11
1 / 3

1 / 3 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/VERLEDEN4196-93e4a96f80fullabstract.pdfkepercayaan dan adat. Pada awal kemuculannya kedua hiburan tersebut dipertunjukan

Embed Size (px)

Citation preview

1 / 3

Table of Contents

No. Title Page

1 Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung : The Journey and Its Contribution 1958 -1995

-

2 HOGERE BURGERSCHOOL HBS : EDUCATION FOR THE ELITE INSURABAYA 1923-1950

-

3 THE DEVELOPMENT OF INDONESIAN DANGDUT MUSIC 1960'S TO 1990'S -

4 NEW ORDER'S PROPAGANDA 1966-1980 -

5 BEHIND THE SILVER SCREEN : CINEMA MOVIES IN SURABAYA 1950-1970 -

6 Gemeenteraad and The Development Of Surabaya1906 - 1929 -

7 Party Mass Mobilization Through Performing Arts, Reog Ponorogo 1950-1980 -

8 Infrastructure Development of Railway Train, 1950 - 1970 -

9 Boekhandel Tan Swie Khoen 1915-1950s: Cultural Value of TKS Issues -

10 St.Vincent A Paul Catholic Hospital Surabaya -

2 / 3

Vol. 1 - No. 1 / 2012-12TOC : , and page : -

BEHIND THE SILVER SCREEN : CINEMA MOVIES IN SURABAYA 1950-1970

DIBALIK LAYAR PERAK: FILM-FILM BIOSKOP DI SURABAYA 1950-1970

Author :Ghesa Ririan Mitalia | [email protected] Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga SurabayaShinta Devi I.S.R, S.S., M.A | Devi-shinta25@ yahoo.ComDepartemen Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga Surabaya

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang pemutaran film bioskop di Surabaya periode tahun 1950 hingga 1970. Film merupakanhiburan populer dan murah bagi masyarakat Surabaya. Pengaruh film terhadap gaya hidup masyarakat Surabaya sangatbesar terutama dalam tren mode dan dandanan serta perilaku masyarakat. Kemampuan menerima danmenginterpretasikan pengaruh film berbeda pada masing-masing penonton kondisi sosial dan budaya mereka sertapengalaman pribadi. Perbedaan dalam menginterpretasikan pengaruh dari film menjadi salah satu identitas kotaSurabaya.

This researched focused about movies theaters in Surabaya during 1950 to 1970. Movies were popular and inexpensiveentertainment for Surabaya people. The influenced of the movies on the lifestyle of Surabaya people were greatespecially in fashion and makeup trends and behavior. The ability to received and interpreted the influences of the movieswere different for each audience depended of the social and cultural as well as personal experienced. Differenced ininterpreting the influenced of the movies became one of the city's identity of Surabaya.

Keyword : Entertainment, Movies, Lifestyle, Surabaya, ,

Daftar Pustaka :1. Haris Jauhari, (1992). Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama2. H.M. Johan Tjasmadi, (1992). Dari Gambar Idoep ke Sinepleks. Jakarta : GPBSI3. Gayus Siagian, (2010). Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan. Jakarta : Fakultas Film dan TelevisiInstitut Kesenian Jakarta4. Dukut Imam Widodo, (2002). Soerabaia Tempo Doeloe 2. Surabaya : Dinas Pariwisata Surabaya5. Marseli Sumarno, (1996). Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

3 / 3

51

Hiburan di Surabaya pada Paruh Pertama Abad ke-20

Jauh sebelum kehadiran film sebagai sebuah seni dan hiburan, masyarakat Surabaya telah mengenal jenis hiburan rakyat seperti ludruk dan wayang kulit. Kalau diperhatikan secara implisit, pertunjukan wayang kulit memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip film sudah ada di Indonesia (Siagian, 2010:19). Wayang dan Ludruk menjadi bagian dari teater etnik masyarakat Surabaya yang terkait erat dengan kepercayaan dan adat. Pada awal kemuculannya kedua hiburan tersebut dipertunjukan dalam upacara-upacara

tradisi seperti selamatan. Perbedaan antara ludruk dan wayang dapat dilihat pada penonton kedua pertunjukan tersebut. Ludruk biasanya dipertunjukan di tempat yang kurang nyaman dimana penonton bebas berteriak dan makan. Penonton Ludruk mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa Ngoko. Berbeda denga n l udruk, pe nonton wayang kulit biasanya memiliki kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Jawa Krama Inggil karena mayoritas telah berusia sepuh. Wayang kulit dipertunjukan di tempat yang lebih nyaman bila dibandingkan

3)

DIBALIK LAYAR PERAK: FILM-FILM BIOSKOP DI SURABAYA 1950-1970

Ghesa Ririan MitaliaShinta Devi I.S.R.

, , ,

1)

2)

ABSTRAKSI

Kata kunci: Hiburan, Film, Gaya Hidup, Surabaya

ABSTRACT

Keywords: Entertainment Movies Lifestyle Surabaya

Penelitian ini mengkaji tentang pemutaran film bioskop di Surabaya periode tahun 1950 hingga 1970. Film merupakan hiburan populer dan murah bagi masyarakat Surabaya. Pengaruh film terhadap gaya hidup masyarakat Surabaya sangat besar terutama dalam tren mode dan dandanan serta perilaku masyarakat. Kemampuan menerima dan menginterpretasikan pengaruh film berbeda pada masing-masing penonton kondisi sosial dan budaya mereka serta pengalaman pribadi. Perbedaan dalam menginterpretasikan pengaruh dari film menjadi salah satu identitas kota Surabaya.

This researched focused about movies theaters in Surabaya during 1950 to 1970. Movies were popular and inexpensive entertainment for Surabaya people. The influenced of the movies on the lifestyle of Surabaya people were great especially in fashion and makeup trends and behavior. The ability to received and interpreted the influences of the movies were different for each audience depended of the social and cultural as well as personal experienced. Differenced in interpreting the influenced of the movies became one of the city's identity of Surabaya.

1) Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Fak Ilmu Budaya Universitas Airlangga Angkatan 20082) Dosen pada Departemen Ilmu Sejarah Fak Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya3) Benda-benda berupa gambar orang dari kulit di projektif pada sehelai kelir (layar) di tempat gelap di

depan penonton. Suara diberikan oleh seorang dalam menceritakan kejadian atau berupa dialog.

dengan ludruk. Melalui gaya pakaiannya dapat diidentifikasi bahwa penonton Ludruk mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Penonton laki-laki mengenakan sarung atau celana pendek se da ngk an pe non to n pe re m pua n mengenakan yang terlalu banyak lipatannya dan juga menancapkan terlalu banyak bunga di sanggulnya, keduanya mengenakan , Beberapa penonton perempuan bahkan mengenakan jala rambut dan jepit yang terlalu berwarna. Para penonton ludruk tertawa dan berbicara dengan suara keras dan juga suka duduk dengan kaki terjulur atau diletakkan diatas kursi orang lain.(Peacock, 2005:19). Gaya berpakaian tersebut tidak akan dijumpai pada orang-orang dari kalangan menengah atas ketika berada di tempat umum.

Ludruk d an wayang m ula i mendapatkan pesaing pada 1891 dengan be rdi riny a pe rkum pul an Kom ed i Stamboel di Surabaya oleh Augus t Mahieu. Era Opera Stamboel kemudian munculnya rombongan opera

dan Kedua rombongan opera tersebut merupakan rombongan teater profes ional yang melakukan pembaruan dalam tontonan panggung segi struktur lakon dan pembagian babak serta adegan yang terinci. Pembaruan yang dilakukan oleh Miss Riboet's Orion dan Dardanella mengalihkan era Opera Stamboel ke era

, istilah Belanda untuk kata sandiwara (Biran, 2009: 17). Mayoritas penonton Komedi Stamboel berasal dari kalangan mengenah ke bawah seperti pemabuk Eropa, keluarga Muslim kelas menengah, orang Tionghoa pemilik toko, pekerja prostitusi, pelaut dan tentara (Cohen, 2006: 1). Seperti halnya wayang kulit yang memiliki persamaan prinsip dengan pemutaran film, toneel juga sangat dekat dengan dunia film Banyak bintang-bintang panggung yang kemudian terjun dalam film dan sukses sebagai bintang film. Kesuksesan film yang mengadopsi komposisi dengan

me ma sa ngka n pe ma in- pem ai nnya menjadi bintang film menyebabkan semakin banyak pemain sandiwara yang hijrah ke dunia film. Banyak film yang ke m ud i a n di pr o du k s i d e n ga n menggunakan pola dari film Terang Boelan seperti cerita cinta yang berakhir dengan bahagia, diselingi lawak dan nyanyi-nyanyian serta menggunakan bintang-bintang toneel untuk bermain dalam film (Tjasmadi, 1992: 27).

Abad ke-20 mengantar Hindia-Belanda memasuki era masyakarat modern. Pertunjukan gambar hidup untuk pertama kalinya di Batavia yang dimuat melalui iklan di surat kabar

4 Desember 1900 membuka kurun waktu tersebut (Jauhari, 1992: 4). Sekitar tahun 1920 hingga tahun 1930-an beredar film-film bisu di Surabaya (Widodo, 2002: 149). Bentuk-bentuk hiburan kesenian agraris tradisional yang banyak menyita waktu tergeser dengan kehadiran film. Film tidak hanya menjadi alat hiburan tapi juga merupakan sebuah alat propaganda yang ampuh. Baik pemerintah Hindia-Belanda maupun pemerintah Jepang yang berkuasa di Indonesia menyadari fungsi film sebagai alat propaganda dan memanfaatkannya. Bedanya, pemerintah Hindia-Belanda melakukan propaganda secara halus melalui film-film Barat yang menunjukkan kebaikan bangsa Eropa sehingga secara tidak masyarakat menjadi terpengaruh dan selera mereka menjadi condong pada film-film Barat. Pemerintah Je p a ng se c a r a t e r a ng - t e ra n g a n menunjukkan fungsi film sebagai alat propaganda dengan menghadirkan film-film propaganda. Sikap pemerintah Jepang yang anti Barat, dengan segera menghilangkan unsur-unsur Barat dalam segala bidang. Hal ini dapat dilihat dalam kebijakan mereka mengubah nama-nama Bioskop dengan nama Jepang dan meng henti kan i mpor fi lm Ba rat . Kebanyakan film-film yang diputar berkisa h tentang peperanga n da n kemenangan Jepang hingga penonton jenuh menyaksikan film-film propaganda

jarik

klompen

Miss Riboet's Orion Dardanella.

toneel

.

Terang Boelan toneel

Bintang Betawi

52

Verleden, Vol. 1, No.1

Desember 2012: 1 - 109

tersebut.Pada tahun 1950, menjadi tonggak

kehadiran perfilman nasional Indonesia karena produksi film telah ditangani secara langsung oleh tenaga-tenaga I nd on e s i a . F i l m pe r t a m a ya n g menandainya berjudul karya Usmar Ismail. Sebelumnya memang telah ada film lokal berjudul

yang diproduksi pada tahun 1927. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa film tersebut bukan murni karya orang-orang Indonesia karena masih dikerjakan oleh orang Belanda. Periode 1950-1970 hiburan film di Surabaya mengalami berbagai kondisi yang kurang stabil akibat situasi politik dan ekonomi. Aksi mogok buruh pekerja film dan aksi pemboikotan film barat adalah sejumlah persoalan yang b e r d a m p a k b u r u k t e r h a d a p keberlangsungan hiburan film. Krisis ekonomi ditambah berbagai pajak yang me mbe bani mem buat masya raka t keberatan menjadi keberatan dalam menjangkau harga tiket masuk pemutaran film. Namun pengaruh film sangatlah besar terhadap masyarakat Surabaya pada periode tersebut. Film tidak hanya m e n gg e se r k e se n i a n pa n g gu n g tradisional, tetapi juga mempengaruhi gaya hidup dan perilaku masyarakat.

Kondisi di Indonesia pasc a kemerdekaan belum s tabil karena berbagai ketegangan yang terjadi di berbagai wilayah. Ketegangan sosial yang terjadi membuat pemerintah kurang memperhatikan perkembangan film nasional. Tahun 1953 pasaran film nasional semakin terpojok dengan membanjirnya film-film impor. Para artis melakukan pawai ke Istana Merdeka guna menyampa ikan re solus i mendesak pemerintah supaya meninjau kembali peraturan mengenai perdagangan film impor dan memperhatikan wajib putar film Indonesia (Merdeka 13 Maret 1956). Pada tahun 1958 diberlakukan undang-

undang nasi onalisas i perusahaa n-perusahaan Belanda (Kanumoyoso, 2001: 45). Di Surabaya, proses Nasionalisasi diiringi dengan pergantian nama sejumlah bioskop yang semula menggunakan nama Barat menjadi nama Indonesia. Proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan tidak terlepas dari aksi kaum buruh. Memasuki tahun 1950-an terjadi sejumlah aksi mogok para buruh Sarbufis di Surabaya.

Gedung bioskop di Surabaya yang telah ada sejak masa Hindia-Belanda biasanya terdiri dari dua bangunan dalam satu kompleks, satu gedung bioskop untuk kalangan menengah ke atas dan satu lagi untuk kalangan menengah ke bawah. Pengaturan tersebut terus berlaku hingga di be rl ak uka nn ya und an g-u nd an g nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tahun 1958. Bioskop di Surabaya sendiri terbagi dalam dua kelas yaitu bioskop kelas A dan B, pada masing-masing kelas masih terbagi lagi dalam tiga kelas yaitu I, II dan III. Biasanya film-film Hollywood atau film Barat diputar di bioskop-bioskop kelas A, sedangkan film-film India dan Mandarin banyak diputar di bioskop-bioskop kelas B. Hal ini menjadi salah satu faktor yang berpegaruh terhadap perbedaan harga tiket pada masing-masing kelas.

Animo masyarakat Surabaya yang besar terhadap film, terutama film-film terkenal mendorong pengusaha bioskop memberlakukan pertunjukan ekstra di hari sabtu-minggu dan juga hari-hari besar. Pertunjukan ekstra tersebut dikenal juga dengan pertunjukan film atau

. Masyarakat cenderung menyukai film asing seperti film Hollywood asal Amerika karena secara teknis dan artistik begitu menonjol dan produser Indonesia m a s i h b e l u m s a n g g u p u n t u k mengimbanginya. Film India mayoritas disukai oleh masyarakat kelas bawah karena tari-tarian dan nyanyian-nyanyian sentimental yang merupakan ramuan pokok dari film-film India cocok dengan selera masyarakat (Siagian, 2010: 96).

Darah dan Doa

Loetoeng Kasaroeng

matinematinee

Dinamika Dunia Layar Perak di Surabaya

53

Film-film asing membanjiri bioskop-bioskop di Surabaya hingga mendesak film nasional. Hal ini diperparah dengan berkurangnya produksi film nasional akibat ditutupnya sejumlah studio sebagai bentuk protes atas membanjirnya film-film impor serta tidak mampu beroperasi lagi dalam kondisi ekonomi yang tidak baik Pengumuman PPFI 19 Maret 1957).

Memasuki pertengahan tahun 1950-an hiburan film berada dalam kondisi yang kurang baik dengan adanya pemboikotan film-film Amerika oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). PAPFIAS merupakan sebuah organisasi yang memayungi sekitar 16 organisasi. Puncak aksi yang dilakukan PAPFIAS di Surabaya berlangsung cukup keras dengan pembakaran gedung AMPAI yang berada di jalan Sumatera. Aksi boikot yang dilancarkan oleh PAPFIAS tersebut mendapat tentangan dari PARFI (Surabaja Post 27 Juli 1964). DFI juga menunjukan s ikap ac uh dan bahkan te rkesan menentang aksi boikot, ketua DFI yaitu kol. Soekardjo justru memutar film Amerika Serikat di rumahnya (Trompet Masjarakat 31 Agustus 1964). Kol. Soekardjo juga dengan tegas menyatakan bahwa aksi boikot justru sangat merugikan karena bioskop-bioskop kekurangan pasokan film dan tidak mampu bertahan hingga berujung pada pemecatan pegawai dan buruhnya (Surabaja Post 3 Juli 1964).

Kondisi dunia hiburan mengalami perubahan yang drastis memasuki era Orde Baru. Pemerintah mengambil sejumlah langkah untuk membangkitkan kembali hiburan film di kota-kota, salah satunya adala h dengan m ela rang p e rt u nj u k a n d a n memberlakukan kembali kebijakan impor film besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan bioskop-bioskop karena produksi film nasional yang masih minim. Film-film yang diputar di bioskop pun menjadi beragam dan tidak membosankan bagi masyarakat. Film-film impor Eropa dan Jepang memenuhi bioskop-bioskop

sedangkan hingga tahun 1967 film Amerika masih belum masuk akibat aksi boikot yang pernah dilancarkan PAPFIAS. Pada periode ini selera masyarakat Surabaya sedang condong kepada film-film (film ) dan film (film bertema mata-mata atau agen rahasia). Pemerintah kota Surabaya juga mengatur kembali masalah pajak tontonan dan res t rib us i bi oskop. Ha l i ni dikarenakan kondisi ekonomi yang masih belum membaik pada awal pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Kota Surabaya berupaya menjadikan film dan bioskop sebagai hiburan murah yang dapat di ja n gka u o le h se l ur uh l a pi sa n masyarakat.

Menurut Jowett dan Linton film merupakan media hiburan yang sederhana dan murah (Jowett & Linton, 1980: 15).Hampir seluruh lapisan masyarakat Surabaya pada periode 1950-1970 pernah menyaksikan film di bioskop. Masyarakat dengan ekonomi yang baik dan terpelajar biasanya menonton film-film Barat di bioskop-bioskop di kelas A. Kelompok penonton ini sangat memerhatikan mutu film yang akan ditonton. Masyarakat dengan ekonomi yang kurang baik dan kurang terpelajar biasanya lebih menyukai menonton di bioskop-bioskop kelas B yang biasanya menayangkan film-film Malaya, India, Mandarin dan film-film nasional. Bagi kelompok penonton ini film hanya sekedar pelepas ketegangan dari realitas nyata yang dihadapi, sebagai tempat pelarian dari beban hidup sehari-hari (Sumarno, 1996: 22).

F i lm , ba g ai m a na pu n j u ga mempunyai hubungan dengan sebuah perubahan yang ada pada pola hidup masyarakat (Susanto, 2007: 248). Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya dimana nantinya gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan

g a l a p re mi e r

Django cowboy Spy

Pengaruh Film Terhadap Masyarakat Surabaya

54

Verleden, Vol. 1, No.1

Desember 2012: 1 - 109

lingkungannya (Kotler, 2002:192). Pada tahun 1950 hingga 1970 film sangat berperan dalam transformasi mode pakaian yang muncul dan tren di Surabaya.

Mode yang pernah populer antara lain leher bentuk dengan lengan mengembang dan juga rok dengan model yang mengembang, Mode pakaian terusan tanpa lengan yang terkenal dengan sebutan . rok lebar dengan tinggi di atas lutut serta rok dengan belahan dada atau belahan punggung yang sangat terbuka (Varia 2 September 1964). Pada tahun 1960-an muncul tren mode

sebagai imbangan atas reaksi keras kepopuleran rok mini dan Sebagai imbangan dari tren mode Maxi mulailah nampak mode ba ru yang dike na l masyarakat sebagai . Mode pakaian yang tengah populer dikalangan pria muda di Surabaya pada tahun 1950-an adalah celana ketat dari atas sampai ke bawah yang persis dengan ukuran kaki. Mode tersebut bergeser memasuki tahun 1960-an, digantikan dengan mode celana komprang. Orang-orang Madura sangat menyukai film-film India. Gaya-gaya berpakaian dalam film India sering ditiru oleh orang-orang Madura ketika acara resepsi pernikahan.

Film tidak hanya membawa perubahan terhadap gaya hidup tren mode di Surabaya, namun juga berpengaruh terhadap tren musik. Musik menjadi bagian penting dalam sebuah film terutama setelah masuknya film bicara dan penyebaran musik Amerika semakin intensif. dikenal masyarakat melalui film yang dibintangi oleh dan (Muryadi, 2009: 1). Lagu Si Penjaga Sapi yang dinyanyikan oleh Norma Sanger pada tahun 1950-an sangat terasa pengaruh film Amerika dari judulnya (Prisma Mei 1987). Keakraban masyarakat dengan film India yang penuh dengan tarian dan lagu berpengaruh terhadap musik dangdut (Prisma Mei 1987). Orkes dangdut merupakan orkes

Melayu yang telah berubah. Citra orkes Mel a yu ya ng di na m is t i ba -t i ba menampilkan sisi sentimental yang meratap macam film India (Tempo 30 Juni 1984).

Kh a l a y a k m e ne r i m a d a n menginterpretasikan pesan tekstual dari film melalui cara yang terkait dengan kondisi sosial dan budaya mereka serta pengalaman pribadi mereka terhadap kondisi tersebut (Satrya, 2006: 3). Mode-mode baru yang tengah tren mayoritas berasal dari Barat dan tidak dengan mudah mudah dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Pakaian yang menjiplak model-model Barat dianggap tidak selaras dengan kepribadian Nasional. Pemerintah Orde Lama yang anti Barat berupaya membendung pengaruh-pengaruh Barat yang dianggap dapat merusak budaya nasional. Upaya tersebut di dukung beberapa kelompok masyarakat seperti para pemuda yang tergabung dalam Front Pemuda Surabaya mengadakan operasi razia rambut sasak dan rok span ketat (Trompet Masjarakat 3 November 1964). Ibu-ibu Surabaya yang tergabung dalam BKOW m enol ak ada nya berbagai pengaruh asing dari film-film atau hiburan-hiburan lainnya yang dianggap tidak bermoral (Panjebar Semangat 5 Juni 1968). Untuk menjembataninya, digelar peragaan busana yang memadukan mode terbaru dari Barat dengan kain batik yang menjadi kebanggaan budaya nasional agar tren-tren pakaian Barat lebih mudah diterima. Salah satunya adalah pagelaran busana yang di diselenggarkan di Surabaya dalam rangka memeriahkan Pameran Pembangunan Jawa Timur (Liberty 26 Setember 1970).

Mayoritas penduduk Surabaya beragama Islam baik dari etnis Jawa maupun Madura dan berbagi ruang tinggal dengan etnis lain seperti Tionghoa dan Arab (Cohen, 2006: 29). Pada tahun 1960-an hingga awal 1970 masih terlihat jelas penekanan-penekanan terhadap cara-cara berpakaian Muslim. Peci yang lekat dengan identitas pakaian muslim diangkat

sabrina

you-can see

maxi

New Look

Rock N' RollRock Around The Clock

Bill Haley His Comets

cowboy

55

menjadi s imbol nas ionalisme oleh presiden Sukarno. Masyarakat Muslim Surabaya mayoritas berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka tinggal di wilayah perkampungan padat penduduk atau kampung-kampung kumuh perkotaan. Para penduduk kampung dikenal dengan wong kampung yang dibedakan dari priyayi yang tinggal di daerah-daerah elit (Peacock, 2005: 17).

Dalam kondisi ekonomi yang kurang baik para periode 1950-1970 dengan kenaikan harga kebutuhan pokok tentu menyulitkan bagi masyarakat kelas bawa h Sura baya untuk mengikut i perkembangan tren pakaian. Harga kain pada tahun 1950-an berkisar antara Rp. 27,-- hingga Rp. 50,-- jauh lebih mahal bila dibandingkan harga beras yang berkisar Rp 3, 30 hingga Rp 4, 25 tiap kilonya. Mengikuti tren-tren selalu identik dengan masyarakat kelas atas dengan kondisi ekonominya yang sangat baik. Masyakarat kelas atas Surabaya pada periode tersebut biasanya berasal dari kalangan pejabat, pegawai pemerintahan dan perwira-perwira militer.

Pada awal masa Orde baru pengaruh dari film-film dipandang sangat c uku p m e ngk ha wa ti rk a n ka re n a pembatasan-pembatasan yang tidak terlalu ketat sebagaimana yang diterapkan pada masa Orde Lama. Film-film spionase ala James Bond yang sedang tren di Surabaya dipandang memiliki pengaruh buruk karena menampilkan adegan kekerasan dan adegan sensual. Banyak pihak yang mendesak agar pemerintah memasukkan film-film yang tidak hanya menghibur tapi juga mendidik. Dunia hiburan film menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya tindak kriminalitas seperti aksi percaloan tiket. Surabaya merupakan salah satu kota yang sering terjadi tindak kriminalitas calo. Tahun 1954 pengadilan negeri Surabaya menjatuhkan hukuman terhadap 4 pelajar yang terbukti telah menjual tiket dengan harga yang lebih mahal dan 3 orang yang terbukti membeli tiket dari calo (Pewarta

Soerabaia Selasa 2 Nopember 1954).Maraknya aksi percaloan di

Surabaya meresahkan masyarakat yang menyukai hiburan film hingga pihak kepolisian melakukan tindakan dengan mengadakan razia di seluruh bioskop kelas I di Surabaya. Dari hasil razia tersebut berhasil menangkap 19 calo tiket yang berusia antara 18-30 tahun dan menyita 130 lembar karcis beserta uang tunai sebesar Rp. 526, 50 (Pewarta Soerabaia 27 Januari 1959). Keuntungan yang didapat melalui aksi percaloan menarik banyak orang menjadi calo tiket dalam kondisi ekonomi yang kurang stabil pada era 1950-1970. Dalam mengatasi masalah percaloan tiket, pemerintah melalui

me la ran g perdagangan karcis berantai (AKS, Box. 17, Def. 506). Pemerintah kota Surabaya berupaya mengurangi praktik percatutan melalui Surat keputusan No. 53/K Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya dengan menertibkan sistem borongan dan perubahan harga tiket masuk. Pihak yang berwajib juga menetapkan peraturan tentang cara penyaluran penjualan tiket bioskop yaitu 50% dijual pagi hari untuk pemesanan tempat dan 50% dijual beberapa saat sebelum film diputar (Pewarta Soerabaia 27 Januari 1959).

Film merupakan salah satu media hiburan yang murah dan populer serta memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat di Surabaya. Pengaruh film dapat terlihat dengan adanya perubahan pada perilaku, simbolisasi dan gaya hidup masyarakat Surabaya. Kemampuan menerima dan menginterpretasikan pengaruh film pada mas ing-masing individu akan berbeda bergantung pada kondisi sosial dan budaya mereka serta pengalaman pribadi terhadap kondisi tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian muncul menjadi salah satu

Surat Keputusan No. 539 dari Menteri Perekonomian tentang Larangan Pe rdag angan B eran tai

Kesimpulan

56

Verleden, Vol. 1, No.1

Desember 2012: 1 - 109

identitas kota Surabaya pada era 1950 hingga 1970.

Mengikuti tren identik dengan masyarakat kelas atas yang memiliki kekuatan ekonomi. Kondisi ekonomi yang kurang stabil pada periode tersebut menjadi salah satu penyebab masyarakat kelas bawah sulit mengikuti tren yang tengah berkembang. Pemerintah Orde La ma yang ant i Ba rat berupay a membendung pengaruh-pengaruh film Barat yang dipandang dapat merusak budaya nasional. Upaya pemerintah tersebut didukung beberapa kelompok masyarakat yang masih berpegang teguh pada budaya-budaya nasional, seperti Front Pemuda Surabaya dan ibu-ibu Surabaya yang tergabung dalam BKOW. Selain latar belakang ekonomi dan budaya, latar belakang agama juga memiliki peranan dalam membatas i pengaruh film terhadap masyarakat. Pada periode 1960-1970 tren-tren pakaian yang tengah populer mayoritas berasal dari Barat dengan mode pakaian yang makin mini dan ketat. Hal tersebut memunculkan penekanan baru terhadap gaya hidup Muslim berdasarkan nilai-nilai Muslim. Peci yang lekat dengan identitas pakaian muslim diangkat m enjadi sim bol nasionalisme oleh presiden Sukarno.

Tah un 195 0 h i ngg a 197 0 merupakan masa-masa yang paling ramai dalam dunia perfilman. Hiburan film di Surabaya mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Kebij akan pemerintah memiliki pengaruh terhadap tema film yang beredar. Pemerintah Orde Lama yang memberlakukan kebijakan anti budaya-budaya asing melarang peredaran film-film impor yang tidak sesuai dengan kepribadian nasional dan memperbanyak film-film dari negara sosialis dan negara Asia-Afrika yang menampilkan sis i patriotik dan sesuai dengan kondisi bangsa yang tengah bersemangat menghadapi Dwikora. Pada era Orde Baru kebijakan yang melarang film-film impor tidak lagi berlaku. Film-film impor dengan beragam

genre dapat beredar kembali di bioskop-bioskop.

Sumber Arsip:

AKS, Box. 17, Def. 506.

Sumber Koran dan Majalah:

Selasa 2 Nopember 1954, Selasa 27 Januari 1959.

, Jumat 3 Djuli 1964, Senin 27 Juli 1964.

Senin 31 Agustus 1964, Kamis 03 November 1964.

No. 890 26 September 1970

13 Maret 1956.

5 Juni 1968.

19 Maret 1957.

Mei 1987.

30 Juni 1984, hlm. 29.

no. 333, 2 September 1964.

Sumber Buku:

B o n d a n K a n u m o y o s o ( 2 0 0 1 )

, Jakarta: Sinar Harapan.

Cohen, M.I (2006)

, Ohio: Ohio University Press.

Dukut Imam Widodo (2002) , Surabaya: Dinas

Pariwisata Surabaya.

DAFTAR PUSTAKA

Pewarta Soerabaia

Surabaja Post

Trompet Masjarakat

Liberty

Merdeka

Panjebar Semangat No. 16

Pengumuman PPFI

Prisma

Tempo

Varia

Na sion ali sas i P e ru sahaa n Belanda di Indonesia

The Komedie Stamboel: Popular Teather in Colonial Indonesia 1891-1903

Soerabaia Tempo Doeloe 2

57

Gayus Siagian (2010)

, Jakarta: Fakultas Fil m dan Te levis i Ins tit ut Kesenian Jakarta.

H.M. Johan Tjasmadi (1992) ,

Jakarta: GPBSI.

Haris Jauhari (1992) : ,

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marseli Sumarno (1996) , Jakarta: PT

G r a m e d i a W i d i a s a r a n a Indonesia.

Misbach Yusa Biran (2009)

, Jakarta: Komunitas Bambu.

Nerfita Primadewi (2007), Bisnis (Film ) Birahi di Tengah Gerakan Massa Rakyat Yogyakarta 1998-1999, dalam Budi Susant o (ed.),

, Yogyakarta: Kanisius.

Peacock, J.L (2005)

, Jakarta: Desantara.

Remy Silado (2009), Tari Mati-Mati Ayam Di izi nka n Be rja ya, dal am Muhammad Muryadi,

, B e k a s i : K o p e r a s i I l m u Pengetahuan Sosial.

Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan

Dari Gambar Idoep ke Sinepleks

Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia

Dasar-Dasar Apresiasi Film

Sejarah Film

1900-1950: Bikin Film di Jawa

Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia

Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rak yat Indones ia

Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah

58

Verleden, Vol. 1, No.1

Desember 2012: 1 - 109