58
2013 Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Dina Haya Sufya

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Citation preview

Page 1: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Dina Haya Sufya

2013

Page 2: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi

isu yang sangat penting. Beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah

satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan

pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha

maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal

pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga

perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Penelitian sebelumnya menemukan status sosial ekonomi secara konsisten menjadi prediktor

tunggal terkuat dari komitmen karena status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi dan

kemampuan untuk secara aktif terlibat. Dalam organisasi, karyawan pada tingkat kerja yang

tinggi umumnya memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada di tingkat

rendah. Hal ini karena posisi kekuasaan memungkinkan orang untuk mempengaruhi keputusan

organisasi, menunjukkan status tinggi, mengakui wewenang secara formal dan mungkin

berkompetensi, dan menunjukkan bahwa organisasi mengakui kompetensi dan nilai kontribusi

mereka. Karyawan di pekerjaan tingkat tinggi memiliki lebih banyak kebebasan dan pilihan

meningkatkan rasa kontrol dan dengan demikian mengakibatkan peningkatan komitmen afektif

kepada organisasi.

Manajer terkadang dalam posisi untuk mempengaruhi komitmen organisasi karyawan karena

mereka tidak memiliki kontrol terhadap situasi posisi karyawan atau pribadi. Seorang manajer,

bagaimanapun, bisa mengelola situasi kerja sedemikian rupa bahwa komitmen organisasi

karyawan harus ditingkatkan.

Riset behavioral yang dilakukan oleh tim dari Universitas Harvard dan Rumah Sakit Umum

Massachusetts menemukan, komitmen organisasi karyawan secara umum sangat dipengaruhi

oleh kepekaan yang bersangkutan pada tujuan kerja, perasaan atas pengaruh seseorang dan

kepercayaan menyeluruh dalam organisasi. Sementara, produktivitas dipengaruhi oleh kualitas

hubungan antar manusia, termasuk sifat-sifat kooperatif dan interaksi kelompok sosial.

Page 3: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Tempat kerja yang menyediakan lingkungan yang positif, yang mendukung

berkembangnya kepercayaan interpersonal dan kualitas hubungan-hubungan personal akan

melahirkan karyawan-karyawan yang penuh komitmen dan produktif. Survei juga menemukan

bahwa kepuasan karyawan secara signifikan meningkat oleh kepercayaan yang dibangun antar

teman sekerja. Makin peka seseorang pada tujuan seputar pekerjaannya, makin besar pula

komitmen individualnya pada organisasi.

Pakar workplace relationship Courtney Anderson mengatakan, hasil riset tersebut

menegaskan betapa pentingnya kini bagi kalangan pemimpin bisnis untuk membangun kepekaan

pada kepercayaan dan tujuan dalam organisasi mereka. Firth dkk. (2004) meneliti kaitan antara

niat untuk keluar perusahaan dan kepuasan kerja. Menurutnya penyebab terbesar dalam

mengurangi niat karyawan untuk keluar dari perusahaan berasal dari komitmen mereka kepada

organisasi, dan dari kepuasan kerja. Kedua faktor itu dapat diterjemahkan dalam ujud ada timbal

balik antara individu dan organisasi. Semakin puas seseorang dengan pekerjaannya, semakin

mereka komit kepada organisasi.

Merasa stres (umpamanya merasa emosi terkuras, tegang) tidak hanya

berkontribusi terhadap kepuasan bekerja, tapi juga merupakan variabel yang tinggi kontribusinya

terhadap niat untuk keluar dari organisasi. Jelasnya, emosi-emosi itu adalah respon terhadap

tingkat stres di dalam pekerjaan yang dialami oleh karyawan, dan karenanya menjadi penting

dipertimbangkan untuk melakukan strategi intervensi yang akan mengurangi stres itu.

Gary Yukl (1994) mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mempengaruhi para

pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih besar, rasa percaya diri, serta komitmen

kepada tujuan dan misi organisasi. Dengan demikian cara-cara perilaku pemimpin dalam

mengarahkan pengikutnya akan berpengaruh terhadap komitmen otganisasi karyawan.

Penting juga untuk mengeksplorasi tingkat komunikasi antara karyawan dan majikan

untuk mendeteksi penyebab stres dalam bekerja, di mana Moore (2002) dalam Firth (2004)

menemukan bahwa tingkat komunikasi yang rendah antara manajemen dan bawahan

berkontribusi pada naiknya perasaan stres dan hal itu terkait dengan niat untuk keluar dari

organisasi. Dari temuan lainnya ternyata persepsi adanya dukungan atasan dapat mengurangi niat

untuk keluar dari organisasi (Firth; 2004).

Page 4: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Banyak penelitian tentang komitmen organisasi, lebih terfokus pada komitmen anggota,

yang merupakan komitmen karyawan terhadap organisasi atau perusahaan di mana keterlibatan

mereka dalam hubungannya dengan organisasi kinerja yang telah dilakukan (Williams &

Anderson, 1991; Mowday, 1998; Currivan, 1999; Meyer et al, 2001;. Meyer & Herscovitch,

2001; Gallie et al 2001, dll). Dengan kata lain, berbagai penelitian tentang komitmen organisasi

telah dilakukan untuk menguji hubungan antara karyawan komitmen dan organisasi.

Secara umum, menunjukkan hasil 'konsekuensi yang positif 'dalam hubungan antara

‘praktek manajemen sumber daya manusia, komitmen karyawan, dan kinerja keuangan. Namun,

studi hanya melihat masalah dari satu sudut pandang, yang merupakan organisasi atau

permintaan perusahaan terhadap karyawan mereka untuk memiliki komitmen organisasi yang

tinggi.

Di sisi lain, aspek penting lainnya, komitmen manajerial yang mewakili komitmen

organisasi kepada karyawan juga diperlukan untuk mencapai kinerja yang efektif. Sebagaimana

dinyatakan bahwa komitmen terhadap karyawan manajerial diperlukan sebagai upaya manajerial

untuk menguatkan karyawan mereka agar mencapai kinerja yang efektif.

Pendapat umum yang ada cenderung untuk mengatakan bahwa komitmen organisasi (atau

perusahaan) terhadap karyawan dilihat normatif, dalam arti bahwa komitmen ini akan dilakukan

atas dasar norma-norma organisasi. Namun demikian, aplikasi dari komitmen ini masih

dipertanyakan Oleh karena itu membutuhkan jawaban melalui penelitian.

Penelitian ini menempatkan pengaruh kompetisi manajemen manajerial dan menguji komitmen

untuk pemberdayaan karyawan terhadap perusahaan kinerja.

Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam organisasi karena

kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi. Jika

perusahaan, rumah sakit, universitas, atau tim atletik mengalami kesuksesan, direktur, rektor,

atau pelatih yang memperoleh acungan jempol. Tetapi sebaliknya, kalau terjadi kegagalan,

mereka pulalah yang memperoleh teguran, kritik atau bahkan diganti. Jadi, salah satu elemen

pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi adalah bagaimana caranya untuk melatih, dan

mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif?.

Page 5: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Kegagalan dalam membentuk budaya perusahaan biasanya terjadi karena faktor

kepemimpinan yang tidak konsisten. Menurut Welch, chief excecutive officer pada perusahaan

General Electric (GE), ada sejumlah nilai yang ia kembangkan dan direvisi secara

berkesinambungan. Ia percaya bahwa perintah dan pengendalian bukan cara yang terbaik untuk

menjalankan bisnis. Melibatkan setiap orang lebih penting daripada terikat pada suatu hierarki

yang kaku.

Melibatkan setiap orang adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang

adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang adalah kunci, karena itu lebih

banyak orang berarti lebih banyak gagasan, dan semakin banyak gagasan berarti semakin besar

intelek perusahaan. Jika pemimpin organisasi cenderung menggunakan gaya pembuatan-

keputusan yang lebih konsultatif, mereka sebenarnya telah mengirim pesan bahwa mereka

berminat mendengar apa yang dikatakan orang lain. Respons orang-orang dalam organisasi pun

bukan sekedar menunaikan pekerjaan mereka, tapi juga mengajukan pertanyaan dan usulan agar

segala sesuatunya berjalan lebih baik.

Pemimpin harus membuat tujuan yang ingin dicapai, kemudian satuan di bawahnya

mempelajari dan membuat semacam rencana kerja yang disebut Personal Business Commitment

(PBC) yang sesuai dengan bidang masing-masing. Pembuatan PBC dilakukan hingga lapisan

terbawah, dengan melihat tujuan yang dibuat atasan sebagai tujuan. Bila atasan menilai masih

ada yang kurang, PBC tersebut didiskusikan secara terbuka sebagai komunikasi dua arah. Untuk

menjamin bahwa aspek kepemimpinan berjalan dengan semestinya, semua karyawan termasuk

direksi dan CEO akan mendapat feedback tentang kinerja dari atasan masing-masing (INSPIRE,

2009).

Para pemimpin dituntut untuk bersikap fleksibel, rendah hati, bersedia menerima

masukan termasuk kritik terhadap strategi perusahaan, dari semua tingkatan organisasi bahkan

dari tenaga penjualan yang ada di lapangan. Jika karyawan tidak mempercayai sebuah strategi,

mereka cenderung tidak membantu agar strategi itu berjalan.

Di luar manajemen, banyak resep untuk menciptakan tempat kerja yang penuh sukses dan

produktif. Sebuah penelitian baru menegaskan pentingnya membangun kepercayaan, kepekaan

pada tujuan dan hubungan antarmanusia yang kuat untuk mencapai tujuan tadi. Berdasarkan

uraian tersebut di atas, maka penulis memilih judul : “Hubungan Gaya Kepemimpinan Atasan

terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X”.

Page 6: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah

Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan

harapan, antara kecenderungan perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara

kenyataan dengan ide. Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai

perwujudan “ketiadaan, kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan,

ketidakserasian, kemerosotan dan sebagainya”.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan masalah dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut: "Bagaimana hubungan gaya kepemimpinan atasan

dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X?”

Mengingat luasnya ruang lingkup obyek penelitian dan

terbatasnya kemampuan penulis, dalam penelitian ini penulis

menentukan batasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini

menjadi lebih jelas permasalahannya, sehingga tujuan dari penelitian

ini dapat tercapai sebagaimana mestinya,. Dalam penelitian ini penulis

menitikberatkan pada gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen

organisasi karyawan.

1.2.2. Rumusan Masalah

Masalah ini dapat dibatasi lagi menjadi sub-sub masalah sebagai fokus perhatian

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi gaya kepemimpinan atasan terhadap bawahannya pada PT. X

2. Bagaimana deskripsi komitmen organisasi karyawan terhadap gaya kepemimpinan

atasan pada PT. X.

3.Bagaimanakah hubungan gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi

karyawan pada PT. X.

Page 7: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Komitmen Organisasi

2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasi

Satu yang dicari oleh organisasi adalah memiliki karyawan yang memiliki komitmen

tinggi. Komitmen ini penting sekali, karena tanpa komitmen, sepandai apapun karyawan itu,

akan kurang bermanfaat bagi perusahaan. Karena pentingnya komitmen, banyak ahli yang telah

mengkaji konsep ini.

Mowday et. al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari

identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan

terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk menggunakan upaya yang sungguh-

sungguh untuk kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan

dalam organisasi. Komitmen organisasi menunjuk pada pengidentifikasian tujuan karyawan

dengan tujuan organisasi, kemauan mengerahkan segala daya untuk kepentingan organisasi dan

keterikatan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi (Mowday, Steers, Porter, 1979).

Sedangkan Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu

keadaan psikologis yang dikarakteristikkan dengan:

a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi.

b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh demi organisasi.

c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Meyer dan Allen (1997) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen

organisasi akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tingi

menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam

organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan

yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat

karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih

menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

Page 8: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Price (2002) dengan indah menyatakan hal itu “Tanyakan pada anggota tim, manajer atau

pemimpin senior tentang sikap dan sifat-sifat yang mereka anggap paling berharga, dan

komitmen normalnya muncul teratas pada daftar. Dan penelitian mengkonfirmasi apa yang telah

diketahui oleh intuisi – bahwa perbaikan pada komitmen karyawan akan menaikkan

produktivitas, karyawan tetap bekerja di organisasi itu, dan tingkat profitabilitasnya yang

membaik.

Komitmen adalah sikap global seseorang sebagai akibat dari pengenalan lingkungan,

kemauan yang kuat untuk mendukung organisasi, dan perasaan bahwa upaya orang itu akan

diakui dan dibalas oleh perusahaan (Stephen & Annette, 1997).

Menurut Duane & Sydney Ellen, komitmen organisasi dipengaruhi oleh persepsi

karyawan tentang bagaimana sikap hormat terhadap organisasi perusahaan mereka. Semakin

besar komitmen dirasakan kepada karyawan, harapan karyawan semakin tinggi bahwa jika

mereka bekerja untuk memenuhi tujuan organisasi, mereka akan merasa adil dan dihargai

(Duane & Sydney Ellen, 2006).

Steers & Porter (1987) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification

(kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik

mungkin demi kepentingan organisasi), dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota

organisasi bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap organisasinya.

Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap

menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan

organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam bekerja, dan

identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja,

dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja,

adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan

organisasi kerja serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi

kerja. Dalam hal ini individu mengidentifikasikan dirinya pada suatu organisasi tertentu tempat

individu bekerja dan berharap untuk menjadi anggota organisasi kerja guna turut merealisasikan

tujuan-tujuan organisasi kerja (Zainuddin, 2009).

Richard M. Steers, (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa

identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha

Page 9: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi

anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap

perusahaannya. Ia berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana

karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen

terhadap organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai

organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan  tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan

organisasi demi pencapaian tujuan.

Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990), menyatakan bahwa komitmen memiliki arti

penerimaan yang kuat dalam diri individu terhadap tujuan dan nilai-nilai perusahaan, sehingga

individu tersebut akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap

bertahan di perusahaan tersebut.

Yang digunakan pada tulisan ini adalah defenisi komitmen menurut Meyer dan Allen

(1997), dimana mereka mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan psikologis

yang dikarakteristikkan dengan:

a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi.

b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh demi organisasi.

c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli ini, dalam komitmen organisasi tercakup

unsur loyalitas terhadap perusahaan, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap

nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Maka pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari

beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu

karyawan dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi.

Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang

lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap perusahaan, dengan kata lain komitmen

organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi atau perusahaan secara aktif.

Karena karyawan yang menunjukkan komitmen organisasinya, ada keinginan untuk memberikan

tenaga dan tanggung jawab untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi atau

perusahaan tersebut.

Komitmen organisasi secara positif berkaitan dengan jumlah dukungan yang diterima

dari supervisor dan rekan kerja dan tingkat kepuasan dengan supervisor (Bishop & Scott, 2000;

Liden, Wayne, & Sparrowe, 2000). Fenomena komitmen telah banyak diteliti dengan alasan

Page 10: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

bahwa komitmen itu mempengaruhi sikap dan perilaku individu di tempat kerja. Di antara

perilaku itu, fokusnya adalah pada tingkat keluar masuknya karyawan dan bagaimana hal itu

dipengaruhi oleh komitmen (Eunmi; 1999).

Komitmen organisasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu: komitmen karyawan pada

organisasi dan komitmen manajerial. Pertama-tama, komitmen karyawan pada organisasi

diartikan sebagai komitmen karyawan terhadap organisasi, kedua komitmen manajerial,

umumnya dianggap sebagai komitmen organisasi kepada karyawan adalah komitmen yang

dipegang dan dijalankan oleh manajer terhadap karyawan mereka sebagai dasar atau mencoba

untuk mendukung peningkatan kinerja (Dwi Ratmwati, 2007).

2.1.2. Jenis Komitmen Organisasi

Jenis komitmen menurut Allen dan Meyer (Dunham.1994:370) terbagi atas tiga

komponen, yaitu:

a. Komitmen Afektif, yakni komitmen afektif yang berkaitan dengan emosional,

identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam suatu organisasi. Karyawan dengan

afektif tinggi masih bergabung dalam organisasi karena keinginan untuk tetap

menjadi anggota organisasi. Ada beberapa penelitian mengenai kategori anteseden

dari komtmen afektif. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar.

Ketiga kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi

perkembangan komitmen afektif adalah sistem desentralisasi (Bateman &

Strasser, 1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil,

dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu (Allen & Meyer,

1997).

2. Karakteristik individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender

mempengaruhi komitmen afektif, namun ada pula yang menyatakan tidak

demikian (Aven, Parker & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer,

1997). Selain itu, usia juga mempengaruhi proses terbentuknya komitmen afektif,

meskipun bergantung pada beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer,

1993), masa jabatan dalam organisasi (Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen &

Page 11: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi,

etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya (Allen & Meyer,

1997).

3. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses

terbentuknya komitmen afektif, antara lain job scope, yaitu beberapa karakteristik

yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980

dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan,

tingkat pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang

digunakan individu dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990, dalam

Allen & Meyer, 1997), dan hubungannya dengan atasan

b. Komitmen Normatif, merupakan perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus

diberikan kepada organisasi. Komponen normatif berkembang sebagai hasil dari

pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki

pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban kepada pegawai

untuk memberikan balasan atas apa yang pernah diterimanya dari organisasi. Wiener

(Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat

berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi

(dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam

organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi

memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas

kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah

adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau;

Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari

masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.

c. Komitmen Kontinuans, berarti komponen yang berdasarkan persepsi pegawai tentang

kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Pegawai dengan dasar

organisasi tersebut disebabkan karena pegawai tersebut membutuhkan organisasi.

Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah

laku yang berbeda dengan pegawai dengan dasar continuance. Komitmen Kontinuans

Page 12: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau kejadian yang dapat

meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan atau

kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variabel, yaitu investasi dan alternatif. Selain

itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).

Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang

harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah

kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di

mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana

dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997). Investasi dan alternatif yang

dialami individu dalam organisasi gereja berbeda dengan organisasi lain. Investasi

dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan khas gereja

dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari organisasi

profit biasa.

2.1.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi sangat terkait dengan faktor individu dan juga faktor organisasi

(Schultz dan Ellen, 1994). Individu yang telah berada dalam suatu organisasi lebih dari dua

tahun, dan individu yang memiliki keinginan untuk berkembang, memiliki komitmen organisasi

yang tinggi dibanding dengan individu yang baru masuk di dalam suatu organisasi (Schultz dan

Ellen, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh O’ Driscoll (dalam Schultz dan Ellen, 1994) pada

119 karyawan didaerah New Guenia, menunjukkan bahwa perkembangan komitmen organisasi

akan terlihat setelah enam bulan individu bergabung di dalam suatu organisasi, dan selanjutnya

penelitian tersebut menemukan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dengan

kepuasan kerja.

Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi

merupakan bagian yang penting dalam proses individu di dalam organisasi itu sendiri. Ada

hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan

komitmen pada organisasi. Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan

konsekuensi yang negatif terhadap mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk

mencari pekerjaan lain.

Page 13: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

a. Ada dua faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik

personal dan karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukakan bahwa

tingginya komitmen karyawan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh

nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utama dalam membangun komitmen karyawan

adalah adanya kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai

kemanusiaan.

b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar

kepercayaan, dan kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya

komunikasi dua arah mustahil komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.

c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler,

1995) menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih

kebersamaan, seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasib dan kerukunan

yang pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen karyawan.

d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pemimpin dapat memberi inspirasi bagi

tumbuhnya performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi

kesempatan pada karyawan untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama

dalam sebuah organisasi.

e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang

untuk menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.

f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen

organisasi yang tinggi pula.

g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti

gaji hanya akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu

insentif yang diberikan kepada individu yang telah berhasil melampaui target dari apa

yang ditetapkan perlu dihargai jerih payah kerja kerasnya.

Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang

mempengaruhi seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan

oleh :

a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi

terhadap nilai dan tujuan organisasi.

Page 14: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.

c. Keyakinan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.

Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-

faktor personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi

adalah sikap yang positif terhadap rekan kerja. Sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat

mempengaruhi komitmen organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan

kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga

komponen penting dari komitmen organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan

tujuan dari organisasi, keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan

tugas dengan baik, dan memiliki keinginan kuat untuk tetap berada didalam organisasi. Studi

yang dilakukan oleh Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa

tingginya komitmen organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka

terhadap seberapa tinggi komitmen yang ditunjukkan organisasi kepada mereka. Semakin tinggi

karyawan merasa harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula mereka

terhadap organisasi.

Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi

adalah:

1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan

usia.

2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja,

identifikasi tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.

3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam

pengambilan keputusan.

4. Sifat dan kualitas pekerjaan.

Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat

berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari

keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi.

Selain itu komitmen normatif juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang

sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam

Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan

Page 15: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis

adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.

Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen

internal yang dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara

tradisional untuk membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam

bekerja dan promosi yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk

setelah karyawan merasakan kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami,

jenis pekerjaan yang pernah mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.

Sementara itu, Minner (dalam Sopiah, 2008) mengemukakan empat faktor yang

mempengaruhi komitmen karyawan antara lain :

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan

kepribadian.

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik

peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran

serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.

4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh terhadap

tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun

bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki

tingkat komitmen yang berlainan.

Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen

organisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor

personal, dan berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional.

Faktor personal merupakan faktor yang ada di dalam diri individu dalam menyikapi bermacam

masalah yang ada didalam suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu,

pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut

Page 16: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

permasalahan eksternal individu yang didalamnya termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja,

komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan yang tinggi.

2.1.4. Indikator Komitmen Organisasi

1. Indikator Komitmen Afektif.

Individu dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat

terhadap organisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan

keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan

komitmen afektif yang lebih rendah.

Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif memiliki hubungan yang sangat erat

dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang

dilakukan, individu dengan komitmen afektif akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil

pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne

(Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan komitmen afektif tinggi akan lebih

mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Komitmen afektif memiliki

hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu

(e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor,

& Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).

Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer

et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan dugaan tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman

et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan komitmen

afektif yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada

yang rendah.

Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993)

meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam penelitian yang

diadakan pada perawat, komitmen afektif ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan

keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal

Page 17: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk

bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).

Individu dengan komitmen afektif yang tinggi cenderung untuk melakukan internal

whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam

perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau

kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif yang tinggi berkorelasi negatif dengan

keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski;

Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

2. Indikator Komitmen Kontinuans.

Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan bertahan dalam organisasi,

bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan

kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka

individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi

pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap

selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan

kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen kontinuans tidak

berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau

indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas

sekali mempengaruhi hasil pekerjaan.

Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi

dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Komitmen kontinuans tidak mempengaruhi

beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen &

Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian komitmen kontinuans tidak memiliki hubungan

yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam

organisasi.

Komitmen kontinuans tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational citizenship

(Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini

Page 18: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

memiliki hubungan yang negatif. Komitmen kontinuans juga dianggap tidak berhubungan

dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk

ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role.

Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon

ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Komitmen

kontinuans tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk

mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya

(Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar komitmen kontinuans seseorang,

maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan

baik.

3. Indikator Komitmen Normatif

Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi

karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa

perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan

melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya komitmen normatif diharapkan

memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance,

work attendance, dan organizational citizenship. Komitmen normatif akan berdampak kuat pada

suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).

Hubungan antara komitmen normatif dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali

mendapat perhatian. Komitmen normatif dianggap memiliki hubungan dengan tingkat

ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu

penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett

et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997).

Sedikit sekali penelitian yang mengukur komitmen normatif dan role-job performance.

Berdasarkan hasil penelitian komitmen normatif berhubungan positif dengan pengukuran hasil

kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari

keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997).

Page 19: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Komitmen normatif memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship

(Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara komitmen normatif dengan

tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan komitmen afektif.

Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti komitmen afektif dan komitmen normatif

yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi (Begley & Czajka;

Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap

organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer;

Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar

terdapat pada komitmen afektif, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan

turnover variable di antara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar

organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi

saja.

2.1.5. Pengukuran Komitmen Organisasi

Berdasarkan tipologi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, ada

berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu pengukuran komitmen organisasi

yang terkenal adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh

Porter dan Smith pada tahun 1970. Kuesioner ini mengukur komitmen afektif melalui 15

pertanyaan yang berbentuk skala Likert yang terdiri dari 7 angka, mulai dari sangat tidak setuju

sampai sangat setuju terhadap pernyataan.

Untuk mengukur komitmen organisasi yang terdiri dari tiga komponen, Allen dan Meyer

telah beberapa kali merevisi alat ukur yang telah disusun. Revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen

pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala

komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar antara nilai 1 (sangat tidak setuju dengan

pernyataan) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju dengan pernyataan).

2.2. Gaya Kepemimpinan

2.2.1 Defenisi Kepemimpinan

Page 20: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Menurut Suhendi dan Anggara (2010), kepemimpinan atau leadership adalah kegiatan

untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia, baik

perseorangan maupun kelompok. Kepemimpinan dapat berlangsung tanpa harus terikat oleh

aturan-aturan yang ada. Apabila kepemimpinan dibatasi oleh tata aturan birokrasi, atau dikaitkan

dengan suatu organisasi tertentu, hal tersebut dinamakan manajemen.

Kepemimpinan menurut Hadari (1992: 12), dapat dilihat dari dua konteks, yaitu

struktural dan nonstruktural. Dalam konteks struktural, kepemimpinan diartikan sebagai proses

pemberian motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai

dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti usaha mengerahkan,

membimbing, dan mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang

dari tugas pokok masing-masing. Adapun dalam konteks nonstruktural kepemimpinan dapat

diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku, dan mengarahkan semua

fasilitas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Menurut Robbins (1993), kepemimpinan didefenisikan sebagai kemampuan seseorang

untuk mempengaruhi sebuah kelompok. Menurut Raja Bambang Sutikno (2010), kepemimpinan

berarti memberi contoh tauladan menjelma menjadi model panutan banyak orang. Menurut Ary

Ginanjar Agustian (2008), pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi

perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia

dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki

kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan suara

hati yang fitrah.

Menurut Daniel Goleman (2000) yang dikutip dari buku John M. Ivancevich, Robert

Konopaske, dan Michael T. Matteson; mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses

mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi yang relevan.

Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), “leadership is defined as the purposeful behavior

of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as

well as the organization or common good”. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat

didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para

anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat

Page 21: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means using power

to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi.

Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau

bawahan. Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari

para pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak

ada juga. Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang dengan kekuasaannya (his

or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan.

Fungsi Kepemimpinan

Agar kelompok atau organisasi berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus

melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah. Mencakup penetapan

struktur tugas, pemberian saran penyelesaian, informasi dan pendapat.

2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok (group maintenance) atau

social. Mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi

berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengetahuan

perbedaan pendapat, dan sebagainya.

Selanjutnya H. Malayu S.P Hasibuan mengemukakan fungsi-fungsi kepemimpinan antara

lain sebagai berikut:

1. Pengambilan keputusan dan merealisasi keputusan itu.

2. Pendelegasian wewenang dan pembagian kerja kepada para bawahan.

3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna semua unsur manajemen.

4. Memotivasi bawahan, supaya bekerja efektif dan bersemangat.

5. Mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan loyalitas bawahan.

6. Mengkoordinasi dan mengintegrasi kegiatan-kegiatan bawahan.

7. Penilaian prestasi dan pemberian teguran atau penghargaan kepada bawahan.

8. Pengembangan bawahan melalui pendidikan dan pelatihan.

9. Melaksanakan pengawasan melekat dan tindakan-tindakan perbaikan jika perlu.

Page 22: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

10. Memelihara aktivitas-aktivitas perusahaan sesuai dengan izinnya.

11. Mempertanggungjawabkan semua tindakan kepada pemilik, karyawan dan

pemerintah.

12. Membina dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.

13. Pemberian kompensasi, ketenangan, dan keselamatan bagi karyawan.

14. Meningkatkan produktivitas organisasi dan alokasi sumber daya serta meningkatkan

kepuasan kerja karyawan.

15. Menciptakan perubahan/pembaharuan/reformasi.

2.2.2. Gaya Kepemimpinan

Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus,

kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Dan gaya kepemimpinan adalah perilaku dan

strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan

seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Dalam gaya

kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang mementingkan hubungan kerja sama dan

yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Sehingga gaya kepemimpinan yang paling tepat

adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktifitas, kepuasan kerja, penumbuhan, dan

mudah menyesuaikan dengan segala situasi.

Menurut Heidjrachman dan S. Husnan gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang

dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai

tujuan tertentu. (Heidjrachman dan Husnan, 2002:224). Sedangkan menurut Fandi Tjiptono gaya

kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan

bawahannya (Tjiptono, 2001:161). Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya

kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin

yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29).

Gaya kepemimpinan menurut Davis, Keith. (1985) adalah pola tindakan pemimpin secara

keseluruhan seperti yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili

filsafat, keterampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.

2.2.3. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan dan Tipe-tipe Kepemimpinan

Page 23: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

2.2.3.1. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

James Owens menggambarkan melalui matrik gaya yang dimiliki dalam teori

kepemimpinan perilaku (James Mac Gregor Burns, 1979: 141). Dalam matriknya, ia

menggambarkan lima gaya kepemimpinan, yaitu: (1) gaya autokratis; (2) gaya birokratis; (3)

gaya diplomatis; (4) gaya partisipatif; (5) gaya free rein leader.

1. Gaya kepemimpinan autokratis. Secara konseptual, Soejono (1984: 18), menjelaskan

pemimpin yang autokratis adalah pemimpin yang memiliki wewenang (authority) dari

suatu sumber (misalnya karena posisinya), pengetahuan, kekuatan atau kekuasaan untuk

memberikan penghargaan ataupun menghukum. Ia menggunakan authority ini sebagai

alat atau metode agar sesuatunya dapat dijalankan serta diselesaikan. Apa yang dilakukan

pimpinan atau pemimpin dengan gaya ini hanyalah memberitahukan tugas seseorang

serta menuntut kepatuhan orang secara penuh tanpa bertanya-tanya.

Gaya kepemimpinan ini memiliki dua model. Pertama, model garis keras dan

kedua, model paternalistik. Kepemimpinan autokratis yang berhaluan keras menuntut

kepatuhan. Kalau tidak, ada sanksi tertentu yang diterapkan. Gaya kepemimpinan

paternalistik mengharapkan kepatuhan dari para anggotanya, namun kepatuhan ini atas

dasar hubungan, yang sering bersifat pribadi dan diwarnai oleh father knows best,

ketergantungan pribadi bawahan dan berdasarkan pada rewards dan rasa aman.

2. Gaya kepemimpinan birokratik. Gaya kepemimpinan birokratik adalah gaya

kepemimpinan yang dijalankan dengan menginformasikan kepada para anggota atau

bawahannya apa dan bagaimana sesuatu itu harus dilaksanakan. Akan tetapi, dasar-dasar

dari perintah gaya kepemimpinan ini hampir sepenuhnya menyangkut kebijakan-

kebijakan, prosedur-prosedur, dan peraturan-peraturan yang terkandung dalam organisasi.

Ciri khas seorang pemimpin yang birokratis adalah pandangnannya terhadap semua

aturan atau ketentuan organisasi adalah “absolut”, artinya pemimpin mengatur

kelompoknya dengan berpegang sepenuhnya pada aturan-aturan yang telah ditetapkan

dalam organisasi (Soejono, 1984: 20 dan Nawawi, 1992: 112-117). Kreativitas dan

inovasi hanya berlaku sesuai dengan garis yang telah ditetapkan dalam organisasi.

Page 24: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

3. Gaya kepemimpinan diplomatis. Pada gaya ini dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin

yang diplomat adalah juga seorang seniman, yang melalui seninya, berusaha melakukan

persuasi secara pribadi. Jadi, sekalipun ia memiliki wewenang atau kekuasaan yang jelas,

ia kurang suka mempergunakan kekuasaannya itu. Ia lebih cenderung memilih cara

menjual sesuatu (motivasi) kepada bawahannya dan mereka menjalankan tugas

pekerjaannya dengan baik.

4. Gaya kepemimpinan partisipatif. Pemimpin dengan gaya partisipatif adalah pemimpin

yang selalu mengajak secara terbuka kepada anggota atau bawahannya untuk

berpartisipasi atau mengambil bagian secara aktif, baik secara luas atau dalam batas-batas

tertentu dalam pengambilan keputusan, pengumuman kebijakan, dan metode-metode

operasionalnya. Jenis pemimpin ini dapat berupa seorang pemimpin yang benar-benar

demokratis ataupun ia berstatus sebagai pemimpin untuk berkonsultasi (Trimo, 1984: 24).

5. Gaya kepemimpinan free rein leader. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin seakan-

akan menunggang kuda yang melepaskan kedua kendali kudanya. Walaupun demikian,

pemimpin dalam gaya ini bukanlah seorang pemimpin yang benar-benar memberikan

kebebasan kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja tanpa pengawasan sama

sekali. Hal yang dilakukan pemimpin tersebut adalah menetapkan tujuan yang harus

dicapai oleh anggota atau bawahannya untuk bebas bekerja dan bertindak tanpa

pengarahan atau kontrol lebih lanjut, kecuali apabila mereka memintanya.

Pada umumnya, para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi

lima tipe utama, yaitu:

1. Tipe pemimpin otokratis

Tipe ini menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu hak. Ciri-ciri pemimpin tipe ini

adalah:

1) menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi;

2) mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;

3) menganggap bahwa bawahan adalah alat semata;

Page 25: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

4) tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap

dialah yang paling benar;

5) selalu bergantung pada kekuasaan formal;

6) dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (approach) yang

mengandung unsur paksaan dan ancaman.

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin tersebut, dapat diketahui bahwa tipe ini tidak

menghargai hak-hak manusia. Oleh karena itu, tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi

modern.

2. Tipe pemimpin militeristis

Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat berikut:

1) dalam menggerakkan bawahannya, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat

utama;

2) sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya dalam menggerakkan bawahan;

3) senang pada formalitas yang berlebihan;

4) menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan;

5) tidak mau menerima kritik dari bawahan;

6) menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

Perlu diketahui bahwaa seorang pemimpin dengan tipe pemimpin militeristis tidak sama

dengan pemimpin dalam organisasi militer. Artinya, tidak semua pemimpin dalam militer adalah

bertipe militeristis. Tipe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.

3. Tipe pemimpin fathernalistis

Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin fathernalistis adalah sebagai berikut:

1) menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa;

Page 26: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

2) bersikap terlalu melindungi bawahan;

3) jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Oleh

karena itu, jarang ada pelimpahan wewenang;

4) jarang meberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan inisiatif daya

kreasi;

5) sering menganggap dirinya mahatahu.

Tipe pemimpin fathernalistis mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat fathernal atau

kebapakan. Pemimpin seperti ini menggunakan sifat kebapakan dalam menggerakkan bawahan.

Kadang-kadang, pendekatan yang dilakukan terlalu sentimental. Harus diakui bahwa dalam

keadaan tertentu, pemimpin seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi, ditinjau dari segi sifat-

sifat negatifnya, pemimpin fathernalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap

organisasi yang dipimpinnya.

4.Tipe pemimpin kharismatis

Sampai saat ini, para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa

seorang pemimpin memiliki kharisma. Tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik yang

amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan pengikut

menjelaskan alasan mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini. Karena kurangnya seorang

pemimpin yang kharismatis, sering dikatakan bahwa pemimpin seperti ini diberkahi dengan

kekuatan gaib (supernatural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil pendidikan dan

sebagainya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin kharismantis.

5. Tipe pemimpin demokratis

Dari semua tipe pemimpin yang ada, tipe pemimpin demokratis dianggap sebagai tipe

kepemimpinan yang terbaik. Hal ini karena pemimpin selalu mendahulukan kepentingan

kelompok dibandingkan kepentingan individu. Beberapa ciri dari tipe pemimpin demokratis

adalah sebagai berikut:

1) dalam proses menggerakkan bawahan, selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia

itu adalah makhluk yang termulia di dunia;

Page 27: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

2) selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan

organisasi;

3) senang menerima saran, pendapat, dan bahkan dari kritik bawahannya;

4) mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan memberikan pendidikan kepada

bawahan agar tidak berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif,

dan prakarsa dari bawahan;

5) lebih menitikberatkan kerja sama dalam mencapai tujuan;

6) selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;

7) berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan

Menurut De Bono (1986) ada 4 faktor yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang

(dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor luar dirinya). Kedua ciri pribadi itu adalah:

1. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan

memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.

2. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu.

Kedua faktor lainnya:

3. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang sangat cepat

mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang yang bekerja di bidang

yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang teknologi, khususnya komputer

merupakan bidang yang berkembang dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat

untuk berkembang.

4. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk melakukan

usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai usahanya.

Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat

bersumber dari:

Page 28: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

a. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai

kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan pada bawahan yang

mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.

b. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin

mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti

arahan-arahan pemimpinnya

c. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin

mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.

d. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap

sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena

karakteristik pribadinya, reputasinya dan karismanya.

e. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah

seorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlia dalam bidangnya.

2.2.5. Indikator Kepemimpinan

Kepemimpinan diukur menggunakan indikator-indikator berikut :

a) Tingkat hubungan pemimpin dengan bawahan;

b) Tingkat kesediaan pemimpin menerima saran dari bawahan;

c) Tingkat kesediaan pemimpin membantu mengatasi kesulitan bawahan;

d) Tingkat kesediaan pemimpin mendelegasikan kewenangannya kepada bawahan;

e) Tingkat kesediaan pemimpin menerima perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan.

2.2.6. Pengukuran Gaya Kepemimpinan

Pengukuran gaya kepemimpinan yang dipakai pada penelitian ini adalah LBDQ (Leadership

Behaviour Description Questionnaire) berdasarkan studi Ohio State yang didalamnya mengandung

dua kategori pengukuran gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan pertimbangan

Page 29: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

(Consideration Leadership Style) dan gaya kepemimpinan prakarsai (Initiating Stucture Leadership

Style) (Stogdill, 1974).

2.3. Kerangka Berfikir

Seluruh karyawan di tempat kerja harus diberikan banyak kesempatan untuk merasakan

berkomitmen pada organisasi. Meyer & Allen, (1997), menemukan bahwa karyawan yang

memiliki hubungan yang baik langsung dengan kelompok kerja, mereka memiliki tingkat yang

lebih tinggi berkomitmen. Mereka membicarakan ide mereka bahwa jika karyawan secara

langsung berkomitmen untuk kelompok mereka, komitmen mereka terhadap organisasi secara

keseluruhan akan lebih tinggi. Lio (1995) menyimpulkan bahwa "komitmen organisasi buruh

secara signifikan berkorelasi dengan keamanan kerja dirasakan mereka" (p.241).

Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan. Koopman (1991)

mempelajari bagaimana gaya kepemimpinan mempengaruhi karyawan dan menemukan

karyawan yang lebih menyukai gaya manajer mereka juga lebih disukai organisasi. Meskipun

tidak ada koneksi langsung antara komitmen, dapat dikatakan bahwa hal ini kemudian akan

mempengaruhi tingkat mereka komitmen terhadap organisasi. Nierhoff et al (1990) menemukan

bahwa "manajemen budaya secara keseluruhan dan gaya didorong oleh tindakan manajemen

puncak sangat terkait dengan tingkat komitmen karyawan" (hal. 344). Korelasi ini menyoroti

pentingnya memiliki pemimpin yang kuat dan peran mereka dalam organisasi secara

keseluruhan.

Eisenberger et al (1990) membahas karyawan yang merasa bahwa mereka dipimpin oleh

organisasi mereka dan pemimpin juga memiliki tingkat tidak hanya lebih tinggi komitmen, tetapi

bahwa mereka lebih sadar tentang tanggung jawab mereka, memiliki keterlibatan yang lebih

besar dalam organisasi, dan lebih inovatif. Manajer dan organisasi harus memberikan reward dan

dukungan karyawan mereka untuk pekerjaan yang mereka lakukan karena ini dianggap

memungkinkan dukungan atas kepercayaan lebih dalam organisasi.

KOMITMEN ORGANISASI (Y)

GAYA KEPEMIMPINAN

ATASAN:

Gaya kepemimpinan birokratik

(X)

Page 30: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

2.3.2. Hipotesis

Berdasarkan pada kajian teori yang telah dibahas dan hasil temuan dari para peneliti serta

kerangka berpikir yang telah diajukan sebelumnya, maka diajukan hipotesis yang akan diuji

kebenarannya melalui penelitian ini, adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut:

Hipotesis Kerja (Ha):

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan komitmen

organisasi karyawan pada PT. X.

Hipotesis Nihil (Ho):

Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan

komitmen organisasi karyawan pada PT. X.

Page 31: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pendekatan serta metode yang akan

digunakan dalam peneltian, meliputi aspek penelitian dan instrmen pengumpulan data.

3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian

kuantitaif adalah penelitian yang informasinya atau data-datanya dekelola dengan

statistik. Menurut Azwar (2003), penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan

analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metoda statistika.

Hipotesis pada penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik-teknik statistik (Kountur,

2004). Pada umumnya penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai

dari pengumpulan data, penafsiran data, serta penampilan dari hasil penelitiannya. Hal

tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang

ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional. Penelitian deskriptif

secara sederhana berarti penelitian yang berusaha memaparkan suatu fenomena

berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian yang dilakukan. Suryabrata (1998)

menyatakan bahwa penelitian deskriptif berusaha menjelaskan secara rinci situasi-situasi

atau kejadian-kejadian tertentu sehingga diperoleh uraian yang sistematis, faktual, dan

akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Menurut Azwar

(2003), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana

variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain

berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukutan terhadap

beberapa variabel serta saling berhubungan antara variabel-variabel tersebut dapat

Page 32: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

dilakukan secara serentak dalam kondisi yang realistik. Studi korelasional

memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang

terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel satu dengan variabel yang lain.

Sevilla dkk (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk

menggambarkan sifat suatu keadaan yang ditemukan pada saat penelitian dilaksanakan

dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Hanya saja penelitian deskriptif ini

tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap hal-hal yang terjadi tersebut dan hanya dapat

mengukur apa yang ada.

3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel

Variabel penelitian adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik berat perhatian

suatu penelitian (Arikunto, 198:99). Variabel adalah gejala yang menjadi obyek

penelitian atau apa yang menjadi pusat perhatian suatu penelitian (Hadi, 1995:91).

Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas adalah variabel yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap variabel

terikat, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.

Adapun perincian dari kedua variabel tersebut adalah:

Variavel terikat (DV) : Komitmen terhadap organisasi (Y)

Variabel bebas (IV) : Gaya kepemimpinan (X)

Definisi operasional adalah merupakan suatu definisi yang memberikan bahasan atau arti

variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel

tersebut (Kerlinger, 1996).

Berdasarkan konsep-konsep dan teori yang telah diuraikan, penulis merumuskan defenisi

operasional sebagai pengertian operasional mengenai variabel-variabel penelitian, yaitu:

1. Gaya kepemimpinan merupakan pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti

yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat,

keterampilan dan sikap pemimpin dalam politik. Aspek yang mempengaruhi gaya

kepemimpinan ada 4 indikator yang disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Variabel dan Indikator Gaya Kepemimpinan

Page 33: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

No Aspek Indikator

1 Perilaku direktif -penjelasan tugas atau pekerjaan

-pengambilan keputusan oleh atasan dan

pengendalian terhadap perilaku bawahan

2 Perilaku konsultatif -penyampaian ide dari bawahan

-keterlibatan anggota dalam pembahasan suatu

masalah

-penekanan akan pentingnya hubungan antar

pribadi

3 Perilaku partisipatif -keterlibatan anggota dalam perumusan tujuan

-keterlibatan anggota dalam pengambilan

keputusan

4 Perilaku delegatif -pengambilan keputusan ada pada bawahan

-bawahan memiliki kontrol dalam pelaksanaan

tugas

2. Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologis yang merupakan

karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki

implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam

berorganisasi. Allen dan Meyer (1997) mengemukakan bahwa komitmen organisasi

terdiri atas 3 aspek, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans dan komitmen

normatif. Adapun indikator-indikator dari masing-masing aspek disajikan dalam tabel

di bawah ini:

Tabel 3. 2

Variabel dan Indikator Komitmen Organisasi

No. Aspek Indikator

1 Komitmen Afektif -Merasa cocok secara emosional bekerja di perusahaan

-Keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan

Page 34: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

perusahaan

-Keinginan kuat untuk tetap berada diperusahaan karena

memang menginginkannya

2 Komitmen Kontinuans -Bekerja diperusahaan karena membutuhkannya

-Merasa rugi jika meninggalkan perusahaan

3 Komitmen Normatif -Tanggung jawab terhadap perusahaan

-Sikap loyal terhadap perusahaan

3.2 Pengambilan Sampel

3.2.1 Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang

diduga dari sampel (sebagian dari individu yang diselidiki) yang hendak digeneralisasikan atau

dianalisis secara umum. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri

atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2003).

Jadi populasi adalah seluruh individu yang akan diteliti.

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang memiliki

karakteristik tertentu, yang dianggap bisa mewakili populasi.

3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik total sampling,

yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh populasi menjadi anggota sampel (Soehartono,

dalam Jamali 2007) Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut

mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti mengambil

sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu

kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya

terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya

harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik

pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka akan diperoleh manajer pada tiga

Page 35: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

tingkatan, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan stratum manajer bawah. Dari setiap

stratum tersebut dipilih sampel secara acak.

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Metode dan Instrumen Penelitian

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala/angket. Menurut Arikunto (2002),

penggunaan skala/angket dapat memberikan keuntungan kepada peneliti:

1. Tidak memerlukan hadirnya peneliti

2. Dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden

3. Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing dan menurut waktu

senggang responden

4. Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu.

5. Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden dapat diberi pernyataan yang

benar-benar sama

Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode skala sebagai alat pengumpul data berupa

sejumlah daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu bidang

untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian

(Koentjaraningrat, 1983).

Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Bagian pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan penelitian, kerahasiaan jawaban

yang diberikan, dan ucapan terima kasih.

b. Bagian inti, berisi dua alat ukur yaitu alat ukur gaya kepemimpinan dan komitmen

organisasi.

c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti usia, jenis kelamin, dan

lainnya untuk melengkapi data penelitian. Data kontrol ini berisi pertanyaan terbuka atau

dengan beberapa alternatif jawaban.

Page 36: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert atau dikenal

juga dengan The Method of Summated Rating, yang dibuat untuk mengukur gaya kepemimpinan

yang terdiri atas perilaku direktif, perilaku konsultatif, perilaku partisipatif, dan perilaku

delegatif dan skala komitmen terhadap organisasi yang terdiri atas tiga dimensi yaitu komitmen

afektif, komitmen kontinuans dan komitmen normatif.

Menurut Sevilla (1993) penskoran pada skala Likert yang digunakan pada penelitian ini merujuk

pada empat alternative jawaban, sebagai berikut:

Selalu (SL) : 4

Sering (SR) : 3

Pernah :2

Tidak Pernah : 1

Untuk item yang favorable, skor subjek bergerak dari 4,3,2,1. Sementara untuk item unfavorable,

skor subjek bergerak dari 1,2,3, dan 4. Peneliti menggunakan skala model Likert dengan

menghilangkan pilihan tengah yaitu netral atau ragu-ragu menjadi empat alternative jawaban

dengan alas an mengurangi pengaruh “kecendrungan sentral” dan mendorong subjek untuk

memutuskannya sendiri apakah positif atau negative. Kecendrungan sentral adalah penekanan

pada kecenderungan responden untuk “mengamankan” dan untuk menempatkan jawaban mereka

di tengah sebagai netral. Individu yang memiliki kecenderungan jawaban tersebut jelas tidak

mungkin melakukan karena mereka menafsirkannya sebagai tipe yang moderat (Sevilla, 1993).

Skala Likert dipandang sangat bermanfaat dalam penelitian tingkah laku karena lebih mudah

dilakukan dan hasilnya sama dengan hasil skala Thurstone yang lebih sulit digunakan (Kerlinger,

1973 dalam Sevilla, 1993).

Page 37: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

DAFTAR PUSTAKA

Robbins, S. P. , dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat

Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi

Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the antecedents, correlates, consequences of organizational commitment. Psychological bulletin. 108, 171-194.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research and application. California: Sage Publications.

Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steeras, R. (1982). Organizational linkages : the psychology of commitment, absenteeism, and turnover. San Diego, California : Academic Press.

Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice Hall. 

Kerlinger, Fred N. (1996). Asas-asas Penelitian Behavioral. Landung R. Simatupang (terj). Yogyakarta : Gajah Mada Press

Daftar pustaka

Suryanto, Dwi. (2005), Pengaruh kemiripan persepsi, kemiripan demografis atasan-bawahan,

ketertarikan atasan pada bawahan, kualitas hubungan atasan-bawahan, kepuasan kerja, dan

komitmen karyawan terhadap peringkat prestasi kerja. Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran Bandung.

Ratmawati, Dwi. (2007), Managerial competency and management commitment to employee:

empowerment: banking companies case. Proceedings of the 13th Asia Pacific management

conference, 556-562.

Page 38: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X

Yukl, Gary, (1998), Kepemimpinan dalam organisasi. Prenhallindo: Jakarta.

Steers, R.M., & Porter, L.W., (1987). Motivation and work behavior. USA: McGraw-Hill inc.

M. Ivancevich, John, Konopaske, Robert, & Matteson, M.T. (2006). Perilaku dan manajemen

organisasi, edisi ketujuh jilid 2 (terj. Organizational Behavior and management, Seventh edition).

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hadi, S. (2000) Metodologi research. Jilid 1. Yoyakarta : Andi Offset.

Muchlas, Makmuri. (2005). Perilaku organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sutikno, R.B. (2010) The power of 4Q for HR & company development. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.