Upload
indah-sebayang
View
1.406
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Peran ganda wanita yang bekerja sebagai polisi
Citation preview
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 1
BAB I
LATAR BELAKANG
I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya fungsi kepolisian adalah menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan
untuk tidak dilanggar oleh warga Negara yang ada di wilayahnya. Untuk dapat melaksanakan
fungsi tersebut, dibentuk badan atau lembaga atau organisasi yang disebut kepolisian pada
negara tersebut, atau Polri untuk wilayah Indonesia Dalam perkembangan paling akhir bidang
kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan
ketertiban saja, melainkan banyak tugas berat yang harus ditanggung oleh Polri sebagai
organisasi yang mandiri.
Kehadiran lembaga Kepolisian tidak dapat dipisahkan dari supra sistem yang
melingkupinya yaitu masyarakat. Dari berbagai publikasi yang membahasa tentang Kepolisian
dapat disimpulkan adanya keterkaitan peran Polisi dengan perkembangan masyarakat. Oleh
karena itu, beban tugas dan peran Kepolisian senantiasa mengalami perubahan dari masa ke
masa (Afriadi, 2010)
Sejak 1 April 1999, Polri resmi menjadi institusi mandiri dengan melepaskan diri dari
tubuh TNI. Polri menjelma menjadi satu-satunya institusi yang mandiri, memberikan kesempatan
kepada Polri untuk dapat memformat diri menjadi lembaga yang mengemban amanat mahabarat
(http://www.pikiranrakyat.com/10/02/08). Hal ini dikuatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Polri, antara lain menetapkan kedudukan Polri sebagai alat negara yang melaksanakan
kekuasaan Negara di bidang kepolisan preventif dan represif dalam rangka criminal justice
system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri
(http://www.jelajahsemesta.blogspot.com/10/02/08)
Polisi, dalam segala maknanya, adalah sebuah profesi. Ada seperangkat nilai standar atau
tolok-ukur tertentu yang membedakannya dengan profesi lain. Dikatakan demikian karena untuk
menjadi atau untuk dapat disebut sebagai polisi, seseorang dituntut untuk memiliki kepakaran
intelektual dan teknis, menjalani pelatihan dan pendidikan, mempunyai kompetensi, tergabung
dalam suatu organisasi, serta hidup dengan disiplin dan kode etik, tertentu sebagaimana telah
disepakati dan digariskan oleh profesi polisi itu sendiri (Indarty, 2009).
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 2
Keberadaannya sendiri ditengah masyarakat sangatlah urgen dan krusial. Polisi dan
masyarakat merupakan suatu simbiosa yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan, karena pola
perekrutan polisi murni langsung dari masyarakat. Sehingga begitu eratnya keterkaitan tersebut,
sangat banyak masyarakat yang menjadikan polisi sebagai sosok panutan dan idola. Namun di
lain pihak, cukup banyak pula masyarakat yang memandang berbeda, dan dari sudut pandang
yang berbeda pula terhadap polisi dan institusi kepolisian tersebut (Rahardi (ed.), 2007). Polisi
adalah penjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Bahkan di Indonesia, pada
masa Kepolisian belum dilepaskan dan masih merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata
Indonesia, polisi tidak saja bertugas sebagai penjaga dan pelaksana Kamtibmas, tetapi juga
melaksanakan doktrin dan kebijakan yang sudah melekat pada ketiga angkatan lainnya yang
bersifat defensif, ofensif dan destruktif.
Satjipto Raharjo (dalam Rahardi, 2007) mengatakan bahwa polisi disamping sebagai
pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana.
Lebih jauh Raharjo menambahkan bahwasanya polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang
langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Polisi kadangkala harus berlumuran
dengan darah korban kejahatan, pelaku tindak kejahatan, atau bahkan darah dirinya sendiri.
Sudah tidak berbilang jumlah aparat polisi yang bermandi darah dan meregang nyawa, gugur
dalam melaksanakan tugasnya, dan ini adalah salah satu resiko yang menjadi konsekuensi
profesi yang idealnya adalah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dari segala gangguan
dan ancaman yang ada.
Salah satu unsur Polri sebagai organisasi adalah sumber daya manusia, dan bahkan
semakin lama unsur ini semakin menjadi unsur yang utama disamping unsur organisasi lainnya
seperti material, sarana prasarana, anggaran, dan metoda kerja. Keutamaan sumber daya
manusia, yaitu anggota Polri dalam organisasi Polri, menjadi sangat dominan mengingat hakekat
tugas kepolisian yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat (Kunarto, 1997).
Perkembangan pembangunan yang terus terjadi seiiring dengan perubahan masyarakat
menjadi masyarakat industri, akan meningkatkan kebutuhan dan permintaan tenaga kerja, baik
tenaga kerja pria maupun wanita. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi siapa pun
untuk masuk ke dunia kerja, termasuk wanita. Akibatnya, tidak dipungkiri bahwa saat ini, di
seluruh penjuru duni, semakin banyak wanita yang bekerja di sektor formal, termasuk di
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 3
Indonesia. Hal ini menuntut public domain dari wanita yang semakin meluas, karena peran
mereka diluar rumah semakin dibutuhkan.
Saat ini, jumlah wanita yang berambisi untuk mengembangkan karier semakin banyak.
Hal ini juga didorong oleh semakin terbukanya kesempatan bagi wanita untuk mengenyam
pendidikan yang tinggi dan untuk bekeja di berbagai bidang pekerjaan. Walaupun pada
kenyataanya menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar pula
perbedaan kesempatan belajar antara pria dan wanita (Munandar, 2001), tetap saja ini merupakan
suatu kemajuan yang berarti bagi kaum wanita. Kemajuan ini menyebabkan jumlah wanita yang
berkualitas menjadi semakin meningkat, dan tidak jarang kualitas mereka mampu menyamai
bahkan melebihi kualitas pria (Linandar, 2009).
“ya harus, dijaman kayak begini mah kita juga harus punya kerjaan. Karena tuntutan ekonomi, juga karena karna kita mau maju. Jadi istilahnya ada kepengen berdiri dikaki
sendiri gitu, enggak selalu nopang sama orang lain. Lagian ide-ide cewek terkadang lebih cemerlang ketimbang ide lakiknya, heheh,..”
(Komunikasi personal, 4 November 2013)
Seiring dengan perkembangan jaman, wanita mulai bekerja di luar rumah dan
mendapatkan penghasilannya sendiri. Tidak sedikit wanita yang memasuki dunia pekerjaan yang
sifatnya non-tradisional bagi wanita. Mereka ikut serta dalam program wirausaha yang
membutuhkan keterampilan dan terlibat dalam pekerjaan seperti penambang batu bara, petugas
polisi, supir truk, tukang las, tukang kayu, maupun pekerja baja. Di Indonesia, keterlibatan
wanita ditunjukkan oleh data Jumlah wanita yang bekerja yang terdaftar pada tahun 2008 di
Indonesia mencapai 1.200.241 jiwa (Statistik Indonesia, 2009). Hal ini menunjukka bahwa
secara kuantitas, pekerja wanita merupakan faktor tenaga kerja yang sangat potensial. Adanya
tuntutan untuk mendukung ekonomi rumah tangga menjadi salah satu alasan bagi wanita untuk
bekerja (Anagora, 1998). Data lain memperlihatkan pada tahun 2007 dimana diketahui bahwa
jumlah polisi di Indonesia sebanyak 360.381, dengan jumlah polisi wanita sebanyak 11.706
orang atau 3,25% (www.Polri.co.id)
Menurut sebagian besar pendapat masyarakat, wanita dianggap hanya unggul pada
pekerjaan yang bersifat kewanitaan atau feminism seperti merangkai bunga, juru masak,
perancang busana, atau sekretaris (Ancok, 1995). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Vuuren
(1993) yang mengatakan jika masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa wanita tidak lazim
menjadi pekerja tambang, pekerja bangunan, dokter, insinyur maupun pimpinan perusahaan.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 4
Pada kenyataannya tidak sedikit wanita yang bekerja hanya pada pekerjaan yang bersifat
feminine, tetapi banyak pula yang bekerja pada pekerjaan yang bersifat maskulin, seperti
menjadi buruh bangunan, supir bus dan angkutan umum, serta banyak pula yang menjadi polisi
atau biasa mayarakat umu menyebut dengan istilah polisi wanita atau Polwan.
Wanita Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi petugas polisi asalkan telah
terpilih, lulus pendidikan kepolisian, diangkat dengan surat keputusanPresiden atau Kapolri
menjadi anggota Polri dan berdinas aktif dalam penugasan kepolisian (www.Polri.co.id), yang
kemudian dikenal dengan sebutan polisi wanita, dan selanjutkan akan disebut polwan. Secara
umum, polwan memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan polisi laki-laki seperti
yang tercantum dalam UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 pasal 13, yaitu tugas pokok Polri adalah
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tatanan kehidupan bermasyarakat tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan institusi
kepolisian. Polisi merupakan garda terdepan penegakan hukum dalam suatu komunitas
masyarakat. Tugas pokok dan fungsi Polri yang begitu erat dengan dunia pemberantasan
kejahatan ini membuat seolah-olah polisi masuk menjadi ranah maskulin, profesi yang berat dan
erat kaitannya dengan kekerasan dan tindakan penanganan lewat kekerasan. Dengan banyaknya
interpretasi, padangan, pendapat serta ide yang mengungkapkan bahwa perempuan lebih lemah
daripada laki-laki membuat profesi seolah-olah menutup dirinya dalam meneriman gender lain
selain laki-laki (Rizal, 2010).
Fenomena keberadaan Polwan ini sudah sering menjadi wacana dalam berbagai situasi.
Meskipun saat ini keberadaan Polwan di Indonesia sudah diakui, namun ternyata masih
menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaan tugasnya sehubungan dengan kodrat
perempuannya yang melekat, apapun posisi dan profesinya. Stigmatisasi perempuan yang halus,
lemah lembut dan senantiasa mengedepankan perasaan terkadang dianggap menjadi faktor yang
mengurangi profesionalisme perempuan dalam tugas-tugas kepolisian-nya, meskipun dalam
situasi lain tidak dapay dinafikan stigma tersebut justru diperlukan (Rizal, 2010).
Pada tahun 2010 lalu, melalui website Polri.co.id, Wakapolri Makbul Padmanegara
mengumumkan penerimaan 400 taruna baru Akpol, baik dari sumber sarjana maupun SMA. Ia
mengatakan ada kemungkinan tahun depan kuota tersebut ditambah karena Polri memerlukan
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 5
tambahan personil. Namun pengumuman itu mengejutkan karena dari 400 taruna baru hanya 47
calon taruni yang lolos.
Kecilnya keterwakilan perempuan dalam sekolah dinas kepolisian tersebut dipicu oleh
dua kemungkinan. Pertama, target penerimaan taruni (taruna putri) yang ditetapkan Polri
memang hanya 10 persen. Angka 10 persen pun sebenarnya angka afirmasi untuk meningkatkan
peran serta perempuan. Kedua, citra profesi polisi ternyata masih melekat dengan maskulinitas.
Pekerjaan sebagai polisi dianggap lebih patut dijalankan oleh laki-laki. Mereka dianggap lebih
cakap menjalankan tugas pengamanan karena memiliki karakter fisik dan psikis yang kuat.
Apalagi karena tugas polisi dikenal dekat dengan bahaya (Surahmat, 2010).
Polwan merupakan bagian kekuatan pelaksanaan tugas dan fungsi Polri sebagai alat
penegak hukum, pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat,
membina dan mewujudkan kamtibmas, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, sejatinya kini, peran polisi wanita pada institusi Polri
haruslah sudah teroptimalkan dengan pemberian fungsi dan peran yang optimal pula.
Semua menjadi harapan semua pihak. Betapa tidak, sampai kini, penghormatan terhadap petugas
wanita tampak belum optimal, meski derajat “diskriminasi” tampak mulai berkurang. Sebagai
aset yang potensial untuk ditugaskan dalam segala bidang garapan, peran Polwan masihlah
dikesampingkan. Peran Polwan masih cenderung minim dan terbatas pada bidang-bidang
tertentu. Paling-paling, yang diusungkan ke pundak mereka adalah tugas yang identik dengan
dunia kewanitaan, seperti bidang pembinaan masyarakat, pendidikan dan latihan, serta tata usaha
atau administrasi. Realitas serupa itulah yang menjadi bukti jika peran Polwan masih sebatas
pendukung atau pelengkap petugas pria (Kompas, 2008).
Dalam berbagai penanganan problematika yang terjadi di tengah masyarakat, pendekatan
dengan kekerasan atau yang berkenaan dengan fisik tidak lagi relevan. Agaknya hal tersebut
disadari oleh Polri. pencitraan Polri yang galak, dengan kumis yang melintang, suara bariton
sebagaimana yang pernah dipraktikkan pada masa Kapolri, Jenderal Anton Sudjarwo tidak lagi
menjadi pilihan. Apalagi setelah Polri terpisah dari TNI, di mana asumsi perwajahan dan
karakteristik militer cepat atau lambat akan terkikis oleh waktu. Namun kesulitan merubah
perilaku dan budaya di internal Polri dalam waktu cepat membuat Mabes Polri akhirnya
menemukan formula bagi pendekatan kepada masyarakat seputar penanganan problematika yang
dihadapi. Peran Polwan, yang di masa lalu dianggap kurang diberdayakan kemudian dipasang
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 6
menjadi garda terdepan bagi pemulihan dan perbaikan citra Polri di masa lalu, yang kurang baik.
Bahkan disadari bahwa Polwan kemudian menjadi salah satu kunci bagi perbaikan citra Polri dan
Reformasi Polri yang tengah berlangsung. Meski dalam praktik operasionalnya masih perlu
ditingkatkan kembali. Tidak hanya sekedar menjadi pelengkap bagi kerja-kerja anggota Polri
yang lain, tapi menjadi satu faktor penentu hitam putihnya pencitraan Polri di masa yang akan
datang (Meliala, 2010).
Titik krusial bagi Polwan dalam mengawal reformasi Polri dan terus membangun citra
positif bagi kinerja Polri ada pada seberapa efektif kinerja Polwan. Artinya perlu juga perluasan
kerja dan tanggung jawab yang lebih dari sekedar menjadi terdepan dalam pembangunan citra
Polri. Pentingnya perluasan wewenang dan tanggung jawab diberikan Polwan karena harus
disadari bahwa Polri tidak lagi sekedar menampilkan satu kinerja profesionalisme, tapi juga
performa yang menentramkan. Dan salah satunya terwakili dengan efektifitas kinerja Polwan di
lapangan (Polri.co.id).
Peran Polwan dengan jumlahnya yang tidak sebanyak polisi pria, cenderung minim dan
terbatas pada bidang-bidang tertentu; dalam tugas kepolisian selalu identik dengan dunia
kewanitaan. Seperti halnya bidang pembinaan masyarakat (binmas), pendidikan dan latihan
(diklat), tata usaha atau administrasi, lalu lintas urusan dalam dan juga peran bantuan sebagai
negosiator saat ada unjuk rasa. Realitas semacam itu membuktikan bila peran Polwan masih
sebatas sebagai pendukung atau pelengkap polisi yang pria. Padahal dalam jabaran teori tugas
dan fungsi Polwan sebagai bagian integral dari Polri berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Polwan merupakan kekuatan
pelaksanaan tugas dan fungsi Polri sebagai alat penegak hukum, pengayom dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, membina dan mewujudkan kamtibmas, dan
melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Issamsudin, 2002).
Berkaitan dengan tugas dan fungsi tersebut secara otomatis peran Polwan harus bisa
optimal melalui pemberian peran yang optimal. Jangan ada lagi anggapan bahwa Polwan tidak
mampu berperan di bidang kesersean, intelijen, operasi dan pengendalian massa, provost, air dan
udara, serta lalu lintas di lapangan. Meskipun saat ini telah ada beberapa petugas wanita yang
menduduki jabatan tertentu seperti menjadi Kepala Polsek dan Kepala Polres, bahkan Kapolda,
namun hal itu belum mumpuni menjadi penanda optimalnya penghormatan terhadap gender
pada Sistem Peradilan Pidana. Ternyata, keberadaan petugas Polwan mampu menjadi harapan
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 7
dalam memperbaiki citra Polri. Sebagai contoh, diakui atau tidak, tampilnya Polwan di lapangan
sedikit banyak mampu meredam cibiran masyarakat terhadap Polri. Kesabaran, ketelatenan, dan
ketidakkerasannya (meski bisa tetap bersikap tegas terhadap para pelanggar hukum), setidaknya
telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan Polri.
Sebut saja dalam suatu kegiatan unjuk rasa mahasiswa yang biasanya diwarnai
“benturan” antara pengunjuk rasa dengan petugas keamanan dari Polri. Benturan bisa ditekan
pemunculannya atau tidak sampai terjadi ketika para negosiator pihak Polri yang mengandalkan
para Polwan, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Demikian pula saat memerankan diri
sebagai petugas bimbingan masyarakat melalui tindak penyuluhan. Ada perbedaan feed back
audience dalam hal penyuluhnya Polwan dibandingkan polisi pria (Issamsuddin, 2008). Ini tidak
lepas dari adanya perbedaan cara penyampaian, juga cap masyarakat terhadap Polri yang
cenderung kurang baik dan Polri itu biasanya identik dengan polisi pria.
Dalam keseharian pun, jarang sekali ada oknum Polwan yang nakal terkuak ke
permukaan kasusnya. Biasanya yang terkuak adalah ulah oknum polisi pria yang memang
mendominasi kecurangan oknum anggota Polri. Di samping tidak banyak oknum Polwan yang
nakal, masyarakat pun juga segan manakala harus bertindak curang dengan oknum Polwan.
Karena itulah kebijakan untuk memunculkan Polwan dalam hal-hal tertentu untuk berhadap
dengan masyarakat, adalah pas dan positif. Apalagi peran Polwan yang simpatik dan menarik
telah dimunculkan, setidaknya hal itu mampu melahirkan suatu dorongan dan kesadaran untuk
patuh dan taat pada hukum, yang tentunya juga mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Polri
guna mewujudkan kamtibmas (Issamsuddin, 2008).
Dalam hal kepemimpinan unit kerja atau lembaga di dalam kepolisian, Polwan harus
lebih banyak lagi diberi kesempatan. Diakui atau tidak, pemberian kesempatan tersebut di
samping akan lebih menunjukkan penghormatan terhadap gender di lingkungan Polri, sedikit
banyak diharapkan juga akan mengurangi stigma negatif dan menekan munculnya tindak
kecurangan di lingkungan Polri. Ini tidak lepas dari adanya keharusan memiliki rasa malu dan
tabu untuk bertindak curang pada diri Polwan. Polwan juga harus memiliki rasa malu ketika
membiarkan kecurangan terjadi. Itulah sosok jati diri Polwan, yang harus mengedepankan ciri-
ciri sebagai wanita, yang memang tabu untuk bertindak curang, sekaligus harus tegas guna
menegakkan hukum tanpa harus meninggalkan cara berpola pikir, bersikap dan berperilaku
positif serta simpatik. Melalui cara itu pula emansipasi yang ada dan upaya penghormatan
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 8
terhadap gender akan berdaya dan berhasil guna. Khususnya di lingkungan Kepolisian
(Ismanuddin, 2008).
Menjadi seorang Polwan bukanlah tanpa masalah, pasalnya, sebagai profesi yang
bernaung dibawah institusi Polri, mereka tidak hanya diharapkan berfungsi sebagai “matahari”
dalam menegakkan hukum. Terkadang, mereka juga diharapkan menjadi semilir angin, bahkan
menjadi gemericik air dalam bertugas. Bahkan, diharapkan mampu menjadi idola masyarakat di
mana pun berada, baik di rumah dengan tetangga maupun saat berada di lapangan tugas. Apalagi
saat ini polwan mendapat kesempatan yang luas untuk menduduki jabatan strategis, semacam
Kapolsek, Kapolres bahkan Kapolda. Tentunya ketika jabatan strategis itu diusungkan ke
pundak, semakin beratlah masalah yang kemudian harus dipecahkan. Seiring perjalanan waktu,
ternyata ketika bertugas di lapangan, Polwan mendapat tempat di hati masyarakat (setiawan,
2008).
Tugas berat Polwan lainnya adalah, mereka terpaksa dihadapkan kepada dua hal yang
sama penting dan beratnya, keberhasilan sebagai polisi dan kesuksesan membina rumah tangga.
Pasalnya, kodrat Polwan sebagai seorang wanita adalah menjadi pendorong bagi suami serta ibu
bagi anak-anaknya. Semangat untuk berprestasi dan kesuksesan untuk mencapai karier di
kepolisian harus pula diikuti keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga. Sebagai
bagian integral Polri, mereka harus tetap mampu meningkatkan profesionalisme (Setiawan,
2008).
Pada polwan yang telah berkeluarga dapat dikatakan ia memiliki peran ganda, dimana
selain berkewajiban mengurus rumah tangga, ia juga berperan sebagai anggota kepolisian. Frieze
dkk (1972) menyebutkan bahwa wanita dengan peran ganda adalah mereka yang bekerja dan
menjalankan perannya sebagai istri, ibu, ibu rumah tangga, dan pekerja.
Seorang Polwan memiliki peran baik didalam pekerjaan maupun didalam keluarganya,
dimana tuntutan antara pekerjaan dan keluarga tidak selalu sejalan sehingga dapat menimbulkan
konflik peran. Sesuai dengan kodratnya sebagai seorang ibu dan istri, perubahan demografi
wanita yang berkarir menimbulkan sebuah konflik peran pada sebagian wanita yang bekerja.
Pergeseran kodrat wanita dari seorang ibu rumah tangga dan seorang istri menjadi wanita bekerja
menjadikan banyak keluarga dewasa ini mempunya konsep “dual career”.
Konflik peran berhubungan sangat kuat dengan depresi dan kecemasan yang diderita oleh
wanita dibandingkan pria (Frone, 2000). Dan berhubungan juga dengan peran tradisional wanita
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 9
yang hingga saat iini tidak bisa dihindari, yaitu tanggung jawab dalam mengatur rumah tangga
dan membesarkan anak. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari
beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru
dan deadline. Tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani
tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi
keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota lain
(Yang, Chen, Choi & Zou, 2000).
Konflik peran inilah yang mesti diperhatikan sebagai faktor pembentuk terjadi stres di
tempat kerja, meskipun ada faktor di luar organisasi, seharusnya organisasi juga memperhatikan
hal ini. Karena pengaruh konflik peran terhadap kinerja Polwan dalam organisasi Polri tersebut
dan dapat berdampak pada pekerjaan yang dilakukannya. Konflik pekerjaan-keluarga
mempunyai pengaruh yang dapat menurunkan kualitas kehidupan rumah tangga dan keluarga
serta mengganggu aktifitas pekerjaan (Kinnunen dan Mauno, 2998).
Sebagian besar Polwan terutama yang telah menikah, sering kali terpaksa harus
dihadapkan pada dilema atau konflik antara memilih karir sebagai salah satu tujuan hidup atau
menjadi ibu rumah tangga yang baik yang selalu siap mengasuh dan melayani kebutuhan suami
serta anak-anaknya (Wardhana, 1999). Sedangkan menurut Newman (dalam Wardhana 1999)
penyebab konflik peran yang dominan adalah banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dan
kelelahan fisik serta emosional akibat pekerjaan. Konflik peran ini timbul karena adanya
ketidakseimbangan antara pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga yang dapat
menyebabkan timbulnya masalah (Cascio 1998).
Peran, dengan tuntutannya masing-masing, jika saling bertentangan atau tidak sesuai
akan menimbulkan konflik peran (Shaw dan Costanzo, 1985) mendefinisikan konflik peran
sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara harapan-harapan yang diasosiasikan dengan beberapa
posisi yang dimiliki seseorang (konflik antarperan) atau ketika terjadi ketidaksesuaian mengenai
harapan yang diasosiasikan dengan satu posisi yang dimiliki oleh seseorang (konflik intraperan).
Individu yang dapat membagi waktu antara waktu dan tenaganya dengan proporsi yang
seimbang antara pekerjaan dan keluarganya, nampaknya memberikan toleransi terhadap keadaan
yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan banyak keluhan dan keberatan (Organ et
al, 2006). Baltes & Heyden-Gahir (Spector, 2006) menyatakan konflik peran adalah suatu bentuk
konflik peran ekstra di mana tuntutan pekerjaan mengganggu tuntutan keluarga, misalnya harus
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 10
menghabiskan waktu di tempat kerja lebih banyak daripada di rumah. Parrewe dan Hichwart
(Kinicki, 2008) mengungkapkan bahwa munculnya konflik peran disebabkan adanya benturan
antara value similarity dan value congruence. Value similarity diartikan sebagai tingkat
kesepakatan diantara anggota keluarga mengenai nilai-nilai yang ada dalam keluarga tersebut,
sedangkan value congruence merupakan sejumlah nilai-niai yang disepakati antara karyawan
dengan organisasi. Konflik peran tersebut yang akan mempengaruhi tingkat kepuasan hidup
individu baik sebagai karyawan maupun sebagai anggota keluarga.
Dilema yang dialami Polwan dalam memprioritaskan tanggung jawabnya dapat
mengarah pada konflik peran. Apabila Polwan tersebut memandang konflik peran sebagai suatu
hal yang positif atau tantangan yang menyenangkan, maka Polwan tersebut akan beradaptasi dan
mengatur waktu dan tenaga sedemikian rupa agar mampu menyelesaikan kedua tuntutan
tersebut.
Selain hal tersebut, Polwan masih harus menghadapi tantangan lainnya, perbedaan fisik
dan kondisi psikis pada laki-laki dan perempuan adalah kondisi alamiah yang membuat mereka
tidak bisa disamakan. Apalagi karena fisik, menurut pemikir feminis Beauvoir dalam The Second
Sex, perbedaan fisik tidak semestinya menjadi argumen melakukan dikotomi terhadap
perempuan. Polwan di Indonesia lebih mudah dijumpai di kantor daripada di lapangan. Mereka
bekerja sebagai staf kantor seolah-olah telah diseting sejak awal. Pos-pos yang mereka tempati
juga pos ‘istimewa’, seperti administrasi surat-surat kendaraan, pembuatan SIM, atau uji
kesehatan. Dikotomi terhadap peran Polwan juga dapat ditemukan dengan mengamati pejabat
teras Polri. Jabatan-jabatan strategis, baik di Mabes maupun Polda, masih didominasi laki-laki.
Selama 63 tahun Polri eksis jabatan strategis di lingkungan Polri diwariskan dari laki-laki satu ke
laki-laki lain. Dalam catatan, hanya Brigjen (Pol) Rumiyah (kapolda Banten) perempuan yang
pernah menjabat sebagai Kapolda (Ismanuddin, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai konflik peran pada polisi
wanita serta mengetahui faktor yang mempengaruhi konflik peran tersebut.
I.B. Rumusan Masalah
Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran konflik peran ganda polisi wanita
2. Faktor yang mempengaruhi konflik peran yang dialami polisi wanita
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 11
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untu mendapatkan bagaimana gambaran konflik peran pada
anggota polisi wanita serta faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik peran tersebut.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan perluasan
teori dibidang psikologi yakni mengeni konflik peran pada wanita bekerja, yaitu anggota polisi
wanita. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian di
bidang psikologi industri dan organisasi, sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan
sebagai bahan penunjang penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai resiliensi remaja putri
yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil kepada peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin
meneliti mengenai resiliensi remaja putri.
b. Bagi Polri
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Polri sebagai organisasi terutama berkaitan
dengan hal-hal yang menyangkut konflik peran yang dialami oleh anggota polisi wanita sehingga
tidak menurunkan performansi kerja mereka.
c. Bagi Polwan
Dapat menjadi masukan dan informasi yang berkaitan konflik peran ganda yang dialami
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
d. Bagi Anggota Keluarga Lainnya
Dapat menjadi masukan bahwa konflik peran berpengaruh terhadap kinerja, sehingga
keluarga dapat memberikan dukungan agar tidak menimbulkan stres dalam pekerjaanya.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 12
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden
penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu
pengumpulan data serta prosedur penelitian.
BAB IV : DESKRIPSI DATA DAN ANALISA
Deskripsi data dan analisa berisi pendeskripsian data, dan analisa data yang
diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data
penelitian sesuai dengan teori yang relevan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian, diskusi
mengenai hasil penelitian yang ada serta saram-saran yang dianjurkan mengenai
penelitian ini.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 13
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. POLRI
II.A.1. Pengertian Kepolisian
Kepolisian berasal dari istilah polisi yang beragam penyebutannya di setiap negara.
Istilah polisi pertama kali berasal dari Yunani yakni politeia dari tokoh Plato yang berlatar
belakang pemikiran bahwa suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan citacitanya, suatu negara
yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi
(Azhari, 1995). Kemudian dengan banyaknya negara di wilayah Eropa yang didasarkan pada
pemerintahan raja absolut, berkembanglah ide negara polisi (polizeistaat). Negara polisi
mengenal dua konsep polisi di dalamnya yakni polisi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan,
dan polisi sebagai penyelenggara perekonomian atau semua kebutuhan hidup bagi warga
negaranya (Azhari, 1995).
Kepolisian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sebagai hal yang bertalian
dengan polisi. Pengertian polisi itu sendiri adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang melanggar undang-undang dan sebagainya),
serta diartikan sebagai anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga
keamanan dan sebagainya) (KBBI, 2008). Selanjutnya Momo Kelana (1972) mengatakan bahwa
istilah polisi memiliki dua arti. Pertama, polisi dalam arti formal yang mencakup organisasi dan
kedudukan suatu instansi kepolisian. Kedua, polisi dalam arti material yang memberikan
jawaban-jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam menghadapi gangguan
ketertiban dan keamanan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2
(selanjutnya disebut UU Kepolisian) dinyatakan bahwa “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang
berkaitan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pengertian
tersebut memiliki dua makna yakni lembaga kepolisian dan fungsi kepolisian. Lembaga
kepolisian adalah suatu organ pemerintah terorganisasi dan terstruktur yang ditetapkan sebagai
suatu lembaga serta diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan
perundangan-undangan. Sedangkan fungsi kepolisian dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 14
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Kepolisian merupakan sebuah
organisasi yang berfungsi sebagai penjaga keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat.
II.A.2. Fungsi Kepolisian
Fungsi polisi secara umum adalah untuk menjalankan kontrol social masyarakat yang
bersifat preventif dan represif, dalam bahasa Perancis dikenal dengan istilah la police
administration. Fungsi preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan,
pengayoman, pelayanan pada masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum
(Rahardjo, 2007)
Selanjutnya fungsi POLRI di dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian ditegaskan
pula dalam Pasal 4 UU Kepolisian bahwa POLRI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Selain itu, POLRI berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Singkatnya, POLRI memiliki dua fungsi yakni fungsi
preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan, pengayoman, pelayanan pada
masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum (Sadjijono, 2008)
Fungsi dan tujuan POLRI di atas meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia,
sehinga untuk pelaksanaannya terbagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan
tugas POLRI (Pasal 6 UU Kepolisan). Pembagian daerah hukum POLRI berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 23 tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 15
1. Daerah hukum tingkat pusat yang disebut dengan Markas Besar POLRI (Mabes POLRI).
Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin
oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Daerah hukum tingkat provinsi yang disebut dengan Kepolisian Daerah (POLDA) yang
dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri.
3. Daerah hukum tingkat kabupaten/ kota yang disebut dengan Kepolisian Resort
(POLRES) yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang bertanggungjawab kepada
Kapolda.
4. Daerah hukum tingkat kecamatan yang disebut Kepolisian Sektor (POLSEK) yang
dipimpin oleh seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres.
5. Daerah hukum tingkat desa atau kelurahan yang disebut Pos Polisi yang dipimpin oleh
seorang Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi daerahnya.
II.A.3. Polisi Wanita
Rintisan pembentukan tenaga polisi wanita timbul setelah dirasa perlu petugas wanita
dalam mengangani wanita dan anak-anak. Pendidikan bagi polisi wanita pada awalnya dimulai
pada tanggal 1 September 1948 yang kemudian ditetapkan sebagai hari ulang tahun polisi
wanita. Seiring dengan berjalannya waktu, tugas polisi wanita terus berkembang sehingga tugas
tersebut tidak lagi dapat dipisahkan dengan tugas poliss lainya yaitu sama-sama menjadi aparat
Negara yang menjalankan tugas sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum dalam
masyarakat.
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/09/x/1998 bahwa pembinaan polisi
wanita dilaksanakan oleh bagian Polwan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya
kepada Direktorat Persoel. Pada aspek pembinaan personel yang menggunakan prinsip bahwa
setiap polisi wanita memiliki kesempatan yang sama dengan polisi pria baik yang menyangkut
kesempatan tugas maupun dalam memenuhi hak serta kewajibannya, namun bagi polisi wanita
tetap diperhatikan sifat kodratinya wanita serta dihargai harkat dan martabatnya seperti polisi
wanita yang sudah menikah sedapat mungkin ditempatkan sedaerah dengan suaminya. Selain itu
polisi wanita mendapatkan tunjangan khusus seperti baju hamil, keperluan kosmetik (diterima
dalam bentuk uang), tas juga sepatu.
Tugas dari polisi wanita penempatannya pada semua bidang baik di bidang operasioanl
seperti lalu-lintas, Serse maupun Administrasi dan Bagian Pembinaan seperti Personel, Logistik,
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 16
Denma, Lemdik dan ada pula penempatan di luar Polri seperti di DPR/MPR, Sekolah Taruna
Nusantara, dan PT KAI (www.Polri.co.id).
II.A.4. Tugas dan Fungsi Polwan
Seolah menafikan dan tak mengakui keniscayaan akan keterlibatan perempuan dalam
profesi polisi, ternyata perempuan sudah berkiprah dalam dunia kepolisian sebagai polisi wanita
di Indonesia selama lebih dari 61 tahun. Meski dalam kenyataannya tugas mereka baru sebatas
pada bidang administratif, tetapi keberadaan mereka yang sudah enam dasawarsa tidak bisa
dikesampingkan. Sifat khas dari seorang perempuan membuat Polwan dibutuhkan dalam
penanganan kasus-kasus tertentu. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya,
korban terbesar adalah perempuan. Untuk menghindari trauma terhadap laki-laki, maka korban
KDRT memerlukan pendamping selama pemeriksaan penyidikan. Polwan adalah pilihan tepat
guna memperoleh keterangan-keterangan dalam proses penyidikan maupun pemulihan kondisi
psikologis korban (Rizal, 2010).
Kehadiran Polwan diperlukan pula pada penanganan kasus kekerasan seksual pada
wanita (perkosaan). KUHP menyebutkan, yang dimaksud korban perkosaan adalah perempuan.
Dengan kehalusan perasaan dan empati Polwan, diharapkan dapat memperoleh informasi yang
tepat dari korban dalam pembuatan berita acara pemeriksaan (Sulistiyono, 2007). Kemudian
dalam pelaksanaan tugas penggeledahan, guna kepentingan penyidikan, penyidik dapat
melakukan penggeledahan, baik tempat maupun badan. Disyaratkan dalam penjelasan Pasal 37
KUHAP bahwa pemeriksaan hingga rongga badan perempuan dilakukan oleh petugas
perempuan atau dari petugas kesehatan. Jelas, upaya tersebut dibutuhkan kehadiran Polwan.
Maraknya unjuk rasa anarkis sekarang ini, juga membuat pimpinan Polri mempertimbangkan
penempatan Polwan di garis terdepan. Pengunjuk rasa akan segan untuk menghujat,
mengeluarkan kata-kata kasar, atau niat untuk bertindak anarkis jika di depannya adalah seorang
wanita. Dalam pelaksanaan tugas rutin, Polwan juga banyak terlihat di jalan raya. Masih
banyaknya komplain dari masyarakat mengenai pelayanan bidang lalu lintas, membuat Polwan
keluar dari "sarangnya", mereka tidak lagi hanya berkutat hanya berada di kantor mengurus
bidang administrasi. Selanjutnya Sulistiyono menggambarkan Polwan ibarat sapu pembersih
lantai, Polwan adalah sapu yang masih bersih. Kenakalan petugas maupun sopir di jalan raya
akan tereduksi dengan kehadirannya. Niatan kolusi para sopir yang melakukan pelanggaran akan
berkurang, jika sudah berhadapan dengan sosok Polwan (Rizal, 2010).
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 17
II.B. KONFLIK PERAN GANDA
II.B.1. Pengertian Konflik Peran Ganda
Irwanto (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan konflik adalah beberapa
kebutuhan yang muncul secara bersamaan. Setiap manusia memiliki bebrapa kebutuhan yang
muncul secara bersamaan, maka konflik dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu konflik atau
pertentangan dalam sekelompok orang atau masyarakat. Greenhaus dan Beutell (1985)
mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-
tekanan dari pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain. Seseorang akan
menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi
mereka, oleh karena itu mereka bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya. Hal ini bisa
meningkatkan kesempatan seseorang untuk mengalami konflik peran.
Robbin (2001) menyatakan konflik adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk mengimbangi usaha-usaha orang lain dengan cara merintangi yang menyebabkan frustrasi
dalam mencapai tujuan atau meningkatkan keinginannya. Konflik juga dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang di dalamnya terdapat ketidak cocokan maksud antara nilai-nilai atau
tujuan-tujuan, berpacu menuju tujuan dengan cara yang tidak atau kelihataanya kurang sejalan
sehingga yang satu berhasil sementara yang lainnya tidak.
Frone, Russell&Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga sebagai
konflik peran yang terjadi pada karyawan, di mana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di
kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan
antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan
mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan
pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya, keluarga mengganggu
pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan
keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika
kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti
masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan
kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya
atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.
Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka diantara
kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Muncul sebuah pandangan bahwa
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 18
perempuan ideal adalah superwoman dan supermom yang sebaiknya memiliki kapasitas yang
dapat mengisi bidang domestic dengan sempurna dengan bidang public tanpa cacat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang mengalami konflik
peran ganda adalah adanya dua peran sekaligus yang harus dijalankan oleh wanita tersebut, yaitu
sebagai istri, ibu dan sebagai wanita yang bekerja.
II.B.2. Sumber-Sumber Konflik Peran Ganda
Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami konflik
peran ganda akan merasakan ketegangan dalam bekerja. Konflik peran ini bersifat psikologis,
gejala yang terlihat pada individu yang mengalami konflik peran ini adalah frustrasi, rasa
bersalah, kegelisahan, keletihan. Faktor-faktor penyebab konflik peran ganda, diantaranya:
1) Menghabiskan terlalu banyak waktu untuk pekerjaan.
2) Stres yang diakibatkan salah satu peran dan berdampak pada peran lainnya.
3) Kecemasan dan kelelahan
4) Perilaku yang efektif untuk salah satu peran namun tidak efektif untuk peran lainnya.
(Greenhaus dan Beutell, 1985).
Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang
berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline.
Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani
tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya
keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan
terhadap anggota lain (Yang,Chen, Choi, & Zou,2000). Faktor pemicu munculnya konflik peran
ganda (work-family conflict) dapat bersumber dari domain tempat kerja dan keluarga. Tekanan-
tekanan tersebut berhubungan positif dengan konflik pekerjaan-keluarga. Menurut Frone et.al.
(1992), tekanan pekerjaan meliputi beban pekerjaan, kurang diberi otonomi dan kerancuan peran.
Sedangkan tekanan dari domain keluarga menggambarkan individu yang berperan sebagai orang
tua dan pasangan suami isteri (Parasuraman et.al, 1992). Kedua peran tersebut mengarah pada
kualitas peran masing-masing yaitu hubungan antara orangtua – anak dan hubungan suami –
isteri.
Menurut Gibson, dkk (1995) konflik peran terjadi apabila seseorang dihadapkan pada
situasi dimana terdapat dua atau lebih persyaratan untuk melaksanakan peran yang satu dan
dapat menghalangi pelaksanaan peran yang lain. Sedangkan menurut Davis dan Newstrom
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 19
(1995) konflik peran merupakan perbedaan persepsi terhadap suatu peran yang disebabkan
sulitnya untuk mengungkapkan harapan-harapan tertentu tanpa memisahkan harapan yang lain.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan konflik peran ganda (Work-Family
Conflict) adalah suatu kondisi di mana terjadi pertentangan pada seorang individu yang
diharuskan memilih dua peran atau lebih secara bersamaan.
II.B.3. Dimensi-Dimensi Konflik Peran Ganda
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-
directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari :
1) Work-family conflict
Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu
tanggung jawab terhadap keluarga. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005)
mendeskripsikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana
secara umum permintaan, waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan
mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Jadi dapat disimpulkan work-family
conflict sebagai konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang
mengganggu tanggung jawab keluarga dimana secara umum permintaan waktu dan
ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga.
2) Family-work conflict
Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu
tanggung jawab terhadap pekerjaan. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005)
mendeskripsikan family-work conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana
secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung
jawab pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan family-work conflict adalah konflik yang
muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab
terhadap pekerjaan dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam
keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan.
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi dari konflik peran
ganda muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work-family
conflict maupun family-work conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yaitu: time-based
conflict, strain-based conflict, behavior-based conflict.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 20
II.B.4.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Stoner et al. (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
peran ganda, yaitu:
1) Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin
sedikit waktu untuk keluarga
2) Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak
konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.
3) Job satisfaction, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin
sedikit.
4) Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi
yang negatif terhadap pernikahannya.
5) Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi
konflik peran ganda seseorang.
II.C.Konflik Peran Ganda Polisi Wanita
Polisi wanita adalah seseorang yang pekerjaannya memberikan pelayanan terhadap
masyarakat. Profesi sebagai polisi wanita yang termasuk dalam elemen Kepolisian Republik
Indonesia atau POLRI bertugas sebagai aparat penegak hukum, pelindung dan pengayom
masyarakat. Kemampuan kerja yang baik sebagai pelayan masyarakat, dilandasi oleh
kedisiplinan tinggi dan jiwa kejuangan merupakan kebijakan dan keinginan institusi Polri untuk
memberikan pelayanan terbaik terhadap seluruh masyarakat. Jadi dengan demikian polisi wanita
mempunyai tugas ganda yaitu di satu sisi sebagai polisi dengan segala tugasnya dan di sisi lain
sebagai wanita. Sebagai wanita, polisi wanita tetap dituntut melaksanakan konsep peran
tradisional mereka yang menurut Ancok (1995) seorang wanita mempunyai tugas harus melayani
keperluan suami dan anak-anaknya, mengasuh anak menurut pola yang dibenarkan masyarakat
dan mengatur segala urusan rumah demi terselenggaranya tata laksana rumah tangga yann baik.
Dengan adanya peran ganda tersebut, maka polisi wanita lebih banyak dihadapkan pada
tantangan, permasalahan dan kesulitan, mengingat polisi wanita dituntut mengutamakan
kepentingan dinas dari pada kepentingan pribadi, patuh dan taat pada pimpinan, serta senantiasa
melaksanakan perintah (Candi, 2001). Berkaitan dengan dinamika dan fenomena kerja polisi
wanita yang memiliki peran ganda serta berbagai hambatan yang muncul sering kali
menimbulkan konflik yang berarti bagi polisi wanita. Permasalahan yang sering timbul pada
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 21
wanita yang memiliki peran ganda adalah peran sebagai wanita dalam rumah tangga dan tetap
membina karir.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.A. METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan suatu studi atau penelitian, para peneliti memakai beberapa
pendekatan yang mempermudah proses penelitian dan menghasilkan tujuan yang ingin di capai
dari penelitian tersebut. Salah satu pendekatang yang sering digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan ini umumnya dikenal sebagai pendekatan yang mengukur suatu gejala
secara fenomenologis.
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sering dipakai dalam bidang studi atau
penelitian tentang manusia dan berbagai bentuk tingkah lakunya. Pendekatan ini digunakan
karena banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi penghayatan terhadap
berbagai pengalaman pribadi (Poerwandari, 2007). Menurut Bogdan & Taylor (dalam
Poerwandari, 2007). Pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan tidak
dinilai benar-salah atau iya-tidak. Penelitian ini lebih mementingkan segi proses daripada hasil.
Penelitian mengenai konflik peran ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena pendekatan ini dapat memahami
gejala tingkah laku yang nyata dan emosi manusia menurut penghayatan individu, dengan kata
lain melalui sudut pandang subjek penelitian. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti dapat
menggali lebih dalam bagaimana konflik peran yang dialami oleh anggota Polisi wanita yang
bertugas di Polresta X. Jenis pendekatan kualitatif yang digunakan adalah kualitatif deskriptif
yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai konflik peran pada polisi wanita yang
bertugas di Polresta X.
III.B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal
yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2007).
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 23
Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang di buat berdasarkan pada sumber
dan factor konflik peran yang ingin di ketahui. Pedoman wawancara tersebut terlebih dahulu
telah di standarisari oleh profesional judgment. Kegunaan pedoman wawancara tersebut adalah
untuk mengingatkan peneliti mengenai hal-hal yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar
pengecek (checklist) apakah sumber serta faktor tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat
proses wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku responden
penelitian (Poerwandari, 2007). Tujuan dilakukannya observasi adalah sebagai crosscheck
terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh subjek penelitian secara verbal.
III.C. RESPONDEN PENELITIAN
III.C.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita, dengan karakteristik
sebagai berikut :
- Bertugas di Polresta X
- Menduduki posisi strategis di organisasi Polri
- Masa kerja minimal 5 tahun dan sudah menikah serta mempunyai anak
III.C.2. JUMLAH RESPONDEN
Prosedur penentuan jumlah responden penelitian dalam penelitian kualitatif menurut
Sarankatos (dalam Poerwandari, 2007) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan
secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik
responden, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak
diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada
kecocokan konteks; (3) responden tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada
kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Banister dkk. (dalam Poerwandari,
2007) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman proses, penelitian kualitatif
cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila
secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan
bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang sangat mendalam. Sesuai
dengan pernyataan tersebut, jumlah responden penelitian dalam penelitian ini satu orang,
disebabkan keterbatasan waktu yang penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sehingga tidak
memungkinkan peneliti untuk meneliti dengan jumlah responden yang lebih banyak.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 24
Dan dengan jumlah responden tersebut, diharapkan akan dapat memberikan deskripsi
tentang konflik peran yang dialami wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita.
III.C.3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik snowball-sampling. Dimana peneliti akan meminta
rujukan kepada responden sebelumnya mengenai responden kedua yang memiliki karakteristik
yang sama dengan responden pertama.
III.C.4. LOKASI PENELITIAN
Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah Medan, dengan alasan fenomena yang
sedang diteliti berada di daerah tersebut.
III.D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2007) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian,
mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis,
menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian.Dalam mengumpulkan data-data
penulis membutuhkan alat Bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan dua alat bantu, yaitu :
1. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari
tujuan penelitian.Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi
juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
2. Alat Perekam
Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat
berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat
jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat
dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada
saat wawancara berlangsung.
3. Lembar Observasi
Peneliti membuat lembar observasi yang sederhana untuk mencatat apa saja yang
diobservasi selama wawancara berlangsung baik responden penelitian atau kondisi
lingkungan selama wawancara.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 25
III.E. PROSEDUR PENELITIAN
III.E.1. TAHAP PERSIAPAN
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan
untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), sebagai berikut :
- Mengumpulkan data
- Menyusun pedoman wawancara
- Persiapan untuk mengumpulkan data
- Membangun rapport dan menyusun jadwal wawancara
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, peneliti memasuki beberapa tahap
pelaksanaan penelitian, antara lain:
- Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
- Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
- Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim
- Melakukan analisa data
- Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat
bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum
wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang
akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan
secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang
dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.
III.F. PROSEDUR ANALISA DATA
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:
1. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding
dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan
mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik
yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 26
penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan
prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan
bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang
diperolehnya (Poerwandari, 2007).
2. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang
sistematis memungkinkan peneliti untuk :
- Memperoleh data yang baik
- Mendokumentasikan analisis yang dilakukan
- Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan
lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip
wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi
umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
3. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola” yang pihak lain
tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak
dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode
informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang
kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara
gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat
mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.
Peneliti menggunakan analisis tematik berdasarkan konflik peran yang diutarakan di bab
II.
4. Tahapan Interpretasi
Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya
memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks
interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu pertama, konteks
interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha
memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh responden
penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Kedua,
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 27
konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (critical commonsense understanding)
terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya.
Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis. Konteks pemahaman teoritis adalah
konteks yang paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu
digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi
konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum. Dalam penelitian ini,
tahapan interpretasi menggunakan konteks ketiga yakni interpretasi pemahaman teoritis.
Peneliti akan menginterpretasi data-data berdasarkan teori-teori di bab II.
5. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dalam penelitian kualitatif dugaan muncul
setelah data-data wawancara dikumpulkan. Dengan mempelajari data, kita
mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan
sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji
ketepatannya dengan mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari dugaan yang
muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang
berbeda-beda mengenai data yang sama.
III.G. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk
menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan
kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan
merupakan interaksi berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.
Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan
mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok
sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan
objektifitas penelitian ini, yaitu dengan:
1. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini
adalah wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita.
2. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara berlangsung
responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada
saat wawancara.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 28
3. Membuat pedoman wawncara berdasarkan sumber dan faktor resiliensi. Kemudian
melakukan standarisasi pedoman wawanncara dengan professional judgement. Pada
penelitian ini, professional judgment adalah dosen pembimbing penelitian ini.
4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data
yang akurat.
5. Selama wawancara, peneliti menanyakan kembali beberapa pertanyaan yang dirasa butuh
penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara berikutnya untuk memastikan
keakuratan data responden.
6. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini
memungkinkan peneliti mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang responden
penelitian.
7. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang
kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses
penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan
kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.
8. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara
yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 29
BAB IV
DESKRIPSI DATA DAN ANALISA
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk
mempermudah pembaca maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-responden.
Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman
wawancara.
Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu untuk
mempermudah diperolehnya pembahasan yang jelas dan utuh. Contoh kode yang digunakan
adalah R.1/W.1/b.88-89/h.2, maksud kode ini adalah kutipan pada responden 1, wawancara 1,
baris 88 sampai 89, verbatim halaman 2.
Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara kedua responden pada penelitian ini :
No Responden Tanggal Waktu Tempat
1 I 04-12-13 13.00-14.00 Ruang Kerja
2 11-12-13 13.00-13.45
A. Responden I
Deskripsi Data Responden I
B. Deskripsi Data
Responden merupakan anggota Bhayangkara Wanita berpangkat Ajun Komisari Besar
Polisi (AKBP) dan memangku jabatan terakhir sebagai Kapolres Binjai. Selain sebagai seorang
anggota Bhayangkara Wanita, responden juga sebagai istri dari anggota polisi dan ibu dari tiga
orang anak. Disamping perannya sebagai pimpinan, responden juga memiliki peran sebagai ibu
rumah tangga dan istri.
No Identitas Responden
1 Nama : Tante Bunga Usia : 40 Tahun
Agama : Kristen Pendidikan Terakhir : S1
Domisili : Medan Jabatan Terakhir : Kapolres Binjai
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 30
Pengambilan data pertama dilakukan pada tanggal 4 Desember 2012 diruangan kerja
responden. Pada saat peneliti memasuki ruangan kerja responden, terlihat ruangan kerja tersebut
tertata dengan apik. Terlihat responden sedang duduk dimeja kerjanya dan sedang memeriksa
beberapa dokumen yang ada dihadapannya. Responden mempersilakan peneliti duduk di sofa
ruang kerjanya yang berwarna coklat manis tersebut sembari berpindah tempat dan duduk
disamping peneliti. Pengambilan data kedua yaitu tanggal 11 Desember 2013 tidak jauh berbeda
dengan proses pengambilan data pertama. Hanya saja pada saat itu peneliti harus menunggu
sebentar disebabkan responden sedang melaksanakan rapat untuk membahas gelar Ops Lilin
Toba 2013.
Peran ganda yang dialami responden membuat responden kesulitan membagi waktu
antara memenuhi perannya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya serta perannya sebagai salah
satu pimpinan dari institusi kepolisian. Tuntutan anak-anak yang selalu meminta responden
memenuhi perannya sebagai ibu dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan responden siap
sedia selama 24 jam jika ada sesuatu kondisi urgent yang memintanya untuk turun ke lapangan.
Factor-faktor seperti size family, family size, job satisfaction, marital and life satisfaction, size of
firm dapat menjadi sumber konflik peran ganda bagi responden.
C. Deskripsi Sumber Konflik Peran Ganda
Ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan diluar rumah tentu akan merasakan yang
namanya konflik peran ganda. Antara menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga serta
melayani suami dan perannya sebagai karyawan ditempat kerjanya. Tak jarang kedua peran
tersebut menjadi sumber konflik bagi wanita yang bekerja dan juga sebagai ibu rumah tangga.
Seperti responden dalam penelitian ini, selain menjalankan peran sebagai ibu dan istri
dirumahnya, ia juga harus berperan sebagai atasan dikantor tempat dirinya bekerja. Waktu yang
tersita karena pekerjaan, stress yang dialami karena kedua peran, ketegangan yang ditimbulkan
salah satu peran serta perilaku yang kurang afektif bagi salah satu peran yang dijalani merupakan
sumber konflik peran ganda yang terjadi.
1. Menghabiskan Terlalu Banyak Waktu Untuk Pekerjaan
Tuntutan pekerjaan yang terlalu banyak sering kali membuat responden kesulitan untuk
membagi waktu antara mengurus keluarga dan pekerjaannya. Tanggung jawab yang terkadang
memintanya untuk tetap bekerja di luar jam operasional kantor untuk kondisi urgent dirasanya
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 31
terlalu memotong jam berkumpulnya bersama keluarga, namun harus tetap dilakukan demi
mengemban tugasnya sebagai seorang atasan.
“Kadang suka bingung sama kebijakan pimpinan nih. Sulit ketebaknya. Kadang itu sih
yang bikin stress, pas mau sama keluarga tiba-tiba harus ngerjain kerjaan kantor. Padahal diluar jam kerja.” (W1.R1.041213/b.65-70)
Responden mengatakan jika hal tersebut terjadi, urusan keluarga menjadi terbengkalai,
sehingga waktu berkumpul pun menjadi berkurang.
“Apalagi polwan, sudah menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu
jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya.” (W1.R1.041213/b.74-79)
2. Stres yang Diakibatkan Salah Satu Peran dan Berdampak Pada peran lainnya.
Banyaknya tanggungjawab dikantor yang harus diselesaikan tak urung membuat
responden merasa bingung bingung sendiri untuk memilah mana yang perlu diutamakan.
Tugasnya sebagai ibu dan istri kadang bertentangan dengan tugasnya sebagai anggota
Bhayangkara yang harus siap sedia 24 jam untuk masyarakat.
“Kalau kerjaan menyita waktu, atau kalau harus memenuhi panggilan pimpinan padahal
udah malam. Kan kasian anak-anak.” (W1.R1.041213/b.130-132)
Stress yang dialami responden tentu memiliki efek baik terhadap kinerjanya maupun
terhadap keluarganya. Hal tersebut juga diakui oleh responden.
“Ya kadang begitu.. kalau udah stress dikantor sama kerjaan, paling om yang jadi bulan- bulanannya. Kalau stress karena urusan keluarga, anak rewel, anggotalah yang kadang
kena atau kerjaan yang tidak beres.” (W2.R1.111213/b.234-238)
3. Kecemasan dan Kelelahan yang Dialami Karena Salah Satu Peran
Responden mengatakan dirinya punya batas lelah yang kadang ia rasakan saat bekerja
sehingga terkadang berdampak buruk terhadap kehidupan keluarganya dan perannya sebagai ibu
maupun istri dirumah. Pekerjaan yang nemumpuk dan tantangan serta tanggung jawabnya
sebagai pelayan masyarakat membuatnya terkadang menjadi tegang dan kelelahan.
“Terkadang Nda, capek, lelah, tegang. manusiawi lah itu kalau tante mikirnya. Tante juga punya batas capek.”
(W2.R1.111213/b.230-232)
4. Perilaku yang Efektif untuk Satu Peran dan Tidak Efektif untuk Peran Lain
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 32
Responden memiliki tanggungjawab responden yang besar terhadap institusinya serta
perannya sebagai pelayan masyarakat, akan tetapi disisi lain dirinya juga harus
bertanggungjawab terhadap keluarganya. Tanggungjawabnya sebagai ibu dan istri yang harus
mengurusi segala keperluan rumah tangga membuat dirinya harus lihai dalam membagi waktu.
Akan tetapi kadang kala ada situasi yang membuat dirinya harus memilih peran mana
yang harus diutamakan, sehingga terkadang ada saja perilakunya yang tidak sesuai dengan
tanggungjawabnya sebagai Polisi Wanita ataupun sebagai ibu.
“kadang anak-anak pengen dijemput sama tante kalau pulang sekolah itu, tapi kan tante
enggak bisa. Atau kadang ada acara merekanya. Yang lebih sedih itu kalau ada yang sakit. Mau ninggalin enggak tega, mau bolos paling setelah jam apel. Hilang-hilang dari kantor.”
(W1.R1.041213/b.19-24)
D. Deskripsi Dimensi Konflik Peran Ganda
1) Work-family conflict
Peran responden sebagai Polisi wanita dengan semboyan menjadi pelayan masyarakat,
mau tidak mau menuntut responden harus siap sedia 24 jam demi masyarakat. Disamping
perannya sebagai pelayan masyarakat, responden juga memiliki peran sebagai ibu untuk tiga
buah hatinya serta istri bagi suaminya.
Pekerjaan yang bersifat urgent terkadang harus dilalui responden dengan mengorbankan
waktu bersama keluarga demi pekerjaannya. Tak jarang responden juga harus menghadapi
celotehan anak-anaknya yang meminta dirinya menemani aktifitas mereka namun dirinya juga
harus mengutamakan pekerjaanya sebagai pelayan masyarakat, dan hal tersebut membuat
responden merasakan stress.
“apalagi kalau udah harus berhadapan dengan pekerjaan yang lumayang berat ya. Terus pimpinan juga skarang ini ketat betul, anak-anak rewel.”
(W1.R1.041213/b.11-14)
Responden merasa pekerjaannya sebagai polisi menyita waktunya untuk bersama
keluarganya, terlebih lagi suaminya yang juga seorang polisi memiliki kesibukan yang sama
dengan dirinya. Waktu berkumpul mereka bersama anak-anak mereka menjadi sedikit karena
harus bekerja dan harus bersiap selama 24 jam ketika ada keadaan darurat yang meminta mereka
untuk turun langsung ke lapangan. Dan hal tersebut membuat responden merasa dilemma untuk
mengutamakan pekerjaan atau keluarganya.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 33
“..Kadang sedih juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah.
Kalau bahasanya anak-anak jaman sekarang galau.” (W1.R1.041213/b.42-46)
Dengan tanggungjawab yang besar terhadap masyarakat, responden terkadang mau tidak
mau harus mengorbankan waktunya bersama keluarga demi pekerjaannya. Akan tetapi
responden merasa sedikit bingung dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pimpinannya
sehingga semakin membuat waktunya bersama keluarga menjadi berkurang. Beberapa kebijakan
yang diterapkan pimpinannya saat ini kadang mengharuskan responden melakukan pekerjaan
nya diluar jam operasional kantor, dan hal tersebut semakin membuat waktu responden bersama
keluarganya berkurang.
“..kadang suka bingung sama kebijakan pimpinan nih. Sulit ketebaknya. Kadang itu sih yang bikin stress, pas mau sama keluarga tiba-tiba harus ngerjain kerjaan kantor.
Padahal diluar jam kerja Nda.” (W1.R1.041213/b.65-70)
Tak jarang tuntutan pekerjaan yang berlebihan serta tuntutan keluarga yang menuntut
responden hadir ditengah-tengah mereka membuat responden merasa stress. Alhasil, hal tersebut
menimbulkan dampak bagi pekerjaan maupun kehidupan rumahtangga responden. Hal itu
membuat responden terkadang menimbulkan perilaku marah-marah ketika dirinya merasa stress.
“.. kalau udah stress dikantor sama kerjaan, paling om yang jadi bulan-bulanannya.
Kalau stress karena urusan keluarga, anak rewel, anggotalah yang kadang kena atau kerjaan yang tidak beres. Tapi sejauh ini tante mencoba professional Nda.. enggak menutup kemungkinan juga bakal marah-marah..”
(W2.R1.111213/b.234-241)
2. Family-Work Conflict
Sebagai seorang wanita karir, responden tidak melupakan tanggungjawabnya sebagai ibu
dan istri. Walaupun dirasa berat harus mengurusi keduanya, namun diakui responden dirinya
berusaha menjalani kedua pernnya sebaik mungkin. Akan tetapi ada kalanya responden juga
kesulitan membagi waktu antara mengurusi keluarga dan pekerjaannya. Sering kali responden
juga mengilang dari kantornya setelah jam apel pagi untuk mengurusi anaknya, dan hal tersebut
dilakukannya untuk memenuhi perannya sebagai ibu.
“..kadang anak-anak pengen dijemput sama tante kalau pulang sekolah itu, tapi kan tante enggak bisa. Atau kadang ada acara merekanya. Yang lebih sedih itu kalau ada yang sakit. Mau ninggalin enggak tega, mau bolos paling setelah jam apel. Hilang-hilang dari
kantor.” (W1.R1.041213/b.19-25)
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 34
Meskipun keluarganya mendukung responden dalam berkarier, akan tetapi responden
masih sering menerima keluhan dari anak-anaknya tentang kesibukan dirinya. Anak-anak
responden sering mengeluh karena kesibukan pekerjaan yang dijalani responden. Alhasil,
terkadang responden sering menghilang dari jam kantor untuk mengurusi kedua anaknya.
Meskipun demikian, anak responden yang tertua suda mengerti tentang tanggungjawab yang
diemban oleh ibunya.
“Kalau yang besar udah bisa ngerti mamahnya kerja, adek-adeknya yang 2 lagi suka rewel. Apalagi kalau sakit, kadang om sama tante juga sama-sama sibuk. Akhirnya terpaksa lari-lari dari kantor waktu jam kerja.”
(W1.R1.041213/b.49-53)
Kesibukannya sebagai salah seorang atasan di tempat dirinya bertugas, pastilah menyita
waktunya berkumpul bersama keluarga. Belum lagi menurut dirinya terkadang pimpinannya
tidak mengerti kondiri anggota Polwan yang sudah menikah. Responden pun merasakan karena
kesibukannya bekerja diluar rumah, membuat urusan rumah tangganya seperti mengurus ketiga
anaknya menjadi terbengkalai.
“tapi pimpinan juga kan harus paham kondisi anggotanya. Apalagi polwan, sudah
menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti
neneknya atau tantenya…, belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu paling berat, terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.73-83)
Responden selalu menyiasati rengekan anaknya dengan membujuk anak-anaknya. Dan
selalu membawa anak-anaknya jalan-jalan bersama ketika hari libur, hal tersebut dilakukannya
untuk menebus waktunya yang sudah tersita untuk pekerjaannya.
“Ya terpaksa dibujuk-bujuk Ndah. Nanti kalau hari minggu atau hari libur, jalan-jalan. Dibawa kemana mereka mau. HP pun enggak tante aktifkan..”
(W1.R1.041213/b.138-141)
E. Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Wanita yang menjalani peran ganda terkadang harus berhadapan dengan konflik-konflik
yang muncul ketika mereka memilih untuk tetap bekerja setelah menikah. Dalam menjalani
peran ganda tersebut, wanita terkadang harus berhadapan dengan konflik-konflik antara
tanggungjawabnya sebagai seorang pekerja, dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu dan
istri. Berikut adalah factor yang mempengaruhi konflik peran ganda yang dialami wanita bekerja.
1) Time Pressure
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 35
Dalam menjalani perannya sebagai polisi wanita, ibu dan istri, tak dipungkiri dirinya
harus legowo jika waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja dari pada bersama
keluarganya. Perasaan sedih sering hinggap dihati responden ketika harus lebih mengutamakan
pekerjaan daripada keluarganya. Terlebih responden dan suaminya memiliki profesi yang sama,
alhasil sang buah hati pun sering dikesampingkan demi pekerjaan.
“Maklum ajalah, masih anak-anak mereka enggak ngerti kalau mamanya harus kerja. Kadang sedih juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak
ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah. Kalau bahasanya anak-anak jaman sekarang galau.”
(W1.R1.041213/b.40-46)
Berbagai macam kegiatan dan pekerjaan responden yang harus dikerjakannya sebaik
mungkin, agar memberikan hasil yang maksimal dan sesuai dengan semboyan organisasinya,
melayani masyarakat. Walaupun harus merelakan waktu bersama keluarganya demi pekerjaanya
melayani masyarakat.
“Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya..,belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu palingberat,
terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.76-83)
Banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan serta tuntutan dari atasannya, membuat
responden mau tidak mau harus menyelesaikan pekerjaan tersebut terlebih dahulu, meskipun
sudah lewat jam operasional kantor. Padahal pekerjaan tersebut dirasanya bisa dikerjakan
keesokan hari agar tidak mengganggu waktunya berkumpul dengan keluarganya.
“Sekarang keberatan Ndah, karena sering ada aktifitas diluar jam kerja. Yang padahal
bisa dikerjakan besoknya dan tidak mengganggu jam kerja.” (W1.R1.041213/b.86-89)
2) Family Size and Support
Menjalani peran sebagai seorang istri, ibu dan wanita karir bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan, terlebih jika keluarga memberikan dukungan yang minim. Beruntung bagi
responden dirinya mendapat dukungan penuh dari sang suami tercintanya. Apalagi, responden
dan suaminya berada dalam satu organisasi yang sama. Sehingga suaminya sudah mengetahui
tugas, tanggungjawab serta resiko apa saja yang akan dihadapi oleh istri tercintanya.
“kalau Om, udah biasa, udah tau tuntutan kerja seperti apa. Mau complain juga susah.
Nanti malah jadi berkelahi pula, ha ha ha. Kalau om yang complain tante diam aja. Biarin aja.”
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 36
(W1.R1.041213/b.26-30)
“Om sudah tau dari dulu tante ini bekerja, bedanya Cuma tugas polwan sekarang tidak seperti polwan yang dulu Nda. Lebih parah tuntutan yang sekarang, walaupun ya enggak semuanya lah.”
(W1.R1.041213/b.34-38)
3) Job Satisfaction
Beban kerja dan yang dirasa berlebihan serta kebijakan pimpinan yang dirasa terkadang
tidak sesuai dengan keadaan lapangan, terkadang menimbulkan rasa lelah pada diri responden.
Belum lagi pekerjaan yang dirasa responden semakin tidak jelas kemana arahnya.
“Karena reformasi Polri, jadi ya begini ini. Pekerjaan semua harus dikerjakan, tapi tidak
jelas sistemnya seperti apa. Banyak juga yang bingung. Harusnya benahi dulu sistemnya. Ini carut marut.”
(W1.R1.041213/b.93-97)
Kebijakan pimpinan yang dirasa responden terkadang tidak sesuai membuat responden
menjadi bingung ketika bekerja. Ditambah lagi ada oknum polisi wanita yang dirasanya tidak
bekerja dengan maksimal dan hanya menebar pesona ketika bekerja.
“Struktur organisasi jelas banget Ndah. Tapi kerjaan itu yang enggak jelas. Maksud tante, smua itu sudah ada bagian masing-masing, tapi ya begitulah. Mungkin beda pimpinan beda kebijakan juga ya, jadinya rasa gimana”
(W1.R1.041213/b.101-105)
ada polwan yang kerjanya duduk-duduk aja, masih muda, kerja Cuma pamer tampang ya
mbok itu yang diberdayakan. Kenapa yang tua-tua begini yang dikasih porsi kerja paling besar.
(W1.R1.041213/b.107-111)
Sumber daya yang kurang diberdayakan dirasakan responden cukup membuatnya
kesulitan ketika bekerja bersama dengan junior-juniornya. Meskipun sudah diberikan pendidikan
bagi anggota polisi wanita tersebut, akan tetapi responden masih merasa hal tersebut belumlah
cukup.
“Itu diatas kertas ya begitu Ndah. Kenyataannya dilapangan, yang muda muda itu belum bisa bekerja maksimal, kecuali mengeluh. Alhasil pimpinan berang terus yang tua-tua ini yang kena getahnya.”
(W1.R1.041213/b.116-120)
Rasa ketidakpuasan responden juga diutarakannya berhubungan dengan kebijakan
pimpinan yang ia rasakan kurang bisa diterapkan untuk beberapa keadaan lapangan. Dirinya
merasakan jika beberapa kebijakan sangat menyulitkan dirinya ketika terjun ke masyarakat serta
berhadapan dengan tingkah polah masyarakat. Sering kali juga beratnya beban kerja yang
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 37
dirasakannya karena imbas dari kebijakan pimpinan yang kurang tepat tersebut berpengaruh
terhadap kehidupan rumah tangganya.
“Kadang-kadang suka kesal, bukan dengan siapa-siapa. Kadang pimpinan punya
kebijakan sendiri mengenai pekerjaan, tapi yang tahu keadaan lapangan itu kan orang- orang yang turun ke lapangan langsung. Pimpinan kadang Cuma ngasih instruksi. Kesalnya disitu sih Nda.”
(W2.R1.111213/b.170-176)
“Pengaruh nda, seperti yang tante bilang tadi. Masalah Pekerjaan itu tadi, pimpinannya
kebijakannya gimana lalu keadaan lapangan gimana. Kadang ada kejadian yang tidak bisa menggunakan metode persuasi Ndah.”
(W2.R1.111213/b.179-183)
Bukan hanya kebijakan pimpinan yang dirasanya menimbulkan ketidakpuasan dalam
pekerjaan, rekan kerjanya yang tergolong baru juga dirasakan membuatnya sakit kepala saat
bekerja. Menurutnya keminiman sumber daya yang berkualitaslah yang membuat responden
merasa stress ketika sedang bekerja bersama dengan rekan-rekannya yang tergolong baru
menjadi anggota polisi.
“Stress donk Nda, bagaimana kalau anggota itu respectnya enggak ada, lalu baru jadi
polisi kemarin pagi sorenya udah petantang-petenteng. Disuruh ngerjain apa-apa enggak jelas.”
(W2.R1.111213/b.291-295)
4) Size of Firm
Banyaknya beban kerja yang emban responden membuat urusang rumah tangganya
menjadi terbengkalai. Responden lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengerjakan
pekerjaan kantornya daripada mengurusi buah hatinya. Dan hal tersebut membuat responden
merasa gundah.
“..masih anak-anak mereka enggak ngerti kalau mamanya harus kerja. Kadang sedih
juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah. Kalau bahasanya anak- anak jaman sekarang galau.”
(W1.R1.041213/b.40-46)
Jam kerja yang tidak menentu dan mengharuskan responden sigap untuk berhadapan
dengan masyarakat luas membuat urusan rumah tangga dan anak-anaknya menjadi terbengkalai.
Ditambah lagi pimpinan yang dirasanya kurang mengerti kondisi dirinya dan teman-temannya
yang sudah menikah, menambah bebannya ketika bekerja dan mengurusi keluarganya.
“tapi pimpinan juga kan harus paham kondisi anggotanya. Apalagi polwan, sudah menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 38
terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya..belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu paling berat,
terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.73-83)
F. Analisa
Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka diantara
kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Begitu juga yang dialami responden, yang
harus menjalankan tugasnya sebagai anggota polisi wanita dan harus juga menjalani tugasnya
sebagai seorang ibu dan istri. Hal tersebut senada dengan yang diutarakan oleh Frone,
Russell&Cooper (1992) didefinisikan sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, di mana
di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga
secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga
mengganggu pekerjaan.
Konflik peran ganda juga memiliki sumber-sumber yang mampu membuat seseorang
merasakan stress dan ketegangan ketika menjalani peran ganda mereka (Greenhaus dan Beutell,
1985). Responden pun merasakan hal yang sama, waktu yang dimilikinya lebih banyak
dihabiskannya untuk memenuhi perannya sebagai anggota polisi dari pada perannya sebagai
seorang ibu dan istri. Selain ini, memiliki dua peran yang harus dijalani secara bersamaan
menimbulkan sehingga menimbulkan stress. Stress yang timbul disebabkan tekanan dari satu
peran yang berlebihan sehingga menyebab peran yang lain menjadi terbengkalai.
Sumber konflik peran lainnya adalah kecemasan dan kelelahan, beban kerja yang
berlebihan ditambah lagi perannya sebagai ibu dan istri yang harus mengurusi keperluan rumah
tangga, tak pelak membuat responden merasa kelelahan. Menjalankan dua peran sekaligus
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, disebabkan kedua peran yang dijalaninya tersebut
bertentangan satu sama lain. Satu perannya sebagai atasan di institusinya yang mewajibkan
dirinya memiliki ketegasan, peran yang satu adalah sebagai ibu dan istri yang membutuhkan
kesabaran dan kelemahlembutan.
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-
directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari work-family conflict dan family-work
conflict. Dimana responden yang menjalani kedua peran, yaitu sebagai anggota polisi wanita
serta sebagai ibu rumah tangga mengalami ketumpang tindihan dalam menjalani peran yang
dimilikinya. Dimana responden memiliki harapan untuk mampu menjalani kedua peran tersebut
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 39
dengan sebaik mungkin. Akan tetapi tuntutan tugas pekerjaannya yang terlalu berat
mengharuskannya menyisihkan salah satu tugasnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga.
Adanya factor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda seseorang menurut Stoner
et al. (1990), time pressure, family size and support, job satisfaction, marital and life
satisfaction, size of firm. Tingginya beban kerja yang dimiliki responden, membuat waktunya
berkurang bersama keluarganya dan lebih banyak menjalankan rutinitas kantornya.
Perannya sebagai ibu sedikit terbengkalai disebabkan tanggungjawabnya yang besar
terhadap masyarakat. Meskipun demikian suaminya selalu mendukung responden menjalankan
tugasnya dengan baik, meskipun kadang mendapat pertentangan dari buah hatinya. Sebagai
seorang yang bekerja bersama kelompok dengan tanggung jawab yang besar terhadap
masyarakat, responden sedikit kurang merasa puas apabila ada kebijakan pimpinan yang
dirasanya kurang sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Ketidakpuasannya juga mencakup rekan
kerja yang dirasanya kurang cakap dalam bekerja.
Banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera oleh responden juga
membuat responden mengalami kesulitan ketika juga harus mengurusi keperluan keluarganya.
Tanggung jawab yang besar akan tugasnya sebagai polisi wanita membuat responden kadang
mengabaikan kebutuhan anak-anaknya akan dirinya .
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab berikut berisi tentang kesimpulan atau hasil penelitian ini. Selanjutnya kesimpulan
ini akan di diskusikan berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan pada akhir
bab ini akan dikemukakan saran bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan tema
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
A. Kesimpulan
A.1. Gambaran Konflik Peran Ganda
Berdasarkan hasil analisis dari satu responden, ditemukan bahwa ada beberapa yang
menjadi sumber konflik peran ganda. Pertama, terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk
bekerja daripada bersama keluarga. Responden mengatakan tanggungjawabnya yang besar
terhadap pekerjaannya dan masyarakat mewjibkan diri harus siap sedia selama 24 jam terlebih
untuk keadaan urgent.
Kedua, stress yang diakibatkan satu peran dan mempengaruhi peran yang lainnya.
Dimana perannya sebagai atasan ditempatnya bekerja serta perannya sebagai ibu rumah tangga,
membuatnya terkadang merasa stress karena tuntutan salah satu peran yang dirasanya terkadang
berlebihan, terutama tuntutan dari pekerjaan.
Ketiga, kecemasan dan kelelahan yang dirasakan responden takkala dirinya harus bekerja
sepanjang waktu serta harus juga mengurusi keperluan keluarganya. Dan keempat, perilaku yang
efektif untuk salah satu peran namun tidak efektif untuk peran lainnya. Dimana responden terlalu
banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaannya sehingga perannya sebagai ibu dan istri
menjadi terbengkalai.
Banyaknya aktifitas responden dalam bekerja membuat perannya sebagai ibu
terbengkalai. Tanggungjawabnya yang besar untuk masyarakat membuat tanggungjawabnya
sebagai ibu dan istri menjadi terbengkalai dengan berbagai tuntutan kerja serta jam kerja yang
mewajibkannya siap sedia selama 24 jam. Dilain sisi, perannya sebagai ibu juga menuntutnya
untuk memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Dan hal tersebut dilakukan responden dengan
mengajak anak-anaknya berjalan-jalan diwaktu libur.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 41
A.2. Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Terdapat empat factor yang mempengaruhi konflik peran ganda responden, pertama time
pressure dimana responden lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja daripada
berkumpul bersama keluarganya. Kedua, family size and support dimana suami responden yang
memiliki profesi yang sama dengan dirinya selalu memberikan dukungan kepadanya, walaupun
anak-anaknya sering merenggek karena kesibukannya. Ketiga, job satisfaction dimana responden
terkadang kurang merasa puas dengan rekan kerjanya dirasanya tidak professional dalam bekerja
dan hal tersebut berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangganya. Keempat, size of firm
dimana banyaknya pekerjaan yang harus dilakukannya membuat perannya sebagai ibu dan istri
menjadi terbengkalai.
B. Saran
B.1. Saran Praktis
Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran praktis, yaitu :
1. Bagi institusi Kepolisian, diharapkan memperhatikan jam kerja untuk anggota polisi wanita.
Agar tidak menyisihkan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga.
2. Bagi keluarga, agar memberikan dukungan yang maksimal ibu atau anggota keluarga lainnya
yang berprofesi sebagai polisi wanita mampu bertanggungjawab baik sebagai polisi wanita
maupun sebagai ibu dan istri.
3. Bagi anggota polis wanita, agar mampu menyeimbangkan tanggungjawab sebagai polisi
wanita dan sebagai ibu serta istri.
B.2. Saran Penelitian Lanjutan
1. Penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang dukungan social kepada polisi wanita.
2. Peneliti selanjutkan dapat meneliti tentang fear of success wanita yang bekerja sebagai polisi
wanita.
3. Penelitian selanjut dapat meneliti tentan marital satisfaction pada wanita yang bekerja.
K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a
Page 42
DAFTAR PUSTAKA
Rizal, Edwin. (2010). Polisi wanita : identitas diri dan komunikasi. Bandung : Universitas Padjajaran
Rahardi, Pudi. (2007). Mengenal Figur Polisi Kita, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.
Anagora, P. (1998). Psikologi Kerja. Jakarta. Rineka Cipta.
Ihromo, O. (1990). Para ibu yang berperan tunggal dan yang berperan ganda. Laporan penelitia. Jakarat. Lembaga Penerbitan Fakultas Psikologi
Munandar, SCU. (1985). Suatu tinjauan psikologi : Emansipasi dan peran ganda wanita Indonesi. Jakarta : Universitas Indonesi
Vuuren, N. (1988). Wanita dan karier bagaimana mengenai dan mengatur karya. Yogyakarta : Kanisius
Wowor, R. (2002). Hubungan antara stress kerja dengan kepuasan kerja pada polisi wanita
Polda Metro Jaya. Skripsi. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Persda Indonesia YAI.
Nn, (2000). Polwan Srikandi harapan masa depan Polri. Maheka Tunggal Dharma : Majalah kepolisian daerah Jawa Tengah. Semarang : Dinas penerangan Polda Jateng.
Nn, (2001). Tantangan Polwan kedepan semakin berat. Cakra Candi : Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Semarang : Dinas penerangan Polda Jateng.
Tabah, Anton (1996), Polisi dan Kekerasan Penyidikan.
Suwarni, (2009). Perilaku Polisi; Studi atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi, Nusa Media, Bandung
Pangastuti, VI. (2001). Konflik peran ganda ibu bekerja ditinjau dari motivasi berprestasi dan asertivitas. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi UNIKA Soegijapranata.
Frone, M R; Russell, M; Cooper, M L. (1992). Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict: Testing a Model of The Work-Family Interface. Journal of Applied Psychology,
Vol.77, No.1, p:65-78.
Frone, M. R., Russel, M & Cooper, M. L. (1994), Relationship Between Job Family and Family
Satisfaction: Causal or Noncaousal Covariati- on, Journal of Management, Vol. 20 No. 3. 565-579.
Greenhauss, J. H. & Beutel, N. J. 1985. Source of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, vol 10 No. 1, p. 76-88.