Author
duongtu
View
215
Download
0
Embed Size (px)
1
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Debit lingkungan didefinisikan sebagai debit yang harus dijaga, untuk
memelihara aliran air ke bagian hilir sungai, guna mempertahankan nilai dan
keanekaragaman hayati di lingkungan sungai (King et al., 2003). Definisi yang
sedikit berbeda disampaikan oleh Fisher (2008). Fisher (2008), dari United
States Geological Survey (USGS), mendefinisikan debit lingkungan sebagai
besaran debit sungai yang dibutuhkan untuk melestarikan komponen, fungsi,
proses dan keberlangsungan ekosistem sungai yang bermanfaat (Fisher, 2008).
Debit lingkungan sudah merupakan hal yang sangat diperhatikan di negara-
negara maju namun sebaliknya masih menjadi hal yang belum banyak menjadi
perhatian serius di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Hal
tersebut terjadi baik di negara-negara dengan iklim semi kering maupun
negara-negara di wilayah iklim kering dimana ketersediaan dan kualitas air
bersih menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan sosio-ekonomi
mereka (King and Brown, 2006).
Metode penentuan debit lingkungan, terutama pada awalnya, banyak
dikembangkan di Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Inggris. Negara
maju yang lain, saat ini, juga telah mengimplementasikan atau bahkan
mengembangkan metode-metode penentuan debit lingkungan yang sesuai
dengan kondisi alamnya. Namun sebaliknya, baru hanya sekitar 11% dari
jumlah seluruh negara berkembang yang tercatat telah mengaplikasikan
metode debit lingkungan. Di antara negara-negara tersebut adalah Kamboja,
Kamerun, Zimbabwe, dan Afrika Selatan (Tharme, 2003).
Di Indonesia, pengelolaan sumber daya air, termasuk pengelolaan sungai,
kembali merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
1974 Tentang Pengairan (Pemerintah RI, 1974) setelah Undang-Undang
2
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Pemerintah RI, 2004), dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut mengamanatkan konservasi dan
pelestarian lingkungan menjadi salah satu prioritas nasional. Pada Pasal 21
Ayat 4 disebutkan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan
sumber air termasuk sungai. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan,
sungai-sungai strategis di Indonesia dibagi menjadi beberapa wilayah sungai
sebagai batas pengelolaan.
Dari sejumlah wilayah sungai yang menjadi prioritas nasional, wilayah Sungai
Seputih-Sekampung serta Wilayah Sungai Mesuji-Tulang bawang merupakan
dua wilayah sungai dengan prioritas nasional yang berada dalam wilayah
administratif Provinsi Lampung. Wilayah Sungai Seputih-Sekampung terdiri
dari daerah aliran Sungai Seputih dan daerah aliran Sungai Sekampung. Pada
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Sungai Sekampung dikategorikan sebagai
salah satu sungai dengan prioritas tinggi. Untuk itu, studi kasus penelitian ini
dilakukan di Sungai Sekampung.
Sungai Sekampung, yang memiliki panjang 256 km dan luas daerah aliran
sungai (DAS) 796 km2 (BPS, 2013), sangat strategis bagi Provinsi Lampung,
terutama untuk mendukung revitalisasi pertanian. Dengan demikian, untuk
mendukung fungsinya yang sangat strategis tersebut, model pengelolaan
sungai yang baik dan terintegerasi, di Sungai Sekampung, mutlak diperlukan
untuk mempertahankan kelestarian ekosistem sungai.
Menurut UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pemerintah RI, 2009), daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
keduanya. Lebih lanjut daya dukung lingkungan dijelaskan lebih rinci pada
Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009
(KementerianLH, 2009) tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan
Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Pada peraturan tersebut dijelaskan
bahwa daya dukung sumber daya air adalah rasio antara ketersediaan dan
3
kebutuhan. Pada saat ketersediaan air tidak dapat memenuhi semua kebutuhan,
maka prioritas penggunaan harus dilakukan sesuai Pasal 17 Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 6/PRT/M/2011 yaitu berturut-turut adalah
kebutuhan air minum rumah tangga, irigasi, penggelontoran rutin, usaha
penyediaan air minum, usaha industri, kegiatan usaha lain.
Saat ini, Sungai Sekampung mengalami penurunan daya dukung. Hal ini
terutama disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berdampak pada pola
pemanfaatan air yang kurang memperhatikan aspek lingkungan (Haming,
2003). Variasi debit, yang ditunjukkan oleh rasio debit maksimum terhadap
debit minimumnya, sudah mendekati angka 40 pada tahun 2000 atau
meningkat 100% jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 1990. Disamping
itu, dari panjang alur sungai 256 km hanya sekitar 32% yang memiliki
penampang stabil (Kucera, 2004). Rasio debit maksimum terhadap debit
minimum merupakan salah satu indikator bahwa besaran kebutuhan air pada
musim kemarau lebih besar dari ketersediaan air.
Hal tersebut di atas, dapat diakibatkan oleh pengambilan air sungai yang
intensif pada musim kemarau, tidak adanya upaya memanen air, atau dapat
pula diakibatkan oleh gabungan kedua hal tersebut. Memanen air adalah upaya
konservasi air yang salah satunya dapat dilakukan dengan menampung air saat
musim hujan, pada retarding basin, dan memanfaatkan air tersebut saat
dibutuhkan. Dampak fluktuasi debit di Sungai Sekampung diindikasikan, antara
lain, oleh penurunan populasi vegetasi alami sempadan sungai (Wahono et al.,
2003), dan ketidakstabilan 174 km (68%) tebing sungai (Kucera, 2004).
Pendekatan pengelolaan sumber daya air terintegerasi harus segera dilakukan,
sebagai upaya penanggulangan dan sekaligus pencegahan permasalahan
tersebut. Salah satu pendekatan ideal, yang dapat dilakukan, adalah melakukan
pengelolaan sungai yang lebih efektif. Dalam konteks pengelolaan sumber daya
air yang terintegerasi, pembagian air bagi semua keperluan, termasuk untuk
kepentingan lingkungan, dalam hal ini adalah debit lingkungan, menjadi salah
satu indikator keberhasilan. Penetapan debit lingkungan di sungai juga sering
digunakan di berbagai negara, sebagai salah satu upaya dalam
mempertahankan daya dukung sungai. Namun demikian, ketersediaan data
4
hidrologi dan data lingkungan yang sangat terbatas, menjadi kendala dalam
penerapan metode penentuan debit lingkungan, khususnya di Indonesia.
Penentuan debit lingkungan adalah proses penentuan debit untuk memelihara
aliran air ke bagian hilir sungai. (Arthington and Zalucki, 1998; King et al., 2003;
King and Brown, 2006). Salah satu dari penerapan penentuan debit lingkungan
adalah untuk penentuan besaran debit yang diperbolehkan untuk diambil, atau
dimanfaatkan dari sungai, sedemikian rupa sehingga dengan debit yang tersisa
di sungai tersebut, maka keseimbangan ekosistem sungai masih dapat dijaga.
Dalam kasus sungai yang tidak natural, telah banyak mengalami modifikasi
penampang maupun alur, maka diperlukan penetapan besaran debit yang lebih
kontinu sebagai upaya pemulihan ekosistem sungai. Penentuan debit
lingkungan juga sangat diperlukan dalam perencanaan maupun pengelolaan
sungai yang akan dan telah dibangun infrastruktur pengatur air, seperti
bendungan, bendung atau pengambilan bebas. Debit yang harus dijaga pada
bagian hilir infratsruktur keairan tersebut, dalam kasus keberadaan bangunan
pengatur aliran, harus tetap dijaga pada besaran tertentu sebagai upaya
menjaga keseimbangan lingkungan.
1.2 Identifikasi Masalah
Peningkatan efektivitas pengelolaan sungai, yang berkelanjutan untuk menjaga
daya dukung dan fungsi sungai, sangat didorong oleh Undang-undang No. 11
Tahun 1974 Tentang Pengairan, khususnya pada Bab 8 tentang Perlindungan.
Disamping itu, Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2010 tentang Bendungan,
pada pasal 19 ayat (2), juga menegaskan bahwa perencanaan bendungan
disusun dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal normatif di atas,
telah disadur dalam berbagai dokumen pola pengelolaan sumber daya air
wilayah sungai di Indonesia. Namun kata berkelanjutan yang sangat erat
hubunganya dengan menjaga daya dukung sungai, diantaranya penentuan
skenario debit lingkungan sungai, belum secara ekplisit ditetapkan di Indonesia.
Pada tahun 2011, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2011 tentang Sungai (Pemerintah RI, 2011). Pada Pasal 20, dan Pasal 25,
dijelaskan lebih lanjut penjelasan mengenai aliran pemeliharaan sungai. Pada
5
pasal 25, dijelaskan bahwa aliran pemeliharaan sungai ditetapkan sebesar debit
andalan 95% (Q95), yang dimaksudkan untuk menjaga ekosistem sungai.
Meskipun demikian, kajian akademis lebih lanjut mengenai kelayakan
penggunaan besaran debit andalan 95%, terutama mengingat tidak semua
sungai mempunyai data pencatatan debit, untuk menentukan debit lingkungan.
Lebih lanjut, pada penjelasan Pasal 25 Ayat (1), PP No. 38/2011, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan aliran pemeliharaan sungai adalah aliran air
minimum yang harus tersedia di sungai untuk menjaga kehidupan ekosistem
sungai. Pada penjelasan Ayat (3) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan debit
andalan 95% (sembilan puluh lima persen) adalah aliran air (m3/s) yang selalu
tersedia dalam 95% (sembilan puluh lima persen) waktu pengamatan, atau
hanya paling banyak 5% (lima persen) kemungkinannya aliran tersebut tidak
tercapai (Pemerintah RI, 2011).
Berkaitan dengan hal tersebut, pedoman penentuan debit lingkungan terutama
pada sungai di hilir bangunan pengatur debit (Bendungan, Bendung, free intake
dan lain-lain) menjadi sangat mendesak untuk dikaji. Kendala penerapan
metode penentuan debit lingkungan yang telah ada, terutama metode hidrologi,
akan sangat dirasakan mengingat ketersediaan data hidrologi dan data
lingkungan yang sangat terbatas. Untuk itu pengembangan metode baru yang
relatif sederhana namun lebih dapat diimplentasikan pada sungai di Indonesia
sangat perlu untuk dikaji.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan metode baru, untuk
penentuan debit lingkungan berbasis karakteristik morfologi sungai, serta
aplikasinya pada ruas bagian tengah Sungai Sekampung. Hasil penelitian ini,
diharapkan dapat menjadi dasar penentuan debit lingkungan sungai di
Indonesia, terutama pada sungai yang memiliki kesamaan karakteristik dengan
Sungai Sekampung, yang pada umumnya tidak memiliki data Hidrologi, dan
data lingkungan.
Metode baru, yang dikembangkan, diturunkan dari hubungan antara variabel
karakteristik morfologi sungai: 1) diameter butiran dasar sungai (D50); 2)
6
keragaman butiran dasar sungai 5.01684 DDg ; dan 3) panjang keliling basah
alur utama sungai dengan variabel debit, dalam hal ini debit lingkungan. Hasil
dari metode tersebut, kemudian, disandingkan dengan besaran kecepatan
ekologis (Liu et al., 2011) yang diasumsikan sebagai variabel lingkungan, pada
penampang sungai yang ditinjau.
Studi kasus penelitian ini dilakukan di Sungai Sekampung Provinsi Lampung.
Hal tersebut karena Sungai Sekampung adalah salah satu sungai strategis
nasional, sebagaimana diamanahkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 4/PRT/M/2015 tentang
Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai. Ruas Sungai Sekampung yang ditinjau
adalah pada ruas antara Pagelaran sampai dengan Metro Kibang. Pagelaran
berlokasi di hilir Bendungan Batutegi, sedangkan Metro Kibang berlokasi di hilir
Bendung Argoguruh.
Aplikasi dari model penentuan debit lingkungan tersebut diharapkan dapat
membantu operasional bangunan pengatur debit aliran sungai, secara lebih
ramah lingkungan. Selain itu, metode baru tersebut juga dapat sekaligus
meminimalkan dampak perubahan lingkungan sungai di bagian hilir dari ruas
yang ditinjau.
Secara spesifik tujuan penelitian ini tersusun dalam tiga sub topik penelitian
sebagai berikut:
a) Penentuan debit lingkungan berbasis data hidrologi. Sebagai
penelitian pendahuluan, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji
penentuan debit lingkungan di Sungai Sekampung menggunakan
beberapa metode yang masuk dalam kategori Indeks Hidrologi.
Penelitian ini terutama ditujukan untuk melihat implementasi metode
penentuan debit lingkungan tersebut pada ruas sungai di hilir
Bendungan Batutegi dan di hilir Bendung Argoguruh.
b) Identifikasi interaksi debit dan morfologi sungai. Penelitian ini
ditujukan untuk menghasilkan model penentuan debit lingkungan
dengan menggunakan karakteristik morfologi sungai sebagai indikator
pada sungai yang tidak memiliki data hidrologi. Dalam pengembangan
7
model tersebut juga dilakukan penyandingan besaran debit yang
diperoleh dengan debit lingkungan hasil metode lain pada penampang
sungai yang ditinjau. Pada subtopik ini juga dikaji pendekatan analistis
hubungan air dan sedimen sebagai metode penentuan debit lingkungan.
c) Identifikasi aspek keruangan pada debit lingkungan. Penelitian ini
ditujukan untuk mengidentifikasi informasi sebaran variabel morfologi
sungai secara keruangan termasuk keterkaitan perubahan penampang
sungai dari hulu ke hilir dan kondisi lingkungan yang terkait pada ruas
sungai yang ditinjau. Kegiatan ini dilakukan dengan akuisisi data
lapangan serta mengkaji data yang terkait dari studi terdahulu.
1.4 Keutamaan dan Keaslian Penelitian
Selama ini, belum banyak studi yang spesifik, terutama kajian dari sudut
pandang akademik, mengenai debit lingkungan di Indonesia. Penelitian tentang
debit lingkungan di Indonesia diawali oleh publikasi yang disampaikan oleh
Wahono (2011). Publikasi tersebut menyajikan kajian pendahuluan tentang
penggunaan metode penentuan debit lingkungan di Sungai Sekampung
(Wahono, 2011).
Metode yang sudah dikembangkan saat ini, terutama pada metode berbasis
hidrologi, sangat ditentukan pada ketersediaan data hidrologi yang memadai
(Arthington and Zalucki, 1998). Dengan demikian, pada sungai yang tidak
memiliki pencatatan data debit yang baik, penerapan metode penentuan debit
lingkungan yang berbasis hidrologi akan sulit dilakukan (Leonard, 2011).
Berdasarkan pada hal tersebut, maka diperlukan penelitian untuk
mendapatkan metode baru, dalam penentuan debit lingkungan, yang tidak
tergantung hanya pada data hidrologi. Penelitian tersebut sangat diperlukan
sebagai dasar acuan penentuan debit lingkungan, yang sesuai dengan kondisi di
Sungai Sekampung dan Indonesia pada umumnya, yang tidak memiliki data
hidrologi yang memadai (Wahono et al., 2014).
Beberapa peneliti, (Jowett, 1997; King et al., 2003; Dunbar et al., 2008; King and
Tharme, 2008), menelaah bahwa, secara umum, penentuan debit lingkungan
dikelompokkan menjadi empat golongan besar yaitu: metode hidrologi, rating
8
hidraulika, simulasi habitat, dan metode holistik, disamping kombinasi dari
beberapa metode tersebut (Arthington et al., 2003; Chen and Zhao, 2011).
Metode hidrologi, yang diantaranya adalah metode yang diperkenalkan oleh
Tennant (1976), relatif lebih sederhana dalam perhitungannya namun
membutuhkan data hidrologi yang memadai. Metode tersebut didasarkan pada
besaran parameter statistik, (modus, median dan probabilitas kejadian) dari
data hidrologi tersebut (Tennant, 1976). Namun demikian, data statistik
tersebut terkadang tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan variabel
morfologi sungai, pada penampang yang ditinjau (Liu et al., 2011).
Penerapan metode simulasi habitat (Tharme, 2003; Schneider et al., 2010),
metode holistik (Arthington and Zalucki, 1998; King et al., 2003), bahkan
kombinasi diantara keduanya menjadi terkendala jika data variabel lingkungan
pada sungai yang ditinjau tidak memadai. Metode holistik juga memiliki
keterbatasan, terutama karena ketergantungan metode tersebut pada
kemampuan pakar, sehingga menjadi kendala pada saat diterapkan kembali
pada tempat yang berbeda.
Penelitian ini mengembangkan model baru dalam penentuan debit lingkungan.
Metode baru tersebut berbasis pada morfologi sungai. Studi kasus penelitian ini
dilakukan di Sungai Sekampung, yang terletak pada wilayah administrasi
Provinsi Lampung. Ruas sungai yang dijadikan sebagai daerah kajian adalah
ruas Sungai Sekampung bagian tengah, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1.
Pengembangan metode baru tersebut, bertolak dari perkembangan penelitian
pada topik debit lingkungan, serta didasarkan pada kenyataan bahwa data
hidrologi dan data lingkungan, sebagai data masukan metode penentuan debit
lingkungan, tidak selalu tersedia pada sungai di Indonesia (Wahono et al., 2013,
2014).
Pengembangan metode tersebut, diharapkan dapat memberikan alternatif
solusi dalam menentukan debit lingkungan. Lebih lanjut, kebaruan pada
penelitian ini dipaparkan dalam skema pada Gambar 1.2 berikut.
9
Gam
bar
1.1
Pet
a d
aera
h k
ajia
n d
i ru
as b
agia
n t
enga
h S
un
gai S
ekam
pu
ng
10
Metode hidrologi Tennant (Tennant, 1976)
Metode Flow Duration Curve Analysis,(Fennessey and Vogel, 1990).
Metode Hidrologi 7Q10 (Boner and Furland, 1982)
Pen
entu
an
deb
it l
ing
ku
ng
an
b
erb
asi
s d
ata
hid
rolo
gi
Pengembangan metode analitis airsedimen sebagai metode penentuan debit lingkungan
(20112015)
Studi Sungai Sekampung (Haming, 2003)
Iden
tifi
ka
si a
spek
ker
ua
ng
an
p
ad
a d
eb
it l
ing
ku
ng
an
Deskripsi debit lingkungan Sungai Sekampung pada skala meso (20112015)
Metode Magnitude-Frequency (Schmidt and Potyondy, 2004)
Metode wetted perimeter (Gippel and Stewardson, 1998)
Kecepatan Ekologis (Liu et al., 2011)
Iden
tifi
ka
si i
nte
rak
si d
eb
it d
an
m
orf
olo
gi
sun
ga
i
Penentuan debit lingkungan dengan metode pergerakan sedimen dasar sungai
(20112015)
Kebaruan topik utama: penentuan debit lingkungan berbasis morfologi sungai (20112015)
kebaruan
kebaruan
kebaruan
Erosi dan sedimentasi sungai (Wahono, 2005)
Sub topik Penelitian terkait
Kebaruan Penelitian
Gambar 1.2 Diagram posisi dan kebaruan penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang1.2 Identifikasi Masalah1.3 Tujuan Penelitian1.4 Keutamaan dan Keaslian Penelitian