Upload
cv-maju-bersama-bangsa
View
4.864
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULAN
A. LATAR BELAKANG
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa
Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 kilometer persegi, lebih
kecil dari pada pulau Bali, dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Dengan
demikian musim kemarau di daerah ini relatif panjang. Pulau Madura
bentuknya seakan mirip badan Sapi, terdiri dari empat kabupaten, yaitu
Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.1
Pulau Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu
etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta
jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti
Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak
tinggal di bagian timur Jawa Timur, biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di
Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya
paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk
Surabaya Utara, serta sebagian Malang. Bagi kehidupan masyarakat
Madura, harga diri adalah symbol penting yang harus dijaga. Hal itu
diperkuat dengan falsafah Madura yang berbunyi “Lebbi bagus pote tollang,
1 Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Madura. Artikel diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura pada 12 April 2015.
2
atembang pote mata.” Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu
(putih mata).2
Pepatah yang dipegang teguh masyarakat Madura itu membuktikan
bahwa Suku Madura unik dan adat istiadatnya masih terjaga hingga saat ini.
Jika adat istiadat di suatu kehidupan masyarakat masih cukup kental, maka
dapat dipastikan ada ketentuan-ketentuan adat yang masih berlaku. Atas
dasar tersebutlah makalah bertema hukum adat Madura ini disusun.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan makalah ini disusun dengan bentuk pertanyaan berikut :
1. Bagaimanakah sejarah dan adat istiadat suku Madura itu?
2. Adat istiadat apa sajakah yang masih terpelihara dan berlaku bagi
masyarakat Madura hingga saat ini?
3. Bagaimanakah contoh-contoh kasus hukum adat ?
C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami sejarah dan adat istiadat suku Madura.
2. Mengetahui dan memahami hukum adat suku Madura yang masih
terpelihara hingga saat ini secara mendalam serta bisa menguraikan
contoh-contohnya.
2 Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Suku Madura. Artikel diakses
melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura pada 12 April 2015
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH SUKU MADURA
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia,
jumlahnya sekitar 20.179.356 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan
pulau-pulau sekitarnyaPerjalanan. Sejarah Madura dimulai dari perjalanan Arya
Wiraraja sebagai Adipati pertama di Madura pada abad 13. Dalam kitab
nagarakertagama terutama pada tembang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura
semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menujukkan bahwa sekitar tahun 1365
orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang
sama.
Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan
kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di antara
tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung
pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan
Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu,
pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan
kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an,
Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Sejarah mencatat Aria
Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kertanegara
4
dari Singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di
Batuputih, Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan
Aria Wiraraja sebagai Adipati I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung
dengan upacara kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di
Batuputih yang kini menjadi sebuah kecamatan yang berjarak kurang lebih 18
kilometer dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan-peninggalan keraton
Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.3
Asal Mula Nama Madura
Nama Madura, ditulis Madura, tertera tiga kali didalam Nagakertagama,
terutama pada tembang kelima belas. Di situ ditulis bahwa “Madura tidak
termasuk negeri yang asing, karena sejak semula bersatu dengan tanah Yawa.”
Kutipan itu penting karena menunjukkan bahwa orang Jawa dan orang Madura
sudah merasa sebagai anggota dari komuitas budaya yang sama. Ditulis
belakangan, Pararaton, atau “Kitab Para Raja”, mencatat peristiwa yang lebih
kuno sekali dan terutama pengalaman, disekitar tahun 1271, dari seorang
bernama Wiraraja, yang “diasingkan” kemadura oleh raja Singasari,
Kertanegara, sebagai adipati Sumenep karena ia tidak lagi berkenan bagi
rajanya. Wiraraja yang sama beberapa waktu kemudian memberikan
perlindungan kepada Raden Wijaya dan membantunya untuk mendirikan
Majapahit. Ada juga yang menuliskan bahwa nama Madura berasal ketika para
penganjur agama Hindu dari India tiba di Nusantara di abad awal milenium
3 Ibid.
5
pertama, ada juga yang sampai pada sebuah pulau. Kaum Brahma yang
terhitung terpelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga
dengan menggunakan bahasa Sansekerta dinamakanlah pulau tersebut Madura.
Kata madura dalam bahasa Sansekerta memang berarti permai, indah, molek,
cantik, jelita, manis, ramah tamah, lemah lembut. Dapatlah dimengerti jika
beberapa abad kemudian Jayendradewi Prajnaparamita, salah seorang isteri
Raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, yang melambangkan
gunacaranurupita satyapara (watak yang sangat setia dan kaya akan sifat baik
dan berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tanpa cacat)
dibandingkan dengan prakarti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura.
Nama Madura mungkin pula diilhami dan diambilkan dari Madura,
sebutan suatu daerah yang hampir serupa di India Selatan yang juga beriklim
kering. Penamaan sedemikian bukanlah suatu keanehan, sebab beberapa nama
tempat lain di Indonesia seperti, Malabar, Narmada, Serayu, Sunda, dan
Taruma, memang persis sama dengan nama geografi di India.
Secara keratabasa (etimologi rakyat) di kalangan masyarakat awam
banyak berkembang asal usul nama Madura yang direka- reka sebagai suatu
ungkapan yang dikaitkan dengan mitologi dan lagenda setempat. Dikenal di
kalangan masyarakat Madura sendiri Madura berasal dari kata diantaranya
adalah maddhunah saghara (madu segara/laut), maddhu era–ara (madu di
tanah lapang), maddhunah dara (madu darah), madara (berdarah), paddhu ara
(dari dari bahasa Jawa Kawi, yang berarti pojok tanah berair, atau tapak di pojok
Jawa), dan lemah dura (dari bahasa kawi yang berarti tanah di kejauhan). Akan
6
tetapi tidak satu pun dintara dugaan asal usul nama Madura bersumberkan
singkatan tadi yang memiliki landasan ilmiah tak terbantahkan, karena dulu
memang bukan demikian cara orang memberi nama pada suatu tempat atau
daerah. 4
Manusia Pertama Madura
Sejak kapan orang Madura mendiami pulau Madura? Sampai saat ini
belum ada data sejarah yang akurat. Salah satu legenda yang bersumber dari
tulisan Zainalfattah menyebutkan bahwa “orang pertama” yang mendiami pulau
Madura sekaligus awal ditemukannya pulau Madura sekitar tahun 929 Masehi.
Pada waktu itu, seorang puteri dari sebuah kerajaan di pulau Jawa bernama
Mendangkamulan tanpa sebab yang jelas diketahui telah hamil. Mengetahui
kondisi puterinya demikian sang raja marah dan menyuruh seorang patihnya
bernama Pranggulang untuk membunuh sang puteri. Tapi upaya pembunuhan
itu selalu gagal sehinggga akhirnya sang puteri melahirkan seorang bayi laki-
laki yang diberi nama Raden Sagoro. Sedangkan patih Pranggulang tidak berani
kembali ke keraton dan merubah namanya menjadi Kiyai Polèng. Menurut
legenda itu, Raden Sagoro dan ibunya kemudian dihanyutkan ke tengah laut
dengan sebuah ghitèk (rangkaian kayu kecil yang berfungsi sebagai perahu).
Akhirnya Raden Sagoro dan ibunya terdampar di sebuah daratan yang ternyata
kelak dikenal dengan nama gunung Gegger (wilayah kabupaten Bangkalan).
Daratan ini disebut “madu oro” yang mempunyai arti pojok di ara-ara atau
4 Zaini Bakry, Asal Usul dan Arti Madura. Artikel diakses melalui
Http://madurauniteds.blogspot.com pada 12 April 2015.
7
pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata “madu oro” inilah konon asal mula
kata Madura. Raden Sagoro dan ibunya disebut dalam legenda itu sebagai
penghuni pertama pulau Madura.
Terlepas dari akurat tidaknya tentang asal usul nama sebuah pulau yaitu
Madura, yang pasti pulau tersebut punya bahasa khas tersendiri yang menjadi
identitas suatu masyarakat Madura dengan lainnya yaitu bahasa Madura.
Penelitian ilmiah berusaha menemukan fakta tentang asal usul nama Madura.
Sedangkan mitos, atau legenda yang beredar dimasyarakat madura itu sendiri
tidak bisa dinafikan adanya. Orang mendiami suatu pulau yang kemudian
dikenal dengan nama orang madura sudah ada di pulau tersebut sejak lama.
Tidak bisa ditentukan secara pasti sejak kapan. Namun, orang madura tersebut
sudah lama mendiami dan berinteraksi dengan alamnya sehingga membentuk
kebiasaan tersendiri, karakter dan budaya dimana tidak terdapat atau dimiliki
oleh orang di luar pulau tersebut. Penamaan pulau Madura dan orang madura
yang pasti merujuk pada apa-apa yang ada dipulau tersebut.
Namun, bila kita bandingkan dengan benua Amerika atau Australia,
mereka disebut orang Amerika atau Australia walau pada dasarnya mereka
kebanyakan berasal dari Inggris. Kemudian membentuk budaya dan
peradabannya sendiri menjadi Amerika atau Australia. Suku aborigin dan
indian tidaklah menjadi identitas kedua benua tersebut. Berbeda dengan pulau
dan orang Madura. Pulau dan orang Madura adalah pulau tersendiri dan orang
madura sendiri yang menjadi sesuatu yang disebut madura. Bila Madura juga
terwarnai oleh orang india, jawa, bugis dan mungkin suku-suku lainnya hal ini
8
dapat terjadi. Mereka hanya mewarnai dan memperkaya madura yang sudah
ada. Oleh karena madura memeiliki beberapa karakter dan perbedaan logat
bahasa dari setiap kabupaten yang ada.5
B. ADAT ISTIADAT SUKU MADURA
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta
sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat,
disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti
menyisihkan sedikit penghasilannya Selain itu orang Madura dikenal
mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan:
Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat
dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut
atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)
Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka
Madura adalah Serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat
kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan
mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi
keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang
sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut dituangkan
kedalam unsur–unsur prilaku kehidupan sehari-hari yaitu :
5 Ibid.
9
Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun
penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa
pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar
(tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum
pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak
tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau
melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan
ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane,
pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya
berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai
dan tatakrama dalam setiap tindakannya
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan
pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu
menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan
bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan
atau kecantikan, namun utama tata kramanya). Dasar utama dari nilai-nilai
kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama
yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi,
kelamin, pangkat dan posisi sosial
10
Kehormatan
Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan
penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan
sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi
sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura
tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai.
Contohnya ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang
Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan
penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia
diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh
lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial
masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama
manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari
ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain,
kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam
masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak
diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo
atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate'
(obatnya malu adalah mati). Lebbi bagos apote tolang etembang apote mata
(lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-
nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita
dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air
11
Agama
Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang
menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai.
Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin
masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas
kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.
Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting
dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan,
melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik. 6
C. STRATA SOSIAL MADURA
Di lingkungan masyarakat Madura masih mengenal yang namanya strata
sosial. Berikut adalah istilah dan definisinya :
Oreng Kene’ / Dume’
Oreng kene’/dume’ adalah orang-orang yang berada di lapisan terbawah, yaitu
masyarakat yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani, nelayan,
pengrajin dan orang yang tidak mpunya mata pencaharian tetap.
Ponggaba
Penggoba adalah mereka yang bekerja di kantoran atau sebagai abdi negara,
misalnya sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor pemerintahan.
6 Dimitriev Indraena, Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura. Artikel diakses
melalui http://bangkalanmemory.blogspot.com pada 12 April 2015.
12
Parjaji
Parjaji, merupakan golonga orang yang berada di lapisan paling atas. Parjaji
ada dua macam pengertiannya :
1. Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya
tingkatan Gelar Ke Bangsawanan nya seperti raden mas, raden ayu, raden
roro.
2. Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat
pemerintahan Belanda, seperti asisten wedana (camat) – wedana patih -
kanjeng / bupati, dan sebagainya.
Di lingkungan masyarakat agamis atau kehidupan pesantran, strata
sosialnya berbeda lagi dan ada empat tingkat, yakni :
Keyae
Keyae adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena
menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina
ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para nabi pada santri-santrinya.
Bindarah
Bindarah adalah orang – orang yang telah menyelesaikan pendidikannya di
pondok pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang
cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Keyae. Ada pula
Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis terutama di desa dan
dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
13
Santre
Santre, yakni orang-orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di
sebuah pondok pesantren.
Banne Santre
Banne Santre, sebutan bagi mereka yang tidak pernah Mondok/tidak pernah
menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.7
D. HUKUM ADAT MADURA
Dalam terminologi hukum di Indonesia, hukum adat mengacu pada
peraturan-peraturan tidak tertulis yang yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-
peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat
hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.8 Indonesia mengakui hukum adat dalam
berbagai ketentuan perundang-undangan, di antaranya yang secara tegas
disebut di Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
7 Ibid 8 Portal Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Hukum Adat. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org pada 13 April 2015.
14
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.” 9
Bagi Suku Madura, beberapa hukum adat yang dikenal masih berlaku
hingga sekarang adalah carok dan pernikahan.
Carok
Pepatah etambang pote mata lebih bagus pote tolangi yang berarti dari
pada hidup menanggung malu, mending mati berkalang tanah, adalah pepatah
yang paling dikenal masyarakat Madura. Karena pepatah ini erat kaitannya
dengan tradisi carok.
Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh
orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah
demi kehormatan. Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik
tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan berbeda (kasus masalah
perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan
dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo (malu)
karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang
dilecehkan, mereka melekukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan
dari lingkungan sosial. Apapun cara carok yang dilakukan, semua pelaku carok
yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan
9 Ilman Hadi, S.H., Kekuatan Hukum Putusan Adat. Diakses melalui
http://www.hukumonline.com pada 13 April 2015. Lihat juga Hadin Muhjad, Peran dan Fungsi
Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka Penguatan Dan Pelestarian Nilai-Nilai
Istiadat Di Daerah. Diakses melalui portal Pemerintah Kabupaten Gunung Mas.
http://www.gunungmaskab.go.id/ pada 13 April 2015.
15
bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan
malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan
faktor pemicu utama orang Madura melakukan carok, selain faktor lainnya.10
Namun demikian, tradisi carok saat ini banyak diplesetkan. Dalan
sejarahnya, carok merupakan perang tanding dengan memberitahu penguasa
setempat. Kedua pihak bertanding dengan dilihat orang banyak dalam sebuah
arena. Sekarang ini, carok justru dinilai sebagai suatu tindakan keji dan
bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan
agama Islam. 11 Carok yang jika dipadankan dengan bahasa Indonesia berarti
‘bertarung dengan kehormatan’ sebenarnya merupakan jalan terakhir yang di
tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah.
Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut
kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah
perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).12
Pernikahan
Ada yang unik dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, yakni
budaya nikah muda. Pada dasarnya, tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun
(dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat.
Begitu juga dengan tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura. Karena
10 Virgiana Rystanti, Hukum Adat Carok . Artikel diakses melalui
http://rystanti.blogspot.com pada 13 April 2015. 11 Henry Arianto, Krishna, Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura. Artikel diakses
melalui http://www.esaunggul.ac.id pada 13 April 2015. 12 A. Sulaiman Sadik, Harga Diri dalam Keluarga Madura Tradisional. Diakses melalui
https://jawatimuran.wordpress.com pada 13 April 2015.
16
tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura dapat menentukan ke arah
pernikahan. Oleh karena itu, konstruksi yang terjadi dalam pembentukan tradisi
perjodohan adalah konstruksi sejarah, konstruksi sosial budaya, dan konstruksi
ekonomi. 13
Konstruksi sejarah membentuk logika ketakutan dan logika
perlindungan dalam kehidupan bermasyarakat orang Madura. Logika mengacu
pada pengalaman kehidupan masyarakat Madura tersebut dalam menjalani
sebuah perilaku sosial kehidupan. Pertama, logika ketakutan, yang pada
sejarahnya kekerasan dan tindak kejahatan masih sering terjadi pada masyarakat
Madura. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak percaya terhadap satu sama lain.
Lantas, muncul sikap ketakutan dalam diri masyarakat Madura terhadap oreng
luar (orang lain), sehingga perjodohan muncul sebagai sikap kepercayaan
terhadap keluarga lain yang menjadi calon jodoh putra putri mereka. Kedua,
logika perlindungan. Adanya rasa ketakutan tersebut, muncul rasa ingin
melindungi antar anggota keluarga, terlebih pada anggota keluarga perempuan.
Hingga pada akhirnya lahirlah pola pemukiman taneyan lanjhang yang pada
sejarahnya memang sering dipakai oleh keluarga yang memiliki banyak anak
perempuan. Sedangkan konstruksi sosial budaya pada tradisi, agama, mitos
perawan tua, serta pandangan parabhen dalam masyarakat Madura.14
13 Sofia Sari, Tradisi Pernikahan Muda di Pulau Madura. Diakses melalui
http://sosbud.kompasiana.com pada 13 April 2015. 14 Rifi Hamdani, Tradisi Perjodohan Dalam Masyarakat Madura Migran di Kecamatan
Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id
pada 13 April 2015.
17
E. STUDI KASUS
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang tentang hukum adat yang
berlaku bagi masyarakat Madura, dapat ditelaah dari contoh kasus berikut :
1. Kasus Carok Sinur
Pada 3 Mei 2013 terjadi pembunuhan terhadap warga Sumenep,
Ismail. Pembunuhnya adalah Sinur (28) merupakan Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) di Malaysia. Sebelum kejadian, ia pulang dari Malaysia karena
mendengar ibu tirinya ditiduri oleh Ismail. Karena merasa malu atas
peristiwa yang dia dengar itu, Ismail pulang dan langsung mencari Ismail.
Sebelum berkali-kali membacok menggunakan celurit, Sinur terlebih
dahulu menyiram muka Ismail dengan air keras di Jalan Raya Desa
Ambender, tempat Ismail biasa nongkrong selepas kerja.
Sinur akhirnya ditangkap pihak berwajib dan diadili di Pengadilan
Negeri (PN) Pamekasan. Pada Rabu, 30 April 2014, Sinur dijatuhi vonis
bersalah dengan hukuman penjara 12 tahun atau 5 tahun lebih tinggi dari
tuntutan jaksa. Vonis tersebut diberikan oleh majelis hakim yang terdiri dari
Heri Kurniawan, Bambang Setyawan dan Ni Luh Suantini. Sebelum
menjatuhkan hukuman, Sinur menggunakan alasan carok atas kasus
pembunuhan yang ia lakukan. Namun majelis hakim berpendapat berbeda
dengan menguraikan dalil-dalil yang mengacu pada ajaran Agama Islam.
Menurut majelis hakim, saat Kerajaan Madura dipimpin Prabu
Cakraningrat pada abad ke-12 Masehi, carok belum dikenal. Saat Joko Tole
18
memerintah pada abad ke-14 Masehi, carok juga belum dikenal. Bahkan
saat pemerintahan Panembahan Semolo, putra Bindara Saud putra Sunan
Kudur, istilah ini juga belum dikenal. Munculnya budaya carok mulai
dikenal pada zaman penjajahan Belanda, sekitar abad ke-18 Masehi. Pada
masa itu, orang Madura yang merasa malu karena kehormatan istrinya
dirusak, memunculkan ungkapan "lebbi bagus pote tollang atembang pote
mata" atau lebih baik mati daripada menanggung malu karena istri adalah
landasan kematian (bhantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan
mengganggu istri disebut aghaja' nyaba yang artinya mempertaruhkan
nyawa. Sehingga tindakan mengganggu kehormatan keluarga selalu
dimaknai sebagai arosak atoran (merusak tatanan sosial).
Pada masa lalu, hukum adat Madura yang luhur menggariskan jika
malu martabatnya dirusak atau kehormatannya diganggu, maka diadakan
perang tanding satu lawan satu. Sebelum perang tanding, masing-masing
mengadakan perjanjian tempat arena perkelahian, hari dan waktunya.
Setelah sepakat, keduanya melaporkan ke penguasa setempat untuk carok.
Arena carok ditandai bendera dan disaksikan banyak orang. Usai
membunuh, pelaku tidak kabur tetapi celurit yang masih menempel darah
segar, pelaku melapor ke aparat untuk menyerahkan diri.15
15 Andi Syaputra, Tepat! Adili Kasus Carok Pakai Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum
Nasional. Diakses dari portal berita detiknews http://news.detik.com pada 13 April 2015. Lihat juga
Bui Sinur 12 Tahun, Majelis Hakim Sebut Carok Dilarang dalam Islam, diakses melalui
http://demo.analisadaily.com pada 13 April 2015. Dan lihat juga Ini Dia Sejarah Carok, Lapor
Aparat dan Tanding Satu Lawan Satu, Forum Tribun. Diakses melalui http://forum.tribunnews.com
pada 13 April 2015.
19
Analisa :
a. Bagi sebagian orang Madura, carok adalah upaya untuk melampiaskan
amarah dan rasa malu sebagai akibat aib yang ditimbulkan akibat
hubungan yang dianggap dilarang. Pada kasus Sinur, yang terbunuh
adalah Ismail, orang yang meniduri ibu tirinya.
b. Definisi carok seperti yang disampaikan majelis hakim di Pengadilan
Negeri Pamekasan dapat menjadi yurisprudensi bagi penanganan kasus
carok, dimana carok dinilai sebagai hukum adat yang dalam Pasal 18B
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, negara harus mengakui dan
menghormatinya.
c. Hukum adat bagi suku Madura juga mengacu pada hukum Islam.
Sehingga majelis hakim pada sidang kasus carok Sinur memakai
istimbath Al-Quran, yakni yang termaktub dalam Surat al Baqarah ayat
178 dan 179 : “Tidaklah ada kewenangan manusia untuk membunuh
atau mengambil nyawa orang lain.” Selain itu juga disebutkan dalam
Surat al-Maidah ayat 45 yang pada pokoknya menerangkan tidak ada
kewenangan manusia untuk menganiaya manusia lain.
d. Perbuatan Sinur ditetapkan sebagai perbuatan pidana (pelanggaran atas
Kitab Undang Hukum Pidana), bukan perbuatan adat yang nilai-nilainya
patut dihormati dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu, Sinur dijatuhi
vonis hukuman penjara 12 tahun penjara.
20
2. Kasus Carok Massal
Pada 12 Juli 2006, terjadi peristiwa yang disebut sebagai carok
massal, yang mungkin merupakan perista carok terheboh sepanjang masa.
Akibat carok masal yang terjadi di Kampung Nomeh, Desa Bujur Tengah,
Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan tersebut, sebanyak 7 orang
tewas dan 9 lainnya luka-luka. Carok massal terjadi antara pendukung
Kepala Desa (Kades) H. Mursidin dengan mantan Kades H. Beidewi. Carok
massal dipicu sengketa tanah kas desa (percotan).
Tanah kas desa tersebut sebelumnya telah digarap H. Mursidin dan
pendukungnya, sementara H. Beidewi yang juga merasa berhak atas
percotan tersebut kemudian mengumpulkan masa disertai membawa
cangkul dan celurit dan menuju ke percotan. Di lokasi, H. Beidewi bersama
pendukungnya sekitar 100 orang mencangkul lahan yang sudah digarap H.
Mursidin dan pendukungnya. Tidak lama kemudian, H. Mursidin dan
pendukungnya yang berjumlah sekitar 100 orang datang ke percotan. Saat
berada pada saat di lokasi, pendukung H. Beidewi mengatakan “Lebih baik
Carok” kepada H. Mursidin. Namun H. Mursidin mengatakan, “Lebih baik
didamaikan saja, saya tidak mau cari masalah.” Tidak beberapa lama
kemudian, salah seorang pendukung H. Beidewi melempar mercon dan
mengenai pendukung H. Mursidin. H. Mursidin yang saat itu sedang
menolong pendukungnya, diserang oleh pendukung H. Beidewi dengan
diseret dan dibacok hingga meninggal dunia di tempat kejadian perkara.
Peristiwa carok massal pun terjadi dan korban berjatuhan.
21
Beberapa hari setelah kejadian, tepatnya 17 Juli 2006, H. Beidewi
menyerahkan diri ke polisi setelah terdesak oleh polisi. Pada 31 Desember
2006, Polisi telah menangkap 18 orang pelaku carok massal, salah satunya
Kerok alias Agus (45) yang ditembak mati di Jember. Beberapa tersangka
hendak kabur ke Malaysia namun tertangkap di perbatasan. Setelah
diperiksa kepolisian, berkas diserahkan ke kejaksaan lalu disidangkan pada
1 Mei 2007. Para pelaku dijerat dengan pasal berlapis yakni 338 dan 340
KUHP. Dalam sidang dan vonisnya, pelaku dan penuntut umum sama-sama
melakukan banding hingga tingkat kasasi.16
Analisa :
a. Di dalam persidangan ada disebutkan ungkapan ajakan carok dari salah
seorang kubu, namun tidak ditanggapi. Dalam persidangannya, alasan
carok sebagai peristiwa adat tidak disinggung. Itu berarti, peristiwa yang
disebut carok massal bukan lah carok seperti yang dikenal dalam adat
istiadat Madura.
b. Pangkal masalahnya adalah tanah kas desa (percotan) yang pada saat
kejadian sudah masuk ke ranah pengadilan yang putusannya disebut
sudah di tingkat banding. Yang sebenarnya berdasarkan Pasal 5
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, disebutkan bahwa di dalam hukum agraria juga berlaku
16 Sindo/Ahmad Baidowi, Inilah Kasus Carok Massal Terheboh di Pamekasan Madura.
Artikel diakses melalui http://news.okezone.com pada 13 April 2015. Dan salinan putusan Mahkamah Agung No. 2311 K/Pid/2007 diakses melalui http://putusan.mahkamahagung.go.id pada 13 April 2015.
22
hukum adat dan hukum agama yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
3. Pernikahan di Bawah Umur
Pada tahun 2006, SR, seorang perempuan berusia 13 tahun dan HR,
pria berusaia 16 tahun, warga Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-
Batang, Kabupaten Sumenep melangsungkan pernikahan. Usai akad nikah,
SR dan HR langsung hidup serumah dan pada November 2008 lalu, mereka
mempunyai seorang anak berusia anak berumur 1,5 tahun.
Pernikahan antara SR dan HR dilandasi atas kesepakatan kedua
orang tuanya untuk menikahkan. SR dan HR menikah karena dijodohkan.
Meski sebenarnya SR mengaku belum siap menjalani hidup berkeluarga.
Apalagi, dia mengaku punya cita-cita yang ingin diwujudkan. Seperti,
menyelesaikan sekolah hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi
karena sudah tardisi dan jadi tuntutan, pernikahan itu harus dia jalani.
"Mungkin itu adalah jalan yang terbaik. Saya hanya bisa memberontak
dalam hati saja," ungkapnya. Pada awalnya, SR mengaku merasa berat
untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain usia belia, dia belum punya bekal
sama sekali. "Tapi, saya jalani saja hingga semua menjadi hal yang biasa,"
katanya.
Muhammad Muzak, 28, saudara SR, mengatakan, pernikahan
saudara perempuannya itu terjadi karena sudah kesepakatan dari orang tua
kedua pasangan. Menurut dia, orang tua mereka menganggap lebih cepat
pernikahan dilaksanakan, maka risiko yang akan ditanggung akan lebih
23
kecil. "Maklum, para orang tua di daerah ini tidak menginginkan hubungan
mereka menjadi fitnah bagi mayarakat," ujarnya.
Selain itu, pernikahan di bawah umur terjadi karena sejumlah warga
menganggap pernikahan di usia dini hal yang wajar. Dalihnya, orang zaman
dahulu, tak pernah memedulikan umur. Yang penting, jika kedua pasangan
sudah dianggap mampu untuk berumah tangga, kemudian dinikahkan.
Pernikahan saudara perempuannya dengan HR terjadi juga karena kedua
belah pihak menginginkan ikatan persaudaraan tambah lengket. Biasanya
pula, pernikahan usia muda terjadi pada pasangan yang masih punya
hubungan kekeluargaan. Dia menyontohkan, seorang pria kawin dengan
saudara yang masih sepupunya sendiri. Alasannya, pernikahan semacam itu
dipercaya punya keistimewaan tersendiri. Menurut Muzak, meski laki-laki
dan perempuan Desa Leggung Barat banyak dinikahkan saat di bawah
umur, namun rumah tangga mereka kebanyakan langgeng. Jarang ada
pasangan itu kemudian cerai. "Pernikahannya awet," katanya.17
Analisa :
a. Seperti yang terjadi Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-Batang,
Kabupaten Sumenep, pasangan yang menikah muda hingga usia
perkawinannya sekitar dua tahun, masih menjalaninya dengan baik dan
bahkan dikaruniai seorang anak.
17 Zaiturrahiem, Nikah Usia Dini di Desa Leggung Barat. Feature dari Surat Kabar Harian
Jawa Pos yang terbit Senin, 3 November 2008 dan diakses melalui
http://kabarmadura07.blogspot.com pada 13 April 2015.
24
b. Nikah muda terjadi karena perjodohan, meskipun pasangan sama-sama
tidak menyukai, tetapi mereka hanya bisa menolaknya di dalam hati.
c. Pernikahan muda tidak dapat ditolak oleh remaja di desa tersebut karena
faktor tradisi dan perintah orang tua.
d. Penilaian bahwa nikah muda dapat menimbulkan dampak buruk, akan
dinafikan dengan melihat contoh kasus pernikahan antara HR dan SR.
e. Jika menilik Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, maka tradisi memaksakan pernikahan di usia dini dilarang.18
Namun dalam kasus ini, masyarakat cenderung memakai hukum adat
Islam.
f. Dalam perspektif Islam, pernikahan dengan anak di bawah umur sering
disandarkan pada sunnah Muhammad, Rasulullah SAW saat menikah
dengan Syaidah Aisyah. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah
Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun. Namun hal tersebut
menjadi khilafiah di antara para ulama.19
g. Berdasarkan penelusuran penulis, nikah muda bagi masyarakat Madura
atas dasar perjodohan, belum pernah ada yang sampai di bawa ke meja
hijau atas perkara pelanggaran ketentuan perlindungan anak.
18 Nurjaman, Analisis Dispensasi Nikah Anak Dibawah Umur Menurut UU 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Pada Kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS. Diakses
melalui http://lppm.stih-painan.ac.id/ pada 13 April 2015. 19 Amiruddin Thamrin, Nikah Muda dalam Kacamata Fikih Islam. Diakses melalui
http://www.nu.or.id pada 13 April 2015.
25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sejarah adat istiadat suku Madura, termasuk istilah nama madura
terdapat beberapa versi. Tidak ada kepastian tentang makna dan sejarah
awal mula suku Madura.
2. Di antara adat istiadat yang menjadi hukum bagi orang Madura yang
masih berlaku hingga saat ini adalah carok dan nikah muda.
3. Carok dan nikah muda yang menjadi adat istiadat warga Madura
sebenarnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Namun hingga saat ini masih menjadi kebiasaan turun menurun.
4. Perkara carok cenderung menimbulkan implikasi hukum dibandingkan
perkara nikah muda. Kasus carok yang menimbulkan dampak hukum
(dibawa sampai ke lembaga peradilan formal) karena cenderung
menimbulkan korban nyawa yang mengarah kepada
penganiayaan/pembunuhan.
B. SARAN
Adat istiadat yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia harus
menjadi pertimbangan khusus bagi pemuka adat untuk dihapuskan. Atau
paling tidak, konsep utama di dalam adat istiadat tersebut disosialisasikan
dan dibudayakan sehingga definisinya tidak membias dan disalahgunakan.