16

portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan
Page 2: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan
Page 3: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan
Page 4: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20

PENEGAKAN HUKUM PROSTITUSI Oleh : Ninip Hanifah, SH, MH

ABA Borobudur Jakarta

Abstract The controversy and the complexity of prostitution-business problem has been becoming a polemic to debate. One bf the important aspects to over­come is law aspect. The law does not empower and give rights to women which is compatible with the women convention, because of patriarchy and gender stereotype. The objective of the study is to know why the law enforcement of prostitution, particularly to the women prostitute tend to be not successful. The study was conducted by using qualitative appro­ach based on women's perspective. The result reveals that The Code of Criminal Law does not dearly arrange prostitution business and there is not any chapters which dearly prohibits women from involving in prosti­tution business. The various efforts in overcoming this issue still mar­ginalize women, and the discrimination against women still exists, des­pite there is the convention of women. The prostitution business is a so­cial phenomenon which is hard to eliminate.

Kata Kunci: Penegakan Hukum

PENDAHULUAN Pada tahun 1984 Indonesia de-

ngan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi me-ngenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Wanita). Sepuluh tahun kemudian pada akhir tahun 1994 didi-rikan Convention Watch oleh bebera-pa dosen Kajian Wanita Universitas Indonesia dan anggota LSM, karena menyadari bahwa masyarakat pada umumnya belum mengetahui akan ke-beradaan Konvensi Wanita ini, apala-gi melaksanakannya. Convention Watch

ini bertujuan untuk memantau pelak-sanaan isi Konvensi Wanita sambil mengadakan sosialisasi kepada ma­

syarakat. Menyadari bahwa Konvensi Wanita merupakan suatu instrumen hukum yang tangguh, Kelompok Ker-ja Convention Watch bekerja sama antara lain dengan Fakultas Hukum dari berbagai universitas di Indonesia. Hingga saat ini kegiatan sosialisasi bersama telah diadakan dengan 22 Fa­kultas Hukum di hampir seluruh In­donesia. Materi dalam rangka upaya mengadakan sosialisasi kepada ma­syarakat, terutama adalah mengenai prinsip-prinsip, tujuan, kekuatan Kon­vensi Wanita sebagai suatu instrumen hukum dan tolok ukur dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

10

Page 5: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Penegakan Hukum Prostitusi Ninip Hanifah

Hasil seminar untuk sosialisasi Konvensi Wanita yang diadakan di Menado 29 Maret 1999 antara lain di-temukan masih banyak penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan per-undang-undangan yang merugikan fungsi dan status perempuan, masih tetap terjadi diskriminasi terhadap pe­rempuan walaupun telah ada Konven­si Wanita. Hukum juga belum cukup menunjang hak dan pemberdayaan perempuan sesuai dengan Konvensi Wanita, karena budaya patriarkat dan stereotip gender belum menunjang.

Dalam konteks masyarakat pat­riarkat, konstruksi sosial atas seksua-litas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan do-minasi laki-laki atas perempuan. Do-minasi ini terlihat dari sikap masyara­kat yang menempatkan seksual pe­rempuan tak lebih sebagai pemuas nafsu laki-laki di satu sisi, dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidak memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan laki-laki yang lebih tua akan mendominasi laki-laki yang lebih muda. Kate Millet (1971) mengatakan bahwa dominasi ini me-ngakibatkan keinginan untuk me-ngontrol seksualitas dan institusi so­sial. Kontrol tersebut dilakukan mi-salnya di keluarga, hubungan hetero-seksual, dan prostitusi.

Ketika masalah prostitusi dire-duksi pada persoalan perbedaan gen­der dan ketidakadilan, ada beberapa hal yang menjadi jelas. Pertama-tama

sukses bisnis prostitusi tidak dapat di-pisahkan dari persepsi laki-laki, bah­wa perempuan merupakan sekedar objek, yang diinginkan dan dicampak-kan bila objek tersebut tidak diperlu-kan lagi.

Sikap pemerintah dalam me-nanggulangi prostitusi dapat dikata-kan tidak mengalami kemajuan sejak zaman kolonial. Kebanyakan peratu­ran mengatur masalah kesehatan atau ketertiban masyarakat, dan bukan per-timbangan kesadaran moral untuk membantu keadaan kaum perempuan. Kitab Undang-Undang Hukum Pida-na (KUHP) tidak secara tegas menga­tur bisnis prostitusi, bahkan tidak ada satu pasal pun yang secara tegas me-larang perempuan terlibat dalam bis­nis prostitusi. Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal sebagaimana diatur dalam pa-sal 296, 297, dan 506.

Perempuan yang masuk ke da­lam dunia bisnis prostitusi, sebenar-nya terkondisikan oleh sistem sosial yang melingkupinya. Mitos kepera-wanan yang memposisikan perempu­an yang kehilangan keperawanan ke dalam posisi marginal, atau kondisi ekonomi dan subordinasi perempuan dalam rumah tangga, merupakan situ-asi yang dapat mengkondisikan pe­rempuan tertentu untuk terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Sebelum sis­tem sosial tersebut berubah, bisnis prostitusi tetap akan menjadi fenome-na sosial yang tidak mudah dihapus.

11

Page 6: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Met 2009, hal. 10-20

Permasalahan yang ingin diba-has dalam penelitian ini adalah: "Me-ngapa penegakan hukum terhadap bisnis prostitusi cenderung kurang berhasil"?

PEMBAHASAN Batasan Prostitusi

Pelacur (Pekerja Seks Komer-sial/PSK) berasal dari kata Tacur', ar-tinya "malang, celaka, gagal, sial, ti-dak jadi, atau buruk laku'. Bentukan kata dari kata xlacur' adalah melacur, yaitu berbuat lacur atau menjual diri sebagai pelacur (Koentjoro, 1997). Selain itu Koentjoro (1997) mengutip ungkapan Ellis yang mendefinisikan seorang PSK sebagai orang yang ber-profesi memuaskan nafsu orang lain dari seks yang berbeda. Kaum feminis akan sangat menentang pendapat Ellis di atas, sebab mereka menganggap perempuan dieksploitasi dalam hubu-ngan tersebut dan PSK tidak mempu-nyai kesempatan untuk memilih pe-langgan mereka.

Batasan prostitusi juga menca-kup elemen perselingkuhan. Bullough dalam Koentjoro (1997) menyatakan bahwa prostitusi memiliki kesamaan karakter dengan hubungan seks di luar pernikahan, karena keduanya di-tandai dengan perselingkuhan, mem-peroleh kesenangan, dan berbentuk komersialisme profesional. Dalam US National Research Council, pela-curan merupakan istilah yang menga-cu pada sekelompok perempuan yang melakukan aktivitas pertukaran sek-sual untuk mendapatkan uang, ba-

rang, ataupun bentuk-bentuk jasa lain-nya bagi kelangsungan hidupnya" (Uwiyono, dkk, 1995). Dari definisi-definisi di atas, prostitusi bisa diarti-kan sebagai aktivitas sekelompok pe­rempuan yang berselingkuh untuk berhubungan seks di luar pernikahan atau menjual diri demi untuk mem-peroleh imbalan jasa/uang guna men-cukupi kebutuhan ekonomi diri dan keluarganya.

Aktivitas yang berkisar pada wilayah bisnis prostitusi merupakan kerja yang sarat dengan ideologi, ter-masuk ideologi yang moralis, yakni wilayah yang menyatakan apa yang baik dan apa yang buruk. Namun para perempuan yang terlibat di dalam bis­nis prostitusi berada dalam posisi marginal sehingga memiliki kecende-rungan tidak peduli. Keterisolasian perempuan pekerja seks sebagai suatu kategori sosial yang dianggap me-nyimpang, sehingga patut diperlaku-kan secara sembarang pula, merupa­kan titik lemah yang lain. Pada sisi inilah masalah seksualitas perempuan sangat dimanipulasi sekaligus menga-lami proses diobjektifikasi (Sudirman Saad, 2004).

Sejarah dan perkembangan Bisnis Prostitusi di Indonesia.

Di Indonesia pada akhir 1960-an dan 1970-an banjir tenaga kerja yang datang dari daerah/desa ke kota mulai dirasakan. Para tenaga kerja tersebut kebanyakan perempuan yang mencari peluang di sektor informal. Banyaknya jumlah tenaga perempuan

12

Page 7: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Penegakan Hukum Prostitusi Ninip Hanifah

membuat kompetisi menjadi ketat, an-tara pekerja perempuan dan juga an-tara pekerja perempuan dengan laki-laki. Terbatasnya latar pendidikan pa­ra pekerja perempuan, berdampak pu-la pada pekerjaan yang mereka dapat-kan juga menjadi terbatas. Akhirnya, pekerjaan yang sering dilakukan ada-lah menjadi pedagang kecil, pedagang rokok, pembantu rumah tangga, dan sebagian lainnya menjadi pekerja seks komersial, karena rendahnya upah te-naga kerja di Indonesia.

Bisnis prostitusi di Indonesia te-lah berlangsung dalam kurun waktu dan sejarah yang panjang, Pada da-sarnya sejarah bisnis prostitusi sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, yaitu zaman kerajaan-kerajaan khu-susnya di Pulau Jawa. Pada umumnya raja-raja ketika itu, selain memiliki permaisuri, juga memiliki beberapa perempuan untuk dijadikan selir yang tersebar di daerah-daerah bawahan-nya. Hal ini dianggap wajar pada saat itu, karena berkaitan dengan konsep kekuasaan seorang raja. Raja diang­gap memiliki kekuasaan yang sangat besar, bukan hanya menyangkut batas wilayah tanah dan harta benda, tetapi juga menyangkut nyawa hamba saha-ya mereka. Lebih parah lagi, perem­puan dianggap seperti barang yang bi-sa dijadikan upeti (persembahan) ke-pada raja atau diperdagangkan.

Setelah era penjajahan berlalu, perilaku perdagangan perempuan da­lam bentuk bisnis prostitusi justru makin berkembang karena keadaan ekonomi yang tidak menentu. Seiring

dengan membanjirnya penduduk desa ke kota untuk mencari pekerjaan, bis­nis prostitusi juga makin merajalela. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya proses marginalisasi peran perempuan dalam sektor-sektor ekonomi dan publik, Proses marginalisasi tersebut diiringi dengan tuntutan kehidupan yang makin besar, sehingga membuat banyak perempuan menggunakan se-gala cara untuk mendatangkan uang, termasuk menjadi pekerja seks ko­mersial (PSK).

Kaum antropologis fungsional juga mengakui bahwa keberadaan bis­nis prostitusi merupakan sebuah pro­ses fungsionalisasi yang berbasis ra-sionalitas ekonomi. Artinya, hubu-ngan seksual yang tidak bisa diako-modasikan dalam perkawinan itu da­pat berfungsi sebagai media untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebenarnya pandangan ini berawal dari pendekatan institusional yang menganggap bahwa fenomena marak-nya bisnis prostitusi ini didorong oleh kekakuan sistem moral yang menjun-jung tinggi keluarga dan pada saat bersamaan menekan hubungan sek­sual di luar perkawinan. Padahal, ke-butuhan seksual seringkali tidak dapat disalurkan melalui perkawinan, Peran pembantu inilah yang diakomodasi-kan oleh bisnis prostitusi (Troung, 1992).

Norma Hukum Bisnis Prostitusi Hukum pidana yang berlaku di

Indonesia, didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas-asas umum dalam

13

Page 8: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20

Kitab Undang-Undang Hukum Pida­na (KUHP) yang berlaku di Indone­sia, yang merupakan warisan peme-rintah kolonial Belanda. KUHP yang aslinya masih berbahasa Belanda, yai-tu Wetboek van Strafrecht (WvS), berdasarkan Staatsblad 1915 No.732 berlaku sejak 1 Januari 1918 dan di-berlakukan di wilayah Indonesia (du-lu Hindia Belanda) berdasarkan asas Concordantie. Sejak Indonesia mer-deka 1945, WvS tersebut tetap diber-lakukan di Indonesia berdasarkan pa-sal II Aturan Peralihan UUD 1945. WvS diterjemahkan menjadi KUHP didasarkan atas Undang-Undang No-mor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 dan diberlakukan di wilayah negara Re-publik Indonesia dengan berbagai pe-rubahan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 296, 297, dan 506 hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelaya-nan seks secara ilegal, artinya lara-ngan hanya diberikan kepada mereka yang mempermudah terjadinya hubu-ngan seks dan menjadikannya seba­gai mata pencaharian, yaitu mucikari dan germo (Muhajir Darwin dan Anna Marie Wattie, 1999). Karena KUHP tidak secara tegas melarang bisnis prostitusi terhadap para peker­ja seks tersebut, maka tidak cukup landasan hukum untuk memperkara-kannya di pengadilan. Hal ini berkai-tan erat dengan asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana (asas legalitas). Asas tersebut menjelaskan

bahwa tiada suatu perbuatan dapat disebut pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-unda-ngan pidana yang telah ada sebe-lumnya (pasal 1 ayat (1) KUHP). Berdasarkan batasan dalam KUHP di atas, perbuatan melacurkan diri pe­kerja seks bukan dianggap sebagai suatu kejahatan.

Ketentuan untuk menjerat para pekerja seks dalam persidangan di pengadilan adalah pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan perbu­atan kesusilaan, yaitu Bab XIV Buku II mengenai Kejahatan Kesusilaan dan Bab VI Buku III tentang pelang-garan kesusilaan (Arief dan Irsan da­lam Supanto, 1999). Selain itu mere­ka juga dapat dijerat dengan tuduhan melanggar ketertiban umum sebagai-mana diatur dalam Bab II Buku III KUHP khususnya pasal 503 ayat (1), 505 dan 506 KUHP. Sudirman Saad (2004) menyatakan bahwa Pasal-pa­sal mengenai pelanggaran ketertiban umum ini digunakan oleh pihak ke-polisian ketika hendak melakukan ra-zia terhadap pekerja seks. Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan praktik bisnis prostitusi adalah seba­gai berikut:

Pasal 295 (1) Diancam:

1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukan-nya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak

14

Page 9: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Penegakan Hukum Prostitusi Ninip Hanifah

angkatnya, atau anak yang di bawah pengawasannya yang belum dewasa, yang pemeli-haraannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan ke-padanya, ataupun oleh bujang-nya atau bawahannya yang be­lum cukup umur, dengan orang lain;

2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang sia-pa dengan sengaja menghu-bungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir (1) di atas, yang dilakukan oleh o-rang yang diketahuinya belum dewasa atau sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

(2) Jika yang bersalah melakukan ke-jahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, pidana dapat di-tambah sepertiga.

Pasal 296 Barangsiapa dengan sengaja menye-babkan dan memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan dijadi-kannya sebagai pencaharian atau ke­biasaan, diancam dengan pidana pen­jara paling lama satu tahun empat bu-lan atau pidana denda sebanyak-ba-nyaknya lima belas ribu rupiah.

Pasal 506 Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang perempuan dan menjadikan sebagai pencaharian

diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 503 Ay at (1)

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah, barangsiapa membi-kin hingar atau riuh sehingga ke-tentraman malam hari dapat ter-ganggu.

Pasal 505 (1) Barangsiapa bergelandangan tan-

pa pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan de­ngan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Berdasarkan pasal 295, 296,dan 503 tersebut di atas, sebenarnya yang dapat dikenakan pidana adalah orang yang dengan sengaja mengadakan atau memudahkan terjadinya perbua­tan cabul, yaitu germo atau mucikari, dan bukan terhadap pekerja seksnya. Pasal 503 dan 505 KUHP hanya ditu-jukan terhadap seseorang yang mela­kukan pelanggaran ketertiban umum, yaitu membikin hingar atau riuh se­hingga mengganggu ketertiban malam dan menjadi gelandangan. Akan tetapi pasal inilah yang sering digunakan untuk menjerat para pekerja seks yang beroperasi di jalan atau tempat-tempat

15

Page 10: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20

umum, namun tidak untuk laki-laki yang menjadi konsumennya. Pasal-pasal ini sangat lemah dan sangsi hu­kum yang diberikan juga sangat ri-ngan, sering disebut dengan tipiring (tindak pidana ringan), sehingga tidak memberikan efek yang signifikan, mi-salnya dalam bentuk perubahan peri-laku dari terpidana.

Hukum Agama Respon Agama terhadap feno-

mena bisnis prostitusi bervariasi dari pandangan yang paling radikal atau tekstual ke pandangan yang moderat atau konstektual. Pandangan paling radikal yang cenderung ortodoks me-negaskan bahwa perbuatan melaku-kan hubungan seks di luar nikah ada­lah suatu perbuatan yang dilarang oleh agama. Perbuatan tersebut adalah tergolong perbuatan zina dengan an-caman hukuman yang sanga berat, yaitu hukum raj am sampai meninggal bagi mereka yang telah terikat tali pernikahan dan hukuman cambuk ba­gi yang belum menikah.

Sebagai contoh, dalam hukum Islam disebutkan bahwa perbuatan zi­na (melacurkan diri) adalah suatu per­buatan yang dikutuk oleh Allah dan merupakan salah satu dosa besar. Me-nurut Alam (1984) yang dikutip oleh Darwin Saad, bila dilihat dari norma-norma yang hidup dalam masyarakat, agama, kebudayaan, dan kesusilaan dari berbagai golongan masyarakat di Indonesia, memandang bahwa perbu­atan melacurkan diri dari seseorang perempuan dianggap sebagai kejaha­

tan berat dan harus dihukum. Oleh ka-rena itu bilamana ada anggapan bah­wa para pekerja seks tidak dapat dihu­kum menurut hukum pidana positif, dapat diterapkan hukum agama atau hukum adat (hukum yang hidup da­lam masyarakat). Dalam pandangan ini tampak jelas bahwa norma agama dan masyarakat cenderung menyalah-kan perempuan dalam kaitannya de­ngan bisnis prostitusi ini.

Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis telah diambil peme-rintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan per-suasif melalui lembaga-lembaga sosi-al sampai menggunakan tindakan rep-resif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang prostitusi tersebut. Tetapi kenyataan yang diha-dapi, prostitusi tidak dapat dihilang-kan, melainkan memiliki kecenderu-ngan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala bisnis pros­titusi ini merupakan bagian dari tra­cking (perdagangan orang atau pe­rempuan).

Perempuan dan anak juga mem-punyai risiko tinggi untuk diperda-gangkan karena faktor-faktor seperti: perempuan dipersepsikan sebagai se-suai untuk mengisi peran stereotip ter-tentu. Perempuan dianggap mudah di-bohongi dengan berbagai janji dan pe­rempuan menyukai jenis pekerjaan tertentu. Dari menjadi babysitter sam­pai menjadi penari dan penyanyi di dunia entertainment yang kebanyakan merupakan industri seks terselubung,

16

Page 11: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Penegakan Hukum Prostitusi Ninip Hanifah

tetapi tidak selalu diketahui oleh pe­rempuan yang menjadi sasaran peda­gang manusia yang melakukan kegia-tannya tanpa kontrol ketat dari para penegak hukum atau pejabat setem-pat. Kondisi sosial pikologis dan po-litik belum memberi perlindungan yang diperlukan perempuan dan anak untuk tidak diperdagangkan. Para ger-mo, mucikari, calo perdagangan ma­nusia masih dibiarkan bertindak seca­ra leluasa. Perempuan dan anak yang diperdagangkan berisiko tinggi untuk terjerat dalam mafia perdagangan ma­nusia interaasional (Saparinah Sadli, 2006).

Artikel 6 dari Konvensi Peng-hapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) menyata-kan: ^negara akan mengambil lang-kah-langkah yang sesuai termasuk perundang-undangan, untuk membe-rantas semua bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan' telah menimbulkan ber-bagai perdebatan. Apakah negara se-harusnya memerangi prostitusi atau hanya eksploitasi prostitusi.

Prostitusi harus dilihat secara objektif sebagai suatu fenomena yang berkembang dalam masyarakat dan fenomena ini harus dipandang secara utuh tanpa menitikberatkan pada satu sisi saja yaitu agama, budaya, atau adat istiadat. Tetapi harus dilihat dari segala sisi termasuk kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, agar persoalan prostitusi dapat dikelola dan diselesai-kan dengan baik.

Prostitusi dan perdagangan o-rang memiliki korelasi yang sangat erat karena prostitusi merupakan sa-lah satu motif utama terjadinya tindak pidana perdagangan orang/'trafficking. Oleh karena itu dalam upaya melaku­kan pemberantasan perdagangan o-rang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang "Pem­berantasan Tindak Pidana Perdaga­ngan Orang", perlu juga untuk "mem-berantas atau mengatur" masalah prostitusi dengan suatu Undang-Un­dang khusus. "Memberantas atau me­ngatur" prostitusi merupakan suatu al-ternatif yang perlu dipilih secara bi-jak, dengan melihat secara objektif persoalan prostitusi sebagai masalah nasional yang sudah merambah ke se­gala sendi kehidupan masyarakat, dari kota sampai desa, dari daerah ber­kembang sampai daerah terpencil, da­ri daerah yang maju sampai daerah yang terbelakang dan dari semua ting-kat sosial ekonomi, semua masyarakat tidak luput dari permasalahan pros­titusi (http://opinimanadopost.blogs-pot.com/2008).

Bisnis prostitusi merupakan lingkaran setan yang akan selalu terus berputar selama masih ada supply and demand serta penegakan hukum sa­ngat lemah. Menurut Adi Andoyo (2000), "lemahnya penegakan hukum disebabkan selain kurangnya sarana dan prasarana serta sumber daya ma­nusia, juga disebabkan moral yang bejat serta mental yang bobrok dari aparat yang menanganinya. Dan ini merajalela di semua segmen sistem

17

Page 12: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. I, Mei 2009, hal. 10-20

peradilan pidana, dari polisi, jaksa sampai hakim". Tidak mudah memu-tus rantai bisnis ini, tidak hanya kare­na umur bisnis ini setua kehidupan manusia, tetapi juga karena komplek-sitas permasalahannya, sehingga men-jadikan bisnis prostitusi ini tidak mu­dah dihapuskan.

PENUTUP Kesimpulan 1. Hukum di Indonesia terhadap per-

lindungan perempuan terkesan main-main, bukan saja isi pasal-pasalnya, tetapi juga seluruh me-kanismenya. Di banyak negara termasuk negara maju, undang-undang perlindungan terhadap pe­rempuan dikoreksi terus dan hu-kuman tambah diperberat.

2. Terdapat inkonsistensi dalam pe­negakan hukum, tidak terdapat aturan dalam sistem perundang-undangan Indonesia yang secara tegas melarang bisnis pelacuran.

3. Tidak ada juga landasan hukum yang melegalkan praktik bisnis pelacuran, apalagi yang melindu-ngi para pekerja seks dari tinda-kan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak lain, seperti trafiking, eksploitasi, pelecehan atau kekerasan terhadap perempu­an.

4. Masih adanya diskriminasi terha­dap perempuan, karena selama ini yang dikejar-kejar hanya perem­puan pekerja seks, sedangkan konsumennya didiamkan bebas ti­dak pernah terjerat hukum.

5. Keadaan tersebut di atas semakin menempatkan posisi perempuan dalam bisnis prostitusi menjadi termarginalkan dan terpinggirkan.

Saran-Saran 1. Pemerintah, khususnya aparat pe-

negak hukum diharapkan bisa te­gas dalam menjalankan mekanis-me peradilan, jangan hanya pe­rempuan pekerja seks saja yang dipersalahkan namun konsumen­nya juga harus ditindak.

2. Perlu adanya Undang-Undang yang mengatur persoalan prostitu­si yang sekaligus mencegah dan memberantas tindak pidana trafi­king, agar masalah tersebut dapat terselesaikan secara komprehen-sif, utuh dan menyeluruh, sehing­ga dampak dari kegiatan tersebut dapat diminimalisir, dikelola dan ditanggulangi secara baik dan pro-fesional.

3. Perempuan perlu diberdayakan dengan memberikan latihan-lati-han ketrampilan yang dapat menghasilkan nilai tambah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan diberikan pembe-kalan pendidikan agar mereka ti­dak mudah terbujuk rayu oleh ger-mo, mucikari, dan para pedagang manusia yang berkedok mencari-kan pekerjaan..

4. Dari sudut agama, misalnya hu­kum Islam menyebutkan bahwa melacurkan diri adalah suatu per­buatan yang dikutuk oleh Allah dan merupakan salah satu dosa

18

Page 13: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

Penegakan Hukum Prostitusi Ninip Hanifah

besar, sehingga para ulama dan pemuka agama perlu terus mene-rus melakukan pendekatan spiri­tual dan mengingatkan para pela-ku bisnis prostitusi ini, khususnya para pekerja seks agar mereka kembali ke jalan yang benar.

DAFTARPUSTAKA Adi andoyo Soetjipto, Penyebab Tin­

dakan Main Hakim Sendiri oleh Massa: Suatu Analisa Pendahu-luan dalam Maftuchah Yusuf, 80 Tahun Prof. Dr. Maftuchah Yusuf Mencipta Generasi Mem-bangun Bangsa, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000.

A. Uwiyono, dkk, "Lokalisasi dan Hukum suatu Tinjauan Yuridis terhadap Bertahannya Praktik Pelacur an DKI Jakarta", AIDS dan Hukum/Etika Jaringan Epi-demologi Nasional, Jakarta, 1995.

Gadis Arivia, Prostitusi Berkah atau Kutukan dalam Jurnal Perem­puan Vol. 02 Desember/Januari 1997, Jakarta, 1997.

Koentjoro, Understanding Prostituti­on from Rural Communities of Indonesia, Phd, Thesis, La Tro-be University, Victoria, 1997.

L.M. Ghandi Lapian dan Hetty A. Geru (Ed.), Trafiking Perempu­an dan Anak, Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Su­lawesi Utara, Yayasan Obor In­donesia, Jakarta, 2006.

Millet, Kate, Sexual Politics, Virgo, London, 1971.

Muhajir Darwin dan Anna Marie Wattie, Pembatasan Pelacuran dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Ga-jah Mada, Yogyakarta, 1999.

Ratna Batara Munti, Adokasi Kebija-kan Pro Perempuan: Agenda Politik untuk Demokrasi dan Kesetaraan, Program Studi Ka-jian Wanita, Program Pascasar-jana Universitas Indonesia, Ja­karta, 2008.

Saparinah Sadli, Viktimisasi Perem­puan dalam L.M. Ghandi Lapi­an dan Hetty A Geru (Ed.), Tra-ficking Perempuan dan Anak, Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Yayasan Obor Indonesia, Jakar­ta, 2006.

Sudirman Saad dan Muhajir Darwin, Penegakan Hukum Pelacuran, dan HIV/AIDS: Derajad S. Wi-dhyarto dan Sri Purwaningsih (Ed.), Kerja sama Ford Founda­tion dengan Pusat Studi Kepen­dudukan dan Kebijakan, Uni­versitas Gajah Mada, Yogyakar­ta, 2004.

Supanto, Kebijakan Hukum Pidana mengenai Pelecehan seksual, Kerja sama Pusat Penelitian Ke­pendudukan Universitas Gajah Mada dan The Ford Foundation, Yogyakarta, 1999.

Truong, Thanh Dam, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pe­lacuran di Asia Tenggara, Pe-

19

Page 14: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan

COSTITUTUM Vol. 9 No. I, Mei 2009, hal. 10-20

nerjemah Ade Armando, http://opini-LP3ES, Jakarta, 1992. manadopost.blogspot.com/2008

/02/pelacuran-dan-perda...

20

Page 15: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan
Page 16: portal.kopertis3.or.idportal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2297/1/B02.pdf · memiliki kedaulatan terhadap seksua-litasya sendiri. Laki-laki akan mendo-minasi perempuan, dan