12
100 dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan. Penderita keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap Penerimaan Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental Wiwin Hendriani Ratih Handariyati Tirta Malia Sakti Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRACT The aim of this study is to explore the family acceptance to the son/daughter who is mentally retarded, as a step to help the optimalization process of exceptional children and youth’s development. The qualitative method is used here with three families as research subjects. Each family has one mentally retarded child while the others children are normal. Many informa- tions of these families are taken by an interview procedure with five people being as informans. The informans are the person who understand to all condition of subject. They are consist of parents, sibling, step sibling, and relative who lives with the family. The result of this research show that among three cases of family, only one of them which trully accept the mentally retarded child. The acceptance in this research is related to several factors, such as: (1) Inter- action between family member; (2) The presence of information of child condition since prena- tal periode; (3) Level of understanding of mental retardation; (4) The readiness to face child condition which is different from normal one; and (5) Perception about person who is mentally retarded. This result also show that there are several variations of family reaction to the mentally retarded child. Keywords: family acceptance, mental retardation Tidak semua individu dilahirkan dalam keadaan normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan men- tal adalah salah satu bentuk gangguan yang INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 © 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006100

dapat ditemui di berbagai tempat, dengankarakteristik penderitanya yang memilikitingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQdi bawah 75), dan mengalami kesulitandalam beradaptasi maupun melakukanberbagai aktivitas sosial di lingkungan.Penderita keterbelakangan mental memilikifungsi intelektual umum yang secarasignifikan berada di bawah rata-rata, danlebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitanserta memberikan pengaruh terhadap

Penerimaan Keluarga Terhadap Individuyang Mengalami Keterbelakangan Mental

Wiwin HendrianiRatih HandariyatiTirta Malia Sakti

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRACT

The aim of this study is to explore the family acceptance to the son/daughter who is mentallyretarded, as a step to help the optimalization process of exceptional children and youth’sdevelopment. The qualitative method is used here with three families as research subjects. Eachfamily has one mentally retarded child while the others children are normal. Many informa-tions of these families are taken by an interview procedure with five people being as informans.The informans are the person who understand to all condition of subject. They are consist ofparents, sibling, step sibling, and relative who lives with the family. The result of this researchshow that among three cases of family, only one of them which trully accept the mentallyretarded child. The acceptance in this research is related to several factors, such as: (1) Inter-action between family member; (2) The presence of information of child condition since prena-tal periode; (3) Level of understanding of mental retardation; (4) The readiness to face childcondition which is different from normal one; and (5) Perception about person who is mentallyretarded. This result also show that there are several variations of family reaction to thementally retarded child.

Keywords:family acceptance, mental retardation

Tidak semua individu dilahirkan dalamkeadaan normal. Beberapa di antaranyamemiliki keterbatasan baik secara fisikmaupun psikis, yang telah dialami sejak awalmasa perkembangan. Keterbelakangan men-tal adalah salah satu bentuk gangguan yang

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga 121

ini juga tidak menyenangkan bagi anak yanglebih muda karena ia merasa bahwa diaadalah anak tertua. Apa yang secara historissalah akan terlihat benar dalam peran yangdimainkan anak dalam keluarga. Bila orangtua sensitif akan hal ini, mereka dapatmembantu anak mereka untuk mengerti.Anak “normal” yang lebih muda kehilanganteman bermain yang “normal” dan modelperan (role model) dan hal ini bukanlah sesuatuyang mudah dipahami oleh anak. Karenaautisme, sulit bagi anak yang lebih mudauntuk menjalin hubungan yang memuaskandengan kakak laki-laki atau perempuannyayang memiliki gangguan. Misalnya, anak yanglebih muda yang ingin bermain dengansaudaranya mungkin menjadi kesal karenadiabaikan oleh saudaranya, ataupun karenasaudaranya yang tidak bisa bermain, ataupunia menghentikan permainan karena tantrumsaudaranya yang menakutkan (Naseef,2003).

Ketika orang tua mempunyai anakkedua yang “normal”, mereka biasanyamenjadi cemas akan kesehatanperkembangan anaknya tersebut. Ketikasaudara sekandung yang normal terlihatmirip dengan saudara sekandung yangmemiliki kekurangan (disability), makaterdapat rasa malu dan rasa takut bahwaada sesuatu yang salah atau bahkan sesuatutelah dipindahkan ke anak mereka.

Karakteristik Saudara Sekandungdari Anak Autis

Deskripsi karakteristik saudarasekandung dari anak autis seperti yangterdapat dalam Schubert (1996) adalahsebagai berikut :

1. Usia Prasekolah(Sebelum usia 5 tahun)

Anak-anak pada kelompok usia inibelum mampu mengemukakan perasaanmereka mengenai sesuatu, karena itu adakemungkinan mereka akan menunjukkanperasaan mereka melalui tingkah laku.Mereka tidak akan mampu memahamikebutuhan khusus saudara sekandung yangmenyandang autisme, tetapi mereka akanmemperhatikan perbedaan-perbedaantersebut dan berusaha mengajari saudaramereka. Anak-anak pada usia ini memilikikemungkinan untuk menyenangi saudarasekandung mereka karena mereka belumbelajar untuk menjadi judgemental, danperasaan mereka terhadap saudara autismereka akan sama selayaknya dengansaudara sekandung yang normal.

2. Usia Sekolah Dasar(Usia 6-12 tahun)

Anak-anak pada usia ini mulaiberkenalan dengan dunia luar dan mulaisangat menyadari adanya perbedaan antarasatu manusia dengan yang lainnya. Merekamampu memahami definisi dan penjelasanmengenai kebutuhan khusus saudarasekandung mereka dengan catatan semuadefinisi dan penjelasan tersebut disajikandalam istilah yang dapat mereka pahami.Mereka mungkin akan mengkhawatirkanbahwa gangguan autisme tersebut menular.Mereka mungkin akan mulai mencurigai adayang salah dalam diri mereka juga. Merekajuga akan mengalami rasa bersalah karenamenyimpan pikiran dan perasaan negatiftentang saudara sekandung mereka, sekaligus

Tri Kurniati Ambarini

Page 2: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 101

terjadinya gangguan perilaku selama periodeperkembangan (Hallahan & Kauffman,1988). Prevalensi penderita keterbelakanganmental di Indonesia saat ini diperkirakantelah mencapai satu sampai dengan tigapersen dari jumlah penduduk seluruhnya(“Retadrasi mental”, 2004), dan jumlahtersebut dimungkinkan akan terusbertambah dari tahun ke tahun.

Masalah keterbelakangan mental,seperti dikemukakan oleh Budhiman (dalamSembiring, 2002), memang perlumendapatkan perhatian mengingat sejumlahtulisan sejak periode 1981 telahmengemukakan bahwa keterbelakanganatau retardasi mental merupakan masalahyang cukup besar di Indonesia, meskipuntetap diakui tidak ada data yang lengkap danpasti tentang jumlah mereka di negara ini.Ketidaklengkapan data tersebutdimungkinkan karena tidak semua penderitadapat tercatat. Selama ini pencatatan sebatasdilakukan pada penderita yang datangberobat atau memeriksakan diri, sertamereka yang terdaftar di sekolah luar biasa.

Terlepas dari bagaimanapun kondisiyang dialami, pada dasarnya setiap manusiamemiliki hak yang sama untuk memperolehkebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orangberhak untuk tumbuh dan berkembangdalam lingkungan yang kondusif dansuportif, termasuk bagi mereka yangmengalami keterbelakangan mental. Akantetapi realita yang terjadi tidaklah selaludemikian. Di banyak tempat, baik secaralangsung maupun tidak, individuberkebutuhan khusus ini cenderung“disisihkan” dari lingkungannya. Penolakanterhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh

individu lain di sekitar tempat tinggalnya,namun beberapa bahkan tidak diterimadalam keluarganya sendiri. Beragamperlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulaidari penghindaran secara halus, penolakansecara langsung, sampai dengan sikap-sikapdan perlakuan yang cenderung kurangmanusiawi. Padahal apa yang sebenarnyaterjadi dalam diri mereka hanyalah hambatanpada perkembangan intelektualnya (Werner,1987).

Anak dan remaja yang mengalamiretardasi mental tetap memiliki kemampuanlain yang masih dapat dikembangkan dandioptimalkan untuk membantunyaberaktivitas seperti orang normal, danmemberikan peran tertentu di masyarakatmeskipun terbatas. Individu yang mengalamiketerbelakangan mental masih dapatmempelajari berbagai ketrampilan hidupapabila orang-orang di sekitarnyamemberikan kesempatan dan dukunganyang dibutuhkan. Hal ini sejalan denganpernyataan Ismed Yusuf (dalam Sembiring,2002) bahwa masih ada bagian intelektualanak dengan keterbelakangan mental yangdapat dikembangkan dengan suatu tindakanatau penanganan khusus. Penanganan khususyang dimaksud ditujukan untukmengembangkan kemampuan intelektual-nya agar dapat mencapai kemampuanadaptasi yang juga optimal.

Keluarga dalam hal ini adalahlingkungan terdekat dan utama dalamkehidupan mereka. Heward (2003)menyatakan bahwa efektivitas berbagaiprogram penanganan dan peningkatankemampuan hidup anak dan remaja yangmengalami keterbelakangan mental akan

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

120

Saudara sekandung dari anak autismengalami banyak pengaruh positif daripengalaman hidup bersama-sama denganseorang penyandang autis. Mereka memilikipengertian yang mendalam terhadap kondisimanusia. Mereka juga memperlihatkankedewasaan dalam menangani situasi yangberhubungan dengan anak autis seperti bilaayah-ibu lebih memperhatikan anak autisbukan berarti orang tua mereka pilih kasihtetapi karena kondisi anak autis memangmembutuhkan perhatian ekstra. Selain itumereka juga menunjukkan kebanggaan dankeloyalan terhadap segala kemampuan yangdimiliki anak autis ini. Mereka berpikirmenjadi penyandang autisme tidakmenghalangi seorang anak untuk mencapaisuatu prestasi. Mereka juga memilikipenghargaan dan rasa syukur yangmendalam terhadap kesehatan yang merekamiliki (Meyer & Vadasy, 1996).

Pengaruh negatif juga dialami olehsaudara sekandung. Mereka biasanyamerasakan marah dan jengkel karenamemiliki saudara sekandung yang berbedadari anak normal lainnya. Hal ini jugadisebabkan karena mereka tidak mengertimengapa anak autis ini melakukan perilakuyang menakutkan seperti melukai diri sendiriatau menyerang orang lain, atau perilakuyang merugikan seperti menghancurkanmainan mereka, atau mengapa anak autisini tidak mau diajak bermain. Perasaannegatif lain yang mereka rasakan adalah irikarena anak autis ini menjadi pusat perhatian,dimanjakan, dilindungi berlebihan dandiizinkan untuk berprilaku yang apabila olehanggota keluarga lain tidak diperbolehkan(Podeanu-Czehotski, 1975; Bendor, 1990,

dalam Meyer & Vadasy, 1996). Mereka jugamerasa bersalah karena menyangka dirinyamenjadi penyebab kelainan autisme padaadik atau kakak mereka dan bertanyamengapa tidak dirinya saja yang mengalamikelainan autisme (Koch-Hattem, 1986,Meyer & Vadasy, 1996). Coleman (1990,Meyer & Vadasy, 1996) menemukan merekajuga merasakan tekanan untuk berprestasidalam bidang akademik, olahraga atauperilaku. Tetapi walaupun saudarasekandung mendapat pengaruh negatif darihidup bersama dengan anak autis,ditemukan bahwa saudara sekandung darianak autis tidak memiliki lebih banyakmasalah dalam penyesuaian diridibandingkan anak normal (Berkell, 1994,dalam Meyer & Vadasy, 1996).

Ketidakmampuan (disability) dapatmengganggu hal-hal normal dalamkehidupan keluarga dari saudara laki-laki atausaudara perempuan. Contohnya seoranganak berusia 3 tahun memanggil kakaknyayang berusia 6 tahun yang menderita autismedengan sebutan “bayi”. Dalam kasus ini,anak yang lebih muda berfungsi atauberperan pada level yang lebih tinggidaripada kakaknya dan cara dia melihatsesuatu berdasarkan atas kenyataan yang ada.Dia memerlukan pemahaman danperspektifnya perlu diganti.Ketidakmampuan (disability) menggangguurutan yang alami. Walaupun orang tua telahmenjelaskan mengenai ketidakmampuantersebut, anak tetap memanggil kakaknyadengan sebutan bayi. Hal ini akan berhentiketika anak yang lebih mudamengembangkan kapasitas intelektual untukmemahami konsep abstrak yang ada. Hal

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 3: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006102

sangat tergantung pada peran serta dandukungan penuh dari keluarga, sebab padadasarnya keberhasilan program tersebutbukan hanya merupakan tanggung jawabdari lembaga pendidikan yang terkait saja.Di samping itu, dukungan dan penerimaandari setiap anggota keluarga akanmemberikan “energi” dan kepercayaandalam diri anak dan remaja yang terbelakangmental untuk lebih berusaha meningkatkansetiap kemampuan yang dimiliki, sehinggahal ini akan membantunya untuk dapathidup mandiri, lepas dari ketergantunganpada bantuan orang lain. Sebaliknya,penolakan yang diterima dari orang-orangterdekat dalam keluarganya akan membuatmereka semakin rendah diri dan menarikdiri dari lingkungan, selalu diliputi olehketakutan ketika berhadapan dengan oranglain maupun untuk melakukan sesuatu, danpada akhirnya mereka benar-benar menjadiorang yang tidak dapat berfungsi secarasosial serta tergantung pada orang lain,termasuk dalam merawat diri sendiri.

Terdapat dua kemungkinan sikap yangakan dimunculkan oleh anggota keluargaterhadap individu yang terbelakang mental,yaitu menerima atau menolak. Secaranormatif, sebagian besar orang tentunyamenyatakan telah menerima keberadaanmereka, sebab bagaimanapun mereka telahditakdirkan menjadi bagian dari keluarga.Namun pada kenyataannya, respon“penerimaan” masing-masing individutidaklah selalu sama. Respon inilah yangnantinya akan menjelaskan apakah merekatelah benar-benar menerima atausebenarnya melakukan penolakan dengancara-cara dan perlakukan tertentu. Hal ini

juga akan menjelaskan tentang bagaimanapola sebuah keluarga untuk dapatmenyesuaikan diri dengan keberadaanindividu yang berbeda tersebut.

Dengan hasil yang diperoleh, penelitiberharap bahwa nantinya akan memperolehgambaran yang nyata tentang sikap sosialdalam masyarakat terhadap individu yangmengalami keterbelakangan mental. Haltersebut kemudian akan dijadikan dasaruntuk merancang suatu langkah dalammembantu mengoptimalisasikanperkembangan individu yang memilikikebutuhan khusus, terutama denganmenciptakan lingkungan keluarga yangkondusif dan penuh dukungan yangdibutuhkan bagi kelancaran proses belajardan aktivitas sosial mereka.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatifyang menggunakan metode studi kasus.Studi kasus merupakan sebuah metodepenelitian yang timbul dari keinginan untukdapat memahami berbagai fenomena sosialyang bersifat kompleks, dalam kontekskehidupan yang sebenarnya (Yin, 1994).Subjek penelitian terdiri dari 3 keluargadengan anak yang mengalamiketerbelakangan mental, dari taraf ringanhingga berat. Berbagai data tentang ketigakeluarga tersebut diperoleh dari wawancaraterhadap lima orang informan, yaitu merekayang dipandang memahami kondisi danberbagai hal yang ada pada masing-masingkeluarga dengan baik. Kelimanya meliputiorangtua, saudara kandung, saudara angkat,dan kerabat yang tinggal bersama dengan

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

119

sekandung mereka dibandingkan anakperempuan. Anak laki-laki kadang-kadangmenghadapi sendiri krisis yang terjadi dalamkeluarga, sedangkan saudara sekandungperempuan menjadi saling melindungi.

Hubungan saudara sekandung berubahsejalan dengan bertambahnya usia. Ketikadewasa, kecemburuan pada saudara (siblingrivalry) dan pertentangan akan hilang dankedekatan khusus akan muncul di antarasaudara sekandung, dimana saudarasekandung berperan sebagai seseorang yangpaling dipercaya dan sumber dari dukunganemosional. Saudara sekandung juga lebihterbuka antara satu sama lain dalammembicarakan hal-hal yang berkaitandengan hubungan antar teman, masalahsosial, dan mengenai perasaan serta kegiatanseksual dibandingkan kepada teman atauorang tua (Cicirelli, 1976, dalam Minnett,Vandell & Santrock, 1983). Saudarasekandung perempuan kadang menjadilebih lebih dekat sepanjang kehidupan.

Hal yang telah dipelajari di dalamhubungan antar saudara sekandung dapatdibawa ke dalam situasi di luar keluarga,seperti ketika berinteraksi dengan teman danguru (Buhrmeister & Furman, 1987, dalamMinnett, Vandell & Santrock, 1983). Karenasaudara sekandung jarang digunakansebagai sasaran agresifitas dibanding orangtua, hubungan saudara sekandung dapatmenghadirkan keadaan yang penting dalammelatih perilaku agresif dan hubungansaudara sekandung yang berkonflik terkaitdengan perkembangan perilaku antisosialpada anak-anak. Bagaimanapun jugahubungan yang suportif dapat berkaitandengan peningkatan keterampilan sosial

khususnya pada anak-anak yang lebih muda(Buhrmeister & Furman, 1987;Hetherington, 1988; Hetherington &Clingempeel, 1992; Patterson, 1982;Richman, Graham, & Stevenson, 1982,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).

Saudara Sekandungdari Anak Autis

Ikatan antara saudara laki-laki dansaudara perempuan merupakan ikatanterpanjang yang pernah ada dan pengalamantersebut mempengaruhi perkembangansepanjang hidup. Seorang anak denganketidakmampuan akan menggangguharapan dan impian dari orang tua danmempengaruhi kehidupan anak lain didalam keluarga. Hidup berdekatan dengansaudara sekandung penyandang autismedapat menjadi sesuatu yang rewardingmaupun sesuatu yang memicu stress (Berkell,1994, dalam Hapsari, 2001). Dalampenelitiannya Galagher dan Powell (Berkell,1994, dalam Hapsari, 2001)menggambarkan hubungan antara saudarasekandung dengan anak autis sebagai suatukontinuum dengan hasil positif dan negatifpada masing-masing ujungnya. Perasaanyang dialami oleh saudara sekandungterhadap anak autis bukan merupakansesuatu yang statis tetapi berubah-ubah. Disatu waktu ia memiliki hubungan yangpositif dan menyenangkan dengan anakautis. Di lain waktu ia merasakan marah dantidak mengerti akan tingkah laku anak autistersebut. Anak normal dan anak autis yangbersaudara sekandung akan banyakmempengaruhi satu sama lain.

Tri Kurniati Ambarini

Page 4: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 103

individu terbelakang mental dalamkeluarganya tersebut. Adapun pengumpulandata dalam penelitian ini dilakukan denganmetode wawancara, yaitu aktivitaspercakapan atau tanya jawab yang diarahkanuntuk mencapai tujuan tertentu(Poerwandari, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus pertama terdapat pada keluargaH. Ia merupakan penderita keterbelakanganmental ringan berjenis kelamin laki-laki. Iaanak ke-2 dari 5 bersaudara. Sejak H kecilorangtuanya tidak mengetahui bahwa Hmengalami keterbelakangan mental. Tidakada informasi yang diperoleh mengenaikemungkinan kondisi H setelah dilahirkan,baik dari dokter maupun petugas kesehatanyang merawat ibu selama kehamilan hinggasetelah persalinan. Sehingga tentang segalasesuatu yang terkait dengan keterbelakanganmental sendiri, kedua orangtua H tidakmemiliki pengetahuan dan pemahaman yangcukup.

Kurangnya pemahaman ini padaakhirnya menimbulkan ketidaksiapan bagiorangtua dan keluarga untuk menghadapikehadiran H dengan kondisinya yangberbeda. Sehingga begitu H lahir, mengalamibegitu banyak keterlambatan dankekurangmampuan dalam perkembangan-nya, orangtua dan anggota keluarga H yanglain memiliki persepsi bahwa H adalahseorang yang bodoh dan lemah secara sosial.

H dipandang tidak mampu melakukanapa-apa, sehingga tidak memiliki kontribusiapapun terhadap keluarga. H yang tidakdapat bekerja seperti orang normal tidak

dapat mengambil peran untuk ikutmembiayai kebutuhan keluarga sepertisaudara-saudaranya yang lain, sehingga“seolah-olah” ia menjadi tidak berguna.Anggota keluarga H kemudian memandangbahwa keberadaan H akan lebih bergunaapabila dapat “diberdayakan” sepertidengan mengerjakan tugas-tugas rumahtangga. Adanya persepsi tersebut, disadarimaupun tidak, menunjukkan bahwakeluarga H sebenarnya tidak menerimakondisi H yang mengalami keterbelakanganmental, sehingga yang terjadi kemudianadalah munculnya berbagai sikap danperlakuan yang kurang baik terhadap H,yang tentu saja semakin memperbesarhambatan yang dialami dan tidakmendukung agar perkembangannya berjalanke arah yang lebih optimal.

Kasus kedua adalah pada keluarga D.Ia penderita keterbelakangan mentalkategori sedang, berjenis kelaminperempuan, anak ke-2 dari 2 bersaudara.Kedua orangtuanya telah bercerai sebelumia dilahirkan, dan karena tidak tahan denganbeban hidup yang dialami, 2 minggu setelahmelahirkan ibu D pun pergi meninggalkanD yang masih bayi di tempat nenek,sehingga sejak lahir D tinggal dan dirawatoleh neneknya.

Selama D dalam kandungan, baik ibuD maupun nenek tidak memiliki perhatianyang cukup terhadap perkembangankandungannya, sehingga mereka tidakmengetahui informasi tentang kondisi calonanak yang akan dilahirkan serta tentangsegala sesuatu yang terkait denganketerbelakangan mental. Karena hal tersebut,mereka pun tidak siap menghadapi

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

118

belakangan. Sebaliknya, orang tua lebihkonsisten dan santai dalam menerapkandisiplin pada anak yang lahir belakangan, halini mungkin dikarenakan rasa percaya diriyang tumbuh dari pengalaman mengasuhanak.

c. Interaksi Saudara Sekandungdan Birth Order

Birth order berkaitan dengan munculnyavariasi dalam interaksi antara saudarasekandung. Anak tertua biasanya diharapkanmemegang tanggung jawab tertentu danmempunyai self-control terhadap saudarasekandung yang lebih muda yang telahmenggantikan mereka. Ketika anak tertuamerasa iri atau permusuhan, mereka akandimarahi atau dihukum oleh orang tuamereka, sebaliknya anak yang lebih mudacenderung dilindungi dan dibela. Anaktertua lebih dominan, kompeten, dan pintarmengganggu atau sebaliknya mengarahkandan mengajar anak yang lebih muda. Anakyang lebih tua selain menunjukkan perilakuantagonistik, seperti memukul, menendang,dan menggigit, juga memperlihatkanperilaku mengasuh terhadap saudarasekandung yang lebih muda (Abramovitch,Pelper & Corter, 1982; Abramovitch,Pelper, Corter & Stanhope, 1986; Berndt& Bulleit, 1985, dalam Marvin & Stewart,1984). Agresivitas dan dominansi lebihsering terjadi pada hubungan antara saudarasekandung dengan jenis kelamin samadibandingkan pada hubungan antarasaudara sekandung dengan jenis kelaminberbeda (Minnett, Vandell & Santrock,1983).

Anak tertua terfokus pada orang tua

sebagai sumber utama mereka dalam prosesbelajar sosial (social learning) di dalamkeluarga, sedangkan anak yang lebih mudamenggunakan orang tua dan saudarasekandung sebagai model dan guru (Sum-mers, 1987, dalam Minnett, Vandell &Santrock, 1983). Saudara sekandung yanglebih muda, bahkan bayi yang berusia 12bulan, biasanya melihat, mengikuti danmeniru saudara sekandung mereka yanglebih tua (Lamb, 1977; Samuels, 1977,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).Saudara sekandung yang lebih tuamemainkan peranan yang penting dalammemfasilitasi anak yang lebih muda dalammenguasai keterampilan tertentu dalamlingkungan (Lamb, 1977; Pelper, Corter, &Abramovitch, 1982, dalam Minnett, Vandell& Santrock, 1983). Ketika seorang anakmemasuki masa sekolah, peran anak yanglebih tua dalam mengajar menjadi lebih for-mal, 70% anak-anak melaporkan bahwamereka mendapatkan pertolongan darisaudara sekandung dalam mengerjakanpekerjaan rumah mereka, khususnya darikakak perempuan yang tampaknya lebihefektif sebagai instruktur akademikdibandingkan kakak laki-laki (Cicirelli, 1976,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).

Saudara sekandung juga dapatmenjadi sumber dalam mengatasi stressyang dihadapi oleh anak-anak (Conger, 1992;Hetherington, 1988; Hetherington &Clingempeel, 1992; MacKinnon, 1989,dalam Minnett, Vandell & Santrock, 1983).Anak-anak seringkali saling melindungidalam menghadapi stress ketika orangdewasa tidak ada. Anak laki-laki lebih sedikitdalam menerima dukungan dari saudara

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 5: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006104

Gambar 1. Alur Pola Penerimaan Keluarga H

kehadiran anak yang memiliki kondisiberbeda dari anak-anak lain yang normal.

Setelah D lahir, nenek D yang memilikikarakter keras dihadapkan pada kenyataanbahwa anaknya (ibu D) pergi meninggalkanrumah dengan tiba-tiba, sehingga ia harusmerawat D seorang diri. D kemudiantumbuh berbeda dari anak-anak lain padaumumnya. Hingga umur 3 tahun ia masihbelum dapat berbicara maupun berjalan.Melihat hal tersebut dan karena ia jugamendengar masyarakat di sekitarnya banyakberanggapan bahwa anak dengan kelainanadalah aib dalam keluarga, maka lambat launnenek D menganggap keberadaan D yang“tidak normal” hanya merepotkan danmenjadi aib yang memalukan bagikeluarganya. Sikapnya yang tidak menerimakondisi D kemudian ditunjukkan melaluiberbagai perlakuan negatif terhadap D, dan

hal ini pun diikuti oleh kerabat mereka yangtinggal dalam rumah yang sama.

Kasus ketiga terdapat pada keluargaN. N adalah seorang perempuan, anak ke-2 dari 3 bersaudara. Ia mengalamiketerbelakangan mental kategori berat, yangsekaligus menderita down syndrome. Ciri mon-goloid sangat terlihat pada wajahnya. N lahirdan dibesarkan dalam keluarga yang antaranggotanya dapat berkomunikasi denganterbuka, saling peduli satu sama lain danmemiliki hubungan yang harmonis.

Pola penerimaan yang terdapat padakeluarga N telah muncul sejak sebelum Nlahir. Berdasarkan hasil konsultasi yang secararutin dilakukan dengan dokter yangmerawat kehamilan ibu N, kedua orangtuaN telah mendapatkan informasi bahwakondisi calon anak yang ada dalamkandungannya berbeda dari anak-anak lain

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Tidakmengetahuiinformasi

tentang kondisicalon anak

Tidak memilikipengetahuan

tentangKeterbelakangan

Mental

Ketidak-siapan

menghadapikondisi H

Tidakmenerimakondisi H

Sikap &perlakuan

yangnegatif

terhadap H

Persepsi:

H Anak yangbodoh, tidakmampu bekerja

H tidak memilikikontribusiterhadap keluarga

H akan lebihberguna dengan‘diberdayakan’untukmengerjakanpekerjaan rumahtangga

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

117

kemandirian yang tinggi, perilaku antisosial,dan kenakalan, namun rendahnya self-esteemdan prestasi akademik dari anak-anak yangberasal dari keluarga besar (Blake, 1989;Wagner, dkk., 1985, dalam Hurlock, 2000).Pada keluarga dimana orang tua melindungisecara berlebihan anak-anaknya akanmenumbuhkan ketergantungan yangberlebihan, kurangnya rasa percaya diri danfrustasi. Pada keluarga kecil, orang tuamampu mencurahkan waktu dan perhatianyang cukup pada tiap anak (Hurlock, 2000).

b. Interaksi Orang tua-Anakdan Birth Order

Dalam kasus dimana perbedaan terkaitdengan birth order, biasanya mempengaruhivariasi dalam interaksi dengan orang tua dansaudara sekandung terkait denganpengalaman hidup unik yang ditemukanoleh anak sesuai dengan posisi mereka dalamkeluarga.

Anak tertua merupakan anak tunggal,sampai dimana mereka diganggu dengankelahiran anak berikutnya, tidak harusmembagi cinta dan perhatian orang tuamereka dengan saudara sekandung lain.Besarnya gangguan yang dirasakan olehanak pertama tergantung dengan reaksi yangditunjukkan oleh orang tua. Kelahiran bayibaru biasanya menurunkan interaksi antarapasangan suami istri dan antara ibu dengananak tertua (Dunn, 1983; Taylor & Kogan,1973, dalam Marvin & Stewart, 1984).Berkaitan dengan kelahiran saudarasekandung, banyak anak pertama,khususnya anak laki-laki, menunjukkanmasalah emosional dan perilaku (Nadelman& Begun, 1982, dalam Marvin & Stewart,

1984). Masalah ini terkait dengantemperamen dari anak dan keadaanemosional ibu. Pada anak yang ibunyatertekan dan anak dengan temperamen yangsulit, mempunyai kesukaran yang lebih tinggiuntuk menyesuaikan dengan perubahansituasi dalam keluarga (Brody, Stoneman, &Burke, 1987; Stocker, Dunn, &Plomin,1989, dalam Marvin & Stewart, 1984). Halini tampaknya menyebabkan perubahanyang besar dalam interaksi antara ibu dananak. Ibu menjadi lebih negatif, memaksadan kaku serta kurang terlibat dalam interaksibermain dengan anak pertama setelah anakkedua lahir (Dunn & Kendrick, 1980, 1982,dalam Marvin & Stewart, 1984). Jika ibutetap memperhatikan kebutuhan anak tertuadan mendiskusikan perasaannya mengenaianak yang lebih muda dengan anak tertua,sibling rivalry tidak akan muncul (Bryant &Crockenberg, 1980; Howe &Ross, 1990,dalam Marvin & Stewart, 1984).Keterlibatan ayah dengan anak tertua jugadapat mencegah munculnya perasaan iri danperasaan digantikan terhadap saudarasekandung yang lebih muda.

Orang tua lebih terlibat dalam aktivitasyang dilakukan oleh anak pertamadibandingkan anak kedua. Merekamempunyai ekspektasi yang lebih pada anakpertama dan tekanan yang lebih untukmendapatkan keberhasilan dan menjalankantanggung jawab (Baskett, 1985; Cushna,1996; Hilton, 1967; Lasko, 1954; Rothbart,1971, dalam Marvin & Stewart, 1984).Orang tua juga menerapkan disiplin yanglebih ketat pada anak pertama. Hukumanfisik juga lebih sering diterima oleh anakpertama daripada anak yang lahir

Tri Kurniati Ambarini

Page 6: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 105

Sikap danperlakuan

yang ‘negatif’terhadap D

Tidakmenerimakondisi D

yang normal. Dikatakan oleh dokter, padacalon anak tersebut telah terjadi kelainankromosom yang menyebabkannyamengalami down syndrome. Karena kondisi ini,dalam perkembangannya setelah lahir nanti,selain memiliki bentuk fisik yang khas, calonanak tersebut akan mengalamiketerbelakangan mental. Oleh sebab itu,kedua orangtua N pun mulai memperdalampengetahuannya mengenai down syndrome dariberbagai sumber. Mereka kemudianmemahami bahwa meskipun terjadihambatan perkembangan dalam diri calonanak yang akan dilahirkan, namunkemampuan hidupnya masih dapatdioptimalkan untuk meminimalkankekurangan yang dimiliki.

Kedua orangtua N memiliki keyakinanyang kemudian ditularkan pada semua anak-anaknya bahwa bagaimanapun keadaannya,

Gambar 2. Alur Pola Penerimaan Keluarga D

anak adalah titipan Tuhan. Setiap orangtuayang mendapatkannya harus dapat merawatdengan sebaik mungkin. Bagi mereka,memiliki anak yang menderitaketerbelakangan mental bukanlah suatumusibah yang harus disesali atau bahkandisikapi secara negatif. Dengan demikian,mereka telah memiliki penerimaan terhadapkondisi N yang membawa pada kesiapanuntuk menghadapi kehadiran N sejaksebelum ia dilahirkan.

Kesiapan dalam diri ini ditindaklanjutidengan menyiapkan lingkungan yang tolerandan mendukung bagi kehidupan danperkembangan N nantinya, seperti denganmemberikan pemahaman pada anak-anakmereka yang lain serta pada orang-orang disekitar tempat tinggal mereka bahwa apayang terjadi dan akan tampak pada diri Nadalah sesuatu yang wajar dan dapat dialami

Sebelum Kelahiran Setelah Kelahiran

Tidakmengetahuiinformasi

tentang kondisicalon anak

Tidak memilikipengetahuan

tentangKeterbelakangan

Mental

Ketidak-siapan

menghadapikondisi D

PersepsiKeberadaan Dmerepotkandan memalu-

kan bagikeluarga

Karakter nenekyang keras

PandanganMasyarakat:Anak dengan

kelainanadalah aib

dalam keluarga

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

116

sekandung dalam mendorong keberhasilandari terapi yang dijalankan bagi anak autis.Pelaksanaan terapi di rumah turutmemberikan pengaruh bagi saudarasekandung. Pelaksanaan terapi di rumahakan lebih menyita perhatian seluruhkeluarga, khususnya orang tua, untuk anakautis. Saudara sekandung akan lebih sulituntuk mendapatkan perhatian orang tua. Halini dapat mempengaruhi perilaku darisaudara sekandung dan tentu saja perilakudari saudara sekandung dapatmempengaruhi proses pelaksanaan terapi.

Saudara SekandungMenurut definisi dari ensiklopedi

psikologi, hubungan saudara sekandung (sib-ling) adalah hubungan yang non-volunter danterdiri dari saudara laki-laki atau saudaraperempuan (T.I Moon, dalam Corsini,1984). Hubungan saudara sekandungmerupakan hubungan yang bertahan palinglama dan paling berpengaruh dalamkehidupan seseorang (Berkell, 1994, dalamHurlock, 2000). Hubungan saudarasekandung memberikan kesempatan bagi 2orang manusia sebuah kontak fisik danemosional yang terus menerus pada tahap-tahap kritis sepanjang kehidupan mereka.Hubungan yang permanen ini memberikesempatan bagi saudara sekandung untukmemiliki pengaruh yang amat besar antarasatu sama lain melalui interaksi longitudinal(Hapsari, 2001).

Sistem Saudara Sekandung(Sibling System)

a. Ukuran Keluarga (Family Size)

Sejalan dengan semakin besar ukurankeluarga, kesempatan untuk interaksi yangekstensif antara orang tua dan anak semakinmenurun, tetapi kesempatan untuk interaksiyang bervariasi antara saudara sekandungsemakin luas. Perilaku orang tua dalampengasuhan dan lingkungan dimana anakdibesarkan akan berubah sejalan dengansemakin bertambahnya jumlah anak didalam keluarga. Orang tua menjadi semakinmerasa tidak puas dengan hubunganperkawinan mereka dan peran orang tuamereka sejalan dengan semakin besarnyakeluarga (Hapsari, 2001). Dengan jumlahanak yang banyak, khususnya keluargadengan lebih dari 6 orang anak, perankeluarga menjadi lebih jelas, tugas-tugassehari-hari diberikan dan disiplin lebihotoriter dan keras, khususnya dalam halkontrol ibu terhadap anak perempuannya.Keluarga kecil adalah keluarga yang terdiridari 2 atau 3 orang anak (Hurlock, 2000).Biasanya saudara sekandung yang lebih tuadiberikan peran pengawas dan pendisiplinyang diterapkan oleh orang tua dalamkeluarga kecil (Wagner, dkk., 1985, dalamHurlock, 2000). Anak perempuan lebihsenang berperan dalam merawat danmenolong saudara sekandung merekadibandingkan anak laki-laki (Cicirelli, 1982,dalam Minnett, Vandell dan Santrock, 1983).

Orang tua dalam keluarga besarcenderung tidak dapat berinteraksi dengananak-anak mereka sedekat sebagaimanaorang tua dalam keluarga kecil, karenanyaterdapat sedikit kesempatan untuk overpro-tecting, pemanjaan, omelan terus menerus,atau pengawasan yang ketat pada anak. Hasildari hubungan ini terefleksi dalam

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 7: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006106

oleh setiap keluarga. Sehingga karenanya Ntidak boleh diperlakukan dengan tidak baik.

Berdasarkan hasil penelitian ini,keluarga H dan D menunjukkan sikap danperilaku yang sama-sama tidak menerimakondisi anak yang terbelakang mental.Secara rinci kesamaan yang terdapat diantarakeduanya adalah pada:1. Faktor yang mempengaruhi munculnya

sikap tidak menerima:a. Hubungan antar anggota keluarga

yang kurang komunikatifb. Tidak adanya informasi tentang

kondisi anak dan tidak adanyapemahaman tentang keterbelakanganmental

c. Ketidaksiapan menghadapi kondisicalon anak

d. Persepsi yang cenderung negatif

terhadap anak yang terbelakang men-tal

2. Perlakuan terhadap anak yang mengalamiketerbelakangan mental:a. Membedakan perlakuan terhadap

anak yang terbelakang mental dengananak-anak lain yang normal dalamkeluarga. Perlakuan yang dimaksudcenderung bersifat negatif dan tidakmendukung bagi optimalisasiperkembangannya

b. Adanya upaya untuk menutupi ataumenyembunyikan kondisi anak dariorang lain

Dengan kata lain, sikap tidak menerimaterhadap individu yang mengalamiketerbelakangan mental pada keluarga Hdan D memiliki keterkaitan dengan keenamhal di atas.

Gambar 3. Alur Pola Penerimaan Keluarga N

Sebelum Kelahiran

Pengetahuantentang:

- KeterbelakanganMental

- Kemampuan Nmasih dapatdioptimalkanMengetahui

informasitentangkondisi

calon anakPersepsi:

- Anak adalahtitipan Tuhan

- Memiliki anakyang menderitaketerbelakanganmental bukansuatu musibah

Kesiapanmenghadapi

kehadiran Nmenyiapkan

lingkungan yangtoleran danmendukung

Menerimakondisi N

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

115

antara 4-8 jam sehari. Seluruh keluarga harusterlibat untuk memacu komunikasi dengananak sejak anak bangun tidur pagi hinggamau tidur malam (Budhiman, 1998).Dawson dan Osterling (1997, dalamHerbert & Graudiano, 2002)mengidentifikasikan 6 faktor yangmempengaruhi keberhasilan terapi padaanak autis, yaitu: isi kurikulum, lingkunganpengajaran yang sangat mendukung,dampak pada rutinitas, yaitu bagaimanapengaruh terapi yang dilakukan terhadapkegiatan yang dilakukan sehari-hari,pendekatan fungsional pada perilaku yangbermasalah dan keterlibatan orang tuadalam terapi.

Berdasarkan sejumlah faktor yangmempengaruhi keberhasilan terapi tersebut,faktor peran keluarga sangatlahberpengaruh. Pemilihan terapi yangdianggap tepat ditunjang dengan terapisyang terlatih, tidak membuat peran keluargaberkurang dalam mendorong keberhasilanterapi yang dilakukan. Usaha dari orang tuadan keluarga untuk terus menerusmelakukan pendampingan pada anaksangat diperlukan, sehingga mereka terlibatsecara langsung dalam proses terapi anak.Orang tua sangat menentukanperkembangan anak dalam setiap aspek.Pengasuhan sehari-hari sangat memegangperanan penting pada perkembangan anakautis.

Peran keluarga tidak lepas dari peransaudara sekandung dari anak autis. Saudarasekandung tentunya merasakan dampakdengan mempunyai saudara yangmenyandang autis. Adanya anak autis dalamkeluarga dapat mempengaruhi kehidupan

anak lain dalam keluarga tersebut. Sulit bagisaudara sekandung membentuk hubunganyang memuaskan dengan saudara autisnya.Hal ini juga dapat menimbulkan rasa frustasibagi saudara sekandung dalam melakukansesuatu dengan saudara autisnya.

Naseef (2003) mengatakan bahwahubungan antara saudara sekandung ini tidaklepas dari pengaruh urutan kelahiran (birthorder). Birth order mempengaruhi peran yangdijalankan oleh saudara sekandung dari anakautis. Saudara sulung dari anak autismempunyai tanggung jawab lebih untuk ikutdalam pengasuhan saudara autis mereka.Apabila anak autis tersebut merupakan anaksulung, saudara sekandung dengan usia yanglebih muda dari anak autis dapat berperanlebih tua dari umur mereka. Saudarasekandung dengan usia yang lebih mudaakan kehilangan teman bermain yang “nor-mal” dan kehilangan model peran (role model).

Ketika saudara mereka didiagnosismenyandang autis, keluarga akanmemfokuskan perhatian dan waktu padaanak autis tersebut. Hal ini dapatmemunculkan perasaan tidak senang,kesalahpahaman, marah dan frustasi padasaudara sekandung dari anak autis. Saudarasekandung dari anak autis selalu dibayangioleh perhatian yang berlebihan terhadapsaudara autis mereka (Harris, 1994).

Sehubungan dengan sangat besarnyaperan keluarga, termasuk di dalamnya peransaudara sekandung, dalam mendorongkeberhasilan suatu terapi yang dilakukan bagianak autis, maka diperlukan penelitian untukmengungkap dampak yang terjadi padasaudara sekandung dari anak autis dankontribusi yang dapat diberikan saudara

Tri Kurniati Ambarini

Page 8: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 107

Sebaliknya, sikap menerima terhadapkondisi dan kehadiran anak denganketerbelakangan mental yang tampak padakeluarga N memiliki keterkaitan denganfaktor-faktor:1. Hubungan keluarga yang komunikatif2. Adanya informasi tentang kondisi calon

anak dan pemahaman terhadapketerbelakangan mental

3. Kesiapan menghadapi kondisi calon anak4. Persepsi positif terhadap anak yang

terbelakang mentalAdapun perlakuan yang muncul dari

sikap menerima tersebut adalah:1. Kesamaan perlakukan terhadap anak

yang terbelakang mental dengan anak-anak lain yang normal dalam keluarga

2. Tidak adanya upaya untuk menutupi ataumenyembunyikan kondisi anak dari or-ang lain

Di samping keenam faktor di atas,sikap menerima terhadap kondisi dankehadiran anak yang terbelakang mentaldalam keluarga N juga tidak lepas dariadanya dukungan sosial dari keluarga besar.Mereka juga memiliki beberapa variasi laindalam perlakuan terhadap anak, yangseluruhnya bersifat positif bagiperkembangannya.

Keluarga yang kondusif, sepertikeluarga N, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosionalserta sikap saling mendukung satu sama lain,merupakan lingkungan yang dibutuhkandalam meminimalkan hambatanperkembangan yang dialami oleh anak.Keluarga ini dapat memilih perlakuan yangtepat, khususnya dalam mengasuh danmendidik anak sesuai dengan karakteristik

kebutuhannya, sehingga treatmen yangdilakukan dapat berjalan dengan efektif danmencapai hasil yang optimal. Sementara itu,situasi dan kondisi keluarga H dan D yangkurang komunikatif, ditambah denganadanya permasalahan sosial-ekonomi dalamkeluarga yang tidak terselesaikan telahmenjadi faktor negatif yang tanpa disadarisemakin memperburuk hambatanperkembangan yang dialami oleh anak.

Jika penelitian Patterson & Leonard(1994, dalam Heward, 2003) memperolehhasil bahwa keberadaan anak yang memilikihambatan perkembangan akan membuathubungan antar pasangan (orangtua) menjadilebih kuat, dan beban emosional yangditanggung juga akan mempereratkebersamaan diantara anggota keluargayang lain, maka hasil ini memiliki kesesuaiandengan yang terjadi pada keluarga N.

Adapun faktor yang dinilaimempengaruhi kesesuaian tersebut tidak lainadalah kesiapan keluarga untuk menghadapikondisi N sejak sebelum N lahir. Kesiapaninilah yang tidak tampak pada keluarga Hmaupun D. Kesiapan dalam keluarga Nmenumbuhkan persepsi positif yangkemudian mendorong kedua orangtua untukberusaha membangun kebersamaan dalamkeluarganya, terutama dalam menciptakanlingkungan yang aman, toleran danmendukung bagi perkembangan N.Hasilnya, seluruh saudara kandung N punmengikuti sikap dan perilaku yangditunjukkan oleh orangtuanya. Powell &Gallagher (1993, dalam Hunt & Marshall,2005) dalam hal ini telah mengemukakanbahwa respon-respon saudara kandungtersebut akan ditentukan pula oleh sikap dan

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

114

benteng terhadap kekecewaan yangdirasakannya. Ferster (1961, dalam Haaga& Neale, 1995) berpendapat bahwaketiadaan perhatian orang tua, khususnyaibu, terhadap anak akan menghambatpembentukan penguatan pada anak. Orangtua tidak dapat menjadi reinforcer sehinggaia tidak dapat mengontrol perilaku anakyang akhirnya menyebabkan gangguanautistik. Kedua tokoh ini menyatakan bahwaorang tua berperan penting dalam terjadinyagangguan autisme.

Setelah seorang anak didiagnosamenderita autisme, maka penting untukselanjutnya mengetahui terapi yang efektifuntuk menangani anak tersebut. Autismemerupakan gangguan yang tidak bisadisembuhkan (not curable), namun bisaditerapi (treatable) (Budhiman, 1998). Melaluiterapi yang dilakukan, kelainan yang adadalam otak tidak bisa diperbaiki, namungejala-gejala yang ada dapat dikurangisemaksimal mungkin sehingga anak tersebutbisa bersosialisasi dengan anak lain.

Terdapat berbagai terapi yang dapatdigunakan untuk menangani anak autis, yaituterapi sensori-motor, psikoterapi, terapibiologis, terapi perilaku, dan farmakoterapi.Penelitian yang pernah dilakukanmenemukan beberapa terapi yang terbuktiefektif dalam menangani anak autis, yaituterapi perilaku, meliputi analisis aplikasiperilaku, LEAP (Learning Experiences: AnAlternative Program For Preschoolers and Par-ents), TEACCH (Treatment and Education ofAutistic and Related Communication HandicappedChildren), dan farmakoterapi (Herbert &Graudiano, 2002).

Beberapa program penanganan anak

autis yang menggunakan strategi intervensiatas dasar perilaku dan perkembanganmenunjukkan hasil yang menjanjikan dalampenanganan anak autis. Terapi perilaku yangpaling menjanjikan saat ini adalah terapianalisis aplikasi perilaku, dibandingkandengan terapi-terapi perilaku lainnya, sepertiLEAP dan TEACCH. Penelitian yangdilakukan oleh Lovaas (1987, dalam Herbert& Graudiano, 2002) menunjukkan hasil yangdramatis, dimana setelah dilakukan terapikurang lebih 2 tahun, sekitar 47 % anak autisdalam kelompok eksperimen memiliki skorIQ rata-rata dan dapat mengikutipendidikan pada tingkat pertama tanpamemerlukan dukungan khusus. Follow-upyang dilakukan oleh McEachlin, dkk. (1993,dalam Herbert & Graudiano, 2002)terhadap partisipan dari kelompokeksperimen dan kelompok yang diterapidengan kondisi ABA minimal (terapidiberikan 10 jam atau kurang setiap minggu)beberapa tahun kemudian menunjukkanadanya perbedaan skor IQ antara keduakelompok tersebut. Dari 9 orang anak yangmempunyai hasil paling bagus, 8 diantaranyadapat melanjutkan pendidikan pada kelasregular.

Keberhasilan dalam melakukan terapipada anak autis tentu saja dipengaruhi olehbanyak hal. Beberapa hal yangmempengaruhi keberhasilan terapi meliputiberat ringannya gejala, usia, kecerdasan,kemampuan berbicara dan berbahasa, danterapi yang intensif dan terpadu. Beberapaterapi yang harus dijalankan secara terpadumencakup terapi medikamentosa, terapiwicara, terapi okupasi, terapi perilaku danpendidikan khusus. Terapi formal dilakukan

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 9: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006108

Tabel 1. Rangkuman Penerimaan Ketiga KeluargaTerhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental

Karakteristik Keluarga:1. Kedua orangtua tidak

bekerja2. Hubungan Keluarga

yang KurangKomunikatif

Tidak ada informasi tentang kondisi calon anakdan tidak ada pemahaman tentang RM

KarakteristikKeluarga:1. Perpecahan pada

keluarga inti2. Hubungan Keluarga

yang KurangKomunikatif

Persepsi:1. Anak dengan keterbe-

lakangan mental bodohdan tidak mampubekerja

2. Anak dengan keterbe-lakangan mental tidakmemiliki kontribusiterhadap keluarga

3. Anak denganketerbelakanganmental akan lebihberguna dengan‘diberdayakan’ untukmengerjakanpekerjaan rumahtangga

Persepsi:Memiliki anak denganketerbelakanganmental akanmerepotkan danmemalukan bagikeluarga

Tidak menerima kondisi anak

Perlakuan:1. Membedakan perlakuan

dengan anggotakeluarga yang lain(cenderung bersifatnegatif)

2. Menutupi kondisi anakdari orang lain

Karakteristik Keluarga:1. Hubungan Keluarga yang

Komunikatif2. Adanya dukungan dari

keluarga besar

Ada informasi tentangkondisi calon anak dan adapemahaman tentang RM

Kesiapan menghadapikondisi calon anak

Persepsi:1. Anak adalah titipan

Tuhan2. Memiliki anak yang

menderitaketerbelakangan mentalbukan suatu musibah

Menerima kondisi anak

Perlakuan:1. Perlakuan yang sama

dengan anggotakeluarga yang lain

2. Tidak Menutupi atauMenyembunyikan dariOrang Lain

3. Mengembangkan keper-cayaan diri serta men-dorong bersosialisasidan berinteraksi

Ketidaksiapan menghadapi kondisi calon anak

Keluarga ‘H’ Keluarga ‘D’ Keluarga ‘N’

Perlakuan:1. Membedakan per-

lakuan dengananggota keluargayang lain (cenderungbersifat negatif)

2. Menyembuyikan anakdari orang lain

3. Meminimalkantanggung jawab

4. Membatasi interaksidengan anak

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

113

semakin meningkatnya jumlah penyandangautisme.

Sekitar 15-20 tahun yang lalu, autismemasa kanak dianggap sebagai gangguanperkembangan yang sangat jarang terjadi.Hanya ditemukan 2-4 kasus diantara 10.000anak. Makin lama makin banyak anak yangmengalami gangguan perkembangan sepertiini. Saat ini, jumlah penyandang autismemasa kanak terus meningkat. Diperkirakanjumlah penyandang autisme adalah 15-20per 10.000 anak. Peningkatan penyandangautisme ini terdapat di seluruh dunia, malahkesannya di negara-negara maju makinbanyak penyandang autisme. Saat ini di In-donesia pun sudah banyak sekali ditemukankasus autisme. Diperkirakan di Indonesia,dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun, 9200dari mereka mungkin adalah penyandangautisme (Budhiman, 1998).

Menurut American Psychiatric Assosiation(1994, dalam Haaga & Neale, 1995),autisme merupakan gangguanperkembangan dalam rentang kehidupanyang mengganggu perolehan kemampuan-kemampuan penting dalam kehidupanindividu. Tiga hal yang dapatmenggambarkan beberapa gangguan yangterjadi adalah: 1) ketidakmampuan dalammelakukan interaksi sosial; 2)ketidakmampuan dalam komunikasi verbaldan non verbal dan dalam aktifitasberimajinasi; dan 3) ditandai denganterbatasnya minat dan aktifitas dan aktifitasstereotipik. DSM-IV menggolongkanautisme masa kanak sebagai gangguanperkembangan pervasif yang ditandai olehadanya kelainan dan/atau gangguanperkembangan yang muncul sebelum usia

3 tahun dan dengan ciri kelainan fungsidalam 3 bidang, yaitu interaksi sosial,komunikasi, dan perilaku yang terbatas danberulang.

Banyak sekali penelitian yang dilakukanuntuk memastikan apakah sebenarnya faktorpenyebab dari autisme. Penelitian di bidangneuro-anatomi, neurofisiologi, neurokimia,dan genetik pada penyandang autismemenemukan fakta adanya gangguanneurobiologis pada penyandang autisme.Autisme disebabkan oleh gangguan ataukelainan pada perkembangan sel-sel otakselama dalam kandungan. Saatpembentukan sel-sel tersebut, timbulgangguan dari virus, jamur, oksigenasi(perdarahan), keracunan makanan ataupuninhalasi (keracunan pernafasan), yangmenyebabkan pertumbuhan otak tidaksempurna (Haaga & Neale, 1995).

Penelitian lain yang pernah dilakukanjuga menemukan bahwa kelainan genetikmerupakan penyebab dari autisme,termasuk tubersclerosis, phenylketonuria,neurofibromatosis, fragile X syndrome, dansyndroma Rett. Penelitian yang dilakukanoleh Rodier (2000, dalam Herbert &Graudiano, 2002) menemukan bahwavariasi gen HOXA1 pada kromosom 7pada masa kehamilan juga dapatmenyebabkan autisme.

Bettelheim (1967, dalam Haaga &Neale, 1995) menganggap gangguan autistiksebagai persepsi negatif bayi terhadap reaksipenolakan dari orang tuanya. Sang bayimenemukan bahwa segala yangdilakukannnya tidak memiliki pengaruhapapun terhadap lingkungan di sekitarnya,sehingga anak autis membangun suatu

Tri Kurniati Ambarini

Page 10: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 109

harapan yang terlebih dahulu dimunculkanoleh orangtua, kondisi keluarga, religiusitas,tingkat keparahan gangguan, serta pola-polainteraksi yang diberlakukan dalam keluargatersebut.

Berbicara mengenai pola interaksidalam keluarga, kesiapan yang dimiliki olehkeluarga N memang tidak dapat dilepaskandari karakteristik hubungan antar individudi dalamnya yang komunikatif, termasukdengan keluarga besar yang senantiasamemberikan dukungan terhadap persoalanyang mereka hadapi. Seperti yang jugaditegaskan oleh Hunt & Marshall (2005),bahwa karakteristik keluarga akanmempengaruhi reaksi keluarga terhadapkehadiran individu berkebutuhan khusus.Selain itu, keluarga N selalumengembangkan inisiatif untuk mencaritahu tentang kondisi calon anak selamadalam kandungan, sehingga mereka

memiliki informasi yang cukup sertapemahaman tentang keterbelakangan mentalyang dialami oleh anak yang akandilahirkannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Blacher(1984, dalam Heward, 2003) menemukanadanya 3 tahap penyesuaian yang padaumumnya ditunjukkan oleh para orangtuayang menjadi subjek penelitian, yaitu: (1)tahap dimana orangtua mengalami berbagaikrisis emosional, seperti shock,ketidakpercayaan, dan pengingkaranterhadap kondisi yang terjadi pada anaknya;(2) tahap ketika rasa tidak percaya danpengingkaran yang terjadi diikuti olehperasaan-perasaan dan sikap negatif sepertimarah, menyesal, menyalahkan diri sendiri,malu, depresi, rendah diri di hadapan oranglain, menolak kehadiran anak, atau menjadioverprotective; (3) tahap terakhir pada saatorang tua telah mencapai suatu kesadaran

4. Menciptakankesempatan untukbersosialisasi danberinteraksi

5. Mengembangkankemandirian

6. Kesabaran dalambekomunikasi danmemberikan penjelasan

Hal lain:1. Terhadap anak kandung

yang normal:a. Memberikan

pemahamanb. Memberikan contohc. Membangun

kebersamaan2. Terhadap orang lain:

Memberikanpemahaman

Tidak menerima kondisi anak Menerima kondisi anak

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

112

faktor, meliputi faktor-faktor yang dapatmendukung perkembangan maupunfaktor-faktor yang dapat menghambatproses perkembangan. Salah satu faktoryang dapat menghambat perkembanganpada masa kanak adalah adanya gangguan-gangguan perkembangan yang terjadi padaanak.

Gangguan-gangguan perkembanganyang dapat terjadi pada masa kanak meliputiAttention-Deficit/Hyperactivity Disorder(ADHD), gangguan belajar (Learning Dis-abilities), retardasi mental, dan autisme.Gangguan perkembangan yang menjadisorotan dalam beberapa tahun belakanganini adalah autisme. Hal ini sejalan dengan

Saudara Sekandung dari Anak Autis danPeran Mereka dalam Terapi

Tri Kurniati AmbariniFakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRACT

The siblings of autism were child with special situation, because of having siblings with autism.This situation gave some impact for the siblings of autism and their life. Concerning thesiblings of autism can minimalize the negative impact causing by their autism siblings andmaximalize their role in supporting the successful of the therapy for their autism siblings.This research used expalatories case studies as qualitative methods. Analysis of data usedpattern matching and explanation building. Inference from this research is how siblings feldabout their autism siblings not static but dyanamic, behavior that shown by sibling to theirautism siblings are influenced by siblings character and having autism sibling give more effect toyounger siblings. When the siblings take an active part in the therapy, their roles will supportthe successful of the therapy for their autism siblings

Keywords:Siblings of autism, roles, therapy

Masa kanak merupakan masa yangterpanjang dalam rentang kehidupan, saatdimana individu tidak berdaya dantergantung pada orang lain. Perkembanganpada anak yang terjadi pada masa ini terjadidengan kemajuan yang pesat.Perkembangan yang terjadi meliputiperkembangan fisik, psikomotorik,kepribadian, moral dan perkembangansosial. Proses perkembangan yang terjadipada masa kanak dipengaruhi oleh banyak

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Page 11: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006110

terhadap situasi yang dihadapi, serta bersediauntuk menerima kondisi anak yangberbeda.

Terkait dengan hal tersebut, dari ketigakeluarga yang menjadi subjek dalampenelitian ini, hanya keluarga N yang telahmampu mencapai tahap terakhir dalamproses penyesuaiannya, dimana baik keduaorangtua maupun saudara-sadara kandungN telah mencapai kesadaran akan situasiyang dihadapi dan bersedia untuk menerimakehadiran N dengan kondisinya yangberbeda. Sementara itu, proses penyesuaiandalam keluarga H dan D masih terhentipada tahap kedua, mengingat data-datayang telah dipaparkan lebih mengarah padapengingkaran terhadap kondisi anak yangterbelakang mental. Tidak adanyapenerimaan pada kedua keluarga ini padaakhirnya memunculkan sikap dan perlakuanyang negatif, seperti dengan menutupi ataumenyembunyikan anak dari orang lain,membebani anak dengan banyak pekerjaanrumah tangga, meminimalkan keterlibatananak dalam berbagai aktivitas keluargakarena dipandang akan merepotkan, tidakmemberikan perhatian dan perawatan yangsemestinya, melampiaskan kemarahan/penolakan dengan memberikan hukumanfisik, dan sebagainya.

SIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkandari hasil penelitian ini, yaitu:1. Dari kasus yang terdapat pada keluarga

yang menjadi subjek penelitian, 2keluarga (H dan D) menunjukkan sikapdan perilaku yang tidak menerima

kondisi individu yang mengalamiketerbelakangan mental, dan 1 keluarga(N) menunjukkan sikap dan perilakuyang menerima kondisi keterbelakanganmental.

2. Penerimaan terhadap individu yangmengalami keterbelakangan mentalmemiliki keterkaitan dengan beberapafaktor, yaitu: (1) Hubungan/interaksiantar anggota keluarga; (2) Ada tidaknyainformasi tentang kondisi calon anak;(3) Ada tidaknya pemahaman tentangketerbelakangan mental; (4) Adatidaknya kesiapan menghadapi kondisicalon anak; dan (5) Persepsi terhadapindividu yang mengalamiketerbelakangan mental.

3. Bentuk perlakuan terhadap individuyang mengalami keterbelakangan mentalbervariasi pada masing-masing keluarga.Keluarga H berusaha membedakanperlakuan terhadap anak yangterbelakang mental, yaitu denganperlakuan yang cenderung bersifatnegatif, serta menutupi kondisi anak dariorang lain. Pembedaan perlakuantersebut juga tampak pada keluarga D,di samping beberapa tindakan yang lain,yakni: (1) menyembunyikan anak dariorang lain; (2) meminimalkan tanggungjawab dalam pengasuhan danperawatan anak; dan (3) membatasiinteraksi dengan anak yang terbelakangmental tersebut. Sementara itu bentuk-bentuk perlakuan pada keluarga Nterdiri dari: (1) perlakuan yang sama(positif) dengan anggota keluarga yanglain; (2) tidak menutupi ataumenyembunyikan anak dari orang lain;

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

111

(3) mengembangkan kepercayaan diriserta mendorong anak untukbersosialisasi dan berinteraksi; (4)menciptakan kesempatan untukbersosialisasi dan berinteraksi; (5)mengembangkan kemandirian; dan (6)menunjukkan kesabaran dalamberkomunikasi serta memberikanpenjelasan kepada anak yangterbelakang mental.

Sebagai tindak lanjut dari hasilpenelitian yang telah diperoleh, maka penelitimenyarankan agar upaya mengoptimalkanperkembangan individu yang mengalamiketerbelakangan mental dilakukan dengan:1. Lebih memperhatikan bahwa di

kalangan masyarakat masih terdapatkeluarga-keluarga yang tidak menerimakeberadaan mereka. Oleh karena itu,peneliti juga memandang perlunyaresearch action untuk mengubah persepsidan sikap keluarga-keluarga yang masihbelum mampu menerima keberadaananggotanya yang mengalamiketerbelakangan mental tersebutsehingga optimalisasi perkembangandapat diupayakan dengan lebih efektif.

2. Menciptakan hubungan yang harmonis,komunikatif dan saling mendukungdalam keluarga.

3. Memperbanyak informasi tentangkondisi calon anak, sehingga dengansedini mungkin keluarga dapatmengetahui kemungkinan hambatanperkembangan pada anak dankarenanya menjadi lebih siapmenghadapi kehadiran anak-anakdengan kondisi yang berbeda tersebut.

4. Menghindarkan keluarga dari berbagai

persepsi negatif tentang keterbelakanganmental.

DAFTAR PUSTAKA

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (1988).Exceptional Children. New Jersey:Prentice Hall, Inc.

Heward, W.L. (2003). Exceptional Children,An Introduction to Special Education. NewJersey: Merrill, Prentice Hall.

Hunt, N. & Marshall, K. (2005). ExceptionalChildren & Youth. Boston: HoughtonMifflin Company.

Poerwandari, E.K. (1998). PendekatanKualiatif dalam Penelitian Psikologi.Jakarta: Lembaga PengembanganSarana Pengukuran dan PendidikanPsikologi, Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.

“Retardasi Mental”. (2004). www.republika.co.id. Selasa, 6 April 2004.Diakses: September 2005.

Sembiring, S.A. (2002). Penataan LingkunganSosial bagi Penderita Dimensia (Pikun) danRTA (Retardasi Mental). Medan: USUDigital Library.

Werner, D. (1987). Disabled VillageChildren, A Guide for CommunityHealth Workers, RehabilitationWorkers, & Families. http://www.dinf.ne.jp/doc/english/global/david/dwe002/dwe00234.htm).Diakses: Oktober 2005.

Yin, R.K. (1994). Case Study Research: Desain& Methods. Thous& Oaks: SagePublications.

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti

Page 12: 03 - Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental-1

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006110

terhadap situasi yang dihadapi, serta bersediauntuk menerima kondisi anak yangberbeda.

Terkait dengan hal tersebut, dari ketigakeluarga yang menjadi subjek dalampenelitian ini, hanya keluarga N yang telahmampu mencapai tahap terakhir dalamproses penyesuaiannya, dimana baik keduaorangtua maupun saudara-sadara kandungN telah mencapai kesadaran akan situasiyang dihadapi dan bersedia untuk menerimakehadiran N dengan kondisinya yangberbeda. Sementara itu, proses penyesuaiandalam keluarga H dan D masih terhentipada tahap kedua, mengingat data-datayang telah dipaparkan lebih mengarah padapengingkaran terhadap kondisi anak yangterbelakang mental. Tidak adanyapenerimaan pada kedua keluarga ini padaakhirnya memunculkan sikap dan perlakuanyang negatif, seperti dengan menutupi ataumenyembunyikan anak dari orang lain,membebani anak dengan banyak pekerjaanrumah tangga, meminimalkan keterlibatananak dalam berbagai aktivitas keluargakarena dipandang akan merepotkan, tidakmemberikan perhatian dan perawatan yangsemestinya, melampiaskan kemarahan/penolakan dengan memberikan hukumanfisik, dan sebagainya.

SIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkandari hasil penelitian ini, yaitu:1. Dari kasus yang terdapat pada keluarga

yang menjadi subjek penelitian, 2keluarga (H dan D) menunjukkan sikapdan perilaku yang tidak menerima

kondisi individu yang mengalamiketerbelakangan mental, dan 1 keluarga(N) menunjukkan sikap dan perilakuyang menerima kondisi keterbelakanganmental.

2. Penerimaan terhadap individu yangmengalami keterbelakangan mentalmemiliki keterkaitan dengan beberapafaktor, yaitu: (1) Hubungan/interaksiantar anggota keluarga; (2) Ada tidaknyainformasi tentang kondisi calon anak;(3) Ada tidaknya pemahaman tentangketerbelakangan mental; (4) Adatidaknya kesiapan menghadapi kondisicalon anak; dan (5) Persepsi terhadapindividu yang mengalamiketerbelakangan mental.

3. Bentuk perlakuan terhadap individuyang mengalami keterbelakangan mentalbervariasi pada masing-masing keluarga.Keluarga H berusaha membedakanperlakuan terhadap anak yangterbelakang mental, yaitu denganperlakuan yang cenderung bersifatnegatif, serta menutupi kondisi anak dariorang lain. Pembedaan perlakuantersebut juga tampak pada keluarga D,di samping beberapa tindakan yang lain,yakni: (1) menyembunyikan anak dariorang lain; (2) meminimalkan tanggungjawab dalam pengasuhan danperawatan anak; dan (3) membatasiinteraksi dengan anak yang terbelakangmental tersebut. Sementara itu bentuk-bentuk perlakuan pada keluarga Nterdiri dari: (1) perlakuan yang sama(positif) dengan anggota keluarga yanglain; (2) tidak menutupi ataumenyembunyikan anak dari orang lain;

Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental

111

(3) mengembangkan kepercayaan diriserta mendorong anak untukbersosialisasi dan berinteraksi; (4)menciptakan kesempatan untukbersosialisasi dan berinteraksi; (5)mengembangkan kemandirian; dan (6)menunjukkan kesabaran dalamberkomunikasi serta memberikanpenjelasan kepada anak yangterbelakang mental.

Sebagai tindak lanjut dari hasilpenelitian yang telah diperoleh, maka penelitimenyarankan agar upaya mengoptimalkanperkembangan individu yang mengalamiketerbelakangan mental dilakukan dengan:1. Lebih memperhatikan bahwa di

kalangan masyarakat masih terdapatkeluarga-keluarga yang tidak menerimakeberadaan mereka. Oleh karena itu,peneliti juga memandang perlunyaresearch action untuk mengubah persepsidan sikap keluarga-keluarga yang masihbelum mampu menerima keberadaananggotanya yang mengalamiketerbelakangan mental tersebutsehingga optimalisasi perkembangandapat diupayakan dengan lebih efektif.

2. Menciptakan hubungan yang harmonis,komunikatif dan saling mendukungdalam keluarga.

3. Memperbanyak informasi tentangkondisi calon anak, sehingga dengansedini mungkin keluarga dapatmengetahui kemungkinan hambatanperkembangan pada anak dankarenanya menjadi lebih siapmenghadapi kehadiran anak-anakdengan kondisi yang berbeda tersebut.

4. Menghindarkan keluarga dari berbagai

persepsi negatif tentang keterbelakanganmental.

DAFTAR PUSTAKA

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (1988).Exceptional Children. New Jersey:Prentice Hall, Inc.

Heward, W.L. (2003). Exceptional Children,An Introduction to Special Education. NewJersey: Merrill, Prentice Hall.

Hunt, N. & Marshall, K. (2005). ExceptionalChildren & Youth. Boston: HoughtonMifflin Company.

Poerwandari, E.K. (1998). PendekatanKualiatif dalam Penelitian Psikologi.Jakarta: Lembaga PengembanganSarana Pengukuran dan PendidikanPsikologi, Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.

“Retardasi Mental”. (2004). www.republika.co.id. Selasa, 6 April 2004.Diakses: September 2005.

Sembiring, S.A. (2002). Penataan LingkunganSosial bagi Penderita Dimensia (Pikun) danRTA (Retardasi Mental). Medan: USUDigital Library.

Werner, D. (1987). Disabled VillageChildren, A Guide for CommunityHealth Workers, RehabilitationWorkers, & Families. http://www.dinf.ne.jp/doc/english/global/david/dwe002/dwe00234.htm).Diakses: Oktober 2005.

Yin, R.K. (1994). Case Study Research: Desain& Methods. Thous& Oaks: SagePublications.

Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati, & Tirta Malia Sakti