Upload
dangkiet
View
236
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah, tujuan dan subyek penelitian serta
karakteristik data yang akan ditelitinya, serta memperhatikan pula rumusan hasil
akhir yang diharapkan dari penelitian ini, yakni studi evaluasi kinerja
Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin,
maka tanpa mengabaikan arti pentingnya penyajian angka-angka yang bersifat
statistis, pendekatan yang dianggap tepat untuk melakukan penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang pas
digunakan untuk mengkaji permasalahan sekaligus memperoleh makna yang
lebih dalam tentang banyak fenomena sosial berkait dengan implementasi
kebijakan penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam rangka membantu anak dari
keluarga miskin.
Pilihan untuk menentukan pendekatan atau metode kualitatif dalam
penelitian ini bukan tanpa alasan. Pertama, dalam penelitian ini peneliti
bermaksud untuk mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola
yang terkandung dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam
rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin.
Kedua, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud untuk menganalisis dan
menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkait dengan implementasi
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin dalam konteks
ruang dan waktu yang sangat alami.
100
2
Ketiga, bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan proses dan
kegiatan manajemen yang melibatkan proses ineraksi antara beberapa
stakeholders terkait, bahkan dengan komuniti masyarakat tertentu, masyarakat
miskin, yang tentunya memiliki karakter unik karena dikonstruksi oleh
latarbelakang kultur yang berbeda dengan komuniti masyarakat lainnya.
Oleh karena substansi penelitian ini tidak dirancang untuk menguji
hipotesis keculai mendeskripsikan kecenderungan fenomena–fenomena
simbolik dan merefleksikan fenomena itu apa adanya, maka teknis studi
deskriptif menjadi sangat relavan digunakan untuk tujuan penelitian ini.
Dalam penelitian ini, study deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi
sekaligus mengambarkan apa adanya mengenai dua hal pokok yang menjadi
sasaran penelitian, yakni deskripsi mengenai rumusan dan implementasi
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Seperti
dikemukakan Best (1987 :116) : “A descriptive study describes and interprets
wahat is. It is concerned with condition or relationship that exist, opinion that
are held, processes that are going on, affects that are evidents, or trend that are
developing”. Singkatnya, metode deskriptif itu bersifat menjabarkan,
menguraikan dan menafsirkan kondisi, peristiwa dan proses yang sedang terjadi
dalam konteks permasalahan.
Penting untuk ditegaskan bahwa metode deskripsi yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif yang intinya ditujukan untuk
mengkaji dan memperoleh makna yang lebih dalam dari setiap gejala yang
diteliti berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak
3
dari keluarga miskin. Seperti diungkapkan Lincoln dan Guba (1985 : 189) :
“....take their meaning as much from their contex as they do from themselves” .
Sesuai dengan sasaran dalam penelitian ini, maka studi deskripsi ini akan
menitik berakan pada studi kasus terhadap daerah-daerah yang memiliki banyak
kantong-kantong kemiskinan, baik yang ada dipedesaan maupun yang ada di
perkotaan. Sementara fokus studinya selain akan diarahkan kepada upaya untuk
menggali tingkat partisipasi mereka, yakni anak dari keluarga miskin dalam
mensuskseskan program Wajar Dikdas, juga akan difokuskan untuk menggali
persepsi sekaligus respon terhadap implementasi kebijakan Wajar Dikdas yang
sedang gencar dilaksanakan.
B. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, dan
sesuai pula dengan jenis dan karakteristik data yang dibutuhkannya, akan
digunakan beberapa metode yang relavan, yang meliputi eksplorasi, yaitu upaya
untuk menelusuri secara cermat berbagai dokumen yang terkait dengan masalah
penelitian, wawancara yang bersifat luas dan mandalam (deep interview), dan
pengamatan langsung atau observasi, termasuk juga focus group discussion
untuk menggali informasi berkat fokus penelitian, yakni implementasi kebijakan
Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin.
Jelasnya, studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data di dalam
dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan substansi penelitian,
khususnya dalam rangka menelusuri rumusan kebijakan penyelenggaraan Wajar
Dikdas 9 tahun. Sementara wawancara dan observasi akan digunakan peneliti
ketika harus membuat deskripsi tentang implementasinya. Adapun penggunaan
4
FGD, disamping akan digunakan untuk menggali pemahaman mendalam
tentang sikap dan perilaku anak dari keluarga miskin sebagai penerima dari
dampak kebjakan, juga dalam beberapa aspeknya akan digunakan untuk
menggali informasi dari para orang tua murid, termasuk tokoh masyarakat dari
komunitas masyarakat miskin.
Diperolehnya informasi akurat berkenaan dengan masalah-masalah
pendidikan yang dihadapi dan dirasakan anak dari keluarga miskin, adalah
tujuan inti dari penggunaan FGD. Bukan hanya itu, informasi mengenai harapan
sekaligus kebutuhan yang merupakan tuntutan mereka dalam rangka bisa
mengakses layanan pendidikan dasar, merupakan tujuan inti lain dari pemakaian
metode FGD dimaksud.
Penting untuk diungkapkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti akan
menggunakan manusia sebagai instrumen utama yaitu peneliti sendiri. Seperti
diungkapkan Nasution (1992), instrumen manusia dalam penelitian kualitatif
dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) manusia sebagai
alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang
harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti; (2) manusia
sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat
mengumpulkan aneka ragam data sekaligus; (3) tiap situasi merupakan suatu
keseluruhan; (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat
dipahami dengan pengetahuan semata-mata; (5) peneliti sebagai instrumen
dapat segera menganalisis data yang diperoleh; (6) hanya manusia sebagai
instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan
pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh
5
penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan; dan (7) manusia sebagai
instrumen, respon yang aneh, menyimpang justru diberi perhatian.
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan Kunci
Sesuai dengan fokus masalah dan pendekatan yang akan digunakan,
yakni pendekatan kualitatif, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah
meliputi sekelompok orang atau individu, termasuk di dalamnya lembaga,
obyek atau kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan implementasi Kebijakan
akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin di
Kabupaten Cianjur.
Sementara sumber data atau informasi dalam penelitian ini ialah pilihan
peneliti terhadap aspek apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada
saat dan situasi tertentu berkaitan dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas
9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Karenanya, pemlihan nara sumber (atau
sampel dalam istilah penelitian kuantitatif) akan dilakukan terus-menerus
sepanjang penelitian, atau akan menggunakan tehnik yang sering disebut dengan
snowball sampling technique ( bekembang mengikuti informasi atau data yang
diperlukan). Melalui pengunaan tehnik ini, peneliti diharapkan bisa memperoleh
informasi yang lebih bervariasi dan memperluas informasi yang diperoleh
terdahulu sehingga dapat dipertentangkan dan diminimalisir kesenjangannya.
Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, maka sumber informasi
dalam garis besar penelitian ini akan dibagi dan diarahkan kepada tiga
kelompok nara sumber. Pertama, adalah narasumber yang diharapkan bisa
menjadi sumber informasi yang dibutuhkan untuk membuat deskripsi mengenai
rumusan kebijakan berkait dengan penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun,
6
dalam hal ini adalah para pejabat dari Dinas Dikbud, Departemen Agama dan
Bappeda Kabupaten Cianjur.
Kedua, adalah nara sumber yang diharapkan bisa menjadi sumber
informasi berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, yakni
para implementor kebijakan pada lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Canjur
serta stakeholders dari lembaga terkait lainnya, termasuk para penyelenggara
pendidikan pada satuan pendidikan setingkat sekolah dasar dan SMP/ MTs.
Yang terakhir, ketiga, adalah sampel yang diharapkan bisa jadi representasi dari
objek yang menjadi sasaran kebijakan, dan yang akan menerima dampak
kebijakan, yakni anak usia SD/SLTP dari keluarga miskin.
D. Validasi Data
Guna memperoleh data yang sahih dan absah, terutama data yang
diperoleh melalui wawancawa dan observasi, diperlukan sebuah tehnik
pemeriksaan atau uji data untuk membuktikan kesahihan (validtas) dan
keandalan (reliabilitas) yang merupakan hal penting dalam sebuah penelitian.
Upaya untuk memvalidasi dibutuhkan untuk membuktikan bahwa apa yang
diamati oleh peneliti telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi
dalam dunia kenyataan (Nasution, 1988 : 105).
Dalam penelitian ilmiah, setidaknya ada dua sisi yang perlu dilakukan
dalam proses validasi tersebut; meliputi validasi internal yang berkatan dengan
instrumentasi dan validasi external yang berkatan dengan generalisasi. Validasi
external dalam penelitian kualitatif merupakan upaya peneliti untuk meyakinkan
baha konsep peneliti memiliki kesesuaian dengan konsep yang ada pada
persepsi responden. Sementara validasi external diperlukan untuk memastikan
7
bahwa hasil penelitian memiliki kecockan (fittingness) sehingga memungkinkan
untuk diaplikasikan oleh peneliti yang lainnya..
Dengan mengacu kepada model yang dikemukakan Lincoln dan Guba
sebagaimana dikutip Burhan Bungin (2003:60), dalam penelitian ini akan
dilakukan langkah sebagai berikut :
1. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam proses pengumpulan data di
lapangan. Caranya antara lain dilakukan dalam bentuk peningkatan frekuensi
pertemuan peneliti dengan responden sebagai sumber informasi, atau
peningkatan frekuensi kontak dengan menggunakan berbagai momentum
yang relavan dengan masalah penelitian.
2. Melakukan observasi secara terus menerus dan sungguh-sungguh terhadap
masalah yang menjadi fokus penelitian, dalam hal ini berkait dengan isu
menyoal implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga
miskin. Langkah ini sangat diniscayakan agar si peneliti betul-betul bisa
memperoleh sekaligus membedakan antara informasi yang bermakna dan
kurang atau bahkan tidak bermakna berkait dengan maslah yang diteliti.
3. Melakukan trigulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang
diperoleh dari satu sumber dan membandingkannya kepada sumber yang
lainnya dalam waktu yang berbeda, atau membandingkan data yang
diperoleh dari satu sumber dengan menggunakan metode yang berbeda.
4. Melibatkan teman sejawat yang tidak terlibat dalam penelitian untuk
memberikan masukan, kritik atau tanggapan terhadap hasil penelitian (peer
debriefing). Teknik yang juga sering disebut dengan peer examination ini
akan dilakukan sejak proses awal penelitian sampai penyusunan laporannya
8
untuk menyempurnakan keterbatasan peneliti dalam mengkaji dan
menganalisis hasil penelitian.
5. Mengupayakan referensi yang cukup untuk meningkatkan keabsahan
informasi yang diperlukan dengan memperbanyak dukungan bahan referensi
seperti buku, media cetak maupun elektronik, journal, makalah, artikel yang
berkait dengan impelemtasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka
merngankan beban anak dari keluarga miskin.
6. Melakukan pemeriksaan ulang atau sering disebut dengan “memberchek
pada setiap kali selesai melakukan wawancara untuk meyakinkan bahwa
informasi yang diperoleh peneliti mengenai segala masalah berkait dengan
implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin telah
sesuai dengan yang dimaksud responden.
E. Analisis dan Penafsiran Data
Setelah data seluruhnya terkumpul dan dipandang wajar, selanjutnya
dilakukan persiapan analisis yang menurut Moleong (1990 : 198) sulit
dipisahkan dari proses penafsiran data. Menurutnya, analsis data dimulai sejak
dilapangan karena sejak saat itu sudah ada proses penghalusan data,
penyusunan kategori, dan ada upaya dalam rangka penysusunan hypothesa,
yaitu teorinya itu sendiri. Jadi, proses analisis data selalu terjalin secara terpadu
dengan penafsiran data.
Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan beberapa saran penting
dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif, antara lain : (1) force
yourself to make decissions that narrow the study, (2) force yourself to make
decissions concerning the type of study you wan to accomplish, (3) develop
9
analytic question, (4) plan data collection sessions in light of what you find in
previous observation, (5) write many “observer’s comments” about ideas you
generate, write memos to yourself about you are learning” .
Sejalan dengan pendapat di atas, Nasution (1988 : 126) mengemukakan
bahwa analisis data kualitatif adalah proses proses menyusun data
(mengolongkan ke dalam tema dan kategori) agar dapat ditafsirkan atau
diinterpretasikan. Dengan demikian, dalam proses analisis data kualitatif ini
sangat diperlukan daya kreatif dari penelti untuk mengolah data hasil
peneltiannya sehingga memiliki makna.
Berangkat dari pemahaman itu, maka proses analisis data dalam
penelitian ini akan mengacu pada model analisis data yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman (1994: 429), dikutip Burhan Bangin (2003), yang
menyajikan sebuah model siklus analisis data seperti bisa dilihat dalam gambar
di bawah ini
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Simpulan : Verifikasi
Penyajian Data
Gambar 3.1 Proses analisis data
10
Model siklus analisis data seperti dikemukakan di atas menjelaskan
bahwa proses analisis data dalam penelitian ini senantiasa berlangsung
bersamaan dengan proses pengumpulan data. Jelasnya, setelah data terkumpul
(data collection), penulis mengadakan reduksi data (data reduction) dengan jalan
merangkum laporan lapangan, mencatat hal-hal pokok yang relevan dengan
fokus penelitian.
Langkah berikutnya adalah menyusun secara sistematik temuan hasil
penelitian berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu yang diikuti oleh
pembuatan display data (data display) dalam bentuk tabel ataupun gambar
sehingga hubungan antara data yang satu dengan yang lainnya menjadi jelas dan
utuh (tidak terlepas-lepas). Proses berikutnya adalah melaukan cross site
analysis dengan cara membandingkan dan menganalisis data secara mendalam.
Terakhir adalah menyajikan temuan, menarik kesimpulan (conclussion) dalam
bentuk kecenderungan umum dan implikasi penerapannya, dan rekomendasi
bagi pengambangan.
Melalui upaya-upaya itu diharapkan akan membantu peneliti untuk
mempertajam perumusan masalah penelitian, menyusun kerangka teoritik,
membina komunikasi dengan informan, mengumpulkan data, menganalisis data,
dan menyusun laporan penelitian. Lebih dari itu, tingkat akurasi dan kredibilitas
penelitian sudah memenuhi prosedur dan persyaratan ilmiah sebagai suatu
penelitian.
11
F. Prosedur Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, yaitu mendiskripsikan
rumusan kebijakan dan implementasinya, maka penelitian ini akan dilaksanakan
melalui prosedur sebagai berikut :
1. Persiapan (Pra-lapangan)
Dalam tahap paling awal ini, ada tiga langkah pokok yang dilakukan, yaitu :
a. Melakukan studi penjajagan untuk menentukan arah dan fokus penelitian.
b. Melakukan studi kepustakaan atau dokumentasi untuk menemukan acuan
dasar sekaligus mempertajam arah penelitian.
c. Menyusun rancangan atau desain penelitian sebagai pedoman pelaksanaan
penelitian
2. Orientasi.
a. Melakukan pembicaraan pendahuluan dengan Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Cianjur untuk
menjelaskan sekaligus meminta informasi yang relavan berkait dengan
rencana penelitian yang akan difokuskan kepada “Implementasi Kebijakan
Wajar Dikdas 9 Tahun dalam rangka membantu anak dari keluarga miskin.
b. Menghimpun data awal melalui studi dokumentasi dan wawancara dengan
Kepala Sub Dinas (Subdin) Perencanaan, Subdin Pendidikan Dasar, dan
Subdin Pendidikan Luar Sekolah pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur. Hal serupa juga dilakukan dengan Kepala Seksi terkait
di Departemen Agama, Kepala Bappeda dan Kepala Bidang (Kabid) Sosial
12
Budaya pada Bappeda Kabupaten Cianjur, disamping lembaga terkait
lainnya sesuai dengan sasaran penelitian.
c. Menganalisis temuan data awal untuk mempertajam arah dan fokus
penelitian sekaligus fokus wilayah yang akan diteliti dikaitkan dengan
sasaran penelitian.
3. Pelaksanaan Penelitian Lapangan
a. Melakukan pengumpulan data dan penggalian informasi melalui studi
dokumentasi, wawancara, observasi, fokus group discussion (FGD), dan
penulusuran terhadap subyek-subyek penelitian yang dipandang perlu dan
ditentukan secara snowball dengan memperhatikan saran-saran dari
informan tedahulu
b. Menginterpretasikan, menganalisis dan memprediksi data dan informasi
yang telah berhasil dikumpulkan dan digali
c. Sementara penelitian dan penulisan laporan ini berlangsung, peneliti selalu
berupaya untuk selalu melengkapi dan memperbaharui data, serta melakukan
trianggulasi atau memberchek hingga akhir penelitian di lapangan
4. Penyusunan Laporan
.Kegiatan akhir dari penelitian ini berupa penyusunan laporan penelitian
secara lengkap ke dalam bentuk disertasi yang berjudul “Efektivitas
Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin”
(Studi Evaluasi Kinerja Kebijakan di Kabupaten Cianjur, termasuk di dalamnya
adalah rumusan rekomendasi dalam bentuk pengembangan model (hipotetik)
penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai bentuk penyempurnaan atau
perbaikannya.
13
1. ORIENTASI DAN PERENCANAAN PENELITIAN
1. 2.PERSIAPAN LAPANGAN / PRA LAPANGAN
3. PELAKSANAAN PENELITIAN LAPANGAN
4. PENGAMBILAN DATA RUMUSAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DATA
DOKUMENTER)
5.PENGAMBILAN DATA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DOKUMENTER DAN
LAPANGAN)
6.PENGAMBILAN DATA TTG MASALAH PENDIDIKAN BAGI ANAK
DARI KELUARGA MISKIN YANG MENJADI SASARAN KEBIJAKAN
(DATA LAPANGAN)
TEORI DAN HASIL PENELITIAN
REKOMENDASI PENGEMBANGAN MDEL WAJAR DIKDAS 9 TAHUN
BAGI ANAK DARI KELUARGA MISKIN
KAJIAN TEORETIK
KAJIAN TEORETIK DAN EMPIRIK
KAJIAN EMPIRIK
HASIL ANALISIS 2
HASIL ANALISIS 3
HASIL ANALISIS 1,2 DAN 3
HASIL ANALISIS 1
KAJIAN TEORETIK
Secara keseluruhan, proses pelaksanaan penelitian sebagaimana
diuraikan diatas bisa dilihat dalam chrat di bawah ini yang mengambarkan
tahapan-tahapan penelitian, mulai dari tahap persiapan yang diawali dari
kegiatan orientasi dan perencanaan penelitian, persiapan lapangan, dan
pelaksanaan penelitian itu sendiri sampai kepada analisis hasil penelitian serta
perumusan rekomendasi, termasuk pengajuan model hipotetik penyelenggaraan
Wajar Dikdas 9 tahun yang didasarkan hasil kajian empirik dan teoretik dengan
menggunakan sumber-sumber yang relavan.
Gambar 3:2. Bagan Prosedur Penelitian
14
BAB IV
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Berikut ini adalah uraian mengenai dua hal penting yang akan menjawab
tujuan penelitian ini. Yang pertama, adalah deskripsi mengenai rumusan serta
bentuk-bentuk program implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang
telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur dalam kaitannya dengan
upaya untuk membantu meringankan beban anak dari keluarga miskin.
Termasuk dalam bagian ini adalah uraian mengenai kondisi umum kabupaten
Cianjur dilihat dari aspek geografis, demografis dan struktur pemerintahan serta
kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduknya. Informasi yang terakhir itu
penting untuk diangkat guna memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang
lingkungan kebijakan yang melatarbelakangi sekaligus akan mempengaruhi
rumusan kebijakan yang akan dilaksanakan.
Yang kedua, adalah deskripsi mengenai hasil atau kinerja kebijakan
dalam bentuk kecenderungan pencapaian tingkat partisipasi anak usia 7-15
tahun dalam mengkases pendidikan dasar 9 tahun. Lebih jauh lagi, dalam sub
bab ini juga akan diangkat sejumlah potret kasus anak dari keluarga miskin yang
sampai saat ini belum tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun,
diangkat dari hasil penelitian terhadap sejumlah kasus anak yang pada saat
dilakukan penelitian sedang tidak berada di sekolah, baik karena alasan tidak
melanjutkan ataupun karena putus di tengah jalan alias dropout. Alasan tentang
mengapa masih banyak anak usia 7-15 tahun dari keluarga miskin belum atau
tidak bisa mengikuti pendidikan dasar 9 tahun alias belum tersentuh dengan
kebijakan yang dilaksanakan pemerintah, adalah fokus dari uraian di atas.
113
15
Informasi tersebut juga menjadi sangat penting dan relevan dalam
penelitian ini untuk menilai sampai sejauh mana tingkat efektivitas pelaksanaan
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digencarkan pemerintah selama ini dalam
rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga
miskin. Bahkan dari informasi itulah pula, salah satunya, pengembangan model
peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka akselerasi penuntasan Wajar
Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin yang sekaligus merupakan
rekomendasi hasil penelitian ini akan dirumuskan.
A. Gambaran Umum Kabupaten Cianjur
Secara geografis, Cianjur yang merupakan salah satu kabupaten di
provinsi Jawa Barat ini memiliki letak yang cukup strategis karena posisinya
yang berada di tengah Propinsi Jawa Barat dengan jarak sekitar 65 Km dari Ibu
Kota Provinsi (Bandung) dan 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Karena
letaknya yang strategis itulah, Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduknya
yang telah mencapai angka 2 juta jiwa lebih ini tidak saja merupakan bagian
dari wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, melainkan dalam banyak
aspeknya juga juga sangat diperhitungkan sebagai daerah penyangga yang
diharapkan bisa mendukung pembangunan kawasan yang dikenal dengan
sebutan Botabekjur (Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur).
Masih secara geografis, kabupaten yang memiliki luas sebanyak
350.148 hektar dan merupakan daerah terluas kedua di Jawa Barat setelah
kabupaten Sukabumi ini dibatasi oleh Kabupaten Bogor dan Purwakarta di
sebelah Utara, Kabupaten Sukabumi disebelah Barat, Samudera Indonesia
16
disebelah Selatan, dan Kabupaten Bandung dan Garut disebelah Timur
sebagaimana tergambar dalam peta wilayah berikut ini :
Gambar 4.1 : Peta Kabupaten Cianjur
Masih secara geografis, Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian
wilayah pembangunan, yakni Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah,
dan Cianjur Bagian Selatan. Pembagian wilayah pembangunan dengan berbagai
karakteristiknya ini penting untuk diangkat di sini karena dalam beberapa
aspeknya, langsung ataupun tidak langsung, akan ikut mempengaruhi
penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan.
17
1. Cianjur Bagian Utara
Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian
besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi
merupakan areal perkebunan dan persawahan, dengan ketinggian sekitar 2.962
m di atas permukaan laut. Termasuk dalam wilayah ini adalah daerah Puncak
dengan ketinggian sekitar 1.450 m, Wilayah perkotaan Cipanas (Kecamatan
Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian sekitar 1.110 m, serta Kota Cianjur
dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian daerah ini
merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan perkebunan
dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat
Gunung Salak yang merupakan gunung api termuda dan sebagian besar
permukaannya ditutupi bahan vulkanik.
Kecamatan yang termasuk wilayah Utara dan relatif memiliki infra
struktur dan sarana pendidikan yang memadai ini adalah Kecamatan Cibeber,
Bojongpicung, Ciranjang, Karangtengah, Cianjur, Warungkondang, Cugenang,
Pacet, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Cilaku, Sukaresmi, Gekbrong dan
Cipanas.
2. Cianjur Bagian Tengah
Merupakan daerah perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah
berupa persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang
tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil sehingga sering terjadi
tanah longsor, dataran lainnya terdiri dan areal perkebunan dan persawahan.
Kecamatan Wilayah Tengah yang sarana pendidikannya relatif lebih baik ini
18
terdiri dari Kecamatan Tanggeung Pagelaran, Kadupandak, Takokak,
Sukanagara, Campaka dan Campaka Mulya.
3. Cianjur Bagian Selatan
Merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit bukit kecil diselingi
oleh pegunungan yang melebar ke Samudra Indonesia, di antara bukit-bukit dan
pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran
terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m di atas
permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur bagian Tengah, bagian Cianjur
Selatan pun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Di wilayah pembangunan
ini terdapat juga areal perkebunan dan pesawahan tetapi tidak begitu luas.
Kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan ini adalah Agrabinta,
Leles, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Di
kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan inilah pula banyak
desa yang karena keterisolasiannya tidak memiliki sarana pendidikan yang
memadai. Masalah jarak antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah,
adalah merupakan persoalan berat tersendiri yang sering dihadapi anak
diwilayah Cianjur selatan ini. Bahkan kondisinya menjadi tambah parah ketika
sarana jalan dan transformasinya pun sering jauh dari keadaan yang memadai.
Secara demografis, kabupaten Cianjur yang memiliki luas sebanyak
3.501,46 km2 dan secara administratif dibagi ke dalam 30 kecamatan, 340 desa
dan 6 kelurahan ini memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, yakni sekitar
2.125.023 jiwa (BPS, 2006). Rincian menurut pembagian jenis seksnya,
1.100.412 jiwa merupakan penduduk laki-laki, dan 1.024.611 jiwa merupakan
penduduk perempuan. Dengan demikian, sex ratio penduduk kabupaten yang
19
memiliki potensi pertanian ini jatuh pada angka 107,40. Arti demografisnya,
jumlah penduduk laki-laki di kabupaten yang banyak mengirim tenaga kerja
perempuan (TKI) ke luar negeri ini lebih besar dibanding jumlah penduduk
perempuan. Persisnya, 100 penduduk perempuan berbanding 107 penduduk
laki-laki. Karakteristik demografis ini sengaja diangkat di sini karena ada
kecenderungan bahwa keutuhan sebuah keluarga akan sangat mempengaruhi
dan menentukan kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Dibanding dengan luas daerahnya, maka tingkat kepadatan penduduk
(densitas) kabupaten ini sudah mencapai angka 598,14 jiwa / km2 dengan
sebaran penduduk yang relatif kurang merata sehingga dalam beberapa
aspeknya kurang menguntungkan, termasuk jika dikaitkan dengan
penyelenggaraan pembangunan dibidang pendidikan
Menurut persebarannya, kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan
yang berlokasi di wilayah Cianjur utara jauh lebih tinggi dibanding kecamatan
yang berada di wilayah Cianjur tengah dan Cianjur bagian selatan. Hal ini
terjadi karena sangat berkaitan erat dengan faktor daya tarik daerah, terutama
dengan faktor ekonomi dan kondisi sarana atau infrastruktur yang tersedia,
termasuk tentunya sarana pendidikan. Umumnya di wilayah pembangunan ini,
masalah jarak dan ketersediaan sarana pendidikan, termasuk tenaga pendidikan
relatif lebih memadai dibanding daerah yang ada diwilayah pembangunan yang
lainnya.
Sebaliknya, karena keterbatasan dalam beberapa faktor strategis itulah
pula, terutama infra struktur seperti jalan, maka kepadatan penduduk di wilayah
Cianjur selatan relatif masih cukup rendah. Di daearah-daerah yang termasuk
20
wilayah pembangunan inilah pula, masalah transportasi dan ketersediaan sarana
pendidikan, termasuk tenaga pendidikan sering menjadi masalah. Itulah pula
beberapa faktor yang selama ini sering hadir menjadi salah satu penghambat
dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun.
Beberapa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi
adalah kecamatan Cianjur dengan kepadatan sebesar 6.275,98 jiwa/km2, disusul
kecamatan Karangtengah (3.073,68/km2), kecamatan Ciranjang (2.276,98/km2),
kecamatan Cipanas (1.834,47 jiwa/km2), kecamatan Pacet (1.496,18 jiwa/km2,
kecamatan Sukaluyu (1.546,98 jiwa/km2, dan kecamatan Cugenang sebesar
1.424,14 jiwa/km2. Sementara kecamatan dengan tingkat kepadatannya yang
relatif rendah adalah kecamatan Naringgul sebesar 180,75 jiwa/km2 disusul
kecamatan Agrabinta sebanyak 184,80 jiwa/km2.
Dilihat dari aspek pertumbuhannya, Susenas 2005 mengungkap bahwa
laju pertumbuhan penduduk (LPP) di kabupaten Cianjur ini mencatat angka 1,86
persen pertahun, atau naik dari posisi hasil Sensus penduduk tahun 2000 sebesar
1,57 persen. Ini semua menunjukan bahwa tren kependudukan di kabupaten ini
masih menjadi ancaman karena akan besar pengaruhnya terhadap kelancaran
pembangunan hampir seluruh sektor pembangunan, termasuk pembangunan di
sektor pendidikan. Logika demografisnya, semakin tinggi laju pertumbuhan
penduduk, maka akan semakin tinggi pula pertambahan jumlah absolutnya,
termasuk pertambahan penduduk usia sekolah yang menjadi sasaran Wajar
Dikdas 9 Tahun.
Dari sumber data yang ada juga terungkap bahwa tingginya laju
pertumbuhan penduduk tersebut tidak semata diakibatkan oleh faktor migrasi,
21
melainkan justeru oleh faktor fertilitas yang trennya masih cukup
mengkhawatirkan. Masih menurut sumber BPS yang diambil dari hasil Suseda
tahun 2005, angka kelahiran total (Total Fertility Rate-TFR) untuk kabupaten
Cianjur selama ini masih bertengger pada angka 2.45 anak. Artinya, setiap
wanita usia subur di Kabupaten Cianjur saat ini masih berpotensi memiliki anak
antara 2-3 orang, tentu dengan segala implikasi demografisnya terhadap struktur
penduduk Kabupaten Cianjur.
Bandingkan dengan angka kelahiran atau TFR Jawa Barat yang
posisinya sudah mendekati angka 2.3. Itulah pula fakta demografis yang akan
menghambat upaya akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun. Di sini
berlakuk kaidah demografis sebagai berikut : semakin tinggi angka kelahiran,
maka akan semakin muda struktur umur penduduknya, dan pada gilirannya akan
semakin besar pula peningkatan penduduk usia sekolahnya, termasuk struktur
umur dalam kelompok usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9
tahun.
Di bawah ini adalah tren peningkatan jumlah penduduk usia 7-15
tahun, penduduk usia SD/SLTP di kabupaten Cianjur, diambil dari sumber hasil
Pendataan Keluarga yang setiap tahun dilakukan oleh Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Cianjur :
22
Tabel 4:2. Tren Peningkatan Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun
TAHUN JUMLAH
PENDUDUK PENDUDUK USIA
7-15 TAHUN % DARI TOTAL
PENDUDUK
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1.877.650 1.932.204 2.009.785 2.035.122 2.070.123 2.094.365 2.122.756
357.400 372.666 376.152 388.773 393.365 398.365 402.918
19,03 19,29 18,82 18,56 19,00 19,03 18,98
Sumber : Hasil Pendataan Keluarga BKKBN
Dari tabel di atas terungkap bahwa dalam periode enam tahun sejak
tahun 2001 sampai dengan 2007, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk
usia 7-15 tahun dari 357.400 jiwa pada tahun 2001 menjadi 402.918 jiwa pada
akhir tahun 2007, atau bertambah sebanyak 52.504 jiwa, atau sekitar 7.586 anak
untuk tambahan setiap tahunnya.
Dalam pandangan peneliti, itulah salah satu tantangan berat pelaksanaan
Wajar Dikdas dilihat dari aspek kependudukan. Disebut tantangan berat karena
dengan itu berarti bahwa setiap tahunnya diperlukan tambahan sarana dan
prasarana pendidikan dasar untuk bisa menampung sekaligus menjamin akses
tidak kurang dari 7.000 tambahan sasaran anak usia SD/SLTP, disamping
menjamin kelangsungan pendidikan dasar bagi anak yang telah ada. Bayangkan,
jika setiap tambahan 40 orang siswa saja membutuhkan tambahan satu ruang
kelas baru (RKB), maka di Kabupaten Cianjur ini setiap tahunnya dibutuhkan
tidak kurang dari 190 ruang kelas baru (RKB). Itu belum termasuk tambahan
yang dibutuhkan untuk penyediaan tenaga guru dan prasarana pendidikan yang
lainnya.
23
Itulah fenomena demografis yang dalam pandangan peneliti sangat tidak
menguntungkan anak dari keluarga miskin. Alasannya, semakin terbatas sarana
pendidikan yang tersedia, maka akan semakin kecil kesempatan yang dimiliki
anak dari keluarga miskin untuk bisa menikmatinya. Dan di situlah pula letak
strategisnya upaya pengendalian kelahiran melalui intensifikasi program
Keluarga Berencana (KB) dalam menunjang sukses Wajar Dikdas 9 Tahun.
Sesuai dengan potensi yang dimilikinya, maka sektor pertanian menjadi
mata pencaharian pokok penduduk kabupaten Cianjur, yakni mencapai angka
59,18 persen, disusul sektor jasa sebesar 7,20 persen, sektor transportasi dan
kominikasi sebesar 7,17 persen, sektor perdagangan 6,03 persen, sektor industri
5,0 persen, dan sektor keuangan sebesar 0,61 persen. Itulah pula gambaran
mengenai potensi ekonomi kabupaten Cianjur yang dalam banyak aspeknya
akan berpengaruh dalam melihat potensi pembangunan di kabupaten ini,
termasuk potensi pembangunan di bidang pendidikan.
Namun perlu dicatat, meskipun mayoritas penduduknya banyak
berkiprah pada sektor pertanian, namun dilihat menurut kepemilikan lahan dan
statusnya ternyata menunjukan kondisi yang tidak menggembirakan.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003, sebesar 14,54 persen dari rumah
tangga yang bergerak dibidang pertanian adalah merupakan rumah tangga
penggarap lahan pertanian yang dimiliki orang lain, dan hanya 4,07 persen
rumah tangga yang mengolah tanah sendiri.
Bahkan menurut sumber data dari Bappeda, sebagaian besar dari mereka
yang mengolah tanah sendiri, sebanyak 76,69 persen, hanya memiliki lahan
pertanian kurang dari 0,5 hektar, dan hanya 23,31 persen petani yang memiliki
24
lahan di atas 0,5 hektar. Tidak mengherankan kalau tingkat kesejahteraan petani
di kabupaten Cianjur ini relatif sulit ditingkatkan karena sebagain besar diantara
mereka itu statusnya justeru hanya sebagai buruh tani. Itulah pula fakta yang ada
di balik besarnya angka kemiskinan di Kabupaten Cianjur ini. Bahkan dalam
pandangan peneliti, itulah pula salah satu kendala utama dalam mensuskseskan
implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten berbasis
pertanian ini.
Berkait dengan itu, masalah partisipasi angkatan kerja yang berdampak
terhadap angka pengangguran, merupakan persoalan pelik tersendiri yang
dihadapi kabupaten Cianjur. Sebagai gambaran, dari jumlah angkatan kerja yang
ada pada tahun 2004, hanya 55,57 persen mereka yang bekerja. Bahkan kondisi
ini turun dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2000 sebesar
57,37 persen, bahkan jauh lebih rendah lagi jika dibanding dengan partisipasi
angkatan kerja tahun 1995 yang sudah mencapai angka 59,31 persen.
Tidak mengherankan jika laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Cianjur
pada tahun 2006 ini masih berkutat pada angka 3,82 persen, sebuah angka yang
menurut kajian Bappeda masih sangat tidak memadai. Disebut tidak memadai,
karena dengan LPE sebesar itu diperkirakan hanya mampu menyerap tenaga
kerja sebanyak sekitar 600.000 orang. Bahkan masih menurut hasil kajian
Bappeda, dengan LPE yang tidak memadai itu kini diperkirakan bakal ada
penganggur sebanyak sekitar 210.000 orang.
Itulah pula faktor yang selama ini banyak menyebabkan tingginya
kemiskinan. Sebagai gambaran, sumber BPS Kabupaten Cianjur mengungkap
bahwa jumlah penduduk kurang beruntung alias miskin di kabupaten yang
25
memiliki basis pertanian dan pariwisata ini masih mencapai angka 651.329 jiwa,
atau mencapai 30,6 persen dari total jumlah penduduk kabupaten Cainjur (BPS
Cianjur, 2006). Di bawah ini adalah daftar jumlah penduduk miskin menurut
sumber paling akhir, tahun 2006, yang dikeluarkan Kantor Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Cianjur.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Cianjur
Menurut Kecamatan
No
Kecamatan
Jumlah Total Penduduk
Jumlah Penduduk
Miskin
Prosentase
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Agrabinta Leles Sindangbarang Cidaun Naringgul Cibinong Cikadu Tanggeung Kadupandak Cijati Takokak Sukanagara Pagelaran Campaka Campakamulya Cibeber Warungkondang Gekbrong Cilaku Sukaluyu Bojongpicung Ciranjang Mande Karangtengah Cianjur Cugenang Pacet Cipanas Sukaresmi Cikalongkulon
38.158 34.600 50.221 63.323 45.436 59.251 36.212 64.430 49.119 32.539 50.661 47.311 86.458 62.650 24.318 117.651 64.701 47.430 90.866 69.004 104.886 88.109 64.654 124.855 151.981 94.325 98.422 91.405 78.006 94.040
13.763 10.590 12.589 15.844 13.540 17.854 12.770 20.464 15.854 9.198 13.893 16.515 27.544 .19.707 6.021 38.167 21.655 15.134 26.098 23.107 29.596 34.327 25.729 35.085 44.456 26.256 23.655 21.507 24.710 35.597
35,94 30,06 25,06 25,02 29,80 30,13 35,26 31,76 32,27 28,26 27,42 34,90 31,85 31,45 24,75 32,44 33,46 31,90 28,72 33,48 28,21 38,95 39,79 28,07 29,25 17,23 24,03 23,52 31,67 37,85
Jumlah 2.125.023 651.239 30,6 Sumber : BPS Cianjur 2006
26
Dari tabel di atas nampak jelas bahwa beberapa kecamatan di Kabupaten
Cianjur ternyata masih memiliki jumlah penduduk miskin dengan proporsinya
yang mencolok dibanding kecamatan yang lainnya. Lima kecamatan, yaitu
Mande, Ciranjang, Cikalongkolon, Agrabinta dan Cikadu, merupakan beberapa
kecamatan yang cukup parah karena prosentase jumlah penduduk miskinnya
masih berada di atas 35 persen.
Itulah pula salah satu tantangan yang akan menjadi penghambat dalam
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Dalam pandangan Robert
Chambers sebagaimana dikutip Soetrisno (1997), misalnya, karena
kemiskinannya, mereka sering terpaksa tinggal di daerah yang secara geografis
terisolasi dari akses berbagai informasi, termasuk akses kepada pendidikan.
Karena kemiskinannya, mereka sering tidak berdaya ketrika berhadapan dengan
mereka yang tidak miskin.
Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini adalah potret kemiskinan yang
bersumber dari hasil Pendataan keluarga yang setiap tahun dilakukan BKKBN
dan sekaligus merupakan gambaran penduduk dilihat dari tahapan
kesejahteraannya sebagai berikut :
Tabel 4.3 Perkembangan Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera 1 Hasil Pendataan Keluarga BKKBN 2001-2007
TAHUN JUMLAH KEPALA
KELAURGA JUMLAH
PRA S DAN KS I %
2001 504.927 255.738 50,65
2002 519.734 270.921 52,13
2003 536.805 271.453 50,57
2004 547.426 269.309 49,20
2005 570.047 283.528 49,74
2006 597.792 261.021 45,02
27
Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah maupun prosentase keluarga
yang masih tergolong Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera 1 (KS 1)
dengan enam indikatornya, termasuk di dalamnya satu indikator pendidikan,
dari tahun ke tahun masih menunjukan angka yang cukup memprihatinkan.
Itulah pula bukti sekaligus tantangan berat lain dalam pelaksanaan Wajar
Dikdas 9 Tahun di kabupaten Cianjur. Disebut tantangan berat, karena salah
satu indikator penting sebuah keluarga masuk dalam kategori KS 1 berkait
dengan ketidakmampuannya untuk mengakses pendidikan dasar dengan
berbagai alasannya. Sebaginnya tidak bisa mengakses sekolah karena berkait
dengan persoalan ekonomi keluarga mereka, sebagian yang lainnya berkaut
dengan persoalan tempat tinggal yang jauh dari lokasi sekolah, dan sebagian
yang lainnya karena persoalan kesadaran atau motivasinya yang kurang, atau
memang karena gabungan antara banyak faktor kemiskinan yang memang
melekat pada diri mereka. Seperti kata Amartya Sen (1997), dalam kemiskinan
ekonomi selalu melekat kemiskinan secara total; miskin pengetahuan, miskin
kesehatan dan miskin kesadaran. Di situlah kompleksnya menyoal dan
mengatasi masalah kemiskinan
Dilihat menurut rincian per kecamatannya, maka potret untuk masing-
masing daerah memiliki angka yang satu sama lain berbeda seperti terlihat
dalam tabel di berikut ini:
28
Tabel 4.4 Tabel Keluarga Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera I (KS 1)
Menurut kondisi tiap kecamatan tahun 2006
NO KECAMATAN JUMLAH
KK PRA S DAN
KS I %
1 SINDANGBARANG 15,330 4,918 32.08
2 CIDAUN 19,009 6,411 33.73
3 CIBINONG 18,548 6,110 32.94
4 PAGELARAN 24,959 12,651 50.69
5 KADUPANDAK 13,433 5,257 39.13
6 SUKANAGARA 13,313 7,359 55.28
7 CAMPAKA 17,340 7,393 42.64
8 CIBEBER 32,699 12,271 37.53
9 BOJONGPICUNG 29,150 16,324 56.00
10 CIANJUR 37,827 13,749 36.35
11 WARUNGKONDANG
17,364 7,426 42.77
12 CUGENANG 25,481 12,868 50.50
13 KARANGTENGAH 32,343 16,536 51.13
14 CIRANJANG 23,320 13,167 56.46
15 MANDE 18,079 9,458 52.31
16 CIKALONGKULON 23,587 13,688 58.03
17 PACET 22,256 7,711 34.65
18 CILAKU 22,913 8,822 38.50
19 SUKALUYU 18,234 7,717 42.32
20 SUKARESMI 19,741 10,365 52.50
21 TAKOKAK 15,371 6,995 45.51
22 TANGGEUNG 18,610 7,476 40.17
23 CAMPAKAMULYA 7,364 3,750 50.92
24 AGRABINTA 11,946 4,074 34.10
25 NARINGGUL 13,096 4,312 32.93
26 CIKADU 10,028 5,166 51.52
27 GEKBRONG 13,169 6,614 50.22
28 CIPANAS 24,104 9,955 41.30
29 CIJATI 9,742 6,072 62.33
30 LELES 11,436 6,406 56.02
KABUPATEN 579,792 261,021 45.02
29
Melihat angka kemiskinan seperti bisa dilihat dalam tabel di atas nampak
bahwa betapa masih berat beban pembangunan yang harus dihadapi Kabupaten
Cianjur saat ini. Beberapa kecamatan seperti Cijati, Cikalongkulon, Leles dan
Ciranjang, merupakan kecamatan yang memiliki beban paling berat karena
masih memilki jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I di atas 55%, jauh
lebih tinggi di atas rata-rata tingkat kabupaten, 40,02%.
Sebagai dampaknya, tidak mengherankan jika masalah pendidikan di
Kabupaten Cianjur ini masih berada dalam kondisi yang relatif masih cukup
memprihatinkan. Salah satu indikatornya, sumber BPS Cianjur (2006)
mengungkapkan bahwa 50% lebih penduduk Cianjur hanya mampu
menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar atau MI, dan hanya 1,8%
yang mampu menamatkan jenjang pendidikan setingkat D1 atau S1.
Bahkan yang sangat memprihatinkan, masih ada sekitar 2,3% penduduk
usia 10 tahun ke atas, atau sebanyak 39.820 oang dari sekitar 1.704.488 orang
penduduk Cianjur yang diketahui tidak atau belum pernah sekolah. Tidak
mengherankan pula jika di Kabupaten Cianjur ini masih ada penduduk yang
berstatus butu huruf, yakni sekitar 3,29%. Lengkapnya, berikut ini adalah potret
pencapaian pendidikan penduduk Kabupaten Cianjur usia 10 tahun ke atas,
dilihat menurut jenjangnya.
30
Tabel 4.5 Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Status Pendidikan yang ditamatkan dan Jenis Kelamin
Pendidikan yang
ditamatkan Jenis Kelamin
Jumlah % Laki-laki Perempuan
Tidak/Belum
pernah sekolah
11.528 28.292 39.820 2,33
Tidak/belum tamat 225.119 225.876 450.995 26,45
SD/MI 467.157 425.830 892.987 52,39
SLTP/MTs 97.342 77.536 174.878 10,26
SLTA/SMK 66.262 48.746 115.008 6,74
D1/S1 18.088 12.712 30.800 1,80
Jumlah 885.496 818.992 1.704.488 100.00
Sumber : BPS Cianjur, Suseda 2006
Bukan hanya itu, dalam bidang kesehatan yang merupakan salah satu
faktor penting yang akan menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini
juga ternyata masih menunjukan angka yang relatif rendah. Sebagai gambaran,
data terakhir yang dikeluarkan BPS kabupaten Cianjur mengungkap bahwa
angka harapan hidup (life expectancy at birth) yang merupakan indikator
penting pencapaian kesehatan di kabupaten Cianjur ini masih bertengger pada
angka 66,0 tahun. Sementara rata-rata lama sekolah (rate of year schooling)
baru mencapai angka 6,6 tahun.
Bahkan jika melihat satu indikator penting yang lainnya, yakni indikator
daya beli, posisi kabupaten Cianjur masih sangat memprhatinkan karena masih
bertengger pada angka 54,81. Itu didasarkan kepada komponen daya beli
masyarakat kabupaten Cianjur yang menurut sumber BPS Cianjur (2006) baru
mencapai angka Rp.537.160,- perkapita. Inilah pula yang menjadi penyebab
kenapa posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten Cianjur
31
sampai dengan tahun 2006 ini baru mencapai angka 67,44 dari target 76 untuk
mendukung pencapaian IPM Jawa Barat sebesar 80 pada tahun 2010.
Tabel berikut di bawah ini adalah posisi pencapaian IPM kabupaten
Cianjur hasil Survey BPS yang diselenggarakan pada tahun 2006, diperinci
menurut pencapaian tiga indikator penentunya :
Tabel 4.6 : Posisi Pencapaian IPM Kabupeten Cianjur 2006 KOMPONEN ANGKA INDEKS KOMPONEN
Pendidikan : a. Melek Huruf b. Rata-rata lama
sekolah
96,79
6,60
79,19
Kesehatan a. Rata-rata Usia
Harapan hidup Waktu lahir
66,0
68,33
Ekonomi – Daya beli a. Kemampuan Daya
beli
537.190
54,81
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
-
67,44
Sumber: BPS Cianjur 2007
Dengan memperhatikan kondisi obyektif permasalahan dan tantangan
yang dihadapi kabupaten Cianjur itulah, juga mempertimbangkan nilai-nilai
yang ada, maka Kabupaten Cianjur telah menetapkan visi dan misi, termasuk
didalamnya strategi pokok sebagai berikut:
1. Visi
Inilah harapan masa depan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah dan
masyarakat kabupaten Cianjur sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam
visinya sebagai berikut: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Cianjur yang
lebih Cerdas, Sehat, Sejahtera dan Berakhlakul-karimah”. Visi yang pada
32
awalnya merupakan visi calon bupati dan wakil bupati tersebut, saat ini telah
disyahkan menjadi visi resmi pemerintah Kabupaten Cianjur.
Terkandung makna penting dalam visi untuk mewujudkan masyarakat
Cianjur yang lebih cerdas tersebut adalah kesadaran sekaligus komitmen kuat
pemerintah akan arti pentingnya pembangunan pendidikan sebagai pilar dasar
bagi pelaksanaan pembangunan sektor yang lainnya. Bukan hanya itu, melalui
visinya itu juga kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang tinggi akan arti
pentingnya pendidikan sebagai modal manusia (human capital) yang akan
menentukan masa depan masyarakat kabupaten Cianjur dimasa yang akan
datang.
Melalui visinya itu pula, pemerintah kabupaten Cianjur sadar bahwa
upaya untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas itu tidak akan banyak
memiliki banyak arti jika tidak dibarengan dengan upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatannya dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan dalam
perkembangan yang paling kontemporer, konsepsi pembangunan manusia
(human development) itu sendiri senantiasa meniscayakan arti pentingnya
memadukan dan mensinergikan ketiga sektor pembangunan di atas; pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan. Karenanya, rumusan visi itu menjadi sangat pas
dengan upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang
sekaligus juga merupakan tekad yang ingin diwujudkan oleh pemerintah
provinsi Jawa Barat.
Tidak sampai di situ, melalui visinya itu pula pemerintah kabupaten
Cianjur sadar bahwa apalah artinya masyarakat yang cerdas, sehat dan sejahtera
secara materi jika tidak dibarengi dengan sikap dan perilakunya yang berakhlak
33
mulia. Itu sebabnya, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat religious yang
ditandai dengan sekap dan perilakunya yang akhlakul-karimah (berakhlak
mulia), adalah harapan yang menjadi greget (creative tension) lain yang secara
eksplisit tercantum dalam visi kabupaten Cianjur.
Dengan visi itu, demikian diungkapkan bupati Cianjur yang sering
disampaikan dalam setiap kesempatan, maka setiap gerak dan langkah
pembangunan yang akan dilakukan di kabupaten yang terkenal dengan Kota
Santri-nya ini diharapkan selalu dilandasi oleh nilai-nilai agama (Islam) yang
diyakini bisa mejadi motivasi sekaligus landasan spiritual pelaksanaan
pembangunan masyarakat di kabupaten Cianjur.
2. Misi dan Strategi
Untuk menjabarkan visi tersebut di atas, maka telah dirumuskan empat
misi dengan beberapa strateginya sebagaimana tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Cianjur tahun 2006-2011
sebagai berikut:
Misi Pertama; yakni meningkatkan akses masyarakat terhadap
pendidikan yang bermutu dengan enam strateginya sebagai berikut:
a. Meningkatkan tarap pendidikan masyarakat Kabupaten Cianjur dengan
fokus pada akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun
b. Mengembangkan jumlah dan mutu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM)
c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, baik
pendidikan umum maupun agama
34
d. Meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non-formal
e. Mengalokasikan dana yang relavan untuk meningkatkan sistem manajemen
pendidikan
f. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka pelayanan
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi
Misi Kedua; Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan
sembilan strategi pokoknya sebagai berikut :
a. Meningkatkan peran Posyandu dan Puskesmas sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan masyarakat
b. Meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dan jumlah Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD)
c. Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga medik
d. Memberikan pelayanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin
e. Meningkatkan kesehatan lingkungan dan Pola Hidup Sehat
f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan dasar
g. Optimalisasi kinerja pelayanan kesehatan
h. Pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan informasi tentang
kesehatan
i. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program KB dan
kesehatan reproduksi
Misi Ketiga; Meningkatkan Pembangunan Ekonomi yang berbasis
potensi lokal melalui sepuluh strateginya sebagai berikut :
35
a. Meningkatkan kegiatan usaha koperasi dan pelaku usaha skala mikro, kecil
dan menengah
b. Menciptakan iklim investasi yang kondusif
c. Meningkatkan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat petani dan
nelayan
d. Meningkatkan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja
e. Meningkatkan pembinaan dan pengelolaan kawasan wisata
f. Meningkatkan penguatan lembaga-lembaga ekonomi pendukung pertanian
dan kepariwisataan
g. Memelaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang.
h. Meningkatkan mutu pelayanan jasa transfortasi daerah
i. Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur wilayah
j. Meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah.
Misi Keempat ; Meningkatkan Pembinaan akhlakul – karimah dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui empat strategi
pokok sebagai berikut :
a. Meningkatkan kegiatan pembinaan kehidupan beragama
b. Meningkatkan forum-forum dialogis antar tokoh umat beragama
c. Meningkatkan kegiatan pembinaan keagamaan dilingkungan pemerintah
daerah dan masyarakat
d. Meningkatkan intensitas kemitraan antara legislatif dan eksekutif.
Itulah empat misi dengan dua puluh tiga strategi pokoknya yang
menjadi arah sekaligus acuan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur
36
saat ini dan ke depan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang secara formal telah disahkan melalui
Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006. Berdasarkan visi dan misi itulah pula
pelaksanaan pembangunan seluruh sektor, termasuk sektor pendidikan di
Kabupaten Cianjur dilakukan.
B. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan
Hal penting yang bisa dipetik dari rumusan visi dan misi, termasuk
strategi pembangunan sebagaimana telah diangkat sebelumnya adalah, bahwa
urusan pembangunan disektor pendidikan, terutama pendidikan dasar 9 tahun,
ternyata memiliki posisi sekaligus landasan yang kuat dalam rumusan kebijakan
pembangunan di Kabupaten Cianjur. Itulah pula yang kemudian dijadikan arah
dan acuan pembangunan pendidikan sebagaimana dijabarkan dalam Rencana
Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten
Cianjur.
Secara garis besar, terdapat empat misi yang sekaligus merupakan arah
pelaksanaan pendidikan di kabupaten Cianjur. Sementara visinya itu sendiri
sebagaimana dijelaskan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat,
persis sama dengan visi pemerintah Kabupaten Cianjur. Alasannya, adalah
kebijakan Wakil Bupati Cianjur yang telah memerintahkan agar seluruh Satuan
Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ada di Kabupaten ini memiliki rumusan
visi yang persis sama dengan rumusan visi Pemerintah Daerah. Misi-lah yang
membedakan fungsi dan tugas yang mesti diemban oleh masing-masing SKPD.
Berkait dengan itu, ada lima misi yang telah dirumuskan sekaligus
ditetapkan dalam Renstra Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
37
Cianjur, yaitu (1) Menuntaskan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun, (2) Meningkatkan mutu pendidikan, (3) Memeratakan pelayanan
pendidikan, (4) Mengembangkan nilai-nilai kebudayaan, dan (5)
Mengembangkan peran serta kepemudaan dan olah raga.
Untuk menjabarkan kelima misi tersebut, berikut ini adalah tujuan,
sasaran serta strategi yang sekaligus merupakan arah dan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Cianjur sebagaimana bisa dilihat
dalam tabel berkiut ini:
Figur 4.7 : Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Cianjur
Tujuan Sasaran Cara mencapai Tujuan dan Sasaran /
Strategi Uraian Indikator Kebijakan Program
1 2 3 4 5 1. Menuntaskan
pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Tuntasnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun dengan
Meningkatnya APM ( SD/MI/SLTP) menjadi 98%
Peningkatan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun melalui 1. Sekolah 2. Luar Sekolah
1. Program pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD )
2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
3. Program Pendidikan Menengah 4. Program Pendidikan Non Formal
2. Meningkatka
n mutu pendidikan
Meningkatnya mutu pendidikan
Meningkatnya jumlah siswa yang lulus dalam Unas menjadi 100%
Peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga pendidikan melalui diklat fungsional dan diklat teknis substantif serta pembinaan kepegawaian lainya
5. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
6. Program Manajemen Peleyanan Pendidikan
7. Program Peningkatan Disiplin 8. Program Peningkatan Sumber
Daya Aparatur di bidang Pendidikan
9. Program Pengembangan budaya baca dan pembinaan
10. Program Pengembangan Pemdidikan Keagamaan
3. Memeratakan
pelayanan pendidikan
Meratanya pemberian pelayanan pendidikan kepada masyarakat
Terpenuhinya sarana/prasarana serta optimalisasi fungsi sarana/prasarana tersebut
Terpenuhinya kebutuhan ruang kelas dan sarana pendukung lainnya melalui proyek rehabilitasi dan penbangunan RKB
11. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Sumber Daya Aparatur di bidang Pendidikan
4. Mengembangkan nilai kebudayaan
Berkembangnya nilai-nilai kebudayaan
Terpeliharanya nilai-nilai kebudayaan
Terpelihara dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang telah ada
12. Program Pengembangan Nilai Budaya
13. Program Pengelolaan Budaya
5. Mengembangkan Pemuda dan Olah Raga
Mengembangkannya peranserta kepemudaan dan olah raga
Terpeliharanya dan berkembangnya nilai-nilai kebudayaan
Meningkatnya peranserta kepemudaan dan olah raga
14. Program Peningkatan Peranserta Kepemudaan
15. Program Kebijakan dan Manajemen Olah Raga
16. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olah Raga
Sumber : Renstra Dinas Pendidikan Kab. Cianjur
38
Dari tabel di atas tampak bahwa pada tataran kebijakan, program
Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun yang ditandai dengan target pencapaian angka
partisipasi murni (APM) sebesar 98 persen pada tahun 2011, merupakan bukti
bahwa pemerintah Kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang cukup tinggi,
paling tidak pada tataran politis-yuridis, dalam mengupayakan pencapaian
Wajar Dikdas 9 tahun sebagaimana telah digariskan oleh kebijakan pemerintah
pusat dan provinsi Jawa Barat. Bahkan kebijakan penting itu secara langsung
didukung pula oleh dua kebijakan lainnya, yakni upaya peningkatan pemerataan
dan mutu pendidikan.
Melalui kebijakan pertamanya yang ditujukan kepada upaya pemerataan,
pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh
seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali lapisan masyarakat kurang
beruntung alias miskin yang selama ini masih banyak meninggalkan sasaran.
Melalui kebijakannya yang kedua, peningkatan mutu, pelaksanaan Wajar
Dikdas 9 tahun diharapkan bisa dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar
kuantitas yang ditandai dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) atau
Angka Partisipasi Murni (APM), melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar bagi setiap warga masyarakat sebagai
modal utama untuk bisa mengakses hak-hak hidupnya dalam banyak aspek
kehidupan yang semakin mengglobal dan sarat dengan kompetisi ini.
C. Target Wajar Dikdas 9 Tahun yang ingin Dicapai
Inilah target yang ingin dicapai pemerintah Kabupaten Cianjur khusus
dalam rangka percepatan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun yang diukur
39
berdasarkan pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi
Murni (APM), dirumuskan berdasarkan kesepakatan dan mempertimbangkan
kondisi permasalahan pendidikan yang ada.
Tabel 4 .8 : Target Pencapaian APK/ APM Kabupaten Cianjur 2004-2011
Indikator
Kondisi 2004*)
Target 2005 **)
Target 2006
Target 2007
Tahun 2008
Tahun 2011
APK
76,03
77,49 %
95,40 %
98,50
%
104%
Wajar
Dikmen
APM
68,99
70,20 %
83,56 %
95,00
%
98,50
%
Sumber : *) Kantor Infokom Kabupaten Cianjur, Potret Pendidikan 2008 **) Untuk angka target, diambil dari Makalah sekaligus arahan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang disajikan dalam Forum Rakor tahun 2008
Dari tabel di atas nampak bahwa ambisi Kabupaten Cianjur untuk
melakukan akselerasi dibidang Wajar Dikdas 9 Tahun cukup kuat. Bayangkan,
dari kondisi APK tahun 2004 yang baru mencapai angka 76,03 persen, dalam
satu tahun berikutnya, tahun 2005, ditargetkan bisa naik secara spektakuler
menjadi 77,79 persen, atau naik sebesar 22,85 point dalam jangka waktu satu
tahun. Bandingkan dengan posisi APK tahun 2001 sebesar 49,17 persen, atau
hanya mampu meningkatkan APK sebesar 5,47 point persen dalam jangka
waktu 4 tahun (2001 – 2005).
Demikian halnya dalam pencapaian APM yang ditargetkan naik secara
dari posisi 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 77,79 persen pada tahun 2005,
atau ditargetkan naik sekitar 1,76 point persen dalam jangka waktu satu tahun.
40
Bandingkan pula dengan posisi APM tahun 2001 yang baru mencapai angka
38,32, atau bisa naik sebesar 37,71 point persen dalam jangka waktu 4 tahun
(2001 -2004).
Tuntas Wajar Dikdas 9 Tahun, itulah pula target yang ingin dikejar oleh
pemerintah Kabupaten Cianjur pada tahun 2008. Bahkan dari tabel diatas pula
nampak bahwa pada tahun 2011 nanti, Kabupaten Cianjur punya komitmen
yang tinggi untuk mendeklarasikan dimulainya program Wajib belajar pada
tingkat menengah (Wajar Dikmen). Dan menurut Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Cianjur, penentuan target tersebut itu sekaligus juga
merupakan bentuk komitmen pemerinrtah Kabupaten Cianjur untuk
mewujudkan visinya, yakni mewujudkan masyarakat Cianjur yang lebih cerdas,
sehat, sejahtera dan berakhlakul karimah.
Bukan hanya itu, penentuan target tersebut juga merupakan keniscayaan
jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai kabupaten Cianjur
yang pada tahun 2008 yang ditargetkan bisa meningkatkan rata-rata lama
sekolah (rate of years schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31
tahun pada tahun 2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh
peningkatan indikator makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli,
Kabupaten Cianjur diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari
posisi 72,27 pada tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan
target akselerasi peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.
Lengkapnya, di bawah ini adalah rincian target pencapaian indikator
makro pendidikan dalam rangka akselerasi peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
41
yang telah ditetapkan pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagaimana tertera
dalam Program Akselerasi Pendidikan Jawa Barat tahun 2004 – 2008 :
Tabel 4 .9: Target peningkatan Indeks Pendidikan Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi pencapaian IPM Jawa Barat tahun 2008
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008
Angka
Melek
Huruf
96,63 97,10 97,58 98,05 98,53
Rata-rata
lama
Sekolah
6,48
6,68
6,88
7,09
7,31
IPM 71,6 72,27 73,9 75,0 76,3
Sumber : Kantor Bappeda Jawa Barat 2004
Dari tabel di atas nampak bahwa rata-rata lama sekolah (RLS)
Kabupaten Cianjur yang pada tahun 2004 baru mencapai angka 6,48 tahun, pada
tahun 2008 ditargetkan naik menjadi 7,31 tahun. Itu semua mengandung arti
bahwa akselerasi peningkatan APK dan APM melalui akselerasi Wajar Dikdas 9
Tahun akan hadir menjadi faktor yang akan banyak menentukan.
Itu semua juga mengandung arti bahwa perlu ada terobosan program atau
gebrakan, termasuk di dalamnya dukungan sarana dan anggaran yang cukup
berarti untuk mendongkrak akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun sesuai
dengan taget berat yang telah ditentukan. Bukan hanya itu, besarnya beban
target itu juga sekaligus mengisyaratkan akan arti pentingnya dukungan
komitmen yang tingi dari semua pihak terkait, termasuk komitmen dari
masyarakat itu sendiri. Kesanalah pula mestinya implementasi Kebijakan Wajar
Dikdas 9 tahun diarahkan.
42
D. Bentuk-bentuk Program Implementasi Untuk Mencapai Target
Tentang bagaimana target dan arah kebijakan itu dilaksanakan secara
operasional, berikut ini adalah deskripsi sekaligus pembahasan mengenai upaya
dan langkah yang ditempuh Kabupaten Cianjur dalam rangka melaksanakan
akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, dinarasikan dari hasil studi
dokumentasi, wawancara serta observasi selama penelitian berlangsung
sebagaimana bisa ditelaah dalam Grand Design berikut ini :.
Dari figur di atas dapat dijelaskan bahwa target yang akan dicapai
Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun
ini adalah meningkatkan Angka Partisipasi kasar (APK) pada jenajng SLTP dari
76,03 pada tahun 2008 menjadi 104 %, dan angka partisipasi murni (APM)
meningkat dari posisi 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 96,40 % pada
KONDISI TAHUN
2004
PROGRAM INTERVENSI
TARGET
JALUR PENDIDIKAN
FORMAL JALUR
PENDIDIKAN NON FORMAL
PEMBANGU NAN INFRA STRUKTUR
APK SLTP = 76,03
APM = 68,99
Pembent ukan Tim Koordina si WajarDikdasTingkat Kab s/dTk. Desa
PENGEMBANGAN SMP SEATAP
PENGEMBANGAN SMP TERBUKA PEMBUKAAN KELAS JAUH
PENGEMBANGAN SEKOLAH RAKYAT/ TERBUKA MANDIRI
PENGEMBANGAN PONTERN CERDAS
PENGEMBANGAN PONTREN
SALAFIYAH
PENGEMBANGAN PROGRAM PAKET
A, B MELALUI PENGEMBANGAN
PKBM
PEMBANGUNAMBAHAN
USB DAN RUANG KELAS BARU,
TRERMASUK REHAB
YANG BERSUMBE
R DARI BERBAGAI BANTUAN
TH 2008 :
APK = 98,50
APM = 95,40
TAHUN 2011 WAJAR 12 TAHUN
PENDATAAN
SOSIALISASI
BANTUAN OPERASIONAL – BOS, BAGUS, DLL
GAMBAR 4.10. GRAND DESIGN IMPLEMENTASI WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABU PATEN CIANJUR
43
tahun 2008, sebuah target yang sangat berat sekaliogus spektakuler jika
dibanding dengan rata-rata kemampuan yang dicapai pada periode sebelumnya.
Dengan kata lain, pada tahun 2008 nanti, Kabupaten Cianjur yang pada
tahun 2006 yang lalu masih termasuk daerah yang paling rendah di Jawa Barat
dalam pencapaian APK-nya, bisa meningkat menjadi kabupaten yang termasuk
kategori tuntas secara paripurna dalam program Wajar Dikdasnya. Bahkan
karena begitu besar komitmen dan gregetnya, Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Cianjur, Drs. Hidayat Atori Msi sering melontarkan
statemennya yang menantang ; ”Saya siap mengundurkan diri jika pelaksanaan
Wajar Dikdas 9 Tahun tidak berhasil mencapai sasaran yang telah ditetapkan”,
tegasnya hampir dalam setiap kesempatan.
1. Pembentukan Tim Koordinasi
Sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan tingkat pusat, maka salah
satu langkah awal yang dilakukan dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun ini
adalah membentuk Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9
Tahun yang melibatkan lembaga, Dinas / Instansi terkait disemua tingkatan,
mulai dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat desa. Hal ini antara lain
tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No. 421.10.05/Kep.97-Ks/2007 Tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Perecepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 tahun yang sekaligus merupakan penyempurnaan terhadap
Tim yang telah dibentuk sebelumnya sebagaimana tertuang dalam SK Bupati
Nomor 41.10.05/Kep.21-Ks//2007, tanggal 26 Januari 2007 Tentang
Pembentukan Tim Sukses Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
44
Inilah struktur untuk melihat dinas /instansi atau lembaga terkait yang
terlibat secara langsung dalam Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar
Dikdas 9 Tahun Kabupaten Cianjur sebagaimana tertuang dalam Surat
Keputusan Bupati tersebut di atas :
Pelindung : Bupati Kabupaten Cianjur
Pengarah Operasional : Wakil Bupati Cianjur
Ketua Umum : Skretaris Daerah Pemda Kabupaten Cianjur
Ketua Harian : Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
Ketua : Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesra Pemda Kabupaten Cianjur
Skretaris 1 : Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
Sekretaris II : Kepala Bagian Kesra Pemda Kabupaten Cianjur
Bendahara I : Kepala Bagian Keuangan Setda Kab. Cianjur Bendahara II : Kepala Sub Bagian pada Bagian Tata Usaha
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Cianjur Anggota : 1. Kepala Bappeda
2. Kepala BKKBN
3. Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil
4. Kepala Kantor Departemen Agama
5. Kepala Sub Dinas Bina Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar pada Dinas P&K Cianjur
6. Kepala Sub Dinas PLS pada Dinas P&K Kabupaten Cianjur
7. Unsur Kodim 0608 Cianjur
8. Unsur Polres Cianjur
9. Koordinator Tim Sarjana Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB)
10. Kepala Kantor BPS Cianjur
11. Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur
45
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur,
pelibatan banyak sektor terkait dalam Tim Koordinasi tersebut bukan tanpa
landasan dan alasan. Selain mengikuti pedoman yang diberikan melalui
kebijakan yang diberikan oleh tingkat yang lebih atas, kebijakan provinsi dan
pemerintah pusat, juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebagai sebuah
gerakan, pelaksanaan Wajar Dikdas sangat meniscayakan dukungan dan
partisipasi semua pihak sesuai dengan potensi dan fungsinya. Bukan saja
dukungan dalam bentuk kebijakan serta koordinasi sebagaimana bisa
deperankan oleh unsur pemerintah daerah, tetapi juga dukungan teknis dari
unsur dinas/ instansi terkait. Bahkan dukungan dari unsur Kodim dan Polres.
Untuk menentukan sasaran Wajar Dikdas, misalnya, BKKBN dan Kantor BPS
sengaja dilibatkan dengan harapan bisa berperan aktif memberikan informasi
tentang jumlah anak usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9
tahun, disamping membantu melakukan kegiatan sosialisasi.
Masih menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Cianjur, unsur Kodim dan Polres yang memiliki jaringan sampai dengan tingkat
desa, dan dengan fungsinya yang strategis, sengaja dilibatkan dengan harapan
bisa membuat kehadiran Tim Wajar Dikdas 9 tahun ini tampil lebih menggigit
dan menggetarkan. Melalui fungsi ketertiban dan keamanannya, kedua institusi
itu antara lain bisa membantu menggerakan partisipasi masyarakat dalam
melaksanakan program Wajar Dikdas sekaligus mengawasinya. Sementara
peran Departemen Agama lebih jelas lagi. Disamping institusi vertikal ini
memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara langsung
melalui jalur sekolah atau lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang
46
menjadi binaannya sebagaimana diatur dalam ”Grand Design Penuntasan Wajar
Dikdas 9 Tahun 2006-2009” yang diterbitkan Depdiknas (2007), kehadiran
institusi ini juga menjadi sangat strategis karena fungsinya yang melekat dalam
melakukan sosialisasi, disamping dilakukan juga oleh kantor Infokom.
Sebagai gambaran, inilah beberapa tugas pokok Tim Koordinasi tingkat
kabupaten Cianjur yang sekaligus juga merupakan kepanjangan dari Tim
Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun tingkat provinsi,
tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 421.10.05/Kep. 97-Ks/
2007.
Tugas pokok pertama, adalah menyusun perencanaan program
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, mulai dari proses pendataan sasaran,
perumusan bentuk program sampai kepada penentuan prioritas daerah dan
sasaran penggarapan dengan mempertimbangkan pencapaian angka partisipasi
sekolah (APK dan APM) masing-masing kecamatan.
Tugas pokok kedua, melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang arti
pentingnya gerakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun kepada
seluruh komponen masyarakat disemua tingkatan melalui berbagai media yang
tersedia, termasuk dilakukan melalui kegiatan yang disebut dengan kampanye
Wajar Dikdas melalui kegiatan ”Safari” oleh Tim tingkat Kabupaten ke setiap
kecamatan, pemanfaatan berbagai lembaga dan forum strategis seperti pengajian
atau majlis taklim, termasuk khitbah jumat dan forum penting lainnya.
Tugas pokok ketiga, adalah melakukan kegiatan pengendalian melalui
kegiatan monitoring, baik yang dilakukan melalui kegiatan kunjungan langsung
kelapangan atau sekolah-sekolah, disamping monitoring yang dilakukan melalui
47
kegiatan pencatatan dan pelaporan secara rutin. Termasuk dalam kegiatan
tersebut adalah melakukan ketatausahaan atau kesekretariatan guna mendukung
sekaligus memastikan bahwa seluruh tugas pokok Tim Koordinasi bisa
memperoleh dukungan dan berjalan sesuai yang diharapkan.
2. Sosialisasi Wajar Dikdas
Jika Tim Koordinasi sebagaimana telah diuraikan di atas dibangun
dalam rangka memperkuat kelembagaan yang diharapkan mampu menjadi
motor penggerak dalam implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di
semua tingkatan, dan karenanya hadir menjadi salah satu aktor atau pelaku
kebijakan, maka kegiatan sosialisasi ditujukan dalam rangka meyakinkan arti
pentingnya pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Menurut penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang
juga menjadi ketua Harian Tim Koordinasi, terdapat beberapa kegiatan strategis
yang telah dirumuskan dalam rangka melaksanakan langkah sosialisasi Wajar
Dikdas 9 tahun tersebut.
Yang pertama, adalah sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan
pertemuan atau rapat dinas antara jajaran pimpinan Dinas P & K Kabupaten
dengan para Kepala Cabang Dinas (Kacadin) yang diselenggarakan secara rutin
setiap bulan. Melalui forum itulah pula, kinerja masing-masing Tim Koordinasi
Wajar Dikdas tingkat kecamatan, bahkan desa, dievalusi, dibahas dan
diumpanbalikan. Tidak sampai di situ, melalui forum itulah pula, berbagai
masalah dan kendala yang muncul dalam proses sosialisasi diangkat dan
dipecahkan. Tidak sampai di situ, demikian ditegaskan Kepala Dinas
48
Pendidikan Kabupaten Cianjur, melalui forum Rakor itulah pula akan
dianugerahkan berbagai pujian dan penghargaan kepada setiap kecamatan yang
berhasil dalam penyelenggaraan Wajar Dikdas, mulai dari aspek poses sampai
kepada hasilnya.
Yang kedua, sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai forum pertemuan
strategis, seperti Rapat Koordinasi bulanan disetiap tingkatan yang melibatkan
seluruh Dinas Instansi terkait. Agenda pokoknya adalah membahas dan
merumuskan arti pentingnya keterlibatan berbagai Dinas/ instansi atau sektor
terkait dalam pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing.
Yang ketiga, sosialisasi melalui berbagai media lain, khususnya media
cetak, terutama media cetak lokal seperti Pakuan (Suplemen Harian Umum
Pikiran Rakyat), Radar Bogor, Jurnalika dan sebagainya. Melalui media cetak
inilah seluruh kebijakan Wajar Dikdas yang telah dirumuskan disosialisasikan,
baik dalam bentuk opini maupun berita yang sengaja diterbitkan untuk
membantu dan mendukung pelaksaanaan Wajar Dikdas 9 tahun. Singkatnya,
melalui kegiatan sosialisasi semua informasi mengenai kebijakan Wajar Dikdas
9 tahun bisa tersampikan. Dampak lebih jauhnya, melalui kegiatan sosialisasi
dukungan masyarakat terhadai implenentasi kebijakan bisa diwujudkan
3. Pendataan Sasaran
Upaya ini dilakukan tidak saja dalam rangka membuat peta atau potret
tentang pencapaian pendidikan dasar yang telah dicapai oleh masing-masing
wilayah kecamatan sampai dengan Desa atau kelurahan, namun sekaligus juga
dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memperjelas sasaran yang akan
49
menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar Dikdas 9 tahun menurut berbagai
tingkatannya.
Intinya, berapa seluruh anak usia 7-15 tahun yang sedang dan tidak
sedang sekolah, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal,
adalah sasaran pokok dari kegiatan pendataan yang secara serentak dilakukan
oleh Tim yang dibentuk pada setiap Desa atau kelurahan, bahkan sampai dengan
tingkat RT ini. Dan dari hasil pendataan yang dilakukan secara berjenjang
inilah, nama dan alamat dari anak usia 7-15 tahun yang sedang tidak sekolah
bisa diketahui untuk selanjutnya dijadikan sasaran penggarapan kegiatan Wajar
Dikdas oleh Tim Wajar Dikdas di semua tingkatan.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah bagan pelaksanaan pendataan sasaran
dan mekanisme pelaporannya oleh Tim Wajar Dikdas pada semua tingkatan
yang diangkat dari hasil penelitian :
50
Dari figur diatas, nampak bahwa secara sistem, pelaksanaan pendataan
sasaran Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur sudah dirancang dalam
sebuah mekanisme yang terarah, diawali dengan pembentukan Tim Pendata
yang menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur sekaligus juga
merupakan Tim Koordinasi Wajar Dikdas. Melalui Tim yang melibatkan
TIM TINGKAT KABUPATEN SK No. 421.10.05./KEP.97-KS/2007
Rekapitulasi
TIM TINGKAT KECAMATAN Instruksi Bupati Cianjur
No. 421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT DESA/ KECAMATAN Instruksi Bupati No.
421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT RW/DUSUN Instruksi Bupati
N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT RT Instruksi Bupati
N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Pelaksanaan Operasional Pendataan
FIGURE 4.11. MEKANISME PENDATAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABUPATEN CIANJUR
INSTRUKSI
ALUR LAPORAN
51
banyak sektor itulah, data sasaran Wajar Dikdas di data, bahkan disisir dan
dilaporkan secara berjenjang ketingkat yang lebih atas.
Namun sayangnya, dari hasil penelitian pula terungkap bahwa proses
pendataan sasaran tersebut baru sebatas dilaksanakan dalam rangka
mengungkap nama dan alamat, sementara alasan atau motif mereka tidak
bersekolah, apalagi sampai mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak
miskin, sama sekali absen dari perhatian. Itulah pula yang kemudian menjadi
salah satu penyebab munculnya kesulitan dalam merumuskan dan
menyampaikan pesan sosialisasi atau motivasi dan penenrtuan progran
intervensi yang perlu dilakukan dalam tahap berikutnya.
4. Upaya Peningkatan Akses
Berikut ini adalah deskripsi mengenai upaya yang telah dilakukan dalam
rangka meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk pengembangan program pelayanan
pendidikan alternatif yang secara khusus lebih banyak diperuntukan dalam
rangka menyediakan pelayanan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
Upaya ini juga sekaligus merupakan penjabaran dari arah kebijakan Wajar
Dikdas yang telah ditetapkan.
a. Upaya Peningkatan Akses melalui Pengembangan SMP Cerdas Seatap
Program ini pada intinya ditujukan dalam rangka memfasilitasi anak
usia13-15 tahun, sebutlah lulusan SD/MI yang selama ini belum tertampung di
sekolah setingkat SLTP yang ada, baik karena alasan geografis berupa jauhnya
jarak domisili anak dengan sekolah, maupun karena alasan ekonomi berkait
52
dengan besarnya beban transportasi yang sering jadi kendala bagi anak dari
keluarga miskin.
Menampung mereka yang selama ini tidak mampu mengakses SLTP
yang ada, itulah tujuan dari pengembangan SMP Cerdas Seatap yang sekaligus
juga merupakan program unggulan dari Program Pendanaan Kompetisi dalam
rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) sektor
pendidikan yang digulirkan pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Gambaran konkritnya, demikian diungkapkan oleh Drs. Sulaeman Zuhdi,
Ketua Satlak (Satuan Pelaksana) PPK IPM Bidang Pendidikan Kabupaten
Cianjur, ketika program SMP Cerdas Seatap ini baru akan digulirkan, tahun
2006, di kabupaten Cianjur terdapat sekitar 59.722 anak lulusan SD/MI yang
belum tertampung oleh faslitas SMP/MTs yang ada, atau mencapai 1.990 anak
setiap kecamatannya.
Dan itulah pula yang dijadikan sasaran dari pengembangan program
SMP Cerdas Seatap yang merupakan bagian dari Program PPK-IPM sektor
pendidikan itu. Dijelaskan oleh Ketua Penanggung jawab Program ini,
kehadiran SMP Cerdas Seatap di Kabupaten Cianjur ini diharapkan bisa
menjadi pilihan yang rasional dalam rangka mengakselerasi Wajar Dikdas pada
umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada
khususnya.
Ditambahkannya, pengembangan program ini diharapkan mampu
membantu mempercepat pencapaian Wajar Dikdas 9 yang ditandai dengan
peningkatan angka partisipasi kasar maupun murni (APK dan APM) SLTP
53
sekaligus meningkatkan angka rata-rata lama sekolah (rate of years schooling)
sebagaisalah satu komponen dalam peningkatan IPM.
Di bawah ini adalah gambaran mengenai kontribusi pengembangan SMP
Cerdas Seatap dalam penyerapan lulusan SD/MI terhadap upaya penuntasan
Wajar Dikdas 9 Tahun pada umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi
anak dari keluarga miskin pada khususnya, diambil dari dokumen Satuan
Pelaksana (Satlak) PPK-IPM Kabupaten Cianjur sebagai berikut :
Tabel 4.12 : Perkembangan SMP Cerdas Seatap 2006-2008
TAHUN JUMLAH
SEKOLAH
JUMLAH SISWA TOTAL
KELAS 7 KELAS 8 KELAS 9
2006
2007
2008
83
83
77
2.796
1.948
2.415
-
2.756
1.988
-
-
2.137
2.796
4.704
6.540
Dari figur di atas nampak bahwa jumlah sekolah yang berhasil
dikembangkan pada tahun pertama Program SMP Cerdas Seatap ini dirintis,
bulan Agustus 2006, adalah sebanyak 83 buah sekolah dan bertahan pada angka
yang sama pada tahun 2007, namun kemudian turun menjadi hanya 77 buah
pada tahun 2008, berkurang sebanyak 6 buah sekolah.
Alasan penurunannya, demikian diungkapkan oleh Ketua
Penanggungjawab Programnya, Drs. Sulaeman Zuhdi, adalah : pertama, 3
sekolah berganti status menjadi SMP Mandiri, 2 sekolah dinilai kurang efektif
dan efisien karena sasarannya nyaris habis dan dipindahkan ke SMP reguler,
sementara yang 1 sekolah yang berlokasi di Kecamatan Agrabinta, kehabisan
54
murid karena ada pembukaan SMP baru disekitarnya, yakni di daerah
perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.
Dari figur di atas pula nampak bahwa pengembangan program SMP
Cerdas Seatap ini, pada tahun pertamanya berhasil menampung siswa, sebutlah
kelas 7 (setara dengan kelas 1 SMP/MTs) sebanyak 2.798 anak, atau sekitar 34
siswa setiap sekolahnya. Jika dibandingkan dengan jumlah anak sekolah lulusan
SD/MI yang tidak tertampung pada SMP/MTs yang tersedia sebanyak 59.722
anak sebagaimana telah diungkapkan pada uraian sebelumnya, maka kehadiran
SMP Cerdas Seatap pada tahun pertama berhasil menyerap sebanyak 4,7 persen
sekaligus juga merupakan gambaran tentang kontribusi model sekolah ini
terhadap peningkatan APK dan APM SMP
Pada tahun berikutnya, tahun 2007, pelaksanaan SMP Cerdas Seatap ini
hanya mampu menampung lulusan SD/MI, sebutlah siswa baru sebanyak 1.948
anak, atau turun sebanyak 848 siswa dibanding tahun 2006. Alasannya,
demikian diungkap oleh Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi PPK-IPM, Ir
Elizabet MT, berkait dengan keraguan sekaligus kekurangpercayaan masyarakat
akan kelangsungan program PPK-IPM ini yang dijadwalkan hanya akan
berlangsung 2 tahun. Tegasnya, masyarakat waktu itu khawatir jika anaknya
kelak akan terlantar ketika pemerintah provinsi Jawa Barat menghentikan
proyeknya.
Namun karena pihak pemerintah daerah berhasil meyakinkan masyarakat
bahwa kelangsungan program SMP Cerdas Seatap ini akan dijamin oleh
dukungan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Cianjur, bahkan
akan dijadikan program tetap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
55
Cianjur, maka siswa baru (kelas 7) pada tahun berikutnya, tahun 2008, kembali
meningkat menjadi 2.415 anak.
Dari tabel di atas pula nampak bahwa semakin tinggi tingkat kelas pada
SMP Cerdas Seatap ini, semakin berkurang pula jumlah siswanya. Angka
konkritnya, jumlah siswa yang pada tahun 2006 berada pada kelas 7 sebanyak
2.796, menurun menjadi 2.756 ketika mereka menduduki kelas 8 pada tahun
2007, dan menurun lagi menjadi hanya 2.137 ketika mereka berada pada kelas 9
pada tahun 2008, turun sekitar 30 persen.
Alasannya, demikian diaungkapkan oleh Tim Monev PPK IPM
Kabupaten Cianjur, sebagiannya, terutama murid perempuan, terpaksa drop out
karena dinikahkan orang tuanya, sebagiannya drop out karena lebih memilih
menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Timur Tengah karena faktor desakan
ekonominya, sebagian yang lainnya pindah ke SMP atau Tsanawiyah reguler,
disamping juga ada diantara mereka yang karena berbagai alasan berhenti di
tengah jalan.
Sebagai bagian dari program PPK-IPM pada sektor pendidikan, banyak
keuntungan bisa dipetik dari penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ini.
Diantaranya, demikian diungkapkan oleh Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K
Kabupaten Cianjur, Agus Maelani, bahwa dari aspek tempat, misalnya, program
ini bisa dikembangkan hanya dengan menggunakan bangunan SD yang ada
sehingga tidak memerlukan biaya pembangunan fisik. Bahkan karena
diselenggarakan di daerah terpencil, kehadiran SMP Cerdas Seatap ini mampu
mendekatkan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat atau anak yang
berada pada kantong-kantong drop out tingkat SLTP.
56
Keunggulan lainnya, penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ternayata juga
mampu memberikan tambahan kesejahteraan para guru yang ada di daerah,
termasuk guru sukarelawan (Sukwan). Gambaran konkritnya, program yang
pertamanya didanai pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program PPK-IPM
ini, setiap bulannya menyediakan biaya oparasional dan transportasi yang
jumlahnya berkisar antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 200.000,- per guru per
bulan, baik untuk guru bidang studi maupun transport bagi guru yang menjadi
Wali Kelas di SD yang ditunjuk jadi lokasi SMP Cerdas Seatap, bahkan
program ini pun menyediakan biaya transport bagi guru dalam melakukan
kegiatan ekstra kulikuler.
Menurut pandangan peneliti, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini
mengandung inovasi yang penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan
dasar bagi anak dari keluarga miskin. Secara nyata, kegiatan SMP Cerdas
Seatap ini telah mampu mendekatkan akses pendidikan dasar kepada
masyarakat sehingga memudahkan siswa untuk menjangkau lokasi belajar yang
selama ini dirasakan cukup jauh. Hal ini pun membuat masyarakat menjadi
lebih ringan dalam hal beban biaya transportasi dari rumah ke sekolah, jalan
kaki tidak terlalu jauh, naik angkutan umum pun tidak terlalu mahal.
Selanjutnya, selain inovatif, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini juga bisa
dikatakan efisien dan efektif. Kegiatan SMP Cerdas Seatap yang berbasis
kegiatan ini cukup memanfatkan sarana prasarana milik SD setempat, tenaga
pengajarnya pun diambil dari sekitar sekolah SMP Cerdas Seatap tersebut.
Siswa yang menjadi muridnya pun tidak harus mengenakan pakaian seragam
57
sekolah yang selama ini sering menjadi beban bagi anak dari keluarga miskin,
meskipun sekolahnya formal.
Itulah pula kultur sekolah yang dalam banyak aspeknya menjadi
kondusif dalam mendekatkan akses pelayanan pendidikan bagi anak dari
keluarga miskin. Dan yang menarik, dari jumlah siswa kelas 9 tahun 2008
sebanyak 2.137 anak, sebanyak 75 persen diantaranya dinyatakan lulus
mengikuti Ujian Nasional (UN), sebuah angka yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan input yang tersedia dalam penyelenggaraan SMP Cerdas
Seatap ini. Itulah pula fakta yang bisa diangkat untuk menjelaskan besarnya
kontribusi penyelenggaraan model pendidikan dasar model yang dikembangkan
dari program PPK-IPM ini terhadap upaya percepatan penuntasan Wajar Dikdas
9 tahun bagi anak dari keluarga miskin
b. Upaya perningkatan Akses Melalui Pengembangan SD/SMP Seatap
Jika program SMP Cerdas Seatap merupakan bagian dari program PPK-
IPM yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka akselerasi
peningkatan IPM, maka program SMP Seatap dilakukan dengan tujuan dan
sasaran yang sama namun dengan sumber pendanaan yang berbeda, yakni dari
APBD tingkat II Kabupaten Cianjur. Singkatnya, Program SD/SMP Seatap ini
dilakukan dalam rangka memberikan peluang yang lebih luas lagi bagi anak dari
keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur,
meskipun rata-rata daya tampung sekolah pada beberapa kecamatan yang ada
masih memungkinkan, namun karena distribusinya tidak merata jika dikaitkan
dengan konsentrasi persebaran penduduk anak dari keluarga miskin, maka
58
kebijakan pengembangan SD/SMP Satu atap di Kabupaten Cianjur ini masih
sangat relavan dan strategis dalam memperluas akses pendidikan bagi anak dari
keluarga miskin, bahkan untuk anak yang tinggal di daerah perkotaan sekali
pun. Singkatnya, kehadiran SD/SMP Seatap ini sekaligus diharapkan bisa
memperkuat program SMP Cerdas Seatap seperti telah diuraikan sebelumnya.
Konkritnya, inilah realisasi dari pengembangan SD/ SMP Satu Atap,
diluar SMP Cerdas Seatap, yang telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten
Cianjur mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.13 : Perkembangan Program SD/ SMP Seatap
Kabupaten Cianjur
TAHUN JML SISWA
TERTAMPUNG
JML ANAK SEKOLAH USIA
SLTP
% SISWA SMP SEATAP/ ANAK
SEKOLAH USIA SLTP
2004
2005
2006
2007
2008
-
-
2.796
4.704
6.540
100.803
104.632
111.435
133.094
120.130
-
-
2,51
3,53
5,44
Sumber : Subdin Dikdas P dan K Kabupaten Cianjur, 2007
Dari tabel di atas nampak bahwa kehadiran program SMP Seatap
sebagai salah satu program alternatif yang di Kabupaten Cianjur baru dimulai
tahun 2006 memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan akses
pendidikan dasar 9 tahun. Dibandingkan dengan total siswa pada tingkat SLTP
yang ada, pada tahun 2006 bisa memberikan kontribusi sebesar 2,51 persen, dan
kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 3,53 persen, dan meningkat lagi
menjadi 5,53 persen pada tahun 2008. Dengan angka-angka itu saja bisa
59
disimpulkan bahwa kehadiran program SMP Seatap tidak sedikit sumbangannya
dalam memberi kesempatan bagi anak miskin untuk mengakses pendidikan
dasar 9 tahun.
c. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pesantren Salafiyah
Optimalisasi pencapaian target Wajar Dikdas di Kabupaten Cianjur tidak
hanya dilakukan di lingkungan pendidikan formal sekolah-sekolah umum, tetapi
juga melibatkan dan dilaksanakan di pondok-pondok pesantren yang
diselenggarakan atas kerjasma antara Pondok Pesantren Salafiyah (kajian kitab
kuning). Kegiatannya, Kata Kasi Mapenda, Dra. Ida Farida pada Kantor Depag
Cianjur, berupa pengintegrasian program wajar dikdas ke dalam kurikulum
pesantren, seperti Paket B yang diwajibkan bagi santri-santri sesuai usianya.
Masih menurutnya, bentuk penyelenggarakan kegiatan ini dirasakan
sangat membantu dalam menunjang akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9
tahun karena banyak dari para santri yang masuk pesantren itu adalah para
luiusan SD yang karena ketidakmampuan orang tuanya tidak mampu
melanjutkan ke SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang memang atas keinginan atai dorongan orang tuanya lebih memilih
pesantren ketimbang sekolah formal.
Salah satu contoh pondok pesantren yang menerapkan program ini
adalah Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri yang terletak di Kecamatan
Ciranjang. Peserta santri warga belajar yang ditampung di pesantren ini berasal
dari desa-desa di sekitar kecamatan Ciranjang. Dalam rangka penuntasan Wajar
Dikdas 9 tahun, Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri ini terlibat juga
menyelanggarakan program Paket B setara SLTP bagi santrinya, bahkan Paket
60
C setara SLTA pun dilaksanakan di pesantren ini. Yang cukup membanggakan,
meskipun kegiatan pembelajaran di pondok pesantren dilaksanakan secara
tutorial yang dilengkapi dengan fasilitas ICT.
Menurut data yang ada, dari banyak Pondok Pesantren yang telah
menyelenggarakan Program Wajar Dikdas ini, saat ini tercatat ada sekitar 2.875
santri yang tercatat sebagai siswanya. Artinya, kehadiran Pondok Pesantren
Salafiyah ini paling tidak telah menyumbangkan sebesar 2,8 persen dalam
menampung anak usia 13-15 tahun yang pada tahun 2008 berjumlah 137.015
anak.
Jika ditambah dengan jumlah santri yang sedang mengikuti program
yang disebut dengan Pontren Cerdas Seatap, bnetuk penyelenggaraan
pendidikan dasar 9 tahun di pesantren yang sengaja dikembangkan sebagai
bagian dari Program Proyek Pendanaan Kompetisi (PPK_ – IPM yang didanai
Pemerintah Provinsi sebanyak 7.703 siswa, maka jumlah total siswanya menjadi
10.578 anak, atau sekitar 3 persen dibanding dengan jumlah total SLTP
sederajat yang mencapai angka 344.739 anak.
d. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pengembangan SMP Terbuka
Masih dalam rangka meningkatkan pemerataan kesempatan belajar,
khususnya bagi tamatan SD/MI yang karena beberapa alasan tidak
berkesempatan mengikuti pendidikan pada jenjang SLTP, serta mengacu pula
kepada kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, maka
pengembangan SMP Terbuka yang memiliki karakteristik tersendiri itu juga
menjadi pilihan yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur dalam rangka
memperluas akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin.
61
Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Cianjur, SMP terbuka ini tidak lain merupakan salah satu satuan penyelenggara
pendidikan tiga tahun yang menggunakan kurikulum seperti SLTP regular,
namun dengan pola kegiatan belajar mengajarnya yang berbeda, yakni yang
menekankan kepada prinsip belajar mandiri, atau cara belajar yang dilakukan
sendiri oleh siswa dan membatasi seminimal mungkin bantuan orang lain.
Itu sebabnya, media utama yang digunakannya adalah bahan belajar
mandiri berupa modul yang ditunjang oleh media lain yang relavan. Adapun
waktu dan tempat belajar secara kelompoknya ditentukan bersama oleh siswa
dan guru pembimbingnya. Sementara waktu dan tempat belajar mandirinya
ditentukan sendiri oleh siswanya.
Dijelaskan oleh Kasubdin Dikdas Dinas P dan K Kabupaten Cianjur,
Drs. Agus Maelani, bahwa kehadiran jenis satuan pendidikan yang merupakan
salah satu kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat ini sengaja
dikembangkan di Kabupaten Cianjur dengan maksud untuk memenuhi tuntutan
pelayanan pendidikan dasar yang tidak tertampung pada SLTP reguler yang
umumnya merupakan anak dari keluarga tidak mampu, disamping untuk
menampung anak lainnya yang kebetulan bertempat tinggal jauh dari lokasi
SLTP yang tersedia.
Lebih jauh diungkapkan, kehadiran SMP Terbuka juga sengaja
dikembangkan untuk memenuhi tuntutan pelayanan pendidikan dasar bagi anak
yang karena kemiskinannya, sebutlah karena harus banyak membantu beban
ekopnomi keluarganya, terpaksa tidak memiliki banyak kesempatan untuk
mengkuti pendidikan dasar pada sekolah reguler. Adanya fleksibilitas dalam
62
cara belajar siswa, cara belajar mandiri, yang memungkinkan siswa tetap bisa
membantu pekerjaan orang tuanya, adalah hal lain yang dinilai sangat efektif
dalam rangka mempermudah akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin
Menurut sumber yang ada pada Kasubdin Dikdas Dinas P dan K
Kabupaten Cianjur, sampai tahun 2008 ini telah berhasil dikembangkan
sebanyak 41 buah SMP Terbuka yang tersebar di 30 kecamatan yang ada di
Kabupaten Cianjur dengan jumlah total murid sebanyak 9.285 siswa.
Rinciannya, sebanyak 3.947 merupakan murid yang masih duduk di kelas I,
sebanyak 2.710 untuk kelas 2, dan sisanya sebanyak 2.628 adalah anak yang
sudah berada pada bangku sekolah kelas 3, atau kelas akhir. Bandingkan dengan
jumlah total siswa SMP Terbuka pada tahun 2006 yang baru mencapai angka
1.170 siswa.
Dengan trend itu, dalam perkembangan terakhirnya kehadiran SMP
terbuka ini telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam
meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya,
dan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya.
Persisnya, jika jumlah total anak usia 13-15 tahun (usia SLTP) pada
tahun 2008 tercatat sebanyak 137.015 anak, maka kontribusi SMP Terbuka
dengan jumlah siswanya yang telah mencapai angka 9.285 anak jatuh pada
angka 6,77 persen, sebuah kontribusi yang secara kuantitatif cukup berarti jika
diakitkan dengan upaya peningkatan APK/APM pada khususnya, dan beban
berat pendidikan pemerintah Kabupaten Cianjur pada umumnya. Bahkan jika
dibandingkan dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebanyak 114.913,
63
maka kontribusi SMP Terbuka dengan jumlah siswanya sebanyak 9.285 anak itu
menjadi lebih besar lagi, yakni 8,08 persen.
Namun diakui oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur,
besarnya kontribusi secara kuantitatif yang disumbangkan SMP Terbuka ini,
tidak berarti bahwa kehadiran satuan pendidikan ini tidak memiliki masalah dan
kendala. Masalah mutu yang ditandai rendahnya mutu lulusan, merupakan salah
satu masalahnya. Bahkan dari aspek proses belajar mengajar dengan
keterbatasan tenaga dan sarananya, termasuk kondisi sosial ekonomi para
muridnya, yakni anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu
kompleks, merupakan masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan SMP
Terbuka.
”Murid-murid di SMP Terbuka di sini sering tidak hadir di Tempat
Kegiatan Belajar (TKB) lantaran sering dipanggil orang tuanya untuk bekerja,
bahkan ada yang menikah”, tegas Drs Dadang yang selama ini mengelola SMP
Terbuka di Kecamatan Sukaresmi. Fakta ini sekaligus mengingatkan bahwa
upaya untuk mendekatkan pelayanan dan menggratiskan pendidikan saja
tidaklah cukup, karena banyak faktor lain yang selama ini belum disentuh
kebijakan yang dijalankan pemerintah.
e. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pembukaan Kelas Jauh
Jika model SMP Terbuka merupakan model penyelenggaraan pendidikan
mandiri yang dilaksanakan untuk menampung akses anak yang tinggal di daerah
terpencil, maka model SMP Kelas Jauh diselenggarakan di daerah atau lokasi
yang memiliki banyak calon anak namun karena beberapa alasan, sebutlah
karena keterbatasan anggaran, belum memungkinkan dibangun ruang kelas Baru
64
(RKB). Namun demikian, penyelenggaraan Kelas Jauh dilaksanakan dilokasi
yang memungkinkan bisa dibangun Unit Sekolah Baru (USB) sehingga kelak,
setelah dukungan yang dibutuhkannya memungkinkan – ketersediaan dukungan
anggaran dan ketersediaan tanah - bisa diresmikan sebagai unit sekolah baru
(USB).
Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran model pendidikan
alternatif ini ternyata cukup membantu meningkatkan akses anak dari keluarga
miskin. Wujudnya, jumlah anak yang memanfaatkan model pendidikan ini
meningkat dari 2.968 anak pada tahun 2004 menjadi 3.124 pada tahun 2005, dan
meningkat lagi menjadi 3.760 pada tahun 2006. Satu tahun berikutnya, tahun
2007, jumlahnya meningkat menjadi 3.835 anak dan meningkat lagi menjadi
3.911 anak pada tahun 2008.
Jika dibanding dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebesar
114.913, maka secara kuantitatif kontribusi penyelenggaraan model SMP Kelas
Jauh ini mencapai angka 3,40 persen, sebuah angka yang walaupun lebih rendah
dibanding kontribusi penyelenggaraan model SMP Terbuka, namun relatif
cukup efektif dalam mendukung upaya percepatan Wajar Dikdas 9 tahun.
Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang penyelenggaranya, walaupun
mutu lulusan dari model sekolah ini tidak bisa disamakan dengan mutu lulusan
dari sekolah reguler, namun kehadirannya cukup membantu meringankan beban
pendidikan dasar bagi anak yang umumnya merukapan anak dari keluarga
miskin yang karena kemiskinannya tidak mampu sekolah dilokasi yang jauh
dari rumahnya.
65
f. Upaya Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Non Formal
Deskripsi hasil penelitian terhadap sejumlah kasus berikut ini barangkali
bisa dijadikan salah satu illustrasi untuk menggambarkan tentang bagaimana
kontribusi penyelenggaraan pendidikan dasar jalur non formal dalam membantu
meringankan beban anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan
dasar yang menjadi haknya.
Muhamad Husaeni (18 tahun), anak ke 3 dari 6 bersaudara yang lahir
dari orang tua dengan pekerjaan hanya sebagai buruh di Bandung itu, adalah
salah satu anak yang cukup beruntung. Bukan semata karena ia telah berhasil
menamatkan pendidikan setara SMP atau Paket B pada tahun 2007 yang lalu,
namun karena motivasinya yang tinggi, ditambah karena tidak ada pungutan
biaya yang membebani orang tuanya, saat ini ia juga sudah nyaris berhasil bisa
menyelesaikan pendidikan setara SLTA pada program Paket C PKBM
”Mandiri Bersemi” yang beralamat di Desa dan Kecamatan Karangtengah
Cianjur.
Saya ingin pintar, punya ijazah dan bekerja. Bahkan saya ingin jadi
pengusaha sukses seperti orang lain, ungkapnya ketika ditanya mengenai
alasannya yang mendorong ia mengikuti program pendidikan non formal.
Waktu itu, pada tahun 2007, saya juga terpaksa mengikuti jalur pendidikan non
formal mengingat tidak ada beban biaya yang harus dikeluarkan orang tua,
disamping lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya di Rt 02 Desa
Hegarmanah Kecamatan Karangtengah. Ditambahkannya pula, mengikuti jalur
pendidikan non formal sangat didorong orang tuanya, Parhan Silmi (48), karena
66
bisa dilakukan si anak sambil membantu pekerjaan rumah tangga orangtuanya
di rumah.
Hal yang hampir sama juga dialami oleh anak bernama Tati Setiawati
(16) yang kini duduk dibangku kelas 3 program Paket B pada PKBM
Ciimbangsari. Putri dari pasangan Suryana (40) dan Siti Chadijah (35) yang
sehari-harinya bekerja hanya sebagai buruh tani itu mengaku bangga kalau
dirinya bisa mengikuti pendidikan setara SMP sambil bisa mengikuti
pendidikan (ngaji) di Pesantran yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di
Kampung Cijerah Sukasari.
Hoyong gaduh ijazah kanggo neraskeun sakola ka SLTA (Ingin punya
ijazah dan bisa melanjutkan ke SLTA), ungkapnya ketika ditanya tentang cita-
citanya dikemudian hari setelah lulus dari Kejar Paket B yang diikutinya sejak
tahun 2006 itu. Mung hanjakal guruna (para tutornya) sering tara sumping
(namun sayangnya, para guru atau tutornya sering tidak hadir), disamping
kadang sulit membagi waktu antara kegiatan belajar di PKBM dengan
pesantren, tegasnya ketika ditanya tentang kendala yang sering dihadapinya
dalam kegiatan belajar di PKBM.
Sedikit berbeda dengan Tati Setiawati adalah apa yang dialami Siti
Fatimah (15). Saat ini, putri dari pasangan Sahmudin (38) dan Ibu Eeng (35) ini
berkesempatan bisa mengikuti program Paket B yang diintegrasikan dengan
pendidikan agama (ngaji) yang sedang dijalaninya di Pesantren. Paket B
Pontern, itulah sebutan program yang sedang dijalani anak bernama Siti Fatimah
ini. Jika anak bernama Tati Setiawati merasa terganggu karena harus mengikuti
dua program pendidikan ; PKBM dan Pesantern, maka Siti Fatimah justru
67
merasa lebih beruntung karena bisa mengikuti program Paket B secara
terintegrasi dalam pengajaran di pesantren yang menjadi pilihannya setelah
menamatkan SD pada tahun 2007 lalu.
Hoyong gaduh ijazah sareng dipiwarang pa Ustadz sareng teu kedah
mayar (ingin punya ijazah dan disuruh pa Ustadz, disamping tidak harus
membayar), tegasnya ketika ditanya motivasi yang mendorongnya si anak
mengikuti program kesetaraan (Paket B) di pesantren Al Hikmah yang tidak
jauh dari lokasi tempat tinggalnya di Kampung Caringin Desa Sukasari. Orang
tuanya yang bekerja sebagai buruh tani itu mengaku kalau anaknya terpaksa
masuk pesantren karena tidak memiliki biaya untuk bisa melanjutkan ke SMP
sebagaimana dilakukan teman-teman yang lainnya.
Lain yang dialami oleh kasus tiga anak di atas, lain pula yang dialami
oleh anak yang bernama Ela Susilawati (16), anak ke 3 dari lima anak dari
pasangan Bapak Usep (40) dan Ibu Dedah (38) yang sehari-harinya bekerja
sebagai buruh tani itu. Anak yang pernah mengikuti pendidikan melalui jalur
SMP Terbuka ini dipaksa orang tua dan lingkungannya untuk melanjutkan
pendidikan dasarnya melalui program Paket B yang tidak jauh dari Rumahnya.
Namun baru saja menjalaninya sampai kelas 2 smester I, ia keluar alias drop out
dengan alasan malas belajar. Bosan sekolah, disamping malu, tegasnya ketika
ditanya tentang alasannya tidak mau melanjutkan sekolah.
Hal senada juga diungkapkan oleh orang tuanya yang berpendidikan SD
itu. Menurutnya, meskipun banyak pihak yang memotivasi dan sekaligus
menggiring anaknya supaya bisa menamatkan pendidikan melalui program
Paket B, namun karena anaknya yang memang malas, maka pada akhirnya ia
68
pun harus merelakan anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan sebagaimana
diikuti oleh anak-anak yang lainnya. Tos teu hoyongeun sakola (sudah tidak
punya minat bersekolah), tegasnya menambahkan.
Itulah beberapa kasus yang berhasil diangkat untuk menggambarkan
tentang bagaimana anak dari keluarga yang kurang beruntung, sebut pula anak
dari keluarga miskin, dengan kondisi kehidupan sehari-harinya yang serba pas-
pasan, bahkan dengan kesibukannya yang harus membantu orang tua
mempertahankan hidupnya, tetap bisa mengikuti pendidikan dasarnya, kendati
hanya melalui jalur pendidikan non-formal.
Tentu saja, beberapa kasus yang diangkat di sini hanyalah bagian kecil
dari potret sekian banyak anak usia sekolah di Kabupaten Cianjur yang karena
banyak faktor, umumnya faktor ekonomi dan faktor geografis, atau kedua-
duanya, bahkan faktor psikologis dan faktor lainnya, terpaksa tidak bisa
mengikuti pendidikan pada jalur formal sebagaimana yang ditempuh oleh anak-
anak yang lainnya. Sebagiannya terdaftar mengikuti proses pembelajaran
melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (setara SD) atau B (setara SMP) di
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar disetiap kecamatan.
Sebagian yang lainnya aktif mengikuti program yang sama di beberapa Pondok
Pesantren Salafiyah dengan cara mengintegrasikan program Wajar Dikdas
(Paket A dan B) ke dalam Kurikulum pesantren.
Seperti diungkapkan oleh Kasubdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS),
Drs. Himam Haris MPd, sejak tahun 1994 yang lalu, persisnya sejak Program
Wajar Dikdas pertama kali mulai banyak diangkat dan digalakan, banyak upaya
dan langkah yang telah dan sedang dilakukan Bidang PLS dalam mendukung
69
upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun selama ini, termasuk yang dilakukan
atas dasar kerja sama dan koordinasi dengan Kantor Departemen Agama
Kabupaten Ciajur.
Wujud konkritnya, jumlah kelompok maupun warga belajar yang aktif
berpartisipasi mengikukti program pendidikan kesetaraan, baik untuk jenjang
SD (Kejar Paket A) maupun SLTP (Kejar Paket B) yang diharapkan bisa
membantu mempercepat sukses Wajar Dikdas 9 Tahun, dari tahun ketahunnya
terus mengalami peningkatan. Peningkatan trend tersebut terjadi tidak saja
karena didukung oleh adanya kebijakan pusat yang memang banyak
mendukung, termasuk dukungan anggarannya, tetapi juga oleh adanya
komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sendiri,
termasuk komitmen sektor lain yang terkait.
Adanya MoU antara Ka Dinas P dan K, BKKBN serta Kantor
Departemen Agama dalam rangka Pembangunan Keluarga Sejahtera / Sakinah
melalui peningkatan peran PKBM, salah satunya, merupakan bukti bahwa
implementasi kebijakan pendidikan jalur non formal ini memperoleh dukungan
yang kuat dari sektor lainnya. Hal yang sama juga ternyata telah dilakukan dinas
P dan K Kabupaten Cianjur dengan Gerakan PKK dalam pemberantasan buta
aksara melalui Program Keaksaraan Fungsional, pendidikan berbasis kesetaraan
jender, Kelompok Belajar Usaha (KBU), pengembangan program PAUD dan
bahkan secara khusus dalam pelaksanaan percepatan pencapaian Wajar Dikdas
9 tahun.
Berikut ini adalah perkembangan jumlah kelompok belajar Kejar dan
warga belajar yang aktif dalam pelaksanaan Program Pendidikan Luar Sekolah,
70
sebut pula pendidikan non formal, dalam rangka menunjang program percepatan
Wajar Dikdas 9 tahun, baik yang dikelola melalui jalur Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan maupun Jalur Departemen Agama sebagaimana bisa ditelaah
dalam figur di bawah ini :
Tabel 4.14 : Perkembangan Jumlah Kelompok dan Warga Belajar Program Pendidikan Luar Sekolah Kabupaten Cianjur
TAHUN Kejar Paket A Kejar Paket B
Jml Total Lulusan
Paket Kejar A dan B
Jml Kel
Jml WB
Ikut UN
Lulus Jml Kel
Jml WB
Peserta UN
Lulus
2004
2005
2006
2007
2008
13
9
10
10
11
260
268
284
300
409
119
106
165
50
249
94
58
144
27
112
208
336
336
398
367
4.160
6.720
5.180
7.803
8.398
1.362
1.416
2.943
3.420
6.519
877
989
707
1.953
3.497
971
1.047
851
1.980
3.609
Rata- Rata
- 302 138 87 - 6.452 3.132 1.605 1.692
Sumber : Dokumentasi Subdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur
Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah kelompok belajar (Kejar), baik
untuk Paket A (Setara SD/MI) maupun Paket B (setara SLTP), dari tahun
ketahunnya menunjukan trend peningkatan, khususnya untuk Kejar Paket B.
Demikian pula untuk warga belajarnya (WB). Jumlah anak yang mengikuti
program paket A, meningkat dari 260 anak pada tahun 2004 menjadi 302 anak
pada tahun 2008. Demikan halnya untuk paket B meningkat dari 4.160 anak
pada 2004 menjadi 8.398 anak pada tahun 2008, meningkat lebih dari 100
persen dalam kurun waktu lima tahun. Semua itu menunjukan bahwa kehadiran
jalur pendidikan non formal nampak merupakan pilihan akhir bagi anak dari
keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dasarnya.
71
Namun dari tabel di atas pula nampak bahwa besarnya jumlah warga
belajar (WB) yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, ternyata tidak
sebanding dengan besarnya jumlah warga belajar yang mengikuti Ujian
Nasional (UN), bahkan sangat tidak sebanding dengan jumlah mereka yang
lulus UN. Persisnya, dari rata-rata jumlah warga belajar sebanyak 302 anak,
hanya 138 anak yang bisa mengikuti UN, atau sekitar 45 persen, dan hanya 87
anak yang berhasil atau lulus UN, atau sekitar 28 persen dari jumlah warga
belajar. Padahal menurut standar pelayanan minimum (SPM) yang telah
ditetapkan, jumlah WB yang diharapkan bisa mengikuti UN adalah sebesar 95
persen.
Demikian halnya untuk Paket B atau setara SLTP, dari rata-rata jumlah
warga belajar sebanyak 6.452 anak, hanya 3.132 yang mengikuti UN, atau
sekitar 48,5 persen. Bahkan dari jumlah warga belajar sebanyak itu, 6.452 anak
hanya sekitar 26 persen atau sebanyak 1.692 anak yang berhasil lulus ujian
nasional. Angka kelulusan ini sangat jauh dari SPM sebagaimana diatur
Kepmendiknas Nomor 129a Tahun 2004 yang menetapkan angka 95 persen.
Itu semua menunjukan bahwa ada masalah yang belum terpecahkan
dalam proses penyelenggaraan program kesetaraan yang berjalan selama ini.
Seperti diungkapkan Kasubdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Drs,
Himam Haris MPd, proses belajar mengajar di PKBM sering terganggu oleh
karena banyak warga belajar yang yang terpaksa tidak bisa mengikutinya hanya
karena mereka harus membantu pekerjaan orang tuanya yang memang miskin.
Buat mereka, belajar adalah pemanfaatan sisa waktu luang dari banyak kegiatan
yang harus dijalani untuk berjuang membantu kehidupan keluarganya.
72
Fakta ini diakui oleh Muchtar Arief, salah seorang tokoh masyarakat
penggerak kegiatan PKBM di Kecamatan Karangtengah. Menurutnya, benar
bahwa dilihat dari banyak aspeknya, kehadiran Kejar Paket A dan B yang
tergabung dalam PKBM ini sangat membantu anak dari keluarga tidak mampu,
termasuk membantu pemerintah, dalam menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun.
Bahkan melalui program Life Skill-nya, pendidikan kesetaraan yang
dikembangkan pemerintah selama ini banyak membantu memberi mereka
berbagai keterampilan yang bisa dijadikan salah satu modal hidupnya.
Namun karena keterdesakan hidup yang harus dijalaninya, tak jarang
diantara mereka yang tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar sebagaimana
mestinya, bahkan untuk bisa belajar dari modul yang diberikan. Da karunya ema
(soalnya kasihan ibu), ungkap Hasan (14), salah seorang warga belajar di
PKBM Mandiri Karangtengah yang terpaksa sering absen karena sehari-harinya
harus membantu berdagang keliling dengan ibunya.
Ditambahkan Muchtar Arief, pemerintah daerah pun belum optimal
memperhatikan semua kebutuhan proses belajar mengajar (PBM), sebutlah
seperti honor para tutor yang selain kecil juga sering terlambat diterima,
disamping juga terhambat oleh ketersediaan sarana yang dibutuhkan untuk
mendukung kelancaran proses belajar-mengajarnya.
Kondisi itu diperparah oleh adanya perbedaan perlakukan antara PKBM
yang didanai dari sumber APBN dengan PKBM yang didanai APBD kabupaten.
Persisnya, jika penyerlenggaraan program Paket B yang didanai sumber APBN
menyiapkan biaya tambahan untuk ATK dan motivasi, maka sumber dari APBD
73
tidak menyediakannya, tegas Drs. Dadang, salah seorang staf pengelola program
kesetaraan dilingkungan Dinas P dan K Kabupaten Cianjur ini.
Namun lepas dari semua masalah itu, dari hasil kajian peneliti
menunjukan bahwa kehadiran program kesetaraan ini tetap masih memiliki
kontribusi dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak,
program luar sekolah ini telah berhasil membantu mengurangi jumlah anak usia
7-15 tahun yang tidak bisa mengakses pendidikan dasar melalui jalur
pendidikan formal seperti bisa dilihat dalam figur di bawah ini :
Tabel 4.15 : Kontribusi Pendidikan non Formal Dalam Menyerap Akses Pendidikan Anak Usia 7-15 Tahun
No Tahun Jml Warga
Belajar Paket A dan B *)
Jml Anak Usia 7-15 Tahun
**)
Prosentase Penyerapan
1 2004 4.420 377.737 1,17 % 2 2005 6.988 393.365 1,77 % 3 2006 5.464 398.565 1,37 % 4 2007 8.112 402.918 2,01 % 5 2008 8.807 407.694 2,16 %
Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur
Dari figur di atas nampak bahwa dari total anak usia 7-15 tahun (anak
usia SD/SMP) pada tahun 2004 sebanyak 377.737, sebanyak 4.420 atau sekitar
1,17 persen diserap melalui program pendidikan dasar non formal.
Prosentasenya kemudian meningkat menjadi 1,77 % pada tahun 2005, dan
meningkat lagi menjadi 2,16 % pada tiga tahun berikutnya, tahun 2008.
Bahkan jika dibanding dengan jumlah total siswa SD/ SLTP yang ada, maka
prosentase kontribusinya lebih besar lagi sebagaimana bisa ditelaah dalam figur
di bawah ini :
74
Tabel 4.19 : Kontribusi Pendidikan non Formal Di banding Jumlah Total Siswa SD/SLTP
No Tahun Jml Warga
Belajar Paket A dan B *)
Jml Total Siswa
SD/SLTP
Prosentase Penyerapan
1 2004 4.420 316.755 1,39 % 2 2005 6.988 341.315 2,04 % 3 2006 5.464 354.830 1,53 % 4 2007 8.112 363.867 2,29 % 5 2008 8.807 377.745 2,33 %
Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah warga belajar Paket Kejar A dan B
dibanding jumlah total anak yang trertampung dalam bangku pendidikan
SD/SLTP meningkat dari hanya 1,39 persen pada tahun 2004 menjadi 2,33
persen pada tahun 2008. Ini semua mengandung arti bahwa tidak sedikit
sumbangan telah diberikan oleh pendidikan jalur non formal ini dalam
membantu meningkatkan APK dan APM SD dan SLTP.
g. Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Sekolah Luar Biasa
(SDLB dan SMP LB)
Walaupun jumlahnya tidak banyak, kehadiran jalur pendidikan luar
biasa, baik untuk tingkat SD (LB) maupun SMP (LB) dalam memberikan akses
pendidikan dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus – ABK (Children with
special needs), merupakan program tersendiri yang layak diperhitungkan dalam
meningkatkan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten Cianjur. Alasannya,
meskipun anak berkebutuhan khusus ini tidak semuanya merupakan anak dari
keluarga miskin, namun dalam banyak aspeknya, kehadiran mereka, dengan
kelainan yang dimilikinya (kelainan phisik maupun kelainan mental-intelektual,
termasuk kelainan sosial dan emosionnalnya), layak diperhitungkan sebagai
75
salah satu faktor yang apabila tidak ditangani akan menjadi salah satu faktor
penghambat dalam mendukung akseresai penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Di bawah ini adalah kontribusi lembaga pendidikan SDLB dan SMPLB
dalam melayani pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)
sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.17 Trend Peningkatan Akses Pendidikan Dasar Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kabupaten Cianjur
No Tahun Jenis
Sekolah Jumlah Sekolah
Jumlah Siswa
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Kelas 6
Jumlah
1 2004 SDLB 6 25 24 20 16 15 20 120
SMPLB 5 9 9 6 24
2 2005 SDLB 6 26 25 24 20 16 15 126
SMPLB 5 20 9 9 38
3 2006 SDLB 6 38 26 25 24 20 16 149
SMPLB 5 15 20 9 44
4 2007 SDLB 6 49 38 26 25 24 10 172
SMPLB 5 16 15 10 41
5 2008 SDLB 6 32 49 38 26 25 24 194
SMPLB 5 16 15 20 51 Sumber : Gugus SLB Kabupaten Cianjur
Dari tabel diatas nampak bahwa jika dibandingkan dengan jumlah total
siswa usia 7-15 tahun pada tahun 2008 sebesar 377.745, maka kontribusi SDLB
dan SMPLB dalam menunjang akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun
bagi anak dari keluarga tidak beruntung atau miskin jatuh pada angka 0.07 %,
sebuah angka yang relatif kecil namun memiliki makna penting tersendiri dalam
menjamin kelangsungan pendidikan mereka sebagai bagian dari salah satu
haknya sebagaimana telah dijamin Undang-undang.
76
5. Upaya Peningkatan Daya Tampung
Jika program yang dibahas sebelumnya lebih terfokus pada implementasi
kebijakan Wajar Dikdas dilihat dari dimensi peningkatan akses melalui berbagai
programnya, maka uraian berikut ini lebih terfokus pada upaya peningkatan
daya tampung satuan pendidikan dasar dalam bentuk pembangunan unit
sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB) maupun dalam bentuk rehabilitasi
terhadap sekolah maupun ruang kelas yang kondisinya rusak, mulai dari rusak
ringan sampai rusak berat.
a. Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB)
Dari hasil penelitian terungkap bahwa sejak tahun 2004 sampai
dengan tahun 2008 telah berhasil dibangun sebanyak 17 Unit Sekolah Baru
(USB) yang seluruh pendanaannya berasal dari sumber pusat dengan
rincian sebagaimana bisa ditelaah dalam figur sebagai berikut :
TABEL 4.18 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN UNIT SEKOLAH BARU (USB)
TAHUN
JUMLAH USB YANG DIBANGUN (SD/SMP)
JML RUANG KELAS
KAPASITAS DAYA
TAMPUNG SISWA
SUMBER DANA
2004
2005
2006
2007
2008
-
2
4
4
7
-
6
12
12
21
-
240
480
480
840
-
APBN
APBN
APBN
APBN
JUMLAH 17 51 2.040 - Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008
Dari tabel di atas nampak bahwa dalam periode lima tahun sejak
tahun 2004 sampai 2008, pemerintah hanya mampu menambah Unit
77
Sekolah Baru (USB) yang dapat membantu meningkatkan daya tampung
siswa sebanyak 17 buah dengan jumlah ruang kelas sebanyak 51 buah.
Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa, maka
pembangunan USB selama lima tahun hanya mampu menambah kapasitas
daya tampung sebesar 2.040 siswa, atau hanya 408 siswa setiap tahunnya.
Jika dibandingkan dengan penambahan secara absolut anak usia 7-15
tahun yang mencapai angka 7.500 anak setiap tahunnya, maka program
penambahan USB hanya menyumbangkan sekitar 5,44 persen dalam
meningkatkan daya tampung, angka yang sangat jauh dari kebutuhan yang
sesungguhnya.
b. Penambahan Ruang Kelas Baru (RKB)
Jika pembangunan USB lebih banyak ditujukan dalam rangka
memperluas akses pelayanan pendidikan dasar di daerah-daerah kantung,
sebut pula daerah-daerah terpencil dengan sasaran Wajar Dikdas yang
banyak namun dengan tingkat pencapaian APK dan APM yang rendah,
maka program penambahan ruang kelas baru (RKB) lebih banyak diarahkan
kepada upaya untuk meningkatkan daya tampung siswa bagi sekolah-
sekolah yang mengalami kelebihan kapasitas - over capacity.
Demikian kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Kabupaten
Cianjur sebagaimana ditegaskan Kasubdin Prasarban, Drs. Adang Subagja
M.Pd dalam sebuah wawancara dengan peneliti yang juga dikuatkan oleh
Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Drs. Djadjang Sofyan
Haris SH. MM. Ditambahkan oleh Wakadis, ada tiga faktor yang selama ini
sering menjadi penyebab sebuah sekolah mengalami over capacity, dan
78
karenanya senantisa menjadi prioritas dalam penentuan lokasi penambahan
Ruang Kelas Baru (RKB) ini.
Yang pertama, adalah sekolah yang berlokasi di daerah dengan laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sementara dua penyebab lainnya
berkait dengan letak strategis lokasi sekolah kalau bukan karena
keberhasilan pihak sekolah dalam membangun public image yang
memungkinkan masyarakat lebih banyak meminatinya.
Di bawah ini adalah perkembangan jumlah penambahan RKB dalam
rangka meningkatkan daya tampung anak sekolah sebagai bagian tak
terpisahkan dari implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 Tahun
yang terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.
TABEL 4.19 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN RUANG KELAS BARU (RKB) BAGI SD/MI DAN SMP/MTs
TAHUN
JUMLAH SEKOLAH
YANG MENDAPAT BANTUAN
JML RUANG KELAS BARU
YANG DIBANGUN
TAMBAHAN KAPASITAS DAYA TAMPUNG SISWA
SUMBER DANA
2004
2005
2006
2007
2008
-
30
29
57
26
-
65
88
171
78
-
2.600
3.520
6.480
3.120
-
APBN
APBN
APBN
APBN
Jumlah 142 402 16.080 -
Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008
Jika melalui pembangunan USB dalam lima tahun sebagaimana telah
diungkapkan di atas mampu meningkatkan kapasitas daya tampung
sebanyak 2.040 siswa, atau sekitar 408 siswa setiap tahunnya, maka jumlah
anak yang bisa ditampung melalui pembangunan RKB yang jumlahnya
79
mencapai 402 RKB itu bisa mencapai angka 16.080 siswa, atau sebanyak
3.216 siswa setiap tahunnya.
Dengan demikian, jumlah total daya tampung USB dan
pembangunan RKB dalam lima tahun mencapai angka 18.120 anak, atau
penambahan kapasitas daya tampung sebanyak 3.624 siswa setiap tahunnya.
Bandingkan dengan rata-rata penambahan anak usia 7-15 tahun, tambahan
anak usia Wajar Dikdas 9 tahun, yang setiap tahunnya mencapai angka
tidak kurang dari 7.500 anak, sebuah angka yang besarnya melebihi
kemampuan pemerintah untuk menampungnya.
Itu semua mengandung arti bahwa kemampuan pemerintah dalam
menambah daya tampung siswa dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9
tahun selama ini hanya mencapai angka sekitar 48 persen. Artinya, sulit
bagi pemerintah untuk bisa memenuhi kewajibannya menyediakan fasilitas
ruangan kelas yang memadai jika tidak diimbangi dengan pengembangan
jalur pendidikan alternatif, termasuk pengembangan jalur pendidikan non
formal kalau bukan ditunjang dengan pengembangan sekolah swasta.
Itulah pula yang menjadi kendala dalam membantu meningkatkan
akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin. Logikanya, semakin
banyak sekolah yang mengalami over capacity, maka akan semakin besar
kemungkinan anak dari keluarga miskin yang tidak bisa tertampung
mengikuti pendidikan.
c. Rehabilitasi Ruang Kelas
Dengan maksud untuk memelihara kelangsungan proses belajar dan
mengajar sesuai dengan yang diharapkan, terutama dikaitkan dengan
80
banyaknya kondisi bangunan sekolah SD maupun SMP, termasuk MI dan
MTs yang dalam keadaan rusak sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian
sebelumnya, maka upaya untuk merehabilitasi banyak bangunan sekolah
rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat, merupakan langkah strategis
tersendiri dalam upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Seperti diungkapkan oleh Kadis Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur, meskipun program rehabilitasi ini tidak memiliki
dampak dalam meningkatkan daya tampung, tetapi membiarkannya,
terutama membiarkan bangunan sekolah yang dalam kondisi rusak berat,
justeru bisa berdampak mengurangi daya tampung sekolah yang ada.
Menurut sumber dari Kasubdin Prasarana dan Bantuan Dinas P dan
K Kabupaten Cianjur, jumlah total ruang kelas yang berhasil direhabilitasi
dalam kurun waktu lima tahun sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008
adalah sebanyak 1.598 ruang kelas, terdiri dari 1.084 ruang kelas untuk SD
dan MI dan sebanyak 234 ruang kelas untuk jenjang sekolah SMP dan
Madrasah Tsanawiyah.
Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa,
maka kegiatan rehabilitasi sekolah yang dilaksanakan dalam kurun waktu
lima tahun paling tidak telah memberikan sumbangan dalam memelihara
atau mempertahankan kemampuan sekolah untuk menampung sebanyak
63.920 siswa. Pengalaman selama ini menunjukan banyak proses belajar
dan mengajar menjadi terganggu, bahkan anak tidak bersekolah karena
ruang sekolahnya roboh atau tidak layak dipakai sebagaimana layaknya
sebuah sekolah.
81
6. Upaya Pemberian Bantuan Untuk Meringankan Beban Pembiayaan Pendidikan Bagi Anak Dari Keluarga Miskin
Sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya yang tidak
mampu, banyak upaya pemerintah telah dilakukan dalam rangka membantu
meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin,
baik yang bersumber dari pemerintah pusat, provinsi maupun Kabupaten.
a. Pemberian Bantuan Melalui Program BOS
Esensi dari Program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
yang bersumber dari bantuan pemerintah pusat ini adalah untuk
memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran
siswa yang selama ini sering menjadi masalah bagi anak dari keluarga
miskin, dengan catatan bahwa sekolah penerima bantuan tetap dapat
mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat sesuai
dengan standar pelayanan yang telah ditentukan.
Adapaun sasaran program BOS sebagaimana telah ditetapkan
Pertunjuk Teknis yang dirumuskan tingkat pusat adalah semua sekolah pada
jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/ MTs) baik negeri maupun
swasta. Sementara untuk jalur pendidikan non formal seperti
penyelenggaraan Program Paket A, Paket B dan SMP Terbuka tidak
termasuk sasaran dari PKPS-BBM. Alasannya, ketiga program
penyelenggaraan pendidikan tersebut telah dibiayai secara penuh oleh
pemerintah.
Seperti tertera dalam buku petunjuk teknisnya, pemerintah
menggulirkan program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
82
dimulai pada tahun 2005 ini adalah untuk menanggulangi secara bertahap
pemenuhan Biaya Satuan Pendidikan (BSP) yang diperlukan untuk
menunjang terselenggaranya proses belajar mengajar sesuai dengan standar
pelayanan minimum yang telah dietapkan. BSP ini terdiri dari biaya
investasi, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan sumber daya
tidak habis pakai yang dapat digunakan lebih dari setahun (misalnya untuk
pengadaan tanah, bangunan, perabot kantor); dan biaya operasional, yaitu
biaya yang dipergunakan untuk menyediakan sumber daya yang habis pakai
yang mencakup biaya personil dan non personil. Unit cost BOS yang
ditetapkan untuk setiap siswa per tahun untuk tingkat SD/MI sebesar
Rp.235.000,00, dan untuk tingkat SMP/MTs sebesar Rp.324.500,00.
Dari hasil penelitian terungkap bahwa untuk tahun 2008 saja,
Kabupaten Cianjur telah menerima bantuan yang bersumber dari dana BOS
ini sebesar tidak kurang dari Rp.101.443.731.400,-, termasuk didalamnya
bantuan BOS untuk pembelian buku yang diperuntukan bagi tidak kurang
dari 1.587 buah sekolah untuk tingkat SD/MI dengan jumlah siswanya
sebanyak 272.149 anak, dan 172 buah sekolah untuk tingkat SMP/MTs
dengan jumlah siswanya sebanyak 75.672 anak.
Bandingkan dengan jumlah alokasi BOS tahun sebelumnya, tahun
2007, sebesar Rp. 99.443.731.000,- yang diperuntukan bagi 1237 SD/MI
dengan jumlah siswanya sebanyak 266.296 anak, dan 127 SMP/MTs
dengan jumlah siswanya sebanyak 57.185 anak. Bandingkan pula dengan
bantuan BOS untuk tahun 2006 yang baru mencapai angka
Rp.75.427.823.500,- yang diperuntukan bagi 1.465 SD/MI dengan jumlah
83
siswanya sebanyak 287.452 anak, dan 228 SMP/MTs dengan jumlah
siswanya sebanyak 67.996 anak. Singkatnya, besaran jumlah bantuan dana
untuk BOS untuk Kabupaten Cianjur ini, setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan sebagaimana tergambar dalam figur di bawah ini :
Tabel 4. 20 : Perkembangan Program Pemberian Bantuan Melalui
Program BOS Kabupaten Cianjur 2005-2008
THN
JML SD /MI
PENERIMA BOS
JUMLH SISWA
JML SMP PENERIMA BOS
JML
TOTALSISWA
JUMLAH TOTAL BIAYA
BOS YG DITERIMA KABUPATEN CIANJUR
2005 1.468 284.546 248 64.277 Rp. 10.428.943.250,- *) 2006 1465 287.452 228 67.996 Rp. 75.427.823.500,- 2007 1237 266.296 127 57.185 Rp. 99.187.766.000,- 2008 1.587 272.149 172 75.672 Rp.101.443.731.400,- Jml - - - - Rp.497.548.704.800,-
*) Hanya untuk periode Juli Desember 2008 dan tidak termasuk BOS untuk buku
Dari tabel di atas nampak bahwa sejak triwulan akhir tahun 2005
sampai dengan tahun 2008, pemerintah telah mengeluarkan dana BOS yang
dampaknya diharapkan bisa membantu meringankan beban pendidikan
bagi anak dari keluarga miskin ini tidak kurang dari Rp. 497.548.704.800,-,
disamping juga membantu meringankan beban pendidikan bagi anak
lainnya yang berada pada jenjang pendidikan dasar.
Paling tidak, demikian diungkapkan oleh salah seorang Kepala
Sekolah Dasar Sayang Semper Kecamatan Cianjur, Ibu Neneng, bahwa
besarnya jumlah dana BOS tersebut telah banyak membantu beban banyak
sekolah pinggiran yang sebelumnya sering dihadapkan kepada besarnya
beban opersional sekolah karena tidak sedikit anak dari keluarga miskin
yang tidak mampu membayar iuran sekolah. Jika dulu pihak sekolah sering
84
dihadapkan kepada banyak kesulitan karena banyak anak dari keluarga
miskin yang tidak bisa membayar iuran sekolah, kini masalahnya teratasi
karena ada bantuan BOS.
b. Pemberian Bantuan Melalui Program Lainnya
Di luar Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang telah menjadi
kebijakan pemerintah pusat dalam rangka mempercepat pencapaian target
Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya, dan membantu meringankan beban
pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya, untuk maksud
dan sasaran yang sama, Kabupaten Cianjur juga, sebagaimana juga
kabupaten lainnya, memiliki program yang disebut dengan BAGUS, yakni
Bantuan Gubernur untuk Siswa Miskin yang bersumber dari APBD
Tingkat I jawa Barat yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat. Bedanya, jika bantuan dari program BOS diperuntukan untuk
membantu beban biaya operasional Sekolah pada jenjang SD/MI sampai
SMP/MTs, maka program BAGUS ditujukan untuk membantu secara
langsung meringankan beban biaya personal anak tidak mampu alias
miskin. Itu pun hanya diperuntukan bagi anak dari keluarga miskin yang
berada pada jenjang pendidikan tingkat SMP/MTs, termasuk anak yang
belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Persisnya, demikian dikemukakan dalam Petunjuk Teknis (Juknis)
Penyaluran dan Pemanfaatan Dana Bagus (2008), bahwa sasaran program
yang pada tahun sebelumnya (2007) yang terkenal dengan sebutan Kartu
Bebas Biaya Sekolah (KBBS) itu memiliki sasaran sebagai berikut (1) anak
lulusan SD/MI sederajat yang putus sekolah atau tidak melanjutkan
85
sekolah, (2) anak yang drop out di kelas 1,2,3 pada jenjang pendidikan
SMP/MTs/PKBM, (3) siswa kelas 2 dan 3 SMP/MTs/PKBM (Paket B)
yang rawan DO berasal dari keluarga miskin yang pada tahun 2006 atau
2007 telah memperoleh BAGUS dan masih berada di sekolah.
Singkatnya, jika penerima dan yang mengatur penggunaan BOS
adalah Kepala Sekolah, maka penerima program KBBS dan BAGUS
adalah siswa secara langsung dengan besaran jumlah biaya yang diterima
persiswa adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) pertahun untuk KBBS
yang berjalan pada tahun 2005, dan Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
persiswa pertahun untuk program BAGUS.
Adapun penggunaannya diarahkan kepada 8 komponen biaya
pendidikan yang selama ini sering menjadi beban pendidikan anak dari
keluarga miskin, yakni (1) pakaian seragam sekolah anak, (2) pakaian
khusus seragam sekolah, (3) pakaian pramuka, (4) pakaian olah raga, (5)
sepatu, (6) tas sekolah, (7) alat tulis, dan (8) pembelian buku tulis.
Sementara bagi anak yang menjadi warga belajar pada program Paket B
setara SMP, penggunaannya diarahkan kepada upaya untuk membiayai
lima komponen biaya pendidikan, yakni (1) pembelian alat tulis, (2)
penyelenggaraan tes belajar, (3) buku pelajaran, (4) bahan keterampilan
belajar, dan (5) biaya transportasi. Singkatnya, demikian diungkapkan
Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Agus S Maelani,
bantuan program bernama BAGUS ini diberikan untuk membantu
mengurangi beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang
tidak terbiayai oleh bantuan yang bersumber dari program BOS.
86
Di bawah ini adalah data mengenai banyaknya sekolah (SMP/Mts),
besarnya biaya dan banyaknya jumlah anak dari keluarga miskin di
Kabupaten Cianjur yang telah dan sedang menikmati pemberian bantuan
program KBBS serta BAGUS, sebutlah pula beasiswa miskin, sebagai
berikut :
Tabel 4. 21 : Perkembangan Bantuan Bagi Anak Miskin yang dialokasikan Untuk Kabupaten Cianjur
No
Tahun
Sumber / Program
Jumlah Siswa
Penerima Bantuan
Besarnya
Bantuan per siswa
Jumlah Total Bantuan Biaya
(Rp)
1 2 3 4
2005
2006
2007 2008
Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) Bantuan Gubernur Untuk Sekolah (BAGUS) BAGUS Bantuan Siswa Miskin (BSM)
8.900 3.434 10.615 4.995
Rp1.000.000 Rp.500.000 Rp.500.000 Rp.576.000
Rp.8.900.000.000,- Rp. 1.717.000.000,- Rp. 5.307.500.000,- Rp. 1.438.560.000,-
Jumlah Sumber : Dokumentasi pada Subdin Dikdas Kantor P dan K Kab. Cianjur
Dari tebel diatas terungkap bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan
tahun 2008, terdapat tiga bentuk program bantuan yang digulirkan
pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dalam rangka membantu
meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
Yang pertama, tahun 2005, adalah program yang disebut dengan
Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) yang digulirkan pemerintah provinsi
87
Jawa Barat untuk membantu 8.900 anak sekolah. Yang kedua, adalah
program yang dikenal dengan sebutan Bantuan Gubernur Untuk Sekolah
(BAGUS) yang sekaligus merupakan pengganti dari program KBBS dengan
jumlah biaya sebanyak 1,7 milyar untuk membantu sebanyak 3.434 siswa
miskin selama tahun 2006, dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 5,3
milyar untuk membantu tidak kurang dari 10.1000 siswa miskin, atau Rp.
500.000,- persiswa dalam setahunnya. Sementara yang ketiga, adalah
program yang disebut dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang
bersumber dari pemerintah pusat sekaligus juga sebagai pengganti dari
program BAGUS yang berakhir pada tahun 2007 dengan besaran biaya
sebanyak 1,4 milyar untuk membantu hampir 5.000 siswa miskin dengan
masing-masing siswa memperoleh bantuan sebesar Rp. 576.000,-
pertahunnya.
Tentang bagaimana implementasinya dilapangan, berikut ini adalah
hasil wawancara dengan beberapa siswa penerima manfaat dana Bagus,
termasuk wawancara dengan pengelolanya pada tingkat sekolah. Yang
pasti, hampir semua sekolah penerima bantuan dana Bagus, tidak serta
merta memberikan bantuan tersebut dalam bentuk pemberian bantuan uang
secara langsung kepada murid, melainkan semuanya dikelola oleh sekolah
sesuai dengan komponen peruntukan sebagaimana tercantum dalam Juknis.
Alasannya, demikian diungkapkan oleh para pihak sekolah penerima
dana BAGUS, pemberian uang tunai secara langsung kepada anak justeru
dikhawatirkan tidak mengenai sasaran karena sulit dalam pengendaliannya.
Lamun dipasihkeun artosna, saminggu oge seep (kalau diberikan uangnya,
88
seminggu juga habis), kata Bapak Toto, guru olah raga sekaligus bagian
kesiswaan SMPN 4 Cianjur yang diberi tugas mengelola dana BAGUS
disekolahnya. Sebaliknya, dengan pengaturan oleh sekolah diharapkan
setiap anak bisa menikmati dan menggunakan bantuan dana dimaksud
sesuai dengan yang diharapkan.
Alasan lainnya, pihak sekolah terpaksa harus memutar otak karena
alokasi dan kuota jumlah siswa miskin yang menerima bantuan dana
BAGUS disekolahnya ternya jauh lebih kecil dibanding jumlah total anak
msikin yang diajukan. Parsisnya, kata Toto, dari 251 siswa miskin yang
diajukan pada tahun 2008, ternyata hanya 160 yang mendapatkan bantuan.
Karenanya, pihak sekolah terpaksa harus mengatur kembali pembagiannya
sesuai dengan jumlah anak miskin yang ada disekolahnya. Dan itulah pula
yang menyebabkan siswa tidak bisa memperoleh paket sesuai dengan yang
semestinya, Rp. 500.000,- persiswa dalam setahunnya.
Mardi Sucipto, salah satu siswa kelas 2 penerima dana BAGUS di
SMPN 5 Cianjur, misalnya, mengaku kalau dari sekolahnya pernah
menerima paket bantuan berupa buku tulis, seragam sekolah, baju pramuka,
kaos olah raga dan sepatu, kendati pun tidak mengetahui nilai harga dari
bantuan yang diterimanya, termasuk tidak mengetahui kalau bantuan
dimaksud berasal dari dana bantuan yang bersumber dari BAGUS.
Hal itu dikuatkan oleh pengakuan orang tuanya, Bapak Bedi yang
sehari-harinya bekerja sebagai tukang becak. Syukur we aya keneh nu
mantuan, sok sanajan teu nyukupkeun ( syukur masih ada yang membantu,
walau pun tidak mencukupi), tegasnya ketika ditanya tentang pemberian
89
bantuan tersebut. Disebut tidak mencukupi, karena setiap harinya anak
masih harus mengeluarkan biaya transportasi, bahkan masih harus
mengeluarkan biaya untuk membeli keperluan sekolah yang lainnya, keluh
orang tuanya yang ternyata memiliki 7 orang anak tersebut.
Apa yang dialami Mardi Sucipto, berbeda dengan yang dialami
Nurinda, siswi kelas 2 SMPN 4 Cianjur. Anak dari seorang tukang Mie
Ayam ini mengaku telah menerima paket seperti yang diterima Mardi
Sucipto yang siswa SMPN 5 Cianjur itu. Bedanya, dari sekolahnya ia juga
menerima bantuan uang tunai sebesar Rp. 90.000,- untuk keperluan
transportasi. Hal ini dibenarkan oleh pihak sekolah yang mengatakan bahwa
setiap siswa memang memperoleh satu paket buku tulis, pakaian dan
sebagainya senilai Rp.410.000,-, dan sisanya sebesar Rp.90.000,- diberikan
tunai kepada setiap siswa untuk membantu transportasi.
Celakanya, Nurinda yang merupakan anak kedua dari 4 bersaudara
tersebut mengeluhkan kalau baju seragam yang diterima dari sekolahnya
ternyata tidak bisa dipakai karena kekecilan. Teu kaanggo, tuh masih
nagjugrug di bumi (tidak terpakai, sampai saat ini masih utuh ada di
rumah), keluh ibunya, Ibu Nuraeni, yang suhari-harinya bekerja hanya
membantu suaminya sebagai pedagang Mie Ayam. Ia juga mengeluhkan
beratnya beban biaya transportasi, termasuk uang jajan anaknya ke sekolah
yang bisa mencapai Rp.10.000,- setiap harinya, atau sekitar Rp. 250.000,-
setiap bulannya. Itu pun belum termasuk keperluan biaya sekolah yang
lainnya, sebut seperti pemberian Lembar Kerja Siswa (LKS) yang masih
sering dibebankan kepada siswa, tegas orang tuanya.
90
Masalah yang sama juga dikeluhkan orang tua anak dari Nining, salah
seorang siswa penerima dana BAGUS yang masih duduk dibangku kelas 3
SMPN 3 Karangtengah. Meskipun anaknya sama memperoleh bantuan
paket baju seragam, sepatu dan alat tulis, namun tanpa ada bantuan biaya
transport sebagaimana diterima anak miskin di SMPN 4 Cianjur, namun ia
yang bekerja hanya sebagai buruh tersebut merasa begitu terbebani dengan
pungutan sekolah untuk pembelian lembar kerja siswa (LKS) yang biayanya
mencapai Rp. 7.500,- per mata pelajaran. Ia juga mengeluhkan besarnya
biaya transport sekolah anak yang setiap hari harus dikeluarkan.
Singkatnya, meskipun bantuan dana yang bersumber dari dana
BAGUS senilai Rp 500.000,- persiswa itu sedikit banyak telah membantu
meringankan beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin,
namun jika dikaitkan dengan kebutuhan riel mereka, jumlahnya ternyata
masih jauh lebih kecil dibanding dengan yang mereka butuhkan.
Masalah lainnya, jumlah kuota anak miskin yang memperoleh
bantuan ternayata juga jauh dari jumlah anak miskin yang diajukan sekolah.
Dan celakanya, kondisi itu juga diperparah oleh pihak sekolah yang
kebanyakan masih menarik biaya dari siswa, termasuk siswa dari keluarga
miskin, sebut seperti untuk pembelian LKS, kendati pemerintah juga sudah
menyiapkan dana BOS. Dan itulah pula yang menurut peneliti menjadi
salah satu kendala dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di
Kabupaten Cianjur selama ini.
91
7. Dukungan Anggaran
Uraian berikut adalah penyediaan dukungan anggaran yang disediakan
pemerintah sebagai salah satu faktor atau variabel yang akan menentukan
keberhasilan implementasi Wajar Dikdas sekaligus merupakan indikator dari
komitmen pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan kebijakan Wajar
Dikdas 9 tahun pada khususnya dan pembangunan pendidikan pada umumnya
sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini :
TABEL 4.22 : TREN PENINGKATAN DUKUNGAN ANGGARAN UNTUK PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
URAIAN
TREND DUKUNGAN ANGGARAN
2004 2005 2006 2007 2008
Total APBD Kabupaten Cianjur (Rp)
578,3 M
593.7 M
940.4 M
1.1 Tr
1.3 Tr
Alokasi Anggaran Untuk Pendidikan Diluar Gaji (Rp)
40.3 M
45,1 M
70,1 M
89,6 M
86.5 M
Prosentase Dari Total APBD
6,9
7,6
7,4
7,9
6,23
Alokasi Anggaran Khusus Untuk Wajar Dikdas 9 TH (Rp) : - Sumber Pusat * - Sumber Prov** - APBD II /DAU - Total APBD II
- -
19.9 M 19.9 M
- -
23.9 M 23.9 M
14.9 M 2.5 M 21.4
38,8 M
28.9 M 16.4 M 20.0 M 65.3 M
47.2M 0.6 M 14.4 M 62.6 M
Prosentase : - Dari Total Anggaran Pendidikan - Dari Sumber APBD II/ DAU
49,4
49,4
52,99
52,99
55,34
30,52
72,8
22,32
72,3
16,6
Ket : * Dana Alokasi Khusus / DAK Untuk Rehab SD ** Dana Role Sharing untuk Rehab SD/ MI
92
Cukup siginifikant, itulah kesimpulan yang bisa diangkat untuk
menjelaskan tren kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
kabupaten Cianjur yang terjadi dalam periode 2004 sampai dengan tahun 2008.
Persisnya, total APBD Kabupaten Cianjur naik dari hanya Rp. 579, 3 Milyar
pada tahun 2004 menjadi Rp. 1,3 Triliun pada tahun 2008, kenaikan lebih dari
100 persen dalam periode lima tahun. Demikian halnya anggaran yang secara
khusus dialokasikan untuk pembangunan pendidikan yang naik dari hanya
Rp.40,3 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 86,5 Milyar pada tahun 2008,
kenaikan yang juga melebihi angka 100 persen.
Namun dilihat menurut prosentasenya, kenaikan anggaran untuk
pembangunan pendidikan tersebut ternyata belum menunjukan kecenderungan
yang diharapkan, terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan Undang-undang,
bahkan cenderung menurun dari tahun 2004 yang sudah mencapai angka 6,9
persen menjadi hanya 6,3 persen pada tahun 2008, sebuah kecenderungan yang
cukup ironis juka dikaitkan dengan tuntutan publik yang meniscayakan arti
pentingnya komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Ini semua
menunjukan bahwa komitmen pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan
anggaran pendidikan sebesar 20 persen sekaligus merealisasikan visinya yang
sangat meniscayakan arti pentingnya pendidikan layak dipertanyakan.
Namun tidak demikian untuk anggaran yang secara khusus dialokasikan
untuk mendukung implementasi Wajar Dikdas 9 tahun. Buktinya, baik besaran
maupun prosentase anggaran untuk pelaksanaan Wajar Dikdas ini ternyata
mengalami peningkatan dari hanya Rp.19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi
62,6 milyar pada tahun 2008, meskipun kenaikan itu - sebagaimana bisa ditelaah
93
dalam tabel - lebih banyak disumbang dari dana yang bersumber dari
pemerintah pusat (melalui DAK-nya untuk rehabilitasi SD) dan pemerintah
provinsi (melalui dana Rolesharing yang juga ditujukan untuk rehabilitasi
SD/MI dan SMP/MTs). Jika dibanding dengan total anggaran untuk
pembangunan pendidikan secara keseluruhan, prosentasenya meningkat dari
hanya 19,9 persen pada tahun 2004 menjadi 62,6 persen pada tahun 2008.
Yang memprihatinkan, tren dukungan anggaran Wajar Dikas 9 tahun
yang bersumber dari APBD asal DAU (tanpa DAK dan Rolesharing) justeru
mengalami penurunan dari 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya 16,6
persen pada tahun 2008. Jika dibanding dengan total anggaran pendidikan,
prosentasenya menurun dari 49,4 persen menjadi hanya 16,6 persen pada tahun
2008. Artinya, komitmen pemerintah daerah dalam mendukung implementasi
percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini juga layak dipertanyakan.
Dan tidak mengherankan jika pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di
Kabupaten Cianjur akan banyak mengalami masalah dan hambatan. Dikatakan
masalah atau hambatan, karena seperti ditekankan oleh Dunn (1981)
”kecukupan” (adequacy) biaya ini akan menentukan efektivitas pencapaian
kinerja sebuah kebijakan.
E. Kinerja Kebijakan
Meskipun masih jauh dari target yang telah ditetapkan, disamping masih
begitu banyak masalah dan kendala yang belum terpecahkan, namun tidak
sedikit indikator bisa diangkat untuk menjelaskan beberapa keberhasilan yang
dicapai dari pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari
keluarga miskin selama ini.
94
1. Keberhasilan Meningkatkan Akses Pelayanan
Di bawah ini adalah figur yang bisa diangkat untuk menjelaskan berbagai
intervensi kebijakan atau program yang dilakukan pemerintah Kabupaten
Cianjur dalam meningkatkan akses bagi seluruh anak usia 7-15 tahun pada
umumnya, dan anak dari keluarga miskin pada khususnya:
Tabel 4.23 : Daya Tampung Lembaga Pendidikan dalam Pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun
URAIAN TAHUN
2004 2005 2006 2007 2008 Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun
388.773
393.363
398.565
402.918
407.694
Jml siswa tertampung pada jenjang SD / MI dan SMP/MTs, termasuk SDLB dan SMPLB
309.367
329.823
337.159
338.664
344.739
Jumlah siswa tertampung pd Cerdas Seatap
-
-
2.796
4.704
6.540
Jumlah siswa tertampung pd SMP Terbuka
-
1.034
1.170
1.193
1.216
Jumlah siswa tertampung pd Kelas Jauh
2.968
3.124
3.760
3.835
3.911
Jumlah siswa tertampung pd SMP Satu Atap
-
187
200
408
832
Jumlah siswa tertampung pd SMTP Mandiri
-
167
270
550
1.122
Jumlah siswa tertampung pd Pontren Cerdas
-
-
1.851
3.776
7.703
Jumlah siswa tertampung pada PKBM
4.420
6.980
5.384
8.103
8.807
Jumlah siswa tertampung pd Pontren Depag
-
-
2.240
2.634
2.875
Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung
316.755
341.315
354.830
363.867
377.745
Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak Tertampung
72.018
52.048
43.735
39.051
29.949
Prosentase anak yang tidak tertampung
18,52
13,23
10,97
9,69
7,34
Diambil dari berbagai sumber
95
Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun jumlah anak usia Wajar
Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, terus mengalami peningkatan sesuai
dengan laju pertumbuhan penduduk, naik dari 388.773 anak pada tahun 2004
menjadi 402.694 anak pada tahun 2008, namun jumlah mereka yang bisa
mengakses pendidikan dasar 9 tahun, dari tahun ke tahunnya terus mengalami
peningkatan. Persisnya, jumlah mereka yang tertampung meningkat dari
316.755 pada tahun 2004 menjadi 377.745 anak pada akhir tahun 2008, atau
naik dari 81,14 persen pada tahun 2004 menjadi 92,6 persen pada tahun 2008.
Artinya, dari rata-rata 100 anak usia 7-15 tahun yang ada di Kabupaten Cianjur,
masih ada sekitar 7 anak lebih yang tidak bisa mematkan pendidikan dasarnya
sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikutnya.
Jika dilihat dari angka absolutnya, maka jumlah anak 7-15 tahun yang
tertampung di bangku sekolah, termasuk di jalur pendidikan non formal, selama
periode lima tahun pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun terjadi penambahan
sebanyak 60.990 anak, atau bertambah sebanyak 12.198 anak setiap tahunnya.
Jumlah ini jauh melebihi penambahan penduduk usia 7-15 tahun yang rata-rata
pertahunnya bertambah sebanyak 7.587 anak. Dampaknya, jumlah anak yang
tidak tertampung pada pendidikan dasar 9 tahun, sebutlah pula anak yang tidak
tersentuh kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, berkurang dari 72.018 pada tahun
2004 menjadi hanya 29.949 anak pada tahun 2008, atau turun dari 18,52 persen
pada tahun 2004 menjadi hanya 7,34 persen pada tahun 2008.
Dari tabel di atas bisa disimpulkan pula bahwa kebijakan penerapan
penyelenggaraan program jalur alternatif seperti SMP Seatap, termasuk SMP
Cerdas Seatap, pembukaan SMP Kelas Jauh, SMP Terbuka, Pontern Cerdas,
96
0
2
4
6
8
10
2004 2005 2006 2007 2008
Persentase
termasuk jalur pendidikan non formal (Paket A dan B) melalui wadah PKBM-
nya, sebutlah program –program yang pro anak dari keluarga miskin, ternyata
memiliki dampak yang cukup berarti dalam membantu anak dari keluarga
miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana bisa ditelaah
dalam figur di bawah ini :
Figur 4.24 Tren peningkatan persentase daya serap jalur pendidikan alternatif dibanding dengan jumlah total siswa usia 7-15 tahun
Dari figur di atas nampak bahwa jika jalur pendidikan alternatif yang
sengaja dibangun untuk membantu akses anak dari keluarga tidak beruntung
alias miskin itu mampu menampung hanya sekitar 7.388 anak pada tahun 2004,
pada tahun berikutnya meningkat menjadi 11.512 anak, dan meningkat lagi
menjadi 17.671 anak pada tahun 2006 seerta menjadi 25.212 anak pada tahun
2007. Satu tahun berikutnya, pada tahun 2008, jumlah anak yang tertampung
dalam jalur pendidikan dasar alternatif itu meningkat menjadi 33.606. Itu semua
menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar melalui jalur alternatif
Jumlah siswa tertampung
7.388 11.512 17.671 25.212 33.606
Total siswa usia 7-15 tahun
316.755 341.315 354.830 363.867 337.745
97
ini ternyata, dalam beberapa aspeknya, cukup efektif dalam membantu
meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
2. Peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah
Sebagai bahan evaluasi, di bawah ini disampaikan pula tabel yang
menunjukan tren peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah dari tingkat SD/
sederajat ke tingkat SLTP sekaligus merupakan indikator lain yang bisa
diangkat untuk menjelaskan bahwa tidak sedikit hasil yang dicapai dalam
implementasi percepatan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini.
Tabel 4.25 Tren Angka Melanjutkan Sekolah SD/MI Ke Jenjang SLTP
TAHUN PELAJARAN
JML PESERTA
UJIAN
JML LULUSAN
MELANJUTKAN
% MELANJUTK
AN
2004/2005
41,272
41,272
34,966
84.72
2005/2006
41,755
41,755
35,483
84.98
2006/2007
40,521
40,521
34,739
85.73
2007/2008
41,285
41,285
35,844
86.82
2008/2009
45,316
45,316
40,154
88.61 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
Dari tabel di atas nampak bahwa walaupun setiap tahunnya belum
seluruh lulusan SD/MI bisa melanjutkan, namun angka melanjutkan sekolah
daritingkat SD/MI ke tingkat SLTP dalam periode lima tahun meningkat dari
34.966 siswa pada tahun 2004 menjadi 40.154 siswa pada tahun 2008, atau dari
84,72 persen menjadi 88,61 persen.
Jika dihitung menurut rata-ratanya, maka prosentase angka melanjutkan
sekolah dari SD ke SLTP tersebut jatuh pada angka 86,17. Artinya, dari rata-rata
98
42.029 anak lulusan SD/MI, hanya sekitar 36.237 anak yang melanjutkan,
Dengan demikian, rata-rata setiap tahunnya masih ada sejumlah anak yang tidak
melanjutkan ke jenjang SLTP sebanyak 5.792 anak. Itu semua menjadi isyarat
kuat bahwa meskipun prosentase yang melanjutkan sekolah cenderung
meningkat setiap tahunnya, tetapi sesungguhnya masih begitu berat tantangan
yang dihadapi dalam program akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di
Kabupaten Cianjur ini. Dan hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar –
kalaupun tidak seluruhnya – yang tida melanjutkan sekolah itu adalah anak dari
kelaurga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.
3. Peningkatan Angka Partsisipasi
Merujuk kepada salah satu ukuran yang secara umum sering digunakan
dalam mengevaluasi pembangunan di bidang pendidikan, inilah indikator
penting lain yang bisa diangkat untuk mengambarkan keberhasilan atau
kegagalan dalam implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari
keluarga miskin selama ini. Persisnya, di bawah ini adalah trend angka
partisipasi sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK) maupun angka
partisipasi murni (APM) yang bisa diangkat untuk menjelaskan keberhasilan
implementasi Wajar Dikdas pada jenjang SD/MI sebagai berikut :
99
0
20
40
60
80
100
120
2004 2005 2006 2007 2008
APK
APM
Figur 4.26 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan SD/MI Sederajat
Jml. Anak Usia 7-12 tahun
256.086 258.863 259.442 268.010 270.679
Jml. Total siswa SLTP Sederajat
280.875 282.853 285.813 287.233 294.276
Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 7-12 tahun
225.208 242.667 248.291 257.667 262.832
Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun pernah mengalami
penurunan pada tahun 2007, namun secara umum angka partisipasi kasar (APK)
untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI sederajat) menunjukan tren peningkatan
yang cukup berarti dari 109,67 persen pada tahun 2004 menjadi 111,63 persen
pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 1,96 point persen dalam kurun waktu
lima tahun.
Itu semua mengandung arti bahwa implementasi Wajar Dikdas pada
jenjang SD/MI sederajat yang dilaksanakan selama ini cukup efektif dalam
meningkatkan angka partisipasi sekolah, termasuk partisipasi dari mereka yang
usianya di atas 12 tahun, di atas usia SD, namun belum mampu menyelesaikan
pendidikan dasarnya. Seperti dijelaskan Kasubdin PLSPO, Drs Imam Haris,
MM, sebagian besar mereka yang mengikuti program Paket A, pendidikan
setara SD, adalah mereka yang umumnya berusia di atas 13 tahun, bahkan ada
Persen
100
yang berusia 16 tahun. Pernyataan itu juga sekaligus menegaskan bahwa
kegiatan pendidikan non-formal yang digulirkan pemerintah cukup efektif
dalam program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Tren yang sama juga terjadi pada angka partsisipasi murni (APM) yang
mengalami peningkatan dari 87,94 persen pada posisi 2004 menjadi 97,10 pada
tahun 2008, atau peningkatan sebesar 9,16 point persen dalam kurun waktu lima
tahun. Itu semua menunjukan bahwa pelaksanaan Wajar Dikdas untuk jenjang
pendidikan dasar 6 tahun, jenjang pendidikan SD/MI sederajat, sudah
menunjukan keberhasilan yang cukup meyakinkan, meskipun ada sekitar 2,80
persen anak usia 7-12 tahun, atau sekitar 7.380 anak, yang karena drop out atau
alasan lainnya ternyata tidak berhasil menamatkan pendidikannya. Dan dari
hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar - kalaupun tidak
seluruhnya - dari mereka yang terpaksa tidak bisa menamatkan sekolah itu
adalah merupakan anak dari keluarga miskin yang secara khusus akan dibahas
lebih jauh dalam bagian berikutnya.
Namun untuk tingkat partisipasi pada tingkat SLTP, jenjang pendidikan
dasar 9 tahun, angka pencapaiannya ternyata masih menunjukan trend yang
masih jauh dari yang diharapkan, bahkan masih sangat memprihatinkan seperti
bisa ditelaah dalam figur di bawah ini :
101
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2004 2005 2006 2007 2008
APK
APM
Figur 4.27 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi pada Jenjang Pendidikan SLTP Sederajat
Dari tabel di atas nampak bahwa implementasi Wajar Dikdas 9 tahun di
Kabupaten Cianjur telah menunjukan hasil yang cukup berarti karena telah
mampu meningkatkan angka partsisipasi. Angka partisipasi kasar (APK),
misalnya, meningkat dari 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 87,67 persen
pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 11,64 point persen dalam kurun
waktu lima tahun.
Absolutnya, angka anak yang ada dibangku sekolah jejang SLTP
meningkat dari 100.893 anak pada tahun 2004 menjadi 120.130 pada tahun
2008, atau penambahan sebanyak 19.237 anak dalam periode lima tahun.
Jml. Anak Usia 13-15 tahun 132.687 134.500 139.123 134.908 137.015
Jml. Total siswa SLTP Sederajat 100.893 104.632 111.435 114.267 120.130
Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 13-15 tahun
91.547 98.648 106.539 106.200 114.913
Persen
102
Padahal dalam kurun waktu yang sama, jumlah penduduk usia 7-15 tahun
bertambah sebanyak 4.328 jiwa, termasuk didalamnya adalah anak yang kendati
usianya sudah melebihi 15 tahun tetapi masih duduk dibangku sekolah jenjang
SLTP.
Hal yang sama juga terjadi pada peningkatan angka partisipasi murninya
(APM). Persisnya, jumlah anak usia 13-15 tahun yang sedang berada pada
bangku sekolah SLTP meningkat dari 91.547 anak pada tahun 2004 menjadi
114.913 anak pada tahun 2008, atau naik 23.366 anak selama periode lima
tahun, atau naik dari 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 83,87 persen pada
tahun 2008, atau naik sebesar 14,88 persen dalam kurun waktu lima tahun.
Seperti juga terlihat pada angka partisipasi tingkat SD/MI, terdapat
perbedaan antara pencapaian angka partisipasi kasar (APK) yang lebih tinggi
dengan angka partisipasi murni (APM) yang lebih rendah. Itu semua
menunjukan bahwa sebagian diantara anak yang selama ini aktif berada pada
bangku SLTP, adalah mereka yang umurnya di atas 15 tahun. Itulah pula anak-
anak yang selama ini banyak ditampung dalam pendidikan jalur nom formal
seperti paket B dalam wadah PKBM. Tidak berlebihan pula jika implementasi
kebijakan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini cukup besar
sumbangannya dalam membantu meningkatkan pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagimana bisa ditelaah dalam dalam tebel
berikut ini :
103
Figure... Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
Tahun RLS Melek Huruf Indeks
Pendidikan IPM
2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72
Sumber : Bappeda Kabupaten Cianjur 2008 Namun kendatipun setiap tahunnya terjadi peningkatan yang cukup
signifikan, namun posisi APK maupun APM Kabupaten Cianjur untuk tingkat
SLTP ini ternyata masih menunjukan angka yang jauh dari yang diharapkan,
lebih-lebih jika dikaitkan dengan target yang telah ditetapkan sebagaimana bisa
ditelaah dalam tabel di bawah ini :
Tabel 4.27 : Pencapaian Angka Partisipasi Sekolah SLTP dibanding Target yang Telah ditetapkan
NO INDIKATOR POSISI 2004
TARGET 2008
PENCAPAIAN 2008
KETERANGAN
1 Angka Partisipasi Kasar (APK)
76,03
104 %
87,67
Minus 16,33 point persen dibanding target
2 Angka Partisipasi Murni (APM)
68,99
96,40 %
83,87
Minus 12,53 point persen dibanding target
Apa yang bisa ditegaskan dari figur di atas adalah bahwa meskipun
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini telah menunjukan
hasil yang efektif yang antara lain ditandai dengan adanya peningkatan angka
partisipasi, baik angka partisipasi kasar (APK) atau angka partisipasi murninya
(APM), namun jika dibandingkan dengan target yang telah ditentukan
sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka angka
104
pencapaiannya ternyata masih menunjukan angka yang jauh dari yang
diharapkan. Meminjam istilahnya Andrew Dunsire, dalam Wahab (1997:61),
masih ada “Implementation gap” atau kesenjangan antara kinerja yang
diharapkan dengan realitas hasil yang dicapai sebagai akibat dari adanya
“implementation capacity” dari para pelaku kebijakan.
Persisnya, dari target APK tahun 2008 sebesar 104 persen, ternyata
hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau masih terdapat kesenjangan atau
kekurangan sebesar 16,33 poin persen. Hal yang sama terjadi pada pencapaian
APM. Dari target tahun 2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai
angka 83,87 persen, atau masih kekurangan sebesar 12,53 point persen.
Fakta di atas sekaligus memperkuat apa yang dikatakan Eugene Bardach
(1991) dalam Leo Agustino (2006) yang mengatakan “adalah cukup untuk
membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas
kertas. Namun yang paling sulit adalah melaksanakannya dalam bentuk yang
memuaskan semua orang”
Singkatnya, meskipun implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun
melaui berbagai bentuk programnya telah berhasil menyentuh dan sekaligus
membantu meningkatkan akses anak dari keluarga miskin dalam mengakses
pendidikan dasar sebagai bagian dari haknya, termasuk sangat membantu dalam
meningkatkan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai salah satu indikator
peningkatan IPM, namun masih banyak diantara mereka yang karena
kemiskinan dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu ternyata belum
tersentuh. Karenanya, efektivitas implementasi kebijakan percepatan Wajar
Dikdas 9 tahun selama ini layak dipersoalkan, atau paling tidak dipertanyakan.
105
Tegasnya, dari dimensi equality-nya, selama ini pemerintah, melalui
kebijakan-kebijakannya, telah memberikan kesempatan yang sama kepada
seluruh anak, termasuk anak dari keluarga miskin untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dasarnya. Namun karena
keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, pemerintah belum mampu
memenuhi semua tuntutan dan kebutuhan pendidikan mereka sehingga aspek
efektivitas kinerja kebijakan dilihat dari dimensi “equity”-nya masih
menyisakan banyak beban dan garapan.
G. Potret Anak dari Keluarga Miskin yang Belum Tersentuh Kebijakan
Inilah potret dari sebagian anak yang pada saat dilakukan penelitian
belum banyak tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Jika dalam
uraian sebelumnya diuraikan mengenai hasil-hasil dari pelakasanaan kebijakan
Wajar Dikdas 9 tahun yang antara lain ditandai dengan pencapaian angka
partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP, maka
dalam uraian berikut ini akan diangkat sejumlah kasus anak dari keluarga
miskin, yakni anak usia 7-15 tahun yang pada saat diteliti belum atau bahkan
tidak tersentuh dengan kebijakan yang dilaksanakan.
Deskripsi tentang apa yang menjadi faktor penyebab anak dari keluarga
miskin tidak melanjutkan sekolah dilihat dari persepsi anak dan keluarga atau
orang tuanya, baik sikap atau kondisi ekonominya, termasuk kondisi sosialnya,
adalah fokus utama yang akan diangkat dalam sub bab ini. Melalui deskripsi
ini, gambaran mengenai ketidaksesuaian atau ”diskrepansi” antara layanan
pendidikan dasar yang diberikan pemerintah (suply side) dengan tuntutan atau
kebutuhan anak dari keluarga miskin (demand side) bisa diangkat dan dikaji.
106
Dan di situlah pula efektivitas kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9
tahun yang dilaksanakan selama ini bisa dikaji dan dievaluasi lebih dalam lagi.
1. Potret Sejumlah Kasus
Many children left behid, tulis Deborah Meier (2005), seorang penulis
sekaligus praktisi pendidikan di daratan Amerika Serikat, dikutip Rohmat
Mulyana (2007) untuk menggambarkan sekaligus mengkritisi disparitas
pendidikan antara rakyat miskin alias kurang beruntung dengan mereka yang
kaya. Itulah pula salah satu potret buram yang terjadi dalam penyelenggaraan
pendidikan di negeri ini, bahkan untuk penyelenggaraan pendidikan tingkat
dasar sekalipun. Dan di situlah pula penyelenggaraan pendidikankita, khususnya
Wajar Dikdas 9 tahun yang sangat diniscayakan dalam Undang-undang
sesungguhnya digugat.
Banyak sekali faktor yang selama ini hadir menjadi alasan seorang anak
tidak melanjutkan sekolah, kendati pun pemerintah, melalui kebijakan-
kebijakannya, telah berupaya untuk mempermudah akses masyarakat terhadap
layanan pendidikan, khususnya layanan pendidikan dasar 9 tahun. Seperti
diungkapkan Paulo Freire (1995), sebagai kaum marginal, mereka adalah anak-
anak yang mengalami kesulitan akses pendidikan karena faktor kemiskinan,
hambatan geografis, bias gender, atau karena faktor kecacatan (difable –
defferent ability). Bahkan bagi mereka, belajar dilembaga pendidikan yang
berkualitas menjadsi sesuaru yang sangat mahal.
Rahmat (14 tahun) yang beralamat di kawasan perumahan padat yang
ada kelurahan Sayang Cianjur kota, misalnya, terpaksa tidak melanjutkan
sekolah setelah tamat SD pada tahun 2006. Alasannya, ia cenderung lebih
107
memilih memenuhi ajakan ibunya untuk ikut berdagang keliling kampung
ketimbang memenuhi ajakan gurunya untuk melanjutkan sekolah ke tingat
SLTP yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan orang tua dan
anaknya mengetahui kalau penyelenggaraan pendidikan dasar di daerahnya,
melalui program BOS-nya, telah dibebaskan dari segala bentuk iuran alias
gratis. Di sini, masalah biaya sekolah, khsusnya biaya langsung – direct cost
bukanlah perupakan masalah utama karena ada faktor lain yang selama ini
menjadi kendala bagi anak miskin dalam mengakses pendidikan.
Dari hasil wawancara terungkap bahwa beban berat hidup keluarga
dengan segala dampak psikologisnya terhadap sikap dan perilaku anak yang
diperkuat dengan miskinnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya
pendidikan, hadir menjadi penyebab dominan anak bernama Rahmat yang
memiliki ayah hanya sebagai kuli kasar itu tidak melanjutkan sekolah.
Apa yang dialami Rahmat juga dialami oleh Diki (15), anak dari seorang
ayah yang memiliki pekerjaan hanya sebagai tukang becak dan ibunya sebagai
tukang cuci baju tetangganya. Persisnya, Diki yang beralamat di Rancabali
Cianjur kota itu terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah pada kelas V SD
lantaran kurang memperoleh perhatian sama sekali dari orang tuanya. Seperti
dialami keluarga Rahmat, maka beban berat ekonomi keluarga serta kesadaran
orang tua akan arti pentingnya pendidikan hadir menyatu menjadi faktor
penyebab si anak harus meninggalkan bangku sekolah. Kasus ini sesuai dengan
tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979) yang mengeaskan bahwa kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan
semangat anak untuk melanjutkan pendidikan.
108
Pengalaman yang harus dijalani anak bernama Ai Siti Aminah (15) yang
beralamat di Desa Sukagalih Kecamatan Mande lebih memprihatinkan lagi.
Meskipun motivasi ia untuk melanjutkan sekolah cukup tinggi, bahkan sampai
sempat menangis-nangis ingin melanjutkan sekolah, namun si anak pada
akhirnya harus puas menikmati pendidikan hanya sampai tingkat SD.
Alasannya, ayahnya yang hanya seorang buruh kuli itulah yang justeru
melarangnya melanjutkan sekolah dengan alasan takut tidak bisa membiayai
kebutuhan pendidikan anaknya.
Dari hasil wawancara terungkap bahwa biaya yang dikeluhkan bukan
berkait dengan kebutuhan bayaran sekolah yang diketahuinya telah dibebaskan
pemerintah, tetapi menyangkut kebutuhan sekolah yang lainnya, terutama
perlengkapan sekolah seperti baju seragam, sepatu dan sejenisnya.
Itulah pula alasan yang banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin
yang lainnya. Suryana (15) yang merupakan anak pertama dari pasangan
Lukman dan Ny. Masliah asal Desa Saganten Kecamatan Sindangbarang
terpaksa hanya bisa menikmati bangku sekolah kelas satu Madrasah Tsanawiyah
(MTs) selama 15 hari hanya karena merasa kasihan kepada orang tuanya yang
kondisi ekonominya dalam keadaan morat marit. Persisnya, si anak merasa
kasihan sekaligus takut kalau orang tuanya kelak tidak bisa memenuhi banyak
kebutuhan sekolah yang perlu dilengkapinya. Di sini, masalah motivasi anak
dan beban ekonomi keluarga hadir saling memperkuat menentukan sikap anak
dan keluarga terhadap pendidikan.
Sangat berbeda dengan yang dialami oleh anak-anak dalam kasus di atas
adalah beberapa kasus yang dialami oleh anak di bawah ini. Leman (15) yang
109
beralamat di Desa Mekarsari Cikalongkulon, misalnya, terpaksa tidak bisa
melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP bukan karena tidak mendapat dukungan
dari orang tuanya, tetapi lebih karena faktor motivasi yang dimiliki anaknya
sendiri. Ah abdi mah alim sareng males we (ah tidak mau dan saya ini malas
saja), kata si anak sambil mengekspressikan keinginannya untuk membantu
pekerjaan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah. Di sini, kondisi
kemiskinan keluarga dengan banyak dimensinya adalah akar yang menjadi
penyebab hilangnya motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan.
Hal yang sama juga dialami oleh Rita (14), anak kedua dari lima
bersaudara pasangan U Suherlan dan Ny. Rani yang beralamat di Desa
Mekarwangi Kecamatan Ciranjang. Dalam kasus ini, meskipun orang tuanya
terus mendorong anaknya untuk kembali masuk sekolah, namun Rita terpaksa
meninggalkan bangku sekolah pada kelas IV SD karena merasa malu terlalu
sering tidak masuk sekolah berkait dengan sakit yang sering dideritanya.
Faktor psikologis yang ditandai dengan perasaan rendah diri merupakan
alasan lain kenapa seorang anak tidak mau melanjutkan sekolah. Itulah pula
yang antara lain dialami oleh beberapa anak berikut ini. Aris (15), misalnya,
terpaksa meninggalkan bangku sekolah dasar (SD) pada tahun 2006 bukan
semata karena faktor ekonomi orang tua yang memang miskin, tetapi lebih oleh
karena faktor psikologis berupa perasaan minder yang tak jarang diciptakan
lingkungan sekolahnya.
Menurut penjelasan orang tuanya, Empep yang hanya pedagang asongan
dilingkungan sekolah itu, Aris yang beralamat di Desa Jamali Kecamatan
Mande itu tidak mau sekolah karena sering diolok-olok teman sekolahnya
110
sendiri dengan sebutan ”si begang” (kurus), ”si penyol” (lonjong) dan
sebagainya. Dan ironisnya, cemoohan yang sering menekan secara psikologis
sekaligus membuat minder anak itu justeru tak jarang dilakukan oleh gurunya
sendiri, tegas Aris dan keluarganya.
Bahkan oleh orang tua dan kakeknya, Aris telah dicoba dan berkali-kali
dimotivasi untuk bisa pindah sekolah, namun ia tetap memilih meninggalkan
bangku sekolah lantaran faktor psikologis yang dialaminya. Dari kasus ini bisa
diangkat bahwa lingkungan sekolah, bukan semata lingkungan keluarga,
termasuk kesadaran orang tuanya, apalagi semata faktor ekonomi, merupakan
faktor penting lain yang turut berpengaruh sekaligus menjadi alasan kenapa
seorang anak tidak melanjutkan sekolah.
Itulah pula yang dialami oleh beberapa anak yang lainnya. Nunang (14)
yang hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas IV SD pada tahun 2003
tidak mau melanjutkan sekolah karena merasa malu kalau usianya sudah terlalu
tua usia untuk kembali melanjutkan sekolah setingkat SD. ”Ah era geus gede”
(ah malu sudah besar), ujarnya ketika dimintai alasan kenapa ia tidak
melanjutkan sekolah. Padahal jarak jauh antara sekolah dan rumahnya hanya
sekitar 200 meter, bahkan pemerintah telah menyediaakan layanan pendidikan
bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang jaraknya juga tidak
jauh dari tempat tinggalnya.
Itulah pula yang dialami oleh Santi (15), anak kedua dari enam
bersaudara yang beralamat di Desa Jambudipa Kecaamatan Warung Kondang.
Persisnya, Santi yang tamat SD pada tahun 2005 itu, kini tidak mau melanjutkan
kejenjang SLTP yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya itu
111
karena merasa malu berkait dengan usianya yang sudah menginjak umur 15
tahun, usia dimana teman-temannya sudah bisa menyelesaikan pendidikan
jenjang SLTP.
Kasus berikut lebih memprihatinan lagi. Meskipun dorongan dari orang
tuanya kuat, namun Jali (13), anak tunggal dari pasangan Basiri dan Ny.Lilis
yang beralamat di Desa Purabaya Kecamatan Leles terpaksa meninggalkan
bangku sekolah kelas satu SMP pada tahun 2007 hanya karena merasa dirinya
memiliki kekurangan secara fisik, cacat kaki. ”Isin pa, pan abdi cacat
sampean” (malu pak, kan saya ini punya cacat kaki), keluhnya ketika ditanya
alasan tidak melanjutkan sekolah.
Singkatnya, bahwa dorongan orang tua saja tidaklah cukup karena aspek
motivasi dan kesadaran anak juga sangat berpengaruh. Caca (13), misal lain,
anak tunggal pasangan Mumuh dan Ny.Sarwati yang beralamat di Desa
Sukajaya Kecamatan Leles Cianjur Selatan itu terpaksa tidak melanjutkan
sekolah ke jenjang SLTP bukan karena tidak didukung orang tuanya,
melainkan karena anaknya sendiri yang memang ngotot tidak mau melanjutkan.
Alasannya, ia lebih senang bermain alias keluyuran dengan motor (bodong)
yang dibelikan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah ke SMP Satu Atap
yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumahnya.
Faktor jarak jauh antara rumah dengan lokasi sekolah, adalah merupakan
salah satu determinan penting yang selama ini hadir menjadi alasan kenapa
masih banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah. Itulah pula yang terutama
banyak dialami oleh anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di daerah-
daerah terpencil, terutama di daerah Cianjur selatan. Hal ini menunjukan bahwa
112
program-program Wajar Dikdas 9 tahun yang selama ini digulirkan pemerintah
belum mampu menyentuh dan menjawab persoalan yang dimiliki anak dari
keluarga miskin.
Ami Diyanti (13), anak dari pasagan Ibu Sinah dan Iskandar yang
pendidikanya haya tamatan SD degan pekerjaan sebagai buruh tani di Desa
Sirnagalih itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah se jenjang SLTP hanya karena
jauhnya jarak, sekitar 7 km. Bahkan untuk bisa masuk jalur pendidikan
nonformal berupa Kejar Paket B pun ia harus menempuh jarak sekitar 6 km.
Kondisi itu diperkuat oleh masalah beban ekonomi keluarga, disamping karena
si anak tidak mau sekolah karena merasa dikampungnya tidak punya teman
sejenis, yakni teman sesama perempuan.
Ketersediaan tenaga pendidikan seperti guru atau tenaga pengajar
merupakan masalah lain yang selama ini sangat berpengaruh dalam menunjang
keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun. Yuyu Yuningsih (14) yang anak seorang
tukang baso dan bertempat tinggal di desa Sukamulya Kecamatan Mande,
misalnya, terpaksa meninggalkan proses belajar dalam bentuk Paket Kejar B
yang disediakan Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur hanya karena guru
pengajarnya yang jarang datang. Di sini, efektivitas layanan pendidikan non-
formal yang disediakan pemerintah dipertanyakan. Bahkan anak bernama
Yuyu ini pernah berkeinginan untuk pindah ke SMP terbuka namun akhirnya
mengurungkan diri lantaran tidak mampu menyediakan biaya untuk membeli
kaos olah raga dan baju seragam, bahkan untuk uang jajan. Dalam konteks ini,
kondisi atau lingkungan internal sekolah menjadi masalah tersendiri bagi anak
dari keluarga miskin.
113
Demikian halnya yang dialami oleh anak bernama Agung (12), anak ke
tiga dari 5 orang anak paasangan Adang dan Ny. Tini yang beralamat di Desa
Cipanas Kecamatan Cipanas yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada
kelas IV SD pada tahun 2005. Alasannya bukan oleh karena masalah beratnya
membayar SPP seperti sebelum ada pembebasan biaya sekolah, tetapi lebih oleh
karena ketidakmampuannya untuk bisa membeli perlengkapan seolah seperti
untuk membeli buku, seragam, bahkan untuk membayar iuran keterampilan
yang masih diminta oleh pihak sekolah.
Alasan karena orang tuanya ingin melanjutkan pendidikan anaknya ke
pesantren, adalah faktor lain yang di kabupaten Cianjur cukup berpengaruh
terhadap upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Kecenderungan ini sesuai
dengan budaya ”ngaos” yang memang melekat kuat dalam kehidupan
masyarakat Cianjur, tegas beberapa tokoh masyarakat yang sempat
diwawancarai. Itulah yang antara lain dialami oleh Yuyu (14), anak ke tujuh
dari tujuh anak pasangan Supriatna dan Ny. Popon yang pendidikannya hanya
tamat SD itu. Itulah pula yang dialami oleh Yusuf (15), anak ke dua dari empat
bersaudara yang bertempat tinggal di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara
yang meninggalkan bangku sekolah hanya sampai kelas V SD pada tahun 2004
hanya karena cita-citanya ingin jadi ustadz.
Hal yang sama juga dialami oleh Siti Nurhaeni (14), satu dari empat
anak pasangan Ujang Husen dan Ny. Enok Sadiah yang beralamat di Desa
Bobojong Kecamatan Mande. Bedanya, jika Yusuf masuk pesantren karena
memang ingin jadi ustadz, maka Siti Nurhaeni masuk pessantren karena desakan
ekonomi.
114
Persisnya, setelah anak dari pasangan orang tua yang pekerjaanya hanya
sebagai buruh itu lulus SD pada tahun 2006, ia didorong orang tuanya
melanjutkan pendidikan ke Pesantren dengan alasan faktor biaya yang ditangkap
dari ceritera para orang tua yang mejadi tetangganya. Nahasnya, baru dua bulan
di pesantren anaknya sudah dibawa pulang karena ketidakmampuan orang tua
untuk memberi bekal makan anaknya. Karena kemiskinan, singkatnya, si anak
haris rela tidak bisa menikmati pendidikan, bahkan untuk pendidikan pesantren
yang tidak memungut biaya sekali pun.
2. Beberapa Faktor Utama Penyebab
Apa yang dialami oleh banyak anak dari keluarga miskin seperti yang
diangkat dalam beberapa kasus di atas sesungguhnya hanyalah merupakan
representasi saja dari sekian banyak kasus yang sama, atau setidaknya
cenderung sama, yang umumnya banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin
yang lainnya.
Persisnya, dari 270 anak yang tinggal di 270 Desa / Kelurahan yang
sengaja diwawancarai dan diobservasi dalam penelitian ini, dan setelah
dilakukan klasifikasi atau kategorisasi, maka setidaknya ada empat faktor
dominan yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten
Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik dropout di
tengah jalan, maupun tidak melanjutkan sekolah.
Dari hasil penelitian pula terungkap bahwa masing-masing faktor
tersebut tidak selamanya hadir secara terpisah dari faktor yang lainnya,
melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua
115
faktor yang lainnya. Pengklasifikasian di sini dibuat sekadar untuk memudahkan
analisis sekaligus menjelaskan faktor dominan paling berpengaruh yang selama
ini muncul menjadi penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau
putus sekolah.
Pertama, dan yang paling utama, adalah menyangkut faktor ekonomi
keluarga, sebutlah beban berat ekonomi keluarga. Inilah pula faktor yang pada
akhirnya banyak mempengaruhi lahirnya faktor penyebab lain, sebutlah seperti
menyangkut faktor kesadaran atau motivasi, baik motivasi anak maupun orang
tuanya, bahkan motivasi kedua belah pihaknya.
Fakta di atas sesuai dengan hasil sebuah penlitian terkini yang dilakukan
El findri dan Davy (2006), dalam Devy Hendri (Kompas, 30 Juli 2007) yang
menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak
dari keluarga miskin adalah karena jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor
kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama.
Masalah pokoknya muncul ketika tuntutan biaya yang dibutuhkan untuk
menyekolahkan anaknya harus menyedot tuntutan biaya untuk memenuhi
keseharian hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan sangat primer karena
menyangkut pemenuhan perut atau makan sehari-hari mereka. Kecenderungan
tersebut diperparah oleh besarnya beban hidup yang harus ditanggung oleh
keluarga miskin lantaran besarnya jumlah anak yang dimiliki mereka.
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan, semakin miskin sebuah
keluarga, maka akan semakin besar keinginan untuk memiliki banyak anak. Hal
ini juga sesuai dengan tesis yang dikembangkan para ahli demografi – sosiologi
yang menegaskan bahwa besarnya anak bagi keluarga miskin adalah investasi.
116
Itu sebabnya, semakin miskin sepasang keluarga, maka akan semakin banyak
kemungkinan anak yang mereka miliki. Buat mereka, anak adalah mesin
produksi yang diharapkan bisa membantu meringankan beban ekonomi
kelauraga.
Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa masalah beban berat
ekonomi di sini bukan menyangkut besarnya biaya yang harus dipenuhi anak
untuk membayar iuran sekolah yang memang sudah dibebaskan pemerintah,
melainkan menyangkut biaya untuk keperluan seperti seragam, baju olah raga,
biaya transportasi, bahkan biaya jajan anak, adalah beberapa komponen lain
yang mesti diperhitungkan dalam pembiayaan pendidikan.
Jelasnya, beban biaya tidak langsung, atau indirect cost, itulah yang
menjadi masalah berat yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin dalam
mengakses layanan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Bahkan bagi mereka yang
sangat miskin, anak justeru ditarik dari sekolah dengan maksud hanya untuk
membantu meringankan beban hidup keluarga, bahkan anak dibiarkan bermain
keluyuran. Di situlah pula arti pentingnya mempertimbangkan apa yang dalam
konsep ekonomi pendidikan disebut dengan opportunity foregone (kesempatan
yang hilang) yang mesti dipertimbangkan dalam membicarakan pembiayaan
pendidikan, lebih-lebih bagi anak dari keluarga miskin.
Kedua, adalah faktor kesadaran, baik menyangkut kesadaran orang tua
maupun kesadaran anaknya sendiri, bahkan menyangkut kesadaran kedua-
duanya, yakni kesadaran anak dan orang tuanya. Persisnya, dari banyak kasus
anak tidak bersekolah yang diteliti, sebagian diataranya terjadi karena berkait
dengan persoalan miskinnya kesadaran atau awarnesses mereka. Kondisi ini
117
diperkuat oleh tingkat pendidikan orang tua mereka yang secara rata-rata
memang tidak lebih dari tamatan SD, bahkan banyak yang tidak tamat SD.
Namun perlu dicatat bahwa faktor kesadaran di sini tidaklah berdiri
sendiri atau lepas dari faktor lainnya yang memang merupakan karakter khas
dari keluarga miskin. Jelasnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa
kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan menjadi berkurang lantaran
memang terdesak oleh tuntutan hidup yang dihadapi mereka. Karena begitu
beratnya beban hidup yang harus ditanggung mereka, misalnya, motivasi
mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi berkurang.
Faktor jarak jauh antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah,
ketiga, adalah merupakan masalah berat tersendiri yang selama ini menjadi
penyebab sebagian anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus
sekolah. Dari banyak kasus anak tidak sekolah yang diteliti, sebagiannya
mengeluh karena masalah biaya transportasi. Dalam konteks itu, efektivitas
semua kebijakan yang diimplementasikan pemerintah selama ini jelas-jelas
belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga
miskin, dan karenanya layak dipertanyakan.
Bahkan karena sangat jauh dan langkanya sarana transportasi, ada
diantara mereka yang setiap harinya harus mengeluarkan biaya transport saja
tidak kurang dari Rp. 50.000,-, sebuah angka yang jauh lebih besar dibanding
besarnya iuran yang dibebaskan pemerintah. Itulah pula faktor yang selama ini
belum banyak dijawab dalam implementasi kebiajakan Wajar Dikdas. Seperti
pernah ditegaskan pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia,
Nanang Fatah (Kompas, 20 Desember 2006), salah satu kesulitan masyarakat
118
dalam mengakses pendidikan berkait dengan persoalan transportasi karena
selama ini pemerintah tidak memperhitungkan jarak jangkauan calon siswa
dengan sekolah.
Bahkan jauhnya jarak yang terpaksa sering harus ditempuh anak dari
keluarga miskin – karena ketiadaan infrastruktur jalan serta sarana transfortasi –
adalah contoh dari bentuk pengorbanan yang tak jarang hadir menjadi beban
berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan.
Meminjam istilahnya Thomas Yanes (1985), Non – monetary cost, itulah faktor
lain yang selama ini tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari
keluarga miskin dalam mengakses pendidikan
Itulah pula faktor ketiga yang selama ini jadi penyebab lain anak dari
keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Masalah ini tak
jarang diperburuk oleh beratnya beban kehidupan ekonomi keluarga mereka,
disamping aspek kesadaran atau motivasi mereka terhadap pendidikan yang
memang rendah. Di sini, efektivitas layanan pendidikan yang dilakukan
pemerintah saat ini juga layak dipertanyakan karena belum mampu menjawab
kondisi riel kehidupan anak dari keluarga miskin.
Seperti diungkapkan oleh Drs. Dadang, Kepala SMP Sukaresmi 1 yang
menjadi sekolah Induk SMP Terbuka yang mengatakan : bahwa ”hanya sekitar
70 persen dari murid-muridnya yang rtin mengikuti kegiatan belajar”.
Alasannya, tegasnya pula, ”anak-anak yang selruhnya berasal dari keluarga
miskin itu sering bolos karena memang diajak orang tuanya, kalau bukan karena
memang motivasi anaknya sendiri yang rendah, yang menjadi penyebab anak
sering tidak hadir mengikuti proses pembelajaran”.
119
Hal itu didukung pula oleh tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979)
yang menegaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat miskin yang rendah
dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Parahnya, demikian pernah terlontar
dari beberapa tokoh masyarakat di Cianjur selatan, bahwa tidak jarang anak
yang sedang sekolah ditingkat SMP terpaksa harus meninggalkan bangku
sekolah hanya karena ada iming-iming mau diajak bekerja keluar negeri
(umumnya jadi pembantu rumah tangga) oleh oknum dari penyalur tenaga kerja
yang selama ini menjadi masalah pelik tersendiri bagi pemerintah dalam upaya
untuk mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdasnya, bahkan menjadi
masalah pelik dan kompleks tersendiri dalam menaggulangi masalah
”trafficking” yang tak jarang muncul di kabupaten Cianjur.
Keempat, adalah menyangkut faktor psikologis seperti perasaan
rendah diri atau minder, baik karena status sosialnya yang memang miskin
maupun karena faktor kelainan atau cacat fisik yang dimilikinya, termasuk
didalamnya faktor psikologis karena memang anaknya yang karena berbagai hal
malas bersekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silverstein dan Krate,
dikutip Saratri Wilonoyudho (Kompas, 16 Mei 2005) yang mengungkapkan
bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang umumnya tinggal di daerah kumuh
atau tertinggal / terisolasi menyebebkan mereka memiliki sifat kurang percaya
diri dan penghargaan pada diri sendiri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian itu juga sesuai dengan pendapatnya Oscar Lewis (1961)
yang banyak melihat kemiskinan lebih dari aspek budaya – budaya kemiskinan
(culture of poverty) – yang menegaskan bahwa dilihat dari perilaku
120
kesehariannya, budaya miskin itu tampak dari tanda-trandanya seperti merasa
tidak berharga, tidak berdaya, rendah diri dan ketergantungan.
Salah satu wujud kongkritnya, sebagian diantara mereka terpaksa
meninggalkan bangku sekolah hanya karena tidak mampu membeli sepatu atau
baju seragam seperti halnya yang bisa dilakuan oleh anak-anak yang lainnya.
Sebagian diantaranya tidak mau melanjutkan sekolah lantaran merasa umurnya
sudah berada di atas umur anak yang lainnya kalau bukan karena malu karena
cacat tubuh yang dimilikinya. Bahkan sebagian dintaranya terpaksa
meninggalkan bangku sekolah hanya karena merasa tertekan berkait dengan
berbagai tindakan kekerasan yang tak jarang diterima anak, terutama dalam
bentuk kekerasan mental yang terkadang harus dihadapi dilingkungan
sekolahnya. Di sini, kondisi lingkungan internal sekolah turut memperparah
penderitaan anak dari keluarga miskin. Itulah faktor kelima yang dari hasil
penelitian ini terangkat sebagai penyebab lain kenapa anak dari keluarga miskin
tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya.
121
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk
mendeskripsikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan fokus dan
pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan
uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama
yang ditekankan pada fokus penelitian.
Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan
Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan
bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan
mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh
kebijakan akan dibahas.
Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu
strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan
upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari
keluarga miskin.
A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh
Secara umum, dari hasil penelitian terungkap bahwa meskipun
kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur
ini telah memiliki arah yang jelas dan dukungan kebijakan yang kuat, namun
pada tataran implementasinya masih menunjukan banyak kelemahan dan
kekurangan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya untuk menenuntaskan
220
122
Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin sesuai dengan fokus
penelitian ini.
Adalah misi dan visi Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah
menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu agenda
sentralnya. Bahkan dari empat misi yang telah ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sekaligus menjadi acuan
perencanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur, satu misi diantaranya berisi
tentang arti pentingnya pembangunan pendidikan dengan fokus pada penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun.
Bukan hanya itu, adalah Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit dan dengan begitu
tegas telah menetapkan bahwa dari tujuh tujuan dan sasaran prioritas yang
sekaligus merupakan arah kebijakan yang akan ditempuhnya, agenda
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan salah satu prioritasnya. Bahkan
arah kebijakan ini juga ditunjang oleh dua tujuan atau sasaran yang lainnya,
yakni upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan upaya
peningkatan mutunya, dua besaran sasaran program yang apabila bisa
diimplementasikan akan sangat besar sumbangannya dalam upaya mempercepat
program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Jelasnya, kebijakan yang ditujukan kepada upaya pemerataan, maka
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan
masyarakat, tidak terkecuali masyarakat yang kurang beruntung alias miskin
yang selama ini masih banyak menyisakan sasaran.
123
Melalui kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu, maka
implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa
dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar target kuantitas yang ditandai
dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, baik APK maupun APM,
melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan bekal pengetahuan dan
keterampilan dasar yang sangat diniscayakan setiap warga masyarakat,
khususnya bagi anak dari keluarga miskin sebagai modal utama untuk bisa
mengakses hak-hak hidupnya, sebut pula memberdayakannya.
Dari hasil kajian peneliti, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun
yang dilakukan di Kabupaten Cianjur saat ini memiliki landasan yang cukup
kuat dan strategis. Tidak saja karena didukung oleh kebijakan-kebijakan yang
telah dirumuskan dan ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat,
melainkan diperkuat pula oleh visi dan misi pemerintah Kabupaten Cianjur yang
secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas
Pendidikan Kabupaten Cianjur 2006-2011.
Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya kebijakan
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun merupakan realisasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
tahun 2006 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9
Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat,
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan bagian dari upaya strategis
dalam rangka pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
124
ditargetkan bisa mencapai angka 80 pada tahun 2010 sebagaimana bisa ditelaah
dalam chart di bawah ini :
PENCAPAIAN VISI JAWA
BARAT MELALUI IPM 80 TH 2010
INDEKS PENDIDIKAN
INDEKS KESEHATAN
INDEKS DAYA BELI
RATA-RATA LAMA
SEKOLAH
MELEK HURUF
UMUR HARAPAN
HIDUP
PENDAPATAN PER KAPITA
WAJAR DIKDAS
9 TAHUN
GAMBAR 5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN DENGAN PENCAPAIAN IPM JAWA BARAT
Dari gambar di atas nampak bahwa pelaksanaan program akselerasi
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun disamping memiliki posisi yang strtaegis
dalam menunjang peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) dan peningkatan
buta aksara sebagai faktor penentu indeks pendidikan sebagai salah satu
komponen penting peningkatan IPM. Tidak sampai di situ, keberhasilan
pelaksanaan Wajar Dikdas juga secara tidak langsung akan besar pula
sumbangannya terhadap upaya untuk mendukung peningkatan dua indeks IPM
yang lainnya, yakni indeks kesehatan dan daya beli.
Namun sebaliknya, upaya untuk meningkatkan Wajar Dikdas sendiri
pada akhirnya akan pula banyak ditentukan oleh keberhasilan peningkatan
derajat kesehatan dan juga tingkat daya beli masyarakat. Di situlah pula arti
pentingnya mengintegrasikan pelaksanaan Wajar Dikdas itu dalam kaitannya
dengan upaya untuk meningkatkan sektor pembangunan yang lainnya, dalam
hal ini adalah pembangunan disektor kesehatan dan peningkatan daya beli
masyarakat.
Asumsinya, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan
semakin meningkat pula sikap, kesadaran dan perilaku kesehatannya. Padahal
125
menurut Hendrik Blumm, faktor sikap dan perilaku masyarakat ini akan sangat
menentukan derajat kesehatan mereka. Juga, semakin tinggi pendidikan sebuah
masyarakat, maka akan semakin besar pula pengtetahuan dan keterampilan yang
memunginkan mereka bisa mengakses peluang untuk meningkatkan taraf
kesejahteraannya.
Itulah gambaran mengenai letak strategisnya pelaksanaan wajar Dikdas
9 tahun dalam upaya untuk mendukung peningkatan indeks pembangunan
manusia (IPM). Menurut kajian peneliti, itulah pula peluang yang sesungguhnya
bisa dijadikan salah satu kekuatan utama untuk menarik dukungan seluruh
sektor, termasuk dukungan masyarakat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun di kabupaten Cianjur. Di situlah pula kemampuan para stakeholders di
bidang pendidikan untuk melakukan advokasi tentang arti pentingnya
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diuji dan ditantang.
Tidak sampai di situ, letak strategisnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9
tahun itu diperkuat pula oleh visi dan misi kabupaten Cianjur yang secara
eksplisit telah mencantumkan program perecepatan Wajar Dikdas 9 tahun
sebagai prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
Yang tidak bisa diabaikan, adalah kebijakan Bupati Cianjur yang sejak
dilantik secara resmi menjadi Bupati Cianjur telah mendeklarasikan tentang
”Pendidikan Gratis” untuk tingkat SD/MI sampai dengan SLTP yang sudah
sering disampaikan dalam berbagai kesempatan penting. Intinya, tidak
dibenarkan bagi sekolah (SD/MI dan SLTP) yang mendapatkan bantuan dari
pemerintah melakukan pungutan biaya apa pun kepada siswa atau orang tua
siswa. Pernyataan politis itu sekaligus merupakan isyarat tentang besarnya
126
perhatian sekaligus komitmen pimpinan tertinggi Kabupaten Cianjur dalam
mendukung kelancaran akselerasi program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Singkatnya, dilihat dari aspek formulasinya, juga dilihat dari letak
strategisnya, termasuk dari target yang telah ditetapkannya, sesungguhnya tidak
ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cianjur untuk tidak bisa menjabarkan
arah kebijakan itu kepada berbagai program yang mendukung upaya penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun.
B. Kajian Terhadap Program Implementasi
Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-
bentuk program telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cianjur dalam
mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai penjabaran dari
arah kebijakan yang telah ditetapkannya. Namun dari hasil penelitian terungkap
bahwa tidak semua program yang dilaksanakan ternyata bisa menjawab dan
mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin sebagai
salah satu kelompok sasaran yang menjadi target kebijakan.
Alasannya banyak, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan
lemahnya pelaksanaan fungsi dan tugas Tim Koordinasi yang telah dibentuk,
termasuk lemahnya pelaku atau implementor kebijakan, lemahnya pendataan
sebagai langkah awal untuk mengetahui sasaran yang akan digarap dengan
kebijakan, kurang realistiknya target yang ingin dicapai, lemahnya sosialisasi
sampai kepada miskinnya sumberdaya untuk mengoptimalkan dan mendukung
kelancaran implementasi berbagai bentuk program intervensinya.
1. Kajian Terhadap Penentuan Target
127
Dikaitkan dengan sasaran yang yang ingin dicapainya, dari hasil
analisis terungkap bahwa arah kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten
Cianjur juga ternyata telah dipertegas dengan rencana pencapaian target yang
sebagai salah satu tolok ukur penting untuk melihat kinerjanya.
Persisnya, dalam rangka percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini
Kabupaten Cianjur memiliki target untuk bisa meningkatkan Angka Partisipasi
Kasar (APK) dari posisi 76,03 pada tahun 2004 menjadi 104 pada tahun 2008,
atau kenaikan sebesar 27,97 poin persen dalam kurun waktu lima tahun, sekitar
5,59 poin persen setiap tahunnya.
Bandingkan dengan tren kenaikan APK dalam periode empat tahun
sebelumnya, periode 2001-2004 yang meningkat sebesar 26,86 poin persen, atau
sekitar 6,71 poin persen setiap tahunnya. Itu semua mengandung arti bahwa
target yang dirumuskan lima tahun terakhir ini boleh dikatakan cukup realistik
jika dibandingkan dengan tren pencapaian APK dalam periode empat tahun
sebelumnya, bahkan secara kuantitatif sedikit lebih rendah.
Tidak jauh dari itu, Angka Partisipasi Murni (APM) ditargetkan naik
dari posisi tahun 2004 sebesar 68,99 menjadi 98,50 pada tahun 2008, atau
meningkat sebesar 29,51 poin dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,90 poin
setiap tahunnya. Bandingkan juga dengan trend peningkatan APM dalam
periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004, yang meningkat sebesar
30,67 poin persen, atau meningkat sebesar 7,77 poin persen setiap tahunnya.
Itu semua juga mengandung arti bahwa jika dilihat dari trend dan
kemampuan pencapaian target beberapa tahun sebelumnya, maka penentuan
target peningkatan APM ini cukup realistik, bahkan masih berada di bawah tren
128
peningkatan APM empat tahun sebelumnya. Namun persoalannya akan menjadi
lain ketika target sebesar itu tidak dikaitkan dengan sukung dengan optimalisasi
sumber daya dalam melaksanakan program-program pendukungnya, bahkan
mungkin menjadi kurang realistik jika dikatkan dengan sisa sasarannya yang
kebanyakan merupakan anak dari keluarga miskin dengan karakteristik sosial
dan budayanya nya yang begitu kompleks.
Dengan target sebesar itu, pada tahun 2008 Kabupaten Cianjur
menargetkan dirinya untuk bisa menjadi daerah dengan kategori “tuntas Wajar
Dikdas Paripurna. Bahkan target lebih jauhnya, pada tahun 2011 nanti
Kabupaten Cianjur punya ambisi untuk mencapai status “wajib belajar 12 tahun
- Wajar Dikmen, sebuah target yang luhur jika dikaitkan dengan kebijakan
pemerintah provinsi maupun pusat yang telah mentargetkan penuntasan Wajar
Dikdas 9 tahun pada tahun 2008.
Bukan hanya itu, penentuan target sebesar itu juga merupakan sebuah
keniscayaan jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai
kabupaten Cianjur untuk bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years
schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun
2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator
makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur
diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada
tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi
peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.
Singkatnya, dari hasil kajian terungkap bahwa ada kecenderungan kalau
proses dan besarnya penentuan target itu lebih banyak ditentukan oleh kebijakan
129
yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan
karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel
yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan
target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya (specific, measurable,
achievable, relaistic dan time bound), maka hanya tiga kriteria, yakni specific,
measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya.
Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable (prinsip harus dapat
dicapai) dan realistiknya (prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya) masih
dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya
pada pembahasan berikutnya.
2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi
Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi
yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado
motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda),
yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan
banyak pihak yang ada dibawah kewenangannya, misalnya, karena
kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan.
Demikian halnya dengan anggota Tim yang lainnya, terutama anggota
yang mewakili Polres dan Kodim dan beberapa Dinas lain juga nyaris tak
pernah terlibat dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Padahal
keberadaan mereka selaku implementor, termasuk sikap dan pelakunya
(disposisi) dalam bahasa George C Edward (1990), atau dukungan sumber daya
130
(manusia) dalam bahasanya Donald Van Meter (1975), merupakan salah satu
variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan.
Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur
Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu
alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi
anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas
ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan
untuk menjelaskan peran dan fungsinya.
Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge (1992), ”bahwa hampir
dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti
(enrolled), dan bahkan beberapa saja yang komit (committed), mayoritas orang
berada dalam posisi pemenuhan (complant). Mereka mendukung visi pada
tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti (enrolled) atau
komit (committed)”.
Tidak mengherankan pula jika keterlibatan mereka pada umumnya
menjadi kurang bahkan nyaris tidak berfungsi kecuali sebatas tertulis dalam SK
Bupati. ”Kami tidak dilibatkan, bahkan kami tidak tahu kalau dalam SK Bupati
tertuang sebagai anggota Tim Koordinasi”, demikian ungkap beberapa kepala
Dinas Instansi ketika diwawancarai. Menurut pendapat peneliti, itulah pula awal
dari lemahnya komitmen yang akan mempengaruhi kinerja Tim dalam
menjalankan tugas pada tahap berikutnya. Hal tersebut juga ditegaskan Argyris
(1964), dikutip Nyoman Sumaryadi (2005) yang menegaskan bahwa
131
keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai
apabila proses internal organisasi berjalan lancar.
Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant &
White (1987), ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah
kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari
konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau
dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif”
Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada
pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka
perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan
sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program.
Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut
kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih
banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal
yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti
pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar
Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.
3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi
Jika Tim Koordinasi dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan
yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir
menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi
132
ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan
Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang
dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan
keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan, termasuk dalam
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal
dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang
meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan
sebuah kegiatan.
Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek
pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun
dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas
dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak
lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah
gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang
kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak
terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam
perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh
masyarakat yang sempat diwawancarai.
Dari aspek waktu, gerakan sosialisasi juga berlangsung hanya pada
momentum-momentum khusus, sebut saja selama pada masa pencanangan,
tetapi tidak berlangsung lama dan terus menerus sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan dari dimensi ruang atau tempat, sosialisasi Wajar Dikdas Juga
133
cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung
berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat,
sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum
banyak disentuh dan termanfaatkan.
Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan
Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan
urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya
Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang
menurut George Edward (1990) merupakan salah satu variable penting yang
akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran
Sebagai bagian dari langkah perencanaan, upaya ini dilakukan tidak saja
dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar
yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa
atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan
dan memperjelas sasaran yang akan menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar
Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya.
Namun dari hasil penelitian pula terungkap bahwa dari aspek
mekanismenya sebagaimana telah ditetapkan, pelaksanaan pendataan sasaran ini
tidak berjalan sepenuhnya sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan. Wujud
konkritnya, pendataan yang mestinya dilakukan secara langsung atau sensus, di
beberapa daerah dilakukan hanya dengan menggunakan data sekunder, yakni
134
hanya dengan cara merekap data yang telah ada, yakni data hasil pemutaakhiran
yang dilakukan BKKBN setiap tahunnya.
Dari aspek substansinya, pelaksanaan pendataan sasaran tersebut juga
baru sebatas dilaksanakan dalam rangka mengungkap nama dan alamat,
sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai
mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin dengan kondisi sosial
kulturalnya yang memang berbeda, sama sekali absen dari perhatian.
Itulah pula yang kemudian akan menjadi salah satu penyebab
munculnya kesulitan dalam merumuskan dan menyampaikan pesan sosialisasi
atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam
tahap berikutnya. Maka tidak mengherankan jika masalah akurasi dan validitas
hasil pendataannya pun layak dipertanyakan, bahkan dipersoalkan. Padahal
tingkat efektivitas dari semua program yang akan dijalankan akan sangat
tergantung kepada tingkat akurasi data sasaran yang akan digarap.
Singkatnya, dari tahap persiapan implementasinya saja – koordinasi,
sosialisasi dan pendataan sasaran, masih ada gap atau diskrepansi antara yang
semestinya dilakukan dengan yang benar-benar dilakukan. Itulah pula temuan
penelitian yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan melakukan
implementasinya.
5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-
bentuk pelayanan program Wajar Dikdas 9 tahun telah digulirkan oleh
pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai bentuk implementasi dari arah kebijakan
yang telah ditetapkan, baik yang dilakukan melalui jalur pendidikan formal,
135
termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap,
SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal.
Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai
dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun
jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004
sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren
peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar
lagi.
Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9
tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen
dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada
tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari
total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang.
Implikasinya, jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak atau belum bisa
mengakses pendidikan dar 9 tahun menurun dari 18,52 persen pada tahun 2004
menjadi 7,34 persen pada tahun 2008. Artinya, intervensi program yang telah
dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini, secara kuantitatif telah
berhasil memberikan sumbangan dalam meningkatkan akses anak dari keluarga
miskin dalam menikmati salah satu hak dasarnya, pendidikan dasar 9 tahun
sebagaimana bisa dilihat dalam figur di bawah ini :
136
Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun
URAIAN TAHUN
2004 2005 2006 2007 2008 Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun
388.773
393.363
398.565
402.918
407.694
Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung
316.755
341.315
354.830
363.867
377.745
Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak Tertampung
72.018
52.048
43.735
39.051
29.949
Prosentase anak yang tidak tertampung
18,52
13,23
10,97
9,69
7,34
Dengan kata lain, ada pengaruh yang cukup berarti dari implementasi
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan selama ini, paling tidak jika
dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak
lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari
6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih
jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang
sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel
berikut ini :
Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
Tahun RLS Melek Huruf Indeks
Pendidikan IPM
2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72
137
Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan
melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non
formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan
alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan
percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini,
dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia
7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya.
Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa
jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan
tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total
siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah
siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti
SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non
formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73
persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008.
Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap
merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses
pendidikan dasar 9 tahun.
Dari hasil kajian pula terungkap bahwa dilihat dari tren peningkatannya
dalam lima tahun terakhir ini, periode 2004-2008, prosentase peningkatan anak
usia 7-15 tahun yang memanfaatkan atau mengikuti jalur pendidikan non
reguler dan pendidikan non formal cenderung mengalami peningkatan yang jauh
138
lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti
pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal
reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya,
jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru
mengalami penurunan.
Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang
kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung
dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan
formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau
anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan
banyak tersisihkan.
Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui
jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total
siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26
persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler
dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73
persen pada tahun 2004.
Semua itu menunjukan bahwa tujuan penyediaan layanan pendidikan
dasar melalui jalur pendidikan non formal dan non reguler yang disediakan
pemerintah selama ini cukup efektif, atau paling tidak membantu, dalam upaya
untuk menjaring anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung melalui jalur
pendidikan formal reguler. Tabel di bawah ini sengaja diangkat untuk
memperjelas perbedaan tren peningkatan prosentase pertahunnya :
139
Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler
dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler
URAIAN
TAHUN KETERANGAN 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Total Siswa Usia Wajar Dikdas 9 tahun
316.755
342.315
354.830
363.867
377.745
Dalam Periode lima tahun naik sebanyak 60.990 siswa
Jumlah siswa yang mengikuti jalur pendidikan formal reguler
309.367
329.823
337.159
338.664
344.739
Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 35.372 siswa
Prosentase
97,66
96,35
95,01
93,07
91,26
Turun sebesar 6,41 persen
Jml Siswa yang mengkuti jalur pendidikan non formal dan formal non reguler
7.388
12.492
17.671
25.203
33.006
Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 25.618 siswa
Prosentase
2,33
3,64
4,98
6,92
8,73
Naik sebesar 6,4 persen
Dari hasil kajian terhadap temuan yang telah disajikan pada bab
sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program
PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai
kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa
Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan
pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari
keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya.
Hal itu terjadi tidak saja karena program-program tersebut relatif banyak
mendapatkan bantuan dukungan dari pemerintah, juga ada kecenderungan
bahwa tidak sedikit anak tamatan SD atau MI di Kabupaten Cianjur yang karena
motivasi orang tuanya, karena nilai budaya religious yang dianutnya, disamping
140
karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan
pesantren ketimbang pendidikan umum.
Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur
yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan
mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan
kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem
penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
a. Pencapaian Dibanding Target
Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai
bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu
meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi
jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya
ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam
tabel di bawah ini:
Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan
NO INDIKATOR POSISI 2004
TARGET 2008
PENCAPAIAN 2008
KETERANGAN
1 Angka Partisipasi Kasar (APK)
76,03
104 %
87,67
Minus 16,33 point persen dibanding target
2 Angka Partisipasi Murni (APM)
68,99
96,40 %
83,87
Minus 12,53 point persen dibanding target
Jelasnya, dari target pencapaian APK tahun 2008 sebesar 104 persen,
ternyata hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau minus sebesar 16,33
poin persen. Demikian halnya untuk pencapaian APM. Dari target tahun
141
2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen,
atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap
antara target dengan pencapaian.
Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008
sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab
sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh
dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah
Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa
dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya-
dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari
keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.
Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang
dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian
sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika
dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten
Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat
dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar
besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan
mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan.
b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target
Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya
target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi
koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena
kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target
142
kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif,
program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya
bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi
anak dari keluarga miskin.
Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan
pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju
pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai
akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah
diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia
wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah
sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas
baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya
bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari
kebutuhan.
Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target
pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan
dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata
pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan
kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan
pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan
target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi
antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan
dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara
pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.
143
Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak
anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan
dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur
pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi
salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan
karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di
atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin,
karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya.
Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang
telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari
keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa
Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa
besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan
karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak
dari keluarga miskin.
Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang
mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya
transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak
banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis
untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian
terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out
karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini.
Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam
bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,
144
selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit
dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan
karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD
yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725
anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau
sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang
dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran
yang khusus disediakan pemerintah daerah.
Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa
pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada
anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau
diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai
kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian
terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah
dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang
tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu
tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan
anak dari keluarga miskin.
Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam
mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan
persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya
target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya,
kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar
Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun
145
2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih
banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan
pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru.
Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber
dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat
(Rolesharing).
Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang
disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan
dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada
tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk
mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu
pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan
untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari
hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu
yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu
meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini
telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu
meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun
karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan
dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan
pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain,
masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah
dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.
146
C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa
Mengakses Pendidikan Dasar
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa membicarakan masalah
pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, apalagi menanganinya, bukanlah
merupakan persoalan sederhana, apalagi diangap gampang. Dari hasil penelitian
sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab sebelumnya terungkap bahwa
begitu banyak faktor dominan saling terkait yang sekaligus menjadi alasan anak
dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan
bangku sekolah, baik karena dropout di tengah jalan, maupun karena memang
tidak melanjutkan sekolah.
Beban berat ekonomi keluarga, jauhnya jarak dari tempat tinggal ke
sekolah, kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan arti pentingnya
pendidikan, perasaan rendah diri atau minder dengan berbagai alasannya,
lingkungan sosial dan sekolah yang kurang mendukung, rendahnya pendidikan
orang tua, kurangnya dukungan masyarakat, termasuk lingkungan internal
sekolah yang kurang kondusif, adalah beberapa faktor penting yang dari hasil
penelitian terungkap sebagai penyebab anak dari keluarga miskin selama ini
tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun.
Yang menarik, dari hasil kajian pula terungkap bahwa masing-masing
faktor tersebut tidak bisa diposisikan secara terpisah dari faktor yang lainnya,
melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua
faktor yang lainnya dalam sebuah dinamika sistem sebagaimana bisa ditelaah
dalam figur di bawah ini :
147
Dari diagram diatas, paling tidak ada beberapa hal penting yang bisa
diangkat dan dibahas. Pertama, bahwa membahas masalah
ketidakmampuan ekonomi anak dari keluarga miskin dalam mengakses
pendidikan dasar 9 tahun pada prinsipnya merupakan masalah yang
demikian kompleks karena melibatkan banyak masalah lain yang saling
yang saling terkait dan menentukan. Dan realitas kompleks itulah yang
belum banyak dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Wajar Dikdas
9 Tahun selama ini.
Kedua, di balik faktor ”ketidakmampuan anak dari keluarga miskin” yang
selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama sekaligus menjadi isu
sentral, sesungguhnya terdapat banyak faktor yang satu sama lain saling
ANAK DARI KELUARGA MISKIN TDK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
HIMPITAN EKONOMI KELUARGA
RENDAHNYA PENDIDIKAN ORANG TUA – LINGKUNGAN KELUARGA
SIKAP MINDER – RENDAH DIRI ANAK JAUHNYA JARAK
DARI TEMPAT TINGGAL KE SEKOLAH
BEBAN BERAT BIAYA
SEKOLAH
LINGKUNGAN SEKOLAH YANG TIDAK MENDUKUNG
RENDAHNYA KESADARAN ORANG TUA AKAN ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN
LINGKUNGAN SOSIAL DAN KULTUR YANG KURANG MENDUKUNG
RENDAHNYA MOTIVASI ANAK
GAMBAR 5.6 DIAGRAM CAUSAL LOOP : FAKTOR SALING TERKAIT PENYEBAB ANAK TIDAK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
148
berkaitan dalam sebuah dinamika sistem yang melibatkan banyak aktor dan
sektor.
Bahkan dari sudut pemikiran sistem sebagaimana tergambar dalam
diagram, maka faktor ketidakmampuan anak dari keluarga miskin yang selama
ini banyak diangkat kepermukaan, sesungguhnya hanya merupakan ”akibat
yang tidak diinginkan” (unintended effect) yang muncul karena banyak faktor
lain yang saling berkaitan itu. Itulah pula realitas kompleks yang selama ini
belum banyak diperhitungkan dan diintervensi dalam mengimplementasikan
kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga
miskin
Beberapa faktor ketidakberuntungan (disadvantages) berkait dengan
kondisi ekonomi yang serba tidak memadai, ketidakberuntungan karena
kelemahan fisik dan mental yang mereka miliki, ketidakberuntungan karena
kerentanannya (vulnerability), ketidakberuntungan karena ketidakberdayaannya
ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat mampu (powerless)
sampai ketidakberuntungan karena keterasingan kehidupannya dari masyarakat
mampu, adalah beberapa saja yang mesti terakomodasi sekaligus terjawab
dengan kebijakan atau pelayanan program yang akan dirumuskan.
Di situlah pula relavansinya untuk mengintegrasikan atau mensinergikan
pelaksanaan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan
berbagai pendekatan dan program terkait – integrated program. Keniscayaan ini
ini juga relavan dengan pemikiran Chambers dengan konsepnya yang dikenal
dengan sebutan ”integrated poverty” yang intinya menegaskan bahwa
kemiskinan pada umumnya selalu melibatkan banyak faktor kemalangan atau
149
tidakberuntungan (disadvantages) yang satu sama lain saling terkait melingkari
kehidupan orang miskin.
Itu sebabnya, apa pun bentuk atau rumusan kebijakan yang akan
dijalankan mesti dijabarkan kedalam berbagai program yang mampu menjawab
dan memecahkan persoalan-persoalan kompleks yang sering dihadapi anak dari
keluarga miskin tersebut. Itulah pula yang menurut hasil penelitian dan kajian
belum banyak dilakukan dalam mengimplementasikan program Wajar Dikdas 9
taun selama ini.
Program peningkatan pendapatan ekonomi keluarga atau apa pun
namanya yang diharapkan bisa membantu memberdayakan sekaligus
meningkatkan ekonomi keluarga miskin, adalah merupakan salah satu program
yang mesti diangkat sebagai bagian integral dari dari upaya untuk mempercepat
penuntasan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Fakta selama inin
menunjukan, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa ditarik orang
tuanya dari sekolah hanya karena anaknya harus membantu kerja orang tuanya.
Bukan hanya itu, program pengendalian laju pertumbuhan penduduk
melalui pelaksanaan program KB, misal lain, juga harus dijadikan salah satu
kebijakan yang keberhasilannya akan banyak berpengaruh dalam upaya untuk
mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak, melalui akselerasi
pengendalian angka kelahiran ini akan membantu meringankan beban
pemerintah karena laju pertumbuhan anak usia Wajar Dikdas bisa dikendalikan
sesuai dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan daya tampungnya.
Bahkan dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak jarang anak meninggalkan
150
bangku sekolah hanya karena untuk membantu orang tua mengurus anggota
keluarga yang lainnya (mengasuh adik-adiknya yang memang banyak).
Singkatnya, karena kemiskinan mereka tidak bisa menikmati pendidikan
dengan alasan jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah. Karena kemiskinan,
mereka tidak bisa menikmati pendidikan dasar karena orang tuanya, atau bahkan
anaknya sendiri kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.
Karena kemiskinan, mereka tidak bersekolah karena merasa minder dengan
teman-teman sekolah yang lainnya. Karena kemiskinan, mereka hruas
meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tuanya.
Karena kemiskinan, singkatnya, mereka tidak banyak memiliki peluang
untuk bisa mengakses haknya untuk memperoleh pendidikan dasar sebagaimana
dialami oleh teman-teman sebayanya dari keluarga mampu. Celakanya, kondisi
itu diperparah oleh lingkungan sosial dan internal sekolah yang belum kondusif
mendukung mereka bisa mengakses pendidikan dasarnya.
Karena begitu kompleks, luas dan beratnya masalah yang dihadapi anak
dari keluarga miskin, adalah tidak mungkin jika penanganannya pun hanya
mengandalkan intervensi berdasarkan kemampuan yang hanya dimiliki
pemerintah. Dan di situlah pula arti pentingnya pelibatan peran serta
masyarakat, tentu dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam
implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini bagi
anak dari keluarga miskin.
Partsisipasi masyarakat di sini tidak selamanya harus dimaknai sebatas
pemberian bantuan materi semata. Termasuk dalam pengertian partisipasi di sini
adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan pengertian, mendorong
151
sekaligus menggerakan anak dari keluarga miskin untuk bisa menamatkan
pendidikan dasar 9 tahunnya. Itulah pula yang selama ini belum banyak
dilakukan. Padahal tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak bisa
mengakses pendidikan selama ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena
masyarakat, terutama tokoh masyarakat yang belum melakukan peran dan
fungsi penggerakan masyarakatnya.
Intinya, apa yang tidak bisa ditangani atau dilakukan pemerintah karena
keterbatasan yang dimilikinya, atau karena kekeliruan dalam memanej dan
melaksanakan program-program implementasinya, saatnya kini dan ke depan
bisa dibantu oleh masyarakat. Dan itulah pula yang saat ini belum banyak
dilakukan. Padahal seperti telah banyak diungkapkan oleh para pakar, tingginya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dijadikan tolok ukur
keberhasilan kebijakan yang diambil pemerintah.
D. Beberapa Issu Strategis
Dari pembahasan terhadap temuan hasil penelitian tersebut, paling tidak
ada lima isu strategis yang bisa diangkat dari hasil penelitian ini, yaitu :
1. Memperkuat komitmen pemerintah daerah
Meskipun pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini telah memiliki
arah kebijakan yang jelas berkait dengan upaya untuk mempercepat
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun masih banyak hal yang harus
dibenahi dalam menjabarkan dan mengimplementasikannya. Hal itu terjadi
karena implementasi program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun yang
digulirkan selama ini belum secara optimal memperoleh dukungan sumber
daya yang memadai, termasuk dukungan anggarannya. Bahkan sebagian
152
besar anggarannya masih banyak mengandalkan dukungan anggaran yang
bersumber dari pemerintah pusatdisamping dari pemerintah provinsi
2. Meningkatkan integrasi program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari
keluarga miskin dengan program sektor tekait lainnya
Berbicara mengenai upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi
anak dari keluarga miskin adalah berbicara mengenai banyak sektor terkait
yang mesti terlibat dalam penanganannya. Itu sebabnya, upaya
penanganannya pun mesti dilakukan secara terpadu dan integral, tidak
parsial. Semakin terintegrasi dalam penanganannya, maka akan semakin
effektif hasil yang dicapainya.
3. Peningkatan mutu pendidikan, disamping peningkatan pemerataannya
Selama ini ada kecenderungan kalau pelaklsanaan program
akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini lebih banyak diarahkan
kepada aspek pencapaian kuantitatifnya yang ditandai dengan peningkatan
angka partisipasi sekolah, sementara pencapaian dari aspek mutunya
cenderung terabaikan. Tidak mengherankan jika masih ada pihak
masyarakat, khsusnya dari kalangan masyarakat tidak mampu alias miskin
yang kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.
4. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam Akselerasi Wajar Dikdas 9
tahun
Karena keterbatasan yang dimilikinya, hampir bisa dipastikan bahwa
tidak mungkin seluruh beban dan tanggung jawab dalam rangka penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin ini hanya diserahkan
kepada kemampuan pemerintah atau negara. Itu sebabnya, kehadiran
153
partisipasi masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai
kepada proses evaluasinya akan memiliki makna yang signifikan dalam
proses penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
5. Pendekatan Sosi-kultural
Dari hasil penelitian terungkap bahwa dari sekian banyak faktor
yang selama ini bisa diangkat sebagai penyebab kurang efektifnya
pencapaian kinerja implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak
dari keluarga miskin ini, adalah karena program-program yang
dilaksanakannya belum sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai sosial-
kultural anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu
kompleks. Itu pula sebabnya, semakin akomodatif dan adaptif pelaksanaan
program-program Wajar Dikdas itu dengan nilai sosial dan kultural
masyarakat miskin, maka akan semakin efektif hasil-hasil yang dicapainya.
154
BAB VI
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya, dan dikaitkan pula dengan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :
Pada tataran formulasi, pertama, Kabupaten Cianjur telah memiliki arah
dan landasan kebijakan yang tepat dan kuat dalam mendukung upaya percepatan
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tidak saja karena didukung oleh visi maupun
visinya yang secara eksplisit dan tegas telah mencantumkan arti pentingnya
pendidikan dan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, tetapi juga didukung oleh
kebijakan dan komitmen pemerintah provinsi Jawa Barat yang melalui program
Peningkatan Pendanaan Kompetisi (PPK) IPM-nya sangat meniscayakan arti
pentingnya peningkatan indeks pendidikan sebagai bagian dari upaya akselerasi
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Bukan hanya itu, adalah Bupati dan Wakil Bupati Cianjur yang sejak
dilantiknya pada bulan Maret tahun 2006 begitu lantang dan keras menyuarakan
arti pentingnya pendidikan ”gratis” untuk tingkat SD dan SLTP sebagai bagian
dari upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di daerah yang
dipimpinnya.
Namun pada tataran implementasi, kedua, meskipun selama ini telah
banyak upaya dan program berkait dengan penuntasan wajar Dikdas 9 tahun itu
bisa dilakukan, dan meskipun pelaksanaan program-program itu telah banyak
253
155
memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam membantu meringankan
beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang ditandai dengan adanya
peningkatan Angka Partisipasi Sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK)
maupun angka partisipasi murni (APM) untuk tingkat SD dan SLTP, namun
hasilnya ternyata masih jauh dari target yang telah ditentukan – gap
implementation.
Kurang cermatnya dalam proses melakukan pendataan sasaran, belum
optimalnya kegiatan sosialisasi yang sangat diniscayakan dalam proses
implementasi sebuah kebijakan, belum optimalnya peran dan fungsi Tim Wajar
Dikdas yang telah dibentuk dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya,
terbatasnya kemampuan pemerintah daerah, terutama kemampuan dalam
menyediakan dukungan dana dan sarana, belum terintegrasinya pelaksaan Wajar
Dikdas 9 tahun dengan berbagai program terkait lainnya, adalah bebarapa faktor
pokok yang selama ini menjadi penyebab pelaksanaan implementasi percepatan
penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur ini belum berjalan
secara efektif sesuai dengan target yang diharapkan.
Kondisi ini diperparah oleh realitas yang menunjukan bahwa sekitar 30
persen dari total penduduk Cianjur yang jumlahnya telah mencapai angka lebih
dari 2 juta jiwa itu, adalah mereka yang tergolong miskin dengan
karakteristiknya yang begitu kompleks.
Ketiga, banyak faktor yang selama ini menjadi penyebab anak dari
keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu terpaksa
meninggalkan bangku sekolah sehingga tidak sempat menyelesaikan
pendidikan dasarnya. Akumulasi dari masalah ekonomi yang sering melilit
156
kehidupan anak dari keluarga miskin, masalah kesadaran atau motivasi akan arti
pentingnya pendidikan, termasuk kesadaran orang tuanya, masalah transportasi
berkait dengan jauhnya jarak yang harus ditempuh dari domisili ke lokasi
sekolah, serta masalah psikologis – malu sekolah - berkait dengan kelainan fisik,
usia atau karena faktor lainnya, termasuk karena faktor lingkungan sosial dan
sekolah yang tidak mendukung, adalah beberapa faktor penting yang dari
penelitian terungkap menjadi penyebab mereka tidak bisa mengakses
pendidikan dasar 9 tahun. Itulah pula beberapa faktor saling terkait yang selama
ini belum banyak terpecahkan dengan layanan pendidikan yang diberikan
pemerintah.
Singkatnya, meskipun selama ini telah banyak upaya dan langkah
dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk membantu meningkatkan akses
pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, bahkan meskipun pemerintah telah
sepenuhnya membebaskan seluruh pembiayaan pendidikan dasar 9 tahun,
namun dalam beberapa aspeknya belum mampu mengakomodasi dan
memecahkan seluruh masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan
kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan pendidikan yang
diberikan pemerintah selama ini dengan kebutuhan pendidikan yang dituntut
anak dari keluarga miskin.
B. Implikasi Penelitian
Karena fokus penelitian ini lebih banyak difokuskan kepada kajian
mengenai implementasi kebijakan, khususnya kebijakan publik berkait dengan
penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun yang keberhasilannya sangat
dipertaruhkan dalam mengukur keberhasilan pembangunan manusia (IPM) ini,
157
maka ada beberapa implikasi yang bisa dan perlu diangkat dari hasil penelitian
ini, meliputi :
1. Implikasi Bagi Para Pembuat Kebijakan
Adalah amandemen Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
2 yang secara eksplisit menegaskan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan, dan setiap warga negara wajib menikmati
pendidikan dasar, dan karenanya, pemerintah punya kewajiban untuk
memenuhinya. Bahkan secara operasional, amanat itu juga telah dipertegas
lagi melalui Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Bukan hanya itu, adalah Undang-undang Dasar
1945 yang juga dengan tegas mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak
terlantar wajib dipelihara oleh negara.
Dengan landasan itu, tidak ada alasan bagi para penyelenggara
negara untuk tidak merealisasikannya. Dengan landasan yuridis itu pula,
maka adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara, termasuk
tugas dan kewajiban para wakil rakyat, yang secara politis punya kewajiban
moral untuk mendesak pemerintah disemua tingkatan untuk bisa
menjabarkan sekaligus mengimplementasikan amanat Undang-undang itu.
Bukan hanya itu, adalah tugas para penyelenggara juga untuk menyediakan
dukungan anggaran, tenaga dan sarana yang diperlukannya.
Tegasnya, adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara,
tentu dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, untuk bisa
mengontrol dan memastikan bahwa seluruh warga negara, termasuk anak
dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan dasarnya.
158
2. Implikasi Bagi Para Pelaksana Kebijakan
Jika para penyelenggara negara, dengan kekuasaan dan kewenangan
yang dimilikinya punya kewajiban untuk menyediakan landasan politis dan
yuridis sekaligus mengontrol dan mengendalikan pelaksanaannya, termasuk
menyediakan dukungan dana, tenaga dan sarana yang menjadi prasyarat
keberhasilannya, maka adalah tugas birokrasi atau pelaksana pemerintahan
disemua tingkatan untuk menjabarkan amanat Undang-undang yang telah
dirumuskan para penyelenggara negara kedalam berbagai bentuk program
dan kegiatan yang mampu memastikan bahwa seluruh anak usia 7-12 tahun,
anak usia pendidikan dasar, bisa mengakses dan menikmati pendidikan
dasarnya, lebih-lebih bagi anak dari keluarga yang kurang beruntung
(diasadvantage families) alias miskin.
Namun perlu digaris bawahi bahwa bentuk program yang perlu
dirumuskan tidak saja berkait dengan upaya untuk memperluas dan
mengembangkan pembangunan pendidikan dari aspek supply-sidenya,
sebutlah pula dari aspek pelayanannya, melainkan juga dari aspek demand-
sidenya, dari aspek penggerakan dan motivasi masyarakatnya.
Harus jujur diakui, walaupun saat ini telah banyak upaya dilakukan
pemerintah dalam rangka memperluas dan mendekatkan pelayanan
pendidikan dasar kepada masyarakat, namun masih banyak anak dari
keluarga tidak mampu, termasuk anak yang tinggal di daerah terpencil, yang
belum tersentuh dengan pelayanan pendidikan. Bahkan kondisi itu
diperburuk oleh miskinnya prasarana jalan dan sarana transfortasi yang
159
sering menjadi kendala bagi anak dari keluarga yang tinggal di daerah
terpencil tidak bisa mengakses pendidikan dasar.
Bukan hanya itu, program pengembangan pelayanan pendidikan dasar
yang dilakukan pemerintah selama ini pun ternyata masih banyak
menyisakan agenda krusial. Sebagian diantara mereka masih ada yang
menganggap, terutama dari kalangan masyarakat tidak mampu, bahwa
sekolah bagi mereka bukanlah solusi yang dapat membantu memberdayakan
kehidupan mereka, melainkan justeru dirasakan jadi beban. Persepsi itu
tentu saja merupakan masukan sekaligus kritik bahwa kualitas pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah selama ini, terutama yang dilakukan
dalam bentuk penylenggaraan pendidikan alternatif seperti SMP Terbuka
dan sejenisnya masih dipertanyakan, dan karenanya harus diperbaiki.
Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa program intervensi yang
dilakukan pemrintah selama ini ternyata belum mampu menjawab masalah
yang melekat pada anak dari keluarga miskin. Miskinnya kesadaran
sebagian masyarakat miskin akan arti pentingnya pendidikan yang
berakumulasi dengan kesulitan hidup yang harus dihadapi mereka, adalah
masalah krusial tersendiri yang belum terjawab oleh implementasi kebijakan
Wajar Dikdas yang diselenggarakan selama ini. Di situlah pula arti
pentingnya merumuskan kebijakan dan program dengan menggunakan
pendekatan integral, bukan parsial, apalagi sektoral.
Artinya, saatnya kini pemerintah mengintegrasikan implementasi
kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan berbagai kebijakan dan program
yang mampu menjawab semua masalah yang dihadapi anak dari keluarga
160
miskin. Tanpa pendekatan yang integral dan terpadu, akan sulit bagi
pemerintah untuk bisa memastikan bahwa seluruh anak dari keluarga miskin
bisa mengakses pendidikan dasar.
Hal itu juga sesuai dengan tesisnya Amartya Sen yang peraih Nobel
Ekonomi tahun 2004 itu, bahwa dalam kemiskinan itu selalu melekat
kemiskinan secara total, miskin secara ekonomi, miskin pengetahuan,
miskin kesehatan, dan bahkan miskin kesadaran. Di situlah pula arti
pentingnya mengintegrasikan program Wajar Dikdas 9 tahun dengan
program pembangunan lainnya, terutama dengan program pemberdayaan
ekonomi keluarga.
3. Implikasi Bagi Masyarakat
Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa salah satu penyebab dari
kurang efektifnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur
selama ini adalah karena masyarakat ternyata belum banyak dilibatkan, baik
dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta pengendaliannya.
Peran apa yang bisa disumbangkan masyarakat dalam mendukung
keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun, adalah pertanyaan mendasar yang
selama ini belum terjawab. Padahal melalui potensi yang dimilikinya,
kehadiran partisipasi mereka dalam mendukung program Wajar Dikdas
akan sangat membantu dalam menutupi keterbatasan yang dimiliki
pemerintah. Bukan saja keterbatasan dalam penyediaan dukungan dana,
tetapi mungkin juga keterbatasan dalam merumuskan gagasan atau
pemikiran.
161
Bukan hanya itu, melalui keterlibatan masyarakat maka rasa
tanggung jawab bahkan rasa memiliki mereka terhadap pembangunan
pendidikan bisa dibangun. Memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah
dengan potensi yang dimiliki masyarakat, itulah agenda strategis yang harus
jadi pertimbangan ke depan. Itu pun jika semua pihak punya komitmen
untuk meningkatkan efektivitas implementasi sebuah kebijakan.
Bahkan dalam konteks pembangunan yang berpusat kepada
kepentingan manusia – poeple centered development sebagai paradigma
baru pembangunan yang sering disuarakan belakangan ini, maka adalah
kekeliruan besar jika keberadaan masyarakat diposisikan hanya sebagai
obyek pembangunan, atau bahkan hanya sebagai pelaku pembangunan.
Lebih jauh lagi, dalam paradigma baru pembangunan ini, masyarakat tidak
hanya dijadikan semata sumber energi yang cenderung hanya dijadikan
subyek atau pelaku pembangunan, melainkan mesti diposisikan sebagai
”sumber informasi” tempat banyak gagasan lahir. Singkatnya, dalam
paradigma baru pembangunan ini – pembangunan yang berpusat pada
kepetingan manusia – people centered development, adalah manusia, bukan
yang lainnya, yang harus jadi sentral, dan karenanya harus menjadi tujuan
pembangunan.
C. Rekomendasi
Sesuai dengan kesimpulan dan implikasinya, paling tidak ada beberapa
rekomendasi yang perlu disampaikan sebagai bentuk saran dari hasil
penelitian ini.
162
Pertama, kepada para perumus dan penentu kebijakan, saatnya
agenda penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun ini diposisikan sebagai sebuah
kebijakan yang sentral dan urgent. Tidak saja pada tataran politis, tetapi
juga pada tataran yuridis yang mengikat dan bahkan mampu mendesak dan
menggerakan semua stakeholder terkait terlibat aktif serta bertanggung
jawab atas keberhasilan implementasinya. Itu sebabnya, kehadiran landasan
hukum semacam Peraturan Daerah (Perda), atau paling tidak dalam bentuk
Peraturan Bupati (Perbup) bisa merupakan salah satu alternatifnya.
Kedua, karena begitu berat dan kompleksnya masalah pendidikan
yang dihadapi anak dari keluarga miskin, sebut pula berkait dengan banyak
faktor saling terkait, maka penanganan atau intervensi program yang
dilakukan dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun itu dilakukan tidak
dengan menggunakan pendekatan parsial, melainkan mesti menggunakan
pendekatan integral. Artinya, saatnya penanganan akselerasi penuntasan
Wajar Dikdas 9 tahun saat ini dilakukan secara terintegrasi dengan
pelaksanaan banyak program lainnya yang secara langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh dan bahkan menentukan dalam meringankan
beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.
Ketiga, menyadari begitu beratnya beban yang harus dipikul oleh
pemerintah dalam pelaksanaan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9
tahun ini, lebih-lebih pula jika dikaitkan dengan keharusan untuk
meningkatkan kualitas hasilnya, maka saatnya penanganannyapun
melibatkan kemampuan yang ada dan dimiliki masyarakat. Di situlah pula
arti pentingnya mengemas pelaksanaan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini
163
dalam sebuah ”Gerakan Masyarakat” yang mampu mensinergikan sekaligus
memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah dan potensi yang dimiliki
masyarakat.