa, tegas orang tuanya.

Page 90: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

90

Masalah yang sama juga dikeluhkan orang tua anak dari Nining, salah

seorang siswa penerima dana BAGUS yang masih duduk dibangku kelas 3

SMPN 3 Karangtengah. Meskipun anaknya sama memperoleh bantuan

paket baju seragam, sepatu dan alat tulis, namun tanpa ada bantuan biaya

transport sebagaimana diterima anak miskin di SMPN 4 Cianjur, namun ia

yang bekerja hanya sebagai buruh tersebut merasa begitu terbebani dengan

pungutan sekolah untuk pembelian lembar kerja siswa (LKS) yang biayanya

mencapai Rp. 7.500,- per mata pelajaran. Ia juga mengeluhkan besarnya

biaya transport sekolah anak yang setiap hari harus dikeluarkan.

Singkatnya, meskipun bantuan dana yang bersumber dari dana

BAGUS senilai Rp 500.000,- persiswa itu sedikit banyak telah membantu

meringankan beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin,

namun jika dikaitkan dengan kebutuhan riel mereka, jumlahnya ternyata

masih jauh lebih kecil dibanding dengan yang mereka butuhkan.

Masalah lainnya, jumlah kuota anak miskin yang memperoleh

bantuan ternayata juga jauh dari jumlah anak miskin yang diajukan sekolah.

Dan celakanya, kondisi itu juga diperparah oleh pihak sekolah yang

kebanyakan masih menarik biaya dari siswa, termasuk siswa dari keluarga

miskin, sebut seperti untuk pembelian LKS, kendati pemerintah juga sudah

menyiapkan dana BOS. Dan itulah pula yang menurut peneliti menjadi

salah satu kendala dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di

Kabupaten Cianjur selama ini.

Page 91: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

91

7. Dukungan Anggaran

Uraian berikut adalah penyediaan dukungan anggaran yang disediakan

pemerintah sebagai salah satu faktor atau variabel yang akan menentukan

keberhasilan implementasi Wajar Dikdas sekaligus merupakan indikator dari

komitmen pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan kebijakan Wajar

Dikdas 9 tahun pada khususnya dan pembangunan pendidikan pada umumnya

sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini :

TABEL 4.22 : TREN PENINGKATAN DUKUNGAN ANGGARAN UNTUK PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

URAIAN

TREND DUKUNGAN ANGGARAN

2004 2005 2006 2007 2008

Total APBD Kabupaten Cianjur (Rp)

578,3 M

593.7 M

940.4 M

1.1 Tr

1.3 Tr

Alokasi Anggaran Untuk Pendidikan Diluar Gaji (Rp)

40.3 M

45,1 M

70,1 M

89,6 M

86.5 M

Prosentase Dari Total APBD

6,9

7,6

7,4

7,9

6,23

Alokasi Anggaran Khusus Untuk Wajar Dikdas 9 TH (Rp) : - Sumber Pusat * - Sumber Prov** - APBD II /DAU - Total APBD II

- -

19.9 M 19.9 M

- -

23.9 M 23.9 M

14.9 M 2.5 M 21.4

38,8 M

28.9 M 16.4 M 20.0 M 65.3 M

47.2M 0.6 M 14.4 M 62.6 M

Prosentase : - Dari Total Anggaran Pendidikan - Dari Sumber APBD II/ DAU

49,4

49,4

52,99

52,99

55,34

30,52

72,8

22,32

72,3

16,6

Ket : * Dana Alokasi Khusus / DAK Untuk Rehab SD ** Dana Role Sharing untuk Rehab SD/ MI

Page 92: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

92

Cukup siginifikant, itulah kesimpulan yang bisa diangkat untuk

menjelaskan tren kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

kabupaten Cianjur yang terjadi dalam periode 2004 sampai dengan tahun 2008.

Persisnya, total APBD Kabupaten Cianjur naik dari hanya Rp. 579, 3 Milyar

pada tahun 2004 menjadi Rp. 1,3 Triliun pada tahun 2008, kenaikan lebih dari

100 persen dalam periode lima tahun. Demikian halnya anggaran yang secara

khusus dialokasikan untuk pembangunan pendidikan yang naik dari hanya

Rp.40,3 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 86,5 Milyar pada tahun 2008,

kenaikan yang juga melebihi angka 100 persen.

Namun dilihat menurut prosentasenya, kenaikan anggaran untuk

pembangunan pendidikan tersebut ternyata belum menunjukan kecenderungan

yang diharapkan, terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan Undang-undang,

bahkan cenderung menurun dari tahun 2004 yang sudah mencapai angka 6,9

persen menjadi hanya 6,3 persen pada tahun 2008, sebuah kecenderungan yang

cukup ironis juka dikaitkan dengan tuntutan publik yang meniscayakan arti

pentingnya komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Ini semua

menunjukan bahwa komitmen pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan

anggaran pendidikan sebesar 20 persen sekaligus merealisasikan visinya yang

sangat meniscayakan arti pentingnya pendidikan layak dipertanyakan.

Namun tidak demikian untuk anggaran yang secara khusus dialokasikan

untuk mendukung implementasi Wajar Dikdas 9 tahun. Buktinya, baik besaran

maupun prosentase anggaran untuk pelaksanaan Wajar Dikdas ini ternyata

mengalami peningkatan dari hanya Rp.19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi

62,6 milyar pada tahun 2008, meskipun kenaikan itu - sebagaimana bisa ditelaah

Page 93: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

93

dalam tabel - lebih banyak disumbang dari dana yang bersumber dari

pemerintah pusat (melalui DAK-nya untuk rehabilitasi SD) dan pemerintah

provinsi (melalui dana Rolesharing yang juga ditujukan untuk rehabilitasi

SD/MI dan SMP/MTs). Jika dibanding dengan total anggaran untuk

pembangunan pendidikan secara keseluruhan, prosentasenya meningkat dari

hanya 19,9 persen pada tahun 2004 menjadi 62,6 persen pada tahun 2008.

Yang memprihatinkan, tren dukungan anggaran Wajar Dikas 9 tahun

yang bersumber dari APBD asal DAU (tanpa DAK dan Rolesharing) justeru

mengalami penurunan dari 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya 16,6

persen pada tahun 2008. Jika dibanding dengan total anggaran pendidikan,

prosentasenya menurun dari 49,4 persen menjadi hanya 16,6 persen pada tahun

2008. Artinya, komitmen pemerintah daerah dalam mendukung implementasi

percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini juga layak dipertanyakan.

Dan tidak mengherankan jika pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di

Kabupaten Cianjur akan banyak mengalami masalah dan hambatan. Dikatakan

masalah atau hambatan, karena seperti ditekankan oleh Dunn (1981)

”kecukupan” (adequacy) biaya ini akan menentukan efektivitas pencapaian

kinerja sebuah kebijakan.

E. Kinerja Kebijakan

Meskipun masih jauh dari target yang telah ditetapkan, disamping masih

begitu banyak masalah dan kendala yang belum terpecahkan, namun tidak

sedikit indikator bisa diangkat untuk menjelaskan beberapa keberhasilan yang

dicapai dari pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari

keluarga miskin selama ini.

Page 94: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

94

1. Keberhasilan Meningkatkan Akses Pelayanan

Di bawah ini adalah figur yang bisa diangkat untuk menjelaskan berbagai

intervensi kebijakan atau program yang dilakukan pemerintah Kabupaten

Cianjur dalam meningkatkan akses bagi seluruh anak usia 7-15 tahun pada

umumnya, dan anak dari keluarga miskin pada khususnya:

Tabel 4.23 : Daya Tampung Lembaga Pendidikan dalam Pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun

URAIAN TAHUN

2004 2005 2006 2007 2008 Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun

388.773

393.363

398.565

402.918

407.694

Jml siswa tertampung pada jenjang SD / MI dan SMP/MTs, termasuk SDLB dan SMPLB

309.367

329.823

337.159

338.664

344.739

Jumlah siswa tertampung pd Cerdas Seatap

-

-

2.796

4.704

6.540

Jumlah siswa tertampung pd SMP Terbuka

-

1.034

1.170

1.193

1.216

Jumlah siswa tertampung pd Kelas Jauh

2.968

3.124

3.760

3.835

3.911

Jumlah siswa tertampung pd SMP Satu Atap

-

187

200

408

832

Jumlah siswa tertampung pd SMTP Mandiri

-

167

270

550

1.122

Jumlah siswa tertampung pd Pontren Cerdas

-

-

1.851

3.776

7.703

Jumlah siswa tertampung pada PKBM

4.420

6.980

5.384

8.103

8.807

Jumlah siswa tertampung pd Pontren Depag

-

-

2.240

2.634

2.875

Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung

316.755

341.315

354.830

363.867

377.745

Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak Tertampung

72.018

52.048

43.735

39.051

29.949

Prosentase anak yang tidak tertampung

18,52

13,23

10,97

9,69

7,34

Diambil dari berbagai sumber

Page 95: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

95

Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun jumlah anak usia Wajar

Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, terus mengalami peningkatan sesuai

dengan laju pertumbuhan penduduk, naik dari 388.773 anak pada tahun 2004

menjadi 402.694 anak pada tahun 2008, namun jumlah mereka yang bisa

mengakses pendidikan dasar 9 tahun, dari tahun ke tahunnya terus mengalami

peningkatan. Persisnya, jumlah mereka yang tertampung meningkat dari

316.755 pada tahun 2004 menjadi 377.745 anak pada akhir tahun 2008, atau

naik dari 81,14 persen pada tahun 2004 menjadi 92,6 persen pada tahun 2008.

Artinya, dari rata-rata 100 anak usia 7-15 tahun yang ada di Kabupaten Cianjur,

masih ada sekitar 7 anak lebih yang tidak bisa mematkan pendidikan dasarnya

sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikutnya.

Jika dilihat dari angka absolutnya, maka jumlah anak 7-15 tahun yang

tertampung di bangku sekolah, termasuk di jalur pendidikan non formal, selama

periode lima tahun pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun terjadi penambahan

sebanyak 60.990 anak, atau bertambah sebanyak 12.198 anak setiap tahunnya.

Jumlah ini jauh melebihi penambahan penduduk usia 7-15 tahun yang rata-rata

pertahunnya bertambah sebanyak 7.587 anak. Dampaknya, jumlah anak yang

tidak tertampung pada pendidikan dasar 9 tahun, sebutlah pula anak yang tidak

tersentuh kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, berkurang dari 72.018 pada tahun

2004 menjadi hanya 29.949 anak pada tahun 2008, atau turun dari 18,52 persen

pada tahun 2004 menjadi hanya 7,34 persen pada tahun 2008.

Dari tabel di atas bisa disimpulkan pula bahwa kebijakan penerapan

penyelenggaraan program jalur alternatif seperti SMP Seatap, termasuk SMP

Cerdas Seatap, pembukaan SMP Kelas Jauh, SMP Terbuka, Pontern Cerdas,

Page 96: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

96

0

2

4

6

8

10

2004 2005 2006 2007 2008

Persentase

termasuk jalur pendidikan non formal (Paket A dan B) melalui wadah PKBM-

nya, sebutlah program –program yang pro anak dari keluarga miskin, ternyata

memiliki dampak yang cukup berarti dalam membantu anak dari keluarga

miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana bisa ditelaah

dalam figur di bawah ini :

Figur 4.24 Tren peningkatan persentase daya serap jalur pendidikan alternatif dibanding dengan jumlah total siswa usia 7-15 tahun

Dari figur di atas nampak bahwa jika jalur pendidikan alternatif yang

sengaja dibangun untuk membantu akses anak dari keluarga tidak beruntung

alias miskin itu mampu menampung hanya sekitar 7.388 anak pada tahun 2004,

pada tahun berikutnya meningkat menjadi 11.512 anak, dan meningkat lagi

menjadi 17.671 anak pada tahun 2006 seerta menjadi 25.212 anak pada tahun

2007. Satu tahun berikutnya, pada tahun 2008, jumlah anak yang tertampung

dalam jalur pendidikan dasar alternatif itu meningkat menjadi 33.606. Itu semua

menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar melalui jalur alternatif

Jumlah siswa tertampung

7.388 11.512 17.671 25.212 33.606

Total siswa usia 7-15 tahun

316.755 341.315 354.830 363.867 337.745

Page 97: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

97

ini ternyata, dalam beberapa aspeknya, cukup efektif dalam membantu

meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

2. Peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah

Sebagai bahan evaluasi, di bawah ini disampaikan pula tabel yang

menunjukan tren peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah dari tingkat SD/

sederajat ke tingkat SLTP sekaligus merupakan indikator lain yang bisa

diangkat untuk menjelaskan bahwa tidak sedikit hasil yang dicapai dalam

implementasi percepatan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini.

Tabel 4.25 Tren Angka Melanjutkan Sekolah SD/MI Ke Jenjang SLTP

TAHUN PELAJARAN

JML PESERTA

UJIAN

JML LULUSAN

MELANJUTKAN

% MELANJUTK

AN

2004/2005

41,272

41,272

34,966

84.72

2005/2006

41,755

41,755

35,483

84.98

2006/2007

40,521

40,521

34,739

85.73

2007/2008

41,285

41,285

35,844

86.82

2008/2009

45,316

45,316

40,154

88.61 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur

Dari tabel di atas nampak bahwa walaupun setiap tahunnya belum

seluruh lulusan SD/MI bisa melanjutkan, namun angka melanjutkan sekolah

daritingkat SD/MI ke tingkat SLTP dalam periode lima tahun meningkat dari

34.966 siswa pada tahun 2004 menjadi 40.154 siswa pada tahun 2008, atau dari

84,72 persen menjadi 88,61 persen.

Jika dihitung menurut rata-ratanya, maka prosentase angka melanjutkan

sekolah dari SD ke SLTP tersebut jatuh pada angka 86,17. Artinya, dari rata-rata

Page 98: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

98

42.029 anak lulusan SD/MI, hanya sekitar 36.237 anak yang melanjutkan,

Dengan demikian, rata-rata setiap tahunnya masih ada sejumlah anak yang tidak

melanjutkan ke jenjang SLTP sebanyak 5.792 anak. Itu semua menjadi isyarat

kuat bahwa meskipun prosentase yang melanjutkan sekolah cenderung

meningkat setiap tahunnya, tetapi sesungguhnya masih begitu berat tantangan

yang dihadapi dalam program akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di

Kabupaten Cianjur ini. Dan hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar –

kalaupun tidak seluruhnya – yang tida melanjutkan sekolah itu adalah anak dari

kelaurga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.

3. Peningkatan Angka Partsisipasi

Merujuk kepada salah satu ukuran yang secara umum sering digunakan

dalam mengevaluasi pembangunan di bidang pendidikan, inilah indikator

penting lain yang bisa diangkat untuk mengambarkan keberhasilan atau

kegagalan dalam implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari

keluarga miskin selama ini. Persisnya, di bawah ini adalah trend angka

partisipasi sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK) maupun angka

partisipasi murni (APM) yang bisa diangkat untuk menjelaskan keberhasilan

implementasi Wajar Dikdas pada jenjang SD/MI sebagai berikut :

Page 99: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

99

0

20

40

60

80

100

120

2004 2005 2006 2007 2008

APK

APM

Figur 4.26 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan SD/MI Sederajat

Jml. Anak Usia 7-12 tahun

256.086 258.863 259.442 268.010 270.679

Jml. Total siswa SLTP Sederajat

280.875 282.853 285.813 287.233 294.276

Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 7-12 tahun

225.208 242.667 248.291 257.667 262.832

Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun pernah mengalami

penurunan pada tahun 2007, namun secara umum angka partisipasi kasar (APK)

untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI sederajat) menunjukan tren peningkatan

yang cukup berarti dari 109,67 persen pada tahun 2004 menjadi 111,63 persen

pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 1,96 point persen dalam kurun waktu

lima tahun.

Itu semua mengandung arti bahwa implementasi Wajar Dikdas pada

jenjang SD/MI sederajat yang dilaksanakan selama ini cukup efektif dalam

meningkatkan angka partisipasi sekolah, termasuk partisipasi dari mereka yang

usianya di atas 12 tahun, di atas usia SD, namun belum mampu menyelesaikan

pendidikan dasarnya. Seperti dijelaskan Kasubdin PLSPO, Drs Imam Haris,

MM, sebagian besar mereka yang mengikuti program Paket A, pendidikan

setara SD, adalah mereka yang umumnya berusia di atas 13 tahun, bahkan ada

Persen

Page 100: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

100

yang berusia 16 tahun. Pernyataan itu juga sekaligus menegaskan bahwa

kegiatan pendidikan non-formal yang digulirkan pemerintah cukup efektif

dalam program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Tren yang sama juga terjadi pada angka partsisipasi murni (APM) yang

mengalami peningkatan dari 87,94 persen pada posisi 2004 menjadi 97,10 pada

tahun 2008, atau peningkatan sebesar 9,16 point persen dalam kurun waktu lima

tahun. Itu semua menunjukan bahwa pelaksanaan Wajar Dikdas untuk jenjang

pendidikan dasar 6 tahun, jenjang pendidikan SD/MI sederajat, sudah

menunjukan keberhasilan yang cukup meyakinkan, meskipun ada sekitar 2,80

persen anak usia 7-12 tahun, atau sekitar 7.380 anak, yang karena drop out atau

alasan lainnya ternyata tidak berhasil menamatkan pendidikannya. Dan dari

hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar - kalaupun tidak

seluruhnya - dari mereka yang terpaksa tidak bisa menamatkan sekolah itu

adalah merupakan anak dari keluarga miskin yang secara khusus akan dibahas

lebih jauh dalam bagian berikutnya.

Namun untuk tingkat partisipasi pada tingkat SLTP, jenjang pendidikan

dasar 9 tahun, angka pencapaiannya ternyata masih menunjukan trend yang

masih jauh dari yang diharapkan, bahkan masih sangat memprihatinkan seperti

bisa ditelaah dalam figur di bawah ini :

Page 101: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

101

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

2004 2005 2006 2007 2008

APK

APM

Figur 4.27 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi pada Jenjang Pendidikan SLTP Sederajat

Dari tabel di atas nampak bahwa implementasi Wajar Dikdas 9 tahun di

Kabupaten Cianjur telah menunjukan hasil yang cukup berarti karena telah

mampu meningkatkan angka partsisipasi. Angka partisipasi kasar (APK),

misalnya, meningkat dari 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 87,67 persen

pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 11,64 point persen dalam kurun

waktu lima tahun.

Absolutnya, angka anak yang ada dibangku sekolah jejang SLTP

meningkat dari 100.893 anak pada tahun 2004 menjadi 120.130 pada tahun

2008, atau penambahan sebanyak 19.237 anak dalam periode lima tahun.

Jml. Anak Usia 13-15 tahun 132.687 134.500 139.123 134.908 137.015

Jml. Total siswa SLTP Sederajat 100.893 104.632 111.435 114.267 120.130

Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 13-15 tahun

91.547 98.648 106.539 106.200 114.913

Persen

Page 102: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

102

Padahal dalam kurun waktu yang sama, jumlah penduduk usia 7-15 tahun

bertambah sebanyak 4.328 jiwa, termasuk didalamnya adalah anak yang kendati

usianya sudah melebihi 15 tahun tetapi masih duduk dibangku sekolah jenjang

SLTP.

Hal yang sama juga terjadi pada peningkatan angka partisipasi murninya

(APM). Persisnya, jumlah anak usia 13-15 tahun yang sedang berada pada

bangku sekolah SLTP meningkat dari 91.547 anak pada tahun 2004 menjadi

114.913 anak pada tahun 2008, atau naik 23.366 anak selama periode lima

tahun, atau naik dari 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 83,87 persen pada

tahun 2008, atau naik sebesar 14,88 persen dalam kurun waktu lima tahun.

Seperti juga terlihat pada angka partisipasi tingkat SD/MI, terdapat

perbedaan antara pencapaian angka partisipasi kasar (APK) yang lebih tinggi

dengan angka partisipasi murni (APM) yang lebih rendah. Itu semua

menunjukan bahwa sebagian diantara anak yang selama ini aktif berada pada

bangku SLTP, adalah mereka yang umurnya di atas 15 tahun. Itulah pula anak-

anak yang selama ini banyak ditampung dalam pendidikan jalur nom formal

seperti paket B dalam wadah PKBM. Tidak berlebihan pula jika implementasi

kebijakan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini cukup besar

sumbangannya dalam membantu meningkatkan pencapaian Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) sebagimana bisa ditelaah dalam dalam tebel

berikut ini :

Page 103: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

103

Figure... Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur

Tahun RLS Melek Huruf Indeks

Pendidikan IPM

2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72

Sumber : Bappeda Kabupaten Cianjur 2008 Namun kendatipun setiap tahunnya terjadi peningkatan yang cukup

signifikan, namun posisi APK maupun APM Kabupaten Cianjur untuk tingkat

SLTP ini ternyata masih menunjukan angka yang jauh dari yang diharapkan,

lebih-lebih jika dikaitkan dengan target yang telah ditetapkan sebagaimana bisa

ditelaah dalam tabel di bawah ini :

Tabel 4.27 : Pencapaian Angka Partisipasi Sekolah SLTP dibanding Target yang Telah ditetapkan

NO INDIKATOR POSISI 2004

TARGET 2008

PENCAPAIAN 2008

KETERANGAN

1 Angka Partisipasi Kasar (APK)

76,03

104 %

87,67

Minus 16,33 point persen dibanding target

2 Angka Partisipasi Murni (APM)

68,99

96,40 %

83,87

Minus 12,53 point persen dibanding target

Apa yang bisa ditegaskan dari figur di atas adalah bahwa meskipun

implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini telah menunjukan

hasil yang efektif yang antara lain ditandai dengan adanya peningkatan angka

partisipasi, baik angka partisipasi kasar (APK) atau angka partisipasi murninya

(APM), namun jika dibandingkan dengan target yang telah ditentukan

sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka angka

Page 104: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

104

pencapaiannya ternyata masih menunjukan angka yang jauh dari yang

diharapkan. Meminjam istilahnya Andrew Dunsire, dalam Wahab (1997:61),

masih ada “Implementation gap” atau kesenjangan antara kinerja yang

diharapkan dengan realitas hasil yang dicapai sebagai akibat dari adanya

“implementation capacity” dari para pelaku kebijakan.

Persisnya, dari target APK tahun 2008 sebesar 104 persen, ternyata

hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau masih terdapat kesenjangan atau

kekurangan sebesar 16,33 poin persen. Hal yang sama terjadi pada pencapaian

APM. Dari target tahun 2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai

angka 83,87 persen, atau masih kekurangan sebesar 12,53 point persen.

Fakta di atas sekaligus memperkuat apa yang dikatakan Eugene Bardach

(1991) dalam Leo Agustino (2006) yang mengatakan “adalah cukup untuk

membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas

kertas. Namun yang paling sulit adalah melaksanakannya dalam bentuk yang

memuaskan semua orang”

Singkatnya, meskipun implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun

melaui berbagai bentuk programnya telah berhasil menyentuh dan sekaligus

membantu meningkatkan akses anak dari keluarga miskin dalam mengakses

pendidikan dasar sebagai bagian dari haknya, termasuk sangat membantu dalam

meningkatkan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai salah satu indikator

peningkatan IPM, namun masih banyak diantara mereka yang karena

kemiskinan dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu ternyata belum

tersentuh. Karenanya, efektivitas implementasi kebijakan percepatan Wajar

Dikdas 9 tahun selama ini layak dipersoalkan, atau paling tidak dipertanyakan.

Page 105: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

105

Tegasnya, dari dimensi equality-nya, selama ini pemerintah, melalui

kebijakan-kebijakannya, telah memberikan kesempatan yang sama kepada

seluruh anak, termasuk anak dari keluarga miskin untuk memperoleh

kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dasarnya. Namun karena

keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, pemerintah belum mampu

memenuhi semua tuntutan dan kebutuhan pendidikan mereka sehingga aspek

efektivitas kinerja kebijakan dilihat dari dimensi “equity”-nya masih

menyisakan banyak beban dan garapan.

G. Potret Anak dari Keluarga Miskin yang Belum Tersentuh Kebijakan

Inilah potret dari sebagian anak yang pada saat dilakukan penelitian

belum banyak tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Jika dalam

uraian sebelumnya diuraikan mengenai hasil-hasil dari pelakasanaan kebijakan

Wajar Dikdas 9 tahun yang antara lain ditandai dengan pencapaian angka

partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP, maka

dalam uraian berikut ini akan diangkat sejumlah kasus anak dari keluarga

miskin, yakni anak usia 7-15 tahun yang pada saat diteliti belum atau bahkan

tidak tersentuh dengan kebijakan yang dilaksanakan.

Deskripsi tentang apa yang menjadi faktor penyebab anak dari keluarga

miskin tidak melanjutkan sekolah dilihat dari persepsi anak dan keluarga atau

orang tuanya, baik sikap atau kondisi ekonominya, termasuk kondisi sosialnya,

adalah fokus utama yang akan diangkat dalam sub bab ini. Melalui deskripsi

ini, gambaran mengenai ketidaksesuaian atau ”diskrepansi” antara layanan

pendidikan dasar yang diberikan pemerintah (suply side) dengan tuntutan atau

kebutuhan anak dari keluarga miskin (demand side) bisa diangkat dan dikaji.

Page 106: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

106

Dan di situlah pula efektivitas kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9

tahun yang dilaksanakan selama ini bisa dikaji dan dievaluasi lebih dalam lagi.

1. Potret Sejumlah Kasus

Many children left behid, tulis Deborah Meier (2005), seorang penulis

sekaligus praktisi pendidikan di daratan Amerika Serikat, dikutip Rohmat

Mulyana (2007) untuk menggambarkan sekaligus mengkritisi disparitas

pendidikan antara rakyat miskin alias kurang beruntung dengan mereka yang

kaya. Itulah pula salah satu potret buram yang terjadi dalam penyelenggaraan

pendidikan di negeri ini, bahkan untuk penyelenggaraan pendidikan tingkat

dasar sekalipun. Dan di situlah pula penyelenggaraan pendidikankita, khususnya

Wajar Dikdas 9 tahun yang sangat diniscayakan dalam Undang-undang

sesungguhnya digugat.

Banyak sekali faktor yang selama ini hadir menjadi alasan seorang anak

tidak melanjutkan sekolah, kendati pun pemerintah, melalui kebijakan-

kebijakannya, telah berupaya untuk mempermudah akses masyarakat terhadap

layanan pendidikan, khususnya layanan pendidikan dasar 9 tahun. Seperti

diungkapkan Paulo Freire (1995), sebagai kaum marginal, mereka adalah anak-

anak yang mengalami kesulitan akses pendidikan karena faktor kemiskinan,

hambatan geografis, bias gender, atau karena faktor kecacatan (difable –

defferent ability). Bahkan bagi mereka, belajar dilembaga pendidikan yang

berkualitas menjadsi sesuaru yang sangat mahal.

Rahmat (14 tahun) yang beralamat di kawasan perumahan padat yang

ada kelurahan Sayang Cianjur kota, misalnya, terpaksa tidak melanjutkan

sekolah setelah tamat SD pada tahun 2006. Alasannya, ia cenderung lebih

Page 107: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

107

memilih memenuhi ajakan ibunya untuk ikut berdagang keliling kampung

ketimbang memenuhi ajakan gurunya untuk melanjutkan sekolah ke tingat

SLTP yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan orang tua dan

anaknya mengetahui kalau penyelenggaraan pendidikan dasar di daerahnya,

melalui program BOS-nya, telah dibebaskan dari segala bentuk iuran alias

gratis. Di sini, masalah biaya sekolah, khsusnya biaya langsung – direct cost

bukanlah perupakan masalah utama karena ada faktor lain yang selama ini

menjadi kendala bagi anak miskin dalam mengakses pendidikan.

Dari hasil wawancara terungkap bahwa beban berat hidup keluarga

dengan segala dampak psikologisnya terhadap sikap dan perilaku anak yang

diperkuat dengan miskinnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya

pendidikan, hadir menjadi penyebab dominan anak bernama Rahmat yang

memiliki ayah hanya sebagai kuli kasar itu tidak melanjutkan sekolah.

Apa yang dialami Rahmat juga dialami oleh Diki (15), anak dari seorang

ayah yang memiliki pekerjaan hanya sebagai tukang becak dan ibunya sebagai

tukang cuci baju tetangganya. Persisnya, Diki yang beralamat di Rancabali

Cianjur kota itu terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah pada kelas V SD

lantaran kurang memperoleh perhatian sama sekali dari orang tuanya. Seperti

dialami keluarga Rahmat, maka beban berat ekonomi keluarga serta kesadaran

orang tua akan arti pentingnya pendidikan hadir menyatu menjadi faktor

penyebab si anak harus meninggalkan bangku sekolah. Kasus ini sesuai dengan

tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979) yang mengeaskan bahwa kemampuan

ekonomi masyarakat yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan

semangat anak untuk melanjutkan pendidikan.

Page 108: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

108

Pengalaman yang harus dijalani anak bernama Ai Siti Aminah (15) yang

beralamat di Desa Sukagalih Kecamatan Mande lebih memprihatinkan lagi.

Meskipun motivasi ia untuk melanjutkan sekolah cukup tinggi, bahkan sampai

sempat menangis-nangis ingin melanjutkan sekolah, namun si anak pada

akhirnya harus puas menikmati pendidikan hanya sampai tingkat SD.

Alasannya, ayahnya yang hanya seorang buruh kuli itulah yang justeru

melarangnya melanjutkan sekolah dengan alasan takut tidak bisa membiayai

kebutuhan pendidikan anaknya.

Dari hasil wawancara terungkap bahwa biaya yang dikeluhkan bukan

berkait dengan kebutuhan bayaran sekolah yang diketahuinya telah dibebaskan

pemerintah, tetapi menyangkut kebutuhan sekolah yang lainnya, terutama

perlengkapan sekolah seperti baju seragam, sepatu dan sejenisnya.

Itulah pula alasan yang banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin

yang lainnya. Suryana (15) yang merupakan anak pertama dari pasangan

Lukman dan Ny. Masliah asal Desa Saganten Kecamatan Sindangbarang

terpaksa hanya bisa menikmati bangku sekolah kelas satu Madrasah Tsanawiyah

(MTs) selama 15 hari hanya karena merasa kasihan kepada orang tuanya yang

kondisi ekonominya dalam keadaan morat marit. Persisnya, si anak merasa

kasihan sekaligus takut kalau orang tuanya kelak tidak bisa memenuhi banyak

kebutuhan sekolah yang perlu dilengkapinya. Di sini, masalah motivasi anak

dan beban ekonomi keluarga hadir saling memperkuat menentukan sikap anak

dan keluarga terhadap pendidikan.

Sangat berbeda dengan yang dialami oleh anak-anak dalam kasus di atas

adalah beberapa kasus yang dialami oleh anak di bawah ini. Leman (15) yang

Page 109: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

109

beralamat di Desa Mekarsari Cikalongkulon, misalnya, terpaksa tidak bisa

melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP bukan karena tidak mendapat dukungan

dari orang tuanya, tetapi lebih karena faktor motivasi yang dimiliki anaknya

sendiri. Ah abdi mah alim sareng males we (ah tidak mau dan saya ini malas

saja), kata si anak sambil mengekspressikan keinginannya untuk membantu

pekerjaan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah. Di sini, kondisi

kemiskinan keluarga dengan banyak dimensinya adalah akar yang menjadi

penyebab hilangnya motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan.

Hal yang sama juga dialami oleh Rita (14), anak kedua dari lima

bersaudara pasangan U Suherlan dan Ny. Rani yang beralamat di Desa

Mekarwangi Kecamatan Ciranjang. Dalam kasus ini, meskipun orang tuanya

terus mendorong anaknya untuk kembali masuk sekolah, namun Rita terpaksa

meninggalkan bangku sekolah pada kelas IV SD karena merasa malu terlalu

sering tidak masuk sekolah berkait dengan sakit yang sering dideritanya.

Faktor psikologis yang ditandai dengan perasaan rendah diri merupakan

alasan lain kenapa seorang anak tidak mau melanjutkan sekolah. Itulah pula

yang antara lain dialami oleh beberapa anak berikut ini. Aris (15), misalnya,

terpaksa meninggalkan bangku sekolah dasar (SD) pada tahun 2006 bukan

semata karena faktor ekonomi orang tua yang memang miskin, tetapi lebih oleh

karena faktor psikologis berupa perasaan minder yang tak jarang diciptakan

lingkungan sekolahnya.

Menurut penjelasan orang tuanya, Empep yang hanya pedagang asongan

dilingkungan sekolah itu, Aris yang beralamat di Desa Jamali Kecamatan

Mande itu tidak mau sekolah karena sering diolok-olok teman sekolahnya

Page 110: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

110

sendiri dengan sebutan ”si begang” (kurus), ”si penyol” (lonjong) dan

sebagainya. Dan ironisnya, cemoohan yang sering menekan secara psikologis

sekaligus membuat minder anak itu justeru tak jarang dilakukan oleh gurunya

sendiri, tegas Aris dan keluarganya.

Bahkan oleh orang tua dan kakeknya, Aris telah dicoba dan berkali-kali

dimotivasi untuk bisa pindah sekolah, namun ia tetap memilih meninggalkan

bangku sekolah lantaran faktor psikologis yang dialaminya. Dari kasus ini bisa

diangkat bahwa lingkungan sekolah, bukan semata lingkungan keluarga,

termasuk kesadaran orang tuanya, apalagi semata faktor ekonomi, merupakan

faktor penting lain yang turut berpengaruh sekaligus menjadi alasan kenapa

seorang anak tidak melanjutkan sekolah.

Itulah pula yang dialami oleh beberapa anak yang lainnya. Nunang (14)

yang hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas IV SD pada tahun 2003

tidak mau melanjutkan sekolah karena merasa malu kalau usianya sudah terlalu

tua usia untuk kembali melanjutkan sekolah setingkat SD. ”Ah era geus gede”

(ah malu sudah besar), ujarnya ketika dimintai alasan kenapa ia tidak

melanjutkan sekolah. Padahal jarak jauh antara sekolah dan rumahnya hanya

sekitar 200 meter, bahkan pemerintah telah menyediaakan layanan pendidikan

bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang jaraknya juga tidak

jauh dari tempat tinggalnya.

Itulah pula yang dialami oleh Santi (15), anak kedua dari enam

bersaudara yang beralamat di Desa Jambudipa Kecaamatan Warung Kondang.

Persisnya, Santi yang tamat SD pada tahun 2005 itu, kini tidak mau melanjutkan

kejenjang SLTP yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya itu

Page 111: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

111

karena merasa malu berkait dengan usianya yang sudah menginjak umur 15

tahun, usia dimana teman-temannya sudah bisa menyelesaikan pendidikan

jenjang SLTP.

Kasus berikut lebih memprihatinan lagi. Meskipun dorongan dari orang

tuanya kuat, namun Jali (13), anak tunggal dari pasangan Basiri dan Ny.Lilis

yang beralamat di Desa Purabaya Kecamatan Leles terpaksa meninggalkan

bangku sekolah kelas satu SMP pada tahun 2007 hanya karena merasa dirinya

memiliki kekurangan secara fisik, cacat kaki. ”Isin pa, pan abdi cacat

sampean” (malu pak, kan saya ini punya cacat kaki), keluhnya ketika ditanya

alasan tidak melanjutkan sekolah.

Singkatnya, bahwa dorongan orang tua saja tidaklah cukup karena aspek

motivasi dan kesadaran anak juga sangat berpengaruh. Caca (13), misal lain,

anak tunggal pasangan Mumuh dan Ny.Sarwati yang beralamat di Desa

Sukajaya Kecamatan Leles Cianjur Selatan itu terpaksa tidak melanjutkan

sekolah ke jenjang SLTP bukan karena tidak didukung orang tuanya,

melainkan karena anaknya sendiri yang memang ngotot tidak mau melanjutkan.

Alasannya, ia lebih senang bermain alias keluyuran dengan motor (bodong)

yang dibelikan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah ke SMP Satu Atap

yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumahnya.

Faktor jarak jauh antara rumah dengan lokasi sekolah, adalah merupakan

salah satu determinan penting yang selama ini hadir menjadi alasan kenapa

masih banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah. Itulah pula yang terutama

banyak dialami oleh anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di daerah-

daerah terpencil, terutama di daerah Cianjur selatan. Hal ini menunjukan bahwa

Page 112: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

112

program-program Wajar Dikdas 9 tahun yang selama ini digulirkan pemerintah

belum mampu menyentuh dan menjawab persoalan yang dimiliki anak dari

keluarga miskin.

Ami Diyanti (13), anak dari pasagan Ibu Sinah dan Iskandar yang

pendidikanya haya tamatan SD degan pekerjaan sebagai buruh tani di Desa

Sirnagalih itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah se jenjang SLTP hanya karena

jauhnya jarak, sekitar 7 km. Bahkan untuk bisa masuk jalur pendidikan

nonformal berupa Kejar Paket B pun ia harus menempuh jarak sekitar 6 km.

Kondisi itu diperkuat oleh masalah beban ekonomi keluarga, disamping karena

si anak tidak mau sekolah karena merasa dikampungnya tidak punya teman

sejenis, yakni teman sesama perempuan.

Ketersediaan tenaga pendidikan seperti guru atau tenaga pengajar

merupakan masalah lain yang selama ini sangat berpengaruh dalam menunjang

keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun. Yuyu Yuningsih (14) yang anak seorang

tukang baso dan bertempat tinggal di desa Sukamulya Kecamatan Mande,

misalnya, terpaksa meninggalkan proses belajar dalam bentuk Paket Kejar B

yang disediakan Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur hanya karena guru

pengajarnya yang jarang datang. Di sini, efektivitas layanan pendidikan non-

formal yang disediakan pemerintah dipertanyakan. Bahkan anak bernama

Yuyu ini pernah berkeinginan untuk pindah ke SMP terbuka namun akhirnya

mengurungkan diri lantaran tidak mampu menyediakan biaya untuk membeli

kaos olah raga dan baju seragam, bahkan untuk uang jajan. Dalam konteks ini,

kondisi atau lingkungan internal sekolah menjadi masalah tersendiri bagi anak

dari keluarga miskin.

Page 113: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

113

Demikian halnya yang dialami oleh anak bernama Agung (12), anak ke

tiga dari 5 orang anak paasangan Adang dan Ny. Tini yang beralamat di Desa

Cipanas Kecamatan Cipanas yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada

kelas IV SD pada tahun 2005. Alasannya bukan oleh karena masalah beratnya

membayar SPP seperti sebelum ada pembebasan biaya sekolah, tetapi lebih oleh

karena ketidakmampuannya untuk bisa membeli perlengkapan seolah seperti

untuk membeli buku, seragam, bahkan untuk membayar iuran keterampilan

yang masih diminta oleh pihak sekolah.

Alasan karena orang tuanya ingin melanjutkan pendidikan anaknya ke

pesantren, adalah faktor lain yang di kabupaten Cianjur cukup berpengaruh

terhadap upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Kecenderungan ini sesuai

dengan budaya ”ngaos” yang memang melekat kuat dalam kehidupan

masyarakat Cianjur, tegas beberapa tokoh masyarakat yang sempat

diwawancarai. Itulah yang antara lain dialami oleh Yuyu (14), anak ke tujuh

dari tujuh anak pasangan Supriatna dan Ny. Popon yang pendidikannya hanya

tamat SD itu. Itulah pula yang dialami oleh Yusuf (15), anak ke dua dari empat

bersaudara yang bertempat tinggal di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara

yang meninggalkan bangku sekolah hanya sampai kelas V SD pada tahun 2004

hanya karena cita-citanya ingin jadi ustadz.

Hal yang sama juga dialami oleh Siti Nurhaeni (14), satu dari empat

anak pasangan Ujang Husen dan Ny. Enok Sadiah yang beralamat di Desa

Bobojong Kecamatan Mande. Bedanya, jika Yusuf masuk pesantren karena

memang ingin jadi ustadz, maka Siti Nurhaeni masuk pessantren karena desakan

ekonomi.

Page 114: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

114

Persisnya, setelah anak dari pasangan orang tua yang pekerjaanya hanya

sebagai buruh itu lulus SD pada tahun 2006, ia didorong orang tuanya

melanjutkan pendidikan ke Pesantren dengan alasan faktor biaya yang ditangkap

dari ceritera para orang tua yang mejadi tetangganya. Nahasnya, baru dua bulan

di pesantren anaknya sudah dibawa pulang karena ketidakmampuan orang tua

untuk memberi bekal makan anaknya. Karena kemiskinan, singkatnya, si anak

haris rela tidak bisa menikmati pendidikan, bahkan untuk pendidikan pesantren

yang tidak memungut biaya sekali pun.

2. Beberapa Faktor Utama Penyebab

Apa yang dialami oleh banyak anak dari keluarga miskin seperti yang

diangkat dalam beberapa kasus di atas sesungguhnya hanyalah merupakan

representasi saja dari sekian banyak kasus yang sama, atau setidaknya

cenderung sama, yang umumnya banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin

yang lainnya.

Persisnya, dari 270 anak yang tinggal di 270 Desa / Kelurahan yang

sengaja diwawancarai dan diobservasi dalam penelitian ini, dan setelah

dilakukan klasifikasi atau kategorisasi, maka setidaknya ada empat faktor

dominan yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten

Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik dropout di

tengah jalan, maupun tidak melanjutkan sekolah.

Dari hasil penelitian pula terungkap bahwa masing-masing faktor

tersebut tidak selamanya hadir secara terpisah dari faktor yang lainnya,

melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua

Page 115: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

115

faktor yang lainnya. Pengklasifikasian di sini dibuat sekadar untuk memudahkan

analisis sekaligus menjelaskan faktor dominan paling berpengaruh yang selama

ini muncul menjadi penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau

putus sekolah.

Pertama, dan yang paling utama, adalah menyangkut faktor ekonomi

keluarga, sebutlah beban berat ekonomi keluarga. Inilah pula faktor yang pada

akhirnya banyak mempengaruhi lahirnya faktor penyebab lain, sebutlah seperti

menyangkut faktor kesadaran atau motivasi, baik motivasi anak maupun orang

tuanya, bahkan motivasi kedua belah pihaknya.

Fakta di atas sesuai dengan hasil sebuah penlitian terkini yang dilakukan

El findri dan Davy (2006), dalam Devy Hendri (Kompas, 30 Juli 2007) yang

menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak

dari keluarga miskin adalah karena jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor

kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama.

Masalah pokoknya muncul ketika tuntutan biaya yang dibutuhkan untuk

menyekolahkan anaknya harus menyedot tuntutan biaya untuk memenuhi

keseharian hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan sangat primer karena

menyangkut pemenuhan perut atau makan sehari-hari mereka. Kecenderungan

tersebut diperparah oleh besarnya beban hidup yang harus ditanggung oleh

keluarga miskin lantaran besarnya jumlah anak yang dimiliki mereka.

Hasil penelitian ini juga mengungkapkan, semakin miskin sebuah

keluarga, maka akan semakin besar keinginan untuk memiliki banyak anak. Hal

ini juga sesuai dengan tesis yang dikembangkan para ahli demografi – sosiologi

yang menegaskan bahwa besarnya anak bagi keluarga miskin adalah investasi.

Page 116: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

116

Itu sebabnya, semakin miskin sepasang keluarga, maka akan semakin banyak

kemungkinan anak yang mereka miliki. Buat mereka, anak adalah mesin

produksi yang diharapkan bisa membantu meringankan beban ekonomi

kelauraga.

Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa masalah beban berat

ekonomi di sini bukan menyangkut besarnya biaya yang harus dipenuhi anak

untuk membayar iuran sekolah yang memang sudah dibebaskan pemerintah,

melainkan menyangkut biaya untuk keperluan seperti seragam, baju olah raga,

biaya transportasi, bahkan biaya jajan anak, adalah beberapa komponen lain

yang mesti diperhitungkan dalam pembiayaan pendidikan.

Jelasnya, beban biaya tidak langsung, atau indirect cost, itulah yang

menjadi masalah berat yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin dalam

mengakses layanan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Bahkan bagi mereka yang

sangat miskin, anak justeru ditarik dari sekolah dengan maksud hanya untuk

membantu meringankan beban hidup keluarga, bahkan anak dibiarkan bermain

keluyuran. Di situlah pula arti pentingnya mempertimbangkan apa yang dalam

konsep ekonomi pendidikan disebut dengan opportunity foregone (kesempatan

yang hilang) yang mesti dipertimbangkan dalam membicarakan pembiayaan

pendidikan, lebih-lebih bagi anak dari keluarga miskin.

Kedua, adalah faktor kesadaran, baik menyangkut kesadaran orang tua

maupun kesadaran anaknya sendiri, bahkan menyangkut kesadaran kedua-

duanya, yakni kesadaran anak dan orang tuanya. Persisnya, dari banyak kasus

anak tidak bersekolah yang diteliti, sebagian diataranya terjadi karena berkait

dengan persoalan miskinnya kesadaran atau awarnesses mereka. Kondisi ini

Page 117: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

117

diperkuat oleh tingkat pendidikan orang tua mereka yang secara rata-rata

memang tidak lebih dari tamatan SD, bahkan banyak yang tidak tamat SD.

Namun perlu dicatat bahwa faktor kesadaran di sini tidaklah berdiri

sendiri atau lepas dari faktor lainnya yang memang merupakan karakter khas

dari keluarga miskin. Jelasnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa

kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan menjadi berkurang lantaran

memang terdesak oleh tuntutan hidup yang dihadapi mereka. Karena begitu

beratnya beban hidup yang harus ditanggung mereka, misalnya, motivasi

mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi berkurang.

Faktor jarak jauh antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah,

ketiga, adalah merupakan masalah berat tersendiri yang selama ini menjadi

penyebab sebagian anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus

sekolah. Dari banyak kasus anak tidak sekolah yang diteliti, sebagiannya

mengeluh karena masalah biaya transportasi. Dalam konteks itu, efektivitas

semua kebijakan yang diimplementasikan pemerintah selama ini jelas-jelas

belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga

miskin, dan karenanya layak dipertanyakan.

Bahkan karena sangat jauh dan langkanya sarana transportasi, ada

diantara mereka yang setiap harinya harus mengeluarkan biaya transport saja

tidak kurang dari Rp. 50.000,-, sebuah angka yang jauh lebih besar dibanding

besarnya iuran yang dibebaskan pemerintah. Itulah pula faktor yang selama ini

belum banyak dijawab dalam implementasi kebiajakan Wajar Dikdas. Seperti

pernah ditegaskan pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia,

Nanang Fatah (Kompas, 20 Desember 2006), salah satu kesulitan masyarakat

Page 118: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

118

dalam mengakses pendidikan berkait dengan persoalan transportasi karena

selama ini pemerintah tidak memperhitungkan jarak jangkauan calon siswa

dengan sekolah.

Bahkan jauhnya jarak yang terpaksa sering harus ditempuh anak dari

keluarga miskin – karena ketiadaan infrastruktur jalan serta sarana transfortasi –

adalah contoh dari bentuk pengorbanan yang tak jarang hadir menjadi beban

berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan.

Meminjam istilahnya Thomas Yanes (1985), Non – monetary cost, itulah faktor

lain yang selama ini tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari

keluarga miskin dalam mengakses pendidikan

Itulah pula faktor ketiga yang selama ini jadi penyebab lain anak dari

keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Masalah ini tak

jarang diperburuk oleh beratnya beban kehidupan ekonomi keluarga mereka,

disamping aspek kesadaran atau motivasi mereka terhadap pendidikan yang

memang rendah. Di sini, efektivitas layanan pendidikan yang dilakukan

pemerintah saat ini juga layak dipertanyakan karena belum mampu menjawab

kondisi riel kehidupan anak dari keluarga miskin.

Seperti diungkapkan oleh Drs. Dadang, Kepala SMP Sukaresmi 1 yang

menjadi sekolah Induk SMP Terbuka yang mengatakan : bahwa ”hanya sekitar

70 persen dari murid-muridnya yang rtin mengikuti kegiatan belajar”.

Alasannya, tegasnya pula, ”anak-anak yang selruhnya berasal dari keluarga

miskin itu sering bolos karena memang diajak orang tuanya, kalau bukan karena

memang motivasi anaknya sendiri yang rendah, yang menjadi penyebab anak

sering tidak hadir mengikuti proses pembelajaran”.

Page 119: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

119

Hal itu didukung pula oleh tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979)

yang menegaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat miskin yang rendah

dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Parahnya, demikian pernah terlontar

dari beberapa tokoh masyarakat di Cianjur selatan, bahwa tidak jarang anak

yang sedang sekolah ditingkat SMP terpaksa harus meninggalkan bangku

sekolah hanya karena ada iming-iming mau diajak bekerja keluar negeri

(umumnya jadi pembantu rumah tangga) oleh oknum dari penyalur tenaga kerja

yang selama ini menjadi masalah pelik tersendiri bagi pemerintah dalam upaya

untuk mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdasnya, bahkan menjadi

masalah pelik dan kompleks tersendiri dalam menaggulangi masalah

”trafficking” yang tak jarang muncul di kabupaten Cianjur.

Keempat, adalah menyangkut faktor psikologis seperti perasaan

rendah diri atau minder, baik karena status sosialnya yang memang miskin

maupun karena faktor kelainan atau cacat fisik yang dimilikinya, termasuk

didalamnya faktor psikologis karena memang anaknya yang karena berbagai hal

malas bersekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silverstein dan Krate,

dikutip Saratri Wilonoyudho (Kompas, 16 Mei 2005) yang mengungkapkan

bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang umumnya tinggal di daerah kumuh

atau tertinggal / terisolasi menyebebkan mereka memiliki sifat kurang percaya

diri dan penghargaan pada diri sendiri rendah (low self esteem).

Hasil penelitian itu juga sesuai dengan pendapatnya Oscar Lewis (1961)

yang banyak melihat kemiskinan lebih dari aspek budaya – budaya kemiskinan

(culture of poverty) – yang menegaskan bahwa dilihat dari perilaku

Page 120: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

120

kesehariannya, budaya miskin itu tampak dari tanda-trandanya seperti merasa

tidak berharga, tidak berdaya, rendah diri dan ketergantungan.

Salah satu wujud kongkritnya, sebagian diantara mereka terpaksa

meninggalkan bangku sekolah hanya karena tidak mampu membeli sepatu atau

baju seragam seperti halnya yang bisa dilakuan oleh anak-anak yang lainnya.

Sebagian diantaranya tidak mau melanjutkan sekolah lantaran merasa umurnya

sudah berada di atas umur anak yang lainnya kalau bukan karena malu karena

cacat tubuh yang dimilikinya. Bahkan sebagian dintaranya terpaksa

meninggalkan bangku sekolah hanya karena merasa tertekan berkait dengan

berbagai tindakan kekerasan yang tak jarang diterima anak, terutama dalam

bentuk kekerasan mental yang terkadang harus dihadapi dilingkungan

sekolahnya. Di sini, kondisi lingkungan internal sekolah turut memperparah

penderitaan anak dari keluarga miskin. Itulah faktor kelima yang dari hasil

penelitian ini terangkat sebagai penyebab lain kenapa anak dari keluarga miskin

tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya.

Page 121: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

121

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk

mendeskripsikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan fokus dan

pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan

uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama

yang ditekankan pada fokus penelitian.

Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan

Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan

bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan

mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh

kebijakan akan dibahas.

Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu

strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas

pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan

upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari

keluarga miskin.

A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh

Secara umum, dari hasil penelitian terungkap bahwa meskipun

kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur

ini telah memiliki arah yang jelas dan dukungan kebijakan yang kuat, namun

pada tataran implementasinya masih menunjukan banyak kelemahan dan

kekurangan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya untuk menenuntaskan

220

Page 122: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

122

Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin sesuai dengan fokus

penelitian ini.

Adalah misi dan visi Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah

menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu agenda

sentralnya. Bahkan dari empat misi yang telah ditetapkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sekaligus menjadi acuan

perencanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur, satu misi diantaranya berisi

tentang arti pentingnya pembangunan pendidikan dengan fokus pada penuntasan

Wajar Dikdas 9 tahun.

Bukan hanya itu, adalah Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan

dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit dan dengan begitu

tegas telah menetapkan bahwa dari tujuh tujuan dan sasaran prioritas yang

sekaligus merupakan arah kebijakan yang akan ditempuhnya, agenda

penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan salah satu prioritasnya. Bahkan

arah kebijakan ini juga ditunjang oleh dua tujuan atau sasaran yang lainnya,

yakni upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan upaya

peningkatan mutunya, dua besaran sasaran program yang apabila bisa

diimplementasikan akan sangat besar sumbangannya dalam upaya mempercepat

program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Jelasnya, kebijakan yang ditujukan kepada upaya pemerataan, maka

pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan

masyarakat, tidak terkecuali masyarakat yang kurang beruntung alias miskin

yang selama ini masih banyak menyisakan sasaran.

Page 123: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

123

Melalui kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu, maka

implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa

dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar target kuantitas yang ditandai

dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, baik APK maupun APM,

melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan bekal pengetahuan dan

keterampilan dasar yang sangat diniscayakan setiap warga masyarakat,

khususnya bagi anak dari keluarga miskin sebagai modal utama untuk bisa

mengakses hak-hak hidupnya, sebut pula memberdayakannya.

Dari hasil kajian peneliti, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun

yang dilakukan di Kabupaten Cianjur saat ini memiliki landasan yang cukup

kuat dan strategis. Tidak saja karena didukung oleh kebijakan-kebijakan yang

telah dirumuskan dan ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat,

melainkan diperkuat pula oleh visi dan misi pemerintah Kabupaten Cianjur yang

secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas

Pendidikan Kabupaten Cianjur 2006-2011.

Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya kebijakan

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pelaksanaan Wajar Dikdas 9

tahun merupakan realisasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5

tahun 2006 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9

Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) dan Pemberantasan Buta Aksara.

Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat,

pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan bagian dari upaya strategis

dalam rangka pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang

Page 124: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

124

ditargetkan bisa mencapai angka 80 pada tahun 2010 sebagaimana bisa ditelaah

dalam chart di bawah ini :

PENCAPAIAN VISI JAWA

BARAT MELALUI IPM 80 TH 2010

INDEKS PENDIDIKAN

INDEKS KESEHATAN

INDEKS DAYA BELI

RATA-RATA LAMA

SEKOLAH

MELEK HURUF

UMUR HARAPAN

HIDUP

PENDAPATAN PER KAPITA

WAJAR DIKDAS

9 TAHUN

GAMBAR 5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN DENGAN PENCAPAIAN IPM JAWA BARAT

Dari gambar di atas nampak bahwa pelaksanaan program akselerasi

penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun disamping memiliki posisi yang strtaegis

dalam menunjang peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) dan peningkatan

buta aksara sebagai faktor penentu indeks pendidikan sebagai salah satu

komponen penting peningkatan IPM. Tidak sampai di situ, keberhasilan

pelaksanaan Wajar Dikdas juga secara tidak langsung akan besar pula

sumbangannya terhadap upaya untuk mendukung peningkatan dua indeks IPM

yang lainnya, yakni indeks kesehatan dan daya beli.

Namun sebaliknya, upaya untuk meningkatkan Wajar Dikdas sendiri

pada akhirnya akan pula banyak ditentukan oleh keberhasilan peningkatan

derajat kesehatan dan juga tingkat daya beli masyarakat. Di situlah pula arti

pentingnya mengintegrasikan pelaksanaan Wajar Dikdas itu dalam kaitannya

dengan upaya untuk meningkatkan sektor pembangunan yang lainnya, dalam

hal ini adalah pembangunan disektor kesehatan dan peningkatan daya beli

masyarakat.

Asumsinya, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan

semakin meningkat pula sikap, kesadaran dan perilaku kesehatannya. Padahal

Page 125: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

125

menurut Hendrik Blumm, faktor sikap dan perilaku masyarakat ini akan sangat

menentukan derajat kesehatan mereka. Juga, semakin tinggi pendidikan sebuah

masyarakat, maka akan semakin besar pula pengtetahuan dan keterampilan yang

memunginkan mereka bisa mengakses peluang untuk meningkatkan taraf

kesejahteraannya.

Itulah gambaran mengenai letak strategisnya pelaksanaan wajar Dikdas

9 tahun dalam upaya untuk mendukung peningkatan indeks pembangunan

manusia (IPM). Menurut kajian peneliti, itulah pula peluang yang sesungguhnya

bisa dijadikan salah satu kekuatan utama untuk menarik dukungan seluruh

sektor, termasuk dukungan masyarakat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9

tahun di kabupaten Cianjur. Di situlah pula kemampuan para stakeholders di

bidang pendidikan untuk melakukan advokasi tentang arti pentingnya

pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diuji dan ditantang.

Tidak sampai di situ, letak strategisnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9

tahun itu diperkuat pula oleh visi dan misi kabupaten Cianjur yang secara

eksplisit telah mencantumkan program perecepatan Wajar Dikdas 9 tahun

sebagai prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.

Yang tidak bisa diabaikan, adalah kebijakan Bupati Cianjur yang sejak

dilantik secara resmi menjadi Bupati Cianjur telah mendeklarasikan tentang

”Pendidikan Gratis” untuk tingkat SD/MI sampai dengan SLTP yang sudah

sering disampaikan dalam berbagai kesempatan penting. Intinya, tidak

dibenarkan bagi sekolah (SD/MI dan SLTP) yang mendapatkan bantuan dari

pemerintah melakukan pungutan biaya apa pun kepada siswa atau orang tua

siswa. Pernyataan politis itu sekaligus merupakan isyarat tentang besarnya

Page 126: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

126

perhatian sekaligus komitmen pimpinan tertinggi Kabupaten Cianjur dalam

mendukung kelancaran akselerasi program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Singkatnya, dilihat dari aspek formulasinya, juga dilihat dari letak

strategisnya, termasuk dari target yang telah ditetapkannya, sesungguhnya tidak

ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cianjur untuk tidak bisa menjabarkan

arah kebijakan itu kepada berbagai program yang mendukung upaya penuntasan

Wajar Dikdas 9 tahun.

B. Kajian Terhadap Program Implementasi

Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-

bentuk program telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cianjur dalam

mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai penjabaran dari

arah kebijakan yang telah ditetapkannya. Namun dari hasil penelitian terungkap

bahwa tidak semua program yang dilaksanakan ternyata bisa menjawab dan

mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin sebagai

salah satu kelompok sasaran yang menjadi target kebijakan.

Alasannya banyak, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan

lemahnya pelaksanaan fungsi dan tugas Tim Koordinasi yang telah dibentuk,

termasuk lemahnya pelaku atau implementor kebijakan, lemahnya pendataan

sebagai langkah awal untuk mengetahui sasaran yang akan digarap dengan

kebijakan, kurang realistiknya target yang ingin dicapai, lemahnya sosialisasi

sampai kepada miskinnya sumberdaya untuk mengoptimalkan dan mendukung

kelancaran implementasi berbagai bentuk program intervensinya.

1. Kajian Terhadap Penentuan Target

Page 127: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

127

Dikaitkan dengan sasaran yang yang ingin dicapainya, dari hasil

analisis terungkap bahwa arah kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten

Cianjur juga ternyata telah dipertegas dengan rencana pencapaian target yang

sebagai salah satu tolok ukur penting untuk melihat kinerjanya.

Persisnya, dalam rangka percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini

Kabupaten Cianjur memiliki target untuk bisa meningkatkan Angka Partisipasi

Kasar (APK) dari posisi 76,03 pada tahun 2004 menjadi 104 pada tahun 2008,

atau kenaikan sebesar 27,97 poin persen dalam kurun waktu lima tahun, sekitar

5,59 poin persen setiap tahunnya.

Bandingkan dengan tren kenaikan APK dalam periode empat tahun

sebelumnya, periode 2001-2004 yang meningkat sebesar 26,86 poin persen, atau

sekitar 6,71 poin persen setiap tahunnya. Itu semua mengandung arti bahwa

target yang dirumuskan lima tahun terakhir ini boleh dikatakan cukup realistik

jika dibandingkan dengan tren pencapaian APK dalam periode empat tahun

sebelumnya, bahkan secara kuantitatif sedikit lebih rendah.

Tidak jauh dari itu, Angka Partisipasi Murni (APM) ditargetkan naik

dari posisi tahun 2004 sebesar 68,99 menjadi 98,50 pada tahun 2008, atau

meningkat sebesar 29,51 poin dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,90 poin

setiap tahunnya. Bandingkan juga dengan trend peningkatan APM dalam

periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004, yang meningkat sebesar

30,67 poin persen, atau meningkat sebesar 7,77 poin persen setiap tahunnya.

Itu semua juga mengandung arti bahwa jika dilihat dari trend dan

kemampuan pencapaian target beberapa tahun sebelumnya, maka penentuan

target peningkatan APM ini cukup realistik, bahkan masih berada di bawah tren

Page 128: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

128

peningkatan APM empat tahun sebelumnya. Namun persoalannya akan menjadi

lain ketika target sebesar itu tidak dikaitkan dengan sukung dengan optimalisasi

sumber daya dalam melaksanakan program-program pendukungnya, bahkan

mungkin menjadi kurang realistik jika dikatkan dengan sisa sasarannya yang

kebanyakan merupakan anak dari keluarga miskin dengan karakteristik sosial

dan budayanya nya yang begitu kompleks.

Dengan target sebesar itu, pada tahun 2008 Kabupaten Cianjur

menargetkan dirinya untuk bisa menjadi daerah dengan kategori “tuntas Wajar

Dikdas Paripurna. Bahkan target lebih jauhnya, pada tahun 2011 nanti

Kabupaten Cianjur punya ambisi untuk mencapai status “wajib belajar 12 tahun

- Wajar Dikmen, sebuah target yang luhur jika dikaitkan dengan kebijakan

pemerintah provinsi maupun pusat yang telah mentargetkan penuntasan Wajar

Dikdas 9 tahun pada tahun 2008.

Bukan hanya itu, penentuan target sebesar itu juga merupakan sebuah

keniscayaan jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai

kabupaten Cianjur untuk bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years

schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun

2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator

makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur

diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada

tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi

peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.

Singkatnya, dari hasil kajian terungkap bahwa ada kecenderungan kalau

proses dan besarnya penentuan target itu lebih banyak ditentukan oleh kebijakan

Page 129: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

129

yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan

karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel

yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan

target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya (specific, measurable,

achievable, relaistic dan time bound), maka hanya tiga kriteria, yakni specific,

measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya.

Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable (prinsip harus dapat

dicapai) dan realistiknya (prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya) masih

dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya

pada pembahasan berikutnya.

2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi

Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi

yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado

motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana

yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda),

yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan

banyak pihak yang ada dibawah kewenangannya, misalnya, karena

kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan.

Demikian halnya dengan anggota Tim yang lainnya, terutama anggota

yang mewakili Polres dan Kodim dan beberapa Dinas lain juga nyaris tak

pernah terlibat dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Padahal

keberadaan mereka selaku implementor, termasuk sikap dan pelakunya

(disposisi) dalam bahasa George C Edward (1990), atau dukungan sumber daya

Page 130: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

130

(manusia) dalam bahasanya Donald Van Meter (1975), merupakan salah satu

variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan.

Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur

Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu

alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi

anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas

ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan

untuk menjelaskan peran dan fungsinya.

Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge (1992), ”bahwa hampir

dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti

(enrolled), dan bahkan beberapa saja yang komit (committed), mayoritas orang

berada dalam posisi pemenuhan (complant). Mereka mendukung visi pada

tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti (enrolled) atau

komit (committed)”.

Tidak mengherankan pula jika keterlibatan mereka pada umumnya

menjadi kurang bahkan nyaris tidak berfungsi kecuali sebatas tertulis dalam SK

Bupati. ”Kami tidak dilibatkan, bahkan kami tidak tahu kalau dalam SK Bupati

tertuang sebagai anggota Tim Koordinasi”, demikian ungkap beberapa kepala

Dinas Instansi ketika diwawancarai. Menurut pendapat peneliti, itulah pula awal

dari lemahnya komitmen yang akan mempengaruhi kinerja Tim dalam

menjalankan tugas pada tahap berikutnya. Hal tersebut juga ditegaskan Argyris

(1964), dikutip Nyoman Sumaryadi (2005) yang menegaskan bahwa

Page 131: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

131

keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai

apabila proses internal organisasi berjalan lancar.

Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant &

White (1987), ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah

kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari

konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau

dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif”

Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada

pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka

perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan

sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program.

Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut

kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih

banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal

yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti

pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar

Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.

3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi

Jika Tim Koordinasi dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan

yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi

pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir

menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi

Page 132: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

132

ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan

Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang

dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan

keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan, termasuk dalam

implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal

dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang

meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan

sebuah kegiatan.

Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek

pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun

dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas

dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak

lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah

gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang

kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak

terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam

perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh

masyarakat yang sempat diwawancarai.

Dari aspek waktu, gerakan sosialisasi juga berlangsung hanya pada

momentum-momentum khusus, sebut saja selama pada masa pencanangan,

tetapi tidak berlangsung lama dan terus menerus sebagaimana yang diharapkan.

Bahkan dari dimensi ruang atau tempat, sosialisasi Wajar Dikdas Juga

Page 133: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

133

cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung

berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat,

sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum

banyak disentuh dan termanfaatkan.

Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan

Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan

urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya

Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang

menurut George Edward (1990) merupakan salah satu variable penting yang

akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan

sebagaimana yang diharapkan.

4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran

Sebagai bagian dari langkah perencanaan, upaya ini dilakukan tidak saja

dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar

yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa

atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan

dan memperjelas sasaran yang akan menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar

Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya.

Namun dari hasil penelitian pula terungkap bahwa dari aspek

mekanismenya sebagaimana telah ditetapkan, pelaksanaan pendataan sasaran ini

tidak berjalan sepenuhnya sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan. Wujud

konkritnya, pendataan yang mestinya dilakukan secara langsung atau sensus, di

beberapa daerah dilakukan hanya dengan menggunakan data sekunder, yakni

Page 134: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

134

hanya dengan cara merekap data yang telah ada, yakni data hasil pemutaakhiran

yang dilakukan BKKBN setiap tahunnya.

Dari aspek substansinya, pelaksanaan pendataan sasaran tersebut juga

baru sebatas dilaksanakan dalam rangka mengungkap nama dan alamat,

sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai

mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin dengan kondisi sosial

kulturalnya yang memang berbeda, sama sekali absen dari perhatian.

Itulah pula yang kemudian akan menjadi salah satu penyebab

munculnya kesulitan dalam merumuskan dan menyampaikan pesan sosialisasi

atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam

tahap berikutnya. Maka tidak mengherankan jika masalah akurasi dan validitas

hasil pendataannya pun layak dipertanyakan, bahkan dipersoalkan. Padahal

tingkat efektivitas dari semua program yang akan dijalankan akan sangat

tergantung kepada tingkat akurasi data sasaran yang akan digarap.

Singkatnya, dari tahap persiapan implementasinya saja – koordinasi,

sosialisasi dan pendataan sasaran, masih ada gap atau diskrepansi antara yang

semestinya dilakukan dengan yang benar-benar dilakukan. Itulah pula temuan

penelitian yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan melakukan

implementasinya.

5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-

bentuk pelayanan program Wajar Dikdas 9 tahun telah digulirkan oleh

pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai bentuk implementasi dari arah kebijakan

yang telah ditetapkan, baik yang dilakukan melalui jalur pendidikan formal,

Page 135: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

135

termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap,

SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal.

Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai

dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun

jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004

sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren

peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar

lagi.

Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9

tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen

dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada

tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari

total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang.

Implikasinya, jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak atau belum bisa

mengakses pendidikan dar 9 tahun menurun dari 18,52 persen pada tahun 2004

menjadi 7,34 persen pada tahun 2008. Artinya, intervensi program yang telah

dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini, secara kuantitatif telah

berhasil memberikan sumbangan dalam meningkatkan akses anak dari keluarga

miskin dalam menikmati salah satu hak dasarnya, pendidikan dasar 9 tahun

sebagaimana bisa dilihat dalam figur di bawah ini :

Page 136: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

136

Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun

URAIAN TAHUN

2004 2005 2006 2007 2008 Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun

388.773

393.363

398.565

402.918

407.694

Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung

316.755

341.315

354.830

363.867

377.745

Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak Tertampung

72.018

52.048

43.735

39.051

29.949

Prosentase anak yang tidak tertampung

18,52

13,23

10,97

9,69

7,34

Dengan kata lain, ada pengaruh yang cukup berarti dari implementasi

kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan selama ini, paling tidak jika

dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak

lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari

6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih

jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang

sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel

berikut ini :

Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur

Tahun RLS Melek Huruf Indeks

Pendidikan IPM

2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72

Page 137: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

137

Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan

melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non

formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan

alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan

percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini,

dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia

7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya.

Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa

jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan

tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total

siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah

siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti

SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non

formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73

persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008.

Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap

merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat

miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses

pendidikan dasar 9 tahun.

Dari hasil kajian pula terungkap bahwa dilihat dari tren peningkatannya

dalam lima tahun terakhir ini, periode 2004-2008, prosentase peningkatan anak

usia 7-15 tahun yang memanfaatkan atau mengikuti jalur pendidikan non

reguler dan pendidikan non formal cenderung mengalami peningkatan yang jauh

Page 138: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

138

lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti

pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal

reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya,

jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru

mengalami penurunan.

Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang

kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung

dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan

formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau

anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan

banyak tersisihkan.

Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui

jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total

siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26

persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler

dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73

persen pada tahun 2004.

Semua itu menunjukan bahwa tujuan penyediaan layanan pendidikan

dasar melalui jalur pendidikan non formal dan non reguler yang disediakan

pemerintah selama ini cukup efektif, atau paling tidak membantu, dalam upaya

untuk menjaring anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung melalui jalur

pendidikan formal reguler. Tabel di bawah ini sengaja diangkat untuk

memperjelas perbedaan tren peningkatan prosentase pertahunnya :

Page 139: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

139

Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler

dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler

URAIAN

TAHUN KETERANGAN 2004 2005 2006 2007 2008

Jumlah Total Siswa Usia Wajar Dikdas 9 tahun

316.755

342.315

354.830

363.867

377.745

Dalam Periode lima tahun naik sebanyak 60.990 siswa

Jumlah siswa yang mengikuti jalur pendidikan formal reguler

309.367

329.823

337.159

338.664

344.739

Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 35.372 siswa

Prosentase

97,66

96,35

95,01

93,07

91,26

Turun sebesar 6,41 persen

Jml Siswa yang mengkuti jalur pendidikan non formal dan formal non reguler

7.388

12.492

17.671

25.203

33.006

Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 25.618 siswa

Prosentase

2,33

3,64

4,98

6,92

8,73

Naik sebesar 6,4 persen

Dari hasil kajian terhadap temuan yang telah disajikan pada bab

sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program

PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai

kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa

Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan

pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari

keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya.

Hal itu terjadi tidak saja karena program-program tersebut relatif banyak

mendapatkan bantuan dukungan dari pemerintah, juga ada kecenderungan

bahwa tidak sedikit anak tamatan SD atau MI di Kabupaten Cianjur yang karena

motivasi orang tuanya, karena nilai budaya religious yang dianutnya, disamping

Page 140: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

140

karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan

pesantren ketimbang pendidikan umum.

Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur

yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan

mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan

kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem

penyelenggaraan pendidikan di pesantren.

a. Pencapaian Dibanding Target

Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai

bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu

meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi

jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya

ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam

tabel di bawah ini:

Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan

NO INDIKATOR POSISI 2004

TARGET 2008

PENCAPAIAN 2008

KETERANGAN

1 Angka Partisipasi Kasar (APK)

76,03

104 %

87,67

Minus 16,33 point persen dibanding target

2 Angka Partisipasi Murni (APM)

68,99

96,40 %

83,87

Minus 12,53 point persen dibanding target

Jelasnya, dari target pencapaian APK tahun 2008 sebesar 104 persen,

ternyata hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau minus sebesar 16,33

poin persen. Demikian halnya untuk pencapaian APM. Dari target tahun

Page 141: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

141

2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen,

atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap

antara target dengan pencapaian.

Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008

sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab

sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh

dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah

Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa

dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya-

dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari

keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.

Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang

dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian

sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika

dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten

Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat

dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar

besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan

mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan.

b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target

Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya

target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi

koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena

kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target

Page 142: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

142

kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif,

program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya

bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi

anak dari keluarga miskin.

Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan

pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju

pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai

akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah

diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia

wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah

sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas

baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya

bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari

kebutuhan.

Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target

pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan

dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata

pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan

kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan

pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan

target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi

antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan

dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara

pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.

Page 143: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

143

Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak

anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan

dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur

pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi

salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan

karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di

atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin,

karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya.

Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang

telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari

keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa

Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa

besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan

karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak

dari keluarga miskin.

Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang

mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya

transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak

banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis

untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian

terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out

karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini.

Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam

bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,

Page 144: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

144

selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit

dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan

karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD

yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725

anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau

sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang

dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran

yang khusus disediakan pemerintah daerah.

Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa

pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada

anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau

diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai

kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian

terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah

dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang

tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu

tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan

anak dari keluarga miskin.

Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam

mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan

persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya

target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya,

kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar

Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun

Page 145: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

145

2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih

banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan

pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru.

Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber

dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat

(Rolesharing).

Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang

disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan

dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada

tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk

mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu

pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan

untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari

hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu

yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu

meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini

telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu

meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun

karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan

dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan

pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain,

masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah

dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.

Page 146: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

146

C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa

Mengakses Pendidikan Dasar

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa membicarakan masalah

pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, apalagi menanganinya, bukanlah

merupakan persoalan sederhana, apalagi diangap gampang. Dari hasil penelitian

sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab sebelumnya terungkap bahwa

begitu banyak faktor dominan saling terkait yang sekaligus menjadi alasan anak

dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan

bangku sekolah, baik karena dropout di tengah jalan, maupun karena memang

tidak melanjutkan sekolah.

Beban berat ekonomi keluarga, jauhnya jarak dari tempat tinggal ke

sekolah, kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan arti pentingnya

pendidikan, perasaan rendah diri atau minder dengan berbagai alasannya,

lingkungan sosial dan sekolah yang kurang mendukung, rendahnya pendidikan

orang tua, kurangnya dukungan masyarakat, termasuk lingkungan internal

sekolah yang kurang kondusif, adalah beberapa faktor penting yang dari hasil

penelitian terungkap sebagai penyebab anak dari keluarga miskin selama ini

tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun.

Yang menarik, dari hasil kajian pula terungkap bahwa masing-masing

faktor tersebut tidak bisa diposisikan secara terpisah dari faktor yang lainnya,

melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua

faktor yang lainnya dalam sebuah dinamika sistem sebagaimana bisa ditelaah

dalam figur di bawah ini :

Page 147: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

147

Dari diagram diatas, paling tidak ada beberapa hal penting yang bisa

diangkat dan dibahas. Pertama, bahwa membahas masalah

ketidakmampuan ekonomi anak dari keluarga miskin dalam mengakses

pendidikan dasar 9 tahun pada prinsipnya merupakan masalah yang

demikian kompleks karena melibatkan banyak masalah lain yang saling

yang saling terkait dan menentukan. Dan realitas kompleks itulah yang

belum banyak dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Wajar Dikdas

9 Tahun selama ini.

Kedua, di balik faktor ”ketidakmampuan anak dari keluarga miskin” yang

selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama sekaligus menjadi isu

sentral, sesungguhnya terdapat banyak faktor yang satu sama lain saling

ANAK DARI KELUARGA MISKIN TDK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR

HIMPITAN EKONOMI KELUARGA

RENDAHNYA PENDIDIKAN ORANG TUA – LINGKUNGAN KELUARGA

SIKAP MINDER – RENDAH DIRI ANAK JAUHNYA JARAK

DARI TEMPAT TINGGAL KE SEKOLAH

BEBAN BERAT BIAYA

SEKOLAH

LINGKUNGAN SEKOLAH YANG TIDAK MENDUKUNG

RENDAHNYA KESADARAN ORANG TUA AKAN ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN

LINGKUNGAN SOSIAL DAN KULTUR YANG KURANG MENDUKUNG

RENDAHNYA MOTIVASI ANAK

GAMBAR 5.6 DIAGRAM CAUSAL LOOP : FAKTOR SALING TERKAIT PENYEBAB ANAK TIDAK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR

Page 148: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

148

berkaitan dalam sebuah dinamika sistem yang melibatkan banyak aktor dan

sektor.

Bahkan dari sudut pemikiran sistem sebagaimana tergambar dalam

diagram, maka faktor ketidakmampuan anak dari keluarga miskin yang selama

ini banyak diangkat kepermukaan, sesungguhnya hanya merupakan ”akibat

yang tidak diinginkan” (unintended effect) yang muncul karena banyak faktor

lain yang saling berkaitan itu. Itulah pula realitas kompleks yang selama ini

belum banyak diperhitungkan dan diintervensi dalam mengimplementasikan

kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga

miskin

Beberapa faktor ketidakberuntungan (disadvantages) berkait dengan

kondisi ekonomi yang serba tidak memadai, ketidakberuntungan karena

kelemahan fisik dan mental yang mereka miliki, ketidakberuntungan karena

kerentanannya (vulnerability), ketidakberuntungan karena ketidakberdayaannya

ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat mampu (powerless)

sampai ketidakberuntungan karena keterasingan kehidupannya dari masyarakat

mampu, adalah beberapa saja yang mesti terakomodasi sekaligus terjawab

dengan kebijakan atau pelayanan program yang akan dirumuskan.

Di situlah pula relavansinya untuk mengintegrasikan atau mensinergikan

pelaksanaan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan

berbagai pendekatan dan program terkait – integrated program. Keniscayaan ini

ini juga relavan dengan pemikiran Chambers dengan konsepnya yang dikenal

dengan sebutan ”integrated poverty” yang intinya menegaskan bahwa

kemiskinan pada umumnya selalu melibatkan banyak faktor kemalangan atau

Page 149: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

149

tidakberuntungan (disadvantages) yang satu sama lain saling terkait melingkari

kehidupan orang miskin.

Itu sebabnya, apa pun bentuk atau rumusan kebijakan yang akan

dijalankan mesti dijabarkan kedalam berbagai program yang mampu menjawab

dan memecahkan persoalan-persoalan kompleks yang sering dihadapi anak dari

keluarga miskin tersebut. Itulah pula yang menurut hasil penelitian dan kajian

belum banyak dilakukan dalam mengimplementasikan program Wajar Dikdas 9

taun selama ini.

Program peningkatan pendapatan ekonomi keluarga atau apa pun

namanya yang diharapkan bisa membantu memberdayakan sekaligus

meningkatkan ekonomi keluarga miskin, adalah merupakan salah satu program

yang mesti diangkat sebagai bagian integral dari dari upaya untuk mempercepat

penuntasan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Fakta selama inin

menunjukan, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa ditarik orang

tuanya dari sekolah hanya karena anaknya harus membantu kerja orang tuanya.

Bukan hanya itu, program pengendalian laju pertumbuhan penduduk

melalui pelaksanaan program KB, misal lain, juga harus dijadikan salah satu

kebijakan yang keberhasilannya akan banyak berpengaruh dalam upaya untuk

mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak, melalui akselerasi

pengendalian angka kelahiran ini akan membantu meringankan beban

pemerintah karena laju pertumbuhan anak usia Wajar Dikdas bisa dikendalikan

sesuai dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan daya tampungnya.

Bahkan dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak jarang anak meninggalkan

Page 150: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

150

bangku sekolah hanya karena untuk membantu orang tua mengurus anggota

keluarga yang lainnya (mengasuh adik-adiknya yang memang banyak).

Singkatnya, karena kemiskinan mereka tidak bisa menikmati pendidikan

dengan alasan jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah. Karena kemiskinan,

mereka tidak bisa menikmati pendidikan dasar karena orang tuanya, atau bahkan

anaknya sendiri kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.

Karena kemiskinan, mereka tidak bersekolah karena merasa minder dengan

teman-teman sekolah yang lainnya. Karena kemiskinan, mereka hruas

meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tuanya.

Karena kemiskinan, singkatnya, mereka tidak banyak memiliki peluang

untuk bisa mengakses haknya untuk memperoleh pendidikan dasar sebagaimana

dialami oleh teman-teman sebayanya dari keluarga mampu. Celakanya, kondisi

itu diperparah oleh lingkungan sosial dan internal sekolah yang belum kondusif

mendukung mereka bisa mengakses pendidikan dasarnya.

Karena begitu kompleks, luas dan beratnya masalah yang dihadapi anak

dari keluarga miskin, adalah tidak mungkin jika penanganannya pun hanya

mengandalkan intervensi berdasarkan kemampuan yang hanya dimiliki

pemerintah. Dan di situlah pula arti pentingnya pelibatan peran serta

masyarakat, tentu dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam

implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini bagi

anak dari keluarga miskin.

Partsisipasi masyarakat di sini tidak selamanya harus dimaknai sebatas

pemberian bantuan materi semata. Termasuk dalam pengertian partisipasi di sini

adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan pengertian, mendorong

Page 151: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

151

sekaligus menggerakan anak dari keluarga miskin untuk bisa menamatkan

pendidikan dasar 9 tahunnya. Itulah pula yang selama ini belum banyak

dilakukan. Padahal tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak bisa

mengakses pendidikan selama ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena

masyarakat, terutama tokoh masyarakat yang belum melakukan peran dan

fungsi penggerakan masyarakatnya.

Intinya, apa yang tidak bisa ditangani atau dilakukan pemerintah karena

keterbatasan yang dimilikinya, atau karena kekeliruan dalam memanej dan

melaksanakan program-program implementasinya, saatnya kini dan ke depan

bisa dibantu oleh masyarakat. Dan itulah pula yang saat ini belum banyak

dilakukan. Padahal seperti telah banyak diungkapkan oleh para pakar, tingginya

partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dijadikan tolok ukur

keberhasilan kebijakan yang diambil pemerintah.

D. Beberapa Issu Strategis

Dari pembahasan terhadap temuan hasil penelitian tersebut, paling tidak

ada lima isu strategis yang bisa diangkat dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Memperkuat komitmen pemerintah daerah

Meskipun pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini telah memiliki

arah kebijakan yang jelas berkait dengan upaya untuk mempercepat

penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun masih banyak hal yang harus

dibenahi dalam menjabarkan dan mengimplementasikannya. Hal itu terjadi

karena implementasi program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun yang

digulirkan selama ini belum secara optimal memperoleh dukungan sumber

daya yang memadai, termasuk dukungan anggarannya. Bahkan sebagian

Page 152: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

152

besar anggarannya masih banyak mengandalkan dukungan anggaran yang

bersumber dari pemerintah pusatdisamping dari pemerintah provinsi

2. Meningkatkan integrasi program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari

keluarga miskin dengan program sektor tekait lainnya

Berbicara mengenai upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi

anak dari keluarga miskin adalah berbicara mengenai banyak sektor terkait

yang mesti terlibat dalam penanganannya. Itu sebabnya, upaya

penanganannya pun mesti dilakukan secara terpadu dan integral, tidak

parsial. Semakin terintegrasi dalam penanganannya, maka akan semakin

effektif hasil yang dicapainya.

3. Peningkatan mutu pendidikan, disamping peningkatan pemerataannya

Selama ini ada kecenderungan kalau pelaklsanaan program

akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini lebih banyak diarahkan

kepada aspek pencapaian kuantitatifnya yang ditandai dengan peningkatan

angka partisipasi sekolah, sementara pencapaian dari aspek mutunya

cenderung terabaikan. Tidak mengherankan jika masih ada pihak

masyarakat, khsusnya dari kalangan masyarakat tidak mampu alias miskin

yang kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.

4. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam Akselerasi Wajar Dikdas 9

tahun

Karena keterbatasan yang dimilikinya, hampir bisa dipastikan bahwa

tidak mungkin seluruh beban dan tanggung jawab dalam rangka penuntasan

Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin ini hanya diserahkan

kepada kemampuan pemerintah atau negara. Itu sebabnya, kehadiran

Page 153: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

153

partisipasi masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai

kepada proses evaluasinya akan memiliki makna yang signifikan dalam

proses penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

5. Pendekatan Sosi-kultural

Dari hasil penelitian terungkap bahwa dari sekian banyak faktor

yang selama ini bisa diangkat sebagai penyebab kurang efektifnya

pencapaian kinerja implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak

dari keluarga miskin ini, adalah karena program-program yang

dilaksanakannya belum sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai sosial-

kultural anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu

kompleks. Itu pula sebabnya, semakin akomodatif dan adaptif pelaksanaan

program-program Wajar Dikdas itu dengan nilai sosial dan kultural

masyarakat miskin, maka akan semakin efektif hasil-hasil yang dicapainya.

Page 154: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

154

BAB VI

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

bab-bab sebelumnya, dan dikaitkan pula dengan tujuan penelitian yang telah

ditetapkan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

Pada tataran formulasi, pertama, Kabupaten Cianjur telah memiliki arah

dan landasan kebijakan yang tepat dan kuat dalam mendukung upaya percepatan

penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tidak saja karena didukung oleh visi maupun

visinya yang secara eksplisit dan tegas telah mencantumkan arti pentingnya

pendidikan dan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, tetapi juga didukung oleh

kebijakan dan komitmen pemerintah provinsi Jawa Barat yang melalui program

Peningkatan Pendanaan Kompetisi (PPK) IPM-nya sangat meniscayakan arti

pentingnya peningkatan indeks pendidikan sebagai bagian dari upaya akselerasi

peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Bukan hanya itu, adalah Bupati dan Wakil Bupati Cianjur yang sejak

dilantiknya pada bulan Maret tahun 2006 begitu lantang dan keras menyuarakan

arti pentingnya pendidikan ”gratis” untuk tingkat SD dan SLTP sebagai bagian

dari upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di daerah yang

dipimpinnya.

Namun pada tataran implementasi, kedua, meskipun selama ini telah

banyak upaya dan program berkait dengan penuntasan wajar Dikdas 9 tahun itu

bisa dilakukan, dan meskipun pelaksanaan program-program itu telah banyak

253

Page 155: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

155

memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam membantu meringankan

beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang ditandai dengan adanya

peningkatan Angka Partisipasi Sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK)

maupun angka partisipasi murni (APM) untuk tingkat SD dan SLTP, namun

hasilnya ternyata masih jauh dari target yang telah ditentukan – gap

implementation.

Kurang cermatnya dalam proses melakukan pendataan sasaran, belum

optimalnya kegiatan sosialisasi yang sangat diniscayakan dalam proses

implementasi sebuah kebijakan, belum optimalnya peran dan fungsi Tim Wajar

Dikdas yang telah dibentuk dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya,

terbatasnya kemampuan pemerintah daerah, terutama kemampuan dalam

menyediakan dukungan dana dan sarana, belum terintegrasinya pelaksaan Wajar

Dikdas 9 tahun dengan berbagai program terkait lainnya, adalah bebarapa faktor

pokok yang selama ini menjadi penyebab pelaksanaan implementasi percepatan

penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur ini belum berjalan

secara efektif sesuai dengan target yang diharapkan.

Kondisi ini diperparah oleh realitas yang menunjukan bahwa sekitar 30

persen dari total penduduk Cianjur yang jumlahnya telah mencapai angka lebih

dari 2 juta jiwa itu, adalah mereka yang tergolong miskin dengan

karakteristiknya yang begitu kompleks.

Ketiga, banyak faktor yang selama ini menjadi penyebab anak dari

keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu terpaksa

meninggalkan bangku sekolah sehingga tidak sempat menyelesaikan

pendidikan dasarnya. Akumulasi dari masalah ekonomi yang sering melilit

Page 156: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

156

kehidupan anak dari keluarga miskin, masalah kesadaran atau motivasi akan arti

pentingnya pendidikan, termasuk kesadaran orang tuanya, masalah transportasi

berkait dengan jauhnya jarak yang harus ditempuh dari domisili ke lokasi

sekolah, serta masalah psikologis – malu sekolah - berkait dengan kelainan fisik,

usia atau karena faktor lainnya, termasuk karena faktor lingkungan sosial dan

sekolah yang tidak mendukung, adalah beberapa faktor penting yang dari

penelitian terungkap menjadi penyebab mereka tidak bisa mengakses

pendidikan dasar 9 tahun. Itulah pula beberapa faktor saling terkait yang selama

ini belum banyak terpecahkan dengan layanan pendidikan yang diberikan

pemerintah.

Singkatnya, meskipun selama ini telah banyak upaya dan langkah

dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk membantu meningkatkan akses

pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, bahkan meskipun pemerintah telah

sepenuhnya membebaskan seluruh pembiayaan pendidikan dasar 9 tahun,

namun dalam beberapa aspeknya belum mampu mengakomodasi dan

memecahkan seluruh masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan

kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan pendidikan yang

diberikan pemerintah selama ini dengan kebutuhan pendidikan yang dituntut

anak dari keluarga miskin.

B. Implikasi Penelitian

Karena fokus penelitian ini lebih banyak difokuskan kepada kajian

mengenai implementasi kebijakan, khususnya kebijakan publik berkait dengan

penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun yang keberhasilannya sangat

dipertaruhkan dalam mengukur keberhasilan pembangunan manusia (IPM) ini,

Page 157: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

157

maka ada beberapa implikasi yang bisa dan perlu diangkat dari hasil penelitian

ini, meliputi :

1. Implikasi Bagi Para Pembuat Kebijakan

Adalah amandemen Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan

2 yang secara eksplisit menegaskan bahwa setiap warga negara berhak

mendapatkan pendidikan, dan setiap warga negara wajib menikmati

pendidikan dasar, dan karenanya, pemerintah punya kewajiban untuk

memenuhinya. Bahkan secara operasional, amanat itu juga telah dipertegas

lagi melalui Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Bukan hanya itu, adalah Undang-undang Dasar

1945 yang juga dengan tegas mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak

terlantar wajib dipelihara oleh negara.

Dengan landasan itu, tidak ada alasan bagi para penyelenggara

negara untuk tidak merealisasikannya. Dengan landasan yuridis itu pula,

maka adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara, termasuk

tugas dan kewajiban para wakil rakyat, yang secara politis punya kewajiban

moral untuk mendesak pemerintah disemua tingkatan untuk bisa

menjabarkan sekaligus mengimplementasikan amanat Undang-undang itu.

Bukan hanya itu, adalah tugas para penyelenggara juga untuk menyediakan

dukungan anggaran, tenaga dan sarana yang diperlukannya.

Tegasnya, adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara,

tentu dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, untuk bisa

mengontrol dan memastikan bahwa seluruh warga negara, termasuk anak

dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan dasarnya.

Page 158: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

158

2. Implikasi Bagi Para Pelaksana Kebijakan

Jika para penyelenggara negara, dengan kekuasaan dan kewenangan

yang dimilikinya punya kewajiban untuk menyediakan landasan politis dan

yuridis sekaligus mengontrol dan mengendalikan pelaksanaannya, termasuk

menyediakan dukungan dana, tenaga dan sarana yang menjadi prasyarat

keberhasilannya, maka adalah tugas birokrasi atau pelaksana pemerintahan

disemua tingkatan untuk menjabarkan amanat Undang-undang yang telah

dirumuskan para penyelenggara negara kedalam berbagai bentuk program

dan kegiatan yang mampu memastikan bahwa seluruh anak usia 7-12 tahun,

anak usia pendidikan dasar, bisa mengakses dan menikmati pendidikan

dasarnya, lebih-lebih bagi anak dari keluarga yang kurang beruntung

(diasadvantage families) alias miskin.

Namun perlu digaris bawahi bahwa bentuk program yang perlu

dirumuskan tidak saja berkait dengan upaya untuk memperluas dan

mengembangkan pembangunan pendidikan dari aspek supply-sidenya,

sebutlah pula dari aspek pelayanannya, melainkan juga dari aspek demand-

sidenya, dari aspek penggerakan dan motivasi masyarakatnya.

Harus jujur diakui, walaupun saat ini telah banyak upaya dilakukan

pemerintah dalam rangka memperluas dan mendekatkan pelayanan

pendidikan dasar kepada masyarakat, namun masih banyak anak dari

keluarga tidak mampu, termasuk anak yang tinggal di daerah terpencil, yang

belum tersentuh dengan pelayanan pendidikan. Bahkan kondisi itu

diperburuk oleh miskinnya prasarana jalan dan sarana transfortasi yang

Page 159: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

159

sering menjadi kendala bagi anak dari keluarga yang tinggal di daerah

terpencil tidak bisa mengakses pendidikan dasar.

Bukan hanya itu, program pengembangan pelayanan pendidikan dasar

yang dilakukan pemerintah selama ini pun ternyata masih banyak

menyisakan agenda krusial. Sebagian diantara mereka masih ada yang

menganggap, terutama dari kalangan masyarakat tidak mampu, bahwa

sekolah bagi mereka bukanlah solusi yang dapat membantu memberdayakan

kehidupan mereka, melainkan justeru dirasakan jadi beban. Persepsi itu

tentu saja merupakan masukan sekaligus kritik bahwa kualitas pendidikan

yang diselenggarakan pemerintah selama ini, terutama yang dilakukan

dalam bentuk penylenggaraan pendidikan alternatif seperti SMP Terbuka

dan sejenisnya masih dipertanyakan, dan karenanya harus diperbaiki.

Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa program intervensi yang

dilakukan pemrintah selama ini ternyata belum mampu menjawab masalah

yang melekat pada anak dari keluarga miskin. Miskinnya kesadaran

sebagian masyarakat miskin akan arti pentingnya pendidikan yang

berakumulasi dengan kesulitan hidup yang harus dihadapi mereka, adalah

masalah krusial tersendiri yang belum terjawab oleh implementasi kebijakan

Wajar Dikdas yang diselenggarakan selama ini. Di situlah pula arti

pentingnya merumuskan kebijakan dan program dengan menggunakan

pendekatan integral, bukan parsial, apalagi sektoral.

Artinya, saatnya kini pemerintah mengintegrasikan implementasi

kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan berbagai kebijakan dan program

yang mampu menjawab semua masalah yang dihadapi anak dari keluarga

Page 160: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

160

miskin. Tanpa pendekatan yang integral dan terpadu, akan sulit bagi

pemerintah untuk bisa memastikan bahwa seluruh anak dari keluarga miskin

bisa mengakses pendidikan dasar.

Hal itu juga sesuai dengan tesisnya Amartya Sen yang peraih Nobel

Ekonomi tahun 2004 itu, bahwa dalam kemiskinan itu selalu melekat

kemiskinan secara total, miskin secara ekonomi, miskin pengetahuan,

miskin kesehatan, dan bahkan miskin kesadaran. Di situlah pula arti

pentingnya mengintegrasikan program Wajar Dikdas 9 tahun dengan

program pembangunan lainnya, terutama dengan program pemberdayaan

ekonomi keluarga.

3. Implikasi Bagi Masyarakat

Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa salah satu penyebab dari

kurang efektifnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur

selama ini adalah karena masyarakat ternyata belum banyak dilibatkan, baik

dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta pengendaliannya.

Peran apa yang bisa disumbangkan masyarakat dalam mendukung

keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun, adalah pertanyaan mendasar yang

selama ini belum terjawab. Padahal melalui potensi yang dimilikinya,

kehadiran partisipasi mereka dalam mendukung program Wajar Dikdas

akan sangat membantu dalam menutupi keterbatasan yang dimiliki

pemerintah. Bukan saja keterbatasan dalam penyediaan dukungan dana,

tetapi mungkin juga keterbatasan dalam merumuskan gagasan atau

pemikiran.

Page 161: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

161

Bukan hanya itu, melalui keterlibatan masyarakat maka rasa

tanggung jawab bahkan rasa memiliki mereka terhadap pembangunan

pendidikan bisa dibangun. Memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah

dengan potensi yang dimiliki masyarakat, itulah agenda strategis yang harus

jadi pertimbangan ke depan. Itu pun jika semua pihak punya komitmen

untuk meningkatkan efektivitas implementasi sebuah kebijakan.

Bahkan dalam konteks pembangunan yang berpusat kepada

kepentingan manusia – poeple centered development sebagai paradigma

baru pembangunan yang sering disuarakan belakangan ini, maka adalah

kekeliruan besar jika keberadaan masyarakat diposisikan hanya sebagai

obyek pembangunan, atau bahkan hanya sebagai pelaku pembangunan.

Lebih jauh lagi, dalam paradigma baru pembangunan ini, masyarakat tidak

hanya dijadikan semata sumber energi yang cenderung hanya dijadikan

subyek atau pelaku pembangunan, melainkan mesti diposisikan sebagai

”sumber informasi” tempat banyak gagasan lahir. Singkatnya, dalam

paradigma baru pembangunan ini – pembangunan yang berpusat pada

kepetingan manusia – people centered development, adalah manusia, bukan

yang lainnya, yang harus jadi sentral, dan karenanya harus menjadi tujuan

pembangunan.

C. Rekomendasi

Sesuai dengan kesimpulan dan implikasinya, paling tidak ada beberapa

rekomendasi yang perlu disampaikan sebagai bentuk saran dari hasil

penelitian ini.

Page 162: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

162

Pertama, kepada para perumus dan penentu kebijakan, saatnya

agenda penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun ini diposisikan sebagai sebuah

kebijakan yang sentral dan urgent. Tidak saja pada tataran politis, tetapi

juga pada tataran yuridis yang mengikat dan bahkan mampu mendesak dan

menggerakan semua stakeholder terkait terlibat aktif serta bertanggung

jawab atas keberhasilan implementasinya. Itu sebabnya, kehadiran landasan

hukum semacam Peraturan Daerah (Perda), atau paling tidak dalam bentuk

Peraturan Bupati (Perbup) bisa merupakan salah satu alternatifnya.

Kedua, karena begitu berat dan kompleksnya masalah pendidikan

yang dihadapi anak dari keluarga miskin, sebut pula berkait dengan banyak

faktor saling terkait, maka penanganan atau intervensi program yang

dilakukan dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun itu dilakukan tidak

dengan menggunakan pendekatan parsial, melainkan mesti menggunakan

pendekatan integral. Artinya, saatnya penanganan akselerasi penuntasan

Wajar Dikdas 9 tahun saat ini dilakukan secara terintegrasi dengan

pelaksanaan banyak program lainnya yang secara langsung maupun tidak

langsung akan berpengaruh dan bahkan menentukan dalam meringankan

beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

Ketiga, menyadari begitu beratnya beban yang harus dipikul oleh

pemerintah dalam pelaksanaan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9

tahun ini, lebih-lebih pula jika dikaitkan dengan keharusan untuk

meningkatkan kualitas hasilnya, maka saatnya penanganannyapun

melibatkan kemampuan yang ada dan dimiliki masyarakat. Di situlah pula

arti pentingnya mengemas pelaksanaan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini

Page 163: 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

163

dalam sebuah ”Gerakan Masyarakat” yang mampu mensinergikan sekaligus

memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah dan potensi yang dimiliki

masyarakat.