Upload
danganh
View
248
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
DISERTASI
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
DISERTASI
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
3
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul:
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas sumbernya dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2010 Hanggono Tjahjo Nugroho NRP. A 1610 40244
4
ABSTRACT
HANGGONO TJAHJO NUGROHO. The Impact of Oil Fuel Price Subsidy Policy on Economic Performance and Poverty in Indonesia (BONAR M. SINAGA, as Chairman, HERMANTO SIREGAR and AKHMAD FAUZI, as Members of the Advisory Committee).
The objectives of this study were to analyze the factors that influence the
supply and demand of oil fuel and to analyze the impact of oil fuel price subsidy policy on economic performance, poverty, and welfare in Indonesia. A simultaneous econometric model of Indonesia oil fuel price subsidy was estimated using a two stage least squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1986-2006. The forecast simulation was set for the period 2010-2014 with NEWTON method and SIMNLIN procedure.
The supply of oil fuel, which was represented by the amount imported,
was influenced negatively by its world price and positively by its consumption, consumen price index, and its lag endogenous. The demand for oil fuel was influenced negatively by its retail price and positively by its consumption, its substitutes price, and its lag endogenous. The price subsidy of oil fuel was influenced positively by its world price, domestic exchange rate, government domestic revenue, and its lag endogenous. The price subsidy of oil fuel, except LPG, was elastic against world price of crude oil and domestic exchange rate in the short and long run.
The forecast simulation of increases of world crude oil price was resulted
in the increase of retail oil fuel price, decreasing economic growth, and increasing the inflation and poverty rate. The government policy to decrease oil fuel subsidy will result in deteriorating the economic performance, poverty alleviation program, and also welfare will be in large deficit. The less severe result happen when government applied kerosene conversion program to LPG. The deteriorating impact of the last two simulation were likely caused by the drop of government expenditure and the negative economic growth altogether. In such developing country like Indonesia, the role of government expenditure was central and important in boosting the economic. Such hypothesis was proven when oil fuel subsidy decreases and the level of government expenditure was kept constant, the result was surprisingly positive to economic performance and poverty alleviation program, even though the sustainable fiscal policy will be rather violated.
To overcome the negative impact of the decreasing of oil fuel price
subsidy and kerosene conversion program to LPG, government should kept the fiscal budget constant through budget reallocation strategy. By doing this, there were budget available for establishing fiscal space or putting more fund to strategic and most important development program including compensation program for the poor as well as poverty alleviation programs.
Keywords : price subsidy of oil fuel, retail price of oil fuel, economic
performance, poverty, welfare.
5
ABSTRAK HANGGONO TJAHJO NUGROHO. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia (BONAR M. SINAGA, selaku Ketua, HERMANTO SIREGAR dan AKHMAD FAUZI, selaku Anggota Komisi Pembimbing). Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisis factor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan bahan bakar minyak (BBM) and analisis dampak dari kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Model simultan Subsidi Harga BBM Indonesia diestimasi menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN pada rentang data 1986-2006. Simulasi peramalan periode 2010-2014 menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN.
Penawaran BBM, yang diwakili oleh jumlah impornya, dipengaruhi secara negatif oleh harga dunia minyak mentah dan secara positif oleh konsumsinya, indek harga konsumen, dan bedakalanya. Permintaan BBM dipengaruhi secara negatif oleh harga jual ecerannya dan secara positif oleh konsumsinya, harga barang substitusinya, dan bedakalanya. Subsidi harga BBM dipengaruhi secara positif oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri pemerintah, dan bedakalanya. Subsidi harga BBM, kecuali elpiji, elastis terhadap harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah baik jangka pendek maupun jangka panjang. Simulasi peramalan kenaikan harga dunia minyak mentah mengakibatkan kenaikan harga jual eceran BBM, penurunan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan inflasi serta kemiskinan. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM akan mengakibatkan buruknya kinerja perekonomian, upaya pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan. Dampak yang tidak terlalu buruk terjadi apabila pemerintah menerapkan program konversi minyak tanah ke elpiji. Dampak buruk dari kedua simulasi terakhir tampaknya berasal dari turunnya belanja pemerintah dan negatifnya pertumbuhan ekonomi bersama-sama. Di negara berkembang seperti Indonesia, diakui bahwa betapa penting dan dominannya peranan belanja pemerintah dalam merangsang kegiatan perekonomian. Hipotesa itu terbukti ketika subsidi BBM diturunkan dan belanja pemerintah konstan, hasilnya ternyata positif terhadap kinerja perekonomian dan upaya pengentasan kemiskinan, meskipun kebijakan keberlanjutan fiskal tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Dalam rangka mengatasi dampak negatif penurunan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah sebaiknya menjaga besaran belanjanya tetap konstan, melalui realokasi anggaran. Dengan demikian, maka akan tersedia tambahan dana guna memperbesar ruang fiskal atau mengalokasikan anggaran pada program kegiatan yang sangat penting dan mendesak, termasuk program kompensasi untuk rakyat miskin dan program-program pengentasan kemiskinan. Kata kunci: subsidi harga BBM, harga jual eceran BBM, kinerja perekonomian, kemiskinan, kesejahteraan.
6
RINGKASAN
Sejak tahun 1985, subsidi BBM cenderung meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lain. Kontribusi subsidi BBM terhadap belanja negara pada tahun 1985 sebesar 2.03 persen, yang meningkat tajam menjadi 26.47 persen dan 20.01 persen berturut-turut pada tahun 2005 dan 2008. Peningkatan tajam besaran subsidi BBM disebabkan karena 2 hal. Pertama, relatif tetapnya harga jual eceran BBM. Kedua, semakin mahalnya harga keekonomian BBM. Tingginya harga keekonomian BBM disebabkan oleh naiknya harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Beban subsidi yang semakin besar berdampak kurang baik bagi kebijakan fiskal karena mengurangi kemampuan menciptakan ruang fiskal, kebutuhan anggaran untuk menjalankan program yang penting dan mendesak, dan pelaksanaan program-program pro-rakyat seperti bantuan langsung tunai, bantuan kesehatan, bantuan operasional sekolah, dan raskin. Selain itu, subsidi harga BBM cenderung menyebabkan terjadinya penyalahgunaan BBM, penyelundupan ke luar negeri, kurangnya insentif bagi pengembangan energi alternatif, pemborosan devisa negara, dan penggunaan energi yang kurang efisien. Meskipun demikian, subsidi BBM telah mampu menstabilkan harga jual eceran BBM, meredam imported inflation yang berasal dari kenaikan harga dunia minyak mentah, relatif terkendalinya laju inflasi, dan penciptaan iklim yang lebih kondusif bagi dunia usaha.
Posisi pemerintah menjadi dilemmatis. Upaya pengurangan subsidi BBM telah dimulai sejak lama, bahkan rencana penghapusan subsidi BBM tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004. Tampaknya kondisi masyarakat pada saat itu masih belum siap dan masih memerlukan stimulus fiskal cukup besar. Pada tahun 2010 kembali diupayakan pengurangan subsidi BBM secara bertahap. Upaya pengurangan subsidi secara bertahap dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima kenaikan harga BBM, tidak menimbulkan gejolak sosial politik, sambil mempersiapkan upaya kompensasi bagi masyarakat kurang mampu.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penting untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pasar BBM serta dampak dari kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan BBM, khususnya yang terkait dengan subsidi harga BBM di Indonesia, dan (2) meramalkan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia periode tahun 2010-2014.
Metodologi penelitian meliputi pengumpulan data sekunder, konstruksi model, prosedur analisis, dan penyusunan persamaan simultan yang terdiri dari persamaan identitas dan struktural. Menggunakan data tahunan periode tahun 1986-2006, model diestimasi menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN. Pada tahap signifikansi 20 persen akhirnya diperoleh model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia dengan 76 persamaan yang terdiri dari 34 persamaan perilaku dan 42 persamaan identitas, yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta
7
dapat dibuktikan secara statistik. Tahap selanjutnya dilakukan uji validasi terhadap model dengan menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Uji validasi meliputi RMSPE, UM, US, UD, dan U-Theil. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid untuk melakukan simulasi ramalan. Simulasi ramalan dilakukan pada periode 2010-2014 dengan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Seluruh penghitungan menggunakan program piranti lunak Statistical Analysis System/ Estimation Time Series (SAS/ETS) versi 9.0.
Berdasarkan hasil estimasi parameter, dapat disimpulkan bahwa penawaran BBM yang diwakili oleh jumlah BBM yang diimpor, dipengaruhi secara negatif oleh harga dunia minyak mentah dan secara positif oleh konsumsinya, indek harga konsumen, dan bedakalanya. Permintaan BBM dipengaruhi secara negatif oleh harga jual ecerannya dan secara positif oleh konsumsinya, harga barang substitusinya, dan bedakalanya masing-masing. Khusus permintaan minyak tanah sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara positif oleh harga eceran kayu bakar. Substitusi premium adalah bensin pertamax, minyak solar tidak mempunyai substitusi, minyak tanah dapat disubstitusi elpiji di sektor rumahtangga dan komersial. Subsidi harga BBM dipengaruhi secara positif oleh harga dunia minyak mentah, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri pemerintah, dan bedakalanya masing-masing. Subsidi harga BBM, kecuali elpiji, elastis terhadap harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah, jangka pendek maupun jangka panjang. Subsidi harga elpiji elastis terhadap nilai tukar untuk jangka panjang.
Simulasi kenaikan harga dunia minyak mentah akan menaikkan harga jual eceran BBM sekitar 10 persen. Kenaikan harga jual eceran BBM ini berdampak pada peningkatan inflasi, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Simulasi peningkatan penerimaan dalam negeri berdampak positif bagi kinerja perekonomian dan kemiskinan, yang ditunjukkan antara lain oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya tingkat inflasi, dan berkurangnya jumlah penduduk miskin. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM berdampak pada memburuknya kinerja perekonomian dan kemiskinan, termasuk defisit kesejahteraan. Program konversi minyak tanah ke elpiji, meskipun lebih baik, namun tetap berdampak buruk bagi perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan. Kurangbaiknya dampak 2 simulasi terakhir kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan belanja pemerintah dan negatifnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Disadari bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, peranan belanja negara sangat dominan. Hipotesa tersebut terbukti pada simulasi selanjutnya ketika subsidi BBM dikurangi dan besaran anggaran belanja negara diupayakan konstan melalui realokasi anggaran. Hasilnya positif terhadap peningkatan kinerja perekonomian dan pengurangan kemiskinan, meskipun kebijakan keberlanjutan fiskal tidak bisa dipertahankan.
Dalam rangka mengatasi dampak negatif penurunan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah sebaiknya mempertahankan besaran belanja negara agar tetap konstan, melalui realokasi anggaran. Dengan melakukan hal tersebut, maka akan tersedia tambahan dana untuk memperbesar ruang fiskal atau mengalokasikan anggaran pada pos-pos yang sangat penting dan mendesak, seperti program pembangunan prasarana dan sarana serta program-program pengentasan kemiskinan.
8
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
9
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
HANGGONO TJAHJO NUGROHO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
10
Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
Nama Mahasiswa : HANGGONO TJAHJO NUGROHO Nomor Pokok : A 1610 40244 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Anggota Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 21 Desember 2009 Tanggal Lulus:
11
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat dan kasihNya maka disertasi ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran Bahan Bakar Minyak serta dampak kebijakan subsidi
harga Bahan Bakar Minyak terhadap indikator makroekonomi, kemiskinan, dan
kesejahteraan di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan data dari
berbagai sumber tahun 1986 – 2006, dan dianalisis dengan model ekonometrik.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, atas segala perhatian, bimbingan, saran, kritik, dan
motivasi yang selalu diberikan kepada penulis sejak penerimaan
mahasiswa, masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor, penyusunan
usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan data, hingga
penyusunan disertasi.
2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc dan Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,
MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala perhatian,
bimbingan, motivasi, arahan, saran, dan kritik kepada penulis sejak
masa penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga
penyusunan disertasi.
3. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan dan Dr. Ir. Widhyawan
Prawiraatmadja, sebagai penguji luar komisi dan Dr. Ir. Naresworo
Nugroho, MS, sebagai pimpinan ujian terbuka yang telah memberikan
kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini.
4. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Ketua Program Studi
EPN yang berkenan member kesempatan pada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
5. Rekan-rekan Program Studi S3-EPN Khusus Angkatan II yang tanpa
bosan selalu memberikan dorongan, motivasi, dan saran dalam
12
kaitannya dengan penyelesaian disertasi dan studi ini, termasuk juga
rekan Rasidin, Iwan Hermawan, Budi Hidayat, dan Adi Lumaksono.
6. Ketua dan Anggota Komite masa jabatan 2003-2007 dan masa jabatan
2007-2011 di Badan Pengatur Hilir Migas, yang telah banyak
memberikan dukungan moril pada penulis, khususnya keleluasaan
waktu yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan disertasi ini. Tak
lupa pada Tubagus Haryono, Lubna, Eri, Iwan, Hairiyati,
Shahabuddin, dan Ibrahim yang banyak memberikan dukungan
semangat pada penulis.
7. Sekertariat Program Studi EPN (Ruby Garniwan, Yani, Aam, bu
Kokom, Husen, dan Angga) yang telah banyak membantu
meringankan segala pengurusan akademik sejak masa perkuliahan
hingga prosesi kelulusan.
8. Terakhir, kepada isteriku tercinta Ike Lusiana Julitta serta anak-anakku
Linggar, Danar, dan Sekar, yang dengan penuh kesabaran dan
pengertiannya telah dengan dengan ikhlas merelakan dan memberikan
pengorbanan waktunya bersama keluarga.
Kepada semuanya, sekali lagi tidak lain yang dapat penulis ucapkan selain
terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas dengan berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan penulis, penelitian
ini tentulah belum sempurna, yang menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.
Oleh karena itu segala saran dan masukan guna penyempurnaan penelitian sangat
berguna bagi penulis dan masyarakat ilmiah. Penulis berharap agar hasil
penelitian ini berguna bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2010
Penulis
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Desember 1960 di Jakarta dan memiliki
orang tua yang bernama Bapak Djoko K. dan Ibu Soeratun.
Pada tahun 1979 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA
Asisi, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Pendidikan sarjana diselesaikan
pada tahun 1987 di Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (Teknik
Planologi) Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1988 - sekarang, penulis
adalah pegawai negeri sipil di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bapppenas), yang pada periode 1994-2002 menduduki jabatan eselon III/a,
terakhir sebagai Kepala Sub Direktorat Kinerja Otonomi Daerah, Direktorat
Pengembangan Otonomi Daerah, dan pada tahun 2002 penulis menjadi pejabat
fungsional perencana dengan posisi Perencana Madya. Pada tahun 2003 penulis
diangkat sebagai Anggota Komite Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas
Bumi melalui Pipa (Badan Pengatur Hilir Migas) masa jabatan 2003-2007. Pada
tahun 2007 penulis berhasil lolos lagi dalam fit and proper test di DPR-RI untuk
menduduki posisi yang sama, masa jabatan 2007-2011.
Pada tahun 1990 penulis mendapatkan sertifikat di bidang economic
planning di Glasgow University, Glasgow, United Kingdom atas biaya
pemerintah Inggris melalui British Council Jakarta. Gelar magister manajemen
diraih pada tahun 1995 dalam bidang Manajemen Keuangan di Universitas
Indonusa Esa Unggul, Jakarta.
Guna lebih memperdalam pengetahuan dan pemahaman di bidang
ekonomi, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan pada Program S3 di
bidang Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok dan
lulus menempuh Ujian Prelim pada tahun 2002 serta menjadi Kandidat Doktor.
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Program S3 di bidang Ilmu
Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Penulis menikah dengan Ike Lusiana Julitta tahun 1996 dan dikaruniai dua
orang anak laki-laki yaitu Linggar Rehandhana Kanugroho dan Danar Ramadhya
Kanugroho, serta satu orang anak perempuan yaitu Sekar Wening Nareshwari.
14
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xi
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 12
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 18
2.1. Pengertian dan Jenis Subsidi ....................................................... 18
2.2. Penawaran dan Permintaan Bahan Bakar Minyak ..................... 19
2.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak ..................................... 19
2.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak .................................... 21
2.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak ......................... 24
2.3. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia ................................ 25
2.3.1. Subsidi Umum .................................................................. 25
2.3.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak .......................................... 27
2.3.3. Upaya Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak ......... 30
2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian ................................... 32
2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran .............................. 36
2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan ....................................... 37
2.4. Subsidi Energi di Negara Lain .................................................... 41
2.4.1. Subsidi Energi di India ..................................................... 41
2.4.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Malaysia ....................... 42
2.4.3. Subsidi Energi di Negara-negara Eropa ........................... 43
2.4.4. Subsidi Energi di Negara-negara Asia .............................. 45
15
2.5. Tinjauan Studi Sebelumnya ......................................................... 48
2.5.1. Pasar Minyak Mentah ...................................................... 48
2.5.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia ...................... 54
2.5.3. Kemiskinan ....................................................................... 59
III. KERANGKA TEORI .......................................................................... 69
3.1. Dampak Subsidi Input Terhadap Output ...................................... 69
3.2. Kinerja Perekonomian .................................................................. 71
3.2.1. Pendapatan Nasional .......................................................... 71
3.2.2. Inflasi .................................................................................. 72
3.2.3. Pengangguran ..................................................................... 75
3.2.4. Neraca Pembayaran ............................................................ 77
3.3. Kemiskinan ................................................................................... 78
3.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ........................................ 78
3.3.2. Faktor-faktor Penentu Kemiskinan .................................... 80
3.4. Keseimbangan Perekonomian dalam Kerangka Makroekonomi 81
3.5. Hubungan antar Variabel Makroekonomi .................................... 87
3.5.1. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran .................................................................... 88
3.5.2. Trade-off antara Inflasi dan Pengangguran ........................ 89
3.5.3. Hubungan antara Nilai Tukar dan Pengeluaran Pemerintah ......................................................................... 90
3.5.4. Hubungan Subsidi dengan Keberlanjutan Fiskal ............... 92
3.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja Perekonomian ............................................................................ 94
3.6.1. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan .......................... 94
3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian ............. 97
3.6.3. Dampak Subsidi terhadap Kemiskinan ..............................
3.6.4. Kebijakan Subsidi ..............................................................
101
102
3.7 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 103
IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 108
4.1. Spesifikasi Model ......................................................................... 108
4.1.1. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak ...................................... 113
16
4.1.2. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak .......................... 120
4.1.3. Blok Fiskal ........................................................................ 122
4.1.4. Blok Permintaan Agregat ................................................... 124
4.1.5. Blok Moneter ...................................................................... 127
4.1.6. Blok Pasar Tenaga Kerja .................................................... 129
4.1.7. Blok Kinerja Perekonomian ............................................... 130
4.1.8. Blok Kemiskinan ................................................................ 130
4.2. Prosedur Analisis ......................................................................... 132
4.2.1. Identifikasi Model .............................................................. 132
4.2.2. Metode Estimasi Model ..................................................... 133
4.2.3. Validasi Model ................................................................... 134
4.3. Skenario Simulasi .........................................................................
4.4. Perubahan Kesejahteraan .............................................................
136
143
4.5. Definisi Operasional Variabel ...................................................... 145
4.6. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 147
V. HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA ...................................................................... 148
5.1. Keragaan Umum Model ............................................................... 148
5.2. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak ................................................ 149
5.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak ....................................... 149
5.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak ..................................... 150
5.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak .......................... 159
5.3. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak .................................... 159
5.3.1. Impor Bahan Bakar Minyak .............................................. 159
5.3.2. Ekspor Bahan Bakar Minyak ............................................. 161
5.3.3. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak ................................. 162
5.4. Blok Fiskal ................................................................................... 163
5.4.1. Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak .................................. 163
5.4.2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah ............................. 167
5.4.3. Gap Fiskal ......................................................................... 167
5.5. Blok Permintaan Agregat ............................................................ 168
5.5.1. Konsumsi Nasional ............................................................ 168
5.5.2. Investasi Nasional ............................................................. 169
17
5.5.3. Belanja Pemerintah ............................................................ 171
5.5.4. Impor Nasional ................................................................... 172
5.5.5. Ekspor Nasional ................................................................. 173
5.5.6. GDP Nasional .................................................................... 174
5.6. Blok Moneter ................................................................................ 174
5.7. Blok Pasar Tenaga Kerja .............................................................. 178
5.8. Blok Kinerja Perekonomian ........................................................ 180
5.9. Blok Kemiskinan .......................................................................... 181
5.10. Diskusi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran, Permintaan, Subsidi, dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia .................................................................................. 183
VI. DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ........................................................ 187
6.1. Hasil Validasi Model .................................................................... 188
6.2. Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ... 188
6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen .............................................................................. 188
6.2.2. Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen ............................................................................ 195
6.2.3. Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji ........................................ 200
6.2.4. Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji ...................... 205
6.2.5. Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji ................................................................... 208
6.2.6. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji .................................................................. 212
6.2.7. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran ........................................ 215
18
6.2.8. Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran .......................................................... 219
6.3. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
terhadap Kesejahteraan Periode Peramalan Tahun 2010-2014 .. 223
6.4. Rangkuman dan Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ..................................................... 229
6.4.1. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ................................................................. 229
6.4.2. Sintesis Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia ................................................................... 236
6.4.3. Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ............................................................................ 242
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................. 248
7.1. Simpulan ....................................................................................... 248
7.2. Implikasi Kebijakan ..................................................................... 258
7.3. Saran Penelitian Lanjutan ............................................................. 260
V. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 263
LAMPIRAN ........................................................................................ 270
19
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Nilai Tukar, Harga Dunia Minyak Mentah, Belanja Negara, dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 .......
3
2. Jumlah Konsumsi Energi menurut Jenis dan Kelompok Rumahtangga di Indonesia Tahun 1990-2003 .............................. 6
3. Ringkasan Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 ..........................................................
7
4.
Harga Jual Eceran dan Perkiraan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2006 ........................................
8
5. Pemakaian Minyak Tanah, Kayu Bakar, dan Elpiji oleh Rumahtangga untuk Memasak di Indonesia Tahun 1985-2007 ....
9
6. Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 ..........................................................................
22
7. Perkembangan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2005 ..........................................................
25
8. Perkembangan Belanja Negara dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985/86-2007 ................................................................................
26
9. Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 ........................................ 34
10. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008.. 38
11. Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1996-2007 ............................................................................................... 40
12. Subsidi dan Pajak Bahan Bakar Minyak di Beberapa Negara Asia ............................................................................................... 46
13. Studi Terdahulu mengenai Pasar Minyak Mentah, Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia, dan Kemiskinan ..............................
66
14. Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan ........ 96
15. Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan .......... 97
16. Persamaan-persamaan yang Menyusun Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia ....................................................
111
20
17. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen .................. 145
18. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Premium oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 .....................................................
151
19. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 .....................................................
152
20. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 .............................................................
153
21. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...........................
154
22. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006 ..........................................
155
23. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 .................................................
156
24. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...............
156
25. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006 ..........................................................................
157
26. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006 ...........................
158
27. Hasil Estimasi Parameter Impor Premium Tahun 1986-2006 ..... 160
28. Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Solar Tahun 1986-2006 160
29. Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Tanah Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
161
30. Hasil Estimasi Parameter Ekspor Elpiji Tahun 1986-2006 ........... 162
31. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Premium Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
164
32. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Solar Tahun 1986-2006 …………….................................................................
165
33. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Tanah Tahun 1986-2006 .....................................................................................
165
34. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Elpiji Tahun 1986-2006 166
21
35. Hasil Estimasi Parameter Penerimaan Pajak Tahun 1986-2006 ... 167
36. Hasil Estimasi Parameter Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
168
37. Hasil Estimasi Parameter Investasi Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 .....................................................................................
170
38. Hasil Estimasi Parameter Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006 ..........................................................................
170
39. Hasil Estimasi Parameter Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 .......................................
171
40. Hasil Estimasi Parameter Impor Non- Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
172
41. Hasil Estimasi Parameter Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006 ..........................................................................
173
42. Hasil Estimasi Parameter Penawaran Uang Tahun 1986-2006 ..... 175
43. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Uang Tahun 1986-2006 .... 176
44. Hasil Estimasi Parameter Nilai Tukar Rupiah Tahun 1986-2006 . 177
45. Hasil Estimasi Parameter Indeks Harga Konsumen Tahun 1986-2006 ..............................................................................................
177
46. Hasil Estimasi Parameter Tingkat Suku Bunga Tahun 1986-2006 178
47. Hasil Estimasi Parameter Penawaran Tenaga Kerja Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
179
48. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Tenaga Kerja Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
179
49. Hasil Estimasi Parameter Upah Tenaga Kerja Tahun 1986-2006. 180
50. Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perdesaan Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
181
51. Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perkotaan Tahun 1986-2006 ...............................................................................................
182
52. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 ..........................................
192
22
53. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014 .....................................................................................
224
54. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014
232
23
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Harga Jual Eceran Minyak Tanah di Beberapa Negara Asia, Oktober 2008 ............................................................................... 47
2. Efek Substitusi Input dan Output Akibat Penurunan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ........................................................ 70
3. Keseimbangan Pasar Barang ....................................................... 83
4. Keseimbangan Pasar Uang .......................................................... 84
5. Penurunan Permintaan Agregat ................................................... 85
6. Penurunan Penawaran Agregat .................................................... 86
7. Keseimbangan Neraca Pembayaran ............................................ 87
8. Trade Off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran ........ 89
9. Diagram Swan .............................................................................. 91
10. Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan .... 96
11. Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan ........ 97
12. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian ....................... 99
13. Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di Indonesia ...................................................................................................... 105
14. Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia ..................................................................................... 107
15. Keterkaitan Antar Blok dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia ............................................................. 110
16. Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia ............. 114
24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Penawaran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 ............................................................................................. 271
2. Pemakaian Bahan Bakar Minyak per Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 .................................................................................... 278
3. Istilah-Istilah sektor Minyak dan Gas Bumi ................................ 286
4. Perkembangan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 .............. 288
5. Program Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...........................................
289
6. Hasil Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...........................................
295
7. Program Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 .........................
312
8. Hasil Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 .........................
317
9. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ......................................................................
326
10.
Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ......................................................................
331
11. Program Simulasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.0 ...
334
12. Hasil Simulasi Peramalan Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8) ...................................................................
341
25
13. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan 2010 – 2014 ..................................................
347
14. Data Riil Tahun 1986-2006 ........................................................ 350
26
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Subsidi menurut ilmu ekonomi adalah bantuan keuangan dari pemerintah
untuk membantu sektor industri atau bisnis guna menjaga harga barang atau jasa
tetap rendah. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization)
mengartikan subsidi sebagai transfer dana langsung termasuk potential transfer
seperti loan guarantees, pendapatan yang hilang, barang dan jasa yang disediakan
pemerintah, seperti infrastruktur umum atau pembelian barang lainnya oleh
pemerintah, dan subsidi spesifik dari pemerintah. Oleh sebab itu subsidi menjadi
alternatif kebijakan politik untuk mentransfer sebagian dana dari kelompok
masyarakat yang satu ke kelompok masyarakat lainnya (Bappenas, 2007).
Menurut Suparmoko dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi atau
transfer dana adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan
sebagai pajak negatif yang menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi
atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau
membeli barang-barang yang disubsidi pemerintah. Di banyak negara pengekspor
minyak, keberadaan instrumen subsidi harga bahan bakar minyak (BBM)1 tetap
dipertahankan karena secara politik negara dengan sumberdaya minyak yang
berlimpah selayaknya memberikan subsidi harga BBM di dalam negeri untuk
melindungi konsumen domestik terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah.
1 Bahan Bakar Minyak, disingkat BBM, dalam disertasi ini pada awalnya hanya meliputi bensin premium atau premium (gasoline), minyak solar (automotive diesel oil, ADO), minyak tanah (kerosene), dan elpiji (liquefied petroleum gas, LPG). Ketiga jenis BBM itu merupakan BBM subsidi hingga saat ini, tahun 2010. Namun karena pemerintah melaksanakan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007 yang lalu, maka disertasi ini menambahkan elpiji dalam lingkup pembahasannya guna dapat menangkap nuansa konversi tersebut. Sehingga terminologi BBM dalam disertasi ini terdiri dari premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
27
Namun demikian, di sisi lain, subsidi harga BBM juga memiliki
eksternalitas negatif. Seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), subsidi harga
BBM yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1)
distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak
dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Masyarakat membeli BBM dengan harga
yang lebih rendah daripada harga pasar internasional, sehingga konsumen
cenderung tidak berhemat terhadap BBM dan terjadi pemborosan sumberdaya,
akibat selanjutnya adalah perekonomian menjadi kurang kompetitif.
Hartarto (2009) dalam Jajang (2009) mengatakan bahwa Indonesia belum
siap untuk melepaskan subsidi harga BBM. Hal ini disebabkan masih mahalnya
harga energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan. Menurut Bappenas
(2007), hal ini dapat dipahami karena pengurangan subsidi harga BBM
mempunyai pengaruh pengganda (multiplier effect) yang lebih luas dibandingkan
dengan subsidi non-BBM.
Pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan subsidi harga BBM yang besar
ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998, yaitu sebesar Rp. 28.61 triliun
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Besaran subsidi BBM cenderung
berfluktuasi dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2008 sebesar Rp. 146.6
triliun dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9 196 per US$. Menurut Nugroho
(2005) lonjakan nilai tukar rupiah menjadi faktor penting yang menyebabkan
peningkatan subsidi BBM. Sementara itu terlihat bahwa komposisi subsidi BBM
dan non-BBM terhadap belanja negara cenderung berfluktuasi dari tahun ke
tahun, meskipun secara nominal cenderung meningkat. Abimanyu (2009) dalam
Departemen Keuangan (2009c) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang
28
mendorong lonjakan anggaran belanja subsidi BBM, antara lain: (1) menurunnya
lifting minyak bumi2 dari target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara), dan (2) peningkatan konsumsi BBM.
Tabel 1. Perkembangan Nilai Tukar, Harga Dunia Minyak Mentah, Belanja Negara, dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007
Tahun
Nilai Tukar1
Harga Dunia
Minyak Mentah2
Belanja Negara3
Subsidi BBM3 Subsidi Non-BBM3
(Rp/US$) (US$/Barrel) (Rp. Miliar) (Rp.
Miliar) (%) *
(Rp. Miliar)
(%) *
1985 1 111 27.56 22 148 450 2.03 917 4.14
1990 1 843 23.73 39 754 3 306 8.32 265 0.67
1995 2 249 17.02 65 340 0 0.00 179 0.27
1998 10 014 12.72 172 669 28 607 16.57 7 179 4.16
2000 8 396 28.50 221 467 53 810 24.30 8 936 4.03
2005 9 705 53.40 361.200 95 600 26.47 25 200 6.97
2006 9 164 64.30 440 000 64 200 14.59 43 200 9.82
2007 9 140 72.30 504 600 83 800 16.61 66 400 13.16
2008 9 196 110.60 729 100 146 600 20.01 135 100 18.53
Keterangan: * : Kontribusi Subsidi terhadap Belanja Negara Sumber: 1 : IMF, 2006 dan Departemen Keuangan, 2009b 2 : Badan Pelaksana Migas (BPMigas), 2009 3 : Bappenas, 2007 dan Departemen Keuangan, 2009b
Faktor lain yang sangat esensial adalah fluktuasi harga dunia minyak
bumi. Departemen Keuangan, 1991, menyatakan bahwa pemberian subsidi BBM
dikarenakan BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak
roda perekonomian nasional dan besar pengaruhnya terhadap upaya menjaga
stabilitas ekonomi. Besar kecilnya subsidi BBM bergantung pada selisih daripada
hasil penjualan BBM dan biaya pengadaan dalam negeri. Hasil penjualan BBM
dalam negeri pada gilirannya bergantung pada harga dan jumlah konsumsi BBM
di dalam negeri, sedangkan biaya pengadaan BBM bergantung pada biaya
2 Istilah minyak bumi atau minyak mentah merupakan minyak mineral yang sama, sebagaimana yang terlihat pada Lampiran 3, dan dalam disertasi ini istilah tersebut dipakai secara bergantian.
29
pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM.
Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen yang paling
besar dalam pengadaan BBM, maka besar kecilnya subsidi BBM sangat
dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah.
Harga dunia minyak mentah sangat berfluktuatif dan merupakan harga
yang dibentuk sebagian oleh kartel penjual OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries) yang menguasai penawaran minyak mentah sekitar 45
persen, situasi keamanan di negara-negara penghasil minyak OPEC dan non-
OPEC, dan oleh spekulasi harga oleh para spekulan. Spekulasi harga dunia
minyak dilakukan di pasar New York Mercantile Exchange (NYMEX) di New
York, yaitu pasar berjangka komoditas dimana salah satu komoditasnya adalah
minyak mentah. Proporsi volume minyak mentah yang diperdagangkan di pasar
NYMEX sekitar 35 persen dari volume perdagangan dunia minyak mentah.
Meskipun demikian, sejarah membuktikan bahwa pasar dunia minyak mentah
dapat didikte oleh harga yang terbentuk di pasar NYMEX. Contoh terakhir adalah
ketika harga dunia minyak mentah mencapai US$143 per barrel pada bulan Maret
2008 dan turun drastis mencapai US$40 per barrel setahun kemudian. Meskipun
sangat fluktuatif, harga dunia minyak mentah cenderung menunjukkan
peningkatan yang konsisten yang dimulai pada tahun 1973 sebesar US$12 per
barrel hingga tahun 2009 mencapai sekitar US$70 per barrel.
Menurut Brown and Yucel (2002) kenaikan harga dunia minyak bumi
dapat menurunkan GDP (Gross Domestic Product) yang ditransmisikan melalui
sisi supply dan biaya-biaya umum. Rasio biaya BBM yang tinggi pada sektor
usaha menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan harga dunia minyak bumi.
30
Menurut Blanchard and Jordi (2008) perubahan harga dunia minyak bumi menjadi
hal yang penting karena berdampak pada banyak sendi-sendi ekonomi secara
konsisten dan simultan sehingga dapat menyebabkan resesi ekonomi. Di pasar
dunia posisi Indonesia adalah sebagai price taker karena memproduksi minyak
mentah sebanyak 1.1 persen dari total produksi minyak mentah dunia. Sebagai
price taker maka fluktuasi harga dunia minyak mentah menjadi faktor eksternal
yang given dan karena itu perlu disiasati dengan hati-hati.
Sebelum tahun 2005 Indonesia masih menikmati windfall profit3 dari
minyak bumi karena ekspor bersih minyaknya masih positif. Sejak tahun 2005
Indonesia masuk dalam kategori negara pengimpor minyak (net-importer
country), yaitu lebih banyak mengimpor minyak daripada mengekspornya. Karena
itu kenaikan harga dunia minyak mentah cenderung mengakibatkan semakin
besarnya defisit ekspor bersih minyak.
BBM merupakan sumber energi utama bagi perekonomian nasional yang
memberikan kontribusi sebesar 36.51 persen terhadap total konsumsi energi final4
di dalam negeri. Menurut Yanuarti (2004), jasa angkutan dan perkebunan
merupakan pengguna BBM yang memiliki rasio biaya kurang dari 35 persen,
sedangkan industri pengolahan dan pertambangan memiliki rasio biaya BBM
lebih dari 50 persen. Secara umum kenaikan harga BBM sebesar 1 persen
diperkirakan dapat memberikan tekanan terhadap kenaikan harga barang-barang
di dalam negeri sebesar 0.07 persen tanpa adanya subsidi harga BBM. 3 Windfall profit adalah istilah populer untuk menunjukkan kenaikan mendadak pendapatan negara dari kegiatan mengekspor dan mengimpor minyak bumi sebagai akibat dari kenaikan harga dunia minyak bumi. Hal ini hanya berlaku bagi negara dengan status net-exporter country yaitu lebih banyak volume ekspor dibandingkan impor minyak buminya. 4 Energi Final adalah energi yang dapat dikonsumsi langsung oleh pemakai atau konsumen. Sumber energi lain, selain BBM, adalah BBM non-subsidi, listrik, batubara, kayu bakar, gas bumi (gas alam), dan arang. Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
31
Berkaitan dengan kemiskinan, Nuryanti dan Herdinie (2007) menyebutkan
bahwa kelompok rumahtangga kaya mendominasi konsumsi energi komersial
yaitu listrik, elpiji, gas bumi, dan minyak tanah, seperti yang tertera pada Tabel 2.
Hal tersebut tampak dari besarnya kontribusi konsumsi energi komersial yang
terkait dengan alasan kepraktisan, peningkatan daya beli, dan perubahan gaya
hidup. Sementara kelompok rumahtangga miskin masih bergantung pada jenis
energi non-komersial khususnya arang dan kayu bakar. Teori Engel dalam
Tambunan (2003) menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran konsumsi makanan
rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan kontribusi
pengeluaran konsumsi makanan rumahtangga di perkotaan, karena rumahtangga
perkotaan sudah beralih ke pengeluaran konsumsi non-makanan.
Tabel 2. Jumlah Konsumsi Energi Menurut Jenis dan Kelompok Rumahtangga di Indonesia Tahun 1990-2003
Tahun Kelompok Elpiji Minyak Tanah Kayu Bakar Lain-Lain
SBM % SBM % SBM % SBM %
1990 Mid-Low 8 0.8 12 518 31.7 75 699 43.3 3 178 26.3
Mid-Up 940 99.2 26 971 68.3 99 269 56.7 8 907 73.7
1995 Mid-Low 47 1.5 12 337 28.9 80 932 43.4 3 778 21.6
Mid-Up 3 151 98.5 30 318 71.1 105 419 56.6 13 733 78.4
2000 Mid-Low 183 4.8 23 076 43.7 126 014 61.3 5 790 26.5
Mid-Up 3 659 95.2 29 717 56.3 79 637 38.7 16 060 73.5
2003 Mid-Low 170 3.9 19 406 32.3 112 964 51.9 5 475 21.9
Mid-Up 4 157 96.1 40 730 67.7 104 498 48.1 19 486 78.1
Keterangan: Lain-lain: meliputi listrik, gas bumi, arang, dan briket. SBM: Setara Barrel Minyak. Kelompok Mid-Low: Garis Kemiskinan < Penghasilan < 149.99 %. dari Garis Kemiskinan. Kelompok Mid-Up: 150 % dari Garis Kemiskinan < Penghasilan < 20.1 %. dari Penduduk Terkaya. Sumber: Statistik Ekonomi Energi Indonesia DESDM, 2006 dalam Nuryati dan Herdinie, 2007.
Tabel 3 menjelaskan penjualan BBM menurut sektor penggunanya di
Indonesia pada tahun 2005. Berdasarkan sektor penggunanya, premium
dikonsumsi utamanya oleh sektor transportasi sebesar 96.66 persen atau 98.5 juta
SBM, minyak solar dikonsumsi oleh sektor transportasi dan industri berturut-turut
32
sebesar 44.92 persen (61.4 juta SBM) dan 38.62 persen (52.8 juta SBM), dan
minyak tanah dikonsumsi utamanya oleh sektor rumahtangga dan komersial
sebesar 95.41 persen atau 62.7 juta SBM. Terakhir elpiji utamanya dikonsumsi
oleh sektor rumahtangga dan komersial sebesar 71.91 persen atau 6.4 juta SBM
dan sektor industri sebesar 28.09 persen atau 2.5 juta SBM.
Penelitian ini menambahkan elpiji subsidi sebagai salah satu komponen
BBM. Elpiji dimaksudkan untuk menggantikan minyak tanah sebagai sumber
energi memasak rumahtangga dan usaha kecil melalui Program Konversi Minyak
Tanah ke Elpiji. Melalui program konversi diharapkan 52.9 juta rumahtangga dan
usaha kecil pengguna minyak tanah dapat beralih ke elpiji (Pertamina, 2009).
Tabel 3. Ringkasan Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005
(Juta SBM)
Tahun Industri Transportasi
Rumahtangga dan Komersial
Lain-Lain
P MT MS E P MT MS E P MT MS E P MT MS E
1990 0 1.7 18.4 0.8 35.0 0.010 29.5 0 0 40.5 1.4 1.9 2.1 1.7 11.7 0
1995 0 2.7 32.5 1.6 49.7 0.012 43.5 0 0 45.7 2.9 4.2 3.9 2.3 20.7 0
1997 0 3.1 34.4 2.0 58.5 0.013 48.5 0 0 50.0 3.3 5.0 4.7 2.6 24.1 0
1998 0 2.9 37.3 1.8 61.1 0.013 50.4 0 0 52.0 2.8 5.2 2.9 2.4 17.3 0
2000 0 3.6 47.7 2.4 69.6 0.013 57.3 0 0 56.0 3.0 5.7 2.9 2.5 17.4 0
2005 0 2.5 52.8 2.5 98.5 0.014 61.4 0 0 62.7 3.2 6.4 3.4 2.5 19.3 0
Keterangan: P: Premium; MT: Minyak Tanah; MS: Minyak Solar; E: Elpiji SBM adalah Setara Barrel Minyak, yang merujuk pada kandungan kalori. Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Perhitungan perkiraan subsidi harga premium, minyak solar, minyak
tanah, dan elpiji yang disajikan pada Tabel 4 menggunakan pendekatan sederhana
yaitu selisih antara harga dunia minyak mentah dengan harga jual eceran BBM di
dalam negeri, keduanya dalam mata uang rupiah. Subsidi harga minyak tanah
secara relatif lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga premium, minyak
33
solar, dan elpiji, karena minyak tanah banyak digunakan oleh rumahtangga kurang
mampu yang sangat membutuhkan subsidi.
Tabel 4. Harga Jual Eceran dan Perkiraan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2006
Tahun
Premium Minyak Solar Minyak Tanah Elpiji
Harga Jual Eceran
Subsidi Harga
Harga Jual Eceran
Subsidi Harga
Harga Jual
Eceran
Subsidi Harga
Harga Jual
Eceran
Subsidi Harga
(Rp/Liter) (Rp/Kg)
1985 385 -123.8 242 32.5 165 125 370 -174.6
1990 450 -76.9 245 147.1 190 224.3 400 -132.1
1995 700 -373.4 380 -36.8 280 82.5 1 000 -578.4
1998 1 000 86.7 550 592 280 926.4 1 500 -38.3
2000 1 150 892 600 1545.8 350 1 916.9 1 500 975.7
2005 3 117 229.3 2 877 639.5 2 061 1 654.0 4 250 49.6
2006 4 500 292.5 4 300 736.2 2 000 3 320.5 4 250 669.2
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Pada Tabel 5 ditunjukkan seluruh sumber energi final untuk memasak
rumahtangga di Indonesia periode tahun 1985-2007. Pada periode tersebut sumber
energi kayu bakar lebih dominan daripada sumber energi lainnya. Walaupun
mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan
kayu bakar dalam persen meningkat dibanding tahun 2001, hal sebaliknya terjadi
untuk konsumsi minyak tanah yang mengalami penurunan. Keadaan ini
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya harga jual eceran minyak
tanah rata-rata sebesar 30.77 per tahun pada periode tersebut, sehingga sebagian
masyarakat kurang mampu kembali menggunakan kayu bakar, yang kenaikan
harganya hanya sekitar 7.00 persen per tahun pada periode yang sama.
1.2. Perumusan Masalah
Fluktuasi harga dunia minyak bumi yang tercermin melalui besaran
subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM di dalam negeri menimbulkan
permasalahan bagi kegiatan perekonomian di Indonesia. Apabila fluktuasi harga
dunia minyak mentah berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran
34
BBM maka setiap terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah akan berakibat
pada fluktuasi harga jual eceran BBM dalam negeri. Fluktuasi harga jual eceran
BBM dalam negeri dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian dan fluktuasi
harga umum dan biaya input sehingga berdampak kurang baik bagi perekonomian
nasional. Oleh sebab itu, agar fluktuasi harga dunia minyak mentah tidak
berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran BBM, maka pemerintah
perlu menerapkan kebijakan untuk meredam dampak imported inflation.
Kebijakan pemerintah untuk mendistorsi pasar agar terjadi pembelokkan transmisi
itu dikenal dengan kebijakan subsidi harga BBM.
Tabel 5. Pemakaian Minyak Tanah, Kayu Bakar, dan Elpiji oleh Rumahtangga untuk Memasak di Indonesia Tahun 1985-2007
(Persen)
Tahun Listrik Elpiji Minyak Tanah Kayu Bakar Arang Lainnya
1985 0.69 1.06 25.93 71.57 0.31 0.43
1990 0.75 1.96 26.14 70.40 0.30 0.40
1995 3.85 4.10 32.24 58.78 0.40 0.63
1998 1.38 7.35 38.23 52.54 0.34 0.15
2001 2.92 8.22 44.10 43.23 0.27 0.09
2007 1.86 10.57 36.57 49.38 0.79 0.82
Sumber: BPS, 2008a.
Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa untuk anggaran
tahun fiskal 2009, setiap kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah
Indonesia (Indonesia Crude Oil Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan
tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9
triliun. Dari sisi belanja negara, setiap kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per
barrel akan berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 3.3
triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun, yang berasal dari pembayaran subsidi BBM,
subsidi listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (persero), dan peningkatan
bagi hasil untuk daerah penghasil migas. Dampak bersih dari kenaikan ICP
35
sebesar US$1.0 per barrel adalah minus atau peningkatan defisit anggaran sebesar
Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun.
Persoalan sesungguhnya terletak pada harga dunia minyak bumi dalam
mata uang rupiah, dimana nilai tukar rupiah menjadi faktor yang sangat penting.
Seperti yang terlihat pada Tabel 1, disamping harga dunia minyak bumi yang
berfluktuasi, nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Kedua hal ini
menyebabkan harga BBM cenderung semakin mahal dalam mata uang rupiah.
Harga BBM yang semakin mahal akan semakin jauh diluar jangkauan daya beli
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Di sisi lain kebijakan subsidi harga BBM yang terus menerus dilakukan
dapat mengganggu kemampuan APBN dalam mendukung pembangunan nasional.
Sejak tahun 1986 subsidi BBM cenderung meningkat dan pada tahun 2005
mencapai Rp. 89.19 triliun atau 22.71 persen dari belanja negara. Oleh sebab itu
pemerintah bermaksud mengurangi subsidi BBM ini secara bertahap. Kebijakan
pengurangan subsidi BBM ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang
menyebutkan optimalisasi peran pemerintah dalam upaya mengkoreksi distorsi
pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan yang mengganggu melalui
regulasi, layanan publik, dan insentif.
Alasan lain pengurangan subsidi BBM adalah karena subsidi BBM tidak
mencapai target kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Subsidi BBM lebih
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mampu. LPEM Universitas Indonesia
dalam Siregar (2003) menunjukkan bahwa kelompok masyarakat miskin di
Indonesia hanya mengeluarkan 0.20 persen dari pendapatannya untuk konsumsi
36
BBM dan listrik, sementara kelompok masyarakat menengah mengeluarkan 7.00-
8.00 persen dari pendapatannya untuk konsumsi BBM dan listrik.
Subsidi harga BBM menjadikan harga BBM di dalam negeri lebih murah
daripada di luar negeri sehingga menyebabkan penyelundupan BBM ke luar
negeri. Menurut Basri (2008) kenaikan harga BBM akan menjadi disinsentif bagi
penyalahgunaan atau penyelundupan BBM dan juga akan mengurangi konsumsi
BBM. Menurunnya penyelundupan dan konsumsi dapat menurunkan impor BBM,
sehingga nilai tukar rupiah menguat dan inflasi dapat dikendalikan. Selain itu
kenaikan harga BBM akan berdampak positif terhadap lingkungan melalui
pengurangan emisi CO2 dan menciptakan peluang bagi pengembangan energi
alternatif non-fosil dan energi terbarukan.
Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menyebutkan bahwa pelaksanaan
program kompensasi BBM bagi masyarakat kurang mampu, yang mengikuti
kenaikan harga BBM, ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat
kemiskinan. Hartono (2006) mengatakan bahwa kebijakan pengurangan subsidi
BBM bagi kelompok rumahtangga miskin juga perlu dihindari. Apabila terjadi
peningkatan efisiensi penyaluran dana kompensasi maka dalam jangka panjang
kebijakan pengurangan subsidi harga BBM dapat dilakukan tanpa diikuti dengan
penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Salah satu program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)
Mandiri yang terkait langsung dengan kompensasi kenaikan harga jual BBM
adalah program BLT. Program ini dilatarbelakangi upaya mempertahankan daya
beli RTS (Rumahtangga Sasaran) ketika harga jual BBM dinaikkan. Akan tetapi
menurut Purnomo (2006), BLT dalam pelaksanaannya rawan penyelewengan dan
37
seringkali menyebabkan warga masyarakat memilih tercatat sebagai anggota
keluarga miskin agar memenuhi syarat untuk mendapat BLT.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini
adalah bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja
perekonomian dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Oleh sebab itu terdapat dua
permasalahan yang terkait dengan kebijakan subsidi harga BBM, kinerja
perekonomian, dan tingkat kemiskinan di Indonesia, yaitu:
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pasar dan perdagangan BBM di
Indonesia ?
2. Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja
perekonomian yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi,
pengangguran, tingkat inflasi, dan neraca perdagangan serta tingkat
kemiskinan dan kesejahteraan di Indonesia ?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan
permintaan BBM, khususnya yang terkait dengan subsidi harga BBM di
Indonesia.
2. Meramalkan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja
perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia pada periode
tahun 2010-2014.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai rujukan
bagi upaya pengendalian subsidi BBM, dampaknya terhadap perekonomian dan
38
tingkat kemiskinan, pengaruhnya terhadap kesejahteraan, masukan bagi para
pengambil keputusan, serta sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini berskala nasional dengan batasan wilayah penelitian adalah
wilayah Indonesia dengan data series tahun 1986 sampai 2006. Berkaitan dengan
judul penelitian, terdapat lima hal penting yang menjadi ruang lingkup penelitian,
yaitu pasar BBM, kebijakan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian nasional,
tingkat kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia.
Pasar BBM yang dibangun dalam model meliputi permintaan, penawaran,
dan harga jual eceran BBM. Permintaan BBM dikelompokkan pada sektor
transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lainnya, dimana BBM
dianggap sebagai final goods di masing-masing sektor. Selain itu blok penawaran
BBM adalah persamaan identitas, sementara persamaan impor BBM dan ekspor
elpiji adalah persamaan struktural.
Kebijakan penciutan jenis BBM subsidi dan kebijakan pembatasan
kelompok pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, telah mengurangi
volume BBM subsidi dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9
juta kiloliter pada tahun 2006. Namun karena data volume konsumsi BBM subsidi
pada tahun 2006 tidak dirinci menurut jenis BBM, maka penelitian ini tetap
menggunakan data volume konsumsi BBM total.
Subsidi harga BBM dalam satuan rupiah per liter merupakan selisih antara
harga dunia dengan harga jual ecerannya di dalam negeri. Harga dunia premium,
39
minyak solar, dan minyak tanah diambil dari MOPS (Mid Oil Platt’s Singapore)5
dikalikan dengan faktor alpha6. Hasil perhitungan dikurangi dengan harga jual
ecerannya untuk mendapatkan perkiraan besaran subsidi harga per jenis BBM per
tahun. Harga MOPS sebagai patokan mulai diberlakukan sejak tahun 2006
bersama dengan pemberlakuan alpha. Pada tahun-tahun sebelumnya penentuan
subsidi BBM menggunakan metode cost and fee7.
Nilai alpha mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005
tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, maksimum 15
persen dari harga dunia BBM. Besaran alpha ditetapkan setiap tahun bersamaan
dengan subsidi BBM yang dicantumkan dalam UU APBN. Pada tahun 2006 nilai
alpha sebesar 14.1 persen, tahun 2007 sebesar 13.5 persen, tahun 2008 sebesar 9.0
persen, dan tahun 2009 sebesar 8.0 persen. Oleh karena keterbatasan data dan
dalam rangka simplifikasi, maka dalam penelitian ini digunakan nilai alpha
maksimum sebesar 15.0 persen. Sementara itu harga dunia elpiji menggunakan
proksi harga ekspor elpiji. Subsidi harga elpiji merupakan selisih antara harga
ekspor elpiji dikurangi dengan harga jual eceran elpiji di dalam negeri.
Dalam perhitungan pajak dan pendapatan negara, pemerintah Indonesia
menggunakan harga patokan minyak mentah dalam negeri yang disebut dengan
Indonesian Crude Price (ICP). Namun ICP ini tidak mencerminkan harga dunia
5 MOPS merupakan harga rata-rata biaya produksi BBM dari kilang-kilang di seluruh dunia. Namun diketahui bahwa harga yang tertera pada MOPS lebih mencerminkan kekuatan pasar penawaran dan permintaan BBM. MOPS diperlukan untuk mendapatkan data mengenai harga dunia jenis BBM tertentu yaitu premium, minyak solar, dan minyak tanah. 6 Merupakan konstanta (biasanya dalam persen atau per seratus) yang merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Badan Usaha, diluar pengadaan BBM, yang terdiri dari biaya pengangkutan melalui laut/darat, penyimpanan, depresiasi, biaya administrasi, marjin Badan Usaha, dan marjin Stasiun Pompa Bensin Umum. 7 Suatu metode untuk menghitung biaya pokok produksi BBM yang terdiri dari cost (pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya pengangkutan laut/darat, biaya umum, biaya bunga, biaya penyusutan, nilai surplus produk) dan fee (upah atau margin Badan Usaha).
40
atau harga keekonomian BBM. Oleh karena itu, penelitian ini tidak menggunakan
angka ICP, tetapi menggunakan harga dunia minyak mentah terbitan BPMIGAS
dan harga dunia BBM yang dikeluarkan oleh MOPS.
Menurut teori ekonomi, bentuk subsidi yang paling sedikit menimbulkan
masalah mistargeting adalah subsidi lumpsum seperti BLT, karena langsung
ditujukan bagi masyarakat yang ditargetkan. Penelitian ini tidak melakukan
pembahasan dan pembandingan antara berbagai bentuk subsidi dan tidak
mendiskusikan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Masalah lain yang
berkaitan dengan belanja subsidi adalah adanya opportunity cost belanja subsidi
BBM. Pertanyaan yang muncul adalah berapa ‘biaya kesempatan’ yang hilang
sebagai akibat dari belanja subsidi Rp146.6 triliun pada tahun 2008 yang lalu ?
Hal ini juga tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.
Jenis BBM dibatasi hanya pada jenis premium (bensin), minyak solar, dan
minyak tanah. Sejak tahun 1977/78 hingga tahun 2009 ketiga jenis BBM tersebut
masih mendapat subsidi dari pemerintah8. Selain itu, konsumsi ketiga jenis BBM
itu mencapai 79.21 persen pada tahun 1990 dan sebesar 87.55 persen pada tahun
2005 dari total konsumsi BBM (subsidi dan non-subsidi) di dalam negeri.9
Perilaku ekonomi ketiga jenis BBM tersebut diasumsikan mewakili perilaku
ekonomi seluruh jenis BBM. Dalam rangka mengatasi semakin mahalnya subsidi
minyak tanah, pemerintah melaksanakan Program Konversi Minyak Tanah ke
8 Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2006, disebutkan bahwa konsumen minyak tanah adalah rumahtangga dan usaha kecil; konsumen premium adalah usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum; sementara konsumen solar adalah usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Elpiji yang ditujukan sebagai substitusi minyak tanah untuk konsumen rumahtangga dan usaha kecil, juga mendapatkan subsidi, dan dikemas dalam tabung ukuran 3 kilogram. 9 Bahan Bakar Minyak (BBM), menurut kelaziman yang berlaku di Indonesia, terdiri dari 7 jenis yaitu avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan minyak bakar (lihat Lampiran 3). Sejak tahun 2001, hanya premium, minyak solar, dan minyak tanah yang masih disubsidi pemerintah.
41
Elpiji yang dimulai pada tahun 2007. Karena elpiji berfungsi sebagai pengganti
minyak tanah untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil, maka elpiji
dimasukkan sebagai salah satu bahasan penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan aggregat demand dimana
perekonomian nasional diuraikan menjadi konsumsi, investasi, ekspor bersih, dan
belanja pemerintah. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan kinerja
perekonomian adalah variabel inflasi, jumlah pengangguran, pertumbuhan
ekonomi, dan ekspor bersih. Kinerja perekonomian secara tidak langsung
dipengaruhi oleh pasar BBM dengan subsidi harga BBM sebagai salah satu
instrumen kebijakan fiskal, di samping pajak. Pada blok permintaan agregat,
masing-masing variabel didisagregasi berdasarkan kelompok pengguna BBM
yaitu pengguna transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lain-lain.
Ekspor BBM dan impor elpiji tidak dikaji lebih lanjut karena Indonesia memang
tidak melakukan ekspor BBM, sedangkan impor elpiji juga baru dilakukan oleh
Indonesia pada tahun 2003. Variabel dominan pada pasar uang yang berkaitan
dengan subsidi harga BBM, antara lain nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga
domestik, Indeks Harga Konsumen, dan penawaran dan permintaan uang.
Untuk melengkapi pendekatan aggregat demand, maka blok pasar tenaga
kerja sederhana, yang mewakili pendekatan aggregate supply, dibangun sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan subsidi harga
BBM. Persamaan-persamaan yang menyusunnya meliputi penawaran, permintaan,
pengangguran, dan upah tenaga kerja. Jumlah pengangguran merupakan selisih
antara jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja.
42
Blok kemiskinan dititikberatkan pada kemiskinan di perdesaan dan
perkotaan. Tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tidak
dianalisis lebih lanjut karena data untuk keduanya baru mulai tersedia tahun 1999.
Pembagian kemiskinan didisagregasi menurut wilayah perdesaan dan perkotaan
dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku dalam mengkonsumsi BBM di
kedua wilayah tersebut. Disparitas konsumsi terjadi karena adanya dominasi kayu
bakar yang banyak dikonsumsi di wilayah perdesaan. Sementara di wilayah
perkotaan pilihan energi rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak adalah
minyak tanah dan elpiji.
Kesejahteraan dihitung dengan menggunakan indikator sederhana yaitu
pergerakan/transfer kesejahteraan antara produsen, konsumen, dan anggaran
subsidi BBM yang tercantum dalam belanja negara. Dampak bersih kesejahteraan
digambarkan dengan penjumlahan dari surplus konsumen, surplus produsen, dan
perubahan besaran subsidi BBM.
Kebijakan one price policy diterapkan pemerintah dalam pemberlakuan
harga jual eceran BBM, yaitu: (1) harga jual eceran premium dan solar adalah
sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik penyerahan di SPBU (Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum), (2) harga jual eceran minyak tanah adalah sama
di seluruh Indonesia dengan titik penyerahannya di depo PT Pertamina (Persero),
sementara harga jual eceran minyak tanah yang diterima masyarakat berdasarkan
HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat, dan
(3) harga jual eceran elpiji adalah sama pada titik penyerahan di agen elpiji PT
Pertamina (Persero).
43
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan pengertian subsidi, kondisi pasar penawaran
dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta
studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan.
2.1. Pengertian dan Jenis Subsidi
Nugroho (2005) mendefinisikan subsidi yang berkaitan dengan subsidi
BBM yaitu pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada
Pertamina, sebagai pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia, dalam
situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas
menyediakan BBM di pasar domestik lebih rendah dibandingkan biaya yang
dikeluarkan untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM.
Subsidi BBM menjadi salah satu instrumen untuk memeratakan
penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan subsidi diberlakukan pada saat harga suatu produk energi dinilai tidak
sebanding dengan daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang
berpenghasilan rendah (Yusgiantoro, 2000).
Jenis-jenis subsidi adalah: (1) direct subsidies, (2) indirect subsidies, (3)
labor subsidies, (4) tax subsidies, (5) production subsidies, (6) regulatory
advantages, (7) infrastructure subsidies, (8) trade protection (import), (9) export
subsidies (trade promotion), (10) procurement subsidies, (11) consumption
subsidies, (12) tax breaks and corporate welfare, dan (13) subsidies due to the
effect of debt guarantees. Khusus untuk subsidi konsumsi, pemerintah
memberikan subsidi ini melalui pembelian barang atau jasa, penggunaan asset
44
atau property pemerintah pada harga di bawah harga pasar. Contoh: pemerintah
membeli bahan bakar minyak atau barang lainya dengan harga yang lebih tinggi
dan menjualnya ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah (Bappenas, 2007).
Menurut Bappenas (2007), subsidi pada dasarnya mempunyai fungsi
sebagai: (1) alat pemerataan output melalui mekanisme peningkatan elastisitas
permintaan, (2) alat stabilitas harga melalui mekanisme intervensi harga, dan (3)
alat optimalisasi output melalui mekanisme elastisitas penawaran.
Di lain pihak subsidi juga memiliki eksternalitas negatif, seperti yang
dinyatakan oleh Basri (2002), bahwa subsidi yang tidak transparan dan tidak jelas
targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2)
menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak.
Relatif rendahnya harga barang subsidi berdampak pada perilaku masyarakat yang
kurang kurang hemat dalam konsumsi dan karenanya terjadi pemborosan
sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut.
2.2. Penawaran dan Permintaan Bahan Bakar Minyak
2.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak
Pada tahun 2004 kapasitas pengilangan minyak bumi sebesar 1 055.50
ribu barrel per hari sedangkan konsumsinya sudah mencapai 1 143.70 ribu barrel
per hari (Purwantoro, 2008). Pada tahun 1980an Indonesia pernah mencapai
produksi 1.60 juta barrel per hari dengan jumlah penduduk sekitar 130 juta orang.
Pada tahun 2006 keadaan memburuk dimana produksinya sebesar 1.05 juta barrel
per hari namun jumlah penduduknya telah mencapai 230 juta orang (Oktaviani
dan Eka, 2006). Jumlah produksi minyak bumi dalam negeri yang cenderung
menurun, salah satunya disebabkan oleh penggunaan teknologi. Paper yang ditulis
45
oleh Managi et al. (2004) menjelaskan bahwa perubahan teknologi dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi mempunyai dampak terbesar dalam
peningkatan produksi, sedangkan penemuan sumur minyak baru berdampak
penting dalam keberlanjutan produksi minyak ke depan.
Produksi BBM dari kilang dalam negeri mengalami peningkatan dari
tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.83
persen per tahun seperti yang terlihat pada Lampiran 1a. Peningkatan produksi
terjadi pada periode 1990-1995 yaitu dari 23.17 juta kiloliter menjadi 30.30 juta
kiloliter, ketika kilang Balongan mulai produksi pada tahun 1995. Hal ini
mengakibatkan jumlah produksi BBM pada tahun 2005 meningkat menjadi 35.2
juta kiloliter10. Sementara kebutuhan BBM meningkat terus dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Selisih antara kebutuhan dengan
produksi BBM dipenuhi dari impor yang semakin meningkat, seperti yang terlihat
pada Lampiran 1c. Setiap tahun volume impor BBM meningkat rata-rata sebesar
14.08 persen dengan volume impor pada tahun 1990 sebesar 3.37 juta kiloliter
yang menjadi 24.31 juta kiloliter pada tahun 2005.
Penawaran total BBM tahun 1990 sebesar 26.54 juta kiloliter, dimana
produksinya sebesar 23.17 juta kiloliter ditambah impor sebesar 3.37 juta kiloliter,
seperti yang terlihat pada Lampiran 1e, yang meningkat tajam pada tahun 2005
menjadi sebesar 59.53 juta kiloliter yang berasal dari produksi sebesar 35.22 juta
kiloliter dan impor sebesar 24.31 juta kiloliter, atau terjadi kenaikan penawaran
BBM rata-rata per tahun sebesar 5.53 persen.
10 Optimalisasi produksi BBM dilaksanakan antara lain melalui peningkatan teknologi kilang atau penambahan unit pengolahan pada kilang yang sudah ada.
46
Elpiji sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak rumah tangga belum
banyak diminati. Produksi elpiji pada tahun 1990 mencapai 2.75 juta ton dan
sebanyak 94.79 persen diekspor, dan penawaran elpiji untuk konsumsi domestik
pada tahun tersebut hanya mencapai 0.14 juta ton. Pada tahun 2005 penawaran
elpiji untuk konsumsi semakin meningkat hingga mencapai 0.90 juta ton,
sementara jumlah produksi elpiji turun hingga mencapai 1.89 juta ton, dan ekspor
hanya mencakup 53.08 persen dari jumlah produksi.
2.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak
Kelompok pengguna transportasi merupakan kelompok pengguna yang
mengkonsumsi BBM terbesar, yaitu 50.71 persen dari total konsumsi BBM pada
tahun 2005. Kelompok pengguna transportasi mengkonsumsi BBM hampir 2 kali
lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna rumahtangga dan komersial, 3
kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna industri, dan 6 kali lipat
dibandingkan dengan kelompok pengguna lain-lain, sebagaimana yang tercantum
pada Tabel 6. Penggunaan BBM di kelompok pengguna transportasi
mencerminkan dua jenis permintaan yaitu permintaan akhir (final demand) dan
permintaan antara (intermediate demand). Sebagai suatu kelompok pengguna,
transportasi memiliki permintaan akhir BBM yang dibutuhkan untuk sektor
transportasi itu sendiri. Tetapi kegiatan transportasi bukanlah kegiatan final
artinya transportasi adalah kegiatan turunan (derived activity) yaitu kegiatan yang
disebabkan oleh tingginya aktivitas ekonomi. Tingginya kegiatan transportasi
mencerminkan tingginya aktivitas perekonomian. Karena itu jumlah permintaan
BBM di kelompok pengguna transportasi pada hakikatnya mencerminkan tingkat
kegiatan usaha perekonomian nasional.
47
Tabel 6. Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005
(Ribu SBM)
Tahun
Industri Transportasi
Premium M. Tanah Solar Elpiji Premium M. Tanah Solar Elpiji
1990 0 1 674 18 407 810 34 968 10 29 492 0 1995 0 2 714 32 541 1 619 49 702 12 43 457 0 1997 0 3 066 34 378 1 980 58 504 13 48 495 0 1998 0 2 937 37 339 1 762 61 086 13 50 428 0 2000 0 3 581 47 689 2 388 69 567 13 57 262 0 2005 0 2 547 52 764 2 542 98 513 14 61 371 0
Tahun
Rumahtangga dan Komersial Lain-Lain
Premium M. Tanah Solar Elpiji Premium M. Tanah Solar Elpiji
1990 0 40 513 1 368 1 896 2 120 1 714 11 660 0 1995 0 45 716 2 889 4 243 3 902 2 286 20 741 0 1997 0 50 005 3 301 4 998 4 663 2 576 24 052 0 1998 0 51 916 2 797 5 204 2 902 2 351 17 254 02000 0 55 933 2 983 5 740 2 917 2 477 17 416 0 2005 0 62 679 3 213 6 453 3 413 2 509 19 310 0
Keterangan : SBM adalah Setara Barrel Minyak. Sumber : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna
transportasi berasal dari BBM sebanyak 91.09 persen, avtur 7.79 persen, dan
minyak bakar sebesar 0.79 persen, sebagaimana yang tercantum pada Lampiran 2.
Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 50.71 persen BBM. Dilihat dari energi
BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari premium sebesar
61.61 persen, minyak solar 38.38 persen, dan minyak tanah 0.01 persen.
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna
industri berasal dari gas bumi sebanyak 30.83 persen, batubara 22.67 persen,
BBM 18.08 persen, kayu bakar 13.42 persen, dan listrik 8.13 persen, seperti yang
terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 18.35 persen
BBM. Dilihat dari energi BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini
berasal dari minyak solar sebesar 91.35 persen, minyak tanah 4.41 persen, dan
elpiji 4.24 persen.
48
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna
rumahtangga dan komersial berasal dari kayu bakar sebanyak 66.11 persen, BBM
21.31 persen, listrik 11.66 persen, dan terakhir arang 0.79 persen, seperti yang
terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 22.94 persen
BBM. Dilihar dari energi BBM, sumber energi kelompok pengguna ini berasal
dari minyak tanah sebanyak 86.64 persen, minyak solar 4.44 persen, dan elpiji
8.92 persen.
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna
lainnya berasal dari BBM sebanyak 88.22 persen, minyak bakar 8.71 persen, dan
minyak diesel 3.06 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok
pengguna ini mengkonsumsi 8.24 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, sumber
energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak solar sebanyak 76.53 persen,
premium 13.53 persen, dan minyak tanah 9.94 persen.
Pada tahun 2005, premium diserap 96.65 persen oleh kelompok pengguna
transportasi dan 3.35 persen oleh kelompok pengguna lain, minyak solar diserap
44.91 persen oleh kelompok pengguna transportasi dan 38.61 persen oleh
kelompok pengguna industri, minyak tanah diserap 92.52 persen oleh kelompok
pengguna rumahtangga dan komersial dan 3.76 persen oleh kelompok pengguna
industri, elpiji diserap 71.74 persen oleh kelompok pengguna rumahtangga dan
komersial serta 28.26 persen oleh kelompok pengguna industri.
Kelompok pengguna rumah tangga dan komersial mengalami peningkatan
permintaan konsumsi elpiji sejalan dengan peningkatan pendapatan, kesadaran
akan lingkungan, dan energi yang bersih. Konsumsi elpiji mengalami peningkatan
luar biasa sejak tahun 2007 ketika pada tahun itu pemerintah menerapkan program
49
konversi minyak tanah ke elpiji11 dan sebaliknya konsumsi minyak tanah
rumahtangga mengalami penurunan sangat besar sejak program itu dilaksanakan.
2.2.3 Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Penetapan harga jual eceran BBM dilakukan pemerintah dengan
memperhatikan biaya penyediaan dan pendistribsian BBM, kemampuan anggaran
belanja negara, dan daya beli masyarakat. Kebijakan harga jual eceran BBM di
Indonesia menganut “one price policy” yaitu harga jual eceran BBM diberlakukan
sama di seluruh wilayah Indonesia12 .
Tabel 7 menunjukkan perubahan harga jual eceran BBM sejak tahun 1985-
2006. Lonjakan tertinggi harga jual eceran BBM rata-rata tertimbang selama
periode tahun 1985-2006 terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 86.69 persen. Hal
ini terjadi karena selama tahun 2002 sampai. 2004 pemerintah tidak menaikkan
harga jual eceran BBM, padahal harga dunia minyak mentah terus meningkat.
Harga jual eceran elpiji mengalami kenaikan cukup tinggi dari Rp. 2 700 per kg
pada tahun 2003 menjadi Rp. 4 250 per kg pada tahun 2004. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh kenaikan harga dunia minyak bumi yang terjadi pada tahun 2005
dan volatilitas nilai tukar rupiah.
11 Program konversi minyak tanah ke elpiji hanya terbatas dimaksudkan pada penggantian sumber energi untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil dari semula minyak tanah menjadi elpiji dengan ukuran tabung 3 kg. Sementara penggunaan elpiji diluar memasak rumahtangga atau diluar rumahtangga tidak tercakup dalam program ini. 12 Harga jual eceran BBM jenis bensin premium dan minyak solar diberlakukan sama besar di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU). Harga jual eceran BBM jenis minyak tanah diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di depo atau terminal transit. Namun harga Minyak Tanah yang dibeli masyarakat mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh masing-masing Kepala Daerah dengan mempertimbangkan biaya angkut dari depo ke Pangkalan Minyak Tanah. Sementara harga jual eceran elpiji pada prinsipnya mengikuti metode penetapan yang sama dengan BBM. Hanya karena stasiun pengisian elpiji ke tabung elpiji masih sangat terbatas, maka harga jual eceran elpiji memiliki keragaman antar daerah yang lebih besar karena tingginya biaya transportasi terutama transportasi melalui laut dari agen elpiji ke konsumen akhir.
50
Tabel 7. Perkembangan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2005
Tahun Premium
Minyak Tanah
Minyak Solar
Harga Rata-Rata Tertimbang Elpiji
Nilai Perubahan /Thn (Rp/Liter) Persen (Rp/Kg)
1985 385 165 242 247.38 3701990 450 190 245 278.79 2.54 4001995 700 280 380 436.91 11.38 1 0001997 700 280 380 437.89 0.11 1 0001998 1 000 280 550 603.84 37.97 1 5001999 1 000 280 550 594.85 - 1.45 1 5002000 1 150 350 600 679.25 14.21 1 5002001 1 450 388 955 945.11 39.15 2 1002002 1 750 600 1 550 1 381.77 46.21 2 4002003 1 810 700 1 650 1 475.19 6.76 2 7002004 1 810 700 1 650 1 492.44 1.17 4 2502005 3 117 2 061 2 877 2 785.89 86.69 4 2502006 4 500 2 000 4 300 3 907.99 40.29 4 250
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
2.3. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia
2.3.1. Subsidi Umum
Komponen yang menyusun subsidi terdiri dari subsidi energi dan non-
energi. Subsidi energi terdiri dari subsidi listrik dan subsidi BBM, sementara
subsidi non-energi terdiri dari subsidi pangan, pupuk, kredit program, pajak, dan
subsidi lainnya. Subsidi energi selalu menempati porsi terbesar dibandingkan
dengan subsidi non-energi, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 8.
Kontribusi subsidi terhadap belanja negara periode sebelum krisis
ekonomi tahun 1997 tidak pernah melebihi 9.0 persen. Krisis ekonomi pada tahun
1997 dan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 4 kali lipat, telah membuat
pemerintah perlu memberikan subsidi. Sejak saat itu beban subsidi, termasuk
subsidi BBM, semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2008
sebesar 38.64 persen dari belanja negara. Pada saat itu subsidi BBM mencapai
20.11 persen dari belanja negara. Tingginya subsidi tampaknya disebabkan oleh
dampak krisis dunia subprime mortgage yang mengimbas ke Indonesia.
51
Tabel 8. Perkembangan Belanja Negara dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985/86 – 2007
Tahun
Belanja Negara
Subsidi 1)
Subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) 2)
Subsidi Terhadap
Belanja Negara
Subsidi BBM Terhadap
Belanja Negara (Rp. miliar) Persen
1985/86 22 148 1 367 450 6.19 2.031986/87 20 738 467 0 2.25 0.001987/88 22 384 1 165 402 5.20 1.801988/89 26 734 282 82 1.05 0.311989/90 32 692 1 858 707 5.68 2.161990/91 39 754 3 570 3 306 8.98 8.321991/92 44 581 1 230 930 2.76 2.091992/93 52 048 867 692 1.67 1.331993/94 57 833 1 455 1 280 2.52 2.211994/95 62 607 1 502 687 2.40 1.101995/96 65 342 179 0 0.27 0.001996/97 82 221 1 660 1 416 2.02 1.721997/98 109 302 21 121 9 814 19.32 8.981998/99 172 669 35 786 28 607 20.73 16.571999/00 231 879 65 916 40 923 28.43 17.65
2000 221 467 62 745 53 810 28.33 24.302001 341 563 77 443 68 381 22.67 20.022002 345 608 40 006 31 162 11.58 9.022003 370 592 25 465 13 210 6.87 3.562004 255 309 26 638 14 527 10.43 5.892005 392 820 119 090 89 194 30.32 22.712006 440 000 107 400 64 200 24.41 14.592007 504 600 150 200 83 800 29.77 16.612008 729 100 281 700 146 600 38.64 20.11
Keterangan : 1) Subsidi adalah subsidi BBM ditambah subsidi di luar BBM 2) Jenis BBM yang disubsidi mencakup avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak
tanah, minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 1 Oktober 2000 jenis BBM yang disubsidi berkurang dan hanya mencakup premium, ninyak solar, minyak tanah minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 16 Juni 2001 jenis BBM yang disubsidi berkurang lagi hingga hanya mencakup premium, solar, dan minyak tanah.
Sumber : Bappenas, 2007 pada Lampiran 4 dan Departemen Keuangan, 2009b.
Subsidi pupuk meningkat sangat tajam dari semula Rp. 2.5 triliun pada
tahun 2005 menjadi Rp. 15.2 pada tahun 2008 (Departemen Keuangan, 2009b).
Peningkatan subsidi pupuk ini disebabkan oleh meningkatnya harga dunia minyak
mentah yang diikuti secara paralel oleh meningkatnya harga gas alam. Gas alam
adalah komponen utama pembentuk harga pupuk. Perbedaan harga pupuk dan
harga keekonomiannya memberikan dampak yang serius baik dari sisi efisiensi
maupun dari sisi distribusi pendapatan. Dari sisi efisiensi, subsidi telah
mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan yang berdampak selanjutnya pada
52
tingkat kesuburan tanah. Dari sisi distribusi pendapatan, kepemilikan lahan
pertanian bergeser dari petani ke pemilik lahan pertanian, sehingga subsidi pupuk
tidak dinikmati oleh petani penggarap yang miskin tetapi oleh petani pemilik
tanah yang relatif lebih mampu. Mekanisme pemberian subsidi pupuk, bersama
dengan subsidi non-energi lainnya sedang disempurnakan oleh pemerintah agar
lebih tepat sasaran dan tepat guna.
2.3.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak
Subsidi BBM adalah pembayaran kepada PT. Pertamina (persero) 13 dari
pemerintah dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina
(persero) dari tugas menyediakan dan mendistribusikan BBM di Indonesia lebih
rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan dan
mendistribusikan BBM tersebut. 14
Kebijakan subsidi BBM pertamakali diperkenalkan pada sekitar tahun
1973 yaitu ketika terjadi gejolak harga dunia minyak mentah akibat perang di
Timur Tengah. Ketika itu harga dunia minyak mentah naik sampai 4 kali lipat,
dari semula US$2-3 per barrel menjadi sekitar US$12 per barrel. Sejak saat itu
subsidi BBM menjadi salah satu kebijakan fiskal dan selalu mendapat alokasi
anggaran. Meskipun anggaran subsidi dialokasikan setiap tahun, namun beberapa
kali pemerintah mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM yang disebut
13 Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina ditugaskan untuk menyediakan bahan bakar minyak bagi seluruh rakyat Indonesia dan hingga tahun 2009 ini tugas tersebut masih dipercayakan kepada PT Pertamina (Persero). 14 Besaran subsidi BBM, kecuali elpiji, tercantum dalam Undang-undang APBN. Perhitungan dan pembayaran subsidi BBM dilakukan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Usaha yang mendapat penugasan pendistribusian BBM bersubsidi. Khusus untuk perhitungan dan pembayaran subsidi elpiji, tetap menjadi tanggungjawab pemerintah, namun dalam pelaksanaannya dibebankan pada manajemen PT. Pertamina (Persero) dengan catatan bahwa subsidi elpiji akan mengurangi keuntungan BUMN tersebut dan dividen yang dibayarkan kepada negara. Besaran subsidi elpiji tidak tercantum dalam Undang-undang APBN.
53
dengan Laba Bersih Minyak (LBM). LBM hanya terjadi ketika harga dunia
minyak mentah turun drastis, seperti pada tahun 1986 dari semula US$18-20 per
barrel menjadi US$9 per barrel. Selain karena penurunan drastis harga minyak
dunia, LBM terjadi karena keengganan pemerintah untuk menurunkan harga jual
eceran BBM dalam negeri.
Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa harga dunia minyak
mentah merupakan faktor utama besaran subsidi BBM. Perubahan harga minyak
mentah akan berpengaruh terhadap penerimaan negara, baik penerimaan sumber
daya alam migas dan Pajak Penghasilan migas, maupun penerimaan negara bukan
pajak lainnya. Untuk APBN Tahun 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), setiap
kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil
Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar
Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9 triliun. Dari sisi belanja negara, setiap
kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi meningkatkan
pembayaran subsidi BBM Rp. 2.5 triliun sampai dengan Rp. 2.6 triliun.
Mengingat bahwa 24.8 persen dari produksi listrik nasional menggunakan BBM
dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membeli BBM pada harga internasional,
maka setiap kenaikan kenaikan harga ICP US$1.0 per barrel akan mengakibatkan
penambahan subsidi listrik kepada PT PLN sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan
Rp. 0.5 triliun. Potensi peningkatan belanja negara sebagai akibat dari kenaikan
harga ICP juga berasal dari peningkatan Daerah Bagi Hasil (DBH) Migas kepada
daerah penghasil minyak dan gas bumi. Setiap kenaikan ICP US$1.0 per barrel
akan berpotensi menaikkan dana DBH dari pemerintah pusat ke daerah penghasil
migas sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.5 triliun. Jadi setiap kenaikan
54
ICP US$1.0 per barrel berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar
Rp. 3.3 triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun. Dampak bersih dari kenaikan ICP
sebesar US$1.0 per barrel terhadap anggaran belanja negara adalah minus atau
peningkatan defisit sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja subsidi
BBM pada belanja negara adalah meningkatnya jumlah konsumsi BBM di tanah
air. Departemen Keuangan (2009b) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi
BBM domestik bersubsidi rata-rata sebesar 0.5 juta kiloliter untuk setiap jenis
BBM berpotensi menambah defisit ABPN Tahun 2009 pada kisaran Rp. 2.8
triliun sampai dengan Rp. 3.01 triliun.
Kenaikan ICP juga dapat meningkatkan subsidi BBM melalui kenaikan
konsumsi BBM. Kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan perbedaan
harga minyak domestik dengan harga internasional. Perbedaan harga yang terlalu
besar akan cenderung meningkatkan konsumsi BBM karena terdapat insentif
untuk melakukan penyelundupan BBM ke luar negeri, pencampuran BBM dengan
BBM non-subsidi, dan pengalihan BBM kepada pengguna yang tidak berhak.
Di lain pihak, peningkatan konsumsi BBM berdampak pada peningkatan
impor, karena terbatasnya kapasitas produksi sebagai akibat dari tiadanya
pembangunan kilang baru. Kilang Balongan adalah kilang terakhir yang dibangun
dan mulai berproduksi pada tahun 1992. Kapasitas produksi kilang masih bisa
ditingkatkan secara terbatas melalui penambahan instalasi unit pengolah pada
kilang yang ada. Pada tahun 2005 jumlah impor BBM (subsidi dan non-subsidi)
meliputi 38.26 persen dari total penawaran BBM (subsidi dan non-subsidi) dalam
negeri sebesar 69.15 juta kiloliter.
55
Pemerintah Indonesia sesungguhnya baru mengeluarkan subsidi harga
BBM yang sangat besar sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Lonjakan
perubahan kurs rupiah sekitar tiga kali lipat menjadi faktor utama yang
menyebabkan meningkatnya subsidi, karena penjualan BBM di dalam negeri
menggunakan Rupiah sedangkan sebagian besar komponen biaya penyediaan
BBM menggunakan mata uang asing.
2.3.3. Upaya Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Peningkatan subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN dalam jangka
panjang dapat berdampak kurang baik dalam kerangka keberlanjutan fiskal. Hal
itu dapat mengakibatkan kemampuan fiskal untuk membiayai pos anggaran lain
menjadi terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan fiskal, salah satu
alternatif kebijakan adalah pengurangan subsidi BBM. Namun alternatif tersebut
dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi kinerja perekonomian dan bagi
masyarakat seperti timbulnya gejolak sosial politik. Masyarakat terbiasa dengan
harga BBM yang relatif stabil dan konstan. Menghadapi situasi yang dilematis
tersebut, pemerintah melakukan kebijakan jalan tengah, yaitu berupa :
1. Penciutan Jenis BBM yang Disubsidi.
Sejak mulai diberlakukannya subsidi BBM pada tahun 1977, semua jenis
BBM mendapat subsidi. Namun mengingat konsumen BBM jenis avtur dan avgas
adalah masyarakat golongan menengah atas yang menggunakan jasa penerbangan,
maka pada tanggal 1 Oktober 2000, subsidi untuk avtur dan avgas dihapuskan.
Pemerintah berusaha lebih menciutkan lagi jenis BBM yang disubsidi. Karena itu
pada tanggal 16 Juni 2001, subsidi untuk minyak diesel dan minyak bakar
dihapuskan karena konsumen kedua jenis BBM ini adalah sektor industri dan
56
kapal pelayaran jarak jauh. Volume penjualan keempat jenis BBM yang dihapus
subsidinya mencakup sekitar 12.45 persen dari total volume penjualan BBM
(subsidi dan non-subsidi) pada tahun 2005.
2. Penciutan Konsumen yang Berhak membeli BBM subsidi.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, pemerintah membatasi kelompok
masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi.15 Premium dibatasi penggunanya
untuk kegiatan usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak solar
dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, usaha perikanan, transportasi,
dan pelayanan umum. Minyak tanah dibatasi penggunanya pada rumahtangga dan
usaha kecil untuk memasak dan penerangan. Kedua kebijakan, yaitu kebijakan
penciutan jenis BBM yang disubsidi dan penciutan kelompok konsumen yang
berhak membeli BBM subsidi, telah mampu mengurangi volume penjualan BBM
yang disubsidi, dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta
kiloliter pada tahun 2006.
3. Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji.
Minyak tanah merupakan jenis BBM yang paling besar mendapat subsidi
harga. Biaya produksi minyak tanah lebih tinggi dari premium dan solar, namun
harga ecerannya hanya ½ dari harga eceran premium dan solar. Konversi ini
hanya diberlakukan bagi penggunaan memasak di rumahtangga dan usaha kecil.
15 Terdapat 5 kelompok konsumen pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, yaitu: (1) Rumahtangga untuk memasak dan penerangan, (2) usaha kecil, setelah diverifikasi oleh instansi berwenang, maksimal 8 000 liter per bulan per unit usaha kecil, (3) usaha perikanan maksimal 25 000 liter per bulan per nelayan dan usaha pembudidayaan ikan kecil, (4) transportasi, semua transportasi darat termasuk angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, kapal berbendera nasional dengan trayek dalam negeri, kendaraan bermotor milik pribadi, swasta, atau pemerintah, dan (5) pelayanan umum yaitu rumah sakit, sarana pendidikan/sekolah/pesantren, tempat ibadah, krematorium, sarana sosial, dan kantor pemerintahan. BBM yang dibatasi penggunanya adalah BBM yang mendapat subsidi. Premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji yang tidak disubsidi, tidak dibatasi penggunanya. Siapa saja boleh membeli BBM non-subsidi.
57
Terdapat dua alasan dipilih elpji sebagai pengganti minyak tanah. Pertama, nilai
kalori elpiji relatif lebih tinggi dibandingkan dengan minyak tanah.16 Kedua,
harga dunia elpiji, seperti harga gas pada umumnya, cenderung selalu berada
dibawah harga minyak mentah. Untuk merangsang penggunaan elpiji, pemerintah
membagikan gratis paket elpiji kepada 52.9 juta rumahtangga tidak mampu dan
usaha kecil. Program ini dilaksanakan pada tahun 2007 dan diharapkan selesai
pada tahun 2010. 17
4. Program Pembatasan Pembelian BBM.
Konsumsi BBM yang pada tahun 2006 mencapai 37.9 juta kiloliter, pada
akhirnya cenderung semakin meningkat. Peningkatan tersebut didasarkan atas
pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar 5 persen per tahun dan
pertumbuhan kegiatan perekonomian secara umum yang membutuhkan energi,
sehingga pada tahun 2009 realisasi konsumsi BBM mencapai 39.7 juta kiloliter.
Untuk mengerem perkembangan konsumsi tersebut, pemerintah berupayan
membatasi pembelian premium dan minyak solar. Namun kebijakan ini masih
memerlukan persiapan lebih mendalam agar tidak menimbulkan gejolak di
masyarakat. Saat ini pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas18, akan
16 Pada besaran kalori yang sama, maka 1 liter minyak tanah setara dengan 0.69 kilogram elpiji. Faktor penghematan lainnya diperoleh dari efisiensi kompor elpiji dibandingkan kompor minyak tanah. Secara umum efisiensi kompor minyak tanah di Indonesia berkisar antara 75 – 90 persen dari kompor elpiji. Dalam program konversi, digunakan asumsi efisiensi kompor minyak tanah sebesar 75 persen, sehingga kandungan kalori dalam 1 liter minyak tanah setara dengan kandungan kalori dalam 0.52 kilogram elpiji. 17 Program konversi minyak tanah ke elpiji diharapkan dapat menghemat sekitar 8 juta KL minyak tanah (konsumsi selama ini 11 juta KL) dari peredaran. Menggunakan faktor efisiensi diatas, maka dibutuhkan elpiji pengganti sekitar 4.1 juta Ton, dan penghematan subsidi sebesar Rp.16.8 triliun per tahun diluar pembagian paket gratis. Paket gratis elpiji terdiri dari kompor gas, selang, regulator, dan tabung elpiji 3 kg. Elpiji yang mendapat subsidi dikemas dalam tabung 3 kg. Elpiji dalam kemasasn tabung 3 kg baru diadakan pada tahun 2007 yang lalu ketika program konversi dimulai. Dalam penelitian ini, data harga elpiji menggunakan harga elpiji dalam tabung 12 kg. 18 Badan Pengatur Hilir Migas adalah lembaga pemerintah yang salah tugasnya adalah menjamin ketersediaan BBM di seluruh wilayah Indonesia (untuk detailnya dapat dilihat Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2002)
58
melakukan ujicoba pencatatan pembelian premium dan minyak solar di Kota
Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan pada Tahun 2010. Apabila sistem
pencatatan pembelian ini berhasil, maka pemerintah selanjutnya akan menerbitkan
payung hukum untuk membatasi pembelian premium dan minyak solar.
2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian
BBM merupakan input energi19 bagi kegiatan perekonomian nasional.
Peranan BBM sebagai input energi sangat penting karena memberikan kontribusi
sebesar 36.51 persen dari total energi final. 20 Oleh sebab itu perubahan harga
BBM akan mempengaruhi harga output nasional secara umum, seperti yang
terlihat pada Tabel 9. Ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka inflasi
cenderung mengalami peningkatan, yang ditransmisikan melalui fungsi BBM
sebagai input energi dan sebagai energi final. Menurut Survai Biaya Hidup BPS
(2007) sumbangan harga premium terhadap inflasi nasional mencapai 3.00 persen.
Krisis ekonomi pada tahun 1998 dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah
yang mendekati 400 persen sehingga menyebabkan harga barang-barang termasuk
pinjaman pemerintah dan swasta dalam mata uang asing menjadi naik 4 kali lipat,
dari nilai semula, dalam mata uang rupiah. Pada tahun itu inflasi mencapai 77.63
persen, subsidi BBM naik 3 kali lipat dari Rp. 9 814 miliar pada tahun 1997
menjadi Rp. 28 607 miliar pada tahun 1998, sementara harga jual eceran BBM
dan elpiji tertimbang naik sebesar 15.27 persen pada periode yang sama.
19 BBM yang merupakan input energi adalah BBM yang dimanfaatkan sebagai input bagi industri yang menghasilkan energi final, seperti energi listrik, batubara, gas alam, dll. Sebagai energi final, BBM dimanfaatkan langsung oleh konsumen akhir seperti rumahtangga dan komersial, transportasi, industri, dan lainnya. 20 Sumber energi final lainnya adalah BBM non-subsidi (4.74 persen), listrik (7.60 persen), batubara (8.41 persen), kayu bakar (30.96 persen), gas bumi/alam (11.47 persen), dan arang (0.31 persen). Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
59
Tabel 9. Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
Indikator Satuan Tahun
1990 1995 1997 1998 2000 2005
1. PDBa Rp. Triliun 875 1 340 1 513 1 314 1 389 1 749
2. Inflasib %/Tahun 9.53 8.64 11.05 77.63 9.35 17.11
3. Tkt Sk Bungad %/Tahun 20.30 15.80 17.34 23.16 16.59 15.43
4. Nilai Tukara Rp/US$ 1 905 2 308 4 650 8 025 9 595 9 830
5. Harga BBMa:
a. Premium Rp/Liter 450 700 700 1 000 1 150 3 117 b. Minyak Tanah Rp/Liter 245 380 380 550 600 2 877 c. Minyak Solar Rp/Liter 190 280 280 280 350 2 061 d. Elpiji Rp/Kg 370 1 000 1 000 1 500 1 500 4 250 6. Harga Dunia Minyak Bumi a
US$/Barrel 22.31 17.11 19.04 12.47 28.39 53.66
7. Populasia Ribu Jiwa 179 248 191 825 199 837 202 873 205 843 219 893
8. Penganggurana Ribu Jiwa 1 952 6 251 4 275 5 062 5 813 10 854
9. Kemiskinanc Ribu Jiwa 27 200 23 530 29 290 49 500 38 700 35 100
10. Defisit Anggaran *)
Rp. Miliar 34 127 13 953 26 317 143 583 16 132 11 634
Keterangan : *) Defisit Anggaran = Penerimaan Dalam Negeri – Anggaran Belanja Negara Sumber: a. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006. b. International Monetary Fund, 2006. c. Badan Pusat Statistik, 2006. d. Badan Pusat Statistik, 2005.
Meskipun harga dunia minyak mentah pada tahun tersebut relatif tidak
mengalami perubahan, namun akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang luar
biasa, maka harga dunia BBM dalam rupiah meningkat tajam. Hal ini
mengakibatkan dua hal secara bersama-sama, yaitu potensi kenaikan subsidi harga
BBM dan potensi kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran
BBM cenderung memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli masyarakat memberikan tekanan pada peningkatan jumlah
penduduk miskin yang berjumlah 29.29 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 49.50
juta jiwa pada tahun 1998. Tekanan kemiskinan tidak hanya berasal dari tingginya
inflasi, tetapi merupakan kombinasi berbagai faktor lainnya termasuk peningkatan
jumlah pengangguran dari 4.27 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 5.06 juta jiwa
60
pada tahun 1998. Pengangguran disebabkan oleh lemahnya sisi permintaan
konsumsi domestik dan naiknya biaya input sehingga kegiatan produksi menurun
dan akibatnya permintaan tenaga kerja menurun.
Pada tahun 2005 kembali terjadi gejolak perekonomian Indonesia yang
dipicu oleh melonjaknya harga dunia minyak mentah sebesar 2 kali lipat
dibandingkan tahun 2000. Meskipun nilai tukar relatif stabil, namun gejolak harga
dunia minyak mentah mengakibatkan gejolak subsidi BBM dari semula Rp. 53
810 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp. 89 194 miliar pada tahun 2005 atau 22.71
persen dari belanja negara. Karena anggaran negara semakin terbatas
kemampuannya dalam belanja subsidi, maka untuk mengatasi kenaikan harga
dunia minyak mentah, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM tertimbang
sebesar rata-rata 34.15 persen per tahun pada periode 2000-2005.
Kenaikan harga jual eceran BBM turut mendorong inflasi sebesar 17.11
persen dan mendorong peningkatan pengangguran dari semula 5.81 juta jiwa pada
tahun 2000 menjadi 10.85 juta jiwa pada tahun 2005. Kedua hal ini memberikan
seharusnya memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin.
Namun pada kenyataannya jumlah penduduk miskin turun dari semula 38.70 juta
jiwa menjadi 35.10 juta jiwa. Penurunan jumlah penduduk miskin kemungkinan
besar disebabkan oleh besarnya anggaran pemerintah, yang khusus dialokasikan
untuk mengatasi masalah kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Analisa ini sejalan dengan temuan Soebiakto (1988) yang mengatakan
bahwa harga dunia minyak mentah menyebabkan kondisi yang tidak pasti
terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia
61
yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat
dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Oktaviani
dan Sahara (2000a) melakukan simulasi kenaikan harga BBM terhadap sektor
pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia. Berdasarkan
hasil simulasi jangka pendek maupun jangka panjang, kenaikan harga BBM, baik
diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap
semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan output ini akan
diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja, penurunan upah nominal tenaga
kerja tidak terdidik, dan penurunan sewa lahan pertanian. Hal ini berdampak pada
pengurangan pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga
BBM dan penyaluran dana kompensasi, yang pada awalnya diharapkan dapat
memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya.
2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran
Dalam sistem anggaran berimbang, sebagaimana yang dianut Indonesia
selama ini, jumlah penerimaan selalu sama dengan jumlah pengeluaran. Defisit
anggaran dalam penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan
dalam negeri pemerintah dengan pengeluaran belanja. Defisit anggaran terjadi
ketika peningkatan penerimaan dalam negeri relatif konstan, namun kebutuhan
anggaran belanja meningkat tajam untuk memenuhi kebutuhan yang sangat
penting dan segera. Defisit juga terjadi apabila penerimaan dalam negeri
pemerintah dibawah target. Untuk menutup defisit anggaran, diperlukan suntikan
dana luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman luar negeri.
Defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan mendadak
seringkali dikaitkan dengan peningkatan tajam subsidi BBM. Peningkatan tajam
62
subsidi BBM terjadi ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam
sementara pemerintah mempertahankan harga jual eceran BBM. Pada tahun 1990
defisit anggaran sebesar Rp. 34 127 miliar, kemudian turun menjadi Rp. 13 953
miliar pada tahun 1995 sebagai akibat dari dinaikkannya harga jual eceran BBM
dalam negeri. Defisit anggaran kemudian membengkak menjadi Rp. 143 583
miliar pada tahun 1998 menyusul depresiasi nilai tukar rupiah dan relatif stabilnya
harga jual eceran BBM dalam negeri. Pada tahun 2000 defisit anggaran turun
drastis menjadi Rp. 16 132 miliar yang kemungkinan besar disebabkan oleh
penambahan penerimaan negara bukan pajak seperti dari hasil penjualan asset,
privatisasi badan usaha milik negara, dan penjualan obligasi pemerintah (surat
utang negara) ke pasar dalam negeri.
Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara besaran subsidi
BBM dengan kecenderungan defisit anggaran. Defisit anggaran seringkali
berdampak pada peningkatan utang luar negeri baik yang berasal dari pinjaman
maupun penjualan obligasi. Karena itu kebijakan pemerintah mengenai subsidi
BBM tidak dapat dilepaskan dari potensi defisit anggaran yang mungkin terjadi.
2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan
Masalah kemiskinan tidak hanya meliputi jumlah dan persentase penduduk
miskin, tetapi terkait pula dengan batas kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan
keparahan kemiskinan, seperti yang terlihat pada Tabel 10. Batas kemiskinan,
baik di perdesaan dan perkotaan, dari tahun 1999 sampai tahun 2008 cenderung
meningkat. Batas kemiskinan di perkotaan secara umum lebih besar dibandingkan
di perdesaan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat biaya hidup di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan.
63
Tabel 10. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008
Tahun
Batas Kemiskinan (Rp.)
Kedalaman Kemiskinan 21 (%)
Keparahan Kemiskinan 22 (Rp. Juta)
Kota Desa Kota Desa Kota+
Desa Kota Desa
Kota+ Desa
1999 92 409.00 74 272.00 3.52 4.84 4.33 0.98 1.39 1.23 2002 130 499.00 96 512.00 2.59 3.34 3.01 0.71 0.85 0.79 2005 150 799.00 117 259.00 2.05 3.34 2.78 0.60 0.89 0.76 2006 174 290.00 130 584.00 2.61 4.22 3.43 0.77 1.22 1.00 2007 187 942.00 146 837.00 2.15 3.78 2.99 0.57 1.09 0.84 2008 204 896.00 161 831.00 2.07 3.42 2.77 0.56 0.95 0.76
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008.
Tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan dan perdesaan cenderung
turun kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat kedalaman kemiskinan
sebesar 2.07 untuk di perkotaan dan 3.42 untuk di perdesaan. Penurunan ini
mengindikasikan adanya perbaikan rata-rata kesenjangan standar hidup penduduk
miskin dan garis kemiskinan. Tingkat kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih
besar dibandingkan tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan. Hal ini berarti
bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perdesaan terhadap garis
kemiskinan perdesaan relatif lebih besar dibandingkan perkotaan.
Tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan cenderung
mengalami penurunan pada periode 1999-2008 kecuali untuk tahun 2006. Pada
tahun 2008 tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan masing-
masing sebesar 0.56 dan 0.95. Penurunan ini menunjukkan bahwa ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, secara umum
semakin berkurang. Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan relatif lebih tinggi
dibandingkan di perkotaan. Oleh sebab itu distribusi pengeluaran penduduk
21 Kedalaman kemiskinan adalah ukuran sejauh mana rata-rata pengeluaran penduduk miskin mendekati atau menjauhi garis kemiskinan. Apabila tingkat kedalaman kemiskinan menurun maka rata-rata pengeluaran penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinan. 22 Keparahan kemiskinan adalah ukuran sejauh mana perbedaan atau ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin. Jika keparahan kemiskinan menurun maka ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin menyempit.
64
miskin perdesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi daripada distribusi
pengeluaran penduduk miskin perkotaan.
BPS (2008c) menyajikan data dan analisa mengenai perkembangan jumlah
penduduk miskin di Indonesia. Pada periode Maret 2007 - Maret 2008 terjadi
kenaikan Garis Kemiskinan (GK)23 sebesar 9.56 persen dari Rp. 166 697 menjadi
Rp. 182 636 per kapita per bulan. Komponen pembentuk GK adalah Garis
Kemiskinan Makanan24 (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan25
(GKBM). Komponen GKM memberikan kontribusi terhadap GK sebesar 74.07
persen dan GKBM sebesar 25.93 persen, pada bulan Maret 2008.
Pada periode 1996-2007 jumlah dan persentase penduduk miskin di
Indonesia mengalami fluktuasi, seperti yang terlihat pada Tabel 11. Pada periode
1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13.96 juta jiwa karena
krisis ekonomi, yaitu dari 34.01 juta menjadi 47.97 juta. Pada periode 2000-2005
jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38.70 juta menjadi 35.10 juta.
Namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin, yaitu dari
35.10 juta pada bulan Februari 2005 menjadi 39.30 juta pada bulan Maret 2006.
Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi salah satunya karena harga
BBM26 yang naik sehingga menyebabkan naiknya harga berbagai barang dan
23 Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (GK). Pada bulan Maret 2008 kontribusi beberapa produk terhadap pembentukan GK adalah beras sebesar 38.97 persen di perdesaan dan 28.06 persen di perkotaan; listrik, angkutan, dan minyak tanah di perkotaan sebesar 3.07 persen, 2.72 persen, dan 2,65 persen, sementara di perdesaan kontribusi ketiga barang tersebut dibawah 2 persen. 24 GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori per kapita per bulan yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. 25 GKBM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 26 Pada awal Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata sebesar 29 persen. Kemudian pada Tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi kembali dinaikkan rata-rata sebesar 127 persen, yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit APBN. Kenaikan BBM pada Tanggal 1 Oktober 2005 tersebut memicu inflasi bulan Oktober 2005 sebesar 8.7 persen (Bappenas, 2006).
65
inflasi mencapai 17.95 persen periode Februari 2005 – Maret 2006. Akibatnya
penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar
garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.
Tabel 11. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2007
Tahun Penduduk Miskin (dalam Juta) Penduduk Miskin (dalam Persen)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47 1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23 1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43 2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14 2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41 2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20 2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42 2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66 2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97 2006 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75 2007 13.56 23.61 37.17 12.52 20.37 16.58
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008c.
Pada Tabel 5 disajikan pemakaian energi, khususnya minyak tanah dan
elpiji, oleh rumahtangga di Indonesia untuk memasak. Secara keseluruhan dari
tahun 1985-2007, sumber energi memasak rumahtangga lebih banyak
menggunakan kayu bakar daripada listrik, elpiji, minyak tanah, arang, dan
lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun
2007 penggunaan kayu bakar meningkat sehingga menjadi 49.38 persen
dibanding tahun 2001 yang sebesar 43.23 persen.
Sumber energi memasak rumahtangga pada tahun 1985 didominasi oleh
kayu bakar sebesar 71.57 persen, minyak tanah sebesar 25.93 persen, dan elpiji
sebesar 1.06 persen. Konsumsi minyak tanah untuk memasak rumahtangga
mengalami pasang surut, dimana pada periode tahun 2001-2007 mengalami
penurunan dari 44.10 persen menjadi 36.57 persen. Penurunan konsumsi minyak
tanah ini disebabkan oleh kenaikan harga jual eceran minyak tanah pada periode
66
tersebut dari semula Rp. 388 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp. 2 000 per liter
pada tahun 2007. Kenaikan harga jual eceran minyak tanah menyebabkan
konsumen rumahtangga mengalihkan sumber energinya ke kayu bakar yang
meningkat menjadi 49.38 persen dan elpiji yang meningkat menjadi 10.57 persen.
Tingginya konsumsi kayu bakar dan elpiji pada tahun 2007, selain
disebabkan oleh naiknya harga jual eceran minyak tanah, kemungkinan besar
sebagai akibat dari pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji pada
tahun 2007. Dalam pelaksanaan program konversi, pada daerah-daerah yang telah
dikonversi, minyak tanah ditarik dari peredaran dan digantikan oleh elpiji. Hal ini
menyebabkan masyarakat mampu akan beralih mengkonsumsi elpiji, namun
masyarakat kurang mampu, khususnya di perdesaan, yang semula mengkonsumsi
minyak tanah akan kembali mengkonsumsi kayu bakar.
2.4. Subsidi Energi di Negara Lain
2.4.1. Subsidi Energi di India
India memiliki 2 jenis subsidi, yaitu Subsidi Eksplisit yaitu subsidi yang
tercantum dalam dokumen anggaran dan Subsidi Implisit. Subsidi Eksplisit
meliputi subsidi makanan, pupuk, dan BBM. Subsidi Implisit adalah subsidi yang
tidak tercantum dalam dokumen keuangan pemerintah, dan mencakup subsidi
transportasi. Subsidi BBM pada awalnya off budget dan mulai dimasukkan ke
dalam anggaran pemerintah pada periode tahun 2002-2003. Jenis energi yang
disubsidi hanya minyak tanah untuk transportasi publik dan elpiji untuk
rumahtangga. Kedua jenis energi ini dipertahankan subsidinya karena paling
banyak dikonsumsi oleh sektor publik. Pada tahun 1997 pemerintah India
menyusun agenda untuk melakukan transisi dari rejim harga yang diatur
67
pemerintah menjadi harga yang ditentukan pasar. Khusus untuk minyak tanah dan
elpiji tetap diberikan subsidi meskipun secara bertahap besarannya dikurangi.
Pada akhir tahun 2002, subsidi untuk minyak tanah dan elpiji untuk rumahtangga
diturunkan dari 33 persen menjadi 15 persen.
Mulai disadari bahwa subsidi elpiji dinilai tidak tepat sasaran karena
memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kelompok masyarakat penghasilan
tinggi di perkotaan. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi pada subsidi minyak
tanah karena lebih banyak elit desa yang mampu yang mengkonsumsi minyak
tanah bersubsidi. Selain itu minyak tanah subsidi tersedia dalam jumlah yang
terbatas di perdesaan sehingga subsidi minyak tanah menjadi kurang bermanfaat
bagi masyarakat miskin perdesaan. Karena kedua subsidi energi ini dianggap
salah sasaran, maka pemerintah India sedang mencari bentuk untuk mengganti
subsidi energi dengan subsidi bentuk lain dengan tujuan agar lebih tepat sasaran
bagi golongan masyarakat yang paling tidak mampu (Bappenas, 2007).
2.4.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Malaysia
Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN (Association South East
Asia Nations) yaitu Singapura dan Thailand, maka harga Bahan Bakar Minyak di
Malaysia lebih rendah. Hal ini disebabkan subsidi BBM dan penghapusan pajak
semua produk BBM yang besar oleh pemerintah Malaysia. Dampak kebijakan
tersebut membuat masyarakat Malaysia dapat menikmati transportasi publik yang
terjangkau, biaya operasional nelayan yang rendah, dan biaya operator
transportasi sungai yang murah di Sabah dan Serawak. Selain itu masyarakat
Thailand dan Singapura dapat membeli BBM lebih murah di Malaysia.
68
Subsidi BBM di Malaysia diberikan langsung kepada produsen atau
pengecer. Pemerintah akan melanjutkan subsidi BBM namun dengan jumlah
subsidi yang diperbaharui dan ditentukan oleh pemerintah, mengingat subsidi
BBM juga berdampak negatif, yaitu: (1) menimbulkan distorsi pasar karena harga
tidak mencerminkan harga aktualnya, (2) penyelundupan BBM ke negara lain, (3)
meningkatkan defisit anggaran pemerintah karena besaran subsidi BBM sebesar
RM 6.6 miliar, dan (4) potensi penerimaan pajak penjualan yang hilang sebesar
7.9 miliar Ringgit Malaysia (Bappenas, 2007). Potensi pajak penjualan dan
subsidi BBM sebesar RM 14.5 miliar dapat digunakan untuk mengurangi defisit
fiskal dari 3.8 persen dari GDP menjadi 0.7 persen. Permasalahan utama yang
dihadapi dalam kaitan subsidi energi adalah kurang tepat sasaran. Oleh karena itu
akan dilakukan penyempurnaan dengan membuat metode yang lebih efektif,
sehingga operator transportasi publik, nelayan, dan operator transportasi sungai
benar-benar dapat merasakan manfaatnya.
2.4.3. Subsidi Energi di Negara-negara Eropa
IMF (2008) dalam laporannya menguraikan bahwa subsidi energi di
negara-negara Eropa ditujukan untuk: (1) proteksi industri energi domestik,
sebagaimana yang terjadi pada subsidi pertambangan batubara di Jerman dan
Spanyol, subsidi industri energi sampah di Finlandia dan Irlandia, subsidi biofuel
di Perancis dan Itali, (2) pengembangan industri energi terbarukan agar bisa
bersaing di pasar internasional, (3) riset dan pengembangan teknologi sumber
energi yang ramah lingkungan, dan (4) upaya pemerataan kesejahteraan sosial
bagi masyarakat miskin, berupa pembangunan pipa jaringan distribusi gas untuk
pemanas ruangan di daerah kantong kemiskinan di negara Denmark, Spanyol,
69
Yunani, dan Irlandia. Hal ini untuk menjamin kepastian pasokan gas dan
mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah yang warganya tidak mampu.
Subsidi energi tidak lagi menjadi issue yang menarik di negara-negara
Eropa karena sejak dua dasawarsa terakhir telah diberlakukan harga keekonomian
bagi energi. Kebijakan energi dilakukan secara terbatas dalam bentuk grant,
pajak-pajak, instrumen pengaturan, dan dukungan untuk riset dan pengembangan,
dimana kebijakan energi telah menginternalisasi dampak eksternal lingkungan,
pengembangan energi terbarukan, dan pengembangan energi alternatif. Berbeda
dengan negara-negara di Eropa Barat, negara-negara Eropa Timur yang
ekonominya masih dalam masa transisi menerapkan subsidi energi dalam bentuk
penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga keekonomiannya.
Beberapa kebijakan energi di negara-negara Eropa adalah: (1) hibah atau
kredit bunga rendah untuk produsen atau konsumen energi. Sebagai contoh
Denmark memberikan subsidi maksimal 30 persen dari biaya pengembangan
efisiensi energi atau konservasi di sektor industri dan perdagangan; (2) kebijakan
fiskal yaitu penerapan besaran pajak yang berbeda untuk mendorong atau
mengurangi produksi atau konsumsi energi tertentu, seperti pajak karbon untuk
mengurangi efek gas rumah kaca; (3) pengaturan untuk mendorong konsumen
membeli energi tertentu. Di Jerman konsumen yang membeli energi listrik dari
pembangkit angin dapat membeli dengan harga lebih murah, sementara di
Perancis perusahaan negara diharuskan membeli energi listrik dari pembangkit
angin dengan harga lebih mahal untuk merangsang pengusahaan energi angin; dan
(4) subsidi untuk melakukan riset dan pengembangan energi terbarukan dan
70
energi alternatif, dimana sekitar 40 persen dana dialokasikan untuk
pengembangan energi nuklir dan sektiar 15 persen untuk energi fosil.
Kebijakan energi di negara-negara Eropa membutuhkan dukungan dana
cukup besar. Pengurangan pajak pertambahan nilai untuk BBM dan gas di Inggris
pada tahun 2004 mencapai nilai €1.4 miliar. Subsidi batubara di negara-negara
Eropa Barat dan Eropa Timur (EU-27) pada periode 2002-2006 mencapai nilai
€31.0 miliar. Pengurangan pajak karbondioksida untuk industri di Denmark
mengurangi penerimaan pemerintah sebesar €0.6 miliar.
2.4.4. Subsidi Energi di Negara-negara Asia
Shikha Jha, et al. (2009) melakukan penelitian terhadap subsidi energi di
32 negara Asia dan kaitannya dengan ketidakpastian kondisi makroekonomi dan
keberlanjutan fiskal. Volatilitas dan tingginya harga dunia minyak mentah
berpengaruh terhadap anggaran belanja baik di negara yang menerapkan subsidi
atau negara yang menerapkan pajak terhadap konsumsi BBM dalam negeri.
Negara-negara Asia menerapkan sistem yang rumit dalam penetapan harga
BBM dalam negerinya yang selalu dikaitkan dengan harga dunia minyak mentah,
seperti yang terlihat pada Tabel 12. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat
tajam pada tahun 2008, hampir semua negara Asia melindungi konsumennya
melalui pembengkakan subsidi atau penurunan pajak BBM-nya. Subsidi BBM
mengakibatkan timbulnya biaya fiskal, baik yang dibiayai langsung melalui
anggaran belanja atau berupa pengurangan atas margin distribusi dan kilang
perusahaan minyak negara.
71
Tabel 12. Subsidi dan Pajak Bahan Bakar Minyak di Beberapa Negara Asia
Sumber : Shikha Jha, et al. (2009)
Negara yang mensubsidi langsung BBM cenderung menanggung beban
defisit fiskal, yang berikutnya akan mengakibatkan besarnya utang publik. Pada
Gambar 1 ditampilkan harga minyak tanah di beberapa negara Asia dibandingkan
dengan harga minyak tanah spot27 f.o.b.28 versi US Kerosene-type, Rotterdam
Kerosene-type, dan SIN Kerosene-type.
27 Harga spot adalah harga seketika atau harga yang terjadi pada hari transaksi. Harga spot biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga pada kontrak jangka pendek atau panjang.
72
Penelitian ini melakukan simulasi dampak gejolak makroekonomi dan
harga dunia minyak terhadap utang publik dan perkiraan atas koreksi fiskal yang
diperlukan. Ketidakpastian makroekonomi yang berlarut-larut dapat menyebabkan
memburuknya utang publik sebagaimana yang diperkirakan terjadi di Bangladesh,
Kamboja, India, Indonesia, Republik Lao, Malaysia, Maldives, Nepal, Pakistan,
Sri Lanka, Cina Taiwan, dan Vietnam. Utang publik di masing-masing negara itu
diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen.
Catatan : Survai hanya mencakup ibukota negara Sumber : Shikha Jha, et al. (2009) Gambar 1. Harga Jual Eceran Minyak Tanah di Beberapa Negara Asia,
Oktober 2008
Negara Asia yang mengendalikan harga jual eceran BBM dalam negeri,
ketika harga dunia minyak meningkat tajam, memerlukan koreksi atas kebijakan
fiskal. Tingginya harga dunia minyak mentah lebih berpengaruh dibandingkan
ketidakpastian makroekonomi untuk negara India, Indonesia, dan Malaysia.
Sementara tingginya harga dunia minyak mentah kurang berpengaruh
28 f.o.b. atau free on board adalah harga barang pada titik pelabuhan asal. Sebagai pengimpor, maka harga f.o.b. perlu ditambah dengan biaya angkutan, asuransi, pajak ekspor, pajak impor, dan pungutan serta biaya lainnya.
73
dibandingkan ketidakpastian makroekonomi untuk negara Cina, Bangladesh,
Nepal, dan Pakistan.
2.5. Tinjauan Studi Sebelumnya
2.5.1. Pasar Minyak Mentah
Krichene (2005) melakukan studi pasar minyak dan gas alam dunia
periode 1918-2004 dengan menggunakan model simultan. Gejolak harga minyak
menyebabkan permintaan minyak dan gas bumi menurun tajam pada tahun 1973-
2004 tanpa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini penting
karena perekonomian dunia memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian
terhadap gejolak harga melalui efek substitusi dan peningkatan efisiensi energi.
Krichene menemukan bahwa permintaan dan penawaran baik minyak maupun gas
bumi sangat tidak elastis dalam jangka pendek, yang berakibat pada gejolak pasar
minyak dan gas bumi. Kenaikan harga minyak mentah dan penerapan pajak tinggi
di negara-negara pengimpor minyak mentah telah mengurangi elastisitas
permintaan terhadap harganya, melalui penghematan energi dan subsititusi energi.
Sementara itu permintaan minyak dan gas bumi memiliki elastisitas pendapatan
tinggi. Kurva penawaran jangka panjang minyak mentah terhadap harga menjadi
tidak elastis setelah gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan perubahan
struktur pasar dari pasar kompetitif menjadi pasar yang terstruktur. Kurva
penawaran jangka panjang gas bumi terhadap harga menjadi lebih elastis setelah
gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan respon penawaran yang lebih
fleksibel terhadap perubahan harga gas bumi.
Dees et al. (2003) menggunakan model ekonometrik untuk menjelaskan
pasar dunia minyak mentah. Penulis menyimpulkan bahwa permintaan minyak
bumi dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian domestik, harga riil minyak bumi,
74
dan tren waktu yang mewakili perubahan teknologi. Sementara produksi non-
OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menggunakan
metode hybrid menjelaskan bahwa produksi minyak bumi dipengaruhi oleh
perubahan teknologi kilang minyak, perubahan teknologi, insentif ekonomi, dan
kondisi politik. Estimasi harga riil minyak bumi dipengaruhi oleh utilitas
kapasitas produksi minyak bumi negara OPEC, kuota produksi minyak bumi
negara OPEC, tingkat kepatuhan negara anggota OPEC dalam kuota, dan stok
minyak mentah dari negara-negara OECD. Hasil ini mengindikasikan bahwa
OPEC mempunyai kekuatan penting dalam mempengaruhi harga minyak bumi
dalam jangka menengah dan panjang.
Hayo and Kutan (2002) meneliti dampak berita, harga minyak bumi, dan
spillover internasional terhadap pasar finansial Rusia. Dengan adanya liberalisasi
dan hubungan pasar Rusia dengan pasar global, maka pembuat kebijakan Rusia
membutuhkan banyak pertimbangan untuk menjaga stabilitas pasar domestiknya.
Salah satu di antaranya adalah harga dunia minyak mentah yang ternyata
berkontribusi terhadap tidak stabilnya pasar keuangan Rusia. Terdapat bukti yang
kuat bahwa berita positif seputar sektor energi dapat menaikkan nilai saham
sebesar satu persen. Sementara berita negatif mengakibatkan keragaman harga
lebih besar dibandingkan dengan berita positif. Namun diakui bahwa berita
tentang ketegangan di Chechnya tidak berdampak terhadap pasar keuangan.
Temuan studi ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa gejolak harga dunia minyak mentah berdampak signifikan terhadap output
domestik dan nilai tukar riil (Rautava, 2002 dalam Dees, et al. 2003).
75
Taiwan adalah salah satu negara di Asia yang mempunyai pertumbuhan
ekonomi tinggi namun tidak mempunyai sumber energi. Oleh sebab itu Yunchang
(1996) meneliti dampak kebijakan energi, terutama perubahan dalam kebijakan
harga minyak atau gas bumi, terhadap ekonomi Taiwan, dengan menggunakan
CEGEM 1.1 (Computable Energy General Equilibrium Model). Model ini
berusaha menjelaskan keterkaitan hubungan antara energi, produksi, konsumsi,
dan perdagangan internasional. Dalam jangka pendek, pemerintah tidak harus
bergantung semata-mata pada kebijakan harga energi untuk mempengaruhi
perekonomian, karena tidak ada hubungan yang pasti dan dapat diprediksi antara
kinerja ekonomi dengan shock harga energi. Tiap industri memiliki respon yang
berbeda-beda terhadap perubahan harga energi. Kompetisi antar perusahaan
mengakibatkan perbedaan respon terhadap perubahan harga energi. Perubahan
harga energi dijadikan salah satu arena untuk melakukan kompetisi, sehingga ada
industri yang memperoleh keuntungan dan ada pula yang menderita kerugian.
Miller dan Zhang (1996) menggunakan teori irreversible investment
berasumsi bahwa kenaikan harga barang-barang mengikuti proses pergerakan
Brownian yang mulus, meskipun sangat jarang terjadi lompatan harga. Ketika Iran
melakukan invasi ke Kuwait pada awal Agustus 1990 terjadi kenaikan harga dunia
minyak mentah dari US$18 per barrel menjadi US$32 per barrel pada
pertengahan Agustus 1990. Tetapi harga dunia minyak mentah kembali normal ke
posisi semula ketika perang berakhir enam bulan kemudian. Kejadian ini dapat
dijelaskan dengan proses pergerakan Brownian yaitu kenaikan harga dipicu oleh
terjadinya perang dan kemungkinan terjadinya gangguan pasokan minyak mentah.
76
Berikutnya penurunan harga dunia minyak mentah dipicu oleh selesainya perang
dengan harapan penawaran minyak mentah akan kembali stabil.
Borenstein, et al. (1997) melakukan penelitian tingkat respon harga bensin
terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah. Beberapa peneliti menemukan
bahwa harga bensin lebih cepat bereaksi ketika terjadi kenaikan harga dunia
minyak mentah daripada ketika terjadi penurunan harga minyak mentah.
Transmisi perubahan harga dunia minyak ke harga bensin bergantung pada respon
pedagang intermediaries karena biasanya mereka tidak dimiliki oleh pemilik
kilang. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat para pedagang
intermediaries cenderung segera meningkatkan harga namun ketika terjadi
penurunan harga dunia minyak mentah mereka lebih lambat memberikan respon.
Raymond dan Rich (1997) melakukan analisis hubungan antara gejolak
harga dunia minyak dengan fluktuasi siklus bisnis di Amerika Serikat. Penulis
menyusun model Peralihan Markov (markov switching model) yang menghasilkan
simpulan bahwa pergerakan harga dunia minyak memberikan kontribusi atas
rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meskipun tidak selalu
menjadi penentu dominan. Temuan lain studi ini adalah adanya hubungan yang
kuat antara gejolak harga dunia minyak dengan kinerja makroekonomi. Ketika
harga dunia minyak mentah sangat tinggi pada periode 1973-75, resesi 1980an,
dan periode 1990-91, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi.
Meskipun demikian ditemukan bahwa tidak semua kontraksi pertumbuhan
ekonomi dapat dikaitkan dengan tingginya harga dunia minyak mentah.
Pangestu (1986) dalam disertasinya melakukan penelitian apakah efek
dutch disease terjadi di Indonesia dalam periode lonjakan harga dunia minyak
77
tahun 1973-1982. Penelitian menggunakan persamaan simultan dengan 2 SLS.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa gejala dutch disease terjadi di Indonesia.
Dalam rangka untuk meminimalkan efek dutch disease, kebijakan fiskal lebih
efektif daripada kebijakan moneter. Dutch disease adalah fenomena ekonomi
yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan pendapatan domestik yang
mendadak dari sumber alam, yang berdampak pada peningkatan belanja domestik
yang mendadak pula. Hal ini mengakibatkan inflasi domestik dan harga barang
nontraded 29 menjadi lebih mahal relatif terhadap barang traded non-minyak.
Perubahan harga relatif ini mengakibatkan terjadinya peralihan sumberdaya dari
sektor traded non-minyak (karena relatif lebih murah) ke sektor nontraded
(karena relatif lebih mahal). Ketika harga minyak turun dan kembali ke tingkat
harga semula, perekonomian nasional mengalami resesi karena turunnya daya beli
masyarakat dan terjadi kelebihan produksi barang nontraded yang tidak terserap
oleh pasar domestik. Perekonomian nasional membutuhkan waktu untuk keluar
dari resesi, yaitu dengan mengalihkan kembali sumberdaya dari sektor nontraded
ke sektor traded non-minyak.
Prawiraatmadja (1997) mengemukakan bahwa berdasarkan proyeksi
produksi dan permintaan minyak mentah dan hasil olahannya, dalam waktu dekat
Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak. Negara pengimpor minyak
adalah negara yang mengalami defisit perdagangan minyak bumi dan hasil
olahannya. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang semakin
meningkat dan agar tidak terlalu bergantung pada impor, Indonesia perlu
29 Barang non-traded adalah barang produksi domestik yang dikonsumsi domestik atau barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (ekspor-impor). Barang traded adalah barang yang diproduksi domestik dan kemudian sebagian atau seluruhnya diekspor atau barang yang diproduksi di luar negeri dan diimpor atau campuran dari keduanya.
78
membangun kilang baru. Hambatan investasi di sektor hilir migas adalah harga
produk final (BBM) masih ditetapkan oleh pemerintah dibawah harga pasar
melalui pemberian subsidi. Karena sulitnya akses investasi swasta dalam
pembangunan kilang baru, maka untuk memenuhi peningkatan kebutuhan BBM
dalam negeri, PT Pertamina (persero) berupaya melakukan impor BBM selain
peningkatan kapasitas, efisiensi, atau pembangunan kilang baru.
Studi yang dilakukan oleh Husman (2007) di Indonesia difokuskan pada
penelitian tentang dampak fluktuasi harga dunia minyak terhadap output dan
inflasi dengan menggunakan metode VAR (Vector Auto Regression) periode
1990-2006. Pada periode managed floating tahun 1990-1997 ketika Indonesia
berstatus net exporter country, harga dunia minyak tidak berpengaruh dominan
dalam pertumbuhan output dan tingkat inflasi domestik, dengan tingkat kesalahan
α = 15 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya subsidi sehingga harga BBM
domestik cenderung stabil. Pada periode free floating tahun 1997-2006,
perubahan harga dunia minyak mentah menjadi lebih berpengaruh terhadap output
dan inflasi dalam negeri. Hal ini disebabkan antara lain oleh:
1. Berubahnya posisi Indonesia dari negara net eksporter menjadi net
importer minyak pada tahun 2005, dan
2. Terjadi perubahan pola subsidi yang terjadi pada tahun 2005 sebagai
akibat dari tingginya harga dunia minyak.
Afiatno (2006) meneliti hubungan kausalitas antara konsumsi energi akhir
dan ekonomi di Indonesia, dan perbedaan ataupun kesamaan hubungan kausalitas
yang terjadi antar wilayah di Indonesia. Penulis menggunakan metode VAR dan
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kausalitas multivariat dua arah, yaitu
79
energi mempengaruhi ekonomi dan ekonomi mempengaruhi energi. Oleh sebab
itu pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi melalui
mekanisme harga atau pajak karena mempunyai dampak yang luas, biayanya
besar, dan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Mengendalikan
konsumsi juga harus hati-hati karena dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi
mengingat hubungan energi dan pertumbuhan ekonomi sedemikian kuat. Kondisi
ini berbeda dengan negara maju, misalnya Jerman, yang pada umumnya
mempunyai hubungan kausalitas antara kegiatan ekonomi dengan konsumsi
energi. Di negara itu, agar konsumsi energi tidak berdampak negatif pada
pertumbuhan ekonomi, maka harga energi dikendalikan melalui pajak energi.
2.5.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Yanuarti (2004) melakukan penelitian sejauh mana peranan BBM dalam
struktur biaya di tingkat produsen dan mengetahui dampak kenaikan harga BBM
terhadap harga produksi dengan pendekatan input output. Berdasarkan kajian
tersebut, kenaikan harga BBM sebesar 1 persen akan meningkatkan harga barang
domestik sebesar 0.07 persen, dalam kondisi tidak ada subsidi BBM. Kenaikan
harga barang domestik berasal dari dampak langsung sebesar 0.02 persen dan
dampak tidak langsung sebesar 0.05 persen. Dampak langsung berasal dari
kenaikan harga minyak mentah sebesar 0.01 persen dan harga BBM sebesar 0.007
persen, sementara dampak tidak langsung berasal dari kenaikan harga produk
sektor pengguna minyak mentah dan BBM.
Astana (2003) meneliti dampak kebijakan pengurangan subsidi BBM
terhadap kinerja industri hasil hutan kayu dan kelestarian hutan. Metode yang
digunakan adalah 3SLS dengan menggunakan data tahunan periode 1980-1996.
80
Diperoleh simpulan bahwa kebijakan pengurangan subsidi harga BBM sebesar 25
persen sampai 100 persen akan menurunkan penawaran kayu bulat dalam negeri,
penawaran ekspor kayu bulat, penawaran ekspor kayu gergajian, dan penawaran
ekspor kayu lapis. Selain itu dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM
memperkuat upaya pelestarian hutan berupa pengurangan penebangan kayu
illegal, penurunan laju erosi, dan penurunan kerusakan tegakan tinggal.
Selanjutnya dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM menurunkan
kesejahteraan pelaku ekonomi dan menurunkan penerimaan pemerintah, berupa
pengurangan surplus produsen, pengurangan surplus konsumen, pengurangan
penerimaan pajak ekspor, pengurangan pungutan kehutanan, dan pengurangan
penerimaan pajak ekspor kayu.
Kurtubi (1998) menganalisis permintaan BBM dan dampaknya terhadap
pertumbuhan ekonomi serta dampak kebijakan harga BBM terhadap permintaan
BBM. Metode analisis yang digunakan adalah CECM (Cointegration and Error
Correction Modeling) yakni suatu teknik pemodelan ekonometrik yang banyak
dipakai ahli di bidang ekonomi energi dan perminyakan. Menggunakan
pendekatan kointegrasi, diperoleh estimasi elastisitas permintaan BBM terhadap
harganya yaitu untuk jangka pendek sebesar -0.116 dan untuk jangka panjang
sebesar -0.549. Estimasi elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk jangka
pendek adalah 0.723 dan untuk jangka panjang adalah 1.351.
Syafa’at (1996) melakukan penghitungan untuk merumuskan besaran
subsidi optimal dan harga optimal, yang dapat memberikan manfaat maksimum
baik kepada petani (produsen), konsumen, dan pihak lain yang berkepentingan
dengan subsidi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary
81
Least Square). Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) tingkat subsidi optimal untuk
padi adalah 47.74 persen dan untuk jagung adalah 21.73 persen. Harga optimal
yang ditetapkan sebesar tingkat subsidi optimal akan memberikan manfaat
maksimum bagi petani, konsumen, dan pihak lain. Untuk itu diharapkan agar
harga dasar padi dan jagung ditetapkan sebesar subsidi optimalnya; dan (2)
apabila elastisitas penawaran dan permintaan terhadap harga menurun 10 persen,
maka subsidi optimal padi meningkat dari 47.74 persen menjadi 93.75 persen dan
subsidi optimal jagung meningkat dari 21.73 persen menjadi 28.45 persen.
Semakin besar subsidi optimal, maka semakin rendah harga optimal, dan semakin
jauh jarak antara harga optimal dengan harga pasar. Dengan kata lain, semakin in-
elastik penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka perbedaan harga
optimal dan harga pasar akan semakin besar.
Soebiakto (1988) dalam disertasinya menganalisis dampak fluktuasi harga
dunia minyak mentah terhadap ekonomi Indonesia tahun 1973-1986. Kenaikan
harga dunia minyak mentah terjadi pada tahun 1973 dan 1979, sementara
penurunan harga terjadi pada tahun 1986. Indonesia dikategorikan sebagai negara
kecil karena hanya memiliki cadangan minyak mentah sebesar 1.4 persen dari
cadangan minyak mentah dunia, sehingga menjadi negara price-taker dalam
bisnis minyak mentah dunia. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa harga dunia
minyak menyebabkan kondisi yang tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia.
Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap penerimaan
dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat dipengaruhi oleh harga dunia
minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Penurunan harga dunia minyak mentah
sebesar US$1 per barrel akan berdampak pada penurunan belanja pemerintah
82
sebesar US$32 juta, penambahan defisit neraca pembayaran sebesar US$10 juta,
dan peningkatan hutang eksternal sebesar US$145 juta, demikian pula sebaliknya.
Dalam kaitan dengan subsidi harga BBM, Soebiakto menyimpulkan bahwa
peningkatan harga BBM domestik sebesar Rp. 1 per liter akan mengurangi
konsumsi BBM dalam negeri sebesar 13 000 – 14 000 barrel, demikian pula
sebaliknya. Untuk mengurangi konsumsi BBM dalam negeri penulis memberikan
saran agar dilakukan pengurangan subsidi BBM secara bertahap yaitu paling
sedikit sebesar 10 persen per tahun.
Hartono dan Budy (2004) mengkaji dampak peningkatan harga energi
terhadap distribusi pendapatan dan merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat
bagi kinerja perekonomian DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta serta upaya
pengurangan dampak negatif yang muncul akibat peningkatan harga energi
terutama terhadap kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Untuk menjawab
tujuan penelitian digunakan CGE regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan menaikkan harga BBM, Bahan Bakar Gas (BBG), dan Tarif Dasar
Listrik (TDL) memberikan dampak negatif terhadap output dan nilai tambah
sektoral terutama terhadap industri makanan, minuman dan tembakau, industri
tekstil, kulit, kayu, dan barang dari kayu, dan sektor listrik, gas dan air minum.
Hal itu pada gilirannya akan mengurangi pendapatan faktor produksi tenaga kerja,
khususnya tenaga kerja informal, yang pada akhirnya pendapatan dari kelompok
rumahtangga miskin dan rumah tangga sangat miskin berkurang relatif
dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Diatin et al. (2003) meneliti pengaruh kenaikan harga solar terhadap usaha
penangkapan nelayan di pelabuhan Ratu, Sukabumi. Metode yang digunakan
83
adalah analisis pendapatan usaha, rasio imbangan penerimaan dan biaya, net
present value, net benefit cost ratio, dan internal rate of ratio. Kenaikan harga
solar berdampak pada penurunan pendapatan usaha penangkapan yang dilakukan
oleh unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT, 11-20 GT, dan 21-32
GT, yaitu masing-masing sebesar 55.28 persen, 48.64 persen, dan 25.01 persen.
Namun dengan kenaikan harga solar ini, semua usaha penangkapan nelayan
secara finansial masih layak untuk dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen.
Unit usaha penangkapan yang paling peka terhadap perubahan harga solar adalah
unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT.
Simatupang dan Purwoto (1995) mengatakan bahwa usahatani dalam
sektor pertanian yang diperkirakan sangat dipengaruhi oleh penyesuaian harga
solar adalah usahatani padi. Tujuan penelitian adalah mengkaji dampak perubahan
harga solar terhadap produksi dan laba usahatani padi. Menggunakan data tahunan
periode 1986-1991 dan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression), terbukti
bahwa perubahan harga solar sangat berpengaruh terhadap produksi dan usahatani
padi. Secara nasional dampak kenaikan harga solar sebesar 26.67 persen pada
bulan Januari 1993 diperkirakan akan menurunkan produksi dan laba usahatani
padi masing-masing 6.07 persen dan 10.58 persen. Disimpulkan bahwa perubahan
harga BBM sangat berpengaruh terhadap produksi dan laba usahatani padi, hal
yang sama diperkirakan berlaku juga bagi komoditi pertanian lainnya. Oleh
karena itu untuk mengurangi dampak terhadap petani padi, pada setiap kenaikan
harga BBM harus diikuti oleh kenaikan harga dasar pertanian.
84
2.5.3. Kemiskinan
Hartono (2006) dalam disertasinya membangun model Sistem Neraca
Sosial Ekonomi Energi (SNSEE) Indonesia dan model Computable General
Equilibrium (CGE). Tujuan penelitian diantaranya adalah menentukan dampak
pengurangan subsidi BBM, BBG, dan Tarif Dasar Listrik terhadap pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan antar berbagai kelompok rumahtangga.
Temuan disertasi ini, bahwa pengurangan subsidi BBM, BBG, dan TDL akan
berdampak pada peningkatan PDB, distribusi pendapatan semakin merata, dan
penurunan indeks Gini. Dampak terhadap PDB dan distribusi pendapatan beragam
bergantung pada apakah pengurangan subsidi: (1) tidak diikuti oleh peningkatan
efisiensi penggunaan energi, (2) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan
energi kelompok industri, dan (3) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan
energi kelompok industri dan rumahtangga.
Hartono (2006) menyampaikan pula bahwa pemerintah perlu memikirkan
strategi-strategi dalam melakukan pengurangan subsidi, yaitu: (1) memberikan
informasi mengenai cara peningkatan efisiensi penggunaan energi, (2)
memberikan insentif pada industri dan masyarakat untuk melakukan peningkatan
efisiensi penggunaan energi, dan (3) mengurangi subsidi secara bertahap guna
memberikan kesempatan kepada kelompok industri untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan energi. Selain itu pemerintah perlu mengembangkan program
Bantuan Langsung Tunai (BLT) guna mengurangi beban kelompok rumahtangga
miskin akibat pengurangan subsidi. Apabila BLT tidak dapat dilaksanakan dengan
baik, maka pemerintah perlu mengembangkan program alternatif penyaluran dana
kompensasi selain BLT.
85
Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menganalisis dampak kenaikan harga
BBM terhadap kemiskinan dengan menggunakan data Susenas 2004. Pendekatan
yang dilakukan adalah kenaikan harga BBM menyebabkan meningkatnya inflasi
sehingga pendapatan riil masyarakat menurun. Penurunan pendapatan rril
masyarakat, jika terjadi pada keluarga yang berpenghasilan di sekitar dan pada
garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh dalam kemiskinan. Namun
dengan adanya transfer dana kompensasi BBM, diharapkan penghasilannya
terkompensasi dan bahkan bisa terangkat keatas dari batas kemiskinan. Dengan
asumsi inflasi sebesar 12.5 persen dan elastisitas harga terhadap garis kemiskinan
sebesar 1.3, maka pada tahun 2005 garis kemiskinan nasional, perkotaan, dan
perdesaan masing-masing sebesar Rp. 143 000, Rp. 166 393, dan Rp. 126 393.
Sebagai dampak kenaikan harga BBM, penduduk miskin pada tahun 2005
meningkat menjadi 18.61 persen atau 40.4 juta orang, suatu peningkatan sebesar
1.95 persen dibandingkan tahun 2004.
Selanjutnya paper tersebut menjelaskan mengenai efektivitas program-
program kompensasi BBM. Pertama adalah program beras miskin (raskin) yang
menurut data susenas 2004 penerima raskin yang tergolong sebagai keluarga
miskin hanya sekitar 25.9 persen. Kedua adalah program beasiswa dimana hanya
38.0 persen penerima beasiswa adalah yang berasal dari golongan keluarga
miskin. Ketiga adalah program kartu sehat yang ditujukan untuk melindungi
keluarga pra-sejahtera dari resiko pengeluaran kesehatan yang terlalu besar. Dari
seluruh pemegang kartu sehat hanya 26.5 persen yang berasal dari keluarga
miskin. Keempat adalah program dana bergulir yang menuntut kemampuan
berwirausaha bagi penerima dana bergulir. Dari seluruh penerima dana bergulir,
86
hanya 9.9 persen yang termasuk golongan keluarga miskin. Disimpulkan bahwa
kenaikan harga BBM yang diikuti program kompensasi BBM tidak akan
mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan, karena majoritas penerima manfaat
program kompensasi bukan golongan keluarga miskin.
Kajian mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor pertanian,
agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia dilakukan oleh Oktaviani
dan Sahara (2005a). Kedua penulis menggunakan CGE (Computable General
Equilibrium) recursive dynamic yang disebut Model Kemiskinan Indonesia
(MKI). Secara teoritis kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi.
Peningkatan biaya produksi menggeser kurva biaya marjinal dan kurva penawaran
ke kiri atas, cateris paribus, sehingga output menurun dan harga output
meningkat. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek dan jangka panjang,
kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap semua output sektor pertanian
dan agroindustri. Meskipun kenaikan harga BBM diikuti dengan penyaluran dana
kompensasi BBM, namun tetap berdampak negatif terhadap semua output di
sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan penyerapan tenaga kerja tetap terjadi
meskipun kenaikan harga BBM telah diikuti dengan program kompensasi.
Kenaikan harga BBM, baik diikuti oleh program kompensasi maupun
tidak, berdampak negatif terhadap upah tenaga kerja tidak terdidik. Hal yang sama
terjadi pada tingkat pengembalian lahan atau sewa lahan (return to land). Tingkat
pengembalian lahan merupakan salah satu sumber pendapatan rumahtangga di
sektor pertanian. Turunnya upah nominal tenaga kerja tidak terdidik dan
penurunan tingkat pengembalian lahan, akan menyebabkan semakin berkurangnya
pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan
87
penyaluran dana kompensasi yang pada awalnya diharapkan dapat memperbaiki
kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya. Peningkatan harga BBM
menyebabkan kondisi rumahtangga pertanian menjadi tidak lebih baik.
De Janvry dan Sadoulet (2000) melakukan penelitian tentang kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan di 12 negara Amerika Latin. Kedua penulis
menemukan bahwa peningkatan pendapatan nasional mengurangi tingkat
kemiskinan tetapi tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Diketahui
pula bahwa peningkatan pendapatan lebih berpengaruh dalam penurunan angka
kemiskinan di perkotaan apabila tingkat ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
cukup rendah dan masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan menengah.
Pertumbuhan ekonomi berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan
namun berdampak negatif terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan,
sementara resesi ekonomi memberikan dampak negatif baik pada kemiskinan
maupun ketimpangan pendapatan. Penulis menemukan bahwa jika ketimpangan
pendapatan di suatu negara cukup besar, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak dapat mengurangi angka kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi hendak
dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kemiskinan, maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan.
Decaluwe et al. (1998) menganalisis dampak guncangan perdagangan dan
reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga di
beberapa negara berkembang dengan menggunakan model CGE. Simulasi
penurunan harga ekspor tanaman pangan dan penurunan tarif impor menyebabkan
penurunan pendapatan rumahtangga dan sekaligus penurunan garis batas ambang
kemiskinan. Simulasi penurunan harga ekspor tanaman pangan mengakibatkan
88
pengurangan produksi domestik untuk diekspor, yang diikuti oleh pengalihan
sumberdaya ke sektor lain yang harga ekspornya masih cukup tinggi. Namun
karena tidak semua bisa dialihkan, maka secara total terjadi penurunan GDP
nasional, penurunan biaya sewa lahan pertanian, penurunan upah tenaga kerja, dan
dengan demikian berkurangnya pendapatan rumahtangga. Karena garis batas
ambang tingkat kemiskinan merupakan variabel endogen, maka hal ini berdampak
pada penurunan garis batas ambang tingkat kemiskinan. Namun pengurangan
pendapatan rumahtangga lebih kecil dibandingkan dengan penurunan batas
ambang tingkat kemiskinan. Akhirnya penurunan harga dunia ekspor berdampak
pada penurunan pendapatan rumahtangga, penurunan garis batas ambang tingkat
kemiskinan yang relatif kecil sehingga secara total terjadi penurunan jumlah
penduduk dibawah garis kemiskinan.
Nanga (2006) mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di
Indonesia dengan menggunakan pendekatan persamaan simultan dan metode
2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuk
seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum, memiliki
dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi
karena kenaikan transfer fiskal cenderung mengakibatkan peningkatan
ketimpangan pendapatan, sementara kemiskinan memiliki hubungan yang positif
dan elastis terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. Selain itu
ditemukan bahwa peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dapat
menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang
pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di
Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena penyerapan tenaga kerja di Indonesia
89
memiliki hubungan yang positif dan responsif (elastis) dengan perubahan PDRB.
Keefektifan pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan per kapita) dalam
mengurangi kemiskinan, ternyata sangat dipengaruhi oleh derajat ketimpangan
dalam distribusi pendapatan. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka
meningkat pula derajat ketimpangan pendapatan. Oleh karena efek ketimpangan
pendapatan dalam meningkatkan kemiskinan jauh lebih kuat dibandingkan dengan
efek pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan, maka sebagai
dampak bersihnya kemiskinan akan semakin memburuk.
Yudhoyono (2004) menganalisis kebijakan fiskal dan pembangunan
pertanian perdesaan terhadap pengangguran dan kemiskinan dengan
menggunakan metode ekonometrik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa
tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan
desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran pemerintah untuk
prasarana memberi pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di
Indonesia. Sebaliknya, setelah adanya desentralisasi atau otonomi daerah, keadaan
penyerapan tenaga kerja semakin memburuk. Angka kemiskinan dipengaruhi oleh
kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran
pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka
kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk prasarana secara nyata
menurunkan angka kemiskinan di perkotaan, dan pengeluaran pemerintah untuk
pertanian secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perdesaan. Pertumbuhan
ekonomi memiliki dampak positif bagi pengurangan angka kemiskinan, baik di
perdesaan maupun di perkotaan. Di perdesaan, semakin tinggi upah di sektor
pertanian, maka semakin berkurang tingkat kemiskinan. Hal ini sesuai dengan
90
kondisi petani yang pada umumnya berlahan sempit ataupun berstatus sebagai
buruh tani. Sebaliknya, di perkotaan, tingginya tingkat upah tidak berpengaruh
secara nyata terhadap pengurangan angka kemiskinan.
Booth (2000) mengkaji kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada era
kepemimpinan Presiden Soeharto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa nilai head
count ratio Indonesia masih di atas Malaysia dan Thailand, namun di bawah
Philippines pada akhir tahun 1980-an. Pernyataan Booth memperkuat alasan
bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan menjadi hal penting untuk
mengurangi masalah kemiskinan di Indonesia dengan catatan program-progran
pembangunan lebih diarahkan tidak hanya untuk pengembangan tanaman pangan
tetapi juga kebutuhan spesifik bagi penduduk miskin.
Sutomo (1995) meneliti kemiskinan rumahtangga dan pembangunan
ekonomi wilayah dengan menggunakan pendekatan SNSE (Sistem Neraca Sosial
Ekonomi) sebagai kerangka analisis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan rumahtangga, proses pemiskinan
rumahtangga dan hubungannya dengan pembangunan wilayah. Analisis deskripsi
untuk menjawab aspek-aspek kemiskinan, sedangkan analisis pengganda neraca
diaplikasikan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
perubahan distribusi pendapatan rumahtangga. Analisis kontribusi faktor-faktor
produksi digunakan untuk melengkapi kedua analisis tersebut.
Sitepu (2007) dalam disertasinya menganalisis dampak investasi
sumberdaya manusia dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap distribusi
pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan model
ekonometrik dan model CGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi
91
sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan rumahtangga yang diikuti oleh penurunan tingkat
kemiskinan rumahtangga. Disimpulkan bahwa investasi sumberdaya manusia
lebih efektif menurunkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan dibandingkan
dengan transfer pendapatan kepada kelompok rumahtangga perdesaan.
Disimpulkan bahwa untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan
kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
investasi sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi kelompok rumahtangga miskin.
Ringkasan studi-studi terdahulu dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Studi Terdahulu mengenai Pasar Minyak Mentah, Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia, dan Kemiskinan
No. Studi Empiris Topik Kekhususan Studi
A. Pasar Minyak Mentah
1. Krichene (2005) Pasar dunia minyak mentah dan gas bumi
Menganalisis permintaan, penawaran, dan dampak dari kebijakan moneter terhadap harga minyak mentah.
2. Dees, et.al. (2003)
Pasar dunia minyak mentah
Menggunakan ekonometrik, permintaan minyak mentah dipengaruhi oleh domestik, harga riil minyak mentah, dan teknologi.
3. Hayo dan Kutan (2002)
Pasar dunia minyak mentah
Menganalisis dampak dari berita dunia, harga dunia minyak mentah, dan pasar global terhadap pasar keuangan di Rusia.
4. Yunchang (1996)
Harga energi dan perekonomian nasional
Menganalisisi dampak dari harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Taiwan.
5. Miller dan Zhang (1996)
Pergerakan harga dunia minyak mentah
Menggunakan pergerakan Brownian untuk menganalisis dan meramalkan harga dunia minyak mentah.
6. Borenstein, et.al. (1997)
Harga bensin dan harga dunia minyak mentah
Kaitan antara pergerakan harga bensin dan harga dunia minyak mentah ketika terjadi Perang Teluk Tahun 1991.
7. Raymond dan Rich (1997)
Pasar dunia minyak mentah dan siklus bisnis
Menganalisis keterkaitan antara pergerakan harga dunia minyak mentah dengan siklus bisnis perekonomian Amerika Serikat, menggunakan Markov Switching Model.
8. Pangestu (1986) Perekonomian Indonesia tahun 1980an
Meneliti apakah terjadi gejala dutch disease pada perekonomian Indonesia setelah terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah Tahun 1973.
92
Tabel 13. Lanjutan No. Studi Empiris Topik Kekhususan Studi
9. Prawiraatmadja
(1997) Pasar bahan bakar minyak di Indonesia
Analisis deskriptif mengenai pasar bahan bakar minyak di Indonesia, kapan Indonesia akan menjadi negara net-importer.
10 Husman (2007)
Perekonomian Indonesia tahun 1990-2006
Menganalisis dampak dari harga dunia minyak terhadap output dan inflasi domestik serta kaitannya dengan rejim nilai tukar rupiah.
11. Afiatno (2006) Hubungan antara konsumsi energi akhir di Indonesia
Menggunakan metode VAR mengkaitkan hubungan antara konsumsi energi akhir dengan perekonomian Indonesia.
B. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia
12. Yanuarti (2004) Peranan bahan bakar minyak dalam produksi
Menganalisis sumbangan harga bahan bakar minyak dalam biaya produksi di Indonesia.
13. Astana (2003) Peranan bahan bakar minyak dalam industri hutan hasil kayu
Menganalisis peranan subsidi bahan bakar minyak terhadap kinerja industri hutan hasil kayu dan ekspornya.
14. Kurtubi (1998) Pasar bahan bakar minyak di Indonesia
Menganalisis permintaan bahan bakar minyak dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
15. Syafa’at (1996) Penghitungan besaran subsidi optimal
Melakukan analisis untuk menghitung besaran subsidi optimal yang dapat memberikan manfaat pada produsen, konsumen, dan pihak lain.
16. Soebiakto (1988)
Harga dunia minyak mentah dan perekonomian Indonesia
Menganalisis dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1973-1986.
17. Hartono dan Budy (2004)
Kebijakan harga energi dan distrib. Pendapatan
Mengkaji dampak dari kenaikan harga energi terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta.
18. Diatin, et.al. (2003)
Kebijakan harga energi dan kegiatan nelayan
Mengkaji dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan penangkapan ikan di Sukabumi.
19. Simatupang dan Purwoto (1995)
Kebijakan harga energi dan sektor pertanian
Menganalisis dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan di sektor pertanian.
C. Kemiskinan 20. Hartono (2006) Kebijakan harga
energi Menggunakan CGE, menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan gas terhadap kinerja perekonomian nasional.
21. Hasan, Sugema, Ritonga (2005)
Kebijakan harga energi dan kemiskinan
Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kemiskinan di Indonesia, menggunakan data Susenas 2004.
22. Oktaviani dan Sahara (2005a)
Kebijakan harga energi dan rumahtangga pertanian
Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian.
93
Tabel 13. Lanjutan No. Studi Empiris Topik Kekhususan Studi
23. De Janvry dan Sadoulet (2000)
Kemiskinan di Amerika Latin
Mengalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di negara-negara Amerika Latin.
24. Decaluwe, at.al. (1998)
Kebijakan perdagangan dan kemiskinan
Menganalisis dampak dari guncangan perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di negara berkembang.
25. Nanga, Muana (2006)
Kebijakan fiskal dan kemiskinan di Indonesia
Mengkaji dampak dari transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan metode ekonometrik.
26. Yudhoyono (2004)
Kebijakan fiskal dan kemiskinan
Menganalisis dampak dari kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian perdesaan terhadap pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
27. Booth (2000) Kemiskinan dan Indonesia
Mengkaji karakteristik kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia pada era Presiden Suharto.
28. Sutomo (1995) Kebijakan pemb. regional dan kemiskinan
Menggunakan SNSE, mengkaji dampak dari pembangunan wilayah terhadap kemiskinan di Indonesia.
29. Sitepu (2007) Kebijakan fiskal dan kemiskinan
Menggunakan CGE, mengkaji dampak dari kebijakan transfer fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.
Dari berbagai penelitian tentang subsidi harga BBM yang telah dilakukan,
masih terdapat celah yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Para peneliti
sebelumnya belum membahas dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap
kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia menggunakan
metode persamaan simultan. Sumbangan berikutnya yang ditawarkan oleh
penelitian ini adalah dampak peramalan dari: (1) kebijakan program konversi
minyak tanah ke elpiji, (2) kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, (3)
pengaruh kenaikan harga dunia minyak mentah. (4) kenaikan penerimaan dalam
negeri pemerintah, dan (5) realokasi anggaran yang berasal dari kebijakan
pengurangan subsidi harga BBM.
94
III. KERANGKA TEORI
Bagian ini menjelaskan dasar-dasar yang menjadi acuan teori dari
penelitian yang berkaitan dengan penawaran dan permintaan BBM, subsidi harga,
mekanisme transmisi subsidi dan harga energi, teori makroekonomi, dan
kemiskinan.
3.1. Dampak Subsidi Input Terhadap Output
Dampak perubahan harga input BBM, dalam produksi secara umum, dapat
dipelajari melalui teori efek substitusi input dan output. Menurut grafik,
penjelasan teori efek substitusi input dan output disajikan pada Gambar 2
(Ferguson and Gould, 1975 dalam Astana, 2003). Untuk penyederhanaan
diasumsikan ada dua jenis input yaitu kapital (garis vertikal) dan BBM (garis
horisontal). Keseimbangan awal produksi terjadi di titik P (k1, m1). Tingkat output
ditunjukkan oleh kurva isoquant ISQ1 dan tingkat biaya oleh kurva isocost KM1.
Tingkat penggunaan input BBM sebesar m1 dan penggunaan kapital sebesar k1.
Jika pemerintah mengurangi subsidi BBM, maka harga input BBM akan
naik. Pada tingkat biaya yang tersedia, produsen berusaha memaksimumkan
output dengan mengurangi input BBM. Pengurangan input BBM ditunjukkan oleh
pergeseran kurva isocost dari KM1 ke KM2. Lebih lanjut pengurangan input BBM
akan menyebabkan tingkat output juga menurun, yang ditunjukkan oleh
bergesernya kurva isoquant dari ISQ1 ke ISQ2. Keseimbangan produksi berubah,
yaitu dari titik P ke titik R (k3, m3) dimana tingkat penggunaan BBM sebesar m3
dan kapital sebesar k3.
95
Gambar 2. Efek Substitusi Input dan Output Akibat Penurunan Subsidi
Harga Bahan Bakar Minyak
Dengan demikian, penurunan subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan
harga input BBM akan menyebabkan konsumsi BBM menurun dari m1 menjadi
m3. Total penurunan input BBM disebabkan oleh pengaruh substitusi input kapital
dan penurunan output. Pengaruh substitusi input kapital dijelaskan dengan kurva
isocost pembantu, Kf-Mf. Kurva Kf-Mf adalah sejajar KM2 yang menunjukkan
harga BBM yang baru dan menyinggung kurva isoquant ISQ1 yang menunjukkan
tingkat output yang lama.
Pada tingkat harga BBM yang baru, produsen sebenarnya dapat
menghasilkan produk pada tingkat output yang sama dengan asumsi adanya
penambahan biaya dari k1 ke k2 sedemikian sehingga tingkat keseimbangan
produksi tetap bergerak sepanjang kurva isoquant ISQ1 dan titik keseimbangan
Kf
K
k1
k3
m3 m2 m1 Mf M1 0
R
Q
P
ISQ1
ISQ2
k2
M2 BBM
Kapital
96
antara terletak di Q (k2, m2). Namun dalam kenyataannya, penambahan kapital
lebih kecil dari yang diharapkan, yaitu k1 ke k3 yang mengakibatkan input BBM
bergerak ke kiri dari m1 ke m3 sehingga tercapai keseimbangan baru di R (k3, m3).
Pada keseimbangan final ini tingkat output turun dari ISQ1 menjadi ISQ2.
3.2. Kinerja Perekonomian
Selama lebih dari tiga dekade terakhir, teori makroekonomi dan
aplikasinya dalam perekonomian telah berkembang lebih baik, dimana prinsip-
prinsip teori makroekonomi banyak mendasari kegiatan makroekonomi itu sendiri
(Chari and Kehoe, 2006).
Menurut Mankiw (2003), ada beberapa variabel yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja perekonomian, namun paling tidak terdapat tiga variabel
makroekonomi yang penting dan banyak menjadi perhatian para ahli ekonomi
yaitu pendapatan nasional atau GDP, kestabilan harga atau inflasi, dan
pengangguran. Pohan (2008) menambahkan bahwa keseimbangan neraca
pembayaran atau BOP (Balance of Payment) menjadi salah satu target kebijakan
makroekonomi selain yang telah disebutkan. Stabilitas ekonomi dapat dilihat dari
dampak gejolak variabel makroekonomi lainnya terhadap variabel kunci
makroekonomi
3.2.1. Pendapatan Nasional
PDB (Produk Domestik Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product)
dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. Model ekonomi yang
menggambarkan keseimbangan ekonomi nasional sebagaimana disampaikan oleh
Mankiw (2003) adalah sebagai berikut:
GDP = Y = C + I + G + (X – M) ....................................................... (3.1)
97
Yd = Y – Tax .................................................................................. (3.2)
Pendapatan nasional dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan
pengeluaran. Dari sisi pengeluaran pendapatan nasional diartikan sebagai
penjumlahan dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan
impor. Persamaan ini adalah persamaan identitas dan seringkali disebut dengan
identitas persamaan pos pendapaan nasional (Mankiw, 2003). Pendapatan
perorangan adalah jumlah yang tersedia bagi rumahtangga dan perusahaan non-
korporasi untuk melakukan pengeluaran setelah membayar pajak (disposable
income). Kinerja perekonomian dapat direpresentasikan melalui indikator
makroekonomi yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan PDB, investasi, neraca
perdagangan, dan neraca pembayaran.
2. Stabilisasi ekonomi melalui fluktuasi nilai tukar, tingkat inflasi, dan
tingkat pengangguran.
3.2.2. Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum yang terus-menerus
dalam perekonomian (Susanti, et.al, 1995 dan Putong, 2003). Inflasi merupakan
kecenderungan harga barang dan jasa termasuk faktor-faktor produksi yang diukur
dengan satuan mata uang yang semakin naik terus-menerus. Kaum monetaris
mengemukakan bahwa inflasi adalah fenomena moneter yang disebabkan oleh
kelebihan jumlah uang yang beredar.
Menurut Sukirno (2006b) penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari
berbagai sisi, yaitu sisi permintaan, penawaran, dan campuran antara keduanya.
Secara umum penyebab terjadinya inflasi dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) tarikan
98
permintaan (demand pull inflation), (2) desakan biaya (cost push inflation), dan
(3) karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan perdagangan
(imported inflation). Inflasi yang disebabkan oleh permintaan agregat disebut
demand pull inflation, yang umumnya terjadi karena adanya penambahan
permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen. Inflasi yang
disebabkan oleh aspek penawaran agregat sering disebut dengan cost push
inflation, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan biaya
produksi sebagai dampak kenaikan harga bahan mentah atau upah. Di samping itu
terdapat pula inflasi yang diimpor (imported inflation) yang disebabkan oleh
kenaikan harga-harga barang impor yang dikonsumsi langsung maupun digunakan
sebagai input produksi di dalam negeri.
Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) inflasi yang
berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena adanya defisit
dalam pembiayaan, belanja negara, musim paceklik, dan bencana alam yang
berkepanjangan. Dalam rangka mengatasi inflasi, pemerintah dapat mencetak
uang baru; dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
Negara-negara yang menjadi mitra dagang mengalami inflasi yang tinggi,
sehingga harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut relatif
tinggi. Bagi negara pengimpor terpaksa menjual barang impor tersebut di dalam
negeri dengan harga yang lebih mahal (Putong, 2003). Kenaikan harga dunia
minyak mentah merupakan salah sumber terjadinya imported inflation.
Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan
dalam perekonomian. Namun dalam jangka pendek, terdapat trade off antara
inflasi dan pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan
99
tingkat pengangguran atau menyeimbangkan perekonomian negara. Akibat
negatif yang ditimbulkan oleh inflasi adalah: (1) menurunkan pendapatan riil
orang-orang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang
berbentuk uang, dan (3) memperburuk pembagian kekayaan, khususnya kekayaan
yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006b).
Selain itu inflasi juga dapat menurunkan nilai riil tabungan dan investasi
sehingga dapat membuat perekonomian berjalan tidak efisien, menghambat
pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan standar hidup (Kahn, 1994). Penurunan
standar hidup ini banyak dirasakan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat sensitif terhadap perubahan garis
kemiskinan, dalam arti jika batas kemiskinan dinaikkan, misalnya karena laju
inflasi yang tinggi, akan berdampak pada laju peningkatan kemiskinan yang relatif
lebih besar (Ikhsan, 2001 dalam Tambunan, 2003).
Dampak positif dari inflasi (Putong, 2003) adalah: (1) bagi pengusaha
barang-barang mewah (high end) dimana barangnya menjadi lebih laku pada saat
harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat semakin selektif
dalam mengkonsumsi dan produksi akan diusahakan seefisien mungkin, (3) inflasi
yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri yang
dipercaya dan tangguh, dan (4) tingkat pengangguran cenderung menurun karena
masyarakat terdorong melakukan kegiatan produksi.
Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung dari angka IHK
(Indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Index), yang biasanya
diterbitkan setiap bulan, 3 bulan atau 1 tahun. Selain IHK, tingkat inflasi juga
dapat dihitung dengan menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB
100
deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur berdasarkan harga
berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB harga konstan (GNP
atau PDB riil).
3.2.3. Pengangguran
Di samping menaikkan tingkat pendapatan masyarakat, tujuan penting lain
dari pembangunan adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Tujuan ini hanya
akan tercapai apabila penambahan kesempatan kerja berkembang lebih cepat dari
penambahan tenaga kerja. Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang
dihadapi oleh segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan,
tetapi tidak memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut
dinamakan penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006b).
Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi: (1)
pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur
ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan
perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi,
(3) pengangguran normal atau friksional yaitu pengangguran yang terwujud
apabila ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh, dan (4) pengangguran
teknologi yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi
(Sukirno, 2006b).
Berdasarkan cirinya, pengangguran dapat dibedakan atas: (1)
pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan
lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari penambahan tenaga kerja. Sebagai
akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak
dapat memperoleh pekerjaan; (2) pengangguran tersembunyi adalah keadaan
101
pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat dan berlaku pada kegiatan
yang jumlah pekerjanya melebihi dari yang diperlukan; (3) pengangguran
musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang waktu tetapi hanya
terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam keadaan tidak
sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini terutama terdapat
di sektor pertanian dan perikanan; dan (4) setengah pengangguran atau under-
employment adalah tenaga kerja yang melakukan kerja dengan jam kerja yang
jauh lebih rendah dari jam kerja yang lazim dilakukan dalam sehari atau seminggu
(Sukirno, 2006a).
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara
atau wilayah dapat digunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno
(2006b) tingkat pengangguran adalah rasio antara jumlah penganggur dengan
jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen.
Menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah bagian dari
angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Mankiw (2003) menunjukkan
pengangguran dalam persamaan sebagai berikut:
L = E + U .............................................................................................. (3.3)
dimana:
L = angkatan kerja
E = jumlah orang yang bekerja
U = jumlah pengangguran
Sehingga tingkat pengangguran adalah U/L. Jika tingkat pengangguran
tidak naik dan turun atau pasar tenaga kerja berada dalam kondisi stabil, maka
102
jumlah orang yang mendapatkan pekerjaan harus sama dengan jumlah orang yang
kehilangan pekerjaan.
fU = sE .................................................................................................. (3.4)
fU = s(L-U) .......................................................................................... (3.5)
L
U1s
L
Uf ..................................................................................... (3.6)
fs
s
L
U
............................................................................................. (3.7)
dimana:
fU = jumlah orang yang memperoleh pekerjaan
sE = jumlah orang yang kehilangan pekerjaan
Persamaan 3.7 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran kondisi stabil
U/L bergantung pada tingkat pemutusan hubungan kerja s dan tingkat perolehan
kerja f. Semakin tinggi tingkat pemutusan hubungan kerja, maka semakin tinggi
tingkat pengangguran. Di lain pihak semakin tinggi tingkat perolehan kerja, maka
semakin rendah penganggurannya.
3.2.4. Neraca Pembayaran
Neraca perdagangan merupakan catatan penerimaan ekspor dikurangi
dengan pengeluaran impor (X - M) dari barang dan jasa. Dengan asumsi ekspor
tidak tergantung pada tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga, serta impor
merupakan fungsi dari pendapatan, maka semakin tinggi tingkat pendapatan akan
menyebabkan semakin kecil surplus neraca perdagangan, BOT (balance of trade).
Neraca pembayaran atau BOP (balance of payment) diartikan sebagai
semua catatan transaksi yang dilakukan penduduk suatu negara dengan negara
lain di dunia, baik neraca barang maupun modal. Oleh sebab itu kurva BOP
103
ditunjukkan dengan kombinasi antara tingkat pendapatan dan harga. BOP berada
dalam keadaan keseimbangan bila (X - M) + (net capital flow) = 0.
Arus modal netto (net capital flow) atau CF merupakan fungsi positif dari
tingkat suku bunga domestik. Jika diasumsikan bahwa tingkat suku bunga luar
negeri adalah tetap, maka semakin tinggi tingkat suku bunga domestik akan
menyebabkan semakin besar arus modal yang masuk (capital inflow) ke dalam
negeri atau semakin kecil arus modal ke luar negeri (capital outflow). Persamaan
identitas yang menggambarkan penjelasan di atas disajikan sebagai berikut:
1. Neraca Perdagangan
BOT = X-M .......................................................................................... (3.8)
2. Neraca Pembayaran
BOP = BOT + Net Capital Flow........................................................... (3.9)
dimana:
BOT = balance of trade
BOP = balance of payment
X = ekspor Indonesia
M = impor Indonesia
Net Capital Flow = capital inflow - capital outflow
3.3. Kemiskinan
3.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan
Kemiskinan didefinisikan sebagai masalah yang berkaitan dengan
multidimensi. Kemiskinan sering dikonsepsikan sebagai ketidakcukupan
pendapatan dan harta (lack of income and assets) dalam memenuhi kebutuhan
dasar yang meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Pengertian asset disini mencakup human assets, natural assets, physical assets,
104
financial assets, dan social assets. Fenomena kemiskinan tidak hanya berkaitan
dengan dimensi ekonomi tetapi juga dimensi non ekonomi (World Bank, 2000).
Kemiskinan menurut Chambers (1996) menjadi faktor penentu yang
memiliki pengaruh yang kuat terhadap yang lainnya. Kemiskinan khususnya di
perdesaan berhubungan dengan masalah ketidakberdayaan (powerless),
keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability), dan kelemahan fisik
(physical weakness) dimana masing-masing saling terkait.
Produktivitas yang rendah dari tenaga kerja dapat pula dikarenakan
kemiskinan karena kemiskinan memberikan kontribusi terhadap kelemahan fisik.
Bahkan ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia
luar juga ikut memperparah kemiskinan. Chamber (1996) mengatakan bahwa
saling keterkaitan di antara berbagai aspek kemiskinan tersebut akan membentuk
lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty).
Kakwani (2000) menyebutkan ukuran kemiskinan yang baik harus
mempertimbangkan antara lain: (1) persentase penduduk miskin, (2) perbedaan
kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan antar penduduk miskin. Ada
empat ukuran yang sering digunakan para ahli untuk mengukur kemiskinan, yaitu:
1. Poverty headcount index (P0).
P0 adalah ukuran kasar dari kemiskinan yang hanya menunjuk kepada
proporsi dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Ukuran ini
menjumlahkan banyaknya orang miskin, kemudian dibandingkan dengan total
jumlah penduduk dalam persen, sedemikian sehingga setiap orang miskin
memiliki bobot yang sama besarnya. Kelemahan pengukuran ini hanya
menghitung jumlah kepala orang miskin (headcount) namun tidak mampu
105
menangkap tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase
penduduk miskin tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan.
2. Poverty gap index (P1).
P1 mengukur kedalaman kemiskinan di suatu wilayah dan mengestimasi
perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu
proporsi dari garis kemiskinan. Ukuran ini lebih baik daripada ukuran yang
pertama sehingga apabila pembuat kebijakan menerapkannya, maka dapat
memperkirakan besarnya dana untuk pengentasan kemiskinan. Kelemahan ukuran
ini adalah belum memperlihatkan distribusi pendapatan antar penduduk miskin.
3. Squared poverty gap (P2).
P2 adalah rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan. Kelebihan ukuran
ini mempertimbangkan tingkat kepelikan atau keparahan kemiskinan (severity of
poverty) di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan di antara penduduk
miskin di wilayah tersebut, sehingga indeks ini sering disebut sebagai indeks
keparahan kemiskinan (poverty severity index).
3.3.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan
Chamber (1996) mengatakan bahwa terdapat dua pandangan yang
mengidentifikasi penyebab kemiskinan, terutama di daerah perdesaan. Pertama
adalah pandangan ekonomi politik yang melihat kemiskinan sebagai fenomena
sosial. Kemiskinan muncul di perdesaan sebagai akibat dari proses
pengkonsentrasian kekayaan dan kekuasaan yang terjadi melalui tiga tingkatan,
yaitu tingkat global, nasional, dan lokal. Pada tingkat global atau internasional
kemiskinan muncul akibat dari hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak
seimbang antara negara kaya dan negara miskin. Pada tingkat nasional,
106
kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah berbagai kelompok
kepentingan khususnya urban middle class yang berusaha memperoleh
keuntungan dengan mengorbankan kepentingan perdesaan melalui investasi pada
industri dan jasa di perkotaan. Pada tingkat lokal atau perdesaan, kemiskinan
perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal seperti tuan tanah,
pedagang, pelepas uang (money lenders), dan birokrat yang terus berusaha
mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaannya. Adanya proses pertukaran yang
eksploitatif dan tidak seimbang pada tingkat global hingga lokal telah
menyebabkan kaum kaya menjadi semakin kaya dan kuat, sementara kelompok
miskin secara relatif maupun absolut semakin miskin dan lemah.
Kedua adalah kelompok pandangan ekologis fisik, yang melihat
kemiskinan sebagai fenomena fisik. Kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat
dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya
dan lingkungan sehingga lahan menjadi semakin langka. Sebagian tenaga kerja
terpaksa bermigrasi ke perkotaan atau ke lingkungan marginal untuk dapat
mempertahankan hidup. Selain itu parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi
lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang
kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan timbulnya
kemiskinan di daerah perdesaan.
3.4. Keseimbangan Perekonomian dalam Kerangka Makroekonomi
Berikut ini diuraikan analisis keseimbangan perekonomian dalam kerangka
makroekonomi dengan pendekatan model IS-LM. Kurva IS menyatakan apa yang
terjadi pada pasar barang dan jasa, sementara kurva LM menunjukkan apa yang
terjadi pada penawaran dan permintaan terhadap uang.
107
Penelitian ini menggunakan pendekatan permintaan agregat (aggregate
demand, AD), sehingga pendapatan nasional (Y atau GDP) ditentukan oleh
konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspor bersih (X-M).
Perubahan komponen permintaan agregat akan menggeser kurva IS. Karena itu,
perubahan belanja subsidi BBM akan mengubah besaran belanja pemerintah dan
kurva IS bergeser ke kanan. Pergeseran kurva IS menciptakan keseimbangan baru
ketika kurva IS yang baru berpotongan dengan kurva LM.
Pendapatan nasional dikurangi pajak pendapatan perusahaan dan individu
menghasilkan pendapatan setelah pajak (disposable income) atau Yd=Y-T.
Pendapatan setelah pajak digunakan untuk: (1) membeli barang dan jasa buatan
dalam negeri atau impor, dan (2) untuk ditabung atau Yd=C+S. Persamaan 3.2
dimasukkan ke persamaan 3.1, sehingga diperoleh keseimbangan pendapatan
nasional dalam perekonomian terbuka, yaitu:
Y = Y - T - S + I + G + (X-M) ........................................................... (3.10)
S + T + M = I + G + X ............................................. ......................... (3.11)
Gambar 3 menunjukkan keseimbangan di pasar barang, dimana kurva kiri
bawah menunjukkan garis IS yang meringkas hubungan antara tingkat suku bunga
dan output nasional. Semakin tinggi suku bunga, maka output nasional semakin
rendah. Apabila tingkat suku bunga turun, maka output nasional meningkat.
Gambar 4 memperlihatkan keseimbangan di pasar uang, dimana
penawaran dan permintaan terhadap uang riil menentukan tingkat suku bunga.
Kurva penawaran uang riil (M/P) atau MS (Money Supply) berbentuk vertikal
karena penawaran uang riil tidak bergantung pada tingkat suku bunga.
108
Gambar 3. Keseimbangan Pasar Barang
Kurva permintaan uang atau L(r, Y) atau money demand (MD) berbentuk
miring ke bawah karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya
memiliki uang dan menurunkan kuantitas uang yang dimiliki. Pada tingkat suku
bunga keseimbangan, maka jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah
penawarannya. Penjelasan ini didasarkan pada teori preferensi likuiditas yang
menyatakan bahwa tingkat suku bunga disesuaikan untuk menyeimbangkan
penawaran dan permintaan uang (Mankiw, 2003).
Y
0
00
I + G + X
Y1
Y1
r
r2
r
IS
r1a
0
r1r2
S + T + M
I, G, X
S, T, M S, T, M
I, G, XYY2
Y2
b
c
de
f
g
h
45o
109
Gambar 4. Keseimbangan Pasar Uang
Berdasarkan Gambar 3 dan 4, diperoleh keseimbangan pasar barang dan
uang yang meliputi :
Y = C(Y - T) + I(r) + G + Nx (Kurva IS) ................... (3.12)
M/P = L(r, Y) (Kurva LM) ................ (3.13)
Gambar 5 menunjukkan perpotongan antara kurva IS dan LM yang
merepresentasikan keseimbangan pasar barang dan uang riil pada pengeluaran
pemerintah, pajak, jumlah uang beredar, dan tingkat harga tertentu. Oleh karena
Y00 Y1
r
r1
r
LM
r1
M/P
a
b
L1(r1, Y1)
M/P
L2(r1, Y2)
r2 r2
Y2
Y
Y
0
45o
0
Y
M/P
c
d
e
f
g
h
Y1
Y2
Y1 Y2
MS=MD
110
perhitungan output nasional dari sisi permintaan, maka keseimbangan pasar
barang dan uang disebut juga dengan permintaan agregat (AD).
Gambar 5. Penurunan Permintaan Agregat
Penawaran agregat (AS) diturunkan dari kurva fungsi produksi dan pasar
tenaga kerja. Meskipun penelitian ini tidak menggunakan pendekatan penawaran
agregat, namun pasar tenaga kerja tetap diperlukan untuk melengkapi kedalaman
analisis. Pada Gambar 6, pendapatan nasional diukur dari sisi produksi, dimana
dalam jangka pendek fungsi produksi agregat ini diformulasikan yaitu Y = f(N).
Apabila diasumsikan bahwa penawaran tenaga kerja elastis tidak
berhingga pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P,
maka keuntungan perusahaan adalah π=P.Y - W.N. Memaksimumkan keuntungan
YP
00
AD
Y1
P1
r
r1
rM/P
L1(r, y1)
LM
IS1
r1
M/P
YY10
ab
c
111
terjadi bila turunan pertamanya adalah nol, sehingga dπ/dN=P.dY/dN-W=0. Pada
asumsi turunan kedua terpenuhi, maka dY/dN=MPn adalah produk marginal
tenaga kerja sehingga W=MPn. Persamaan ini adalah permintaan tenaga kerja
yang digambarkan pada kurva permintaan tenaga kerja.
Gambar 6. Penurunan Penawaran Agregat
Perubahan harga akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja, jika
diasumsikan kurva penawaran tenaga kerja bersifat kaku (rigid) terhadap
perubahan harga dalam jangka pendek, sesuai asumsi Keynes. Apabila penawaran
tenaga kerja berubah, maka upah tenaga kerja dan jumlah produksi juga berubah.
Hubungan antara perubahan harga dengan jumlah produksi digambarkan melalui
kurva penawaran agregat (AS).
0
Y
Y1
Y2
NN1 N2
Y=f(N)
W
W2
W1
0 NN2N1 N3
DL2DL1
SL1
b
a
d
ec
Y
Y
45O
P
Y
0
0
P2
P1
Y1 Y2
f
AS
112
Keseimbangan eksternal dicerminkan oleh kurva EB (External Balance)
yang merupakan hasil dari kondisi keseimbangan antara ekspor bersih (X - M)
dan aliran kapital bersih (K). Oleh sebab itu keseimbangan eksternal terjadi ketika
ekspor bersih (net export) sama dengan aliran kapital bersih, seperti yang terlihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Keseimbangan Neraca Pembayaran
3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi
Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana
antar variabel utama makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, pengangguran,
inflasi, dan neraca pembayaran.
0
X-M
r
r1
0
e
b
c
a
45O
r
Y
0
0
r1
r2
Y1
d
X-M
X - M = K
K
K
Y
K = f(r)
r2
Y1 Y2
Y2K2K1
K1 K2
f
113
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Semakin tinggi pendapatan nasional, semakin besar harapan untuk
membuka kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja
baru. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi cenderung memperbesar harapan
untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan ekonomi mengecil (apalagi
negatif), maka tingkat pengangguran cenderung semakin besar.
Hubungan antara laju pertumbuhan riil dan perubahan tingkat
pengangguran dikenal sebagai hukum Okun (Mankiw, 2003). Hukum ini
menyatakan ”bila GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya yang dicapai
pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”.
Jadi bila pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen, maka pertumbuhan
ekonomi haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata.
Berdasarkan hukum Okun, dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat
pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi (Putong, 2003), yaitu:
UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG) ......................................................... (3.14)
dimana:
UEn = tingkat pengangguran tahun sekarang
UEn-1 = tingkat pengangguran tahun lalu
AG = actual growth (pertumbuhan aktual)
ToG = trend of growth (kecenderungan pertumbuhan)
0.4 = konstanta kenaikan pengangguran apabila pertumbuhan
ekonomi naik 1 persen di atas rata-rata
Catatan: semua nilai dalam persen.
114
3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran
Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek
antara inflasi dan pengangguran, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan
kurva Philips seperti pada Gambar 8. Semakin tinggi tingkat pengangguran, maka
laju inflasi semakin rendah (Dornbusch dan Fisher, 1997).
Sumber: Dornbusch dan Fisher, 1997.
Gambar 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan yaitu: (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah yang disebut pengangguran siklis, dan (3)
guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat ditunjukkan
pada persamaan berikut:
π = πe – β(µ - µn) + ν ................................................................ (3.15)
dimana:
π = inflasi
πe = inflasi yang diharapkan
β = parameter dari respon inflasi terhadap pengangguran siklis
(µ - µn)= pengangguran siklis
ν = guncangan penawaran
Tingkat Pengangguran
Inflasi
0
115
3.5.3. Hubungan Antara Nilai Tukar dan Pengeluaran Pemerintah
Indonesia adalah pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah
maupun produk-produk minyak termasuk BBM. Pada saat ini Indonesia menjadi
negara net importer minyak mentah, sehingga ketika harga minyak mentah (dalam
US$) meningkat atau nilai tukar rupiah terdepresiasi, maka jumlah subsidi yang
harus dibayar oleh pemerintah akan meningkat.
Chowdhury and Hossain (1998) mengatakan untuk menggambarkan
keterkaitan antara nilai tukar rupiah dengan penyerapan domestik (terdiri dari
konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah), dapat dijelaskan melalui
Diagram Swan, sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 9. Pada diagram
Swan terdapat 2 kurva yaitu kurva IB dan EB. Kurva IB dari kiri atas ke kanan
bawah menggambarkan kesimbangan internal yaitu keseimbangan ketika terjadi
penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga. Ke arah
kanan (kiri) dari kurva IB akan terjadi tekanan inflasi (deflasi) terhadap
perekonomian karena pada nilai tukar riil tertentu, penyerapan domestik lebih
besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan tenaga kerja.
Kurva EB dari kiri bawah ke kanan atas menggambarkan keseimbangan eksternal
yaitu keseimbangan neraca pembayaran. Ke arah kanan (kiri) kurva EB akan
terjadi defisit (surplus) neraca pembayaran, karena pada nilai tukar riil tertentu
penyerapan domestik lebih besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk menjaga
keseimbangan neraca pembayaran. Titik A merupakan titik keseimbangan internal
dan eksternal. Melalui titik A juga terdapat garis titik-titik vertikal dan horizontal
yang membagi dua setiap zona guna merinci penyebab ketidakseimbangan agar
arahan kebijakan lebih akurat.
116
Sumber: Chowdhury and Hossain, 1998.
Gambar 9. Diagram Swan
Diasumsikan suatu negara sedang mengalami masalah inflasi dan defisit
neraca pembayaran yang ditunjukkan oleh titik B. Titik B terletak di sebelah
kanan kurva IB dan dibawah garis titik-titik horizontal, kedua hal ini
menunjukkan bahwa terjadi overvalued mata uang domestik dan terjadi tekanan
inflasi. Langkah kebijakan yang perlu dilakukan agar perekonomian kembali ke
titik A adalah dengan mengurangi penyerapan domestik dan sekaligus melakukan
depresiasi mata uang domestik. Kebijakan tunggal berupa pengurangan
penyerapan domestik akan berakibat pada seimbangnya neraca pembayaran tetapi
mengakibatkan terjadinya pengangguran, sebagaimana yang ditunjukkan oleh titik
C. Apabila kebijakan tunggal berupa depresiasi mata uang domestik diterapkan,
maka neraca pembayaran seimbang namun terjadi tekanan inflasi sehingga inflasi
meningkat di titik D.
Nilai Tukar Riil
Defisit
Depresiasi
Penyerapan Domestik
Apresiasi
Defisit Surplus
Pengangguran
Pengangguran Inflasi
Inflasi Surplus
(III) (I)
(IV)
(II) EB
IB
A
B
B’
C
D
117
Kebijakan tunggal dapat membawa perekonomian kembali ke titik A
hanya apabila ketidakseimbangan awal terletak pada garis titik-titik. Misalkan
ketidakseimbangan awal di titik B’, maka kebijakan tunggal berupa pengurangan
penyerapan domestik akan berdampak pada terjadinya keseimbangan intenal dan
eksternal, sehingga perekonomian kembali ke titik A. Hal ini mengindikasikan
bahwa apabila nilai tukar riil berada dekat dengan nilai keseimbangannya, maka
kebijakan tunggal penyerapan domestik dapat membawa perekonomian pada
keseimbangan internal dan eksternal sekaligus.
3.5.4. Hubungan Subsidi dengan Keberlanjutan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan makroekonomi yang berhubungan
dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal yang
menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia tertuang dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perubahan yang terjadi pada variabel
ekonomi makro dapat mempengaruhi APBN, sementara kebijakan APBN pada
akhirnya juga akan mempengaruhi aktivitas ekonomi (Bappenas, 2007).
Kebijakan fiskal disebut juga dengan kebijakan anggaran (budgetary policy) yang
dilakukan melalui APBN. Fungsi kebijakan fiskal adalah: (1) fungsi alokasi, (2)
fungsi distribusi, (3) fungsi stabilisasi, dan (4) fungsi dinamisatif.
Fungsi alokasi merupakan fungsi yang berkaitan dalam mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi dengan penyediaan barang-barang sosial atau proses
penggunaan sumberdaya yang dengan menciptakan insentif maupun diinsentif
agar kegiatan ekonomi dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Sementara fungsi
distribusi atau retribusi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan
upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil
118
dan merata di masyarakat. Fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang
berhubungan dengan mempertahankan tingginya tingkat tenaga kerja yang bekerja
(high employment), stabilitas harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang
dapat berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave and
Musgrave, 1984). Fungsi dinamisatif merupakan peran kebijakan anggaran dan
belanja pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar
lebih cepat tumbuh dan berkembang (Bappenas, 2007).
Definisi gap fiskal (fiscal gap) adalah selisih antara penerimaan dalam
negeri dengan belanja negara. Konsep gap fiskal seringkali dipakai untuk
menunjukkan bahwa defisit anggaran berkaitan erat dengan keberlanjutan fiskal.
Keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) seringkali diartikan beragam, namun
umumnya dipahami bahwa kebijakan fiskal suatu negara dikatakan berkelanjutan
apabila negara tersebut dapat mengatasi masalah keterbatasan anggarannya
dengan sumber dana dalam negeri. Oleh sebab itu analisis keberlanjutan fiskal
mencerminkan besarnya biaya dan manfaat dari beberapa alternatif mekanisme
penyesuaian, baik melalui pajak ataupun pengeluaran (Alvarado, Izquierdo, and
Panizza, 2004). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Krejdl (2006) dimana
kebijakan fiskal dikatakan mempunyai derajat keberlanjutan apabila present value
dari future primary surplusses sama dengan tingkat hutang pada saat itu (atau
intertemporal budget constraint). Kondisi tersebut dimaksudkan untuk
menghindarkan pemerintah dari akumulasi hutang yang berlebihan.
Selain itu menurut Blanchard (1990) dalam Krejdl (2006), keberlanjutan
fiskal dikaitkan dengan utang yang berlebihan dan terus meningkat. Kebijakan
fiskal yang berkelanjutan adalah kebijakan fiskal yang mampu menjamin bahwa
119
rasio utang terhadap GDP akan kembali ke posisi semula. Buiter (1985) dalam
Krejdl (2006) menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang berlanjut adalah apabila
rasio utang terhadap GDP dapat dipertahankan pada tingkat yang berlaku saat ini.
Definisi ini memiliki kelemahan yaitu: (1) tidak ada teori yang menyatakan bahwa
rasio utang terhadap GDP harus kembali ke posisi semula dan bukan posisi stabil
yang lain, (2) tidak ada batasan sejauh apa rasio utang terhadap GDP yang disebut
sebagai berlebihan.
3.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja Perekonomian
3.6.1. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan
Beban pajak (atau manfaat suatu subsidi) sebagian dipikul konsumen dan
sebagian lagi oleh produsen, dimana besarnya bagian dari pajak yang dibayar
konsumen tergantung dari bentuk kurva penawaran dan permintaan dan
khususnya tergantung pada elastisitas relatif dari permintaan dan penawaran.
Dalam kenyataannya subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pada
umumnya keuntungan dari subsidi dinikmati oleh konsumen (Pindyck and
Rubinfeld, 1991). Seperti yang diperkirakan, efek dari subsidi pada jumlah yang
diproduksi dan dikonsumsi adalah kebalikan dari pada efek suatu pajak.
Subsidi dapat dibedakan atas subsidi output (subsidized consumption) dan
subsidi input (subsidized production). Subsidi output adalah subsidi yang
diberikan pada pasar output sedemikian sehingga konsumen seolah-olah
mengalami peningkatan pendapatan. Karena tingkat pendapatan konsumen
meningkat, maka daya beli konsumen juga meningkat. Peningkatan daya beli
konsumen ditampilkan sebagai pergeseran kurva permintaan ke kanan atas
120
sehingga harga barang meningkat dan jumlah konsumsi juga meningkat. Contoh
subsidi output adalah pengurangan pajak individu atau transfer dana ke konsumen.
Subsidi output diilustrasikan pada Gambar 10, dimana keseimbangan awal
pada E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar bidang g dan surplus konsumen
sebesar a+d. Apabila dilakukan kebijakan subsidi output dalam bentuk cash grant,
misalkan BLT (Bantuan Tunai Langsung), maka pendapatan masyarakat akan
meningkat, sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke D1 dan keseimbangan
baru berada di E1 (P1, Q1). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, kebijakan
subsidi output yang dilakukan oleh pemerintah sebesar bidang a+b+d+e dapat
merubah surplus produsen dan konsumen. Surplus produsen menjadi sebesar
bidang d+e+f+g dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+c serta dead weight
loss sebesar bidang c+f. Pada Tabel 14 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah
adanya kebijakan subsidi output terhadap kesejahteraan.
Subsidi input adalah subsidi yang diberikan pada pasar input sedemikian
sehingga produsen seolah-olah mengalami penurunan biaya produksi. Karena
biaya produksi berkurang, maka produsen cenderung memproduksi lebih banyak
pada tingkat daya beli konsumen konstan. Penurunan biaya produksi produsen
ditampilkan sebagai pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah sehingga harga
barang menurun dan jumlah penawaran meningkat. Contoh subsidi input adalah
pengurangan pajak produsen atau transfer dana ke produsen yang dikenal dengan
subsidi. Sebagai konsekuensi dari subsidi output atau subsidi input, kesejahteraan
mengalami pergeseran yang dicerminkan pada pergeseran surplus konsumen,
surplus produsen, dan pembayaran subsidi pemerintah.
121
Gambar 10. Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan
Tabel 14. Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan
Keterangan Surplus
Produsen Surplus
Konsumen Subsidi
Pemerintah DWL
Sebelum Subsidi g a, d - -
Setelah Subsidi d, e, f, g a, b, c a, b, d, e c, f
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Subsidi input digambarkan pada Gambar 11 yaitu ketika subsidi diberikan
pada produsen, maka harga input akan menjadi lebih rendah, sehingga kurva
penawaran bergeser dari S0 ke S1 (Handoko dan Patriadi, 2005). Jika diasumsikan
tidak ada perdagangan, maka keseimbangan awal pada titik keseimbangan E0 (P0,
Q0), dimana surplus produsen sebesar b+c dan surplus konsumen sebesar a.
Apabila subsidi input dilakukan oleh pemerintah, maka keseimbangan baru di titik
E1 (P1, Q1) pada kurva permintaan yang sama. Jumlah produksi meningkat dari Q0
menjadi Q1 dan pada akhirnya menurun kembali menjadi Q0 karena harga output
menurun menjadi P2. Pada keseimbangan baru, subsidi input sebesar bidang
0 Q
P
S
D0
D1
Q0 Q1
P0
P1 a E1 b c
d e f
E0 h
P2
g
122
b+c+d+f, surplus produsen sebesar bidang c+f+g, dan surplus konsumen sebesar
bidang a+b+d+e, serta dead weight loss sebesar bidang e+g.
Gambar 11. Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan
Pada Tabel 15 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan
subsidi input terhadap kesejahteraan.
3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian
Gambar 12 memberikan ilustrasi grafik dampak dari peningkatan subsidi
harga BBM terhadap kinerja perekonomian. Diasumsikan bahwa nilai tukar
rupiah yang berlaku adalah flexible exchange rate dengan rezim kapital bebas
keluar masuk.
Tabel 15. Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan
Keterangan Surplus
Produsen Surplus
Konsumen Subsidi
Pemerintah DWL
Sebelum Subsidi b, c a - -
Setelah Subsidi c, f, g a, b, d, e b, c, d, f e, g
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Keseimbangan pasar uang (kurva LM) dan pasar barang (kurva IS) berada
di titik G (r1 dan y1) sebelum adanya shock ekonomi. Peningkatan subsidi harga
0 Q
P S0
D
S1
Q0 Q1
P1
P0 a
b
c d e
f g P2
E0
E1
123
BBM akan membebani anggaran negara sehingga selanjutnya dapat meningkatkan
pengeluaran pemerintah. Keseimbangan baru pasar uang dan barang dengan
adanya peningkatan subsidi harga BBM adalah di titik I (r2, y2). Peningkatan
pengeluaran pemerintah berakibat pada bergesernya kurva Investment-Saving (IS)
ke kanan atas (IS1 ke IS2), sehingga output nasional meningkat dari y1 ke y3.
Peningkatan output dari y1 ke y3 akan mendorong peningkatan suku bunga dari r1
ke r2 pada kurva permintaan uang MS yang sama, sehingga keseimbangan
bergeser ke titik F (r1, y2).
Peningkatan tingkat suku bunga berdampak pada 2 hal. Pertama, investasi
swasta cenderung menurun sehingga output juga menurun dari y3 ke y2.
Penurunan output ini akan menaikkan impor sehingga ekspor bersih (net export
atau X - M) menurun. Kedua, naiknya suku bunga dalam negeri akan berdampak
pada perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang mengakibatkan
peningkatan capital inflow. Capital inflow mengakibatkan permintaan mata uang
domestik meningkat dan terjadi apresiasi nilai tukar rupiah.
Di dalam negeri keseimbangan awal aggregat supply dan aggregat
demand berada di titik J (p1, y1). Peningkatan output menggeser kurva AD dari
AD1 ke AD2 sehingga keseimbangan baru berada di titik L (p2, y2). Pada titik ini
terjadi excess demand, sehingga harga-harga barang naik (inflasi) dari p1 ke p2.
Di pasar tenaga kerja, pada (p1), keseimbangan awal di titik O (W1, N1).
Ketika terjadi peningkatan harga (p1 ke p2), maka akan mendorong perusahaan
meningkatkan produksi, sehingga permintaan terhadap input khususnya tenaga
kerja meningkat dari N1 ke N3. Peningkatan permintaan input tenaga kerja ini
digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2.
124
Gambar 12. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian
Y
Y
P
S, T, M
0
00
Y1 Y2
45O
AS
AD2AD1
Y1 Y2
P1
P2
r
r1
r2
rM/P
L1(r, y1)
L2(r, y2)
LM
IS2
IS1
r1
r2
M/P
YY2Y1
0
Y3
Y3
B
A
E
F
G
I
H
J
L
K
0
Y
Y1
Y2
NN1 N2
Y=f(N)
W
W2
W1
0NN2N1 N3
DL2DL1
SL2
SL1
M
N
O
Q
P
Y
Y
45O
S, T, M
G, I, X
G, I, X0
0
S +T + M
G + I + X
C
D
r
EB
125
Terhadap permintaan yang meningkat ini, masyarakat memberikan respon
dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran tenaga
kerja bergeser dari SL1 ke SL2. Pergeseran ini terjadi ketika upah nominal tenaga
kerja masih pada posisi semula di W1. Ketika pekerja mengetahui bahwa terjadi
inflasi, maka untuk mempertahankan daya beli riilnya, para pekerja menuntut
peningkatan upah nominal yang dituruti oleh pengusaha. Namun karena terjadi
informasi yang tidak seimbang, kenaikan upah nominal pekerja (dari W1 ke W2)
masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan inflasi, sehingga sebetulnya upah
riil pekerja menurun. Namun demikian, kenaikan upah nominal ini (dari W1 ke
W2) membuat pengusaha melakukan rasionalisasi jumlah pekerja dari N3 ke N2
untuk menyesuaikan dengan peningkatan biaya produksi sebagai akibat dari
kenaikan upah nominal. Pada akhirnya pekerja mengetahui bahwa meskipun upah
nominal meningkat (dari W1 ke W2) namun sebetulnya upah riil relatif tetap.
Karena itu pekerja mengurangi penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran
bergerak kembali dari SL2 ke SL1. Keseimbangan final pasar tenaga kerja ada di
titik Q (W2, N2).
Dari ilustrasi di atas disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM
cenderung akan meningkatkan output nasional dari y1 ke y2 atau pertumbuhan
ekonomi (growth). Peningkatan output mendorong peningkatan jumlah tenaga
kerja dari N1 ke N2 yang berarti penurunan jumlah penganggur. Upah nominal
yang diterima pekerja meningkat dari W1 ke W2, walaupun diketahui bahwa upah
riil pekerja menurun. Selain itu peningkatan subsidi juga dapat menyebabkan
126
harga-harga dari p1 ke p2, kenaikan tingkat suku bunga dari r1 ke r2, dan terakhir
terjadi penurunan investasi yang diakibatkan oleh kenaikan tingkat suku bunga.
3.6.3. Dampak Subsidi Terhadap Kemiskinan
Dampak subsidi terhadap kemiskinan dapat ditelusuri dari dua pendekatan.
Pertama adalah peningkatan anggaran subsidi akan meningkatkan belanja negara.
Menurut Gambar 12, peningkatan belanja negara akan menggeser kurva IS ke
kanan sehingga output nasional meningkat dari Y1 ke Y2. Karena produksi
nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N)
sehingga kebutuhan akan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga
kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja DL1 ke DL2, pada kondisi
penawaran tenaga kerja yang relatif stabil di SL1. Hal ini mengakibatkan
penyerapan tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2 dan upah juga meningkat dari
W1 ke W2. Peningkatan upah dan pengurangan pengangguran mengakibatkan
daya beli masyarakat relatif membaik. Apabila peningkatan daya beli masyarakat
lebih tinggi dari tingkat inflasi, maka sebagian jumlah penduduk miskin dapat
melampaui garis kemiskinan dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi cenderung akan mengurangi jumlah
penduduk miskin.
Kedua adalah pendekatan harga. Subsidi BBM membuat harga jual eceran
BBM menjadi lebih murah daripada seharusnya. Murahnya harga input energi ini
membuat biaya produksi umum menjadi lebih rendah daripada seharusnya
sehingga harga-harga umum turun. Penurunan harga-harga umum akan
berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis
kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan relatif masyarakat
127
akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan. Pendekatan ini meyakini
bahwa subsidi cenderung mengurangi tingkat kemiskinan.
Dari pembahasan ini terdapat hal krusial yang terkait dengan pendekatan
pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat dari peningkatan
subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan ? Subsidi adalah bagian dari transfer
payment seperti juga pengurangan pajak, pengurangan biaya bunga perbankan,
atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada
peningkatan relatif daya beli masyarakat pada tingkat pendapatan yang lama atau
pengurangan biaya produksi karena adanya subsidi input. Transfer payment
langsung ke masyarakat cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi.
Masalah lain adalah timbulnya biaya kesempatan (opportunity cost)
sebagai akibat dari peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi BBM yang akan
mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran
subsidi BBM memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap
perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama dipergunakan untuk
kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar?
3.6.4. Kebijakan Subsidi
Besaran subsidi harga BBM dapat berubah-ubah, sebagai respon dari pasar
dunia minyak mentah, ketika harga jual eceran konstan. Harga jual eceran yang
relatif konstan berdampak pada perubahan subsidi harga BBM sejalan dengan
pergerakan harga keekonomian BBM dalam rupiah. Sebagai ilustrasi, pada
periode 1986-2006, perbandingan rata-rata harga jual eceran BBM terhadap harga
keekonomiannya adalah 95.25 persen untuk premium, 68.33 persen untuk minyak
solar, 35.66 persen untuk minyak tanah, dan 110.99 persen untuk elpiji.
128
Sebagai negara importir minyak mentah, harga dunia merupakan harga
jual eceran, jika tidak ada subsidi. Selain itu, harga dunia BBM cenderung sangat
fluktuatif dengan kenaikan harga tertinggi mencapai 3 kali lipat dalam beberapa
bulan, dan kemudian kembali ke harga normal dalam beberapa bulan kemudian.
Besaran subsidi BBM adalah :
SUBH = (MOPS x NTKR) - HJEC ...................................... (3.16)
dimana :
SUBH = subsidi harga BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
MOPS = harga keekonomian BBM (US$/Liter) atau elpiji (US$/Kg)
NTKR = nilai tukar riil rupiah (Rp. /US$)
HJEC = harga jual eceran BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
Persamaan perilaku kebijakan subsidi bagi setiap jenis BBM adalah :
SUBH = f (MOPS, NTKR, KEBJ, NKEBJ) ............................. (3.17)
Hubungan antara harga dunia dengan harga jual eceran adalah:
HJEC = (MOPS x NTKR) – SUBH ......................................... (3.18)
dimana:
KEBJ = variabel kebijakan terkait dengan produk BBM
NKEBJ= variabel diluar kebijakan
3.7. Kerangka Pemikiran
Tahapan kegiatan dari pasar input minyak mentah hingga pasar BBM dan
selanjutnya pasar industri sekunder disajikan pada Gambar 13.
Kegiatan eksploitasi minyak mentah merupakan kegiatan penambangan
untuk memperoleh minyak mentah, yang kemudian sebagian besar dijual di pasar
internasional. Di pasar internasional ini terjadilah pembentukan harga dunia
129
minyak mentah sesuai dengan jenis minyak mentah, yang terkenal adalah Dated
Brent di Eropa, West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat, dan Dubai
Fateh di Timur Tengah. Selain itu ada pasar berjangka minyak mentah, yang
terkenal adalah NYMEX atau New York Merchantile Exchange di New York.
Setiap titik sumur pengeboran minyak menghasilkan jenis minyak mentah
yang berbeda. Indonesia mengeluarkan daftar harga minyak mentah Indonesia
yang dikenal dengan Indonesia Crude Price (ICP). ICP berisikan harga rata-rata
minyak mentah Indonesia dari berbagai sumur pengeboran di Indonesia yang
menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda dan harga yang berbeda pula.
Penggunaan ICP sangat terbatas yaitu hanya digunakan internal oleh
pemerintah Indonesia untuk membukukan nilai penjualan minyak mentah
Indonesia, penerimaan negara, besaran pajak, dan lainnya yang berkaitan dengan
keuangan negara. Penelitian ini menggunakan harga dunia minyak mentah
tahunan yang diterbitkan oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Minyak dan Gas
Bumi). Kilang dalam negeri mampu memenuhi sekitar 61.74 persen dari
kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2005, sementara sekitar 38.26
persennya dipenuhi dari impor.
Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku di pasar BBM dan pasar
BBM sekunder. Konsumen BBM di pasar ini membutuhkan BBM sebagai input
energi maupun sebagai energi final. Pergerakan harga dan jumlah konsumsi BBM
berpengaruh terhadap pasar sekunder BBM. Pasar sekunder BBM berkaitan
dengan kondisi perekonomian nasional, seperti penyerapan tenaga kerja, GDP
nasional, tingkat harga-harga, dan lainnya. Dengan demikian, perilaku di pasar
BBM akan berdampak terhadap perekonomian nasional.
130
Gambar 13. Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di
Indonesia
Gambar 14 menjelaskan bahwa proses penetapan besaran subsidi harga
BBM melalui proses panjang dan terjadi proses iterasi yang panjang dengan DPR-
RI. Pemerintah telah menyadari bahwa dampak negatif dari subsidi BBM sudah
perlu disikapi dengan suatu kebijakan. Karena itu pemerintah telah mencanangkan
kebijakan umum untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN, termasuk subsidi
BBM. Namun upaya pengurangan subsidi harus dilakukan dengan hati-hati dan
bertahap agar tidak menimbulkan gejolak sosial politik.
Pasar BBM
Eksploitasi Minyak Mentah
Industri Sekunder BBM
Industri Primer BBM
Pasar Industri Sekunder
Pasar Minyak Mentah
Pasar Input Minyak Mentah
Impor BBM
Penawaran Output
Permintaan Input
Penawaran Output
Penawaran Output
Permintaan Input
Permintaan Input
Tahap Produksi: Pasar:
131
Gambar 14. Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar
Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
IndonesiaSebagai Net Importer
Monetary Side
Kemampuan APBN(Fiscal Side)
Nilai TukarRp/US$
PengeluaranPemerintah
FluktuasiHarga Dunia
Minyak Mentah
PenerimaanPemerintah
Segi Positif:1.Optimalisasi Hasil Produksi2.Meningkatkan Daya Beli
Masyarakat3.Pemerataan Hasil Produksi4.Stabilitas Harga Produksi
Pertimbangan:-Undang-Undang-Politik-Harga Dunia BBM-Nilai Tukar Rp/US$-APBN-Daya Beli Masyarakat
Segi Negatif:1.Inefisiensi Ekonomi (Boros)2.Diinsentif PengembanganEnergi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan4.Mengurangi Kemampuan APBN5.Distorsi Pasar6.Ketidakadilan
KebijakanSubsidi Harga
BBM
PermintaanBBM
Penetapan HargaJual Eceran
BBM
PenawaranBBM
Inflasi
Pengangguran
Growth
Balance ofTrade
Daya BeliMasyarakat
Kemiskinan
Kinerja Perekonomian
Pendistorsi
IndonesiaSebagai Net Importer
Monetary Side
Kemampuan APBN(Fiscal Side)
Nilai TukarRp/US$
PengeluaranPemerintah
FluktuasiHarga Dunia
Minyak Mentah
PenerimaanPemerintah
Segi Positif:1.Optimalisasi Hasil Produksi2.Meningkatkan Daya Beli
Masyarakat3.Pemerataan Hasil Produksi4.Stabilitas Harga Produksi
Pertimbangan:-Undang-Undang-Politik-Harga Dunia BBM-Nilai Tukar Rp/US$-APBN-Daya Beli Masyarakat
Segi Negatif:1.Inefisiensi Ekonomi (Boros)2.Diinsentif PengembanganEnergi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan4.Mengurangi Kemampuan APBN5.Distorsi Pasar6.Ketidakadilan
KebijakanSubsidi Harga
BBM
PermintaanBBM
Penetapan HargaJual Eceran
BBM
PenawaranBBM
Inflasi
Pengangguran
Growth
Balance ofTrade
Daya BeliMasyarakat
Kemiskinan
Kinerja Perekonomian
Pendistorsi
132
Proses penetapan besaran subsidi harga BBM dan subsidi BBM yang
lazim dilakukan adalah: (1) perkiraan harga jual eceran BBM tahun depan,
termasuk pertimbangan daya beli masyarakat, (2) perhitungan kemampuan APBN
dalam menyediakan subsidi BBM, termasuk subsidi non-BBM, (3) bersama
dengan DPR-RI, menetapkan besaran asumsi makro seperti nilai tukar, lifting
minyak, tingkat suku bunga, harga dunia minyak mentah, dan termasuk subsidi
BBM, (4) penetapan UU APBN, didalamnya tercantum subsidi BBM.
Yusgiantoro, 2000 menekankan pentingnya peranan harga dunia minyak
mentah dalam penghitungan subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM,
karena sekitar 75 persen dari komponen pembentuk harga jual eceran BBM
berasal dari harga minyak mentah. Karena itu harga dunia minyak mentah
menjadi faktor sangat penting dalam penghitungan subsidi harga dan harga jual
eceran BBM. Dalam penetapan besaran subsidi harga dan harga jual eceran BBM,
selain harga dunia minyak mentah, pemerintah juga mempertimbangkan nilai
tukar rupiah, kemampuan APBN, dan daya beli masyarakat. Perlu diketahui, di
antara faktor-faktor ekonomi, volatilitas harga dunia minyak mentah sangat
dominan mempengaruhi kebijakan subsidi harga BBM.
133
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Spesifikasi Model
Menurut Intriligator (1996), model merupakan suatu representasi dari
fenomena aktual yang meliputi sistem atau proses yang riil. Menurut
Koutsoyiannis (1977), model ekonometrik merupakan gabungan atau integrasi
dari teori ekonomi, matematika ekonomi, dan statistik. Model ekonometrik, tidak
seperti teori ekonomi dan matematika ekonomi, mempertimbangkan adanya
pengaruh gangguan yang random sehingga menghasilkan suatu pola perilaku
ekonomi yang tidak deterministik. Model ekonometrik dapat digunakan untuk: (1)
alat analisis, seperti pengujian atas teori ekonomi, (2) penetapan kebijakan, yaitu
menyediakan nilai estimasi parameter perilaku ekonomi, dan (3) peramalan
dampak, yaitu menggunakan nilai estimasi tersebut untuk memprediksi kondisi
ekonomi mendatang.
Model ekonometrik merupakan gambaran dari hubungan masing-masing
variabel penjelas (explanatory variables) terhadap variabel endogen (endogenous
variables). Model yang baik memenuhi kriteria ekonomi (theoritically
meaningfull), khususnya menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign)
estimasi dari parameter yang sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Kriteria
statistik dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) dan secara statistik
memuaskan (statistically satisfactory), sedangkan kriteria ekonometrik melihat
apakah estimasi parameter memiliki sifat-sifat unbiasedness, efficiency,
consistency, dan sufficiency.
Spesifikasi model dalam studi ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
membangun model untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi BBM terhadap
134
kinerja perekonomian dan kemiskinan di Indonesia. Model ekonometrik yang
dibangun diberi nama Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia,
setelah mengalami beberapa kali respesifikasi, tercantum pada Lampiran 5.
Model operasional dirumuskan dalam bentuk umum sebagai berikut:
tjt6jt5t4jt3t2*t10t uYαZαZαXαXαYααY
dimana:
tY = variabel endogen pada periode t
*tY = variabel endogen penjelas pada periode t
tX = variabel eksogen pada periode t
jtX = variabel eksogen pada periode lag t-j
tZ = variabel kebijakan pada periode t
jtZ = variabel kebijakan pada periode lag t-j
jtY = variabel endogen pada periode lag t-j
tu = faktor pengganggu
0α = konstanta
61 α...,α = parameter
Model terdiri dari persamaan struktural dan identitas, yang dikelompokkan
menjadi 8 blok persamaan, yaitu: (1) blok pasar BBM, (2) blok perdagangan
BBM, (3) blok permintaan agregat, (4) blok fiskal, (5) blok moneter, (6) blok
pasar tenaga kerja, (7) blok kinerja perekonomian, dan (8) blok kemiskinan.
Keterkaitan antar blok dapat dilihat pada Gambar 15.
135
Gambar 15. Keterkaitan Antar Blok dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia
PERMINTAAN BBM PENAWARAN BBMHARJA JUALECERAN BBM
PERTUMBUHANEKONOMI
NET EKSPORINFLASIPENGANGGURAN
KONSUMSIPENGELUARANPEMERINTAH
INVESTASI GDP NASIONAL
KEMISKINANPERDESAAN
SUBSIDI BBM
HARGA MINYAKMENTAH DUNIA
PENAWARANTENAGA KERJA
PERMINTAANTENAGA KERJA
UPAH
MONEY SUPPLY
MONEYDEMAND
SUKU BUNGA
BLOK PASAR BBM
KINERJA PEREKONOMIAN
BLOK PERMINTAAN AGREGAT
BLOK MONETER
BLOK
PASAR
TENAGA
KERJA
BLOK FISKAL
NILAI TUKAR
KEMISKINANPERKOTAAN
BLOK KEMISKINAN
IMPOR
BLOK PERDAGANGAN BBM
EKSPOR
PENGELUARANNON SUBSIDI BBM
TAX REVENUE
DOMESTICREVENUE
136
Pada Tabel 16 diuraikan persamaan-persamaan yang menyusun Model
Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia. Model terdiri dari 76 persamaan
yang dikelompokkan menjadi 8 blok. Blok yang paling rinci adalah blok pasar
BBM karena menguraikan permintaan dan penawaran BBM di 3 sektor pengguna.
Pada blok perdagangan BBM tidak terdapat persamaan ekspor BBM, kecuali
ekspor elpiji, karena tidak ada ekspor BBM pada periode tahun 1986-2006. Impor
elpiji tidak dicantumkan karena impor elpiji baru dilaksanakan pada tahun 2003.
Jumlah penduduk miskin dibedakan antara perkotaan dan perdesaan karena
diduga adanya perbedaan perilaku konsumsi energi. Rumahtangga perdesaan lebih
banyak mengkonsumsi kayu bakar sebagai sumber energi alternatif, dan
rumahtangga perkotaan lebih banyak mengkonsumsi minyak tanah dan elpiji.
Tabel 16. Persamaan-Persamaan yang Menyusun Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia
No. Blok Persamaan
1. Pasar Bahan Bakar Minyak
A. Penawaran Bahan Bakar Minyak 1. Jumlah Penawaran Premium 2. Jumlah Penawaran Minyak Solar 3. Jumlah Penawaran Minyak Tanah 4. Jumlah Penawaran Elpiji 5. Jumlah Penawaran Bahan Bakar Minyak
B. Permintaan Bahan Bakar Minyak 6. Jumlah Permintaan Premium Sektor Transportasi 7. Jumlah Permintaan Premium 8. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Transportasi 9. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Industri 10. Jumlah Permintaan Minyak Solar Sektor Rumahtangga dan Komersial 11. Jumlah Permintaan Minyak Solar 12. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Transportasi 13. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Industri 14. Jumlah Permintaan Minyak Tanah Sektor Rumahtangga dan Komersial15. Jumlah Permintaan Minyak Tanah 16. Jumlah Permintaan Elpiji Sektor Industri 17. Jumlah Permintaan Elpiji Sektor Rumahtangga dan Komersial 18. Jumlah Permintaan Elpiji 19. Konsumsi Premium 20. Konsumsi Minyak Solar 21. Konsumsi Minyak Tanah 22. Konsumsi Elpiji 23. Konsumsi Bahan Bakar Minyak
C. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak 24. Harga Jual Eceran Premium 25. Harga Jual Eceran Minyak Solar 26. Harga Jual Eceran Minyak Tanah 27. Harga Jual Eceran Elpiji
137
Tabel 16. Lanjutan No. Blok Persamaan
2. Perdagangan Bahan Bakar Minyak
A. Impor Bahan Bakar Minyak 28. Jumlah Impor Premium 29. Jumlah Impor Minyak Solar 30. Jumlah Impor Minyak Tanah 31. Impor Premium 32. Impor Minyak Solar 33. Impor Minyak Tanah 34. Impor Bahan Bakar Minyak
B. Ekspor Bahan Bakar Minyak 35. Jumlah Ekspor Elpiji 36. Ekspor Elpiji
C. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak 37. Ekspor Bersih BBM
3. Fiskal A. Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak 38. Subsidi Harga Premium 39. Subsidi Harga Minyak Solar 40. Subsidi Harga Minyak Tanah 41. Subsidi Harga Elpiji 42. Subsidi Premium 43. Subsidi Minyak Solar 44. Subsidi Minyak Tanah 45. Subsidi Elpiji 46. Subsidi Bahan Bakar Minyak
B. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 47. Penerimaan Pajak 48. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
C. Gap Fiskal 49. Gap Fiskal
4. Permintaan Agregat
A. Konsumsi Nasional 50. Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak 51. Konsumsi Nasional
B. Investasi Nasional 52. Investasi Minyak dan Gas Bumi 53. Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi 54. Investasi Nasional
C. Belanja Pemerintah 55. Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak 56. Belanja Pemerintah
D. Impor Nasional 57. Impor Non-Bahan Bakar Minyak 58. Impor Nasional
E. Ekspor Nasional 59. Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak 60. Ekspor Nasional
F. Gross Domestic Product (GDP) Nasional 61. Gross Domestic Product (GDP) Nasional
5. Moneter 62. Penawaran Uang 63. Permintaan Uang 64. Nilai Tukar Rupiah 65. Indeks Harga Konsumen 66. Tingkat Suku Bunga
6. Pasar Tenaga Kerja
67. Jumlah Penawaran Tenaga Kerja 68. Jumlah Permintaan Tenaga Kerja 69. Upah Tenaga Kerja
7. Kinerja Perekonomian
70. Jumlah Pengangguran 71. Tingkat Inflasi Domestik 72. Ekspor Bersih Nasional 73. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
8. Kemiskinan 74. Jumlah Kemiskinan di Perdesaan 75. Jumlah Kemiskinan di Perkotaan 76. Tingkat Kemiskinan Nasional
138
Pada Gambar 16 disajikan model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Indonesia yang menunjukkan hubungan antar variabel, yaitu variabel endogen dan
eksogen. Pada Gambar 16, variabel endogen ditunjukkan dengan bentuk segi
empat dan variabel eksogen ditunjukkan dengan bentuk oval. Tanda panah
mengindikasikan arah pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Garis
panah yang menuju ke suatu variabel mengindikasikan variabel tersebut
dipengaruhi variabel lainnya, sedangkan garis panah yang meninggalkan variabel
menunjukkan variabel tersebut mempengaruhi variabel lainnya. Hubungan
simultan terlihat ketika suatu variabel mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi
oleh variabel lainnya.
4.1.1. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak
4.1.1.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak
Penawaran BBM adalah penjumlahan dari produksi dan impor, dan
dikurangi ekspor BBM. Untuk menjaga konsistensi, maka ditambahkan
penawaran BBM lain (PNWJBLt). Stok atau inventory BBM diasumsikan konstan
sepanjang tahun yaitu persediaan untuk 22 hari konsumsi, karena itu tidak perlu
dimasukkan ke dalam persamaan. Jumlah produksi dan ekspor merupakan
variabel eksogen. Persamaan jumlah penawaran premium (PNWJPRt), minyak
solar (PNWJSLt), minyak tanah (PNWJKRt), dan elpiji (PNWJLGt) adalah
persamaan identitas berikut ini:
PNWJPRt = PROJPRt + IMPJPRt - EKSJPRt ................................... (4.1)
PNWJSLt = PROJSLt + IMPJSLt - EKSJSLt .................................... (4.2)
PNWJKRt = PROJKRt + IMPJKRt - EKSJKRt .................................. (4.3)
PNWJLGt = PROJLGt + IMPJLGt - EKSJLGt .................................. (4.4)
139
Gam
bar
16.
Mod
el S
ub
sid
i Har
ga B
ahan
Bak
ar M
inya
k I
nd
ones
ia
KO
SJP
RT
KO
SJS
LT
KO
SJK
RT
KO
SJLG
I
HJE
CP
RH
JE
CS
LH
JE
CK
R
HJE
CL
G
PO
VE
RT
HJE
CP
XK
RO
DA
4
KR
OD
A2
PO
PN
AS
KN
IAG
A
KO
SJS
LI
KO
SJS
LK
INT
RIL
LIS
TR
K
RT
IKA
N
MT
IKA
N
KO
SJK
RI
KO
SJK
RK
KO
SJL
GK
KO
SJP
RK
OS
JS
LK
OS
JK
RK
OS
JLG
KO
SJP
RL
KO
SJS
LL
KO
SJK
RL
KO
SJL
GL
KO
SC
BM
PN
WJP
R
PN
WJL
G
PN
WJK
R
PN
WJS
LIMP
JP
R
IMP
JS
L
IMP
JK
R
EK
SJLG
PR
OJP
R
PR
OJS
L
PR
OJK
R
PR
OJL
G
EK
SJP
R
EK
SJS
L
EK
SJK
R
IMP
JL
G
PN
WJB
MP
NW
JB
L
SU
BH
PR
SU
BH
SL
SU
BH
KR
SU
BH
LG
HD
US
MB
CP
IND
X
NT
UK
RR
HD
US
LG
INF
LS
I
KO
SN
BM
KO
SN
AS
INV
RM
G
FD
INV
S
INV
NM
G
INV
ES
TE
KS
NB
MIN
FLS
S
EK
SP
OR
EK
SR
LG
IMP
NB
MC
PIN
DS
IMP
RS
L
IMP
RP
R
IMP
RK
R
IMP
RL
G
IMP
RB
M
IMP
OR
T
GO
VE
XP
GD
PN
AS
SU
BH
BL
SU
BB
BM
GO
VE
NS
RE
VN
TX
RE
VT
AX
MO
NE
YD
MO
NE
YS
BA
NK
TL
DE
VIS
SF
DIN
VS
GR
OW
TH
NE
TE
KS
LA
BO
RS
LA
BO
RD
UM
RN
AS
JO
VD
ES
JO
VK
OT
UN
EM
PL
HJE
CK
B
RE
VD
DN
BA
NK
ID
Pe
ub
ah
Eks
og
en
Pe
ub
ah
En
do
ge
n
Ke
tera
ng
an
:
140
Jumlah penawaran BBM tidak termasuk penawaran elpiji karena
perbedaan satuan, yaitu elpiji menggunakan satuan berat (kilogram) dan BBM
lainnya menggunakan satuan volume (liter). Persamaan jumlah penawaran BBM
(PNWJBMt) menjadi:
PNWJBMt = PNWJPRt + PNWJSLt + PNWJKRt + PNWJBLt ................. (4.5)
4.1.1.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak
1. Permintaan Premium
Sebanyak 96.65 persen premium dikonsumsi di sektor transportasi,
sehingga persamaan permintaan premium hanya diwakili oleh sektor transportasi.
Permintaan premium diproksi dengan harga jual eceran premium, harga barang
substitusi premium yaitu bensin pertamax, dan jumlah kendaraan bermotor roda-2
dan roda-4. Persamaan jumlah permintaan premium di sektor transportasi
(KOSJPRTt) yaitu:
KOSJPRTt = a0 + a1HJECPRt + a2(HJECPXt/HJECPXt-1)
+ a3KRODA6t + a4KOSJPRTt-1 + u1 ......................... (4.6)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: a1 < 0; a2, a3 > 0; dan 0 < a4 < 1.
Permintaan premium merupakan penjumlahan dari permintaan premium di
sektor transportasi dengan permintaan premium di sektor lainnya.
KOSJPRt = KOSJPRTt + KOSJPRLt .............................................. (4.7)
2. Permintaan Minyak Solar
Sebanyak 44.91 persen minyak solar dikonsumsi di sektor transportasi dan
sebesar 38.61 persen dikonsumsi di sektor industri. Konsumsi minyak solar di
masing-masing sektor dipengaruhi oleh harga jual eceran minyak solar. Konsumsi
minyak solar di sektor transportasi diproksi oleh variabel jumlah kendaraan niaga
141
(KNIAGAt), konsumsi minyak solar di sektor industri diproksi oleh kapasitas
listrik terpasang (LSTRIKt) sebagai variabel yang mewakili kapasitas kegiatan
sektor industri, dan konsumsi minyak solar di sektor rumahtangga dan komersial
didekati dengan jumlah rumahtangga nelayan (RTIKANt) yang menggunakan
minyak solar untuk kapal motornya. Persamaan jumlah permintaan minyak solar
di sektor transportasi (KOSJSLTt), industri (KOSJSLIt), rumahtangga dan
komersial (KOSJSLKt), adalah:
KOSJSLTt = b0 + b1HJECSLt + b2KNIAGAt-1 + b3KRISIS
+ b4KOSJSLTt-1 + u2 ................................................ (4.8)
KOSJSLIt = c0 + c1(HJECSLt-HJECSLt-1) + c2LISTRKt
+ c3KRISIS + c4KOSJSLIt-1 + u3 ............................... (4.9)
KOSJSLKt = d0 + d1HJECSLt + d2RTIKANt + d3KOSJSLKt-1 + u4 (4.10)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: b1, c1, d1 < 0; b2, c2, d2 > 0; dan 0
< b3, c4, d3 < 1.
Permintaan minyak solar merupakan persamaan identitas dari penjumlahan
minyak solar di sektor transportas, sektor industri, sektor rumahtangga dan
komersial, dan sektor lainnya.
KOSJSLt = KOSJSLTt + KOSJSLIt + KOSJSLKt + KOSJSLLt .. (4.11)
3. Permintaan Minyak Tanah
Sebanyak 92.52 persen minyak tanah dikonsumsi di sektor rumahtangga
dan komersial. Konsumsi minyak tanah di masing-masing sektor dipengaruhi oleh
harga jual eceran minyak tanah. Konsumsi minyak tanah di sektor transportasi
didekati oleh variabel jumlah kapal motor nelayan (MTIKANt), yang
menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Jumlah industri yang
142
memerlukan minyak tanah diproksi oleh variabel jumlah kredit perbankan di
sektor industri (BANKIDt), yang mewakili kapasitas kegiatan sektor industri.
Konsumsi minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi oleh
jumlah penduduk (POPNASt) dan harga barang substitusinya, yaitu kayu bakar
(HJECKBt) dan elpiji (HJECLGt). Persamaan jumlah permintaan minyak tanah di
sektor transportasi (KOSJKRTt), industri (KOSJKRIt), dan rumahtangga dan
komersial (KOSJKRKt) adalah:
KOSJKRTt = e0 +e1HJECKRt +e2MTIKANt-1 + e3KOSJKRTt-1 + u5 (4.12)
KOSJKRIt = f0 +f1HJECKRt +f2BANKIDt-1 + f3KOSJKRIt-1 + u6 ...(4.13)
KOSJKRKt = g0 + g1HJECKRt + g2(HJECKBt-HJECKBt-1)
+ g3(HJECLGt-1 / HJECKRt-1) + g4POPNASt
+ g5KOSJKRKt-1 + u7 ............................................. (4.14)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: e1, f1, g1 < 0; e2, f2, g2, g3, g4 > 0;
dan 0 < e3, f3, g5 < 1.
Permintaan minyak tanah merupakan persamaan identitas dari
penjumlahan permintaan minyak tanah di sektor transportasi, sektor industri,
sektor rumahtangga dan komersial, dan sektor lainnya.
KOSJKRt = KOSJKRTt + KOSJKRIt + KOSJKRKt + KOSJKRLt (4.15)
4. Permintaan Elpiji
Konsumsi elpiji di masing-masing sektor dipengaruhi oleh harga jual
ecerannya. Konsumsi elpiji di sektor industri dipengaruhi oleh besaran kegiatan
industri yang diwakili oleh kapasitas listrik terpasang (LISTRKt), konsumsi elpiji
di sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi oleh jumlah penduduk
(POPNASt) dan harga barang substitusinya yaitu minyak tanah (HJECKRt).
143
Persamaan jumlah permintaan elpiji di sektor industri (KOSJLGIt) dan
rumahtangga dan komersial (KOSJLGKt) adalah:
KOSJLGIt = h0 + h1HJECLGt-1 + h2LISTRKt + h3KRISIS
+ h4KOSJLGIt-1 + u8 ............................................... (4.16)
KOSJLGKt = i0 + i1HJECLGt-1 + i2(HJECKRt-HJECKRt-1)
+ i3POPNASt + i4KOSJLGKt-1 + u9 ....................... (4.17)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: h1, i1 < 0; h2, i2, i3 > 0; dan 0 <
h3, h4, i4 < 1.
Permintaan elpiji merupakan persamaan identitas dari penjumlahan
permintaan elpiji di sektor industri, rumahtangga dan komersial, dan lainnya.
KOSJLGt = KOSJLGIt + KOSJLGKt + KOSJLGLt ...................... (4.18)
5. Permintaan Bahan Bakar Minyak
Permintaan BBM merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan dari
permintaan premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji. Sebelum dilakukan
penjumlahan, terlebih dahulu masing-masing permintaan jenis BBM dikalikan
dengan harga jual ecerannya, sehingga diperoleh nilai permintaan (konsumsi)
jenis BBM dalam satuan rupiah, berikut ini:
KOSCPRt = (KOSJPRt * HJECPRt) ................................................ (4.19)
KOSCSLt = (KOSJSLt * HJECSLt) ................................................. (4.20)
KOSCKRt = (KOSJKRt * HJECKRt) ............................................... (4.21)
KOSCLGt = (KOSJLGt * HJECLGt) ............................................... (4.22)
KOSCBMt = KOSCPRt + KOSCSLt + KOSCKRt +KOSCLGt
+ KOSCBLt ................................................................ (4.23)
144
4.1.1.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah subsidi harga
BBM mempengaruhi harga jual eceran BBM, namun tidak sebaliknya. Harga jual
eceran BBM adalah persamaan identitas, berupa pengurangan harga keekonomian
BBM30 dengan subsidi harganya. Harga keekonomian BBM diperoleh dengan
melakukan proksi harga dunia BBM dikalikan dengan faktor alpha. Harga dunia
BBM adalah harga dunia minyak mentah dikalikan dengan nilai tukar rupiah
(NTUKRRt), dikalikan dengan faktor konversi,31 dibagi dengan 159. Faktor
konversi mencerminkan biaya rata-rata pengolahan minyak mentah menjadi
BBM, yang berbeda-beda untuk setiap jenis BBM. Faktor alpha berlaku sama
untuk semua jenis BBM, kecuali elpiji, sebesar 15 persen. Faktor alpha mencakup
antara lain biaya pengangkutan impor ke pelabuhan di Indonesia, distribusi antar
pulau, distribusi darat, margin usaha, dan penyusutan. Elpiji tidak mengenal faktor
alpha karena sebagian biaya alpha ditanggung oleh PT Pertamina (persero) selaku
distributor tunggal elpiji di Indonesia dan sebagian lagi dibebankan ke konsumen.
Hal ini mengakibatkan harga elpiji di konsumen akhir menjadi beragam yang
merupakan fungsi dari biaya transportasi dari agen elpiji ke konsumen akhir
rumahtangga dan usaha kecil. Persamaan harga jual eceran premium (HJECPRt),
minyak solar (HJECKRt), minyak tanah (HJECSLt), dan elpiji (HJECLGt) adalah:
30 Harga keekonomian BBM adalah harga dunia BBM pada titik konsumen akhir di dalam negeri. Harga keekonomian BBM diperoleh dengan mengalikan harga dunia BBM dengan faktor alpha. Dalam penelitian ini, sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan juga untuk penyederhanaan, digunakan faktor alpha maksimal 15 persen. 31Untuk mengkaitkan harga dunia BBM dengan harga dunia minyak mentah, penulis menyusun faktor konversi menggunakan data tahun 1986-2006. Rata-rata harga dunia BBM (data dari MOPS Singapura) dibagi dengan rata-rata harga dunia minyak mentah (data dari BPMIGAS) periode 1986-2006. Faktor konversi yang diperoleh adalah harga dunia premium 18 persen diatas harga dunia minyak mentah, minyak solar 24 persen, dan minyak tanah 31 persen. Harga dunia elpiji menggunakan data harga ekspor elpiji Indonesia, yang lazimnya bergerak mengikuti pergerakan harga dunia minyak mentah.
145
HJECPRt = ((HDUSMBt*1.18*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHPRt .... (4.24)
HJECSLt = ((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHSLt .... (4.25)
HJECKRt = ((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHKRt ... (4.26)
HJECLGt = ((HDUSLGt*NTUKRRt)/1 000) - SUBHLGt .............. (4.27)
4.1.2. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak
4.1.2.1. Impor Bahan Bakar Minyak
Produksi BBM yang padat modal dan padat teknologi, merupakan fungsi
penawaran yang dalam jangka pendek bersifat rigid (kaku) dan tidak dapat
merespon perubahan pasar jangka pendek. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam negeri yang semakin meningkat, pemerintah melakukan impor BBM
(kecuali elpiji) yang saat ini meliputi sekitar 35 persen kebutuhan domestik.
Produksi elpiji lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar
negeri, hanya sebagian kecil untuk konsumsi domestik. Dalam perkembangan
selanjutnya, kebutuhan elpiji dalam negeri semakin meningkat sementara ekspor
elpiji terikat kontrak jangka panjang. Hal ini mengharuskan pemerintah
melakukan impor elpiji yang baru dimulai pada tahun 2003. Impor BBM
dipengaruhi oleh harga keekonomian BBM, Indeks Harga Konsumen domestik
(CPINDXt), konsumsi di dalam negeri (KNIAGAt dan POPNASt), dan nilai tukar
rupiah (NTUKRRt). Persamaan jumlah impor premium (IMPJPRt), minyak solar
(IMPJSLt), dan minyak tanah (IMPJKRt) adalah:
IMPJPRt = j0 + j1((HDUSMBt-1*1.18*1.15*NTUKRRt-1)/159)
+ j2CPINDXt + j3TRENDD + j4IMPJPRt-1 + u10 .. (4.28)
IMPJSLt = k0 + k1((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159)
+ k2CPINDXt + k3KNIAGA + k4IMPJSLt-1 + u11 .(4.29)
146
IMPJKRt = l0 + l1((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159)
+ l2POPNASt + l3KRISIP + l4IMPJKRt-1 + u12 .... (4.30)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: j1, k1, l1 < 0; j2, k2, k3, l2 > 0; dan
0 < j4, k4, l4 < 1.
Persamaan impor masing-masing BBM merupakan persamaan identitas,
yang diperoleh dari perkalian harga dunia minyak mentah dalam US$ per barrel
dengan jumlah impor BBM, kemudian dikali faktor konversi yang berbeda-beda
untuk setiap jenis BBM, dikali nilai tukar rupiah, dibagi dengan 159, dan dibagi
satu juta. Persamaan impor masing-masing BBM adalah:
IMPRPRt = (IMPJPRt*1.18*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 ..... (4.31)
IMPRSLt = (IMPJSLt*1.24*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 ...... (4.32)
IMPRKRt = (IMPJKRt*1.31*HDUSMBt*NTUKRRt/159) / 1 000 000 .....(4.33)
Persamaan impor BBM total (IMPBBMt) adalah persamaan identitas yang
merupakan penjumlahan dari impor premium, minyak solar, minyak tanah, elpiji,
dan BBM lain. Persamaan impor BBM (IMPBBMt) adalah:
IMPBBMt = IMPRPRt + IMPRKRt + IMPRSLt + (IMPJLGt*HDUSLGt
*NTUKRRt) / 1 000 000 000 + IMPBBLt ................. (4.34)
4.1.2.2. Ekspor Bahan Bakar Minyak
Selama periode pengamatan tahun 1986-2006, Indonesia tidak pernah
mengekspor premium, minyak solar, dan minyak tanah. Sebaliknya untuk elpiji,
sekitar 90 persen produksi elpiji diekspor ke luar negeri karena produksi elpiji
tidak dapat diserap oleh pasar domestik pada masa itu. Karena itu, ekspor BBM
hanya terdiri dari ekspor elpiji. Jumlah ekspor elpiji diproksi dengan jumlah
147
produksinya (PROJLGt) dan harga dunianya (HDUSLGt). Persamaan jumlah
ekspor elpiji (EKSJLGt) adalah:
EKSJLGt = m0 + m1(HDUSLGt-1*NTUKRRt-1/1 000) + m2PROJLGt
+ m3TRENDD + m4KRISIP + m5EKSJLGt + u13 (4.35)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: m1, m2 > 0 dan 0 < m5 < 1.
Persamaan ekspor BBM, yang diwakili oleh ekspor elpiji (EKSRLGt), adalah:
EKSRLGt = EKSJLGt * HDUSLGt * NTUKRRt / 1 000 000 0000 .. (4.36)
4.1.2.3. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak
Neraca perdagangan BBM atau ekspor bersih BBM adalah persamaan
identitas yang diperoleh dari pengurangan antara ekspor BBM dengan impor
BBM, yaitu:
BOTBBM = EKSRLG – IMPBBM ................................................. (4.37)
4.1.3. Blok Fiskal
4.1.3.1. Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Nilai subsidi harga BBM yang dipakai dalam penelitian ini adalah nilai
prakiraan subsidi harga BBM. Nilai prakiraan subsidi diperoleh dengan
menggunakan metode Price Gap Approach (Koplow, 2009), yaitu: Price Gap =
Price Reference – End-User Internal Price. Jika diasumsikan bahwa Price Gap
adalah subsidi harga BBM, Price Reference adalah harga keekonomian BBM,
dan End-User Internal Price adalah harga jual eceran BBM, maka menggunakan
analogi yang sama, subsidi harga BBM = harga keekonomian BBM – harga jual
eceran BBM. Menggunakan metode tersebut, dapat diperoleh prakiraan subsidi
harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
Persamaan subsidi harga BBM merupakan persamaan pokok dalam
penelitian ini, yang besarannya dipengaruhi oleh harga dunia BBM dalam satuan
148
US$ per barrel atau per ton, nilai tukar rupiah (NTUKRRt), dan penerimaan
dalam negeri pemerintah (REVDDNt). Variabel REVDDNt merupakan proksi dari
kemampuan pendanaan dalam negeri untuk membiayai belanja negara tanpa hibah
atau bantuan luar negeri. Persamaan subsidi harga premium (SUBHPRt), subsidi
harga minyak solar (SUBHSLt), subsidi harga minyak tanah (SUBHKRt), dan
subsidi harga elpiji (SUBHLGt), adalah:
SUBHPRt = s0 + s1(HDUSMBt*1.18) + s2NTUKRRt
+ s3REVDDNt + s4SUBHPRt-1 + u19 ................... (4.38)
SUBHSLt = t0 + t1(HDUSMBt*1.24) + t2NTUKRRt
+t3(REVDDNt-REVDDNt-1)+t4SUBHSLt-1 +u20 ...
(4.39)
SUBHKRt = u0 + u1(HDUSMBt*1.31) + u2NTUKRRt
+ u3REVDDNt + u4SUBHKRt-1 + u21 ................... (4.40)
SUBHLGt = v0 + v1HDUSLGt + v2NTUKRRt+ v3(REVDDNt/ REVDDNt-1)
+ v4SUBHLGt-1 + u22 ............................................ (4.41)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: s1, s2, s3, t1, t2, t3, u1, u2, u3, v1, v2,
v3 > 0 dan 0 < s4, t4, u4, v4 < 1.
Nilai subsidi BBM diperoleh dari hasil perkalian antara subsidi harga
dengan jumlah konsumsinya masing-masing. Persamaan subsidi premium
(SUBRPRt), minyak solar (SUBRSLt), minyak tanah (SUBRKRt), elpiji
(SUBRLGt), dan subsidi BBM (SUBBBMt) adalah:
SUBRPRt = SUBHPRt * KOSJPRt / 1 000 000 ............................ (4.42)
SUBRSLt = SUBHSLt * KOSJSLt / 1 000 000 ............................ (4.43)
SUBRKRt = SUBHKRt * KOSJKRt / 1 000 000 .......................... (4.44)
149
SUBRLGt = SUBHLGt * KOSJLGt / 1 000 000 ........................... (4.45)
Persamaan subsidi BBM total (SUBBBMt) adalah:
SUBBBMt = SUBRPRt + SUBRSLt + SUBRKRt + SUBRLGt
+ SUBBBLt .............................................................. (4.46)
4.1.3.2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
Penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah persamaan
identitas yang merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak (REVTAXt) dan
penerimaan diluar pajak (REVNTXt). Persamaan penerimaan pajak (REVTAXt),
yang merupakan persamaan struktural, adalah:
REVTAXt = w0 +w1GDPNASt-1 +w2KRISIP + w3REVTAXt-1 + u23 ..... (4.47)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: w1 > 0 dan 0 < w3 < 1.
Persamaan penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah:
REVDDNt = REVTAXt + REVNTXt ............................................... (4.48)
4.1.3.3. Gap Fiskal
Gap fiskal (lihat Alesina, 2000 dan Alvarado, et.al, 2004) adalah
persamaan identitas yaitu pengurangan dari penerimaan dalam negeri (REVDDNt)
dengan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt):
FISCGPt = REVDDNt - GOVEXPt .................................................... (4.49)
4.1.4. Blok Permintaan Agregat
4.1.4.1. Konsumsi Nasional
Besaran konsumsi non-BBM dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik
(INFLSIt), tingkat suku bunga domestik (INTRILt), dan jumlah penduduk
(POPNASt). Persamaan nilai konsumsi non-BBM (KOSNBMt) adalah:
150
KOSNBMt = o0 + o1INFLSIt + o2INTRILt + o3POPNASt
+ o4KRISIS + o5KOSNBMt-1 + u15 .......................... (4.50)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: o1, o2, < 0; o3 > 0; dan 0 < o5 < 1.
Persamaan konsumsi nasional adalah:
KOSNASt = KOSCBMt + KOSNBMt ............................................. (4.51)
4.1.4.2. Investasi Nasional
Investasi di sektor minyak dan gas bumi (INVRMGt) dipengaruhi oleh
nilai penanaman modal langsung (FDINVSt), jumlah penduduk (POPNASt), dan
tingkat suku bunga domestik (INTRILt). Investasi di sektor migas cenderung
dilakukan dalam satuan mata uang asing, sehingga variabel nilai tukar rupiah
(NTUKRRt) diabaikan. Persamaan nilai investasi migas (INVRMGt) adalah:
INVRMGt = p0 + p1(INTRILt-INTRILt-1) + p2(FDINVSt/FDINVSt-1)
+ p3POPNASt + p4KRISIS + p5TRENDD
+ p6INVRMGt-1 + u16 .............................................. (4.52)
Tanda yang diharapkan estimasi parameter: p1 < 0; p2, p3 > 0; dan 0 < p6 < 1.
Investasi non-migas (INVRMGt) seperti pertanian, otomotif, jasa
keuangan, dan konstruksi lazimnya dilakukan oleh pengusaha dalam negeri
dengan lokasi usaha di dalam negeri, sehingga nilai tukar rupiah menjadi salah
satu faktor penting selain tingkat suku bunga domestik (INTRILt). Persamaan
nilai investasi non-migas (INVNMGt) adalah:
INVNMGt = q0 + q1INTRILt-1 + q2NTUKRRt-1 + q3TRENDD
+ q4KRISIS + q5INVNMGt-1 + u17 ......................... (4.53)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: q1, q2 < 0 dan 0 < q5 < 1.
Persamaan investasi nasional (INVESTt) adalah:
151
INVESTt = INVRMGt + INVNMGt.................................................... (4.54)
4.1.4.3. Belanja Pemerintah
Belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt) adalah
persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari belanja pemerintah diluar
subsidi BBM (GOVENSt) dengan pengeluaran untuk subsidi BBM (SUBBBMt).
Pengeluaran untuk subsidi BBM merupakan persamaan identitas. Belanja
pemerintah diluar subsidi BBM (GOVENSt), yang merupakan persamaan
struktural, dipengaruhi oleh penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt)
dan tingkat inflasi domestik (INFLSIt), dengan rincian:
GOVENSt = x0 + x1REVDDNt + x2INFLSIt + x3TRENDD
+ x4GOVENSt-1 + u24 ............................................ (4.55)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: x1, x2 > 0 dan 0 < x4 < 1.
Persamaan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara (GOVEXPt)
adalah:
GOVEXPt = GOVENSt + SUBBBMt ............................................... (4.56)
4.1.4.4. Ekspor Nasional
Ekspor non-BBM dipengaruhi oleh tingkat inflasi dunia (INFLSSt) yang
diproksi dengan tingkat inflasi di Amerika Serikat, Indeks Harga Konsumen
domestik (CPINDXt), nilai tukar riil rupiah (NTUKRRt), dan jumlah penawaran
BBM (PNWJBMt). Persamaan nilai ekspor non-BBM adalah:
EKSNBMt = r0 + r1INFLSSt + r2CPINDXt + r3(NTUKRRt-NTUKRRt-1)
+ r4PNWJBMt + r5EKSNBMt-1 + u18 ...................... (4.57)
Tanda diharapkan dari estimasi parameter: q2 < 0; q1, q3, q4 > 0; dan 0 < q5 < 1.
Persamaan ekspor nasional (EKSPORt) adalah:
EKSPORt = EKSRLGt + EKSNBMt .................................................. (4.58)
152
4.1.4.5. Impor Nasional
Impor non-BBM (IMPNBMt) dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik
(INFLSIt), nilai tukar rupiah (NTUKRRt), jumlah penduduk (POPNASt), dan
Indeks Harga Konsumen dunia yang diwakili oleh IHK Amerika Serikat
(CPINDSt), yaitu:
IMPNBMt = n0 + n1CPINDSt + n2INFLSIt + n3NTUKRRt-1
+ n4POPNASt + n5KRISIS + n6IMPBBMt-1 + u14 ..... (4.59)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter adalah n1, n3 < 0; n2, n4 > 0; dan 0
< n6 < 1.
Persamaan impor nasional (IMPORTt) adalah:
IMPORTt = IMPBBMt + IMPNBMt .................................................. (4.60)
4.1.4.6. Gross Domestic Product (GDP) Nasional
Persamaan Gross Domestic Product Nasional (GDPNASt) adalah:
GDPNASt = KOSNASt + INVESTt + GOVEXPt + NETEKSt ......... (4.61)
4.1.5. Blok Moneter
Blok moneter terdiri dari beberapa persamaan yang menggambarkan
hubungan antara penawaran uang (MONEYSt), permintaan uang (MONEYDt),
tingkat inflasi domestik (INFLSIt), nilai tukar rupiah (NTUKRRt), dan tingkat
suku bunga domestik (INTRILt).
Berdasarkan teori makroekonomi, penawaran uang dipengaruhi oleh
tingkat suku bunga domestik (INTRILt), output nasional (GDPNASt), dan kredit
perbankan total (BANKTLt). Persamaan penawaran uang (MONEYSt) adalah:
MONEYSt = y0 + y1INTRILt + y2GDPNASt + y3BANKTLt + y4KRISISt
+ y5TRENDD + y6MONEYSt-1 + u25 ..................... (4.62)
153
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: y1, y2, y3 > 0 dan 0 < y6 < 1.
Sesuai dengan teori makroekonomi, permintaan uang dipengaruhi oleh
penawaran uang (MONYESt), tingkat suku bunga domestik (INTRILt), dan nilai
tukar rupiah (NTUKRRt). Persamaan permintaan uang (MONEYDt) adalah:
MONEYDt = z0 + z1INTRILt + z2NTUKRRt + z3MONEYSt
+ z4MONEYDt-1 + u26 ........................................... (4.63)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: z1, z2 < 0; z3 > 0; dan 0 < z4 < 1.
Nilai tukar rupiah (NTUKRRt) dipengaruhi oleh rasio Indeks Harga
Konsumen domestik (CPINDXt) dan luar negeri (CPINDSt), penanaman modal
langsung (FDINVSt), dan jumlah cadangan devisa domestik (DEVISSt), yaitu:
NTUKRRt = ac0 + ac1(CPINDXt/CPINDSt) + ac2FDINVSt
+ac3(DEVISSt-DEVISSt-1)+ ac4NTUKRRt-1 +u29.. (4.64)
Tanda diharapkan dari estimasi parameter: ac1 > 0; ac2, ac3 < 0; dan 0 < ac4 < 1.
Dalam Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia, harga jual
eceran BBM dianggap sangat penting dalam mempengaruhi perubahan harga-
harga umum. Untuk itu, harga jual eceran premium, minyak solar, dan minyak
tanah secara bersama-sama dijadikan harga rata-rata tertimbang BBM
(HTMCPKt) terhadap volume konsumsinya masing-masing. Persamaan Indeks
Harga Konsumen (CPINDXt) adalah:
CPINDXt = ab0 + ab1HTMCPKt + ab2MONEYSt-1+ab3CPINDXt-1 +u28 .. (4.65)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ab1, ab2 > 0 dan 0 < ab3 < 1.
Persamaan tingkat suku bunga domestik dipengaruhi oleh penawaran uang
(MONEYSt), rasio permintaan uang terhadap Lag-nya (MONEYDt), dan investasi
nasional (INVESTt). Persamaan tingkat suku bunga domestik (INTRILt) adalah:
154
INTRILt = aa0 + aa1MONEYSt + aa2(MONEYDt/MONEYDt-1)
+ aa3(INVESTt-INVESTt-1) + aa4KRISIS + u27 ..........(4.66)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: aa1 < 0 dan aa2, aa3 > 0.
4.1.6. Blok Pasar Tenaga Kerja
Blok pasar tenaga kerja terdiri dari penawaran tenaga kerja (LABORSt),
permintaan tenaga kerja (LABORDt), dan upah tenaga kerja (UMRNASt).
Penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh upah tenaga kerja (UMRNASt), jumlah
penduduk (POPNASt), dan belanja pemerintah non-subsidi BBM (GOVENSt).
Persamaan penawaran tenaga kerja Indonesia (LABORSt) adalah:
LABORSt = ad0 + ad1UMRNASt + ad2POPNASt
+ ad3(GOVENSt-GOVENSt-1)+ad4LABORSt-1+u30 (4.67)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ad1, ad2, ad3 > 0 dan 0 < ad4 < 1.
Permintaan tenaga kerja (LABORDt) dipengaruhi oleh upah tenaga kerja
(UMRNASt) dan output nasional (GDPNASt), yaitu:
LABORDt = ae0 + ae1UMRNASt-1 + ae2GDPNASt + ae3LABORDt-1
+ u31 ....................................................................... (4.68)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ae1 < 0; ae2 > 0; dan 0 < ae3 < 1.
Upah tenaga kerja dipengaruhi oleh pasar tenaga kerja yaitu penawaran
dan permintaan tenaga kerja. Persamaan upah tenaga kerja (UMRNASt) adalah :
UMRNASt = af0 + af1LABORSt-1 + af2(LABORDt-LABORDt-1)
+ af3KRISIP+ af4TRENDD + af5UMRNASt-1 + u32 ... (4.69)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: af1 < 0; af2 < 0, dan 0 < af5 < 1.
155
4.1.7. Blok Kinerja Perekonomian
Persamaan jumlah pengangguran di Indonesia (UNEMPLt) adalah
persamaan identitas yang merupakan pengurangan dari penawaran tenaga kerja
dengan permintaan tenaga kerja, yaitu:
UNEMPLt = LABORSt - LABORDt ................................................ (4.70)
Persamaan tingkat inflasi domestik (INFLSIt) adalah persamaan identitas
yang merupakan pertumbuhan indek harga konsumen domestik, yaitu:
INFLSIt = (CPINDXt - CPINDXt-1) / CPINDXt-1 * 100 ..................... (4.71)
Persamaan nilai ekspor bersih atau Balance of Trade (NETEKSt) adalah
persamaan identitas yang merupakan pengurangan ekspor nasional dengan impor
nasional, yaitu:
NETEKSt = EKSPORt - IMPORTt ..................................................... (4.72)
Tingkat pertumbuhan ekonomi (GROWTHt) adalah persamaan identitas
yang merupakan pertumbuhan dari GDP nasional, yaitu:
GROWTHt = (GDPNASt - GDPNASt-1 ) / GDPNASt-1 * 100 .......... (4.73)
4.1.8. Blok Kemiskinan
Blok kemiskinan terdiri dari persamaan jumlah kemiskinan di perdesaan
(JOVDESt) dan perkotaan (JOVKOTt). Kemiskinan di perdesaan dipengaruhi
oleh tingkat inflasi domestik (INFLSIt), harga jual eceran kayu bakar (HJECKBt),
jumlah pengangguran (UNEMPLt), dan belanja pemerintah (GOVEXPt). Harga
jual eceran kayu bakar berpengaruh positif terhadap kemiskinan di perdesaan
karena sebagian besar masyarakat perdesaan masih menggunakan kayu bakar
sebagai sumber energi utama untuk memasak di rumahtangga. Persamaan
kemiskinan di perdesaan (JOVDESt) adalah:
156
JOVDESt = ag0 + ag1INFLSIt + ag2GOVEXPt-1 + ak3UNEMPLt
+ ag4HJECKBt + ag5JOVDESt-1 + u33 ..................... (4.74)
Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat inflasi domestik
(INFLSIt), jumlah pengangguran (UNEMPLt), harga jual eceran elpiji (HJECLGt),
belanja pemerintah (GOVEXPt), dan upah tenaga kerja (UMRNASt). Belanja
pemerintah yang semakin besar akan cenderung berpengaruh positif terhadap
upaya pengentasan kemiskinan dengan harapan pemerintah mengalokasikan lebih
banyak dana untuk program pro-rakyat. Persamaan kemiskinan di perkotaan
(JOVKOTt) adalah:
JOVKOTt =ah0 + ah1INFLSI + ah2GOVEXPt + ah3UMRNASt
+ ah4UNEMPLt-1 + ah5HJECLGt-1 + ah6JOVKOTt-1
+ u34 ................................................................................................................. (4.75)
Tanda yang diharapkan dari estimasi parameter: ag1, ag3, ag4, ah1, ah4, ah5 > 0;
ag2, ah2, ah3 < 0; dan 0 < ag5, ah6 < 1.
Kemiskinan nasional merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan
kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Kemiskinan nasional disajikan dalam
persen yaitu jumlah penduduk miskin nasional dibagi dengan jumlah penduduk
nasional Indonesia. Pencantuman dalam persen dianggap lebih dapat mewakili
fluktuasi jumlah orang miskin nasional terhadap jumlah penduduk nasional.
Persamaan tingkat kemiskinan nasional adalah:
POVERTt = (JOVDESt + JOVKOTt) / POPNASt * 100 .................... (4.76)
157
4.2. Prosedur Analisis
4.2.1. Identifikasi Model
Sebelum model diestimasi, perlu dilakukan identifikasi model. Identifikasi
model menggunakan order condition dan menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan
identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition adalah:
(K - M) > (G - 1)
dimana:
K = total variabel dalam model (jumlah variabel endogen dan
predetermined),
G = total persamaan dalam model (jumlah variabel endogen), dan
M = jumlah variabel endogen dan eksogen dalam satu persamaan yang
diidentifikasi.
Jika dalam sistem persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai
berikut:
( K – M ) > ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan
teridentifikasi secara berlebih (over identified),
(K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan
teridentifikasi secara tepat (exactly identified),
dan
(K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak
teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural harus exactly
identified atau over identified untuk dapat mengestimasi parameternya.
158
Model terdiri dari 76 variabel endogen (G) yang terdiri dari 34 persamaan
struktural dan 42 persamaan identitas, dan 67 variabel pre-determined yang terdiri
dari 34 variabel eksogen dan 33 variabel lag endogenous. Sehingga terdapat 143
variabel (K) dalam model. Persamaan yang memiliki jumlah variabel terbanyak
adalah persamaan dengan 6 variabel (M) yang adalah over identified. Berdasarkan
kriteria order condition, maka model over identified karena setiap persamaan
struktural yang ada dalam model adalah over identified.
4.2.2. Metode Estimasi Model
Model yang dibangun adalah over identified, maka model dapat diestimasi
dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three
Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood), atau
FIML (Full Information Maximum Likelihood). Berdasarkan kriteria statistik dan
ekonomi, maka metode estimasi model yang terbaik dalam penelitian ini adalah
2SLS, karena dapat menghasilkan nilai estimasi parameter yang lebih efisien.
Sedangkan 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak dan lebih
sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model.
Estimasi model dilakukan dengan menggunakan program aplikasi komputer
Statistical Analysis System/Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.0.
Untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama dapat
menjelaskan secara nyata keragaman variabel endogen, maka pada setiap
persamaan digunakan statistik uji-F. Untuk menguji apakah masing-masing
variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka digunakan
statistik uji-t. Karena dalam model ada persamaan yang mengandung variabel
159
bedakala, maka digunakan statistik Durbin-Watson untuk melihat ada tidaknya
auto korelasi (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
4.2.3. Validasi Model
Sebelum model digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, perlu diuji
dahulu apakah model cukup valid. Kriteria uji validitas model yang digunakan
adalah ketepatannya menjelaskan dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Uji validitas model yang sering digunakan adalah kesalahan rataan kuadrat
terkecil (Root Mean Squares Percent Error,RMSPE) dan koefisien ketidaksamaan
Theil (Theil Inequality Coefficient, U) (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
Root Mean Squares Error, RMSE, adalah rata-rata kuadrat dari perbedaan
nilai estimasi dengan nilai pengamatan (aktual) suatu variabel endogen. Jika nilai
RMSE semakin kecil maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai
statistik RMSE dirumuskan sebagai berikut:
n
1t
2at
st YY
n
1RMSE
RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi
dengan nilai pengamatan suatu variabel endogen. Jika nilai RMSPE semakin kecil
maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai statistik RMSPE dirumuskan
sebagai berikut:
n
1t
2
at
at
st
Y
YY
n
1RMSPE x 100
dimana n , stY , a
tY berturut-turut adalah jumlah periode pengamatan, nilai
estimasi variabel endogen, dan nilai pengamatan variabel endogen (Pindyck and
Rubinfeld, 1991).
160
U adalah perbandingan RMSE dengan rata-rata kuadrat nilai pengamatan
variabel endogen. Nilai U maksimum adalah satu dan minimum adalah nol. Jika
0stY atau U=1 maka estimasi variabel endogen disebut sebagai naïf. Jika
at
st YY atau U=0, maka estimasi variabel endogen disebut sebagai sempurna,
sangat mendekati kenyataan. Semakin kecil nilai RMSPE dan U dan semakin
besar nilai R2, maka estimasi variabel endogen semakin baik. Nilai statistik U
dirumuskan sebagai berikut:
n
t
at
n
t
at
st
Yn
YYn
U
1
2
1
2
1
1
dimana stY dan a
tY berturut-turut adalah perubahan nilai estimasi variabel
endogen dan perubahan nilai pengamatan variabel endogen. Koutsoyiannis (1977)
mengatakan bahwa nilai perubahan tersebut diperoleh dari selisih antara data
sekarang dengan data periode sebelumnya. Menurut Pindyck and Rubinfeld
(1991), perubahan tersebut disajikan dalam bentuk tingkat perubahan.
Nilai U dapat didekomposisi menjadi tiga komponen menurut sumber
kesalahannya (Pindyck and Rubinfeld, 1991), yaitu proporsi bias (UM), proporsi
keragaman (US), dan proporsi covarians (UC). Komponen pertama adalah UM
yang mengukur sejauh mana nilai rata-rata estimasi menyimpang dari nilai
pengamatannya. Estimasi variabel endogen dikatakan valid jika UM < 0.20.
Komponen kedua adalah US yang mengukur sejauh mana nilai keragaman
estimasi menyimpang dari nilai pengamatannya, dikenal sebagai proporsi
keragaman dari inequality coefficient. Semakin kecil nilai US, maka estimasi
variabel endogen semakin valid. Komponen pertama dan kedua mengindikasikan
161
kesalahan sistematis yang seharusnya dapat dihindari. Komponen ketiga adalah
UC yang mengukur penyimpangan covarians estimasi dari nilai pengamatannya.
Semakin besar nilai UC, maka estimasi variabel endogen semakin valid.
Komponen ketiga adalah kesalahan tidak sistematik, karena itu tidak dapat
dihindari. Apabila nilai ketiga dekomposisi statistik U dijumlahkan maka hasilnya
adalah satu. Nilai statistik UM, US, dan UC adalah:
UM =
n
t
at
st
as
YYn
YY
1
2
2
)(1
)(
US =
n
t
at
st
as
YYn 1
2
2
)(1
)(
UC =
n
t
at
st
as
YYn 1
2)(1
)1(2
dimana nilai s
Y , a
Y , s , a , dan berturut-turut rata-rata nilai estimasi
variabel endogen, rata-rata nilai pengamatan variabel endogen, standar deviasi
nilai estimasi variabel endogen, standar deviasi nilai pengamatan variabel
endogen, dan koefisien korelasi antara nilai estimasi dengan nilai pengamatan
variabel endogen (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
4.3. Skenario Simulasi
Skenario simulasi peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini, yang
mencakup periode peramalan 2010-2014, ditentukan sesuai dengan
kecenderungan data dan rencana kebijakan pemerintah. Skenario simulasi yang
dilakukan adalah:
162
1. SIM-1: Simulasi 1 adalah kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5
persen. Pergerakan harga dunia minyak mentah merupakan faktor eksogen yang
senantiasa harus diperhatikan. Indonesia adalah negara kecil dan menjadi price
taker harga minyak mentah karena hanya memiliki cadangan minyak 1.40 persen
dari cadangan minyak dunia. Harga dunia minyak mentah sangat berfluktuatif,
yang pada tahun 2007 sebesar US$72 per barrel, menjadi US$143 per barrel pada
awal tahun 2008, dan kemudian turun menjadi US$39 per barrel pada akhir tahun
2008. Meskipun sangat fluktuatif, namun diketahui bahwa harga dunia nominal
minyak mentah periode 1986-2006 naik sebesar 7.4 persen per tahun. Dalam pasar
dunia minyak dan gas bumi, harga-harga energi fosil biasanya saling terkait dan
bergerak pada arah yang sama. Harga kontrak penjualan elpiji biasanya mengikuti
dan searah dengan pergerakan harga dunia minyak mentah. Karena itu, dalam
disertasi ini, apabila harga dunia minyak mentah naik 5 persen, maka harga elpiji
juga naik 5 persen.
2. SIM-2: Simulasi 2 adalah kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah
sebesar 10 persen. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah pada periode
tahun 1986-2006 mencapai 8.01 persen per tahun dan dalam simulasi ini
digunakan pembulatan angka yaitu 10 persen. Kenaikan penerimaan dalam negeri
pemerintah merupakan kebijakan fiskal berupa penarikan sejumlah uang yang
beredar di masyarakat melalui instrumen pajak dan non-pajak. Dalam rejim
anggaran berimbang, maka kenaikan penerimaan negara akan mengakibatkan
kenaikan anggaran belanja. Naiknya anggaran belanja selanjutnya diharapkan
akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran
belanjanya, termasuk untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan.
163
3. SIM-3: Simulasi 3 adalah pengurangan subsidi harga premium, minyak
solar, minyak tanah, dan elpiji. Simulasi ini merupakan penjabaran wacana yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang antara lain mengamanatkan
penghapusan subsidi BBM pada tahun 2004. Simulasi ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran dan masukan bagi para pengambil kebijakan mengenai
dampak dari pengurangan subsidi BBM. Pemahaman yang cukup baik mengenai
perilaku subsidi harga dan dampaknya terhadap perekonomian dan kemiskinan
diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah yang tepat dalam rangka
mengantisipasi dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM.
Besaran subsidi BBM berbeda-beda untuk setiap jenis BBM dan
bergantung pada harga jual eceran masing-masing. Di Indonesia, harga
keekonomian BBM sama dengan harga jual ecerannya ditambah dengan subsidi
harganya. Apabila harga keekonomian meningkat dan harga jual eceran tetap
maka, untuk mengimbanginya, subsidi harga akan naik. Sebagai gambaran, ketika
harga dunia minyak mentah mencapai US$80 per barrel, pada kurs US$1 sama
dengan Rp. 9 300, maka harga keekonomian bensin premium adalah Rp. 6 349
per liter, harga keekonomian minyak solar adalah Rp. 6 672 per liter, harga
keekonomian minyak tanah adalah Rp. 7 049 per liter, dan harga keekonomian
elpiji adalah Rp. 3 047 per kg.
Setelah mengetahui harga keekonomian dan harga jual eceran rata-rata
pada periode peramalan 2010-2014, dapat dihitung besaran subsidi harga rata-rata
pada periode yang sama. Pada periode tersebut, subsidi harga rata-rata premium
adalah 38.42 persen dari harga keekonomiannya, minyak solar 29.27 persen dari
164
harga keekonomiannya, minyak tanah 72.49 persen dari harga keekonomiannya,
dan elpiji 17.84 persen dari harga keekonomiannya. Sebagai contoh, subsidi harga
minyak tanah adalah Rp. 4 549 per liter atau 64.53 persen dari harga
keekonomiannya, yang diperoleh dari selisih antara harga keekonomian sebesar
Rp. 7 049 per liter dengan harga jual ecerannya sebesar Rp. 2 500 per liter.
Dalam disertasi ini, simulasi pengurangan subsidi BBM menggunakan
patokan atau acuan bagian tertentu dari harga keekonomian BBM yang
ditanggung oleh negara, sebagai subsidi harga, sementara bagian lain dari harga
keekonomian BBM ditanggung oleh konsumen, sebagai harga jual eceran.
Sehingga apabila harga dunia minyak naik, maka harga keekonomian BBM akan
naik proporsional, subsidi harga naik proporsional, dan harga jual eceran juga naik
proporsional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga dunia minyak mentah akan
ditanggung bersama, sebagian oleh anggaran belanja melalui kenaikan subsidi
harga BBM, dan sebagian lagi oleh masyarakat melalui kenaikan harga jual
eceran BBM. Simulasi ini dilakukan dengan alasan sebagai berikut: (1) keuangan
negara akan semakin terbatas dan karena itu perlu pembatasan atau prioritisasi
subsidi yang lebih tajam, (2) pemerintah tidak bisa lagi menanggung sendirian
seluruh porsi kenaikan harga dunia minyak mentah, dan (3) masyarakat perlu
mengalami proses pembelajaran agar semakin memahami mengenai pentingnya
energi dan harganya yang mahal, sehingga dapat mengarah pada upaya-upaya
penghematan penggunaan energi.
Subsidi harga premium diturunkan dari semula 38.42 persen dari harga
keekonomiannya menjadi 20.00 persen, subsidi harga minyak solar diturunkan
dari semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya menjadi 20.00 persen,
165
subsidi harga minyak tanah diturunkan dari semula 72.49 persen dari harga
keekonomiannya menjadi 40.00 persen, dan subsidi harga elpiji diturunkan dari
semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya menjadi 10.00 persen.
4. SIM-4: Simulasi 4 adalah konversi minyak tanah ke elpiji. Pada simulasi
ini pemerintah menurunkan subsidi harga minyak tanah agar harga jual eceran
minyak tanah meningkat dan menaikkan subsidi harga elpiji agar harga jual
ecerannya menurun. Peningkatan harga jual eceran minyak tanah dan penurunan
harga jual eceran elpiji, diharapkan dapat mengalihkan konsumsi rumahtangga
dan komersial dari minyak tanah ke elpiji. Peralihan ini cenderung dapat
terlaksana dengan baik karena pada saat bersamaan, harga jual eceran elpiji
menurun. Penurunan harga jual eceran elpiji diharapkan dapat semakin menarik
minat rumahtangga dan komersial untuk menggantikan minyak tanah ke elpiji dan
mengkonsumsi lebih banyak elpiji. Simulasi ini menurunkan subsidi harga
minyak tanah dari semula 72.49 persen dari harga keekonomiannya menjadi 30.00
persen, dan meningkatkan subsidi harga elpiji dari semula 17.84 persen dari harga
keekonomiannya menjadi 30.00 persen.
5. SIM-5: Simulasi 5 adalah kombinasi pengurangan subsidi harga premium
dan minyak solar dengan konversi minyak tanah ke elpiji. Simulasi ini merupakan
simulasi yang paling mendekati kenyataan dan paling sesuai dengan arah
kebijakan pemerintah pada saat ini yaitu melaksanakan program konversi minyak
tanah ke elpiji dan sekaligus mengurangi beban subsidi BBM melalui
pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar. Rincian simulasi 5 adalah
pengurangan subsidi harga premium dari semula 38.42 persen menjadi 20.00
persen dari harga keekonomiannya, pengurangan subsidi harga minyak solar dari
166
semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya,
pengurangan subsidi harga minyak tanah dari semula 72.49 persen menjadi 30.00
persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula
17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Dibandingkan
dengan subsidi harga premium, pengurangan subsidi harga minyak solar lebih
kecil, agar kenaikan harga jual eceran minyak solar tidak sebesar kenaikan harga
jual eceran premium. Konsumen premium adalah masyarakat golongan menengah
atas, sementara konsumen minyak solar dicirikan dengan kegiatan usaha dan
industri. Untuk memberikan insentif bagi kegiatan usaha, maka simulasi ini hanya
menaikkan sedikit harga jual eceran minyak solar.
6. SIM-6: Simulasi 6 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen,
pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar, dan konversi minyak tanah
ke elpiji atau kombinasi simulasi (1) + simulasi (2) + simulasi (5). Simulasi ini
dimaksudkan untuk menganalisis kombinasi dampak dari kenaikan harga jual
eceran BBM dan kenaikan belanja pemerintah diluar subsidi BBM. Kenaikan
harga jual eceran BBM akan cenderung berdampak pada tingginya inflasi dan
memburuknya kinerja perekonomian dan kemiskinan. Kenaikan belanja
pemerintah diluar subsidi BBM cenderung akan berdampak positif bagi
perekonomian dan kemiskinan. Hasil akhir dari simulasi bergantung pada
kekuatan mana yang lebih dominan, kenaikan harga jual eceran atau kenaikan
belanja pemerintah diluar subsidi BBM.
7. SIM-7: Simulasi 7 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen,
167
pengurangan subsidi harga premium dan minyak solar, konversi minyak tanah ke
elpiji, dan realokasi anggaran atau kombinasi simulasi (6) + realokasi anggaran.
Pada simulasi (6) terdapat penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar
dan menjadi faktor pengurang dari belanja pemerintah. Pada simulasi ini,
penghematan tersebut dimasukkan kembali dalam sistem perekonomian melalui
penempatannya pada variabel endogen belanja pemerintah diluar subsidi BBM
(GOVENSt). Sebagai akibat dari peningkatan penerimaan dalam negeri
pemerintah, belanja pemerintah diluar subsidi BBM mengalami peningkatan.
Peningkatan tersebut akan semakin besar manakala kebijakan realokasi anggaran
diterapkan. Peningkatan belanja pemerintah diluar subsidi BBM diharapkan akan
dapat meningkatkan besaran belanja pemerintah sehingga berdampak positif bagi
kinerja perekonomian melalui perbesaran ruang fiskal atau pelaksanaan program-
program lain yang sangat penting dan mendesak.
8. SIM-8: Simulasi 8 adalah kombinasi kenaikan harga dunia minyak mentah
5 persen, peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen, kenaikan
indek harga konsumen 5 persen, pengurangan subsidi harga premium dan minyak
solar, konversi minyak tanah ke elpiji, dan realokasi anggaran atau kombinasi
simulasi (7) + kenaikan indek harga konsumen 5 persen + realokasi anggaran.
Penghematan anggaran sebesar Rp. 61 492 miliar diperoleh dengan melakukan
simulasi 7 + kenaikan indek harga konsumen 5 persen. Penghematan tersebut
dimasukkan kembali dalam sistem perekonomian melalui penambahannya pada
variabel GOVENS yaitu anggaran pemerintah diluar subsidi BBM, sehingga
belanja pemerintah (GOVEXP) dapat lebih ditingkatkan lagi.
168
4.4. Perubahan Kesejahteraan
Indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan adalah
surplus konsumen, surplus produsen, dan pengeluaran subsidi BBM. Apabila
harga jual eceran menurun, maka surplus produsen akan menjadi positif atau
terjadi transfer kesejahteraan dari konsumen ke produsen, demikian pula
sebaliknya (Agus, 2001 dan Ilham, 2006). Subsidi yang besar dianggap dapat
meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan. Karena itu
apabila nilai subsidi menurun, maka kesejahteraan akan menurun. Indikator ini
digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan subsidi terhadap perubahan
kesejahteraan. Indikator kesejahteraan adalah:
A. Surplus Produsen BBM
1. Surplus Produsen Premium:
PNWJPRB x (HJECPRS - HJECPRB) +
½ (PNWJPRS - PNWJPRB) x (HJECPRS - HJECPRB)
2. Surplus Produsen Minyak Solar:
PNWJSLB x (HJECSLS - HJECSLB) +
½ x (PNWJSLS - PNWJSLB) x (HJECSLS - HJECSLB)
3. Surplus Produsen Minyak Tanah:
PNWJKRB x (HJECKRS - HJECKRB) +
½ x (PNWJKRS - PNWJKRB) x (HJECKRS - HJECKRB)
4. Surplus Produsen Elpiji:
PNWJLGB x (HJECLGS - HJECLGB) +
½ x (PNWJLGS - PNWJLGB) x (HJECLGS - HJECLGB)
5. Surplus Produsen BBM:
169
Surplus Produsen Premium + Surplus Produsen Minyak Solar +
Surplus Produsen Minyak Tanah + Surplus Produsen Elpiji
B. Surplus Konsumen BBM
1. Surplus Konsumen Premium:
KOSJPRB x (HJECPRB - HJECPRS) +
½ x (KOSJPRB - KOSJPRS) x (HJECPRB - HJECPRS)
2. Surplus Konsumen Minyak Solar:
KOSJSLB x (HJECSLB - HJECSLS) +
½ x (KOSJSLB - KOSJSLS) x (HJECSLB- HJECSLS)
3. Surplus Konsumen Minyak Tanah:
KOSJKRB x (HJECKRB - HJECKRS) +
½ x (KOSJKRB - KOSJKRS) x (HJECKRB - HJECKRS)
4. Surplus Konsumen Elpiji :
KOSJLGB x (HJECLGB - HJECLGS) +
½ x (KOSJLGB - KOSJLGS) x (HJECLGB - HJECLGS)
5. Surplus Konsumen BBM:
Surplus Konsumen Premium + Surplus Konsumen Minyak Solar +
Surplus Konsumen Minyak Tanah + Surplus Konsumen Elpiji
C. Perubahan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Perubahan SUBBBM = SUBBBMS - SUBBBMB
D. Perubahan Dampak Bersih
Perubahan Dampak Bersih = Surplus Produsen BBM +
Surplus Konsumen BBM +
Perubahan Subsidi BBM
170
Keterangan: B = nilai dasar/ basis
S = nilai simulasi
4.5. Definisi Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu variabel
kuantitatif dan kualitatif. Variabel kuantitatif dalam rupiah telah diriilkan dengan
Indeks Harga Konsumen (IHK) domestik tahun dasar tahun 2000. Variabel
kuantitatif dalam US$ telah diriilkan dengan IHK Amerika Serikat tahun dasar
tahun 2000. Variabel kualitatif meliputi variabel dummy krisis ekonomi di
Indonesia (KRISIS) dan dummy pemilihan umum presiden di Indonesia (KRISIP).
Rincian Definisi Operasional Variabel disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen
No. Notasi Definisi Variabel Satuan
A. Variabel Endogen
1. PNWJPRt Penawaran Premium Ribu 2. PNWJSLt Penawaran Minyak Solar Ribu 3. PNWJKRt Penawaran Minyak Tanah Ribu 4. PNWJLGt Penawaran Elpiji Ribu Kg/Tahun5. PNWJBMt Penawaran Bahan Bakar Minyak Ribu 6. KOSJPRTt Permintaan Pemium di Sektor Transportasi Ribu 7. KOSJSLTt Permintaan Minyak Solar di Sektor Ribu 8. KOSJSLIt Permintaan Minyak Solar di Sektor Industri Ribu 9. KOSJSLKt Permintaan M. Solar Sektor Rumahtangga Ribu 10. KOSJKRTt Permintaan Minyak Tanah di Sektor Ribu 11. KOSJKRIt Permintaan Minyak Tanah di Sektor Industri Ribu 12. KOSJKRKt Permintaan M.Tanah Sektor Rumahtangga Ribu Liter/Tahun13. KOSJLGIt Permintaan Elpiji di Sektor Industri Ribu Kg/Tahun14. KOSJLGKt Permintaan Elpiji di Sektor Rumahtangga Ribu Kg/Tahun15. KOSJPRt Permintaan Premium Ribu 16. KOSJSLt Permintaan Minyak Solar Ribu 17. KOSJKRt Permintaan Minyak Tanah Ribu 18. KOSJLGt Permintaan Elpiji Ribu Kg/Tahun19. KOSCPRt Permintaan/Konsumsi Premium Rp. 20. KOSCSLt Permintaan/Konsumsi Minyak Solar Rp. 21. KOSCKRt Permintaan/Konsumsi Minyak Tanah Rp. 22. KOSCLGt Permintaan/Konsumsi Elpiji Rp. 23. KOSCBMt Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Rp. 24. HJECPRt Harga Jual Eceran Premium Rp/Liter25. HJECKRt Harga Jual Eceran Minyak Tanah Rp/Liter26. HJECSLt Harga Jual Eceran Minyak Solar Rp/Liter27. HJECLGt Harga Jual Eceran Elpiji Rp/Kg28. IMPJPRt Jumlah Impor Premium Ribu 29. IMPJSLt Jumlah Impor Minyak Solar Ribu 30. IMPJKRt Jumlah Impor Minyak Tanah Ribu 31. IMPRPRt Impor Premium Rp.Miliar/Tahun
171
Tabel 17. Lanjutan
No. Notasi Definisi Variabel Satuan
32. IMPRSLt Impor Minyak Solar Rp. 33. IMPRKRt Impor Minyak Tanah Rp. 34. IMPBBMt Impor Bahan Bakar Minyak Rp. 35. EKSJLGt Jumlah Ekspor Elpiji Ribu Kg/Tahun 36. EKSRLGt Ekspor Elpiji Rp. 37. BOTBBMt Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak Rp. 38. SUBHPRt Subsidi Harga Premium Rp/Liter 39. SUBHSLt Subsidi Harga Minyak Solar Rp/Liter 40. SUBHKRt Subsidi Harga Minyak Tanah Rp/Liter 41. SUBHLGt Subsidi Harga Elpiji Rp/Kg 42. SUBRPRt Subsidi Premium Rp. 43. SUBRSLt Subsidi Minyak Solar Rp. 44. SUBRKRt Subsidi Minyak Tanah Rp. 45. SUBRLGt Subsidi Elpiji Rp. 46. SUBBBMt Subsidi Bahan Bakar Minyak Rp. 47. REVTAXt Penerimaan Pajak Rp. 48. REVDDNt Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah Rp. Miliar/Tahun49. FISCGPt Gap Fiskal Rp. Miliar/Tahun50. KOSNBMt Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Rp. Miliar/Tahun51. KOSNASt Konsumsi Nasional Rp. Miliar/Tahun52. INVRMGt Investasi Minyak dan Gas Bumi Rp. Miliar/Tahun53. INVNMGt Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Rp. Miliar/Tahun54. INVESTt Investasi Nasional Rp. Miliar/Tahun55. GOVENSt Belanja Pemerintah diluar Subsidi BBM Rp. Miliar/Tahun56. GOVEXPt Belanja Pemerintah atau Anggaran Belanja Rp. Miliar/Tahun57. IMPNBMt Impor Non-Bahan Bakar Minyak Rp. 58. IMPORTt Impor Nasional Rp. 59. EKSRLGt Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Rp. 60. EKSPORt Ekspor Nasional Rp. 61. GDPNASt Gross Domestic Product (GDP) Nasional Rp. 62. MONEYSt Jumlah Penawaran Uang Rp. 63. MONEYDt Jumlah Permintaan Uang Rp. 64. NTUKRRt Nilai Tukar Rupiah Rp/US$/Tahun 65. CPINDXt Indeks Harga Konsumen Indeks 66. INTRILt Tingkat Suku Bunga Domestik Persen/Tahun 67. LABORSt Jumlah Penawaran Tenaga Kerja Juta 68. LABORDt Jumlah Permintaan Tenaga Kerja Juta 69. UMRNASt Upah Tenaga Kerja Ribu 70. UNEMPLt Jumlah Pengangguran Juta 71. INFLSIt Tingkat Inflasi Domestik Persen/Tahun 72. NETEKSt Ekspor Bersih Rp. 73. GROWTHt Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Persen/Tahun 74. JOVDESt Penduduk Miskin di Perdesaan Juta 75. JOVKOTt Penduduk Miskin di Perkotaan Juta 76. POVERTt Tingkat Kemiskinan Nasional Persen/Tahun
B. Variabel Eksogen 1. HDUSMBt Harga Dunia Minyak Bumi (dalam US$) US$/Barrel2. HDURMBt Harga Dunia Minyak Bumi (dalam Rupiah) Rp/Ribu Liter 3. HDUSLGt Harga Dunia Elpiji US$/Ton 4. HJECPXt Harga Jual Eceran Pertamax Rp/Liter/Tahun 5. HJECKBt Harga Jual Eceran Kayu Bakar Rp/Ikat/Tahun 6. PROJPRt Produksi Premium Ribu 7. PROJSLt Produksi Minyak Solar Ribu
172
Tabel 17. Lanjutan No. Notasi Definisi Variabel Satuan
8. PROJKRt Produksi Minyak Tanah Ribu 9. PROJLGt Produksi Elpiji Ribu
10. EKSJPRt Ekspor Premium Ribu 11. EKSJSLt Ekspor Minyak Solar Ribu Liter/Tahun12. EKSJKRt Ekspor Minyak Tanah Ribu Liter/Tahun13. IMPJLGt Impor Elpiji Ribu 14. IMPBBLt Impor Bahan Bakar Minyak Lain Ribu 15. KOSJPRLt Permintaan/Konsumsi Premium Lainnya Ribu 16. KOSJSLLt Permintaan/Konsumsi Minyak Solar Sektor Lain- Ribu 17. KOSJKRLt Permintaan/Konsumsi Minyak Tanah Sektor Ribu 18. KOSJLGLt Permintaan/Konsumsi Elpiji Sektor Lain-lain Ribu 19. KOSJBLt Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Lain Ribu 20 KOSCBLt Permintaan/Konsumsi Bahan Bakar Minyak Lain Rp. 21. SUBBBLt Subsidi BBM diluar Premium, M.Tanah, Rp. 22. PNWJBLt Penawaran BBM Selain Premium, M. Tanah, dan Ribu 23. KRODA2t Kendaraan Roda 2 Ribu 24. KRODA4t Kendaraan Roda 4 Ribu 25. KRODA6t Kendaraan Roda 2 dan Roda 4 Ribu 26. KNIAGAt Kendaraan Niaga Ribu 27. POPNASt Populasi Penduduk Indonesia Juta 28. LISTRKt Daya Listrik Terpasang Mega 28. MTIKANt Perahu Motor Tempel Unit/Tahun 30. RTIKANt Rumahtangga Perikanan KK/Tahun 31. CPINDSt Indeks Harga Konsumen Dunia Indeks 32. INFLSSt Tingkat Inflasi Dunia %/Tahun 33. FDINVRt Foreign Direct Investment (dalam Rupiah) Rp. 34. FDINVSt Foreign Direct Investment (dalam US$) US$ 35. DEVISSt Cadangan Devisa US$ 36. BANKIDt Kredit Perbankan Sektor Industri Rp. 37. BANKTLt Kredit Perbankan Total Rp. 38. INVETLt Kredit Investasi Total Rp. 39. KRISIS Dummy Krisis Ekonomi Indonesia 1997-40. KRISIP Dummy Pemilihan Umum 5 Tahun Sekali 41. TRENDD Tren Waktu -
4.6. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder tahunan mulai tahun 1986
sampai dengan 2006, yang dapat dilihat pada Lampiran 14. Instansi sumber data
adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pengatur
Hilir Migas (BPH Migas), Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS),
Badan Pusat Statistik (BPS), International Energy Association (IEA),
International Monetary Fund (IMF), Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS),
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM), dan Bank Indonesia.
173
V. HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA
Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia,
dibahas secara rinci untuk setiap persamaan. Model yang digunakan telah
mengalami beberapa kali perubahan spesifikasi, dan hasil estimasi parameter telah
sesuai dengan kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik. Program estimasi dan
hasil estimasi model selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
5.1. Keragaan Umum Model
Berdasarkan kriteria ekonomi, hasil estimasi parameter setiap persamaan
struktural dalam model sesuai dengan teori ekonomi yang terlihat dari tanda dan
besaran hasil estimasi parameter yang menunjukkan hubungan variabel penjelas
dengan variabel endogennya.
Berdasarkan kriteria statistik, hasil estimasi model menunjukkan indikator
statistik yang relatif baik. Nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing
persamaan struktural dalam model pada berkisar antara 0.61 – 0.99, kecuali untuk
persamaan struktural subsidi harga minyak solar (SUBHSL), nilai tukar rupiah
(NTUKRR), tingkat suku bunga (INTRIL), dan kemiskinan di perkotaan
(JOVKOT). Dengan demikian secara umum variabel penjelas yang dimasukkan
dalam persamaan struktural dalam penelitian ini mampu menjelaskan dengan
cukup baik keragaman variabel endogennya.
Nilai statistik uji-F pada umumnya cukup tinggi, kecuali satu persamaan
yaitu persamaan kemiskinan di perkotaan yang mempunyai nilai statistik uji-F
yang relatif rendah namun nyata yaitu 2.82. Dengan demikian secara keseluruhan
dapat diiterpretasikan bahwa keragaman variabel dalam setiap persamaan
174
struktural secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik keragaman
variabel endogennya masing-masing, pada α sebesar 0.01.
Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel
penjelas yang secara individu tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel
endogennya apabila menggunakan taraf nyata atau α sebesar 1 persen. Namun
dengan taraf nyata yang lebih fleksibel, yaitu α sebesar 20 persen, dapat dilihat
bahwa sebagian besar variabel penjelas dalam setiap persamaan struktural
berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogennya masing-masing.
Nilai Durbin-Watson (DW) berkisar antara 1.1324 sampai dengan 2.9790,
yaitu berturut-turut pada persamaan ekspor elpiji (EKSJLGt) dan persamaan
impor premium (IMPJPRt), yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi.
Masalah ini sering ditemui pada penelitian bidang ekonomi yang disebabkan oleh
keterkaitan antar variabel. Oleh karena model yang disusun dalam penelitian ini
merupakan model di bidang ekonomi, maka untuk kepentingan tersebut,
penelitian ini lebih difokuskan pada kriteria ekonomi dibandingkan kriteria
statistik dan ekonometrik.
Berdasarkan hasil estimasi parameter tersebut, maka model yang
digunakan dalam penelitian ini cukup baik dalam menjelaskan perilaku pasar dan
subsidi harga BBM, kinerja perekonomian, dan kemiskinan di Indonesia.
5.2. Blok Pasar Bahan Bakar Minyak
5.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak
Penawaran BBM adalah persamaan identitas yang meliputi penjumlahan
dari produksi, impor, dan dikurangi ekspor. Persamaan penawaran BBM adalah:
PNWJPRt = PROJPRt + IMPJPRt - EKSJPRt
175
PNWJSLt = PROJSLt + IMPJSLt - EKSJSLt
PNWJKRt = PROJKRt + IMPJKRt - EKSJKRt
PNWJLGt = PROJLGt + IMPJLGt - EKSJLGt
PNWJBMt = PNWJPRt + PNWJSLt + PNWJKRt + PNWJBLt
5.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi persamaan permintaan BBM di sektor transportasi, industri,
dan rumahtangga dan komersial, menunjukkan semua persamaan memiliki daya
penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara
0.86535 hingga 0.99690, artinya keragaman variabel-variabel penjelas dalam
persamaan-persamaan tersebut mampu menjelaskan 86.54 hingga 99.69 persen
keragaman variabel-variabel endogennya. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua
persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01, yang menunjukkan
bahwa pada setiap persamaan variabel penjelas secara bersama-sama dapat
menjelaskan keragaman variabel endogennya secara nyata.
1. Permintaaan Premium oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan premium untuk sektor transportasi
disajikan pada Tabel 18. Data statistik tidak membedakan antara kendaraan roda
empat yang menggunakan bahan bakar bensin dan yang bermesin diesel. Dalam
penelitian ini diasumsikan bahwa semua kendaraan roda empat menggunakan
bensin sebagai bahan bakarnya. Premium bukan substitusi minyak solar dan
sebaliknya, serta penggunaannya bergantung pada jenis mesin kendaraan.
Estimasi parameter harga jual eceran premium sebesar 404.767 dan
mempunyai hubungan yang negatif. Namun demikian, respon permintaan
premium pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran premium bersifat
176
tidak elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil penelitian ini sejalan
dengan temuan yang dikemukakan oleh Storchmann (2005) bahwa elastisitas
jangka panjang permintaan gasoline (premium) terhadap harganya berkisar antara
-0.8 – -1.0, juga temuan Wheaton, 1982 dalam Storchmann, 2005 yaitu sebesar -
0.74, dan temuan Johansson dan Schipper, 1997 dalam Storchmann, 2005 yaitu
sebesar -0.70.
Tabel 18. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Premium oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 1 089 813 0.1068
HJECPR (Harga Jual Eceran Premium) -404.767 0.0912 -0.0642 -0.8775
RHJECPX (Rasio Harga Pertamax) 25 360.13 0.9132 0.0026 0.0350
KRODA6 (Kendaraan Roda Dua dan Empat) 51.52939 0.0243 0.0863 1.1803
LKOSJPRT (Lag Kons. Premium Sek.Transport.) 0.926845 <.0001
Adj-R2 = 0.99690; F-hitung = 1530.79; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.781738
Estimasi parameter jumlah kendaraan roda dua dan empat sebesar 51.529
dan mempunyai hubungan yang searah. Variabel jumlah kendaraan roda dua dan
empat berpengaruh nyata terhadap permintaan premium pada sektor transportasi
dengan elastisitas jangka pendek 0.0863 dan jangka panjang 1.1803.
Selain itu permintaan premium untuk sektor transportasi dipengaruhi
secara nyata oleh variabel bedakalanya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
kendaraan masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena tingginya pengaruh
faktor bedakala tersebut.
2. Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor
transportasi disajikan pada Tabel 19. Estimasi parameter harga jual eceran minyak
177
solar sebesar 827.18 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan
minyak solar pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran minyak solar
tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
Estimasi parameter bedakala jumlah kendaraan niaga sebesar 266.3491
dan mempunyai hubungan yang searah. Respon permintaan minyak solar pada
sektor transportasi terhadap jumlah kendaraan niaga bersifat tidak elastis dalam
jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang.
Tabel 19. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 892 803 0.0576
HJECSL (Harga Jual Eceran Minyak Solar) -827.18 0.0994 -0.0987 -3.5823
LKNIAGA (Lag Kendaraan Niaga) 266.3491 0.1142 0.0739 2.6819
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -752 422 0.0260
LKOSJSLT (Lag Kons. M. Solar Sek.Transport.) 0.972452 <.0001
Adj-R2 = 0.98124; F-hitung = 249.50; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.971382
Ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, permintaan minyak solar
cenderung menurun sebesar 752 422 ribu liter. Hal ini dikarenakan ketika krisis
ekonomi terjadi, sektor perekonomian mengalami kontraksi, tingkat konsumsi
masyarakat turun, dan kegiatan produksi mengalami penurunan. Selain itu
permintaan minyak solar untuk sektor transportasi dipengaruhi oleh bedakalanya
dengan besaran 0.972452.
3. Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor industri
disajikan pada Tabel 20. Estimasi parameter daya listrik terpasang sebesar
167.5038 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon permintaan minyak
178
solar pada sektor industri terhadap daya listrik terpasang bersifat tidak elastis
dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka panjang. Peningkatan daya
listrik terpasang merupakan indikasi dari tingkat kegiatan produksi yang secara
umum memerlukan tenaga listrik.
Tabel 20. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -172 483 0.6452
DHJECSL (Perub. Harga Jual Eceran M. Solar) -103.726 0.8827 -0.0019 -0.0058
LISTRK (Daya Listrik Terpasang) 167.5038 0.0928 0.4027 1.2607
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -800 382 0.0993
LKOSJSLI (Lag Kons. M. Solar Sektor Industri) 0.680545 0.0062
Adj-R2 = 0.97189; F-hitung = 165.21; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.356451
Selain itu ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, maka permintaan
minyak solar pada sektor industri cederung menurun sebesar 800 382 ribu liter.
Kejadian yang serupa terjadi pada permintaan premium, dimana permintaan
premium mengalami penurunan ketika krisis ekonomi terjadi. Krisis ekonomi
menimbulkan dampak kontraksi bagi perekonomian sehingga tingkat produksi
pada umumnya mengalami penurunan. Permintaan minyak solar untuk sektor
industri dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran
0.680545.
4. Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial
Hasil estimasi parameter permintaan minyak solar untuk sektor
rumahtangga dan komersial disajikan pada Tabel 21. Minyak solar merupakan
salah satu sumber bahan bakar kapal nelayan, selain premium dan minyak tanah.
Premium dan minyak tanah umum diketahui untuk kapal nelayan kecil dengan
daya jangkau sekitar pantai. Untuk kapal nelayan besar, sumber utama bahan
179
bakar utama adalah minyak solar, dengan daya jangkau ke lautan lepas.
Rumahtangga nelayan memiliki kapal nelayan kecil dan kapal nelayan besar.
Tabel 21. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Solar oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -285 614 0.0256
HJECSL (Harga Jual Eceran Minyak Solar) -16.9463 0.5708 0.0006 0.0014
RTIKAN (Rumahtangga Nelayan) 0.259371 0.0099 1.1052 2.6745
LKOSJSLK (Lag Kons. M. Solar RT&Komers) 0.586745 0.0002
Adj-R2 = 0.92201; F-hitung = 75.88; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.678387
Ketika jumlah rumahtangga nelayan meningkat sebesar 1 kepala keluarga,
maka akan meningkatkan permintaan minyak solar di sektor rumahtangga dan
komersial sebesar 0.259371 ribu liter, ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan
jangka panjang, permintaan minyak solar di sektor rumahtangga dan komersial
responsif terhadap perubahan jumlah rumahtangga nelayan. Selain itu permintaan
minyak solar untuk sektor rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara nyata
oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.586745.
5. Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor
transportasi disajikan pada Tabel 22. Estimasi parameter harga jual eceran minyak
tanah sebesar 0.23234 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon
permintaan minyak tanah pada sektor transportasi terhadap harga jual eceran
minyak tanah bersifat tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang.
Ketika bedakala jumlah perahu motor tempel meningkat sebesar 1 unit,
maka akan meningkatkan permintaan minyak tanah di sektor transportasi sebesar
180
0.001826 ribu liter, ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang,
permintaan minyak tanah di sektor transportasi tidak responsif terhadap bedakala
jumlah perahu motor tempel. Selain itu, permintaan minyak tanah untuk sektor
transportasi dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran
0.705722.
Tabel 22. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Transportasi Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 615.0396 0.0255
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah) -0.23234 0.1099 -0.0675 -0.2293
LMTIKAN (Lag Perahu Motor Tempel) 0.001826 0.1593 0.0887 0.3014
LKOSJKRT (Lag Kons. M. Tanah Sek.Transport) 0.705722 <.0001
Adj-R2 = 0.87454; F-hitung = 45.15; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.109878
6. Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor industri
disajikan pada Tabel 23. Estimasi parameter bedakala kredit bank di sektor
industri sebesar 0.582187 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon
permintaan minyak tanah pada sektor industri terhadap bedakala jumlah kredit
bank di sektor industri bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan dalam
jangka panjang. Permintaan minyak tanah untuk sektor industri dipengaruhi
secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.729712.
7. Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial
Hasil estimasi parameter permintaan minyak tanah untuk sektor
rumahtangga dan komersial disajikan pada Tabel 24. Estimasi parameter harga
jual eceran minyak tanah sebesar 977.029 dan mempunyai hubungan yang negatif.
Respon permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan komersial
181
terhadap harga jual eceran minyak tanah bersifat tidak elastis dalam jangka
pendek dan dalam jangka panjang.
Tabel 23. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 97 382.2 0.1372
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah) -52.7697 0.2867 -0.0733 -0.2714
LBANKID (Lag Kredit Bank Sektor Industri) 0.582187 0.0324 0.1400 0.5179
LKOSJKRI (Lag Kons. M. Tanah Sek. Industri) 0.729712 <.0001
Adj-R2 = 0.86535; F-hitung = 41.70; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.06525
Tabel 24. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Minyak Tanah oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -5 600 302 0.0111
HJECKR (Harga Jual Eceran Minyak Tanah) -977.029 0.0059 -0.0689 -0.1057
DHJECKB (Perub. Harga Jual Ec. Kayu Bakar) 637.6862 0.5323 0.0014 0.0022
RHJLGKR (Rasio H. J. Ec Elpiji dg. M. Tanah) 78 488.42 0.3387 0.0261 0.0401
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 60 321.3 0.0028 1.3260 2.0354
LKOSJKRK (Lag Kons.M. Tanah RT&Komers.) 0.348502 0.0543
Adj-R2 = 0.96916; F-hitung = 120.41; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.560575
Variabel jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif dan nyata
terhadap variabel permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan
komersial. Respon permintaan minyak tanah pada sektor rumahtangga dan
komersial terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang. Permintaan minyak tanah untuk sektor
rumahtangga dan komersial dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya
dengan besaran 0.348502.
182
8. Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri
Hasil estimasi parameter permintaan elpiji untuk sektor industri disajikan
pada Tabel 25. Estimasi parameter harga jual eceran elpiji tahun sebelumnya
sebesar 32.9607 dan mempunyai hubungan yang negatif. Respon permintaan
elpiji pada sektor industri terhadap harga jual eceran elpiji bersifat tidak elastis
dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.
Estimasi parameter daya listrik terpasang sebesar 9.67065 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon permintaan elpiji pada sektor industri terhadap
daya listrik terpasang bersifat elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Tabel 25. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Industri Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -13 861.6 0.6492
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji) -32.9607 0.1024 -0.3885 -0.8069
LISTRK (Daya Listrik Terpasang) 9.67065 0.0002 1.0030 2.0833
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -65 665.4 0.0079
LKOSJLGI (Lag Konsumsi Elpiji Sek. Industri) 0.518545 0.0014
Adj-R2 = 0.90485; F-hitung = 46.17; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.637818
Ketika krisis ekonomi di Indonesia, permintaan elpiji sektor industri
cenderung menurun sebesar 65 665.4 ribu kg. Permintaan elpiji sektor industri
dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.518545.
9. Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial
Hasil estimasi parameter permintaan elpiji untuk sektor rumahtangga dan
komersial disajikan pada Tabel 26. Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh
positif dan nyata terhadap variabel permintaan elpiji pada sektor rumahtangga dan
komersial. Respon permintaan elpiji pada sektor rumahtangga dan komersial
183
terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Permintaan elpiji untuk sektor rumahtangga dan komersial
dipengaruhi secara nyata oleh bedakalanya dengan besaran 0.439191.
Tabel 26. Hasil Estimasi Parameter Permintaaan Elpiji oleh Sektor Rumahtangga dan Komersial Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept -1 330 336 0.0010
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji) -40.89 0.3960 -0.1957 -0.3489
DHJECKR (Perub. Harga Jual Ec. M. Tanah) 32.74244 0.6750 0.0048 0.0086
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 8 159.952 0.0006 4.3565 7.7683
LKOSJLGK (Lag Kons. Elpiji RT&Komers.) 0.439191 0.0113
Adj-R2 = 0.90835; F-hitung = 48.08; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.676853
10. Permintaan Bahan Bakar Minyak
Permintaan BBM dalam jumlah adalah persamaan identitas yang diperoleh
dari penambahan permintaan BBM di setiap sektor pengguna, yaitu sektor
transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan sektor lainnya
(KOSJPRLt), (KOSJSLLt), (KOSJKRLt), dan (KOSJLGLt). Permintaan BBM
dalam jumlah dikalikan dengan harga jual eceran masing-masing, maka diperoleh
nilai permintaan BBM dalam rupiah. Persamaan permintaan BBM adalah:
KOSJPRt = KOSJPRTt + KOSJPRLt
KOSJSLt = KOSJSLTt + KOSJSLIt + KOSJSLKt + KOSJSLLt
KOSJKRt = KOSJKRTt + KOSJKRIt + KOSJKRKt + KOSJKRLt
KOSJLGt = KOSJLGIt + KOSJLGKt + KOSJLGLt
KOSCPRt = KOSJPRt * HJECPRt
KOSCSLt = KOSJSLt * HJECSLt
KOSCKRt = KOSJKRt * HJECKRt
184
KOSCLGt = KOSJLGt * HJECLGt
KOSCBMt = KOSCPRt + KOCRSLt + KOSCKRt + KOSCLGt
+ KOSCBLt
5.2.3. Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Persamaan harga jual eceran BBM merupakan persamaan identitas yang
merupakan selisih dari harga keekonomian BBM dengan subsidi harganya
masing-masing, sebagaimana disajikan berikut:
HJECPRt = ((HDUSMBt*1.18*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHPRt
HJECSLt = ((HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHSLt
HJECKRt = ((HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRRt)/159) - SUBHKRt
HJECLGt = ((HDUSLGt*NTUKRRt)/1 000) - SUBHLGt
Harga jual eceran BBM dipengaruhi oleh perubahan harga keekonomian
BBM, fluktuasi nilai tukar rupiah, dan subsidi harga BBM.
5.3. Blok Perdagangan Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi persamaan pada blok perdagangan BBM yang meliputi
premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji, menunjukkan semua persamaan
memiliki daya penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang
bernilai antara 0.73965 hingga 0.98561. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua
persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01.
5.3.1. Impor Bahan Bakar Minyak
1. Jumlah Impor Premium
Hasil estimasi parameter jumlah impor premium disajikan pada Tabel 27.
Estimasi parameter Indek Harga Konsumen sebesar 39 025.03 dan mempunyai
185
hubungan yang positif. Respon impor premium terhadap IHK bersifat elastis
dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.
Tabel 27. Hasil Estimasi Parameter Impor Premium Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 281 000 0.7233 LMOPHPR (Lag Harga Keekonomian Premium) -812.799 0.3131 -0.5605 -7.1565
CPINDX (Indeks Harga Konsumen) 39 025.03 0.0747 1.6358 20.8852
TRENDD (Tren Waktu) -140 012 0.2428
LIMPJPR (Lag Impor Premium) 0.921675 0.0003
Adj-R2 = 0.93940; F-hitung = 74.63; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.979014
Keterangan: LMOPHPR = (LHDUSMBt-1*1.18*1.15*LNTUKRRt-1)/159
Impor premium dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya.
Artinya apabila impor premium tahun lalu naik sebesar 1 ribu liter, maka impor
premium pada tahun sekarang akan naik sebesar 0.921675 ribu liter.
2. Jumlah Impor Minyak Solar
Hasil estimasi parameter jumlah impor minyak solar dapat dilihat pada
Tabel 28. Estimasi parameter Indek Harga Konsumen sebesar 38 335.36 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon impor minyak solar terhadap IHK
bersifat tidak elastis dalam jangka pendek mapun dalam jangka panjang.
Tabel 28. Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Solar Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 298 261 0.7217
MOPHSL (Harga Keekonomian Minyak Solar) -509.90 0.6438 -0.1165 -0.1569
CPINDX (Indeks Harga Konsumen) 38 335.36 0.1125 0.4580 0.6166
KNIAGA (Kendaraan Niaga) 881.1056 0.0291 0.3882 0.5226
LIMPJSL (Lag Impor Minyak Solar) 0.257180 0.3892
Adj-R2 = 0.92611; F-hitung = 60.54; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.216671
Keterangan: MOPHSL = (HDUSMBt*1.24*1.15*NTUKRRt)/159
186
Variabel jumlah kendaraan niaga berpengaruh nyata dengan hubungan
yang positif. Artinya apabila ada kenaikan jumlah kendaraan niaga sebesar 1 ribu
unit, maka akan meningkatkan impor minyak solar sebesar 881.1056 ribu liter,
ceteris paribus. Variabel jumlah kendaraan niaga mempunyai elastisitas jangka
pendek sebesar 0.3882 dan jangka panjang sebesar 0.5226.
3. Jumlah Impor Minyak Tanah
Hasil estimasi parameter jumlah impor minyak tanah disajikan pada Tabel
29. Variabel jumlah penduduk Indonesia berpengaruh positif dan nyata terhadap
variabel impor minyak tanah. Artinya apabila jumlah penduduk Indonesia
meningkat sebesar 1 juta jiwa, maka akan mendorong peningkatan impor minyak
tanah sebesar 53 732.84 ribu liter, ceteris paribus. Respon impor minyak tanah
terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Selain itu ketika terjadi pemilu di Indonesia, impor minyak tanah
cenderung meningkat sebesar 366 515.2 ribu liter, ceteris paribus.
Tabel 29. Hasil Estimasi Parameter Impor Minyak Tanah Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -8 404 491 0.0043 MOPHKR (Harga Keekonomian Minyak Tanah) -286.025 0.2782 -0.2162 -0.2271
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 53 732.84 0.0034 5.4461 5.7211
KRISIP (Dummy Pemilu) 366 515.2 0.1630
LIMPJKR (Lag Impor Minyak Tanah) 0.048066 0.8543
Adj-R2 = 0.73965; F-hitung = 14.49; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.938421
Keterangan: MOPHKR = (HDUSMBt*1.31*1.15*NTUKRR)/159
5.3.2. Ekspor Bahan Bakar Minyak
Ekspor BBM diwakili oleh jumlah ekspor elpiji. Hasil estimasi parameter
jumlah ekspor elpiji disajikan pada Tabel 30. Estimasi parameter produksi elpiji
187
sebesar 1.10452 dan mempunyai hubungan yang positif. Produksi elpiji
berpengaruh nyata terhadap ekspor elpiji dengan elastisitas jangka pendek dan
jangka panjang masing-masing sebesar 1.4269.
Tabel 30. Hasil Estimasi Parameter Ekspor Elpiji Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -255 591 0.0511
LHDUHLG (Lag Harga Dunia Elpiji) 137.9002 0.0973 0.0932 0.0933
PROJLG (Produksi Elpiji) 1.10452 <.0001 1.4269 1.4269
TRENDD (Tren Waktu) -58 639.1 <.0001
KRISIP (Dummy Pemilu) -27 176.7 0.5870
LEKSJLG (Lag Ekspor Elpiji) 0.000699 0.9909
Adj-R2 = 0.98561; F-hitung = 261.24; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.132411
Estimasi parameter bedakala harga dunia elpiji sebesar 137.9002 dan
mempunyai hubungan yang positif. Bedakala harga dunia elpiji berpengaruh
secara nyata terhadap ekspor elpiji dengan elastisitas jangka pendek 0.0932 dan
jangka panjang 0.0933. Tren waktu berpengaruh negatif terhadap ekspor elpiji.
Artinya dengan waktu yang berjalan, ekspor elpiji mempunyai kecenderungan
menurun sebesar 58 639.1 ribu kg, ceteris paribus.
5.3.3. Ekspor Bersih Bahan Bakar Minyak
Nilai ekspor BBM merupakan persamaan identitas yang hanya terdiri dari
nilai ekspor elpiji (EKSRLGt), yang diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah
ekspor elpiji dengan harga internasional elpiji, yaitu:
EKSRLGt = EKSJLGt * HDUSLG
Nilai impor BBM adalah persamaan identitas yang diperoleh dari
penjumlahan nilai impor premium (IMPRPRt), minyak solar (IMPRSLt), minyak
tanah (IMPRKRt), elpiji (IMPRLGt), dan BBM lainnya (aviation turbine, aviation
gasoline, minyak diesel, dan minyak bakar) (IMPBBLt). Nilai impor masing-
188
masing jenis BBM diperoleh dari perkalian antara jumlah impor dengan harga
dunia masing-masing BBM, yaitu:
IMPRPRt = IMPJPRt *1.18*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000
IMPRSLt = IMPJPRt *1.24*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000
IMPRKRt = IMPJKRt *1.31*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000
IMPBBMt = IMPRPRt + IMPRSLt + IMPRKRt +IMPRLGt+ IMPBBLt
Ekspor bersih BBM (BOTBBMt) adalah persamaan identitas yang
merupakan hasil pengurangan dari ekspor BBM (EKSRLGt) dengan impor BBM
(IMPBBMt), yaitu:
BOTBBMt = EKSRLGt - IMPBBMt
5.4. Blok Fiskal
Hasil estimasi persamaan pada blok fiskal yang meliputi subsidi harga
premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji, belanja pemerintah non-subsidi
BBM, dan penerimaan pajak, menunjukkan semua persamaan memiliki daya
penjelas tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara
0.54872 hingga 0.94376. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan
mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01.
5.4.1 Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
1. Subsidi Harga Premium
Hasil estimasi parameter subsidi harga premium disajikan pada Tabel 31.
Estimasi parameter harga dunia premium sebesar 19.2383 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon subsidi harga premium terhadap harga dunia
premium bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 13.2903 dan dalam jangka
panjang sebesar 19.8224.
189
Selain itu estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.165753 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon subsidi harga premium terhadap nilai
tukar rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 13.88849 dan dalam
jangka panjang sebesar 20.7093.
Tabel 31. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Premium Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -1 674.94 0.005
MOPSPR (Harga Dunia Premium) 19.2383 0.076 13.2903 19.8224
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) 0.165753 0.005 13.8849 20.7093
REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri) -0.00025 0.880 -0.6272 -0.9354
LSUBHPR (Lag Subsidi Harga Premium) 0.329533 0.088
Adj-R2 = 0.76550; F-hitung = 16.51; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.845917
Keterangan: MOPSPR = (HDUSMBt*1.18) (dalam US$/barrel)
Subsidi harga premium dipengaruhi secara nyata oleh variabel
bedakalanya. Artinya apabila subsidi harga premium tahun lalu naik sebesar Rp. 1
per liter, maka subsidi harga premium akan naik sebesar Rp. 0.329533 per liter
pada tahun sekarang.
2. Subsidi Harga Minyak Solar
Hasil estimasi parameter subsidi harga minyak solar disajikan pada Tabel
32. Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.132112 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon subsidi harga minyak solar terhadap nilai tukar
rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 3.1730 dan dalam jangka
panjang sebesar 3.9914.
3. Subsidi Harga Minyak Tanah
Hasil estimasi parameter subsidi harga minyak tanah disajikan pada Tabel
33. Estimasi parameter harga dunia minyak tanah sebesar 27.50348 dan
190
berhubungan positif. Respon subsidi harga minyak tanah terhadap harga dunia
minyak tanah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 2.4153 dan dalam
jangka panjang sebesar 2.8076.
Tabel 32. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Solar Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -765.783 0.0795
MOPSSL (Harga Dunia Minyak Solar) 8.272682 0.3509 1.7401 2.1889
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) 0.132112 0.0121 3.1730 3.9914
DREVDDN (Perub. Penerimaan Dalam Negeri) 0.001276 0.6396 0.9178 1.1545
LSUBHSL (Lag Subsidi Harga Minyak Solar) 0.205053 0.3392
Adj-R2 = 0.54872; F-hitung = 6.78; Pr > F bernilai 0.0025; DW = 1.673092
Keterangan: MOPSSL = (HDUSMBt*1.24) (dalam US$/barrel)
Tabel 33. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Minyak Tanah Tahun 1986-2006
Variabel
ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -1 506.28 <.0001
MOPSKR (Harga Dunia Minyak Tanah) 27.50348 0.0014 2.4153 2.8076
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) 0.18639 0.0002 1.7659 2.0527
REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri) 0.000998 0.4704 0.2832 0.3291
LSUBHKR (Lag Subsidi Harga Minyak Tanah) 0.13972 0.3236
Adj-R2 = 0.86408; F-hitung = 31.20; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.943414
Keterangan: MOPSKR = (HDUSMBt*1.31) (dalam US$/barrel)
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.18639 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon subsidi harga minyak tanah terhadap nilai tukar
rupiah bersifat elastis, dalam jangka pendek sebesar 1.7659 dan dalam jangka
panjang sebesar 2.0507.
4. Subsidi Harga Elpiji
Hasil estimasi parameter subsidi harga elpiji disajikan pada Tabel 34.
Estimasi parameter harga dunia elpiji sebesar 2.47841 dan mempunyai hubungan
191
yang positif. Respon subsidi harga elpiji terhadap harga dunia elpiji bersifat tidak
elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tabel 34. Hasil Estimasi Parameter Subsidi Harga Elpiji Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -1 808.81 0.0695
HDUSLG (Harga Dunia Elpiji) 2.47841 0.0445 0.5133 0.7611
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) 0.13000 0.0333 0.7337 1.0878
RREVDDN (Rasio Penerimaan Dalam Negeri) 153.1878 0.8201 0.1467 0.2174
LSUBHLG (Lag Subsidi Harga Elpiji) 0.325504 0.1167
Adj-R2 = 0.61762; F-hitung = 8.67; Pr > F bernilai 0.0008; DW = 1.816376 Keterangan: HDUSLG = Harga ekspor LPG Indonesia (dalam US$/000 kg) = Harga dunia elpiji
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 0.13000 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon subsidi harga elpiji terhadap nilai tukar rupiah
bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan menjadi elastis dalam jangka
panjang dengan koefisien elastisitas sebesar 1.0878.
Subsidi harga elpiji dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya.
Artinya apabila subsidi harga elpiji tahun lalu naik sebesar Rp. 1 per kg, maka
subsidi harga elpiji pada tahun sekarang akan naik sebesar Rp. 0.325504 per kg.
5. Subsidi Bahan Bakar Minyak
Nilai subsidi merupakan persamaan identitas berupa penjumlahan nilai
subsidi premium (SUBRPRt), subsidi minyak solar (SUBRSLt), subsidi minyak
tanah (SUBRKRt), subsidi elpiji (SUBRLGt), dan subsidi BBM lainnya
(SUBBBLt), yang tersaji berikut ini:
SUBRPRt = SUBHPRt * HJECPRt
SUBRSLt = SUBHSLt * HJECSLt
SUBRKRt = SUBHKRt * HJECKRt
SUBRLGt = SUBHLGt * HJECLGt
192
SUBBBMt = SUBRPRt + SUBRSLt + SUBRKRt +
SUBRLG + SUBBBLt
5.4.2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
1. Penerimaan Pajak
Hasil estimasi parameter nilai penerimaan pajak disajikan pada Tabel 35.
Nilai penerimaan pajak dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya, yaitu
apabila penerimaan pajak tahun lalu naik sebesar Rp. 1 miliar, maka penerimaan
pajak tahun sekarang akan naik sebesar Rp. 0.929618 miliar.
Tabel 35. Hasil Estimasi Parameter Penerimaan Pajak Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -105.437 0.9909
LGDPNAS (Lag GDP Nasional) 0.01561 0.3707 0.1544 2.1944
KRISIP (Dummy Pemilu) -1 982.86 0.7835
LREVTAX (Lag Penerimaan Pajak) 0.929618 <.0001
Adj-R2 = 0.94376; F-hitung = 107.27; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.673793
2. Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah
Persamaan penerimaan dalam negeri pemerintah (REVDDNt) adalah
penjumlahan dari penerimaan pajak (REVTAXt) dengan penerimaan diluar pajak
(REVNTXt), yaitu:
REVDDNt = REVTAXt + REVNTXt
5.4.3. Gap Fiskal
Persamaan gap fiskal dalam negeri (FISCGPt) adalah persamaan identitas
yang merupakan hasil pengurangan dari penerimaan dalam negeri pemerintah
(REVDDNt) dengan belanja pemerintah atau anggaran belanja negara
(GOVEXPt), yaitu:
FISCGPt = REVDDNt - GOVEXPt
193
5.5. Blok Permintaan Agregat
Hasil estimasi persamaan pada blok permintaan agregat yang meliputi
konsumsi non-BBM, investasi migas, investasi non-migas, ekspor non-BBM,
impor non-BBM, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi,
terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.82190 hingga
0.99114. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr >
F bernilai alpha < 0.01.
5.5.1. Konsumsi Nasional
1. Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter nilai konsumsi non-BBM disajikan pada Tabel
36. Nilai konsumsi non-BBM dipengaruhi secara nyata oleh variabel tingkat
inflasi dengan hubungan yang negatif. Artinya apabila terjadi peningkatan tingkat
inflasi sebesar 1 persen, maka nilai konsumsi nasional non-BBM akan menurun
sebesar Rp. 14 969 miliar, ceteris paribus. Baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, variabel ini bersifat inelastis.
Tabel 36. Hasil Estimasi Parameter Konsumsi Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -705 965 0.1744
INFLSI (Tingkat Inflasi) -14 969.3 0.0067 -0.2642 -0.6047
INTRIL (Tingkat Suku Bunga) -15 241.7 0.0058 -0.1547 -0.3541
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 6 422.242 0.0420 1.9716 4.5129
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) 99 778.84 0.0419
LKOSNBM (Lag Kons. Non-BBM) 0.56312 0.0044
Adj-R2 = 0.99114; F-hitung = 426.28; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.180638
Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 15 241.7 dan mempunyai
hubungan yang positif. berpengaruh nyata secara statistik dengan hubungan yang
194
negatif. Respon nilai konsumsi non-BBM terhadap tingkat suku bunga bersifat
inelastis, baik jangka panjang dan jangka pendek.
Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 6 422.242 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon nilai konsumsi non-BBM terhadap
jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis, baik dalam jangka panjang dan jangka
pendek. Ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, nilai konsumsi non-BBM
cenderung meningkat sebesar Rp. 99 778.84 miliar. Tampaknya fenomena ini
terjadi karena inflasi yang tinggi, sehingga nilai konsumsi non-BBM dalam rupiah
meningkat, meskipun konsumsi non-BBM dalam jumlah ternyata berkurang.
Bedakala nilai konsumsi non-BBM berpengaruh nyata dengan besaran 0.56312.
2. Konsumsi Nasional
Nilai konsumsi nasional adalah penjumlahan dari nilai konsumsi BBM dan
nilai konsumsi non-BBM. Persamaan nilai konsumsi nasional menjadi adalah:
KOSNASt = KOSCBMt + KOSNBMt
5.5.2. Investasi Nasional
1. Investasi Minyak dan Gas Bumi
Hasil estimasi parameter nilai investasi migas disajikan pada Tabel 37.
Estimasi parameter perubahan tingkat suku bunga sebesar 413.781 dan
mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai investasi migas terhadap
perubahan tingkat suku bunga bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan
dalam jangka panjang.
2. Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi
Hasil estimasi parameter nilai investasi non-migas disajikan pada Tabel
38. Estimasi parameter bedakala tingkat suku bunga sebesar 3 677.4 dan
195
mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai investasi non-migas terhadap
bedakala tingkat suku bunga bersifat inelastis dalam jangka pendek dan menjadi
elastis dalam jangka panjang.
Tabel 37. Hasil Estimasi Parameter Investasi Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -60 545.3 0.6440
DINTRIL (Perub. Tingk. Suku Bunga) -413.781 0.0011 -0.0013 -0.0020
RFDINVS (Rasio FDI dg. Lag FDI) 199.603 0.5084 0.0120 0.0177
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 400.891 0.6067 2.6925 3.9740
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) 5 799.113 0.2486
TRENDD (Tren Waktu) 74.53277 0.9736
LINVRMG (Lag Invest. Minyak dan Gas Bumi) 0.322453 0.2347
Adj-R2 = 0.91069; F-hitung = 33.29; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.858617
Tabel 38. Hasil Estimasi Parameter Investasi Non-Minyak dan Gas Bumi Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t|Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 138 173.5 0.0005
LINTRIL (Lag Tingkat Suku Bunga) -3 677.4 0.0010 -0.1224 -4.1740
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$) -16.4365 0.0043 -0.4970 -16.9480
TRENDD (Tren Waktu) 430.3034 0.7431
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -93 414.8 0.0013
LINVNMG (Lag Invest.Non-Minyak&Gas Bumi) 0.970674 <.0001
Adj-R2 = 0.89292; F-hitung = 32.69; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.460511
Estimasi parameter bedakala nilai tukar rupiah sebesar 16.4365 dan
mempunyai hubungan yang negatif. Respon investasi non-migas terhadap
bedakala nilai tukar rupiah bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis
dalam jangka panjang.
Selain itu dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, maka nilai
investasi non-migas akan cenderung menurun sebesar Rp. 93 414.8 miliar. Nilai
196
investasi non-migas dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya dengan
besaran 0.970674.
3. Investasi Nasional
Nilai investasi nasional adalah persamaan identitas yang diperoleh dari
penjumlahan nilai investasi migas dan nilai investasi non-migas.
INVESTt = INVRMGt + INVNMGt
5.5.3. Belanja Pemerintah
1. Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter belanja pemerintah non-subsidi BBM disajikan
pada Tabel 39. Estimasi parameter penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar
0.993385 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon belanja pemerintah
non-subsidi BBM terhadap penerimaan dalam negeri pemerintah bersifat tidak
elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
Tabel 39. Hasil Estimasi Parameter Belanja Pemerintah Non-Subsidi Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 21 295.93 0.4847 REVDDN (Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah) 0.993385 0.0008 0.9193 1.0333
INFLSI (Tingkat Inflasi) 2 183.588 <.0001 0.1248 0.1403
TRENDD (Tren Waktu) -4 583.55 0.2063
LGOVENS (Lag Blnja Pemerintah Non-BBM) 0.110305 0.5063
Adj-R2 = 0.89218; F-hitung = 40.31; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.163919
Hasil estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 2 183.588 dan dengan
hubungan yang positif. Respon belanja pemerintah non-subsidi BBM terhadap
tingkat inflasi bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek mapun dalam
jangka panjang.
197
2. Belanja Pemerintah
Persamaan nilai belanja pemerintah atau anggaran belanja negara adalah:
GOVEXPt = GOVENSt + SUBBBMt
5.5.4. Impor Nasional
1. Impor Non-Bahan Bakar Minyak
Pada Tabel 40 disajikan hasil estimasi parameter impor non-BBM.
Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 2 088.257 dan berhubungan positif.
Baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, respon impor non-BBM terhadap
tingkat inflasi bersifat tidak elastis.
Tabel 40. Hasil Estimasi Parameter Impor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -901 589 0.0628
CPINDS (Indeks Harga Konsumen Dunia) -3 010.86 0.5401 -1.3252 -1.4347
INFLSI (Tingkat Inflasi) 2 088.257 0.1495 0.1151 0.1246
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$) -13.7374 0.0668 -0.3898 -0.4220
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 7 165.514 0.1259 6.8705 7.4383
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -8 795.08 0.8915
LIMPNBM (Lag Impor Non-BBM) 0.076328 0.7804
Adj-R2 = 0.82190; F-hitung = 15.61; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.613397
Estimasi parameter bedakala nilai tukar rupiah sebesar 13.7374 dan
mempunyai hubungan yang negatif. Respon nilai impor non-BBM terhadap
bedakala nilai tukar rupiah bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 7 165.514 dan
mempunyai hubungan yang positif. Baik dalam jangka pendek dan panjang,
respon nilai impor non-BBM terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis.
198
2. Impor Nasional
Nilai impor nasional merupakan persamaan identitas yang berasal dari
penjumlahan nilai impor BBM dan nilai impor non-BBM.
IMPORTt = IMPBBMt + IMPNBMt
5.5.5. Ekspor Nasional
1. Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak
Hasil estimasi parameter nilai ekspor non-BBM disajikan pada Tabel 41.
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 45.68434 dan dengan hubungan
yang positif. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, variabel ini
bersifat tidak elastis.
Tabel 41. Hasil Estimasi Parameter Ekspor Non-Bahan Bakar Minyak Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -142 862 0.0967
INFLSS (Tingkat Inflasi Dunia) 11 213.69 0.2245 0.1090 0.4842
CPINDX (Indeks Harga Konsumen) -221.617 0.7067 -0.0517 -0.2296
DNTUKRR (Perubahan Nilai Tukar Rp/US$) 45.68434 <.0001 0.0428 0.1901
PNWJBM (Penawaran BBM) 0.004252 0.0449 0.6573 2.9207
LEKSNBM (Lag Ekspor Non-BBM) 0.774934 <.0001
Adj-R2 = 0.97361; F-hitung = 141.21; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.422699
Estimasi parameter penawaran BBM sebesar 0.004252 dengan hubungan
yang positif. Respon ekspor non-BBM terhadap penawaran BBM bersifat tidak
elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Hal ini sejalan
dengan temuan Siddiqui (2004) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan
timbal balik antara ketersediaan energi dengan kapasitas intensitas kegiatan
ekonomi. Peningkatan ketersediaan energi akan cenderung merangsang kegiatan
ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi, termasuk kegiatan ekspor.
199
Nilai ekspor non-BBM dipengaruhi secara nyata oleh variabel
bedakalanya. Apabila nilai ekspor non-BBM tahun lalu naik sebesar Rp. 1 miliar,
maka nilai ekspor non-BBM pada tahun sekarang akan naik Rp. 0.774934 miliar.
2. Ekspor Nasional
Nilai ekspor nasional merupakan persamaan identitas yang terdiri dari nilai
ekspor BBM dan nilai ekspor non-BBM. Persamaan nilai ekspor BBM hanya
meliputi nilai ekspor elpiji, karena ekspor premium, minyak solar, dan minyak
tanah pada periode tahun 1986-2006 sangat kecil dan dapat diabaikan.
EKSPORt = EKSRLGt + EKSNBMt
5.5.6. GDP Nasional
Nilai Gross Domestic Product (GDP) nasional adalah persamaan identitas,
yang merupakan penjumlahan dari konsumsi nasional, investasi nasional, belanja
pemerintah, ekspor nasional, dan dikurangi dengan impor nasional, yaitu:
GDPNASt = KOSNASt + INVESTt + GOVEXPt + NETEKSt
5.6. Blok Moneter
Hasil estimasi persamaan pada blok moneter yang meliputi penawaran
uang, permintaan uang, nilai tukar rupiah, indek harga konsumen, dan tingkat
suku bunga, menunjukkan semua persamaan memiliki daya penjelas tinggi,
terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai antara 0.51186 hingga
0.99299. Dilihat dari hasil statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr >
F bernilai alpha < 0.01.
1. Penawaran Uang
Hasil estimasi parameter penawaran uang disajikan pada Tabel 42.
Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 2 571.971 dan mempunyai
200
hubungan yang positif. Respon penawaran uang terhadap tingkat suku bunga
bersifat tidak elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam panjang.
Estimasi parameter GDP nasional sebesar 0.332875 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon penawaran uang terhadap GDP nasional bersifat
tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
Tabel 42. Hasil Estimasi Parameter Penawaran Uang Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -144 069 0.0020
INTRIL (Tingkat Suku Bunga) 2 571.971 0.0113 0.0323 0.1100
GDPNAS (GDP Nasional) 0.332875 0.0012 0.8186 2.7840
BANKTL (Total Kredit) 0.187252 <.0001 0.1341 0.4562
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -27 775.3 0.3431
TRENDD (Tren Waktu) -15 802.2 0.0070
LMONEYS (Lag Penawaran Uang) 0.705972 <.0001
Adj-R2 = 0.99299; F-hitung = 449.42; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.626985
Estimasi parameter total kredit bank sebesar 0.187252 dan mempunyai
hubungan yang positif. Baik dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang,
respon penawaran uang terhadap variabel ini bersifat tidak elastis.
Seiring dengan berjalannya waktu penawaran uang cenderung menurun
sebesar Rp. 15 802.2 miliar. Penurunan jumlah penawaran uang tampaknya bukan
disebabkan oleh penurunan kapasitas kegiatan ekonomi, tapi oleh semakin
luasnya penggunaan uang “plastik” berupa kartu kredit atau kartu debit. Sistem
perbankan yang semakin maju dan berkembang memberi peluang bagi masyarakat
untuk tidak memegang uang “cash” seperti biasa, namun tetap dapat melakukan
transaksi dan kegiatan bisnis lainnya. Penawaran uang dipengaruhi secara nyata
oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.705972.
201
2. Permintaan Uang
Hasil estimasi parameter permintaan uang disajikan pada Tabel 43.
Estimasi parameter tingkat suku bunga sebesar 2 904.01 dan mempunyai
hubungan yang negatif. Respon permintaan uang terhadap tingkat suku bunga
bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Tabel 43. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Uang Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 139 390.8 0.0205
INTRIL (Tingkat Suku Bunga) -2 904.01 0.1917 -0.0352 -0.0420
NTUKRR (Nilai Tukar Rp/US$) -31.9808 0.0049 -0.3641 -0.4352
MONEYS (Penawaran Uang) 1.025931 0.0044 0.9877 1.1805
LMONEYD (Lag Permintaan Uang) 0.163295 0.6067
Adj-R2 = 0.96411; F-hitung = 128.60; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.949389
Estimasi parameter nilai tukar rupiah sebesar 31.9808 dan mempunyai
hubungan yang negatif. Respon permintaan uang terhadap nilai tukar rupiah
bersifat tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Estimasi parameter penawaran uang sebesar 1.025931 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon permintaan uang terhadap penawaran uang
bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
3. Nilai Tukar Rupiah
Hasil estimasi parameter nilai tukar rupiah disajikan pada Tabel 44.
Estimasi parameter FDI sebesar 0.16761 dan mempunyai hubungan yang negatif.
Respon nilai tukar rupiah terhadap nilai FDI bersifat tidak elastis, baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Estimasi parameter perubahan
cadangan devisa sebesar 0.20648 dan mempunyai hubungan negatif. Respon nilai
202
tukar rupiah terhadap perubahan cadangan devisa bersifat inelastis, baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang.
Tabel 44. Hasil Estimasi Parameter Nilai Tukar Rupiah Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 5 270.346 0.0025
CPIN_2 (Rasio IHK dg. IHK Dunia) 1 450.247 0.2163 0.1769 0.1854
FDINVS (Foreign Direct investment) -0.16761 0.0996 -0.0703 -0.0737
DDEVISS (Perubahan Cadangan Devisa) -0.20648 0.0518 -0.0388 -0.0407
LNTUKRR (Lag Nilai Tukar Rp/US$) 0.04588 0.8572
Adj-R2 = 0.57913; F-hitung = 7.54; Pr > F bernilai 0.0015; DW = 1.771635
4. Indeks Harga Konsumen
Hasil estimasi parameter indeks harga konsumen disajikan pada Tabel 45.
Estimasi parameter harga tertimbang premium, minyak tanah, dan minyak solar
sebesar 0.007563 dan mempunyai hubungan yang positif. Respon indeks harga
konsumen terhadap harga tertimbang premium, minyak tanah, dan minyak solar
bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.
Tabel 45. Hasil Estimasi Parameter Indeks Harga Konsumen Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -11.8457 0.0593 HTMCPK (Harga Rata-rata Tertimbang Premium, Minyak Solar, dan Minyak Tanah) 0.007563 0.1431 0.1088 1.0635
LMONEYS (Lag Penawaran Uang) 0.000037 0.0069 0.2433 2.3791
LCPINDX (Lag Indeks Harga Konsumen) 0.897738 <.0001
Adj-R2 = 0.98814; F-hitung = 528.80; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 1.717795
Estimasi parameter bedakala penawaran uang sebesar 0.000037 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon indeks harga konsumen terhadap
bedakala penawaran uang bersifat tidak elastis dalam jangka pendek dan elastis
203
dalam jangka panjang. Di samping itu indeks harga konsumen dipengaruhi secara
nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.897738.
5. Tingkat Suku Bunga
Hasil estimasi parameter tingkat suku bunga disajikan pada Tabel 46.
Apabila terjadi krisis ekonomi, maka tingkat suku bunga akan cenderung turun
sebesar 21.304 persen, ceteris paribus.
Tabel 46. Hasil Estimasi Parameter Tingkat Suku Bunga Tahun 1986-2006
Variabel Parameter Estimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 1.203584 0.9537
MONEYS (Penawaran Uang) -6.16E-06 0.4659 -0.4898 -
RMONEYD (Rasio Permint Uang thd. Lag-nya) 9.420449 0.5818 1.5295 -
DINVEST (Perubahan Investasi) 3.68E-06 0.9538 0.0050 -
KRISIS (Dummy Krisis Ekonomi) -21.304 0.0071
Adj-R2 = 0.51186; F-hitung = 5.98; Pr > F bernilai 0.0044; DW = 2.451757
5.7. Blok Pasar Tenaga Kerja
Hasil estimasi persamaan pada blok pasar tenaga kerja yang meliputi
penawaran dan permintaan tenaga kerja dan upah tenaga kerja, menunjukkan
semua persamaan memiliki daya penjelas cukup tinggi, terlihat dari nilai koefisien
determinasi (R2) yang bernilai antara 0.61627 hingga 0.98295. Dilihat dari hasil
statistik uji-F, semua persamaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01.
1. Penawaran Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter penawaran tenaga kerja disajikan pada Tabel 47.
Estimasi parameter jumlah penduduk Indonesia sebesar 0.382762 dan mempunyai
hubungan yang positif. Respon penawaran tenaga kerja terhadap jumlah penduduk
Indonesia mempunyai nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.8434 dan jangka
panjang sebesar 1.6439. Selain itu penawaran tenaga kerja dipengaruhi secara
nyata oleh variabel bedakalanya dengan besaran 0.48698.
204
Tabel 47. Hasil Estimasi Parameter Penawaran Tenaga Kerja Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) -29.896 0.0574
UMRNAS (Upah Tenaga Kerja) 0.002136 0.4811 0.0141 0.0275
POPNAS (Jumlah Penduduk Indonesia) 0.382762 0.0523 0.8434 1.6439
DGOVENS (Perub. Belanja Pem. Non-BBM) 5.67E-06 0.4628 -0.0055 -0.0108
LLABORS (Lag Penawaran Tenaga Kerja) 0.48698 0.0657
Adj-R2 = 0.98295; F-hitung = 274.86; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.176923
2. Permintaan Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter permintaan tenaga kerja disajikan pada Tabel 48.
Estimasi parameter GDP nasional sebesar 6.68 x 10-6 dan mempunyai hubungan
positif. Respon permintaan tenaga kerja terhadap GDP nasional mempunyai nilai
elastisitas jangka pendek sebesar 0.1013 dan jangka panjang sebesar 0.2640.
Permintaan tenaga kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabel bedakalanya
dengan besaran 0.616336.
Tabel 48. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Tenaga Kerja Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 25.24131 0.1024
LUMRNAS (Lag Upah Tenaga Kerja) -0.00058 0.8659 -0.0039 -0.0101
GDPNAS (GDP Nasional) 6.68E-06 0.1576 0.1013 0.2640
LLABORD (Lag Permintaan Tenaga Kerja) 0.616336 0.0188
Adj-R2 = 0.95585; F-hitung = 138.13; Pr > F bernilai < 0.0001; DW = 2.751762
3. Upah Tenaga Kerja
Hasil estimasi parameter upah tenaga kerja disajikan pada Tabel 49.
Estimasi parameter bedakala penawaran tenaga kerja sebesar 31.8223 dan
mempunyai hubungan yang negatif. Respon upah tenaga kerja terhadap bedakala
205
penawaran tenaga kerja bersifat elastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang.
Seiring dengan berjalannya waktu, upah tenaga kerja meningkat sebesar
Rp. 62.27182 per bulan. Upah tenaga kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabel
bedakalanya dengan besaran 0.721639.
Tabel 49. Hasil Estimasi Parameter Upah Tenaga Kerja Tahun 1986-2006
Variabel
ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 2 247.657 0.0417
LLABORS (Lag Penawaran Tenaga Kerja) -31.8223 0.0538 -4.5350 -16.2916
DLABORD (Perub. Permintaan Tenaga Kerja) 2.084503 0.8463 0.0165 0.0592
KRISIP (Dummy Pemilu) 53.38795 0.2271
TRENDD (Tren Waktu) 62.27182 0.0560
LUMRNAS (Lag Upah Tenaga Kerja) 0.721639 0.0002
Adj-R2 = 0.61627; F-hitung = 7.10; Pr > F bernilai 0.0017; DW =1.864732
5.8. Blok Kinerja Perekonomian
1. Jumlah Pengangguran
Persamaan pengangguran di Indonesia (UNEMPLt) adalah:
UNEMPLt = LABORSt - LABORDt
2. Tingkat Inflasi Domestik
Persamaan tingkat inflasi domestik (INFLSIt) adalah:
INFLSIt = (CPINDXt - CPINDXt-1) / CPINDXt-1 * 100
3. Ekspor Bersih
Persamaan ekspor bersih atau Balance of Trade (NETEKSt) adalah:
NETEKSt = EKSPORt - IMPORTt
4. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Persamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia (GROWTHt) adalah:
206
GROWTHt = (GDPNASt - GDPNASt-1 ) / GDPNASt-1 * 100
5.9. Blok Kemiskinan
Hasil estimasi persamaan pada blok kemiskinan yang meliputi kemiskinan
di perdesaan dan perkotaan, menunjukkan semua persamaan memiliki daya
penjelas cukup tinggi, terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai
antara 0.36550 hingga 0.64139. Dilihat dari hasil statistik uji-F, persamaan
kemiskinan di perdesaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha < 0.01 dan
persamaan kemiskinan di perkotaan mempunyai nilai Pr > F bernilai alpha > 0.01.
1. Kemiskinan di Perdesaan
Hasil estimasi parameter jumlah penduduk miskin di perdesaan disajikan
pada Tabel 50. Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 0.133437 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon kemiskinan di perdesaan terhadap
tingkat inflasi mempunyai nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.0548 dan
jangka panjang sebesar 0.1379.
Tabel 50. Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perdesaan Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 8.885239 0.3401
INFLSI (Tingkat Inflasi) 0.133437 0.0132 0.0548 0.1379
LGOVEXP (Lag Belanja Pemerintah) -0.000020 0.2829 -0.1442 -0.3629
UNEMPL (Jumlah Pengangguran) 0.356018 0.2702 0.0699 0.1758
HJECKB (Harga Jual Eceran Kayu Bakar) 0.002710 0.6439 0.0751 0.1888
LJOVDES (Lag Jumlah Penduduk Miskin Desa) 0.602540 0.0014
Adj-R2 = 0.64139; F-hitung = 7.80; Pr > F bernilai 0.0011; DW = 1.922797
Di dalam penelitian ini, inflasi merupakan pertumbuhan dari Indeks Harga
Konsumen yang salah satunya dipengaruhi oleh harga tertimbang dari premium,
minyak solar, dan minyak tanah. Seperti yang dinyatakan oleh Hasan, Sugema,
207
dan Ritonga (2005) bahwa kenaikan harga BBM meskipun diikuti dengan
program kompensasi dengan efektivitas sebagaimana yang terekam dari data
SUSENAS tahun 2004, tidak mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan.
Selain itu jumlah penduduk miskin di perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh
variabel bedakalanya dengan besaran 0.602540.
2. Kemiskinan di Perkotaan
Hasil estimasi parameter jumlah penduduk miskin di perkotaan disajikan
pada Tabel 51. Estimasi parameter tingkat inflasi sebesar 0.135014 dan
mempunyai hubungan yang positif. Respon kemiskinan di perkotaan terhadap
inflasi bersifat tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tabel 51. Hasil Estimasi Parameter Kemiskinan di Perkotaan Tahun 1986-2006
Variabel ParameterEstimasi
Pr > |t| Elastisitas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Intercept (Intersep) 12.30025 0.0205
INFLSI (Tingkat Inflasi) 0.135014 0.0103 0.1247 0.1446
GOVEXP (Belanja Pemerintah) -0.00002 0.2929 -0.3528 -0.4092
UMRNAS (Upah Tenaga Kerja) -0.00260 0.5581 -0.1252 -0.1452
LUNEMPL (Lag Jumlah Pengangguran) 0.354592 0.3572 0.1399 0.1623
LHJECLG (Lag Harga Jual Eceran Elpiji) 0.000068 0.9651 0.0098 0.0114
LJOVKOT (Lag Jumlah Penduduk Miskin Kota) 0.137808 0.5766
Adj-R2 = 0.36550; F-hitung = 2.82; Pr > F bernilai 0.0551; DW = 2.208122
3. Tingkat Kemiskinan
Persamaan tingkat kemiskinan adalah persamaan identitas yang
merupakan hasil operasi matematika dari jumlah kemiskinan di perdesaan, jumlah
kemiskinan di perkotaan, dan jumlah penduduk Indonesia.
POVERTt = (JOVDESt + JOVKOTt) / POPNASt x 100
208
5.10. Diskusi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran, Permintaan, Subsidi, dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Produksi BBM pada periode tahun 1995 sampai 2005 relatif stabil dan
merupakan variabel eksogen. Ekspor BBM dilakukan secara sporadis dan dalam
jumlah yang kecil, sehingga dapat diabaikan. Karena produksi relatif konstan,
maka untuk memenuhi peningkatan konsumsi BBM dalam negeri, pemerintah
mengimpor BBM. Khusus elpiji, produksinya sebagian besar diekspor karena
keterbatasan daya serap konsumen dalam negeri. Impor elpiji baru dimulai pada
tahun 2003 setelah kebutuhan konsumsi dalam negeri semakin meningkat.
Penawaran premium, minyak solar, dan minyak tanah adalah persamaan
yang identitas yang merupakan penjumlahan dari produksi ditambah impor
dikurangi ekspor, dimana produksi dianggap tetap dan ekspor sangat kecil
sehingga diabaikan dan karena itu penawarannnya dipengaruhi oleh impor sebagai
persamaan struktural. Penawaran elpiji adalah persamaan identitas yang
merupakan penjumlahan dari produksi ditambah impor dikurangi ekspor, dimana
produksi dianggap tetap dan impor sangat kecil sehingga diabaikan dan karena itu
penawarannya dipengaruhi oleh ekspor sebagai persamaan struktural.
Impor premium, minyak solar, dan minyak tanah dipengaruhi oleh
kemampuan daya serap pasar. Daya serap pasar premium ditunjukkan oleh indek
harga konsumen, daya serap minyak solar ditunjukkan oleh indek harga konsumen
dan jumlah kendaraan niaga, daya serap pasar minyak tanah ditunjukkan oleh
jumlah penduduk karena 92.52 persen minyak tanah digunakan untuk memasak
rumahtangga dan komersial. Sementara ekspor elpiji dipengaruhi secara nyata
oleh produksi, harga dunia elpiji atau harga ekspornya, dan kecenderungan ekspor
yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
209
Permintaan BBM di sektor transportasi pada hakikatnya mencerminkan
tingkat kegiatan usaha perekonomian nasional. Sebanyak 96.65 persen premium
diserap oleh sektor transportasi. Karena itu sesuai dengan kenyataan, permintaan
premium secara nyata dipengaruhi oleh harga jual eceran premium dan jumlah
kendaraan roda dua dan roda empat. Respon permintaan premium terhadap jumlah
kendaraan roda dua dan empat di dalam negeri bersifat elastis dalam jangka
panjang.
Sebanyak 44.91 persen dan 38.61 persen minyak solar diserap berturut-
turut oleh sektor transportasi dan industri. Sesuai dengan kenyataan, permintaan
minyak solar oleh sektor transportasi dipengaruhi secara nyata oleh harga jual
eceran minyak solar dan jumlah kendaraan niaga. Respon permintaan minyak
solar terhadap harga jual eceran dan kendaraan niaga bersifat elastis dalam jangka
panjang. Permintaan minyak solar oleh sektor industri dipengaruhi oleh jumlah
industri, dengan respon elastis dalam jangka panjang.
Sebanyak 92.52 persen minyak tanah dikonsumsi oleh sektor rumahtangga
dan komersial. Permintaan minyak tanah dipengaruhi secara nyata oleh harga jual
eceran minyak tanah dan jumlah penduduk. Karena itu jumlah penduduk
mempengaruhi perilaku permintaan minyak tanah di sektor rumahtangga dan
komersial dengan respon yang elastis dalam jangka pendek dan panjang.
Sebanyak 71.74 persen elpiji dikonsumsi oleh sektor rumahtangga dan
komersial. Permintaan elpiji dipengaruhi secara nyata oleh jumlah penduduk
dengan respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Meskipun subsidi harga BBM merupakan kebijakan fiskal dan proses
penetapannya cenderung mengikuti dialektika politik, namun berdasarkan temuan
210
estimasi model, ada beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku subsidi harga
BBM, yaitu harga dunia BBM, nilai tukar rupiah, penerimaan dalam negeri
pemerintah, dan bedakala subsidi harganya masing-masing. Harga dunia BBM
mempengaruhi subsidi harga BBM, kecuali minyak solar. Selain itu respon
subsidi harga premium, minyak solar, dan minyak tanah terhadap harga dunia
BBM bersifat elastis, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang; kecuali
subsidi elpiji yang inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa pergerakan harga dunia BBM mempengaruhi secara
dominan perubahan subsidi harga premium, minyak solar, dan minyak tanah.
Harga jual eceran BBM menjadi sinyal bagi produsen untuk berproduksi
dan bagi konsumen untuk menentukan jumlah konsumsinya. Persamaan harga jual
eceran BBM adalah persamaan identitas yang merupakan pengurangan dari harga
keekonomian BBM dengan subsidi harga BBM. Harga jual eceran BBM
merupakan pencerminan dari besaran subsidi harga BBM. Kebijakan subsidi
harga BBM merupakan faktor yang mendistorsi keseimbangan permintaan dan
penawaran BBM di dalam negeri.
Subsidi harga BBM dipengaruhi secara nyata oleh nilai tukar rupiah dan
bersifat elastis dalam jangka pendek dan panjang, kecuali elpiji yang hanya elastis
untuk jangka panjang. Hal ini terjadi karena Indonesia mengimpor BBM untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Fluktuasi nilai tukar rupiah menentukan
besaran harga keekonomian BBM dalam rupiah, besaran harga jual eceran BBM,
dan besaran subsidi harganya. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar
rupiah mempengaruhi secara dominan perubahan besaran subsidi harga premium,
minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
211
Penerimaan dalam negeri pemerintah ternyata tidak mempengaruhi subsidi
harga BBM secara nyata. Karena pertimbangan ekonomi tidak dapat menjelaskan
hubungan antara penerimaan dalam negeri pemerintah dengan subsidi harga
BBM, tampaknya hubungan itu dapat dijelaskan dengan pertimbangan non-
ekonomi, seperti sosial politik. Proses penentuan besaran subsidi BBM lebih
banyak diwarnai oleh proses politik antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan
Rakyat RI yang kemudian dituangkan dalam dokumen UU APBN. Proses politik
ini didasarkan pada kesepakatan asumsi-asumsi makro seperti nilai tukar rupiah,
harga dunia minyak mentah, besaran inflasi mendatang, produksi minyak mentah,
tingkat buku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan target pertumbuhan ekonomi.
Termasuk dalam proses politik tersebut adalah kesepakatan harga jual eceran
BBM dalam tahun anggaran berjalan dan tahun depan. Terkait dengan besaran
belanja yang menjadi kesepakatan politik, pemerintah diberikan keleluasaan untuk
memperoleh sumber-sumber penerimaan negara. Sumber penerimaan negara
terutama berasal dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, penjualan
obligasi pemerintah, hibah dan bantuan asing. Penerimaan pajak dan bukan pajak
biasanya masuk dalam kategori penerimaan dalam negeri pemerintah.
212
VI. DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
6.1. Hasil Validasi Model
Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia yang
digunakan dalam penelitian ini divalidasi (simulasi dasar) untuk periode 1988-
2006. Program validasi model dapat dilihat pada Lampiran 7. Validasi
menggunakan indikator statistik yaitu Root Mean Squares Percent Error
(RMSPE) untuk mengukur penyimpangan hasil prediksi dari nilai aktual setiap
variabel endogen dan statistik Theil’s Inequality Coefficient (U). Selain itu
digunakan dekomposisi U-Theil, yaitu proporsi bias (UM), proporsi keragaman
(US), dan proporsi covarians (UC). Hasil validasi model dapat dilihat pada
Lampiran 8.
Hasil validasi tersebut memperlihatkan dari 76 persamaan, terdapat 61
persamaan yang memiliki nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen dan 15
persamaan memiliki nilai RMSPE diatas 50 persen. Nilai RMSPE yang lebih dari
50 persen umumnya terjadi pada persamaan-persamaan identitas. Hal ini terjadi
karena error variabel endogen terakumulasi pada persamaan identitas tersebut,
seperti pada persamaan ekspor bersih, gap fiskal, tingkat pertumbuhan ekonomi,
dan inflasi. Selain itu, nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen juga terjadi pada
persamaan subsidi harga BBM dan subsidi BBM karena nilainya berfluktuasi
mengikuti naik turunnya harga dunia minyak mentah.
Sebagian besar nilai statistik U mendekati nol, yaitu 63 persamaan
mempunyai nilai statistik U lebih kecil dari 20 persen dan 13 persamaan
213
mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah
0.5865 yaitu pada persamaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan
persamaan identitas dengan nilai proporsi bias (UM) kecil yaitu 0.01. Dilihat dari
komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias (UM) dan proporsi keragaman
(US) mendekati nol, dan proporsi covarians (UC) mendekati satu.
Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang
dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak
perubahan faktor eksternal dan kebijakan.
6.2. Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Program dan hasil peramalan variabel endogen tanpa perubahan faktor
eksternal dan kebijakan (nilai dasar variabel endogen per tahun) pada periode
peramalan 2007-2014, dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10.
Dalam penelitian ini dilakukan 8 simulasi yang terdiri dari 1 simulasi
perubahan faktor eksternal, 4 simulasi perubahan kebijakan, dan 3 simulasi
merupakan gabungan perubahan faktor eksternal dan kebijakan. Program simulasi
kebijakan peramalan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sebagai contoh, ditampilkan
pula hasil Simulasi 8 pada Lampiran 12. Hasil simulasi kebijakan peramalan yang
lengkap disajikan pada Lampiran 13.
6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen
Ketersediaan energi di suatu negara seringkali dikaitkan dengan
pertumbuhan ekonomi negara itu. Apakah ketersediaan energi menjadi penyebab
terjadinya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mengakibatkan
tingginya permintaan akan energi? Hal ini dijawab oleh Afiatno (2006) yang
menemukan bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki
214
hubungan multivariat dua arah, yaitu konsumsi energi berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi
energi. Karena keduanya memiliki hubungan kuat yang timbal balik, maka
pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi karena
mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan dapat berpotensi menurunkan
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pengendalian konsumsi suatu barang dapat menggunakan mekanisme
harga, yang dilakukan dengan pengenaan pajak atau subsidi. Minyak mentah
memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian dunia (Barsky and Kilian,
2004). Pergerakan naik turun harga dunia minyak tidak hanya semata-mata
disebabkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan (Krichene, 2005), tetapi
juga disebabkan oleh faktor-faktor keamanan dan spekulasi perdagangan minyak
mentah. Minyak mentah dan produk turunannnya, hingga saat ini, masih menjadi
sumber energi utama di negara-negara berkembang dan negara maju. Meskipun
untuk pembangkit listrik sudah banyak digunakan sumber energi alternatif seperti
energi nuklir, air, atau gas alam, namun untuk kebutuhan di sektor transportasi
masih disuplai utamanya dari energi minyak mentah dan produk turunannya.
Begitu pentingnya sumber energi minyak mentah dan produk turunannya
ini sebagai sumber energi utama, sehingga fluktuasi harganya berpengaruh
terhadap kegiatan perekonomiannya. Raymond and Rich (1997) menemukan
bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah memberikan kontribusi atas
rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Yunchang (1996)
menemukan bahwa pergerakan harga dunia minyak mentah berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi negara Taiwan. Dampak dari fluktuasi harga
215
dunia minyak mentah tidak hanya negatif terhadap negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dan Taiwan, tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia.
Bahkan untuk beberapa kasus, Indonesia mengalami dampak yang lebih berat
karena beban subsidi energi BBM. Hingga saat ini masih sulit bagi pemerintah
untuk melepaskan subsidi BBM ketika harga dunia minyak mentah meningkat.
Borenstein, et al. (1997) menemukan dalam penelitiannya bahwa harga
gasoline (di Indonesia setara dengan premium) berfluktuasi secara asimetri
terhadap harga dunia minyak mentah. Ketika harga dunia minyak mentah naik
maka harga gasoline dengan segera menyesuaikan diri, apabila harga dunia
minyak mentah turun maka harga gasoline tidak segera turun. Penyesuaian harga
gasoline yang asimetri ini dibantah oleh Bachmeier and Griffin (2003), yang
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pergerakan harga gasoline simetri
terhadap harga dunia minyak mentah. Penyesuaian harga gasoline segera terjadi
ketika harga dunia minyak mentah berfluktuasi.
Di Indonesia, subsidi energi BBM tidak hanya berkaitan dengan
kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan, tetapi telah menjadi komoditas
politik. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menyimpulkan bahwa fluktuasi
harga dunia minyak mentah menimbulkan dampak ketidakpastian terhadap
perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan yang tinggi dari
penerimaan ekspor minyak mentah, yang sangat dipengaruhi oleh harga dunia
minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Soebiakto juga menemukan bahwa setiap
penurunan harga dunia minyak mentah US$1 per barrel akan mengakibatkan
penurunan belanja pemerintah US$32 juta, peningkatan defisit neraca pembayaran
US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal US$145 juta, demikian pula
216
sebaliknya. Penghitungan Soebiakto belum memperhitungkan penambahan
subsidi harga ketika harga jual eceran BBM konstan.
Karena itu sangat penting untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga
dunia minyak mentah sebesar 5 persen terhadap perekonomian Indonesia, besaran
subsidi harga BBM, dan dampak terhadap jumlah orang miskin di Indonesia, yang
disajikan pada Tabel 52. Subsidi harga BBM ternyata sangat elastis terhadap
perubahan harga dunia BBM. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan harga dunia
BBM akan sangat direspon oleh pemerintah melalui kenaikan subsidi harganya.
Dari hasil estimasi parameter persamaan subsidi harga premium, sebagai contoh,
setiap kenaikan harga dunia premium US$1 per barrel akan mengakibatkan
kenaikan subsidi harga premium sebesar Rp. 19.2383 per liter, dan sebaliknya.
Responsifnya subsidi harga terhadap pergerakan harga dunia minyak
mentah memberikan indikasi bahwa pemerintah Indonesia cenderung
mempertahankan harga jual eceran BBM pada tingkat harga yang berlaku. Hal ini
sejalan dengan upaya pemerintah untuk meredam gejolak perekonomian dunia,
yang salah satunya dapat berasal dari harga dunia minyak mentah, agar tidak
mempengaruhi perekonomian domestik. Meskipun subsdi harga sangat responsif
terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah, namun ternyata harga jual eceran
BBM mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
subsidi harganya. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang
cenderung menurun sebesar 0.201 persen, yang tampaknya membatasi
kemampuan pemerintah dalam memberikan respon subsidi yang sesuai, sehingga
terjadi kenaikan harga jual eceran BBM yang melampaui kenaikan subsidi
harganya.
217
Tabel 52.
1 2 3 4 5 6 7 8PNWJPR Penawaran Premium (Ribu Liter) 33 898 969 0.109 0.160 3.339 1.628 3.796 4.360 4.874 10.043
PNWJSL Penawaran M.Solar (Ribu Liter) 37 315 237 0.213 0.098 1.330 0.639 1.511 1.945 2.191 3.697
PNWJKR Penawaran M.Tanah (Ribu Liter) 7 818 580 -1.152 -0.026 -0.322 -0.154 -0.366 -1.598 -1.664 -2.007
PNWJLG Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) 1 305 403 -1.381 -0.015 -0.340 -0.167 -0.387 -1.836 -1.890 -2.418
PNWJBM Penawaran BBM (Ribu Liter) 87 773 312 0.030 0.101 1.826 0.887 2.076 2.369 2.666 5.272
KOSJPRT Kons. Premium di Transport. (Rb Lt) 26 466 929 -0.918 0.010 -2.819 -0.069 -2.851 -3.849 -3.887 -4.258
KOSJPR Konsumsi Premium (Ribu Liter) 26 846 754 -0.905 0.010 -2.779 -0.068 -2.810 -3.795 -3.832 -4.198
KOSJSLT Kons. M.Solar di Transport. (Rb Lt) 17 122 380 -3.243 1.087 -5.040 -0.289 -5.149 -8.632 -8.759 -10.081
KOSJSLI Kons. M.Solar di Industri (Rb Lt) 14 315 475 -0.105 0.034 -0.143 -0.012 -0.147 -0.265 -0.274 -0.295
KOSJSLK Kons. M.Solar di RT & Kom. (Rb Lt) 783 877 -0.867 0.290 -1.303 -0.083 -1.334 -2.276 -2.318 -2.628
KOSJSL Konsumsi Minyak Solar (Rb Lt) 34 496 949 -1.673 0.560 -2.590 -0.150 -2.647 -4.446 -4.514 -5.186
KOSJKRT Kons. M.Tanah di Transport. (Rb Lt) 2 423 -4.886 1.184 -25.883 -35.635 -36.468 -41.796 -42.023 -43.851
KOSJKRI Kons. M.Tanah di Industri (Rb Lt) 417 944 -6.863 1.666 -36.385 -50.096 -51.259 -58.733 -59.043 -61.642
KOSJKRK Kons. M.Tanah di RT & Kom. (Rb Lt) 11 827 549 -3.188 0.781 -16.420 -22.612 -23.165 -26.486 -26.650 -27.653
KOSJKR Konsumsi Minyak Tanah (Ribu Liter) 12 789 797 -3.174 0.777 -16.378 -22.555 -23.104 -26.421 -26.583 -27.595
KOSJLGI Kons. Elpiji di Industri (Rb Kg) 399 185 -1.085 0.140 -2.852 3.819 3.558 1.704 1.648 0.888
KOSJLGK Kons. Elpiji di RT & Kom. (Rb Kg) 917 056 -0.110 -0.018 0.584 4.294 4.266 3.864 3.874 3.589
KOSJLG Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) 1 316 242 -0.405 0.030 -0.458 4.150 4.051 3.209 3.199 2.770
KOSCPR Konsumsi Premium (Miliar Rp) 73 485 7.769 -0.009 24.287 0.689 24.587 32.696 33.166 35.149
KOSCSL Konsumsi Minyak Solar (Miliar Rp) 113 628 5.827 -1.974 8.193 0.642 8.420 14.412 14.760 16.158
KOSCKR Konsumsi Minyak Tanah (Miliar Rp) 17 275 15.789 -3.890 68.779 85.769 87.185 94.671 95.010 96.952
KOSCLG Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) 3 319 3.603 -0.452 10.913 -10.127 -8.909 -2.139 -1.748 -0.066
KOSCBM Konsumsi BBM (Miliar Rp) 231 145 6.566 -1.271 17.046 6.799 18.343 24.524 24.875 26.362
HJECPR Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) 2 720 8.757 -0.029 27.775 0.743 28.120 37.881 38.407 41.120
HJECSL Harga Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt) 3 283 7.730 -2.549 11.235 0.801 11.537 20.034 20.491 22.854
HJECKR Harga Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) 1 349 19.720 -4.654 102.742 141.352 145.116 166.956 168.134 174.203
HJECLG Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) 2 516 4.051 -0.489 11.476 -13.734 -12.498 -5.215 -4.834 -2.731
IMPJPR Jumlah Impor Premium (Ribu Liter) 24 380 853 0.151 0.223 4.642 2.263 5.278 6.062 6.777 13.964
IMPJSL Jumlah Impor M.Solar (Ribu Liter) 25 231 664 0.315 0.144 1.967 0.946 2.234 2.877 3.240 5.467
IMPJKR Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Liter) 3 260 140 -2.764 -0.064 -0.773 -0.369 -0.877 -3.832 -3.991 -4.813
IMPRPR Impor Premium (Miliar Rp) 109 922 5.825 0.409 6.610 3.172 7.524 14.880 16.119 25.506
IMPRSL Impor Minyak Solar (Miliar Rp) 118 397 6.006 0.307 3.702 1.759 4.208 11.167 11.956 15.855
IMPRKR Impor Minyak Tanah (Miliar Rp) 16 064 2.684 0.066 0.779 0.376 0.883 3.626 3.759 4.475
IMPBBM Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) 255 417 5.462 0.323 4.610 2.205 5.245 11.811 12.719 18.612
EKSJLG Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) 334 733 5.387 0.059 1.326 0.649 1.508 7.162 7.372 9.432
EKSRLG Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) 999 11.448 0.110 2.692 1.311 3.062 15.311 15.771 20.494
BOTBBM Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) - 254 417 5.439 0.323 4.618 2.209 5.254 11.798 12.707 18.605
SUBHPR Subsidi Harga Premium (Rupiah/Liter) 1 697 0.595 0.389 -40.415 0.766 -40.415 -37.426 -37.426 -37.426
SUBHSL Subsidi Harga M.Solar (Rupiah/Liter) 1 359 0.530 6.610 -21.775 0.640 -21.775 -17.851 -17.851 -17.851
SUBHKR Subsidi Harga M.Tanah (Rupiah/Liter) 3 555 0.270 1.944 -36.832 -52.624 -52.624 -50.262 -50.262 -50.262
SUBHLG Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) 546 12.779 2.929 -44.160 67.338 67.338 75.760 75.760 75.760
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan
Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014
VariabelNilai Dasar
Simulasi (persen)Uraian
218
Tabel 52.
1 2 3 4 5 6 7 8SUBRPR Subsidi Premium (Miliar Rp) 46 014 -0.348 0.404 -42.276 0.709 -42.296 -42.906 -42.930 -43.151
SUBRSL Subsidi Minyak Solar (Miliar Rp) 46 927 -1.185 7.245 -23.784 0.489 -23.831 -25.308 -25.366 -25.903
SUBRKR Subsidi Minyak Tanah (Miliar Rp) 45 488 -2.976 2.751 -47.373 -63.512 -63.785 -65.400 -65.483 -65.948
SUBRLG Subsidi Elpiji (Miliar Rp) 722 12.360 2.993 -44.575 74.103 73.923 72.454 72.440 71.706
SUBBBM Subsidi Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) 139 150 -1.424 3.492 -37.718 -19.978 -42.491 -43.726 -43.781 -44.191
REVTAX Penerimaan Pajak (Miliar Rp) 330 922 -0.074 10.000 -0.330 -0.204 -0.387 10.000 10.000 10.000
REVDDN Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) 486 623 -0.051 10.274 -0.224 -0.138 -0.263 10.274 10.274 10.274
FISCGP GAP Fiskal (Miliar Rp) - 95 277 -0.972 9.906 -52.291 -27.900 -58.905 -54.474 9.678 11.874
KOSNBM Konsumsi Non-BBM (Miliar Rp) 1 408 642 -0.834 0.014 -2.245 -1.089 -2.547 -3.549 -3.734 -5.178
KOSNAS Konsumsi Nasional (Miliar Rp) 1 639 787 0.209 -0.167 0.474 0.023 0.397 0.408 0.299 -0.732
INVRMG Investasi MIGAS (Miliar Rp) 55 718 -0.026 0.159 -0.119 -0.075 -0.140 -0.020 0.149 -0.017
INVNMG Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) 177 407 -0.610 -0.027 -1.671 -0.829 -1.903 -2.688 -2.882 -6.343
INVEST Investasi Nasional (Miliar Rp) 233 125 -0.471 0.018 -1.300 -0.649 -1.481 -2.050 -2.157 -4.831
GOVENS Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) 442 750 0.183 12.327 0.355 0.123 0.389 13.312 27.135 27.736
GOVEXP Belanja Pemerintah (Miliar Rp) 581 900 -0.201 10.214 -8.749 -4.684 -9.865 -0.327 10.177 10.536
IMPNBM Impor Non-BBM (Miliar Rp) 346 479 0.162 0.104 0.393 0.170 0.441 0.731 0.877 0.523
IMPORT Impor Nasional (Miliar Rp) 601 895 2.411 0.197 2.183 1.034 2.480 5.433 5.902 8.199
EKSNBM Ekspor Non-BBM (Miliar Rp) 787 297 0.078 0.085 1.595 0.775 1.813 2.120 2.376 4.750
EKSPOR Ekspor Nasional (Miliar Rp) 788 296 0.093 0.086 1.597 0.776 1.815 2.137 2.393 4.770
GDPNAS GDP Nasional (Miliar Rp) 2 641 213 -0.478 2.129 -1.769 -1.079 -2.081 -0.600 1.606 0.996
MONEYS Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) 1 256 557 -0.609 2.905 -2.420 -1.484 -2.845 -0.775 2.266 0.475
MONEYD Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) 1 366 987 -0.788 3.153 -2.990 -1.790 -3.501 -1.417 1.852 -0.649
NTUKRR Nilai Tukar (Rp/US$) 8 483 0.578 0.120 1.537 0.737 1.745 2.593 2.886 4.549
CPINDX Indeks Harga Konsumen (indeks) 298.40 1.542 0.335 4.055 1.944 4.591 6.836 7.607 13.183
INTRIL Tingkat Suku Bunga (persen) 2.76 1.121 -6.676 5.040 3.182 5.929 0.936 -6.121 0.178
LABORS Jlh. Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) 121.10 0.000 0.165 0.000 0.000 0.000 0.083 0.248 0.248
LABORD Jlh. Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) 108.30 -0.092 0.646 -0.554 -0.277 -0.646 -0.185 0.554 0.185
UMRNAS Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) 528.10 -0.095 -1.041 -0.284 -0.170 -0.322 -1.534 -2.708 -2.746
UNEMPL Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) 12.83 1.114 -4.493 4.362 2.670 5.126 2.204 -2.456 0.479
INFLSI Tingkat Inflasi Domestik (%/Tahun) 9.44 4.736 1.931 12.083 5.552 13.634 21.241 24.468 27.408
NETEKS Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) 186 400 -7.394 -0.273 -0.296 -0.057 -0.330 -8.508 -8.938 -6.302
GROWTH Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) 3.40 -4.021 14.015 -11.485 -6.756 -13.559 -4.721 9.591 19.729
JOVDES Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) 13.78 1.526 -12.936 13.615 7.425 15.479 5.034 -8.322 -4.821
JOVKOT Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) 5.72 1.768 -22.464 23.250 11.717 25.560 6.297 -16.467 -16.303
POVERT Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%) 8.17 1.587 -15.588 16.313 8.616 18.291 5.385 -10.590 -7.967
Keterangan:Simulasi 1 Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persenSimulasi 2 Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persenSimulasi 3 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan ElpijiSimulasi 4 Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 5 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 6 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5)Simulasi 7 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar.Simulasi 8 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
Lanjutan
Variabel UraianNilai Dasar
Simulasi (persen)
219
Kenaikan harga jual eceran BBM, sesuai dengan hukum penawaran dan
permintaan, akan menurunkan konsumsinya. Kenaikan harga jual eceran premium
sebesar 8.757 persen mengakibatkan penurunan konsumsi premium di sektor
transportasi sebesar 0.918 persen. Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di
sektor transportasi yang tidak elastis terhadap harganya, sebesar 0.0642 dalam
jangka pendek. Secara umum kenaikan harga jual eceran BBM akan menurunkan
tingkat konsumsi masing-masing.
Fenomena penurunan tingkat konsumsi energi BBM, memiliki dampak
yang luas dan berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sebagaimana yang ditemukan oleh Afiatno (2006) bahwa terdapat hubungan
timbal balik antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dari simulasi
ini jelas terlihat bahwa penurunan konsumsi BBM, sebagai akibat dari kenaikan
harga jual ecerannya, berdampak pada penurunan GDP nasional 0.478 persen dan
penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4.021 persen. Salah satu faktor
yang membuat GDP nasional turun adalah menurunnya ekspor bersih, yang
diakibatkan oleh tingginya harga beli minyak mentah dunia. Ketika harga dunia
minyak mentah meningkat, konsumsi energi yang tidak elastis terhadap harganya,
membutuhkan devisa yang lebih besar untuk membiayai impornya. Peningkatan
nilai impor yang besar ini pada akhirnya membuat neraca perdagangan menjadi
defisit dan GDP nasional menjadi negatif. Selanjutnya penurunan jumlah
penawaran uang yang lebih besar dari permintaannya, akan berdampak pada
peningkatan tingkat suku bunga sebesar 1.121 persen. Hal ini ikut memberikan
andil terhadap penurunan investasi nasional sebsear 0.471 persen.
220
Selanjutnya simulasi ini memberikan dampak terhadap kenaikan tingkat
inflasi sebesar 4.736 persen. Penelitian Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005)
menunjukkan bahwa peningkatan inflasi berakibat pada penurunan pendapatan riil
masyarakat. Penurunan pendapatan riil masyarakat, jika terjadi pada masyarakat
yang berada pada dan sekitar garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh
pada kelompok orang miskin. Pada tingkat inflasi tersebut, jumlah penduduk
miskin perdesaan meningkat 1.526 persen dan penduduk miskin perkotaan
meningkat 1.768 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat
sebesar 1.587 persen. Peningkatan penduduk miskin ini juga dipengaruhi oleh
semakin besarnya angka pengangguran yang meningkat 1.114 persen sebagai
dampak dari penurunan investasi nasional. Meningkatnya pengangguran
mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan yang biasanya diterima oleh
pekerja, sehingga hal ini berpotensi juga mengurangi pendapatan riil masyarakat.
Selain pengangguran yang meningkat, juga tingkat upah nasional mengalami
penurunan sebesar 0.095 persen. Keempat hal diatas, yaitu belanja pemerintah dan
upah nasional yang berkurang, inflasi dan pengangguran yang meningkat, secara
bersama-sama mengakibatkan penurunan pendapatan riil masyarakat, sehingga
semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin.
Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen
Instrumen kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter
seringkali dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Sebagian komponen kebijakan moneter merupakan
domain kewenangan Bank Indonesia seperti target inflasi dan menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah. Dalam prakteknya Bank Indonesia selalu melakukan koordinasi
221
dengan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan
kebijakan moneter, maka kebijakan fiskal merupakan domain utama kewenangan
pemerintah yang dalam pelaksanannya seringkali harus dikonsultasikan dengan
para wakil rakyat. Sehingga kebijakan fiskal di Indonesia, sebagaimana juga
kebijakan fiskal di negara lain, merupakan produk dari suatu proses politik.
Secara garis besar komponen dari kebijakan fiskal adalah alokasi anggaran
untuk pos-pos atau kegiatan tertentu, sumber-sumber dan target penerimaan dalam
negeri dan luar negeri, asumsi-asumsi makro yang mendasari perhitungan
penerimaan dan belanja, serta besaran dari belanja itu sendiri. Dalam rangka
mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun paska
reformasi, pemerintah berupaya meningkatkan besaran belanja negara dengan
sumber pendanaan dari dalam negeri. Besarnya utang luar negeri dan dalam
negeri pemerintah telah membebani anggaran belanja negara melalui pos
pembayaran cicilan pokok dan bunga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
pemerintah pada masa sebelumnya yang mengandalkan sumber pembiayaan dari
luar negeri atau pinjaman dalam negeri untuk menutup defisit anggaran. Belajar
dari pengalaman, saat ini pemerintah berupaya untuk lebih mengutamakan
sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dengan mengoptimalkan penerimaan
pajak dan bukan pajak. Komponen terbesar dari penerimaan pajak adalah pajak
penghasilan. Saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan
intensifikasi penarikan pajak penghasilkan melalui sosialisasi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) yang harus dimiliki oleh setiap warganegara. Penerimaan
bukan pajak antara lain bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara,
222
hasil penjualan asset yang dimiliki negara seperti penjualan saham BUMN, dan
pungutan lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir (Departemen Keuangan, 2009b), strategi
kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal dengan tetap
memperhatikan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN
yang sehat dan berkelanjutan. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui
optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan
efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk
meminimalkan resiko keuangan di masa mendatang. Optimalisasi sumber-sumber
penerimaan negara dapat ditempuh melalui peningkatan penerimaan dari pajak
dan bukan pajak. Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan ditempuh
melalui: (1) perubahan paket undang-undang perpajakan, kepabeanan, dan cukai,
(2) peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak dan pengawasan internal
terhadap petugas pajak, (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (4)
perbaikan sistem informasi dan teknologi, dan (5) modernisasi perpajakan.
Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan
negara bukan pajak. Penerimaan pajak mengalami kenaikan sangat signifikan
pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 347.0
triliun, Rp. 409.2 triliun, Rp. 491.0 triliun, Rp. 633.8 triliun, dan Rp. 725.8 triliun
atau rata-rata 20.23 persen per tahun pada periode tersebut. Penerimaan pajak
pada tahun 2009 mencapai 13.6 persen dari PDB nasional. Sementara penerimaan
negara bukan pajak mengalami kenaikan cukup besar pada tahun 2005, 2006,
2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 149.9 triliun, Rp. 227.0 triliun, Rp.
215.1 triliun, Rp. 325.7 triliun, dan Rp. 258.9 triliun atau rata-rata 14.71 persen
223
per tahun pada periode tersebut. Penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2009
mencapai 4.9 persen dari PDB nasional. Fluktuasi penerimaan negara bukan pajak
lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi harga dunia minyak mentah dan nilai tukar
rupiah. Secara umum penerimaan dalam negeri pemerintah mengalami kenaikan
rata-rata sebesar 18.83 persen per tahun pada periode 2005-2009.
Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah dimaksudkan untuk
memberikan fiscal space atau ruang fiskal32 yang lebih besar pada pemerintah
untuk dapat digunakan pada program-program yang muncul mendadak namun
sangat mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengganggu rencana program
yang sudah ada. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 10
persen, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 52, ditujukan untuk menciptakan
ruang fiskal apabila ditengah tahun anggaran berjalan terjadi kenaikan kebutuhan
anggaran seperti kenaikan harga dunia minyak mentah. Simulasi tunggal ini
dilakukan untuk mengetahui dampak dari peningkatan ruang fiskal terhadap
kinerja perekonomian, gap fiskal yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri
dengan belanja negara, dan terhadap kemiskinan.
Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, yang memperbesar ruang
fiskal, ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi
BBM sebesar 3.492 persen dan anggaran diluar subsidi BBM sebesar 12.327
persen. Besarnya peningkatan anggaran non-subsidi dibandingkan dengan
anggaran subsidi, tampaknya disebabkan oleh kebutuhan belanja non-subsidi yang
32 Fiscal space atau ruang fiskal menurut Heller, 2005 dalam Departemen Keuangan, 2009b adalah ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Konsep fiscal space terutama mengacu kepada kemampuan anggaran pemerintah untuk menambah pengeluarannya tanpa menyebabkan terjadinya fiscal insolvency. Untuk menciptakan fiscal space dapat dilakukan berbagai cara antara lain peningkatan penerimaan pajak, memangkas belanja yang kurang prioritas, dan menambah hibah atau pinjaman.
224
lebih besar sementara kebutuhan belanja subsidi BBM relatif konstan. Relatif
konstannya kebutuhan belanja subsidi BBM dikarenakan relatif konstannya harga
dunia minyak mentah.
Sebagai dampak dari meningkatnya anggaran subsidi BBM, maka
anggaran subsidi harga BBM mengalami peningkatan. Subsidi harga minyak solar
meningkat paling besar yaitu 6.610 persen. Secara umum, peningkatan subsidi
harga BBM akan menurunkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 1.93
persen, dimana penurunan terbesar pada harga jual eceran minyak tanah sebesar
4.654 persen. Dampak selanjutnya dari penurunan harga jual eceran BBM adalah
peningkatan konsumsinya rata-rata sebesar 0.34 persen. Peningkatan konsumsi
energi, seperti yang disampaikan oleh Siddiqui (2004) berhubungan erat dengan
potensi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Hal ini terlihat dari meningkatnya
GDP nasional sebesar 2.129 persen dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar
14.015 persen.
Ditinjau dari pasar uang, kebijakan ini diperkirakan akan memberikan
dampak yang positif bagi sektor keuangan dengan menciptakan suku bunga yang
relatif rendah. Rendahnya tingkat suku bunga menciptakan iklim yang kondusif
bagi perekonomian untuk merangsang tingkat investasi agar lebih besar lagi.
Selain itu juga perlu disadari bahwa rendahnya tingkat suku bunga perbankan
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran modal dari sistem perbankan ke pasar
modal yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Pergeseran
investasi ke pasar modal akan semakin menggairahkan sistem perekonomian dan
memperkuat landasan ekonomi pasar di Indonesia. Modal yang diperoleh dari
pasar modal dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan kegiatan investasi
225
lanjutan. Sehingga penurunan tingkat suku bunga riil pada sistem perbankan
memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah semakin murahnya biaya
pinjaman uang (cost of money) dari sistem perbankan sehingga merangsang
pengusaha untuk berinvestasi. Kedua, menurunnya tingkat suku bunga riil di
sektor perbankan akan membuat deposan mengalihkan uang dari perbankan ke
pasar modal. Peningkatan transaksi di pasar modal akan semakin menggairahkan
jual beli saham di pasar modal dan sekaligus memperbesar peluang pengusaha
dalam memanfaatkan dana berlimpah di pasar modal. Penawaran uang akan naik
sebesar 2.905 persen dan permintaan uang akan naik sebesar 3.153 persen. Hal ini
mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan sebesar 6.676 persen.
Selain itu, kebijakan ini mampu memberikan dampak positif bagi
perekonomian, yang terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan
sebesar 12.936 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 22.464 persen,
sehingga tingkat penduduk miskin nasional mengalami penurunan sebesar 15.888
persen. Besarnya penurunan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh positif peningkatan belanja pemerintah, penurunan pengangguran, serta
penurunan harga jual eceran elpiji, yang sangat penting bagi konsumsi energi
masyarakat perkotaan.
Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji
Alokasi belanja subsidi energi yaitu subsidi BBM dan listrik cenderung
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 2.15 persen dari PDB pada
tahun 2002 menjadi 6.68 persen dari PDB pada tahun 2009. Subsidi memiliki dua
sisi yang berbeda. Di satu pihak subsidi sangat diperlukan oleh masyarakat ketika
terjadi krisis atau lonjakan harga barang-barang kebutuhan primer. Salah satu ciri
226
barang kebutuhan primer adalah tidak elastisnya permintaan barang tersebut
terhadap harganya, selain juga sulit atau tidak ada barang substitusinya. Kenaikan
harga barang primer, sebagai contoh barang primer adalah BBM, cenderung akan
menurunkan kemampuan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu,
diperlukan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang primer
melalui mekanisme pajak atau subsidi. Minyak tanah adalah sumber energi utama
rumahtangga di banyak negara Asia. Karena itu subsidi minyak tanah masih lazim
diberikan di beberapa negara Asia, seperti Turkmenistan, Bhutan, India, dan
Indonesia (Shikha Jha, et al., 2009).
Di pihak lain, belanja subsidi merupakan belanja non-discretionary
spending atau belanja wajib seperti halnya pembayaran biaya bunga dan hutang
pokok pinjaman. Belanja subsidi ini cenderung meningkat dan akan berpotensi
mengganggu keberlanjutan anggaran pemerintah. Hal ini seterusnya akan dapat
mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang dapat mengakibatkan
terjadinya capital flight dan melemahnya mata uang rupiah. Jika nilai tukar rupiah
melemah maka harga barang-barang domestik akan ikut melonjak karena
tingginya porsi barang-barang impor dalam perekonomian Indonesia. Inflasi yang
tinggi akan meningkatkan beban perekonomian rakyat, melemahnya daya beli
masyarakat, pertumbuhan ekonomi terganggu, pengangguran dan kemiskinan
akan meningkat. Dampak lain dari peningkatan beban subsidi adalah
berkurangnya fiscal space dan sekaligus juga berkurangnya kesempatan
pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penting dalam rangka
peningkatan kesejahteraan rakyat dalam bentuk program-program pengentasan
kemiskinan dan pembangunan prasarana lainnya.
227
Menyadari hal-hal diatas, pemerintah melakukan upaya kebijakan antara
lain berupa penyesuaian harga BBM, konversi minyak tanah ke elpji, efisiensi PT
Pertamina melalui pengurangan biaya distribusi dan margin (faktor alpha),
pengendalian konsumsi BBM, serta pemanfaatan energi alternatif (Departemen
Keuangan, 2009b). Penyesuaian harga BBM merupakan salah satu pilihan
kebijakan yang dapat dilakukan baik ketika harga dunia minyak mentah
meningkat, nilai tukar rupiah merosot, atau pemerintah berupaya mengurangi
beban APBN melalui penghematan subsidi BBM. Pengurangan subsidi harga
dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga terhadap harga keekonomian
masing-masing jenis BBM. Porsi subsidi harga premium yang semula 38.42
persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi
subsidi harga minyak solar yang semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya,
diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak tanah yang semula
72.49 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 40.00 persen. Porsi
subsidi harga elpiji yang semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya,
diturunkan menjadi 10.00 persen. Dampak dari pengurangan subsidi harga BBM
dapat dilihat pada Tabel 52.
Ditinjau dari sisi pasar BBM, kebijakan ini berdampak pada peningkatan
harga-harga BBM. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada minyak tanah sebesar
102.742 persen. Peningkatan harga ini berdampak pada penurunan tingkat
konsumsi, yang tertinggi adalah konsumsi minyak tanah yang turun sebesar
16.378 persen. Penurunan tingkat konsumsi energi, seperti yang dikemukakan
oleh Afiatno (2006), memiliki pengaruh terhadap tingkat kegiatan perekonomian
pada umumnya.
228
Siddiqui (2004) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
konsumsi energi di Pakistan periode 1971-2003. Peningkatan penawaran energi
pada harga yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Pengaturan harga energi agar terjangkau masyarakat dilakukan melalui deregulasi.
Kenaikan harga energi akan mengurangi permintaan energi, dan akibatnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu kebijakan mengenai harga energi,
khususnya harga jual eceran BBM, harus mempertimbangkan dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Lamech and O’Sullivan (2002) dalam Siddiqui
(2004) menekankan pentingnya peran energi dalam upaya pengentasan
kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan harus terkait dengan upaya
perluasan akses terhadap energi, menerapkan strategi fiskal berkelanjutan,
mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dalam rangka melaksanakan
kebijakan energi, dan kebijakan fiskal yang ketat untuk mengoptimalkan
penggunaan energi.
Hasil simulasi peramalan kebijakan ini mengakibatkan dampak negatif
terhadap perkembangan perekonomian pada umumnya. Kondisi ini terlihat dari
menurunnya investasi dan ekspor bersih serta penurunan besaran GDP nasional.
Penurunan GDP nasional tampaknya diakibatkan oleh penurunan konsumsi energi
sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan.
Selanjutnya, perrmintaan uang mengalami penurunan lebih cepat dari
penawarannya, sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga meningkat sebesar
5.040 persen. Peningkatan suku bunga mengakibatkan investasi baik investasi
migas maupun investasi non-migas mengalami penurunan. Penyediaan
kesempatan kerja yang menyerap pencari kerja, sangat ditentukan oleh besarnya
229
investasi dalam negeri. Oleh karena penurunan investasi juga berdampak pada
penurunan permintaan tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
pada lapangan kerja mengalami peningkatan sebesar 4.362 persen.
Kenaikan harga-harga BBM berdampak pada peningkatan biaya
transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami
peningkatan sebesar 12.083 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat
upah nasional turun sebesar 0.284 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi,
penurunan tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah
mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami
peningkatan sehingga tingkat penduduk miskin nasional naik 16.313 persen.
Meskipun simulasi kebijakan ini berdampak kurang baik bagi
perekonomian, namun penurunan subsidi harga telah mampu mengurangi defisit
anggaran pemerintah melalui penurunan subsidi BBM sebesar 37.718 persen.
Penurunan subsidi ini disebabkan oleh penurunan anggaran subsidi harga yang
diikuti oleh penurunan jumlah konsumsinya. Artinya dengan kebijakan ini
pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran belanja sebagai akibat dari
penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Penghematan ini selanjutnya
juga berhasil menurunkan gap fiskal pemerintah sebesar Rp. 49 821 miliar.
Penghematan belanja negara merupakan suatu peluang bagi pemerintah
memperbesar fiscal space atau menetapkan kebijakan realokasi anggaran bagi pos
anggaran yang memerlukan penambahan dana seperti pembangunan prasarana
dan pengentasan kemiskinan. Khusus pada tahun fiskal 2009, strategi kebijakan
fiskal pemerintah antara lain: (1) pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik,
dan (2) reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM
230
dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam
perhitungan Dana Alokasi Umum (Departemen Keuangan, 2009b).
Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka menciptakan kebijakan fiskal yang sehat dan sustainable,
pemerintah berusaha mengendalikan beban anggaran subsidi. Pada tahun fiskal
2009, langkah-langkah penghematan subsidi energi yang dilakukan pemerintah
antara lain meliputi percepatan dan perluasan program konversi BBM ke elpiji
(Departemen Keuangan, 2009b). Dalam penelitian ini, konversi BBM ke elpiji
dilakukan dengan menaikkan harga jual eceran minyak tanah dan pada saat
bersamaan menurunkan harga jual eceran elpiji, melalui pengurangan atau
penambahan subsidi harganya. Apabila harga jual eceran minyak tanah
meningkat, maka sesuai mekanisme pasar, jumlah permintaannya akan menurun
sehingga terjadi penghematan volume konsumsi minyak tanah. Minyak tanah
yang dihemat atau dikurangi konsumsinya akan digantikan oleh elpiji yang harga
jual ecerannya diturunkan.
Pengurangan subsidi harga minyak tanah dilakukan dengan mengurangi
porsi subsidi harga minyak tanah terhadap harga keekonomiannya, yang semula
72.49 persen menjadi 30.00 persen. Penambahan subsidi harga elpiji dilakukan
dengan meningkatkan porsi subsidi harga elpiji terhadap harga keekonomiannya,
yang semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen. Tabel 52 menyajikan dampak
dari simulasi program konversi minyak tanah ke elpiji.
Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, penurunan subsidi minyak
tanah mengakibatkan harga minyak tanah meningkat sebesar 141.352 persen,
sementara harga elpiji mengalami penurunan sebesar 13.734 persen. Dengan
231
demikian diharapkan bahwa jumlah konsumsi minyak tanah akan turun yang
kemudian akan digantikan oleh konsumsi elpiji yang harga jual ecerannya turun.
Dalam kenyataannya, jumlah konsumsi minyak tanah mengalami penurunan
sebesar 22.555 persen, sementara jumlah konsumsi elpiji mengalami kenaikan
sebesar 4.150 persen.
Dampak dari simulasi kebijakan ini sangat dirasakan oleh rumahtangga
yang kebutuhan energi memasaknya berasal dari minyak tanah. Menurut BPS,
(2008a), kebutuhan energi untuk memasak rumahtangga Indonesia tahun 2007
berasal dari kayu bakar 49.38 persen, minyak tanah 36.57 persen, dan elpiji 10.57
persen. Transformasi penyediaan energi dari minyak tanah ke elpiji sangat
dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan karena keterbatasan alternatif energi
memasak yaitu minyak tanah dan elpiji, sementara penduduk miskin perdesaan
memiliki alternatif yang lebih luas yaitu minyak tanah, elpiji, dan kayu bakar.
Karena itu jelas terlihat bahwa simulasi ini membawa dampak peningkatan jumlah
orang miskin di perkotaan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
jumlah orang miskin di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih sensitif
terhadap dampak negatif program konversi minyak tanah ke elpiji, dibandingkan
dengan penduduk miskin di perdesaan.
Hasil simulasi ini ternyata mampu menurunkan volume konsumsi dan
subsidi minyak tanah berturut-turut 22.555 persen dan 63.512 persen, yang pada
saat bersamaan menaikkan volume konsumsi dan subsidi elpiji berturut-turut
4.150 persen dan 74.103 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
simulasi kebijakan ini menurunkan subsidi BBM 19.978 persen atau penghematan
sebesar Rp. 27 799 miliar dan pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 26 582 miliar.
232
Simulasi kebijakan ini berdampak pada penurunan GDP nasional sebesar
1.079 persen. Penurunan GDP nasional disumbang sebagian besar oleh penurunan
belanja nasional sebesar 4.684 persen, yang disebabkan oleh penurunan belanja
subsidi. Selanjutnya tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar
6.756 persen. Dampak kurang baik terhadap perekonomian, selain berasal dari
penurunan belanja negara, kemungkinan besar juga berasal dari penurunan
konsumsi energi minyak tanah yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
konsumsi elpiji.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa konsumsi minyak tanah turun sebesar
2 884 704 kiloliter yang kemudian dikompensasi oleh kenaikan konsumsi elpiji
sebesar 54 626 ton. Pada faktor substitusi 0.35 33, penurunan konsumsi minyak
tanah sebesar itu harus dikompensasi dengan tambahan konsumsi elpiji sebanyak
1 009 646 ton atau terdapat selisih hampir 1 juta ton elpiji. Karena tidak seluruh
pengurangan konsumsi minyak tanah dapat dikompensasi oleh elpiji, ada
kemungkinan sebagian masyarakat mengurangi tingkat konsumsi energinya atau
kembali menggunakan kayu bakar. Kedua hal ini yang kemungkinan besar
memberikan sumbangan terhadap penurunan kegiatan perekonomian nasional.
Konversi minyak tanah ke elpiji berdampak pada peningkatan biaya
transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami
peningkatan sebesar 5.552 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah
nasional turun sebesar 0.170 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan 33 Menggunakan asumsi bahwa pola konsumsi rumahtangga akan minyak tanah dan elpiji pada periode peramalan 2010-2014 sama dengan pola konsumsi tahun 2007, maka 12 789 797 kiloliter minyak tanah mensuplai 36.57 persen rumahtangga dan 1 316 242 ton elpiji mensuplai 10.57 persen rumahtangga. Apabila kebutuhan 10.57 persern rumahtangga dipenuhi dari minyak tanah, maka diperlukan sekitar (0.1057/0.3657) * 12 789 797 kiloliter = 3 696 695 kiloliter minyak tanah yang setara dengan 1 316 242 ton elpiji. Jadi faktor substitusi minyak tanah terhadap elpiji adalah (1 316 242 / 3 696 695) = 0.35. Artinya, untuk menggantikan 1 316 242 ton elpiji dibutuhkan sekitar 3 696 695 kiloliter minyak tanah.
233
tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah
penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga
tingkat penduduk nasional naik sebesar 8.616 persen.
Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam APBN tahun fiskal 2009 (Departemen Keuangan, 2009b),
pemerintah berusaha menekan peningkatan konsumsi BBM. Beberapa upaya yang
akan dilakukan pemerintah antara lain adalah: (1) mempercepat program konversi
bahan bakar minyak rumahtangga ke elpiji, (2) memanfaatkan energi alternatif
seperti batubara, gas bumi, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati, (3)
mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal dan non-
fiskal. Dalam rangka menjabarkan kebijakan peramalan tersebut, simulasi ini
melakukan program konversi minyak tanah ke elpiji dan pengendalian konsumsi
BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal.
Dengan asumsi bahwa premium banyak dikonsumsi oleh masyarakat
golongan menengah atas, maka subsidi harganya diturunkan lebih besar
dibandingkan dengan subsidi harga minyak solar. Sementara minyak solar, yang
seringkali dikaitkan dengan kegiatan usaha dan industri, penurunan subsidi
harganya lebih kecil dibandingkan dengan premium. Hal ini dimaksudkan agar
kenaikan harga jual eceran premium lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
harga jual eceran minyak solar, sedemikian sehingga harga jual eceran minyak
solar relatif masih lebih terjangkau dibandingkan dengan premium. Dengan
demikian, subsidi harga premium dikurangi dari semula 38.42 persen menjadi
20.00 persen dari harga keekonomiannya, subsidi harga minyak solar dikurangi
dari semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya,
234
subsidi harga minyak tanah dikurangi dari semula 72.49 persen menjadi 30.00
persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula
17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Hasil simulasi
kebijakan peramalan ini dapat dillihat pada Tabel 52.
Dalam rangka mendukung program konversi minyak tanah ke elpiji,
simulasi kebijakan peramalan ini menaikkan harga jual eceran minyak tanah luar
biasa tinggi yaitu 145.136 persen. Di lain pihak, meskipun harga jual eceran elpiji
diturunkan agar konsumsinya meningkat, namun penurunan harga jual ecerannya
relatif kecil yaitu 12.498 persen.
Hasil simulasi ini mengurangi jumlah konsumsi premium, minyak solar,
dan minyak tanah. Jumlah konsumsi premium dan minyak solar berkurang
masing-masing sebesar 2.180 dan 2.647 persen. Sementara jumlah konsumsi
minyak tanah berkurang 23.104 persen atau 2 954 955 kiloliter yang
dikompensasi dengan penambahan elpiji sebesar 4.051 persen atau 53 321 ton.
Jumlah kompensasi elpiji masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sebanding
dengan pengurangan minyak tanah. Karena itu diperkirakan ada rumahtangga
yang mengurangi jumlah konsumsi energinya atau melakukan substitusi sumber
energi dari minyak tanah ke kayu bakar atau sumber energi lainnya.
Simulasi peramalan kebijakan ini berdampak kurang baik bagi
perekonomian. Hal ini diindikasikan oleh penurunan investasi nasional,
penurunan net ekspor, dan GDP nasional. Sebagai akibat dari penurunan belanja
subsidi, maka anggaran belanja negara mengalami penurunan cukup besar yaitu
9.865 persen, yang selanjutnya mengurangi GDP nasional sebesar 2.081 persen.
Dari segi pandangan kebijakan moneter, penurunan GDP nasional mampu
235
menurunkan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga
mengalami peningkatan sebesar 5.929 persen. Besarnya biaya uang akan
mengakibatkan investor mengurangi kegiatan investasinya, baik investasi di
sektor migas maupun non-migas. Penurunan GDP nasional memiliki arti lain dari
pandangan sektor riil yaitu mengindikasikan kurangnya gairah pengusaha
meningkatkan produksi karena lemahnya daya serap konsumen dan berkurangnya
investasi baru. Kedua hal ini berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja
dan juga penurunan upah. Penurunan permintaan tenaga kerja, pada kondisi
penawaran tenaga kerja relatif konstan, berdampak pada peningkatan jumlah
pengangguran sebesar 5.126 persen.
Kombinasi dari peningkatan pengangguran, penurunan belanja anggaran
negara, penurunan upah nasional, tingginya inflasi, yang meskipun dinetralisasi
dengan penurunan harga jual eceran elpiji, membawa dampak pada peningkatan
jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 15.479 persen dan penduduk miskin
perkotaan sebesar 25.560 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional
meningkat sebesar 18.291 persen.
Pengurangan subsidi BBM cenderung mengakibatkan dampak kurang baik
bagi perekonomian. Namun disisi lain terlihat bahwa pengurangan subsidi
memberikan dampak positif berupa penciptaan ruang fiskal yang lebih besar dan
kesempatan realokasi anggaran pada pos-pos kegiatan yang sangat membutuhkan.
Penempatan anggaran pada ruang fiskal menjadi sangat penting karena besarnya
ketidakpastian perekonomian dunia dan juga sebagai dampak dari globalisasi.
Globalisasi telah mendekatkan kepentingan antar negara dan menciptakan
ketergantungan sangat tinggi antar negara, terutama negara-negara yang memiliki
236
hubungan dagang yang penting. Gejolak politik, keamanan, sosial, bahkan
moneter yang memiliki dampak terhadap nilai tukar, inflasi, atau pasar saham di
suatu negara akan menjalar dengan cepat ke negara mitra dagangnya. Krisis
keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah memicu
ketidakstabilan dunia, dimana nilai tukar dan pasar saham Indonesia sempat
mengalami penurunan. Ketidakstabilan eksternal tersebut ditambah dengan
masalah-masalah internal seperti gejolak politik dan penataan kehidupan
demokrasi, mengharuskan pemerintah bersikap hati-hati dalam melakukan
kebijakan fiskal. Dalam kerangka inilah ruang fiskal menjadi sangat penting
peranannya dalam menjaga momentum pembangunan.
Dibandingkan dengan simulasi 4, maka simulasi peramalan ini mampu
mengurangi subsidi dalam jumlah yang lebih besar, karena premium dan minyak
solar juga berkurang subsidinya. Subsidi harga premium dan minyak solar
berkurang berturut-turut sebesar 40.415 persen atau Rp. 686 per liter dan 21.775
persen atau Rp. 296 per liter. Subsidi harga minyak tanah berkurang sebesar
52.624 persen atau Rp. 1 871 per liter, dan subsidi harga elpiji meningkat sebesar
68.880 persen atau Rp. 376 per kilogram. Kombinasi dari penurunan subsidi harga
dengan penurunan jumlah konsumsi mengakibatkan subsidi berkurang dalam
jumlah yang besar atau terjadi penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 59 126
miliar. Selanjutnya penghematan yang berasal dari penurunan belanja subsidi
BBM mampu memberikan tambahan ruang fiskal bagi anggaran belanja negara
sebesar Rp. 56 123 miliar.
237
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah
terhadap kestabilan anggaran belanja negara, pemerintah melakukan berbagai
upaya. Dari sisi penerimaan, upaya yang dilakukan antara lain berupa
pengoptimalan penerimaan negara, intensifikasi perpajakan, peningkatan produksi
migas (lifting), dan pencarian sumber-sumber penerimaan lain. Dari sisi
pengeluaran, upaya pemerintah antara lain melakukan penghematan belanja,
penjadwalan pelaksanaan proyek-proyek yang tidak terlalu penting, penjadwalan
pembayaran hutang dalam negeri atau luar negeri, dan terakhir adalah peningkatan
harga jual eceran BBM.
Simulasi peramalan ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 52,
merupakan kombinasi simulasi 1 + simulasi 2 + simulasi 5. Simulasi ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan peningkatan penerimaan dalam
negeri dapat mengatasi dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM yang
dilakukan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Kebijakan pengurangan
subsidi BBM, di satu pihak, telah mengakibatkan dampak kurang baik bagi
perekonomian. Hal ini terutama dikarenakan pengurangan subsidi berakibat pada
penurunan anggaran belanja negara yang selanjutnya akan cenderung
menyebabkan kontraksi perekonomian.
Dalam rangka mengatasi penurunan anggaran belanja negara, simulasi ini
meningkatkan penerimaan dalam negeri pemerintah. Peningkatan penerimaan
dalam negeri tidak hanya akan menambah anggaran belanja negara, tetapi juga
akan memperbaiki gap fiskal karena sumber pendanaannya berasal dari dalam
238
negeri. Meningkatnya penerimaan dalam negeri dapat digunakan untuk
menambah subsidi harga BBM, yang harga dunianya meningkat sebesar 5 persen.
Ketika harga dunia minyak mentah meningkat dan harga jual eceran BBM relatif
konstan, maka selisih antara harga keekonomian dengan harga jual ecerannya
akan semakin melebar. Karena itu, ketika harga dunia minyak mentah meningkat,
maka anggaran subsidi cenderung meningkat, yang salah satu sumber
pendanaannya berasal dari peningkatan penerimaan dalam negeri.
Simulasi peramalan kebijakan ini tampaknya mampu menjaga stabilitas
anggaran belanja negara, dimana anggaran belanja negara hanya turun sebesar
0.327 persen. Penurunan anggaran belanja negara yang relatif kecil diharapkan
dapat meredam dampak negatif dari penurunan subsidi. Meskipun demikian, nilai
ekspor bersih dan investasi nasional mengalami penurunan yang cukup besar
sehingga GDP nasional tetap mengalami penurunan sebesar 0.600 persen.
Meskipun GDP nasional mengalami perlambatan penurunan, namun tingkat
pertumbuhan ekonomi nasional masih menurun sebesar 4.721 persen.
Pada simulasi ini terlihat bahwa subsidi harga BBM menanggung sebagian
porsi dari kenaikan harga dunia minyak mentah 5 persen. Ketika harga dunia
minyak mentah meningkat, maka meningkat pula subsidi harga dan harga jual
eceran BBM secara proporsional. Dibandingkan dengan simulasi 5, subsidi harga
BBM rata-rata mengalami kenaikan 5 persen, yaitu subsidi harga premium naik
dari Rp. 1 011 per liter menjadi Rp. 1 062 per liter, subsidi harga minyak solar
naik dari Rp. 1 063 per liter menjadi Rp. 1 116 per liter, subsidi harga minyak
tanah naik dari semula Rp. 1 684 per liter menjadi Rp. 1 768 per liter, dan subsidi
harga elpiji naik dari Rp. 914 per kg menjadi Rp. 960 per kg.
239
Bagian lain dari kenaikan harga dunia minyak mentah akan dibebankan
kepada konsumen melalui peningkatan harga jual eceran. Dibandingkan dengan
simulasi 5, harga jual eceran premium naik 7.63 persen dari semula Rp. 3 485 per
liter menjadi Rp. 3 751 per liter, minyak solar naik 7.62 persen dari semula Rp. 3
662 per liter menjadi Rp. 3 941 per liter, minyak tanah naik 8.89 persern dari
semula Rp. 3 308 per liter menjadi Rp. 3 602 per liter, dan elpiji naik 8.31 persen
dari semula Rp. 2 201 per kg menjadi Rp. 2 384 per kg. Akibat lanjut dari
kenaikan harga jual eceran adalah menurunnya konsumsi BBM. Sebagai contoh,
konsumsi minyak tanah turun dari semula 9.83 juta kiloliter menjadi 9.41 juta
kiloliter, sedangkan konsumsi elpiji juga mengalami penurunan dari semula 1.37
juta ton menjadi 1.36 juta ton.
Terhadap nilai dasar peramalan, konsumsi minyak tanah turun 26.421
persen atau 3 379 182 kiloliter dan konsumsi elpiji naik 3.209 persen atau 42 237
ton. Dari kondisi ini terdapat indikasi bahwa pengurangan konsumsi minyak
tanah tidak diimbangi dengan penambahan konsumsi elpiji, sehingga ada
rumahtangga yang mengalihkan sumber energinya ke sumber lain seperti ke kayu
bakar, biomassa lain, atau mengurangi konsumsi energinya.
Secara umum simulasi peramalan kebijakan ini masih mengakibatkan
dampak kurang baik bagi perekonomian, meskipun kenaikan penerimaan dalam
negeri telah berhasil meredam sebagian dampak negatifnya. Tingkat suku bunga
masih mengalami kenaikan sehingga investasi migas dan non-migas mengalami
perlambatan, yang nantinya akan berdampak pada penurunan GDP nasional.
Penurunan anggaran belanja negara dan perlambatan pertumbuhan ekonomi telah
memaksa kegiatan ekonomi mengalami ’slowing-down’ sehingga permintaan
240
tenaga kerja juga mengalami penurunan. Akibat lanjutnya adalah terjadi
penurunan upah nasional dan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebesar
2.204 persen.
Interaksi dari berbagai faktor diatas ternyata berhasil mempengaruhi
tingkat kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan.
Penurunan upah nasional, peningkatan pengangguran, dan berkurangnya anggaran
belanja negara turut memberikan sumbangan atas pertambahan jumlah penduduk
miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional
meningkat sebesar 5.385 persen.
Strategi pengurangan subsidi BBM tampaknya berhasil memperbaiki gap
fiskal anggaran belanja negara, meningkatkan ruang fiskal, serta realokasi
anggaran bagi program-program yang lebih mendesak. Simulasi ini berhasil
menghemat subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar atau penurunan sebesar
43.276 persen. Penghematan subsidi berdampak pada pengurangan gap fiskal
sebesar Rp. 51 901 miliar atau penurunan sebesar 54.474 persen. Penurunan gap
fiskal ini sangat penting dalam rangka menciptakan strategi fiskal yang
berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan dari sumber dana luar negeri.
Penghematan subsidi BBM, dari sudut kebijakan fiskal, ternyata memberikan
hasil positif dan menjanjikan serta memiliki prospek fiskal jangka panjang.
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui dampak lanjutan dari simulasi 6
dengan melakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi
BBM sebesar Rp. 60 485 miliar. Penghematan subsidi BBM yang diperoleh dari
241
simulasi 6 berhasil mengurangi gap fiskal. Namun, diketahui bahwa di negara
berkembang seperti Indonesia, peranan anggaran belanja negara masih dominan
dalam menggerakkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk mempertahankan besaran anggaran belanja negara sama
seperti sebelumnya, penghematan subsidi BBM tersebut dimasukkan kembali
dalam anggaran belanja melalui penambahannya pada variabel belanja pemerintah
diluar subsidi BBM (GOVENS). Simulasi 7 adalah melakukan penambahan
anggaran sebesar Rp. 60 485 miliar, yang berasal dari penghematan subsidi BBM
pada simulasi 6, pada variabel GOVENS.
Realokasi anggaran tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan
berbagai kebijakan fiskal diluar subsidi BBM, seperti pengembangan ruang fiskal,
pembangunan prasarana, penambahan anggaran pro-rakyat, atau program lain
yang dianggap lebih mendesak. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52.
Hasil simulasi ini serupa dengan hasil simulasi 6 pada beberapa hal
diantaranya yaitu besaran subsidi harga BBM, besaran harga jual eceran BBM,
dampak terhadap jumlah konsumsi BBM, dan ekspor bersih BBM. Dampak yang
membedakan antara simulasi 6 dan 7 adalah pada simulasi 7 dilakukan realokasi
anggaran belanja negara yang berasal dari penghematan subsidi BBM, sehingga
belanja pemerintah meningkat 10.177 persen. Peningkatan anggaran belanja
negara ini ternyata mampu mengurangi dampak kurang baik dari simulasi
kebijakan penghematan subsidi BBM menjadi lebih positif bagi kinerja
perekonomian dan kemiskinan.
Peningkatan anggaran belanja negara sebesar 10.177 persen, yang
bersama-sama dengan penurunan ekspor bersih dan investasi nasional, masih
242
mampu meningkatkan GDP nasional sebesar 1.606 persen. Peningkatan anggaran
belanja negara dan GDP nasional cenderung mengakibatkan dampak positif bagi
perekonomian dan kemiskinan.
Simulasi ini memberikan dampak positif bagi perekonomian dengan
melihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi positif 9.591 persen dan
tingkat suku bunga turun 6.121 persen. Penurunan suku bunga akan memicu
peningkatan investasi dan meningkatkan produksi barang dan jasa sehingga
diperlukan tambahan tenaga kerja cukup besar yaitu 0.554 persen. Tingkat suku
bunga adalah salah satu unsur penting dalam proses keputusan bisnis karena akan
mempengaruhi kemampuan melunasi pinjaman serta tingkat keuntungan yang
dapat dicapai. Selanjutnya, besarnya permintaan tenaga kerja mengakibatkan
tenaga kerja yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan pengangguran menjadi
berkurang. Berkurangnya pengangguran berarti semakin banyak masyarakat yang
memiliki penghasilan sendiri dan semakin terangkat dari garis kemiskinan.
Interaksi dari berbagai faktor diatas berhasil meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah
nasional, penurunan pengangguran, dan peningkatan anggaran belanja negara
turut memberikan sumbangan atas berkurangnya jumlah penduduk miskin
perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional turun
sebesar 10.590 persen.
Strategi realokasi anggaran belanja tampaknya tidak menguntungkan
dalam upaya pengurangan gap fiskal, meskipun terjadi penghematan subsidi BBM
sebesar 43.781 persen. Simulasi ini cenderung meningkatkan gap fiskal sebesar
9.678 persen yang kurang kondusif dari sudut pandang kebijakan fiskal yang
243
berkelanjutan atau kebijakan ketahanan fiskal. Strategi realokasi yang dilakukan
pada simulasi ini ternyata membutuhkan tambahan dana yang berasal dari hibah
atau pinjaman luar negeri untuk menutup gap fiskal yang semakin melebar.
Beberapa indikator ketahanan fiskal yang dapat digunakan, selain
perkembangan rasio utang terhadap PDB, adalah rasio pembayaran pokok dan
bunga utang terhadap PDB, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan
negara, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara. Rasio utang
terhadap PDB menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaaan utang yang dilakukan,
sehingga semakin rendah tingkat rasio maka semakin efisien pemanfaatan utang.
Pada 5 tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB menunjukkan angka yang
berkisar pada 4.7 persen terhadap PDB (Departemen Keuangan, 2009b).
Realokasi anggaran belanja negara pada simulasi ini mengarah pada
strategi yang dikenal sebagai stimulus fiskal. Pemanfaatan stimulus fiskal dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain adalah: (1) pemberian insentif
perpajakan pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki efek multiplikasi yang
besar, (2) optimalisasi belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan
demi penciptaan lapangan kerja dan memberikan dukungan bagi sektor swasta, (3)
alokasi belanja negara untuk meningkatkan daya beli masyarakat bepenghasilan
rendah dalam bentuk subsidi energi dan non-energi, dan (4) dukungan pemerintah
kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur (public-private partnership).
Pada saat ini pemerintah sedang menghadapi dilemma perihal pembayaran
pokok hutang dan bunga pinjaman yang semakin membesar. Pada tahun 2009
(Departemen Keuangan, 2009b) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan utang
dalam jangka panjang, berpedoman pada: (1) penurunan rasio utang terhadap PDB
244
secara bertahap, (2) penetapan target tambahan utang bersih maksimal terhadap
PDB dengan kisaran kurang lebih 1 persen, dan (3) pengurangan secara bertahap
ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Sehingga dapat disimpulkan sementara
bahwa simulasi ini berdampak relatif baik bagi perekonomian dan pengurangan
kemiskinan, namun ternyata peningkatan kebutuhan akan utang luar negeri perlu
diwaspadai.
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi 8, yaitu simulasi 7 ditambah kenaikan indek harga konsumen 5
persen, dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih utuh mengenai kondisi
dunia nyata ketika beberapa variabel endogen bergerak bersama-sama. Hasil
simulasi dharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil keputusan akan
dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ketika terjadi tambahan tingkat
inflasi sebesar 5 persen. Penambahan tingkat inflasi diperkirakan akan membuat
perekonomian sedikit memburuk karena harga-harga umum cenderung meningkat
dan daya beli masyarakat turun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52.
Easterly (2001) melakukan studi pada 31 869 responden di 38 negara
dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antar-negara. Masyarakat kurang
mampu, yang dicirikan antara lain rendahnya pendapatan, rendahnya tingkat
pendidikan, tenaga kerja tidak terdidik, sangat rentan terkena dampak negatif dari
inflasi, dibandingkan dengan masyarakat mampu. Inflasi tinggi akan cenderung
mengakibatkan penambahan jumlah orang miskin, kelompok masyarakat miskin
245
menjadi semakin miskin, penurunan upah riil, dan akhirnya kontrisbusinya
terhadap GDP yang sudah kecil menjadi semakin kecil.
Inflasi juga berdampak pada kegiatan perekonomian nasional. Penelitian
yang dilakukan oleh Elder (2004) di Amerika Serikat menemukan bahwa
ketidakpastian inflasi berdampak pada penurunan penawaran barang dan jasa,
penurunan aktivitas riil ekonomi nasional, dan penurunan pertumbuhan produksi
nasional. Kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi ketidakpastian inflasi akan
cenderung mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Simulasi ini menghasilkan dampak terhadap peningkatan harga jual eceran
BBM yang semakin besar, yang tampaknya disebabkan oleh efek peningkatan
inflasi. Dalam kondisi inflasi yang semakin tinggi, maka nilai uang akan semakin
menurun, yang diindikasikan oleh naiknya harga barang dan jasa. Dibandingkan
dengan simulasi 7, harga jual eceran premium yang semula meningkat 38.407
persen menjadi 41.120 persen, minyak solar yang semula meningkat 20.491
persen menjadi 22.854 persen, minyak tanah yang semula meningkat 168.134
persen menjadi 174.203 persen, dan elpiji yang semula turun 4.834 persen
menjadi 2.731 persen. Peningkatan harga jual eceran yang semakin tinggi sebagai
akibat dari semakin tingginya inflasi, juga mengakibatkan jumlah konsumsi BBM
semakin menurun. Jumlah konsumsi premium yang semula turun 3.832 persen
menjadi 4.198 persen, minyak solar yang semula turun 4.514 persen menjadi
5.186 persen, minyak tanah yang semula turun 26.583 persen menjadi 27.595
persen, dan elpiji yang semula naik 3.199 persen menjadi 2.770 persen.
Dibandingkan dengan nilai dasar, jumlah konsumsi minyak tanah turun
sebesar 27.595 persen atau 3 529 398 kiloliter, yang dikompensasi dengan
246
kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebesar 36 457 ton. Menggunakan faktor
substitusi 0.35, maka penurunan jumlah konsumsi minyak tanah tersebut setara
dengan kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebanyak 1 235 289 ton elpiji, sehingga
terdapat kekurangan sebesar 1 198 832 ton elpiji.
Dengan demikian, pada simulasi ini terlihat bahwa peningkatan jumlah
konsumsi elpiji hanya mampu mengkompensasi sebagian kecil penurunan
konsumsi minyak tanah. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan konsumsi
energi dalam perekonomian yang akan berdampak pada penurunan kapasitas
kegiatan perekonomian dan selanjutnya akan terjadi penurunan tingkat
pertumbuhan ekonomi.
Ekspor bersih mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin
mahalnya harga impor BBM dalam mata uang rupiah. Selain nilai impor yang
semakin mahal, juga terjadi peningkatan jumlah impor premium. Peningkatan
volume impor premium disebabkan oleh elastisnya impor premium terhadap
inflasi domestik dan harga dunia premium. Kombinasi dari penurunan nilai ekspor
bersih, investasi, dan konsumsi nasional serta kenaikan anggaran belanja negara
mengakibatkan GDP nasional mengalami peningkatan sebesar 0.996 persen dan
pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen.
Simulasi peramalan kebijakan ini memberikan dampak yang relatif kurang
baik bagi pasar tenaga kerja. Ketika tingkat suku bunga mengalami peningkatan
maka terjadi kelesuan dalam kegiatan penanaman modal dan kegiatan produksi,
yang menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja lebih kecil dari
peningkatan penawarannya, sehingga terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja
247
dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 0.479 persen. Dampak selanjutnya
adalah menurunnya tingkat upah nasional.
Simulasi ini menghasilkan dampak yang relatif baik terhadap upaya
pengentasan kemiskinan. Kombinasi dari penurunan upah nasional, peningkatan
jumlah pengangguran, peningkatan harga jual eceran elpiji, peningkatan anggaran
belanja negara, dan tingkat inflasi yang tinggi, mengakibatkan penurunan jumlah
penduduk miskin di perdesaan dan di perkotaan masing-masing sebesar 4.821
persen dan 16.303 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin di kedua daerah
tersebut mengakibatkan penurunan tingkat penduduk miskin nasional sebesar
7.967 persen.
Penurunan penduduk miskin tampaknya disebabkan oleh peningkatan
anggaran belanja negara. Dari seluruh variabel endogen pembentuk persamaan
kemiskinan, variabel inflasi, pengangguran, dan upah nasional menunjukkan
kinerja yang buruk. Hanya variabel endogen anggaran belanja negara dan harga
jual eceran elpiji yang menunjukkan indikasi kondusit terhadap upaya
pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam
rangka program pengentasan kemiskinan, peranan belanja pemerintah di
Indonesia masih dominan dan strategis. Ketika inflasi sangat tinggi yaitu 27.408
persen, pengangguran meningkat, dan upah nasional menurun, namun karena
anggaran belanja negara yang meningkat dan mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi sebesar 19.729 persen, maka tingkat kemiskinan nasional berhasil
dikurangi.
Meskipun dalam simulasi ini terlihat betapa penting dan strategisnya
peranan anggaran belanja negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
248
mengurangi kemiskinan, namun komponen pembentuk anggaran belanja negara
tahun 2009 cukup mengkhawatirkan. Departemen Keuangan, 2009b, menyatakan
bahwa dari jumlah anggaran belanja negara (pemerintah pusat) sebesar Rp. 716
400 miliar, sebagian besar yaitu 57.0 persen digunakan mendanai pengeluaran
wajib seperti belanja pegawai sebesar 19.6 persen, pembayaran bunga utang
sebesar 14.2 persen, dan subsidi sebesar 23.3 persen. Sedangkan porsi anggaran
yang tidak mengikat hanya mencapai 43.0 persen yang meliputi belanja barang,
belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Kecilnya porsi anggaran
untuk belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain
barangkali akan memberikan dampak yang berbeda terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi yang pro rakyat miskin
tahun fiskal 2009, pemerintah melaksanakan berbagai program diantaranya adalah
pemberian bantuan sosial, penyediaan Bantuan Langsung Tunai, penyediaan beras
subsidi (raskin), program Kartu Sehat, Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah.
6.3. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Pada bagian ini dilakukan evaluasi skenario simulasi kebijakan
menggunakan indikator kesejahteraan yang mencakup surplus produsen, surplus
konsumen, dan perubahan subsidi BBM, untuk setiap jenis BBM, sebagaimana
yang ditunjukkan pada Tabel 53. Metode evaluasi adalah menjumlahkan seluruh
indikator sehingga diperoleh perubahan dampak bersih kesejahteraan.
249
Simulasi 1 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar
Rp. 19 760 miliar. Hal ini terjadi karena kenaikan harga dunia minyak mentah
tidak seluruhnya dapat diserap oleh kenaikan subsidi harga BBM, sehingga harga
Tabel 53. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014
1 2 3 4 5 6 7 8A. Premium1. Surplus Produsen 8 079 -27 26 038 690 26 421 35 691 36 277 39 8202. Surplus Konsumen -6 424 21 -20 565 -542 -20 824 -28 188 -28 584 -30 6583. Perubahan Subsidi -160 186 -19 453 326 -19 462 -19 743 -19 754 -19 8554. Perubahan Dampak Bersih 1 495 180 -13 979 474 -13 864 -12 239 -12 060 -10 694
B. Minyak Solar1. Surplus Produsen 9 481 -3 125 13 857 985 14 242 24 785 25 381 28 5192. Surplus Konsumen -8 829 2 879 -12 891 -908 -13 240 -23 197 -23 733 -26 5583. Perubahan Subsidi -556 3 400 -11 161 230 -11 183 -11 877 -11 904 -12 1564. Perubahan Dampak Bersih 96 3 154 -10 195 306 -10 182 -10 288 -10 256 -10 195
C. Minyak Tanah1. Surplus Produsen 2069 -491 10 822 14 902 15 282 17 474 17 591 18 1952. Surplus Konsumen -3457 800 -19 184 -27 146 -27 938 -32 621 -32 874 -34 2133. Perubahan Subsidi -1354 1 251 -21 549 -28 890 -29 014 -29 740 -29 787 -29 9984. Perubahan Dampak Bersih -2742 1 560 -29 911 -41 135 -41 670 -44 896 -45 070 -46 017
D. Elpiji1. Surplus Produsen 132 -16 376 -451 -410 -170 -157 -892. Surplus Konsumen -134 16 -381 445 405 170 157 893. Perubahan Subsidi 89 22 -322 535 534 523 523 5184. Perubahan Dampak Bersih 87 22 -326 529 529 523 523 518
E. Bahan Bakar Minyak1. Surplus Produsen 19 760 -3 659 51 094 16 126 55 536 77 780 79 092 86 4452. Surplus Konsumen -18 844 3 717 -53 020 -28 152 -61 597 -83 835 -85 034 -91 3403. Perubahan Subsidi -1 981 4 859 -52 484 -27 799 -59 126 -60 845 -60 921 -61 4924. Perubahan Dampak Bersih -1 064 4 917 -54 411 -39 825 -65 187 -66 900 -66 863 -66 387
Keterangan:Simulasi 1 Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persenSimulasi 2 Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persenSimulasi 3 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan ElpijiSimulasi 4 Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 5 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 6 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5)Simulasi 7 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar.Simulasi 8 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen
+ Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
No. UraianPerubahan Kesejahteraan (Rp. Miliar)
250
jual eceran BBM mengalami peningkatan. Peningkatan harga jual eceran BBM
yang diikuti oleh penurunan konsumsinya mengakibatkan produsen relatif lebih
menikmati manfaatnya dibandingkan konsumen. Di lain pihak, konsumen
cenderung dirugikan dengan penurunan surplus sebesar Rp. 18 844 miliar. Dalam
rangka mengatasi kenaikan harga dunia BBM, pemerintah berusaha meningkatkan
anggaran subsidi harganya. Namun keterbatasan anggaran mengakibatkan dana
yang tersedia tidak cukup sehingga terjadi kenaikan harga BBM dalam negeri.
Kenaikan harga ini memicu penurunan konsumsinya, sehingga subsidi BBM
mengalami penciutan sebesar Rp. 1 981 miliar. Dampak bersih kesejahteraan
mengalami penurunan sebesar Rp. 1 064 miliar.
Simulasi 2 yang dicirikan oleh penurunan harga jual eceran BBM
berdampak pada surplus konsumen sebesar Rp. 3 717 miliar. Hal ini terjadi karena
kenaikan penerimaan dalam negeri akan memberikan kesempatan pemerintah
untuk meningkatkan anggaran belanja, termasuk anggaran subsidi BBM.
Kenaikan subsidi harga, dalam kondisi harga dunia minyak dan nilai tukar rupiah
relatif stabil, akan mengakibatkan harga jual eceran turun. Konsumen minyak
solar menikmati surplus terbesar, sementara konsumen elpiji menikmat surplus
konsumen terkecil karena penurunan harga jual ecerannya yang paling kecil.
Permintaan BBM tidak elastis terhadap perubahan harganya, namun dalam nilai
mutlak, penurunan harga telah mengakibatkan peningkatan jumlah konsumsi yang
lebih besar. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan subsidi BBM sebesar Rp.
4 859 miliar. Pada akhirnya terjadi peningkatan dampak bersih kesejahteraan pada
simulasi ini sebesar Rp. 4 917 miliar.
251
Simulasi 3 memberikan surplus bagi kesejahteraan produsen BBM sebesar
Rp. 51 094 miliar. Hal ini terjadi karena penurunan subsidi harga BBM akan
menaikkan harga jual ecerannya, bahkan harga jual eceran minyak tanah
meningkat 102.742 persen. Meskipun kenaikan harga jual eceran minyak tanah
adalah yang terbesar, namun surplus produsen premium lebih besar dari minyak
tanah. Hal ini dikarenakan harga dasar dan volume penjualan premium 2 kali lebih
besar dari minyak tanah, sehingga kenaikan surplus produsen premium dalam
nilai mutlak tetap 2 kali lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Simulasi
peramalan penurunan subsidi harga mengakibatkan terjadinya penurunan subsidi
BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Kenaikan harga jual eceran BBM mengakibatkan
konsumen menderita dengan penurunan surplus konsumen sebesar Rp. 53 020
miliar. Akhirnya terjadi defisit dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 54 411
miliar.
Simulasi 4 yang merupakan simulasi konversi minyak tanah ke elpiji,
mengakibatkan kenaikan harga jual eceran minyak tanah dan penurunan harga
jual eceran elpiji, sementara harga jual eceran premium dan minyak solar relatif
tetap. Kenaikan jual eceran minyak tanah berdampak pada peningkatan
kesejahteraan produsen minyak tanah sebesar Rp. 14 902 miliar, pengurangan
kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 27 146 miliar, dan pengurangan
subsidinya sebesar Rp. 28 890 miliar. Di lain pihak, penurunan harga jual eceran
elpiji, berdampak pada penurunan kesejahteraan produsennya sebesar Rp. 451
miliar, peningkatan kesejahteraan konsumennya sebesar Rp. 445 miliar, dan
peningkatan subsidinya sebesar Rp. 535 miliar. Simulasi ini ternyata mampu
meningkatkan surplus produsen BBM sebesar Rp. 16 126 miliar. Surplus
252
produsen terbesar terjadi pada minyak tanah yaitu Rp. 14 902 miliar. Program
konversi ternyata lebih memberikan manfaat bagi produsen dibandingkan
terhadap konsumen. Selain itu penurunan subsidi BBM juga berperan besar dalam
pengurangan kesejahteraan. Dampak bersih perubahan kesejahteraan adalah Rp.
39 825 miliar yang keluar dari masyarakat.
Simulasi 5 adalah kombinasi dari penurunan subsidi harga premium dan
minyak solar dengan program konversi minyak tanah ke elpiji. Simulasi ini
meningkatkan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 55 536 miliar, penurunan
kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 61 597 miliar, dan pengurangan subsidi
sebesar Rp. 59 126 miliar. Besarnya peralihan surplus dari konsumen ke produsen
disebabkan karena simulasi ini mengakibatkan kenaikan seluruh harga jual eceran
BBM yang cukup besar. Hal ini membuat produsen relatif lebih diuntungkan
dibandingkan konsumen. Selain itu penurunan dampak bersih sebesar Rp. 65 187
miliar mengindikasikan bahwa simulasi ini perlu mendapat perhatian karena
berpotensi menurunkan kesejahteraan pada umumnya.
Simulasi 6 adalah kombinasi dari peningkatan harga dunia minyak
mentah, peningkatan penerimaan dalam negeri, pengurangan subsidi BBM, dan
konversi minyak tanah ke elpiji. Dalam upaya menetralisasi dampak dari kenaikan
harga dunia minyak mentah, simulasi ini mengupayakan peningkatan subsidi
harga BBM melalui peningkatan penerimaan dalam negeri. Tampaknya, kenaikan
penerimaan dalam negeri sebesar 10 persen tidak berarti kenaikan subsidi harga
BBM pada porsi yang sama. Alokasi belanja negara pada pos-pos anggaran
merupakan keputusan politik yang tidak selalu sejalan dengan logika ekonomi.
Karena itu, terlihat bahwa pada simulasi ini harga BBM meningkat lebih tajam
253
lagi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Sebagai akibat dari kenaikan
harga jual eceran BBM tersebut, maka terjadi peralihan kesejahteraan dari
konsumen ke sisi produsen. Surplus produsen terbesar pada produsen premium
yang meningkat sebesar Rp. 35 691 miliar. Sementara surplus konsumen terbesar
pada konsumen minyak tanah yang berkurang sebesar Rp. 32 621 miliar. Simulasi
ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen BBM sebesar Rp. 77 780
miliar, pengurangan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 83 835 miliar, dan
pengurangan subsidi sebesar Rp. 60 844 miliar. Dampak bersih kesejahteraan
mengalami penurunan sebesar Rp. 66 900 miliar.
Simulasi 7 merupakan kombinasi dari simulasi 6 ditambah dengan
realokasi dana yang berasal dari penghematan subsidi BBM kepada belanja
pemerintah diluar subsidi BBM. Kebijakan realokasi ini relatif tidak berpengaruh
terhadap peningkatan harga jual eceran BBM, termasuk pula pada jumlah
konsumsinya. Karena itu, seperti yang dapat diduga, simulasi ini mengakibatkan
peralihan kesejahteraan dari konsumen ke produsen. Simulasi ini berdampak pada
peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 79 092 miliar, penurunan
kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 85 034 miliar, dan pengurangan subsidi
sebesar Rp. 60 921 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan
sebesar Rp. 66 863 miliar.
Simulasi 8, merupakan kombinasi dari simulasi 7 ditambah dengan
peningkatan inflasi domestik. Peningkatan inflasi domestik ternyata berdampak
kuat terhadap kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran yang
semakin tinggi berdampak pada semakin besarnya penurunan jumlah konsumsi
BBM. Dampak berikutnya, sesuai perkiraan, yaitu semakin besarnya peralihan
254
kesejahteraan dari konsumen ke sisi produsen. Secara total, simulasi ini
berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 86 445 miliar,
penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 91 340 miliar, dan pengurangan
subsidi sebesar Rp. 61 492 miliar. Dampak bersih kesejahteraan mengalami
penurunan sebesar Rp. 66 387 miliar.
6.4. Rangkuman dan Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian, Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010-2014
6.4.1. Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Subsidi harga BBM dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, nilai
tukar rupiah, dan penerimaan dalam negeri pemerintah. Pengaruh harga dunia
terhadap subsidi harga tidak selalu sebanding dengan pengaruh penerimaan dalam
negeri pemerintah. Meskipun harga dunia minyak mentah mengalami kenaikan
dan memberi tekanan pada kenaikan subsidi harga, namun karena anggaran
belanja negara relatif konstan, maka subsidi secara umum juga konstan, dan
subsidi harga BBM hanya mengalami sedikit kenaikan. Hal yang relatif sama
akan terjadi apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi. Kenaikan harga dunia minyak
mentah dan depresiasi nilai tukar rupiah mengakibatkan semakin mahalnya harga
keekonomian BBM dalam rupiah. Kenaikan harga keekonomian BBM akan
disalurkan melalui kenaikan harga jual eceran BBM. Namun ketika simulasi
kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah 10 persen dilakukan, maka subsidi
harga mengalami kenaikan dan subsidi BBM meningkat sebesar 3.692 persen.
Dapat disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM lebih bergantung pada
ketersediaan dana pada anggaran belanja negara dibandingkan dengan pada
dorongan dari faktor eksternal.
255
Kenaikan harga jual eceran BBM berdampak pada penurunan jumlah
konsumsinya. Karena permintaan energi cenderung tidak elastis terhadap
harganya, maka persentase penurunan jumlah konsumsi BBM lebih kecil
dibandingkan dengan kenaikan harganya. Meskipun demikian, karena jumlah
konsumsi BBM sangat besar, dalam nilai mutlak penurunan konsumsi BBM tetap
sangat berpengaruh terhadap anggaran belanja negara. Pada kondisi ini subsidi
BBM mengalami penurunan sedemikian sehingga belanja pemerintah juga turun.
Menggunakan data tahun peramalan 2010-2014, diketahui bahwa subsidi
minyak tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut mencakup 72.49
persen, 38.42 persen, 29.27 persen, dan 18.27 persen dari harga keekonomiannya.
Hal ini ternyata mempengaruhi dampak kenaikan harga dunia minyak terhadap
harga jual eceran dalam negeri. Semakin besar kontribusi subsidi harga, maka
semakin sensitif harga jual eceran dalam negeri terhadap gejolak harga dunia
minyak mentah, dalam kondisi subsidi harga BBM relatif konstan. Kenaikan
harga dunia minyak mentah 10 persen menyebabkan harga jual eceran minyak
tanah, premium, minyak solar, dan elpiji berturut-turut meningkat sebesar 19.720
persen, 8.757 persen, 7.730 persen, dan 4.051 persen.
APBN tahun fiskal 2008 (Departemen Keuangan, 2008) menetapkan
asumsi harga dunia minyak mentah sebesar US$60 per barrel, sama dengan tahun
fiskal 2007. Namun pada awal tahun 2008 harga dunia minyak mentah merambat
naik dan mencapai puncaknya sebesar US$143 per barrel. Kenaikan harga dunia
minyak mentah sebesar itu diluar kemampuan anggaran untuk memikulnya.
Dalam upaya menyelamatkan APBN 2008 dari ancaman subsidi yang berlebihan,
pada bulan Mei 2008 pemerintah memutuskan untuk membagi beban subsidi
256
BBM kepada masyarakat dengan menaikkan harga jual eceran BBM rata-rata
sebesar 28.7 persen.
Penawaran BBM sekitar 65 persen berasal produksi kilang dalam negeri
dan sisanya sebesar 35 persen berasal dari impor. Pola penawaran BBM relatif
lebih stabil dan tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan harga dunia minyak
bumi maupun peningkatan inflasi dalam negeri. Meskipun peningkatan harga
dunia minyak mentah mengakibatkan harga BBM juga meningkat, namun karena
adanya subsidi BBM, peningkatan harga dunia minyak mentah tidak langsung
dirasakan oleh masyarakat. Ada jarak waktu antara kenaikan harga dunia minyak
mentah dengan kenaikan harga jual eceran BBM domestik.
Dari model diketahui bahwa premium, minyak solar, dan minyak tanah
tidak saling bersubstitusi. Artinya penurunan atau kenaikan permintaan premium
tidak berhubungan dengan permintaan minyak solar dan minyak tanah, demikian
pula sebaliknya. Karena ketiga jenis BBM ini tidak saling substitusi, maka
dimungkinkan pelaksanaan kebijakan yang bersifat ’segmented’ atau kebijakan
khusus yang tidak akan berpengaruh terhadap barang lainnya. Dalam kenyataan
sehari-hari, para pemilik kendaraan seringkali mempraktekkan pencampuran
ilegal antara minyak tanah yang murah dengan premium atau minyak solar.
Pemanfaatan elpiji di sektor industri dan transportasi masih sangat terbatas karena
membutuhkan biaya mahal dalam pengadaan converter kit dari sumber energi
BBM ke elpiji. Pada Tabel 54 dapat dilihat rangkuman hasil simulasi kebijakan
yang merupakan kebijakan tidak langsung (indirect policy) dan kebijakan
langsung (direct policy) dalam rangka mengetahui dampak subsidi BBM terhadap
kinerja perekonomian dan kemiskinan di Indonesia.
257
Tabel 54.
1 2 3 4 5 6 7 8
A.
PNWJPR Penawaran Premium (Ribu Liter) 33 898 969 0.109 0.160 3.339 1.628 3.796 4.360 4.874 10.043
PNWJSL Penawaran Minyak Solar (Ribu Liter) 37 315 237 0.213 0.098 1.330 0.639 1.511 1.945 2.191 3.697
PNWJKR Penawaran Minyak Tanah (Ribu Liter) 7 818 580 -1.152 -0.026 -0.322 -0.154 -0.366 -1.598 -1.664 -2.007
PNWJLG Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) 1 305 403 -1.381 -0.015 -0.340 -0.167 -0.387 -1.836 -1.890 -2.418
IMPBBM Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) 255 417 5.462 0.323 4.610 2.205 5.245 11.811 12.719 18.612
EKSRLG Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) 999 11.448 0.110 2.692 1.311 3.062 15.311 15.771 20.494
BOTBBM Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) - 254 417 5.439 0.323 4.618 2.209 5.254 11.798 12.707 18.605
KOSJPR Konsumsi Premium (Ribu Liter) 26 846 754 -0.905 0.010 -2.779 -0.068 -2.810 -3.795 -3.832 -4.198
KOSJSL Konsumsi Minyak Solar (Ribu Liter) 34 496 949 -1.673 0.560 -2.590 -0.150 -2.647 -4.446 -4.514 -5.186
KOSJKR Konsumsi MinyakTanah (Ribu Liter) 12 789 797 -3.174 0.777 -16.378 -22.555 -23.104 -26.421 -26.583 -27.595
KOSJLG Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) 1 316 242 -0.405 0.030 -0.458 4.150 4.051 3.209 3.199 2.770
HJECPR Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) 2 720 8.757 -0.029 27.775 0.743 28.120 37.881 38.407 41.120
HJECSL Harga Jual Eceran Minyak Solar (Rp/Lt) 3 283 7.730 -2.549 11.235 0.801 11.537 20.034 20.491 22.854
HJECKR Harga Jual Eceran Minyak Tanah (Rp/Lt) 1 349 19.720 -4.654 102.742 141.352 145.116 166.956 168.134 174.203
HJECLG Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) 2 516 4.051 -0.489 11.476 -13.734 -12.498 -5.215 -4.834 -2.731
SUBHPR Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) 1 697 0.595 0.389 -40.415 0.766 -40.415 -37.426 -37.426 -37.426
SUBHSL Subsidi Harga M.Solar (Rp/Lt) 1 359 0.530 6.610 -21.775 0.640 -21.775 -17.851 -17.851 -17.851
SUBHKR Subsidi Harga M.Tanah (Rp/Lt) 3 5555 0.270 1.944 -36.832 -52.624 -52.624 -50.262 -50.262 -50.262
SUBHLG Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) 546 12.779 2.929 -44.160 67.338 67.338 75.760 75.760 75.760
SUBBBM Subsidi BBM (Miliar Rp) 139 150 -1.424 3.492 -37.718 -19.978 -42.491 -43.726 -43.781 -44.191
B.
KOSNAS Konsumsi Nasional (Miliar Rp) 1 639 787 0.209 -0.167 0.474 0.023 0.397 0.408 0.299 -0.732
INVEST Investasi Nasional (Miliar Rp) 233 125 -0.471 0.018 -1.300 -0.649 -1.481 -2.050 -2.157 -4.831
GOVEXP Belanja Pemerintah (Miliar Rp) 581 900 -0.201 10.214 -8.749 -4.684 -9.865 -0.327 10.177 10.536
EKSPOR Ekspor Nasional (Miliar Rp) 788 296 0.093 0.086 1.597 0.776 1.815 2.137 2.393 4.770
IMPORT Impor Nasional (Miliar Rp) 601 895 2.411 0.197 2.183 1.034 2.480 5.433 5.902 8.199
GDPNAS GDP Nasional (Miliar Rp) 2 641 213 -0.478 2.129 -1.769 -1.079 -2.081 -0.600 1.606 0.996
GOVENS Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) 442 750 0.183 12.327 0.355 0.123 0.389 13.312 27.135 27.736
REVDDN Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) 486 623 -0.051 10.274 -0.224 -0.138 -0.263 10.274 10.274 10.274
FISCGP GAP Fiskal (Miliar Rp) - 95 277 -0.972 9.906 -52.291 -27.900 -58.905 -54.474 9.678 11.874
MONEYS Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) 1 256 557 -0.609 2.905 -2.420 -1.484 -2.845 -0.775 2.266 0.475
MONEYD Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) 1 366 987 -0.788 3.153 -2.990 -1.790 -3.501 -1.417 1.852 -0.649
NTUKRR Nilai Tukar (Rp/US$) 8 483 0.578 0.120 1.537 0.737 1.745 2.593 2.886 4.549
CPINDX Indeks Harga Konsumen (indeks) 298.40 1.542 0.335 4.055 1.944 4.591 6.836 7.607 13.183
INTRIL Tingkat Suku Bunga (persen) 2.76 1.121 -6.676 5.040 3.182 5.929 0.936 -6.121 0.178
UMRNAS Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) 528.10 -0.095 -1.041 -0.284 -0.170 -0.322 -1.534 -2.708 -2.746
UNEMPL Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) 12.83 1.114 -4.493 4.362 2.670 5.126 2.204 -2.456 0.479
INFLSI Tingkat Inflasi Domestik (%/Th) 9.44 4.736 1.931 12.083 5.552 13.634 21.241 24.468 27.408
NETEKS Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) 186 400 -7.394 -0.273 -0.296 -0.057 -0.330 -8.508 -8.938 -6.302
GROWTH Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) 3.40 -4.021 14.015 -11.485 -6.756 -13.559 -4.721 9.591 19.729
JOVDES Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) 13.78 1.526 -12.936 13.615 7.425 15.479 5.034 -8.322 -4.821
JOVKOT Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) 5.72 1.768 -22.464 23.250 11.717 25.560 6.297 -16.467 -16.303
POVERT Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%) 8.17 1.587 -15.588 16.313 8.616 18.291 5.385 -10.590 -7.967
C.
1. 19 760 -3 659 51 094 16 126 55 536 77 780 79 092 86 4452. -18 844 3 717 -53 020 -28 152 -61 597 -83 835 -85 034 -91 3403. -1 981 4 859 -52 484 -27 799 -59 126 -60 845 -60 921 -61 4924. -1 064 4 917 -54 411 -39 825 -65 187 -66 900 -66 863 -66 387
Keterangan:Simulasi 1 Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persenSimulasi 2 Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persenSimulasi 3 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan ElpijiSimulasi 4 Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 5 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke ElpijiSimulasi 6 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5)Simulasi 7 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar.Simulasi 8 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
Perubahan Dampak Bersih
Indikator Perekonomian dan Kemiskinan (persen)
Kemiskinan, dan Kesejahteraan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014
Surplus Produsen Bahan Bakar MinyakSurplus Konsumen Bahan Bakar MinyakPerubahan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Rangkuman Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian,
Subsidi dan Pasar Bahan Bakar Minyak (persen)
Indikator Kesejahteraan (Rp. Miliar)
Nilai Dasar
SimulasiUraianVariabel
258
Model yang dipakai pada penelitian ini menempatkan inflasi sebagai
variabel endogen yang sensitif terhadap pergerakan harga jual eceran BBM.
Kenaikan sedikit pada harga jual eceran BBM, akan mengakibatkan inflasi
meningkat tajam. Meskipun demikian, inflasi bukanlah variabel dominan bagi
penduduk miskin. Inflasi yang tinggi, diatas dua digit, cenderung dihindari oleh
pemerintah karena dapat memberi sinyal negatif bagi dunia usaha berupa
’overheating’ perekonomian sehingga penyaluran kredit perlu dijadwal ulang. Jika
pemerintah peduli terhadap besaran inflasi, maka simulasi terbaik adalah simulasi
4, 3, dan 5.
Jika pemerintah sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi
sebagai ukuran keberhasilan pembangunan, maka kita perlu melihat unsur-unsur
pembentuk GDP nasional. Kebijakan subsidi harga BBM secara langsung
mempengaruhi besaran anggaran belanja negara, yang menyumbang sekitar 1/5
dari GDP nasional. Pengaruh subsidi harga BBM terhadap komponen lainnya
terjadi secara tidak langsung. Konsumsi BBM memberikan sumbangan sebesar 14
persen dari konsumsi nasional, karena itu pengaruh kebijakan subsidi BBM relatif
tidak berpengaruh terhadap konsumsi nasional. Nilai ekspor bersih, yang
dikaitkan dengan besaran impor BBM, hanya bergerak apabila harga dunia
minyak mentah berfluktuasi. Sementara besaran investasi nasional secara tidak
langsung dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik yang bergerak sejalan
dengan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan uang. Karena itu
simulasi 7, 2, dan 8 merupakan alternatif kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi
yang layak diterapkan.
259
Sejalan dengan tingkat suku bunga yang mempengaruhi tingkat investasi,
maka tingkat investasi dan gairah berproduksi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi besaran permintaan tenaga kerja. Jika pemerintah berupaya
mengatasi masalah pasar kerja yang terus terjadi, maka simulasi 2 dan 7
merupakan alternatif kebijakan yang baik untuk mengurangi jumlah
pengangguran. Bahkan pada simulasi 7 jumlah pengangguran tetap berhasil
diturunkan dengan tetap menjalankan program pengurangan subsidi harga BBM
dan program konversi minyak tanah ke elpiji dan ketika harga dunia minyak
mentah meningkat.
Neraca perdagangan yang ditampilkan sebagai ekspor bersih ternyata
cukup dipengaruhi oleh besaran impor BBM. Impor BBM mencakup sekitar 42
persen dari impor total, sehingga kenaikan harga impor BBM dalam mata uang
rupiah berdampak pada penurunan impor nasional dan memperburuk neraca
perdagangan Indonesia. Karena itu simulasi 4, 2, 3, dan 5, merupakan alternatif
kebijakan yang baik untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kemiskinan di perdesaan lebih
sederhana yaitu inflasi, anggaran belanja negara, dan upah nasional. Jumlah
kemiskinan di perdesaan cenderung berkurang pada simulasi 2, 7, dan 8. Ketiga
simulasi ini memiliki karakteristik yang sama yaitu terjadinya peningkatan
penerimaan dalam negeri pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor
anggaran belanja negara, meskipun inflasi sangat tinggi, ternyata sangat penting
dalam membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan di perdesaan.
Anggaran belanja negara yang meningkat, memungkinkan pemerintah menambah
ruang fiskal atau melaksanakan program-program pro-rakyat seperti Bantuan
260
Langsung Tunai, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Raskin, dan Bantuan
Operasional Sekolah.
Upaya mengatasi masalah kemiskinan di perkotaan tampaknya lebih sulit
karena permasalahan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Karena itu faktor-faktor
yang mempengaruhi jumlah orang miskin perkotaan ditambahkan dengan variabel
upah nasional. Berbeda dengan di perdesaan yang banyak tersedia lapangan
pekerjaan tidak formal atau pekerjaan pertanian yang tidak masuk dalam
pencatatan sebagai sektor formal, maka di perkotaan lebih banyak orang bekerja
di sektor formal yang upahnya dicerminkan dalam upah nasional. Simulasi yang
memberi dampak menggembirakan bagi upaya pengentasan kemiskinan di
perkotaan adalah simulasi 2, 7, dan 8. Dikarenakan tingkat kemiskinan nasional
merupakan persamaan identitas, maka simulasi yang memberikan dampak positif
bagi pengurangan kemiskinan nasional adalah simulasi 2, 7, dan 8.
Indikator berikutnya adalah gap fiskal yang berasal dari pengurangan
penerimaan dalam negeri pemerintah dengan anggaran belanja negara. Semakin
besar gap fiskal, maka semakin besar kebutuhan anggaran belanja negara yang
berasal dari hibah/bantuan luar negeri. Gap fiskal memberikan indikasi apakah
suatu kebijakan fiskal memenuhi prinsip-prinsi kebijakan fiskal yang sustainable
atau berkelanjutan. Dalam simulasi yang dilakukan, sumber gap fiskal terutama
berasal dari naik turunnya anggaran subsidi BBM. Jika pemerintah melakukan
pengurangan subsidi BBM, ketika penerimaan dalam negeri relatif konstan, maka
yang terjadi adalah anggaran belanja negara berkurang, gap fiskal akan cenderung
mengecil, dan kebijakan fiskal dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal yang
berkelanjutan. Simulasi 5, 6, 3, dan 4 merupakan simulasi yang mampu
261
menurunkan gap fiskal. Namun perlu diperhatikan bahwa simulasi 7 dan 8 adalah
simulasi yang menginjeksikan kembali penghematan yang berasal dari
pengurangan subsidi ke anggaran belanja negara. Karena itu simulasi 7 dan 8
tidak menghasilkan suatu penghematan anggaran belanja negara dan bukan
simulasi yang sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
Secara umum, dampak terhadap kesejahteraan yang positif diperlihatkan
oleh simulasi 1 dan 2, yang keduanya merupakan simulasi tunggal. Dalam
penelitian ini, pengurangan subsidi merupakan unsur yang mengurangi
kesejahteraan. Meskipun demikian, pengurangan subsidi dapat juga dianggap
sebagai suatu kebijakan yang positif karena dapat menyediakan ruang fiskal atau
keleluasaan dalam upaya melaksanakan program-program pro-rakyat, apabila
dilakukan realokasi anggaran. Simulasi 3, 4, dan 5 pada dasarnya juga merupakan
simulasi tunggal yaitu upaya pengurangan subsidi BBM. Simulasi yang lebih
realistis adalah simulasi 6, 7, dan 8. Dari Tabel 54 terlihat bahwa simulasi 8
memberikan pengurangan kesejahteraan yang relatif lebih kecil dibandingkan
dengan simulasi 6 dan 7, lebih realistis, menghasilkan dampak terhadap kinerja
perekonomian yang relatif baik, dan masih mampu mengurangi tingkat
kemiskinan nasional.
6.4.2. Sintesis Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia
Beberapa kebijakan subsidi harga BBM yang dirumuskan pemerintah
bertujuan melindungi masyarakat kurang mampu dari gejolak harga BBM dan
mempertahankan kebijakan fiskal yang keberlanjutan. Kondisi ini menimbulkan
kontroversi yang berkepanjangan. Sebagai contoh, pada tahun 2000 DPR RI dan
pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
262
Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang berisikan antara
lain strategi besar (grand strategy) penghapusan subsidi BBM pada tahun 2004.
Rencana kenaikan harga jual eceran BBM tersebut dimulai pada bulan Januari
2002. Namun kita ketahui, pada akhirnya pemerintah menyadari bahwa lebih
banyak faktor-faktor sosial dan kestabilan politik yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka menaikkan harga jual eceran BBM. Karena itu subsidi BBM hingga
saat ini masih ada dan cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan harga
dunia minyak mentah.
Kenaikan harga jual eceran BBM merupakan pilihan yang sulit dan tidak
populer, karena cenderung akan memberikan dampak terhadap meningkatnya
biaya transportasi, harga barang dan jasa yang menggunakan komponen BBM,
dan pengaruh psikologis secara tidak langsung terhadap kenaikan harga barang
dan jasa pada umumnya. Pemerintah harus mengambil suatu keputusan diantara
pilihan keputusan yang sulit dengan melihat pada keterbatasan anggaran belanja
negara. Analisis kelebihan dan kekurangan kebijakan peningkatan harga jual
eceran BBM musti mempertimbangkan kedua sudut pandang tersebut.
Di sisi lain, kenaikan harga jual eceran BBM cenderung akan dapat
mendorong penghematan penggunaan energi pada umumnya, efisiensi alokasi
sumber daya, serta mencegah kegiatan penyalahgunaan BBM seperti penggunaan
minyak tanah dan solar subsidi ke pengguna industri atau penyelundupan BBM ke
luar negeri. Dampak langsung dari kenaikan harga jual eceran BBM adalah
terjadinya penurunan subsidi energi secara nyata sehingga memberikan ruang
fiskal yang besar dan keleluasaan pemerintah melakukan realokasi anggaran bagi
263
pelaksanaan program-program lain yang pro-rakyat termasuk menciptakan dan
memperluas lapangan kerja.
Selanjutnya, upaya pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM
mendapat tantangan masyarakat luas. Masyarakat, termasuk kalangan pengusaha,
sudah terbiasa dengan harga BBM yang rendah dan stabil dan dengan demikian
dianggap kondusif dalam menciptakan iklim investasi yang baik dan kepastian
ekonomi. Karena itu pemerintah berupaya melakukan terobosan kebijakan yang
tidak secara resmi menaikkan harga jual eceran BBM, tetapi tujuan pengurangan
subsidi BBM tetap dapat dicapai.
Salah satu komponen yang membuat besarnya anggaran subsidi BBM
adalah volume BBM yang disubsidi. Karena itu, pemerintah melalui Peraturan
Presiden Nomor 55 Tahun 2005, yang kemudian diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2006, melakukan pengaturan terhadap kelompok
masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi. Pada dasarnya, premium hanya
diperuntukkan bagi konsumen usaha kecil, transportasi darat, dan pelayanan
umum. Minyak solar diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi darat,
transportasi laut terbatas, pelayanan umum, dan usaha perikanan terbatas. Minyak
tanah diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil terbatas.
Sementara itu konsumen elpiji yang dikemas dalam tabung 3 kilogram
diperuntukkan bagi konsumen rumahtangga dan usaha kecil. Pengaturan
mengenai tata niaga elpiji tabung ukuran 3 kg, 12 kg, dan 50 kg diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 26 Tahun 2009
tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquified Petroleum Gas (elpiji).
264
Keputusan pemerintah pada tahun 2006 yang membatasi konsumen yang
berhak membeli BBM subsidi memperoleh hasil pada tahun-tahun berikutnya
berupa pengurangan volume BBM subsidi yang dikonsumsi masyarakat. Pada
dokumen anggaran APBN tahun 2005 ditetapkan volume BBM subsidi sebesar
59.6 juta kiloliter, yang kemudian turun sebesar 37.9 juta kiloliter sebagaimana
yang tercantum pada dokumen APBN-Perubahan tahun 2006, dan kemudian turun
lagi menjadi 36.9 juta kiloliter pada APBN 2007.
Pada tahun 2004 realisasi subsidi BBM mencapai Rp. 69.0 triliun dan
menjadi Rp. 104.7 triliun pada tahun 2005. Peningkatan beban subsidi pada tahun
2005, selain disebabkan oleh tingginya harga dunia minyak mentah dan depresiasi
nilai tukar rupiah, juga disebabkan oleh naiknya volume konsumsi BBM subsidi.
Dalam rangka mengatasi beban subsidi BBM yang semakin meningkat,
pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM sebesar rata-rata 30 persen pada
awal bulan Maret 2005 dan kemudian sebesar rata-rata 125 persen pada awal
bulan Oktober 2005.
Sehingga pada tahun 2005 telah diberlakukan 2 kebijakan mendasar, yaitu:
(1) kenaikan harga jual eceran BBM, dan (2) berkurangnya volume BBM subsidi.
Kedua kebijakan ini membuahkan hasil, yang tercermin pada penurunan realisasi
beban subsidi BBM menjadi Rp. 64.2 triliun pada tahun fiskal 2006.
Dalam upaya menanggulangi dampak negatif kenaikan harga jual eceran
BBM terhadap penduduk golongan miskin, pemerintah melaksanakan program
penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi (PPD-SE) yang kemudian
diubah menjadi program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM),
yang berisikan antara lain: (1) penyediaan pangan murah melalui operasi pasar
265
khusus (OPK) beras bagi rakyat miskin (raskin), (2) penyediaan bantuan khusus
bidang pendidikan termasuk bantuan operasional sekolah (BOS), (3) bantuan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, (4) penyediaan air bersih bagi
penduduk miskin di perkotaan, dan (5) penyediaan dana bergulir bagi lembaga
kredit mikro.
Pada bulan Januari Tahun 2010, pemerintah melalui Menteri Energi dan
Sumberdaya Mineral menerbitkan Roadmap Pengurangan Subsidi Bahan Bakar
Minyak, berisikan langkah-langkah pengurangan subsidi BBM sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000. Pertimbangan yang
dikemukakan mengenai pentingnya Roadmap tersebut antara lain: (1) pemerintah
wajib menjamin ketersediaan dan kelancaaran pendistribusian BBM, (2) harga
dunia minyak mentah cenderung terus meningkat, (3) daya beli sebagian
masyarakat masih rendah, (4) kebutuhan BBM terus meningkat, (5) subsidi BBM
terus meningkat, (6) kemampuan APBN untuk mendanai subsidi semakin
terbatas, (7) kebijakan subsidi harga BBM tidak tepat sasaran, dan (8) diperlukan
pengalihan kebijakan dari subsidi harga BBM menjadi subsidi langsung.
Dalam rangka melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM dan
secara bertahap menuju subsidi yang tepat sasaran, dilakukan strategi antara lain:
(1) mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dalam rangka diversifikasi
sumber energi, (2) pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji, (3) melakukan
pembinaan dan pengawasan agar subsidi BBM tepat sasaran, (4) alokasi BBM
subsidi untuk pengguna tertentu dengan menggunakan sistem distribusi tertutup,
dan (5) melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
266
Ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam upaya pengurangan
subsidi BBM. Pertama, adalah penguatan program-program pro-rakyat miskin
seperti raskin, bantuan operasional sekolah, kredit usaha kecil, dan jaminan
kesehatan masyarakat. Kedua, pengurangan volume BBM subsidi, dengan cara
antara lain: (1) diversifikasi sumber energi ke gas bumi, elpiji, dan energi non-
fosil, (2) penerapan sistem distribusi tertutup untuk pengguna tertentu, dan (3)
diterapkan insentif dan dis-insentif fiskal. Ketiga, penajaman besaran Harga
Keekonomian BBM, yaitu: (1) menekan biaya distribusi BBM, (2) mengevaluasi
biaya penyediaan BBM, dan (3) diskriminasi harga untuk pengguna tertentu
sesuai dengan kemampuannya.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual
Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, disebutkan nilai alpha ditetapkan
maksimal sebesar 15 persen dari harga MOPS. Dalam kenyataan, besaran alpha
semakin mengecil, yaitu dari 14.1 persen pada tahun 2006 menjadi 8.0 persen
pada tahun 2009. Semakin kecil nilai alpha seringkali diindikasikan dengan
semakin efisiennya pendistribusian BBM. Tetapi kita harus hati-hati mengenai
efisiensi ini, karena adanya ketidakpastian yang tinggi dalam pendistribusian
BBM di Indonesia sebagai akibat dari luasnya wilayah distribusi, cuaca yang sulit
diprediksi, jarak laut, dan daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Oleh karena itu,
semakin tinggi efisiensi dapat diartikan sebagai semakin sensitif terhadap potensi
kelangkaan apabila salah satu mata rantai pendistribusian mengalami hambatan.
Selain itu, penetapan nilai alpha dalam persen hanya akan memiliki nilai
ekonomis ketika harga dunia minyak mentah cukup tinggi. Namun apabila harga
dunia minyak mentah merosot, semakin kecil nilai alpha dalam rupiah. Dalam
267
rangka mengakomodasi nilai alpha yang naik turun, pada tahun fiskal 2010
pemerintah menetapkan nilai alpha nasional sebesar Rp. 566 per liter, sehingga
untuk sementara nilai alpha terbebas dari fluktuasi harga dunia minyak mentah.
Negara-negara di Asia memiliki pengalaman dan menerapkan kebijakan
yang berbeda-beda untuk subsidi BBM (Shikha Jha, 2009). Negara-negara Asia
Tengah dan Asia Tenggara cenderung memberikan subsidi BBM, sementara
negara-negara Asia Timur cenderung melepas harga ke pasar. Pengaturan harga
BBM menganut mekanisme berbeda-beda, yaitu: (1) harga dilepas ke pasar, (2)
secara otomatis harga BBM berubah-ubah berdasarkan suatu rumus, dan (3)
pengendalian harga atau harga administrasi secara ad-hoc. Di negara-negara yang
menerapkan pengendalian harga, kenaikan harga dunia minyak mentah
mengakibatkan perlunya peninjauan kembali kebijakan tersebut termasuk
pengurangan subsidi atau pajak. China dan India melepaskan harga BBM ke
mekanisme pasar dan pada saat bersamaan melindungi masyarakat miskin melalui
program jaring pengaman sosial. Program tersebut mendapat pendanaan dari
penghematan anggaran belanja karena tidak memberikan subsidi.
6.4.3. Sintesis Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperbaiki kinerja
perekonomian dan kemiskinan tidak akan membuahkan hasil apabila tidak
ditunjang oleh kegiatan lain. Masalah defisit anggaran yang dialami negara
Indonesia semakin menunjukkan tingkat yang serius, terutama setelah krisis
ekonomi tahun 1997. Strategi yang menyeluruh mengenai kebijakan anggaran,
belanja, dan penerimaan negara harus dirumuskan kembali agar sesuai dengan
268
arah dan tujuan yang ingin dicapai. Pengelolaan anggaran yang tidak hati-hati
akan dapat menjerumuskan negara Indonesia ke dalam kebangkrutan.
Pada tahun fiskal 2009, utang pemerintah yang berasal dari dalam negeri
mencapai Rp. 779.9 triliun dan utang luar negeri US$73.2 miliar. Untuk melunasi
utang, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp. 101.73
triliun atau 14.2 persen dari belanja negara. Pada tahun yang sama pembayaran
subsidi BBM mencapai Rp. 57.6 triliun atau 8.04 persen dari total belanja negara.
Belanja subsidi dan pembayaran bunga utang mencakup 37.5 persen anggaran
belanja negara, membuat pemerintah kurang leluasa menjalankan program-
program pembangunan lainnnya. Oleh karena itu, sudah saatnya diperlukan suatu
kebijakan yang menyeluruh untuk mengatasi persoalan subsidi ini. Salah satu
jalan keluar adalah mengadopsi strategi yang sedang diterapkan oleh China dan
India (Shika Jha, 2009), yaitu melepas harga BBM ke mekanisme pasar dengan
tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat kurang mampu.
Sejauh mana kenaikan harga dunia minyak mentah berpengaruh terhadap
kenaikan harga jual eceran BBM atau kenaikan subsidi harga BBM ? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, Departemen Keuangan (2009b) melakukan macro
stress test yaitu simulasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah dan
depresiasi nilai tukar rupiah. Jika harga dunia minyak mentah naik sebesar US$20
per barrel akan mengakibatkan penambahan beban pembayaran subsidi ke PT
Pertamina (persero) sebesar Rp. 48.7 triliun. Selain itu, apabila terjadi depresiasi
nilai tukar rupiah sebesar 20 persen, maka akan terjadi penambahan beban
pembayaran subsidi ke PT Pertamina (persero) sebesar Rp. 50.3 triliun.
269
Karena itu, dua hal sangat penting dalam kaitan dengan subsidi, yaitu
harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Dalam simulasi terlihat bahwa
subsidi harga tidak berubah untuk meredam kenaikan harga dunia minyak mentah
yang mengakibatkan harga jual eceran BBM naik. Karena itu, pemerintah harus
hati-hati dalam mengendalikan kebijakan subsidi harga BBM, khususnya ketika
terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang
bersifat random, sebaiknya pemerintah mencadangkan dana cukup besar dalam
ruang fiskal dengan tujuan untuk berjaga-jaga.
Peningkatan penerimaan dalam negeri dapat membawa kinerja
perekonomian dan kemiskinan pada arah dan kondisi yang lebih baik. Namun
perlu disadari bahwa peningkatan penerimaan dalam negeri yang berlebihan dapat
berdampak pada kondisi ’overtax’ yaitu beban pajak berlebihan sehingga
mengakibatkan kelesuan dunia usaha dan berikutnya kontraksi perekonomian.
Peningkatan penerimaan dalam negeri dapat dilakukan dengan ekstensifikasi dan
intensifikasi perpajakan termasuk meningkatkan efisiensi penarikan pajak.
Kebocoran dalam penarikan pajak sebaiknya dikurangi agar menjadi sekecil
mungkin, meningkatkan kesadaran para pembayar pajak, dan sekaligus
meningkatkan kepatuhan warganegara dalam membayar pajak.
Program pengurangan subsidi BBM, sebagaimana yang telah dilakukan di
negara-negara lain, dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dengan hati-hati
dan memperhatikan daya beli golongan masyarakat kurang mampu. Seperti kita
ketahui bahwa di Indonesia, minyak tanah menjadi sumber energi utama
rumahtangga di perkotaan, sehingga kenaikan harga minyak tanah atau bahkan
kelangkaan minyak tanah akan menyulitkan kehidupan golongan masyarakat
270
kurang mampu di perkotaan. Masyarakat kurang mampu di perdesaan, meskipun
memiliki alternatif sumber energi berupa kayu bakar, tetap mengalami kesulitan
mendapatkan kayu bakar dengan harga terjangkau. Meluasnya permukiman
penduduk serta berkurangnya kawasan hutan dan tegalan membuat kayu bakar
semakin sulit diperoleh dan harganya menjadi semakin mahal.
Berkurangnya kemampuan dan daya beli masyarakat kurang mampu dapat
dikompensasi dengan memberikan pelayanan umum gratis atau memberikan
bantuan langsung uang tunai. Bantuan pelayanan umum dimaksudkan agar
mereka tetap memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, terutama
layanan ibu hamil, anak usia balita, dan anak usia sekolah. Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dimaksudkan untuk memberi keleluasaan bagi masyarakat
mengalokasikan sendiri dana bantuan sesuai dengan keperluannya. Hal yang
sering dipermasalahkan dalam pemberian BLT ini antara lain: (1) kurang tepatnya
pendataan penduduk miskin, sehingga seringkali terjadi under-estimate, (2)
sulitnya menjangkau penduduk yang tinggal di daerah-daerah terpencil, dan (3)
besaran alokasi BLT yang seringkali dianggap kurang sepadan dengan akibat
yang ditimbulkan dari kenaikan harga jual eceran BBM.
Program konversi minyak tanah ke elpiji dilaksanakan pemerintah dengan
membagikan paket elpiji kepada golongan masyarakat kurang mampu dan
kemudian menarik minyak tanah subsidi dari peredaran atau pasar. Hal ini
dilakukan bertahap dalam kurun waktu 3-6 bulan di suatu wilayah. Minyak tanah
tetap disediakan di pasar namun dengan harga keekonomiannya. Mekanisme ini
diharapkan dapat ’mendorong’ rumahtangga agar mengganti sumber energi
memasak dari minyak tanah ke elpiji. Pelaksanaan program konversi berjalan
271
dengan mulus meskipun ditemui beberapa hambatan, diantaranya adalah: (1)
kurangnya sosialisasi penggunaan gas elpiji sehingga seringkali menimbulkan
masalah-masalah keamanan dan kenyamanan penggunaan, (2) penyediaan gas
elpiji seringkali terlambat yang disebabkan oleh kurang lancarnya sistem
pendistribusian gas elpiji, dan (3) perubahan kebiasaan masyarakat dan peralatan
penerangan yang tidak semuanya dapat diganti dari minyak tanah ke elpiji.
Ada dua hal yang menyebabkan dampak negatif pengurangan subsidi
BBM, yaitu: (1) kenaikan harga jual eceran menyebabkan jumlah konsumsi
menurun, sehingga mengakibatkan kinerja perekonomian terganggu. (2) kenaikan
harga jual eceran mengakibat inflasi tinggi dan ini berdampak kurang baik bagi
upaya pengentasan kemiskinan. (3) pengurangan subsidi harga berdampak pada
penurunan anggaran belanja pemerintah sehingga berpengaruh terhadap
permintaan uang, tingkat suku bunga, dan kemiskinan.
Dalam rangka mengatasi pengurangan anggaran belanja negara, pada
simulasi 7 dan 8 dilakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan
subsidi. Strategi ini menghasilkan kinerja perekonomian dan kemiskinan yang
relatif baik, namun gap fiskal tetap memburuk. Artinya, pelaksanaan strategi ini
(simulasi 7 dan 8) mengakibatkan anggaran belanja negara tetap bergantung pada
tambahan modal dari luar negeri.
Dari simulasi 7 dan 8 terlihat betapa pentingnya peran kebijakan fiskal
dalam mendorong perekonomian untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Peran
penting kebijakan fiskal tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang seperti
Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan
Eropa. Ketika terjadi krisis keuangan tahun 2008 yang dikenal dengan istilah
272
‘subprime mortgage’, pemerintah di negara-negara maju itu memberikan bantuan
berupa stimulus fiskal kepada sektor swasta dan masyarakat yang terkena dampak
krisis. Dana stimulus dari anggaran negara Amerika Serikat berjumlah sekitar
US$800 miliar. Hal penting dalam menetapkan kebijakan fiskal adalah menjaga
keseimbangan antara penerimaan dengan pengeluaran dan pemilihan pos-pos
anggaran strategis yang dapat memberikan ‘multiplier effect’ maksimal bagi
perekonomian negara.
273
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan
dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian,
kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia, dirumuskan simpulan berdasarkan
tujuan penelitian pertama, sebagai berikut :
1. Fungsi penawaran BBM di Indonesia ditunjukkan oleh perilaku impor
premium, minyak solar, dan minyak tanah dan ekspor elpiji. Impor
premium menunjukkan respon yang positif dan elastis terhadap perubahan
indek harga konsumen domestik. Artinya, meningkatnya indek harga
konsumen akan diikuti oleh meningkatnya impor premium, dan
sebaliknya. Atau dengan kata lain, jika inflasi di masa mendatang
cenderung meningkat maka diduga konsumsi premium di Indonesia akan
semakin meningkat. Impor premium sangat dipengaruhi oleh impor
premium pada tahun sebelumnya. Impor minyak solar dipengaruhi oleh
indek harga konsumen dan jumlah kendaraan niaga di Indonesia. Namun
respon impor minyak solar terhadap perubahan indek harga konsumen dan
jumlah kendaraan niaga kurang elastis. Impor minyak tanah sangat
dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dan menunjukkan respon
yang positif dan elastis terhadap perubahan jumlah penduduk. Ekspor
elpiji sangat dipengaruhi oleh harga dunia elpiji dan jumlah produksi elpiji
dan keduanya memiliki respon positif. Ekspor elpiji tidak elastis terhadap
274
perubahan harga dunia elpiji, namun elastis terhadap perubahan jumlah
produksinya dalam jangka pendek dan panjang.
2. Konsumsi premium di sektor transportasi dipengaruhi oleh harga jual
ecerannya, memiliki respon negatif, dan tidak elastis terhadap perubahan
harga jual ecerannya. Selain itu, konsumsi premium di sektor transportasi
dipengaruhi oleh jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan respon
positif dan elastis terhadap perubahan jumlah kendaraan roda 2 dan roda 4
dalam jangka panjang. Konsumsi minyak solar di sektor transportasi
dipengaruhi oleh harga jual ecerannya dengan respon negatif dan elastis
terhadap perubahan harga jual ecerannya dalam jangka panjang. Selain itu,
konsumsi minyak solar di sektor transportasi dipengaruhi oleh jumlah
kendaraan niaga dengan respon positif dan elastis terhadap perubahan
jumlah kendaraan niaga dalam jangka panjang. Konsumsi minyak solar di
sektor industri dipengaruhi oleh jumlah industri yang ada dengan respon
positif dan elastis terhadap perubahan jumlah industri dalam jangka
panjang. Konsumsi minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial
sangat dipengaruhi oleh harga jual ecerannya dengan respon negatif dan
tidak elastis terhadap perubahan harga jual ecerannya. Selain itu, konsumsi
minyak tanah di sektor rumahtangga dan komersial sangat dipengaruhi
oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respon positif dan sangat elastis
terhadap perubahan jumlah penduduk Indonesia dalam jangka pendek dan
panjang. Konsumsi elpiji di sektor rumahtangga dan komersial sangat
dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respon positif dan
275
elastis terhadap perubahan jumlah penduduk Indonesia dalam jangka
pendek dan jangka panjang.
3. Subsidi harga premium dipengaruhi oleh harga dunia premium dan nilai
tukar dengan respon positif dan sangat elastis terhadap perubahan harga
dunia premium dan nilai tukar, baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Subsidi harga minyak solar dipengaruhi oleh nilai tukar dengan
respon positif dan elastis terhadap perubahan nilai tukar jangka pendek
dan jangka panjang. Subsidi harga minyak tanah sangat dipengaruhi oleh
harga dunia minyak tanah dan nilai tukar dengan respon positif dan sangat
elastis terhadap perubahan harga dunia minyak mentah dan nilai tukar baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Subsidi harga elpiji
dipengaruhi oleh harga dunia elpiji dan nilai tukar dengan respon positif
dan tidak elastis terhadap perubahan harga dunia elpiji namun elastis
terhadap perubahan nilai tukar jangka panjang.
4. Harga jual eceran premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji
dipengaruhi oleh harga dunianya dan besaran subsidi harganya masing-
masing. Artinya, apabila terjadi kenaikan harga dunianya dan diimbangi
oleh kenaikan subsidi harga pada besaran yang sama, maka harga jual
eceran premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji akan tetap.
Berdasarkan tujuan penelitian kedua, maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Jika terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5 persen, maka
harga jual eceran BBM meningkat antara 4.051 persen sampai 19.720
persen. Kenaikan harga jual eceran tersebut disebabkan karena subsidi
harga BBM relatif tidak berubah yang tampaknya sebagai akibat dari
276
keterbatasan belanja pemerintah. Kenaikan harga jual eceran BBM
berdampak pada penurunan jumlah konsumsi BBM, sehingga anggaran
belanja untuk subsidi BBM juga sedikit menurun, yang seterusnya
berdampak pada penurunan belanja pemerintah. Kenaikan harga jual
eceran berdampak pada kenaikan harga-harga umum sehingga inflasi
meningkat cukup besar, selain itu juga terjadi depresiasi nilai tukar rupiah.
Dampak selanjutnya adalah terjadinya kenaikan tingkat suku bunga
sehingga nilai investasi nasional menurun. Penurunan investasi nasional
bersamaan dengan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan GDP
nasional menurun dan tingkat pertumbuhan ekonomi juga menurun. Hal
ini selanjutnya, bersama-sama dengan tingkat inflasi yang cukup tinggi,
mengakibatkan tingkat penduduk miskin nasional meningkat. Kenaikan
harga dunia minyak mentah yang mengakibatkan kenaikan harga jual
eceran BBM berdampak pada transfer kesejahteraan dari konsumen ke
produsen. Namun transfer ini masih belum mampu menetralisasi
berkurangnya kesejahteraan dari faktor subsidi BBM, sehingga dampak
bersih kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 1 064 miliar.
2. Jika pemerintah meningkatkan penerimaan dalam negeri sebesar 10
persen, maka peningkatan itu akan terserap pada belanja pemerintah, baik
belanja subsidi BBM maupun belanja non-subsidi BBM. Peningkatan
belanja subsidi BBM berdampak pada penurunan harga jual eceran BBM
antara 0.029 persen sampai 4.654 persen, sehingga harga-harga umum
relatif dapat terkendali. Penurunan harga jual eceran BBM mengakibatkan
kenaikan jumlah konsumsi BBM yang akhirnya cenderung mendorong
277
peningkatan GDP nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung
meningkat. Peningkatan GDP nasional akan meningkatkan penawaran
uang sehingga tingkat suku bunga cenderung turun, yang kemudian akan
mendorong peningkatan investasi nasional, baik di sektor migas maupun
diluar sektor migas. Peningkatan kegiatan usaha ekonomi nasional akan
membutuhkan tambahan tenaga kerja yang selama ini tidak bekerja,
sehingga pasar tenaga kerja mengalami permintaan lebih dan tingkat upah
nasional akan meningkat serta pengangguran berkurang. Pada akhirnya,
kondisi perekonomian yang kondusif tersebut mampu mengurangi jumlah
orang miskin di desa dan di kota sehingga tingkat kemiskinan nasional
berkurang tajam. Menggunakan analisis kesejahteraan, penurunan harga
jual eceran BBM memberikan dampak sangat positif pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dimana terjadi transfer kesejahteraan dari
produsen BBM ke konsumen BBM yang diikuti oleh peningkatan
kesejahteraan yang berasal dari peningkatan subsidi BBM.
3. Jika pemerintah menurunkan subsidi BBM yaitu premium, minyak solar,
minyak tanah, dan elpiji, dan belanja pemerintah diluar subsidi BBM
cenderung konstan, maka hal ini akan menurunkan anggaran belanja
pemerintah. Penurunan belanja pemerintah cenderung berdampak buruk
bagi upaya pemerintah mengurangi angka kemiskinan nasional. Penurunan
subsidi harga BBM mengakibatkan harga jual eceran BBM meningkat
tajam, yang berkisar antara 11.235 persen sampai 102.742 persen, dimana
kemudian jumlah konsumsi BBM mengalami penurunan yang berkisar
antara 0.458 persen sampai 16.378 persen. Penurunan jumlah konsumsi
278
BBM memberikan sinyal kurang baik bagi kegiatan usaha nasional
sehingga diperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi akan cenderung
menurun. Penurunan kegiatan usaha nasional merupakan sinyal bagi
penurunan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga
domestik meningkat dan investasi menurun serta pengangguran
meningkat. Gap fiskal menurun 52.291 persen yang mengindikasikan
bahwa simulasi ini sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan
karena mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri.
Pada akhirnya GDP nasional mengalami penurunan dan jumlah penduduk
miskin nasional juga mengalami peningkatan. Harga jual eceran BBM
yang meningkat mengindikasikan terjadinya transfer kesejahteraan dari
konsumen BBM ke produsen BBM, dan pada saat bersamaan terjadi
penurunan kesejahteraan masyarakat yang berasal dari penurunan subsidi
BBM. Dampak bersih kesejahteraan mengalami penurunan tajam sebesar
Rp. 54 410 miliar.
4. Jika pemerintah melakukan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji,
maka harga jual eceran minyak tanah dinaikkan dan harga jual eceran
elpiji diturunkan, dengan harapan jumlah konsumsi minyak tanah menurun
yang kemudian digantikan dengan peningkatan jumlah konsumsi elpiji.
Simulasi ini mengakibatkan penurunan jumlah konsumsi minyak tanah,
baik di sektor transportasi, industri, maupun rumahtangga dan komersial.
Demikian pula jumlah konsumsi elpjii mengalami peningkatan baik di
sektor industri dan rumahtangga dan komersial. Namun besarnya
penurunan konsumsi minyak tanah, baik dari segi kandungan kalori
279
maupun dari segi volume, tidak dapat dikompensasi dengan besasrnya
peningkatan konsumsi elpiji. Hal ini mengindikasikan terjadinya peralihan
sumber energi masyarakat, yang biasanya menggunakan minyak tanah
beralih ke non-minyak tanah. Untuk pengguna rumah tangga di perdesaan,
kemungkinan besar terjadi peralihan ke sumber energi biomassa seperti
kayu bakar, sampah organik, dan arang. Untuk rumahtangga di perkotaan
kemungkinan besar terjadi peralihan ke sumber energi elpiji. Peralihan
sumber energi ini diperkirakan akan berdampak pada penurunan
produktivitas masyarakat sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi
cenderung menurun, tingkat pengangguran dan inflasi meningkat. Pada
akhirnya, peningkatan harga energi secara umum untuk konsumsi
rumahtangga dan komersial, baik yang di perdesaan maupun perkotaan,
akan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin nasional.
Pada simulasi ini terjadi kenaikan harga minyak tanah sebesar 141.352
persen, sehingga terjadi pengurangan kesejahteraan konsumen Rp. 27 146
miliar dan peningkatan kesejahteraan produsen sebeser Rp. 14 902 miliar.
Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi minyak tanah relatif lebih elastis
terhadap perubahan harga jual ecerannya dibandingkan dengan jumlah
penawaran minyak tanah. Secara keseluruhan, simulasi ini mengakibatkan
penurunan dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 39 824 miliar.
5. Jika pemerintah menggabungkan kebijakan pengurangan subsidi BBM
dengan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, maka akan memberikan
dampak yang kurang kondusif bagi perekonomian karena tingginya
kenaikan harga jual eceran BBM yang berkisar antara 11.537 persen
280
sampai 145.116 persen, kecuali harga jual eceran elpiji. Selain itu,
penurunan subsidi harga BBM secara umum mengakibatkan penurunan
belanja pemerintah cukup besar yang berdampak pada penurunan GDP
nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Gap fiskal menurun 58.905
persen sehingga baik bagi upaya pemerintah untuk mengurangi
ketergantungan dari sumber pembiayaan luar negeri. Kombinasi kenaikan
harga jual eceran BBM dan penurunan belanja pemerintah cenderung akan
berdampak stagflasi bagi perekonomian. Pada akhirnya tingkat penduduk
miskin nasional meningkat cukup tajam terutama penduduk miskin di
perkotaan, meskipun harga jual eceran elpiji sedikit menurun. Selain itu
juga terjadi penurunan kesejahteraan konsumen sebesar Rp. 61 597 miliar
dan peningkatan kesejahteraan produsen sebesar Rp. 55 536 miliar, dan
penurunan dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 65 187 miliar.
6. Jika pengurangan subsidi BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji
dilakukan ketika harga dunia minyak mentah dan penerimaan dalam negeri
pemerintah meningkat, maka kondisi perekonomian secara umum masih
kurang baik. Harga jual eceran BBM meningkat, kecuali elpiji, yang
berkisar antara 20.034 persen sampai 166.956 persen, sehingga belanja
pemerintah dan GDP nasional menurun. Naiknya harga jual eceran BBM
secara umum mengakibatkan jumlah konsumsi BBM mengalami
penurunan sehingga berdampak kurang kondusif bagi kegiatan
perekonomian. Dampak selanjutnya adalah penurunan tingkat investasi
nasional, penurunan upah nasional, penurunan tingkat pertumbuhan
ekonomi, peningkatan pengangguran, peningkatan inflasi, dan peningkatan
281
jumlah penduduk miskin nasional. Simulasi ini mampu mengurangi
ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri sebesar 54.474
persen, karena itu sejalan dengan kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
Selain itu terjadi penurunan dampak bersih kesejahteraan masyarakat
sebesar Rp. 66 900 miliar.
7. Jika penghematan yang diperoleh dari pengurangan subsidi BBM
ditambahkan kembali pada belanja non-subsidi BBM sehingga belanja
pemerintah relatif konstan, atau kebijakan realokasi anggaran, maka
simulasi ini memberikan dampak yang relatif baik bagi kinerja
perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan masyarakat. Pada simulasi
ini, harga jual eceran BBM, kecuali elpiji, meningkat antara 20.491 persen
sampai 168.134 persen sehingga jumlah konsumsi BBM secara umum
mengalami penurunan cukup tajam. Hal ini cenderung berdampak kurang
baik bagi kegiatan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, belanja
pemerintah mengalami peningkatan yang berasal dari peningkatan
penerimaan dalam negeri pemerintah. Tampaknya, di negara berkembang
seperti Indonesia, belanja pemerintah masih memegang posisi dominan
dalam mendorong perekonomian nasional. Hal ini terbukti bahwa
peningkatan belanja pemerintah sebesar 10.177 persen mampu
meningkatkan GDP nasional dan mendorong tingkat pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 9.591 persen. Peningkatan GDP nasional
mengakibatkan penawaran uang lebih besar dari permintaan uang sehingga
tingkat suku bunga menurun dan investasi meningkat. Lebih lanjut
peningkatan investasi berdampak pada peningkatan permintaan tenaga
282
kerja dan penyerapan tenaga kerja yang menganggur. Gap fiskal
meningkat sebesar 9.678 persen, kurang baik bagi strategi kebijakan fiskal
yang berkelanjutan. Kombinasi antara kenaikan harga jual eceran BBM
dan peningkatan belanja pemerintah ternyata mampu mengurangi jumlah
penduduk miskin perdesaan dan terutama penduduk miskin perkotaan,
sehingga tingkat penduduk miskin nasional menurun cukup besar.
Meskipun simulasi ini mengakibatkan membaiknya dampak terhadap
kinerja perekonomian dan kemiskinan, namun dampak bersih
kesejahteraan mengalami penurunan sebesar Rp. 66 863 miliar.
8. Jika diasumsikan bahwa terjadi inflasi 5 persen per tahun, untuk lebih
mendekati kondisi dunia nyata, maka simulasi ini secara umum
memberikan dampak yang kurang baik bagi kinerja perekonomian dan
kemiskinan. Harga jual eceran BBM, kecuali elpiji, meningkat antara
22.854 persen sampai 174.203 persen, yang berdampak pada penurunan
jumlah konsumsi BBM dan relatif kurang baik bagi kegiatan ekonomi
nasional. Secara umum GDP nasional meningkat, tingkat suku bunga
meningkat, investasi nasional mengalami penurunan, penyerapan tenaga
kerja berkurang, inflasi sangat tinggi, dan pertumbuhan ekonomi
meningkat tajam. Gap fiskal meningkat sebesar 11.874 persen yang
mengindikasikan kurang baik dalam upaya pelaksanaan strategi fiskal
yang berkelanjutan. Kombinasi dari kinerja perekonomian diatas
tampaknya relatif baik bagi upaya pengentasan penduduk miskin yang
berkurang sebesar 7.967 persen. Meskipun demikian terjadi penurunan
dampak bersih kesejahteraan sebesar Rp. 66 387 miliar.
283
Pada saat harga dunia minyak mentah dan inflasi meningkat, kebijakan
pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, konversi minyak tanah ke elpiji,
peningkatan penerimaan dalam negeri, dan realokasi anggaran, tampaknya
mampu memberikan dampak yang relatif baik bagi kinerja perekonomian dan
upaya pengentasan kemiskinan. Meskipun diakui bahwa simulasi ini
meningkatkan ketergantungan pemerintah pada pembiayaan luar negeri dan
terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat yang cukup besar. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM dan konversi
minyak tanah ke elpiji masih mampu memberikan hasil yang relatif baik bagi
perekonomian Indonesia.
7.2. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan simpulan, maka disusun implikasi kebijakan berikut:
1. Dalam rangka menciptakan anggaran negara yang berimbang dan stabil,
pemerintah perlu berhati-hati terhadap guncangan eksternal yang berasal
dari kenaikan harga dunia minyak mentah dan depresiasi nilai tukar
rupiah. Dalam penetapan asumsi makro APBN, pemerintah seyogyanya
berhati-hati dengan mencantumkan kemungkinan terburuk kedua variabel
tersebut, selain menciptakan ruang fiskal yang relatif besar dalam APBN.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kelenturan bagi APBN dalam
menyesuaikan diri terhadap perubahan terburuk faktor eksternal.
2. Mengantisipasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap
penurunan jumlah impor BBM, pemerintah seyogyanya menyediakan
cadangan BBM dalam negeri (buffer stock) yang dapat digunakan untuk
konsumsi beberapa waktu ke depan. Cadangan tersebut berfungsi sebagai
284
stabilisator apabila terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah yang
berada diluar kemampuan anggaran negara untuk membelinya.
3. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah, khususnya ketika
terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah, sangat bermanfaat untuk
mempertahankan kinerja perekonomian, upaya mengurangi jumlah
penduduk miskin, dan upaya mengurangi ketergantungan pemerintah
terhadap bantuan pembiayaan dari luar negeri.
4. Agar upaya pemerintah untuk menggantikan sumber energi rumahtangga
dan komersial melalui program konversi minyak tanah ke elpiji dapat
berhasil, maka perlu memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat
terutama penduduk miskin di perkotaan, selain juga mempersiapkan
sistem distribusi elpiji, agar dapat menjangkau seluruh rumahtangga dan
komersial di Indonesia baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan.
5. Dalam upaya meredam dampak negatif kebijakan pengurangan subsidi
BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah perlu meningkatkan
penerimaan dalam negeri dan mempertahankan besaran anggaran belanja
pemerintah melalui realokasi anggaran.
6. Pemerintah perlu menciptakan sistem pengawasan yang efisien dan benar
agar tidak terjadi kebocoran dalam penyaluran BBM bersubsidi. Hal ini
sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 yang
membatasi kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM bersubsidi.
Upaya pembatasan konsumen dengan menciptakan sistem distribusi
tertutup BBM dengan menggunakan sistem elektronik atau manual
menggunakan kartu kendali atau alat identifikasi lainnya
285
7.3. Saran Penelitian Lanjutan
1. Penajaman penelitian dampak subsidi harga BBM terhadap kemiskinan
dapat dilakukan dengan menggunakan data kedalaman kemiskinan dan
keparahan kemiskinan.
2. Besaran subsidi harga BBM sebaiknya menggunakan data riil ketika
metode cost and fee diterapkan pada periode tahun 1986-2006 dan ketika
metode MOPS plus alpha diterapkan setelah tahun 2006.
3. Karena harga jual eceran elpiji dan karakteristik pasar elpiji berbeda-beda
menurut ukuran tabung elpiji yaitu tabung 3 kg, 12 kg, dan 50 kg, maka
penelitian lanjutan tentang pasar elpiji sebaiknya dibedakan berdasarkan
ukuran tabung elpiji. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil analisis
yang lebih akurat dan alternatif kebijakan yang direkomendasikan dapat
lebih tepat sasaran sesuai dengan karakteristik pasar elpiji masing-masing.
4. Pembatasan konsumen pengguna yang berhak membeli BBM subsidi
berdampak pada penurunan volume BBM subsidi dari semula 59.6 juta
kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006.
Namun karena keterbatasan data, penelitian ini menganggap seolah-olah
tidak ada pembatasan konsumen pengguna, sehingga data BBM subsidi
pada tahun setelah 2006 menggunakan data konsumsi BBM. Oleh karena
itu disarankan agar dilakukan pemilahan dari awal antara volume BBM
subsidi dengan BBM non-subsidi.
5. Mengingat setiap jenis BBM memiliki konsumen utama yang berbeda dan
tidak saling substitusi, maka studi yang mendalam terhadap masing-
286
masing konsumen utama dapat memberikan masukan spesifik dalam
perumusan kebijakan subsidi harga untuk setiap jenis BBM.
6. Program konversi minyak tanah ke elpiji perlu diteliti lebih lanjut untuk
memperoleh gambaran yang lebih tepat, khususnya dalam kaitan dengan
pembatasan konsumen minyak tanah, pemberlakuan harga ekonomi
minyak tanah, perubahan kebiasaan dan perilaku masyarakat, dan sistem
distribusi elpiji hingga ke pelosok daerah.
7. Pada tahun 2004 subsidi BBM mencapai puncak yaitu 24.30 persen dari
belanja pemerintah. Apakah alokasi anggaran untuk subsidi BBM tersebut
merupakan kebijakan yang optimal bagi rakyat? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, perlu dikaji lebih lanjut mengenai besarnya
‘opportunity cost’ apabila anggaran untuk subsidi BBM digunakan untuk
membiayai kegiatan pembangunan atau pos anggaran lainnya.
8. Penelitian ini mengasumsikan bahwa sumber energi final Indonesia hanya
berasal dari BBM, meskipun diketahui bahwa perannya cukup penting.
Oleh karena itu, penelitian lanjutan sebaiknya mempertimbangkan sumber
energi final lain seperti biomassa (kayu bakar dan arang), gas alam,
batubara, dan listrik.
9. Subsidi komoditas seperti subsidi BBM ini seringkali tidak tepat sasaran,
menimbulkan penyalahgunaan antar pengguna, merangsang ekspor ilegal,
dan sulit dalam pengawasannya. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya
diwacanakan peralihan bentuk subsidi dari subsidi komoditas ke subsidi
langsung masyarakat yang membutuhkan. Penelitian yang mendalam
287
mengenai hal ini diharapkan dapat mengurangi kekurangan subsidi
komoditas serta mengurangi dampak negatif dari terjadinya distorsi pasar.
10. Upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM sebaiknya dilakukan
secara bertahap dengan sosialisasi yang luas, penetapan batasan subsidi
optimal yang mampu ditanggung anggaran negara, mempertahankan
strategi keberlanjutan fiskal, dan sebagai upaya pembelajaran bagi
masyarakat agar dapat melakukan penghematan konsumsi BBM.
288
DAFTAR PUSTAKA
Afiatno, B.E. 2006. Hubungan Kausalitas antara Konsumsi Energi dan Aktivitas Ekonomi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Agus. 2001. Perdagangan Komoditi Rotan Indonesia di Pasar Domestik dan Jepang: Analisis Dampak Perubahan Faktor Ekonomi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Alesina, A. 2000. The Political Economy of the Budget Surplus in the United States. The Journal of Economic Perspectives, 14(3): 3-19.
Alvarado, C.A., A. Izquierdo, and U. Panizza. 2004. Fiscal Sustainability in Emerging Market Countries with An Application to Ecuador. Working Paper. Inter-American Development Bank, Research Department, Washington, DC.
Astana, S. 2003. Dampak Kebijakan Pengurangan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Industri Hasil Hutan Kayu dan Kelestarian Lingkungan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Akhir Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia. Direktorat Keuangan Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
. 2008a. Lima Tantangan Pokok Pembangunan Ekonomi dan Gambaran Ekonomi Indonesia Tahun 2010-2014. Direktorat Perencanaan Makro, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
. 2008b. Data Statistik Indonesia. Direktorat Perencanaan Makro, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
. 2008a. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008. Badan Statistik Indonesia, Jakarta.
. 2008b. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
. 2008c. Berita Resmi Statistik Nomor 37/07/Tahun XI, Tanggal 1 Juli 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Bachmeier, L.J. and J.M. Griffin. 2003. New Evidence on Asymmetric Gasoline Price Responses. The Review of Economics and Statistics, 85(3): 772-776.
289
Barsky, R.B. and L. Kilian. 2004. Oil and the Macroeconomy since the 1970s. The Journal of Economic Perspective, 18(4): 115-134.
Booth, A. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 73-104.
Borenstein, S., A.C. Cameron, and R. Gilbert. 1997. Do Gasoline Prices Respond Asymmetrically to Crude Oil Price Changes? The Quarterly Journal of Economics, 12(1): 305-309.
Chari, V.V. and P.J. Kehoe. 2006. Modern Macroeconomics in Practice: How Theory is Shaping Policy. The Journal of Economic Perspectives, 20(4): 3-28.
Chowdhury, A. and A. Hossain. 1998. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts.
. and H. Siregar. 2004. Indonesia’s Monetary Policy Dilemma-Constraints of Inflation Targeting. The Journal of Developing Area, 37(2): 137-153.
De Janvry, A. and E. Sadoulet. 2000. Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A Causal Analysis, 1970-94. Review of Income and Wealth, 46(3): 267-287.
Decaluwe, B., A. Patry, and L. Savard. 1998. Income Distribution, Poverty Measures and Trade Shocks: A Computable General Equilibrium Model of an Archetype Developing Country. Centre de Recherche en Economie et Finance Appliquees, CREFA. Dakar. http://www.econo1.ecn.ulaval.ca/ cahiers/ 1998/9812.pdf.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta.
. 2006. Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006. Pusat Informasi Energi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta.
Departemen Keuangan. 1991. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/1992. Departemen Keuangan, Jakarta.
. 2000-2008. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2000-2008 (berbagai tahun anggaran). Departemen Keuangan, Jakarta.
. 2009a. Data Pokok Anggaran Pembangunan Belanja Negara 2008-2009. Departemen Keuangan, Jakarta.
. 2009b. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009. Departemen Keuangan, Jakarta.
290
. 2009c. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Dees, S., P. Karadeloglou, R. Kaufmann, and M. Sanchez. 2003. Modelling the World Oil Market: Assessment of a Quarterly Econometric Model. European Central Bank and CEES, Frankfurt. Email: [email protected].
Diatin, I., M.P. Sobari, dan D. Fauziyah. 2003. Pengaruh Kenaikan Harga Solar terhadap Usaha Penangkapan Nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi. Buletin Ekonomi Perikanan, 5(1): 21-27.
Dornbusch, R. dan S. Fischer. 1997. Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta.
Easterly, W. and S. Fischer. 2001. Inflation and the Poor. Journal of Money, Credit, and Banking, 33(2): 160-178.
Elder, J. 2004. Another Perspective on the Effects of Inflation Uncertainty. Journal of Money, Credit, and Banking, 36(5): 911-928.
Hamilton, J.D. and Ana M.H. 2004. Comment: Oil Shock and Aggregate Macroenomic Behaviour: The Role of Monetary Policy. Journal of Money, Credit and Banking, 36(2): 265-286.
Hartono, D. dan B.P. Resosudarmo. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Harga Energi terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Aplikasi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5(1): 83-102.
. 2006. Dampak Kebijakan Harga, Subsidi, dan Efisiensi Konsumsi Bahan Bakar Minyak, Gas, dan Listrik terhadap Perekonomian di Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Hasan, M.F., I. Sugema, dan H. Ritonga. 2005. Menganalisa Dampak Kenaikan BBM terhadap Kemiskinan dengan Data Susenas 2004. Agro-Ekonomika, 35(1): 1-14.
Hayo, B. and A.M. Kutan. 2002. The Impact of News, Oil Prices, and International Spillovers on Russian Financial Markets. Working Paper. Center for European Integration Studies, Bonn.
Hooker, M.A. 2002. Are Oil Shock Inflationary ? Asymmetric and Nonlinear Spesicifations versus Changes in Regime. Journal of Money, Credit and Banking, 34(2): 540-561.
Husman, J.A. 2007. Dampak Fluktuasi Nilai Tukar terhadap Output dan Harga: Perbandingan Dua Rezim Nilai Tukar. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 10(1): 3-21.
291
Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
International Monetary Fund. 2006. International Financial Statistics Yearbook. International Monetary Fund, Washington DC.
________________________. 2008. Fuel and Food Price Subsidies: Issues and Reform Options. Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund, Washington DC.
Intriligator, M.D. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey.
Kahn, G.A. 1994. Progress Toward Price Stability: A Report Card for 1994. Economic Review, 83(3): 5-32.
Kakwani, N. 2000. Growth and Poverty Reduction: An Empirical Analysis. Asian Development Review, 18(2): 75-84.
Kim, Byung-Yeon. 2002. Causes of Repressed Inflation in the Soviet Consumer Market, 1965-1989: Retail Price Subsidies, the Shiponing Effect and the Budget Deficit. The Economic History Review, New Series, 55(1): 105-127.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. 2008. Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri Elpiji Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta.
Koplow, D. 2009. Measuring Energy Subsidies Using the Price-Gap Approach: What does It Leave Out? International Institute for Sustainable Development, Manitoba. http://www.iisd.org.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London.
Krejdl, A. 2006. Fiscal Sustainability. Working Paper Series. Economic Research Department, Czech National Bank. Praha.
Krichene, N. 2005. A Simultaneous Equations Model for World Crude Oil and Natural Gas Markets. IMF Working Paper. International Monetary Fund, Washington DC.
Kurtubi. 1998. Konsumsi, Harga dan Bentuk Pasar BBM di Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 46(3): 369-397.
Managi, S., J.J. Opaluch, D. Jin, and T.A. Grigalunas. 2004. Forecasting Energy Supply and Pollution from the Offshore Oil and Gas Industry. Marine Resource Economics, 19: 307-332.
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
292
Mardiana, R. 2001. Value At Risk (VAR) Harga Minyak Mentah. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 49(2): 175-191.
Miller, M. and L. Zhang. 1996. Oil Price Hikes and Development Triggers in Peace and War. The Economic Journal, 106(435): 445-457.
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nugroho, H. 2005. Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi. Majalah Perencanaan Pembangunan, 10(2): 2-18.
Nuryati dan S.S. Herdinie. 2007. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi pada Sektor Rumahtangga di Indonesia. Seminar Nasional III, SDM Teknologi Nuklir Tanggal 21-22 Novenber 2007, Yogyakarta.
Oktaviani, R. dan Sahara. 2005a. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Sektor Pertanian, Agroindustri dan Rumahtangga Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika, 35(1): 15-36.
. 2005b. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Keragaan Ekonomi Sektoral dan Rumahtangga di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum Recursive Dynamic. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 2(1): 35-52.
. dan E. Puspitawati. 2006. Prediksi Pertumbuhan Makro Ekonomi Nasional dan Regional, serta Sektor Riil Indonesia 2007 dengan Beberapa Pilihan Kebijakan. Agrimedia, 11(2): 1-16.
Pangestu, M.E. 1986. The Effects of An Oil Boom on A Small Oil Exporting Country: The Case of Indonesia. PhD Dissertation. University of California, California.
PT. Pertamina (Persero). 2009. Progress Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji s.d. 31 Oktober 2009. PT. Pertamina (Persero), Jakarta.
Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Prawiraatmadja, W. 1997. Indonesia’s Transition to A Net Oil Importing Country: Critical Issues in the Downstream Oil Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies, (33)2: 49-71.
Purnomo, B. 2006. Dampak Psikososial Bantuan Langsung Tunai. Serial Online. http://www.sinarharapan.com.
Purwantoro, R.N. 2008. Perkembangan Migas Indonesia. Manajemen Usahawan Indonesia, 37(3): 11-17.
293
Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Ghalia, Jakarta.
Raymond, J.E. and R.W. Rich. 1997. Oil and the Macroeconomy: A Markov State-Switching Approach. Journal of Money, Credit and Banking, 29(2):193-213.
Rietveld, P. and S. van Woudenberg. 2005. Why Fuel Prices Differ. Energy Economics. 27: 79-92.
Shikha Jha, P. Quising, and S. Camingue. 2009. Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies, and Fiscal Sustainability in Asia. ADB Economics Working Paper Series. Asian Development Bank, Manila.
Siddiqui, R. 2004. Energy and Economic Growth in Pakistan. The Pakistan Development Review, 43(2): 175-200.
Simatupang, P. dan A. Purwoto. 1995. Dampak Perubahan Harga Solar terhadap Produksi dan Laba Usahatani Padi. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, (43)1: 39-53.
Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD Dissertation. University of The Philippines, Los Banos.
Sitepu, R.K. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soebiakto, T. 1988. The Impacts of Changing Oil Prices on the Domestic Demand for Refined Oil Products, Supply of Crude Oil for Exports, Government Budget, Balance of Payments, and External Debt: The Case of Indonesia. PhD Dissertation. University of Colorado, Colorado.
Storchmann, K. 2005. Long-Run Gasoline Demand for Passenger Cars: The Role of Income Distribution. Energy Economics, 27: 25-28.
Sukirno, S. 2006a. Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
. 2006b. Makroekonomi. Teori Pengantar. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Susanti, H., M. Ikhsan, dan Widyanti. 1995. Indikator-Indikator Ekonomi. Edisi Kedua. Kerjasama Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syafa’at, N. 1996. Analisis Dampak Subsidi Harga Output terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, (44)3: 251-270.
294
Tambunan, T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Usman, B.M. Sinaga, dan H. Siregar. 2006. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 6(3): 25-37.
Usman, H. Siregar, dan B.M. Sinaga. 2006. Kemiskinan, Distribusi Pendapatan, dan Desentralisasi Fiskal: Analisis Simulasi Model Ekonometrika. Bisnis dan Ekonomi Politik, 7(4): 9-44.
World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001. Oxford University Press, Oxford.
Yanuarti, T. 2004. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Harga Barang Domestik. Occasional Paper Bank Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.
Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yunchang, J.B. 1996. The Impact of Energy Pricing Policy on Taiwan’s Small Open Economy. Asian Economic Journal, 10(1): 61-81.
Yusgiantoro, P. 2000. Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Pustaka Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
295
LAMPIRAN
296
Lampiran 1. Penawaran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
Lampiran 1a. Produksi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
(Ribu Kilo Liter)
Thn Pre-
mium*) M
Tanah Minyak Solar
Sub Total
Avtur
Av gas
M. Diesel
M. Bakar
1990 6 187 7 255 9 724 23 166 845 14 1 791 4 2711991 6 888 7 528 10 466 24 882 1 046 6 1 712 4 2891992 7 178 7 791 11 124 26 093 1 008 14 1 922 4 6101993 7 535 7 548 11 663 26 746 909 6 1 963 4 2511994 8 568 8 358 11 682 28 608 947 14 1 327 4 1801995 9 171 7 918 13 209 30 298 1 118 14 925 4 1091996 9 892 8 513 14 212 32 617 1 441 3 1 002 3 2151997 10 714 7 629 13 759 32 102 1 222 9 778 3 3191998 10 661 8 474 14 553 33 688 1 144 5 1 239 4 1861999 11 806 9 416 14 751 35 973 997 11 1 332 4 3102000 11 742 9 206 15 249 36 197 1 342 - 1 294 5 1652001 12 180 9 221 15 253 36 654 1 371 8 1 448 5 5792002 11 653 8 952 14 944 35 549 1 482 5 1 340 5 9312003 11 559 9 310 15 035 35 904 1 701 5 1 239 5 3862004 11 969 9 034 15 685 36 688 1 783 5 1 622 4 9232005 11 630 8 542 15 047 35 219 1 699 5 1 361 4 413
Sumber: Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Keterangan : * Sejak tahun 1997 termasuk Super TT (tanpa timbal) Premix ’94 dan Bensin Biru-2 Langkah (BB-2L).
297
Lampiran 1b. Produksi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
(Persen)
Thn Pre-
mium* M
Tanah Minyak Solar
Sub Total
Avtur Avga
s M.
Diesel M.
Bakar
1990 20.56 24.11 32.32 77.00 2.81 0.05 5.95 14.201991 21.57 23.57 32.77 77.91 3.28 0.02 5.36 13.431992 21.33 23.16 33.06 77.55 3.00 0.04 5.71 13.701993 22.24 22.28 34.43 78.95 2.68 0.02 5.79 12.551994 24.43 23.83 33.30 81.56 2.70 0.04 3.78 11.921995 25.15 21.71 36.22 83.09 3.07 0.04 2.54 11.271996 25.84 22.24 37.13 85.21 3.76 0.01 2.62 8.401997 28.62 20.38 36.76 85.77 3.26 0.02 2.08 8.871998 26.48 21.05 36.15 83.67 2.84 0.01 3.08 10.401999 27.70 22.09 34.61 84.40 2.34 0.03 3.13 10.112000 26.69 20.92 34.66 82.27 3.05 0.00 2.94 11.742001 27.03 20.46 33.85 81.34 3.04 0.02 3.21 12.382002 26.30 20.20 33.73 80.23 3.34 0.01 3.02 13.392003 26.13 21.05 33.99 81.17 3.85 0.01 2.80 12.182004 26.59 20.07 34.84 81.49 3.96 0.01 3.60 10.932005 27.24 20.01 35.24 82.49 3.98 0.01 3.19 10.34
Sumber : Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Keterangan : * Sejak tahun 1997 termasuk Super TT (tanpa timbal) Premix ’94 dan Bensin Biru-2 Langkah (BB-2L).
298
Lampiran 1c. Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu Kilo Liter)
Thn Pre-
mium1 M
Tanah2Minyak
Solar Sub
Total Avtur Avgas
M. Diesel
M. Bakar
1990 0 1 172 2 196 3 368 0 0 0 383 1991 0 465 2 196 2 661 0 0 0 894 1992 0 1 077 4 248 5 325 0 0 0 756 1993 0 1 541 4 593 6 134 0 0 0 897 1994 0 1 446 3 588 5 034 0 0 0 931 1995 0 2 074 3 538 5 612 0 0 0 794 1996 0 2 260 4 773 7 033 0 0 0 2 467 1997 0 3 118 8 148 11 266 0 0 0 3 072 1998 585 1 328 5 048 6 961 0 0 0 1 634 1999 1 598 2 789 5 770 10 157 0 0 0 581 2000 1 984 2 966 7 194 12 144 0 0 0 2 326 2001 2 410 2 718 7 879 13 007 0 0 0 1 166 2002 3 154 2 916 9 637 15 707 0 0 0 1 232 2003 3 076 2 516 9 955 15 547 0 0 0 1 512 2004 6 576 2 907 12 339 21 822 679 0 0 1 896 2005 7 267 2 604 14 440 24 311 654 0 0 1 491
Sumber : Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah). Keterangan: 1 : Premium merupakan penjumlahan premium dan HOMC,
dimana HOMC (High Octane Mogas Component) adalah salah satu bahan pembuat premium.
2 : Kerosene di dalam Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia, 2006 tertulis DPK (Dual Purpose Kerosene) yang biasanya dikenal sebagai kerosene atau minyak tanah.
299
Lampiran 1d. Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
(Persen)
Thn Pre-
mium1 M
Tanah2Minyak
Solar Sub
Total Avtur Avgas
M. Diesel
M. Bakar
1990 0 31.25 58.54 89.79 0 0 0 10.211991 0 13.08 61.77 74.85 0 0 0 25.151992 0 17.71 69.86 87.57 0 0 0 12.431993 0 21.92 65.32 87.24 0 0 0 12.761994 0 24.24 60.15 84.39 0 0 0 15.611995 0 32.38 55.23 87.61 0 0 0 12.391996 0 23.79 50.24 74.03 0 0 0 25.971997 0 21.75 56.83 78.57 0 0 0 21.431998 6.81 15.45 58.73 80.99 0 0 0 19.011999 14.88 25.97 53.73 94.59 0 0 0 5.412000 13.71 20.50 49.72 83.93 0 0 0 16.072001 17.00 19.18 55.59 91.77 0 0 0 8.232002 18.62 17.21 56.89 92.73 0 0 0 7.272003 18.03 14.75 58.36 91.14 0 0 0 8.862004 26.95 11.92 50.58 89.45 2.78 0 0 7.772005 27.47 9.84 54.58 91.89 2.47 0 0 5.64
Sumber : Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Keterangan: 1 : Premium merupakan penjumlahan premium dan HOMC, dimana HOMC (High Octane Mogas Component) adalah salah satu bahan pembuat premium.
2 : Kerosene di dalam Buku Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia, 2006 tertulis DPK (Dual Purpose Kerosene) yang biasanya dikenal sebagai kerosene.
300
Lampiran 1e. Jumlah Produksi dan Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
(Ribu Kilo Liter)
Thn Pre-
mium M
Tanah Minyak
Solar Sub
Total Avtur Avgas
M. Diesel
M. Bakar
1990 6 187 8 427 11 920 26 534 845 14 1 791 4 6541991 6 888 7 993 12 662 27 543 1 046 6 1 712 5 1831992 7 178 8 868 15 372 31 418 1 008 14 1 922 5 3661993 7 535 9 089 16 256 32 880 909 6 1 963 5 1481994 8 568 9 804 15 270 33 642 947 14 1 327 5 1111995 9 171 9 992 16 747 35 910 1 118 14 925 4 9031996 9 892 10 773 18 985 39 650 1 441 3 1 002 5 6821997 10 714 10 747 21 907 43 368 1 222 9 778 6 3911998 11 246 9 802 19 601 40 649 1 144 5 1 239 5 8201999 13 404 12 205 20 521 46 130 997 11 1 332 4 8912000 13 726 12 172 22 443 48 341 1 342 0 1 294 7 4912001 14 590 11 939 23 132 49 661 1 371 8 1 448 6 7452002 14 807 11 868 24 581 51 256 1 482 5 1 340 7 1632003 14 635 11 826 24 990 51 451 1 701 5 1 239 6 8982004 18 545 11 941 28 024 58 510 2 462 5 1 622 6 819
2005 18 897 11 146 29 487 59 530 2 353 5 1 361 5 904Sumber: Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral,
2006 (diolah).
301
Lampiran 1f. Jumlah Produksi dan Impor Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
(Persen)
Thn Pre-
mium M.
Tanah Minyak
Solar Sub
Total Avtur Avgas
M. Diesel
M. Bakar
1990 18.28 24.90 35.23 78.41 2.50 0.04 5.29 13.751991 39.37 2.66 12.55 54.58 5.98 0.03 9.79 29.621992 34.49 5.17 20.41 60.07 4.84 0.07 9.23 25.781993 34.73 7.10 21.17 63.01 4.19 0.03 9.05 23.731994 40.80 6.89 17.08 64.77 4.51 0.07 6.32 24.341995 42.18 9.54 16.27 67.99 5.14 0.06 4.25 22.551996 39.48 9.02 19.05 67.56 5.75 0.01 4.00 22.681997 35.27 10.26 26.82 72.35 4.02 0.03 2.56 21.041998 43.54 5.14 19.54 68.22 4.43 0.02 4.80 22.531999 45.91 9.55 19.76 75.23 3.42 0.04 4.56 16.752000 40.36 8.72 21.15 70.23 3.95 0.00 3.80 22.022001 41.97 7.82 22.67 72.46 3.94 0.02 4.17 19.412002 39.64 7.81 25.80 73.25 3.97 0.01 3.59 19.182003 39.61 6.81 26.94 73.36 4.60 0.01 3.35 18.672004 41.49 6.50 27.60 75.60 5.51 0.01 3.63 15.26
2005 41.47 5.72 31.69 78.88 5.16 0.01 2.99 12.96Sumber: Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral,
2006 (diolah).
302
Lampiran 1g. Jumlah Produksi, Ekspor, dan Impor Elpiji di Indonesia Tahun 1990-2005
Thn Produksi Ekspor Impor Total
Ton Persen Ton Persen Ton Persen Ton
1990 2 745 882 100.00 2 602 057 94.79 0 0.00 2 745 8821991 2 756 504 100.00 2 528 844 91.74 0 0.00 2 756 5041992 2 785 009 100.00 2 556 764 91.81 0 0.00 2 785 0091993 2 872 072 100.00 2 642 255 91.99 0 0.00 2 872 0721994 2 894 221 100.00 2 636 356 91.09 0 0.00 2 894 2211995 2 940 761 100.00 2 511 581 85.41 0 0.00 2 940 7611996 3 227 664 100.00 2 712 253 84.03 0 0.00 3 227 6641997 2 786 652 100.00 2 132 917 76.54 0 0.00 2 786 6521998 2 343 944 100.00 1 761 304 75.14 0 0.00 2 343 9441999 2 263 518 100.00 1 745 383 77.11 0 0.00 2 263 5182000 2 087 669 100.00 1 306 318 62.57 0 0.00 2 087 6692001 2 187 677 100.00 1 484 503 67.86 0 0.00 2 187 6772002 2 099 756 100.00 1 268 104 60.39 0 0.00 2 099 7562003 1 962 629 94.41 1 106 424 53.22 116 391 5.59 2 079 0202004 2 016 001 98.39 1 034 270 50.48 32 994 1.61 2 048 995
2005 1 890 717 98.84 1 015 366 53.08 22 166 1.16 1 912 883
Sumber: Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
303
Lam
pira
n 2.
Pem
akai
an B
ahan
Bak
ar M
inya
k pe
r Sek
tor d
i Ind
ones
ia T
ahun
1990
- 20
05
Lam
pira
n 2a
. Pem
akai
an B
ahan
Bak
ar M
inya
k pa
da S
ekto
r Ind
ustr
i (Ri
bu S
BM)
Tahu
nPr
e-m
ium
M. T
anah
Sola
rSu
b To
talB
atu-
bara
Elpi
ji (L
PGG
as B
umi
M. B
akar
M. D
iesel
Listr
ikK
ayu
Baka
rAr
ang
Avtu
rAv
gas
1990
01 6
7418
407
20 08
19 4
1281
043
802
9 098
8 661
10 47
549
570
00
019
910
1 814
20 53
822
352
11 05
892
943
331
9 131
8 901
11 68
751
358
00
019
920
2 083
25 00
327
086
12 26
61 0
5446
013
9 903
9 499
13 72
752
720
00
019
930
2 346
28 87
131
217
13 94
01 2
1447
953
11 63
09 7
0314
218
54 00
50
00
1994
02 5
3431
241
33 77
514
409
1 413
49 20
412
955
9 363
13 90
455
318
00
019
950
2 714
32 54
135
255
16 90
41 6
1952
259
17 84
08 4
2915
011
56 01
70
00
1996
02 9
2833
716
36 64
415
755
1 839
54 80
718
401
7 304
17 04
356
685
00
019
970
3 066
34 37
837
444
16 34
81 9
8060
624
20 06
97 3
2418
441
57 32
70
00
1998
02 9
3737
339
40 27
618
154
1 762
54 81
521
421
6 615
17 66
557
949
00
019
990
3 310
42 99
046
300
27 35
21 9
6175
005
25 13
48 2
8419
223
58 51
70
00
2000
03 5
8147
689
51 27
036
875
2 388
83 58
226
228
7 741
21 86
558
981
00
020
010
3 129
49 91
953
048
38 19
22 4
8489
223
26 71
07 7
4921
819
54 94
00
00
2002
03 0
7251
668
54 74
039
510
2 624
93 58
225
513
7 110
22 57
851
840
00
020
030
3 064
50 22
153
285
40 87
22 6
3690
322
20 05
76 0
9322
373
49 49
90
00
2004
02 7
9456
153
58 94
756
353
2 768
97 79
821
665
5 744
24 71
946
085
00
020
050
2 547
52 76
455
311
72 55
12 5
4298
691
17 54
44 4
5826
021
42 94
80
00
Sum
ber:
Depa
rtem
en E
nerg
i dan
Sum
berd
aya M
iner
al, 20
06 (d
iolah
).
304
Lamp
iran 2
b. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inyak
pada
Sekt
or In
dustr
i (Per
sen)
Tahu
nPr
emium
Miny
ak T
ana
Solar
Sub T
otal
Batu
bara
Elpij
i (LP
GGa
s Bum
iM
. Bak
arM
. Dies
elLi
strik
Kayu
Bak
arAr
ang
Avtu
rAv
gas
1990
01.1
12.12
13.22
6.20.5
328
.835.9
95.7
6.932
.630
00
1991
01.1
412
.9414
.086.9
70.5
927
.35.7
55.6
17.3
632
.350
00
1992
01.2
114
.5115
.727.1
20.6
126
.715.7
55.5
17.9
730
.60
00
1993
01.2
815
.716
.987.5
80.6
626
.086.3
25.2
87.7
329
.370
00
1994
01.3
316
.4117
.747.5
70.7
425
.856.8
14.9
27.3
29.06
00
019
950
1.33
1617
.348.3
10.8
25.7
8.77
4.15
7.38
27.55
00
019
960
1.416
.1717
.587.5
60.8
826
.298.8
33.5
8.17
27.19
00
019
970
1.415
.6617
.057.4
50.9
27.61
9.14
3.34
8.426
.110
00
1998
01.3
417
.0818
.428.3
0.81
25.07
9.83.0
38.0
826
.50
00
1999
01.2
616
.4217
.6910
.450.7
528
.659.6
3.16
7.34
22.35
00
020
000
1.24
16.51
17.74
12.76
0.83
28.93
9.08
2.68
7.57
20.41
00
020
010
1.06
16.97
18.03
12.98
0.84
30.33
9.08
2.63
7.42
18.68
00
020
020
1.03
17.37
18.4
13.28
0.88
31.46
8.58
2.39
7.59
17.43
00
020
030
1.07
17.61
18.69
14.33
0.92
31.68
7.03
2.14
7.85
17.36
00
020
040
0.89
17.88
18.77
17.94
0.88
31.14
6.91.8
37.8
714
.670
00
2005
00.8
16.49
17.28
22.67
0.79
30.83
5.48
1.39
8.13
13.42
00
0
Sumb
er: D
epart
emen
Energ
i dan
Sumb
erday
a Mine
ral, 2
006 (
diolah
).
305
Lamp
iran 2
c. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inyak
pada
Sekt
or T
rans
porta
si (R
ibu SB
M)
Tahu
nPr
e-mium
M. T
anah
Solar
Sub T
otal
M. B
akar
M. D
iesel
Gas B
umi
Avga
sAv
tur
Listr
ikAr
ang
Kayu
Bak
arElpi
ji (L
PGBr
iket
1990
34 96
810
29 49
264
470
1 450
1 460
344
8 746
100
00
019
9137
498
1033
161
70 66
976
01 3
4218
489 7
3810
00
00
1992
39 56
511
35 79
375
369
730
1 117
2066
13 89
610
00
00
1993
40 33
311
38 26
978
613
762
1 167
4073
16 04
710
00
00
1994
45 23
512
41 13
486
381
890
1 255
6344
9 543
100
00
019
9549
702
1243
457
93 17
11 2
001 0
8974
4510
275
120
00
019
9654
324
1347
094
101 4
312 0
0973
089
4611
868
160
00
019
9758
504
1348
495
107 0
122 5
7375
110
343
12 33
120
00
00
1998
61 08
613
50 42
811
1 527
3 641
710
140
327 4
8723
00
00
1999
64 35
213
55 21
311
9 578
1 719
741
147
326 5
9325
00
00
2000
69 56
713
57 26
212
6 842
1 541
922
138
267 9
4527
00
00
2001
73 34
113
59 14
613
2 500
2 217
577
111
329 5
3130
00
00
2002
76 93
814
59 85
513
6 807
1 996
699
997
11 28
133
00
00
2003
82 15
814
60 70
814
2 880
1 865
567
9720
12 63
033
00
00
2004
92 32
114
61 03
715
3 372
1 629
344
7419
14 82
834
00
00
2005
98 51
314
61 37
115
9 898
1 399
475
3717
13 68
234
00
00
Sumb
er: D
epart
emen
Ene
rgi da
n Sum
berda
ya M
ineral
, 200
6 (dio
lah).
306
Lamp
iran 2
d. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inyak
pada
Sekt
or T
rans
porta
si (P
ersen
)
Tahu
nPr
emium
Miny
ak T
ana
Solar
Sub T
otalM
inyak
Bak
aMiny
ak D
iesGa
s Alam
Avga
sAv
tur
Listr
ikAr
ang
Kayu
Bak
arElpi
ji (L
PGBr
iket
1990
45.9
0.013
38.71
84.63
1.91.9
20
0.06
11.48
0.01
00
00
1991
45.41
0.012
40.15
85.57
0.92
1.62
0.02
0.06
11.79
0.01
00
00
1992
43.38
0.012
39.24
82.63
0.81.2
20.0
20.0
715
.240.0
10
00
019
9341
.70.0
1139
.5781
.290.7
91.2
10.0
40.0
816
.590.0
10
00
019
9446
.070.0
1241
.8987
.980.9
11.2
80.0
60.0
49.7
20.0
10
00
019
9546
.950.0
1141
.0588
.011.1
31.0
30.0
70.0
49.7
10.0
10
00
019
9646
.750.0
1140
.5387
.31.7
30.6
30.0
80.0
410
.210.0
10
00
019
9747
.630.0
1139
.4887
.122.0
90.6
10.0
80.0
410
.040.0
20
00
019
9849
.440.0
1140
.8190
.262.9
50.5
70.1
10.0
36.0
60.0
20
00
019
9949
.950.0
142
.8692
.811.3
30.5
80.1
10.0
25.1
20.0
20
00
020
0050
.620.0
0941
.6692
.291.1
20.6
70.1
0.02
5.78
0.02
00
00
2001
50.58
0.009
40.79
91.38
1.53
0.40.0
80.0
26.5
70.0
20
00
020
0250
.980.0
0939
.6690
.651.3
20.4
60.0
70
7.47
0.02
00
00
2003
51.97
0.009
38.4
90.38
1.18
0.36
0.06
0.01
7.99
0.02
00
00
2004
54.21
0.008
35.84
90.06
0.96
0.20.0
40.0
18.7
10.0
20
00
020
0556
.120.0
0834
.9691
.090.8
0.27
0.02
0.01
7.79
0.02
00
00
Sumb
er: D
epart
emen
Ene
rgi da
n Sum
berda
ya M
ineral
, 200
6 (dio
lah).
307
Lamp
iran 2
e. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inya
k pad
a Sek
tor R
umah
Tan
gga d
an K
omer
sial (
Ribu
SBM
)
M.
Dies
el
1990
040
513
1 368
41 88
10
3.313
20
08 3
030
1 896
6 527
175 4
1419
910
41 40
71 6
1343
020
05
143
00
9 471
02 1
546 6
1917
8 078
1992
042
425
1 950
44 37
50
7.415
70
010
524
02 4
746 7
1118
0 808
1993
043
632
2 433
46 06
40
10.2
172
00
11 90
41.4
32 9
196 8
0218
3 590
1994
044
661
2 679
47 33
90
11.4
201
00
13 14
011
.033 5
716 8
0618
5 897
1995
045
716
2 889
48 60
50
12.1
230
00
15 34
320
.74 2
436 8
0418
7 877
1996
046
845
3 132
49 97
70
1326
20
017
767
30.44
4 935
6 797
189 5
4719
970
50 00
53 3
0153
307
013
.528
10
020
561
46.87
4 998
5 499
195 3
2019
980
51 91
62 7
9754
713
011
.926
20
022
851
61.26
5 204
4 207
199 7
9519
990
53 81
82 8
4056
658
012
.226
90
024
516
72.88
5 556
2 968
203 2
6720
000
55 93
32 9
8358
916
012
.828
40
027
678
75.05
5 740
2 958
207 1
0220
010
58 27
93 0
2861
307
012
.929
50
029
993
77.23
5 796
2 936
210 8
3220
020
61 14
03 0
7364
213
013
.130
50
030
808
79.61
6 122
2 907
214 9
9520
030
62 78
53 1
1965
905
013
.331
60
033
067
81.95
6 274
2 859
218 9
4720
040
62 83
03 1
6665
996
013
.530
70
036
601
84.03
6 391
2 789
222 0
5920
050
62 67
93 2
1365
893
013
.733
00
039
590
90.44
6 453
2 698
224 4
75
Sumb
er: D
epart
emen
Ene
rgi da
n Sum
berd
aya M
ineral
, 200
6 (dio
lah).
Aran
gKa
yu B
akar
Av-tu
rLi
strik
Brik
etEl
piji
(LPG
Sub T
otal
M. B
akar
Gas K
ota
Av-g
asTa
hun
Pre-m
ium
M. T
anah
Solar
308
Lamp
iran 2
f. Pem
akaia
n Bah
an B
akar
Miny
ak pa
da Se
ktor
Rum
ah T
angg
a dan
Kom
ersia
l (Per
sen)
Tahu
nPr
emium
Miny
ak T
ana
Solar
Sub T
otalM
inyak
Bak
aMiny
ak D
iesGa
s kota
Avga
sAv
tur
Listr
ikBr
iket
LPG
Aran
gKa
yu B
akar
1990
017
.30.5
817
.890
00.0
60
03.5
50
0.81
2.79
74.91
1991
017
.290.6
717
.960
00.0
60
03.9
50
0.92.7
674
.3619
920
17.31
0.818
.110
00.0
60
04.2
90
1.01
2.74
73.78
1993
017
.350.9
718
.320
00.0
70
04.7
30
1.16
2.71
73.01
1994
017
.381.0
418
.420
00.0
80
05.1
10
1.39
2.65
72.34
1995
017
.371.1
18.47
00
0.09
00
5.83
0.01
1.61
2.59
71.4
1996
017
.391.1
618
.560
00.1
00
6.60.0
11.8
32.5
270
.3819
970
17.86
1.18
19.04
00
0.10
07.3
40.0
21.7
81.9
669
.7519
980
18.08
0.97
19.06
00
0.09
00
7.96
0.02
1.81
1.47
69.59
1999
018
.350.9
719
.320
00.0
90
08.3
60.0
21.8
91.0
169
.320
000
18.47
0.99
19.46
00
0.09
00
9.14
0.02
1.90.9
868
.420
010
18.72
0.97
19.7
00
0.09
00
9.64
0.02
1.86
0.94
67.74
2002
019
.140.9
620
.10
00.1
00
9.64
0.02
1.92
0.91
67.3
2003
019
.170.9
520
.130
00.1
00
10.1
0.03
1.92
0.87
66.86
2004
018
.80.9
519
.740
00.0
90
010
.950.0
31.9
10.8
366
.4420
050
18.46
0.95
19.41
00
0.10
011
.660.0
31.9
0.79
66.11
Sumb
er: D
epart
emen
Energ
i dan
Sumb
erday
a Mine
ral, 2
006 (
diolah
).
309
Lamp
iran 2
g. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inyak
pada
Sekt
or L
ain-L
ain (R
ibu SB
M)
Tahu
nPr
emium
Miny
ak T
ana
Solar
Sub T
otalM
inyak
Bak
aMiny
ak D
iesGa
sAv
gas
Avtu
rLi
strik
LPG
Kayu
baka
rBr
iket
Aran
g
1990
2 120
1 714
11 66
015
494
1 067
681
00
00
00
00
1991
2 334
1 879
12 76
916
982
1 176
750
00
00
00
00
1992
2 462
1 879
13 46
417
805
1 154
736
00
00
00
00
1993
3 072
2 034
16 53
321
639
1 208
770
00
00
00
00
1994
3 425
2 167
18 31
123
903
1 275
814
00
00
00
00
1995
3 902
2 286
20 74
126
929
1 466
914
00
00
00
00
1996
4 475
2 562
23 11
330
150
1 883
986
00
00
00
00
1997
4 663
2 576
24 05
231
291
2 050
1 064
00
00
00
00
1998
2 902
2 351
17 25
422
507
2 043
942
00
00
00
00
1999
2 805
2 395
16 98
622
186
2 284
893
00
00
00
00
2000
2 917
2 477
17 41
622
810
2 424
904
00
00
00
00
2001
3 030
2 559
17 80
223
391
2 563
914
00
00
00
00
2002
3 142
2 547
18 14
523
834
2 702
925
00
00
00
00
2003
3 254
2 534
18 48
824
276
2 576
936
00
00
00
00
2004
3 410
2 521
18 81
624
747
2 506
915
00
00
00
00
2005
3 413
2 509
19 31
025
232
2 492
876
00
00
00
00
Sumb
er: D
epart
emen
Ene
rgi da
n Sum
berda
ya M
ineral
, 200
6 (dio
lah).
310
Lamp
iran 2
h. Pe
maka
ian B
ahan
Bak
ar M
inyak
pada
Sekt
or L
ain-L
ain (P
ersen
)
Tahu
nPr
emium
Miny
ak
Tana
hSo
larSu
b Tota
lM
inyak
Ba
kar
Miny
ak
Diese
lGa
sAv
gas
Avtu
rLi
strik
LPG
Kayu
Ba
kar
Brike
tAr
ang
1990
12.3
9.94
67.63
89.86
6.19
3.95
00
00
00
00
1991
12.34
9.94
67.53
89.81
6.22
3.97
00
00
00
00
1992
12.5
9.54
68.36
90.4
5.86
3.74
00
00
00
00
1993
13.01
8.61
7091
.625.1
13.2
60
00
00
00
019
9413
.188.3
470
.4591
.964.9
13.1
30
00
00
00
019
9513
.317.8
70.77
91.88
53.1
20
00
00
00
019
9613
.557.7
670
91.31
5.72.9
90
00
00
00
019
9713
.557.4
969
.9190
.955.9
63.0
90
00
00
00
019
9811
.389.2
267
.6888
.298.0
13.7
00
00
00
00
1999
11.06
9.44
66.97
87.47
9.01
3.52
00
00
00
00
2000
11.16
9.48
66.63
87.27
9.27
3.46
00
00
00
00
2001
11.28
9.52
66.26
87.06
9.54
3.40
00
00
00
020
0211
.449.2
766
.0886
.799.8
43.3
70
00
00
00
020
0311
.719.1
266
.5387
.369.2
73.3
70
00
00
00
020
0412
.118.9
566
.887
.868.9
3.25
00
00
00
00
2005
11.93
8.77
67.52
88.22
8.71
3.06
00
00
00
00
Sumb
er: D
epart
emen
Ene
rgi da
n Sum
berda
ya M
ineral
, 200
6 (dio
lah).
311
Lampiran 3. Istilah-Istilah sektor Minyak dan Gas Bumi
Minyak Bumi atau Minyak Mentah
: adalah minyak mineral yang merupakan campuran dari hidrokarbon yang berwarna hijau kehitam-hitaman serta mempunyai kerapatan dan kekentalan yang bervariasi. Merupakan bahan baku untuk mendapatkan BBM dan produk petrokimia. Data yang ditampilkan dalam neraca energi merupakan jumlah minyak bumi dan kondensat.
BBM : Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dimaksud dalam neraca energi adalah produk kilang minyak yang dapat digunakan untuk energi, terdiri dari avgas, avtur, mogas/premium, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, dan minyak tanah. Khusus dalam Disertasi ini, istilah Bahan Bakar Minyak (BBM) mengacu pada premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
Avgas : Aviation Gasoline adalah bahan bakar pesawat terbang baling-baling terdiri dari hidrokarbon ringan didistilasi antara 100oC dan 250oC, hasil distilasi pada volume sekurang-kurangnya 20% pada temperature 143oC.
Avtur : Aviation Turbine adalah bahan bakar untuk pesawat terbang jet terdiri dari hidrokarbon sedang dengan karakteristik distilasi dan titik nyala seperti minyak tanah dengan kandungan aromatik maksimum 22 persen terhadap volume. Kekentalan di bawah 18cST pada temperature -20oC, titik beku di bawah -47oC dan nilai oktan berkisar antara 80-145 RON.
Premium : Bensin Premium atau Motor Gasoline (mogas) adalah minyak hidrokarbon ringan yang digunakan untuk mesin pembakaran dalam seperti kendaraan bermotor tidak termasuk pesawat terbang. Mogas didistilasi antara 35oC dan 215oC diproses dengan Reformer, Catalitik Craking atau Blending dengan fraksi aromatik untuk mencapai nilai oktan yang tinggi. Di pasar Indonesia mogas dipisahkan menjadi tiga jenis: premium, premix dan super TT (premium mempunyai nilai oktan sekitar 80 RON, premix dan petramax mempunyai nilai oktan sekitar 94 RON, dan super TT dan petramax plus mempunyai nilai oktan sekitar 98 RON dan bebas timbal).
Minyak Diesel : adalah produk kilang yang megandung gas oil berat. BBM jenis ini diperoleh dari fraksi terendah dari atmosperic destilasi minyak mentah, sedangkan gas oil beratnya diperoleh dari vacuum re-distilasi dari residu atmospheric destilasi. Dalam pemasaran diesel oil dipisahkan menjadi dua jenis, yaitu minyak solar (Automotive Diesel Oil (ADO) atau High Speed Diesel
312
(HSD)) dan minyak diesel (Industry Diesel Oil (IDO) atau Low Speed Diesel (LSD)).
Lampiran 3. Lanjutan Minyak Bakar : adalah hasil minyak hasil distilasi residu. BBM ini
terdiri dari semua residu termasuk residu dari blending. Kekentalan sekitar 10 cSt pada 80oC. Titik bakar (flash point) nya di atas 50oC dengan density lebih dari 0.90.
Minyak Tanah : atau kerosene adalah BBM yang dihasilkan dari proses destilasi antara volatility di antara mogas dan gasoil. Dengan distilasi sedang antara 150oC dan 300oC dimna didistilasi pada volume minimal 65 persen pada temperature 250oC. Spesific gravity-nya sekitar 0.8 dengan titik nyala di atas 38oC .
Elpiji (LPG) : Adalah kependekan dari Liquified Petroleum Gas, adalah hidrokarbon ringan fraksi dari minyak mentah, dihasilkan dari proses kilang minyak yang terdiri dari propane (C3H8) dan butana (C4H10) atau campuran dari keduanya. Selain dari kilang minyak, LPG dapat dihasilkan dari pemurnian (purification) gas bumi di kilang LPG dan kilang LNG.
LNG : Adalah kependekan dari Liquified Natural Gas yaitu gas alam yang dimampatkan pada tekanan tinggi sehingga berbentuk cairan. Biasanya dilakukan untuk ditransportasikan agar efisien.
Batubara : adalah batuan sedimen yang terbentuk dari tumpukan kayu jutaan tahun yang lalu.
Biomassa ; adalah kumpulan dari kayu bakar, limbah pertanian (sekam, batang padi, cangkang sawit, tempurung kelapa), black liquor (cairan limbah), potongan kayu (chip), dan kulit kayu (bark).
Kilang Minyak : adalah unit pengolahan minyak buni dan kondesat untuk memproduksi bahan bakar minyak, antara lain naptha, avgas, avtur, ADO, IDO, premium, minyak tanah, minyak bakar, dan LPG.
Kondensat : atau natural gas liquid adalah cairan yang didapat dari gas bumi, dapat juga berupa gas minyak cair dan bensin alam.
SBM : Setara Barel Minyak adalah nilai kesetaraan kalor dengan satu barel minyak bumi.
Sumber: Ditjen Migas dalam Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
313
Lam
pira
n 4.
Pe
rkem
bang
an S
ubsid
i di I
ndon
esia
Tah
un 19
85-2
007
Urai
an19
8519
8619
8719
8819
8919
9019
9119
9219
9319
9419
9519
96
1. Ju
mlah
Bela
nja N
egar
a22
148
20 7
3822
384
26 7
3432
692
39 7
5444
581
52 0
4857
833
62 6
0765
342
82 2
21
2. T
otal
Subs
idi
1 36
746
71
165
282
1 85
83
570
1 23
086
71
455
1 50
217
91
660
a.
Sub
sidi B
BM45
0-
402
8270
73
306
930
692
1 28
068
7-
1416
b
. Sub
sidi N
on B
BM:
917
467
763
200
1 15
026
530
017
517
581
517
924
4
b.1
. Pup
uk91
746
776
320
01
150
265
300
175
175
815
143
186
b.2
. Pan
gan
--
--
--
--
--
3658
b.3
. List
rik -
--
--
--
--
- -
-
b.4
. Bun
ga K
redi
t Pro
gram
-
--
--
--
--
- -
-
b.4
. Lain
nya
- -
- -
- -
- -
- -
--
Urai
an19
9719
9819
9920
0020
0120
0220
0320
0420
0520
0620
07
1. Ju
mlah
Bela
nja N
egar
a10
9 30
217
2 66
923
1 87
922
1 46
734
1 56
334
5 60
537
0 59
225
5 30
939
2 82
042
2 47
045
7 30
0
2. T
otal
Subs
idi
21 1
2135
786
65 9
1662
745
77 4
4340
006
25 4
6526
638
119
090
107
628
105
154
a.
Sub
sidi B
BM9
814
28 6
0740
923
53 8
1068
381
31 1
6213
210
14 5
2789
194
62 7
3556
361
b
. Sub
sidi N
on B
BM:
11 3
067
179
24 9
938
936
9 06
38
845
12 2
5512
111
29 8
9644
892
48 7
93
b.1
. Pup
uk70
81
910
--
--
-1
353
2 59
42
982
6 98
1
b.2
. Pan
gan
10 5
991
535
18 1
642
213
2 43
54
507
4 69
75
476
6 45
25
570
6 58
4
b.3
. List
rik-
1 93
04
552
3 92
84
618
4 10
34
519
3 36
312
511
31 2
4632
488
b.4
. Bun
ga K
redi
t Pro
gram
-
1 19
22
033
2 42
81
083
184
1 64
4-
474
319
1 64
0
b.4
. Lain
nya
-61
224
436
792
651
1 39
51
919
7 86
54
775
1 10
0
Sum
ber:
Bada
n Pe
renc
anaa
n Pe
mba
ngun
an N
asio
nal,
2007
.
314
Lampiran 5. Program Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0
NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.15 seconds cpu time 0.63 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\Energi.xls" out=work.energi; sheet='2009_04_1986'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.ENERGI was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.29 seconds cpu time 0.12 seconds data Hanggono; set energi; /*A. SATUAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK MOPSPR = HDUSMB * 1.18 = US$ / BARREL MOPSSL = HDUSMB * 1.24 = US$ / BARREL MOPSKR = HDUSMB * 1.31 = US$ / BARREL HDUSLG = US$ / RIBU KG HDUSMB = US$ / BARREL MOPLPR = MOPSPR/159*1000 = US$ / RIBU LITER MOPLSL = MOPSSL/159*1000 = US$ / RIBU LITER MOPLKR = MOPSKR/159*1000 = US$ / RIBU LITER HDULLG = HDUSLG = US$ / RIBU KG HDULMB = HDUSMB/159*1000 = US$ / RIBU LITER MOPRPR = MOPLPR*NTUKAR = RP / RIBU LITER MOPRSL = MOPLSL*NTUKAR = RP / RIBU LITER MOPRKR = MOPLKR*NTUKAR = RP / RIBU LITER HDURLG = HDULLG*NTUKAR = RP / RIBU KG HDURMB = HDULMB*NTUKAR = RP / RIBU LITER MOPHPR = 1.15 * MOPRPR / 1000 MOPHSL = 1.15 * MOPRSL / 1000 MOPHKR = 1.15 * MOPRKR / 1000 HDUHLG = HDURLG / 1000 HJECPR = SUBHPR = MOPHPR = RP / LITER HJECSL = SUBHSL = MOPHSL = RP / LITER HJECKR = SUBHKR = MOPHKR = RP / LITER HJECLG = SUBHLG = HDUHLG = RP / KG HDUSMB = US$/BARREL HDULMB = US$/RB LITER HDURMB = RP/RB LITER HDUHMB = RP / LITER
315
B. HARGA DUNIA PREMIUM KEROSENE SOLAR dan ELPIJI*/ HDUSMB = HDUSMBNR/CPINDS*100; HDULMB = HDUSMB/159*1000; HDURMB = HDULMB*NTUKRR; HDUHMB = HDURMB/1000; HDUSLG = HDUSLGNR/CPINDS*100; HDULLG = HDUSLG; HDURLG = HDULLG*NTUKRR; HDUHLG = HDURLG/1000; MOPSPR = 1.18 * HDUSMB; MOPSSL = 1.24 * HDUSMB; MOPSKR = 1.31 * HDUSMB; MOPSAT = 1.50 * HDUSMB; MOPSAG = 1.36 * HDUSMB; MOPSDS = 1.22 * HDUSMB; MOPSBR = 0.90 * HDUSMB; MOPRPR = 1.18 * HDURMB; MOPRSL = 1.24 * HDURMB; MOPRKR = 1.31 * HDURMB; /*B. HARGA KEEKONOMIAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH/SATUAN */ ALPHAC = 1.15; MOPHPR = ALPHAC * MOPRPR /1000; MOPHSL = ALPHAC * MOPRSL /1000; MOPHKR = ALPHAC * MOPRKR /1000; /*C. SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH/SATUAN*/ SUBHPR = MOPHPR - HJECPR; SUBHSL = MOPHSL - HJECSL; SUBHKR = MOPHKR - HJECKR; SUBHLG = HDUHLG - HJECLG; /*D. NILAI IMPOR BAHAN BAKAR MINYAK DALAM MILIAR RUPIAH*/ IMPRPR = IMPJPR * MOPRPR /1000000000; IMPRSL = IMPJSL * MOPRSL /1000000000; IMPRKR = IMPJKR * MOPRKR /1000000000; EKSRLG = EKSJLG * HDURLG /1000000000; EKSRBM = EKSRLG; IMPBBL = IMPRAT + IMPRBR; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + IMPRLG + IMPBBL; /*E. PENAWARAN JUMLAH BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RIBU LITER*/ PNWJPR = PROJPR + IMPJPR - EKSJPR; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL - EKSJSL; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR - EKSJKR; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG - EKSJLG; PNWJBL = PNWJAT + PNWJAG + PNWJDS + PNWJBR; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; /*F. KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK PER SEKTOR PENGGUNA DALAM MILIAR H*/ KOSCPRT = KOSJPRT * HJECPR / 1000000; KOSCPRL = KOSJPRL * HJECPR / 1000000; KOSCSLT = KOSJSLT * HJECSL / 1000000; KOSCSLI = KOSJSLI * HJECSL / 1000000; KOSCSLK = KOSJSLK * HJECSL / 1000000; KOSCSLL = KOSJSLL * HJECSL / 1000000; KOSCKRT = KOSJKRT * HJECKR / 1000000;
316
KOSCKRI = KOSJKRI * HJECKR / 1000000; KOSCKRK = KOSJKRK * HJECKR / 1000000; KOSCKRL = KOSJKRL * HJECKR / 1000000; KOSCLGI = KOSJLGI * HJECLG / 1000000; KOSCLGK = KOSJLGK * HJECLG / 1000000; /*G. KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RUPIAH*/ KOSCPR = KOSCPRT + KOSCPRL; KOSCSL = KOSCSLT + KOSCSLI + KOSCSLK + KOSCSLL; KOSCKR = KOSCKRT + KOSCKRI + KOSCKRK + KOSCKRL; KOSCAT = KOSJAT * HJECAT /1000000; KOSCAG = KOSJAG * HJECAG /1000000; KOSCDS = KOSJDS * HJECDS /1000000; KOSCBR = KOSJBR * HJECBR /1000000; KOSCLG = KOSCLGI + KOSCLGK; KOSCPK = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR; KOSCPG = KOSCPK + KOSCLG; KOSCBL = KOSCAT + KOSCAG + KOSCDS + KOSCBR; KOSCBM = KOSCPG + KOSCBL; KOSJBL = KOSJAT + KOSJAG + KOSJDS + KOSJBR; KOSJPK = KOSJPR + KOSJSL + KOSJKR; /*H. SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DALAM MILIAR RUPIAH*/ SUBRPR = SUBHPR * KOSJPR / 1000000; SUBRSL = SUBHSL * KOSJSL / 1000000; SUBRKR = SUBHKR * KOSJKR / 1000000; SUBRAT = SUBHAT * KOSJAT / 1000000; SUBRAG = SUBHAG * KOSJAG / 1000000; SUBRDS = SUBHDS * KOSJDS / 1000000; SUBRBR = SUBHBR * KOSJBR / 1000000; SUBRLG = SUBHLG * KOSJLG / 1000000; SUBPKS = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR; SUBPKG = SUBPKS + SUBRLG; SUBBBL = SUBRAT + SUBRAG + SUBRDS + SUBRBR; SUBBBM = SUBPKG + SUBBBL; /*I. INDIKATOR MAKROEKONOMI DALAM MILIAR RUPIAH*/ SUBTOT = SUBBBM + SUBNBB; GOVENS = GOVEXP - SUBBBM; REVNTX = REVDDN - REVTAX; FISCGP = REVDDN - GOVEXP; BOTBBM = EKSRLG - IMPBBM; KOSNBM = KOSNAS - KOSCBM; INVNMG = INVEST - INVRMG; EKSNBM = EKSPOR - EKSRBM; IMPNBM = IMPORT - IMPBBM; NETEKS = EKSPOR - IMPORT; LCPINDS = LAG(CPINDS); LCPINDX = LAG(CPINDX); INFLSI = (CPINDX - LCPINDX)/LCPINDX * 100; INFLSS = (CPINDS - LCPINDS)/LCPINDS * 100; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; LGDPNAS = LAG(GDPNAS); GROWTH = (GDPNAS - LGDPNAS)/LGDPNAS * 100; /*J. HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BAHAN BAKAR MINYAK DALAM RIPIAH/LITER*/ HTMCPK = KOSCPK/KOSJPK*1000000; CPIN_2 = CPINDX / CPINDS;
317
/*INDIKATOR KEMISKINAN DALAM JUTA ORANG */ JOVERT = JOVDES + JOVKOT; POVERT = JOVERT / POPNAS * 100; KRODA6 = KRODA4 + KRODA2; /*INDIKATOR LAG (L), PERUBAHAN (D), PERTUMBUHAN (G), DAN RASIO (R)*/ LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); GSUBHPR = (SUBHPR-LSUBHPR)/LSUBHPR*100;LGOVENS = LAG(GOVENS); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); DGOVENS = (GOVENS - LGOVENS); DGOVEXP = (GOVEXP - LGOVEXP); LINVNMG = LAG(INVNMG); LINVEST = LAG(INVEST); LINVRMG = LAG(INVRMG); DINVEST = (INVEST - LINVEST); LINTRIL = LAG(INTRIL); DINTRIL = (INTRIL-LINTRIL); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); DNTUKRR = (NTUKRR-LNTUKRR); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); RMONEYD = MONEYD/LMONEYD; LREVDDN = LAG(REVDDN); DREVDDN = (REVDDN-LREVDDN); RREVDDN = REVDDN/LREVDDN; LDEVISS = LAG(DEVISS); DDEVISS = (DEVISS - LDEVISS); LMOPHPR = LAG(MOPHPR); LREVTAX = LAG(REVTAX); LFDINVS = LAG(FDINVS); RFDINVS = FDINVS/LFDINVS; LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LEKSJLG = LAG(EKSJLG); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPX = LAG(HJECPX); RHJECPX = HJECPX/LHJECPX; LBANKID = LAG(BANKID); LHJECKR = LAG(HJECKR); DHJECKR = (HJECKR-LHJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); DHJECLG = (HJECLG-LHJECLG); LHJECSL = LAG(HJECSL); DHJECSL = (HJECSL - LHJECSL); LHJECPR = LAG(HJECPR); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LLABORD = LAG(LABORD); DLABORD = (LABORD - LLABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LINFLSI = LAG(INFLSI); DINFLSI = (INFLSI-LINFLSI); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LMOPHSL = LAG(MOPHSL); LMOPSPR = LAG(MOPSPR); LPROJLG = LAG(PROJLG); LHDUHLG = LAG(HDUHLG); LHJECKB = LAG(HJECKB); DHJECKB = (HJECKB-LHJECKB); RHJLGKR = (LHJECLG/LHJECKR); GHJECKB = (HJECKB-LHJECKB)/LHJECKB*100; LKNIAGA = LAG(KNIAGA); LMTIKAN = LAG(MTIKAN); DBANKID = (BANKID-LBANKID); RHJECSL = (HJECSL/LHJECSL); RHJSLLG = (HJECSL/HJECLG); RHJSLLG2 = (LHJECSL/LHJECLG); GHJECSL = (HJECSL-LHJECSL)/LHJECSL*100;LUNEMPL = LAG(UNEMPL); RUN; NOTE: There were 21 observations read from the data set WORK.ENERGI. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 21 observations and 398 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.43 seconds cpu time 0.40 seconds
318
proc SYSLIN 2SLS data=Hanggono; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; model IMPJPR = LMOPHPR CPINDX TRENDD LIMPJPR /dw; model IMPJSL = MOPHSL CPINDX KNIAGA LIMPJSL /dw; model IMPJKR = MOPHKR POPNAS KRISIP LIMPJKR /dw; model EKSJLG = LHDUHLG PROJLG TRENDD KRISIP LEKSJLG /dw; model KOSJPRT = HJECPR RHJECPX KRODA6 LKOSJPRT /dw; model KOSJSLT = HJECSL LKNIAGA KRISIS LKOSJSLT /dw; model KOSJSLI = DHJECSL LISTRK KRISIS LKOSJSLI /dw; model KOSJSLK = HJECSL RTIKAN LKOSJSLK /dw; model KOSJKRT = HJECKR LMTIKAN LKOSJKRT /dw; model KOSJKRI = HJECKR LBANKID LKOSJKRI /dw; model KOSJKRK = HJECKR DHJECKB RHJLGKR POPNAS LKOSJKRK /dw; model KOSJLGI = LHJECLG LISTRK KRISIS LKOSJLGI /dw; model KOSJLGK = LHJECLG DHJECKR POPNAS LKOSJLGK /dw; model SUBHPR = MOPSPR NTUKRR REVDDN LSUBHPR /dw; model SUBHSL = MOPSSL NTUKRR DREVDDN LSUBHSL /dw; model SUBHKR = MOPSKR NTUKRR REVDDN LSUBHKR /dw; model SUBHLG = HDUSLG NTUKRR RREVDDN LSUBHLG /dw; model GOVENS = REVDDN INFLSI TRENDD LGOVENS /dw; model REVTAX = LGDPNAS KRISIP LREVTAX /dw; model EKSNBM = INFLSS CPINDX DNTUKRR PNWJBM LEKSNBM /dw; model IMPNBM = CPINDS INFLSI LNTUKRR POPNAS KRISIS LIMPNBM /dw; model KOSNBM = INFLSI INTRIL POPNAS KRISIS LKOSNBM /dw; model INVRMG = DINTRIL RFDINVS POPNAS KRISIS TRENDD LINVRMG /dw; model INVNMG = LINTRIL LNTUKRR TRENDD KRISIS LINVNMG /dw; model MONEYS = INTRIL GDPNAS BANKTL KRISIS TRENDD LMONEYS /dw; model MONEYD = INTRIL NTUKRR MONEYS LMONEYD /dw; model NTUKRR = CPIN_2 FDINVS DDEVISS LNTUKRR /dw; model INTRIL = MONEYS RMONEYD DINVEST KRISIS /dw; model CPINDX = HTMCPK LMONEYS LCPINDX /dw; model LABORS = UMRNAS POPNAS DGOVENS LLABORS /dw; model LABORD = LUMRNAS GDPNAS LLABORD /dw; model UMRNAS = LLABORS DLABORD KRISIP TRENDD LUMRNAS /dw; model JOVDES = INFLSI LGOVEXP UNEMPL HJECKB LJOVDES /dw; model JOVKOT = INFLSI GOVEXP UMRNAS LUNEMPL LHJECLG LJOVKOT /dw;
319
identity PNWJPR = PROJPR + IMPJPR - EKSJPR; identity PNWJSL = PROJSL + IMPJSL - EKSJSL; identity PNWJKR = PROJKR + IMPJKR - EKSJKR; identity PNWJLG = PROJLG + IMPJLG - EKSJLG; identity PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; identity KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; identity KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; identity KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; identity KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; identity HJECPR = MOPHPR - SUBHPR; identity HJECSL = MOPHSL - SUBHSL; identity HJECKR = MOPHKR - SUBHKR; identity HJECLG = HDUHLG - SUBHLG; identity KOSCPR = KOSCPR; identity KOSCSL = KOSCSL; identity KOSCKR = KOSCKR; identity KOSCLG = KOSCLG; identity BOTBBM = EKSRLG - IMPBBM; identity KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL; identity IMPRPR = IMPRPR; identity IMPRSL = IMPRSL; identity IMPRKR = IMPRKR; identity IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + IMPRLG + IMPBBL; identity IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; identity EKSRLG = EKSRLG; identity EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; identity NETEKS = EKSPOR - IMPORT; identity REVDDN = REVTAX + REVNTX; identity INVEST = INVRMG + INVNMG; identity KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; identity SUBRPR = SUBRPR + 0; identity SUBRSL = SUBRSL + 0; identity SUBRKR = SUBRKR + 0; identity SUBRLG = SUBRLG + 0; identity SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; identity GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; identity FISCGP = REVDDN - GOVEXP; identity GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; identity GROWTH = GROWTH; identity UNEMPL = LABORS - LABORD; identity INFLSI = INFLSI; identity POVERT = POVERT; run; NOTE: 21 observations were read. 1 observations have missing values. 20 observations were used in the computations. NOTE: PROCEDURE SYSLIN used (Total process time): real time 0.26 seconds cpu time 0.15 seconds
320
Lampiran 6. Hasil Estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJPRT Dependent Variable KOSJPRT Label Kons.Premium di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 3.102E14 7.755E13 1530.79 <.0001 Error 15 7.599E11 5.066E10 Corrected Total 19 3.109E14 Root MSE 225073.912 R‐Square 0.99756 Dependent Mean 10071186.3 Adj R‐Sq 0.99690 Coeff Var 2.23483 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1089813 635159.7 1.72 0.1068 Intercept HJECPR 1 ‐404.767 224.2521 ‐1.80 0.0912 H.Jual Eceran Premium (Rp/Liter) RHJECPX 1 25360.13 228775.0 0.11 0.9132 Rasio Harga Bensin Pertamax (rasio) KRODA6 1 51.52939 20.57990 2.50 0.0243 Jlh.Kendaraan R4 & R2 LKOSJPRT 1 0.926845 0.059403 15.60 <.0001 LAG Kons.Premium di Transport. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.781738 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.096245
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLT Dependent Variable KOSJSLT Label Kons.M.Solar di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.181E14 2.952E13 249.50 <.0001 Error 15 1.774E12 1.183E11 Corrected Total 19 1.198E14 Root MSE 343941.580 R‐Square 0.98519 Dependent Mean 8575716.06 Adj R‐Sq 0.98124 Coeff Var 4.01065 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 892803.0 434157.4 2.06 0.0576 Intercept HJECSL 1 ‐827.180 470.8609 ‐1.76 0.0994 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) LKNIAGA 1 266.3491 158.7959 1.68 0.1142 LAG Jlh.Kendaraan Niaga KRISIS 1 ‐752422 304508.5 ‐2.47 0.0260 Krisis Domestik LKOSJSLT 1 0.972452 0.058266 16.69 <.0001 LAG Kons.M.Solar di Transport. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.971382 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.00169 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLI Dependent Variable KOSJSLI Label Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.367E14 3.417E13 165.21 <.0001 Error 15 3.102E12 2.068E11 Corrected Total 19 1.398E14
321
Root MSE 454754.650 R‐Square 0.97781 Dependent Mean 6644934.17 Adj R‐Sq 0.97189 Coeff Var 6.84363 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐172483 367098.5 ‐0.47 0.6452 Intercept DHJECSL 1 ‐103.726 691.3420 ‐0.15 0.8827 Perub.H.Jual Ec.M.Solar (Rp/Liter) LISTRK 1 167.5038 93.30388 1.80 0.0928 Daya Listrik Terpasang (MW) KRISIS 1 ‐800382 455481.3 ‐1.76 0.0993 Krisis Domestik LKOSJSLI 1 0.680545 0.213814 3.18 0.0062 LAG Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.356451 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.18261
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJSLK Dependent Variable KOSJSLK Label Kons.M.Solar di RT& Kom. (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 3.826E11 1.275E11 75.88 <.0001 Error 16 2.69E10 1.681E9 Corrected Total 19 4.095E11 Root MSE 40999.7391 R‐Square 0.93433 Dependent Mean 468197.805 Adj R‐Sq 0.92201 Coeff Var 8.75693 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐285614 116096.6 ‐2.46 0.0256 Intercept HJECSL 1 ‐16.9463 29.27728 ‐0.58 0.5708 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) RTIKAN 1 0.259371 0.088699 2.92 0.0099 Rumah Tangga Nelayan (KK) LKOSJSLK 1 0.586745 0.122279 4.80 0.0002 LAG Kons.M.Solar di RTdanKom.(Rb Lt) Durbin‐Watson 1.678387 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.157913 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRT Dependent Variable KOSJKRT Label Kons.M.Tanah di Transportasi (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1625878 541959.2 45.15 <.0001 Error 16 192059.0 12003.69 Corrected Total 19 1817937 Root MSE 109.56133 R‐Square 0.89435 Dependent Mean 2196.45815 Adj R‐Sq 0.87454 Coeff Var 4.98809 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 615.0396 249.6839 2.46 0.0255 Intercept HJECKR 1 ‐0.23234 0.137281 ‐1.69 0.1099 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) LMTIKAN 1 0.001826 0.001237 1.48 0.1593 LAG Kapal Motor Perikanan (Unit) LKOSJKRT 1 0.705722 0.135130 5.22 <.0001 LAG Kons.M.Tanah di Transport. (Rb Lt)
322
Durbin‐Watson 2.109878 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.06722
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRI Dependent Variable KOSJKRI Label Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 2.696E11 8.986E10 41.70 <.0001 Error 16 3.448E10 2.1548E9 Corrected Total 19 3.041E11 Root MSE 46419.4657 R‐Square 0.88661 Dependent Mean 462798.110 Adj R‐Sq 0.86535 Coeff Var 10.03018 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 97382.20 62237.07 1.56 0.1372 Intercept HJECKR 1 ‐52.7697 47.88291 ‐1.10 0.2867 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) LBANKID 1 0.582187 0.248451 2.34 0.0324 LAG Jlh.Kred sekt. Indus.(Rp.Miliar) LKOSJKRI 1 0.729712 0.094142 7.75 <.0001 LAG Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.06525 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.04201 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJKRK Dependent Variable KOSJKRK Label Kons.M.Tanah di RT& Kom. (rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 5.016E13 1.003E13 120.41 <.0001 Error 14 1.166E12 8.331E10 Corrected Total 19 5.132E13 Root MSE 288636.661 R‐Square 0.97727 Dependent Mean 9063922.49 Adj R‐Sq 0.96916 Coeff Var 3.18446 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐5600302 1914895 ‐2.92 0.0111 Intercept HJECKR 1 ‐977.029 301.3361 ‐3.24 0.0059 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Liter) DHJECKB 1 637.6862 995.9595 0.64 0.5323 Perub.H.Jual Ec.Kayu Bakar (Rp/Ikat) RHJLGKR 1 78488.42 79230.91 0.99 0.3387 Rasio LAG H.Eceran Elpiji thd MTanah POPNAS 1 60321.30 16674.98 3.62 0.0028 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) LKOSJKRK 1 0.348502 0.165904 2.10 0.0543 LAG Kons.M.Tanah di RTdanKom.(Rb Lt) Durbin‐Watson 1.560575 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.166778
The SAS System
323
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJLGI Dependent Variable KOSJLGI Label Kons.Elpiji di Industri (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.333E11 3.332E10 46.17 <.0001 Error 15 1.082E10 7.2155E8 Corrected Total 19 1.441E11 Root MSE 26861.6774 R‐Square 0.92488 Dependent Mean 148934.085 Adj R‐Sq 0.90485 Coeff Var 18.03595 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐13861.6 29861.92 ‐0.46 0.6492 Intercept LHJECLG 1 ‐32.9607 18.94584 ‐1.74 0.1024 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) LISTRK 1 9.670650 1.970958 4.91 0.0002 Daya Listrik Terpasang (MW) KRISIS 1 ‐65665.4 21443.27 ‐3.06 0.0079 Krisis Domestik LKOSJLGI 1 0.518545 0.132585 3.91 0.0014 LAG Kons.Elpiji di Industri (Rb L) Durbin‐Watson 1.637818 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.054459 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSJLGK Dependent Variable KOSJLGK Label Kons.Elpiji di RT& Kom. (Rb Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 7.769E11 1.942E11 48.08 <.0001 Error 15 6.06E10 4.0398E9 Corrected Total 19 8.375E11 Root MSE 63559.2017 R‐Square 0.92765 Dependent Mean 368211.908 Adj R‐Sq 0.90835 Coeff Var 17.26158 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1330336 328536.0 ‐4.05 0.0010 Intercept LHJECLG 1 ‐40.8900 46.79875 ‐0.87 0.3960 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) DHJECKR 1 32.74244 76.56139 0.43 0.6750 Perub.H.Jual Ec.M.Tanah (Rp/Liter) POPNAS 1 8159.952 1892.359 4.31 0.0006 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) LKOSJLGK 1 0.439191 0.152259 2.88 0.0113 LAG Kons.Elpiji di RT dan Kom. (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.676853 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.086801
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJPR Dependent Variable IMPJPR Label Jumlah Impor Premium (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.514E14 3.786E13 74.63 <.0001 Error 15 7.609E12 5.073E11 Corrected Total 19 1.59E14 Root MSE 712223.409 R‐Square 0.95216 Dependent Mean 1826630.57 Adj R‐Sq 0.93940 Coeff Var 38.99110
324
Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 281000.0 778848.8 0.36 0.7233 Intercept LMOPHPR 1 ‐812.799 778.7522 ‐1.04 0.3131 LAG H.Dunia Premium (Rp/Lt) CPINDX 1 39025.03 20375.61 1.92 0.0747 Indeks Harga Konsumen (indeks) TRENDD 1 ‐140012 115155.9 ‐1.22 0.2428 Tren Waktu LIMPJPR 1 0.921675 0.197084 4.68 0.0003 LAG Jlh Impor Premium (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.979014 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.52874 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJSL Dependent Variable IMPJSL Label Jumlah Impor M.Solar (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 3.366E14 8.414E13 60.54 <.0001 Error 15 2.085E13 1.39E12 Corrected Total 19 3.574E14 Root MSE 1178983.61 R‐Square 0.94167 Dependent Mean 6344694.47 Adj R‐Sq 0.92611 Coeff Var 18.58220 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 298261.0 821685.6 0.36 0.7217 Intercept MOPHSL 1 ‐509.900 1080.504 ‐0.47 0.6438 Harga Dunia M.Solar (Rp/Liter) CPINDX 1 38335.36 22738.67 1.69 0.1125 Indeks Harga Konsumen (indeks) KNIAGA 1 881.1056 365.2047 2.41 0.0291 Jlh.Kendaraan Niaga LIMPJSL 1 0.257180 0.290049 0.89 0.3892 LAG Jlh Impor M.Solar (Rb Lt) Durbin‐Watson 2.216671 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.11751
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPJKR Dependent Variable IMPJKR Label Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Lt) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.097E13 2.742E12 14.49 <.0001 Error 15 2.838E12 1.892E11 Corrected Total 19 1.381E13 Root MSE 434937.961 R‐Square 0.79446 Dependent Mean 1989770.34 Adj R‐Sq 0.73965 Coeff Var 21.85870 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐8404491 2501940 ‐3.36 0.0043 Intercept MOPHKR 1 ‐286.025 254.1792 ‐1.13 0.2782 Harga Dunia M.Tanah (Rp/Liter) POPNAS 1 53732.84 15449.05 3.48 0.0034 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIP 1 366515.2 249826.2 1.47 0.1630 Krisis Pemilu LIMPJKR 1 0.048066 0.257226 0.19 0.8543 LAG Jlh Impor M.Tanah (Rb Lt) Durbin‐Watson 1.938421 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.028809
325
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EKSJLG Dependent Variable EKSJLG Label Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 1.003E13 2.005E12 261.24 <.0001 Error 14 1.075E11 7.6756E9 Corrected Total 19 1.013E13 Root MSE 87610.7467 R‐Square 0.98940 Dependent Mean 1803688.45 Adj R‐Sq 0.98561 Coeff Var 4.85731 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐255591 119842.7 ‐2.13 0.0511 Intercept LHDUHLG 1 137.9002 77.60924 1.78 0.0973 LAG Harga Dunia Elpiji (Rp/Kg) PROJLG 1 1.104520 0.074827 14.76 <.0001 Jumlah Produksi Elpiji (Ribu Kg) TRENDD 1 ‐58639.1 8422.879 ‐6.96 <.0001 Tren Waktu KRISIP 1 ‐27176.7 48881.60 ‐0.56 0.5870 Krisis Pemilu LEKSJLG 1 0.000699 0.060272 0.01 0.9909 LAG Jlh Ekspor Elpiji (Rb Kg) Durbin‐Watson 1.132411 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.330361
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHPR Dependent Variable SUBHPR Label Subsidi Harga Premium (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5306602 1326650 16.51 <.0001 Error 15 1205613 80374.18 Corrected Total 19 6512215 Root MSE 283.50341 R‐Square 0.81487 Dependent Mean ‐190.62908 Adj R‐Sq 0.76550 Coeff Var ‐148.71992 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1674.94 510.3706 ‐3.28 0.0050 Intercept MOPSPR 1 19.23830 10.10601 1.90 0.0763 Harga Dunia Premium (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.165753 0.051066 3.25 0.0054 Nilai Tukar (Rp/US$) REVDDN 1 ‐0.00025 0.001652 ‐0.15 0.8800 Penerimaan DN Pemerintah (Rp Miliar) LSUBHPR 1 0.329533 0.180382 1.83 0.0877 LAG Subsidi Harga Premium (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.845917 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.031924 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHSL Dependent Variable SUBHSL Label Subsidi Harga Minyak Solar (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
326
Model 4 2392131 598032.8 6.78 0.0025 Error 15 1323947 88263.16 Corrected Total 19 3716078 Root MSE 297.09116 R‐Square 0.64372 Dependent Mean 417.70382 Adj R‐Sq 0.54872 Coeff Var 71.12484 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐765.783 407.1332 ‐1.88 0.0795 Intercept MOPSSL 1 8.272682 8.592345 0.96 0.3509 Harga Dunia M.Solar (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.132112 0.046310 2.85 0.0121 Nilai Tukar (Rp/US$) DREVDDN 1 0.001276 0.002671 0.48 0.6396 Perub.Pend.DN Pemerintah (Rp.Miliar) LSUBHSL 1 0.205053 0.207707 0.99 0.3392 LAG Subsidi Harga Minyak Solar (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.673092 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.094408
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHKR Dependent Variable SUBHKR Label Subsidi Harga Minyak Tanah (Rp/Liter) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 6408425 1602106 31.20 <.0001 Error 15 770347.5 51356.50 Corrected Total 19 7178773 Root MSE 226.61972 R‐Square 0.89269 Dependent Mean 877.61566 Adj R‐Sq 0.86408 Coeff Var 25.82221 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1506.28 284.1631 ‐5.30 <.0001 Intercept MOPSKR 1 27.50348 7.048467 3.90 0.0014 Harga Dunia M.Tanah (US$/Barrel) NTUKRR 1 0.186390 0.038393 4.85 0.0002 Nilai Tukar (Rp/US$) REVDDN 1 0.000998 0.001348 0.74 0.4704 Penerimaan DN Pemerintah (Rp Miliar) LSUBHKR 1 0.139720 0.136881 1.02 0.3236 LAG Subsidi Harga M.Tanah (Rp/Lt) Durbin‐Watson 1.943414 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.016035 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model SUBHLG Dependent Variable SUBHLG Label Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5071347 1267837 8.67 0.0008 Error 15 2192957 146197.1 Corrected Total 19 7264303 Root MSE 382.35730 R‐Square 0.69812 Dependent Mean ‐431.73526 Adj R‐Sq 0.61762 Coeff Var ‐88.56291 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1808.81 925.3643 ‐1.95 0.0695 Intercept
327
HDUSLG 1 2.478410 1.129942 2.19 0.0445 Harga Dunia LPG (US$/Ribu Kg) NTUKRR 1 0.130000 0.055488 2.34 0.0333 Nilai Tukar (Rp/US$) RREVDDN 1 153.1878 662.0296 0.23 0.8201 Rasio Pend.DN Pemerintah (Rp.Miliar) LSUBHLG 1 0.325504 0.195544 1.66 0.1167 LAG Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg) Durbin‐Watson 1.816376 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.088142
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model REVTAX Dependent Variable REVTAX Label Penerimaan Pajak (Rp Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 5.951E10 1.984E10 107.27 <.0001 Error 16 2.9589E9 1.8493E8 Corrected Total 19 6.247E10 Root MSE 13598.9773 R‐Square 0.95264 Dependent Mean 123515.721 Adj R‐Sq 0.94376 Coeff Var 11.00992 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐105.437 9107.695 ‐0.01 0.9909 Intercept LGDPNAS 1 0.015610 0.016947 0.92 0.3707 LAG GDP Nasional (Rp.Miliar) KRISIP 1 ‐1982.86 7096.216 ‐0.28 0.7835 Krisis Pemilu LREVTAX 1 0.929618 0.145291 6.40 <.0001 LAG Penerimaan Pajak (Rp Miliar) Durbin‐Watson 2.673793 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.34954 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KOSNBM Dependent Variable KOSNBM Label Konsumsi di luar BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Meam Square F Value Pr > F Model 5 1.423E12 2.846E11 426.28 <.0001 Error 14 9.3456E9 6.6755E8 Corrected Total 19 1.432E12 Root MSE 25836.8997 R‐Square 0.99347 Dependent Mean 651301.982 Adj R‐Sq 0.99114 Coeff Var 3.96696 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐705965 493400.4 ‐1.43 0.1744 Intercept INFLSI 1 ‐14969.3 4709.294 ‐3.18 0.0067 Tingk.Inflasi Domestik INTRIL 1 ‐15241.7 4682.451 ‐3.26 0.0058 Tingk.Suku Bunga Domestik POPNAS 1 6422.242 2870.513 2.24 0.0420 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 99778.84 44556.36 2.24 0.0419 Krisis Domestik LKOSNBM 1 0.563120 0.166096 3.39 0.0044 LAG Konsumsi diluar BBM (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 2.180638 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.10931
328
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INVRMG Dependent Variable INVRMG Label Investasi MIGAS (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 2.687E9 4.4783E8 33.29 <.0001 Error 13 1.7488E8 13452169 Corrected Total 19 2.8618E9 Root MSE 3667.71986 R‐Square 0.93889 Dependent Mean 30047.5642 Adj R‐Sq 0.91069 Coeff Var 12.20638 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐60545.3 127980.4 ‐0.47 0.6440 Intercept DINTRIL 1 ‐413.781 98.68045 ‐4.19 0.0011 Perub.Tkt.Suku Bunga Domestik RFDINVS 1 199.6029 293.5048 0.68 0.5084 Rasio FDI thd LAGnya POPNAS 1 400.8910 759.9341 0.53 0.6067 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 5799.113 4800.646 1.21 0.2486 Krisis Domestik TRENDD 1 74.53277 2205.871 0.03 0.9736 Tren Waktu LINVRMG 1 0.322453 0.258749 1.25 0.2347 LAG Investasi MIGAS (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.858617 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.022504 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INVNMG Dependent Variable INVNMG Label Investasi Non‐MIGAS (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 7.53E10 1.506E10 32.69 <.0001 Error 14 6.4506E9 4.6075E8 Corrected Total 19 8.175E10 Root MSE 21465.1761 R‐Square 0.92110 Dependent Mean 197874.104 Adj R‐Sq 0.89292 Coeff Var 10.84790 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 138173.5 30473.29 4.53 0.0005 Intercept LINTRIL 1 ‐3677.40 884.5174 ‐4.16 0.0010 LAG Tingk.Suku Bunga Domestik LNTUKRR 1 ‐16.4365 4.830315 ‐3.40 0.0043 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) TRENDD 1 430.3034 1287.299 0.33 0.7431 Tren Waktu KRISIS 1 ‐93414.8 23389.51 ‐3.99 0.0013 Krisis Domestik LINVNMG 1 0.970674 0.083784 11.59 <.0001 LAG Investasi Non‐MIGAS (Mil. Rp) Durbin‐Watson 2.460511 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.28043
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model GOVENS Dependent Variable GOVENS Label Belanja Pem.diluar Subs.BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5.648E10 1.412E10 40.31 <.0001 Error 15 5.2544E9 3.5029E8 Corrected Total 19 6.173E10
329
Root MSE 18716.1239 R‐Square 0.91488 Dependent Mean 202102.592 Adj R‐Sq 0.89218 Coeff Var 9.26070 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 21295.93 29722.08 0.72 0.4847 Intercept REVDDN 1 0.993385 0.238038 4.17 0.0008 Penerimaan DN Pem. (Rp Miliar) INFLSI 1 2183.588 382.9008 5.70 <.0001 Tingk.Inflasi Domestik TRENDD 1 ‐4583.55 3469.726 ‐1.32 0.2063 Tren Waktu LGOVENS 1 0.110305 0.162005 0.68 0.5063 LAG Belanja Pem. diluar Subs.BBM
(Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.163919 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.370948 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model IMPNBM Dependent Variable IMPNBM Label Impor diluar BBM (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 7.769E10 1.295E10 15.61 <.0001 Error 13 1.078E10 8.2928E8 Corrected Total 19 8.847E10 Root MSE 28797.1908 R‐Square 0.87814 Dependent Mean 195230.861 Adj R‐Sq 0.82190 Coeff Var 14.75033 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐901589 443005.2 ‐2.04 0.0628 Intercept CPINDS 1 ‐3010.86 4784.964 ‐0.63 0.5401 Indeks H.Konsumen Dunia INFLSI 1 2088.257 1363.225 1.53 0.1495 Tingk.Inflasi Domestik LNTUKRR 1 ‐13.7374 6.866849 ‐2.00 0.0668 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) POPNAS 1 7165.514 4380.851 1.64 0.1259 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) KRISIS 1 ‐8795.08 63236.86 ‐0.14 0.8915 Krisis Domestik LIMPNBM 1 0.076328 0.268141 0.28 0.7804 LAG Impor diluar BBM (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.613397 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.077118
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EKSNBM Dependent Variable EKSNBM Label Ekspor diluar BBM (Rp Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 4.852E11 9.703E10 141.21 <.0001 Error 14 9.6204E9 6.8717E8 Corrected Total 19 4.948E11 Root MSE 26213.9034 R‐Square 0.98056 Dependent Mean 323942.348 Adj R‐Sq 0.97361 Coeff Var 8.09215 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐142862 80231.59 ‐1.78 0.0967 Intercept INFLSS 1 11213.69 8824.759 1.27 0.2245 Tingk.Inflasi Dunia CPINDX 1 ‐221.617 576.9774 ‐0.38 0.7067 Indeks Harga Konsumen (indeks) DNTUKRR 1 45.68434 3.877742 11.78 <.0001 Perub.Nilai Tukar Rp/US$ PNWJBM 1 0.004252 0.001931 2.20 0.0449 Jlh.Penawaran Total BBM (Rb Lt)
330
LEKSNBM 1 0.774934 0.100377 7.72 <.0001 LAG Ekspor diluar BBM (Rp Miliar) Durbin‐Watson 2.422699 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.22952 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model MONEYS Dependent Variable MONEYS Label Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 9.64E11 1.607E11 449.42 <.0001 Error 13 4.6473E9 3.5748E8 Corrected Total 19 9.686E11 Root MSE 18907.2009 R‐Square 0.99520 Dependent Mean 536189.751 Adj R‐Sq 0.99299 Coeff Var 3.52621 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐144069 37488.83 ‐3.84 0.0020 Intercept INTRIL 1 2571.971 871.9851 2.95 0.0113 Tingk.Suku Bunga Domestik GDPNAS 1 0.332875 0.080565 4.13 0.0012 GDP Nasional (Rp.Miliar) BANKTL 1 0.187252 0.033340 5.62 <.0001 Jumlah Kredit Total (Rp.Miliar KRISIS 1 ‐27775.3 28229.55 ‐0.98 0.3431 Krisis Domestik TRENDD 1 ‐15802.2 4942.848 ‐3.20 0.0070 Tren Waktu LMONEYS 1 0.705972 0.114336 6.17 <.0001 LAG Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 2.626985 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.45044
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model MONEYD Dependent Variable MONEYD Label Jlh.Permintaan Uang (Rp.Miliar) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.086E12 2.715E11 128.60 <.0001 Error 15 3.167E10 2.1112E9 Corrected Total 19 1.118E12 Root MSE 45947.3010 R‐Square 0.97167 Dependent Mean 556979.867 Adj R‐Sq 0.96411 Coeff Var 8.24936 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 139390.8 53814.28 2.59 0.0205 Intercept INTRIL 1 ‐2904.01 2124.160 ‐1.37 0.1917 Tingk.Suku Bunga Domestik NTUKRR 1 ‐31.9808 9.702011 ‐3.30 0.0049 Nilai Tukar (Rp/US$) MONEYS 1 1.025931 0.306260 3.35 0.0044 Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) LMONEYD 1 0.163295 0.310573 0.53 0.6067 LAG Jlh.Permintaan Uang (Rp.Miliar) Durbin‐Watson 1.949389 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.013606 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model NTUKRR Dependent Variable NTUKRR Label Nilai Tukar (Rp/US$)
331
Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 52790148 13197537 7.54 0.0015 Error 15 26268726 1751248 Corrected Total 19 79058874 Root MSE 1323.34742 R‐Square 0.66773 Dependent Mean 6226.23782 Adj R‐Sq 0.57913 Coeff Var 21.25437 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 5270.346 1450.855 3.63 0.0025 Intercept CPIN_2 1 1450.247 1123.594 1.29 0.2163 Rasio IHK Dom.dgn IHK dunia FDINVS 1 ‐0.16761 0.095480 ‐1.76 0.0996 Foreign Direct Investment(US$ Juta) DDEVISS 1 ‐0.20648 0.097744 ‐2.11 0.0518 Perub.Cad.Devisa (US$ Juta) LNTUKRR 1 0.045880 0.250690 0.18 0.8572 LAG Nilai Tukar (Rp/US%) Durbin‐Watson 1.771635 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.09069
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model CPINDX Dependent Variable CPINDX Label Indeks Harga Konsumen (indeks) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 46985.96 15661.99 528.80 <.0001 Error 16 473.8900 29.61812 Corrected Total 19 47459.85 Root MSE 5.44225 R‐Square 0.99001 Dependent Mean 75.49685 Adj R‐Sq 0.98814 Coeff Var 7.20858 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐11.8457 5.833631 ‐2.03 0.0593 Intercept HTMCPK 1 0.007563 0.004912 1.54 0.1431 H.Tertimb.Dom.Prem,Kero,& Solar (Rp/Liter) LMONEYS 1 0.000037 0.000012 3.10 0.0069 LAG Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) LCPINDX 1 0.897738 0.072296 12.42 <.0001 LAG Indeks Harga Konsumen (indeks) Durbin‐Watson 1.717795 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.116883 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INTRIL Dependent Variable INTRIL Label Tingk.Suku Bunga Domestik Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1210.308 302.5769 5.98 0.0044 Error 15 758.8766 50.59178 Corrected Total 19 1969.184 Root MSE 7.11279 R‐Square 0.61462 Dependent Mean 6.22649 Adj R‐Sq 0.51186 Coeff Var 114.23433
332
Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1.203584 20.36490 0.06 0.9537 Intercept MONEYS 1 ‐6.16E‐6 8.231E‐6 ‐0.75 0.4659 Jlh.Penawaran Uang (Rp.Miliar) RMONEYD 1 9.420449 16.73631 0.56 0.5818 Rasio Jlh.Permintaan Uang DINVEST 1 3.682E‐6 0.000062 0.06 0.9538 Perub.Investasi (Rp.Miliar) KRISIS 1 ‐21.3040 6.842226 ‐3.11 0.0071 Krisis Domestik Durbin‐Watson 2.451757 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.24051
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LABORS Dependent Variable LABORS Label Jumlah Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 2635.608 658.9020 274.86 <.0001 Error 15 35.95789 2.397193 Corrected Total 19 2671.566 Root MSE 1.54829 R‐Square 0.98654 Dependent Mean 90.18592 Adj R‐Sq 0.98295 Coeff Var 1.71677 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐29.8960 14.52379 ‐2.06 0.0574 Intercept UMRNAS 1 0.002136 0.002956 0.72 0.4811 Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) POPNAS 1 0.382762 0.181596 2.11 0.0523 Jumlah Penduduk Nasional(Jt Org) DGOVENS 1 5.665E‐6 7.518E‐6 0.75 0.4628 Perub.Belanja Negara Non‐Subs.BBM (Rp.Miliar) LLABORS 1 0.486980 0.245298 1.99 0.0657 LAG Jlh.Penawaran TK (Juta Jiwa) Durbin‐Watson 2.176923 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.1331 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LABORD Dependent Variable LABORD Label Jumlah Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1298.595 432.8651 138.13 <.0001 Error 16 50.14181 3.133863 Corrected Total 19 1348.737 Root MSE 1.77027 R‐Square 0.96282 Dependent Mean 84.58188 Adj R‐Sq 0.95585 Coeff Var 2.09297 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 25.24131 14.56669 1.73 0.1024 Intercept LUMRNAS 1 ‐0.00058 0.003407 ‐0.17 0.8659 LAG Upah Min.Nas. (Rp/Bulan) GDPNAS 1 6.679E‐6 4.505E‐6 1.48 0.1576 GDP Nasional (Rp.Miliar) LLABORD 1 0.616336 0.235863 2.61 0.0188 LAG Jlh.Permintaan TK (Juta Jiwa) Durbin‐Watson 2.751762 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.38126
333
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model UMRNAS Dependent Variable UMRNAS Label Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 211430.1 42286.02 7.10 0.0017 Error 14 83347.90 5953.421 Corrected Total 19 294778.0 Root MSE 77.15842 R‐Square 0.71725 Dependent Mean 598.04653 Adj R‐Sq 0.61627 Coeff Var 12.90174 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2247.657 1002.465 2.24 0.0417 Intercept LLABORS 1 ‐31.8223 15.11352 ‐2.11 0.0538 LAG Jlh.Penawaran TK (Juta Jiwa) DLABORD 1 2.084503 10.55715 0.20 0.8463 Perub.Jlh.Permintaan TK (Jt Jiwa) KRISIP 1 53.38795 42.26093 1.26 0.2271 Krisis Pemilu TRENDD 1 62.27182 29.88673 2.08 0.0560 Tren Waktu LUMRNAS 1 0.721639 0.141572 5.10 0.0002 LAG Upah Min.Nas. (Rp/Bulan) Durbin‐Watson 1.864732 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.026093 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JOVDES Dependent Variable JOVDES Label Jlh.Pend.Miskin Desa (Juta Orang) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 159.3531 31.87063 7.80 0.0011 Error 14 57.22888 4.087777 Corrected Total 19 216.5820 Root MSE 2.02183 R‐Square 0.73576 Dependent Mean 27.08459 Adj R‐Sq 0.64139 Coeff Var 7.46485 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 8.885239 8.996531 0.99 0.3401 Intercept INFLSI 1 0.133437 0.047018 2.84 0.0132 Tingk.Inflasi Domestik LGOVEXP 1 ‐0.00002 0.000017 ‐1.12 0.2829 LAG Blj.Pem. (Rp.Miliar) UNEMPL 1 0.356018 0.310129 1.15 0.2702 Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) HJECKB 1 0.002710 0.005738 0.47 0.6439 H.Jual Eceran Kayu Bakar (Rp/Ikat) LJOVDES 1 0.602540 0.152132 3.96 0.0014 LAG Jlh.Pend.Miskin Desa (Jt Org) Durbin‐Watson 1.922797 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.036745
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JOVKOT Dependent Variable JOVKOT Label Jlh.Pend.Miskin Kota (Juta Orang) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 6 44.98292 7.497154 2.82 0.0551
334
Error 13 34.51105 2.654696 Corrected Total 19 79.49397 Root MSE 1.62932 R‐Square 0.56587 Dependent Mean 12.21033 Adj R‐Sq 0.36550 Coeff Var 13.34381 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 12.30025 4.661912 2.64 0.0205 Intercept INFLSI 1 0.135014 0.045020 3.00 0.0103 Tingk.Inflasi Domestik GOVEXP 1 ‐0.00002 0.000015 ‐1.10 0.2929 Belanja Pemerintah (Rp.Miliar) UMRNAS 1 ‐0.00260 0.004328 ‐0.60 0.5581 Upah Rata2 Nasional (Rp/Bulan) LUNEMPL 1 0.354592 0.371452 0.95 0.3572 LAG Jlh.Pengangguran (Juta Jiwa) LHJECLG 1 0.000068 0.001532 0.04 0.9651 LAG H.Jual Ec. Elpiji (Rp/Kg) LJOVKOT 1 0.137808 0.240602 0.57 0.5766 LAG Jlh.Pend.Miskin Kota (Jt Org) Durbin‐Watson 2.208122 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.18905
Lampiran 7. Program Validasi Model Subsidi Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0
NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.13 seconds cpu time 0.62 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_N.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso_NN'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.46 seconds cpu time 0.20 seconds data Hanggono; set predikendo; /*INDIKATOR LAG (L), PERUBAHAN (D), PERTUMBUHAN (G), DAN RASIO (R)*/ LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); GSUBHPR = (SUBHPR‐LSUBHPR)/LSUBHPR*100; LGOVENS = LAG(GOVENS); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); DGOVENS = (GOVENS ‐ LGOVENS); DGOVEXP = (GOVEXP ‐ LGOVEXP); LINVNMG = LAG(INVNMG); LINVEST = LAG(INVEST); LINVRMG = LAG(INVRMG); DINVEST = (INVEST ‐ LINVEST); LINTRIL = LAG(INTRIL); LINTRIL = (INTRIL‐LINTRIL); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); DNTUKRR = (NTUKRR‐LNTUKRR); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); RMONEYD = MONEYD/LMONEYD; LREVDDN = LAG(REVDDN); DREVDDN = (REVDDN‐LREVDDN); RREVDDN = REVDDN/LREVDDN; LDEVISS = LAG(DEVISS); DDEVISS = (DEVISS ‐ LDEVISS); LMOPHPR = LAG(MOPHPR);
335
LREVTAX = LAG(REVTAX); LFDINVS = LAG(FDINVS); RFDINVS = FDINVS/LFDINVS; LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LEKSJLG = LAG(EKSJLG); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPX = LAG(HJECPX); RHJECPX = HJECPX/LHJECPX; LBANKID = LAG(BANKID); LHJECKR = LAG(HJECKR); DHJECKR = (HJECKR‐LHJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); DHJECLG = (HJECLG‐LHJECLG); LHJECSL = LAG(HJECSL); DHJECSL = (HJECSL ‐ LHJECSL); LHJECPR = LAG(HJECPR); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LLABORD = LAG(LABORD); DLABORD = (LABORD ‐ LLABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LINFLSI = LAG(INFLSI); DINFLSI = (INFLSI‐LINFLSI); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LMOPHSL = LAG(MOPHSL); LMOPSPR = LAG(MOPSPR); LPROJLG = LAG(PROJLG); LHDUHLG = LAG(HDUHLG); LHJECKB = LAG(HJECKB); DHJECKB = (HJECKB‐LHJECKB); RHJLGKR = (LHJECLG/LHJECKR); GHJECKB = (HJECKB‐LHJECKB)/LHJECKB*100; LKNIAGA = LAG(KNIAGA); LMTIKAN = LAG(MTIKAN); DBANKID = (BANKID‐LBANKID); RHJECSL = (HJECSL/LHJECSL); RHJSLLG = (HJECSL/HJECLG); RHJSLLG2 = (LHJECSL/LHJECLG); GHJECSL = (HJECSL‐LHJECSL)/LHJECSL*100; RUN; NOTE: There were 21 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 21 observations and 341 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.43 seconds cpu time 0.31 seconds proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict theil dynamic; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECKR = LAG(HJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); LGOVENS = LAG(GOVENS); LREVTAX = LAG(REVTAX); LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LINVNMG = LAG(INVNMG); LUNEMPL = LAG(UNEMPL); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LCPINDX = LAG(CPINDX); LLABORD = LAG(LABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LFDINVS = LAG(FDINVS);
336
LDEVISS = LAG(DEVISS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINVEST = LAG(INVEST); LINFLSI = LAG(INFLSI); parm a0 610131.1 a1 ‐1006.15 a2 45607.62 a3 ‐187855 a4 0.917482 b0 307769.8 b1 ‐374.831 b2 36851.46 b3 899.8852 b4 0.238200 c0 ‐9084383 c1 ‐324.797 c2 57864.80 c3 308616.0 c4 0.008018 d0 ‐233020 d1 135.5081 d2 1.095330 d3 ‐58788.2 d4 ‐24296.2
d5 0.003112 e0 1123446 e1 ‐402.994 e2 65335.98 e3 54.66420 e4 0.913706 f0 931971.5 f1 ‐811.742 f2 266.2612 f3 ‐745200 f4 0.966513 g0 ‐173134 g1 ‐103.547 g2 167.5878 g3 ‐800573 g4 0.680418 h0 ‐277032 h1 ‐15.5707 h2 0.254732 h3 0.585949 i0 650.3112 i1 ‐0.22956 i2 0.001794 i3 0.691805 j0 99971.36 j1 ‐53.3637 j2 0.574755 j3 0.727337 k0 ‐6206374 k1 ‐1020.17 k2 667.2196 k3 75566.91 k4 64740.81
k5 0.320929 l0 ‐6479.68 l1 ‐33.4571 l2 8.900561 l3 ‐63657.6 l4 0.562667 m0 ‐1448665 m1 ‐40.4743 m2 35.26335 m3 8830.503 m4 0.392610 n0 ‐1625.42 n1 17.01932 n2 0.158425 n3 0.000069 n4 0.350459 o0 ‐754.298 o1 7.325894 o2 0.130561 o3 0.001439 o4 0.243628 p0 ‐1497.98 p1 26.47919 p2 0.183126 p3 0.001192 p4 0.146793 q0 ‐1760.35 q1 2.520876 q2 0.130057 q3 99.12324 q4 0.339150 v0 28256.32 v1 1.004436 v2 2189.487 v3 ‐4989.29 v4 0.094282 w0 1737.680 w1 0.013563 w2 ‐241.188 w3 0.934858 x0 ‐126317 x1 10217.00 x2 ‐120.787 x3 45.51901 x4 0.003914
x5 0.762593 y0 ‐925567 y1 ‐3484.64 y2 2182.193 y3 ‐13.3777 y4 7516.541
y5 ‐12728.7 y6 0.056252 z0 ‐926521 z1 ‐14481.0 z2 ‐14749.4 z3 7693.559 z4 98066.50
z5 0.496401 aa0 ‐67817.5 aa1‐401.235 aa2 204.7058 aa3 441.2943 aa4 6257.735
aa5 87.22439 aa6 0.283337 ab0 152112.3 ab1 ‐3625.88 ab2 ‐16.5571 ab3 78.57330 ab4 ‐88870.8
ab5 0.928631 ac0 ‐141299 ac1 2521.748 ac2 0.333529 ac3 0.183465 ac4 ‐29437.9
ac5 ‐15986.9 ac6 0.707517 ad0 134969.7 ad1 ‐2977.76 ad2 ‐32.4716 ad3 1.050450 ad4 0.150957 ae0 5566.276 ae1 1417.658 ae2 ‐0.18375 ae3 ‐0.19527 ae4 0.013310 af0 2.376565 af1 ‐7.28E‐6 af2 9.034990 af3 9.922E‐7 af4 ‐21.4946 ag0 ‐13.3265 ag1 0.007853 ag2 0.000040 ag3 0.888247 ah0 ‐34.2679 ah1 0.003006 ah2 0.418323 ah3 6.431E‐6 ah4 0.449711 ai0 26.60973 ai1 ‐0.00083 ai2 6.945E‐6 ai3 0.597850 aj0 2260.720 aj1 ‐31.3557 aj2 4.369742 aj3 80.13413 aj4 59.97610
aj5 0.668586 ak0 8.885239 ak1 0.133437 ak2 ‐0.00002 ak3 0.356018 ak4 0.002710
ak5 0.602540 al0 12.30025 al1 0.135014 al2 ‐0.00002 al3 ‐0.00260 al4 0.354592
al5 0.000068 al6 0.137808 ;
IMPJPR = a0 + a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159)) + a2*CPINDX + a3*TRENDD + a4*LIMPJPR;
IMPJSL = b0 + b1*(1.24*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + b2*CPINDX + b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL;
IMPJKR = c0 + c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + c2*POPNAS + c3*KRISIP + c4*LIMPJKR;
EKSJLG = d0 + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) + d2*PROJLG + d3*TRENDD + d4*KRISIP + d5*LEKSJLG;
KOSJPRT = e0 + e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) + e3*KRODA6
+ e4*LKOSJPRT; KOSJSLT = f0 + f1*HJECSL + f2*LKNIAGA + f3*KRISIS
+ f4*LKOSJSLT; KOSJSLI = g0 + g1*(HJECSL ‐ LHJECSL) + g2*LISTRK
+ g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI; KOSJSLK = h0 + h1*HJECSL + h2*RTIKAN + h3*LKOSJSLK;
337
KOSJKRT = i0 + i1*HJECKR + i2*LMTIKAN + i3*LKOSJKRT; KOSJKRI = j0 + j1*HJECKR + j2*LBANKID + j3*LKOSJKRI; KOSJKRK = k0 + k1*HJECKR + k2*(HJECKB‐LHJECKB) + k3*(LHJECLG/LHJECKR)
+ k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; KOSJLGI = l0 + l1*LHJECLG + l2*LISTRK + l3*KRISIS
+ l4*LKOSJLGI; KOSJLGK = m0 + m1*LHJECLG + m2*(HJECKR‐LHJECKR) + m3*POPNAS
+ m4*LKOSJLGK; SUBHPR = n0 + n1*(1.18*HDUSMB) + n2*NTUKRR
+ n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; SUBHSL = o0 + o1*(1.24*HDUSMB) + o2*NTUKRR
+ o3*(REVDDN‐LREVDDN) + o4*LSUBHSL; SUBHKR = p0 + p1*(1.31*HDUSMB) + p2*NTUKRR
+ p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; SUBHLG = q0 + q1*HDUSLG + q2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN)
+ q4*LSUBHLG; GOVENS = v0 + v1*REVDDN + v2*INFLSI + v3*TRENDD
+ v4*LGOVENS; REVTAX = w0 + w1*LGDPNAS + w2*KRISIP + w3*LREVTAX; EKSNBM = x0 + x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR‐LNTUKRR)
+ x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM; IMPNBM = y0 + y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR
+ y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM; KOSNBM = z0 + z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS
+ z4*KRISIS + z5*LKOSNBM; INVRMG = aa0 + aa1*(INTRIL‐LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS)
+ aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD + aa6*LINVRMG;
INVNMG = ab0 + ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD + ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG;
MONEYS = ac0 + ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL + ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ac6*LMONEYS;
MONEYD = ad0 + ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS + ad4*LMONEYD;
NTUKRR = ae0 + ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS + ae3*(DEVISS‐LDEVISS) + ae4*LNTUKRR;
INTRIL = af0 + af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST‐LINVEST) + af4*KRISIS;
CPINDX = ag0 + ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) + (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) + ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX;
LABORS = ah0 + ah1*UMRNAS + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS‐LGOVENS) + ah4*LLABORS;
LABORD = ai0 + ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; UMRNAS = aj0 + aj1*LLABORS + aj2*(LABORD‐LLABORD) + aj3*KRISIP
+ aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; JOVDES = ak0 + ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL
+ ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; JOVKOT = al0 + al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS
+ al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT; PNWJPR = PROJPR + IMPJPR ‐ EKSJPR ; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL ‐ EKSJSL ; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR ‐ EKSJKR ; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG ‐ EKSJLG ; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; HJECPR = (1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHPR; HJECSL = (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHSL; HJECKR = (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHKR; HJECLG = (HDUSLG*NTUKRR/1000) ‐ SUBHLG; KOSCPR = (KOSJPR*HJECPR)/1000000; KOSCSL = (KOSJSL*HJECSL)/1000000; KOSCKR = (KOSJKR*HJECKR)/1000000; KOSCLG = (KOSJLG*HJECLG)/1000000; BOTBBM = EKSRLG ‐ IMPBBM; KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL;
338
IMPRPR = IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRSL = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR ‐ IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN ‐ GOVEXP; SUBRPR = (SUBHPR*KOSJPR)/1000000; SUBRSL = (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; SUBRKR = (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; SUBRLG = (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH = ((GDPNAS ‐ LGDPNAS) / LGDPNAS*100); UNEMPL = LABORS ‐ LABORD; INFLSI = ((CPINDX ‐ LCPINDX) / LCPINDX*100); POVERT = ((JOVDES + JOVKOT) / POPNAS*100); range tahun= 1988 to 2006; run; ods rtf close;
Lampiran 8. Hasil Validasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.0
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 76 Endogenous 76 Parameters 179 Range Variable TAHUN Equations 76 Number of Statements 122 Program Lag Length 1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= HANGGONO Solution Summary Variables Solved 76 Simulation Lag Length 1 Solution Range TAHUN
339
First 1988 Last 2006 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.686E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 47 Average Iterations 2.473684 Observations Processed Read 20 Lagged 1 Solved 19 First 3 Last 21
340
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 1988 To 2006
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label
PNWJPR 19 19 11557446 4828609 11030502 4793013 Jlh.Penawaran Premium (Rb Lt)
PNWJSL 19 19 19782902 6257275 19590302 6023468 Jlh.Penawaran M.Solar (Rb Lt)
PNWJKR 19 19 10337089 1512907 10397584 1496560 Jlh.Penawaran M.Tanah (Rb Lt)
PNWJLG 19 19 531154 297749 534872 291529 Jlh.Penawaran Elpiji (Rb Kg)
PNWJBM 19 19 50216436 13357396 49557388 13120906 Jlh.Penawaran BBM (Rb Lt)
KOSJPRT 19 19 10347200 3958102 10689959 3864576 Kons.Premium di Transp.(Rb Lt)
KOSJPR 19 19 10878578 4015627 11221337 3921036 Konsumsi Premium (Rb Lt)
KOSJSLT 19 19 8776572 2409522 9621890 2780750 Kons.M.Solar di Transp.(Rb Lt)
KOSJSLI 19 19 6848621 2624676 6886039 2598012 Kons.M.Solar di Industri(Rb Lt)
KOSJSLK 19 19 481514 137872 485332 133522 Kons.M.Solar di RT& Kom.(Rb Lt)
KOSJSL 19 19 19289747 5644631 20176301 6001011 Jumlah Konsumsi M.Solar(Rb Lt)
KOSJKRT 19 19 2223.0 293.5 2317.1 254.1 Kons.M.Tanah di Transp.(Rb Lt)
KOSJKRI 19 19 472500 122085 497395 103252 Kons.M.Tanah di Industri(Rb Lt)
KOSJKRK 19 19 9187495 1590241 9564870 1654912 Kons.M.Tanah di RT& Kom.(Rb Lt)
KOSJKR 19 19 10070389 1744088 10472753 1796528 Konsumsi M.Tanah (Rb Lt)
KOSJLGI 19 19 152769 87716.6 148747 82806.8 Kons.Elpiji di Industri(Rb Kg)
KOSJLGK 19 19 378384 210578 373222 200341 Kons.Elpiji di RT& Kom.(Rb Kg)
KOSJLG 19 19 531154 297749 521969 281672 Jumlah Konsumsi Elpiji (Rb Kg)
KOSCPR 19 19 16982.4 9481.8 16121.1 7675.0 Konsumsi Premium (Miliar Rp)
KOSCSL 19 19 20943.6 15683.0 18330.1 13062.0 Konsumsi M.Solar (Miliar Rp)
KOSCKR 19 19 6167.4 2949.1 4658.8 1684.9 Konsumsi M.Tanah (Miliar Rp)
KOSCLG 19 19 1100.7 807.6 1067.5 719.3 Konsumsi Elpiji (Miliar Rp)
KOSCBM 19 19 53531.1 33072.4 48514.6 27343.8 Konsumsi BBM (Miliar Rp)
HJECPR 19 19 1537.5 343.4 1408.4 197.4 H.Jual Eceran Premium (Rp/Lt)
HJECSL 19 19 1011.1 451.2 853.0 347.9 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt)
HJECKR 19 19 619.3 254.2 451.4 142.6 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt)
HJECLG 19 19 1900.9 467.2 1917.3 320.5 H.Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg)
IMPJPR 19 19 1922769 2939435 1395825 2953338 Jumlah Impor Premium (Rb Lt)
IMPJSL 19 19 6601345 4297266 6408746 4106238 Jumlah Impor M.Solar (Rb Lt)
IMPJKR 19 19 2042145 842061 2102639 768220 Jumlah Impor M.Tanah (Rb Lt)
IMPRPR 19 19 3543.0 6234.0 3172.3 6602.1 Impor Premium (Miliar Rp)
IMPRSL 19 19 10059.0 10626.8 10124.6 11824.1 Impor M.Solar (Miliar Rp)
IMPRKR 19 19 2948.7 2104.6 3041.7 2295.1 Impor M.Tanah (Miliar Rp)
IMPBBM 19 19 18076.1 19991.0 17865.2 21869.7 Impor BBM (Miliar Rp)
EKSJLG 19 19 1870725 684181 1867007 681307 Jumlah Ekspor Elpiji (Rb Kg)
EKSRLG 19 19 2423.4 660.8 2362.2 580.4 Ekspor Elpiji (Miliar Rp)
BOTBBM 19 19 -15652.7 19740.7 -15503.0 21577.1 Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp)
SUBHPR 19 19 -172.2 595.5 -209.7 465.8 Subsidi Harga Premium (Rp/Lt)
SUBHSL 19 19 423.5 453.6 406.7 328.4 Subsidi Harga M.Solar(Rp/Lt)
SUBHKR 19 19 896.3 625.6 879.4 597.3 Subsidi Harga M.Tanah(Rp/Lt)
SUBHLG 19 19 -411.4 628.3 -432.5 496.3 Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg)
SUBRPR 19 19 -246.0 6289.2 -959.5 5862.5 Subsidi Premium (Miliar Rp)
SUBRSL 19 19 9276.6 10529.2 9454.6 9387.7 Subsidi M.Solar (Miliar Rp)
SUBRKR 19 19 9889.8 7990.3 9945.8 7919.8 Subsidi M.Tanah (Miliar Rp)
SUBRLG 19 19 -131.2 362.6 -107.0 240.8 Subsidi Elpiji (Miliar Rp)
SUBBBM 19 19 20233.1 25725.1 19777.9 23259.6 Subsidi BBM (Miliar Rp)
REVTAX 19 19 128042 55118.7 132324 62411.1 Penerimaan Pajak (Miliar Rp)
REVDDN 19 19 193639 67095.0 197920 75331.2 Pendapatan DN Pemerintah
(Miliar Rp)
341
Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label
FISCGP 19 19 -33508.3 28313.3 -32372.6 19603.9 Fiscal GAP (Miliar Rp)
KOSNBM 19 19 671453 266441 688638 298243 Kons.di luar BBM (Miliar Rp)
KOSNAS 19 19 724984 291575 737153 314880 Konsumsi Nasional (Miliar Rp)
INVRMG 19 19 30718.6 12226.4 30748.5 11188.6 Investasi MIGAS (Miliar Rp)
INVNMG 19 19 203664 61920.8 211767 61212.3 Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp)
INVEST 19 19 234382 60767.8 242515 66943.8 Investasi Nasional (Miliar Rp)
GOVENS 19 19 206914 54228.7 210515 61333.2 Blj.Pem.diluar Subs.BBM
(Miliar Rp)
GOVEXP 19 19 227147 68115.8 230292 81807.2 Belanja Pemerintah (Miliar Rp)
IMPNBM 19 19 201078 64754.5 201844 61875.8 Impor diluar BBM (Miliar Rp)
IMPORT 19 19 219155 78055.0 219709 77218.5 Impor Total (Miliar Rp)
EKSNBM 19 19 334681 158284 329061 151180 Ekspor diluar BBM (Miliar Rp)
EKSPOR 19 19 337104 158760 331423 151547 Ekspor Total (Miliar Rp)
GDPNAS 19 19 1304462 436408 1321674 495145 GDP Nasional (Miliar Rp)
MONEYS 19 19 556790 211783 565329 218013 Jlh.Penawaran Uang (Miliar Rp)
MONEYD 19 19 578276 229166 592303 237443 Jlh.Permintaan Uang (Miliar Rp)
NTUKRR 19 19 6310.0 2060.1 6219.3 1610.7 Nilai Tukar (Rp/US$)
CPINDX 19 19 78.2385 49.7792 72.2890 48.0085 Indeks Harga Konsumen (indeks)
INTRIL 19 19 6.0580 10.4307 5.9931 7.2752 Tingk.Suku Bunga Dom. Riil
LABORS 19 19 91.1302 11.3840 91.1439 11.3138 Jumlah Penawaran TK (Juta Jiwa)
LABORD 19 19 85.3282 7.9481 85.6641 8.2558 Jumlah Permintaan TK (Juta Jiwa)
UMRNAS 19 19 607.8 119.9 598.9 81.5153 Upah Rata2 Nasional (Rb Rp/Bln)
UNEMPL 19 19 5.8019 3.6500 5.4798 3.6838 Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa)
INFLSI 19 19 11.6973 11.7867 11.1997 7.6800 Tingk.Inflasi Domestik
NETEKS 19 19 117950 90401.6 111714 91889.8 Ekspor Bersih (Miliar Rp)
GROWTH 19 19 7.2556 7.7032 9.0949 22.9026 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
JOVDES 19 19 26.7713 3.1560 25.9223 2.7172 Jlh.Pend.Miskin Desa (Jt Org)
JOVKOT 19 19 12.1723 2.0942 11.1995 0.7601 Jlh.Pend.Miskin Kota (Jt Org)
POVERT 19 19 19.6819 3.1104 18.7777 2.5599 Tingkat Penduduk Miskin (%)
342
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 1988 To 2006
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square
PNWJPR 19 -526944 -5.0242 642366 5.8129 727731 6.5642 0.9760
PNWJSL 19 -192600 -0.3973 680614 3.7535 951634 4.9546 0.9756
PNWJKR 19 60494.4 0.6892 304304 3.1200 399193 4.2097 0.9265
PNWJLG 19 3718.2 2.1267 56479.6 13.8694 71748.7 18.1368 0.9387
PNWJBM 19 -659049 -1.1949 1096041 2.1394 1440372 2.7706 0.9877
KOSJPRT 19 342760 4.2400 351168 4.2961 429750 5.7465 0.9876
KOSJPR 19 342760 3.9879 351168 4.0417 429750 5.3825 0.9879
KOSJSLT 19 845319 9.3386 845319 9.3386 1002040 10.6369 0.8174
KOSJSLI 19 37417.2 0.9360 309255 5.0642 402181 6.6542 0.9752
KOSJSLK 19 3818.1 2.1411 37091.2 8.3094 46094.5 9.9727 0.8820
KOSJSL 19 886554 4.5266 995949 5.2213 1149618 5.8835 0.9562
KOSJKRT 19 94.1391 4.7373 145.8 6.7909 168.1 7.9808 0.6537
KOSJKRI 19 24894.9 6.7748 39173.1 8.8479 50427.4 11.0909 0.8199
KOSJKRK 19 377375 4.1286 420195 4.5102 487774 5.1241 0.9007
KOSJKR 19 402364 4.0420 458176 4.4917 527550 5.0588 0.9034
KOSJLGI 19 -4022.4 -0.6006 17007.6 13.1118 22990.7 17.3729 0.9275
KOSJLGK 19 -5162.6 0.9381 43849.8 13.3281 54583.6 16.0715 0.9291
KOSJLG 19 -9185.0 0.4815 58724.2 12.7398 73735.7 15.2308 0.9353
KOSCPR 19 -861.3 -2.5852 2340.4 12.0460 3391.0 14.7357 0.8650
KOSCSL 19 -2613.5 -8.7070 4366.3 20.3397 5718.5 25.2313 0.8597
KOSCKR 19 -1508.6 -20.7928 1735.4 25.4201 2454.9 28.9745 0.2685
KOSCLG 19 -33.1586 4.7347 236.6 21.9505 344.8 25.0787 0.8075
KOSCBM 19 -5016.5 -6.8725 8285.0 14.2919 10930.1 16.8318 0.8847
HJECPR 19 -129.1 -5.9880 233.0 14.6349 281.3 17.0017 0.2916
HJECSL 19 -158.1 -12.4479 223.7 21.7536 277.1 26.6272 0.6020
HJECKR 19 -167.9 -23.4313 185.5 27.9812 244.9 31.5639 0.0199
HJECLG 19 16.3980 4.2386 296.4 16.5192 356.9 20.1510 0.3840
IMPJPR 19 -526944 . 642366 . 727731 . 0.9353
IMPJSL 19 -192600 2.5515 680614 14.8313 951634 19.4513 0.9482
IMPJKR 19 60494.4 11.0123 304304 24.2177 399193 43.0587 0.7628
IMPRPR 19 -370.7 . 696.5 . 857.0 . 0.9801
IMPRSL 19 65.6210 4.1836 1582.7 24.6876 1971.0 30.7606 0.9637
IMPRKR 19 93.0514 10.4237 546.4 26.2274 676.6 42.8952 0.8909
IMPBBM 19 -211.0 -2.5878 2475.9 18.7158 3091.0 21.5960 0.9748
EKSJLG 19 -3718.2 -0.0887 56479.6 3.4963 71748.7 4.6946 0.9884
EKSRLG 19 -61.2166 0.6727 275.6 12.4518 406.8 17.5291 0.6000
BOTBBM 19 149.8 -0.8488 2244.2 24.7359 2937.6 33.6914 0.9766
SUBHPR 19 -37.4187 -17.1606 305.5 91.9298 361.3 140.8 0.6115
SUBHSL 19 -16.8819 -29.9781 258.6 86.8596 318.4 116.9 0.4798
SUBHKR 19 -16.9375 21.5939 233.8 48.8429 297.1 81.3283 0.7619
SUBHLG 19 -21.1709 25.6417 336.7 199.0 428.0 397.9 0.5102
SUBRPR 19 -713.5 -14.1187 3479.1 91.9893 4580.3 143.9 0.4402
SUBRSL 19 178.0 -27.0302 5556.6 90.3217 7342.7 122.2 0.4867
SUBRKR 19 56.0184 26.8193 2622.7 51.9105 3608.7 86.7929 0.7847
SUBRLG 19 24.2016 13.8481 197.2 206.9 321.5 422.4 0.1701
SUBBBM 19 -455.2 -171.4 11523.3 209.6 15170.9 579.8 0.6329
REVTAX 19 4281.2 1.5833 11950.3 9.6908 15934.1 12.7824 0.9118
REVDDN 19 4281.2 1.0693 11950.3 6.0922 15934.1 7.7378 0.9405
FISCGP 19 1135.7 29.7165 21128.7 69.8189 34114.3 101.5 -.5324
KOSNBM 19 17185.5 4.1951 92642.3 16.9777 142620 28.6556 0.6976
343
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square
KOSNAS 19 12169.0 3.3052 97853.3 16.4316 143253 26.5767 0.7452
INVRMG 19 29.8897 1.0286 2941.9 9.9655 3559.8 11.6533 0.9105
INVNMG 19 8103.0 6.7051 34176.5 19.6838 40198.6 24.8970 0.5551
INVEST 19 8132.9 4.4028 34782.5 16.5961 40476.6 20.2847 0.5317
GOVENS 19 3600.7 3.2614 30952.9 16.7801 45106.9 27.1607 0.2697
GOVEXP 19 3145.5 0.7562 29035.8 12.9881 40135.8 17.5354 0.6335
IMPNBM 19 765.4 1.2530 25741.6 12.8281 35635.4 16.3551 0.6803
IMPORT 19 554.4 0.8231 25661.0 11.8618 35893.7 15.3268 0.7768
EKSNBM 19 -5619.9 1.1266 43597.9 15.1395 60801.4 20.9617 0.8442
EKSPOR 19 -5681.1 1.1321 43834.3 15.1070 61148.2 20.9295 0.8434
GDPNAS 19 17211.9 1.2934 118185 10.5958 167241 16.4050 0.8450
MONEYS 19 8538.9 5.2314 62394.1 14.3979 79556.5 23.8667 0.8510
MONEYD 19 14027.0 4.2489 69691.6 12.2197 99640.2 15.5802 0.8005
NTUKRR 19 -90.7646 0.9565 824.3 13.1298 1210.7 17.7937 0.6354
CPINDX 19 -5.9495 -8.4203 6.3599 9.2389 8.7889 11.6387 0.9671
INTRIL 19 -0.0649 -34.9913 4.0008 72.8019 6.7716 179.7 0.5551
LABORS 19 0.0137 0.0282 1.2520 1.3420 1.6346 1.7129 0.9782
LABORD 19 0.3359 0.4108 1.8771 2.1965 2.4698 2.8800 0.8981
UMRNAS 19 -8.8492 0.2768 65.1744 10.7971 79.8236 12.9767 0.5320
UNEMPL 19 -0.3222 -3.6573 1.7915 51.6481 2.1099 74.4596 0.6473
INFLSI 19 -0.4976 38.7326 7.6338 84.5920 13.4012 147.0 -.3645
NETEKS 19 -6235.5 -3.6791 37922.3 63.0033 50963.5 104.3 0.6645
GROWTH 19 1.8393 -19.0837 13.6876 144.8 20.2394 206.9 -6.287
JOVDES 19 -0.8490 -2.1062 2.9153 11.4213 3.5039 14.6906 -.3011
JOVKOT 19 -0.9728 -5.3387 1.7807 14.6189 2.3116 18.7967 -.2860
POVERT 19 -0.9041 -3.4123 2.2037 11.6669 2.6745 15.0433 0.2196
344
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 1988 To 2006
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
PNWJPR 19 5.296E11 0.99 0.52 0.00 0.48 0.00 0.47 0.0583 0.0298
PNWJSL 19 9.056E11 0.99 0.04 0.03 0.93 0.06 0.90 0.0460 0.0231
PNWJKR 19 1.594E11 0.96 0.02 0.01 0.97 0.00 0.98 0.0382 0.0191
PNWJLG 19 5.1479E9 0.97 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1186 0.0593
PNWJBM 19 2.075E12 1.00 0.21 0.01 0.78 0.03 0.77 0.0278 0.0140
KOSJPRT 19 1.847E11 1.00 0.64 0.04 0.33 0.04 0.32 0.0389 0.0192
KOSJPR 19 1.847E11 1.00 0.64 0.04 0.33 0.05 0.32 0.0372 0.0184
KOSJSLT 19 1.004E12 0.99 0.71 0.15 0.14 0.13 0.16 0.1103 0.0525
KOSJSLI 19 1.617E11 0.99 0.01 0.00 0.99 0.00 0.99 0.0550 0.0275
KOSJSLK 19 2.1247E9 0.94 0.01 0.01 0.99 0.01 0.98 0.0922 0.0460
KOSJSL 19 1.322E12 0.99 0.59 0.11 0.29 0.09 0.31 0.0573 0.0280
KOSJKRT 19 28256.1 0.87 0.31 0.00 0.69 0.05 0.63 0.0750 0.0368
KOSJKRI 19 2.5429E9 0.93 0.24 0.04 0.71 0.13 0.62 0.1035 0.0507
KOSJKRK 19 2.379E11 0.98 0.60 0.04 0.37 0.02 0.38 0.0524 0.0257
KOSJKR 19 2.783E11 0.98 0.58 0.03 0.39 0.01 0.41 0.0517 0.0253
KOSJLGI 19 5.2857E8 0.96 0.03 0.01 0.96 0.04 0.93 0.1314 0.0668
KOSJLGK 19 2.9794E9 0.96 0.01 0.00 0.99 0.03 0.96 0.1268 0.0641
KOSJLG 19 5.437E9 0.97 0.02 0.01 0.98 0.05 0.94 0.1219 0.0617
KOSCPR 19 11498910 0.94 0.06 0.13 0.80 0.27 0.67 0.1754 0.0914
KOSCSL 19 32700925 0.95 0.21 0.10 0.69 0.20 0.59 0.2207 0.1186
KOSCKR 19 6026702 0.76 0.38 0.05 0.57 0.25 0.37 0.3609 0.2091
KOSCLG 19 118921 0.90 0.01 0.00 0.99 0.06 0.93 0.2550 0.1312
KOSCBM 19 1.1947E8 0.96 0.21 0.16 0.63 0.26 0.53 0.1750 0.0928
HJECPR 19 79125.2 0.67 0.21 0.01 0.78 0.25 0.53 0.1788 0.0939
HJECSL 19 76769.9 0.86 0.33 0.02 0.65 0.13 0.54 0.2513 0.1372
HJECKR 19 59984.2 0.71 0.47 0.02 0.51 0.20 0.33 0.3672 0.2150
HJECLG 19 127378 0.62 0.00 0.01 0.99 0.16 0.84 0.1826 0.0916
IMPJPR 19 5.296E11 0.98 0.52 0.01 0.47 0.00 0.48 0.2111 0.1096
IMPJSL 19 9.056E11 0.98 0.04 0.01 0.95 0.04 0.92 0.1218 0.0619
IMPJKR 19 1.594E11 0.88 0.02 0.01 0.97 0.03 0.94 0.1814 0.0901
IMPRPR 19 734377 0.99 0.19 0.21 0.60 0.17 0.64 0.1220 0.0604
IMPRSL 19 3884655 0.99 0.00 0.42 0.58 0.35 0.65 0.1366 0.0662
IMPRKR 19 457853 0.95 0.02 0.17 0.81 0.08 0.91 0.1885 0.0919
IMPBBM 19 9554234 0.99 0.00 0.41 0.59 0.35 0.65 0.1164 0.0569
EKSJLG 19 5.1479E9 0.99 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0361 0.0181
EKSRLG 19 165446 0.79 0.02 0.02 0.96 0.04 0.94 0.1622 0.0824
BOTBBM 19 8629206 0.99 0.00 0.43 0.57 0.37 0.63 0.1185 0.0577
SUBHPR 19 130518 0.78 0.01 0.00 0.99 0.12 0.87 0.5974 0.3272
SUBHSL 19 101390 0.69 0.00 0.00 1.00 0.15 0.85 0.5205 0.2820
SUBHKR 19 88285.8 0.88 0.00 0.03 0.97 0.01 0.99 0.2742 0.1390
SUBHLG 19 183214 0.72 0.00 0.01 0.99 0.09 0.91 0.5807 0.3090
SUBRPR 19 20978712 0.71 0.02 0.09 0.89 0.01 0.97 0.7476 0.3845
SUBRSL 19 53915630 0.72 0.00 0.06 0.94 0.02 0.98 0.5312 0.2722
SUBRKR 19 13022821 0.89 0.00 0.05 0.95 0.00 1.00 0.2868 0.1434
SUBRLG 19 103375 0.46 0.01 0.05 0.95 0.14 0.86 0.8539 0.5070
SUBBBM 19 2.3016E8 0.80 0.00 0.03 0.97 0.03 0.97 0.4713 0.2437
REVTAX 19 2.539E8 0.97 0.07 0.29 0.64 0.20 0.73 0.1148 0.0560
REVDDN 19 2.539E8 0.98 0.07 0.33 0.60 0.25 0.67 0.0780 0.0384
FISCGP 19 1.1638E9 -0.04 0.00 0.35 0.65 0.06 0.94 0.7863 0.4214
345
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
KOSNBM 19 2.034E10 0.87 0.01 0.20 0.79 0.05 0.94 0.1981 0.0972
KOSNAS 19 2.052E10 0.89 0.01 0.15 0.84 0.03 0.97 0.1840 0.0908
INVRMG 19 12672047 0.96 0.00 0.02 0.98 0.08 0.92 0.1081 0.0543
INVNMG 19 1.6159E9 0.78 0.04 0.09 0.87 0.00 0.96 0.1893 0.0930
INVEST 19 1.6384E9 0.80 0.04 0.19 0.77 0.02 0.94 0.1674 0.0821
GOVENS 19 2.0346E9 0.69 0.01 0.27 0.72 0.02 0.97 0.2112 0.1043
GOVEXP 19 1.6109E9 0.87 0.01 0.31 0.69 0.11 0.88 0.1696 0.0836
IMPNBM 19 1.2699E9 0.83 0.00 0.05 0.95 0.01 0.99 0.1691 0.0846
IMPORT 19 1.2884E9 0.89 0.00 0.05 0.95 0.00 1.00 0.1547 0.0773
EKSNBM 19 3.6968E9 0.92 0.01 0.01 0.98 0.01 0.98 0.1650 0.0834
EKSPOR 19 3.7391E9 0.92 0.01 0.01 0.98 0.01 0.98 0.1649 0.0834
GDPNAS 19 2.797E10 0.94 0.01 0.24 0.75 0.12 0.87 0.1219 0.0602
MONEYS 19 6.3292E9 0.93 0.01 0.07 0.92 0.01 0.98 0.1340 0.0664
MONEYD 19 9.9282E9 0.91 0.02 0.08 0.90 0.01 0.97 0.1608 0.0794
NTUKRR 19 1465719 0.80 0.01 0.00 0.99 0.13 0.86 0.1829 0.0929
CPINDX 19 77.2449 0.99 0.46 0.02 0.52 0.04 0.50 0.0955 0.0493
INTRIL 19 45.8547 0.75 0.00 0.01 0.99 0.21 0.79 0.5728 0.3209
LABORS 19 2.6720 0.99 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0178 0.0089
LABORD 19 6.1001 0.95 0.02 0.07 0.91 0.01 0.97 0.0288 0.0144
UMRNAS 19 6371.8 0.74 0.01 0.01 0.98 0.22 0.77 0.1290 0.0653
UNEMPL 19 4.4517 0.83 0.02 0.09 0.88 0.00 0.98 0.3101 0.1580
INFLSI 19 179.6 0.05 0.00 0.27 0.73 0.09 0.91 0.8179 0.4490
NETEKS 19 2.5973E9 0.84 0.01 0.10 0.89 0.00 0.98 0.3463 0.1756
GROWTH 19 409.6 0.44 0.01 0.88 0.11 0.53 0.46 1.9398 0.5865
JOVDES 19 12.2770 0.30 0.06 0.24 0.70 0.01 0.93 0.1300 0.0661
JOVKOT 19 5.3434 0.10 0.18 0.05 0.77 0.32 0.51 0.1873 0.0981
POVERT 19 7.1529 0.60 0.11 0.06 0.82 0.04 0.85 0.1343 0.0688
346
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1988 To 2006 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PNWJPR 19 0.00510 0.76 0.60 0.03 0.38 0.00 0.40 0.6913 0.4200 PNWJSL 19 0.00303 0.68 0.01 0.14 0.85 0.00 0.99 0.5909 0.3033 PNWJKR 19 0.00167 0.85 0.02 0.14 0.83 0.01 0.96 0.5575 0.2667 PNWJLG 19 0.0347 0.76 0.01 0.17 0.82 0.01 0.99 0.6721 0.3250 PNWJBM 19 0.000868 0.84 0.20 0.01 0.79 0.02 0.78 0.4305 0.2358 KOSJPRT 19 0.00370 0.32 0.55 0.30 0.15 0.08 0.37 0.7973 0.3030 KOSJPR 19 0.00327 0.47 0.55 0.28 0.16 0.08 0.36 0.7610 0.2918 KOSJSLT 19 0.0122 0.53 0.78 0.09 0.14 0.01 0.21 1.5227 0.4700 KOSJSLI 19 0.00556 0.38 0.01 0.25 0.74 0.01 0.98 0.7115 0.3523 KOSJSLK 19 0.0124 0.55 0.03 0.39 0.57 0.05 0.92 0.9196 0.4069 KOSJSL 19 0.00375 0.77 0.58 0.02 0.40 0.01 0.41 0.7180 0.2986 KOSJKRT 19 0.00650 0.45 0.34 0.30 0.36 0.03 0.63 1.3943 0.5254 KOSJKRI 19 0.0124 0.70 0.36 0.19 0.45 0.02 0.61 1.0336 0.4245 KOSJKRK 19 0.00268 0.73 0.65 0.04 0.31 0.00 0.35 1.0470 0.4014 KOSJKR 19 0.00260 0.76 0.64 0.03 0.32 0.00 0.36 0.9900 0.3891 KOSJLGI 19 0.0420 0.73 0.02 0.08 0.90 0.01 0.97 0.6843 0.3577 KOSJLGK 19 0.0269 0.79 0.00 0.08 0.92 0.00 1.00 0.6035 0.3058 KOSJLG 19 0.0260 0.80 0.00 0.05 0.95 0.01 0.98 0.5819 0.3019 KOSCPR 19 0.0305 0.52 0.05 0.23 0.72 0.00 0.95 0.8533 0.4445 KOSCSL 19 0.0864 0.50 0.13 0.42 0.45 0.07 0.80 1.1038 0.5135 KOSCKR 19 0.1749 0.48 0.36 0.03 0.61 0.08 0.56 1.0859 0.6125 KOSCLG 19 0.0796 0.69 0.00 0.14 0.86 0.00 1.00 0.7344 0.3673 KOSCBM 19 0.0390 0.64 0.16 0.27 0.57 0.03 0.81 0.8935 0.4409 HJECPR 19 0.0352 0.48 0.15 0.25 0.61 0.00 0.85 1.1031 0.5419 HJECSL 19 0.0877 0.43 0.24 0.35 0.42 0.03 0.73 1.3179 0.5926 HJECKR 19 0.2119 0.46 0.37 0.02 0.61 0.11 0.52 1.1168 0.6233 HJECLG 19 0.0443 0.42 0.01 0.26 0.72 0.00 0.98 1.0511 0.5266 IMPJPR 19 . . . . . . . . . IMPJSL 19 0.0634 0.53 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.7762 0.4112 IMPJKR 19 0.1136 0.85 0.03 0.47 0.50 0.23 0.73 0.7127 0.3012 IMPRPR 19 . . . . . . . . . IMPRSL 19 0.1458 0.51 0.00 0.26 0.74 0.00 1.00 0.8423 0.4166 IMPRKR 19 0.1157 0.79 0.02 0.33 0.65 0.09 0.89 0.6906 0.3097 IMPBBM 19 0.0791 0.73 0.06 0.05 0.89 0.02 0.92 0.6064 0.3279 EKSJLG 19 0.00220 0.99 0.00 0.07 0.93 0.04 0.96 0.1150 0.0569 EKSRLG 19 0.0621 0.95 0.02 0.64 0.34 0.51 0.48 0.4949 0.2102 BOTBBM 19 0.1696 0.83 0.11 0.06 0.83 0.28 0.61 0.5496 0.3314 SUBHPR 19 2.4603 0.04 0.05 0.47 0.48 0.00 0.95 1.4069 0.7004 SUBHSL 19 1.6847 0.26 0.00 0.23 0.77 0.04 0.96 1.1013 0.6144 SUBHKR 19 0.5247 0.24 0.00 0.42 0.58 0.00 1.00 1.1983 0.5812 SUBHLG 19 65.4901 0.15 0.03 0.13 0.84 0.19 0.78 1.0293 0.6764 SUBRPR 19 2.8695 0.05 0.04 0.47 0.49 0.00 0.96 1.3724 0.6873 SUBRSL 19 2.0892 0.21 0.00 0.29 0.70 0.02 0.98 1.1638 0.6288 SUBRKR 19 0.6044 0.24 0.00 0.45 0.54 0.01 0.99 1.2174 0.5708 SUBRLG 19 143.5 0.01 0.03 0.12 0.85 0.33 0.64 1.0423 0.7582 SUBBBM 19 9.2755 0.49 0.03 0.00 0.97 0.27 0.71 0.8824 0.5682 REVTAX 19 0.0158 0.52 0.01 0.39 0.60 0.03 0.96 0.7966 0.3689 REVDDN 19 0.00659 0.86 0.02 0.21 0.77 0.05 0.93 0.4996 0.2348 FISCGP 19 1.8143 0.10 0.00 0.35 0.65 0.02 0.98 1.2081 0.6640
347
Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U KOSNBM 19 0.0973 0.04 0.02 0.94 0.05 0.58 0.41 3.0344 0.7261 KOSNAS 19 0.0821 -0.05 0.01 0.94 0.05 0.56 0.43 2.8636 0.7230 INVRMG 19 0.0177 0.87 0.00 0.01 0.99 0.13 0.87 0.4753 0.2593 INVNMG 19 0.0556 0.28 0.04 0.43 0.53 0.01 0.95 1.2833 0.5792 INVEST 19 0.0376 0.28 0.02 0.39 0.59 0.00 0.98 1.2094 0.5727 GOVENS 19 0.0630 0.59 0.00 0.34 0.66 0.03 0.97 0.9417 0.4365 GOVEXP 19 0.0422 0.57 0.00 0.27 0.73 0.01 0.99 0.9015 0.4393 IMPNBM 19 0.0313 0.67 0.00 0.15 0.85 0.00 1.00 0.7513 0.3791 IMPORT 19 0.0280 0.70 0.00 0.17 0.83 0.00 1.00 0.7131 0.3551 EKSNBM 19 0.0644 0.51 0.00 0.25 0.75 0.00 1.00 0.9177 0.4603 EKSPOR 19 0.0642 0.51 0.00 0.25 0.75 0.00 1.00 0.9218 0.4610 GDPNAS 19 0.0326 0.29 0.00 0.84 0.16 0.39 0.61 1.7302 0.5832 MONEYS 19 0.0790 0.43 0.04 0.84 0.12 0.49 0.47 1.9341 0.5771 MONEYD 19 0.0346 0.35 0.04 0.49 0.47 0.05 0.91 1.0763 0.4632 NTUKRR 19 0.0541 0.63 0.00 0.02 0.98 0.12 0.87 0.7769 0.4504 CPINDX 19 0.0210 0.46 0.47 0.04 0.49 0.06 0.47 0.8846 0.5895 INTRIL 19 0.9151 0.91 0.00 0.57 0.43 0.79 0.21 0.6120 0.4202 LABORS 19 0.000309 0.43 0.00 0.25 0.75 0.00 1.00 0.6234 0.3134 LABORD 19 0.000873 0.22 0.02 0.50 0.48 0.02 0.96 1.0750 0.4848 UMRNAS 19 0.0172 0.51 0.00 0.34 0.66 0.02 0.98 1.0285 0.4848 UNEMPL 19 0.5793 0.61 0.01 0.64 0.35 0.25 0.74 1.2651 0.4868 INFLSI 19 3.7149 0.30 0.01 0.07 0.93 0.20 0.79 0.9610 0.6160 NETEKS 19 1.7364 0.33 0.01 0.71 0.29 0.21 0.78 1.6836 0.6162 GROWTH 19 4.8555 0.58 0.01 0.63 0.36 0.24 0.75 1.3658 0.5120 JOVDES 19 0.0199 0.57 0.03 0.54 0.43 0.15 0.82 1.2458 0.4969 JOVKOT 19 0.0386 0.63 0.13 0.09 0.77 0.01 0.85 0.8766 0.4583 POVERT 19 0.0205 0.53 0.07 0.41 0.51 0.06 0.87 1.1729 0.4986 NOTE: Percent error statistics for 2 variables were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
348
Lampiran 9. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN, Program SAS/ETS versi 9.0
NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.17 seconds cpu time 0.70 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso12_21_NN_v75'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.32 seconds cpu time 0.15 seconds data Hanggono; set predikendo; RUN; NOTE: There were 29 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 29 observations and 715 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.65 seconds cpu time 0.56 seconds proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict out=N_endo; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECKR = LAG(HJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); LGOVENS = LAG(GOVENS); LREVTAX = LAG(REVTAX);
349
LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LINVNMG = LAG(INVNMG); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LCPINDX = LAG(CPINDX); LLABORD = LAG(LABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LFDINVS = LAG(FDINVS); LDEVISS = LAG(DEVISS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINVEST = LAG(INVEST); LINFLSI = LAG(INFLSI); parm a0 610131.1 a1 ‐1006.15 a2 45607.62 a3 ‐187855 a4 0.917482 b0 307769.8 b1 ‐374.831 b2 36851.46 b3 899.8852 b4 0.238200 c0 ‐9084383 c1 ‐324.797 c2 57864.80 c3 308616.0 c4 0.008018 d0 ‐233020 d1 135.5081 d2 1.095330 d3 ‐58788.2 d4 ‐24296.2
d5 0.003112 e0 1123446 e1 ‐402.994 e2 65335.98 e3 54.66420 e4 0.913706 f0 931971.5 f1 ‐811.742 f2 266.2612 f3 ‐745200 f4 0.966513 g0 ‐173134 g1 ‐103.547 g2 167.5878 g3 ‐800573 g4 0.680418 h0 ‐277032 h1 ‐15.5707 h2 0.254732 h3 0.585949 i0 650.3112 i1 ‐0.22956 i2 0.001794 i3 0.691805 j0 99971.36 j1 ‐53.3637 j2 0.574755 j3 0.727337 k0 ‐6206374 k1 ‐1020.17 k2 667.2196 k3 75566.91 k4 64740.81
k5 0.320929 l0 ‐6479.68 l1 ‐33.4571 l2 8.900561 l3 ‐63657.6 l4 0.562667 m0 ‐1448665 m1 ‐40.4743 m2 35.26335 m3 8830.503 m4 0.392610 n0 ‐1625.42 n1 17.01932 n2 0.158425 n3 0.000069 n4 0.350459 o0 ‐754.298 o1 7.325894 o2 0.130561 o3 0.001439 o4 0.243628 p0 ‐1497.98 p1 26.47919 p2 0.183126 p3 0.001192 p4 0.146793 q0 ‐1760.35 q1 2.520876 q2 0.130057 q3 99.12324 q4 0.339150 v0 28256.32 v1 1.004436 v2 2189.487 v3 ‐4989.29 v4 0.094282 w0 1737.680 w1 0.013563 w2 ‐241.188 w3 0.934858 x0 ‐126317 x1 10217.00 x2 ‐120.787 x3 45.51901 x4 0.003914
x5 0.762593 y0 ‐925567 y1 ‐3484.64 y2 2182.193 y3 ‐13.3777 y4 7516.541
y5 ‐12728.7 y6 0.056252 z0 ‐926521 z1 ‐14481.0 z2 ‐14749.4 z3 7693.559 z4 98066.50
z5 0.496401 aa0 ‐67817.5 aa1‐401.235 aa2 204.7058 aa3 441.2943 aa4 6257.735
aa5 87.22439 aa6 0.283337 ab0 152112.3 ab1 ‐3625.88 ab2 ‐16.5571 ab3 78.57330 ab4 ‐88870.8
ab5 0.928631 ac0 ‐141299 ac1 2521.748 ac2 0.333529 ac3 0.183465 ac4 ‐29437.9
ac5 ‐15986.9 ac6 0.707517 ad0 134969.7 ad1 ‐2977.76 ad2 ‐32.4716 ad3 1.050450 ad4 0.150957 ae0 5566.276 ae1 1417.658 ae2 ‐0.18375 ae3 ‐0.19527 ae4 0.013310 af0 2.376565 af1 ‐7.28E‐6 af2 9.034990 af3 9.922E‐7 af4 ‐21.4946 ag0 ‐13.3265 ag1 0.007853 ag2 0.000040 ag3 0.888247 ah0 ‐34.2679 ah1 0.003006 ah2 0.418323 ah3 6.431E‐6 ah4 0.449711 ai0 26.60973 ai1 ‐0.00083 ai2 6.945E‐6 ai3 0.597850 aj0 2260.720 aj1 ‐31.3557 aj2 4.369742 aj3 80.13413 aj4 59.97610
aj5 0.668586 ak0 8.885239 ak1 0.133437 ak2 ‐0.00002 ak3 0.356018 ak4 0.002710
ak5 0.602540 al0 12.30025 al1 0.135014 al2 ‐0.00002 al3 ‐0.00260 al4 0.354592
al5 0.000068 al6 0.137808 ; IMPJPR = a0 + a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159))
+ a2*CPINDX + a3*TRENDD + a4*LIMPJPR; IMPJSL = b0 + b1*(1.24*15*(HDUSMB*NTUKRR/159))
+ b2*CPINDX + b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL; IMPJKR = c0 + c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159))
+ c2*POPNAS + c3*KRISIP + c4*LIMPJKR; EKSJLG = d0 + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) + d2*PROJLG
+ d3*TRENDD + d4*KRISIP + d5*LEKSJLG;
350
KOSJPRT = e0 + e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) + e3*KRODA6 + e4*LKOSJPRT;
KOSJSLT = f0 + f1*HJECSL + f2*LKNIAGA + f3*KRISIS + f4*LKOSJSLT;
KOSJSLI = g0 + g1*(HJECSL ‐ LHJECSL) + g2*LISTRK + g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI;
KOSJSLK = h0 + h1*HJECSL + h2*RTIKAN + h3*LKOSJSLK; KOSJKRT = i0 + i1*HJECKR + i2*LMTIKAN + i3*LKOSJKRT; KOSJKRI = j0 + j1*HJECKR + j2*LBANKID + j3*LKOSJKRI; KOSJKRK = k0 + k1*HJECKR + k2*(HJECKB‐LHJECKB) + k3*(LHJECLG/LHJECKR)
+ k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; KOSJLGI = l0 + l1*LHJECLG + l2*LISTRK + l3*KRISIS
+ l4*LKOSJLGI; KOSJLGK = m0 + m1*LHJECLG + m2*(HJECKR‐LHJECKR) + m3*POPNAS
+ m4*LKOSJLGK; SUBHPR = n0 + n1*(1.18*HDUSMB) + n2*NTUKRR
+ n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; SUBHSL = o0 + o1*(1.24*HDUSMB) + o2*NTUKRR
+ o3*(REVDDN‐LREVDDN) + o4*LSUBHSL; SUBHKR = p0 + p1*(1.31*HDUSMB) + p2*NTUKRR
+ p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; SUBHLG = q0 + q1*HDUSLG + q2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN)
+ q4*LSUBHLG; GOVENS = v0 + v1*REVDDN + v2*INFLSI + v3*TRENDD
+ v4*LGOVENS; REVTAX = w0 + w1*LGDPNAS + w2*KRISIP + w3*LREVTAX; EKSNBM = x0 + x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR‐LNTUKRR)
+ x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM; IMPNBM = y0 + y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR
+ y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM; KOSNBM = z0 + z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS
+ z4*KRISIS + z5*LKOSNBM; INVRMG = aa0 + aa1*(INTRIL‐LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS)
+ aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD + aa6*LINVRMG;
INVNMG = ab0 + ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD + ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG;
MONEYS = ac0 + ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL + ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ac6*LMONEYS;
MONEYD = ad0 + ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS + ad4*LMONEYD;
NTUKRR = ae0 + ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS + ae3*(DEVISS‐LDEVISS) + ae4*LNTUKRR;
INTRIL = af0 + af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST‐LINVEST) + af4*KRISIS;
CPINDX = ag0 + ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) + (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) + ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX;
LABORS = ah0 + ah1*UMRNAS + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS‐LGOVENS) + ah4*LLABORS;
LABORD = ai0 + ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; UMRNAS = aj0 + aj1*LLABORS + aj2*(LABORD‐LLABORD) + aj3*KRISIP
+ aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; JOVDES = ak0 + ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL
+ ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; JOVKOT = al0 + al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS
+ al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT; PNWJPR = PROJPR + IMPJPR ‐ EKSJPR ; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL ‐ EKSJSL ; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR ‐ EKSJKR ; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG ‐ EKSJLG ; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; HJECPR = (1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHPR;
351
HJECSL = (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHSL; HJECKR = (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) ‐ SUBHKR; HJECLG = (HDUSLG*NTUKRR/1000) ‐ SUBHLG; KOSCPR = (KOSJPR*HJECPR)/1000000; KOSCSL = (KOSJSL*HJECSL)/1000000; KOSCKR = (KOSJKR*HJECKR)/1000000; KOSCLG = (KOSJLG*HJECLG)/1000000; BOTBBM = EKSRLG ‐ IMPBBM; KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL; IMPRPR = IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRSL = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR ‐ IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN ‐ GOVEXP; SUBRPR = (SUBHPR*KOSJPR)/1000000; SUBRSL = (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; SUBRKR = (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; SUBRLG = (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH = ((GDPNAS ‐ LGDPNAS) / LGDPNAS*100); UNEMPL = LABORS ‐ LABORD; INFLSI = ((CPINDX ‐ LCPINDX) / LCPINDX*100); POVERT = ((JOVDES + JOVKOT) / POPNAS*100); range tahun= 2007 to 2014; run; NOTE: The data set WORK.N_ENDO has 8 observations and 177 variables. ods rtf close; NOTE: PROCEDURE SIMNLIN used (Total process time): real time 0.20 seconds cpu time 0.20 seconds proc print data=N_Endo; var TAHUN IMPJPR IMPJSL IMPJKR EKSJLG KOSJPRT KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJLGI KOSJLGK SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG GOVENS REVTAX EKSNBM IMPNBM KOSNBM INVRMG INVNMG MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL CPINDX LABORS LABORD UMRNAS JOVDES JOVKOT PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPR KOSJSL KOSJKR KOSJLG KOSCBM IMPORT EKSPOR NETEKS REVDDN INVEST GOVEXP KOSNAS GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG FISCGP SUBBBM KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG BOTBBM IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSRLG; run; NOTE: There were 8 observations read from the data set WORK.N_ENDO. NOTE: PROCEDURE PRINT used (Total process time): real time 0.01 seconds cpu time 0.01 seconds proc export data=work.N_endo outfile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls"dbms=excel2000; sheet='endo12_21_NN_v75';
352
RUN; NOTE: endo12_21_NN_v75 was successfully created. NOTE: PROCEDURE EXPORT used (Total process time): real time 0.28 seconds cpu time 0.12 seconds
353
Lampiran 10. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2007-2014 Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia menggunakanMetode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan ProgramSAS/ETS versi 9.0
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary
Model Variables 76
Endogenous 76 Parameters 179 Range Variable TAHUN Equations 76 Number of Statements 122
Program Lag Length 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options
DATA= HANGGONO OUT= N_ENDO Solution Summary Variables Solved 76 Simulation Lag Length 1
Solution Range TAHUN First 2007 Last 2014 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 7.6E-15 Maximum Iterations 3
Total Iterations 24 Average Iterations 3
Observations Processed Read 9
Lagged 1 Solved 8 First 22
Last 29
Obs TAHUN IMPJPR IMPJSL IMPJKR EKSJLG KOSJPRT KOSJSLT KOSJSLI
1 2007 11859080.63 17350769.50 2880388.07 801784.67 19372554.70 13421342.92 11785005.99 2 2008 13537636.53 18556761.21 2964816.98 752887.60 20745378.36 14404033.14 12356207.61 3 2009 15477698.39 19927005.44 3347094.07 632627.09 22144609.19 15438103.99 12868663.46 4 2010 17762225.26 21460375.73 3106187.71 559835.33 23560753.08 16457702.30 13366237.33 5 2011 20448351.62 23143252.53 3162221.47 455865.13 24995105.45 17448771.17 13859660.80
6 2012 23573496.25 24960253.34 3213607.34 343832.85 26451797.17 18407650.98 14351254.92 7 2013 27157088.52 26898775.02 3256750.06 224661.69 27935260.71 19330894.49 14841395.81
8 2014 31206103.73 28951906.53 3599116.20 75550.68 29449790.16 20213355.43 15330130.93
354
Obs KOSJSLK KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJLGI KOSJLGK SUBHPR SUBHSL SUBHKR 1 690729.86 2490.57 431765.92 11095726.47 264272.48 649486.64 732.89 844.43 2473.46 2 715382.95 2527.24 432643.59 11412548.75 298280.71 722492.78 1023.31 1369.40 2723.03
3 739162.85 2528.65 433881.51 11582998.01 336315.57 791432.53 1218.62 1572.52 2927.67 4 761023.34 2510.20 433224.62 11696734.41 368039.63 846354.89 1382.10 1698.92 3129.31
5 781291.03 2479.43 429771.56 11784837.94 393549.50 891955.50 1535.36 1807.47 3333.04 6 800335.35 2439.20 423076.10 11853251.87 414790.20 932744.77 1686.89 1912.81 3541.24 7 818361.31 2389.93 412859.06 11900476.83 433390.74 971269.82 1841.06 2019.16 3756.59 8 835440.21 2330.86 398897.95 11923221.03 450391.20 1008735.79 2000.42 2127.66 3980.92
Obs SUBHLG HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG GOVENS REVTAX EKSNBM IMPNBM KOSNBM
1 410.329 2278.79 2320.38 870.02 2451.89 340670.00 253996.90 638625.38 299355.42 1141555.79 2 610.976 2235.00 2054.59 894.25 2138.83 358121.24 268518.34 672228.46 300332.92 1199690.47 3 688.276 2300.26 2125.28 978.89 2081.49 378778.22 283654.13 701402.77 314209.08 1250419.56 4 741.608 2410.37 2286.38 1080.97 2103.32 400023.51 299424.71 726740.80 326895.22 1301953.85
5 792.515 2542.32 2477.55 1193.87 2147.95 421334.65 315535.36 752902.02 337550.03 1357430.94 6 844.013 2690.67 2687.35 1318.60 2199.48 442888.98 331922.07 779386.14 346866.96 1416863.26
7 895.927 2855.78 2916.51 1457.70 2254.28 464941.63 348576.35 810508.03 355560.76 1479193.06 8 947.753 3039.16 3168.17 1613.86 2311.87 487432.63 365214.78 847654.54 364108.41 1542984.15 Obs INVRMG INVNMG MONEYS MONEYD NTUKRR INTRIL CPINDX LABORS LABORD UMRNAS
1 44952.99 176280.96 880893.64 937135.53 7476.75 5.41479 190.585 111.207 99.562 548.309 2 46103.55 190200.25 980141.72 1040923.87 7678.88 5.29171 206.059 112.879 101.619 528.787 3 48086.90 199858.09 1068687.69 1145583.66 7870.59 4.55148 224.390 115.081 103.571 602.955
4 50277.75 205731.07 1149233.27 1241920.10 8063.71 3.81292 245.320 117.135 105.377 562.687 5 52477.59 208065.91 1223184.45 1329884.96 8255.58 3.15122 268.414 119.127 107.168 531.284 6 54639.12 207135.93 1292804.81 1411891.27 8445.62 2.55829 293.311 121.104 108.949 507.753 7 56761.95 203204.40 1358815.04 1489108.09 8634.42 2.01171 319.752 123.083 110.704 489.903
8 58853.79 196506.04 1424089.27 1564743.83 8822.77 1.49853 347.603 125.310 112.476 556.080
Obs JOVDES JOVKOT PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPR 1 22.8107 10.1595 24053700.66 32589140.72 11348670.11 1002754.87 77773671.56 19901501.16 2 20.5597 4.8075 24941172.45 33439723.48 11551130.74 1056423.29 79314702.91 21196217.52 3 18.4244 3.2050 26541493.66 34379337.10 10751439.55 1158359.52 80971110.27 22614973.23 4 16.4824 2.4168 28249146.23 35429322.33 8928564.91 1195424.58 81954201.39 24048936.02 5 14.6250 1.6955 30830058.70 35591816.34 8202630.40 1250555.46 83993326.01 25399878.14
6 12.8082 0.8940 33028361.25 36862487.10 7672047.99 1303868.13 86242232.30 26772274.03 7 10.9713 0.0602 36068605.27 38236481.42 7433222.43 1356874.94 89885839.78 28270803.68 8 9.2099 -1.0695 39561675.09 39712323.42 6893620.29 1434212.04 94327390.41 29799939.54 Obs KOSJSL KOSJKR KOSJLG KOSCBM IMPORT EKSPOR NETEKS REVDDN 1 29957266.41 11988090.64 913759.12 147876.08 399692.16 640920.26 241228.10 371770.22
2 31234288.02 12328234.73 1020773.49 147012.86 418785.77 674298.75 255512.98 392978.74 3 32300579.61 12518709.36 1127748.09 156457.27 455520.74 703155.00 247634.26 415181.30 4 33634071.28 12647965.36 1214394.53 173607.68 492954.86 728333.50 235378.63 438419.90 5 34532355.79 12746926.12 1285505.00 191610.61 534517.26 754242.48 219725.22 462422.59 6 36094826.16 12821618.97 1347534.96 211899.69 580610.04 780432.59 199822.54 487149.45
7 36618838.14 12870643.21 1404660.56 232664.86 632977.50 811215.76 178238.26 512617.42 8 38099500.05 12890753.78 1459126.99 260431.52 694963.48 847900.81 152937.33 538569.99
Obs INVEST GOVEXP KOSNAS GDPNAS GROWTH UNEMPL INFLSI POVERT SUBRPR 1 221233.96 410579.34 1289431.87 2162473.27 8.81909 11.6442 8.06209 14.6431 14585.63
2 236303.80 456777.59 1346703.33 2295297.70 6.14225 11.2600 8.11951 11.1194 21690.39 3 247944.99 494557.56 1406876.84 2397013.64 4.43149 11.5103 8.89589 9.3626 27559.04
4 256008.83 530883.17 1475561.54 2497832.17 4.20601 11.7584 9.32764 8.0820 33238.06 5 260543.50 566253.40 1549041.55 2595563.67 3.91265 11.9588 9.41360 6.8973 38997.88 6 261775.06 603635.14 1628762.95 2693995.69 3.79232 12.1546 9.27558 5.7243 45161.93
7 259966.35 640537.31 1711857.92 2790599.83 3.58591 12.3792 9.01471 4.5566 52048.24 8 255359.83 680807.56 1803415.66 2892520.39 3.65228 12.8342 8.71026 3.3252 59612.27
355
Obs SUBRSL SUBRKR SUBRLG FISCGP SUBBBM KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG 1 25296.75 29652.01 374.94 -38809.12 69909.34 45351.24 69512.37 10429.83 2240.44 2 42772.17 33570.12 623.67 -63798.85 98656.35 47373.50 64173.68 11024.53 2183.26
3 50793.46 36650.63 776.20 -79376.26 115779.34 52020.34 68647.84 12254.38 2347.40 4 57141.62 39579.38 900.60 -92463.27 130859.66 57966.75 76900.41 13672.12 2554.26 5 62416.07 42486.02 1018.78 -103830.81 144918.75 64574.63 85555.66 15218.20 2761.20
6 69042.45 45404.44 1137.34 -116485.69 160746.16 72035.47 96999.31 16906.58 2963.87 7 73939.19 48349.78 1258.47 -127919.89 175595.68 80735.26 106799.11 18761.50 3166.50
8 81062.65 51317.12 1382.89 -142237.57 193374.93 90566.79 120705.66 20803.86 3373.31 Obs BOTBBM IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSRLG 1 -98041.86 35715.71 54911.93 9630.49 100336.74 2294.88
2 -116382.56 44109.84 63538.14 10724.57 118452.85 2070.30 3 -139559.44 54464.17 73686.21 13075.60 141311.67 1752.23
4 -164466.95 67362.66 85526.14 13077.93 166059.64 1592.69 5 -195626.78 83381.78 99169.23 14315.10 196967.23 1340.45 6 -232696.63 103194.54 114821.01 15617.62 233743.09 1046.45
7 -276709.02 127552.56 132763.33 16981.64 277416.75 707.73 8 -330608.80 157265.54 153324.25 20136.28 330855.07 246.27
356
Lampiran 11. Program Simulasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN pada Program SAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8)
NOTE: Copyright (c) 2002 by SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. NOTE: SAS (r) Proprietary Software Version 9.00 (TS M0) Licensed to SUNY AT STONY BROOK, Site 0013402001. NOTE: This session is executing on the WIN_PRO platform. NOTE: SAS initialization used: real time 1.17 seconds cpu time 0.70 seconds options nodate nonumber; proc import datafile="H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\ekso_P.xls" out=work.predikendo; sheet='ekso12_21_NN_v75'; getnames=yes; run; NOTE: WORK.PREDIKENDO was successfully created. NOTE: PROCEDURE IMPORT used (Total process time): real time 0.32 seconds cpu time 0.15 seconds data Hanggono; set predikendo; /*SIMULASI DAMPAK PERAMALAN TAHUN 2010 - 2014:
(1) Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen (SIM-1) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = HDUSLG; ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG;
(2) Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen (SIM-2) IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = REVTAX; ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX;
IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = REVNTX; ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX;
(3) Pengurangan Subsidi Harga BBM (SIM-3)
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = SUBHSL; ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.4*SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.1*SUBHLG;
357
(1) Pelaksanaan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji (SIM-4)
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
(2) Pengurangan Subsidi Premium dan Minyak Solar serta Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji (SIM-5) IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = SUBHSL; ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
(3) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) (SIM-6)
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = HDUSLG; ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG; IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = REVTAX; ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX; IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = REVNTX; ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = SUBHSL; ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG;
(4) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran Belanja
Rp. 60 485 miliar (SIM-7) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = HDUSLG; ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG; IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = REVTAX; ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX; IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = REVNTX; ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = SUBHSL; ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
358
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG; IF TAHUN <=2009 THEN GOVENS = GOVENS; ELSE GOVENS = 1.2697*GOVENS;
*/
(1) Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Kenaikan Indeks Harga Konsumen 5 Persen + Realokasi Anggaran Rp. 61 492 miliar (SIM-8) IF TAHUN <=2009 THEN HDUSMB = HDUSMB; ELSE HDUSMB = 1.05*HDUSMB;
IF TAHUN <=2009 THEN HDUSLG = HDUSLG; ELSE HDUSLG = 1.05*HDUSLG; IF TAHUN <=2009 THEN REVTAX = REVTAX; ELSE REVTAX = 1.1*REVTAX; IF TAHUN <=2009 THEN REVNTX = REVNTX; ELSE REVNTX = 1.1*REVNTX; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHPR = SUBHPR; ELSE SUBHPR = 0.2*MOPHPR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHSL = SUBHSL; ELSE SUBHSL = 0.2*MOPHSL; IF TAHUN <=2009 THEN SUBHKR = SUBHKR; ELSE SUBHKR = 0.3*SUBHKR;
IF TAHUN <=2009 THEN SUBHLG = SUBHLG; ELSE SUBHLG = 0.3*SUBHLG; IF TAHUN <=2009 THEN CPINDX = CPINDX; ELSE CPINDX = 1.05*CPINDX; IF TAHUN <=2009 THEN GOVENS = GOVENS; ELSE GOVENS = 1.2757*GOVENS;
RUN; NOTE: There were 29 observations read from the data set WORK.PREDIKENDO. NOTE: The data set WORK.HANGGONO has 29 observations and 715 variables. NOTE: DATA statement used (Total process time): real time 0.57 seconds cpu time 0.54 seconds ods rtf file ='H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\sim_v75\2009_12_21_ramal_v75_hasil.rtf'; NOTE: Writing RTF Body file: H:\2008_IPB\SAS_running\2009_12_21\sim_v75\2009_12_21_ramal_v75_hasil.rtf proc SIMNLIN data=Hanggono simulate stat outpredict theil dynamic; endogenous PNWJPR PNWJSL PNWJKR PNWJLG PNWJBM KOSJPRT KOSJPR KOSJSLT KOSJSLI KOSJSLK KOSJSL KOSJKRT KOSJKRI KOSJKRK KOSJKR KOSJLGI KOSJLGK KOSJLG KOSCPR KOSCSL KOSCKR KOSCLG KOSCBM HJECPR HJECSL HJECKR HJECLG IMPJPR IMPJSL IMPJKR IMPRPR IMPRSL IMPRKR IMPBBM EKSJLG EKSRLG BOTBBM SUBHPR SUBHSL SUBHKR SUBHLG SUBRPR SUBRSL SUBRKR SUBRLG SUBBBM REVTAX REVDDN FISCGP KOSNBM KOSNAS INVRMG INVNMG INVEST GOVENS GOVEXP IMPNBM IMPORT EKSNBM EKSPOR GDPNAS MONEYS MONEYD
359
NTUKRR CPINDX INTRIL LABORS LABORD UMRNAS UNEMPL INFLSI NETEKS GROWTH JOVDES JOVKOT POVERT; instruments KRISIS KRISIP TRENDD HDURMB HJECKB HDUSMB HDUSLG HJECPX KRODA2 KRODA4 KRODA6 KNIAGA POPNAS LISTRK MTIKAN RTIKAN SUBBBL PNWJBL CPINDS FDINVR KOSJPRL KOSJSLL KOSJKRL DEVISS BANKTL FDINVS INVETL PROJPR PROJSL PROJKR PROJLG EKSJPR EKSJSL EKSJKR LBANKID REVNTX; LIMPJPR = LAG(IMPJPR); LIMPJSL = LAG(IMPJSL); LIMPJKR = LAG(IMPJKR); LKOSJPRT = LAG(KOSJPRT); LKOSJSLT = LAG(KOSJSLT); LKOSJSLI = LAG(KOSJSLI); LKOSJSLK = LAG(KOSJSLK); LKOSJKRT = LAG(KOSJKRT); LKOSJKRI = LAG(KOSJKRI); LKOSJKRK = LAG(KOSJKRK); LKOSJLGI = LAG(KOSJLGI); LKOSJLGK = LAG(KOSJLGK); LSUBHPR = LAG(SUBHPR); LSUBHSL = LAG(SUBHSL); LSUBHKR = LAG(SUBHKR); LSUBHLG = LAG(SUBHLG); LHJECPR = LAG(HJECPR); LHJECSL = LAG(HJECSL); LHJECKR = LAG(HJECKR); LHJECLG = LAG(HJECLG); LGOVENS = LAG(GOVENS); LREVTAX = LAG(REVTAX); LEKSNBM = LAG(EKSNBM); LIMPNBM = LAG(IMPNBM); LKOSNBM = LAG(KOSNBM); LINVRMG = LAG(INVRMG); LINVNMG = LAG(INVNMG); LMONEYS = LAG(MONEYS); LMONEYD = LAG(MONEYD); LNTUKRR = LAG(NTUKRR); LCPINDX = LAG(CPINDX); LLABORD = LAG(LABORD); LLABORS = LAG(LABORS); LUMRNAS = LAG(UMRNAS); LJOVDES = LAG(JOVDES); LJOVKOT = LAG(JOVKOT); LGOVEXP = LAG(GOVEXP); LGDPNAS = LAG(GDPNAS); LHDUSMB = LAG(HDUSMB); LHDUSLG = LAG(HDUSLG); LFDINVS = LAG(FDINVS); LDEVISS = LAG(DEVISS); LHJECPX = LAG(HJECPX); LLISTRK = LAG(LISTRK); LINVEST = LAG(INVEST); LINFLSI = LAG(INFLSI); parm a0 610131.1 a1 -1006.15 a2 45607.62 a3 -187855 a4 0.917482 b0 307769.8 b1 -374.831 b2 36851.46 b3 899.8852 b4 0.238200 c0 -9084383 c1 -324.797 c2 57864.80 c3 308616.0 c4 0.008018 d0 -233020 d1 135.5081 d2 1.095330 d3 -58788.2 d4 -24296.2
d5 0.003112 e0 1123446 e1 -402.994 e2 65335.98 e3 54.66420 e4 0.913706 f0 931971.5 f1 -811.742 f2 266.2612 f3 -745200 f4 0.966513 g0 -173134 g1 -103.547 g2 167.5878 g3 -800573 g4 0.680418 h0 -277032 h1 -15.5707 h2 0.254732 h3 0.585949 i0 650.3112 i1 -0.22956 i2 0.001794 i3 0.691805 j0 99971.36 j1 -53.3637 j2 0.574755 j3 0.727337 k0 -6206374 k1 -1020.17 k2 667.2196 k3 75566.91 k4 64740.81
k5 0.320929 l0 -6479.68 l1 -33.4571 l2 8.900561 l3 -63657.6 l4 0.562667 m0 -1448665 m1 -40.4743 m2 35.26335 m3 8830.503 m4 0.392610 n0 -1625.42 n1 17.01932 n2 0.158425 n3 0.000069 n4 0.350459 o0 -754.298 o1 7.325894 o2 0.130561 o3 0.001439 o4 0.243628 p0 -1497.98 p1 26.47919 p2 0.183126 p3 0.001192 p4 0.146793 q0 -1760.35 q1 2.520876 q2 0.130057 q3 99.12324 q4 0.339150 v0 28256.32 v1 1.004436 v2 2189.487 v3 -4989.29 v4 0.094282 w0 1737.680 w1 0.013563 w2 -241.188 w3 0.934858 x0 -126317 x1 10217.00 x2 -120.787 x3 45.51901 x4 0.003914
x5 0.762593
360
y0 -925567 y1 -3484.64 y2 2182.193 y3 -13.3777 y4 7516.541 y5 -12728.7 y6 0.056252
z0 -926521 z1 -14481.0 z2 -14749.4 z3 7693.559 z4 98066.50 z5 0.496401
aa0 -67817.5 aa1-401.235 aa2 204.7058 aa3 441.2943 aa4 6257.735 aa5 87.22439 aa6 0.283337
ab0 152112.3 ab1 -3625.88 ab2 -16.5571 ab3 78.57330 ab4 -88870.8 ab5 0.928631
ac0 -141299 ac1 2521.748 ac2 0.333529 ac3 0.183465 ac4 -29437.9 ac5 -15986.9 ac6 0.707517
ad0 134969.7 ad1 -2977.76 ad2 -32.4716 ad3 1.050450 ad4 0.150957 ae0 5566.276 ae1 1417.658 ae2 -0.18375 ae3 -0.19527 ae4 0.013310 af0 2.376565 af1 -7.28E-6 af2 9.034990 af3 9.922E-7 af4 -21.4946 ag0 -13.3265 ag1 0.007853 ag2 0.000040 ag3 0.888247 ah0 -34.2679 ah1 0.003006 ah2 0.418323 ah3 6.431E-6 ah4 0.449711 ai0 26.60973 ai1 -0.00083 ai2 6.945E-6 ai3 0.597850 aj0 2260.720 aj1 -31.3557 aj2 4.369742 aj3 80.13413 aj4 59.97610
aj5 0.668586 ak0 8.885239 ak1 0.133437 ak2 -0.00002 ak3 0.356018 ak4 0.002710
ak5 0.602540 al0 12.30025 al1 0.135014 al2 -0.00002 al3 -0.00260 al4 0.354592
al5 0.000068 al6 0.137808 ; IMPJPR = a0 + a1*(1.18*1.15*(LHDUSMB*LNTUKRR/159))
+ a2*CPINDX + a3*TRENDD + a4*LIMPJPR; IMPJSL = b0 + b1*(1.24*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + b2*CPINDX
+ b3*KNIAGA + b4*LIMPJSL; IMPJKR = c0 + c1*(1.31*1.15*(HDUSMB*NTUKRR/159)) + c2*POPNAS
+ c3*KRISIP + c4*LIMPJKR; EKSJLG = d0 + d1*(LHDUSLG*LNTUKRR/1000) + d2*PROJLG
+ d3*TRENDD + d4*KRISIP + d5*LEKSJLG; KOSJPRT = e0 + e1*HJECPR + e2*(HJECPX/LHJECPX) + e3*KRODA6
+ e4*LKOSJPRT; KOSJSLT = f0 + f1*HJECSL + f2*LKNIAGA + f3*KRISIS
+ f4*LKOSJSLT; KOSJSLI = g0 + g1*(HJECSL - LHJECSL) + g2*LISTRK
+ g3*KRISIS + g4*LKOSJSLI; KOSJSLK = h0 + h1*HJECSL + h2*RTIKAN + h3*LKOSJSLK; KOSJKRT = i0 + i1*HJECKR + i2*LMTIKAN + i3*LKOSJKRT; KOSJKRI = j0 + j1*HJECKR + j2*LBANKID + j3*LKOSJKRI; KOSJKRK = k0 + k1*HJECKR + k2*(HJECKB-LHJECKB) + k3*(LHJECLG/LHJECKR)
+ k4*POPNAS + k5*LKOSJKRK; KOSJLGI = l0 + l1*LHJECLG + l2*LISTRK + l3*KRISIS
+ l4*LKOSJLGI; KOSJLGK = m0 + m1*LHJECLG + m2*(HJECKR-LHJECKR) + m3*POPNAS
+ m4*LKOSJLGK; SUBHPR = n0 + n1*(1.18*HDUSMB) + n2*NTUKRR
+ n3*REVDDN + n4*LSUBHPR; SUBHSL = o0 + o1*(1.24*HDUSMB) + o2*NTUKRR
+ o3*(REVDDN-LREVDDN) + o4*LSUBHSL; SUBHKR = p0 + p1*(1.31*HDUSMB) + p2*NTUKRR
+ p3*REVDDN + p4*LSUBHKR; SUBHLG = q0 + q1*HDUSLG + q2*NTUKRR + q3*(REVDDN/LREVDDN)
+ q4*LSUBHLG; GOVENS = v0 + v1*REVDDN + v2*INFLSI + v3*TRENDD
+ v4*LGOVENS; REVTAX = w0 + w1*LGDPNAS + w2*KRISIP + w3*LREVTAX;
361
EKSNBM = x0 + x1*INFLSS + x2*CPINDX + x3*(NTUKRR-LNTUKRR) + x4*PNWJBM + x5*LEKSNBM;
IMPNBM = y0 + y1*CPINDS + y2*INFLSI + y3*LNTUKRR + y4*POPNAS + y5*KRISIS + y6*LIMPNBM;
KOSNBM = z0 + z1*INFLSI + z2*INTRIL + z3*POPNAS + z4*KRISIS + z5*LKOSNBM;
INVRMG = aa0 + aa1*(INTRIL-LINTRIL) + aa2*(FDINVS/LFDINVS) + aa3*POPNAS + aa4*KRISIS + aa5*TRENDD + aa6*LINVRMG;
INVNMG = ab0 + ab1*LINTRIL + ab2*LNTUKRR + ab3*TRENDD + ab4*KRISIS + ab5*LINVNMG;
MONEYS = ac0 + ac1*INTRIL + ac2*GDPNAS + ac3*BANKTL + ac4*KRISIS + ac5*TRENDD + ac6*LMONEYS;
MONEYD = ad0 + ad1*INTRIL + ad2*NTUKRR + ad3*MONEYS + ad4*LMONEYD;
NTUKRR = ae0 + ae1*(CPINDX/CPINDS) + ae2*FDINVS + ae3*(DEVISS-LDEVISS) + ae4*LNTUKRR;
INTRIL = af0 + af1*MONEYS + af2*(MONEYD/LMONEYD) + af3*(INVEST-LINVEST) + af4*KRISIS;
CPINDX = ag0 + ag1*(((KOSJPR*HJECPR) + (KOSJSL*HJECSL) + (KOSJKR*HJECKR))/(KOSJPR+KOSJSL+KOSJKR)) + ag2*LMONEYS + ag3*LCPINDX;
LABORS = ah0 + ah1*UMRNAS + ah2*POPNAS + ah3*(GOVENS-LGOVENS) + ah4*LLABORS;
LABORD = ai0 + ai1*LUMRNAS + ai2*GDPNAS + ai3*LLABORD; UMRNAS = aj0 + aj1*LLABORS + aj2*(LABORD-LLABORD) + aj3*KRISIP
+ aj4*TRENDD + aj5*LUMRNAS; JOVDES = ak0 + ak1*INFLSI + ak2*LGOVEXP + ak3*UNEMPL
+ ak4*HJECKB + ak5*LJOVDES; JOVKOT = al0 + al1*INFLSI + al2*GOVEXP + al3*UMRNAS
+ al4*LUNEMPL + al5*LHJECLG + al6*LJOVKOT; PNWJPR = PROJPR + IMPJPR - EKSJPR ; PNWJSL = PROJSL + IMPJSL - EKSJSL ; PNWJKR = PROJKR + IMPJKR - EKSJKR ; PNWJLG = PROJLG + IMPJLG - EKSJLG ; PNWJBM = PNWJPR + PNWJSL + PNWJKR + PNWJBL; KOSJPR = KOSJPRT + KOSJPRL; KOSJSL = KOSJSLT + KOSJSLI + KOSJSLK + KOSJSLL; KOSJKR = KOSJKRT + KOSJKRI + KOSJKRK + KOSJKRL; KOSJLG = KOSJLGI + KOSJLGK; HJECPR = (1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHPR; HJECSL = (1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHSL; HJECKR = (1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159) - SUBHKR; HJECLG = (HDUSLG*NTUKRR/1000) - SUBHLG; KOSCPR = (KOSJPR*HJECPR)/1000000; KOSCSL = (KOSJSL*HJECSL)/1000000; KOSCKR = (KOSJKR*HJECKR)/1000000; KOSCLG = (KOSJLG*HJECLG)/1000000; BOTBBM = EKSRLG - IMPBBM; KOSCBM = KOSCPR + KOSCSL + KOSCKR + KOSCLG + KOSCBL; IMPRPR = IMPJPR*1.18*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPRSL = IMPJSL*1.24*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000;
362
IMPRKR = IMPJKR*1.31*1.15*HDUSMB*NTUKRR/159/1000000; IMPBBM = IMPRPR + IMPRSL + IMPRKR + (IMPJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000) + IMPBBL; IMPORT = IMPBBM + IMPNBM; EKSRLG = (EKSJLG*HDUSLG*NTUKRR/1000000000); EKSPOR = EKSRLG + EKSNBM; NETEKS = EKSPOR - IMPORT ; REVDDN = REVTAX + REVNTX; INVEST = INVRMG + INVNMG; GOVEXP = GOVENS + SUBBBM; KOSNAS = KOSCBM + KOSNBM; FISCGP = REVDDN - GOVEXP; SUBRPR = (SUBHPR*KOSJPR)/1000000; SUBRSL = (SUBHSL*KOSJSL)/1000000; SUBRKR = (SUBHKR*KOSJKR)/1000000; SUBRLG = (SUBHLG*KOSJLG)/1000000; SUBBBM = SUBRPR + SUBRSL + SUBRKR + SUBRLG + SUBBBL; GDPNAS = KOSNAS + INVEST + GOVEXP + NETEKS; GROWTH = ((GDPNAS - LGDPNAS) / LGDPNAS*100); UNEMPL = LABORS - LABORD; INFLSI = ((CPINDX - LCPINDX) / LCPINDX*100); POVERT = ((JOVDES + JOVKOT) / POPNAS*100); range tahun= 2010 to 2014; run; ods rtf close;
363
Lampiran 12. Hasil Simulasi Peramalan Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia Tahun 2010-2014 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan ProgramSAS/ETS versi 9.0 (Simulasi 8)
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 69 Endogenous 69 Parameters 146 Range Variable TAHUN Equations 69 Number of Statements 115 Program Lag Length 1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= HANGGONO Solution Summary Variables Solved 69 Simulation Lag Length 1 Solution Range TAHUN First 2010 Last 2014 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.32E-15 Maximum Iterations 2 Total Iterations 10 Average Iterations 2 Observations Processed Read 6 Lagged 1 Solved 5 First 25 Last 29
364
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2010 To 2014 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PNWJPR 5 5 33547569 4423031 37303498 6240054 Jlh.Penawaran Premium (Rb Lt) PNWJSL 5 5 37166486 1817685 38694610 2120839 Jlh.Penawaran M.Solar (Rb Lt) PNWJKR 5 5 7826017 775372 7661663 799958 Jlh.Penawaran M.Tanah (Rb Lt) PNWJLG 5 5 1308187 92612.4 1273832 79455.6 Jlh.Penawaran Elpiji (Rb Kg) PNWJBM 5 5 87280598 4916793 92400296 7007897 Jlh.Penawaran Total BBM (Rb Lt) KOSJPRT 5 5 26478541 2327291 25339862 1693961 Kons.Premium di Transportasi (Rb Lt) KOSJPR 5 5 26858366 2273507 25719687 1640111 Jumlah Konsumsi
Premium (Rb Lt) KOSJSLT 5 5 18371675 1485617 15396328 149781 Kons.M.Solar di Transportasi (Rb Lt) KOSJSLI 5 5 14349736 776265 14273237 805910 Kons.M.Solar di Industri (Rb Lt) KOSJSLK 5 5 799290 29410.7 763273 17475.9 Kons.M.Solar di RT& Kom. (Rb Lt) KOSJSL 5 5 35795918 1756645 32708055 264460 Jumlah Konsumsi M.Solar (Ribu Lt) KOSJKRT 5 5 2429.9 71.4024 1360.6 491.0 Kons.M.Tanah di Transportasi (Rb Lt) KOSJKRI 5 5 419566 13921.1 160315 120307 Kons.M.Tanah di Industri (Rb Lt) KOSJKRK 5 5 11831704 92171.8 8556843 636640 Kons.M.Tanah di RT & Kom. (rb Lt) KOSJKR 5 5 12795581 99408.1 9260399 734820 Jumlah Konsumsi
M.Tanah (Rb Lt) KOSJLGI 5 5 412032 32450.6 402731 25678.4 Kons.Elpiji di Industri (Rb Kg) KOSJLGK 5 5 930212 63940.8 949968 35365.9 Kons.Elpiji di RT & Komersial (Rb Kg) KOSJLG 5 5 1342244 96372.0 1352699 59985.2 Jumlah Konsumsi Elpiji (Ribu Kg) KOSCPR 5 5 73175.8 12905.3 99313.8 17861.6 Konsumsi Premium (Miliar Rp) KOSCSL 5 5 97392.0 17264.0 131988 15948.9 Konsumsi M.Solar (Miliar Rp) KOSCKR 5 5 17072.5 2819.8 34022.5 1590.2 Konsumsi M.Tanah (Miliar Rp) KOSCLG 5 5 2963.8 323.1 3316.8 342.3 Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) KOSCBM 5 5 214043 34064.2 292080 36376.7 Konsumsi BBM (Miliar Rp) HJECPR 5 5 2707.7 248.9 3838.6 447.2 H.Jual Eceran Premium (Rp/Lt)
365
HJECSL 5 5 2707.2 348.8 4033.8 469.9 H.Jual Eceran M.Solar (Rp/Liter) HJECKR 5 5 1333.0 210.7 3700.1 433.6 H.Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) HJECLG 5 5 2203.4 82.8568 2446.9 143.9 H.Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) IMPJPR 5 5 24029453 5329089 27785382 7146867 Jumlah Impor Premium (Ribu Lt) IMPJSL 5 5 25082913 2965070 26611036 3284052 Jumlah Impor
M.Solar (Rb Lt) IMPJKR 5 5 3267577 193710 3103223 171702 Jumlah Impor
M.Tanah (Rb Lt) IMPRPR 5 5 107751 35670.8 137959 50782.1 Impor Premium (Miliar Rp) IMPRSL 5 5 117121 26838.2 137169 32562.2 Impor M.Solar (Miliar Rp) IMPRKR 5 5 16025.7 2720.0 16782.3 2828.1 Impor M.Tanah (Miliar Rp) IMPBBM 5 5 251932 66974.5 302956 87909.0 Impor BBM (Miliar Rp) EKSJLG 5 5 331949 190184 366304 176732 Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) EKSRLG 5 5 986.7 529.6 1204.1 531.5 Ekspor Elpiji (Miliar Rp) BOTBBM 5 5 -250946 67504.1 -301751 88438.4 Ekspor Bersih BBM
(Miliar Rp) SUBRPR 5 5 45811.7 10419.9 26158.2 4588.6 Subsidi Premium (Miliar Rp) SUBRSL 5 5 68720.4 9400.6 34771.5 4046.7 Subsidi M.Solar (Miliar Rp) SUBRKR 5 5 45427.3 4639.0 15489.3 651.2 Subsidi M.Tanah (Miliar Rp) SUBRLG 5 5 1139.6 190.4 1239.2 121.9 Subsidi Elpiji (Miliar Rp) SUBBBM 5 5 161099 24638.5 77658.2 9349.3 Subsidi BBM (Miliar Rp) REVDDN 5 5 487836 39611.6 536619 43572.8 Pendapatan DN Pemerintah(Miliar Rp) FISCGP 5 5 -116587 19564.5 -106591 9825.9 GAP Fiskal
(Miliar Rp) KOSNBM 5 5 1419685 95509.2 1335706 168835 Kons.di luar BBM (Miliar Rp) KOSNAS 5 5 1633728 129529 1627785 204520 Konsumsi Nasional (Miliar Rp) INVRMG 5 5 54602.0 3389.6 55708.9 3022.3 Investasi MIGAS (Miliar Rp) INVNMG 5 5 204129 4638.8 166154 21433.3 Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) INVEST 5 5 258731 2865.9 221863 18415.4 Investasi Nasional (Miliar Rp) GOVEXP 5 5 604423 59170.3 643211 53390.0 Belanja Pemerintah (Miliar Rp) IMPNBM 5 5 346196 14631.1 348290 10378.1 Impor diluar BBM (Miliar Rp) IMPORT 5 5 598129 81471.1 651246 91452.1 Impor Nasional (Miliar Rp) EKSNBM 5 5 783438 47486.8 824695 64769.3 Ekspor diluar BBM
(Miliar Rp)
366
EKSPOR 5 5 784425 46957.7 825899 64240.5 Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDPNAS 5 5 2683178 153888 2667513 215323 GDP Nasional (Miliar Rp) MONEYS 5 5 1289625 108400 1262526 126678 Jumlah Penawaran
Uang (Miliar Rp) MONEYD 5 5 1407510 127324 1358122 143143 Jumlah Permintaan
Uang (Miliar Rp) NTUKRR 5 5 8444.4 299.9 8869.0 346.6 Nilai Tukar (Rp/US$) INTRIL 5 5 2.6065 0.9132 2.7609 0.8499 Tingkat Suku Bunga Domesik Riil LABORS 5 5 121.2 3.2118 121.4 2.9631 Jlh Penawaran Tenaga Kerja (Jt Jiwa) LABORD 5 5 108.9 2.8042 108.5 3.2378 Jlh Permintaan Tenaga Kerja (Jt Jiwa) UMRNAS 5 5 529.5 31.0317 513.6 37.0881 Upah Rata2 Nasional (Rb Rp/Bulan) UNEMPL 5 5 12.2170 0.4148 12.8893 0.3543 Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) INFLSI 5 5 9.1484 0.2866 12.0308 6.5511 Tingkat Inflasi Domestik NETEKS 5 5 186296 34520.3 174654 28719.3 Ekspor Bersih (Miliar Rp) GROWTH 5 5 3.8035 0.2493 4.0708 3.6641 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi JOVDES 5 5 12.8194 2.8776 13.1121 4.3405 Jlh.Pend.Miskin Desa (Juta Orang) JOVKOT 5 5 0.7994 1.3663 4.7903 1.6168 Jlh.Pend.Miskin Kota (Juta Orang) POVERT 5 5 5.7171 1.8744 7.5175 2.6283 Tingkat Penduduk
Miskin (%)
367
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2010 To 2014 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square PNWJPR 5 3755929 10.7768 3755929 10.7768 4093848 11.3698 -.0709 PNWJSL 5 1528124 4.0880 1528124 4.0880 1555758 4.1368 0.0843 PNWJKR 5 -164354 -2.1412 164354 2.1412 165864 2.1926 0.9428 PNWJLG 5 -34355.1 -2.5737 34355.1 2.5737 38037.2 2.8417 0.7891 PNWJBM 5 5119698 5.7740 5119698 5.7740 5458597 6.0733 -.5407 KOSJPRT 5 -1138679 -4.1577 1138679 4.1577 1271834 4.5374 0.6267 KOSJPR 5 -1138679 -4.1035 1138679 4.1035 1271834 4.4813 0.6088 KOSJSLT 5 -2975347 -15.7039 2975347 15.7039 3310541 17.1108 -5.207 KOSJSLI 5 -76498.7 -0.5434 76498.7 0.5434 81157.6 0.5857 0.9863 KOSJSLK 5 -36017.6 -4.4664 36017.6 4.4664 37629.1 4.6338 -1.046 KOSJSL 5 -3087863 -8.4680 3087863 8.4680 3405367 9.2188 -3.698 KOSJKRT 5 -1069.3 -44.4332 1069.3 44.4332 1133.8 47.4425 -314.2 KOSJKRI 5 -259251 -62.4904 259251 62.4904 276388 67.1795 -491.7 KOSJKRK 5 -3274862 -27.6418 3274862 27.6418 3338967 28.1525 -1639 KOSJKR 5 -3535182 -27.5890 3535182 27.5890 3612972 28.1642 -1650 KOSJLGI 5 -9301.3 -2.1628 9301.3 2.1628 11100.3 2.5483 0.8537 KOSJLGK 5 19756.0 2.3188 23394.3 2.6826 35374.2 4.1467 0.6174 KOSJLG 5 10454.7 0.9481 27605.4 2.1467 36682.3 2.9536 0.8189 KOSCPR 5 26138.1 35.6457 26138.1 35.6457 26512.1 35.6510 -4.275 KOSCSL 5 34595.8 36.6152 34595.8 36.6152 34620.6 37.2627 -4.027 KOSCKR 5 16950.1 102.6 16950.1 102.6 16999.6 105.2 -44.43 KOSCLG 5 352.9 11.9775 352.9 11.9775 354.4 12.0442 -.5041 KOSCBM 5 78036.9 37.0623 78036.9 37.0623 78064.9 37.3073 -5.565 HJECPR 5 1130.9 41.5099 1130.9 41.5099 1144.8 41.6326 -25.44 HJECSL 5 1326.6 49.1897 1326.6 49.1897 1331.0 49.2169 -17.21 HJECKR 5 2367.1 179.0 2367.1 179.0 2375.5 179.3 -158.0 HJECLG 5 243.5 10.9808 243.5 10.9808 249.6 11.1823 -10.34 IMPJPR 5 3755929 14.8685 3755929 14.8685 4093848 15.3978 0.2623 IMPJSL 5 1528124 6.0377 1528124 6.0377 1555758 6.0681 0.6559 IMPJKR 5 -164354 -5.0120 164354 5.0120 165864 5.0334 0.0835 IMPRPR 5 30207.1 26.6774 30207.1 26.6774 33094.0 27.1071 -.0759 IMPRSL 5 20048.3 16.9278 20048.3 16.9278 20693.1 16.9582 0.2569 IMPRKR 5 756.5 4.7400 756.5 4.7400 763.1 4.7445 0.9016 IMPBBM 5 51023.2 19.6008 51023.2 19.6008 54351.9 19.8058 0.1768 EKSJLG 5 34355.1 20.1436 34355.1 20.1436 38037.2 29.1054 0.9500 EKSRLG 5 217.3 32.5447 217.3 32.5447 220.4 40.1936 0.7835 BOTBBM 5 -50805.9 19.5921 50805.9 19.5921 54147.7 19.7933 0.1957 SUBRPR 5 -19653.5 -42.3331 19653.5 42.3331 20333.8 42.4287 -3.760 SUBRSL 5 -33948.9 -49.2858 33948.9 49.2858 34285.0 49.2951 -15.63 SUBRKR 5 -29938.0 -65.7170 29938.0 65.7170 30158.3 65.7529 -51.83 SUBRLG 5 99.5363 9.7899 99.5363 9.7899 117.5 12.1991 0.5243 SUBBBM 5 -83440.8 -51.5945 83440.8 51.5945 84556.2 51.6169 -13.72 REVDDN 5 48783.6 10.0000 48783.6 10.0000 48912.1 10.0000 -.9059 FISCGP 5 9996.0 -7.6166 10917.0 8.6126 13261.8 9.9848 0.4256
368
KOSNBM 5 -83979.3 -6.2113 83979.3 6.2113 108298 8.1937 -.6072 KOSNAS 5 -5942.4 -0.6554 58744.1 3.6893 70560.9 4.5776 0.6291 INVRMG 5 1106.9 2.0670 1106.9 2.0670 1156.7 2.1897 0.8544 INVNMG 5 -37974.8 -18.7261 37974.8 18.7261 41214.1 20.4368 -97.67 INVEST 5 -36867.9 -14.2494 36867.9 14.2494 40325.2 15.6059 -246.5 GOVEXP 5 38787.6 6.5425 38787.6 6.5425 39131.2 6.6982 0.4533 IMPNBM 5 2093.9 0.7354 10486.2 3.1129 14870.7 4.5130 -.2913 IMPORT 5 53117.2 8.8630 53117.2 8.8630 54750.1 9.0634 0.4355 EKSNBM 5 41257.1 5.1755 41257.1 5.1755 44065.4 5.4396 -.0764 EKSPOR 5 41474.4 5.1976 41474.4 5.1976 44268.6 5.4608 -.1109 GDPNAS 5 -15665.5 -0.6885 45035.9 1.7384 62834.9 2.4959 0.7916 MONEYS 5 -27099.7 -2.2093 27099.7 2.2093 31743.5 2.6402 0.8928 MONEYD 5 -49387.8 -3.6119 49387.8 3.6119 51717.3 3.8506 0.7938 NTUKRR 5 424.6 5.0174 424.6 5.0174 426.6 5.0286 -1.529 INTRIL 5 0.1544 7.0698 0.2139 8.6307 0.2275 9.1167 0.9224 LABORS 5 0.2238 0.1892 0.2238 0.1892 0.3386 0.2882 0.9861 LABORD 5 -0.4485 -0.4201 0.4721 0.4411 0.5944 0.5587 0.9438 UMRNAS 5 -15.9844 -3.0748 15.9844 3.0748 17.5935 3.4047 0.5982 UNEMPL 5 0.6723 5.6516 0.6884 5.7773 0.9192 7.7648 -5.140 INFLSI 5 2.8825 30.9024 2.8825 30.9024 6.4454 69.0999 -631.4 NETEKS 5 -11642.8 -5.8495 11642.8 5.8495 16713.1 7.7217 0.7070 GROWTH 5 0.2673 9.3507 2.4778 62.1671 3.3918 84.1296 -230.4 JOVDES 5 0.2927 0.2955 1.1047 8.4832 1.3635 9.9296 0.7193 JOVKOT 5 3.9909 1358.2 3.9909 1507.2 4.0108 2846.9 -9.772 POVERT 5 1.8004 31.1144 1.8004 31.1144 1.9375 31.4527 -.3355
369
12
34
56
78
PN
WJP
R
Pen
awar
an P
rem
ium
(R
b L
t)33
898
969
33 9
35 8
1533
953
220
35 0
30 7
6134
450
761
35 1
85 7
0835
376
993
35 5
51 2
4437
303
498
PN
WJS
L
Pen
awar
an M
inya
k S
olar
(R
b L
t)37
315
237
37 3
94 7
3337
351
639
37 8
11 6
2837
553
841
37 8
78 9
5538
041
138
38 1
32 7
7338
694
610
PN
WJK
R
Pen
awar
an M
inya
k T
anah
(R
b L
t)7
818
580
7 72
8 47
97
816
509
7 79
3 38
37
806
535
7 78
9 97
77
693
654
7 68
8 47
47
661
663
PN
WJL
G
Pen
awar
an E
lpij
i (R
b K
g)1
305
403
1 28
7 37
11
305
207
1 30
0 96
41
303
229
1 30
0 35
51
281
431
1 28
0 72
81
273
832
PN
WJB
M
Pen
awar
an B
BM
(R
ibu
Lit
er)
87 7
73 3
1287
799
553
87 8
61 8
9489
376
298
88 5
51 6
6289
595
166
89 8
52 3
1190
113
017
92 4
00 2
96
KO
SJP
RT
K
ons.
Pre
miu
m d
i T
rans
port
. (R
b L
t)26
466
929
26 2
23 8
4426
469
482
25 7
20 8
3126
448
683
25 7
12 4
8825
448
211
25 4
38 2
8425
339
862
KO
SJP
RK
onsu
msi
Pre
miu
m (
Rb
Lt)
26 8
46 7
5426
603
669
26 8
49 3
0726
100
656
26 8
28 5
0826
092
313
25 8
28 0
3625
818
109
25 7
19 6
87
KO
SJS
LT
K
ons.
M.S
olar
di
Tra
nspo
rt. (
Rb
Lt)
17 1
22 3
8016
567
149
17 3
08 4
6616
259
372
17 0
72 9
6016
240
727
15 6
44 3
8615
622
651
15 3
96 3
28
KO
SJS
LI
Kon
s. M
.Sol
ar d
i In
dust
ri (
Rb
Lt)
14 3
15 4
7514
300
463
14 3
20 3
2914
295
066
14 3
13 7
1414
294
404
14 2
77 5
0114
276
300
14 2
73 2
37
KO
SJS
LK
K
ons.
M.S
olar
di
RT
& K
om. (
Rb
Lt)
783
877
777
078
786
148
773
667
783
224
773
421
766
038
765
710
763
273
KO
SJS
LK
onsu
msi
Min
yak
Sol
ar (
Rb
Lt)
34 4
96 9
4933
919
907
34 6
90 1
6033
603
323
34 4
45 1
1533
583
770
32 9
63 1
4332
939
879
32 7
08 0
55
KO
SJK
RT
Kon
s. M
.Tan
ah d
i Tra
nspo
rt. (
Rb
Lt)
2 42
32
305
2 45
21
796
1 56
01
540
1 41
01
405
1 36
1
KO
SJK
RI
Kon
s. M
.Tan
ah d
i In
dust
ri (
Rb
Lt)
417
944
389
261
424
907
265
876
208
569
203
709
172
474
171
177
160
315
KO
SJK
RK
Kon
s. M
.Tan
ah d
i RT
& K
om. (
Rb
Lt)
11 8
27 5
4911
450
456
11 9
19 9
319
885
522
9 15
3 08
39
087
713
8 69
4 85
08
675
471
8 55
6 84
3
KO
SJK
RK
onsu
msi
Min
yak
Tan
ah (
Rb
Lt)
12 7
89 7
9712
383
903
12 8
89 1
7210
695
076
9 90
5 09
39
834
842
9 41
0 61
59
389
935
9 26
0 39
9
KO
SJL
GI
Kon
s. E
lpij
i di I
ndus
tri (
Rb
Kg)
399
185
394
855
399
745
387
801
414
430
413
387
405
989
405
765
402
731
KO
SJL
GK
Kon
s. E
lpij
i di
RT
& K
om. (
Rb
Kg)
917
056
916
049
916
890
922
409
956
438
956
176
952
490
952
586
949
968
KO
SJL
GK
onsu
msi
Elp
iji (
Rib
u K
ilog
ram
)1
316
242
1 31
0 90
51
316
635
1 31
0 21
01
370
868
1 36
9 56
31
358
479
1 35
8 35
11
352
699
KO
SC
PR
Kon
sum
si P
rem
ium
(M
ilia
r R
p)73
485
79 1
9373
478
91 3
3273
991
91 5
5297
511
97 8
5799
314
KO
SC
SL
Kon
sum
si M
inya
k S
olar
(M
ilia
r R
p)11
3 62
812
0 24
911
1 38
512
2 93
811
4 35
712
3 19
513
0 00
413
0 39
913
1 98
8
KO
SC
KR
Kon
sum
si M
inya
k T
anah
(M
ilia
r R
p)17
275
20 0
0216
603
29 1
5632
091
32 3
3533
629
33 6
8734
023
KO
SC
LG
Kon
sum
si E
lpij
i (M
ilia
r R
p)3
319
3 43
93
304
3 68
12
983
3 02
33
248
3 26
13
317
KO
SC
BM
K
onsu
msi
BB
M (
Mil
iar
Rp)
231
145
246
321
228
208
270
546
246
860
273
545
287
830
288
643
292
080
HJE
CP
RH
arga
Jua
l E
cera
n P
rem
ium
(R
p/L
t)2
720
2 95
82
719
3 47
62
740
3 48
53
751
3 76
53
839
HJE
CS
LH
arga
Jua
l E
cera
n M
.Sol
ar (
Rp/
Lt)
3 28
33
537
3 20
03
652
3 31
03
662
3 94
13
956
4 03
4
HJE
CK
RH
arga
Jua
l E
cera
n M
.Tan
ah (
Rp/
Lt)
1 34
91
616
1 28
72
736
3 25
73
308
3 60
23
618
3 70
0
HJE
CL
GH
arga
Jua
l E
cera
n E
lpij
i (R
p/K
g)2
516
2 61
82
503
2 80
42
170
2 20
12
384
2 39
42
447
Dam
pak
Keb
ijak
an S
ub
sid
i Har
ga B
ahan
Bak
ar M
inya
k t
erh
adap
Kin
erja
Per
ekon
omia
n d
an K
emis
kin
an
Lam
pir
an 1
3.
di I
nd
ones
ia P
erio
de
Per
amal
an T
ahu
n 2
010
- 20
14
Sim
ula
siV
aria
bel
Nil
ai
Das
arU
raia
n
370
12
34
56
78
IMP
JPR
Ju
mla
h Im
por
Prem
ium
(R
b L
t)24
380
853
24 4
17 6
9924
435
104
25 5
12 6
4524
932
645
25 6
67 5
9225
858
877
26 0
33 1
2827
785
382
IMP
JSL
Ju
mla
h Im
por
Min
yak
Sola
r (R
b L
t)25
231
664
25 3
11 1
5925
268
066
25 7
28 0
5425
470
267
25 7
95 3
8125
957
564
26 0
49 1
9926
611
036
IMP
JKR
Ju
mla
h Im
por
Min
yak
Tan
ah (
Rb
Lt)
3 26
0 14
03
170
039
3 25
8 06
83
234
942
3 24
8 09
43
231
537
3 13
5 21
43
130
034
3 10
3 22
3
IMP
RP
R
Impo
r Pr
emiu
m (
Mili
ar R
p)10
9 92
211
6 32
511
0 37
211
7 18
811
3 40
911
8 19
312
6 27
812
7 64
013
7 95
9
IMP
RSL
Impo
r M
inya
k So
lar
(Mili
ar R
p)11
8 39
712
5 50
811
8 76
012
2 78
012
0 48
012
3 37
913
1 61
813
2 55
213
7 16
9
IMP
RK
R
Impo
r M
inya
k T
anah
(M
iliar
Rp)
16 0
6316
495
16 0
7416
189
16 1
2416
205
16 6
4616
667
16 7
82
IMP
BB
M
Impo
r B
ahan
Bak
ar M
inya
k (M
iliar
Rp)
255
417
269
369
256
241
267
193
261
049
268
813
28]5
585
287
903
302
956
EK
SJL
G
Jum
lah
Eks
por
Elp
iji (
Rib
u K
ilogr
am)
334
733
352
765
334
929
339
172
336
907
339
781
358
705
359
409
366
304
EK
SRL
G
Eks
por
Bah
an B
akar
Min
yak
(Mili
ar R
p)99
91
114
1 00
01
026
1 01
21
030
1 15
21
157
1 20
4
BO
TB
BM
Eks
por
Ber
sih
BB
M (
Mili
ar R
p) -
254
417
- 26
8 25
6 -
255
240
- 26
6 16
7 -
260
036
- 26
7 78
3 -
284
433
- 28
6 74
6 -
301
751
SUB
HP
RSu
bsid
i Har
ga P
rem
ium
(R
p/L
t)1
697
1 70
71
704
1 01
11
710
1 01
11
062
1 06
21
062
SUB
HSL
Subs
idi H
arga
Min
yak
Sola
r (R
p/L
t)1
359
1 36
61
448
1 06
31
367
1 06
31
116
1 11
61
116
SUB
HK
RSu
bsid
i Har
ga M
inya
k T
anah
(R
p/L
t)3
555
3 56
43
624
2 24
51
684
1 68
41
768
1 76
81
768
SUB
HL
GSu
bsid
i Har
ga E
lpiji
(R
p/K
g)54
661
656
230
591
491
496
096
096
0
SUB
RP
RSu
bsid
i Pre
miu
m (
Mili
ar R
p)46
014
45 8
5346
199
26 5
6146
340
26 5
5226
271
26 2
6026
158
SUB
RSL
Subs
idi M
inya
k So
lar
(Mili
ar R
p)46
927
46 3
7150
327
35 7
6647
157
35 7
4435
051
35 0
2434
772
SUB
RK
RSu
bsid
i Min
yak
Tan
ah (
Mili
ar R
p)45
488
44 1
3446
739
23 9
3916
598
16 4
7315
739
15 7
0115
489
SUB
RL
GSu
bsid
i Elp
iji (
Mili
ar R
p)72
281
174
340
01
257
1 25
51
245
1 24
51
239
SUB
BB
MSu
bsid
i BB
M (
Mili
ar R
p)13
9 15
013
7 16
914
4 00
986
666
111
351
80 0
2478
305
78 2
2977
658
RE
VT
AX
Pe
neri
maa
n Pa
jak
(Mili
ar R
p)33
0 92
233
0 67
636
4 01
432
9 83
133
0 24
832
9 64
136
4 01
436
4 01
436
4 01
4
RE
VD
DN
Pe
neri
maa
n D
N P
emer
inta
h (M
iliar
Rp)
486
623
486
377
536
619
485
532
485
950
485
342
536
619
536
619
536
619
FIS
CG
PG
AP
Fisk
al (
Mili
ar R
p) -
95 2
77 -
94 3
52 -
104
715
- 45
456
- 68
695
-39
154
- 43
376
- 1
04 4
98 -
106
591
KO
SNB
MK
onsu
msi
Non
-BB
M (
Mili
ar R
p)1
408
642
1 39
6 88
91
408
843
1 37
7 01
71
393
297
1 37
2 76
01
358
649
1 35
6 04
41
335
706
KO
SNA
SK
onsu
msi
Nas
iona
l (M
iliar
Rp)
1 63
9 78
71
643
210
1 63
7 05
21
647
563
1 64
0 15
81
646
305
1 64
6 47
91
644
687
1 62
7 78
5
INV
RM
G
Inve
stas
i MIG
AS
(Mili
ar R
p)55
718
55 7
0455
807
55 6
5255
677
55 6
4055
707
55 8
0155
709
INV
NM
G
Inve
stas
i Non
-MIG
AS
(Mili
ar R
p)17
7 40
717
6 32
417
7 35
917
4 44
217
5 93
617
4 03
117
2 63
917
2 29
516
6 15
4
INV
EST
Inve
stas
i Nas
iona
l (M
iliar
Rp)
233
125
232
028
233
167
230
094
231
612
229
672
228
346
228
097
221
863
Sim
ulas
iL
ampi
ran
13.
Lan
juta
n
Var
iabe
lU
raia
nN
ilai
Das
ar
371
12
34
56
78
GO
VE
NS
Bel
anja
No
n-S
ub
sid
i B
BM
(M
ilia
r R
p)4
42
75
04
43
55
94
97
32
64
44
32
344
3 2
94
44
4 4
72
50
1 6
90
56
2 8
89
565
553
GO
VE
XP
Bel
anja
Pem
erin
tah
(Mil
iar
Rp
)5
81
90
05
80
72
86
41
33
45
30
98
855
4 6
45
52
4 4
96
57
9 9
95
64
1 1
18
64
3 2
11
IMP
NB
MIm
po
r N
on
-BB
M (
Mil
iar
Rp
)3
46
47
93
47
03
93
46
83
83
47
84
234
7 0
69
34
8 0
06
34
9 0
12
34
9 5
18
34
8 2
90
IMP
OR
TIm
po
r N
asio
nal
(M
ilia
r R
p)6
01
89
56
16
40
86
03
07
86
15
03
560
8 1
17
61
6 8
19
63
4 5
97
63
7 4
21
65
1 2
46
EK
SN
BM
Ek
spo
r N
on
-BB
M (
Mil
iar
Rp
)7
87
29
77
87
91
27
87
96
97
99
85
879
3 3
98
80
1 5
73
80
3 9
87
80
6 0
03
82
4 6
95
EK
SP
OR
Ek
spo
r N
asio
nal
(M
ilia
r R
p)
78
8 2
96
78
9 0
26
78
8 9
70
80
0 8
84
794
41
18
02
60
38
05
13
98
07
16
08
25
89
9
GD
PN
AS
GD
P N
asio
nal
(Mil
iar
Rp
)2
64
1 2
13
2 6
28
58
52
69
7 4
44
2 5
94
495
2 6
12 7
08
2 5
86
25
72
62
5 3
62
2 6
83
64
02
66
7 5
13
MO
NE
YS
Ju
mla
h P
enaw
aran
Uan
g (M
ilia
r R
p)
1 2
56
55
71
24
8 9
03
1 2
93
05
51
22
6 1
491
237
90
51
22
0 8
11
1 2
46
81
71
28
5 0
29
1 2
62
52
6
MO
NE
YD
Ju
mla
h P
erm
inta
an U
ang
(Mil
iar
Rp
)1
36
6 9
87
1 3
56
21
01
41
0 0
86
1 3
26
113
1 3
42 5
20
1 3
19
13
01
34
7 6
20
1 3
92
29
81
35
8 1
22
NT
UK
RR
N
ilai
Tukar
(R
p/U
S$)
8 4
83
8 532
8 4
93
8 614
8 5
46
8 6
31
8 7
03
8 7
28
8 8
69
CP
IND
X
Indek
s H
arga
Konsu
men
(in
dek
s)298.4
0303
.00
299.4
0310
.50
304.2
0312.1
0318.8
0321.1
033
7.7
4
INT
RIL
Tin
gkat
Suku B
unga
(%
/Thn)
2.7
62
.79
2.5
72
.89
2.8
42.9
22.7
82.5
92.7
6
LA
BO
RS
Ju
mla
h P
enaw
aran
TK
(Ju
ta J
iwa)
12
1.1
01
21.1
01
21
.30
121
.10
121.1
0121.1
0121.2
0121.4
0121.4
0
LA
BO
RD
Ju
mla
h P
erm
inta
an T
K (
Juta
Jiw
a)1
08
.30
108
.20
10
9.0
01
07.7
010
8.0
0107.6
0108.1
0108.9
0108.5
0
UM
RN
AS
U
pah
Min
imum
Nas
ional
(R
b R
p/B
ula
n)
52
8.1
05
27.6
05
22
.60
526
.60
527.2
0526.4
0520.0
0513.8
0513.6
0
UN
EM
PL
Jm
l. P
enga
nggu
ran
(Jut
a Ji
wa)
12
.83
12.9
71
2.2
513
.39
13.1
713.4
913.1
112.5
112.8
9
INF
LS
I T
ingk
at I
nfl
asi
Do
mes
tik
(%
/Th
)9.4
49.8
99.6
310
.58
9.9
710.7
311.4
511.7
512.0
3
NE
TE
KS
Ek
spo
r B
ersi
h N
asio
nal
(M
ilia
r R
p)1
86
40
01
72
61
81
85
89
21
85
84
918
6 2
93
18
5 7
84
17
0 5
42
16
9 7
39
17
4 6
54
GR
OW
TH
Tin
gkat
Per
tum
buhan
Ekono
mi
(%/T
hn)
3.4
03
.26
3.8
83
.01
3.1
72.9
43.2
43.7
34.0
7
JO
VD
ES
Jum
lah P
enduduk
Mis
kin
Des
a (J
t Ji
wa)
13
.78
13.9
91
1.9
915
.65
14.8
015.9
114.4
712.6
313.1
1
JO
VK
OT
Jum
lah P
enduduk
Mis
kin
Kota
(Jt
Jiw
a)5
.72
5.8
24
.44
7.0
56
.39
7.1
96.0
84.7
84.7
9
PO
VE
RT
Tin
gkat
Pen
dudu
k M
iskin
Nas
ional
(%
)8
.17
8.3
06
.90
9.5
08
.87
9.6
68.6
17.3
07.5
2
Ket
eran
gan:
Sim
ula
si 1
Har
ga D
unia
Min
yak
Men
tah n
aik 5
per
sen
Sim
ula
si 2
Pen
erim
aan
Dal
am N
eger
i P
emer
inta
h n
aik
10
per
sen
Sim
ula
si 3
Pen
gura
nga
n S
ub
sid
i H
arga
Pre
miu
m,
Min
yak S
ola
r, M
inya
k T
anah
, da
n E
lpij
iS
imu
lasi
4K
on
vers
i M
inya
k T
anah
ke
Elp
iji
Sim
ula
si 5
Pen
gura
nga
n S
ubsi
di
Har
ga P
rem
ium
, M
inya
k S
ola
r, d
an K
onver
si M
inya
k T
anah
ke
Elp
iji
Sim
ula
si 6
Sim
ulas
i (1
) +
Sim
ulas
i (2
) +
Sim
ulas
i (5
)S
imu
lasi
7S
imul
asi
(1)
+ S
imul
asi
(2)
+ S
imul
asi
(5)
+ R
ealo
kas
i A
ngg
aran
seb
esar
Rp
. 60
84
5 M
ilia
r.S
imu
lasi
8S
imul
asi
(1)
+ S
imul
asi
(2)
+ S
imul
asi
(5)
+ I
nd
ek H
arga
Konsu
men
nai
k 5
per
sen
+ R
ealo
kas
i A
ngg
aran
seb
esar
Rp. 6
1 4
92
Mil
iar.
La
mp
ira
n 1
3.
Ura
ian
Vari
ab
el
La
nju
tan
Nil
ai
Da
sar
Sim
ula
si
372
Lam
pira
n 14
. D
ata
Riil
Tahu
n 19
86-2
006
TA
HUN
IMPJ
PRIM
PJSL
IMPJ
KR
EKSJ
LGK
OSJ
PRT
KO
SJSL
TK
OSJ
SLI
KO
SJSL
KK
OSJ
KRT
KO
SJK
RIK
OSJ
KRK
KO
SJLG
IK
OSJ
LGK
SUBH
PRSU
BHSL
SUBH
KR
1986
012
8396
394
1725
5700
0044
8996
345
0525
725
6768
520
1976
1661
2718
2065
4841
116
1576
3694
24-1
060
-159
48
1987
014
6832
699
4660
5300
0048
2693
447
5945
927
7487
821
5198
1692
2784
6067
1604
676
064
1749
36-5
4030
752
2
1988
016
7916
110
5057
298
0000
5188
716
5027
058
2998
226
2292
4217
2428
5262
6887
968
6126
614
1734
-673
101
290
1989
019
2027
011
0962
624
4000
055
7711
553
0870
232
3894
124
4157
1756
2922
3170
6428
739
976
9302
4-4
0733
252
3
1990
021
9600
011
7200
026
0205
759
9407
256
0506
534
9831
925
9994
1788
2993
6972
4511
643
052
1007
73-2
6550
777
3
1991
021
9600
046
5000
2528
844
6427
990
6306
639
3905
966
3067
6417
9032
4725
7412
286
6860
115
9059
-684
157
471
1992
042
4800
010
7700
025
5676
467
8236
568
7909
048
0535
037
4772
2030
3844
1678
2950
168
189
1600
56-6
3115
244
4
1993
045
9300
015
4100
026
4225
569
1393
973
6214
855
5417
146
8058
1982
4226
8278
6124
167
505
1623
12-1
063
-167
149
1994
035
8800
014
4600
026
3635
677
5485
770
5658
553
5942
945
9586
2168
4578
9480
7024
273
107
1847
58-1
005
-181
108
1995
035
3800
020
7400
025
1158
185
2141
874
0437
555
4446
449
2239
2189
4950
1783
3832
511
8533
3106
47-8
40-8
318
6
1996
047
7300
022
6000
027
1225
393
1413
782
8231
659
2955
755
0818
2429
5471
3687
5362
013
9923
3754
88-6
0111
637
8
1997
081
4800
031
1800
021
3291
710
0313
8096
1431
468
1556
765
4436
2328
5490
4989
5472
018
5497
4682
38-4
4723
448
8
1998
5850
0050
4800
013
2800
017
6130
410
4741
3392
2057
668
2730
051
1421
2305
5207
2792
0465
314
7375
4352
6510
974
211
61
1999
1598
000
5770
000
2789
000
1745
383
1103
4498
9495
022
7393
023
4883
9726
0466
3090
1078
1327
1351
6938
2966
212
743
1097
2000
1984
000
7194
000
2966
000
1306
318
1192
9095
1008
2980
8397
318
5252
6226
1271
9491
1123
7999
2295
6055
1791
892
1546
1917
2001
2410
000
7879
000
2718
000
1484
503
1257
6406
1063
6498
8977
164
5445
3924
9660
0713
1118
8541
2109
5249
2222
617
1158
1781
2002
3154
000
9637
000
2916
000
1268
104
1319
3587
1091
7953
9424
589
5605
3624
4953
7286
1069
3241
2495
1558
2137
192
433
1290
2003
3076
000
9955
000
2516
000
1106
424
1408
9321
1102
2704
9118
588
5663
1424
0652
6507
1078
8762
2877
4068
4856
225
426
1234
2004
6576
000
1233
9000
2907
000
1034
270
1583
3195
1161
6797
1068
7255
6025
6524
3348
5601
1091
9932
3066
6770
8058
784
1003
1798
2005
7267
000
1444
0000
2604
000
1015
366
1689
4997
1215
0616
1044
6548
6361
3023
5342
8037
1053
3543
2536
4064
3877
147
410
1061
2006
9882
611
1628
4132
2743
548
1079
070
1806
5572
1276
5425
1120
2029
6735
2823
9643
8269
1079
7098
2163
5355
2039
166
417
1883
373
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
SUBH
LGH
JECP
RH
JECS
LH
JECK
RH
JECL
GG
OVE
NSRE
VTAX
EKSN
BMIM
PNBM
KO
SNBM
INVR
MG
INVN
MG
MO
NEYS
MO
NEYD
NTUK
RRIN
TRIL
1986
-109
917
9793
477
016
5711
1037
4041
388
333
6251
825
2865
1380
483
332
1291
4213
3017
3815
11.9
7
1987
-819
1645
855
705
1645
1106
8937
509
1199
1384
127
2684
3717
299
8787
414
4777
1523
6146
349.
43
1988
-907
1522
791
652
1542
1315
4947
090
1274
8885
972
2932
6317
541
1279
9316
6079
1746
5645
7911
.55
1989
-675
1431
743
613
1449
1357
2357
322
1438
7210
4479
3031
5918
492
1511
4021
8145
2391
8547
3512
.98
1990
-455
1551
844
655
1378
1579
9067
947
1606
3313
4302
3358
5619
072
1722
9829
1616
2795
3648
1811
.11
1991
-532
1733
945
693
1371
1618
2475
800
1769
4615
5755
3583
1619
717
1902
3031
2092
3175
6848
5911
.50
1992
-418
1612
879
645
1275
1678
5285
365
1998
7315
6962
3661
8120
394
1969
0434
8894
3609
3348
4711
.70
1993
-128
518
7010
1574
820
0419
3779
9585
620
3437
1528
9347
1154
2042
521
1133
3879
5039
7641
4679
7.37
1994
-113
617
2393
668
918
4719
5305
1033
4121
1208
1663
5049
8936
2081
823
8632
4296
5344
7352
4579
6.44
1995
-130
115
7585
563
022
5018
6208
1106
3322
7385
2013
0558
8745
2115
026
9566
5008
9552
3067
4477
6.32
1996
-110
614
7279
958
921
0320
6575
1205
7124
3139
2047
3764
2903
2204
331
0292
6069
1861
9427
4496
9.43
1997
-586
1386
752
554
1980
1935
1912
6856
3049
0422
8376
7230
4027
491
3243
4270
4202
8906
8853
7110
.05
1998
-48
1253
689
351
1880
2977
2211
6449
6097
0533
2823
7757
2755
436
2491
1472
3499
7560
0811
879
-34.
86
1999
2910
3857
129
115
5720
4521
1307
0439
3930
1834
8781
2593
3299
721
6393
6705
8868
1220
7886
2.18
2000
976
1150
600
350
1500
1422
8811
5913
5183
8025
5459
8302
5033
006
2809
0974
7028
6899
3583
9612
.82
2001
442
1300
856
348
1883
2490
1416
6402
5141
5826
0218
8217
8738
618
2164
4575
6985
7097
5694
496.
40
2002
-84
1404
1243
481
1925
2478
3516
8532
4247
5820
9567
8442
5440
633
1692
2370
9072
6906
6778
056.
02
2003
-235
1360
1240
526
2029
2556
0218
1853
3913
7718
5396
9283
2234
177
1344
1771
8020
6864
0868
848.
91
2004
-906
1282
1169
496
3011
2448
0519
8741
4508
0424
9265
1033
702
4740
813
3071
7321
2077
7780
6942
7.99
2005
3219
9918
4513
2227
2622
9318
2224
2553
0342
3081
2010
5685
149
634
1358
7977
1623
8462
3370
595.
20
2006
379
2552
2438
1134
2410
3299
3424
1006
5265
9624
5024
1072
565
4460
014
1627
7836
4089
9178
6151
2.00
374
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
CPIN
DXLA
BORS
LABO
RDUM
RNAS
JOVD
ESJO
VKO
TPN
WJP
RPN
WJS
LPN
WJK
RPN
WJL
GPN
WJB
MK
OSJ
PRK
OSJ
SLK
OSJ
KR
KO
SJLG
KO
SCBM
1986
21.4
270
.19
68.3
441
5.07
35.9
712
.76
5209
512
9924
188
7885
822
5310
0030
1576
2248
0850
891
7289
771
0317
453
1000
3002
0
1987
23.4
172
.25
70.4
041
2.86
33.0
412
.93
5438
359
1036
7609
8015
211
2510
0030
9929
4751
5619
097
2302
672
8358
925
1000
2824
6
1988
25.2
974
.60
72.5
242
6.80
31.6
812
.80
5677
258
1084
5270
8148
418
2030
0031
8813
6555
2901
110
3061
4874
6858
620
3000
2722
7
1989
26.9
175
.51
73.4
345
2.50
30.3
212
.67
5926
651
1136
1205
8285
619
1330
0032
8278
5459
2879
010
9242
4176
5828
113
3000
2664
0
1990
29.0
277
.80
75.8
548
0.05
28.9
712
.53
6187
000
1192
0000
8427
000
1438
2533
8380
0063
5747
411
5794
0478
5279
514
3825
3047
2
1991
31.7
478
.46
76.4
262
7.08
28.6
412
.22
6888
000
1266
2000
7993
000
2276
6035
4900
0068
2808
912
9478
0880
7516
222
7660
3632
7
1992
34.1
279
.95
78.5
268
6.64
28.3
211
.91
7178
000
1537
2000
8868
000
2282
4539
7280
0072
0440
914
6468
7185
6271
522
8245
3651
2
1993
37.4
381
.45
79.2
066
9.60
27.9
911
.60
7535
000
1625
6000
9089
000
2298
1740
9060
0074
4054
516
5649
7886
5237
422
9817
4439
2
1994
40.6
283
.90
82.0
474
8.03
25.3
410
.53
8568
000
1527
0000
9804
000
2578
6541
0410
0083
4202
216
0168
7289
2188
125
7865
4163
8
1995
44.4
586
.36
80.1
177
4.27
22.7
09.
4791
7100
016
7470
0099
9200
042
9180
4287
0000
9190
417
1697
5012
9252
484
4291
8040
926
1996
47.5
690
.11
85.7
079
7.22
20.0
58.
4098
9200
018
9850
0010
7730
0051
5411
4777
8000
1008
1399
1882
7523
9781
930
5154
1141
719
1997
50.5
093
.86
87.0
583
5.79
25.9
813
.00
1071
4000
2190
7000
1074
7000
6537
3551
7680
0010
8309
2121
8527
1599
6739
865
3735
4358
9
1998
79.8
092
.74
87.6
753
4.09
31.9
017
.60
1124
6000
1960
1000
9802
000
5826
4048
8570
0010
9717
2519
7141
2910
1445
1558
2640
3604
2
1999
96.3
694
.85
88.8
254
2.12
28.5
513
.95
1340
4000
2052
1000
1220
5000
5181
3553
3610
0011
5154
7420
2975
3711
9268
1051
8135
3127
3
2000
100.
0095
.65
89.8
452
2.41
26.4
012
.30
1372
6000
2244
3000
1217
2000
7813
5158
4690
0012
4292
9122
0722
5612
4577
7878
1351
3774
7
2001
111.
5098
.81
89.4
547
2.39
29.3
08.
6014
5900
0023
1320
0011
9390
0070
3174
5923
3000
1309
5986
2335
9617
1228
3033
7031
7453
292
2002
124.
6610
0.78
91.6
555
7.48
25.1
013
.30
1480
7000
2458
1000
1186
8000
8316
5261
2460
0013
7323
8824
2128
4711
6784
3983
1652
6846
1
2003
133.
1010
5.82
95.7
756
9.11
25.1
012
.20
1463
5000
2499
0000
1182
6000
9725
9661
2940
0014
6473
5124
0644
5811
7531
0997
2596
7180
8
2004
141.
1710
3.97
93.7
260
7.34
24.8
011
.30
1854
5000
2802
4000
1194
1000
1014
725
6941
8000
1641
8015
2648
7751
1184
6119
1014
725
7445
9
2005
155.
9310
6.64
95.7
262
2.34
22.7
012
.40
1889
7000
2948
7000
1114
6000
8975
1769
1530
0017
4803
2727
0564
0911
3855
8489
7517
1221
34
2006
176.
3711
0.22
97.7
762
2.80
24.8
114
.49
2200
4560
3177
0655
1137
8656
7683
9274
9530
7418
6693
3928
5986
2411
6684
0276
8392
1524
34
375
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HU
NIM
POR
TEK
SPO
RN
ETEK
SR
EVD
DN
INV
EST
GO
VEX
PK
OSN
AS
GD
PNA
SG
RO
WTH
UN
EMPL
INFL
SIPO
VER
TSU
BRPR
SUBR
SLSU
BRK
RSU
BRLG
1986
6418
188
652
2447
075
358
9713
710
2204
2828
8450
6695
.1.
85.
28.9
4-5
097
-145
734
3-5
83
1987
8688
212
0351
3346
988
883
1051
7311
5185
2966
8355
0510
8.65
1.84
9.27
26.7
3-2
784
2982
3801
-206
1988
8831
512
8111
3979
690
968
1455
3413
0457
3204
8963
6276
15.5
82.
088.
0525
.33
-372
310
4421
67-1
84
1989
1076
0714
5761
3815
410
6796
1696
3214
1819
3297
9967
9404
6.78
2.08
6.42
24.0
0-2
416
3627
4003
-90
1990
1386
6316
3035
2437
113
6267
1913
7017
0394
3663
2975
2465
10.7
51.
957.
8423
.08
-168
458
7060
68-6
5
1991
1589
5317
9068
2011
513
1018
2099
4716
3800
3946
4378
8505
4.79
2.03
9.37
22.3
4-4
669
2035
3807
-121
1992
1622
8120
2063
3978
213
9062
2172
9817
0167
4026
9382
9939
5.25
1.43
7.51
21.8
1-4
545
2221
3804
-95
1993
1579
6520
5337
4737
214
9923
2315
5718
3601
5155
4697
8076
17.8
52.
259.
6921
.10
-790
6-2
758
1286
-295
1994
1701
5021
3082
4293
116
3523
2594
4918
4063
5405
7410
2701
85.
001.
878.
5218
.82
-838
6-2
897
963
-293
1995
2055
3822
9767
2422
916
4268
2907
1617
8222
6296
7211
2283
89.
336.
259.
4316
.60
-772
1-1
407
1718
-558
1996
2118
5824
5843
3398
518
4263
3323
3620
7147
6846
2112
5808
912
.05
4.41
6.99
14.4
6-6
063
2180
3694
-570
1997
2401
0330
7878
6777
517
4368
3518
3320
0685
7666
2913
8692
210
.24
6.81
6.19
19.3
5-4
845
5114
4861
-383
1998
3430
1961
2931
2699
1318
7087
3045
5033
0670
8117
6817
1690
123
.79
5.06
58.0
224
.30
1192
1462
411
777
-28
1999
1956
6439
6698
2010
3419
4906
2493
9024
0627
8438
6615
3491
8-1
0.60
6.03
20.7
520
.53
2446
1508
113
088
15
2000
2814
0252
1614
2402
1320
5335
3139
1522
1468
8679
9716
4359
37.
085.
813.
7718
.39
1108
634
119
2388
176
2
2001
2845
5351
7609
2330
5627
0020
2550
6330
6330
8750
7916
6952
81.
589.
3711
.50
17.9
480
7827
057
2187
031
0
2002
2337
9242
7092
1933
0124
2370
2098
5627
5964
9127
1415
9183
5-4
.65
9.13
11.8
018
.11
2635
1049
615
068
-70
2003
2097
0439
3362
1836
5725
7557
1685
9428
3430
1000
129
1635
810
2.76
10.0
56.
7717
.40
3300
1025
414
502
-228
2004
2944
0145
2981
1585
8028
5496
1804
8030
4628
1108
160
1751
848
7.09
10.2
56.
0616
.68
1287
826
562
2130
3-9
20
2005
3591
2653
3141
1740
1524
3455
1855
1325
5090
1178
985
1793
603
2.38
10.8
510
.46
16.0
125
7111
096
1207
729
2006
3208
4352
9605
2087
6335
2452
1862
2736
7230
1224
999
1987
219
10.7
911
.98
13.1
017
.70
3097
1193
821
969
292
376
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HU
NFI
SCG
PSU
BBBM
KO
SCPR
KO
SCSL
KO
SCK
RK
OSC
LGBO
TBBM
IMPR
PRIM
PRSL
IMPR
KR
IMPB
BMEK
SRLG
KR
ISIS
KR
ISIP
TREN
DD
HJE
CK
B
1986
-268
45-8
833
8643
8565
5472
880
-121
70
865
670
1536
318
00
111
32
1987
-263
0244
9684
8283
0951
3541
3-2
106
014
8310
6125
4443
80
12
1111
1988
-394
89-1
092
8418
8151
4873
313
-154
20
1303
861
2164
622
00
311
02
1989
-350
2360
9684
8281
1946
9619
3-1
002
017
9510
9628
9118
890
04
1111
1990
-341
2712
404
9858
9776
5141
198
-163
30
2580
1455
4035
2402
00
511
04
1991
-327
8219
7611
832
1223
855
9731
2-4
540
2105
471
2576
2122
00
610
82
1992
-311
0523
1411
612
1287
755
2129
1-2
638
038
0810
2048
2821
900
17
903
1993
-336
78-1
0178
1391
616
818
6473
461
-269
10
3390
1202
4592
1901
00
891
3
1994
-205
41-1
1241
1437
714
985
6150
476
-148
40
2355
1002
3357
1873
00
982
1
1995
-139
53-7
986
1447
414
512
5829
966
-146
40
2375
1471
3846
2382
00
1077
3
1996
-228
8457
214
839
1504
457
5910
84-2
992
037
9718
9956
9627
040
011
806
1997
-263
1771
6615
012
1644
355
2612
94-6
840
069
8928
2698
1529
740
112
826
1998
-143
583
3294
813
748
1358
735
5910
95-5
494
693
6281
1746
8720
3226
10
1355
8
1999
-457
2136
106
1195
011
585
3465
807
-892
717
3765
9233
6611
695
2768
11
1449
3
2000
-161
3379
180
1429
413
243
4360
1172
-195
5935
2313
423
5847
2279
332
340
015
507
2001
-363
1057
316
1703
020
007
4274
1324
-194
0140
1813
804
5031
2285
234
510
016
486
2002
-335
9428
129
1927
830
106
5621
1601
-205
8643
7714
052
4492
2292
123
350
017
464
2003
-258
7327
828
1991
829
832
6181
1973
-205
2542
4014
420
3850
2251
019
850
018
463
2004
-191
3259
823
2105
030
959
5874
3055
-387
4111
817
2330
057
9940
917
2176
01
1946
6
2005
-116
3425
771
3494
249
920
1504
924
46-4
4472
1356
128
316
5395
4727
228
000
020
451
2006
-147
7837
296
4763
569
727
1323
218
52-6
7974
2335
240
435
7197
7098
430
100
021
425
377
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
HDU
SMB
HDU
SLG
HJE
CPX
KRO
DA2
KRO
DA4
KRO
DA6
KNI
AGA
POPN
ASLI
STRK
MTI
KAN
RTIK
ANSU
BBBL
PNW
JBL
CPIN
DSFD
INVR
KO
SJPR
LK
OSJ
SLL
1986
2314
692
351
1910
6461
8311
2916
860
7468
640
1441
619
-203
971
3810
063
.70
1545
3185
4518
9798
0
1987
2817
811
9455
5411
7067
2412
5717
271
0576
086
1558
225
703
7171
768
65.9
827
0432
9256
1973
491
1988
2213
910
2754
2010
7364
9312
7817
683
9177
144
1683
464
-395
7210
420
68.6
938
4034
0296
2051
621
1989
2516
412
1957
2211
8269
0513
8717
990
3379
439
1647
589
972
7254
379
71.9
844
8635
1674
2132
441
1990
3119
215
9460
8313
1373
9614
1018
091
1981
389
1645
935
2214
7304
000
75.8
869
3436
3402
2216
027
1991
2517
313
4165
2414
9580
1915
9318
391
1881
940
1787
997
924
7947
000
79.0
891
0640
0099
2428
439
1992
2417
711
6069
4115
9185
3216
6618
410
259
8433
117
4396
293
083
1000
081
.48
1057
142
2044
2587
659
1993
2015
410
4473
5517
0090
5517
2918
811
896
9094
918
8829
8-5
0580
2600
083
.90
1116
952
6606
3180
600
1994
1815
588
677
8818
7796
6517
0919
114
201
9381
619
4023
7-6
2873
9900
086
.08
1121
458
7165
3141
273
1995
1921
288
487
8521
0910
894
1858
194
1498
199
602
2003
467
-18
6960
000
88.5
021
986
6689
9935
3393
3
1996
2322
287
810
091
2415
1250
620
2419
715
321
1045
1220
2026
013
3181
2800
091
.10
3056
876
7262
4064
832
1997
2026
010
6111
993
2662
1465
521
4420
117
042
1113
1320
0291
624
1984
0000
093
.23
2694
379
9541
4768
399
1998
1315
416
5612
529
2779
1530
822
1520
420
374
1232
0718
1669
553
8382
0800
094
.67
-446
749
7592
3154
831
1999
1920
112
8413
053
2905
1595
822
6720
720
596
1351
0120
1887
054
7672
3100
096
.74
-223
7648
0976
2921
095
2000
2829
520
5013
564
3039
1660
323
7321
020
850
8776
420
4790
193
3110
1280
0010
0.00
-382
1250
0196
3066
697
2001
2424
619
2215
492
3261
1875
324
4821
121
052
1310
1021
1645
00
9572
000
102.
82-5
4012
5195
8032
0141
6
2002
2423
615
6518
061
3862
2192
327
4721
221
114
1419
5321
5525
40
9990
000
104.
46-1
5445
5388
0133
0976
9
2003
2726
116
7123
313
5133
2844
643
2821
421
207
1760
8821
4495
90
9843
000
106.
86-1
275
5580
3033
5685
2
2004
3530
322
5028
964
6748
3571
262
7421
621
459
1811
4023
5275
00
1090
8000
109.
7120
1858
4820
3581
134
2005
3639
129
0233
193
7484
4067
769
8821
921
657
1891
5823
6615
90
9623
000
113.
4132
806
5853
3038
2311
5
2006
5245
328
7136
404
8241
4464
576
4322
224
846
2131
9523
7941
20
9799
202
117.
0711
617
6037
6739
5764
2
378
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
KO
SJK
RLDE
VISS
BANK
TLFD
INVS
INVE
TLPR
OJP
RPR
OJS
LPR
OJK
RPR
OJL
GEK
SJPR
EKSJ
SLEK
SJK
RK
PIK
ANRE
VNTX
HJE
CAT
HJE
CAG
HJE
CBR
1986
2812
8224
754
1232
6412
0535
623
5209
512
8640
225
6944
097
1101
000
00
045
6907
3494
611
6711
6793
4
1987
2873
9027
824
1403
6316
4538
415
5438
359
8899
283
7020
551
7810
000
00
4677
9451
374
1068
1068
855
1988
2936
3124
482
1740
0022
7847
331
5677
258
9166
109
7097
846
1183
000
00
049
3972
4387
998
998
979
1
1989
3000
0824
384
2363
5725
3455
695
5926
651
9440
934
7175
993
2573
000
00
049
2843
4947
492
992
974
3
1990
3065
2229
844
3341
6537
6371
445
6187
000
9724
000
7255
000
2745
882
00
049
4424
6831
911
3711
3775
8
1991
3363
6131
090
3554
6646
6981
122
6888
000
1046
6000
7528
000
2756
504
00
050
3798
5521
712
6012
6069
3
1992
3467
6834
027
3602
2052
0810
3224
7178
000
1112
4000
7791
000
2785
009
00
049
0972
5369
711
7211
7264
5
1993
3664
6933
002
4014
9453
5211
4120
7535
000
1166
3000
7548
000
2872
072
00
053
2008
5406
611
2211
2264
1
1994
3915
7732
395
4650
2751
9011
6050
8568
000
1168
2000
8358
000
2894
221
00
054
0848
6018
210
3410
3459
1
1995
4169
5333
014
5278
3397
7813
3356
9171
000
1320
9000
7918
000
2940
761
00
054
4879
5363
694
594
554
0
1996
4787
4440
215
6159
3713
024
1481
2398
9200
014
2120
0085
1300
032
2766
40
00
5630
0063
692
883
883
505
1997
4613
0136
398
7487
3692
6119
9463
1071
4000
1375
9000
7629
000
2786
652
00
056
2277
4751
283
283
247
5
1998
4168
3029
775
6107
79-4
4617
7264
1066
1000
1455
3000
8474
000
2343
944
00
054
9436
7063
875
275
243
9
1999
4797
8928
075
2336
28-2
849
5986
811
8060
0014
7510
0094
1600
022
6351
80
00
6029
7964
201
623
623
363
2000
4976
7629
394
2690
00-4
551
6527
611
7420
0015
2490
0092
0600
020
8766
90
00
5794
9189
422
1060
1700
400
2001
4912
8325
126
2758
64-5
271
6588
812
1800
0015
2530
0092
2100
021
8767
70
00
6118
8410
3619
1758
4404
1139
2002
4454
6425
700
2931
32-1
658
6652
211
6530
0014
9440
0089
5200
020
9975
60
00
5949
6873
838
1677
3415
1195
2003
4354
3427
205
3290
30-1
4970
860
1155
9000
1503
5000
9310
000
1962
629
00
070
2234
7570
426
6148
0211
72
2004
4381
5325
711
3921
1722
682
783
1196
9000
1568
5000
9034
000
2016
001
00
071
0120
8675
623
3861
4211
33
2005
4216
5122
269
4422
8533
8084
949
1163
0000
1504
7000
8542
000
1890
717
00
075
3981
2103
031
5480
6723
60
2006
4306
3924
146
4463
0812
5484
410
1212
1949
1548
6523
8635
108
1843
676
00
078
3625
1114
4631
3981
8119
96
379
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
HJE
CDS
IMPJ
ATIM
PJAG
IMPJ
BRIM
PJDS
PRO
JAT
PRO
JAG
PRO
JBR
PRO
JDS
KO
SJAT
KO
SJAG
KO
SJBR
KO
SJDS
KO
SCAT
KO
SCAG
KO
SCBR
KO
SCDS
1986
934
00
2619
390
6982
8118
258
4233
878
1925
744
5306
5912
449
4222
879
2015
802
619
1539
4318
82
1987
855
00
2880
380
7323
8117
085
4243
129
1891
136
5749
5311
588
4248
412
1932
233
614
1236
3016
51
1988
791
00
3167
370
7681
4515
988
4252
399
1857
150
6229
4510
787
4274
099
1852
128
616
1133
8014
65
1989
743
00
3482
960
8056
5714
961
4261
689
1823
775
6749
4210
041
4299
942
1775
344
627
931
9613
19
1990
810
00
3830
000
8450
0014
000
4271
000
1791
000
7312
8093
4743
2594
117
0174
483
211
3279
1378
1991
898
00
8940
000
1046
000
6000
4289
000
1712
000
1124
135
9270
4862
914
1724
819
1417
1233
7115
49
1992
835
00
7560
000
1008
000
1400
046
1000
019
2200
012
8360
098
3649
4360
918
0496
515
0512
3187
1508
1993
962
00
8970
000
9090
0060
0042
5100
019
6300
014
8177
082
7051
2596
918
3527
616
639
3287
1765
1994
886
00
9310
000
9470
0014
000
4180
000
1327
000
1619
993
7982
4047
720
1776
747
1675
823
9215
75
1995
810
00
7940
000
1118
000
1400
041
0900
092
5000
1744
309
8155
4061
430
1601
222
1648
821
9312
97
1996
757
00
2467
000
014
4100
030
0032
1500
010
0200
020
1472
583
4742
8165
213
8060
517
797
2161
1045
1997
713
00
3072
000
012
2200
090
0033
1900
077
8000
2093
372
7719
5380
904
1415
796
1741
625
5710
09
1998
627
00
1634
000
011
4400
050
0041
8600
012
3900
012
7091
957
6052
3360
412
7212
795
64
2295
797
1999
519
00
5810
000
9970
0011
000
4310
000
1332
000
1119
253
5704
5442
096
1520
591
697
419
7778
9
2000
550
00
2326
000
013
4200
010
0051
6500
012
9400
013
4866
446
7860
7621
214
7216
814
308
2430
810
2001
825
00
1166
000
013
7100
080
0055
7900
014
4800
013
8497
057
8861
6248
514
2687
724
3525
7019
1177
2002
1211
00
1232
000
014
8200
050
0059
3100
013
4000
016
0712
613
1662
6027
313
8037
926
954
7483
1672
2003
1240
00
1512
000
017
0100
050
0053
8600
012
3900
019
2935
135
5662
1556
611
8347
851
3417
7285
1467
2004
1169
6790
000
1896
000
017
8300
050
0049
2300
016
2200
024
3792
334
1657
5450
710
9341
456
9921
6522
1278
2005
1411
6540
000
1491
000
016
9900
050
0044
1300
013
6100
023
2263
530
6847
3405
288
9548
7325
2511
172
1255
2006
3057
6294
680
1627
725
017
7858
146
6044
2262
013
3614
825
0338
228
4247
6250
485
1280
7858
2395
0626
02
380
Lam
pira
n 14.
La
njut
an
TA
HUN
KOSC
BLEK
SJAT
EKSJ
AGEK
SJBR
EKSJ
DSSU
BHAT
SUBH
AGSU
BHBR
SUBH
DSPO
PDES
POPK
OTIM
PJLG
HDUS
LGNR
HDUS
MBN
RHJ
ECKB
SUBB
BMFD
INVS
1986
6459
00
00
-230
-317
-371
-171
124.6
743
.680.0
093
.3014
.4311
32.26
-883
3.14
1204
.54
1987
5908
00
00
337
205
-12
288
125.8
146
.200.0
011
7.60
18.44
1110
.9244
95.97
1644
.95
1988
5472
00
00
91-1
0-1
4387
126.6
948
.900.0
095
.2514
.9211
02.37
-109
1.78
2277
.76
1989
5151
00
00
372
250
3731
512
7.30
51.84
0.00
117.7
318
.2311
10.61
6096
.4825
34.28
1990
5500
00
00
497
345
223
520
125.6
454
.190.0
014
5.35
23.73
1104
.1512
403.5
937
62.79
1991
6348
00
00
73-5
110
718
712
6.09
56.85
0.00
136.5
420
.0010
82.38
1975
.6846
69.19
1992
6211
00
00
75-4
210
317
912
5.21
59.28
0.00
143.9
919
.3290
2.93
2314
.4652
07.63
1993
6724
00
00
-95
-191
-25
-127
125.0
862
.520.0
012
9.00
16.97
912.6
2-1
0178
.2653
51.61
1994
5650
00
00
-121
-206
-43
-144
125.5
565
.130.0
013
3.57
15.82
820.8
3-1
1241
.3051
89.95
1995
5146
00
00
-11
-98
20-5
012
5.49
68.26
0.00
187.5
017
.0277
2.92
-798
5.80
9777
.72
1996
4993
00
00
223
120
159
143
124.6
472
.170.0
020
2.04
20.67
806.0
257
2.41
1302
4.37
1997
5314
00
00
362
250
241
258
124.0
677
.350.0
024
2.06
19.09
826.2
971
66.06
9260
.84
1998
4052
00
00
979
818
600
781
123.6
580
.050.0
014
5.97
12.72
558.0
932
947.8
4-4
46.09
1999
3466
00
00
967
818
590
774
125.0
781
.950.0
019
4.57
17.97
493.2
836
106.0
5-2
848.5
7
2000
4678
00
00
00
1157
1561
122.7
587
.670.0
029
4.86
28.50
507.3
279
179.8
0-4
551.0
0
2001
1065
60
00
00
00
012
1.06
90.15
0.00
252.9
724
.4448
5.60
5731
6.07
-527
0.76
2002
1185
40
00
00
00
011
9.56
92.44
0.00
246.4
125
.0246
3.58
2812
8.98
-165
8.15
2003
1390
30
00
00
00
012
4.30
90.07
1163
91.00
278.4
228
.8346
3.38
2782
7.61
-148
.74
2004
1352
00
00
00
00
012
3.27
93.12
3299
4.00
332.5
238
.2746
6.29
5982
3.37
225.8
5
2005
1977
70
00
00
00
011
3.32
105.8
922
166.0
044
3.02
40.40
450.5
525
771.2
933
80.30
2006
1998
90
00
00
00
011
4.13
107.9
237
85.95
530.8
660
.6042
5.15
3729
5.51
1253
.64
381
Lam
pira
n 14
. L
anju
tan
TA
HUN
NTUK
ARJO
VERT
INTR
IWIN
FLSS
BANK
TNBA
NKTB
BANK
IDIN
VETN
INVE
TBIN
VEID
DEVI
SAIN
TRSW
REVM
GS
EXPR
UTEX
PDEV
CURA
CCEK
SNM
G
1986
1282
.56
48.7
24.
9097
90.3
718
39.4
942
042.
1160
32.0
317
13.4
314
463.
7931
748.
146.
8531
219.
9464
041.
2742
443.
62-1
9137
.21
8833
3.24
1987
1643
.84
45.9
73.
733.
5811
348.
0016
44.9
546
643.
8872
20.6
814
61.2
315
240.3
345
738.
867.
3043
080.
5474
086.
7341
743.
22-9
694.
5111
9913
.40
1988
1685
.70
44.4
84.
034.
1014
275.
5517
55.7
759
142.
6890
31.9
514
71.0
519
048.5
641
269.
258.
1337
709.
5982
786.
3048
706.
90-6
137.
3012
7488
.43
1989
1770
.10
42.9
94.
484.
7919
631.
3821
96.1
375
556.
4612
474.
4513
30.3
123
871.2
843
161.
609.
2749
723.
1690
427.
7157
203.
37-4
905.
0614
3871
.66
1990
1842
.80
41.5
02.
935.
4224
726.
9221
19.1
610
5103
.20
1557
4.93
1285
.28
3073
6.36
5499
6.35
8.35
6112
8.15
1003
44.5
862
888.
94-1
1164
.33
1606
32.9
8
1991
1950
.29
40.8
71.
864.
2226
669.
8223
40.8
910
4382
.48
1717
0.76
1446
.12
3303
0.88
6063
4.73
6.08
4747
9.52
9153
4.34
7270
0.06
-138
37.4
317
6946
.19
1992
2029
.91
40.2
30.
863.
0430
129.
2422
33.1
010
9278
.20
2066
0.55
1345
.13
4517
7.74
6907
1.55
3.90
4492
8.64
9848
1.96
7885
0.04
-914
9.25
1998
72.9
4
1993
2087
.11
39.5
90.
442.
9732
213.
8520
75.9
913
7415
.84
2332
4.78
828.
2646
411.7
868
878.
873.
4133
405.
4710
7646
.68
7547
2.91
-613
9.79
2034
36.6
2
1994
2160
.80
35.8
82.
482.
5934
123.
6419
67.1
614
8240
.88
2428
7.86
482.
5648
048.8
569
999.
775.
0733
328.
4110
8498
.90
7556
4.42
-728
7.59
2112
08.3
2
1995
2248
.60
32.1
63.
302.
8134
928.
4620
54.0
916
2185
.03
2376
7.10
575.
9552
103.5
874
234.
966.
1036
120.
8611
3469
.67
6475
2.07
-152
08.7
822
7384
.82
1996
2347
.00
28.4
52.
652.
9437
071.
3035
59.9
416
5801
.04
2467
9.86
851.
6150
987.2
494
384.
375.
5942
342.
8713
1549
.51
7559
7.70
-164
03.4
724
3138
.66
1997
2909
.38
38.9
83.
522.
3451
486.
0510
526.
1122
1133
.40
2896
6.60
2615
.69
6948
8.94
1058
95.1
45.
8670
009.
7017
7435
.00
7595
3.90
-990
2.38
3049
03.9
7
1998
1001
3.67
49.5
04.
021.
5549
255.
6874
04.3
921
5112
.02
2161
5.46
2542
.48
6240
4.14
2981
61.5
35.
5662
291.
3618
5099
.74
8504
4.61
5133
.83
6097
05.3
6
1999
7855
.15
42.5
03.
342.
1924
674.
1538
36.4
987
438.
2512
053.
2613
79.1
523
848.
1222
0531
.76
5.53
4714
9.35
1626
69.6
746
891.
9960
01.2
039
3929
.70
2000
8396
.34
38.7
03.
283.
3719
503.
0066
80.0
010
6782
.00
1081
0.00
2884
.00
2621
0.00
2468
02.0
26.
6566
661.
0016
2578
.00
2581
5.00
7991
.00
5183
80.1
2
2001
1024
7.43
37.9
00.
912.
8218
710.
8866
72.5
310
4504
.85
1086
5.28
5598
.11
2539
5.96
2574
76.9
93.
7372
681.
2119
6340
.87
3729
5.30
6188
.23
5141
57.7
8
2002
9314
.41
38.4
00.
281.
6017
914.
7648
89.4
297
094.
4396
23.2
128
86.3
225
253.
3023
9381
.47
1.88
4814
0.90
1497
31.6
629
942.
1614
80.0
642
4757
.53
2003
8574
.89
37.3
0-1
.07
2.30
1826
2.07
3802
.38
9250
4.94
9469
.50
1585
.26
2335
0.69
2332
79.0
61.
2346
207.
0214
0452
.74
5202
5.91
826.
1939
1377
.01
2004
8932
.99
36.1
0-0
.88
2.67
2293
4.21
5475
.71
1017
24.1
795
54.5
129
43.2
825
964.
6222
9676
.35
1.79
6039
4.99
1671
86.1
443
529.
3984
1.36
4508
04.2
8
2005
9705
.15
35.1
00.
393.
3723
521.
6450
48.9
610
8814
.68
1004
4.70
2331
.13
2520
5.06
2161
19.5
13.
7667
194.
8819
0980
.74
3918
4.14
178.
2853
0341
.56
2006
9266
.40
39.3
02.
053.
2325
516.
8278
79.0
710
3439
.44
1088
5.89
3057
.28
2311
2.16
2237
49.9
95.
2790
600.
8020
8345
.71
6282
2.77
6144
.04
5265
95.6
6