13
Page | 1 PARIWISATA BALI: ANTARA PELESTARIAN BUDAYA DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Oleh: i I GUSTI BAGUS RAI UTAMA ABSTRACT Perdebatan antara tujuan pelestarian dan pemberdayaan ekonomi pada pariwisata budaya dengan segala manisfestasinya, masih menjadi perdebatan yang hangat diantara para fakar pariwisata dan pelaku bisnis pariwisata. Sementara pembangunan pariwisata Bali dari masa ke masa, telah banyak mengalami perubahan seiring dengan dinamika social yang ada dalam masyarakat Bali. Artikel ini menggunakan metode desk research dengan melakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan, melalui kajian terhadap jurnal ilmiah, opini, dan artikel online, kemudian membandingkan dan menemukan persamaan dan perbedaannya sehingga dapat digunakan untuk menerangkan masalah yang ingin dipecahkan. Pada pembahasan artikel ini, ditemukan masih terdapat dualisme yang perlu dipadukan untuk mewujudkan keseimbangan antara tujuan pelestarian budaya dan pembangunan ekonomi bagi Bali. Ada beberapa solusi ditawarkan; seperti Picard menawarkan solusi pemahaman dan fungsi seni dan budaya dan aktivitasnya dalam pariwisata dan kehidupan beragama. Sementara Max-neef menawarkan Tourism community relationships, sedangkan solusi lainnya adalah perlunya stakeholders involment, Blue Print, dan Carrying Capacity. keywords: culture, budaya, heritage, warisan budaya, tourism, pariwisata, produk, komoditas, destinasi Pendahuluan Perdebatan antara Konservasi dan Pemanfataan Diskusi dan perdebatan tentang budaya saat ini sudah tidak lagi berdebat tentang ekspresi, imajinasi, atau kreativitas, namun sudah membahas tentang budaya sebagai 1 sebuah produk wisata. Menurut Hewison, (1988: 240, dikutip oleh Ho dan Bob McKercher, 2010) mengatakan bahwa budaya dikonsumsi sebagai sebuah komoditas karena didalamnya terkandung nilai experiences. 2 Pada masyarakat modern, heritage seringkali dijadikan komoditas yang bernilai ekonomis khususnya untuk kepentingan industri pariwisata (Graham at al, 2000) padahal nilai yang terkandung pada heritage sebenarnya lebih dari pada anggapan heritage sebagai sebuah barang dan jasa, akibatnya terjadilah eksploitasi heritage sebagai sebuah produk pariwisata, dan jika tidak dikelola secara bijaksana akhirnya heritage akan diperjualbelikan, distandarkan seperti 1 Culture has become a commodity. (Hewison, 1988: 240) 2 In contemporary society, heritage is often treated as a commodity for economic uses, especially for tourism (Graham, Ashworth & Tunbridge, 2000)

Publikasi bali budaya dan pembangunan ekonomi

Embed Size (px)

Citation preview

Page | 1

PARIWISATA BALI: ANTARA PELESTARIAN BUDAYA DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Oleh: iI GUSTI BAGUS RAI UTAMA

ABSTRACT

Perdebatan antara tujuan pelestarian dan pemberdayaan ekonomi pada pariwisata

budaya dengan segala manisfestasinya, masih menjadi perdebatan yang hangat diantara para fakar pariwisata dan pelaku bisnis pariwisata. Sementara pembangunan pariwisata Bali dari masa ke masa, telah banyak mengalami perubahan seiring dengan dinamika social yang ada dalam masyarakat Bali.

Artikel ini menggunakan metode desk research dengan melakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan, melalui kajian terhadap jurnal ilmiah, opini, dan artikel online, kemudian membandingkan dan menemukan persamaan dan perbedaannya sehingga dapat digunakan untuk menerangkan masalah yang ingin dipecahkan.

Pada pembahasan artikel ini, ditemukan masih terdapat dualisme yang perlu dipadukan untuk mewujudkan keseimbangan antara tujuan pelestarian budaya dan pembangunan ekonomi bagi Bali. Ada beberapa solusi ditawarkan; seperti Picard menawarkan solusi pemahaman dan fungsi seni dan budaya dan aktivitasnya dalam pariwisata dan kehidupan beragama. Sementara Max-neef menawarkan Tourism community relationships, sedangkan solusi lainnya adalah perlunya stakeholders involment, Blue Print, dan Carrying Capacity.

keywords: culture, budaya, heritage, warisan budaya, tourism, pariwisata, produk, komoditas,

destinasi

Pendahuluan

Perdebatan antara Konservasi dan Pemanfataan

Diskusi dan perdebatan tentang budaya saat ini sudah tidak lagi berdebat tentang ekspresi, imajinasi, atau kreativitas, namun sudah membahas tentang budaya sebagai 1sebuah produk wisata. Menurut Hewison, (1988: 240, dikutip oleh Ho dan Bob McKercher, 2010) mengatakan bahwa budaya dikonsumsi sebagai sebuah komoditas karena didalamnya terkandung nilai experiences.

2Pada masyarakat modern, heritage seringkali dijadikan komoditas yang bernilai ekonomis khususnya untuk kepentingan industri pariwisata (Graham at al, 2000) padahal nilai yang terkandung pada heritage sebenarnya lebih dari pada anggapan heritage sebagai sebuah barang dan jasa, akibatnya terjadilah eksploitasi heritage sebagai sebuah produk pariwisata, dan jika tidak dikelola secara bijaksana akhirnya heritage akan diperjualbelikan, distandarkan seperti 1 Culture has become a commodity. (Hewison, 1988: 240) 2 In contemporary society, heritage is often treated as a commodity for economic uses, especially for

tourism (Graham, Ashworth & Tunbridge, 2000)

Page | 2

layaknya sebuah barang yang berwujud padahal heritage itu juga mengandung elemen tak berwujud “intangible” yang mengansng nilai yang tidak pernah dapat distandarkan dan di hitung secara ekonomis.

3Lebih lanjut Graham at al, (2000) mengatakan, ketika Warisan Budaya “heritage” dan budaya “culture” dianggap sebagai sumber daya ekonomi dan kapital, akhirnya alasan inilah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk menjadikan budaya dan warisan budaya sebagai sebuah produk dalam industri pariwisata. Sementara Shackley (2001) membenarkan bahwa perjalanan yang mempersembahkan warisan budaya dan budaya sebagai produk akan berbau komersialisasi mendekati kebenaran.

4Pemanfaatan “cultural heritage” atau warisan budaya sebagai sebuah produk yang siap dikonsumsi pada industri pariwisata relatif masih baru, khususnya oleh kalangan profesional pariwisata dan kalangan ilmiah dimulai sekitar tahun 1990 (Ashworth at al, 1994). Ide pemanfaatan warisan budaya sebagai sebuah produk juga diawali adanya sebuah tujuan utama untuk memberikan kepuasan pada wisatawan, mempersembahan eksperiens yang menjadi kebutuhan wisatawan. Pola pendekatan yang digunakan adalah pendekatan produk dan pemasaran yang berimbang dengan memadukan tujuan antara pelestarian dan pengelolaan warisan budaya sebagai sebuah komoditas pariwisata.

Dalam konsep pengelolaannya, ada dua perbedaan mendasar yang sangat sulit untuk menemukan sebuah keseimbangan yakni antara prinsip pengelolaan warisan budaya yang lebih cenderung berdekatan dengan konservasi sedangkan pariwisata yang lebih cenderung mengarah pada industri pariwisata yang lebih cenderung pada komersialisasi. Kesulitan yang nyata terjadi ketika harus ditentukan berapa harga yang harus dipatok untuk sebuah produk warisan budaya. 56Sementara Gunn (1998: 10) menyatakan, sering terjadi kesalahan tentang pengertian produk pariwisata pada sebuah system pariwisata, dan kebanyakan sering didasarkan bahwa produk adalah sesuatu yang beruwujud. Dikatakan, perlu ada definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan produk?, bagaimana produk tersebut dapat difungsikan?, dan sangat mungkin bahwa produk warisan budaya mungkin hanya sebatas hayalan para wisatawan saja. Seringkali terjadi konsep yang berbeda antara pengelola produk pariwisata budaya dengan konsep konsumsi para wisatawan terhadap produk warisan budaya tersebut karena adanya perbedaan cara mengkonsumsinya, acapkali ada beberapa wisatawan yang memang benar-benar perduli dengan nilai yang terkadung pada sebuah warisan budaya yang dikunjunginya, namun tidak sedikit pula wisatawan yang tidak acuh dengan nilai yang termanifestasi pada sebuah warisan budaya. Untuk menyatukan konsep yang berbeda inilah diperlukan manajemen

3 Shackley (2001), although describing a journey to a sacred site as a service “product” being consumed by

its “customers” convey a very commercial feel, this is however true. 4 The idea of managing cultural heritage assets as products for tourism consumption is relatively new, for

cultural tourism professionals and scholars have been advocating this idea only since the late 1990s

(Ashworth, 1994; Hughes, 1989; McKercher & du Cros, 2002; Richards, 1996; Shackley, 2001). 5 Heritage selanjutnya disebut warisan budaya

6 Gunn (1988: 10), “Misunderstanding of the tourism product is often a constraint in a smoothly

functioning tourism

system”. Only if the true nature of a product is appreciated, will the management of it be successful and

fruitful.

Page | 3

yang mampu memadukan sehingga antara tujuan konservasi dan pemanfataan dapat bertemu dalam keseimbangan.

Heritage Tourism sebagai Industri

Christou 2005, (dikutip oleh Sigala and Leslie, 2005:8) berpendapat bahwa Heritage tourism adalah sebuah industri. Pendapatnya mengacu kepada aktifitas modern yang dapat direncanakan, dikontrol dan mempunyai tujuan untuk menghasilkan produk di pasar atau market. Heritage dan tourism merupakan perpaduan dua industri, dimana ‘heritage’ yang berperan untuk merubah sebuah lokasi menjadi destinasi dan ‘tourism’ yang merupakan pewujudan dari aktifitas ekonomi (Kirschenblatt-Gimblett,1998:151; dikutip oleh Urry, 1990:90; dan Smith,2006:13). Pada bagan dibawah ini merupakan interelasi dan komponen pada ‘heritage industry’:

Bagan 1: Component of the Heritage Industry (Ashworth, 1994;Cited in Sigala et al. 2005:9)

Pada bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Heritage dapat berwujud bagunan kuno, candi, museum, atau artefac lainnya yang dijadikan dan disajikan serta ditawarkan kepada visitor atau wisatawan. Dengan segala kreatifitas pengelolaan, situs-situs heritage tersebut kemudian dikemas sedimikian rupa pada sebuah iklan atau brosur atau presentasi audio visual sesuai target visitor yang diharapkan untuk berkunjung. Selanjutnya heritage yang telah dikemas tersebut disebut produk yang siap dikonsumsi oleh wisatawan.

Sebenarnya ada dua tujuan yang diharapkan pada konsepsi bagan di atas, pertama dari sisi pengelolaan heritage itu sendiri bertujuan untuk kelestarian “Conservation agencies” sementara pada sisi pengelolaan produk lebih mengacu pada kepentingan pelaku industry pariwisata “User Industries” yang lebih economy oriented. Untuk dapat menyeimbangkan keduanya diperlukan kebijaksanaan sehingga tujuan ekonomi tidak mengabaikan tujuan konservasi, begitu juga tujuan konservasi dapat berkelanjutan jika ada dukunggan pendanaan untuk maintenance dan pengelolaan secara berkala, pada konteks ini, pengelolaan harusnya menggunakan konsepsi “carrying capacity management”

Resources

(buildings,

artefacts, etc.)

Interpretation

(packaging and

presentation)

Products

Conservation

agencies

User Industries

S

e

l

e

c

t

i

T

a

r

g

e

t

i

Page | 4

Antara Pelestarian Budaya dan Pembangunan Ekonomi

Pariwisata Budaya dan Pembangunan Ekonomi

Peran pariwisata bagi provinsi Bali dalam pembangunan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika dilihat peranan pariwisata dalam kontribusinya terhadap PDRB Bali, maka terlihat adanya peningkatan yang nyata. Pada tahun 2003, PDRB dari pariwisata sebesar 28,43 %, kemudian meningkat menjadi 29,16% pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi 29,37%. Sementara pada tahun 2006 kontribusi sector pariwisata terhadap PDRB Bali sedikit mengalami penurunan menjadi 28,88 sementara pada tahun 2007 meningkat kembali menjadi 28,98%. Tabel perbandingan contributor (lapangan usaha) terhadap PDRB Bali, dapat dilihat seperti table dibawah ini:

Tabel: 7Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Provinsi Bali Sumber: BPS, 2009

Sementara menurut Suarsana (2011) peningkatan terjadi pada semua sektor ekonomi,

di mana sektor perdagangan, hotel dan restoran masih tetap merupakan sektor andalan, karena mampu memberikan nilai tambah terbesar, yakni Rp 20,02 triliun. Selain itu sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang cukup besar yakni Rp 12,10 triliun serta sektor pengangkutan dan komunmikasi sebesar Rp 8,63 triliun.

9Perkembangan terakhir, lebih lanjut dikatakan bahwa untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami pertumbuhan sebesar 8,7 persen memberikan sumbangan terhadap

7 Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Provinsi Bali

8 Sektor Usaha Pariwisata meliputi: Perdag., hotel & restoran

9 NusaBali, Selasa 8 Pebruari 2011 Pertumbuhan Ekonomi Bali 5,83 Persen

Lapangan Usaha (%) 2003 2004 2005 2006 2007

1. Pertanian 21,66 20,74 20,29 19,96 19,41

a. Tanaman Bahan Makanan 10,59 10,36 9,99 9,65 9,32

b. Tanaman Perkebunan 1,91 1,78 1,74 1,74 1,67

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 5,49 5,07 5,28 5,32 5,16

d. Kehutanan 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

e. Perikanan 3,67 3,52 3,27 3,24 3,26

2. Pertambangan & penggalian 0,68 0,68 0,66 0,69 0,66

3. Industri pengolahan 9,11 9,00 8,69 8,70 8,99

4. Listrik, gas & air bersih 1,57 1,80 1,85 1,94 2,00

5. Bangunan 4,02 3,91 4,03 4,28 4,43

6. 8Perdag., hotel & restoran 28,43 29,16 29,37 28,88 28,98

7. Pengangkutan & komunikasi 11,20 11,30 11,85 11,86 12,33

8. Keu. Persewaan, & jasa perusahaan 6,59 6,79 7,07 7,46 7,34

9. Jasa-jasa 16,75 16,61 16,19 16,22 15,86

PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Page | 5

sumber pertumbuhan terbesar terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,5 persen. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan Sektor Industri Pengolahan yang memberikan peranan masing-masing sebesar 1,2 persen.7% (Nusa Bali, 2011) Lalu dimana hubungan Pariwisata Budaya dengan pembangunan ekonomi Bali?

“Tourism strategies and promotions commonly include appeals relating to traditional life and cultures. As Javier Perez de Cuellar, the former United Nations Secretary General, stated in the 1995 Yogyakarta International Conference on Culture and Tourism, “There is no tourism without culture” (Kompas, 1995). In fact, it could well be argued that the facilities and services offered to tourists are easily imitated whatever the environment. It is the local people living in a destination area, and the many material and immaterial aspects of their traditional culture that are unique and thus extremely marketable. According to Lanfant (Lanfant, Allcock and Bruner, 1995, 35 dikutip oleh Williams dan Darma Putra, 1997)

Menurut Williams dan Darma Putra, (1997) mengatakan bahwa dalam strategi prmosi pariwisata biasanya selalu menghubungkan tradisi dan budaya, lebih lanjut Cuellar berpendapat bahwa tidak ada pariwisata tanpa budaya, artinya kalau sebuah daerah mempromosikan pariwisata sebenarnya mereka mempromosikan budaya di sebuah destinasi tersebut. Walaupun dalam kenyataannya para pelaku bisnis juga menawarkan fasilitas yang mewah tapi sebenarnya yang menarik untuk dipasarkan adalah keunikan dari budaya tersebut (Lanfant at al, 1995 dikutip oleh Williams dan Darma Putra, 1997)

Jika dihubungkan antara kedua fakta di atas yakni, sektor Pariwisata Bali telah menjadi leading sector pembangunan ekonomi Provinsi Bali saat ini, ini semata-mata karena keunikan Budaya Bali itu sendiri yang telah dijadikan icon oleh para pelaku bisnis pariwisata Bali.

Sementara Hasil Penelitian Suradnya (2005) dengan menggunakan teknik analisis faktor (factor analysis) berhasil mengidentifikasikan delapan faktor sebagai daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Bali, yakni : (1) Harga-harga produk wisata yang wajar, (2) Budaya dalam berbagai bentuk manifestasinya, (3) Pantai dengan segala daya tariknya, (4) Kenyamanan berwisata, (5) Kesempatan luas untuk relaksasi, (6) Citra (image) atau nama besar Bali, (7) Keindahan alam, (8) Keramahan penduduk setempat. Hasil Penelitian Suradnya menggambarkan kondisi yang agak berbeda sedikit dengan pendapat Williams dan Darma Putra, namun factor (yakni factor ke-2) Budaya dalam berbagai bentuk manifestasinya masih menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk menarik dan mendorong wisatawan mancanegara datang berlibur ke Bali.

Pariwisata Budaya di Bali sebagai sebuah Solusi Pembangunan?

Vickers (1989) and Picard (1996) observe that both Indonesian presidents, in their time have hailed Bali and tourism as central to the country’s development. International agencies and organizations have also taken this stance, as did colonial administrators prior to independence.

Page | 6

Menurut Vickers (1989) dan Picard (1996) dalam Williams dan Darma Putra (1997) menuliskan bahwa pada era pemerintahan Presiden Soeharto yakni presiden Indonesia yang ke-dua, Bali telah dijadikan sebagai pusat pembangunan pariwisata Indonesia. Begitu juga beberapa organisasi internasional telah mengangggap bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia sebenarnya telah dimulai di Bali sejak pemerintahan penjajahan Belanda.

“The New Order of President Suharto additionally stressed the importance of national and ethnic identity to Indonesia, evident in the country’s motto of ‘unity in diversity’. This support for the rich cultural heritage of Indonesia, coupled with increases in the locals’ standard of living, are likely to have contributed to the increased interest of Balinese in their identity” (Williams dan Darma Putra, 1997).

Lebih lanjut Williams dan Darma Putra (1997) bahwa pada masa orde baru jaman pemerintahan Presiden Soeharto telah memberikan perhatian yang cukup penting tentang pentingnya nasionalisme dan identitas bangsa yang lebih jelas tertuang dalam konsep “Bhineka Tunggal Ika”, hal ini yang mendorong berkembangnya budaya daerah dan pada akhirnya akan memperkaya khasanah budaya nasional, karena budaya nasional tersebut sebenarnya unitas dari keberagaman budaya daerah yang ada di nusantara ini. Berkembangnya Budaya Bali juga merupakan manisfestasi dari “Bhineka Tunggal Ika” yang pada akhirnya kita bisa nikmati buahnya saat ini sebagai factor keunikan pariwisata Bali.

“How cultural tourism in Bali is defined?” Cultural Tourism is tourism developed based on local Balinese cultures which is typically characterized by Hindu religion which becomes a part of national cultures as the basic domain, harmonious, and balanced relationship between tourism and culture” (Subadra, 2011)

Menurut Subadra (2011) Pariwisata Budaya Bali adalah pariwisata yang dikembangkan berdasarkan keragaman budaya local yang berlandaskan ajaran agama Hindu dan merupakan bagian yang utuh dari kebudayaan nasional, serta mengedepankan keharmonisan antara tujuan pengembangan pariwisata itu sendiri sehingga tujuan pelestarian budaya bali yang berkelanjutan dapat terwujud. Sedangkan Pariwisata Budaya Bali dapat diwujudkan dan dimanifestasikan dalam bentuk: Situs-situs bersejarah, arsitektur bali, tradisi, upacara keagamaan, kerajinan tangan, seni dan musik, pakaian daerah, makanan lokal bali, dan manifestasi lainnya yang dilhami oleh budaya dan agama Hindu Bali.

As Santeri (1992) observed, there has been increased community involvement in local ceremonies such as at Pura Besakih, the ‘mother’ temple, in the past two decades. There has been an increased thirst for religious knowledge, more attention to what it means to be Balinese, and a revitalisation of existing temples. There has also been a growth in new ones.

Lebih lanjut Santeri (1992) telah melakukan penelitian, dan menemukan bahwa terjadi peningkatan pelibatan masyarakat pada setiap upacara besar pada 20 tahun terakhir khususnya pada pura agung seperti pada Pura Besakih. Artinya peningkatan pengetahuan tambahan, perhatian untuk memaknai ke Baliannya semakin meningkat, dan telah terjadi perbaikan secara massive terhadap pura-pura di pulau Bali karena hampir di semua pura yang ada masih terkait dengan aktivitas keagamaan yang masih lestari sampai saat ini.

Page | 7

This has all helped to strengthen Bali’s culture and Agama Hindu, the Balinese religion (Vickers, 1989). A rise in the Balinese population’s standard of living has also given inhabitants greater time to address issues other than food and shelter. For example, as Cukier-Snow and Wall (1993) observed, ceremonial offerings are now much more elaborate and expensive. Menurut Vickers, 1989 (dikutip oleh Willams dan Darma Putra, 1997), Pariwisata Budaya

telah dijadikan solusi untuk memperkuat budaya bali dan agama Hindu. Pariwisata Budaya juga telah mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali, namun peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Bali juga diiringi oleh peningkatan harga barang-barang khususnya berhubungan dengan perlengkapan upacara dan sejenisnya, dan hal ini harusnya juga menjadi perhatian kita bersama.

Picard (1996) has also noted this development, especially among the new rich who seem to be using their newly acquired wealth in ceremonial offerings that compete with the more established nobility.

Lebih Lanjut Picard (1996) juga mencatat bahwa telah terjadi perubahan dalam

masyarakat Bali, dengan berkembangnya pariwisata telah lahir kelompok masyarkat baru yang disebut kelompok kaya baru atau “sugih mare” mereka yang lahannya terpaksa harus dijual karena dipakai untuk pembangunan infrastruktur pariwisata, ada juga mereka memang benar-benar memulai bisnis atau usaha di bidang pariwisata dan berhasil. Kelompok ini mengaktualisasikan keberhasilannya pada perbaikan penyelenggaraan upacara agamanya ke lebih mewah, yang pada akhirnya dengan terjadinya perbaikan kesejahteraan masyarakat Bali, upacara keagamaan di Bali semakin semarak dan tetap lestari.

Topangan keberhasilan Pariwisata Budaya di Bali telah menjadi mesin penggerak bertumbuhnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Bali dan sangat pantas dijadikan solusi pembangunan bagi Bali karena setiap aktivitas masyarakat Bali dominan digerakkan oleh aktivitas ceremonial keagamaan khususnya Agama Hindu yang penduduknya masih tetap mendominasi di Bali.

Pariwisata Budaya Bali: Apakah Bali Telah Rusak?

Gelebet (1994) and Kobar (1996), cited in Williams and Darma Putra (1997) believe the wholesale promotion of Bali, that encourages tourists to view cremation ceremonies and other rites of passage, has degraded local culture. In particular, there has been strong criticism of the Balinese wedding ceremonies for outsiders, such as that of pop celebrity, Mick Jagger.

Perdebatan tentang anggapan bahwa Budaya Bali telah mengalami degradasi telah lama dilontarkan oleh Gelebet (1994) dan Kobar (1996), dimana ditandai dengan adanya promosi beberapa upacara agama yang sebenarnya tidak boleh dipersembahkan untuk kepentingan pariwisata, misalnya upacara ngaben, dan pesan-pesan degradasi lainnya seperti adanya pernikahan ala Hindu yang dilakukan oleh bukan pemeluk Hindu juga merupakan pesan telah terjadinya degradasi budaya Bali yang sebenarnya sudah tidak dapat ditolerir lagi seperti yang telah dilakukan oleh penyanyi pop Mick Jagger.

Page | 8

Foreign tourists and locals walk along the popular Kuta Beach covered with debris and

rubbish. Photo: AFP

Beberapa hari sebelum laporan ini ditulis, ada juga pemberitaan di sebuah media international yang mengganggap Bali sudah tidak layak untuk dikunjungi karena berbagai alasan “Holidays in hell' in Bali: Aussies see the beauty in the beast”. Beberapa alasan tersebut adalah masalah sampah yang telah mengotori Pantai Kuta yang merupakan Icon Pariwisata Bali, seperti tampak pada gambar di bawah ini.

“Australians have a strong affinity with Bali and will keep going, travel agents say, despite it being dubbed "holidays in hell" by Time magazine. The magazine says the island is struggling with waste and some of its famous beaches are strewn with rubbish”

Obyek wisata yang berbasiskan pantai sangat digemari oleh wisatawan Australia, dan selama ini telah berkontribusi nyata terhadap pariwisata Bali, namun dengan pemberitaan oleh Time magazine dimungkinkan akan menyurutkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah: apakah sampah-sampah tersebut berasal dari aktivitas pariwisata atau aktivitas masyarakat Bali? Tentu saja jika jawabannya “tidak”, tidak dapat dijadikan pembenaran bahwa Bali boleh dicermari oleh sampah-sampah yang menjijikkan itu. Jika jawaban “ya”, alangkah parahnya degradasi budaya masyarakat Bali. Untuk sementara mungkin dapat dijawab bahwa sampah-sampah tersebut bukan akibat aktivitas pariwisata Bali namun berasal dari pulau lain. Lalu solusinnya bagaimana?

“Bali tourism agency head Ida Kade Bagus Subhiksu said up to 300 garbage trucks a day were needed to collect rubbish in the Kuta area, a prime tourist spot”.

Sebenarnya Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan telah menaruh perhatian yang serius dengan masalah ini, bahkan setiap harinya telah diangkut sebanyak 300 truk yang dipungut hanya dari kawasan Kuta saja sebagai pusat aktivitas wisatawan namun sampah-sampah selalu menjadi ancaman, apalagi menjelang musim penghujan. Apapun alasannya, masalah sampah telah berdampak negatif terhadap reputasi Bali sebagai daerah tujuan wisata yang popular, hal ini telah dibuktikan oleh hasil survey terhadap 4920 voters, survey ini dilakukan setelah adanya pemberitaan di Majalah Times tentang “Holidays in hell report: how hellish do you rate Bali? yang menanyakan kebenaran

Page | 9

pemberitaan tersebut; 43% menyatakan bahwa pemberitaan tersebut sangat benar, sementara 24% menjawab sedikit mendekati kebenaran, 33% menyatakan bahwa pemberitaan tersebut tidak benar sama sekali dan merupakan sebuah kebohongan belaka. Walaupun penelitian tersebut dilakukan hanya sebatas opini public dan sifatnya tidak ilmiah, tapi tetap bias dipakai untuk bahan evaluasi diri. “Disclaimer: These polls are not scientific and reflect the opinion only of visitors who have chosen to participate”.

Pemberitaan tersebut masih bisa diperdebatkan, namun pemberitaan tersebut haruslah menjadi bahan introspeksi diri bagi stakeholders pariwisata Bali sehingga pemberitaan tentang hal-hal negatif tentang destinasi Bali dapat dieliminasi.

Seperti nampak pada gambar di atas, Dapat dibayangkan betapa terancamnya symbol-simbol budaya bali, ketika fasilitas dan infrastruktur pendukung pariwisata dibangun dengan sangat modern dan dengan gaya western. Masih sangat diragukan, apakah wisatawan yang datang ke Bali apakah benar-benar didorong oleh megahnya atau modernnya fasilitas pariwisata, atau masih karena factor keunikan Budaya Bali dengan segala manifestasinya?

"Tourists come to Bali to relax," Bali Hotels Association secretary-general Perry Markus said. "I can imagine how frustrated they will be if they end up getting stuck in horrendous traffic jams like in Jakarta."

Masalah lainnya yang cukup pelik sedang dihadapi oleh pariwisata Bali adalah masalah kemacetan lalu lintas, menurut Markus, wisatawan datang ke Bali untuk berlibur dan untuk mendapatkan kesenangan namun ketika wisatawan melihat serta terjebak dalam kemacetan lalu lintas, alangkah kecewanya mereka, tidak dapat dibayangkan apa yang akan mereka pikirkan tentang pariwisata Bali.

Masalah Kriminalitas terhadap para wisatawan juga menjadi masalah yang cukup pelik untuk dipecahkan, karena tanpa diduga-duga bahwa eskalasi tindak kriminalitas tidak hanya dilakukan oleh kaum pendatang namun juga dilakukan oleh masyarakat local Bali dengan berbagai motifnya.

Construction at Kuta beach. Bali Governor Made Mangku Pastika has slapped a moratorium on new hotel development. Photo: AFP and Construction is pressing

ahead on a massive beachfront development dubbed the Beach Walk, a $70 million 'lifestyle resort' linking two luxury hotels. Photo: AFP

Page | 10

Masalah lainnya yang cukup membuat resah adalah maraknya pembangunan Villa liar yang tidak mempertimbangkan area suci, lahan produktif, bahkan lahan konservasi seperti hutan lindungpun tidak luput dari incaran para investor, dan semua masalah ini berawal dari ketidak sepakatan tentang Tata Ruang Wilayah, blue print pengembangan pariwisata Bali juga tidak pernah dapat diwujudkan secara nyata.

Pariwisata Bali Solusi Penyeimbangan

Berkenaan dengan pelestarian Budaya Bali, Picard menawarkan beberapa solusi penyeimbang:

Picard (1996, 198) dalam Williams dan Darma Putra, 1997, observes Balinese have a very clear understanding about the role and function of their art. “The Balinese know very well if they are dancing for tourists, for their community, or for their gods”. In 1971, for example, cultural experts on the island identified three forms of art in Bali, categorising them as either for the gods (wali), for ritualistic purposes (bebali) or for entertainment (balih-balihan) (Bandem, 1996; Picard, 1996). Menurut Picard, sebenarnya masyarakat Bali telah memiliki pemahaman yang cukup

jelas tentang fungsi seni dan segala aturannya, masyarakat Bali sebenarnya paham benar tentang lingkungannya, tentang komunitasnya, dan tentang pemujaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Dia mencontohkan tentang fungsi dan jenis tarian yang ada di Bali, sangat jelas jenis serta fungsinya, kapan jenis tarian tertentu harus di pentaskan, di mana layaknya sebuah tarian harusnya di pentaskan, semua hal tersebut telah diatur sedemikian rupa. Sebagai contohnya, ada tari Wali yang khusus ditarikan untuk keperluan upacara keagamaan, ada tarian balih-balihan atau kreasi yang biasanya dipentaskan untuk tujuan hiburan untuk penonton. Namun karena alasan kepuasan wisatawan solusi penyeimbang yang telah ada menjadi kabur bahkan sudah sangat sulit dibedakan.

Sementara Max-Neef (1992) menjelaskan bahwa, pembangunan berkesinambungan termasuk juga pembangunan pariwisata akan dapat berkelanjutan jika terjadi harmonisasi atau keseimbangan antara residents “quality of life”, tourists “quality of experiences”, dan Provider Industries “quality of opportunity”. Fundamental needs (Max-Neef) menurutnya terdiri dari 10 elemen yakni: subsistence, protection, affection, understanding, participation, leisure, creation, identity, freedom and transcendence. Sedangkan untuk mengukur derajat keseimbangan ketiga elemen di atas diajukan dua pertanyaan yakni: (1) How does tourism contribute to dissatisfaction of needs?, (2) How can tourism contribute to satisfaction of needs?, sedangkan derajatnya diukur berdasarkan: Being, Having, Doing, Interacting.

Page | 11

Sumber: Max-Neef (1992)

10Jika dihubungkan dengan Pariwisata Budaya Bali, tentunya masyarakat Bali sebagai resident’s owner of the destination bertujuan untuk mewujudkan tercapai quality of life yang lebih baik seiring dengan berkembangkanya pariwisata Bali, sementara Wisatawan sebagai consumers of the destination ingin mewujudkan quality of experience-nya selamat berlibur di Bali, dan pastinya para pelaku bisnis pariwisata sebagai providers of the destination ingin mewujudkan quality of opportunity atas investasi yang telah ditanamkan pada industry pariwisata Bali. Dalam konteks yang sama, Budaya Bali harus tetap lestari karena merupakan factor keunikan destinasi, sementara masyarakat Bali harus disejahterakan oleh kemajuan pembangunan pariwisata Bali agar mereka mampu berkreasi dan melestarikan tradisi yang pastinya memerlukan dukungan financial, sementara wisatawan berkepentingan akan “value for money” yakni terwujudnya antara expectation and satisfaction sehingga akan menimbulkan loyalitas terhadap Bali sebagai destinasi.

Namun pada saat ini, ada indikasi bahwa masyarakat Bali telah mengalami pergeseran gaya hidup, yang pada mulanya sangat teguh memegang konsep hidup harmonisasi antara alam, manusia, dan penciptanya ke arah mementingkan diri sendiri walaupun sepintas terlihat aktivitas keagamaan berjalan semakin semarak, namun sebenarnya tatanan budaya bali telah mengalami degradasi yang cukup berarti, Indikasi lainnya, masyarakat Bali telah mengalami bergeseran dari budaya conserver ke arah consumer, tidak peduli dampak negatif dari sebuah usaha yang dilakukan di Bali yang penting uang dan uang. Solusi Penyeimbang lainnya adalah harus ada gerakan bersama pada semua elemen masyarakat, dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum pejabat dan sebagainya. Jika yang peduli hanya satu atau dua elemen saja, pastilah usaha untuk ajeg Bali sangat susah untuk diwujudkan. Solusinya adalah (1) Harus ada gerakan Care for all and Interinpendency, satu visi dan misi bersama untuk menyelamatkan Bali dari kepentingan sesaat, dan sudah sangat mendesak untuk mewujudkan “one island in one destination management”. (2) Masyarakat Bali haruslah proaktif dalam memberikan masukan tentang kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah ini. Setiap proyek yang ditawarkan di Bali haruslah dikaji secara realitas dan faktual agar tidak bertentangan dengan budaya yang telah 10 Max-Neef (1992): Tourism community relationships

Needs &

requirements

Tourists

(‘consumers of the

destination’)

Quality of Experience

Industry

(‘providers of the

destination’)

Quality of Opportunity

Residents

(‘owners of the

destination’)

Quality of Life

Main stakeholders groups

Needs &

requirements

Needs &

requirements

Page | 12

ada “stakeholder’s involment”. (3) Membuat program pembangunan yang meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan pengaruh positifnya sehingga generasi yang akan datang tidak dibebani dengan kebobrokan dan kehancuran para pendahulunya “Carrying Capacity”. (4) Penomena pembangunan akhir-akhir ini di Bali sungguh membuat kita prihatin, sebab beberapa proyek yang ditawarkan oleh investor di Bali terkadang tidak sesuai dengan budaya dan tradisi Bali. Mungkin saja investor tidak salah karena memang pemegang kebijakan di Bali tidak memiliki perencanaan yang jelas tentang pembangunan di daerahnya. Begitu juga masyarakat dengan sangat mudahnya menjual tanah miliknya. Dalam konteks ini, tidak ada pihak yang dapat dibenarkan dan disalahkan, perlunya “Blue Print” Pembangunan Pariwisata Bali (Utama, 2006).

Untuk kesinambungan pembangunan Bali, semua elemen masyarakat harus berpegang teguh pada visi dan misi yang telah ditetapkan yakni pembangunan Pariwisata Budaya Bali berdasarkan keragaman budaya lokal yang berlandaskan ajaran agama Hindu dan merupakan bagian yang utuh dari kebudayaan nasional, serta mengedepankan keharmonisan antara tujuan pengembangan pariwisata itu sendiri sehingga tujuan pelestarian budaya bali yang berkelanjutan dapat terwujud dan akhirnya tujuan konservasi dan konsumsi dapat berjalan seimbang.

Daftar Pustaka

Bali dubbed a 'holiday hell' by Time magazine. (2011) retrieve from http://www.theage.com.au/travel/travel-news/bali-dubbed-a-holiday-hell-by-time-magazine-20110408-1d6vy.html

Graham, B., Ashworth, G. J. &Tunbridge, J. E. (2000). A Geography of Heritage: Power, Culture,

and Economy. Arnold, London. Gunn, C. A. (1988). Tourism Planning. 2nd edn, Taylor and Francis, New York. Suradnya, I Made (2005). Analisis Faktor-Faktor Daya Tarik Wisata Bali dan Implikasinya

Terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali: Soca (Jurnal Sosial dan Ekonomi) Udayana University Bali.

L E Williams dan N. Darma Putra. (1997). Cultural Tourism: The Balancing Act, Department of

Economics and Marketing, PO Box 84, Lincoln University, CANTERBURY

Max-Neef (1992), Sustainabelity Development: Quality of Leisure and Tourism, bahan kuliah School of Graduate Studies CHN Profesional University Netherlands.

Pamela S. Y. Ho ; Bob McKercher. (2010) Managing heritage resources as tourism products: School of Hotel and Tourism Management, The Hong Kong Polytechnic University, Hong Kong SAR, China

Page | 13

Paradise lost? Bali becoming a victim of its own success. (2011). Retrieve from http://www.smh.com.au/travel/travel-news/paradise-lost-bali-becoming-a-victim-of-its-own-success-20110210-1aocc.html

Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Continuum, London. Utama Rai, I Gusti Bagus. (2006). Mewujudkan Pembangunan Bali Berkesinambungan. Bali Post,

Artikel Kamis Paing, 12 Oktober 2006 i I Gusti Bagus Rai Utama adalah Mahasiswa Program Pascasarjana S3 Pariwisata Universitas Udayana Bali, Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Dhyana Pura, Badung, Bali, Alumnus Master of Arts pada School of Graduate Studies International Leisure and Tourism Studies, CHN Profesional University, Netherlands.