25
1 BAB I PENDAHULAN A. LATAR BELAKANG Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 kilometer persegi, lebih kecil dari pada pulau Bali, dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Dengan demikian musim kemarau di daerah ini relatif panjang. Pulau Madura bentuknya seakan mirip badan Sapi, terdiri dari empat kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. 1 Pulau Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur, biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang. Bagi kehidupan masyarakat Madura, harga diri adalah symbol penting yang harus dijaga. Hal itu diperkuat dengan falsafah Madura yang berbunyi “Lebbi bagus pote tollang, 1 Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Madura. Artikel diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura pada 12 April 2015.

Studi Kasus Hukum Adat Madura

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULAN

A. LATAR BELAKANG

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa

Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 kilometer persegi, lebih

kecil dari pada pulau Bali, dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Dengan

demikian musim kemarau di daerah ini relatif panjang. Pulau Madura

bentuknya seakan mirip badan Sapi, terdiri dari empat kabupaten, yaitu

Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.1

Pulau Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu

etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta

jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti

Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak

tinggal di bagian timur Jawa Timur, biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari

Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di

Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya

paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk

Surabaya Utara, serta sebagian Malang. Bagi kehidupan masyarakat

Madura, harga diri adalah symbol penting yang harus dijaga. Hal itu

diperkuat dengan falsafah Madura yang berbunyi “Lebbi bagus pote tollang,

1 Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Madura. Artikel diakses melalui

http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura pada 12 April 2015.

2

atembang pote mata.” Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu

(putih mata).2

Pepatah yang dipegang teguh masyarakat Madura itu membuktikan

bahwa Suku Madura unik dan adat istiadatnya masih terjaga hingga saat ini.

Jika adat istiadat di suatu kehidupan masyarakat masih cukup kental, maka

dapat dipastikan ada ketentuan-ketentuan adat yang masih berlaku. Atas

dasar tersebutlah makalah bertema hukum adat Madura ini disusun.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan makalah ini disusun dengan bentuk pertanyaan berikut :

1. Bagaimanakah sejarah dan adat istiadat suku Madura itu?

2. Adat istiadat apa sajakah yang masih terpelihara dan berlaku bagi

masyarakat Madura hingga saat ini?

3. Bagaimanakah contoh-contoh kasus hukum adat ?

C. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui dan memahami sejarah dan adat istiadat suku Madura.

2. Mengetahui dan memahami hukum adat suku Madura yang masih

terpelihara hingga saat ini secara mendalam serta bisa menguraikan

contoh-contohnya.

2 Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Suku Madura. Artikel diakses

melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura pada 12 April 2015

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH SUKU MADURA

Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia,

jumlahnya sekitar 20.179.356 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan

pulau-pulau sekitarnyaPerjalanan. Sejarah Madura dimulai dari perjalanan Arya

Wiraraja sebagai Adipati pertama di Madura pada abad 13. Dalam kitab

nagarakertagama terutama pada tembang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura

semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menujukkan bahwa sekitar tahun 1365

orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang

sama.

Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan

kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di antara

tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung

pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan

Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu,

pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan

kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh

pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an,

Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Sejarah mencatat Aria

Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kertanegara

4

dari Singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di

Batuputih, Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan

Aria Wiraraja sebagai Adipati I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung

dengan upacara kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di

Batuputih yang kini menjadi sebuah kecamatan yang berjarak kurang lebih 18

kilometer dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan-peninggalan keraton

Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.3

Asal Mula Nama Madura

Nama Madura, ditulis Madura, tertera tiga kali didalam Nagakertagama,

terutama pada tembang kelima belas. Di situ ditulis bahwa “Madura tidak

termasuk negeri yang asing, karena sejak semula bersatu dengan tanah Yawa.”

Kutipan itu penting karena menunjukkan bahwa orang Jawa dan orang Madura

sudah merasa sebagai anggota dari komuitas budaya yang sama. Ditulis

belakangan, Pararaton, atau “Kitab Para Raja”, mencatat peristiwa yang lebih

kuno sekali dan terutama pengalaman, disekitar tahun 1271, dari seorang

bernama Wiraraja, yang “diasingkan” kemadura oleh raja Singasari,

Kertanegara, sebagai adipati Sumenep karena ia tidak lagi berkenan bagi

rajanya. Wiraraja yang sama beberapa waktu kemudian memberikan

perlindungan kepada Raden Wijaya dan membantunya untuk mendirikan

Majapahit. Ada juga yang menuliskan bahwa nama Madura berasal ketika para

penganjur agama Hindu dari India tiba di Nusantara di abad awal milenium

3 Ibid.

5

pertama, ada juga yang sampai pada sebuah pulau. Kaum Brahma yang

terhitung terpelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga

dengan menggunakan bahasa Sansekerta dinamakanlah pulau tersebut Madura.

Kata madura dalam bahasa Sansekerta memang berarti permai, indah, molek,

cantik, jelita, manis, ramah tamah, lemah lembut. Dapatlah dimengerti jika

beberapa abad kemudian Jayendradewi Prajnaparamita, salah seorang isteri

Raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, yang melambangkan

gunacaranurupita satyapara (watak yang sangat setia dan kaya akan sifat baik

dan berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tanpa cacat)

dibandingkan dengan prakarti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura.

Nama Madura mungkin pula diilhami dan diambilkan dari Madura,

sebutan suatu daerah yang hampir serupa di India Selatan yang juga beriklim

kering. Penamaan sedemikian bukanlah suatu keanehan, sebab beberapa nama

tempat lain di Indonesia seperti, Malabar, Narmada, Serayu, Sunda, dan

Taruma, memang persis sama dengan nama geografi di India.

Secara keratabasa (etimologi rakyat) di kalangan masyarakat awam

banyak berkembang asal usul nama Madura yang direka- reka sebagai suatu

ungkapan yang dikaitkan dengan mitologi dan lagenda setempat. Dikenal di

kalangan masyarakat Madura sendiri Madura berasal dari kata diantaranya

adalah maddhunah saghara (madu segara/laut), maddhu era–ara (madu di

tanah lapang), maddhunah dara (madu darah), madara (berdarah), paddhu ara

(dari dari bahasa Jawa Kawi, yang berarti pojok tanah berair, atau tapak di pojok

Jawa), dan lemah dura (dari bahasa kawi yang berarti tanah di kejauhan). Akan

6

tetapi tidak satu pun dintara dugaan asal usul nama Madura bersumberkan

singkatan tadi yang memiliki landasan ilmiah tak terbantahkan, karena dulu

memang bukan demikian cara orang memberi nama pada suatu tempat atau

daerah. 4

Manusia Pertama Madura

Sejak kapan orang Madura mendiami pulau Madura? Sampai saat ini

belum ada data sejarah yang akurat. Salah satu legenda yang bersumber dari

tulisan Zainalfattah menyebutkan bahwa “orang pertama” yang mendiami pulau

Madura sekaligus awal ditemukannya pulau Madura sekitar tahun 929 Masehi.

Pada waktu itu, seorang puteri dari sebuah kerajaan di pulau Jawa bernama

Mendangkamulan tanpa sebab yang jelas diketahui telah hamil. Mengetahui

kondisi puterinya demikian sang raja marah dan menyuruh seorang patihnya

bernama Pranggulang untuk membunuh sang puteri. Tapi upaya pembunuhan

itu selalu gagal sehinggga akhirnya sang puteri melahirkan seorang bayi laki-

laki yang diberi nama Raden Sagoro. Sedangkan patih Pranggulang tidak berani

kembali ke keraton dan merubah namanya menjadi Kiyai Polèng. Menurut

legenda itu, Raden Sagoro dan ibunya kemudian dihanyutkan ke tengah laut

dengan sebuah ghitèk (rangkaian kayu kecil yang berfungsi sebagai perahu).

Akhirnya Raden Sagoro dan ibunya terdampar di sebuah daratan yang ternyata

kelak dikenal dengan nama gunung Gegger (wilayah kabupaten Bangkalan).

Daratan ini disebut “madu oro” yang mempunyai arti pojok di ara-ara atau

4 Zaini Bakry, Asal Usul dan Arti Madura. Artikel diakses melalui

Http://madurauniteds.blogspot.com pada 12 April 2015.

7

pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata “madu oro” inilah konon asal mula

kata Madura. Raden Sagoro dan ibunya disebut dalam legenda itu sebagai

penghuni pertama pulau Madura.

Terlepas dari akurat tidaknya tentang asal usul nama sebuah pulau yaitu

Madura, yang pasti pulau tersebut punya bahasa khas tersendiri yang menjadi

identitas suatu masyarakat Madura dengan lainnya yaitu bahasa Madura.

Penelitian ilmiah berusaha menemukan fakta tentang asal usul nama Madura.

Sedangkan mitos, atau legenda yang beredar dimasyarakat madura itu sendiri

tidak bisa dinafikan adanya. Orang mendiami suatu pulau yang kemudian

dikenal dengan nama orang madura sudah ada di pulau tersebut sejak lama.

Tidak bisa ditentukan secara pasti sejak kapan. Namun, orang madura tersebut

sudah lama mendiami dan berinteraksi dengan alamnya sehingga membentuk

kebiasaan tersendiri, karakter dan budaya dimana tidak terdapat atau dimiliki

oleh orang di luar pulau tersebut. Penamaan pulau Madura dan orang madura

yang pasti merujuk pada apa-apa yang ada dipulau tersebut.

Namun, bila kita bandingkan dengan benua Amerika atau Australia,

mereka disebut orang Amerika atau Australia walau pada dasarnya mereka

kebanyakan berasal dari Inggris. Kemudian membentuk budaya dan

peradabannya sendiri menjadi Amerika atau Australia. Suku aborigin dan

indian tidaklah menjadi identitas kedua benua tersebut. Berbeda dengan pulau

dan orang Madura. Pulau dan orang Madura adalah pulau tersendiri dan orang

madura sendiri yang menjadi sesuatu yang disebut madura. Bila Madura juga

terwarnai oleh orang india, jawa, bugis dan mungkin suku-suku lainnya hal ini

8

dapat terjadi. Mereka hanya mewarnai dan memperkaya madura yang sudah

ada. Oleh karena madura memeiliki beberapa karakter dan perbedaan logat

bahasa dari setiap kabupaten yang ada.5

B. ADAT ISTIADAT SUKU MADURA

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta

sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat,

disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti

menyisihkan sedikit penghasilannya Selain itu orang Madura dikenal

mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan:

Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat

dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut

atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)

Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka

Madura adalah Serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat

kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan

mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi

keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang

sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut dituangkan

kedalam unsur–unsur prilaku kehidupan sehari-hari yaitu :

5 Ibid.

9

Kesopanan

Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun

penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa

pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar

(tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum

pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak

tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau

melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan

ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane,

pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus

dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya

berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai

dan tatakrama dalam setiap tindakannya

Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan

pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu

menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan

bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan

atau kecantikan, namun utama tata kramanya). Dasar utama dari nilai-nilai

kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama

yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi,

kelamin, pangkat dan posisi sosial

10

Kehormatan

Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan

penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan

sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi

sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura

tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai.

Contohnya ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang

Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan

penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia

diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh

lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial

masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama

manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari

ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain,

kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).

Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam

masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak

diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo

atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate'

(obatnya malu adalah mati). Lebbi bagos apote tolang etembang apote mata

(lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-

nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita

dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air

11

Agama

Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang

menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai.

Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin

masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas

kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.

Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting

dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan,

melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik. 6

C. STRATA SOSIAL MADURA

Di lingkungan masyarakat Madura masih mengenal yang namanya strata

sosial. Berikut adalah istilah dan definisinya :

Oreng Kene’ / Dume’

Oreng kene’/dume’ adalah orang-orang yang berada di lapisan terbawah, yaitu

masyarakat yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani, nelayan,

pengrajin dan orang yang tidak mpunya mata pencaharian tetap.

Ponggaba

Penggoba adalah mereka yang bekerja di kantoran atau sebagai abdi negara,

misalnya sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor pemerintahan.

6 Dimitriev Indraena, Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura. Artikel diakses

melalui http://bangkalanmemory.blogspot.com pada 12 April 2015.

12

Parjaji

Parjaji, merupakan golonga orang yang berada di lapisan paling atas. Parjaji

ada dua macam pengertiannya :

1. Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya

tingkatan Gelar Ke Bangsawanan nya seperti raden mas, raden ayu, raden

roro.

2. Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat

pemerintahan Belanda, seperti asisten wedana (camat) – wedana patih -

kanjeng / bupati, dan sebagainya.

Di lingkungan masyarakat agamis atau kehidupan pesantran, strata

sosialnya berbeda lagi dan ada empat tingkat, yakni :

Keyae

Keyae adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena

menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina

ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para nabi pada santri-santrinya.

Bindarah

Bindarah adalah orang – orang yang telah menyelesaikan pendidikannya di

pondok pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang

cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Keyae. Ada pula

Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis terutama di desa dan

dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.

13

Santre

Santre, yakni orang-orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di

sebuah pondok pesantren.

Banne Santre

Banne Santre, sebutan bagi mereka yang tidak pernah Mondok/tidak pernah

menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.7

D. HUKUM ADAT MADURA

Dalam terminologi hukum di Indonesia, hukum adat mengacu pada

peraturan-peraturan tidak tertulis yang yang tumbuh dan berkembang dan

dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-

peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki

kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat

hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan.8 Indonesia mengakui hukum adat dalam

berbagai ketentuan perundang-undangan, di antaranya yang secara tegas

disebut di Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

7 Ibid 8 Portal Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Hukum Adat. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 April 2015.

14

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang.” 9

Bagi Suku Madura, beberapa hukum adat yang dikenal masih berlaku

hingga sekarang adalah carok dan pernikahan.

Carok

Pepatah etambang pote mata lebih bagus pote tolangi yang berarti dari

pada hidup menanggung malu, mending mati berkalang tanah, adalah pepatah

yang paling dikenal masyarakat Madura. Karena pepatah ini erat kaitannya

dengan tradisi carok.

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh

orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah

demi kehormatan. Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik

tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan berbeda (kasus masalah

perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan

dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo (malu)

karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang

dilecehkan, mereka melekukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan

dari lingkungan sosial. Apapun cara carok yang dilakukan, semua pelaku carok

yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan

9 Ilman Hadi, S.H., Kekuatan Hukum Putusan Adat. Diakses melalui

http://www.hukumonline.com pada 13 April 2015. Lihat juga Hadin Muhjad, Peran dan Fungsi

Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka Penguatan Dan Pelestarian Nilai-Nilai

Istiadat Di Daerah. Diakses melalui portal Pemerintah Kabupaten Gunung Mas.

http://www.gunungmaskab.go.id/ pada 13 April 2015.

15

bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan

malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan

faktor pemicu utama orang Madura melakukan carok, selain faktor lainnya.10

Namun demikian, tradisi carok saat ini banyak diplesetkan. Dalan

sejarahnya, carok merupakan perang tanding dengan memberitahu penguasa

setempat. Kedua pihak bertanding dengan dilihat orang banyak dalam sebuah

arena. Sekarang ini, carok justru dinilai sebagai suatu tindakan keji dan

bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan

agama Islam. 11 Carok yang jika dipadankan dengan bahasa Indonesia berarti

‘bertarung dengan kehormatan’ sebenarnya merupakan jalan terakhir yang di

tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah.

Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut

kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah

perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).12

Pernikahan

Ada yang unik dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, yakni

budaya nikah muda. Pada dasarnya, tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun

(dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat.

Begitu juga dengan tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura. Karena

10 Virgiana Rystanti, Hukum Adat Carok . Artikel diakses melalui

http://rystanti.blogspot.com pada 13 April 2015. 11 Henry Arianto, Krishna, Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura. Artikel diakses

melalui http://www.esaunggul.ac.id pada 13 April 2015. 12 A. Sulaiman Sadik, Harga Diri dalam Keluarga Madura Tradisional. Diakses melalui

https://jawatimuran.wordpress.com pada 13 April 2015.

16

tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura dapat menentukan ke arah

pernikahan. Oleh karena itu, konstruksi yang terjadi dalam pembentukan tradisi

perjodohan adalah konstruksi sejarah, konstruksi sosial budaya, dan konstruksi

ekonomi. 13

Konstruksi sejarah membentuk logika ketakutan dan logika

perlindungan dalam kehidupan bermasyarakat orang Madura. Logika mengacu

pada pengalaman kehidupan masyarakat Madura tersebut dalam menjalani

sebuah perilaku sosial kehidupan. Pertama, logika ketakutan, yang pada

sejarahnya kekerasan dan tindak kejahatan masih sering terjadi pada masyarakat

Madura. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak percaya terhadap satu sama lain.

Lantas, muncul sikap ketakutan dalam diri masyarakat Madura terhadap oreng

luar (orang lain), sehingga perjodohan muncul sebagai sikap kepercayaan

terhadap keluarga lain yang menjadi calon jodoh putra putri mereka. Kedua,

logika perlindungan. Adanya rasa ketakutan tersebut, muncul rasa ingin

melindungi antar anggota keluarga, terlebih pada anggota keluarga perempuan.

Hingga pada akhirnya lahirlah pola pemukiman taneyan lanjhang yang pada

sejarahnya memang sering dipakai oleh keluarga yang memiliki banyak anak

perempuan. Sedangkan konstruksi sosial budaya pada tradisi, agama, mitos

perawan tua, serta pandangan parabhen dalam masyarakat Madura.14

13 Sofia Sari, Tradisi Pernikahan Muda di Pulau Madura. Diakses melalui

http://sosbud.kompasiana.com pada 13 April 2015. 14 Rifi Hamdani, Tradisi Perjodohan Dalam Masyarakat Madura Migran di Kecamatan

Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id

pada 13 April 2015.

17

E. STUDI KASUS

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang tentang hukum adat yang

berlaku bagi masyarakat Madura, dapat ditelaah dari contoh kasus berikut :

1. Kasus Carok Sinur

Pada 3 Mei 2013 terjadi pembunuhan terhadap warga Sumenep,

Ismail. Pembunuhnya adalah Sinur (28) merupakan Tenaga Kerja Indonesia

(TKI) di Malaysia. Sebelum kejadian, ia pulang dari Malaysia karena

mendengar ibu tirinya ditiduri oleh Ismail. Karena merasa malu atas

peristiwa yang dia dengar itu, Ismail pulang dan langsung mencari Ismail.

Sebelum berkali-kali membacok menggunakan celurit, Sinur terlebih

dahulu menyiram muka Ismail dengan air keras di Jalan Raya Desa

Ambender, tempat Ismail biasa nongkrong selepas kerja.

Sinur akhirnya ditangkap pihak berwajib dan diadili di Pengadilan

Negeri (PN) Pamekasan. Pada Rabu, 30 April 2014, Sinur dijatuhi vonis

bersalah dengan hukuman penjara 12 tahun atau 5 tahun lebih tinggi dari

tuntutan jaksa. Vonis tersebut diberikan oleh majelis hakim yang terdiri dari

Heri Kurniawan, Bambang Setyawan dan Ni Luh Suantini. Sebelum

menjatuhkan hukuman, Sinur menggunakan alasan carok atas kasus

pembunuhan yang ia lakukan. Namun majelis hakim berpendapat berbeda

dengan menguraikan dalil-dalil yang mengacu pada ajaran Agama Islam.

Menurut majelis hakim, saat Kerajaan Madura dipimpin Prabu

Cakraningrat pada abad ke-12 Masehi, carok belum dikenal. Saat Joko Tole

18

memerintah pada abad ke-14 Masehi, carok juga belum dikenal. Bahkan

saat pemerintahan Panembahan Semolo, putra Bindara Saud putra Sunan

Kudur, istilah ini juga belum dikenal. Munculnya budaya carok mulai

dikenal pada zaman penjajahan Belanda, sekitar abad ke-18 Masehi. Pada

masa itu, orang Madura yang merasa malu karena kehormatan istrinya

dirusak, memunculkan ungkapan "lebbi bagus pote tollang atembang pote

mata" atau lebih baik mati daripada menanggung malu karena istri adalah

landasan kematian (bhantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan

mengganggu istri disebut aghaja' nyaba yang artinya mempertaruhkan

nyawa. Sehingga tindakan mengganggu kehormatan keluarga selalu

dimaknai sebagai arosak atoran (merusak tatanan sosial).

Pada masa lalu, hukum adat Madura yang luhur menggariskan jika

malu martabatnya dirusak atau kehormatannya diganggu, maka diadakan

perang tanding satu lawan satu. Sebelum perang tanding, masing-masing

mengadakan perjanjian tempat arena perkelahian, hari dan waktunya.

Setelah sepakat, keduanya melaporkan ke penguasa setempat untuk carok.

Arena carok ditandai bendera dan disaksikan banyak orang. Usai

membunuh, pelaku tidak kabur tetapi celurit yang masih menempel darah

segar, pelaku melapor ke aparat untuk menyerahkan diri.15

15 Andi Syaputra, Tepat! Adili Kasus Carok Pakai Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum

Nasional. Diakses dari portal berita detiknews http://news.detik.com pada 13 April 2015. Lihat juga

Bui Sinur 12 Tahun, Majelis Hakim Sebut Carok Dilarang dalam Islam, diakses melalui

http://demo.analisadaily.com pada 13 April 2015. Dan lihat juga Ini Dia Sejarah Carok, Lapor

Aparat dan Tanding Satu Lawan Satu, Forum Tribun. Diakses melalui http://forum.tribunnews.com

pada 13 April 2015.

19

Analisa :

a. Bagi sebagian orang Madura, carok adalah upaya untuk melampiaskan

amarah dan rasa malu sebagai akibat aib yang ditimbulkan akibat

hubungan yang dianggap dilarang. Pada kasus Sinur, yang terbunuh

adalah Ismail, orang yang meniduri ibu tirinya.

b. Definisi carok seperti yang disampaikan majelis hakim di Pengadilan

Negeri Pamekasan dapat menjadi yurisprudensi bagi penanganan kasus

carok, dimana carok dinilai sebagai hukum adat yang dalam Pasal 18B

ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, negara harus mengakui dan

menghormatinya.

c. Hukum adat bagi suku Madura juga mengacu pada hukum Islam.

Sehingga majelis hakim pada sidang kasus carok Sinur memakai

istimbath Al-Quran, yakni yang termaktub dalam Surat al Baqarah ayat

178 dan 179 : “Tidaklah ada kewenangan manusia untuk membunuh

atau mengambil nyawa orang lain.” Selain itu juga disebutkan dalam

Surat al-Maidah ayat 45 yang pada pokoknya menerangkan tidak ada

kewenangan manusia untuk menganiaya manusia lain.

d. Perbuatan Sinur ditetapkan sebagai perbuatan pidana (pelanggaran atas

Kitab Undang Hukum Pidana), bukan perbuatan adat yang nilai-nilainya

patut dihormati dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu, Sinur dijatuhi

vonis hukuman penjara 12 tahun penjara.

20

2. Kasus Carok Massal

Pada 12 Juli 2006, terjadi peristiwa yang disebut sebagai carok

massal, yang mungkin merupakan perista carok terheboh sepanjang masa.

Akibat carok masal yang terjadi di Kampung Nomeh, Desa Bujur Tengah,

Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan tersebut, sebanyak 7 orang

tewas dan 9 lainnya luka-luka. Carok massal terjadi antara pendukung

Kepala Desa (Kades) H. Mursidin dengan mantan Kades H. Beidewi. Carok

massal dipicu sengketa tanah kas desa (percotan).

Tanah kas desa tersebut sebelumnya telah digarap H. Mursidin dan

pendukungnya, sementara H. Beidewi yang juga merasa berhak atas

percotan tersebut kemudian mengumpulkan masa disertai membawa

cangkul dan celurit dan menuju ke percotan. Di lokasi, H. Beidewi bersama

pendukungnya sekitar 100 orang mencangkul lahan yang sudah digarap H.

Mursidin dan pendukungnya. Tidak lama kemudian, H. Mursidin dan

pendukungnya yang berjumlah sekitar 100 orang datang ke percotan. Saat

berada pada saat di lokasi, pendukung H. Beidewi mengatakan “Lebih baik

Carok” kepada H. Mursidin. Namun H. Mursidin mengatakan, “Lebih baik

didamaikan saja, saya tidak mau cari masalah.” Tidak beberapa lama

kemudian, salah seorang pendukung H. Beidewi melempar mercon dan

mengenai pendukung H. Mursidin. H. Mursidin yang saat itu sedang

menolong pendukungnya, diserang oleh pendukung H. Beidewi dengan

diseret dan dibacok hingga meninggal dunia di tempat kejadian perkara.

Peristiwa carok massal pun terjadi dan korban berjatuhan.

21

Beberapa hari setelah kejadian, tepatnya 17 Juli 2006, H. Beidewi

menyerahkan diri ke polisi setelah terdesak oleh polisi. Pada 31 Desember

2006, Polisi telah menangkap 18 orang pelaku carok massal, salah satunya

Kerok alias Agus (45) yang ditembak mati di Jember. Beberapa tersangka

hendak kabur ke Malaysia namun tertangkap di perbatasan. Setelah

diperiksa kepolisian, berkas diserahkan ke kejaksaan lalu disidangkan pada

1 Mei 2007. Para pelaku dijerat dengan pasal berlapis yakni 338 dan 340

KUHP. Dalam sidang dan vonisnya, pelaku dan penuntut umum sama-sama

melakukan banding hingga tingkat kasasi.16

Analisa :

a. Di dalam persidangan ada disebutkan ungkapan ajakan carok dari salah

seorang kubu, namun tidak ditanggapi. Dalam persidangannya, alasan

carok sebagai peristiwa adat tidak disinggung. Itu berarti, peristiwa yang

disebut carok massal bukan lah carok seperti yang dikenal dalam adat

istiadat Madura.

b. Pangkal masalahnya adalah tanah kas desa (percotan) yang pada saat

kejadian sudah masuk ke ranah pengadilan yang putusannya disebut

sudah di tingkat banding. Yang sebenarnya berdasarkan Pasal 5

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, disebutkan bahwa di dalam hukum agraria juga berlaku

16 Sindo/Ahmad Baidowi, Inilah Kasus Carok Massal Terheboh di Pamekasan Madura.

Artikel diakses melalui http://news.okezone.com pada 13 April 2015. Dan salinan putusan Mahkamah Agung No. 2311 K/Pid/2007 diakses melalui http://putusan.mahkamahagung.go.id pada 13 April 2015.

22

hukum adat dan hukum agama yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

3. Pernikahan di Bawah Umur

Pada tahun 2006, SR, seorang perempuan berusia 13 tahun dan HR,

pria berusaia 16 tahun, warga Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-

Batang, Kabupaten Sumenep melangsungkan pernikahan. Usai akad nikah,

SR dan HR langsung hidup serumah dan pada November 2008 lalu, mereka

mempunyai seorang anak berusia anak berumur 1,5 tahun.

Pernikahan antara SR dan HR dilandasi atas kesepakatan kedua

orang tuanya untuk menikahkan. SR dan HR menikah karena dijodohkan.

Meski sebenarnya SR mengaku belum siap menjalani hidup berkeluarga.

Apalagi, dia mengaku punya cita-cita yang ingin diwujudkan. Seperti,

menyelesaikan sekolah hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi

karena sudah tardisi dan jadi tuntutan, pernikahan itu harus dia jalani.

"Mungkin itu adalah jalan yang terbaik. Saya hanya bisa memberontak

dalam hati saja," ungkapnya. Pada awalnya, SR mengaku merasa berat

untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain usia belia, dia belum punya bekal

sama sekali. "Tapi, saya jalani saja hingga semua menjadi hal yang biasa,"

katanya.

Muhammad Muzak, 28, saudara SR, mengatakan, pernikahan

saudara perempuannya itu terjadi karena sudah kesepakatan dari orang tua

kedua pasangan. Menurut dia, orang tua mereka menganggap lebih cepat

pernikahan dilaksanakan, maka risiko yang akan ditanggung akan lebih

23

kecil. "Maklum, para orang tua di daerah ini tidak menginginkan hubungan

mereka menjadi fitnah bagi mayarakat," ujarnya.

Selain itu, pernikahan di bawah umur terjadi karena sejumlah warga

menganggap pernikahan di usia dini hal yang wajar. Dalihnya, orang zaman

dahulu, tak pernah memedulikan umur. Yang penting, jika kedua pasangan

sudah dianggap mampu untuk berumah tangga, kemudian dinikahkan.

Pernikahan saudara perempuannya dengan HR terjadi juga karena kedua

belah pihak menginginkan ikatan persaudaraan tambah lengket. Biasanya

pula, pernikahan usia muda terjadi pada pasangan yang masih punya

hubungan kekeluargaan. Dia menyontohkan, seorang pria kawin dengan

saudara yang masih sepupunya sendiri. Alasannya, pernikahan semacam itu

dipercaya punya keistimewaan tersendiri. Menurut Muzak, meski laki-laki

dan perempuan Desa Leggung Barat banyak dinikahkan saat di bawah

umur, namun rumah tangga mereka kebanyakan langgeng. Jarang ada

pasangan itu kemudian cerai. "Pernikahannya awet," katanya.17

Analisa :

a. Seperti yang terjadi Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-Batang,

Kabupaten Sumenep, pasangan yang menikah muda hingga usia

perkawinannya sekitar dua tahun, masih menjalaninya dengan baik dan

bahkan dikaruniai seorang anak.

17 Zaiturrahiem, Nikah Usia Dini di Desa Leggung Barat. Feature dari Surat Kabar Harian

Jawa Pos yang terbit Senin, 3 November 2008 dan diakses melalui

http://kabarmadura07.blogspot.com pada 13 April 2015.

24

b. Nikah muda terjadi karena perjodohan, meskipun pasangan sama-sama

tidak menyukai, tetapi mereka hanya bisa menolaknya di dalam hati.

c. Pernikahan muda tidak dapat ditolak oleh remaja di desa tersebut karena

faktor tradisi dan perintah orang tua.

d. Penilaian bahwa nikah muda dapat menimbulkan dampak buruk, akan

dinafikan dengan melihat contoh kasus pernikahan antara HR dan SR.

e. Jika menilik Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, maka tradisi memaksakan pernikahan di usia dini dilarang.18

Namun dalam kasus ini, masyarakat cenderung memakai hukum adat

Islam.

f. Dalam perspektif Islam, pernikahan dengan anak di bawah umur sering

disandarkan pada sunnah Muhammad, Rasulullah SAW saat menikah

dengan Syaidah Aisyah. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah

Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun. Namun hal tersebut

menjadi khilafiah di antara para ulama.19

g. Berdasarkan penelusuran penulis, nikah muda bagi masyarakat Madura

atas dasar perjodohan, belum pernah ada yang sampai di bawa ke meja

hijau atas perkara pelanggaran ketentuan perlindungan anak.

18 Nurjaman, Analisis Dispensasi Nikah Anak Dibawah Umur Menurut UU 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak Pada Kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS. Diakses

melalui http://lppm.stih-painan.ac.id/ pada 13 April 2015. 19 Amiruddin Thamrin, Nikah Muda dalam Kacamata Fikih Islam. Diakses melalui

http://www.nu.or.id pada 13 April 2015.

25

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Sejarah adat istiadat suku Madura, termasuk istilah nama madura

terdapat beberapa versi. Tidak ada kepastian tentang makna dan sejarah

awal mula suku Madura.

2. Di antara adat istiadat yang menjadi hukum bagi orang Madura yang

masih berlaku hingga saat ini adalah carok dan nikah muda.

3. Carok dan nikah muda yang menjadi adat istiadat warga Madura

sebenarnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Namun hingga saat ini masih menjadi kebiasaan turun menurun.

4. Perkara carok cenderung menimbulkan implikasi hukum dibandingkan

perkara nikah muda. Kasus carok yang menimbulkan dampak hukum

(dibawa sampai ke lembaga peradilan formal) karena cenderung

menimbulkan korban nyawa yang mengarah kepada

penganiayaan/pembunuhan.

B. SARAN

Adat istiadat yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia harus

menjadi pertimbangan khusus bagi pemuka adat untuk dihapuskan. Atau

paling tidak, konsep utama di dalam adat istiadat tersebut disosialisasikan

dan dibudayakan sehingga definisinya tidak membias dan disalahgunakan.