42
Konflik Peran Ganda Polisi Wanita Page 1 BAB I LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN Pada dasarnya fungsi kepolisian adalah menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk tidak dilanggar oleh warga Negara yang ada di wilayahnya. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, dibentuk badan atau lembaga atau organisasi yang disebut kepolisian pada negara tersebut, atau Polri untuk wilayah Indonesia Dalam perkembangan paling akhir bidang kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban saja, melainkan banyak tugas berat yang harus ditanggung oleh Polri sebagai organisasi yang mandiri. Kehadiran lembaga Kepolisian tidak dapat dipisahkan dari supra sistem yang melingkupinya yaitu masyarakat. Dari berbagai publikasi yang membahasa tentang Kepolisian dapat disimpulkan adanya keterkaitan peran Polisi dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, beban tugas dan peran Kepolisian senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa (Afriadi, 2010) Sejak 1 April 1999, Polri resmi menjadi institusi mandiri dengan melepaskan diri dari tubuh TNI. Polri menjelma menjadi satu-satunya institusi yang mandiri, memberikan kesempatan kepada Polri untuk dapat memformat diri menjadi lembaga yang mengemban amanat mahabarat (http://www.pikiranrakyat.com/10/02/08). Hal ini dikuatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, antara lain menetapkan kedudukan Polri sebagai alat negara yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang kepolisan preventif dan represif dalam rangka criminal justice system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri (http://www.jelajahsemesta.blogspot.com/10/02/08) Polisi, dalam segala maknanya, adalah sebuah profesi. Ada seperangkat nilai standar atau tolok-ukur tertentu yang membedakannya dengan profesi lain. Dikatakan demikian karena untuk menjadi atau untuk dapat disebut sebagai polisi, seseorang dituntut untuk memiliki kepakaran intelektual dan teknis, menjalani pelatihan dan pendidikan, mempunyai kompetensi, tergabung dalam suatu organisasi, serta hidup dengan disiplin dan kode etik, tertentu sebagaimana telah disepakati dan digariskan oleh profesi polisi itu sendiri (Indarty, 2009).

Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Peran ganda wanita yang bekerja sebagai polisi

Citation preview

Page 1: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 1

BAB I

LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN

Pada dasarnya fungsi kepolisian adalah menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan

untuk tidak dilanggar oleh warga Negara yang ada di wilayahnya. Untuk dapat melaksanakan

fungsi tersebut, dibentuk badan atau lembaga atau organisasi yang disebut kepolisian pada

negara tersebut, atau Polri untuk wilayah Indonesia Dalam perkembangan paling akhir bidang

kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan

ketertiban saja, melainkan banyak tugas berat yang harus ditanggung oleh Polri sebagai

organisasi yang mandiri.

Kehadiran lembaga Kepolisian tidak dapat dipisahkan dari supra sistem yang

melingkupinya yaitu masyarakat. Dari berbagai publikasi yang membahasa tentang Kepolisian

dapat disimpulkan adanya keterkaitan peran Polisi dengan perkembangan masyarakat. Oleh

karena itu, beban tugas dan peran Kepolisian senantiasa mengalami perubahan dari masa ke

masa (Afriadi, 2010)

Sejak 1 April 1999, Polri resmi menjadi institusi mandiri dengan melepaskan diri dari

tubuh TNI. Polri menjelma menjadi satu-satunya institusi yang mandiri, memberikan kesempatan

kepada Polri untuk dapat memformat diri menjadi lembaga yang mengemban amanat mahabarat

(http://www.pikiranrakyat.com/10/02/08). Hal ini dikuatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002

tentang Polri, antara lain menetapkan kedudukan Polri sebagai alat negara yang melaksanakan

kekuasaan Negara di bidang kepolisan preventif dan represif dalam rangka criminal justice

system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri

(http://www.jelajahsemesta.blogspot.com/10/02/08)

Polisi, dalam segala maknanya, adalah sebuah profesi. Ada seperangkat nilai standar atau

tolok-ukur tertentu yang membedakannya dengan profesi lain. Dikatakan demikian karena untuk

menjadi atau untuk dapat disebut sebagai polisi, seseorang dituntut untuk memiliki kepakaran

intelektual dan teknis, menjalani pelatihan dan pendidikan, mempunyai kompetensi, tergabung

dalam suatu organisasi, serta hidup dengan disiplin dan kode etik, tertentu sebagaimana telah

disepakati dan digariskan oleh profesi polisi itu sendiri (Indarty, 2009).

Page 2: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 2

Keberadaannya sendiri ditengah masyarakat sangatlah urgen dan krusial. Polisi dan

masyarakat merupakan suatu simbiosa yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan, karena pola

perekrutan polisi murni langsung dari masyarakat. Sehingga begitu eratnya keterkaitan tersebut,

sangat banyak masyarakat yang menjadikan polisi sebagai sosok panutan dan idola. Namun di

lain pihak, cukup banyak pula masyarakat yang memandang berbeda, dan dari sudut pandang

yang berbeda pula terhadap polisi dan institusi kepolisian tersebut (Rahardi (ed.), 2007). Polisi

adalah penjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Bahkan di Indonesia, pada

masa Kepolisian belum dilepaskan dan masih merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata

Indonesia, polisi tidak saja bertugas sebagai penjaga dan pelaksana Kamtibmas, tetapi juga

melaksanakan doktrin dan kebijakan yang sudah melekat pada ketiga angkatan lainnya yang

bersifat defensif, ofensif dan destruktif.

Satjipto Raharjo (dalam Rahardi, 2007) mengatakan bahwa polisi disamping sebagai

pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana.

Lebih jauh Raharjo menambahkan bahwasanya polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang

langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Polisi kadangkala harus berlumuran

dengan darah korban kejahatan, pelaku tindak kejahatan, atau bahkan darah dirinya sendiri.

Sudah tidak berbilang jumlah aparat polisi yang bermandi darah dan meregang nyawa, gugur

dalam melaksanakan tugasnya, dan ini adalah salah satu resiko yang menjadi konsekuensi

profesi yang idealnya adalah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dari segala gangguan

dan ancaman yang ada.

Salah satu unsur Polri sebagai organisasi adalah sumber daya manusia, dan bahkan

semakin lama unsur ini semakin menjadi unsur yang utama disamping unsur organisasi lainnya

seperti material, sarana prasarana, anggaran, dan metoda kerja. Keutamaan sumber daya

manusia, yaitu anggota Polri dalam organisasi Polri, menjadi sangat dominan mengingat hakekat

tugas kepolisian yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat (Kunarto, 1997).

Perkembangan pembangunan yang terus terjadi seiiring dengan perubahan masyarakat

menjadi masyarakat industri, akan meningkatkan kebutuhan dan permintaan tenaga kerja, baik

tenaga kerja pria maupun wanita. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi siapa pun

untuk masuk ke dunia kerja, termasuk wanita. Akibatnya, tidak dipungkiri bahwa saat ini, di

seluruh penjuru duni, semakin banyak wanita yang bekerja di sektor formal, termasuk di

Page 3: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 3

Indonesia. Hal ini menuntut public domain dari wanita yang semakin meluas, karena peran

mereka diluar rumah semakin dibutuhkan.

Saat ini, jumlah wanita yang berambisi untuk mengembangkan karier semakin banyak.

Hal ini juga didorong oleh semakin terbukanya kesempatan bagi wanita untuk mengenyam

pendidikan yang tinggi dan untuk bekeja di berbagai bidang pekerjaan. Walaupun pada

kenyataanya menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar pula

perbedaan kesempatan belajar antara pria dan wanita (Munandar, 2001), tetap saja ini merupakan

suatu kemajuan yang berarti bagi kaum wanita. Kemajuan ini menyebabkan jumlah wanita yang

berkualitas menjadi semakin meningkat, dan tidak jarang kualitas mereka mampu menyamai

bahkan melebihi kualitas pria (Linandar, 2009).

“ya harus, dijaman kayak begini mah kita juga harus punya kerjaan. Karena tuntutan ekonomi, juga karena karna kita mau maju. Jadi istilahnya ada kepengen berdiri dikaki

sendiri gitu, enggak selalu nopang sama orang lain. Lagian ide-ide cewek terkadang lebih cemerlang ketimbang ide lakiknya, heheh,..”

(Komunikasi personal, 4 November 2013)

Seiring dengan perkembangan jaman, wanita mulai bekerja di luar rumah dan

mendapatkan penghasilannya sendiri. Tidak sedikit wanita yang memasuki dunia pekerjaan yang

sifatnya non-tradisional bagi wanita. Mereka ikut serta dalam program wirausaha yang

membutuhkan keterampilan dan terlibat dalam pekerjaan seperti penambang batu bara, petugas

polisi, supir truk, tukang las, tukang kayu, maupun pekerja baja. Di Indonesia, keterlibatan

wanita ditunjukkan oleh data Jumlah wanita yang bekerja yang terdaftar pada tahun 2008 di

Indonesia mencapai 1.200.241 jiwa (Statistik Indonesia, 2009). Hal ini menunjukka bahwa

secara kuantitas, pekerja wanita merupakan faktor tenaga kerja yang sangat potensial. Adanya

tuntutan untuk mendukung ekonomi rumah tangga menjadi salah satu alasan bagi wanita untuk

bekerja (Anagora, 1998). Data lain memperlihatkan pada tahun 2007 dimana diketahui bahwa

jumlah polisi di Indonesia sebanyak 360.381, dengan jumlah polisi wanita sebanyak 11.706

orang atau 3,25% (www.Polri.co.id)

Menurut sebagian besar pendapat masyarakat, wanita dianggap hanya unggul pada

pekerjaan yang bersifat kewanitaan atau feminism seperti merangkai bunga, juru masak,

perancang busana, atau sekretaris (Ancok, 1995). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Vuuren

(1993) yang mengatakan jika masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa wanita tidak lazim

menjadi pekerja tambang, pekerja bangunan, dokter, insinyur maupun pimpinan perusahaan.

Page 4: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 4

Pada kenyataannya tidak sedikit wanita yang bekerja hanya pada pekerjaan yang bersifat

feminine, tetapi banyak pula yang bekerja pada pekerjaan yang bersifat maskulin, seperti

menjadi buruh bangunan, supir bus dan angkutan umum, serta banyak pula yang menjadi polisi

atau biasa mayarakat umu menyebut dengan istilah polisi wanita atau Polwan.

Wanita Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi petugas polisi asalkan telah

terpilih, lulus pendidikan kepolisian, diangkat dengan surat keputusanPresiden atau Kapolri

menjadi anggota Polri dan berdinas aktif dalam penugasan kepolisian (www.Polri.co.id), yang

kemudian dikenal dengan sebutan polisi wanita, dan selanjutkan akan disebut polwan. Secara

umum, polwan memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan polisi laki-laki seperti

yang tercantum dalam UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 pasal 13, yaitu tugas pokok Polri adalah

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tatanan kehidupan bermasyarakat tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan institusi

kepolisian. Polisi merupakan garda terdepan penegakan hukum dalam suatu komunitas

masyarakat. Tugas pokok dan fungsi Polri yang begitu erat dengan dunia pemberantasan

kejahatan ini membuat seolah-olah polisi masuk menjadi ranah maskulin, profesi yang berat dan

erat kaitannya dengan kekerasan dan tindakan penanganan lewat kekerasan. Dengan banyaknya

interpretasi, padangan, pendapat serta ide yang mengungkapkan bahwa perempuan lebih lemah

daripada laki-laki membuat profesi seolah-olah menutup dirinya dalam meneriman gender lain

selain laki-laki (Rizal, 2010).

Fenomena keberadaan Polwan ini sudah sering menjadi wacana dalam berbagai situasi.

Meskipun saat ini keberadaan Polwan di Indonesia sudah diakui, namun ternyata masih

menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaan tugasnya sehubungan dengan kodrat

perempuannya yang melekat, apapun posisi dan profesinya. Stigmatisasi perempuan yang halus,

lemah lembut dan senantiasa mengedepankan perasaan terkadang dianggap menjadi faktor yang

mengurangi profesionalisme perempuan dalam tugas-tugas kepolisian-nya, meskipun dalam

situasi lain tidak dapay dinafikan stigma tersebut justru diperlukan (Rizal, 2010).

Pada tahun 2010 lalu, melalui website Polri.co.id, Wakapolri Makbul Padmanegara

mengumumkan penerimaan 400 taruna baru Akpol, baik dari sumber sarjana maupun SMA. Ia

mengatakan ada kemungkinan tahun depan kuota tersebut ditambah karena Polri memerlukan

Page 5: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 5

tambahan personil. Namun pengumuman itu mengejutkan karena dari 400 taruna baru hanya 47

calon taruni yang lolos.

Kecilnya keterwakilan perempuan dalam sekolah dinas kepolisian tersebut dipicu oleh

dua kemungkinan. Pertama, target penerimaan taruni (taruna putri) yang ditetapkan Polri

memang hanya 10 persen. Angka 10 persen pun sebenarnya angka afirmasi untuk meningkatkan

peran serta perempuan. Kedua, citra profesi polisi ternyata masih melekat dengan maskulinitas.

Pekerjaan sebagai polisi dianggap lebih patut dijalankan oleh laki-laki. Mereka dianggap lebih

cakap menjalankan tugas pengamanan karena memiliki karakter fisik dan psikis yang kuat.

Apalagi karena tugas polisi dikenal dekat dengan bahaya (Surahmat, 2010).

Polwan merupakan bagian kekuatan pelaksanaan tugas dan fungsi Polri sebagai alat

penegak hukum, pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat,

membina dan mewujudkan kamtibmas, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, sejatinya kini, peran polisi wanita pada institusi Polri

haruslah sudah teroptimalkan dengan pemberian fungsi dan peran yang optimal pula.

Semua menjadi harapan semua pihak. Betapa tidak, sampai kini, penghormatan terhadap petugas

wanita tampak belum optimal, meski derajat “diskriminasi” tampak mulai berkurang. Sebagai

aset yang potensial untuk ditugaskan dalam segala bidang garapan, peran Polwan masihlah

dikesampingkan. Peran Polwan masih cenderung minim dan terbatas pada bidang-bidang

tertentu. Paling-paling, yang diusungkan ke pundak mereka adalah tugas yang identik dengan

dunia kewanitaan, seperti bidang pembinaan masyarakat, pendidikan dan latihan, serta tata usaha

atau administrasi. Realitas serupa itulah yang menjadi bukti jika peran Polwan masih sebatas

pendukung atau pelengkap petugas pria (Kompas, 2008).

Dalam berbagai penanganan problematika yang terjadi di tengah masyarakat, pendekatan

dengan kekerasan atau yang berkenaan dengan fisik tidak lagi relevan. Agaknya hal tersebut

disadari oleh Polri. pencitraan Polri yang galak, dengan kumis yang melintang, suara bariton

sebagaimana yang pernah dipraktikkan pada masa Kapolri, Jenderal Anton Sudjarwo tidak lagi

menjadi pilihan. Apalagi setelah Polri terpisah dari TNI, di mana asumsi perwajahan dan

karakteristik militer cepat atau lambat akan terkikis oleh waktu. Namun kesulitan merubah

perilaku dan budaya di internal Polri dalam waktu cepat membuat Mabes Polri akhirnya

menemukan formula bagi pendekatan kepada masyarakat seputar penanganan problematika yang

dihadapi. Peran Polwan, yang di masa lalu dianggap kurang diberdayakan kemudian dipasang

Page 6: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 6

menjadi garda terdepan bagi pemulihan dan perbaikan citra Polri di masa lalu, yang kurang baik.

Bahkan disadari bahwa Polwan kemudian menjadi salah satu kunci bagi perbaikan citra Polri dan

Reformasi Polri yang tengah berlangsung. Meski dalam praktik operasionalnya masih perlu

ditingkatkan kembali. Tidak hanya sekedar menjadi pelengkap bagi kerja-kerja anggota Polri

yang lain, tapi menjadi satu faktor penentu hitam putihnya pencitraan Polri di masa yang akan

datang (Meliala, 2010).

Titik krusial bagi Polwan dalam mengawal reformasi Polri dan terus membangun citra

positif bagi kinerja Polri ada pada seberapa efektif kinerja Polwan. Artinya perlu juga perluasan

kerja dan tanggung jawab yang lebih dari sekedar menjadi terdepan dalam pembangunan citra

Polri. Pentingnya perluasan wewenang dan tanggung jawab diberikan Polwan karena harus

disadari bahwa Polri tidak lagi sekedar menampilkan satu kinerja profesionalisme, tapi juga

performa yang menentramkan. Dan salah satunya terwakili dengan efektifitas kinerja Polwan di

lapangan (Polri.co.id).

Peran Polwan dengan jumlahnya yang tidak sebanyak polisi pria, cenderung minim dan

terbatas pada bidang-bidang tertentu; dalam tugas kepolisian selalu identik dengan dunia

kewanitaan. Seperti halnya bidang pembinaan masyarakat (binmas), pendidikan dan latihan

(diklat), tata usaha atau administrasi, lalu lintas urusan dalam dan juga peran bantuan sebagai

negosiator saat ada unjuk rasa. Realitas semacam itu membuktikan bila peran Polwan masih

sebatas sebagai pendukung atau pelengkap polisi yang pria. Padahal dalam jabaran teori tugas

dan fungsi Polwan sebagai bagian integral dari Polri berdasarkan Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Polwan merupakan kekuatan

pelaksanaan tugas dan fungsi Polri sebagai alat penegak hukum, pengayom dalam memberikan

perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, membina dan mewujudkan kamtibmas, dan

melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Issamsudin, 2002).

Berkaitan dengan tugas dan fungsi tersebut secara otomatis peran Polwan harus bisa

optimal melalui pemberian peran yang optimal. Jangan ada lagi anggapan bahwa Polwan tidak

mampu berperan di bidang kesersean, intelijen, operasi dan pengendalian massa, provost, air dan

udara, serta lalu lintas di lapangan. Meskipun saat ini telah ada beberapa petugas wanita yang

menduduki jabatan tertentu seperti menjadi Kepala Polsek dan Kepala Polres, bahkan Kapolda,

namun hal itu belum mumpuni menjadi penanda optimalnya penghormatan terhadap gender

pada Sistem Peradilan Pidana. Ternyata, keberadaan petugas Polwan mampu menjadi harapan

Page 7: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 7

dalam memperbaiki citra Polri. Sebagai contoh, diakui atau tidak, tampilnya Polwan di lapangan

sedikit banyak mampu meredam cibiran masyarakat terhadap Polri. Kesabaran, ketelatenan, dan

ketidakkerasannya (meski bisa tetap bersikap tegas terhadap para pelanggar hukum), setidaknya

telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan Polri.

Sebut saja dalam suatu kegiatan unjuk rasa mahasiswa yang biasanya diwarnai

“benturan” antara pengunjuk rasa dengan petugas keamanan dari Polri. Benturan bisa ditekan

pemunculannya atau tidak sampai terjadi ketika para negosiator pihak Polri yang mengandalkan

para Polwan, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Demikian pula saat memerankan diri

sebagai petugas bimbingan masyarakat melalui tindak penyuluhan. Ada perbedaan feed back

audience dalam hal penyuluhnya Polwan dibandingkan polisi pria (Issamsuddin, 2008). Ini tidak

lepas dari adanya perbedaan cara penyampaian, juga cap masyarakat terhadap Polri yang

cenderung kurang baik dan Polri itu biasanya identik dengan polisi pria.

Dalam keseharian pun, jarang sekali ada oknum Polwan yang nakal terkuak ke

permukaan kasusnya. Biasanya yang terkuak adalah ulah oknum polisi pria yang memang

mendominasi kecurangan oknum anggota Polri. Di samping tidak banyak oknum Polwan yang

nakal, masyarakat pun juga segan manakala harus bertindak curang dengan oknum Polwan.

Karena itulah kebijakan untuk memunculkan Polwan dalam hal-hal tertentu untuk berhadap

dengan masyarakat, adalah pas dan positif. Apalagi peran Polwan yang simpatik dan menarik

telah dimunculkan, setidaknya hal itu mampu melahirkan suatu dorongan dan kesadaran untuk

patuh dan taat pada hukum, yang tentunya juga mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Polri

guna mewujudkan kamtibmas (Issamsuddin, 2008).

Dalam hal kepemimpinan unit kerja atau lembaga di dalam kepolisian, Polwan harus

lebih banyak lagi diberi kesempatan. Diakui atau tidak, pemberian kesempatan tersebut di

samping akan lebih menunjukkan penghormatan terhadap gender di lingkungan Polri, sedikit

banyak diharapkan juga akan mengurangi stigma negatif dan menekan munculnya tindak

kecurangan di lingkungan Polri. Ini tidak lepas dari adanya keharusan memiliki rasa malu dan

tabu untuk bertindak curang pada diri Polwan. Polwan juga harus memiliki rasa malu ketika

membiarkan kecurangan terjadi. Itulah sosok jati diri Polwan, yang harus mengedepankan ciri-

ciri sebagai wanita, yang memang tabu untuk bertindak curang, sekaligus harus tegas guna

menegakkan hukum tanpa harus meninggalkan cara berpola pikir, bersikap dan berperilaku

positif serta simpatik. Melalui cara itu pula emansipasi yang ada dan upaya penghormatan

Page 8: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 8

terhadap gender akan berdaya dan berhasil guna. Khususnya di lingkungan Kepolisian

(Ismanuddin, 2008).

Menjadi seorang Polwan bukanlah tanpa masalah, pasalnya, sebagai profesi yang

bernaung dibawah institusi Polri, mereka tidak hanya diharapkan berfungsi sebagai “matahari”

dalam menegakkan hukum. Terkadang, mereka juga diharapkan menjadi semilir angin, bahkan

menjadi gemericik air dalam bertugas. Bahkan, diharapkan mampu menjadi idola masyarakat di

mana pun berada, baik di rumah dengan tetangga maupun saat berada di lapangan tugas. Apalagi

saat ini polwan mendapat kesempatan yang luas untuk menduduki jabatan strategis, semacam

Kapolsek, Kapolres bahkan Kapolda. Tentunya ketika jabatan strategis itu diusungkan ke

pundak, semakin beratlah masalah yang kemudian harus dipecahkan. Seiring perjalanan waktu,

ternyata ketika bertugas di lapangan, Polwan mendapat tempat di hati masyarakat (setiawan,

2008).

Tugas berat Polwan lainnya adalah, mereka terpaksa dihadapkan kepada dua hal yang

sama penting dan beratnya, keberhasilan sebagai polisi dan kesuksesan membina rumah tangga.

Pasalnya, kodrat Polwan sebagai seorang wanita adalah menjadi pendorong bagi suami serta ibu

bagi anak-anaknya. Semangat untuk berprestasi dan kesuksesan untuk mencapai karier di

kepolisian harus pula diikuti keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga. Sebagai

bagian integral Polri, mereka harus tetap mampu meningkatkan profesionalisme (Setiawan,

2008).

Pada polwan yang telah berkeluarga dapat dikatakan ia memiliki peran ganda, dimana

selain berkewajiban mengurus rumah tangga, ia juga berperan sebagai anggota kepolisian. Frieze

dkk (1972) menyebutkan bahwa wanita dengan peran ganda adalah mereka yang bekerja dan

menjalankan perannya sebagai istri, ibu, ibu rumah tangga, dan pekerja.

Seorang Polwan memiliki peran baik didalam pekerjaan maupun didalam keluarganya,

dimana tuntutan antara pekerjaan dan keluarga tidak selalu sejalan sehingga dapat menimbulkan

konflik peran. Sesuai dengan kodratnya sebagai seorang ibu dan istri, perubahan demografi

wanita yang berkarir menimbulkan sebuah konflik peran pada sebagian wanita yang bekerja.

Pergeseran kodrat wanita dari seorang ibu rumah tangga dan seorang istri menjadi wanita bekerja

menjadikan banyak keluarga dewasa ini mempunya konsep “dual career”.

Konflik peran berhubungan sangat kuat dengan depresi dan kecemasan yang diderita oleh

wanita dibandingkan pria (Frone, 2000). Dan berhubungan juga dengan peran tradisional wanita

Page 9: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 9

yang hingga saat iini tidak bisa dihindari, yaitu tanggung jawab dalam mengatur rumah tangga

dan membesarkan anak. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari

beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru

dan deadline. Tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani

tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi

keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota lain

(Yang, Chen, Choi & Zou, 2000).

Konflik peran inilah yang mesti diperhatikan sebagai faktor pembentuk terjadi stres di

tempat kerja, meskipun ada faktor di luar organisasi, seharusnya organisasi juga memperhatikan

hal ini. Karena pengaruh konflik peran terhadap kinerja Polwan dalam organisasi Polri tersebut

dan dapat berdampak pada pekerjaan yang dilakukannya. Konflik pekerjaan-keluarga

mempunyai pengaruh yang dapat menurunkan kualitas kehidupan rumah tangga dan keluarga

serta mengganggu aktifitas pekerjaan (Kinnunen dan Mauno, 2998).

Sebagian besar Polwan terutama yang telah menikah, sering kali terpaksa harus

dihadapkan pada dilema atau konflik antara memilih karir sebagai salah satu tujuan hidup atau

menjadi ibu rumah tangga yang baik yang selalu siap mengasuh dan melayani kebutuhan suami

serta anak-anaknya (Wardhana, 1999). Sedangkan menurut Newman (dalam Wardhana 1999)

penyebab konflik peran yang dominan adalah banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dan

kelelahan fisik serta emosional akibat pekerjaan. Konflik peran ini timbul karena adanya

ketidakseimbangan antara pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga yang dapat

menyebabkan timbulnya masalah (Cascio 1998).

Peran, dengan tuntutannya masing-masing, jika saling bertentangan atau tidak sesuai

akan menimbulkan konflik peran (Shaw dan Costanzo, 1985) mendefinisikan konflik peran

sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara harapan-harapan yang diasosiasikan dengan beberapa

posisi yang dimiliki seseorang (konflik antarperan) atau ketika terjadi ketidaksesuaian mengenai

harapan yang diasosiasikan dengan satu posisi yang dimiliki oleh seseorang (konflik intraperan).

Individu yang dapat membagi waktu antara waktu dan tenaganya dengan proporsi yang

seimbang antara pekerjaan dan keluarganya, nampaknya memberikan toleransi terhadap keadaan

yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan banyak keluhan dan keberatan (Organ et

al, 2006). Baltes & Heyden-Gahir (Spector, 2006) menyatakan konflik peran adalah suatu bentuk

konflik peran ekstra di mana tuntutan pekerjaan mengganggu tuntutan keluarga, misalnya harus

Page 10: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 10

menghabiskan waktu di tempat kerja lebih banyak daripada di rumah. Parrewe dan Hichwart

(Kinicki, 2008) mengungkapkan bahwa munculnya konflik peran disebabkan adanya benturan

antara value similarity dan value congruence. Value similarity diartikan sebagai tingkat

kesepakatan diantara anggota keluarga mengenai nilai-nilai yang ada dalam keluarga tersebut,

sedangkan value congruence merupakan sejumlah nilai-niai yang disepakati antara karyawan

dengan organisasi. Konflik peran tersebut yang akan mempengaruhi tingkat kepuasan hidup

individu baik sebagai karyawan maupun sebagai anggota keluarga.

Dilema yang dialami Polwan dalam memprioritaskan tanggung jawabnya dapat

mengarah pada konflik peran. Apabila Polwan tersebut memandang konflik peran sebagai suatu

hal yang positif atau tantangan yang menyenangkan, maka Polwan tersebut akan beradaptasi dan

mengatur waktu dan tenaga sedemikian rupa agar mampu menyelesaikan kedua tuntutan

tersebut.

Selain hal tersebut, Polwan masih harus menghadapi tantangan lainnya, perbedaan fisik

dan kondisi psikis pada laki-laki dan perempuan adalah kondisi alamiah yang membuat mereka

tidak bisa disamakan. Apalagi karena fisik, menurut pemikir feminis Beauvoir dalam The Second

Sex, perbedaan fisik tidak semestinya menjadi argumen melakukan dikotomi terhadap

perempuan. Polwan di Indonesia lebih mudah dijumpai di kantor daripada di lapangan. Mereka

bekerja sebagai staf kantor seolah-olah telah diseting sejak awal. Pos-pos yang mereka tempati

juga pos ‘istimewa’, seperti administrasi surat-surat kendaraan, pembuatan SIM, atau uji

kesehatan. Dikotomi terhadap peran Polwan juga dapat ditemukan dengan mengamati pejabat

teras Polri. Jabatan-jabatan strategis, baik di Mabes maupun Polda, masih didominasi laki-laki.

Selama 63 tahun Polri eksis jabatan strategis di lingkungan Polri diwariskan dari laki-laki satu ke

laki-laki lain. Dalam catatan, hanya Brigjen (Pol) Rumiyah (kapolda Banten) perempuan yang

pernah menjabat sebagai Kapolda (Ismanuddin, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai konflik peran pada polisi

wanita serta mengetahui faktor yang mempengaruhi konflik peran tersebut.

I.B. Rumusan Masalah

Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran konflik peran ganda polisi wanita

2. Faktor yang mempengaruhi konflik peran yang dialami polisi wanita

Page 11: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 11

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untu mendapatkan bagaimana gambaran konflik peran pada

anggota polisi wanita serta faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik peran tersebut.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan perluasan

teori dibidang psikologi yakni mengeni konflik peran pada wanita bekerja, yaitu anggota polisi

wanita. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian di

bidang psikologi industri dan organisasi, sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan

sebagai bahan penunjang penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai resiliensi remaja putri

yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil kepada peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin

meneliti mengenai resiliensi remaja putri.

b. Bagi Polri

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Polri sebagai organisasi terutama berkaitan

dengan hal-hal yang menyangkut konflik peran yang dialami oleh anggota polisi wanita sehingga

tidak menurunkan performansi kerja mereka.

c. Bagi Polwan

Dapat menjadi masukan dan informasi yang berkaitan konflik peran ganda yang dialami

sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

d. Bagi Anggota Keluarga Lainnya

Dapat menjadi masukan bahwa konflik peran berpengaruh terhadap kinerja, sehingga

keluarga dapat memberikan dukungan agar tidak menimbulkan stres dalam pekerjaanya.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Page 12: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 12

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden

penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu

pengumpulan data serta prosedur penelitian.

BAB IV : DESKRIPSI DATA DAN ANALISA

Deskripsi data dan analisa berisi pendeskripsian data, dan analisa data yang

diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data

penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian, diskusi

mengenai hasil penelitian yang ada serta saram-saran yang dianjurkan mengenai

penelitian ini.

Page 13: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 13

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. POLRI

II.A.1. Pengertian Kepolisian

Kepolisian berasal dari istilah polisi yang beragam penyebutannya di setiap negara.

Istilah polisi pertama kali berasal dari Yunani yakni politeia dari tokoh Plato yang berlatar

belakang pemikiran bahwa suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan citacitanya, suatu negara

yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi

(Azhari, 1995). Kemudian dengan banyaknya negara di wilayah Eropa yang didasarkan pada

pemerintahan raja absolut, berkembanglah ide negara polisi (polizeistaat). Negara polisi

mengenal dua konsep polisi di dalamnya yakni polisi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan,

dan polisi sebagai penyelenggara perekonomian atau semua kebutuhan hidup bagi warga

negaranya (Azhari, 1995).

Kepolisian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sebagai hal yang bertalian

dengan polisi. Pengertian polisi itu sendiri adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara

keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang melanggar undang-undang dan sebagainya),

serta diartikan sebagai anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga

keamanan dan sebagainya) (KBBI, 2008). Selanjutnya Momo Kelana (1972) mengatakan bahwa

istilah polisi memiliki dua arti. Pertama, polisi dalam arti formal yang mencakup organisasi dan

kedudukan suatu instansi kepolisian. Kedua, polisi dalam arti material yang memberikan

jawaban-jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam menghadapi gangguan

ketertiban dan keamanan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2

(selanjutnya disebut UU Kepolisian) dinyatakan bahwa “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang

berkaitan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pengertian

tersebut memiliki dua makna yakni lembaga kepolisian dan fungsi kepolisian. Lembaga

kepolisian adalah suatu organ pemerintah terorganisasi dan terstruktur yang ditetapkan sebagai

suatu lembaga serta diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan

perundangan-undangan. Sedangkan fungsi kepolisian dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah

Page 14: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 14

satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Kepolisian merupakan sebuah

organisasi yang berfungsi sebagai penjaga keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat.

II.A.2. Fungsi Kepolisian

Fungsi polisi secara umum adalah untuk menjalankan kontrol social masyarakat yang

bersifat preventif dan represif, dalam bahasa Perancis dikenal dengan istilah la police

administration. Fungsi preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan,

pengayoman, pelayanan pada masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum

(Rahardjo, 2007)

Selanjutnya fungsi POLRI di dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan

hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian ditegaskan

pula dalam Pasal 4 UU Kepolisian bahwa POLRI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam

negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya

hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta

terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Selain itu, POLRI berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian merupakan alat negara

yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri. Singkatnya, POLRI memiliki dua fungsi yakni fungsi

preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan, pengayoman, pelayanan pada

masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum (Sadjijono, 2008)

Fungsi dan tujuan POLRI di atas meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia,

sehinga untuk pelaksanaannya terbagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan

tugas POLRI (Pasal 6 UU Kepolisan). Pembagian daerah hukum POLRI berdasarkan Peraturan

Pemerintah RI Nomor 23 tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah sebagai berikut :

Page 15: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 15

1. Daerah hukum tingkat pusat yang disebut dengan Markas Besar POLRI (Mabes POLRI).

Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin

oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden.

2. Daerah hukum tingkat provinsi yang disebut dengan Kepolisian Daerah (POLDA) yang

dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri.

3. Daerah hukum tingkat kabupaten/ kota yang disebut dengan Kepolisian Resort

(POLRES) yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang bertanggungjawab kepada

Kapolda.

4. Daerah hukum tingkat kecamatan yang disebut Kepolisian Sektor (POLSEK) yang

dipimpin oleh seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres.

5. Daerah hukum tingkat desa atau kelurahan yang disebut Pos Polisi yang dipimpin oleh

seorang Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi daerahnya.

II.A.3. Polisi Wanita

Rintisan pembentukan tenaga polisi wanita timbul setelah dirasa perlu petugas wanita

dalam mengangani wanita dan anak-anak. Pendidikan bagi polisi wanita pada awalnya dimulai

pada tanggal 1 September 1948 yang kemudian ditetapkan sebagai hari ulang tahun polisi

wanita. Seiring dengan berjalannya waktu, tugas polisi wanita terus berkembang sehingga tugas

tersebut tidak lagi dapat dipisahkan dengan tugas poliss lainya yaitu sama-sama menjadi aparat

Negara yang menjalankan tugas sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum dalam

masyarakat.

Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/09/x/1998 bahwa pembinaan polisi

wanita dilaksanakan oleh bagian Polwan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya

kepada Direktorat Persoel. Pada aspek pembinaan personel yang menggunakan prinsip bahwa

setiap polisi wanita memiliki kesempatan yang sama dengan polisi pria baik yang menyangkut

kesempatan tugas maupun dalam memenuhi hak serta kewajibannya, namun bagi polisi wanita

tetap diperhatikan sifat kodratinya wanita serta dihargai harkat dan martabatnya seperti polisi

wanita yang sudah menikah sedapat mungkin ditempatkan sedaerah dengan suaminya. Selain itu

polisi wanita mendapatkan tunjangan khusus seperti baju hamil, keperluan kosmetik (diterima

dalam bentuk uang), tas juga sepatu.

Tugas dari polisi wanita penempatannya pada semua bidang baik di bidang operasioanl

seperti lalu-lintas, Serse maupun Administrasi dan Bagian Pembinaan seperti Personel, Logistik,

Page 16: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 16

Denma, Lemdik dan ada pula penempatan di luar Polri seperti di DPR/MPR, Sekolah Taruna

Nusantara, dan PT KAI (www.Polri.co.id).

II.A.4. Tugas dan Fungsi Polwan

Seolah menafikan dan tak mengakui keniscayaan akan keterlibatan perempuan dalam

profesi polisi, ternyata perempuan sudah berkiprah dalam dunia kepolisian sebagai polisi wanita

di Indonesia selama lebih dari 61 tahun. Meski dalam kenyataannya tugas mereka baru sebatas

pada bidang administratif, tetapi keberadaan mereka yang sudah enam dasawarsa tidak bisa

dikesampingkan. Sifat khas dari seorang perempuan membuat Polwan dibutuhkan dalam

penanganan kasus-kasus tertentu. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya,

korban terbesar adalah perempuan. Untuk menghindari trauma terhadap laki-laki, maka korban

KDRT memerlukan pendamping selama pemeriksaan penyidikan. Polwan adalah pilihan tepat

guna memperoleh keterangan-keterangan dalam proses penyidikan maupun pemulihan kondisi

psikologis korban (Rizal, 2010).

Kehadiran Polwan diperlukan pula pada penanganan kasus kekerasan seksual pada

wanita (perkosaan). KUHP menyebutkan, yang dimaksud korban perkosaan adalah perempuan.

Dengan kehalusan perasaan dan empati Polwan, diharapkan dapat memperoleh informasi yang

tepat dari korban dalam pembuatan berita acara pemeriksaan (Sulistiyono, 2007). Kemudian

dalam pelaksanaan tugas penggeledahan, guna kepentingan penyidikan, penyidik dapat

melakukan penggeledahan, baik tempat maupun badan. Disyaratkan dalam penjelasan Pasal 37

KUHAP bahwa pemeriksaan hingga rongga badan perempuan dilakukan oleh petugas

perempuan atau dari petugas kesehatan. Jelas, upaya tersebut dibutuhkan kehadiran Polwan.

Maraknya unjuk rasa anarkis sekarang ini, juga membuat pimpinan Polri mempertimbangkan

penempatan Polwan di garis terdepan. Pengunjuk rasa akan segan untuk menghujat,

mengeluarkan kata-kata kasar, atau niat untuk bertindak anarkis jika di depannya adalah seorang

wanita. Dalam pelaksanaan tugas rutin, Polwan juga banyak terlihat di jalan raya. Masih

banyaknya komplain dari masyarakat mengenai pelayanan bidang lalu lintas, membuat Polwan

keluar dari "sarangnya", mereka tidak lagi hanya berkutat hanya berada di kantor mengurus

bidang administrasi. Selanjutnya Sulistiyono menggambarkan Polwan ibarat sapu pembersih

lantai, Polwan adalah sapu yang masih bersih. Kenakalan petugas maupun sopir di jalan raya

akan tereduksi dengan kehadirannya. Niatan kolusi para sopir yang melakukan pelanggaran akan

berkurang, jika sudah berhadapan dengan sosok Polwan (Rizal, 2010).

Page 17: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 17

II.B. KONFLIK PERAN GANDA

II.B.1. Pengertian Konflik Peran Ganda

Irwanto (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan konflik adalah beberapa

kebutuhan yang muncul secara bersamaan. Setiap manusia memiliki bebrapa kebutuhan yang

muncul secara bersamaan, maka konflik dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu konflik atau

pertentangan dalam sekelompok orang atau masyarakat. Greenhaus dan Beutell (1985)

mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-

tekanan dari pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain. Seseorang akan

menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi

mereka, oleh karena itu mereka bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya. Hal ini bisa

meningkatkan kesempatan seseorang untuk mengalami konflik peran.

Robbin (2001) menyatakan konflik adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang

untuk mengimbangi usaha-usaha orang lain dengan cara merintangi yang menyebabkan frustrasi

dalam mencapai tujuan atau meningkatkan keinginannya. Konflik juga dapat didefinisikan

sebagai suatu keadaan yang di dalamnya terdapat ketidak cocokan maksud antara nilai-nilai atau

tujuan-tujuan, berpacu menuju tujuan dengan cara yang tidak atau kelihataanya kurang sejalan

sehingga yang satu berhasil sementara yang lainnya tidak.

Frone, Russell&Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga sebagai

konflik peran yang terjadi pada karyawan, di mana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di

kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan

antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan

mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan

pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya, keluarga mengganggu

pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan

keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika

kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti

masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan

kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya

atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.

Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka diantara

kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Muncul sebuah pandangan bahwa

Page 18: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 18

perempuan ideal adalah superwoman dan supermom yang sebaiknya memiliki kapasitas yang

dapat mengisi bidang domestic dengan sempurna dengan bidang public tanpa cacat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang mengalami konflik

peran ganda adalah adanya dua peran sekaligus yang harus dijalankan oleh wanita tersebut, yaitu

sebagai istri, ibu dan sebagai wanita yang bekerja.

II.B.2. Sumber-Sumber Konflik Peran Ganda

Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami konflik

peran ganda akan merasakan ketegangan dalam bekerja. Konflik peran ini bersifat psikologis,

gejala yang terlihat pada individu yang mengalami konflik peran ini adalah frustrasi, rasa

bersalah, kegelisahan, keletihan. Faktor-faktor penyebab konflik peran ganda, diantaranya:

1) Menghabiskan terlalu banyak waktu untuk pekerjaan.

2) Stres yang diakibatkan salah satu peran dan berdampak pada peran lainnya.

3) Kecemasan dan kelelahan

4) Perilaku yang efektif untuk salah satu peran namun tidak efektif untuk peran lainnya.

(Greenhaus dan Beutell, 1985).

Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang

berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline.

Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani

tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya

keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan

terhadap anggota lain (Yang,Chen, Choi, & Zou,2000). Faktor pemicu munculnya konflik peran

ganda (work-family conflict) dapat bersumber dari domain tempat kerja dan keluarga. Tekanan-

tekanan tersebut berhubungan positif dengan konflik pekerjaan-keluarga. Menurut Frone et.al.

(1992), tekanan pekerjaan meliputi beban pekerjaan, kurang diberi otonomi dan kerancuan peran.

Sedangkan tekanan dari domain keluarga menggambarkan individu yang berperan sebagai orang

tua dan pasangan suami isteri (Parasuraman et.al, 1992). Kedua peran tersebut mengarah pada

kualitas peran masing-masing yaitu hubungan antara orangtua – anak dan hubungan suami –

isteri.

Menurut Gibson, dkk (1995) konflik peran terjadi apabila seseorang dihadapkan pada

situasi dimana terdapat dua atau lebih persyaratan untuk melaksanakan peran yang satu dan

dapat menghalangi pelaksanaan peran yang lain. Sedangkan menurut Davis dan Newstrom

Page 19: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 19

(1995) konflik peran merupakan perbedaan persepsi terhadap suatu peran yang disebabkan

sulitnya untuk mengungkapkan harapan-harapan tertentu tanpa memisahkan harapan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan konflik peran ganda (Work-Family

Conflict) adalah suatu kondisi di mana terjadi pertentangan pada seorang individu yang

diharuskan memilih dua peran atau lebih secara bersamaan.

II.B.3. Dimensi-Dimensi Konflik Peran Ganda

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-

directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari :

1) Work-family conflict

Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu

tanggung jawab terhadap keluarga. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005)

mendeskripsikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana

secara umum permintaan, waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan

mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Jadi dapat disimpulkan work-family

conflict sebagai konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang

mengganggu tanggung jawab keluarga dimana secara umum permintaan waktu dan

ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga.

2) Family-work conflict

Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu

tanggung jawab terhadap pekerjaan. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005)

mendeskripsikan family-work conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana

secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung

jawab pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan family-work conflict adalah konflik yang

muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab

terhadap pekerjaan dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam

keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan.

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi dari konflik peran

ganda muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work-family

conflict maupun family-work conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yaitu: time-based

conflict, strain-based conflict, behavior-based conflict.

Page 20: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 20

II.B.4.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Stoner et al. (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konflik

peran ganda, yaitu:

1) Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin

sedikit waktu untuk keluarga

2) Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak

konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.

3) Job satisfaction, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin

sedikit.

4) Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi

yang negatif terhadap pernikahannya.

5) Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi

konflik peran ganda seseorang.

II.C.Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

Polisi wanita adalah seseorang yang pekerjaannya memberikan pelayanan terhadap

masyarakat. Profesi sebagai polisi wanita yang termasuk dalam elemen Kepolisian Republik

Indonesia atau POLRI bertugas sebagai aparat penegak hukum, pelindung dan pengayom

masyarakat. Kemampuan kerja yang baik sebagai pelayan masyarakat, dilandasi oleh

kedisiplinan tinggi dan jiwa kejuangan merupakan kebijakan dan keinginan institusi Polri untuk

memberikan pelayanan terbaik terhadap seluruh masyarakat. Jadi dengan demikian polisi wanita

mempunyai tugas ganda yaitu di satu sisi sebagai polisi dengan segala tugasnya dan di sisi lain

sebagai wanita. Sebagai wanita, polisi wanita tetap dituntut melaksanakan konsep peran

tradisional mereka yang menurut Ancok (1995) seorang wanita mempunyai tugas harus melayani

keperluan suami dan anak-anaknya, mengasuh anak menurut pola yang dibenarkan masyarakat

dan mengatur segala urusan rumah demi terselenggaranya tata laksana rumah tangga yann baik.

Dengan adanya peran ganda tersebut, maka polisi wanita lebih banyak dihadapkan pada

tantangan, permasalahan dan kesulitan, mengingat polisi wanita dituntut mengutamakan

kepentingan dinas dari pada kepentingan pribadi, patuh dan taat pada pimpinan, serta senantiasa

melaksanakan perintah (Candi, 2001). Berkaitan dengan dinamika dan fenomena kerja polisi

wanita yang memiliki peran ganda serta berbagai hambatan yang muncul sering kali

menimbulkan konflik yang berarti bagi polisi wanita. Permasalahan yang sering timbul pada

Page 21: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 21

wanita yang memiliki peran ganda adalah peran sebagai wanita dalam rumah tangga dan tetap

membina karir.

Page 22: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 22

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.A. METODE PENELITIAN

Dalam melaksanakan suatu studi atau penelitian, para peneliti memakai beberapa

pendekatan yang mempermudah proses penelitian dan menghasilkan tujuan yang ingin di capai

dari penelitian tersebut. Salah satu pendekatang yang sering digunakan adalah pendekatan

kualitatif. Pendekatan ini umumnya dikenal sebagai pendekatan yang mengukur suatu gejala

secara fenomenologis.

Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sering dipakai dalam bidang studi atau

penelitian tentang manusia dan berbagai bentuk tingkah lakunya. Pendekatan ini digunakan

karena banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi penghayatan terhadap

berbagai pengalaman pribadi (Poerwandari, 2007). Menurut Bogdan & Taylor (dalam

Poerwandari, 2007). Pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan tidak

dinilai benar-salah atau iya-tidak. Penelitian ini lebih mementingkan segi proses daripada hasil.

Penelitian mengenai konflik peran ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

studi kasus. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena pendekatan ini dapat memahami

gejala tingkah laku yang nyata dan emosi manusia menurut penghayatan individu, dengan kata

lain melalui sudut pandang subjek penelitian. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti dapat

menggali lebih dalam bagaimana konflik peran yang dialami oleh anggota Polisi wanita yang

bertugas di Polresta X. Jenis pendekatan kualitatif yang digunakan adalah kualitatif deskriptif

yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai konflik peran pada polisi wanita yang

bertugas di Polresta X.

III.B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk

memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan

dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal

yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2007).

Page 23: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 23

Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang di buat berdasarkan pada sumber

dan factor konflik peran yang ingin di ketahui. Pedoman wawancara tersebut terlebih dahulu

telah di standarisari oleh profesional judgment. Kegunaan pedoman wawancara tersebut adalah

untuk mengingatkan peneliti mengenai hal-hal yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar

pengecek (checklist) apakah sumber serta faktor tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat

proses wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku responden

penelitian (Poerwandari, 2007). Tujuan dilakukannya observasi adalah sebagai crosscheck

terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh subjek penelitian secara verbal.

III.C. RESPONDEN PENELITIAN

III.C.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita, dengan karakteristik

sebagai berikut :

- Bertugas di Polresta X

- Menduduki posisi strategis di organisasi Polri

- Masa kerja minimal 5 tahun dan sudah menikah serta mempunyai anak

III.C.2. JUMLAH RESPONDEN

Prosedur penentuan jumlah responden penelitian dalam penelitian kualitatif menurut

Sarankatos (dalam Poerwandari, 2007) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan

secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik

responden, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak

diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada

kecocokan konteks; (3) responden tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada

kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Banister dkk. (dalam Poerwandari,

2007) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman proses, penelitian kualitatif

cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila

secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan

bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang sangat mendalam. Sesuai

dengan pernyataan tersebut, jumlah responden penelitian dalam penelitian ini satu orang,

disebabkan keterbatasan waktu yang penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sehingga tidak

memungkinkan peneliti untuk meneliti dengan jumlah responden yang lebih banyak.

Page 24: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 24

Dan dengan jumlah responden tersebut, diharapkan akan dapat memberikan deskripsi

tentang konflik peran yang dialami wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita.

III.C.3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel dalam

penelitian ini dengan menggunakan teknik snowball-sampling. Dimana peneliti akan meminta

rujukan kepada responden sebelumnya mengenai responden kedua yang memiliki karakteristik

yang sama dengan responden pertama.

III.C.4. LOKASI PENELITIAN

Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah Medan, dengan alasan fenomena yang

sedang diteliti berada di daerah tersebut.

III.D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian,

mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis,

menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian.Dalam mengumpulkan data-data

penulis membutuhkan alat Bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan dua alat bantu, yaitu :

1. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari

tujuan penelitian.Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi

juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Alat Perekam

Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat

berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat

jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat

dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada

saat wawancara berlangsung.

3. Lembar Observasi

Peneliti membuat lembar observasi yang sederhana untuk mencatat apa saja yang

diobservasi selama wawancara berlangsung baik responden penelitian atau kondisi

lingkungan selama wawancara.

Page 25: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 25

III.E. PROSEDUR PENELITIAN

III.E.1. TAHAP PERSIAPAN

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan

untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), sebagai berikut :

- Mengumpulkan data

- Menyusun pedoman wawancara

- Persiapan untuk mengumpulkan data

- Membangun rapport dan menyusun jadwal wawancara

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, peneliti memasuki beberapa tahap

pelaksanaan penelitian, antara lain:

- Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

- Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

- Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

- Melakukan analisa data

- Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

III.E.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat

bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum

wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang

akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan

secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang

dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

III.F. PROSEDUR ANALISA DATA

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding

dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan

mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik

yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang

Page 26: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 26

penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan

prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan

bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang

diperolehnya (Poerwandari, 2007).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang

sistematis memungkinkan peneliti untuk :

- Memperoleh data yang baik

- Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

- Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan

lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip

wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi

umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola” yang pihak lain

tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak

dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode

informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang

kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara

gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat

mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

Peneliti menggunakan analisis tematik berdasarkan konflik peran yang diutarakan di bab

II.

4. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya

memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks

interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu pertama, konteks

interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha

memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh responden

penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Kedua,

Page 27: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 27

konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (critical commonsense understanding)

terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya.

Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis. Konteks pemahaman teoritis adalah

konteks yang paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu

digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi

konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum. Dalam penelitian ini,

tahapan interpretasi menggunakan konteks ketiga yakni interpretasi pemahaman teoritis.

Peneliti akan menginterpretasi data-data berdasarkan teori-teori di bab II.

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dalam penelitian kualitatif dugaan muncul

setelah data-data wawancara dikumpulkan. Dengan mempelajari data, kita

mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan

sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji

ketepatannya dengan mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari dugaan yang

muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang

berbeda-beda mengenai data yang sama.

III.G. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk

menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan

kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan

merupakan interaksi berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.

Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan

mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok

sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan

objektifitas penelitian ini, yaitu dengan:

1. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini

adalah wanita yang berprofesi sebagai polisi wanita.

2. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara berlangsung

responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada

saat wawancara.

Page 28: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 28

3. Membuat pedoman wawncara berdasarkan sumber dan faktor resiliensi. Kemudian

melakukan standarisasi pedoman wawanncara dengan professional judgement. Pada

penelitian ini, professional judgment adalah dosen pembimbing penelitian ini.

4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data

yang akurat.

5. Selama wawancara, peneliti menanyakan kembali beberapa pertanyaan yang dirasa butuh

penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara berikutnya untuk memastikan

keakuratan data responden.

6. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini

memungkinkan peneliti mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang responden

penelitian.

7. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang

kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses

penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan

kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

8. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara

yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

Page 29: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 29

BAB IV

DESKRIPSI DATA DAN ANALISA

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk

mempermudah pembaca maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-responden.

Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman

wawancara.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu untuk

mempermudah diperolehnya pembahasan yang jelas dan utuh. Contoh kode yang digunakan

adalah R.1/W.1/b.88-89/h.2, maksud kode ini adalah kutipan pada responden 1, wawancara 1,

baris 88 sampai 89, verbatim halaman 2.

Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara kedua responden pada penelitian ini :

No Responden Tanggal Waktu Tempat

1 I 04-12-13 13.00-14.00 Ruang Kerja

2 11-12-13 13.00-13.45

A. Responden I

Deskripsi Data Responden I

B. Deskripsi Data

Responden merupakan anggota Bhayangkara Wanita berpangkat Ajun Komisari Besar

Polisi (AKBP) dan memangku jabatan terakhir sebagai Kapolres Binjai. Selain sebagai seorang

anggota Bhayangkara Wanita, responden juga sebagai istri dari anggota polisi dan ibu dari tiga

orang anak. Disamping perannya sebagai pimpinan, responden juga memiliki peran sebagai ibu

rumah tangga dan istri.

No Identitas Responden

1 Nama : Tante Bunga Usia : 40 Tahun

Agama : Kristen Pendidikan Terakhir : S1

Domisili : Medan Jabatan Terakhir : Kapolres Binjai

Page 30: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 30

Pengambilan data pertama dilakukan pada tanggal 4 Desember 2012 diruangan kerja

responden. Pada saat peneliti memasuki ruangan kerja responden, terlihat ruangan kerja tersebut

tertata dengan apik. Terlihat responden sedang duduk dimeja kerjanya dan sedang memeriksa

beberapa dokumen yang ada dihadapannya. Responden mempersilakan peneliti duduk di sofa

ruang kerjanya yang berwarna coklat manis tersebut sembari berpindah tempat dan duduk

disamping peneliti. Pengambilan data kedua yaitu tanggal 11 Desember 2013 tidak jauh berbeda

dengan proses pengambilan data pertama. Hanya saja pada saat itu peneliti harus menunggu

sebentar disebabkan responden sedang melaksanakan rapat untuk membahas gelar Ops Lilin

Toba 2013.

Peran ganda yang dialami responden membuat responden kesulitan membagi waktu

antara memenuhi perannya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya serta perannya sebagai salah

satu pimpinan dari institusi kepolisian. Tuntutan anak-anak yang selalu meminta responden

memenuhi perannya sebagai ibu dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan responden siap

sedia selama 24 jam jika ada sesuatu kondisi urgent yang memintanya untuk turun ke lapangan.

Factor-faktor seperti size family, family size, job satisfaction, marital and life satisfaction, size of

firm dapat menjadi sumber konflik peran ganda bagi responden.

C. Deskripsi Sumber Konflik Peran Ganda

Ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan diluar rumah tentu akan merasakan yang

namanya konflik peran ganda. Antara menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga serta

melayani suami dan perannya sebagai karyawan ditempat kerjanya. Tak jarang kedua peran

tersebut menjadi sumber konflik bagi wanita yang bekerja dan juga sebagai ibu rumah tangga.

Seperti responden dalam penelitian ini, selain menjalankan peran sebagai ibu dan istri

dirumahnya, ia juga harus berperan sebagai atasan dikantor tempat dirinya bekerja. Waktu yang

tersita karena pekerjaan, stress yang dialami karena kedua peran, ketegangan yang ditimbulkan

salah satu peran serta perilaku yang kurang afektif bagi salah satu peran yang dijalani merupakan

sumber konflik peran ganda yang terjadi.

1. Menghabiskan Terlalu Banyak Waktu Untuk Pekerjaan

Tuntutan pekerjaan yang terlalu banyak sering kali membuat responden kesulitan untuk

membagi waktu antara mengurus keluarga dan pekerjaannya. Tanggung jawab yang terkadang

memintanya untuk tetap bekerja di luar jam operasional kantor untuk kondisi urgent dirasanya

Page 31: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 31

terlalu memotong jam berkumpulnya bersama keluarga, namun harus tetap dilakukan demi

mengemban tugasnya sebagai seorang atasan.

“Kadang suka bingung sama kebijakan pimpinan nih. Sulit ketebaknya. Kadang itu sih

yang bikin stress, pas mau sama keluarga tiba-tiba harus ngerjain kerjaan kantor. Padahal diluar jam kerja.” (W1.R1.041213/b.65-70)

Responden mengatakan jika hal tersebut terjadi, urusan keluarga menjadi terbengkalai,

sehingga waktu berkumpul pun menjadi berkurang.

“Apalagi polwan, sudah menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu

jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya.” (W1.R1.041213/b.74-79)

2. Stres yang Diakibatkan Salah Satu Peran dan Berdampak Pada peran lainnya.

Banyaknya tanggungjawab dikantor yang harus diselesaikan tak urung membuat

responden merasa bingung bingung sendiri untuk memilah mana yang perlu diutamakan.

Tugasnya sebagai ibu dan istri kadang bertentangan dengan tugasnya sebagai anggota

Bhayangkara yang harus siap sedia 24 jam untuk masyarakat.

“Kalau kerjaan menyita waktu, atau kalau harus memenuhi panggilan pimpinan padahal

udah malam. Kan kasian anak-anak.” (W1.R1.041213/b.130-132)

Stress yang dialami responden tentu memiliki efek baik terhadap kinerjanya maupun

terhadap keluarganya. Hal tersebut juga diakui oleh responden.

“Ya kadang begitu.. kalau udah stress dikantor sama kerjaan, paling om yang jadi bulan- bulanannya. Kalau stress karena urusan keluarga, anak rewel, anggotalah yang kadang

kena atau kerjaan yang tidak beres.” (W2.R1.111213/b.234-238)

3. Kecemasan dan Kelelahan yang Dialami Karena Salah Satu Peran

Responden mengatakan dirinya punya batas lelah yang kadang ia rasakan saat bekerja

sehingga terkadang berdampak buruk terhadap kehidupan keluarganya dan perannya sebagai ibu

maupun istri dirumah. Pekerjaan yang nemumpuk dan tantangan serta tanggung jawabnya

sebagai pelayan masyarakat membuatnya terkadang menjadi tegang dan kelelahan.

“Terkadang Nda, capek, lelah, tegang. manusiawi lah itu kalau tante mikirnya. Tante juga punya batas capek.”

(W2.R1.111213/b.230-232)

4. Perilaku yang Efektif untuk Satu Peran dan Tidak Efektif untuk Peran Lain

Page 32: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 32

Responden memiliki tanggungjawab responden yang besar terhadap institusinya serta

perannya sebagai pelayan masyarakat, akan tetapi disisi lain dirinya juga harus

bertanggungjawab terhadap keluarganya. Tanggungjawabnya sebagai ibu dan istri yang harus

mengurusi segala keperluan rumah tangga membuat dirinya harus lihai dalam membagi waktu.

Akan tetapi kadang kala ada situasi yang membuat dirinya harus memilih peran mana

yang harus diutamakan, sehingga terkadang ada saja perilakunya yang tidak sesuai dengan

tanggungjawabnya sebagai Polisi Wanita ataupun sebagai ibu.

“kadang anak-anak pengen dijemput sama tante kalau pulang sekolah itu, tapi kan tante

enggak bisa. Atau kadang ada acara merekanya. Yang lebih sedih itu kalau ada yang sakit. Mau ninggalin enggak tega, mau bolos paling setelah jam apel. Hilang-hilang dari kantor.”

(W1.R1.041213/b.19-24)

D. Deskripsi Dimensi Konflik Peran Ganda

1) Work-family conflict

Peran responden sebagai Polisi wanita dengan semboyan menjadi pelayan masyarakat,

mau tidak mau menuntut responden harus siap sedia 24 jam demi masyarakat. Disamping

perannya sebagai pelayan masyarakat, responden juga memiliki peran sebagai ibu untuk tiga

buah hatinya serta istri bagi suaminya.

Pekerjaan yang bersifat urgent terkadang harus dilalui responden dengan mengorbankan

waktu bersama keluarga demi pekerjaannya. Tak jarang responden juga harus menghadapi

celotehan anak-anaknya yang meminta dirinya menemani aktifitas mereka namun dirinya juga

harus mengutamakan pekerjaanya sebagai pelayan masyarakat, dan hal tersebut membuat

responden merasakan stress.

“apalagi kalau udah harus berhadapan dengan pekerjaan yang lumayang berat ya. Terus pimpinan juga skarang ini ketat betul, anak-anak rewel.”

(W1.R1.041213/b.11-14)

Responden merasa pekerjaannya sebagai polisi menyita waktunya untuk bersama

keluarganya, terlebih lagi suaminya yang juga seorang polisi memiliki kesibukan yang sama

dengan dirinya. Waktu berkumpul mereka bersama anak-anak mereka menjadi sedikit karena

harus bekerja dan harus bersiap selama 24 jam ketika ada keadaan darurat yang meminta mereka

untuk turun langsung ke lapangan. Dan hal tersebut membuat responden merasa dilemma untuk

mengutamakan pekerjaan atau keluarganya.

Page 33: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 33

“..Kadang sedih juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah.

Kalau bahasanya anak-anak jaman sekarang galau.” (W1.R1.041213/b.42-46)

Dengan tanggungjawab yang besar terhadap masyarakat, responden terkadang mau tidak

mau harus mengorbankan waktunya bersama keluarga demi pekerjaannya. Akan tetapi

responden merasa sedikit bingung dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pimpinannya

sehingga semakin membuat waktunya bersama keluarga menjadi berkurang. Beberapa kebijakan

yang diterapkan pimpinannya saat ini kadang mengharuskan responden melakukan pekerjaan

nya diluar jam operasional kantor, dan hal tersebut semakin membuat waktu responden bersama

keluarganya berkurang.

“..kadang suka bingung sama kebijakan pimpinan nih. Sulit ketebaknya. Kadang itu sih yang bikin stress, pas mau sama keluarga tiba-tiba harus ngerjain kerjaan kantor.

Padahal diluar jam kerja Nda.” (W1.R1.041213/b.65-70)

Tak jarang tuntutan pekerjaan yang berlebihan serta tuntutan keluarga yang menuntut

responden hadir ditengah-tengah mereka membuat responden merasa stress. Alhasil, hal tersebut

menimbulkan dampak bagi pekerjaan maupun kehidupan rumahtangga responden. Hal itu

membuat responden terkadang menimbulkan perilaku marah-marah ketika dirinya merasa stress.

“.. kalau udah stress dikantor sama kerjaan, paling om yang jadi bulan-bulanannya.

Kalau stress karena urusan keluarga, anak rewel, anggotalah yang kadang kena atau kerjaan yang tidak beres. Tapi sejauh ini tante mencoba professional Nda.. enggak menutup kemungkinan juga bakal marah-marah..”

(W2.R1.111213/b.234-241)

2. Family-Work Conflict

Sebagai seorang wanita karir, responden tidak melupakan tanggungjawabnya sebagai ibu

dan istri. Walaupun dirasa berat harus mengurusi keduanya, namun diakui responden dirinya

berusaha menjalani kedua pernnya sebaik mungkin. Akan tetapi ada kalanya responden juga

kesulitan membagi waktu antara mengurusi keluarga dan pekerjaannya. Sering kali responden

juga mengilang dari kantornya setelah jam apel pagi untuk mengurusi anaknya, dan hal tersebut

dilakukannya untuk memenuhi perannya sebagai ibu.

“..kadang anak-anak pengen dijemput sama tante kalau pulang sekolah itu, tapi kan tante enggak bisa. Atau kadang ada acara merekanya. Yang lebih sedih itu kalau ada yang sakit. Mau ninggalin enggak tega, mau bolos paling setelah jam apel. Hilang-hilang dari

kantor.” (W1.R1.041213/b.19-25)

Page 34: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 34

Meskipun keluarganya mendukung responden dalam berkarier, akan tetapi responden

masih sering menerima keluhan dari anak-anaknya tentang kesibukan dirinya. Anak-anak

responden sering mengeluh karena kesibukan pekerjaan yang dijalani responden. Alhasil,

terkadang responden sering menghilang dari jam kantor untuk mengurusi kedua anaknya.

Meskipun demikian, anak responden yang tertua suda mengerti tentang tanggungjawab yang

diemban oleh ibunya.

“Kalau yang besar udah bisa ngerti mamahnya kerja, adek-adeknya yang 2 lagi suka rewel. Apalagi kalau sakit, kadang om sama tante juga sama-sama sibuk. Akhirnya terpaksa lari-lari dari kantor waktu jam kerja.”

(W1.R1.041213/b.49-53)

Kesibukannya sebagai salah seorang atasan di tempat dirinya bertugas, pastilah menyita

waktunya berkumpul bersama keluarga. Belum lagi menurut dirinya terkadang pimpinannya

tidak mengerti kondiri anggota Polwan yang sudah menikah. Responden pun merasakan karena

kesibukannya bekerja diluar rumah, membuat urusan rumah tangganya seperti mengurus ketiga

anaknya menjadi terbengkalai.

“tapi pimpinan juga kan harus paham kondisi anggotanya. Apalagi polwan, sudah

menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti

neneknya atau tantenya…, belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu paling berat, terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.73-83)

Responden selalu menyiasati rengekan anaknya dengan membujuk anak-anaknya. Dan

selalu membawa anak-anaknya jalan-jalan bersama ketika hari libur, hal tersebut dilakukannya

untuk menebus waktunya yang sudah tersita untuk pekerjaannya.

“Ya terpaksa dibujuk-bujuk Ndah. Nanti kalau hari minggu atau hari libur, jalan-jalan. Dibawa kemana mereka mau. HP pun enggak tante aktifkan..”

(W1.R1.041213/b.138-141)

E. Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Wanita yang menjalani peran ganda terkadang harus berhadapan dengan konflik-konflik

yang muncul ketika mereka memilih untuk tetap bekerja setelah menikah. Dalam menjalani

peran ganda tersebut, wanita terkadang harus berhadapan dengan konflik-konflik antara

tanggungjawabnya sebagai seorang pekerja, dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu dan

istri. Berikut adalah factor yang mempengaruhi konflik peran ganda yang dialami wanita bekerja.

1) Time Pressure

Page 35: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 35

Dalam menjalani perannya sebagai polisi wanita, ibu dan istri, tak dipungkiri dirinya

harus legowo jika waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja dari pada bersama

keluarganya. Perasaan sedih sering hinggap dihati responden ketika harus lebih mengutamakan

pekerjaan daripada keluarganya. Terlebih responden dan suaminya memiliki profesi yang sama,

alhasil sang buah hati pun sering dikesampingkan demi pekerjaan.

“Maklum ajalah, masih anak-anak mereka enggak ngerti kalau mamanya harus kerja. Kadang sedih juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak

ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah. Kalau bahasanya anak-anak jaman sekarang galau.”

(W1.R1.041213/b.40-46)

Berbagai macam kegiatan dan pekerjaan responden yang harus dikerjakannya sebaik

mungkin, agar memberikan hasil yang maksimal dan sesuai dengan semboyan organisasinya,

melayani masyarakat. Walaupun harus merelakan waktu bersama keluarganya demi pekerjaanya

melayani masyarakat.

“Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya..,belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu palingberat,

terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.76-83)

Banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan serta tuntutan dari atasannya, membuat

responden mau tidak mau harus menyelesaikan pekerjaan tersebut terlebih dahulu, meskipun

sudah lewat jam operasional kantor. Padahal pekerjaan tersebut dirasanya bisa dikerjakan

keesokan hari agar tidak mengganggu waktunya berkumpul dengan keluarganya.

“Sekarang keberatan Ndah, karena sering ada aktifitas diluar jam kerja. Yang padahal

bisa dikerjakan besoknya dan tidak mengganggu jam kerja.” (W1.R1.041213/b.86-89)

2) Family Size and Support

Menjalani peran sebagai seorang istri, ibu dan wanita karir bukanlah hal yang mudah

untuk dilakukan, terlebih jika keluarga memberikan dukungan yang minim. Beruntung bagi

responden dirinya mendapat dukungan penuh dari sang suami tercintanya. Apalagi, responden

dan suaminya berada dalam satu organisasi yang sama. Sehingga suaminya sudah mengetahui

tugas, tanggungjawab serta resiko apa saja yang akan dihadapi oleh istri tercintanya.

“kalau Om, udah biasa, udah tau tuntutan kerja seperti apa. Mau complain juga susah.

Nanti malah jadi berkelahi pula, ha ha ha. Kalau om yang complain tante diam aja. Biarin aja.”

Page 36: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 36

(W1.R1.041213/b.26-30)

“Om sudah tau dari dulu tante ini bekerja, bedanya Cuma tugas polwan sekarang tidak seperti polwan yang dulu Nda. Lebih parah tuntutan yang sekarang, walaupun ya enggak semuanya lah.”

(W1.R1.041213/b.34-38)

3) Job Satisfaction

Beban kerja dan yang dirasa berlebihan serta kebijakan pimpinan yang dirasa terkadang

tidak sesuai dengan keadaan lapangan, terkadang menimbulkan rasa lelah pada diri responden.

Belum lagi pekerjaan yang dirasa responden semakin tidak jelas kemana arahnya.

“Karena reformasi Polri, jadi ya begini ini. Pekerjaan semua harus dikerjakan, tapi tidak

jelas sistemnya seperti apa. Banyak juga yang bingung. Harusnya benahi dulu sistemnya. Ini carut marut.”

(W1.R1.041213/b.93-97)

Kebijakan pimpinan yang dirasa responden terkadang tidak sesuai membuat responden

menjadi bingung ketika bekerja. Ditambah lagi ada oknum polisi wanita yang dirasanya tidak

bekerja dengan maksimal dan hanya menebar pesona ketika bekerja.

“Struktur organisasi jelas banget Ndah. Tapi kerjaan itu yang enggak jelas. Maksud tante, smua itu sudah ada bagian masing-masing, tapi ya begitulah. Mungkin beda pimpinan beda kebijakan juga ya, jadinya rasa gimana”

(W1.R1.041213/b.101-105)

ada polwan yang kerjanya duduk-duduk aja, masih muda, kerja Cuma pamer tampang ya

mbok itu yang diberdayakan. Kenapa yang tua-tua begini yang dikasih porsi kerja paling besar.

(W1.R1.041213/b.107-111)

Sumber daya yang kurang diberdayakan dirasakan responden cukup membuatnya

kesulitan ketika bekerja bersama dengan junior-juniornya. Meskipun sudah diberikan pendidikan

bagi anggota polisi wanita tersebut, akan tetapi responden masih merasa hal tersebut belumlah

cukup.

“Itu diatas kertas ya begitu Ndah. Kenyataannya dilapangan, yang muda muda itu belum bisa bekerja maksimal, kecuali mengeluh. Alhasil pimpinan berang terus yang tua-tua ini yang kena getahnya.”

(W1.R1.041213/b.116-120)

Rasa ketidakpuasan responden juga diutarakannya berhubungan dengan kebijakan

pimpinan yang ia rasakan kurang bisa diterapkan untuk beberapa keadaan lapangan. Dirinya

merasakan jika beberapa kebijakan sangat menyulitkan dirinya ketika terjun ke masyarakat serta

berhadapan dengan tingkah polah masyarakat. Sering kali juga beratnya beban kerja yang

Page 37: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 37

dirasakannya karena imbas dari kebijakan pimpinan yang kurang tepat tersebut berpengaruh

terhadap kehidupan rumah tangganya.

“Kadang-kadang suka kesal, bukan dengan siapa-siapa. Kadang pimpinan punya

kebijakan sendiri mengenai pekerjaan, tapi yang tahu keadaan lapangan itu kan orang- orang yang turun ke lapangan langsung. Pimpinan kadang Cuma ngasih instruksi. Kesalnya disitu sih Nda.”

(W2.R1.111213/b.170-176)

“Pengaruh nda, seperti yang tante bilang tadi. Masalah Pekerjaan itu tadi, pimpinannya

kebijakannya gimana lalu keadaan lapangan gimana. Kadang ada kejadian yang tidak bisa menggunakan metode persuasi Ndah.”

(W2.R1.111213/b.179-183)

Bukan hanya kebijakan pimpinan yang dirasanya menimbulkan ketidakpuasan dalam

pekerjaan, rekan kerjanya yang tergolong baru juga dirasakan membuatnya sakit kepala saat

bekerja. Menurutnya keminiman sumber daya yang berkualitaslah yang membuat responden

merasa stress ketika sedang bekerja bersama dengan rekan-rekannya yang tergolong baru

menjadi anggota polisi.

“Stress donk Nda, bagaimana kalau anggota itu respectnya enggak ada, lalu baru jadi

polisi kemarin pagi sorenya udah petantang-petenteng. Disuruh ngerjain apa-apa enggak jelas.”

(W2.R1.111213/b.291-295)

4) Size of Firm

Banyaknya beban kerja yang emban responden membuat urusang rumah tangganya

menjadi terbengkalai. Responden lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengerjakan

pekerjaan kantornya daripada mengurusi buah hatinya. Dan hal tersebut membuat responden

merasa gundah.

“..masih anak-anak mereka enggak ngerti kalau mamanya harus kerja. Kadang sedih

juga, kalau jalan-jalan enggak pernah lengkap. Kadang papanya enggak ada, kadang si kakak karna les, kadang tante yang gak ada. Wah, dilemalah. Kalau bahasanya anak- anak jaman sekarang galau.”

(W1.R1.041213/b.40-46)

Jam kerja yang tidak menentu dan mengharuskan responden sigap untuk berhadapan

dengan masyarakat luas membuat urusan rumah tangga dan anak-anaknya menjadi terbengkalai.

Ditambah lagi pimpinan yang dirasanya kurang mengerti kondisi dirinya dan teman-temannya

yang sudah menikah, menambah bebannya ketika bekerja dan mengurusi keluarganya.

“tapi pimpinan juga kan harus paham kondisi anggotanya. Apalagi polwan, sudah menikah dan punya anak. Otomatis waktu dengan keluarga itu jadi berkurang kan. Anak

Page 38: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 38

terbengkalai jadinya. Syukur-syukur ada keluarga yang mau bantu ngurus seperti neneknya atau tantenya..belum lagi kalau ada tugas diklat Ndah. Waduh itu paling berat,

terkadang sampai seminggu ninggalin anak atau lebih malah.” (W1.R1.041213/b.73-83)

F. Analisa

Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka diantara

kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Begitu juga yang dialami responden, yang

harus menjalankan tugasnya sebagai anggota polisi wanita dan harus juga menjalani tugasnya

sebagai seorang ibu dan istri. Hal tersebut senada dengan yang diutarakan oleh Frone,

Russell&Cooper (1992) didefinisikan sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, di mana

di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga

secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga

mengganggu pekerjaan.

Konflik peran ganda juga memiliki sumber-sumber yang mampu membuat seseorang

merasakan stress dan ketegangan ketika menjalani peran ganda mereka (Greenhaus dan Beutell,

1985). Responden pun merasakan hal yang sama, waktu yang dimilikinya lebih banyak

dihabiskannya untuk memenuhi perannya sebagai anggota polisi dari pada perannya sebagai

seorang ibu dan istri. Selain ini, memiliki dua peran yang harus dijalani secara bersamaan

menimbulkan sehingga menimbulkan stress. Stress yang timbul disebabkan tekanan dari satu

peran yang berlebihan sehingga menyebab peran yang lain menjadi terbengkalai.

Sumber konflik peran lainnya adalah kecemasan dan kelelahan, beban kerja yang

berlebihan ditambah lagi perannya sebagai ibu dan istri yang harus mengurusi keperluan rumah

tangga, tak pelak membuat responden merasa kelelahan. Menjalankan dua peran sekaligus

bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, disebabkan kedua peran yang dijalaninya tersebut

bertentangan satu sama lain. Satu perannya sebagai atasan di institusinya yang mewajibkan

dirinya memiliki ketegasan, peran yang satu adalah sebagai ibu dan istri yang membutuhkan

kesabaran dan kelemahlembutan.

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-

directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari work-family conflict dan family-work

conflict. Dimana responden yang menjalani kedua peran, yaitu sebagai anggota polisi wanita

serta sebagai ibu rumah tangga mengalami ketumpang tindihan dalam menjalani peran yang

dimilikinya. Dimana responden memiliki harapan untuk mampu menjalani kedua peran tersebut

Page 39: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 39

dengan sebaik mungkin. Akan tetapi tuntutan tugas pekerjaannya yang terlalu berat

mengharuskannya menyisihkan salah satu tugasnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga.

Adanya factor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda seseorang menurut Stoner

et al. (1990), time pressure, family size and support, job satisfaction, marital and life

satisfaction, size of firm. Tingginya beban kerja yang dimiliki responden, membuat waktunya

berkurang bersama keluarganya dan lebih banyak menjalankan rutinitas kantornya.

Perannya sebagai ibu sedikit terbengkalai disebabkan tanggungjawabnya yang besar

terhadap masyarakat. Meskipun demikian suaminya selalu mendukung responden menjalankan

tugasnya dengan baik, meskipun kadang mendapat pertentangan dari buah hatinya. Sebagai

seorang yang bekerja bersama kelompok dengan tanggung jawab yang besar terhadap

masyarakat, responden sedikit kurang merasa puas apabila ada kebijakan pimpinan yang

dirasanya kurang sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Ketidakpuasannya juga mencakup rekan

kerja yang dirasanya kurang cakap dalam bekerja.

Banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera oleh responden juga

membuat responden mengalami kesulitan ketika juga harus mengurusi keperluan keluarganya.

Tanggung jawab yang besar akan tugasnya sebagai polisi wanita membuat responden kadang

mengabaikan kebutuhan anak-anaknya akan dirinya .

Page 40: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab berikut berisi tentang kesimpulan atau hasil penelitian ini. Selanjutnya kesimpulan

ini akan di diskusikan berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan pada akhir

bab ini akan dikemukakan saran bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan tema

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

A. Kesimpulan

A.1. Gambaran Konflik Peran Ganda

Berdasarkan hasil analisis dari satu responden, ditemukan bahwa ada beberapa yang

menjadi sumber konflik peran ganda. Pertama, terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk

bekerja daripada bersama keluarga. Responden mengatakan tanggungjawabnya yang besar

terhadap pekerjaannya dan masyarakat mewjibkan diri harus siap sedia selama 24 jam terlebih

untuk keadaan urgent.

Kedua, stress yang diakibatkan satu peran dan mempengaruhi peran yang lainnya.

Dimana perannya sebagai atasan ditempatnya bekerja serta perannya sebagai ibu rumah tangga,

membuatnya terkadang merasa stress karena tuntutan salah satu peran yang dirasanya terkadang

berlebihan, terutama tuntutan dari pekerjaan.

Ketiga, kecemasan dan kelelahan yang dirasakan responden takkala dirinya harus bekerja

sepanjang waktu serta harus juga mengurusi keperluan keluarganya. Dan keempat, perilaku yang

efektif untuk salah satu peran namun tidak efektif untuk peran lainnya. Dimana responden terlalu

banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaannya sehingga perannya sebagai ibu dan istri

menjadi terbengkalai.

Banyaknya aktifitas responden dalam bekerja membuat perannya sebagai ibu

terbengkalai. Tanggungjawabnya yang besar untuk masyarakat membuat tanggungjawabnya

sebagai ibu dan istri menjadi terbengkalai dengan berbagai tuntutan kerja serta jam kerja yang

mewajibkannya siap sedia selama 24 jam. Dilain sisi, perannya sebagai ibu juga menuntutnya

untuk memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Dan hal tersebut dilakukan responden dengan

mengajak anak-anaknya berjalan-jalan diwaktu libur.

Page 41: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 41

A.2. Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Terdapat empat factor yang mempengaruhi konflik peran ganda responden, pertama time

pressure dimana responden lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja daripada

berkumpul bersama keluarganya. Kedua, family size and support dimana suami responden yang

memiliki profesi yang sama dengan dirinya selalu memberikan dukungan kepadanya, walaupun

anak-anaknya sering merenggek karena kesibukannya. Ketiga, job satisfaction dimana responden

terkadang kurang merasa puas dengan rekan kerjanya dirasanya tidak professional dalam bekerja

dan hal tersebut berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangganya. Keempat, size of firm

dimana banyaknya pekerjaan yang harus dilakukannya membuat perannya sebagai ibu dan istri

menjadi terbengkalai.

B. Saran

B.1. Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran praktis, yaitu :

1. Bagi institusi Kepolisian, diharapkan memperhatikan jam kerja untuk anggota polisi wanita.

Agar tidak menyisihkan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga.

2. Bagi keluarga, agar memberikan dukungan yang maksimal ibu atau anggota keluarga lainnya

yang berprofesi sebagai polisi wanita mampu bertanggungjawab baik sebagai polisi wanita

maupun sebagai ibu dan istri.

3. Bagi anggota polis wanita, agar mampu menyeimbangkan tanggungjawab sebagai polisi

wanita dan sebagai ibu serta istri.

B.2. Saran Penelitian Lanjutan

1. Penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang dukungan social kepada polisi wanita.

2. Peneliti selanjutkan dapat meneliti tentang fear of success wanita yang bekerja sebagai polisi

wanita.

3. Penelitian selanjut dapat meneliti tentan marital satisfaction pada wanita yang bekerja.

Page 42: Gambaran Konflik Peran Ganda Polisi Wanita

K o n f l i k P e r a n G a n d a P o l i s i W a n i t a

Page 42

DAFTAR PUSTAKA

Rizal, Edwin. (2010). Polisi wanita : identitas diri dan komunikasi. Bandung : Universitas Padjajaran

Rahardi, Pudi. (2007). Mengenal Figur Polisi Kita, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.

Anagora, P. (1998). Psikologi Kerja. Jakarta. Rineka Cipta.

Ihromo, O. (1990). Para ibu yang berperan tunggal dan yang berperan ganda. Laporan penelitia. Jakarat. Lembaga Penerbitan Fakultas Psikologi

Munandar, SCU. (1985). Suatu tinjauan psikologi : Emansipasi dan peran ganda wanita Indonesi. Jakarta : Universitas Indonesi

Vuuren, N. (1988). Wanita dan karier bagaimana mengenai dan mengatur karya. Yogyakarta : Kanisius

Wowor, R. (2002). Hubungan antara stress kerja dengan kepuasan kerja pada polisi wanita

Polda Metro Jaya. Skripsi. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Persda Indonesia YAI.

Nn, (2000). Polwan Srikandi harapan masa depan Polri. Maheka Tunggal Dharma : Majalah kepolisian daerah Jawa Tengah. Semarang : Dinas penerangan Polda Jateng.

Nn, (2001). Tantangan Polwan kedepan semakin berat. Cakra Candi : Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Semarang : Dinas penerangan Polda Jateng.

Tabah, Anton (1996), Polisi dan Kekerasan Penyidikan.

Suwarni, (2009). Perilaku Polisi; Studi atas Budaya Organisasi dan Pola Komunikasi, Nusa Media, Bandung

Pangastuti, VI. (2001). Konflik peran ganda ibu bekerja ditinjau dari motivasi berprestasi dan asertivitas. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi UNIKA Soegijapranata.

Frone, M R; Russell, M; Cooper, M L. (1992). Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict: Testing a Model of The Work-Family Interface. Journal of Applied Psychology,

Vol.77, No.1, p:65-78.

Frone, M. R., Russel, M & Cooper, M. L. (1994), Relationship Between Job Family and Family

Satisfaction: Causal or Noncaousal Covariati- on, Journal of Management, Vol. 20 No. 3. 565-579.

Greenhauss, J. H. & Beutel, N. J. 1985. Source of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, vol 10 No. 1, p. 76-88.