55
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar. Akan tetapi yang terjadi saat ini, masyarakat umum mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan apa yang semestinya mereka dapatkan dan 1

03.Isi, Daftar Pustaka

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 03.Isi, Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi

yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh

dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki

kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan

oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar

dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini

menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di

lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi

dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat

profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan

jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang

kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar.

Akan tetapi yang terjadi saat ini, masyarakat umum mengeluhkan pelayanan

yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan

apa yang semestinya mereka dapatkan dan mengeluhkan hal-hal yang menurut

mereka tidak perlu dilakukan atau diberikan. Dari sana semua permasalahan

ini berawal, masyarakat umum dengan segera mengecam masyarakat profesi

melakukan tindakan yang tidak wajar, malpraktik.1

Kasus malpraktik muncul pertama kali di Indonesia pada awal tahun

1981. Dokter Setianingrum, seorang dokter Puskesmas dari Wedarijaksa,

Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terpaksa diadili di Pengadilan Negeri Pati atas

dasar Pasal 359 KUHP karena telah menyebabkan pasiennya, Ny. Rukmini

Kartono meninggal dunia karena kejutan anfilatik akibat reaksi alergi dari

suntikan streptomisin yang diberikan kepadanya. Akhir-akhir ini, kasus

dugaan malpraktik menjadi sorotan. Di antaranya, dugaan kasus malpraktik

yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit berstandar internasional empat

menjadi berita utama di beberapa media massa. Belum terlepas dari kasusnya

1

Page 2: 03.Isi, Daftar Pustaka

Prita Mulyasari yang dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional,

terdengar lagi adanya aduan dari seorag ibu yang bernama Juliana ke polisi.

Juliana menuduh dokter rumah sakit tersebut telah melakukan malpraktik

terhadap kedua anak kembarnya, Jayden Christopel dan Jared Christopel, di

mana mata Jayden silinder 2,5, sedangkan mata Jared buta karena saraf

matanya lepas dari retina.2

Malpraktik medik dan kelalaian medik adalah dua masalah yang

berbeda. Terkait dengan tingkat pemahaman masyarakat akan kedua masalah

tersebut dan masalah kesehatan masyarakat yang terkait, dibutuhkan

pemahaman yang benar dan tepat untuk kejelasan hukum keduanya.1,2

1.2 Batasan Masalah

Penulisan referat ini dibatasi pada aspek hukum hubungan dokter dan pasien,

definisi malpraktik medik dari segi medik dan hukum, jenis-jenis malpraktik

medik, kriteria dan unsur malpraktik medik, pembuktian kasus malpraktik

medik, serta kelalaian medik.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:

a. Sebagai pemenuhan syarat dalam mengikuti dalam mengikuti kepaniteraan

klinik senior di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas Padang.

b. Sebagai sarana dalam memberikan pemahaman tentang malpraktik medik

dan kelalaian medik.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang diambil dari

berbagai literatur.

2

Page 3: 03.Isi, Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Pasien

Dokter dan pasien merupakan dua subjek hukum yang keduanya membentuk

hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan keduanya diatur dalam

peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Hubungan

hukum antara dokter dan pasien ada dua macam, yaitu hubungan karena

kontrak (transaksi terapeutik) serta hubungan karena undang-undang.1

Berdasarkan The Universal Declaration of Human Right tahun

1948 dan The United Nations International Covenant on Civil and Political

right tahun 1966, pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan

pasien bertumpu pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam

dokumen maupun konvensi internasional, yaitu hak untuk menentukan nasib

sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right

to information).2

Pada awalnya, hubungan hukum timbul ketika pasien menghubungi

dokter karena ia merasa keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan

bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu

menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Kedudukan dokter

dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada

pasien. Hal ini melahirkan hubungan vertikal antara dokter dan pasien

(paternalistic). Dampak positif pola vertikal yaitu sangat membantu pasien

dalam hal awam terhadap penyakitnya, tatapi dampak negatif berupa

pembatasan otonomi pasien.1,2

Pola hubungan vertikal bergeser pada pola horizontal kontraktual yang

bersifat “inspannings verbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara

dua subyek hukum yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan

kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak

menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari

3

Page 4: 03.Isi, Daftar Pustaka

hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan

pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.1,3

Dalam hubungan terapeutik, berlaku asas-asas hubungan terapeutik

yang mencakup:2

a. Asas konsensual

Berdasarkan azas ini, masing-masing pihak harus menyatakan

persetujuannya. Dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan

persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan

sanggup) maupun secara emplisit (misalnya menerima pendaftaran,

memberikan nomor urut, menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu

tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh

pegawainya.

b. Azas itikad baik

Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama

dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa

disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah

menurut hukum.

c. Azas bebas

Pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas

menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing,

sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk

perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah

bahwa upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian dan hasilnya tidak

dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan

secara matang sebelum memberikan garansi kepada pasien.

d. Azas tidak melanggar hukum

Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak

boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan

aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh

dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus

dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter

4

Page 5: 03.Isi, Daftar Pustaka

serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan

kontraktual, maka dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian

yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada

pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi.

e. Azas kepatutan dan kebiasaan

Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah

mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati,

juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan

dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan

hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti dalam

hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat

hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah

sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya

kepada dokter hilang.

Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan

terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada

masing-masing pihak sebagai berikut:

a. Hak pasien

1) Hak primer

Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan

teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

2) Hak sekunder

a) Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya.

b) Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan

dilakukan oleh dokter.

c) Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas

kepatutan dan kebiasaan).

d) Hak atas rahasia kedokteran.

e) Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang

bersifat nonyustisial.

f) Hak atas second opinion.

5

Page 6: 03.Isi, Daftar Pustaka

b. Hak dokter

1) Hak untuk memperoleh imbalan yang layak.

2) Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan

sejujur-jujurnya demi kepentingan diagnosis.

c. Kewajiban pasien

1) Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkap-

lengkapnya bagi kepentingan diagnosis dari terapi.

2) Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter.

3) Kewajiban memberikan imbalan yang layak.

d. Kewajiban dokter

1) Kewajiban primer

Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori

kedokteran yang telah teruji kebenarannya.

2) Kewajiban sekunder

a) Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien.

b) Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan

dilakukan.

c) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah

ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan

dilakukan oleh dokter.

d) Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion.

e) Menyimpan rahasia kedokteran.

f) Memberikan surat keterangan dokter.

 Suatu tindakan medik yang dilakukan dapat mendatangkan dua akibat

sebagai berikut: 13

a. Akibat positif, di mana tindakan yang dilakukan berhasil mencapai tujuan

yang diharapkan dan pasien pulang dalam keadaan sembuh.

b. Akibat negatif, yang sama sekali tidak diharapkan ataupun tidak terduga

terjadinya yang disebabkan oleh:

6

Page 7: 03.Isi, Daftar Pustaka

1) Kesalahan dokter

a) Karena suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang.

Perbuatan ini menurut hukum termasuk pada golongan dolus

karena ada kesengajaan terhadap perbuatan itu (delicta

commissionis). Contohnya adalah melakukan tindakan abortus

tanpa indikasi medik ataupun mengeluarkan surat keterangan sakit

yang tidak benar.

b) Karena kelalaian. Perbuatan ini disebut sebagai delicta

ommissionis atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak

melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga

menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelompok ini paling banyak

terjadi.

2) Bukan kesalahan dokter

Peristiwa atau akibat merugikan pasien yang terjadi bisa dikarenakan

sebab-sebab lain. Jenis penyakit, beratnya penyakit, ada tidaknya

komplikasi, usia pasien dan daya tahan tubuh pun berbeda-beda.

Adapun penyebabnya misalnya bisa terjadi karena:

a) Tingkat penyakit yang sudah berat (terlambat dibawa ke dokter

atau rumah sakit). Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat serng

menunda-nunda pemeriksaan. Bisa karena rasa takut atau bisa juga

jarena alasan lain, misalnya faktor keuangan.

b) Reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri yang tidak

dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya timbulnya syok

anafilaktik pada waktu diberikan suntikan anaestesi. Jika timbul

dan sudah diberikan antinya tetapi tidak berhasil, dokter tidak

dapat dipersalahkan karena tidak ada unsur kelalaian. Akibatnya

timbul karena pasien hipersensitif terhadap obat suntikan tersebut.

c) Ketidakterusterangan pasien atau kurang menceritakan seluruhnya

apa yang dirasakan olehnya, sehingga diagnosis dan terapi yang

diberikan meleset.

7

Page 8: 03.Isi, Daftar Pustaka

d) Pasien tidak menuruti apa yang dinasehati oleh dokter sehingga

bisa menimbulkan akibat yang buruk dan fatal (contributory

negligence). Misalnya dilarang meminum obat-obat ramuan yang

keras berbarengan dengan obat yang diberika dokter.

Dalam melakukan profesi medik, seorang dokter harus memenuhi dua

tanggung jawab utama yaitu: 2

a. Informed consent atau persetujuan tindakan medik (Pertindik)

b. Standar Profesi Medik (SPM)

Menurut Leenen, informed consent dan SPM merupakan dua hal pokok yang

dapat menghilangkan suatu sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu

tindakan ataupun perbuatan medik. Pelanggaran kedua hal tersebut dapat

berujung tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.2

Sebagai contoh, apabila A melukai B maka tergolong sebagai

penganiayaan menurut pasal 351 KUHP, atau apabila dokter A melukai B, hal

tersebut tetap tergolong penganiayaan. Hal ini tidak berlaku lagi apabila: 2,3

a. Orang yang dilukai memberikan persetujuan.

b. Tindakan tersebut berdasrkan indikasi medik tertentu dan ditujukan untuk

sasaran atau tujuan tertentu.

c. Tindakan tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran.

Dengan pemenuhan ketiga unsur tersebut maka tindakan penganiayaan pada

pasal 351 KUHP tadi dapat dinetralkan dan tindakan medik (diagnostik

maupun terapeutik) tidak dikategorikan sebagai penganiayaan.2,3

Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah lege artis, yang pada

hakikatnya mengacu pada tidakan sesuai SPM termasuk dalam aspek

hukumnya. Menurut Leenen, SPM minimal meliputi:

a. Bekerja secara teliti, cermat dan hati-hati.

b. Sesuai ukuran medis.

c. Sesuai kemampuan rata-rata dibanding dokter dari kategori keahlian medis

yang sama.

d. Dalam situasi yang sebanding

8

Page 9: 03.Isi, Daftar Pustaka

2.2 Malpraktik Medik

2.2.1 Definisi Malpraktik dari Segi Medik dan Hukum

Kata malpraktik berasal dari kata ''mal'' yang berarti buruk dan ''praktik''

yang berarti pelaksanaan profesi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

malpraktik diartikan sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah

atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktik

merupakan suatu tindakan medik yang dilakukan tidak memenuhi

standar medik yang telah ditentukan maupun standar operasional

prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang

membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh

pasien.1,3

Hayat berpendapat bahwa malpraktik oleh dokter adalah: 3

a. kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan

pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat

yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani

pasien;

b. atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian

(kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan

ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya;

c. atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam

menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;

d. atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta

perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para

dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang

sama.

Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam

mengartikan malpraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa

syarat yaitu: 3

a. Adanya hubungan dokter dan pasien.

b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya.

9

Page 10: 03.Isi, Daftar Pustaka

c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi.

d. Suatu hubungan kausal antara pelanggaran kehati-hatian dan

kerugian yang diderita.

Menurut Coughlin's Dictionary of Law, “Malpractice is

professional misconduct on the part of a professional person, such as

physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.

Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or

fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong

doing or illegal or unethical practice.” Terjemahan bebasnya yaitu,

“Malpraktik adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang

profesional, seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter

gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan,

kelalaian, atau kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam

pelaksanaan tugas-tugas profesional; kesalahan berbuat yang disengaja

atau praktik yang tidak etis.” 4

Malpraktik medik menurut World Medical Association (1992)

adalah “Medical malpractice involves the physician's failure to conform

to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of

skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct

cause of an injury to the patient''. Berdasarkan hal itu dirumuskan kata

malpraktik medik yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat

kriteria yaitu 4 D: duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause.

Untuk menyatakan seorang dokter melakukan malpraktek medik maka

di pengadilan harus terbukti keempat unsur tersebut dan tidak hanya

berdasarkan somasi pengacara atau laporan pengaduan pasien saja.2,3,4

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia menegaskan dokter bisa

disebut melakukan malpraktik apabila melanggar prosedur standar.

Prosedur standar sebelum melakukan tindakan medik, yaitu melakukan

informed consent, memberi penjelasan mengenai tindakan yang akan

dilakukan termasuk risikonya, serta meminta persetujuan pasien atau

keluarganya. Selain itu, menanyakan obat apa saja yang diminum dalam

10

Page 11: 03.Isi, Daftar Pustaka

waktu dekat untuk mengetahui adanya obat yang bisa berinteraksi

dengan obat anestesi. Jika ada keraguan, darah pasien perlu diperiksa

untuk mengetahui adanya sisa obat.5

Definisi malpraktik masih beragam tergantung dari sudut

pandang mana malpraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum

ataukah dari segi medik sendiri. Ada kalanya tindakan seorang dokter

dikategorikan malpraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah,

atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku,

melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau

mengambil tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.5,6

Malpraktik juga menunjuk pada tindakan-tindakan secara sengaja dan

melanggar undang-undang terkait, misalnya UU No.23 tahun 1992

tentang Kesehatan.1,5

2.2.2 Jenis-jenis Malpraktik Medik

Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum, malpraktik dapat

dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: 5,6

a. Malpraktik Etik

Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan

dengan etika kedokteran. Etika Kedokteran yang dituangkan di

dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan,

atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktik ini merupakan

dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang bertujuan

memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu

dokter untuk mempermudah menentukan diagnosis dengan cepat,

lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih

cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.

Contoh di bidang diagnostik misalnya pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan

bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti, namun karena

11

Page 12: 03.Isi, Daftar Pustaka

laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada

dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang

bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Sementara di bidang

terapi, berbagai perusahaan menawarkan antibiotik kepada dokter

dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau

mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi

pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.6

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus

selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk

mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis

dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya, mengetahui apa

yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan

dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan

pasien serta mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait

dengan situasi kondisi pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi,

hukum, budaya, dan sebagainya.6,7

b. Malpraktik Hukum

Malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam tiga

kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar sebagai berikut: 7-9

1) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)

Perbuatan seseorang dimasukkan dalam kategori malpraktik

pidana jika perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana

yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)

merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin

yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),

kecerobohan (reklessness), atau kealpaan (negligence).

Malpraktik pidana yang bersifat kesengajaan

(intensional):

a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan

Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:

12

Page 13: 03.Isi, Daftar Pustaka

(1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia

yang wajib disimpannya karena jabatan atau

pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang

dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama

sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu

rupiah.

(2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang

tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata

pengaduan orang itu.

b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus

Provokatus. Pasal 346 KUHP mengatakan:

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

c) Pasal 348 KUHP menyatakan:

(1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungan seorang wanita dengan

persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun enam bulan.

(2) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya

wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.

d) Pasal 349 KUHP menyatakan:

Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu

melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun

melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan

yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana

yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan

sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan

pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

13

Page 14: 03.Isi, Daftar Pustaka

e) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:

(1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara

paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling

banyak tiga ratus rupiah.

(2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,

yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima

tahun.

(3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana

penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja

merusak kesehatan.

(5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak

dipidana.

Malpraktik pidana yang bersifat kecerobohan

(recklessness) misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai

dengan standar profesi atau melakukan tindakan medik tanpa

persetujuan pasien.

a) Pasal 347 KUHP menyatakan:

(1) Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan

mematikan kandungan seorang wanita tanpa

persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun.

(2) Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita

tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas

tahun.

b) Pasal 349 KUHP menyatakan:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu

melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun

melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan

yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana

14

Page 15: 03.Isi, Daftar Pustaka

yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan

sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan

pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

Malpraktik pidana yang bersifat kelalaian (negligence)

misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.

a) Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati:

Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya

orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

b) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:

(1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan

orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan

paling lama satu tahun.

(2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan

orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga

menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan

pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu

tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

c) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan

atau pekerjaan hingga mengakibatkan mati atau luka berat,

maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361

KUHP menyatakan:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan

dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka

pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat

dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana

dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya

putusnya diumumkan.

15

Page 16: 03.Isi, Daftar Pustaka

Pertanggungjawaban didepan hukum pada malpraktik

kriminal adalah bersifat individual / personal dan oleh sebab itu

tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit /

sarana kesehatan.

2) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)

Seorang dokter akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila

tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan

prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter

yang dapat dikategorikan malpraktik sipil antara lain:

a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan.

b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan tetapi tidak sempurna.

d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak

seharusnya dilakukan.

Pertanggungjawaban malpraktik perdata dapat bersifat

individual atau korporasi serta dapat pula dialihkan pihak lain

berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini

maka rumah sakit / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat

atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (dokter) selama

dokter tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

Dasar hukum malpraktik sipil adalah transaksi dokter

dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, di

mana dokter bersedia memberikan pelayanan medis kepada

pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter

tersebut. Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti

rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban

kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.

16

Page 17: 03.Isi, Daftar Pustaka

Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena

kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya

empat unsur, yaitu:

a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.

b) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim

dipergunakan.

c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat

dimintakan ganti ruginya.

d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah

standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak

perlu membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam

hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang

artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter,

terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien.

Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul

komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi

kembali. Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan

tidak ada kelalaian pada dirinya.

3) Malpraktik Administratif

Dokter dikatakan telah melakukan malpraktik

administratif manakala dokter tersebut telah melanggar hukum

administrasi. Dalam melakukan police power, pemerintah

mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di

bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi dokter

untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin

Praktek), batas kewenangan serta kewajiban dokter. Apabila

aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang

bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum

administrasi.

17

Page 18: 03.Isi, Daftar Pustaka

2.2.3 Kriteria dan Unsur Malpraktik Medik

Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan apakah

suatu perbuatan itu termasuk kategori malpraktik atau tidak, biasanya

dipakai empat kriteria, antara lain: 10

a. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (aduty of

due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh

pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang

diharapkan.

b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty).

c. Apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation).

d. Adanya ganti rugi (damages).

Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (malpraktek)

apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi

Kedokteran, hal ini disebut juga “kunstfout”.10,11

Standar Profesi Kedokteran menurut rumusan Leneen: 11

a. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan ”culpa”

(kelalaian). Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”,

(tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi unsur kelalaian;

bila ia sangat tidak berhati-hati ia memenuhi ”culpa lata”.

b. Sesuai ukuran ilmu medik.

c. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama.

d. Situasi dan kondisi yang sama.

e. Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan

konkrit tindakan atau perbuatan tersebut.

Apabila ada dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter maka kelima

unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu

perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak.11

Hukum Kedokteran mengenal empat unsur malpraktik medik,

yaitu: 12

a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan;

b. Adanya dereliction (breach) of that duty (penyimpangan kewajiban);

18

Page 19: 03.Isi, Daftar Pustaka

c. Terjadinya damaged (kerugian);

d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara

pelanggaran kewajiban dengan kerugian.

Apabila ada dugaan malpraktik medik maka harus dapat dibuktikan

adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam menangani

pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi

kedokteran yang dirumuskan Leneen.11,12

2.1.4 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik

Terdapat perbedaan penting antara perbuatan pidana biasa dan perbuatan

pidana di bidang medik. Pada perbuatan pidana biasa yang terutama

diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan perbuatan pidana di bidang

medik yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi kausanya. Tanpa unsur

kelalaian atau kealpaan ataupun bisa saja kesengajaan, dokter tidak dapat

dipersalahkan.13

Pada tahap pembuktian akan dilakukan identifikasi untuk menilai

apakah seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana benar-

benar terbukti atau tidak. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 183 KUHAP terdapat larangan bagi hakim untuk menjatuhkan

hukuman kecuali jika didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah yang dengan itu hakim dapat mempunyai keyakinan

bahwa suatu perbuatan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang

bersalah melakukan. Apabila kasus itu ternyata benar secara kode etik,

maka masalahnya selesai. Namun bila terjadi pelanggaran, maka

diberikan peringatan. Kalau memang badan independen menilai bahwa

kasus tersebut malpraktik dan melanggar hukum, maka bisa saja

diserahkan ke peradilan umum pidana.12,13

Ketidakseragaman pengertian malpraktik medik sangat

berpengaruh dalam proses pembuktian kasus malpraktek itu sendiri.

Apalagi dikaitkan dengan beban pembuktian untuk kasus malpraktik itu

sendiri dan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Fakta tersebut

19

Page 20: 03.Isi, Daftar Pustaka

di atas yang menjadi kendala dalam pembuktian kasus malpraktik, di

antaranya adalah beban pembuktian biasa yang diatur dalam KUHAP

mengingat pembuktian kasus malpraktik ini membutuhkan pengetahuan

dan keahlian khususnya menyangkut dunia kedokteran itu sendiri.13

2.1.5 Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian Kasus Malpraktik

Medik

Beberapa sistem pembuktian kasus malpraktik medik sebagai berikut:

a. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata

(conviction-in time). Artinya jika dalam pertimbangan keputusan

hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan

keyakinan yang timbul dari hati nurani atau sifat bijaksana seorang

hakim, maka dapat dijatuhkan putusan.8

b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas

tertentu atas alasan yang logis (conviction- raisonee). Menurut teori

ini hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk

mengambil keputusannya, sama sekali tidak terikat pada alat-alat

bukti sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang, melainkan

hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain,

asalkan semuanya itu dilandaskan alasan-alasan yang tetap menurut

logika.14

c. Sebagaimana yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP, Indonesia

menganut sistem pembuktian yang disebut sistem pembuktian

berdasar pada undang-undang secara negatif (negatief wettelijke

bewijstheori), yaitu sistem pembuktian yang didasarkan cara

membuktikan berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan

pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan

hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.15

d. Kebalikan dari sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheori,

yaitu sistem pembuktian positif yaitu pembuktian yang

20

Page 21: 03.Isi, Daftar Pustaka

menyandarkan diri pada alat bukti saja, yaitu alat bukti yang telah

ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut dinyatakan

bersalah dan harus dipidana.15

Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara

negatif yang mempunyai maksud sebagai berikut: 16

a. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan

suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-

undang.

b. Namun demikian, biarpun bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum

yang ditetapkan dalam undang-undang tadi, jikalau hakim tidak

berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh

mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.

Berdasarkan dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang

secara negatif, terdapat dua komponen: 9

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang,

b. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam pembuktian kasus malpraktik, apabila ada unsur pidana

maka diselesaikan dalam suatu proses pemidanaan. Dalam UU

Kesehatan tidak diatur mengenai beban pembuktian, maka hukum acara

yang berlaku adalah Hukum Acara yang tercantum dalam KUHAP. Hal

ini berarti beban pembuktiannya adalah beban pembuktian yang dianut

oleh KUHAP, yaitu beban pembuktian biasa di mana yang harus

membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak adalah Jaksa

Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana terdapat juga dalam Pasal 66

KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian. Akan tetapi, ada beberapa

permasalahan apabila menggunakan beban pembuktian biasa:10,15

21

Page 22: 03.Isi, Daftar Pustaka

a. Untuk membuktikan bahwa seorang dokter bersalah karena telah

lalai atau sengaja melukai bahkan membunuh pasiennya, maka

dibutuhkan pembuktian yang secara teknis.

b. Akibat perlunya pembuktian teknis tersebut maka akan dibutuhkan

pendapat saksi ahli yang tentu saja akan berasal dari profesi

kedokteran juga. Masalahnya organisasi profesi para dokter sangat

kuat, yaitu IDI, sehingga seorang dokter tidak akan memberikan

pendapat yang akan merugikan dokter lainnya.

Untuk beban pembuktian biasa ini maka perlu diingat adanya

asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), bahwa seorang

yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat

dibuktikan di depan hakim.10,15

2.1.6 Kendala Pembuktian Kasus Malpraktik Medik

Penyidik (polisi) menyatakan bahwa untuk dapat membawa suatu kasus

malpraktik ke tingkat Peradilan Umum pidana harus ada putusan dari

Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) terlebih dahulu bahwa kasus

tersebut telah mengandung unsur kriminal (tergolong sebagai culpa lata

atau kelalaian yang serius) dan bukan pelanggaran etik profesi semata.

Dengan adanya putusan dari MKEK terlebih dulu maka penyidik

memberikan keterangan bahwa hal tersebut akan mempermudah dalam

melakukan pembuktian di persidangan nantinya.17

Wewenang untuk membuktikan adanya malpraktik atau tidak

dinyatakan bukan sebagai tugas kepolisian tetapi merupakan wewenang

MKEK di bawah IDI. Setiap kasus malpraktik pertama-tama ditangani

oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jika kemudian ada unsur kriminal

baru diserahkan pada pihak kepolisian untuk diproses. Dalam hal ini

MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran,

mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan

medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu

kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktik medik. MKEK hanya

22

Page 23: 03.Isi, Daftar Pustaka

bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan

kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan atau belum, dalam hal ini berdasar pada

UU Kesehatan, KODEKI, dan Standar Profesi Kedokteran.17

Untuk prosedur penyelesaian dugaan kasus malpraktik yang lain

adalah langsung diproses melalui Peradilan Umum pidana tanpa harus

melalui MKEK terlebih dulu. Hanya saja masalah penegakan hukum

dalam kasus malpraktik, sangat erat kaitannya dengan unsur penegakan

hukum itu sendiri. Di dalam Undang-undang Praktik Kedokteran, dokter

memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Hal yang

sering menjadi kendala yang ada pada penegak hukum terletak pada

kurangnya ilmu dan pengetahuan medik. Tetapi hal ini bisa diatasi

dengan adanya saksi ahli. Tanpa bekal ilmu dan pengetahuan medik,

mustahil kiranya penegak hukum bisa memahami dan mengerti

keterangan ahli.17

Hal lain yang menjadi masalah dalam penegakan hukum ini

adalah birokrasi atau prosedur yang berlaku pada profesi kedokteran,

yang berkaitan dengan berkas catatan tentang pelayanan medik atau

Rekam Medik (RM). Kesulitan untuk memperoleh rekaman medik

tersebut berbenturan dengan kewajiban dokter terhadap pasien yang

tercantum dalam Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

yang menyatakan bahwa setiap dokter wajib merahasiakan segala

sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga

setelah penderita itu meninggal dunia dan juga dalam Sumpah Dokter

yang mengikrarkan akan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui

karena pekerjaan dan keilmuan sebagai dokter, sehingga seringkali tidak

membantu usaha penegakan hukum.17

Pada dasarnya kasus malpraktik tergolong delik pidana biasa

yang dapat dijerat dengan Pasal 89, 351, 359, 360, 361 KUHP, sehingga

ada atau tidaknya aduan dari masyarakat, kepolisian harus memeriksa

23

Page 24: 03.Isi, Daftar Pustaka

kasus malpraktik sesuai dengan hukum acara pidana yang tercantum

dalam KUHAP. Namun, pada prakteknya terdapat perbedaan prosedur

penanganan dugaan kasus malpraktek sebelum dibawa ke pengadilan

yaitu pertama, harus melewati MKEK terlebih dulu dan kedua, dapat

dibawa langsung ke pengadilan untuk diproses.17

2.2.4 Kelalaian Medik

Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang

merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medik yang

dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi

karena hasil yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan

harapan pasien dan keluarganya. Hasil upaya pengobatan yang

mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau

kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.4

Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan

antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada

umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan

pasiennya, terutama terkait masalah informed consent. Perselisihan atau

sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut

dengan istilah “sengketa medik”. Beberapa unsur dari persetujuan

tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan

penyebab sengketa medik ini adalah: 4,12

a. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif

yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.

b. Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai

dilakukan, terutama dalam hal tindakan medik yang beresiko tinggi

dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan

medik.

c. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena

pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang

24

Page 25: 03.Isi, Daftar Pustaka

jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari

dokter yang merawatnya.

d. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan

atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya,

sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self

determination) diabaikan oleh dokter.

e. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat

(paramedik), padahal menurut hukum yang berhak memberikan

informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.

Kelalaian medik, atau yang biasa dikenal dengan istilah medical

negligence, merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam

menunjukkan kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat oleh dokter,

rumah sakit ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya. Istilah ini

sering disalahartikan dengan malpraktik medik. Selama akibat dari

kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka

tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena

hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not

curat lex, the law does not concern itself with trifles). Kelalaian yang

terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan

oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian

baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada

anggota tubuh seseorang.4

Menurut Black’s Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai

“Negligence is the omission to do something which the reasonable man,

guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated

human affair, would do or the doing of something which a reasonable

and prudent man would not do. Negligence is a failure to use such care

as a reasonably prudent and careful person would use under the similar

circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary

prudence would not have done under the similar circumstances or

25

Page 26: 03.Isi, Daftar Pustaka

failure to do what a person of ordinary prudence would have done under

the similar circumstances.”1

Berdasarkan Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Boston Tahun

1979, kelalaian didefenisikan sebagai “Negligence is the lack of ordinary

care. It is a failure to do what a reasonable careful and prudent person

would done on the occasion in question”.1

Dalam dunia kedokteran, kelalaian medis digolongkan sebagai

professional negligence. Medical Injury Compensation Reform Act

merumuskan “Professional negligence is a negligence act or omission to

act by a healthcare provider in the rendering of professional services,

which is the proximate cause of personal injury or wrongful death,

provided that the service are within the scope of service for which the

provider is licensed and which are not within any restriction imposed by

the licensing agency or licensed hospital”.1,4

Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan

hukum pidana, maka Jonkers mengemukakan empat unsur yaitu: 12

a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum

(wederrechtelijkheid)

b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)

c. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid),

karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat

menghindarinya.

Menurut hukum pidana, kelalaian terbagi menjadi dua yaitu: 10,12

a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan

suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak

perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (pasal 205

KUHP).

b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu

peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat

yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau

26

Page 27: 03.Isi, Daftar Pustaka

kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan (pasal 359,

360, dan 361 KUHP).

Picard (1984) mengemukakan tentang tiga kategori yang dapat

dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat

dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut: 4

a. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang

berlaku untuk tenaga kesehatan

b. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan

c. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia

bagi tenaga kesehatan.

C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman mengemukakan tiga faktor

yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi,

yaitu kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan kurangnya

pengertian.4

Dari semua pendapat diatas, ada dua pakar hukum yang

memberikan kesimpulan sebagai berikut: 4,18

a. Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa

seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat

dibuktikan hal-hal sebagai berikut:

1) Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin.

2) Bertentangan dengan hokum.

3) Bertentangan dengan standar profesi medic.

4) Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam

profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.

5) Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang

hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien,

kesalahan menyolok dan sebagainya.

b. Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan

harus terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut:

1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut

hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya

27

Page 28: 03.Isi, Daftar Pustaka

telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang

melawan hukum.

2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang

berpikir panjang.

3) Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus

bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.

Kecelakaan medik sering dianggap sama dengan kelalaian

medik, karena kedua keadaan tersebut sama-sama dapat

menimbulkan kerugian kepada pasien. Bila ditinjau dari segi hukum,

dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena didalam hukum medik

yang menganut “inspanning verbintenis” (perjanjian upaya) yang

harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi

pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai

akibat tersebut terjadi.4

Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau

meninggal atau cacat, tetapi bila dokter telah melakukan upaya

sungguh-sungguh sesuai dengan standar profesi medik, maka dokter

tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh, seorang pasien datang

dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat tidur.

Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hipertensi berat.

Dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan

ringan pada tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan

pengobatan sesuai prosedur, tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan

terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang menetap dari kaki dan

tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak bisa

dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada

pasien, karena perjalanan penyakitnya memang tidak bisa dicegah

dan diobati oleh dokter yang bersangkutan. Demikian juga dalam

kecelakaan medik yang merupakan kecelakaan murni tanpa

ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa

dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang

28

Page 29: 03.Isi, Daftar Pustaka

akibat tersebut disebabkan oleh kecelakaan medik yang tidak dapat

diduga sebelumnya.4

Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien

merupakan kecelakaan medik dan bukan merupakan kelalaian medik,

Guwandi (2004) memberikan ciri-ciri sebagai berikut: 18

a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan

yang tidak disengaja (accident, misfortune, bad fortune,

mischance, ill luck).

b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam

kecelakaan.

c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar

profesi medik dan etika profesi.

d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat

dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah

(vermijdbaarheid), dan terjadinya tidak dapat diduga

sebelumnya.

e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan

upaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala

ilmunya, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.

f. Dokter telah berusaha meminimalisasi risiko yang mungkin

terjadi dengan melakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan

pendahuluan yang adekuat, dan pemeriksaan penunjang yang

diperlukan.

g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha

melakukan terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau

telah melakukan konsultasi dengan spesialis lainnya yang

berkompeten terhadap kelainan yang diderita pasiennya.

Di Indonesia, hukum kedokteran belum dapat dirumuskan

secara mandiri sampai saat ini, sehingga rumusan yang digunakan

mengacu pada negara lain. Hal ini menyebabkan sering kacaunya

batasan antara kelalaian dan malpraktik, yang sebenarnya berbeda.

29

Page 30: 03.Isi, Daftar Pustaka

Bahasa Inggris lebih kaya dalam peristilahan tentang berbagai

macam kelalaian.4,17-18

Bentuk-bentuk kelalaian di dalam bahasa Inggris di antaranya

sebagai berikut: 18

a. Malfeasance

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan

dengan hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut

(execution of an unlawful or improper act).

b. Misfeasance

Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper

performance of an act).

c. Nonfeasance

Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban

untuk melakukan (the failure to act when there is a duty to act).

d. Malpractice

Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang

suatu profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan,

dan profesi lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya

(negligence or carelessness of professional person, such as

nurse, pharmacist, physician, accountant, etc).

e. Maltreatment

Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang

dilakukan tidak secera benar atau terampil (improper or

unskillful treatement). Hal ini bisa disebabkan karena

ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh (ignorance, neglect, or

willfulness).

f. Criminal negligence

Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap

keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa

tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada

30

Page 31: 03.Isi, Daftar Pustaka

orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is the

willful indifference to an injury which could follow an act).

Secara jelas dikatakan bahwa, malpraktik memiliki

pengertian yang lebih luas daripada kelalaian, karena malpraktik

mencakup pula tindakan yang sengaja (intentional, dolus) dan

melanggar undang-undang yang akibat dari tindakan itu memang

merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih berintikan

ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli dan akibat

yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan

tersebut.4

Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran

tingkat yaitu: 18

a. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) – (Culpa

levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang

biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan, atau justru

melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan

didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut.

b. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) – (Culpa lata), yaitu

apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak

melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak

dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which

wold be proper to prived or the doing of that which would be

improper to do).

31

Page 32: 03.Isi, Daftar Pustaka

BAB III

PENUTUP

c.1 Kesimpulan

Setelah pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

a. Dalam perkembangannya, hubungan dokter dan pasien berubah dari yang

awalnya berupa hubungan vertikal (patrinialistic) menjadi hubungan

horizontal. Baik dokter maupun pasien sama-sama memiliki hak dan

kewajiban. Dalam melaksanakan profesi medik, seorang dokter harus

memenuhi tanggung jawab utama yaitu informed consent dan standar

pelayanan medik. Pelanggaran salah satu atau keduanya dapat berujung

pada tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.

b. Beberapa pengertian mengenai malpraktik medik masih belum terdapat

kesamaan. Akan tetapi, dapat dirumuskan bahwa malpraktik medik adalah

kesalahan dokter dalam melaksanakan standar pelayanan medik terhadap

pasien atau keterbatasan kemampuan atau kelalaian dalam memberikan

pelayanan kepada pasien yang dapat menyebabkan kecacatan secara

langsung kepada pasien.

c. Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum, malpraktik dibedakan

menjadi malpraktik etik dan malpraktik hukum. Malpraktik hukum sendiri

dibagi menjadi malpraktik pidana, baik akibat kesengajaan, kecerobohan,

maupun kealpaan; malpraktik perdata; dan malpraktik administratif.

d. Sesuai Pasal 183 KUHAP, pembuktian kasus malpraktik medik di

Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang negatif, yaitu

berdasarkan peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Kasus

dugaan malpraktik dibawa ke tingkat peradilan umum. Setelah ada

keputusan dari Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) bahwa kasus

tersebut merupakan culpa lata dan bukan pelanggaran etik profesi semata

32

Page 33: 03.Isi, Daftar Pustaka

berdasarkan UU Kesehatan, KODEKI, dan Standar Profesi Kedokteran,

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berwenang membuktikan malpratik ini.

Jika ditemukan unsur kriminal, kasus diserahkan kepada pihak kepolisian

untuk diproses. Kendala yang sering terjadi pada pembuktian kasus

malpraktik medik yaitu kurangnya pengetahuan penegak hukum dalam

bidang medik sehingga memerlukan saksi ahli serta keterbatasan

memperoleh berkas catatan pelayanan medik yang merupakan rahasia

pasien.

e. Kelalaian medik adalah kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat

oleh dokter rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Selama

akibat kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencelakai orang lain,

maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut.

33

Page 34: 03.Isi, Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Achadiat CM. Hukum Kedokteran. Dalam: Dinamika Etika dan Hukum

Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. 2007; h.1-59.

2. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik.

Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas

Diponegoro. 2009. h.14-23.

3. Komalawati V. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. 1989; h.19-20.

4. Flynn M. Medical Malpractice: Negligence Duty of Care. Dalam:

Encyclopedia of Forensic Medicine, Volume 4. Florida: Elsevier Ltd. Nova

South Eastern University. 2005; h.324-5.

5. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam

Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003; h.34-42.

6. Lusiana KI. Skripsi: Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di

Bidang Medis. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2010;

h.10-9.

7. Isfandyarie A. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher. 2006, h.5-17.

8. Poernomo B. Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam

Undang-undang RI, edisi kedua. Yogyakarta: Liberty. 1993; h.41.

9. Harahap Y. Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding Kasasi, dan Peninjauan Kembali, edisi kedua. Jakarta:

Sinar Grafika. 2000. h.279.

10. Maryanti N. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bina Aksara. 1998. h.1-10.

11. Ameln F. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafika Tama Jaya.

1991. h.87.

34

Page 35: 03.Isi, Daftar Pustaka

12. Hariyani S. Sengketa Medik. Jakarta: Diadit Media. 2005; h.64.

13. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka

Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang: Magister

Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 2010; h.1-42.

14. Sutarto S. Hukum Acara Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008;

h.55.

15. Hamzah A. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia. 2001; h.234-59.

16. Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003; h.7.

17. Nugraha CI. 2011. Skripsi: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

Malpraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek

Kedokteran di Indonesia. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara. 2011; h.1-55.

18. Guwandi. Berbagai Macam Kelalaian. Dalam: Dugaan Malpraktek Medik dan

Draft RPP: Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.94-112.

35