Upload
lamdung
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab 2 ini berisi tentang variabel yang berkaitan dengan penelitian, penjelasan
dari tema yang diangkat, penjelasan secara umum dari permasalahan yang terjadi
pada proyek, teori yang menjelaskan bagaimana penyelesaian terhadap masalah
tersebut, yang kemudian dari semua hal tersebut didapatkan hipotesis.
2.1 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini berkaitan dengan keadaan eksisting
kawasan Kampung Pulo, peremajaan kawasan Kampung Pulo, jumlah
penduduk Kampung Pulo per-Ha, perilaku keseharian warga Kampung Pulo.
2.2 Definisi
2.2.1 Sustainable Neighbourhood (Lingkungan yang berkelanjutan)
Untuk mencapai lingkungan yang berkelanjutan di perkotaan antara
lain harus memenuhi 3 pilar yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Salim, Emil (2010).
Pembangunan berkelanjutan menurut Brundtland Report dari PBB,
1987 yang dikutip dari website wikipedia adalah proses pembangunan (lahan,
kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".
15
16
2.2.2 Redevelopment (Peremajaan)
Menurut Danisworo dalam Sihono (2003), redevelopment adalah
upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu melakukan
pembongkaran sarana dan prasarana pada sebagian atau seluruh kawasan
tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya.
Biasanya, dalam kegiatan ini terjadi perubahan secara struktural terhadap
peruntukan lahan, profil sosial ekonomi, serta ketentuan-ketentuan
pembangunan lainnya yang mengatur intensitas pembangunan baru.
Peremajaan berdasarkan Panduan Pelaksanaan Peremajaan
Pemukiman Perkotaan yang disusun oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya
(2007) yaitu sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas melalui
kegiatan perombakan dengan perubahan yang mendasar dan penataan yang
menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni tersebut.
2.2.3 Pemukiman Kumuh
Berdasarkan Dinas Tata Kota DKI tahun 1997 dalam Gusmaini (2012)
dikatakan bahwa pemukiman kumuh merupakan pemukiman berpenghuni
padat, kondisi sosial ekonomi umumnya rendah, jumlah rumah sangat padat,
ukurannya dibawah standard, prasarana lingkungan hampir tidak ada, tidak
memilki persyaratan teknis dan kesehatan, umumnya dibangun diatas tanah
negara atau milik orang lain, tumbuh tidak terencana dan biasanya berada di
pusat-pusat kota.
Kriteria lingkungan pemukiman berdasarkan Direktorat Jenderal
Perumahan dan Permukiman (2001):
17
1. Lokasinya bisa berada atau tidak berada pada peruntukan
perumahan dalam RUTR/RDTR Kota atau Kabupaten. Dalam hal
tidak pada peruntukan perumahan, perlu dilakukan review terhadap
rencana tata ruang atau rencana turunannya.
2. Kondisi lingkungan permukimannya sangat kumuh (langka
prasarana/sarana dasar, sering kali tidak terdapat jaringan jalan lokal
ataupun saluran pembuangan atau pematusan)
3. Kepadatan nyata diatas 500 jiwa/ha untuk kota besar dan
sedang, dan diatas 750 jiwa/ha untuk kota metro.
4. Lebih dari 60% rumah tidak/kurang layak huni, dengan angka
penyakit akibat buruknya lingkungan permukiman cukup tinggi
(ISPA, diarhee, penyakit kulit dll)
5. Intensitas permasalahan sosial kemasyarakatan cukup tinggi
(urban crime, keresahan serta kesenjangan yang tajam, dll).
2.3 Kaitan Redevelopment dengan Permukiman Kumuh
Peremajaan permukiman kumuh adalah kegiatan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan harkat masyarakat berpenghasilan
rendah, yang dilakukan melalui penataan dan perbaikan kualitas yang
lebih menyeluruh terhadap kawasan hunian yang sangat kumuh.
Ada beberapa ketentuan untuk mewujudkan suatu permukiman
yang baik menurut Sinulingga dalam Nova, Elly L. (2010), yaitu:
a. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh
kegiatan lain, seperti pabrik, yang pada umumnya dapat memberikan
dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.
18
b. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan, seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan perdagangan yang dapat dicapai dengan membuat
jalan dan sarana transportasi di permukiman tersebut. Akses ini juga harus
mencapai perumahan secara individual melalui jalan lokal.
c. Mempunyai fasilitas drainase yang dapat mengalirkan air hujan
dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan
yang lebat sekalipun. Hal ini hanya mungkin jika sistem drainasedi
permukiman tersebut dapat dihubungkan dengan saluran pengumpul atau
saluran utama dari sistem perkotaan.
d. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa saluran distribusi
yang siap disalurkan ke masing-masing rumah. Ada juga lingkungan yang
belum mempunyai jaringan distribusi sehingga apabila ingin membangun
perumahan harus mengadakan pembangungan jaringan distribusi dulu atau
mengadakan pengolahan air sendiri.
e. Dilengkapi dengan fasilitas pembuangan air kotor/ tinja yang dapat
dibuat dengan sistem individual seperti tangki septik dan lapangan rembesan
ataupun tangki septik komunal.
f. Pemukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara
teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
g. Dilengkapi fasilitas umum, seperti taman bermain bagi anak-anak,
lapangan atau taman, tempat ibadah, pendidikan, dan kesehatan yang
disesuaikan dengan skala besarnya permukiman.
h. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.
19
2.4 Teori yang Berkaitan
Geoffrey Broadbent dalam buku “Design in Architecture” (1973),
mengemukakan suatu pemahaman, bahwa: untuk perwujudan arsitektur,
terdapat 3 (tiga) aspek atau sistim yang perlu ditinjau, yaitu: lingkungan,
bangunan dan manusia. Aspek manusia meliputi aspek perilaku manusia di
dalamnya dan mempengaruhi tatanan susunan ruang sehingga membentuk
program ruang. Pada aspek bangunan meliputi pengembangan tapak, bentuk
bangunan, system struktur, dan material. Pada aspek lingkungan meliputi
blok plan dan system kontrol lingkungan beserta faktor lingkungan apa saja
yang mempengaruhi desain bangunan. Teori Geoffrey Broadbent ini nantinya
dapat digunakan dalam proses analisis.
The New Urbanism menurut Peter Kartz dalam Marwati Gundhi
(2008), bertujuan untuk menciptakan konsep perencanaan lingkungan yang
mempunyai visi ke masa depan dengan mengkombinasikan keadaan masa
lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Memiliki kecenderungan
memelihara dan melestarikan lingkungan yang berkelanjutan. Komponen
pembentuk lingkungan berupa taman, lapangan terbuka difungsikan sebagai
pusat lingkungan. Komponen pertokoan, sebagai pembatas
lingkungan/kawasan, atau batas-batas lingkungan/kawasan berupa unsur-
unsur alami,yaitu sungai atau jalan. Teori ini digunakan untuk mengarahkan
peneliti menuju konsep perancangan.
Figure Ground Theory, Figure/ground adalah alat yang sangat baik
untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang
perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan
20
massa/ruang perkotaan. (Zahnd, 1999:79). Teori ini membantu peneliti dalam
proses analisa lingkungan.
2.5 Cara Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Menurut Cheema dalam Nova, Elly L. (2010) pembangunan kota, pemerintah
di negara berkembang memiliki 3 tipe kebijaksanaan untuk mengatasi
masalah kemiskinan kota, yaitu: (1) Menggusur perkampungan kumuh dan
rumah-rumah liar yang ada; (2) Mengurangi jumlah daerah perkampungan
miskin dengan memindahkan mereka dan menempatkan kembali di daerah
baru di luar kota; (3) Melegalisasi perkampungan kumuh dengan renovasi
struktur yang ada dan memberikan bantuan dalam perbaikan lingkungan
perumahan mereka.
Menurut Komarudin dalam Nova, Elly L. (2010), ada lima alternatif
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah permukiman kumuh dengan
peremajaan lingkungan kumuh, antara lain :
1. Program perbaikan kampung.
Program perbaikan kampung seperti yang sudah pernah dilakukan yang lebih
dikenal dengan proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin), proyek ini saat
awal berhasil namun memerlukan dana yang cukup besar dan untuk saat ini
semakin padatnya pemukiman maka pelaksanaan proyek MHT dinilai tidak
efisien.
2. Relokasi dan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan
membangun rumah susun sederhana yang disewakan kepada penghuni lama.
3. Penataan daerah kumuh dengan memasukkan Perumnas yaitu penghuni
lama menyewa dengan biaya murah sebesar operating cost saja.
21
4. Pembangunan rumah susun sederhana yaitu penghuni lama diberi ganti
rugi yang cukup untuk membayar uang muka KPR.
5. Pembebasan tanah dan melibatkan peran serta swasta yaitu pembangunan
lingkungan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman, pertokoan,
perkantoran dan perdagangan.
Sebagai contoh untuk Best Practice yang disadur dari Book of CODI
update dengan tema Community Upgrading Projects yang dipublikasikan
oleh Community Organizations Development Institute, Thailand Edisi Maret
2008 Nomor 5 halaman 10 dalam dalam Nova, Elly L. (2010). Di pemerintah
negara berkembang seperti di Thailand tersebut yang telah mencanangkan
Slum Upgrading dengan berbagai alternatif yang telah dilaksanakan di negara
tersebut.
Beberapa alternatif penanganan permukiman kumuh yang telah
dilaksanakan di Negara Thailand tersebut, yaitu:
1. On-site Upgrading, yaitu penataan kembali atau peremajaan
permukiman kumuh tanpa memindah lokasikan tempat tinggal yang terdapat
di permukiman tersebut, seperti pembangunan dan perbaikan tempat tinggal,
lingkungan permukiman, jalan lingkungan dan ruang terbukanya. Dan proses
ini melibatkan masyarakatnya secara langsung.
2. On-site Reblocking, yaitu penataan kembali atau peremajaan
permukiman kumuh dengan mengubah pola permukiman dari tidak teratur
menjadi teratur dengan block-block perumahan.
Upaya ini untuk menata perumahan yang tidak teratur dan membangun jalan
utama, jalan lingkungan, saluran drainase, jaringan listrik dan jaringan air
bersih. Namun dalam menata permukiman ini ada beberapa hunian yang
22
harus dipugar dan dibangun kembali untuk membentuk suatu blok perumahan
di lokasi yang sama.
3. On-site Reconstruction, yaitu mengubah total permukiman yang tidak
teratur dengan membongkar dan membangun kembali permukiman yang
sama di lokasi yang sama. Tahapan pertama adalah persetujuan masyarakat
dipermukiman kumuh tersebut untuk dilakukan pemugaran dan pembangunan
kembali serta dana yang dialokasikan untuk pemugaran dan pembangunan
tersebut sudah harus ada. Untuk kemudian dibangun permukiman yang tertata
berikut sarana dan prasarana permukimannya.
Peremajaan permukiman kumuh ini telah dilaksanakan di permukiman
di Bonkai, Bangkok, yang merupakan permukiman kumuh terbesar di kota ini
dengan memugar keseluruhan permukiman dan dibangun kembali
permukiman tersebut di lokasi yang sama berupa rumah-rumah susun.
4. Land sharing, yaitu mengubah total dalam lingkup kawasan permukiman
yang tidak teratur dengan memugar seluruhnya dan membangun kembali
dengan membagi fungsi kawasan tersebut menjadi kawasan permukiman
yang tertata dan kawasan komersial di lokasi yang sama. Hal ini ditinjau dari
aktivitas di permukiman tersebut berupa rumah-rumah tinggal, pertokoan
ataupun perkantoran.
5. Nearby or not-so-nearby Relocation, yaitu merelokasi sebuah kawasan
permukiman kumuh ke lokasi yang baru, baik lokasi itu dekat atau jauh dari
lokasi yang lama. Ini disebabkan karena tidak sesuai dengan tata guna lahan,
dan terkait dengan kepemilikan lahan.
23
2.6 Ketentuan tatacara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia terdapat asumsi dan
kebutuhan informasi yang dicantumkan dalam SNI 03-1733-2004, sebagai
berikut:
Data dasar lingkungan perumahan
1 RT : terdiri dari 150-250 jiwa penduduk
1 RW : 2.500 jiwa penduduk terdiri dari 8-10 RT 1 kelurahan : 30.000
jiwa penduduk terdiri dari 10-12 RW
1 kecamatan : 120.000 jiwa penduduk terdiri dari 4-6 kelurahan
1 kota : terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan
Persyaratan dan kriteria
Hunian bertingkat (rumah susun), dapat dikembangkan pada kawasan
lingkungan perumahan yang direncanakan untuk kepadatan penduduk > 200
jiwa/Ha, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah atau dokumen lainnya,
yaitu kawasan-kawasan:
a. Pusat kegiatan kota
b. Kawasan-kawasan dengan kondisi kepadatan penduduk sudah mendekati
atau melebihi 200 jiwa/Ha
c. Kawasan-kawasan khusus yang karena kondisinya memerlukan rumah
susun, seperti kawasan-kawasan industri, pendidikan dan campuran.
Kebutuhan ruang dan lahan
Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit RW (2.500 jiwa penduduk),
berdasarkan SNI 03-1733-2004.
24
Kebutuhan sarana pendidikan dan pembelajaran diambil dari SNI 03-1733-1989
dalam SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di
Perkotaan, berdasarkan pada:
No. Jenis Sarana
Jumlah Pendud
uk Penduk
ung(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana
Standa-rd
(m²/jiwa)
KriteriaKeteranganLuas
Lantai Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapai
an
Lokasi dan
penyelesaian
1. TK 1.250216
termasuk rumah
penjaga 36 m²
500 0,28 Di tengah
kelompok warga. Tidak menyebrang
jalan raya. Bergabung dengan
taman sehingga terjadi
pengelompokkan kegiatan.
2 rombongan prabelajar @60
murid dapat bersatu dengan
sarana lain2. SD 1.600 633 2.000 1,25
3. SMP 4.800 2.282 9.000 1,88 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Disatukan dengan lapangan olahraga. Tidak
harus selalu dipusat lingkungan.
Kebutuhan harus berdasarkan perhitungan
dengan rumus 2, 3, dan 4. Dapat
digabung dengan sarana
pendidikan lain, misal SD, SMP, SMA dalam sau
komplek
4. SMA 4.800 3.835 12.500 2,6
5. Taman bacaan
2.500 72 150 0,09 Di tengah kelompok warga tidak menyebrang jalan lingkungan.
Sarana Luas lahan min. (m²)
Balai pertemuan warga 300Pos hansip 12
Gardu listrik 30Telepon umum, kotak pos surat, bak
sampah kecil30
Parkir umum (standar satuan parkir= 25 m²)
100
Tabel 2.1 Sarana yang dibutuhkan untuk 1 RW
Tabel 2.2 Kebutuhan sarana pendidikan dan pembelajaran
Sumber: SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
Sumber: SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
2.7 Sistematika Pembahasan
TujuanPeremajaan permukiman Kampung Pulo dengan membangun rumah susun.
Pendahuluan-Permasalahan umum permukiman perkotaan di Jakarta-Penjelasan pemilihan lokasi-Permasalahan di lokasi
Landasan Teori-Definisi yang berkaitan dengan topik-Definisi permukiman kumuh-Kriteria permukiman kumuh-Teori-teori yang berkaitan
Metode Penelitian-Cara pengumpulan data-Proses pengolahan data
Hasil dan BahasanAnalisa Manusia-Karakteristik Penduduk-Sosial-Ekonomi Penduduk-Struktur Penduduk-Aktifitas&Waktu Kegiatan-Status KepemilikkanAnalisa Lingkungan-Sirkulasi dalam tapak-Pencapaian Tapak-Kegiatan sekitar Tapak-Sosial-Ekonomi sekitar-Matahari-Angin-Kebisingan-Utilitas Tapak
Analisa Tapak&Bangunan-Zoning Tapak-Zoning Bangunan-Orientasi Massa-Sirkulasi dalam tapak(Pola jalan, Pola hijau, Pola penyebaran fasilitas)-Tipe unit hunian rumah susun-Modul Struktur-Utilitas-Block Plan
Kesimpulan dan Saran
BAB 1Latar Belakang Permasalahan, Latar Belakang Pemilihan Lokasi
BAB 2Teori terkait permukiman kumuh, Hipotesis
BAB 3Proses mencari data
BAB 4Analisa data-data disertai kesimpulan sementara
BAB 5Rangkuman dari hasil analisa dan saran bagi peneliti
26
2.8 Kerangka Berpikir
Latar Belakang Masalah
Kampung Pulo semakin padat dan kumuh
Maksud dan Tujuan
Menata kembali pemukiman padat dan kumuh di Kampung Pulo dengan memahami perilaku pola ruang urban kampung.
Permasalahan
Warga membangun rumah ‘asal jadi’ dan terbiasa membuang sampah sembarangan.
Tumbuhnya permukiman kumuh dan padat Sungai Ciliwung yang sering kali meluap dan
merendam rumah warga dengan ketinggian 3-7m
Analisa
Mengumpulkan data-data permasalahan berdasarkan survei lapangan. literatur, membaca teori-teori mengenai pemukiman kumuh dan arsitektur berkelanjutan
Konsep Bangunan dan Lingkungan
Homey dan Sustainable
SKEMATIK DESAIN
PERANCANGAN
JUDUL TUGAS AKHIR
Peremajaan Pemukiman Kampung Pulo dengan Pendekatan Urban Kampung
27
2.9 Hipotesis
Berdasarkan pada teori The New Urbanism dapat dikatakan bahwa
penanganan pemukiman kumuh yang cocok untuk Kampung Pulo adalah On-site
Reconstruction. Hal ini didukung juga oleh RTRW 2030 yang memberi tanda
pada kawasan Kampung Pulo dengan warna kuning yaitu sebagai hunian.
Metode yang digunakan untuk membuktikan bahwa On-site
Reconstruction cocok untuk Kampung Pulo adalah metode analisis dari Geoffrey
Broadbent yang melingkupi 3 (tiga) aspek yaitu aspek manusia, aspek
lingkungan dan aspek tapak-bangunan.
Bangunan yang cocok dalam site adalah rumah susun dikarenakan lahan
yang tidak cukup luas untuk menampung banyaknya penduduk yang tinggal.
Guna membentuk rasa nyaman masyarakat untuk tinggal di rumah susun maka
penelitian didasarkan pada perilaku urban kampung dan seperti yang dikutip dari
Seminar Nasional Perumahan Strategi Percepatan Pembangunan Perumahan
Nasional pada tanggal 15 Desember 2008 dengan pembicara Ir. Indartoyo, MSA
Gambar 2.1 RTRW 2030 Wilayah Kampung Pulo
Sumber: website resmi Dinas Tata Kota DKI Jakarta www.tatakota-jakartaku.net
28
dinyatakan bahwa dalam upaya menghadirkan rumah susun yang berdampak
positif bagi masyarakat, Johan Silas (2004) mengatakan bahwa kita harus
memiliki prinsip ”the show must go on”. Artinya rumah susun haruslah
merupakan ”show” yang enak dan menarik untuk ditonton, serta disukai oleh
masyarakat luas. Selanjutnya John FC Turner dalam bukunya ”Housing by
People” (1976) mengatakan bahwa dalam merancang rumah susun, secara
prinsip berbeda dengan merancang bangunan lain, karena;
Dalam merancang rumah susun, yang penting bukan apanya, tetapi
bagaimana rumah susun tersebut dapat memberi dampak positif bagi
penghuninya.
Dalam proses perancangan, calon penghuni harus diberi kesempatan, untuk
dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga hasil yang
dicapai dapat sesuai dengan maksud dan tujuannya, serta bermanfaat bagi
masyarakat.
Keputusan yang diambil dengan melibatkan partisipasi warga, hasilnya akan
jauh lebih baik, dari pada keputusan yang diambil tanpa melibatkan
masyarakat.
Dengan demikian, pembangunan rumah susun yang memperhatikan
budaya lokal, pola hidup calon penghuni, kondisi lingkungan, memenuhi standar
layak pakai, tidak terkesan murah, dan pada proses perancangan maupun
pengelolaan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, ternyata
hasilnya lebih berhasil, dari pada rumah susun yang dibangun tanpa
memperhatikan budaya lokal, tidak memenuhi standar arsitektur, terkesan murah
dan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.