Upload
ngokiet
View
320
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ISTIDRĀJ DALAM AL-QUR’ĀN
( ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ISTIDRĀJ)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Nur Hasanatul Azizah
NIM. 1113034000158
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط A A ا
ẓ ẓ ظ B B ب
‘ ‘ ع T T ت
Gh gh غ Ts Th ث
F f ف J J ج
Q q ق ḥ ḥ ح
K k ك Kh Kh خ
L l ل D D د
M m م Dz Dh ذ
N n ن R R ر
W w و Z Z ز
H h ه S S س
’ ’ ء Sy Sh ش
Y y ي ṣ ṣ ص
H h ة ḍ ḍ ض
ii
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
Ā Ā آ
يٳ Ī Ī
Ū Ū أؤ
iii
ABSTRAK
Nur Hasanatul Azizah
“Istidrāj dalam Al-Qur’an (Analisis Ayat-Ayat tentang Istidrāj)
Istidrāj merupakan pemberian nikmat dari Allah Swt untuk hamba-Nya
dan menjadikan mereka lalai dan celaka. Pemberian itu bisa berupa kelapangan
rizki, kemapanan dalam hidup, kecerdikan dalam sebuah bidang, kesehatan, dan
lain sebagainya yang membuat mereka terlena. Gambaran perilaku orang yang
tertimpa istidrāj sangat beragam, dari orang yang berilmu yang menyalahgunakan
keilmuaan nya untuk hal yang tidak bermanfaat, kekayaan harta benda yang
digunakan untuk bermaksiat seperti berjudi, dan kepintaran yang digunakan untuk
kepentingan sendiri seperti korupsi.
Pada saat seseorang tertimpa istidrāj, ia sangat terlena dengan semua yang
dia punya, sehingga lupa bahwa semuanya hanyalah titipan sementara. Dia lupa
bersyukur atas nikmat yang diberikan, begitu juga ia gemar melakukan
kemaksiatan tanpa merasa berdosa. Dan mengangggap nikmat yang Allah Swt
berikan merupakan sebuah kebaikan untuknya. Ketika hal ini terjadi, maka akan
berakibat nantinya mendapatkan siksaan dari arah yang tidak disangka-sangka.
Maka dari itu, perlu meminta pertolongan kepada Allah Swt dan juga mengasah
keimanan agar terus meningkat sehingga menyadari hakikat nikmat dan siksaan.
Subyek yang diteliti adalah menitikberatkan pada penggalan ayat
(sanastadrijuhum), karena tidak ada ayat term yang merujuk kepada istidrāj
kecuali kalimat tersebut. Penelitian ini ingin mengetahui hakikat istidrāj dan
sebab-sebab seseorang itu ditimpa istidrāj. Melalui analisis ayat diketahui bahwa
hakikat dari Istidrāj ini adalah siksaan yang dilapisi dengan nikmat. Dan
penyebab seseorang ditimpa istidrāj antara lain adalah mendustakan Allah Swt,
kufur akan nikmat yang telah diterima, dan melakukan kemaksiatan kepada Allah
Swt.
iv
KATA PENGANTAR
Kiranya tak ada kata yang pantas terucap dari penulis selain rasa syukur
kehadirat Allah Swt karena atas segala rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad Saw, sahabat-sahabatnya dan para pejuang yang telah
memperjuangkan agama Islam sehingga sampai kepada kita. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yangberjudul : ISTIDRĀJ DALAM AL-
QUR’ĀN ( ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ISTIDRĀJ).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak
akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan dan dukungan dan kontribusi
dari banyak pihak. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, MA dan
Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri Mansoer, MA.
2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, dan juga kepada sekretaris jurusan Banun Binaningrum, MA yang
telah banyak membantu penulis agar skripsi ini menjadi baik.
3. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing yang telah
memberikan ilmu kepada penulis khususnya pada bidang Tafsir, serta
selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh
kesabaran.
4. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan
v
pengalaman yang mendorong penulis selama masa studi. Seluruh staf dan
karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap Perpustakaan Utama, Perpustakaan Ushuluddin,
Perpustakaan Dirasat Islamiyah, Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an,
Perpustakaan ‘Iman Jama’ dan Perpustakaan Pondok Modern Miftahul
Hidayah Bendungan beserta pengelola perpustakaan tersebut yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini
hingga selesai.
6. Yang tercinta Ayahanda Husen dan Ibunda Adah Sa’adah yang selalu
memotivasi, mendidik penulis dengan kelembutan dan cinta kasihnya,
serta memberikan semangat yang begitu luar biasa agar penulis dapat
meraih cita-cita. Dan tak lupa untuk kakakku tersayang Ahmad Faisal,
Enjang Yusup Iskandar, Utep Zenal Arifin, Hani Ruhaniah, Siti Asiah, Iin
Mutmainah, Wiwin, Abdul Wahid, Yeni Anggraeni, Devi Suryanti dan
adikku Eli Syamsiah Kholilah dan Noneng Nurbaeti serta saudara-
saudaraku tercinta yang memberikan motivasi dan segala hal sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Untuk sahabat Ax-terik terimakasih atas persahabatan kita selama ini.
Kemudian teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2013
khususnya IAT E, juga teman-teman dan senior IMM Ciputat, yang tidak
bisa disebutkan satu persatu kebersamaan kita begitu indah dan tidak akan
terlupakan.
8. Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis tetapi tidak bisa disebutkan
satu persatu semoga Allah Swt membalasnya. Aamiin
vi
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan
penulis masih sedikit, kurangnya referensi, dan rujukan lain yang belum
terbaca menjadikan penulis skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun.
Penulis berusaha menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan kemampuan
penulis. Oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan
sebagai bahan perbaikan penulisan ini.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi diri
sendiri dan bagi orang lain yang membacanya. Serta memberikan
pemahaman tafsir tentang Istidrāj dalam al-Qur’an (Analisis Ayat-Ayat
tentang Istidrāj).
Ciputat, 12 September 2017
Nur Hasanatul Azizah
vii
ISTIDRĀJ DALAM AL-QUR’AN
( ANALISIS AYAT-AYAT AL-QUR’ĀN TENTANG ISTIDRĀJ)
TRANSLITERASI......................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifiksai Masalah .......................................................................... 10
C. Rumusan dan Batasan Masalah ......................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 11
E. Kajian Pustaka .................................................................................. 12
F. Metode Penelitian .............................................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 16
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG ISTIDRĀJ .................................... 17
A. Pengertian Istidrāj ............................................................................. 17
B. Kata Lain yang Semakna dengan Istidrāj ......................................... 21
C. Istidrāj dalam Pandangan Para Mufassir ........................................... 28
D. Dampak Fenomena Istidrāj terhadap Kepribadia............................. 33
BAB III PEMAKNAAN DAN SEBAB-SEBAB ISTIDRĀJ DALAM AL-
QUR’ĀN ....................................................................................................... 39
A. Makna dan Hakikat Istidrāj............................................................... 40
B. Pelaku Istidrāj ................................................................................... 51
C. Sebab- Sebab Istidrāj ........................................................................ 53
1. Kedustaan Kepada Allah Swt ..................................................... 53
2. Kufur Nikmat .............................................................................. 59
3. Kemaksiatan ............................................................................... 64
D. Menjauhkan Diri Dari Istidrāj ......................................................... 66
1. Memahami Nikmat dan Bersyukur AtasNya .............................. 67
2. Keimanan Kepada Allah Swt ...................................................... 75
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 77
a. Kesimpulan ........................................................................................ 77
b. Saran-Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan dunia sebagai kehidupan untuk makhluk-Nya termasuk
manusia. Manusia diciptakan tidak lain untuk mengabdikan dirinya kepada Allah
Swt. Maksudnya yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Seperti yang diulas oleh Zainal Arifin tentang tugas pokok seorang
hamba yaitu: pertama, perintah Allah Swt untuk menghambakan diri hanya
kepada-Nya semata, dan yang kedua ialah menghindari untuk tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.1
Kehidupan yang Allah Swt ciptakan untuk makhluk-Nya, begitu juga
Allah Swt memformat bumi sebagai lahan mencari nafkah yang Allah Swt
sebarkan di dalamnya untuk mencukupi kebutuhan manusia, semuanya
merupakan nikmat yang diberikan Allah Swt untuk makhluk-Nya.2
1 Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat Al-Taubah ayat 31:
“Dan tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya mereka menyembah Tuhan yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. Lihat, Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syari‟ah (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 213.
2 Sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al-A’rāf ayat 10, sebagai
berikut :
2
Nikmat yang Allah Swt berikan begitu banyak dan juga tidak mungkin
bisa dihitung.3
Bahkan janji Allah Swt akan menambahkan nikmatnya jika
manusia pandai mensyukurinya.4 Meskipun janji Allah Swt pasti dan nyata akan
tetapi tetap saja manusia banyak yang tidak mampu mensyukuri apa yang dia
terima. Sebagaimana yang diulas oleh Yahya Harun bahwa setan telah berjanji
akan menyesatkan manusia dari jalan-Nya, salah satunya yaitu untuk tidak
mensyukuri nikmat yang Allah Swt berikan.5
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan
bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. Lihat, Ahzami
Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur‟an ( Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 54.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya mengenai hal ini, bahwa Allah Swt menempatkan
manusia di muka bumi ini, dengan menjadikan gunung-gunung, rumah dan lainnya sebagai
sumber kehidupan bagi manusia, namun hanya sedikit yang mampu bersyukur. Lihat, Ibnu Katsir,
Tafsir Qur‟an al-„Adzim, Penerjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Al-gensindo,
2000), Juz 8, h. 24.2
3 Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat Ibrāhim ayat 34, sebagai berikut:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah)”.
4 Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya dalam al-Qur’an sura Ibrāhim ayat 7,
sebagai berikut:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
5 Sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’ān surat al-‘Araf ayat 17-18:
3
Banyaknya nikmat yang diberikan oleh Allah Swt untuk manusia
seringkali disalahgunakan dengan melakukan maksiat. Bahkan melupakan yang
telah memberinya meskipun peringatan sudah ditegaskan dalam Kalam-Nya.6
Salah satu nikmat Allah Swt yaitu dengan memberikan sebuah kecerdasan
ataupun kecerdikan kepada seseorang. Dalam konteks ini membahas tentang
seseorang yang merasa dirinya berilmu berkat usahanya yang keras dalam
menuntutnya dan merasa tidak ada campur tangan Allah Swt atau melupakan-Nya
sehingga menjadikan dia menyalahgunakan pengetahuan yang dia punya untuk
hal-hal diluar syari’at ataupun aturan yang berlaku. Begitu juga dia gunakan untuk
melakukan maksiat. Semuanya dilakukan untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, padahal dunia hanya sebuah fatamorgana, penuh gemerlap kesenangan.
Bahkan bisa dibilang hanya untuk main-main bahkan semuanya hanya tipu daya
semata yang melenakan, jika manusia tidak dapat mengambil manfaat dari
kehidupan ini.7
“ Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat). Allah berfirman:"Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir.
Sesungguhnya Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar aku akan mengisi
neraka Jahannam dengan kamu semuanya". Lihat, Harun Yahya, Beberapa Rahasia dalam al-
Qur‟ān (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 31
6 Allah Swt berfirman dalam surat Luqmān ayat 33:
...
“Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia
memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam
(mentaati) Allah”. Lihat, Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h. 54.
7 Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al-An’ām ayat 32:
4
Akibat lupa kepada Allah Swt maka manusia diberi kesenangan lalu
ditindak dengan tiba-tiba.8 Sebagaimana dalam kata-kata mutiara ‘Ali bin Abī
Thālib yang diulas oleh Fadhullāh al-Ha’irȋ yaitu:
“Barangsiapa yang bersenang-senang dengan bermaksiat kepada Allah
Swt, niscaya Allah akan memberikan kepadanya kehinaan.”9
Orang yang melakukan perbuatan maksiat, sesungguhnya ia berada dalam
masalah yang besar. Seperti yang diulas oleh Abdullāh Haddād yaitu bahwa orang
yang berbuat maksiat dikhawatirkan termasuk orang-orang yang munafik jika ia
tidak diberi petunjuk oleh Allah Swt sebagaimana tercantum dalam firman-Nya,
“Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya?”
Begitu juga firman-Nya dalam surat ali Imrān ayat 185:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan Sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan”. Lihat, Ahzami Samiun, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur‟ān, h. 74.
8 Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat Al-An’ām ayat 44:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. Lihat, A. Aziz Salim
Basyarahil, 33 Masalah Agama (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 145
9Fadhullah al-Ha’iri, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku;Kata-Kata Mutiara
„Ali bin Abi Thalib. Penerjemah Tholib Anis (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), h. 69
5
ia akan dicampakan ke dalam api neraka yang membakar hingga ke pangkal
hati.10
Nikmat yang diberikan Allah Swt bisa berubah menjadi sebuah murka,
jika orang yang menerima nikmat tersebut selalu berbuat maksiat dan ia juga
mengingkarinya, Inilah yang disebut istidrāj. Istidrāj diartikan oleh al-Tustarȋ
dalam tafsirnya yaitu membentangkan nikmat, dan lupa akan mensyukurinya.11
At-Thabāri sendiri menakwilkan bahwa makna istidrāj adalah mereka yang
mengingkari dan melupakan petunjukNya, kemudian Allah Swt
menangguhkannya dengan menghiasi perbuatan buruk mereka. 12
Sementara Ibn
Katsir menyebutkan bahwa makna istidrāj adalah mereka yang terpedaya dengan
pintu rizki yang dibukakan Allah Swt dari segala segi kehidupannya.13
Dan Abū
Bakar Jābir al-Jazairȋ memberikan makna istidrāj yaitu dengan menghukum
dengan bertahap, setingkat-demi setingkat.14
Dalam tafsirnya Zainal Arifin bahwa
manusia yang mengingkari Allah swt, al-Qur’an dan kekuasaan-Nya termasuk
nikmatNya, hanya akan membinasakan diri sendiri tanpa ia sadari.15
Seperti
10 Sebagaiman Allah Swt menegaskan dalam firman-Nya surat al-Humazzah ayat 6-7,
sebagai berikut:
“ (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati”.
Lihat, Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman. Penerjemah Anwar Rasyidi dan Mama’
Fatchulah ( Semarang: CV Toha Putra, 1993), h. 52.
11
Al-Tustarȋ, Tafsȋr al-Qur‟ān al-„Adzȋm (T.tp.: Dār al-Muharam, 2004), h. 154
12 Al-Thabāri, Jami‟ Al-bayān „An Ta‟wȋl Ay Al-Qur‟ān (Beirut: Muassasah al-Risālah,
1994), juz 3, h. 529
13 Ibn Katsȋr, Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), juz 9, h. 227
14 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aisar. Penerjemah Nafi Zainuddin dan
Suratman (Jaktim: Darus Sunah Press, 2015), h. 208.
15 Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi; Inspirasi Seputar Kitab Suci al-Qur‟an
(Medan: Duta Azhar, 2014), h. 185
6
perkataan Al-Baidawȋ yang diulas oleh ‘Ali Al-Ṣabuni dalam tafsirnya yaitu Allah
Swt memberikan nikmat kepada mereka, lalu mereka mengira nikmat itu adalah
sebuah tanda bahwa Allah Swt menyayangi mereka, lalu mereka bertambah fasik
dan tenggelam dalam kesesatan hingga keputusan siksaan menimpa mereka.16
Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat al-A’raf ayat 182:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui”.
Surat al-A‟raf ayat 182 merupakan salah satu ayat yang menggambarkan
tentang istidraj, yaitu bahwa Allah Swt memiliki makar bagi kaum pendosa.
Menurut Muhammad Ghazali dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa mereka
terlupakan dengan kelezatan sesaat atau kemenangan yang menipu. Keadaan
tersebut merupakan dikte Allah Swt bagi orang yang melakukan kebatilan dan
juga jalan untuk menuju kehancuran tanpa mereka sadari. 17
Dalam al-Qur’an, kata istidrāj yang dianalisis dengan menggunakan al-
Mursyid Ilā Āyāti al-Qur‟ān al-Karȋm wa Kalimāt terdapat dua ayat yaitu: al-
A‟raf ayat 182 dan al-Qolām ayat 44.18
Dari penjelasan diatas tersirat bahwa orang yang tertimpa istidrāj
merupakan golongan yang sangat rugi. Karena ia menjadi golongan yang
dihinakan oleh Allah Swt meskipun diberi kenikmatan yang banyak. Sebagai
16 Muhammad Ali Al-Shabuni, Safwat Al-Tafāsir. Penerjemah Yasin (Jaktim: Pustaka al-
kautsar, 2011), h. 395.
17 Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005), h. 134.
18 Muhammad Faris Barakat, Al-Mursyid Ilā Āyāti al-Qur‟ān al-Karȋm Wa Kalimāt
(Beirut: Dārul Qutaibah, 1985), h. 162
7
hamba-Nya, sudah sejatinya takut akan ancaman dan peringatan yang sudah
ditegaskan dalam Kalam-Nya, dan seharusnya berusaha untuk menghindari agar
tidak termasuk golongan yang ditimpa istidrāj. Jika tidak meminta pertolongan
kepada Allah Swt, maka kepada siapa lagi manusia meminta perlindungan
selain-Nya.
Perlu dicermati sebagai contoh bahwa orang yang diberi nikmat berupa
ilmu, Allah Swt memberikan sebuah kesempatan atau sebuah kebahagiaan berupa
ketenaran ataupun wibawa dalam pandangan manusia. Dan ia beramal dengan
ilmunya seakan-akan menurutnya adalah sebuah kebajikan. Dan ia juga mencari
kemegahan serta martabat dihadapan manusia. Padahal dalam sebuah ayat
disebutkan bahwa hanya orang yang berilmu dan berakal19
yang dapat menerima
pelajaran.20
Maksud dari pelajaran disini ialah bahwa orang yang mempunyai
ilmu, jika dia akan melakukan sesuatu akan berhati-hati dalam melakukannya
karena ia mengetahui jika berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt ada akibat
dari perbuatannya, begitu juga dia merasa apa yang ada dalam dirinya adalah
19
Dalam al-Qur’an orang yang berakal disebut sebagai ulul albāb. Mengutip dari tulisan
Ahsin Sakho bahwa mereka yang berakal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut, diantaranya:
memenuhi janji Allah untuk melaksanakan semua titah-Nya dan mengabdi kepada-Nya. Kedua,
dia tidak melanggar janji yang sudah terucapkan. Ketiga, melaksanakan dan melanjutkan apa yang
sudah menjadi sunatullah ataupun ketetapan Allah Swt. Keempat, mereka takut kepada sang
Khalik dengan penuh pengagungan. Kelima, mereka takut akan hari perhitungan nanti apa yang
telah dilakukan. Keenam, semua yang mereka lakukan semata-mata mencari ridha Allah Swt.
Ketujuh, mereka melaksanakan kewajiban yang telah Allah Swt perintahkan. Kedelapan, mereka
bersyukur atas nikmat Allah Swt yang telah diberikan yaitu dengan berinfaq apa yang telah
dimiliki. Kesembilan, Mereka tidak membalas keburukan yang mereka terima, justru sebaliknya
mereka membalasnya dengan kebaikan semata-mata menggapai ridha Allah Swt. Lihat, Ahsin
Sakho Muhammad, Oase Al-Qur‟an, h. 51.
20
Dalam hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 9, sebagai berikut:
......
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”.
8
sebuah titipan dan merasa ada yang selalu mengawasinya. Alangkah lebih
baiknnya bagi orang yang memiliki ilmu memanfaatkan ilmunya dengan sebaik-
baiknya. Dengan ilmunya dia bisa memahami hikmah dan mengambil pelajaran
yang tersebar dari setiap peristiwa yang terjadi dengan dirinya atau sekitarnya.
Perumpamaan orang yang berilmu tanpa mengamalkannya diumpamakan dalam
al-Qur’an seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sebagaimana
diungkap dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 5, yaitu:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,
kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-
Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-
ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Mengutip dari tulisan Mohsen Qira’ati, bahwa banyak dari para Imam
yang mengumpamakan tentang hal ini, diantaranya: Pertama, Orang yang berilmu
yang tidak mengamalkan ilmunya, disepertikan lilin yang bisa menerangi orang
lain akan tetapi dapat membakar dirinya. Kedua, Seperti Harta simpanan yang
dibelanjakan, dengan kata lain bahwa pasti harta simpanan itu akan habis. Ketiga,
Seperti sumur dimana didalamnya terdapat kotoran yang berbau busuk. Keempat,
Seperti kuburan dalam artian jika dilihat diluar terlihat bagus dengan hiasan akan
tetapi pada kenyataan di dalamnya berisi tulang belulang. Seperti itulah
perumpamaan orang yang tidak mengamalkan ilmunya.21
21 Mohsen Qira’ati, Poin-Poin Al-Qur‟an; Menyibak Rahasia Firman Tuhan, Penerjemah
Ahmad Subandi (Jakarta: Citra, 2015), h. 654.
9
Begitu juga Imam Syafi’i menasehati bahwa ilmu Allah Swt seperti
sebuah cahaya yang suci, jadi jika ilmu itu dilapisi atau diiringi dengan maksiat
maka ilmu itu tidak akan meneranginya atau Allah Swt tidak akan memberikan
ilmu kepadanya. Berikut adalah syairnya:
“ Aku mengeluh kepada Imam Waqi‟ tentang kesulitanku dalam
menghafal, lalu dia membimbingku supaya meninggalkan maksiat. Ia
memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Swt tidak diberikan
kepada pelaku kemaksiatan.22
Kenyataannya banyak orang yang berilmu tidak menyadari akan pelajaran
tersebut. Dia berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan perintah-Nya bahkan
melanggar syariat dengan alasan kecerdasan yang dimilikinya, sehingga dia
tergolong orang yang tertimpa istidrāj. Sedangkan disisi lain dijanjikan oleh Allah
Swt bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah Swt.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman_Nya surat Al-Mujādillah ayat 11, sebagai
berikut:
22
Lukman Hakim, dkk, Kamus Peribahasa Arab Mahfuzhat; Edisi Lengkap ( Jakarta:
Khazanah Pustaka Islam, 2015), h. 325.
10
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Begitu juga orang yang diberi pengetahuan oleh Allah Swt termasuk
tentang ayat-ayat Allah Swt, jiwanya akan meningkat dalam kesempurnaan.
Karena di dalam ayat-ayat tersebut terdapat petunjuk terhadap jalan kebaikan.
Dimana hanya bisa ditempuh dengan perbuatan-perbuatan yang berguna.
Penelitian mengenai istidrāj dalam khazanah keislaman dan dalam kajian
al-Qur’an merupakan suatu kajian yang sangat penting untuk dikaji, mengingat al-
Qur’an sebagai sumber utama umat Islam sehingga jika pengkajian al-Qur’an
yang berkaitan dengan kehidupan dunia sekaligus akhirat (istidrāj ) tidak banyak
dikaji, maka akan memberikan efek yang kurang baik terhadap umat islam
khususnya orang yang awam. Maksudnya, jika pengkajian tentang kehidupan
dunia juga mengantarkan ke akhirat tidak banyak dikaji (istidrāj ) maka mereka
akan terlena dengan segala nikmat yang mereka terima dari Allah Swt apalagi jika
mereka melakukan maksiat atau perbuatan yang kurang baik, memungkinkan
mereka akan melupakan pemberian dari-Nya. Maka dari itu, penulis tertarik untuk
membahas tentang ayat-ayat istidrāj dan penyebab orang yang ditimpa istidrāj
menurut al-Qur’an yang akan dibahas secara komprehensif.
B. Identifikasi Masalah
Terdapat permasalahan-permaslahan yang ada dalam latar belakang
masalah diatas, yaitu : pertama, persamaan dan berbedaan mufassir dalam
menafsirkan ayat tentang istidrāj dalam kitab tafsirnya. Kedua, hakikat makna
11
yang terkandung dalam ayat tentang istidrāj dan penyebab seseorang tertimpa
istidrāj yang menarik untuk dikaji lebih luas lagi dengan memberikan penjelasan
ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan pembahasan ini.
C. Rumusan dan Pembatasan masalah
Pembahasan tentang istidrāj sangat banyak dan luas aspek yang berkaitan
dengannya. Begitu juga pendekatan yang dilakukan untuk membahas tentang
istidrāj. Seperti pendekatan histori atau pendekatan kontekstual untuk melihat
atau mengambil pelajaran peristiwa zaman dahulu untuk memahami peristiwa
pada zaman sekarang, dan juga pendekatan tekstual untuk memahami isi
sebenarnya teks ataupun ayat yang dibahas.
Berdasarkan identifiskasi masalah diatas, pembatasan masalah yang akan
dibahas dalam tulisan ini yaitu menggunakan pendekatan secara tekstual pada ayat
yang berkaitan dengan istidrāj yaitu pada penggalan ayat (sanastadrijuhum)
karena tidak ada ayat yang merujuk kepada term istidrāj kecuali kalimat tersebut.
Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan tentang istidrāj lebih fokus dan
tidak keluar dari tema yang dibahas. Dan begitu juga tidak keluar dari aspek-
aspek yang telah diidentifikasi dengan mengaitkannya dengan ayat-ayat yang
berkaitan dengannya, namun tidak terlepas dari penafsiran dan penjelasan al-
Qur’an dan hadits.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis merumuskan
permasalahan pada: “Apa yang Dimaksud dengan Istidrāj Perspektif Al-
Qur’an ?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
12
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan dan kegunaan untuk mengetahui hakikat makna
istidrāj dan sebab-sebab orang tertimpa istidrāj menurut al-Qur’an.
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi
yang konkret akan perkara yang transenden yang seringkali tidak disadari oleh
manusia. Sehingga dapat diketahui hakikat makna istidrāj dan penyebab
seseorang ditimpa istidrāj.
E. Kajian Pustaka
Untuk mengindari terjadinya kesamaan dengan karya tulis yang lainnya,
penulis menelusuri kajian yang pernah dilakukakan sebelumnya. Selanjutnya,
hasil penulusuran ini akan menjadi acuan penulisan untuk tidak mengangkat
metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini benar-benar bukan hasil
plagiat dari kajian sebelumnya. Diantara penelusuran yang penulis temukan
sebagai berikut:
1. Skripsi Ahmad Mukharar dari UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, dengan
judul “istidrāj Perspektif Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jāmi‟ li Ahkām al-
Qur‟ān. Skripsi ini menggunkan pendekatan konteks dalam memahami
penafsiran yang diteliti yaitu penafsiran al-Qurṭubi sehingga menemukan
kesusaian penafisran terdahulu dengan fenomena sekarang. Tulisan ini
memberikan informasi bahwa penafsiran al-Qurthubi tentang istidrāj
terdapat konektualisasi dan relevansinya dengan masa sekarang. Begitu
juga skripsi ini mengingatkan untuk berhati-hati dalam membedakan
13
antara istidrāj dan rahmat karena ketika dilihat secara sekilas
penerimaannya sama sedangkan secara akarnya berbeda.
2. Jurnal Substantia Vol. 12, No. 2 edisi Oktober 2010 yang ditulis oleh
Damanhuri dengan judul “Istidrāj dalam Mawa‟iz al-Badi‟ah. Dalam
penelitiannya mengungkapkan tentang isi dan kandungan dalam kitab
Mawa‟iz al-Badi‟ah karya Syi’ah Kuala dengan terfokus pada pembahasan
tentang istidrāj. Begitu juga menginformasikan bahwa Syi’ah Kuala
dalam membahas tentang istidrāj yaitu dengan memaparkan kandungan
dari kitab tersebut.
Sepanjang pengetahuan penulis, dari beberapa penelusuran baik skripsi
ataupun jurnal, rata-rata lebih pada pembahasan Istidrāj yang menitikberatkan
pada sudut pandang salah satu tokoh mufassir dalam sebuah kitab. Begitu juga
dalam penelitian sebelumnya, peneliti menggunakan pendekatan konteksual
dalam memahami penafsiran tentang istidrāj sedangkan tulisan yang satu lagi
lebih memfokuskan kepada hikmah dari pesan yang disajikan. Maka dari itu,
penulis menganggap bahwa skripsi ataupun jurnal diatas sangatlah berbeda
dengan apa yang penulis teliti. Perbedaannya yaitu bahwa karya ilmiah yang
pernah penulis teliti lebih menitikberatkan pada pandangan salah satu tokoh
mufassir dan menggunakan pendekatan konteks agar terlihat adanya
konektualisasi dengan fenomena sekarang dan juga pesan untuk berhati-hati
dengan istidrāj. Sedangkan skripsi ini memaparkan lebih dalam lagi tentang
hakikat dan makna istidrāj dengan menggunakan pendekatan tekstual sehingga
dari analisis tersebut dapat diketahui sebab-sebab tertimpa istidrāj dan siapa saja
orang-orang yang tergolong ditimpai istidrāj. Begitu juga tidak terfokus pada
14
salah satu tokoh saja, akan tetapi dari berbagai sudut pandang mufassir secara
masif ataupun mengkombinasikan dari berbagai mufassir, sehingga mendapatkan
pemahaman yang utuh. Maka menurut penulis pembahasan ini penting dan perlu
dibahas. Selain itu, meskipun beberapa literatur mempunyai kesamaan tema
dengan penelitian penulis, yaitu tentang istidrāj dan juga terdapat kesamaan ayat
yang dibahas, akan tetapi dari segi objek pembahasan dan tujuannya berbeda
sebagaimana penulis paparkan sebelumnya. Dengan demikian, ini menunjukan
penelitian yang penulis lakukan belum pernah dilakukan oleh penulis sebelumya,
dan juga penulis berharap penelitian ini bisa menjadi bagian yang melengkapi
penelitian-penelitian sebelumnya, khususnya dalam khazanah keilmuan Islam di
Indonesia, dimana belum banyak ditemukan karya-karya yang membahas tentang
istidrāj.
F. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan
maudhu‟i23
yaitu pendekatan yang digunakan dalam penafsiran al-Qur’an dengan
memilih tema tertentu.24
Tema yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
tentang istidrāj. Kemudian penulis mengidentifikasi sejumlah ayat yang berkaitan
dengan tema tersebut dengan menggunakan kamus al-Mursyid Ilā Āyāti al-
Qur‟ān al-Karȋm wa Kalimāt. Selanjutnya penulis merumuskan setiap ayat
23 Mengutip dari Abdul Hayy al-Farmawi, ia mendefinisikan mengenai tafsir maudhu‟i
menurut pengertian para ulama, yaitu menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan
dan tema yang sama. Setelah itu, kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan
memperhatikan sebab-sebab turunnya. Kemudian, menguraikannya dengan menjelajahi seluruh
aspek yang dapat digali. Lihat, Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i dan Cara
Penerapannya, Penerjemah Rosihon Anwar (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, 2002), cet ke-2, h. 44
24Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadits (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah jakarta, 2008), 130.
15
dengan kandungan-kandungannya dan yang lainnya yang penulis merasa perlu
untuk di paparkan.
Dalam pemaparan metode, langkah awal yang penulis gunakan dalam
menyelesaikan skripsi ini, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan
penelitian kepustakaan (Library Reserch), yakni suatu teknik penelitian untuk
memperoleh data dari kitab, buku, jurnal, skripsi, kamus, dan rujukan lainnya
yang masing terkait dengan pembahasan.
Penelitian data ini terbagi menjadi dua bagian yaitu, pengumpulan data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari kitab suci Al-Qur’an,
sunah dan kitab-kitab tafsir baik dari periode klasik maupun kontemporer,
diantaranya: Jami‟ Li Ahkām al-Qur‟ān, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Tustarȋ,
Tafsir Fi Dzilal al-Qur‟an, Tafsȋr al-Misbāh, Ṣofwat al-Tafāsȋr, Tafsȋr Ibn Abȋ
Hātim al-Rāzi, Al-Kasyāf, Tafsīr Ibnu „Asyur, Tafsīr al-Munīr dll. Begitu juga
menggunakan kamus Al-Mursyid Ilā Āyāti al-Qur‟ān al-Karȋm wa Kalimāt, dll.
Dan data sekunder diperoleh dari kitab, buku, skripsi, jurnal dan rujukan yang
lainnya yang sesuai dengan pembahasan
Metode yang digunakan dalam skripsi ini, adalah metode deskripsi analisis,
yaitu mendeskripsikan data-data yang ada (primer dan sekunder) kemudian
dianalisa secara proposional, sehingga akan nampak jelas rincian persoalan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan yang diangkat. Dengan kata lain
mengumpulkan data-data yang kemudian diteliti dan dianalisa kemudian dijadikan
kesimpulan. Kemudian langkah selanjutnya menganalisa makna dan penafsiran
yang terkandung pada kata Istidrāj dalam al-Qur’an dengan menggunakan
16
rujukan pada beberapa rujukan pada bebrapa kitab tafsir yang telah disebutkan
diatas.
Adapun tehnik penulisan karya ilmiah ini, penulis mengacu pada Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2013/2014.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama, berisi pendahuluan. Pada bab ini memaparkan tentang latar
belakang masalah mengapa perlu dibahas, kemudian dirumuskan dan dibatasi
supaya pembahasannya tidak melebar. Begitu juga dalam bab ini memaparkan
kegunaan dan menunjukan kajian pustaka untuk mengetahui masalah utama dan
temuan yang telah dihasilkan pada penelitian sebelumnya juga menjadi referensi
dalam melakukan penelitian dalam topik yang sama yaitu istidraj. Setelah itu
merumuskan metode penelitian yang akan digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang akan dibahas.
Bab kedua, berisi kajian teoritis. Dalam bab ini penulis memaparkan
definisi istidraj dalam kamus-kamus al-Qur’an untuk merangkum pemahaman
mengenai istidraj. Kemudian dijelaskan bagaimana ulama berbeda pandangan
dalam memahami istidraj, juga penulis menampilkan bagaimana dampak
fenomena istidraj dalam kehidupan.
Bab ketiga, membahas tentang pemaknaan dan sebab-sebab Istidraj dalam
Al-Qur’an yang sudah dibatasi dalam pembatasan masalah yaitu dalam bentuk
fi’il mudhari yaitu ( ). Dalam bab ini penulis memaparkan bagaimana
para ulama menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan Istidraj. Begitu juga,
17
dengan menitikberatkan pada penggalan ayat tersebut, penulis menguraikan
pelaku istidrāj, sebab-sebab dan cara untuk menjauhkan diri dari orang yang
tertimpa istidrāj.
Bab keempat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan atau hasil dari
analisis yang telah penulis teliti dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
17
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG ISTIDRĀJ
Untuk memahami makna sebuah kalimat yang sukar dipahami, maka harus
mencari asal kata dari kalimat tersebut. Dalam bab ini penulis akan menguraikan
kajian teoritis tentang istidrāj dan segala sesuatu yang melengkapi pembahasan
tentang makna istidrāj itu sendiri. Oleh karena itu sebelum masuk ke pembahasan
selanjutnya, maka penulis akan menguraikan terlebih dahulu makna istidrāj, yaitu
sebagai berikut:
A. Pengertian Istidrāj
Kata istidrāj merupakan salah satu kata yang terdapat dalam al-Qur‟an
salah satunya dalam surat al-„Araf ayat 182:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui.”
Istidrāj menurut bahasa merupakan akar kata dari ( ) yang artinya
tingkat. Dimasukan kedalam ( ), kemudian ditambahkan dengan alif, sin
dan ta.
18
Kemudian terdapat beberapa pendapat lainnya tentang istidrāj, diantaranya
yaitu: Menurut Abi Hasan Ali, istidrāj adalah melalui tingkatan demi tingkatan.
Pengertian yang kedua, Abi Hasan Ali memahamkan istidrāj sebagai: Pertama,
istidrāj berasal dari kata ( ), artinya melintasi sesuatu. Kedua, istidrāj
berasal dari kata ( ), artinya kemunduran dari tingkatan demi tingkatan.
Lebih lanjutnya ia memaknai istidrāj yaitu, Pertama: menunjukan kepada
kebinasaan. Kedua, menunjukan kepada kekafiran.1
Sama halnya dengan
pendapat Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya mendefinisikan istidrāj diambil
dari kata ( ) ad-darj yang pada mulanya berarti tingkat. Kemudian
menurutnya kata ( ) tadarruj bermakna berpindah dari satu tingkat atau tahap
ke tingkat atau tahap lain.2 Begitu juga menurutnya, kata (sanastadrijuhum)
terambil dari kata ( ) al-darajah, yang memiliki arti yaitu tangga, juga arti
dari anak-anak tangga. Huruf sin dan ta‟ pada kata tersebut menurutnya
mempunyai arti “meminta” sehingga bisa diartikan meminta mereka untuk naik
atau turun melalui anak tangga sehingga ia mencapai satu tingkat yang tidak dapat
dicapainya kecuali dengan menggunakan tangga tersebut.3 Selanjutnya makna
1 Abi Hasan Ali, Al-Nukatu wa Al-Uyūn Tafsīr Al-Mawardī ( Beirut: Dār Kutub Al-
Ilmiyah, t.t), juz ke-2, h. 282.
2 M. Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ān
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14 , h. 264.
3 M. Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ān
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 4 , h. 392.
19
istidrāj menurut Jamaludin Muhammad dengan menggunakan kata
( darrajahu-wastadrajahu ) bermakna menghinakannya dengan
serendah rendahnya. Seperti dalam firman-Nya:
“Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah
kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”
Sesuai dengan penjelasan diatas, maka penulis dapat memberi kesimpulan
bahwa kata istidrāj identik dengan meningkat setahap demi setahap.
Sedangkan secara terminologi, menurut Zainuddȋn Qāsim dalam Gharȋb
al-Qur‟ān memaknai makna istidrāj dengan menggunakan kata
(sanastadrijuhum) yaitu bermakna menjadikan mereka bingung dan diam-diam
mengalami kerusakan. Juga menurut ahli ilmu ma‟ānȋ yang dikutip olehnya,
memaknai istidrāj yaitu meningkat sedikit demi sedikit tidak ada yang
menandinginya. Perumpamaan darinya seperti berjalannya seorang bayi ketika
mendekati kemampuannya dalam berjalan dia tidak akan menyerah sebelum
mampu berjalan meskipun terjatuh berkali-kali, dan juga ketika melipat sesuatu,
seseorang itu akan terus melipat sesuai dengan keinginannya dan tidak akan
berhenti kecuali lipatan itu sesuai. 4
Sementara menurut Abȋ Qāsim al-Husaini dalam kitabnya mengartikan
makna istidrāj yaitu menarik mereka setingkat demi setingkat, maksudnya lebih
rendah dari suatu perkara yang paling menghinakan. Perumpamaan mereka seperti
4
Zainuddȋn Qāsim al-Hanafȋ, Gharȋb al-Qur‟ān ( Beirut: Dār al-Kitāb al-alamiyah, 2012),
h. 156.
20
tingkatan dan suatu martabat dalam tingkatan ranahnya. Maksudnya seseorang
yang mempunyai martabat yang tinggi akan semakin tinggi, juga yang rendah
semakin rendah.5
Kemudian menurut Ibrahȋm al-Qaṯān, menurutnya makna istidrāj yaitu
menyiksa setingkat demi setingkat.6
Sama halnya menurut Abī Muhammad
„Abdullah bin Muslim memaknainya dengan menarik mereka sedikit demi sedikit
tanpa aniaya.7 Dan menurut Ghasin Hamdun dalam tafsirnya memaknai istidrāj
dengan mendekatkan mereka kepada kehancuran dengan berupa kenikmatan dan
penangguhan waktu.8 Dan juga menurut Jamaluddin Muhammad berpendapat
tentang istidrāj makna lainnya yaitu menghukum mereka sedikit demi sedikit dan
mendatanginya secara tiba-tiba. Dan ada juga pendapat lainnya yaitu dengan
menghukum mereka dengan sesuatu yang tidak dapat diperkirakan. Maksudnya,
Allah Swt memberikan nikmatnya dengan bersenang-senang atas nikmatnya dan
menjadikan mereka lupa akan nikmat yang diberikan dan tidak mengingat mati.
Sehingga diceritakan dalam kitab Lisān al-A‟rabī, bahwa Umar bin Khatab pada
suatu hari menerima harta kekayaan simpanan raja Persia untuk dijadikan tawanan
akan tetapi Umar bin khatab takut terhadap harta kekayaan yang dia terima
menjadikan dia lupa dan tidak sadarkan diri, sehingga menyeretnya ke arah
kebinasaan dan keruntuhan kerajaannya. Lalu dia berdo‟a:
5 Abȋ Qāsim al-Husaini bin Muhammad al-Ma‟rūf bin al-Rāgib al-Aṣfahāni, Al-Mufradāt
fȋ Garȋb al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, t.t), h. 168.
6 Ibrāhīm Al-Qaṯān, Taisīr al-Tafsīr (T.tp: T.pn, 1983), h. 223.
7 „Abi Muhammad „Abdullah bin Muslim, Tafsīr Garīb al-Qur‟an ( Beirut: al-maktabah
al-„Ilmiyah, 2007), h. 481.
8 Ghasin Hamdun, Tafsīr Min Nasmat al-Qur‟an (Suriah: Dār al-Salām, 1986), h. 179.
21
“Ya Allah ya Tuhanku! Aku berlindung dengan-Mu, janganlah kiranya aku
ditarik sedikit demi sedikit ke arah kebinasaan. Sesungguhnya aku mendengar
Engkau berfirman: “Nanti akan Kami tarik mereka dengan berangsur-angsur (ke
arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” .9
Orang yang tertimpa istidrāj seringkali disebut sebagai orang yang lupa
daratan. Dikatakan demikian karena, mereka merasa Allah Swt masih menyayangi
mereka meskipun mereka terus berbuat maksiat. Allah memberikan nikmat yang
banyak kepadanya sehingga membuat mereka lupa, dan mereka tidak
menyadarinya bahwa tujuan Allah Swt memberikan nikmatnya yaitu untuk
menghancurkannya. Seperti hadits yang dikutip dalam tulisan Noor Hisam Ismail
yang diambil dari kitab Nashoihul i‟bad yang bermakna sebagai berikut:
“Apabila Allah Swt menghendaki untuk membinasakan semut, Allah
terbangkan semut itu dengan dua sayapnya”. 10
Dari bebrapa pendapat di atas, maka penulis dapat memberi kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan istidrāj adalah penarikan seseorang sedikit demi
sedikit kearah kebinasaan.
B. Kata Lain yang Semakna dengan Istidrāj
Ungkapan yang menunjukan istidrāj di dalam al-Qur‟an tidak saja hanya
dengan term istidrāj. Faḫruddin al-Rāzī memaparkann dalam tafsirnya bahwa
ungkapan yang menunjukan kepada seorang hamba yang jauh dari Allah Swt atau
hamba yang mendekati kekafiran11
(istidrāj) terdapat bebarapa ungkapan, yaitu:
9 Jamaluddin Muhammad, Lisān al-A‟rabī ( Beirut: Dar al-Shādir, 1990), Juz ke- 2, h.
268.
10 Noor Hisham Ismail, Mencari Redha-Mu (T.tp : Gruf Buku Karangkaf, 1973), h. 401.
11
Faḫru al-Rāzī, Tafsīr al-Faḫru Rāzī, juz 15 ( Beirut: Dār al-Fikrī, 1985), h. 78.
22
1. Al-Makr12
Allah Swt memaparkan tentang al-makr dalam kitab suci-Nya salah
satunya dalam surat Al-„Araf ayat 71, sebagai berikut:
“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-
duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang
merugi”.
Definisi dari makar menurut Siti Aminah dalam tulisannya bahwa makar
secara bahasa berasal dari bahasa arab yang asal katanya adalah (ma-ka-ra) yang
artinya adalah pohon rindang atau rimbun yang lebat dahannya. Lalu pengertian
ini berkembang menjadi perbuatan menipu. Sedangkan secara istilah ia
mengungkapkan bahwa makar adalah rencana tersembunyi yang teguh untuk
melakukan apa yang dikehendaki oleh pembuat makar kepada sasarannya dengan
cara yang tidak disangka-sangka.13
Sedangkan menurut Quraish Shihab
menjelaskan bahwa makar dalam bahasa al-Qur‟an adalah mengalihkan pihak lain
dari apa yang dikehendaki dengan cara tersembunyi atau tipu daya. 14
Begitu juga
ia menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan makar, sebenarnya dia sedang
melakukan sesuatu yang tidak jelas hakikatnya sasaran makar tersebut. Ia
membagi makar dalam dua bagian, yaitu yang bertujuan baik dan yang bertujuan
buruk. Tidak ada pembuat makar yang lebih rapi daripada Allah.15
12 Tim Dakwah Pesantren, Tanya Jawab Islam ( T.tp : Darul Hijrah Tecnology, 2015), h.
4727.
13 Siti Aminah, “Makna Makar dalam Al-Qur‟ān (Studi Komperatif Antara Tafsīr Ibnu
Katsīr, Al-Marāghī, Dan Al-Azhar)”, (Disertasi S3 Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau, 2015), h. 36.
14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 4, h. 221.
15
Seperti dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 54, sebagai berikut:
23
Dalam al-Qur‟an kata al-Makr terulang sebanyak 25 kali dan tergelar
dalam 16 surat juga 25 ayat . Diantaranya sebagai berikut : Ali Imrān (3): 54,50;
Al-Ra‟d (13): 42,33; Al-Nahl (16): 26,45,127; Al-A‟raf (7): 123,99; Ibrahīm (14):
46; Al-Naml ( 27): 50,70,51; Ghafir (40): 45; Nuh ( 71): 22; Yunūs ( 10): 21; Al-
Anfāl ( 8): 30; Al-An‟am ( 6): 123, 124; Yusūf ( 12): 102,31; Fatir ( 35): 10,43;
Saba‟ ( 34): 33.16
Menurut Siti Aminah dalam tulisannya bahwa pelaku makar yang
diungkapkan dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut yaitu orang kafir, orang
musyrik dan orang munafik. Begitu juga ia menguraikan tatacara untuk
menghadapai makar, yaitu dengan cara bersabar akan perbuatan makar mereka
dan tidak bersedih hati17
sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Naml ayat 70,
yaitu:
“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka, dan janganlah
(dadamu) merasa sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan".
Sesuai dengan pemaparan diatas, maksud dari makar disini adalah bahwa
Allah Swt membalas perbuatan makar yang dilakukan hamba-Nya dengan cara
yang tidak disangka-sangka atau tidak di sadarinya, seperti hal nya Allah Swt
menimpakan istidrāj bagi hamba-Nya yang kufur nikmat, menyalahgunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah Swt kepadanya.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. dan
Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.”
16 Muhammad Fu‟adz „Abdul Bāqī, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur‟āan al-Karīm
(T.tp: Dār al-Hadīs, 1996), h. 768.
17 Siti Aminah, “Makna Makar dalam Al-Qur‟ān”, h. 49.
24
2. Al-Khid’ah (Tipu Daya)
Allah Swt menyatakan dalam firman-Nya dalam surat Al-Nisa ayat 142,
sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri
dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan
tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Menurut bahasa “Al-Khid‟ah” adalah tipu daya, memperdayakan, atau
culas. Sedangkan menurut istilah adalah menempatkan orang lain pada posisi
yang dikatakan, yang sebenarnya berbeda dengan maksud yang disembunyikan.
Di dalam al-Qur‟an ungkapan al-Khid‟ah terdapat 3 kali diungkapkan, yaitu
terdapat dalam surat al-Anfāl (8) : 62, al-Baqarah (2): 9, dan al-Nisa (4): 142.18
Adapun tanda-tanda khid‟ah yaitu Seperti yang dikutip dalam kamus ilmu
al-Qur‟an bahwa al-Qadzdzafi menyebutkannya dalam beberapa bagian: Pertama,
Tidak segan melakukan perbuatan yang rendah. Kedua, Mudah memusuhi orang.
Ketiga, Jika ingin menggapai suatu tujuan, ia menempuh dengan cara melingkar-
lingkar yang merupakan perbutan makar dan tipuan.
Selanjutnya, karakteristik khid‟ah dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa
berhubungan dengan tingkah laku orang munafik yang menipu Nabi Muhammad
dan kaum muslimin dengan berpura-pura beriman.19
18 Muhammad Fu‟adz „Abdul Bāqī, Mu‟jam al-Mufahras, h. 279.
19
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2005), h. 156.
25
Sama halnya dengan pembahasan makar dan istidrāj, al-khid‟ah juga
dimaksudkan atas pembalasan Allah Swt bagi orang melakukan perbuatan
maksiat tanpa merasa berdosa telah melakukannya.
3. Al-Imla (Memberi Tangguh).
Allah Swt mengisyaratkan tentang penangguhan-Nya dalam surat Ali
Imran ayat 178, sebagai berikut:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Di dalam al-Qur‟an kata al-imla dan derivasinya terulang 9 kali, yaitu
terurai dalam 8 surat dan 9 ayat. Diantaranya terdapat dalam surat: Muhammad
(25): 25; Al-Ra‟du ( 13): 32; al-Haj ( 22): 44,48; Al-A‟rāf ( 7): 183: al-Qalam
( 68): 45; Ali Imrān ( 3): 178; al-Furqān ( 25): 5; Maryam ( 19): 46.20
Penangguhan Allah Swt tidak seperti penangguhan manusia. Allah Swt
memberikan kesempatan demi kesempatan untuk manusia meskipun orang
tersebut seringkali berbuat maksiat. Allah Swt memberikan isyarat kepada mereka
apakah mereka dapat mengambil pelajaran darinya atau tidak, jika mereka dapat
mengambil pelajaran maka Allah Swt akan mengangkat derajat mereka dan
memudahkan urusannya. Akan tetapi jika mereka tidak mau mengambil pelajaran
dari peringatan-peringatan menjadikan dia berfikir bahwa Allah Swt sudah
20 Muhammad Fu‟adz „Abdul Bāqī, Mu‟jam al-Mufahras, h. 772.
26
melupakannya atau mungkin juga dia berfikir bahwa tidak ada yang layak diberi
peringatan atau adzab atas apa yang pernah dia lakukan.21
Seperti dikatakan dalam
surat al-Mujadilah ayat 8, yaitu:
“Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang
Mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan)
larangan itu dan mereka Mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa,
permusuhan dan durhaka kepada rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu,
mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan
sebagai yang ditentukan Allah untukmu. dan mereka mengatakan kepada diri
mereka sendiri: "Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita
katakan itu?" cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. dan
neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
4. Al-Kaid (Tipu Daya)
Allah swt berfirman dalam surat ali Imrān ayat 120, sebagai berikut:
“ Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi
jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar
dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan
21 Abdul Hamid al-Bilali, Ta‟ammulat ba‟da al-Fajr, Penerjemah Akhmad Syaikhu
( Jakarta: Al-Mahira, 2005), cet ke-1, h. 85-86.
27
kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang
mereka kerjakan.”
Dalam al-Qur‟an term al-Kaid dan derivasinya disebutkan 28 kali yang
tersebar dalam 16 surat dan 28 ayat, diantaranya adalah : Yusūf (12): 76, 5, 52, 28,
33, 50; al-Ṭāriq ( 86): 16, 15; Al-anbiyā (21): 57,70; Al-A‟raf (7): 195, 183; al-
Mursalāt (77): 39; Hūd (11): 55; Al-Nisā (4): 76; Al-Anfāl ( 8): 18; Thaha (20):
69,64,60; Ghafir ( 40): 25, 37; Al-Shafat ( 37): 98; Al-Tūr ( 52): 42,46; Al-Haj
( 22): 15; Ali Imrān ( 3): 120; Al-fīl (105): 2; Al-Qalam ( 68): 45.22
Syaitan memiliki berbagai macam cara untuk mengelabui manusia
sehingga manusia tertipu olehnya. Jika manusia hatinya tertutup oleh maksiat
yang sering dilakukannya maka menjadikan syetan mudah untuk menipu nya.
Untuk menghindari dari segala tipu daya nya maka tidak ada cara selain meminta
pertolongan kepada Allah Swt untuk selalu dihindarkan dari segala tipu daya dan
diselamatkan ketika tipu daya itu menyusup dalam hati misalnya tamak akan
dunia, juga menyadarkan hati akan muslihat dalam menyesatkan manusia.23
Untuk meminta keteguhan hati, Allah Swt mengajarkan kepada manusia untuk
berdo‟a seperti yang diterangkan dalam al-Qur‟an surat Ali Imrān ayat 8, yaitu:
“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan
22
Muhammad Fu‟adz „Abdul Bāqī, Mu‟jam al-Mufahras, h. 742.
23 Saiful Hadi Al-Sutha, Mengenali Trik-Trik Syetan dan Kiat-Kiat Menjernihkan Hati
(Jakarta: Erlangga, t.t), h. 89-90.
28
karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya
Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, maksud dari al-Kaid di sini yaitu
tentang pembalasan Allah Swt bagi orang yang melakukan kemadaratan atau tipu
muslihat maka Allah Swt akan membalas perbuatan mereka dari sisi yang tidak
disangka-sangka seperti halnya istidrāj.
C. Istidrāj dalam Pandangan Para Mufassir
Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan bagaimana para
mufassir memaknai istidrāj. Diantaranya yaitu: Quraish Shihab misalnya
mengemukakan bahwa makna Istidrāj adalah memindahkan dari satu tahap ke
tahap yang lain guna mencapai satu tujuan. Menurutnya kata tersebut populer
dalam arti perlakuan yang secara lahiriah baik, tetapi bertujuan memberi sanksi
terhadap yang melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai
puncaknya dengan jatuhnya siksa.24
Sama hal nya dengan Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy menjelaskan bahwa makna Istidrāj adalah pemanjaan agar lebih
terjerumus kepada kehinaan.25
Begitu juga ia memaknai istidrāj dengan
mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, setapak demi setapak dan
didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya.26
Al-Thabari juga
sependapat mengenai makna dari Istidrāj adalah tipuan halus kepada orang yang
diberi tenggang waktu sehingga ia merasa bahwa yang memberikan tenggang
waktu itu, berbuat baik kepadanya sehingga pada akhirnya ia terjerumus kedalam
hal yang tidak disenangi. Kemudian ia menambahkan tentang orang yang tertimpa
24
Shihab, Tafsȋr al-Misbāh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14 , h. 264
25 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr Al-Qur‟an Al-Majīd Al-Nūr ( Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid 5 , h. 4319.
26 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr Al-Qur‟an Al-Majīd Al-Nūr, Jilid 2, h. 4319
29
Istidrāj yaitu Allah Swt menghiasai perbuatan jeleknya, sehingga ia menyangka
bahwa perbuatannya adalah perbuatan baik.27
Selanjutnya, mengutip dari Imam al-Qusyairi bahwa yang dimaksud
dengan istidrāj adalah mendekatkan mereka dengan hukuman tanpa disadarinya.
Begitu juga ia menambahkan beberapa pendapat lainnya tentang definisi istidrāj
yaitu setiap mereka melakukan maksiat maka bertambah pula nikmat yang
diberikan Allah Swt kepada mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka
tidak dihukum ketika sedang melakukan kesalahan tersebut, akan tetapi hukuman
itu dilakukan setelahnya. Kemudian ada juga yang mengatakan tentang istidrāj
yaitu berhura-hura dengan nikmat dan juga melupakan-Nya. Begitu juga tipuan
dengan penanguhan waktu. Dan terakhir, ada juga yang mengatakan tantang
makna istidrāj yaitu memperlihatkan kenikmatan dan menyembunyikan
kekacauan.28
Sama hal nya dengan Abu Bakar Jabir menjelaskan bahwasannya
ketika mereka melakukan kemaksiatan yang baru maka Allah memberikan kepada
mereka nikmat yang baru sehingga suatu saat Allah menghukum mereka ketika
mereka tidak menyadarinya. Menurutnya makna Istidrāj itu sendiri adalah
menghukum dengan bertahap, setingkat demi setingkat.29
Begitu juga Sayyid
Qutbh berpendapat bahwa penangguhan siksaan (Istidrāj) adalah sesuatu kekuatan
yang tidak diperhitungkan dengan semestinya dan yang dilupakan oleh orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. Dan begitu juga penangguhan
27 Abu Jafar Muhammad bin Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari, Penerjemah Abdul
Somad dan Yusuf Hamdani, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Jilid 11, h. 814.
28 Imam Qusyairi, Lathāif al- Isyārat: Tafsīr Sūfī Kamil li al-Qur‟an al-Karīm, Juz 3
( t.tp: t.p, 1983), h. 622.
29 Abū Bakar Jabīr Al-Jazairī, Tafsīr Al-Qur‟ān Al-Aisār ( Jakarta: Darus Sunah, 2015),
jilid 3, h. 208.
30
tersebut ditimpakan kepada mereka tanpa diketahuinya.30
Kemudian Ibnu „Asyūr
berpendapat bahwa makna istidrāj adalah menarik mereka ke arah kebinasaan,
akan tetapi balasan itu diakhirkan untuk memberikan mereka pelajaran.31
Dan
Wahbah Zuhalī Juga sependapat tentang makna istidrāj yaitu merendahkan
mereka sedikit demi sedikit menuju arah kehancuran.32
Orang yang tertimpa Istidrāj pada umumnya mereka bergelimang harta
ataupun kekuasaan. Akan tetapi mereka melupakan siapa yang memberinya
ataupun selalu berbuat maksiat. Jika melihat orang yang demikian dalam sebuah
hadits yang dikutip oleh Muhammad Mukharar dalam karya tulisnya disebut
dengan Istidrāj.33
Imam Al-Syaukani menjelaskan lebih lanjut dalam kitab
tafsirnya bahwa Allah Swt membuat mereka lupa mensyukurinya sehingga
mereka tenggelam di dalam kesesatan dan tidak akan bisa keluar dari kesesatan
tersebut kecuali mereka mendapatkan kedudukan di sisi-Nya.34
Dikutip dari Sa‟id
Hawa Rasulullah Saw bersabda :
30 Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zhilal Al-Qur‟an; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Penerjemah
M Misbah ( Jakarta: Robbani Press, 2006), Jilid 5, h. 467.
31 Ibnu „Asyur, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr (Tunisia: Dār Suhūn, t.t ), h. 101.
32
Wahbah al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr Fī al-„Aqīdah wa al-Syarī‟ah wa al-Manhaj
( Beirut: Dār al-Fikri, 2014), Juz ke-5, h. 194.
33 Ahmad Mukharrar, “Istidrāj dalam perspektif al-Qurṯubī dalam Tafsir al-Jamī li
Ahkām al-Qur‟an,” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam
Negri Sunan Kalijaga, 2016), h. 5. 34
Imam Al-Syaukani, Tafsir Fath Al-Qadīr, Penerjemah Amir Hamzah, ( Jakarta:
Pustaka Azzam, 2010), Jilid 4, h. 341.
31
“ Diceritakan dari Imam Ahmad dari „Aqabah bin „Āmir dari Rasulullah
Saw bersabda: Jika kalian melihat Allah Swt memberikan dunia kepada seorang
hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu
merupakan Istidrāj. kemudian Rasulullah Saw membaca ayat:“ Maka tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa
mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus
asa.”35
Mengutip dari tulisan Ibnu Qayim al-Jauziyah bahwa ulama salaf
mengatakan tentang istidrāj yaitu:” Jika Allah Swt melimpahkan berbagai macam
nikmat kepada seorang hamba, sementara dia berbuat maksiat kepada-Nya, maka
berhati-hatilah bahwa itu adalah Istidrāj.36
Dimana semuanya hanyalah sebuah
kesenangan duniawi. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Zukhruf
ayat 33-35 yaitu :
“ Dan Sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi
umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang
kafir kepada Tuhan yang Maha Pemurah loteng- loteng perak bagi rumah mereka
dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (kami buatkan
35 Sa‟id Hawa, Al-Asās al-Tafsīr ( T.tp: Dar al-Salam, 1983), Juz ke-3, h. 1631.
36
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Penawar Hati yang Sakit; Seri Penyucian Hati , Penerjemah
Ahmad Turmudzi (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 45.
32
pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-
dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (kami buatkan pula) perhiasan-
perhiasan (dari emas untuk mereka). dan semuanya itu tidak lain hanyalah
kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah
bagi orang-orang yang bertakwa.”
Istidrāj adakalanya disebut sebagai jurang kebinasaan. Seseorang yang
jauh dari Allah Swt dan tidak mengenal-Nya maka akan terjerambab kedalam
jurang kebinasaan juga termakan akan tipu daya yang sementara. Orang yang
tertimpa istidrāj akan dibiarkan oleh Allah Swt dalam kesesatan, dan didekatkan
pada kebinasaan.37
Seperti yang dikemukakan oleh Ali al-Ṣa‟buni tentang istidrāj
bahwa keadaan mereka didekatkan kepada kehancuran dan hukuman yang
diberikan akan dilipatgandakan.38
Seperti yang tertera dalam firman-Nya dalam
surat al-Baqarah ayat 15, sebagai berikut:
....
“..... Dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan
mereka.”
Kesesatan mereka Allah biarkan tanpa disadarinya, juga kelalaian terhadap
isyarat yang selalu Allah hadirkan akan diindahkannya karena Allah telah
menjadikan hati mereka lalai akan mengingatnya.39
Juga Hamka menambahkan
37 Usin S Artyasa, Ingin Sukses dan Berkah? Awali dengan Bismillah ( Bandung: Ruang
kata, 2012), Cet. 1, h. 140.
38 Muhammad Ali al-Ṣa‟bunī, Qabas Min Nūr al-Qur‟an al-Karīm, Penerjemah Kathr
Suhardi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 112.
39
Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya surat al-Kahfi ayat 28, sebagai berikut:
...
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami...”.
33
bahwa mereka diberi segala kesempatan yang sesuai dengan selera mereka,
kemudian Allah hancurkan. Semuanya tanpa disadari oleh yang bersangkutan,
sebab Allah menjadikan mereka lupa.40
Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an
surat al-Hasyr ayat 19, sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-
orang yang fasik.”
Menurut penjelasan yang telah dipaparkan bahwa pandangan para
mufassir mengenai makna istidrāj bahwa Quraish Shihab, al-Thabarī, Hasbi al-
Shidiqī dan Hamka berpendapat sama mengenai makna istidrāj adalah
memperlakukan mereka secara lahiriah baik, tetapi untuk mengarahkan mereka
menuju kebinasaan. Adapun Imam al-Qusairī, Abu Bakar al-Jazairī dan Sayyid
Qutbh, Ibnu „Asyūr dan Wahbah al-Zuhalī berpendapat mengenai istidrāj yaitu
menghukum mereka atau mendekatkan mereka kepada hukuman tanpa
disadarinya. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa makna istidrāj menurut
para mufassir yaitu pemberian nikmat untuk manusia dan menjadikan mereka lalai
dan celaka.
D. Dampak Fenomena Istidrāj terhadap Kepribadian Seseorang
Tipu daya dunia seringkali melenakan orang yang tidak meminta
perlindungan kepada Allah Swt ataupun orang yang melupakan anugrah-Nya.
40
Hamka, Tafsir al-Azhar ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Juz 9, h. 183.
34
Sebagaimana Allah Swt menyatakan dalam firman-Nya surat al-Infithar ayat 6,
yaitu sebagai berikut:
“ Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.”
Jika seseorang itu telah terperdaya maka tidak ada yang bisa menolongnya
kecuali Allah Swt bahkan oleh kerabat dekat pun. Sebagaimana dinyatakan dalam
al-Qur‟an surat Luqman ayat 33, sebagai berikut:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari
yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang
anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah
adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam
(mentaati) Allah.”
Keterperdayaan mereka tidak akan ada yang bisa menahannya, maka tidak
ada jalan selain meminta pertolongan kepada Allah Swt. Seperti yang dikutip oleh
Damanhuri dalam tulisannya bahwa orang yang telah terperdaya dan merasakan
adzabnya maka mereka akan merasakan kesedihan yang teramat sangat dan
gundah gulana dalam hatinya.41
41 Damanhuri, “ Istidrāj dalam Mawa‟iz Al-Badi‟ah,” Substantia, No.2 (Oktober 2010): h.
447.
35
Begitu juga orang yang tertimpa istidrāj akan menjadikan dirinya bangga
(sombong)42
atas apa yang ada pada dirinya karena kelebihan atau nikmat yang
diberikan Allah Swt kepadanya. Misalnya jika terjadi kepada orang yang berilmu,
Allah Swt memberikan pemahaman, kecerdikan dan bisa berbicara fasih sehingga
mereka menyangka telah memiliki ilmu hakikat.43
Mereka menjadi merendahkan
orang lain lebih rendah daripadanya. Begitulah Allah Swt menimpakan istidrāj
kepada orang lalai akan mengingat-Nya, sangat halus sehingga sampai tidak
menyadarinya.
Sifat sombong hanya berhak dimiliki oleh Allah Swt semata karena Dia
yang memiliki segalanya. Jika manusia ada yang bersifat sombong, hakikatnya dia
telah mengingkari kekuasaan Allah Swt. Dia merasa apa yang dimilikinya
menjadikannya lebih baik daripada orang lain. Dia tidak menyadari semuanya
adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya. Oleh sebab itu tidak ada gunanya
membiarkan kesombongan pada manusia, karena sesungguhnya hanya akan
membinasakan dirinya sendiri.44
Ciri ketakaburan orang yang berilmu adalah ia tidak mau mendengarkan
nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Kemudian ketakaburan orang yang
42 Imam al-Ghazali menuturkan sebagaimana yang dikutip oleh Didi Junaedi dalam
tulisannya, bahwa takabur/ sombong terbagi menjadi dua bagian: Pertama, Takabur dalam urusan
agama. Kedua, Takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi juga dalam dua
bagian, yaitu: Pertama, Takabur karena ilmu. Kedua, Takabur karena amal. Lihat, Didi Junaedi,
Agar Allah Selalu Menolongmu!; Melihat Sisi Baik dari Setiap Ujian ( Jakarta: Suluk, 2011), Cet-
1, Jilid 2, h. 38 43
Damanhuri, “ Istidrāj dalam Mawa‟iz Al-Badi‟ah”, h. 449.
44 Al-Qur‟an mencatat sifat sombong pertama kali ditunjukan kepada iblis ketika
diperintahkan oleh Allah Swt untuk sujud kepada Nabi Adam as. Seperti dinyatakan dalam al-
Qur‟an surat al-„Araf ayat 12, sebagai berikut:
“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya
dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". Lihat, Didi Junaedi, Agar Allah Selalu
Menolongmu, h. 36-37.
36
banyak amal yaitu ia merasa dirinya telah beramal lebih dari orang lain lakukan.
Ia merasa amalannya lebih bagus sehingga bisa merendahkan orang lain, padahal
hanya Allah Swt yang mengetahui amal yang telah hamba-Nya lakukan. 45
Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Muhammad ayat 30-31:
“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu
sehingga kamu benar-benar dapat Mengenal mereka dengan tanda-tandanya. dan
kamu benar-benar akan Mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka
dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. Dan Sesungguhnya Kami
benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik
buruknya) hal ihwalmu.”
Selanjutnya, akibat dari berpaling mengingat Allah Swt menurut Mohsen
Qira‟ati diantaranya: Pertama, Terhalang dari jalan yang benar. Tidak dipungkiri
bahwa Allah Swt selalu menunjukan jalan yang lurus kepada hambaNya, akan
tetapi manusia seringkali menyalahi jalan tersebut. Begitu juga syetan akan terus
menghalangi manusia dari jalan yang benar. Sebagaimana dinyatakan dalam al-
Qur‟an surat al-Zukhruf ayat 37, yaitu:
45 Damanhuri, “ Istidrāj dalam Mawa‟iz Al-Badi‟ah”, h. 452.
37
“Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka
dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”
Kedua, Terjebak ke dalam pikiran yang sesat. Dimana mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk, akan tetapi sejatinya mereka jauh dari petunjuk itu.
Ketiga, mereka tidak lagi dapat menerima pelajaran. Dengan kata lain mereka
sudah sangat jauh dari Allah Swt hingga hati dan pikiran mereka tidak lagi
memahami hikmah pelajaran sekitarnya karena hati mereka sudah buta.
Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an surat al-Shaffat ayat 13, yaitu:
“Dan apabila mereka diberi pelajaran mereka tiada mengingatnya.”
Keempat, Mereka tidak mau bertobat atas apa yang mereka lakukan karena
mereka meyakini bahwa mereka tidak menyimpang dari Allah Swt. Kelima,
Kehidupan mereka serasa menjadi sempit.46
Dalam surat Thāhā ayat 124
dinyatakan:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam Keadaan buta".
Allah Swt menimpakan istidrāj kepada orang yang terlena akan nikmat
dari Allah Swt dan berpaling dari mengingatNya. Keterlenaan itu timbul dari
kecenderungan pada dunia yang berlebihan, sehingga bagi mereka dunia adalah
segalanya. Begitu juga karena keterlenaan itu akan berdampak pada dirinya untuk
memiliki sifat seperti sombong, dan sifat tersebut akan mengakar kuat dalam
46 Mohsen Qira‟ati, Poin-Poin Penting Al-Qur‟an, h. 634.
38
dirinya. Oleh karena itu, sekuat mungkin harus dihindari segala larangan-Nya dan
mematuhi segala perintah-Nya agar tidak menjadi golongan orang yang tertimpa
istidrāj.
39
BAB III
PEMAKNAAN DAN SEBAB-SEBAB ISTIDRĀJ DALAM AL-QUR’AN
Ayat-ayat al-Qur‟an membahas tentang berbagai macam permasalahan
kehidupan. Salah satunya yaitu tentang istidrāj, dimana tersebar dalam beberapa
surat. Maka untuk mengetahuinya harus ditelusuri dahulu secara mendalam
tentang ayat yang membahas istidrāj itu sendiri. Kata istidrāj dalam al-Qur‟an
terulang hanya dua kali dalam bentuk fiil mudhari. Keduanya diawali dengan
huruf ( ) yang menunjukan makna “akan” dengan menggunakan kata
( ). Menurut kamus Al-Mursyid Ilā Āyāti al-Qur‟ān al-Karȋm wa
Kalimāt, kata tersebut terdapat dalam dua tempat yaitu dalam surat al-„Araf ayat
182 dan surat al-Qalam ayat 44. 1
Surat al-„Araf ayat 182 yaitu sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara
yang tidak mereka ketahui.”2
1 Muhammad Faris Barakat, Al-Mursyid Ilā Āyāti al-Qur‟ān al-Karȋm Wa Kalimāt, h. 162.
2 Munasabah ayat ini dan ayat sebelumnya adalah bahwa pada ayat sebelumnya,
mengungkapkan tentang orang yang mengajak dan menuntun kepada haq serta menegakan
keadilan. sebaliknya ayat setelahnya menjelaskan tentang orang yang mendustakan ayat-ayat Allah
Swt, baik kekuasaan, keesaan dan juga menjelaskan siksaNya. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah), vol. 4, h. 391.
40
Dan kedua terdapat dalam surat al-Qalam ayat 44 yaitu sebagai berikut:
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui”3
Dari kedua ayat ini, maka penulis akan menguraikannya menjadi tema-
tema berikut:
A. Makna dan Hakikat Istidrāj
Berdasarkan paparan sebelumnya mengenai istidrāj, bahwa jika seseorang
terlihat diberikan sesuatu dari perkara dunia yang diinginkan, sedangkan dia terus
berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka dapat diketahui bahwa hal tersebut
adalah istidrāj. Dimana istidrāj bisa menjauhkan manusia dari sisi-Nya,
sedangkan manusia jika tanpa Allah Swt tidak ada apa-apanya. Makna dari
istidrāj seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya yaitu pemberian
nikmat untuk menjadikan mereka lalai dan celaka.
Adapaun hakikat dari istidrāj itu sendiri adalah tidak dihukum langsung
oleh Allah Swt ketika mereka melakukan maksiat, mereka masih diberikan waktu,
3 Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa pada ayat sebelumnya,
diterangkan balasan yang diterima oleh orang kafir dan orang yang beriman berbeda, yaitu bagi
orang yang beriman Allah Swt menyediakan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan
bagi orang yang kafir Allah sediakan neraka yang penuh dengan penderitaan yang kesengsaraan
dan panasnya api tidak ada yang bisa menahannya. Selanjutnya ayat-ayat berikutnya menerangkan
bahwasannya orang-orang kafir telah diberi kesempatan untuk mengikuti seruan Rasulullah Saw
selama hidup mereka, tetapi sangat disayangkan mereka tidak menggunakan kesempatan itu.
Bahkan mereka malah menghalang-halangi seruan itu. Lihat, Departemen Agama RI, Al-Qur‟an
dan Tafsirnya, Edisi yang disempurnakan (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), Jilid 10, h. 288.
41
berupa penangguhan. Tidak seperti umat terdahulu yang langsung diadzab.
Dimana mereka yang tidak beriman, yaitu yang menutup mata hatinya4 dan
menutup pendengarannya5dari melihat dan mendengar ayat-ayat Allah Swt, akan
diberikan penambahan waktu untuk tidak dibinasakan tanpa mereka sadari. Yang
mereka sadari bahwa semuanya adalah sebuah kebaikan. Padahal kebaikan itu
bukan kebaikan sesungguhnya, akan tetapi merupakan kebaikan yang melalaikan,
contohnya kesempatan hidup dan keluasan harta.
Didalam kedua ayat ( surat al-„Araf ayat 182 dan surat al-Qalam ayat 44)
yang difokuskan dalam penelitian ini yaitu menjelaskan bahwa orang yang
tertimpa istidrāj akan dibinasakan ataupun didekatkan kepada kebinasaan tanpa
mereka ketahui. Ibnu Katsir berpendapat bahwa maksud dari siksaan itu adalah
Allah Swt membukakan pintu-pintu rizki dan berbagai macam mata pencaharian
untuk mereka hidup di dunia, hingga mereka terpedaya dengan kondisinya yang
4
Menurut Al-Thabari dalam tafsirnya dijelaskan bahwa makna tersebut adalah bahwa
mereka memiliki mata akan tetapi tidak dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah
Swt dan bukti keesaan-Nya. Dimana mereka harus merenungi dan memikirkannya. Akan tetapi
mereka tidak melakukannya. Oleh karena itu, Allah Swt menyebut mereka sebagai orang-orang
yang tidak mau melihat tanda-tanda kekuasan Allah Swt. Lihat, Muhammad bin Jarir Al-Thabari,
Tafsir Al-Thabari, Penerjemah Abdul Somad dan Yusuf Hamdani ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
Jilid 11, h. 801.
5 Al-Thabari memaknainya bahwa mereka tidak mau mendengarkan ayat-ayat Kitab suci
Allah Swt hingga mereka bisa merenungkannya. Akan tetapi mereka malah menolaknya dan
mengatakan untuk jangan mendengarkan ayat-ayat al-Qur‟an bahkan mereka membuat sesuatu
seperti al-Qur‟an supaya bisa mengalahkannya. Seperti disebutkan dalam al-Qur‟an surat Fushilāt
ayat 26, sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-
sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat
mengalahkan mereka".
Juga dalam surat al-Baqarah ayat 171:
“ Mereka tuli, bisu dan buta, Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” Lihat, Al-
Thabari, Tafsir Al-Thabari, h. 802.
42
sedang mereka alami.6 Al-Qurthubi menyebutkan riwayat dari Al-Ḍahak bahwa
cara untuk membinasakan mereka yaitu jika setiap kali manusia berbuat maksiat
maka Allah Swt akan menambahkan lagi kenikmatannya. Dalam sebuah riwayat
yang terdapat dalam tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa pada suatu hari Ẓunun
ditanya tentang tipu daya yang paling sering menghinggapi seorang hamba,
kemudian dia menjawab bahwa tipu daya yang sering menghinggapi seorang
hamba yaitu dengan sesuatu yang paling baik dari pemberian-pemberian. Namun
semua itu menjadikan mereka tidak pernah bersyukur atas nikmat tersebut.7
Kemudian Al-Ṭabari menakwilkan cara Allah Swt dalam menyiksa mereka yaitu
dengan menghiasi perbuatan jeleknya, sehingga ia menyangka bahwa
perbuatannya adalah perbuatan baik.8 Begitu juga Ahmad Sonhaji menguraikan
dalam tafsirnya yaitu dengan cara memberikan berbagai macam nikmat seakan-
akan hidup mereka dipenuhi kesenangan dan kemewahan. Tetapi sebenarnya
mereka dijadikan umpan untuk menyeret mereka sedikit demi sedikit dan
menjadikan mereka lalai dengan kesenangan atau ketenaran yang mereka nikmati.
Kemudian nanti Allah Swt membinasakan mereka secara mengejutkan dari sisi
yang tidak disangka-sangka.9
Selain itu Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah Swt menganugrahkan
kenikmatan kepada mereka dengan menjadikan mereka lupa daratan atau seperti
kacang lupa akan kulitnya10
Dan ia menambahkan dalam tafsirnya bahwa siksaan
itu datang dengan menggunakan tangga dengan tenang menuju arah yang mereka
6 Ahmad Syakir, „Umdah Al-Tafsīr „An al-Hāfidz ibn Katsīr (Jakarta: Darus Sunah, 2014),
Jilid 3, Cet ke-2, h. 239.
7 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Penerjemah Sudi Rosadi, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), Jilid 7, h.832.
8 Jarir Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Penerjemah Abdul Somad dan Yusuf Hamdani
(Jakarta: Pustaka Azam, 2008), h. 814.
9 Ahmad Sonhaji B. Mohamad, Tafsir Al-Qur‟an, Juz 9, h. 125
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 4, h. 391.
43
tidak ketahui dan juga tidak disadarinya bahwa tempat tersebut dapat
membinasakan mereka.11
Begitu juga Badan Pentashihan al-Qur‟an menambahkan
dalam tafsirnya yaitu Allah Swt memberikan mereka kenikmatan tanpa
melupakan kejahatan-kejahatan yang pernah mereka lakukan.12
Adapula menurut
Sayyid Qutbh dalam tafsirnya menyebutkan cara Allah Swt membinasakan
mereka yaitu dengan membiarkan mereka berbuat maksiat untuk menarik mereka
secara pelan-pelan kepada kebinasaan. Begitu juga untuk mematangkan balasan
tipu daya dan rencana terhadap mereka.13
Selanjutnya, Bintu Syati‟ memaknai istidrāj dengan mengambil perlahan-
lahan derajat demi derajat. Sebagaimana yang dikutip oleh Bintu Syati‟ dari al-
Ṭabari, ia menafsirkan bahwa istidrāj yaitu Allah Swt menghiasi dengan
perhiasan atau kemewahan dunia sampai mereka mengira semuanya adalah
kebaikan bagi mereka hingga sampai batas waktu Allah Swt mengambil kembali
secara tiba-tiba tanpa mereka rasakan.14
Selanjutnya, ada beberapa pendapat tentang makna istidrāj dalam tafsir al-
Qurṭubi disebutkan:
Menurut Sufyan Al-Tsauri bahwa makna istidrāj adalah bahwa Allah Swt
akan memberikan nikmat-nikmat kepada mereka dan akan membuat mereka lupa.
Al-Hasan memaknainya bahwa banyak orang yang yang ditarik ke arah
kebinasaan dengan disertai pemberian kebaikan yang berangsur-angsur. Begitu
juga banyak orang yang diuji dengan sanjungan- sanjungan dan tertipu oleh
11 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 4, h. 392
12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsīr Al-Wajīz Li Al-Qur‟ān Al-Karīm; Tafsir
Ringkas Al-Qur‟an Al-Karim ( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2016), h. 466.
13 Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zhilal Al-Qur‟an, jilid 5, h. 468
14
Bintu Syāthī, al-Tafsīr Al-Bayānī li Al-Qur‟ān al-Karīm (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1962),
jilid 2, h. 69.
44
perlindungan yang diberikan. Kemudian Abu Rauq memaknainya bahwa setiap
kali mereka melakukan kesalahan-kesalahan, maka Allah Swt memperbaharui
kenikmatan untuk mereka dan membuat mereka lupa untuk memohon ampun
kepada-Nya. Dan selanjutnya dalam tafsirnya, al-Qurṭubi menyatakan pula
pendapat yang lainnya tentang makna istidrāj tersebut yaitu bahwa Allah Swt
akan menarik sedikit demi sedikit dan tidak pula menjadikan mereka terkejut
dengan tarikan tersebut. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seseorang
laki-laki dari kaum Bani Israil menyatakan bahwa dia banyak melakukan
perbuatan maksiat kepada Allah Swt akan tetapi Allah Swt tidak memberikan
hukuman dengan sesuatu apapun. Kemudian Allah Swt memberikan wahyu
kepada utusan-Nya yang hidup pada masanya. Lalu Allah Swt memberikan
perintah kepada utusan-Nya untuk memberitahukan kepada lelaki tersebut bahwa
Allah Swt telah banyak melimpahkan hukuman kepadanya akan tetapi dia tidak
menyadarinya. Dan juga Allah Swt menyatakan bahwa butanya kedua mata dan
keras hatinya sehingga dia tidak menyadarinya hal tersebut merupakan sebuah
istidrāj dan hukuman untuknya.15
Selanjutnya Allah Swt mengancam mereka dengan siksa yang sangat
pedih dan rencana-Nya tidak dapat dihalangi oleh siapapun. Seperti dinyatakan
dalam ayat setelahnya yaitu:
“Dan aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku
Amat tangguh.”
15
Al-Qurṭubi, al-jami‟ li Ahkām al-Qur‟an, Penerjemah Ahmad Khatib, dkk ( Jakarta:
Pustaka Azam, 2009), Jilid 19, h. 137
45
Abu Hafs Umar memaknai kalimat “Wa Umlī Lahum”16
dengan
memperpanjang waktu,17
Wahbah Zuhaili juga memaknainya demikian.
Kemudian menurut al-Qurṭubi memaknai kalimat tersebut bahwasannya Allah
Swt akan memberi tangguh kepada mereka dan akan memperpanjang waktu
mereka. Kemudian al-Qurṭubi memberikan alasan bahwa asal kata umlī adalah
periode masa. Sedangkan makna Amlāllahu (Allah Swt memperpanjang
untuknya), adapaun malawān adalah malam dan siang. Adapun menurut pendapat
lain tentang kalimat tersebut menurutnya adalah mempercepat kematian untuk
mereka. 18
Kemudian kata “ al-Kaid” menurut Muhammad Abdul Haq adalah sebuah
isyarat akibat dari perlakuan orang kafir hingga mereka diberi tangguh.19
“al-
Matīn” menurut al-Qurṭubi berasal dari kata “al-Matnu” yang berarti daging yang
tebal yang berada dalam sisi tulang sulbi. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah kaum Quraisy yang suka mengolok-
ngolok. Setelah itu mereka ditangguhkan hukumannya selama beberapa waktu,
lalu mereka semua dibinasakan Allah Swt dalam satu malam. Rasulallah Saw
bersabda, yang artinya:
“ Sesungguhnya Allah Swt akan memberikan penangguhan siksa pada
orang yang zalim, tetapi ketika Dia mengazabnya Dia tidak kan melepaskannya”
Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat yang berbunyi: “Dan begitulah azab
16 Ibnu „Asyur berpendapat, bahwa kata “al-Imlā” termasuk kedalam bentuk “If‟āl” yang
artinya adalah pennagguhan. Huruf hamzah dalam kata “ Imlā” adalah masdar yang digantikan
dengan wau. Dimana dibentuk dari kata malāwah yang mempunyai arti yaitu hidup yang sebentar.
Kemudian huruf lam dalam kata lahum, Ibnu ;Asyur memaknainya dengan lam Litabyīn untuk
menjelaskan hubungan dengan perbuatannya. Lihat, Ibnu „Asyur, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, h.
191.
17
Abi Hafs Umar, Al-Lubāb Fī „Ulūm Al-Kitāb, h. 304. 18
Al-Qurṭubi, al-jami‟ li Ahkām al-Qur‟an,h. 138.
19 Muahmmad Abdul Haq Al-Andalusi, Muharar Al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz
(Beirut: Dar Kitab al-„Ilmiyah, 2001), Jilid 5, h. 353.
46
Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim.
Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”(QS. Hud ayat
102).20
Begitu juga dalam surat ali Imrān ayat 178, sebagai berikut:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.
Sesunggguuhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”
Zamakhsari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya bahwa seharusnya
kebaikan yang Allah Swt berikan seperti diberi umur yang panjang, kesehatan,
dan rizki yang berlimpah menjadikan mereka syukur dan taat. Akan tetapi
dengannya menyebabkan mereka menjadi kafir dengan pilihan yang mereka
tetapkan. 21
Penangguhan Allah Swt adalah suatu ancaman yang diberikan kepada
mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. Seperti ditegaskan dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa bahwa Nabi
Muhammad bersabda:
20 Imam Al-Zaibidi, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, Penerjemah Ahmad Zaidun
( Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 859.
21 Zamakhsari, al-Kasysyāf „, h. 192.
47
“ Sesungguhnya Allah benar-benar memberi waktu kepada orang-orang
yang zalim, sehingga apabila Dia mengambilnya, maka dia (orang) tidak dapat
melepaskan diri.”22
Allah Swt juga menegaskan dalam firman-Nya surat al-Mu‟minūn ayat
55-56, sebagai berikut:
“ Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”
Penangguhan yang Allah Swt berikan adalah sebuah balasan atas tipu daya
mereka. Begitu juga dalam kehidupan di zaman modern ini, banyak darin orang
yang berilmu bangga akan kepandaiannya hingga ia menyalahgunakan
kepandaiannya dalam hal diluar syari‟at islam. Misalnya karena kepandaiannnya
dalam mengedit laporan keuangan hingga dia bisa mengambil yang bukan hak
nya, dia melakukannya tanpa ada rasa berdosa, sebaliknya yang dia rasakan
adalah bahagia karena kekayaan dan kemewahan berpihak padanya. Dia tidak
menyadarinya bahwa dia termasuk kedalam orang yang tertimpa istidrāj. Allah
Swt berfirman dalam surat al-An‟am ayat 44-45, sebagai berikut:
22 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Qur‟an al-Majid al-Nur, Jilid 2, h. 1520-
1521.
48
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke
akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Wahbah Zuhaili menyatakan dalam tafsirnya bahwa orang yang ditimpa
istidrāj adalah jika limpahan nikmat, rizki ataupun kebaikan yang diterima oleh
nya bukan menjadikan dia menjadi selamat, dan juga jika seseorang berbuat
maksiat, kemudian ia tidak langsung disiksa oleh Allah Swt ketika melakukannya.
Ia berpesan untuk tidak tertipu dengannya. 23
Kehidupan yang dijalani manusia tidak selamanya mempunyai
kenyamanan atau kemudahan dalam segala hal. Tidak sedikit Allah Swt
memberikan kepada manusia cobaan. Cobaan itu bisa disebut musibah dan
sesungguhnya semua itu adalah cobaan. Keadaaan ini memang tidak akan terasa,
jika terlena dengan segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. Tidak dapat
disangkal bahwa manusia memerlukan datangnya musibah dan penderitaan,
bukan berarti berharap musibah datang seperti umat terdahulu, namun untuk
merasakan nikmat. Manusia memerlukan penderitaan untuk mengetahui apa
23 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fi Al-„Aqīdah Wa al-Syarī‟ah wa Al-Manhaj
(Damaskus: Dar al-Fikri, 2000), Jilid 5, h. 193.
49
makna kesenangan yaang sebenarnya. Juga memerlukan sakit untuk mengetahui
apa makna sehat. Kenapa demikian? Karena terkadang manusia tidak sadar
adanya Allah Swt ketika lagi bergelimangan harta, mendapat kesenangan,
terpandang di kalangan manusia dan lain sebagainya. Hati mereka tertutup dan
tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah Swt, mereka juga
mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat kekuasaan Allah Swt,
begitu juga mereka mempunyai telinga tetapi tidak mereka gunakan untuk
mendengar ayat-ayat Allah Swt. Allah Swt mengumpamakan mereka seperti
binatang ternak bahkan lebih rendah darinya. Sebagaimana dinyatakan dalam
surat al-„Araf ayat 179, yaitu sebagai berikut:
“ Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
Allah swt juga menegaskan dalam surat az-Zukhruf ayat 48, sebagai
berikut:
50
“..... Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (ke
jalan yang benar).”
Betapa banyak dari kalangan manusia mengingat Allah Swt hanya ketika
dia sedang bersedih, mendapat cobaan, menderita, dan ketika susah. Banyak dari
manusia yang tidak mampu menghargai keberadaan Allah Swt, disaat tertimpa
musibah baru mereka mendekat kepada-Nya. Sebagaimana dalam surat Yunus
ayat 22, disebutkan sebagai berikut:
“ Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
(berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan
meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan
tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin
badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka
yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada
Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka
berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini,
pastilah Kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
Ayat ini menjelaskan tentang perlakuan Allah Swt yang penuh rahmat.
Allah Swt selalu memberikan rahmat dan pertolongan kepada hambaNya
meskipun hambaNya mendekat kepadaNya hanya ketika mendapatkan musibah.
Begitulah kasih sayang Allah Swt.
51
Dari paparan diatas, secara ringkas bahwa makna dan hakikat istidrāj
bukanlah sebuah kenikmatan ataupun ujian, melainkan sebuah siksaan atas
perbuatan yang mereka lakukan yaitu dengan cara membiarkan mereka
bergelimang harta, jabatan, kekayaan, ketenaran sampai mereka tidak sadarkan
diri bahwa mereka sesungguhnya didekatkan secara bertahap kearah kebinasaan.
Dan puncak siksaan itu yaitu neraka jahanam.
B. Pelaku Istidrāj
Setelah diuraikan pada bagian atas tentang istidrāj dalam al-Qur‟an, maka
dapat diketahui pelaku istidrāj yang dikemukakan dalam al-Qur‟an yaitu Allah
Swt. Akan tetapi dalam sebuah ayat tentang istidrāj terdapat kalimat
(Sanastadrijuhum)24
dimana menggunakan bentuk jama dan (Wa Umlī)25
menggunakan bentuk tunggal. Mengutip dari pendapat Ibnu Asyur yang dikutip
oleh Quraish Shihab bahwa perbedaan tersebut dinilai olehnya sebagai salah satu
bentuk keragaman redaksi. Tujuannya yaitu untuk menunjukan keindahan
berbahasa. Dan juga Ibnu Asyur berpendapat bahwa kalimat tersebut
menggunakan bentuk jama yaitu mempunyai makna lita‟dzīm (mengagungkan).26
Begitu juga jika (Sanastadrijuhum) diganti dengan ( Sa‟astadrijuhum ) maka akan
memberatkan dalam pengucapannya. Sedangkan menurut al-Biqa‟i berpendapat
bahwa kata (umli) sengaja ditampilkan dalam bentuk tunggal karena menurutnya
penangguhan tersebut semata-mata hak prerogatif Allah saja, tidak ada
keterlibatan makhluk di dalam mempercepat ataupun memperlambat siksaan.
24 Maksudnya surat al-A‟raf ayat 182 dan al-Qalam ayat 44.
25
Terdapat dalam ayat setelahnya yaitu surat al-A‟raf ayat 183 dan surat al-Qalam ayat
45.
26 Ibnu Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr ( Tunisia: Dār suhūn , t.t), h. 192.
52
Sedangkan kata (Sanastadrijuhum) dalam arti menarik secara berangsur-angsur
dilakukan oleh Allah Swt secara langsung atau melalui hamba-Nya dalam
beberapa tafsir seringkali dikemukakan bahwa jika Allah Swt menunjukan dirinya
dalam bentuk jamak, artinya bahwa hal itu mengisyaratkan adanya keterlibatan
selain yang Maha Kuasa dalam aktivitas yang ditunjuk oleh kata yang berbentuk
jamak tersebut. Sebaliknya, jika Allah Swt menunjukan dirinya dalam bentuk
tunggal maka berarti hal tersebut merupakan hal prerogratif-Nya.27
Menurut Ibnu
„Asyūr bahwa nun yang terdapat dalam penggalan ayat ( sanastadrijuhum )
merupakan makna Musyārakah (bersekutu). Ibnu „Asyur memaparkan bahwa
maksud dari makna musyārakah itu adalah Allah Swt dan malaikat. Dimana
saling berkaitan antara keduanya untuk menyempurnakan maksud Allah Swt
dengan perantaraan malaikat. 28
Seperti yang diungkapkan dalam al-Qur‟an surat
al-Anfal ayat 12, yaitu:
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang
telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-
orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari
mereka.”
27 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 4, h. 392.
28
Ibnu „Asyur, Tafsīr al-Tahrīr wa al- Tanwīr, h. 102.
53
C. Sebab – Sebab Istidrāj
Setelah membahas makna dan hakikat istidrāj, maka pastinya ketika Allah
Swt melakukan istidrāj kepada manusia ada penyebabnya, karena Allah Swt tidak
semata-mata melakukannya. Diantara penyebab seseorang tertimpa istidrāj
diantaranya sebagai berikut:
1. Kedustaan Kepada Allah Swt
Ayat-ayat Allah Swt tidak saja hanya membicarakan tentang firman-Nya
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi segala sesuatu yang
berada di alam semesta yang membentang luas, dimana semuanya diciptakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Nasaruddin Umar dalam
tulisannya bahwasannya ayat-ayat yang termasuk diluar teks al-Qur‟an disebut
sebagai ayat kauniyah dan keduanya tidak dapat terpisahkan satu sama lain.29
Lebih lanjut lagi Nasaruddin Umar membahas tentang ayat, ia mengutip
dari Montgomery Watt bahwasannya ayat dalam al-Qur‟an dapat diterapkan
dalam empat bentuk, diantaranya: Pertama, yaitu diterapkan dalam bentuk
fenomena alam yang merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Kedua,
diterapkan dalam bentuk peristiwa-peristiwa atau obyek-obyek dimana berkaitan
dengan tugas seorang utusan dan cenderung untuk memperkuat pesan Ilahi.
Ketiga, diterapkan dalam bentuk tanda-tanda yang dibacakan seorang utusan
Allah Swt. Dan, keempat merupakan bagian al-Qur‟an atau al-Kitab.30
Begitu juga
Ahsin Sakho mengungkapkan dalam tulisannya bahwa dalam al-Qur‟an kata ayat
digunakan dalam dua hal, yaitu untuk ayat al-Qur‟an yang dibaca dalam mushaf
29
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur‟an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al-
Qur‟an ( Ciputat: Al-Ghazali Center, 2008), h. 211 30
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur‟an, h. 148
54
dan yang kedua yaitu ayat kauniyah31
tentang alam semesta yang bisa dilihat oleh
mata sendiri. 32
Dalam pembahasan ini, berbicara tentang orang yang mendustakannya.
Sebagai contoh ketika seseorang yang sedang diberi kesehatan oleh Allah Swt,
akan tetapi dia lebih berani bermaksiat kepada Allah Swt maka ia disebut sebagai
orang yang mendustakan ayat Allah Swt. Begitu juga ketika seseorang yang
mempunyai jabatan tinggi akan tetapi menjadikan ia lupa diri berarti telah
mengingkari Allah Swt. Dan juga orang yang Allah Swt limpahkan ilmu
pengetahuan termasuk di dalamnya tentang ayat-ayat Allah ia gunakan untuk
meraih kemegahan duniawi bahkan menyeleweng dari jalan-Nya.
Perumpamaan orang yang mencari kemegahan duniawi seperti anjing yang
menjulurkan lidahnya karena kepayahan dan letih, sekalipun yang dicari
sebenarnya adalah barang yang hina. Seperti itulah orang yang medustakan ayat-
ayat Allah Swt. Sampai pada saat itu Allah Swt akan menariknya secara perlahan-
lahan tanpa mereka sadari sehingga menjadikan mereka buruk dan hina.33
Seperti
dinyatakan dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟raf ayat 176, sebagai berikut:
31 Tentang ayat-ayat kauniyah Ahsin Sakho dalam tulisannya membagi menjadi dua
bagian, Pertama, ayat kauniyah yang sesuai dengan sunatullah atau ketetapan Allah Swt yang
berada di alam semesta seperti yang terjadi dalma kehidupan kita. Kedua, ayat kauniyah yang
tidak sesuai dengan sunah kauniyah. Maksud ayat ini yaitu dimana ayat diperlihatkan kepada
hambaNya untuk menambah keimanannya. 32
Ahsin Sakho Muhammad, Oase Al-Qur‟an; Penyejuk Kehidupan ( t.tp: PT Qaf Media
Kreativa, 2017), h. 18
33 Siswo Sanyoto, Membuka Tabir Pintu Langit; Kembali ke Jati Diri dan Cahaya Hati
( Jakarta: PT Mizan, t.tp), h. 353.
55
“Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
Dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian Itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-
kisah itu agar mereka berfikir.”
Allah Swt membiarkan mereka bersenang-senang dengan kekayaan
mereka, berbangga dengan pangkat dan jabatan yang yang tinggi, berbangga
dengan ilmu yang dimiliki. Padahal kenyataannya mereka semakin jauh dari Allah
Swt, dan semakin melupakan-Nya. Betapa mengerikannya keadaan seperti itu,
seperti dalam sebuah filosofi “ memakan madu yang didalamnya terdapat racun
yang mematikan” .34
Mereka tidak mensyukuri rizki yang telah Allah Swt berikan,
bahkan peringatan telah sampai kepada mereka, namun yang mereka lakukan
mendustakannya. Seperti yang telah Allah Swt ungkapkan dalam surat al-Waqi‟ah
ayat 82, sebagai berikut:
“Kamu mengganti rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.”
Dalam ayat diatas diterangkan tentang orang-orang yang mengungkapkan
rasa syukur mereka dengan mendustakan ayat-ayat Allah Swt begitu juga nikmat
yang telah Allah Swt berikan. Dan juga Allah Swt memperingatkan bahwa
perbuatan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt di ahkirat nanti perbuatan
34 Zaprulkhan, Puasa Ramadhan sebagai Terapi Pencerahan Spiritual ( t.t : Hikmah,
2007), h. 120
56
mereka akan sia-sia. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya dalam surat Al-„Araf
ayat 147, sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan
akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. mereka tidak diberi Balasan
selain dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt menurut Muhammad Abdul
Haq dalam tafsirnya bahwa ayat ini merupakan sebuah ancaman dan ayat ini
mengisyaratkan kepada orang-orang kafir. Kemudian, „Ali Al-Ṣa‟buni
menerangkan maksud orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt adalah
diantara penduduk Mekah dan lainnya,35
Sayyid Qutbh juga menguraikan dalam
tafsirnya bahwa maksud orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt adalah
penduduk Mekah, juga ia menambahkan bahwa alasan Al-Qur‟an mengancam
mereka karena sikap mereka terhadap masyarakat muslim juga perbuatan mereka
yang meragukan peringatan Nabi Muhammad saw.36
Begitu juga Ahmad Sonhaji
menerangkan tentang maksud orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt
adalah penduduk Mekah yang mendustakan keterangan-keterangan Allah yaitu
Al-Qur‟an.
Selanjutnya, dimana mengingkari utusan-Nya dan segala yang ia bawakan
maka sama saja mengingkari Allah Swt. Sehingga mereka dibinasakan secara
berasngsur-angsur menuju kehancuran. Mereka yang diberi kemewahan dan
kekuasaan adalah orang-orang kafir terhadap Allah Swt. Seperti orang-orang
35 Muhammad Ali Al-Shabuni, Ṣafwat Al-Tafāsīr; Tafsir-Tafsir Pilihan, Penerjemah
Yasin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), Jilid 2, h. 395.
36 Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zhilal Al-Qur‟an, h. 468
57
musyrik Mekah dahulu. Mereka senantiasa memusuhi Nabi Muhammad Saw,
seringkali mereka bangga akan kekayaannya dan pengikut mereka berbanding
lebih banyak daripada Nabi Muhammad Saw dan menjadikan mereka berlaku
sewenang-wenang kepada umat Islam, kemudian tiba-tiba Allah Swt menewaskan
mereka dalam perang Badar. Banyak dari pembesar-pembesar mereka terbunuh
dan tertawan37
, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Sehingga pada suatu hari mereka menang dalam perang Uhud, mereka bertambah
angkuh. Sehingga tibalah Mekah ditakluki oleh orang Islam dan menjadikan
mereka tunduk tanpa mereka ketahui, itulah berupa janji Allah Swt. Dan juga
Allah Swt berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 19, sebagai berikut:
“ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-
orang yang fasik.”
Akan tetapi walaupun mereka mendustakan peringatan yang telah
disampaikan oleh utusan-Nya, tetap saja Allah Swt tidak langusng memberikan
adzab kepada mereka, dalam arti menundanya.38
Begitu juga Allah Swt tetap
37 Ahmad Sonhaji B. Mohamad, Tafsir Al-Qur‟an, Juz 9, h. 125
38
Allah Swt berfirman dalam surat al-Mukminūn ayat 95, yaitu:
“Dan Sesungguhnya Kami benar-benar Kuasa untuk memperlihatkan kepadamu apa
yang Kami ancamkan kepada mereka.”
Ayat tersebut memberikan semangat kepada Rasulullah Saw bahwa Allah Swt mampu
mengadzab mereka. Akan tetapi menurut Mohsen Qira‟ati Allah Swt menunda adzab tersebut
dengan alasan sebagai berikut: Pertma, Untuk memberi tempo kepada mereka untuk segera
bertobat atas apa yang telah dikerjakannya. Kedua, Menyempurnakan hujjah mereka. Ketiga,
Karena pada masa yang akan datang akan muncul orang mukmin dari keturunan mereka dan yang
terakhir dikarenakan keberadaan Rasulullah sebagai sumber rahmat dan berkah. Lihat, Mohsen
Qira‟ati, Poin-Poin Penting Al-Qur‟an, h. 598.
58
memberikan nikmatnya kepada mereka hingga mereka lupa diri, bahwa nikmat
yang Allah Swt berikan adalah sebuah peringatan yang menjadikan mereka
sebagai orang yang tertimpa istidrāj, padahal telah dijadikan sebagai pelajaran
kaum terdahulu yang juga mendustakan Rasul yang diutus kepada mereka, akibat
dari perbuatannya mereka mendapatkan malapetaka. Sebagaimana firman-Nya
dalam surat Ali Imran ayat 137, sebagai berikut:
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena
itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-
orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Mereka menyombongkan diri akan diri mereka sendiri yang telah
dilimpahkan nikmat kepada mereka, tanpa alasan yang benar. Walaupun mereka
menyaksikan kebenaran dari risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, tetap saja
mereka melalaikannya dan berpaling dari peringatan tersebut. Akan tetapi
sebaliknya, jika mereka melihat jalan yang sesat, malah mereka mengikutinya.
Allah Swt memberi peringatan sebagaimana dalam firman-Nya surat al-A‟raf ayat
146, sebagai berikut:
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di
muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika
melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka
59
melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya,
tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang
demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka
selalu lalai dari padanya.”
2. Kufur39
Nikmat
Kufur dalam al-Qur‟an seringkali mengacau pada perbuatan yang ada
hubungannya dengan Allah Swt, misalnya mengingkari nikmat-nikmat ataupun
berkah Allah dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Seperti firman Allah Swt
dalam surat al-Nahl ayat 55, sebagai berikut:
“Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada
mereka; Maka bersenang-senanglah kamu. kelak kamu akan mengetahui
(akibatnya).”
Mengingkari nikmat Allah Swt menurut Badri Yatim adalah
menyalahgunakan nikmat-nikmat Allah Swt atau tidak menggunakannya pada
hal-hal yang diridhaiNya, begitu juga tidak berterimakasih atas nikmat yang dia
terima. 40
Manusia fitrahnya mempunyai sifat berkeluh kesah ketika tertimpa
musibah dan juga sebaliknya mereka bersyukur ketika hartanya berkecukupan.
Dan seringkali menjadikan mereka lalai karena nikmatnya hidup, sehingga
39 Mengutip dari Hasan Muhammad Musa dalam tulisannya Badri yatim bahwa kufur
mempunyai banyak pengertian yaitu menyembunyikan, menutupi, menghalangi, dinding,
mengingkari, dan menentang. Kemudian pengertian pada masa pra-Islam mulai berkembang
menjadi “ tidak mau mensyukuri sesuatu anugrah”. Kemudian, di dalam al-Qur‟an kata kufur dan
segala derivasinya terulang sebanyak 525 kali. Lihat, Abuddin Nata, ed., Kajian Tematik Al-
Qur‟an tentang Ketuhanan ( Bandung: Angkasa, 2008), h. 348.
40 Abuddin Nata, ed., Kajian Tematik Al-Qur‟an tentang Ketuhanan, h. 380.
60
mengantarkan mereka kepada kebinasaan. Sebagaimana tercantum dalm firman
Allah Swt dalam surat al-Furqan ayat 18, sebagai berikut:
“Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah
patut bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi
Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup,
sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang
binasa".
Allah Swt menciptakan manusia dengan memiliki tendensi dalam
mencintai harta kekayaan, kemegahan dan hal-hal yang lainnya yang
memewahkan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat Ali „Imran ayat
ayat 14, sebagai berikut:
“ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”
Ahsin Sakho menjelaskan ayat ini dalam tulisannya yaitu bahwasannya
terdapat enam hal yang digandrungi manusia. Dimana mereka merasa senang
61
dengan enam hal tersebut. Jika enam hal itu bisa disikapi dengan baik dan bijak
maka akan berdampak positif, akan tetapi sebaliknya jika disikapi dengan tidak
bertanggungjawab justru akan berdampak buruk. Enam hal tersebut diantaranya
adalah Pertama, Perempuan, jika diperistri dan digauli dengan sangat baik. Kedua,
Anak-anak jika di didik dengan baik, baik dari segi akhlak atau ketauhidannya, dll.
Ketiga, Harta benda berupa emas dan perak ketika mendapatkannya dengan cara
yang halal begitu juga ketika menggunakannya di jalan yang benar. Keempat,
Kuda ataupun kendaraan yang dimilki bukan untuk menyombongkan diri dan
memamerkannya dihadapan manusia. Kelima, Binatang ternak dan yang Keenam,
Sawah dan ladang.41
Manusia seringkali lalai dalam memperlakukannya, mereka
bersaing dengan ketat untuk mendapatkan hal yang memewahkan dan
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya. Padahal apa yang ia
usahakan ataupun ia dapatkan merupakan titipan Allah Swt untuk dimanfaatkan di
jalan yang di ridhai-Nya. Apakah dengan dia memiliki kemewahan akan
bersyukur atau justru mendustakannya? Dengan demikian jelas bahwa nikmat
yang kita miliki merupakan ujian dari Allah Swt. Sehingga orang yang
menuhankan hartanya, kekuasaan dan segala nikmat yang diberikan Allah Swt
maka dia akan disiksa dari sisi yang tidak disangka-sangka.42
Dalam ayat ini43
menurut Mohsen Qira‟ati yang dikecam adalah kecintaan
yang berlebihan kepadanya. Begitu juga ia mejelaskan bahwa keindahan dunia
dalam pandangan manusia bisa terjadi dari berbagai jalan, diantaranya: Pertama,
41
Ahsin Sakho Muhammad, Oase Al-Qur‟an, h. 108.
42 Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer ( Bandung: Khazanah Intelektual,
2004), h. 159
43 Maksudnya adalah surat Ali Imran ayat 14
62
Lewat Khayalan dan sangkaan seseorang. Dalam surat al-kahfi ayat 104
dinyatakan sebagai berikut:
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
Begitu juga dalam surat Fatir ayat 8, sebagai berikut:
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik....”
Kedua, keindahan itu bisa datang dari syetan yang menghiasinya. Sebagaimana
dinyatakan dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 43, yaitu:
“.... Dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang
selalu mereka kerjakan.”
Ketiga, Terkadang keindahan itu datang dari orang sekitar yang mencari muka.
44Seperti diceritakan dalam al-Qur‟an surat Ghafir ayat 37, yaitu:
...
“ ..Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk
itu..”
Selanjutnya, ia menambahkan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
manusia lupa dan lalai adalah sebagai berikut yaitu sebagai berikut: Pertama,
Perdagangan atau sebuah usaha manusia dalam mencari rizki. Sebagaiamana
dalam al-Qur‟an dinyatakan dalam surat al-Nūr ayat 37:
44 Mohsen Qira‟ati, Poin-Poin Penting Al-Qur‟an, h. 482.
63
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.”
Kedua, Setan, perpecahan, judi dan minuman keras.45
Sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 91, sebagai berikut:
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Betapa zalimnya manusia, hidup dengan bergelimang nikmat tetapi
mereka melupakan peran Rabbnya. Betapa zalimnya manusia, ketika nikmat
belum ia rengkuh tiap malam tangisnya tak henti-hentinya mengiba di hadapan
Allah Swt tapi setelah nikmat didapatkan, dengan mudah ia lupa tidak bersyukur
sama sekali kepada Rabbnya. Betapa kufurnya manusia bahkan hanya untuk
menyadari kehadiran Allah Swt dalam setiap yang diperolehnya saja seolah tak
sudi ataupun enggan. Ia dengan mudah melupakan Allah Swt sebagai penolong
yang senantiasa menjaganya. Na‟udzubillahimindzalik
45 Mohsen Qira‟ati, Poin-Poin Penting Al-Qur‟an, h. 601
64
Menurut Aam Amiruddin dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dia yang
diperbudak oleh hartanya merupakan salah satu orang yang diancam mendapat
kecelakaan. Mereka siang dan malam terus menerus menumpuk-numpuk hartanya
tanpa merasa lelah, hingga melalaikan perintah Dzat Sang Pemberi Nikmat. 46
Dari pemaparan diatas tampak jelas, bahwa penyebab orang yang tertimpa
istidrāj adalah ia yang mendapatkan nikmat segala hal dari Allah Swt seperti
kemewahan, kekuasaan, kecerdasan, hingga petunjuk dan hidayah-Nya, akan
tetapi ia tidak mensyukuri-Nya bahkan mendustkan-Nya dan membuat dia lalai
akan Sang Maha Pemberi, sehingga menjadikan ia termasuk golongan yang
tertimpa istidrāj. Maka manusia harus selalu berhati-hati dengan nikmat dunia.
Karena bisa saja hal tersebut terjadi sebagai tanda Allah Swt menghinakannya.
3. Kemaksiatan
Menurut Husni Mubaroq dalam tulisannya bahwa pengertian maksiat
adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah Swt, juga melanggar norma-
norma agama. 47
Maksudnya mealanggar atas apa yang Allah Swt perintahkan dan
yang telah ditetapkan ataupun keluar dari syariat. Seperti seseorang yang
melakukan korupsi, akan tetapi ia malah naik jabatan. Begitu pula orang yang
dianugrahi ilmu oleh Allah Swt, akan tetapi ia malah menipu orang lain dengan
ilmunya. Ia tidak menggunakan ilmunya dengan semestinya. Demikianlah tanda
istidrāj jika menimpa seseorang, walaupun dia tidak mendustakan al-Qur‟an akan
tetapi dia melakukan maksiat terhadap Allah Swt
46
Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer, h. 136.
47 Husni Mubaroq, “Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut Ibn Qayyim al-
Jauziyyah,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008),
h. 16.
65
Dalam sebuah nasihat Imam Syafi‟i bahwa cahaya Allah Swt tidak akan
diberikan kepada pelaku maksiat. Maksud dari nasehat tersebut sangatlah jelas
bahwasannya kemaksiatan dapat menjadikan manusia hidup tanpa petunjuk Allah
Swt. Sedangkan jika manusia tanpa petunjuk dari-Nya tidak berdaya.
Begitu juga ketika seseorang melakukan maksiat, maka akan timbul
dampak darinya. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa dampak yang timbul
dari melakukan maksiat adalah sebagai berikut:
a. Maksiat dapat melenyapkan Nikmat.
Jika Allah Swt melenyapkan nikmat dari hamba-Nya, maka akan datang
bencana. Meskipun bencana itu Allah Swt bingkis dengan berbagai macam. Dan
tentunya bencana itu terjadi akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
Sebagaimana Allah Swt tegaskan dalam surat al-Syura‟ ayat 30, sebagai berikut:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).”
Mengutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang syair pujangga yaitu:
Jika mendapat nikmat, maka peliharalah ia
Sebab dosa dapat menghilangkannya
Nikmat turun dengan taat kepada Tuhan
Namun Dia sangat cepat mendatangkan bencana48
b. Maksiat Melahirkan Kecemasan dan Ketakutan.
48 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Da‟wa al-Da‟wa : al-Jawāb al-Kāfī Liman Sa‟ala „an al-
Dawa‟ al-Syāfi, Penerjemah: Fauzi Bahreisy ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 66.
66
Tidak diragukan lagi bahwa sumber segala kebahagiaan dan kesedihan
tepatnya di hati. Jika hati dipenuhi oleh kemaksiatan maka akan merasakan
kecemasan juga ketakutan tiada tentu. Misalnya ketika seseorang melakukan
sebuah pencurian maka hatinya takut dan cemas karena takut diketahui oleh orang
lain bahkan hanya dengan jejak kaki yang datang dia takut jika bencana datang
kepadanya karena perbuatannya.
c. Maksiat dapat Melemahkan Hasrat Kebaikan.
Jika maksiat dilakukan terus menerus, maka hati seseorang menjadi hitam,
juga hidayah dan nikmat dari Allah Swt dalam menunaikan kebaikan akan
hilang dalam dirinya. Begitu juga hasrat dalam berbagi dengan yang lainnya
ataupun menebar manfaat tidak ada niatan sedikitpun untuk melakukannya. Dia
bahkan tidak peduli tentang perintah Allah Swt untuk selalu menebar kebaikan
dimanapun, kapanpun dia berada. Mengutip dari Midhat Ali bahwasannya
perbuatan maksiat itu disepertikan bara api yang membakar kayu bakar.
Maksudnya dapat memakan kenikmatan ataupun kebaikan. Begitu pula dapat
mengantarkan kepada kekufuran.49
D. Menjauhkan Diri dari Istidrāj
Istidrāj merupakan tipuan yang sangat berbahaya jika tertimpa seseorang.
Karena dengannya manusia bisa jauh dari sisi-Nya, sedangkan manusia jika tanpa
Allah Swt tidak ada apa-apanya. Karena dari segala tipuan yang lebih
membahayakan sekalipun Allah Swt merupakan satu-satunya pelindung.
49 Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Kiat Membersihkan Hati dari Kotoran dan Maksiat
( Surabaya : Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 40.
67
Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an dalam surat ali Imran ayat 173-174,
sebagai berikut:
“..... Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-
baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar)
dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti
keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Maka dari itu, untuk menghindari diri dari istidrāj , maka manusia harus
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Diantara
hal-hal yang dapat menghindarkan diri dari istidrāj berdasarkan analisis penulis
yaitu sebagai berikut:
1. Memahami Nikmat dan Bersyukur50
atasnya.
Nikmat yang dibicarakan dalam al-Qur‟an terbagi menjadi dua yaitu
nikmat Allah Swt yang berikan di dunia dan nikmat Allah yang diberikan di
akhirat. Sehingga setiap kali al-Qur‟an membicarakan tentang dua nikmat tersebut,
al-Qur‟an mengulangi pertanyaan dalam redaksi yang sama. Seperti yang
diceritakan dalam al-Qur‟an surat al-Rahman yaitu:
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Nikmat yang Allah Swt berikan kepada makhluk-Nya tidak terbatas, dan
jika dihitung tidak akan bisa menghitungnya karena Allah Swt telah memberikan
50 Mengutip dari Quraish Shihab bahwa kata syukur berasal dari bahasa Arab. Dimana
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syukur diartikan dalam dua makna, yaitu sebagai rasa
terima kasih kepada Allah Swt dan sebagai makna untunglah (menyatakan lega, senang, dan
sebagainya. Lihat, Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; tafsir Tematik ats Pelbagai Persoalan
Umat ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996), h. 285.
68
segala hal kepada makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ibrahim
ayat 34, yaitu:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa
yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat
zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
Dan dalam surat al-Nahl ayat 14 yaitu:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Begitu pula sebaliknya bahwa orang yang tidak mau bersyukur, akan
menanggung akibat dari perbuatan tersebut. Sebagaimana firman-Nya dalam surat
saba‟ ayat 17, yaitu:
“Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran
mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya
kepada orang-orang yang sangat kafir.”
Hakikat syukur menurut Quraish Shihab yaitu “menampakan nikmat”, dan
sebaliknya hakikat dari kekufuran adalah menyembunyikannya. Meskipun Allah
Swt sama sekali tidak membutuhkan sedikitpun rasa syukur kepada-Nya akan
69
tetapi manfaat dari rasa syukur tersebut kembali kepada orang yang bersyukur.51
Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat Al-Naml ayat 40, sebagai berikut:
..
“Dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka
Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Adapun cara bersyukur kepada Allah Swt terdapat bermacam-macam cara
diantaranya yaitu dengan hati, lisan maupun anggota badan. Mengutip dari Ibnu
Qudaimah al-Maqdisi bahwa cara bersyukur dengan hati adalah dengan berniat
melakukan kebaikan dan menyembunyikannya dari semua manusia. Sedangkan
Quraish Shihab mengemukakan cara bersyukur dengan hati yaitu dengan
menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh merupakan semata-mata
karena anugrah dan kemurahan Ilahi.52
Adapun bersyukur dengan lisan yaitu
dengan memperlihatkan syukur kepada Allah Swt dengan mengucapkan tahmid.53
Selanjutnya, bersyukur dengan anggota badan yaitu dengan menggunakan nikmat
Allah Swt dalam menjalani ketaatan kepada-Nya, juga tidak menggunakannya
dalam melaksanakan maksiat. 54
Seperti yang diungkapkan dalam firman-Nya
dalam surat Saba‟ ayat 13, yaitu:
51 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 289.
52
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 291.
53 Mengutip dari tulisan Quraish Shihab bahwa dalam kata “alhamdulillah” terdapat kata
“al”, dimana para pakar bahasa disebut sebagai “ al-istigrāq” yang mempunyai arti “keseluruhan”.
Sehingga kata pujian itu ditunjukan kepada Allah Swt karena Dia yang paling berhak menerima
segala pujian. Lihat, Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 293.
54 Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Mukhtashar Minhāj al-Qashidīn; Meraih Kebahagiaan
Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi , Penerjemah Izzudin Karimi ( Jakarta: Darul Haq, 2000), Cet-9, h.
515.
70
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih”.
Menurut Quraish Shihab maksud dari bekerja disini adalah dengan
menggunakan nikmat sesuai dengan tujuannya.55
Dengan kata lain ketika nikmat
itu dianugrahkan maka sudah seharusnya manusia merenungi maksudnya.
Sebagaimana contohnya lautan yang Allah Swt ciptakan untuk manusia yang
dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Nahl ayat 14:
“Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu
dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar
padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya
kamu bersyukur”.
Begitu juga Quraish Shihab memaparkan bahwa dalam al-Qur‟an
dijelaskan macam-macam nikmat secara eksplisit diantaranya:
a. Kehidupan dan kematian
Hidupnya manusia di dunia ini merupakan sebuah nikmat yang diberikan
Allah Swt. Dia memberikan akal supaya manusia berpikir dan memanfaatkannya
dengan baik-baik. Begitu juga Allah Swt menganugrahkan manusia hidup sepaket
dengan kematian. Maksudnya yaitu semua yang hidup pasti akan menemui
kematian. Maka seharusnya manusia harus bersyukur atas kehidupan yang
diberikan begitu juga dalam waktu yang diberikan Allah Swt supaya berusaha
55 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 294.
71
mengumpulkan bekal untuk kehidupan nanti di akhirat yang kekal. Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah Swt surat al-Baqarah ayat 28, yaitu:
“Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal
tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu
dihidupkan kembali.”
Kematian merupakan siklus yang harus dijalani oleh orang yang mengalami hidup
termasuk manusia. Maka seharusnya manusia harus banyak menyadarkan diri
bahwa kematian bisa menghampirinya kapan saja. Sebagaimana firman Allah Swt
dalam al-Qur‟an surat Al-Nisa ayat 78, yaitu:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh”.
b. Hidayah56
Allah Swt
Allah Swt menganugrahkan hidayah untuk siapa saja yang Dia kehendaki.
Bahkan seorang utusan-Nya pun tidak bisa memberikannya. Maka jika hidayah
itu datang sudah seharusnya disyukuri,57
karena hidayah tidak bisa dibeli. Seperti
diceritakan dalam al-Qur‟an surat al-Qashash ayat 56:
56 Menurut Sa‟id Musfar definisi hidayah adalah terbukanya hati dan kelapangan dada
dalam menerima ajaran Islam. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat al-An‟am ayat 125:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.”. lihat, Sa‟id Musfar al-Qathani, Jalan
Mendapat Hidayah (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 17.
57 Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 185, yaitu:
72
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-
Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
c. Pengampunan-Nya.
Tiada yang lebih berarti selain ampunan dari-Nya atas dosa yang telah
diperbuat. Jika manusia tidak meminta ampunan darinya, maka tiada ada
istimewanya hidup ini. Allah Swt akan mengampuni segala dosa yang diperbuat
hambaNya, asalkan dia pertobat dan menyesal dengan sebenar-benarnya. Maka,
patut disyukuri jika Allah Swt masih mengampuni dosa yang diperbuat.
Sebagaimana dalam firmanNya surat al-Baqarah ayat 52:
“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu
bersyukur.”
d. Panca indra dan akal
Allah Swt menciptakan manusia dengan sempurna karena ia dianugrahi
akal untuk berpikir, berbeda dengan makhluk yang lainnya. Begitu juga Dia
anugrahkan panca indra untuk keberlangsungan hidup. Dengan adanya akal begitu
juga panca indra sudah seharusnya manusia mensyukurinya, meskipun sebagian
yang lainnya tidak memiliki panca indra yang sempurna tetapi Allah Swt
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
73
menyimpan di dalamnya kelebihan masing-masing. Sebagaimana firman Allah
Swt dalam surat al-Nahl ayat 78:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”
e. Rezeki dan sarana prasarana
Tidak dapat disangkal bahwa manusia membutuhkan rezeki dari tuhannya.
Dan begitu juga Allah Swt tidak akan memberikan kesempitan rezeki kepada
orang yang mengabdi kepadaNya dan juga tidak menyekutukanNya. Dengan ini
manusia harus bersyukur atasNya, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-
Anfal ayat 26 sebagai berikut:
“Dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
Begitu juga dalam surat al-Nahl ayat 14:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu
dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan
dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar
74
padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya
kamu bersyukur.”
Rizki yang diberikan Allah Swt dengan ridha-Nya itu adalah sebuah
nikmat yang sesungguhnya, begitu juga disertai dengan taat kepada-Nya.58
Akan
tetapi sebaliknya apabila rizki yang diberikan tanpa diridhai-Nya juga disertai
maksiat kepada-Nya sesungguhnya itu adalah sebuah istidrāj atau tipu daya Allah
Swt. Dalam tulisannya Ibnu Qayim al-Jauziyah menjelaskan bahwa Allah Swt
akan memberikan pelajaran kepada hambaNya dengan kesalahan dan kelalaian
kecil agar dia selalu terjaga dan waspada. Akan tetapi bagi dia yang sudah terjatuh
di dalamnya dan hina dimata Allah Swt, maka Allah Swt akan membiarkannya
bergumul dengan kemaksiatan untuknya. Orang yang terkecoh akan mengira
bahwasannya itu adalah kemuliaan yang diberikan Allah Swt kepadanya, dia tidak
tahu bahwa sebenarnya itu adalah kehinaan yang nyata baginya dan juga
dengannya Allah Swt menginginkan azab yang keras baginya yaitu hukuman tiada
akhir.59
Oleh karenanya, agar terhindar dari bahayanya istidrāj alangkah lebih
baiknya manusia perdalam terus Islam yang sesuai sunnah Nabi Muhammad Saw,
lalu kemudian sesuaikan hidup dengan sunnah tersebut dan berjalanlah dengan
tenang di atasnya. Selanjutnya dibalik rasa syukur itu terdapat hikmah,
diantaranya yaitu nikmat dan karunia akan Allah Swt tambahkan, dapat
58
Sesuai dengan firman-Nya surat al-Ṭalaq ayat 2-3, sebagai berikut:
...
“... Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu.” 59
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dkk, Terapi Tawakal oleh 10 Ulama Klasik Psikologis (t.tp:
Ahsan book, 2011), h. 120.
75
menyeleksi keimanan. Maksudnya siap saja yang benar-benar yakin akan kuasa-
Nya. 60
2. Keimanan Kepada Allah Swt
Keimanan bagi umat beragama merupakan sebuah keharusan untuk
diyakini. Karena tanpa iman tidak mungkin seseorang menjalani syariat yang
telah disyariatkan agamanya. Begitu juga jika salah dalam pemahaman tentang
keimanan maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya.
Dari segi bahasa, iman merupakan isim mashdar yang berarti percaya, atau
mempercayai. Adapun pengertian iman yang sesungguhnya mengutip dari
Abuddin Nata adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, disertai dengan
keyakinan, begitu juga tidak ada keraguan, dan memberikan pengaruh dalam
tingkah laku sehari-hari. 61
Selanjutnya menurut para ulama yang dikutip dari Ahmad Shabur bahwa
iman adalah sesuatu yang diyakini oleh hati, diucapkan oleh lisan, dan dilakukan
oleh perbuatan. Maka jika seseorang memiliki keimanan, akan terlihat prilakunya
dalam sehari-hari.62
Seperti diceritakan dalam al-Qur‟an surat al-Anfal ayat 2-4,
sebagai berikut:
60 Yunus Hanis Syam, Sabar dan Syukur; Bikin Hidup Lebih Bahagia ( Yogyakarta:
Mutiara Media, 2009), h. 70.
61 Abuddin Nata,” Perspektif Al-Qur‟an tentang Iman,” dalam Abuddin Nata, ed., Kajian
Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan (Bandung: Angkasa, 2008), h. 179.
62 Abdush Shabur dan Haifa Zahwa Anggawie, Sungguh Allah Sangat Merindukan Kita
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 16.
76
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.”
Dalam al-Qur‟an, tentang keimanan mendapat perhatian yang sangat
besar.63
Karena memang berhubungan dengan penghambaan dan keyakinan
kepada-Nya. Maka dari itu, sebagai seseorang yang meyakini keberadaan-Nya
selazimnya terus mengasah keimanannya begitu juga harus lebih diperhatikan
dengan sungguh-sungguh. Dan juga dengan adanya keimanan, seseorang dapat
menyadari bahwa sesungguhnya janji dan kuasa Allah Swt sangatlah benar.
Sehingga manusia bisa mengambil pelajaran dari sekitarnya. Dan juga dengan
keimanan, seseorang menyadari bahwa segala nikmat yang diberikan oleh Allah
Swt kepadanya merupakan sebuah titipan yang harus dijaga dan disyukuri adanya.
Sehingga bisa terhindar dari istidrāj, dimana dia tidak mensyukuri atas nikmat
yang diberikan kepadanya dan juga melupakan atau mengabaikan Dia yang telah
memberinya.
63 Maksudnya yaitu kata iman dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 37 kali, sedangkan
derivasinya, diulang lebih dari empat ratus kali. Lihat, Muhammad Fu‟ad Abd Baqi, al-Mu‟jam al-
Mufahras Li AlFadz Al-Qur‟an AlKarīm (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 81-89.
77
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari bab
ke bab, mengenai makna istidrāj dalam al-Qur’an yang terdapat pada QS. Al-
‘Araf ayat 182 dan surat al-Qalam ayat 44 menurut para mufassir, diantaranya:
Tafsīr Jāmi al-Bayān ‘an Ta’wīl āyāt al-Qur’ān karya Ibnu Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr
al-Qurṭubi karya Al-Qurṭubi, Tafsīr al-Kasyaf karya Zamakhsari, Tafsīr Fakhru
al-Rāzī karya Fakhruddin al-Rāzī, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr karya Ibnu
‘Asyūr, Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān karya Sayyid Qutbh, Tafsīr al-Munīr karya
Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Nūr karya Hasbi al-Shiddiqī, Tafsīr al-Misbah karya
Qurasih Shihab dan muffasir lainnya untuk melengkapi pembahasan ini. Maka
penulis menyimpulkan penjelasan mengenai hal-hal di atas sebagai berikut:
Berdasarkan analisa penulis, melihat dari uraian penafsiran yang dilakukan
oleh beberapa mufassir dalam menjelaskan makna dan hakikat istidrāj yang
tercantum pada QS. Al-A’raf ayat 182 dan QS al-Qalam ayat 44. Penulis
memberikan kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan makna istidrāj adalah
sebuah pemberian nikmat untuk menjadikan mereka lalai dan celaka. Dengan kata
lain bahwa hakikat istidrāj adalah sebuah siksaan bukan sebuah nikmat meskipun
dalam penerimaannya berupa nikmat. Kemudian, penyebab orang tertimpa istidrāj
tidak lain karena mendustakan Allah Swt dan mereka tidak pandai bersyukur atas
nikmat yang Allah Swt berikan kepada mereka, baik harta, kekuasaan, ataupun
78
kecerdasaan. Begitu juga terus menerus melakukan maksiat ataupun melanggar
syariat Allah Swt meskipun nikmat Allah Swt selalu datang untuk mereka dan
lupa untuk meminta ampun kepada-Nya. Maka ketika seseorang tergolong
kedalam golongan istidrāj maka Allah Swt akan menarik mereka sedikit demi
sedikit ke arah kebinasaan dan ujung siksaan itu, mereka di masukan ke dalam
neraka jahanam.
Dengan demikian, untuk menjauhkan kita dari orang yang tertimpa istidrāj
maka tidak lain selain meminta perlindungan kepada Allah Swt. Melaksanakan
segala perintahnya dan juga menghindari dari segala hal yang menjadi murka-Nya.
begitu juga tidak lupa untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah Swt
ijinkan untuk dimiliki. Dan juga disertai dengan keimanan atas-Nya sehingga
membuat kita terhindar dari golongan orang yang tertimpa istidrāj.
B. Saran- Saran
Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada penggalan ayat
( ). Maka dari itu penulis berharap dikemudian hari ada penulis yang
menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan wawasan yang lebih luas lagi.
Karena penulis sadar kesimpulan dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada
kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.
Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif
terhadap ayat-ayat istidrāj dalam al-Qur’an, begitu juga lebih meluas lagi dalam
berbagai aspek kehidupan.
79
Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit
pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada
umumnya. Aamiin
80
DAFTAR PUSTKA
„Abdullah bin Muslim, „Abi Muhammad. Tafsīr Garīb al-Qur’an. Beirut: al-
maktabah al-„Ilmiyah, 2007.
Amiruddin, Aam. Tafsir Al-Qur’an Kontemporer. Bandung: Khazanah Intelektual,
2004.
Al-Andalusi, Muahmmad Abdul Haq. Muharar Al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-
‘Azīz. Beirut: Dar Kitab al-„Ilmiyah, 2001. Jilid 2.
Al-Andalusi, Muahmmad Abdul Haq. Muharar Al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-
‘Azīz. Beirut: Dar Kitab al-„Ilmiyah, 2001. Jilid 5.
Al-Aṣfahāni, Abȋ Qāsim al-Husaini bin Muhammad al-Ma‟rūf bin al-Rāgib. Al-
Mufradāt fȋ Garȋb al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma‟rifah, t.t.
Agama RI, Departemen. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang disempurnakan.
Jakarta: Departemen Agama RI, 2009. Jilid 10.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, dkk, Terapi Tawakal oleh 10 Ulama Klasik Psikologis
(t.tp: Ahsan book, 2011),
Ali, Abi Hasan. Al-Nukatu wa Al-Uyūn Tafsīr Al-Mawardī. Beirut: Dār Kutub Al-
Ilmiyah, t.t. Juz ke-2.
Aminah, Siti. “Makna Makar dalam Al-Qur’ān (Studi Komperatif Antara Tafsīr
Ibnu Katsīr, Al-Marāghī, Dan Al-Azhar)”. Disertasi S3 Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015.
Artyasa, Usin S. Ingin Sukses dan Berkah? Awali dengan Bismillah. Bandung:
Ruang kata, 2012. Cet. 1.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Tafsīr Al-Qur’an Al-Majīd Al-Nūr. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000. Jilid 2.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi Tafsīr Al-Qur’an Al-Majīd Al-Nūr. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000. Jilid 5.
Āsyūr, Ibnu. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: Dār suhūn , t.t.
Barakat, Muhammad Faris. Al-Mursid Ilā Āyāti al-Qur’ān al-Karȋm Wa Kalimāt.
Beirut: Dārul Qutaibah, 1985.
Bāqī, Muhammad Fu‟adz „Abdul. Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur’āan al-
Karīm . T.tp: Dār al-Hadīs, 1996.
81
Al-Bilali, Abdul Hamid. Ta’ammulat ba’da al-Fajr. Penerjemah Akhmad
Syaikhu. Jakarta: Al-Mahira, 2005. Cet ke-1.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Bandung: Mizan,
1997.
Damanhuri. “ Istidrāj dalam Mawa‟iz Al-Badi‟ah”. Substantia, No.2 . Oktober
2010.
Departemen Agama RI, Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Qur’an Tajwid. Jakarta:
Departemen Agama RI, 2006.
Djamaris , Zainal Arifin. Islam Aqidah dan Syari’ah . Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya.
Penerjemah Rosihon Anwar. Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, 2002. Cet ke-
2.
Fatah, Abdul. Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995.
Ghazali, Muhammad. Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Haddad, Abdullah. Nasehat Agama dan Wasiat Iman. Penerjemah Anwar Rasyidi
dan Mama‟ Fatchulah. Semarang: CV Toha Putra, 1993.
Al-Ha‟iri, Fadhullah. Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku;Kata-Kata
Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib. Penerjemah Tholib Anis. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2003.
Hakim, Lukman, dkk. Kamus Peribahasa Arab Mahfuzhat; Edisi Lengkap.
Jakarta: Khazanah Pustaka Islam, 2015.
Hamdun , Ghasin. Tafsīr Min Nasmat al-Qur’an. Suriah: Dār al-Salām, 1986.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985. Juz 9.
Al-Hanafȋ, Zainuddȋn Qāsim. Gharȋb al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kitāb al-alamiyah,
2012.
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadits. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2008.
Hawa, Sa‟id. Al-Asās al-Tafsīr. T.tp: Dar al-Salam, 1983. Juz ke-3.
Ismail, Noor Hisham. Mencari Redha-Mu. T.tp : Gruf Buku Karangkaf, 1973.
82
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Penawar Hati yang Sakit; Seri Penyucian Hati.
Penerjemah Ahmad Turmudzi. Jakarta: Gema Insani, 2003.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar. Penerjemah Nafi
Zainuddin dan Suratman. Jaktim: Darus Sunah Press, 2015.
Al-Jazairī, Abū Bakar Jabīr. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aisār. Jakarta: Darus Sunah,
2015. Jilid 3.
Al-Jaizairī, Abu Bakar jabir. Tafsir al-Qur’an al-Aisār. Jakarta: Darus Sunah,
2014. Cet ke-4. Jilid 7.
Jazuli , Ahzami Samiun. Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani, 2006.
Junaedi, Didi. Agar Allah Selalu Menolongmu!. Jakarta: Suluk, 2011. Cet- 1.
Katsir , Ibnu. Tafsir Qur’an al-‘Adzim. Penerjemah Bahrun Abu Bakar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000. Juz 8
Katsȋr, Ibn. Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2000. Juz 9
Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah. Mukhtashar Minhāj al-Qashidīn; Meraih
Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi , Penerjemah Izzudin Karimi.
Jakarta: Darul Haq, 2000. Cet-9.
Mohamad, Ahmad Sonhaji B. Tafsir Al-Qur’an; Tafsir Al-Qur’an di Radio. Kuala
Lumpur: Pustaka Salam, 2012. Juz 9.
Mubaroq, Husni. “Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut Ibn
Qayyim al-Jauziyyah.”Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negri Jakarta, 2008.
Muhammad, Jamaluddin. Lisān al-A’rabī. Beirut: Dar al-Shādir, 1990. Juz ke- 2.
Mukharrar, Ahmad. “Istidrāj dalam perspektif al-Qurṯubī dalam Tafsir al-Jamī li
Ahkām al-Qur‟an”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2016.
Mushaf Al-Qur‟an, Lajnah Pentashihan. Tafsīr Al-Wajīz Li Al-Qur’ān Al-Karīm;
Tafsir Ringkas Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat,
2016.
Nata, Abuddin. ed., Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Ketuhanan. Bandung:
Angkasa, 2008.
83
Pesantren, Tim Dakwah. Tanya Jawab Islam. T.tp : Darul Hijrah Tecnology,
2015.
Al-Qathani, Sa‟id Musfar. Jalan Mendapat Hidayah. Jakarta: Gema Insani Press,
2000.
Al-Qaṯān, Ibrāhīm. Taisīr al-Tafsīr. T.tp: T.pn, 1983.
Qira‟ati, Mohsen. Poin-Poin Al-Qur’an; Menyibak Rahasia Firman Tuhan,
Penerjemah Ahmad Subandi. Jakarta: Citra, 2015.
Al-Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi. Penerjemah Sudi Rosadi, dkk. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008. Jilid 7.
Qusyairi, Imam. Lathāif al- Isyārat: Tafsīr Sūfī Kamil li al-Qur’an al-Karīm, Juz
3. T.tp: T.p, 1983.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fī Zhilal Al-Qur’an; Di Bawah Naungan Al-Qur’an.
Penerjemah M Misbah. Jakarta: Robbani Press, 2006. Jilid 5.
Salim Basyarahil, A. Aziz. 33 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
Sanyoto, Siswo. Membuka Tabir Pintu Langit; Kembali ke Jati Diri dan Cahaya
Hati. Jakarta: PT Mizan, t.tp.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Safwat Al-Tafāsir. Penerjemah Yasin. Jaktim:
Pustaka al-kautsar, 2011.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Ṣafwat Al-Tafāsīr; Tafsir-Tafsir Pilihan.
Penerjemah Yasin . Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011. Jilid 2.
Al-Ṣa‟bunī, Muhammad Ali. Qabas Min Nūr al-Qur’an al-Karīm. Penerjemah
Kathr Suhardi . Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsȋr al-Misbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol. 4.
Shihab, M. Quraish. Tafsȋr al-Misbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol. 14.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an; tafsir Tematik ats Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996.
Al-Sutha, Saiful Hadi. Mengenali Trik-Trik Syetan dan Kiat-Kiat Menjernihkan
Hati. Jakarta: Erlangga, t.t.
Al-Syaukani, Imam. Tafsir Fath Al-Qadīr. Penerjemah Amir Hamzah. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2010. Jilid 4.
84
Syakir, Ahmad. ‘Umdah Al-Tafsīr ‘An al-Hāfidz ibn Katsīr. Jakarta: Darus Sunah,
2014. Jilid 3. Cet ke-2.
Syakir, Ahmad. ‘Umdah Al-Tafsīr ‘An al-Hāfidz ibn Katsīr. Jakarta: Darus Sunah,
2014. Jilid 6. Cet ke-2.
Syam, Yunus Hanis. Sabar dan Syukur; Bikin Hidup Lebih Bahagia. Yogyakarta:
Mutiara Media, 2009.
Syāthī, Bintu. Al-Tafsīr Al-Bayānī li Al-Qur‟ān al-Karīm. Mesir: Dar al-Ma‟arif,
1962. jilid 2.
Al-Thabāri. Jami’ Al-bayān ‘An Ta’wȋl Ay Al-Qur’ān. Beirut: Muassasah al-
Risālah, 1994. Juz 3.
Al-Thabari, Abu Jafar Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari. Penerjemah Abdul
Somad dan Yusuf Hamdani. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Jilid 11.
Al-Tustarȋ. Tafsȋr al-Qur’ān al-‘Adzȋm . T.tp.: Dār al-Muharam, 2004.
Umar, Abi Hafs. Al-Lubāb Fī ‘Ulūm Al-Kitāb. Beirut: Dar Kitab a-Ilmiyah, 1998.
Jilid 9.
Umar, Nasaruddin. Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al-
Qur’an. Ciputat: Al-Ghazali Center, 2008.
W. Al-Hafidz , Ahsin. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2005.
Yahya, Harun. Beberapa Rahasia dalam al-Qur’ān. Surabaya: Risalah Gusti,
2003.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.
Zakaria, Zainal Arifin. Tafsir Inspirasi; Inspirasi Seputar Kitab Suci al-Qur’an.
Medan: Duta Azhar, 2014.
Zaprulkhan, Puasa Ramadhan sebagai Terapi Pencerahan Spiritual. t.t : Hikmah,
2007.
Zamakhsari, al-Kasysyāf ‘An Haqāiq Ghawāmidh al-Tanjīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl
Fī Wujūh al-Ta’wīl . Riyad: Maktabah al-„Abīkān, t.t. Jilid 6.
Al-Zuhailī, Wahbah. Tafsīr al-Munīr Fi Al-‘Aqīdah Wa al-Syarī’ah wa Al-Manhaj.
Damaskus: Dar al-Fikri, 2000. Jilid 5.
Al-Zuhailī, Wahbah. Tafsīr al-Munīr Fi Al-‘Aqīdah Wa al-Syarī’ah wa Al-Manhaj.
Damaskus: Dar al-Fikri, 2000. Jilid 15.