18
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Wahyu Yun Santoso

pengelolaan SD hutan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi 5-HKL

Citation preview

Page 1: pengelolaan SD hutan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Wahyu Yun Santoso

Page 2: pengelolaan SD hutan

4 Komponen Utama

• Common Pool Resources,• State Property,• Private Property• Common Property

Perbedaan akan terlihat terutama pada konsekuensi yang terjadi thdp akses komunitas lokal yg bermukim di sekitar.

Page 3: pengelolaan SD hutan

Common Pool Resources

• Memberikan kesempatan pd masy utk bebas memanfaatkan dan mengolah SD Hutan sesuai dgn kepentingannya;

• Ada komunitas yg mengelola scr arif dg pranata2 sesuai budayanya, ttp ada pula yg tdk mempedulikan pertimbangan ekologis tertentu;

• Pendayagunaan dan pemanfaatan berlebihan tragedy of the commons terutama utk pola open access resources.

Page 4: pengelolaan SD hutan

State Property• Dgn alasan motivasi kuat utk mengatur dan

mengelola SD Hutan, pemerintah akan menetapkan hutan sbg milik pemerintah.

• Proses “akuisisi” seringkali didasarkan pd aras pencegahan atas tragedy of the commons dan amanat konstitusi.

• Prakteknya negara berposisi sbg pemerintah yg bertindak sbg pemilik, pengelola dan pengawas thdp pengelolaan SD Hutan.

Page 5: pengelolaan SD hutan

Private Property• Saat pemerintah merasa memiliki banyak

keterbatasan (capital, capacity, commitment & control), ide pengalihan pengelolaan kepada sektor swasta akan muncul.

• Mulailah alih fungsi sbg areal ekonomi dg pertimbangan profit semata tanpa peduli pada aspek kelestarian.

• Eksistensi budaya, nilai, norma dan pranata kearifan masy lokal pun tergerus.

• Next pergeseran paradigma dr pengelolaan mjd kepemilikan (proteksi berlebih)

Page 6: pengelolaan SD hutan

Common Property• Beberapa kasus menunjukkan bhw masy lokal

memiliki kemauan dan kemampuan utk mengelola hutan scr lebih produktif dan berkesinambungan.

• Pengelolaan sbg common property sebenarnya mampu untuk meminimalisir konflik dan memaksimalkan pelestarian hutan.

• Permasalahannya kembali ke siklus awal lagi menghambat mekanisme desentralisasi

Page 7: pengelolaan SD hutan

Kasus Pengelolaan Hutan Komunitas Serawai Dusun Tanah Hitam Bengkulu

• Bermukim di sekitar wilayah Hutan Lindung Sungai Ulu Lais,• Hutan dimaknai sbg qhimbo atau rimba yg memiliki ciri2 serba

liar, baik pepohonan maupun penghuni,• Hutan dianggap bukanlah tempat yg cocok utk

perkebunan/ladang fungsi utk menjaga kelestarian alam,• Hutan yg slama ini dimanfaatkan adl hutan marga yg ditetapkan

dg adat.• Pranata adat sangat ketat, termasuk kewajiban mengganti

pohon yg ditebang dgn yg jenis & kualitas sama.• Tabu dan larangan sangat dijaga pelaksanaannya.• Hanya qhimbo tuo yg boleh dibuka sbg areal perladangan dan

perkebunan dg ijin dr adat.

Page 8: pengelolaan SD hutan

Kasus Pengelolaan Hutan Komunitas Rejang Desa Talang Donok Bengkulu• Bermukim di sekitar wilayah TN Kerinci Seblat,• Konsep hutan dimaknai sbg Imbo atau kawasan yg memang tidak

termasuk wilayah perekonomian dan pemanfaatan dari masyarakat baik dahulu maupun sekarang,

• Ada 3 pembagian: hutan dalam (Imbo Lem), hutan muda (Imbo U’ai) dan hutan pinggiran (Penggea Imbo) yg dimanfaatkan.

• Hutan tdk hanya tempat utk keg ekonomi ttp juga penghubung dg alam ghaib,

• Pranata adat sangat ketat, termasuk kewajiban mengganti pohon yg ditebang dgn yg jenis & kualitas sama.

• Larangan untuk menebang habis pepohonan dalam 1 lahan.• Hutan yg dimanfaatkan sudah ditetapkan sejak dahulu, boleh

diturunkan tapi tidak diperjualbelikan,• Terdapat wilayah2 yg menjadi hutan keramat.

Page 9: pengelolaan SD hutan

Hutan Lindung tidak efektif sebagai Public Goods!!• Principles of public goods:– Non-rivalry– Non-excludability

• Reasoning:1. Tidak diperbolehkan ada kebijakan publik yang menimbulkan

rivalitas dlm pemanfaatan hutan lindung scr ekstratif, krn publik menerima manfaat dr hutan lindung scr kolektif bukan individual; Kebijakan kehutanan nasional telah ciptakan rivalitas dlm pemanfaatan hutan lindung, yaitu bergesernya prinsip pemanfaatan kolektivitas scr berkelanjutan ke arah pemanfaatan destruktif berbasis kekuatan swasta & politik kekuasaan

Page 10: pengelolaan SD hutan

2. Hutan lindung memberikan kemanfaatan yg bersifat menyebar (off-site effects) tdk hanya utk masy sekitar. Ex: pengendalian suplai air Kebijakan kehutanan saat ini merubah posisi hutan lindung sbg pemasok eksternalitas positif menjadi eksternalitas negatif.

3. Hutan lindung bersifat tdk dpt diperbaharui (irreversibility). Praktik destruktif pertambangan terbuka di situs hutan lindung scr nyata akan memberi dampak & kerusakan yg tdk dpt diperbaharui

Page 11: pengelolaan SD hutan

Pasca Penetapan Kawasan Konservasi• Penetapan kawasan konservasi tidak pernah mengundang warga

untuk urun rembug,• Pada masa lalu, seringkali dg pendekatan kekerasan,• Pranata marga tidak lagi diakui, karena merasa bahwa

kepemilikan atas hutan adat tidak lagi ada tidak merasa memiliki kewajiban utk menjaga kelestarian hutan tsb.

• Komunitas Serawai mulai berani utk melakukan penebangan hutan baru (virgin forest),

• Komunitas Rejang membuka areal hutan di bukit Serdang (yg tadinya adl hutan keramat).

• Lunturnya batas2 anggota marga atau bukan dalam pemanfaatan hutan.

Page 12: pengelolaan SD hutan

Restrukturisasi Paradigma Folklore Adat

• Folklore sebagai bagian dari kebudayaan bertutur menunjukkan dampak mentalitas sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat adat.

• Dalam diversifikasinya, folklore biasanya berupa cerita dongeng, petuah adat, gugon tuhon, pamali etc.

• Pengaruh yang kuat dari folklore dibuktikan melalui kelestarian budaya ini meskipun tidak dituangkan dalam bentuk literasi.

• Konsistensi masyarakat adat untuk melakukan petuah dalam folklore yang mengusung misi kelestarian lingkungan, menjadi kunci utama dari pemindahtanganan kembali pengelolaan hutan ke pundak masyarakat adat seperti yang seharusnya.

Page 13: pengelolaan SD hutan

• Contoh: Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.

• Melalui kepatuhan masyarakat untuk mengamalkan folklore tentang penjagaan hutan dan pelarangan segala bentuk benda asing untuk tidak memasuki hutan, keperawanan hutan adat di Kampung Naga masih terjaga dengan baik hingga sekarang.

• Hutan adat di Kampung Naga menjadi contoh paling nyata dengan menganalogikan bahwa sebatang ranting pun tidak akan berani dipatahkan ketika folklore tentang kekeramatan hutan benar-benar dipegang teguh.

• Efek totalitas inilah yang hendaknya bisa diekplorasi untuk menumbuhkan kesadaran pengelolaan kelestarian hutan dengan menjadikan folklore sebagai sebuah pemantik kesadaran bagi semua pihak.

Page 14: pengelolaan SD hutan

• Tantangan friksi antara rasionalitas dan redaksi dari folklore adat yang cenderung menutupi eksistensi kearifan lokal yang seharusnya menjadi nilai utama dari pembudayaan folklore tersebut.sebab : ojo mbakar uwit sing isih ijo (jangan membakar pohon yang masih hijau) akibat : mundhak lara wethenge (nanti perutnya sakit)

• Rasionalitas hanya memandang sebelah mata terhadap makna kearifan dari folklore adat tersebut hanya karena komponen akibat dari folklore tersebut tidak bisa diterjemahkan dalam versi logika modern.

• Paradigma untuk melihat sesuatu bukan hanya secara tekstual saja bisa menjadi titik tolak perubahan cara pandang untuk bisa mendayagunakan folklore adat menjadi aset edukasi dalam proses manajemen hutan berbasis masyarakat adat.

Page 15: pengelolaan SD hutan

Deforestasi dan Illegal Logging

Beberapa Data yang beragam:• Forest Watch Indonesia, misalnya, mengungkapkan bahwa

laju deforestasi pada periode 1989-2003 adalah 1,9 juta hektar.

• Sementara Badan Planologi Departemen Kehutanan membagi dalam tiga periode yaitu, 1985-1997 sebesar 1,87 juta hektar, 1997-2000 sebesar 2,83 juta hektar dan 1,08 juta hektar pada periode tahun 2000-2005.

• FAO mencatat laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,87 juta hektar selama 2000-2005.

Page 16: pengelolaan SD hutan

Permasalahan pada definisi:

• Apakah “deforestasi” hanya berarti hilangnya tutupan hutan secara permanen, atau baik permanen maupun sementara?

• Dua diantara penelitian utama (FAO 1990; World Bank 1990) secara tersirat menyatakan bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi. Dengan demikian, berarti mereka menganggap kawasan perladangan berpindah yang akan kembali menjadi hutan sekunder juga merupakan deforestasi. Dengan definisi seperti itu, kawasan yang mengalami deforestasi maupun peranan sistem perladangan berpindah dalam deforestasi secara keseluruhan menjadi sangat besar

Page 17: pengelolaan SD hutan

• Apakah yang disebut dengan “pelaku deforestasi” adalah mereka yang membuka tutupan hutan, atau mereka yang kemudian menghalangi pertumbuhan kembali tutupan hutan?

• Apabila pengertian pertama yang diakui, maka perusahaan-perusahaan penebangan hutan (HPH) memainkan peranan yang lebih besar dalam deforestasi. Dan apabila pengertian kedua yang diakui, maka para petani kecil, yang kadang-kadang menduduki lahan yang telah dibuka terlebih dahulu oleh kegiatan pembalakan (HPH), yang dianggap berperanan lebih besar. Beberapa pengamat telah menunjukkan bahwa secara praktis tidak mungkin memilah-milah peranan pelaku-pelaku deforestasi dalam suatu lokasi yang sama.

Page 18: pengelolaan SD hutan

Akar Masalah• Pertama, lemahnya perencanaan tata ruang wilayah

dan sinkronisasi antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan (Pusat, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II) mengakibatkan inkonsistensi kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan.

• Kedua, lemahnya akomodasi dan perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat adat.

• Ketiga, lemahnya keakuratan, ketersediaan dan keterbukaan data dari para pihak yang memiliki kewenangan terhadap isu pengelolaan sumberdaya hutanDari hasil pertemuan tentang “Laju dan Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia” (27-28 Oktober 2008)