07 Penatalaksanaan Dan Pencegahan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Penatalaksanaan dan PencegahanPenatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan terapi penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya dapat dilihat pada tabel 4.3Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya.3DerajatGFR (ml/mnt/1,73 m2)Rencana tatalaksana

Derajat I 90Terapi penyakit dasar, komorbid, evaluasi pemburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko kardivaskuler

Derajat II60-89Menghambat perburukan fungsi ginjal

Derajat III30-59Evaluasi dan terapi komplikasi

Derajat IV15-29Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

Derajat V< 15Terapi pengganti ginjal

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.3Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.3Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah, pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kgbb/hari, yang 0,35 0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.3Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.3Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kaediovaskular adalah, pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.3Penyakit ginjal kronik dapat memberikan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan penurunan fungsi Ginjal. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, pendarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal, sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.3Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2 D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. Pembatasan asupan fosfat dengan pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.3Pemberian pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium. Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.3Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH) >2,5 kali normal.3Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urine maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urine. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti buah dan sayuran, harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.3Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.3