Upload
dina-haya-sufya
View
18.741
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Citation preview
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Dina Haya Sufya
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi
isu yang sangat penting. Beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah
satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan
pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha
maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal
pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga
perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Penelitian sebelumnya menemukan status sosial ekonomi secara konsisten menjadi prediktor
tunggal terkuat dari komitmen karena status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi dan
kemampuan untuk secara aktif terlibat. Dalam organisasi, karyawan pada tingkat kerja yang
tinggi umumnya memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada di tingkat
rendah. Hal ini karena posisi kekuasaan memungkinkan orang untuk mempengaruhi keputusan
organisasi, menunjukkan status tinggi, mengakui wewenang secara formal dan mungkin
berkompetensi, dan menunjukkan bahwa organisasi mengakui kompetensi dan nilai kontribusi
mereka. Karyawan di pekerjaan tingkat tinggi memiliki lebih banyak kebebasan dan pilihan
meningkatkan rasa kontrol dan dengan demikian mengakibatkan peningkatan komitmen afektif
kepada organisasi.
Manajer terkadang dalam posisi untuk mempengaruhi komitmen organisasi karyawan karena
mereka tidak memiliki kontrol terhadap situasi posisi karyawan atau pribadi. Seorang manajer,
bagaimanapun, bisa mengelola situasi kerja sedemikian rupa bahwa komitmen organisasi
karyawan harus ditingkatkan.
Riset behavioral yang dilakukan oleh tim dari Universitas Harvard dan Rumah Sakit Umum
Massachusetts menemukan, komitmen organisasi karyawan secara umum sangat dipengaruhi
oleh kepekaan yang bersangkutan pada tujuan kerja, perasaan atas pengaruh seseorang dan
kepercayaan menyeluruh dalam organisasi. Sementara, produktivitas dipengaruhi oleh kualitas
hubungan antar manusia, termasuk sifat-sifat kooperatif dan interaksi kelompok sosial.
Tempat kerja yang menyediakan lingkungan yang positif, yang mendukung
berkembangnya kepercayaan interpersonal dan kualitas hubungan-hubungan personal akan
melahirkan karyawan-karyawan yang penuh komitmen dan produktif. Survei juga menemukan
bahwa kepuasan karyawan secara signifikan meningkat oleh kepercayaan yang dibangun antar
teman sekerja. Makin peka seseorang pada tujuan seputar pekerjaannya, makin besar pula
komitmen individualnya pada organisasi.
Pakar workplace relationship Courtney Anderson mengatakan, hasil riset tersebut
menegaskan betapa pentingnya kini bagi kalangan pemimpin bisnis untuk membangun kepekaan
pada kepercayaan dan tujuan dalam organisasi mereka. Firth dkk. (2004) meneliti kaitan antara
niat untuk keluar perusahaan dan kepuasan kerja. Menurutnya penyebab terbesar dalam
mengurangi niat karyawan untuk keluar dari perusahaan berasal dari komitmen mereka kepada
organisasi, dan dari kepuasan kerja. Kedua faktor itu dapat diterjemahkan dalam ujud ada timbal
balik antara individu dan organisasi. Semakin puas seseorang dengan pekerjaannya, semakin
mereka komit kepada organisasi.
Merasa stres (umpamanya merasa emosi terkuras, tegang) tidak hanya
berkontribusi terhadap kepuasan bekerja, tapi juga merupakan variabel yang tinggi kontribusinya
terhadap niat untuk keluar dari organisasi. Jelasnya, emosi-emosi itu adalah respon terhadap
tingkat stres di dalam pekerjaan yang dialami oleh karyawan, dan karenanya menjadi penting
dipertimbangkan untuk melakukan strategi intervensi yang akan mengurangi stres itu.
Gary Yukl (1994) mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mempengaruhi para
pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih besar, rasa percaya diri, serta komitmen
kepada tujuan dan misi organisasi. Dengan demikian cara-cara perilaku pemimpin dalam
mengarahkan pengikutnya akan berpengaruh terhadap komitmen otganisasi karyawan.
Penting juga untuk mengeksplorasi tingkat komunikasi antara karyawan dan majikan
untuk mendeteksi penyebab stres dalam bekerja, di mana Moore (2002) dalam Firth (2004)
menemukan bahwa tingkat komunikasi yang rendah antara manajemen dan bawahan
berkontribusi pada naiknya perasaan stres dan hal itu terkait dengan niat untuk keluar dari
organisasi. Dari temuan lainnya ternyata persepsi adanya dukungan atasan dapat mengurangi niat
untuk keluar dari organisasi (Firth; 2004).
Banyak penelitian tentang komitmen organisasi, lebih terfokus pada komitmen anggota,
yang merupakan komitmen karyawan terhadap organisasi atau perusahaan di mana keterlibatan
mereka dalam hubungannya dengan organisasi kinerja yang telah dilakukan (Williams &
Anderson, 1991; Mowday, 1998; Currivan, 1999; Meyer et al, 2001;. Meyer & Herscovitch,
2001; Gallie et al 2001, dll). Dengan kata lain, berbagai penelitian tentang komitmen organisasi
telah dilakukan untuk menguji hubungan antara karyawan komitmen dan organisasi.
Secara umum, menunjukkan hasil 'konsekuensi yang positif 'dalam hubungan antara
‘praktek manajemen sumber daya manusia, komitmen karyawan, dan kinerja keuangan. Namun,
studi hanya melihat masalah dari satu sudut pandang, yang merupakan organisasi atau
permintaan perusahaan terhadap karyawan mereka untuk memiliki komitmen organisasi yang
tinggi.
Di sisi lain, aspek penting lainnya, komitmen manajerial yang mewakili komitmen
organisasi kepada karyawan juga diperlukan untuk mencapai kinerja yang efektif. Sebagaimana
dinyatakan bahwa komitmen terhadap karyawan manajerial diperlukan sebagai upaya manajerial
untuk menguatkan karyawan mereka agar mencapai kinerja yang efektif.
Pendapat umum yang ada cenderung untuk mengatakan bahwa komitmen organisasi (atau
perusahaan) terhadap karyawan dilihat normatif, dalam arti bahwa komitmen ini akan dilakukan
atas dasar norma-norma organisasi. Namun demikian, aplikasi dari komitmen ini masih
dipertanyakan Oleh karena itu membutuhkan jawaban melalui penelitian.
Penelitian ini menempatkan pengaruh kompetisi manajemen manajerial dan menguji komitmen
untuk pemberdayaan karyawan terhadap perusahaan kinerja.
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam organisasi karena
kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi. Jika
perusahaan, rumah sakit, universitas, atau tim atletik mengalami kesuksesan, direktur, rektor,
atau pelatih yang memperoleh acungan jempol. Tetapi sebaliknya, kalau terjadi kegagalan,
mereka pulalah yang memperoleh teguran, kritik atau bahkan diganti. Jadi, salah satu elemen
pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi adalah bagaimana caranya untuk melatih, dan
mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif?.
Kegagalan dalam membentuk budaya perusahaan biasanya terjadi karena faktor
kepemimpinan yang tidak konsisten. Menurut Welch, chief excecutive officer pada perusahaan
General Electric (GE), ada sejumlah nilai yang ia kembangkan dan direvisi secara
berkesinambungan. Ia percaya bahwa perintah dan pengendalian bukan cara yang terbaik untuk
menjalankan bisnis. Melibatkan setiap orang lebih penting daripada terikat pada suatu hierarki
yang kaku.
Melibatkan setiap orang adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang
adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang adalah kunci, karena itu lebih
banyak orang berarti lebih banyak gagasan, dan semakin banyak gagasan berarti semakin besar
intelek perusahaan. Jika pemimpin organisasi cenderung menggunakan gaya pembuatan-
keputusan yang lebih konsultatif, mereka sebenarnya telah mengirim pesan bahwa mereka
berminat mendengar apa yang dikatakan orang lain. Respons orang-orang dalam organisasi pun
bukan sekedar menunaikan pekerjaan mereka, tapi juga mengajukan pertanyaan dan usulan agar
segala sesuatunya berjalan lebih baik.
Pemimpin harus membuat tujuan yang ingin dicapai, kemudian satuan di bawahnya
mempelajari dan membuat semacam rencana kerja yang disebut Personal Business Commitment
(PBC) yang sesuai dengan bidang masing-masing. Pembuatan PBC dilakukan hingga lapisan
terbawah, dengan melihat tujuan yang dibuat atasan sebagai tujuan. Bila atasan menilai masih
ada yang kurang, PBC tersebut didiskusikan secara terbuka sebagai komunikasi dua arah. Untuk
menjamin bahwa aspek kepemimpinan berjalan dengan semestinya, semua karyawan termasuk
direksi dan CEO akan mendapat feedback tentang kinerja dari atasan masing-masing (INSPIRE,
2009).
Para pemimpin dituntut untuk bersikap fleksibel, rendah hati, bersedia menerima
masukan termasuk kritik terhadap strategi perusahaan, dari semua tingkatan organisasi bahkan
dari tenaga penjualan yang ada di lapangan. Jika karyawan tidak mempercayai sebuah strategi,
mereka cenderung tidak membantu agar strategi itu berjalan.
Di luar manajemen, banyak resep untuk menciptakan tempat kerja yang penuh sukses dan
produktif. Sebuah penelitian baru menegaskan pentingnya membangun kepercayaan, kepekaan
pada tujuan dan hubungan antarmanusia yang kuat untuk mencapai tujuan tadi. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka penulis memilih judul : “Hubungan Gaya Kepemimpinan Atasan
terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X”.
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan
harapan, antara kecenderungan perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara
kenyataan dengan ide. Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai
perwujudan “ketiadaan, kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan,
ketidakserasian, kemerosotan dan sebagainya”.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan masalah dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut: "Bagaimana hubungan gaya kepemimpinan atasan
dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X?”
Mengingat luasnya ruang lingkup obyek penelitian dan
terbatasnya kemampuan penulis, dalam penelitian ini penulis
menentukan batasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini
menjadi lebih jelas permasalahannya, sehingga tujuan dari penelitian
ini dapat tercapai sebagaimana mestinya,. Dalam penelitian ini penulis
menitikberatkan pada gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen
organisasi karyawan.
1.2.2. Rumusan Masalah
Masalah ini dapat dibatasi lagi menjadi sub-sub masalah sebagai fokus perhatian
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi gaya kepemimpinan atasan terhadap bawahannya pada PT. X
2. Bagaimana deskripsi komitmen organisasi karyawan terhadap gaya kepemimpinan
atasan pada PT. X.
3.Bagaimanakah hubungan gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi
karyawan pada PT. X.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Komitmen Organisasi
2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasi
Satu yang dicari oleh organisasi adalah memiliki karyawan yang memiliki komitmen
tinggi. Komitmen ini penting sekali, karena tanpa komitmen, sepandai apapun karyawan itu,
akan kurang bermanfaat bagi perusahaan. Karena pentingnya komitmen, banyak ahli yang telah
mengkaji konsep ini.
Mowday et. al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari
identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan
terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk menggunakan upaya yang sungguh-
sungguh untuk kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan
dalam organisasi. Komitmen organisasi menunjuk pada pengidentifikasian tujuan karyawan
dengan tujuan organisasi, kemauan mengerahkan segala daya untuk kepentingan organisasi dan
keterikatan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi (Mowday, Steers, Porter, 1979).
Sedangkan Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu
keadaan psikologis yang dikarakteristikkan dengan:
a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi.
b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh demi organisasi.
c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Meyer dan Allen (1997) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen
organisasi akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tingi
menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam
organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan
yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat
karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih
menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Price (2002) dengan indah menyatakan hal itu “Tanyakan pada anggota tim, manajer atau
pemimpin senior tentang sikap dan sifat-sifat yang mereka anggap paling berharga, dan
komitmen normalnya muncul teratas pada daftar. Dan penelitian mengkonfirmasi apa yang telah
diketahui oleh intuisi – bahwa perbaikan pada komitmen karyawan akan menaikkan
produktivitas, karyawan tetap bekerja di organisasi itu, dan tingkat profitabilitasnya yang
membaik.
Komitmen adalah sikap global seseorang sebagai akibat dari pengenalan lingkungan,
kemauan yang kuat untuk mendukung organisasi, dan perasaan bahwa upaya orang itu akan
diakui dan dibalas oleh perusahaan (Stephen & Annette, 1997).
Menurut Duane & Sydney Ellen, komitmen organisasi dipengaruhi oleh persepsi
karyawan tentang bagaimana sikap hormat terhadap organisasi perusahaan mereka. Semakin
besar komitmen dirasakan kepada karyawan, harapan karyawan semakin tinggi bahwa jika
mereka bekerja untuk memenuhi tujuan organisasi, mereka akan merasa adil dan dihargai
(Duane & Sydney Ellen, 2006).
Steers & Porter (1987) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification
(kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik
mungkin demi kepentingan organisasi), dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap organisasinya.
Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap
menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan
organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam bekerja, dan
identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja,
dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja,
adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan
organisasi kerja serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi
kerja. Dalam hal ini individu mengidentifikasikan dirinya pada suatu organisasi tertentu tempat
individu bekerja dan berharap untuk menjadi anggota organisasi kerja guna turut merealisasikan
tujuan-tujuan organisasi kerja (Zainuddin, 2009).
Richard M. Steers, (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa
identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha
sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi
anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap
perusahaannya. Ia berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana
karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen
terhadap organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai
organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan
organisasi demi pencapaian tujuan.
Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990), menyatakan bahwa komitmen memiliki arti
penerimaan yang kuat dalam diri individu terhadap tujuan dan nilai-nilai perusahaan, sehingga
individu tersebut akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap
bertahan di perusahaan tersebut.
Yang digunakan pada tulisan ini adalah defenisi komitmen menurut Meyer dan Allen
(1997), dimana mereka mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan psikologis
yang dikarakteristikkan dengan:
a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi.
b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh demi organisasi.
c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli ini, dalam komitmen organisasi tercakup
unsur loyalitas terhadap perusahaan, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap
nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Maka pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari
beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu
karyawan dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi.
Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang
lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap perusahaan, dengan kata lain komitmen
organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi atau perusahaan secara aktif.
Karena karyawan yang menunjukkan komitmen organisasinya, ada keinginan untuk memberikan
tenaga dan tanggung jawab untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi atau
perusahaan tersebut.
Komitmen organisasi secara positif berkaitan dengan jumlah dukungan yang diterima
dari supervisor dan rekan kerja dan tingkat kepuasan dengan supervisor (Bishop & Scott, 2000;
Liden, Wayne, & Sparrowe, 2000). Fenomena komitmen telah banyak diteliti dengan alasan
bahwa komitmen itu mempengaruhi sikap dan perilaku individu di tempat kerja. Di antara
perilaku itu, fokusnya adalah pada tingkat keluar masuknya karyawan dan bagaimana hal itu
dipengaruhi oleh komitmen (Eunmi; 1999).
Komitmen organisasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu: komitmen karyawan pada
organisasi dan komitmen manajerial. Pertama-tama, komitmen karyawan pada organisasi
diartikan sebagai komitmen karyawan terhadap organisasi, kedua komitmen manajerial,
umumnya dianggap sebagai komitmen organisasi kepada karyawan adalah komitmen yang
dipegang dan dijalankan oleh manajer terhadap karyawan mereka sebagai dasar atau mencoba
untuk mendukung peningkatan kinerja (Dwi Ratmwati, 2007).
2.1.2. Jenis Komitmen Organisasi
Jenis komitmen menurut Allen dan Meyer (Dunham.1994:370) terbagi atas tiga
komponen, yaitu:
a. Komitmen Afektif, yakni komitmen afektif yang berkaitan dengan emosional,
identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam suatu organisasi. Karyawan dengan
afektif tinggi masih bergabung dalam organisasi karena keinginan untuk tetap
menjadi anggota organisasi. Ada beberapa penelitian mengenai kategori anteseden
dari komtmen afektif. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar.
Ketiga kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi
perkembangan komitmen afektif adalah sistem desentralisasi (Bateman &
Strasser, 1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil,
dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu (Allen & Meyer,
1997).
2. Karakteristik individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender
mempengaruhi komitmen afektif, namun ada pula yang menyatakan tidak
demikian (Aven, Parker & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer,
1997). Selain itu, usia juga mempengaruhi proses terbentuknya komitmen afektif,
meskipun bergantung pada beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer,
1993), masa jabatan dalam organisasi (Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen &
Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi,
etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya (Allen & Meyer,
1997).
3. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses
terbentuknya komitmen afektif, antara lain job scope, yaitu beberapa karakteristik
yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980
dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan,
tingkat pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang
digunakan individu dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990, dalam
Allen & Meyer, 1997), dan hubungannya dengan atasan
b. Komitmen Normatif, merupakan perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus
diberikan kepada organisasi. Komponen normatif berkembang sebagai hasil dari
pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki
pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban kepada pegawai
untuk memberikan balasan atas apa yang pernah diterimanya dari organisasi. Wiener
(Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat
berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi
(dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam
organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi
memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas
kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah
adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau;
Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari
masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.
c. Komitmen Kontinuans, berarti komponen yang berdasarkan persepsi pegawai tentang
kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Pegawai dengan dasar
organisasi tersebut disebabkan karena pegawai tersebut membutuhkan organisasi.
Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah
laku yang berbeda dengan pegawai dengan dasar continuance. Komitmen Kontinuans
dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau kejadian yang dapat
meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan atau
kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variabel, yaitu investasi dan alternatif. Selain
itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang
harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah
kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di
mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana
dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997). Investasi dan alternatif yang
dialami individu dalam organisasi gereja berbeda dengan organisasi lain. Investasi
dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan khas gereja
dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari organisasi
profit biasa.
2.1.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi sangat terkait dengan faktor individu dan juga faktor organisasi
(Schultz dan Ellen, 1994). Individu yang telah berada dalam suatu organisasi lebih dari dua
tahun, dan individu yang memiliki keinginan untuk berkembang, memiliki komitmen organisasi
yang tinggi dibanding dengan individu yang baru masuk di dalam suatu organisasi (Schultz dan
Ellen, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh O’ Driscoll (dalam Schultz dan Ellen, 1994) pada
119 karyawan didaerah New Guenia, menunjukkan bahwa perkembangan komitmen organisasi
akan terlihat setelah enam bulan individu bergabung di dalam suatu organisasi, dan selanjutnya
penelitian tersebut menemukan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dengan
kepuasan kerja.
Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi
merupakan bagian yang penting dalam proses individu di dalam organisasi itu sendiri. Ada
hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan
komitmen pada organisasi. Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan
konsekuensi yang negatif terhadap mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk
mencari pekerjaan lain.
a. Ada dua faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik
personal dan karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukakan bahwa
tingginya komitmen karyawan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh
nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utama dalam membangun komitmen karyawan
adalah adanya kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai
kemanusiaan.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar
kepercayaan, dan kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya
komunikasi dua arah mustahil komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.
c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler,
1995) menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih
kebersamaan, seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasib dan kerukunan
yang pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen karyawan.
d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pemimpin dapat memberi inspirasi bagi
tumbuhnya performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi
kesempatan pada karyawan untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama
dalam sebuah organisasi.
e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang
untuk menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.
f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen
organisasi yang tinggi pula.
g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti
gaji hanya akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu
insentif yang diberikan kepada individu yang telah berhasil melampaui target dari apa
yang ditetapkan perlu dihargai jerih payah kerja kerasnya.
Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang
mempengaruhi seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan
oleh :
a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi
terhadap nilai dan tujuan organisasi.
b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.
c. Keyakinan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.
Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-
faktor personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi
adalah sikap yang positif terhadap rekan kerja. Sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat
mempengaruhi komitmen organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan
kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga
komponen penting dari komitmen organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan
tujuan dari organisasi, keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan
tugas dengan baik, dan memiliki keinginan kuat untuk tetap berada didalam organisasi. Studi
yang dilakukan oleh Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa
tingginya komitmen organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka
terhadap seberapa tinggi komitmen yang ditunjukkan organisasi kepada mereka. Semakin tinggi
karyawan merasa harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula mereka
terhadap organisasi.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
adalah:
1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan
usia.
2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja,
identifikasi tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.
3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam
pengambilan keputusan.
4. Sifat dan kualitas pekerjaan.
Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat
berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari
keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi.
Selain itu komitmen normatif juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang
sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam
Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan
organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis
adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.
Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen
internal yang dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara
tradisional untuk membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam
bekerja dan promosi yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk
setelah karyawan merasakan kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami,
jenis pekerjaan yang pernah mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.
Sementara itu, Minner (dalam Sopiah, 2008) mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan antara lain :
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan
kepribadian.
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik
peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran
serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh terhadap
tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun
bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki
tingkat komitmen yang berlainan.
Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor
personal, dan berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional.
Faktor personal merupakan faktor yang ada di dalam diri individu dalam menyikapi bermacam
masalah yang ada didalam suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu,
pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut
permasalahan eksternal individu yang didalamnya termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja,
komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan yang tinggi.
2.1.4. Indikator Komitmen Organisasi
1. Indikator Komitmen Afektif.
Individu dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat
terhadap organisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan
keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan
komitmen afektif yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif memiliki hubungan yang sangat erat
dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang
dilakukan, individu dengan komitmen afektif akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil
pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne
(Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan komitmen afektif tinggi akan lebih
mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Komitmen afektif memiliki
hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu
(e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor,
& Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer
et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan dugaan tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman
et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan komitmen
afektif yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada
yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993)
meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam penelitian yang
diadakan pada perawat, komitmen afektif ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan
keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal
sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk
bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).
Individu dengan komitmen afektif yang tinggi cenderung untuk melakukan internal
whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam
perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau
kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif yang tinggi berkorelasi negatif dengan
keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski;
Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
2. Indikator Komitmen Kontinuans.
Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan bertahan dalam organisasi,
bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan
kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka
individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi
pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap
selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan
kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen kontinuans tidak
berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau
indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas
sekali mempengaruhi hasil pekerjaan.
Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi
dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Komitmen kontinuans tidak mempengaruhi
beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen &
Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian komitmen kontinuans tidak memiliki hubungan
yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi.
Komitmen kontinuans tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational citizenship
(Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini
memiliki hubungan yang negatif. Komitmen kontinuans juga dianggap tidak berhubungan
dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk
ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role.
Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon
ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Komitmen
kontinuans tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk
mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya
(Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar komitmen kontinuans seseorang,
maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan
baik.
3. Indikator Komitmen Normatif
Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi
karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa
perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan
melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya komitmen normatif diharapkan
memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance,
work attendance, dan organizational citizenship. Komitmen normatif akan berdampak kuat pada
suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara komitmen normatif dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali
mendapat perhatian. Komitmen normatif dianggap memiliki hubungan dengan tingkat
ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu
penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett
et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997).
Sedikit sekali penelitian yang mengukur komitmen normatif dan role-job performance.
Berdasarkan hasil penelitian komitmen normatif berhubungan positif dengan pengukuran hasil
kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari
keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997).
Komitmen normatif memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship
(Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara komitmen normatif dengan
tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan komitmen afektif.
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti komitmen afektif dan komitmen normatif
yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi (Begley & Czajka;
Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap
organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer;
Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar
terdapat pada komitmen afektif, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan
turnover variable di antara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar
organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi
saja.
2.1.5. Pengukuran Komitmen Organisasi
Berdasarkan tipologi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, ada
berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu pengukuran komitmen organisasi
yang terkenal adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh
Porter dan Smith pada tahun 1970. Kuesioner ini mengukur komitmen afektif melalui 15
pertanyaan yang berbentuk skala Likert yang terdiri dari 7 angka, mulai dari sangat tidak setuju
sampai sangat setuju terhadap pernyataan.
Untuk mengukur komitmen organisasi yang terdiri dari tiga komponen, Allen dan Meyer
telah beberapa kali merevisi alat ukur yang telah disusun. Revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen
pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala
komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar antara nilai 1 (sangat tidak setuju dengan
pernyataan) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju dengan pernyataan).
2.2. Gaya Kepemimpinan
2.2.1 Defenisi Kepemimpinan
Menurut Suhendi dan Anggara (2010), kepemimpinan atau leadership adalah kegiatan
untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia, baik
perseorangan maupun kelompok. Kepemimpinan dapat berlangsung tanpa harus terikat oleh
aturan-aturan yang ada. Apabila kepemimpinan dibatasi oleh tata aturan birokrasi, atau dikaitkan
dengan suatu organisasi tertentu, hal tersebut dinamakan manajemen.
Kepemimpinan menurut Hadari (1992: 12), dapat dilihat dari dua konteks, yaitu
struktural dan nonstruktural. Dalam konteks struktural, kepemimpinan diartikan sebagai proses
pemberian motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai
dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti usaha mengerahkan,
membimbing, dan mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang
dari tugas pokok masing-masing. Adapun dalam konteks nonstruktural kepemimpinan dapat
diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku, dan mengarahkan semua
fasilitas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Menurut Robbins (1993), kepemimpinan didefenisikan sebagai kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi sebuah kelompok. Menurut Raja Bambang Sutikno (2010), kepemimpinan
berarti memberi contoh tauladan menjelma menjadi model panutan banyak orang. Menurut Ary
Ginanjar Agustian (2008), pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi
perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia
dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki
kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan suara
hati yang fitrah.
Menurut Daniel Goleman (2000) yang dikutip dari buku John M. Ivancevich, Robert
Konopaske, dan Michael T. Matteson; mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses
mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi yang relevan.
Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), “leadership is defined as the purposeful behavior
of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as
well as the organization or common good”. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para
anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat
individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means using power
to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi.
Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau
bawahan. Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari
para pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak
ada juga. Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang dengan kekuasaannya (his
or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan.
Fungsi Kepemimpinan
Agar kelompok atau organisasi berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus
melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah. Mencakup penetapan
struktur tugas, pemberian saran penyelesaian, informasi dan pendapat.
2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok (group maintenance) atau
social. Mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi
berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengetahuan
perbedaan pendapat, dan sebagainya.
Selanjutnya H. Malayu S.P Hasibuan mengemukakan fungsi-fungsi kepemimpinan antara
lain sebagai berikut:
1. Pengambilan keputusan dan merealisasi keputusan itu.
2. Pendelegasian wewenang dan pembagian kerja kepada para bawahan.
3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna semua unsur manajemen.
4. Memotivasi bawahan, supaya bekerja efektif dan bersemangat.
5. Mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan loyalitas bawahan.
6. Mengkoordinasi dan mengintegrasi kegiatan-kegiatan bawahan.
7. Penilaian prestasi dan pemberian teguran atau penghargaan kepada bawahan.
8. Pengembangan bawahan melalui pendidikan dan pelatihan.
9. Melaksanakan pengawasan melekat dan tindakan-tindakan perbaikan jika perlu.
10. Memelihara aktivitas-aktivitas perusahaan sesuai dengan izinnya.
11. Mempertanggungjawabkan semua tindakan kepada pemilik, karyawan dan
pemerintah.
12. Membina dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
13. Pemberian kompensasi, ketenangan, dan keselamatan bagi karyawan.
14. Meningkatkan produktivitas organisasi dan alokasi sumber daya serta meningkatkan
kepuasan kerja karyawan.
15. Menciptakan perubahan/pembaharuan/reformasi.
2.2.2. Gaya Kepemimpinan
Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus,
kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Dan gaya kepemimpinan adalah perilaku dan
strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan
seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Dalam gaya
kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang mementingkan hubungan kerja sama dan
yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Sehingga gaya kepemimpinan yang paling tepat
adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktifitas, kepuasan kerja, penumbuhan, dan
mudah menyesuaikan dengan segala situasi.
Menurut Heidjrachman dan S. Husnan gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang
dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai
tujuan tertentu. (Heidjrachman dan Husnan, 2002:224). Sedangkan menurut Fandi Tjiptono gaya
kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan
bawahannya (Tjiptono, 2001:161). Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin
yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29).
Gaya kepemimpinan menurut Davis, Keith. (1985) adalah pola tindakan pemimpin secara
keseluruhan seperti yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili
filsafat, keterampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.
2.2.3. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan dan Tipe-tipe Kepemimpinan
2.2.3.1. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan
James Owens menggambarkan melalui matrik gaya yang dimiliki dalam teori
kepemimpinan perilaku (James Mac Gregor Burns, 1979: 141). Dalam matriknya, ia
menggambarkan lima gaya kepemimpinan, yaitu: (1) gaya autokratis; (2) gaya birokratis; (3)
gaya diplomatis; (4) gaya partisipatif; (5) gaya free rein leader.
1. Gaya kepemimpinan autokratis. Secara konseptual, Soejono (1984: 18), menjelaskan
pemimpin yang autokratis adalah pemimpin yang memiliki wewenang (authority) dari
suatu sumber (misalnya karena posisinya), pengetahuan, kekuatan atau kekuasaan untuk
memberikan penghargaan ataupun menghukum. Ia menggunakan authority ini sebagai
alat atau metode agar sesuatunya dapat dijalankan serta diselesaikan. Apa yang dilakukan
pimpinan atau pemimpin dengan gaya ini hanyalah memberitahukan tugas seseorang
serta menuntut kepatuhan orang secara penuh tanpa bertanya-tanya.
Gaya kepemimpinan ini memiliki dua model. Pertama, model garis keras dan
kedua, model paternalistik. Kepemimpinan autokratis yang berhaluan keras menuntut
kepatuhan. Kalau tidak, ada sanksi tertentu yang diterapkan. Gaya kepemimpinan
paternalistik mengharapkan kepatuhan dari para anggotanya, namun kepatuhan ini atas
dasar hubungan, yang sering bersifat pribadi dan diwarnai oleh father knows best,
ketergantungan pribadi bawahan dan berdasarkan pada rewards dan rasa aman.
2. Gaya kepemimpinan birokratik. Gaya kepemimpinan birokratik adalah gaya
kepemimpinan yang dijalankan dengan menginformasikan kepada para anggota atau
bawahannya apa dan bagaimana sesuatu itu harus dilaksanakan. Akan tetapi, dasar-dasar
dari perintah gaya kepemimpinan ini hampir sepenuhnya menyangkut kebijakan-
kebijakan, prosedur-prosedur, dan peraturan-peraturan yang terkandung dalam organisasi.
Ciri khas seorang pemimpin yang birokratis adalah pandangnannya terhadap semua
aturan atau ketentuan organisasi adalah “absolut”, artinya pemimpin mengatur
kelompoknya dengan berpegang sepenuhnya pada aturan-aturan yang telah ditetapkan
dalam organisasi (Soejono, 1984: 20 dan Nawawi, 1992: 112-117). Kreativitas dan
inovasi hanya berlaku sesuai dengan garis yang telah ditetapkan dalam organisasi.
3. Gaya kepemimpinan diplomatis. Pada gaya ini dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin
yang diplomat adalah juga seorang seniman, yang melalui seninya, berusaha melakukan
persuasi secara pribadi. Jadi, sekalipun ia memiliki wewenang atau kekuasaan yang jelas,
ia kurang suka mempergunakan kekuasaannya itu. Ia lebih cenderung memilih cara
menjual sesuatu (motivasi) kepada bawahannya dan mereka menjalankan tugas
pekerjaannya dengan baik.
4. Gaya kepemimpinan partisipatif. Pemimpin dengan gaya partisipatif adalah pemimpin
yang selalu mengajak secara terbuka kepada anggota atau bawahannya untuk
berpartisipasi atau mengambil bagian secara aktif, baik secara luas atau dalam batas-batas
tertentu dalam pengambilan keputusan, pengumuman kebijakan, dan metode-metode
operasionalnya. Jenis pemimpin ini dapat berupa seorang pemimpin yang benar-benar
demokratis ataupun ia berstatus sebagai pemimpin untuk berkonsultasi (Trimo, 1984: 24).
5. Gaya kepemimpinan free rein leader. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin seakan-
akan menunggang kuda yang melepaskan kedua kendali kudanya. Walaupun demikian,
pemimpin dalam gaya ini bukanlah seorang pemimpin yang benar-benar memberikan
kebebasan kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja tanpa pengawasan sama
sekali. Hal yang dilakukan pemimpin tersebut adalah menetapkan tujuan yang harus
dicapai oleh anggota atau bawahannya untuk bebas bekerja dan bertindak tanpa
pengarahan atau kontrol lebih lanjut, kecuali apabila mereka memintanya.
Pada umumnya, para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi
lima tipe utama, yaitu:
1. Tipe pemimpin otokratis
Tipe ini menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu hak. Ciri-ciri pemimpin tipe ini
adalah:
1) menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi;
2) mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
3) menganggap bahwa bawahan adalah alat semata;
4) tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap
dialah yang paling benar;
5) selalu bergantung pada kekuasaan formal;
6) dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (approach) yang
mengandung unsur paksaan dan ancaman.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin tersebut, dapat diketahui bahwa tipe ini tidak
menghargai hak-hak manusia. Oleh karena itu, tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi
modern.
2. Tipe pemimpin militeristis
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat berikut:
1) dalam menggerakkan bawahannya, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat
utama;
2) sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya dalam menggerakkan bawahan;
3) senang pada formalitas yang berlebihan;
4) menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan;
5) tidak mau menerima kritik dari bawahan;
6) menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Perlu diketahui bahwaa seorang pemimpin dengan tipe pemimpin militeristis tidak sama
dengan pemimpin dalam organisasi militer. Artinya, tidak semua pemimpin dalam militer adalah
bertipe militeristis. Tipe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.
3. Tipe pemimpin fathernalistis
Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin fathernalistis adalah sebagai berikut:
1) menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa;
2) bersikap terlalu melindungi bawahan;
3) jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Oleh
karena itu, jarang ada pelimpahan wewenang;
4) jarang meberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan inisiatif daya
kreasi;
5) sering menganggap dirinya mahatahu.
Tipe pemimpin fathernalistis mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat fathernal atau
kebapakan. Pemimpin seperti ini menggunakan sifat kebapakan dalam menggerakkan bawahan.
Kadang-kadang, pendekatan yang dilakukan terlalu sentimental. Harus diakui bahwa dalam
keadaan tertentu, pemimpin seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi, ditinjau dari segi sifat-
sifat negatifnya, pemimpin fathernalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap
organisasi yang dipimpinnya.
4.Tipe pemimpin kharismatis
Sampai saat ini, para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa
seorang pemimpin memiliki kharisma. Tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik yang
amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan pengikut
menjelaskan alasan mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini. Karena kurangnya seorang
pemimpin yang kharismatis, sering dikatakan bahwa pemimpin seperti ini diberkahi dengan
kekuatan gaib (supernatural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil pendidikan dan
sebagainya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin kharismantis.
5. Tipe pemimpin demokratis
Dari semua tipe pemimpin yang ada, tipe pemimpin demokratis dianggap sebagai tipe
kepemimpinan yang terbaik. Hal ini karena pemimpin selalu mendahulukan kepentingan
kelompok dibandingkan kepentingan individu. Beberapa ciri dari tipe pemimpin demokratis
adalah sebagai berikut:
1) dalam proses menggerakkan bawahan, selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia
itu adalah makhluk yang termulia di dunia;
2) selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan
organisasi;
3) senang menerima saran, pendapat, dan bahkan dari kritik bawahannya;
4) mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan memberikan pendidikan kepada
bawahan agar tidak berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif,
dan prakarsa dari bawahan;
5) lebih menitikberatkan kerja sama dalam mencapai tujuan;
6) selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;
7) berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
Menurut De Bono (1986) ada 4 faktor yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang
(dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor luar dirinya). Kedua ciri pribadi itu adalah:
1. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan
memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.
2. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu.
Kedua faktor lainnya:
3. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang sangat cepat
mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang yang bekerja di bidang
yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang teknologi, khususnya komputer
merupakan bidang yang berkembang dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat
untuk berkembang.
4. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk melakukan
usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai usahanya.
Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat
bersumber dari:
a. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai
kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan pada bawahan yang
mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
b. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti
arahan-arahan pemimpinnya
c. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
d. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap
sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena
karakteristik pribadinya, reputasinya dan karismanya.
e. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah
seorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlia dalam bidangnya.
2.2.5. Indikator Kepemimpinan
Kepemimpinan diukur menggunakan indikator-indikator berikut :
a) Tingkat hubungan pemimpin dengan bawahan;
b) Tingkat kesediaan pemimpin menerima saran dari bawahan;
c) Tingkat kesediaan pemimpin membantu mengatasi kesulitan bawahan;
d) Tingkat kesediaan pemimpin mendelegasikan kewenangannya kepada bawahan;
e) Tingkat kesediaan pemimpin menerima perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan.
2.2.6. Pengukuran Gaya Kepemimpinan
Pengukuran gaya kepemimpinan yang dipakai pada penelitian ini adalah LBDQ (Leadership
Behaviour Description Questionnaire) berdasarkan studi Ohio State yang didalamnya mengandung
dua kategori pengukuran gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan pertimbangan
(Consideration Leadership Style) dan gaya kepemimpinan prakarsai (Initiating Stucture Leadership
Style) (Stogdill, 1974).
2.3. Kerangka Berfikir
Seluruh karyawan di tempat kerja harus diberikan banyak kesempatan untuk merasakan
berkomitmen pada organisasi. Meyer & Allen, (1997), menemukan bahwa karyawan yang
memiliki hubungan yang baik langsung dengan kelompok kerja, mereka memiliki tingkat yang
lebih tinggi berkomitmen. Mereka membicarakan ide mereka bahwa jika karyawan secara
langsung berkomitmen untuk kelompok mereka, komitmen mereka terhadap organisasi secara
keseluruhan akan lebih tinggi. Lio (1995) menyimpulkan bahwa "komitmen organisasi buruh
secara signifikan berkorelasi dengan keamanan kerja dirasakan mereka" (p.241).
Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan. Koopman (1991)
mempelajari bagaimana gaya kepemimpinan mempengaruhi karyawan dan menemukan
karyawan yang lebih menyukai gaya manajer mereka juga lebih disukai organisasi. Meskipun
tidak ada koneksi langsung antara komitmen, dapat dikatakan bahwa hal ini kemudian akan
mempengaruhi tingkat mereka komitmen terhadap organisasi. Nierhoff et al (1990) menemukan
bahwa "manajemen budaya secara keseluruhan dan gaya didorong oleh tindakan manajemen
puncak sangat terkait dengan tingkat komitmen karyawan" (hal. 344). Korelasi ini menyoroti
pentingnya memiliki pemimpin yang kuat dan peran mereka dalam organisasi secara
keseluruhan.
Eisenberger et al (1990) membahas karyawan yang merasa bahwa mereka dipimpin oleh
organisasi mereka dan pemimpin juga memiliki tingkat tidak hanya lebih tinggi komitmen, tetapi
bahwa mereka lebih sadar tentang tanggung jawab mereka, memiliki keterlibatan yang lebih
besar dalam organisasi, dan lebih inovatif. Manajer dan organisasi harus memberikan reward dan
dukungan karyawan mereka untuk pekerjaan yang mereka lakukan karena ini dianggap
memungkinkan dukungan atas kepercayaan lebih dalam organisasi.
KOMITMEN ORGANISASI (Y)
GAYA KEPEMIMPINAN
ATASAN:
Gaya kepemimpinan birokratik
(X)
2.3.2. Hipotesis
Berdasarkan pada kajian teori yang telah dibahas dan hasil temuan dari para peneliti serta
kerangka berpikir yang telah diajukan sebelumnya, maka diajukan hipotesis yang akan diuji
kebenarannya melalui penelitian ini, adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis Kerja (Ha):
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan komitmen
organisasi karyawan pada PT. X.
Hipotesis Nihil (Ho):
Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan
komitmen organisasi karyawan pada PT. X.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pendekatan serta metode yang akan
digunakan dalam peneltian, meliputi aspek penelitian dan instrmen pengumpulan data.
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian
kuantitaif adalah penelitian yang informasinya atau data-datanya dekelola dengan
statistik. Menurut Azwar (2003), penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan
analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metoda statistika.
Hipotesis pada penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik-teknik statistik (Kountur,
2004). Pada umumnya penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai
dari pengumpulan data, penafsiran data, serta penampilan dari hasil penelitiannya. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang
ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional. Penelitian deskriptif
secara sederhana berarti penelitian yang berusaha memaparkan suatu fenomena
berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian yang dilakukan. Suryabrata (1998)
menyatakan bahwa penelitian deskriptif berusaha menjelaskan secara rinci situasi-situasi
atau kejadian-kejadian tertentu sehingga diperoleh uraian yang sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Menurut Azwar
(2003), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana
variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain
berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukutan terhadap
beberapa variabel serta saling berhubungan antara variabel-variabel tersebut dapat
dilakukan secara serentak dalam kondisi yang realistik. Studi korelasional
memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang
terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel satu dengan variabel yang lain.
Sevilla dkk (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan sifat suatu keadaan yang ditemukan pada saat penelitian dilaksanakan
dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Hanya saja penelitian deskriptif ini
tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap hal-hal yang terjadi tersebut dan hanya dapat
mengukur apa yang ada.
3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel
Variabel penelitian adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik berat perhatian
suatu penelitian (Arikunto, 198:99). Variabel adalah gejala yang menjadi obyek
penelitian atau apa yang menjadi pusat perhatian suatu penelitian (Hadi, 1995:91).
Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas adalah variabel yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap variabel
terikat, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.
Adapun perincian dari kedua variabel tersebut adalah:
Variavel terikat (DV) : Komitmen terhadap organisasi (Y)
Variabel bebas (IV) : Gaya kepemimpinan (X)
Definisi operasional adalah merupakan suatu definisi yang memberikan bahasan atau arti
variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel
tersebut (Kerlinger, 1996).
Berdasarkan konsep-konsep dan teori yang telah diuraikan, penulis merumuskan defenisi
operasional sebagai pengertian operasional mengenai variabel-variabel penelitian, yaitu:
1. Gaya kepemimpinan merupakan pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti
yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat,
keterampilan dan sikap pemimpin dalam politik. Aspek yang mempengaruhi gaya
kepemimpinan ada 4 indikator yang disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Variabel dan Indikator Gaya Kepemimpinan
No Aspek Indikator
1 Perilaku direktif -penjelasan tugas atau pekerjaan
-pengambilan keputusan oleh atasan dan
pengendalian terhadap perilaku bawahan
2 Perilaku konsultatif -penyampaian ide dari bawahan
-keterlibatan anggota dalam pembahasan suatu
masalah
-penekanan akan pentingnya hubungan antar
pribadi
3 Perilaku partisipatif -keterlibatan anggota dalam perumusan tujuan
-keterlibatan anggota dalam pengambilan
keputusan
4 Perilaku delegatif -pengambilan keputusan ada pada bawahan
-bawahan memiliki kontrol dalam pelaksanaan
tugas
2. Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam
berorganisasi. Allen dan Meyer (1997) mengemukakan bahwa komitmen organisasi
terdiri atas 3 aspek, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans dan komitmen
normatif. Adapun indikator-indikator dari masing-masing aspek disajikan dalam tabel
di bawah ini:
Tabel 3. 2
Variabel dan Indikator Komitmen Organisasi
No. Aspek Indikator
1 Komitmen Afektif -Merasa cocok secara emosional bekerja di perusahaan
-Keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan
perusahaan
-Keinginan kuat untuk tetap berada diperusahaan karena
memang menginginkannya
2 Komitmen Kontinuans -Bekerja diperusahaan karena membutuhkannya
-Merasa rugi jika meninggalkan perusahaan
3 Komitmen Normatif -Tanggung jawab terhadap perusahaan
-Sikap loyal terhadap perusahaan
3.2 Pengambilan Sampel
3.2.1 Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang
diduga dari sampel (sebagian dari individu yang diselidiki) yang hendak digeneralisasikan atau
dianalisis secara umum. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri
atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2003).
Jadi populasi adalah seluruh individu yang akan diteliti.
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang memiliki
karakteristik tertentu, yang dianggap bisa mewakili populasi.
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik total sampling,
yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh populasi menjadi anggota sampel (Soehartono,
dalam Jamali 2007) Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut
mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti mengambil
sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu
kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya
terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya
harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik
pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka akan diperoleh manajer pada tiga
tingkatan, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan stratum manajer bawah. Dari setiap
stratum tersebut dipilih sampel secara acak.
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Metode dan Instrumen Penelitian
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala/angket. Menurut Arikunto (2002),
penggunaan skala/angket dapat memberikan keuntungan kepada peneliti:
1. Tidak memerlukan hadirnya peneliti
2. Dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden
3. Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing dan menurut waktu
senggang responden
4. Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu.
5. Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden dapat diberi pernyataan yang
benar-benar sama
Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode skala sebagai alat pengumpul data berupa
sejumlah daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu bidang
untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian
(Koentjaraningrat, 1983).
Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Bagian pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan penelitian, kerahasiaan jawaban
yang diberikan, dan ucapan terima kasih.
b. Bagian inti, berisi dua alat ukur yaitu alat ukur gaya kepemimpinan dan komitmen
organisasi.
c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti usia, jenis kelamin, dan
lainnya untuk melengkapi data penelitian. Data kontrol ini berisi pertanyaan terbuka atau
dengan beberapa alternatif jawaban.
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert atau dikenal
juga dengan The Method of Summated Rating, yang dibuat untuk mengukur gaya kepemimpinan
yang terdiri atas perilaku direktif, perilaku konsultatif, perilaku partisipatif, dan perilaku
delegatif dan skala komitmen terhadap organisasi yang terdiri atas tiga dimensi yaitu komitmen
afektif, komitmen kontinuans dan komitmen normatif.
Menurut Sevilla (1993) penskoran pada skala Likert yang digunakan pada penelitian ini merujuk
pada empat alternative jawaban, sebagai berikut:
Selalu (SL) : 4
Sering (SR) : 3
Pernah :2
Tidak Pernah : 1
Untuk item yang favorable, skor subjek bergerak dari 4,3,2,1. Sementara untuk item unfavorable,
skor subjek bergerak dari 1,2,3, dan 4. Peneliti menggunakan skala model Likert dengan
menghilangkan pilihan tengah yaitu netral atau ragu-ragu menjadi empat alternative jawaban
dengan alas an mengurangi pengaruh “kecendrungan sentral” dan mendorong subjek untuk
memutuskannya sendiri apakah positif atau negative. Kecendrungan sentral adalah penekanan
pada kecenderungan responden untuk “mengamankan” dan untuk menempatkan jawaban mereka
di tengah sebagai netral. Individu yang memiliki kecenderungan jawaban tersebut jelas tidak
mungkin melakukan karena mereka menafsirkannya sebagai tipe yang moderat (Sevilla, 1993).
Skala Likert dipandang sangat bermanfaat dalam penelitian tingkah laku karena lebih mudah
dilakukan dan hasilnya sama dengan hasil skala Thurstone yang lebih sulit digunakan (Kerlinger,
1973 dalam Sevilla, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, S. P. , dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi
Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the antecedents, correlates, consequences of organizational commitment. Psychological bulletin. 108, 171-194.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research and application. California: Sage Publications.
Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steeras, R. (1982). Organizational linkages : the psychology of commitment, absenteeism, and turnover. San Diego, California : Academic Press.
Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice Hall.
Kerlinger, Fred N. (1996). Asas-asas Penelitian Behavioral. Landung R. Simatupang (terj). Yogyakarta : Gajah Mada Press
Daftar pustaka
Suryanto, Dwi. (2005), Pengaruh kemiripan persepsi, kemiripan demografis atasan-bawahan,
ketertarikan atasan pada bawahan, kualitas hubungan atasan-bawahan, kepuasan kerja, dan
komitmen karyawan terhadap peringkat prestasi kerja. Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung.
Ratmawati, Dwi. (2007), Managerial competency and management commitment to employee:
empowerment: banking companies case. Proceedings of the 13th Asia Pacific management
conference, 556-562.
Yukl, Gary, (1998), Kepemimpinan dalam organisasi. Prenhallindo: Jakarta.
Steers, R.M., & Porter, L.W., (1987). Motivation and work behavior. USA: McGraw-Hill inc.
M. Ivancevich, John, Konopaske, Robert, & Matteson, M.T. (2006). Perilaku dan manajemen
organisasi, edisi ketujuh jilid 2 (terj. Organizational Behavior and management, Seventh edition).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hadi, S. (2000) Metodologi research. Jilid 1. Yoyakarta : Andi Offset.
Muchlas, Makmuri. (2005). Perilaku organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sutikno, R.B. (2010) The power of 4Q for HR & company development. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.