54
Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 1 SATU Pendahuluan A. Pokok-pokok Pikiran dan Latar Belakang Masalah Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 didteteapkan sebagai hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882- 152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, Melainkan terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, lagi tidak pula seragam. Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar untuk membuang jauh politik colonial itu. Hal itu diperlihatkan oleh tonggak- tonggak sejarah sendiri, yaitu sebagai berikut : 1. Pada tahun 1951, dengan UU Darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951-9, yang kemudian dikuatkan menjadi UU dengan UU No. 1 tahun 1961, LN 1961-3, Peradilan Agama diakui eksistensi dan perannya; 2. Pada tahun 1957, dengan PP No. 45 tahun 1957, LN 1957-99, yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1951, didirikan/dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jaw a-Madura; 3. Pada tahun 1964, dengan UU No. 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian digantikan dengan UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan Negara yang sah. 4. Pada tahun 1974 terbit UU No. 1 tahun 1974, LN 1974-1, yang dilaksanakan dengan PP No. 9 tahun 1975, LN 1975-12, di mana segala jenis perkara di

Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 1

SATU

Pendahuluan

A. Pokok-pokok Pikiran dan Latar Belakang Masalah

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan

“Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak

zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan,

Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang

dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan

Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 didteteapkan sebagai hari

Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882-

152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura.

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya

ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya

UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember

1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri

tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, Melainkan terserak-serak dalam

berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan,

lagi tidak pula seragam.

Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar

untuk membuang jauh politik colonial itu. Hal itu diperlihatkan oleh tonggak-

tonggak sejarah sendiri, yaitu sebagai berikut :

1. Pada tahun 1951, dengan UU Darurat No. 1 tahun 1951, LN 1951-9, yang

kemudian dikuatkan menjadi UU dengan UU No. 1 tahun 1961, LN 1961-3,

Peradilan Agama diakui eksistensi dan perannya;

2. Pada tahun 1957, dengan PP No. 45 tahun 1957, LN 1957-99, yang

merupakan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1951, didirikan/dibentuk

Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa-Madura;

3. Pada tahun 1964, dengan UU No. 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang

kemudian digantikan dengan UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, Peradilan

Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan

Negara yang sah.

4. Pada tahun 1974 terbit UU No. 1 tahun 1974, LN 1974-1, yang dilaksanakan

dengan PP No. 9 tahun 1975, LN 1975-12, di mana segala jenis perkara di

Page 2: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 2

bidang perkawinan bagi mereka yang beragama islam dopercayakan

kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.

5. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 tahun 1977, LN 1977-38 yang

memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan

perkara di bidang Perwakafan Tanah Milik.

Peradilan Agama kini telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7

Tahun 1989. Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan

fungsinya, para pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan

konkret berurusan. Para ilmuan, cerdik cendikia, mahasiswa dan pelajar

mulai mengambil perhatian. Dalam kondisi inilah penulis ingin

menyumbangkan sebuah buku yang berjudul Hukum Acara Peradilan

Agama hingga proses mengenal dan berkembangnya Peradilan Agama

akan lebih melaju.

B. Metode Penelitian dan Analisis

1. Metode Penelitian

Penelitian dan pengumpulan data yang penulis lakukan dalam menyusun

buku ini adalah :

a. Library research (kepustakaan), yaitu dengan cara melalui buku-buku,

umum maupun agama, berbagai peraturan perundang-undangan,

surat-surat edaran dan petunjuk dari Mahkamah Agung maupun

Departemen Agama, yurisprudensi peradilan, prasaran, makalah dan

tulisan-tulisan lainnya yang relevan.

b. Experienced research atau empiris (pengalaman) yang mencakup

observasi, field dan lain-lain. Pengalaman itu penulis dapatkan karena

penulis sejak tahun 1963-1987 terus-menerus mengabdi pada instansi

Peradilan Agama. Sejak tahun1972-1985 penulis sebagai Ketua

Pengadilan Tinggi Agama Sumatra-Selatan, Lampung dan Bengkulu di

Palembang. Sejak tahun 1985-1987 sebagai Ketua Pengadilan Tinggi

Agama Sumatra Barat, Riau dan Jambi di Padang. Sejak tahun hingga

saat ini mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri.

Melalui mengajar, penulis membimbing praktik Peradilan Agama bagi

mahasiswa ke Pengadilan-pengadilan Agama, membimbing dan

menguji tesis yang berkaitan dengan Peradilan Agama.

Page 3: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 3

2. Metode Analisis

Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, dipergunakan

beberapa metode, yaitu sebagai berikut:

a. Deskriptif, pada umumnya dipergunakan dalam menguraikan sejarah,

mengutip atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dan

dalam uraian umum;

b. Komperatif, pada umumnya dipergunakan dalam membanding antara

Peradilan Agma, Peradilan Islam dan Peradilan Umum, terutama

terhadap materi yang mungkin dapat menimbulkan kerancuan;

c. Deduktif dan induktif. Deduktif, tolak ukurnya adalah peraturan

perundang-undangan, syariat I slam dan filsafat hukum, sedangkan

Induktif adalah dalam menyusun logika untuk mengambil kesimpulan

umum;

d. Problem solv ing atau pemecahan masalah. Bila diketemukan suatu

masalah, penulis identifikasikan, analisis, kemudian penulis sajikan

alternative pemecahannya;

e. Historis kritis, yaitu dalam menguraikan sering pula penulis ketengahkan

sejarahnya, dikaji sebab-sebabnya, saling keterkaitannya.

C. Peradilan Agama dan Peradilan Islam

Pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam

1. Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di

antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman

yang sah di Indonesia. UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1). Kata-kata

“Peradilan Negara” dan “kekuasaan Kehakiman” adalah semakna. Tiga

lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di

Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan

Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan

Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat

Page 4: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 4

tertentu. Dalam pasal 10 ayat (1) menjelaskan dalam hal ini, Peradilan

agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan

pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-

perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.

2. Peradilan Islam

Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaikan dengan kata-kata “di

Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam menurut konsepsi I slam

secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut

ajaran islam secara universal. Oleh karena itu, di mana-mana asas

peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu

tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya

untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja.

D. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan

Agama

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah

peradilan perdata sedangkan Peradilan Umum adalah juga peradilan

perdata di samping peradilan pidana. Dilihat dari segi asas-asas Hukum

Acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping

secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Perdata

Peradilan umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

1. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum

Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan Hukum Acara Perdata

ialah:

Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang

harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana

pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan

berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata

ialah:

Keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam

hal penegakan dikehendak, berhubung terjadinya suatu pelanggaran

dan bagaimana ia dapat di pelihara dalam hal suatu tindakan

pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata.

Page 5: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 5

2. Hukum Acara Peradilan Agama

Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan

Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan

peraturan perundang-undangan Negara dan syariat I slam sekaligus. Oleh

karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai

berikut:

Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan Negara maupun dari syariat I slam yang mengatur bagaimana

cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur

bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya,

untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan Peradilan

Agama.

E. Susunan Badan Peradilan di Indonesia

UUD 1945 menyebut “Badan Peradilan” dengan “Kekuasaan Kehakiman”

atau “Badan Kehakiman”, ketiganya sama maksudnya dan searti. Pasal 24

berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain

-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan

undang-undang.

Pasal 24 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14

tahun 1970 menyebut “Kekuasaan Kehakiman” atau “Badan Kehakiman”

dengan “Badan Peradilan”. Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum;

b. Peradilan Agama;

c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah

Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dan ia mempunyai organisasi,

administrasi dan keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan

peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat

banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis

fungsional yudikatif), artinya di bidang memeriksa dan mengadili perkara,

maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut;

Page 6: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 6

1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan

Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA).

(UU No. 2 tahun 1986, LN 1986-20, tt. Peradilan Umum);

2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA),

Pengadilan TInggi Agama (PTA), dan Mahkamah Agung.

(UU No. 7 tahun 1989, LN 1989-49, tt. Peradilan Agama);

3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil),

Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan Mahkamah Militer Agung

(Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung;

4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha

Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan

Mahkamah Agung.

(UU No. 5 tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha Negara)

PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan tingkat pertama karena ia

adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa,

mengadili, dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing.

PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut Pengadilan tingkat banding karena

ia menerima perkara banding yang berasal dari pengadilan tingkat pertama

pada lingkungannya masing-masing.

Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut judex facti,

artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan diperiksa

secara keseluruhan, baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti

dan lain sebagainya seperti pemeriksaan selengkapnya di muka pengadilan

tingkat pertama dulunya. Mahkamah Agung tidak lagi melakukan judex facti

itu dan karenanya MA tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga.

Secara mudah dikatakan bahwa MA itu memeriksa mana yang benar

antara pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding yang sudah

memeriksa terdahulu terhadap suatu perkara yang dimintakan kasasi ke MA.

Oleh karena itu, MA tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi

melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. (UU No. 15 tahun 1985,

LN 1985-73, tt MA, Pasal 30).

Diadakannya MA yang tunggal dan bukan lagi bersifat judex facti

adalah untuk uniformitas hukum karena menjunjung prinsip Negara Kesatuan

dalam satu Wawasan Nusantara dan satu Wawasan Hukum serta demi

keadilan hukum.

Page 7: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 7

F. Titelatuer Badan Peradilan Agama

Titelatuer atau sebutan resmi Badan-badan Peradilan Agama sejak

berlakunya UU No. 7 tahun 1989 telah menjadi seragam,

Hukum Acara Peradilan Agama

SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Keterangan:

PTA : Pengadilan Tinggi Agama;

PT : Pengadilan Tinggi;

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;

Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi;

PA : Pengadilan Agama;

PN : Pengadilan Negara;

PTUN : Pengadilan Tasa Usaha Negara;

Mahmil : Makhamah Militer;

Hankam : Pertahanan dan keamanan;

PANGAB : Panglima Angkatan Bersenjata.

Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional Yudikatif

Hubungan ke Departemen adalah di bidang organisatoris, administrative dan

finansial.

PANGAB Depertemen

Agama

Departemen

Kehakiman

Departemen

Hankam

Mahkamah

Agung

PN

PT PTTUN Mahmilti

PA

PTA

PTUN Mahmil

Page 8: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 8

DUA

Sumber Hukum Acara

Peradilan Agama

A. Keharusan Adanya UU Tersendiri Tentang Acara

UUD 1945 Pasal 24 berbunyi:

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan

undang-undang.

Sekarang ini, pasal 24 UUD 1945 tersebut dilaksanakan oleh UU No. 14

tahun 1970, Pasal 12 yang berbunyi:

Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut

dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.

Pasal 10 ayat (1) berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila Pasal 12 UU No. 14 tahun 1970 memerintahkan demikian,

sedangkan UU tersebut merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 24,

maka mewujudkan UU tentang Susunan, Kekuasaan serta Acara dan bagi

tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut di atas adalah merupakan sebagian

dari bukti melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, di samping

sebagai satu cirri dari cinta kepada Negara Hukum sebagai subsistem dari

system Pemerintahan Negara Ri.

Dalam masa 19 tahun kemudian setelah tahun 1970, terbitlah UU No. 7

tahun 1989, tentang Peradilan Agama dan UU ini membuat antara lain

tentang Sususan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama.

B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai

Peradilan khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang

Page 9: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 9

oleh peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan hukum material

I slam dalam batas-batas kekuasaannya.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan

mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum

dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan Acara

yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal

I slam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan Negara Indonesia). Namun Kini, sejak terbitnya UU No. 7

tahun1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember

1989), maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 dari

UU tersebut berbunyi:

Hukum Acarq yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus

dalam undang-undang ini.

Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang

bersumber (garis besar) kepada dua aturan, yaitu: (1) Yang terdaopat dalam

UU No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata

Peradilan Umum, antara lain.

1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen

Indonesia yang di Baharui).

2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen

untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.

3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan

Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.

4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum

Perdata Eropa.

5. UU No. 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-

sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama,

adalah sebagai berikut.

1. UU No. 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

2. UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.

3. UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan

Pelaksanaannya.

Page 10: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 10

C. Kesulitan Beracara di Muka Peradilan Agama

Dari uraian tentang sumber hukum acara peradilan agama terdahulu,

tampaklah kini bahwa ber-acara di muka peradilan agama tidaklah

semudah seperti diperkirakan oleh sementara orang bahkan mungkin lebih

sulit dari ber-acara di muka peradilan umum. Untuk ber-acara di muka

peradilan agama orang harus memahami secara benar dan baik hukum

acara yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagai ketentuan khusus.

Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-

aturan hukum acara perdata yang digunakan di muka peradilan umum

sebagai ketentuan umumnya, padahal mempelajari hukum acara peradilan

umum saja sudah merupakan suatu hal yang tidak mudah. Selain dari itu

orang juga harus memahami bagaimana cara mewujudklan hukum material

islam melalui hukum proses islam.

Alat bukti saksi misalnya, ia tidak diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 dan itu

berarti harus berpedoman kepada alat bukti saksi yang diatur dalam hukum

acara perdata peradilan umum, cq. HIR/RBg

Alat bukti saksi bagi peradilan umum, umumnya sudah dipandang

memadai kalau saksi itu : (1) tidak dipaksa, (2) tidak deauditu, (3) dewasa, (4)

tidak ada hubungan keluarga atau semenda yang dekat atau hubungan

atasan dan bawahan dalam kerja, (5) dua orang atau lebih satu orang

tetapi ada alat bukti lain di sampingnya, (6) kesaksian diberikan di bawah

sumpah. Dalam hukum proses islam banyak lagi persoalannya, misalnya : (1)

apakah saksi mesti beragama islam atau tidak atau dalam keadaan

bagaimana yang diperkenankan non islam, (2) kapan saksi itu boleh diterima

kalau lelaki semua dan empat orang puola bahkan harus beragama islam,

(3) kapan saksi itu boleh digantikan dengan bersumpah lima kali, (4) kapan

boleh kesaksian satu sakti ditambah sumpah penggugat, dan lain

sebagainya.

Patut ditambahkan bahwa kata “ber-Acara” di sini maksudnya

adalah menyangkut: (1) pihak-pihak yang berperkara, termasuk pemegang

kuasa, pengacara, advokat, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya, (2)

petugas pengadilan itu sendiri seperti hakim dan panitera, mereka-mereka ini

tentunya harus benar-benar memiliki keterampilan khusus.

Page 11: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 11

TIGA

Kekuasaan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang

berasal dari bahasa Belanda Competentie, yang kadang-kadang

diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut

dianggap semakna.

Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan hukum

acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan

relative” dan “kuasaan absolute”, sekaligus dibicarakan pula di dalamnya

tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang

menjadi kekuasaan pengadilan.

A. Kekuasaan Relatif

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis

dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan

yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan

Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan

Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.

Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,

sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat

pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja

satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan,

sama-sama tingkat pertama.

Pasal 4 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 berbunyi:

Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota

kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau

kabupaten

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di

kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukummnya

meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup

kemungkinan adanya pengecualian.

Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau

dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu

kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai

pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di kabupaten

Page 12: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 12

Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi

transportasi sulit.

B. Kekuasaan Absolut

Kekuasaan absolute artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,

dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau

tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:

Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka

yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain I slam menjadi kekuasaan

Peradilan Umum.

Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara

dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan

Tinggi Agama atau Mahkamah Agung.

Banding dari Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama,

tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk

meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan

absolutnya atau bukan. Jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya,

Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama

menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang

disebut “eksepsi absolut’ dan jenis eksepsi ini boleh diajukan kapan saja,

malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi.

C. Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini maksudnya kekuasaan absolut. Dala berbagai

peraturan perundang-undangan, kukuasaan absolut tersebut sering disingkat

dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya:

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan

undang-undang. (UUD 1945 Pasal 24)

Susunan kekuasaan serta Acara dari badan-badan peradilan tersebut

dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang. (UU No. 14 tahun

1970, Pasal 12)

Page 13: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 13

Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50

UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi:

Pasal 49

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan;

b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum

islam;

c. Wakaf dan shadaqah.

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a.

ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang

mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b.

ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan

mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli

waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain

dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49,

maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus

diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum.

Penjelasan Pasal 50

Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak

berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek

yang tidak menjadi sengketa itu.

a. Perkara Perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974;

b. Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah diatur pada Pasal 49 ayat (1) UU

No. 7 tahun 1989, Penentuan Mengenai Harta Peninggalan disebut

dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 7 tahun 1989;

c. Perkara Wakaf dan Shadaqah diatur dengan PP No. 28 tahun 1977, LN

1977-38.

D. Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama

Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi

ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama. Tiga hal tersebut

sebagai berikut.

Page 14: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 14

1. Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989

Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 berbunyi:

Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain

dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49,

maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus

diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Penjelasan pasal tersebut berbunyi:

Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak

berarti menghentikan proses peradilan di pengadilan agama atas objek

yang tidak menjadi sengketa.

2. Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2

Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2, mengatakan;

Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang

menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian

masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta

peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan

berdasarkan hukum islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan

dalam pembagian warisan.

3. Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989

Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989, berbunyi:

Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih

dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan

dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap tentang hal itu.

4. Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977

Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977 adalah tentang Perwakafan tanah milik.

Pasal 12 berbunyi:

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan

perawakafan tanah, disalurkan melalui pengadilan agama setempat

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 15: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 15

EMPAT

Tempat Mengajukan Gugatan/

Permohonan

Peradilan Agama sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, adalah

Peradilan Islam di Indonesia. Hukum Acara yang dipergunakan adalah

yang termuat dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagi aturan khusus (lex

specialis) ditambah dengan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan

Peradilan Umum sebagi aturan umum (lex generalis) bagi hal-hal yang

tidak ditemukan dalam UU No. 7 tahun 1989.

A. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Zaman

Rasulullah dan Khalifah Empat

Dari berbagai hadis dan sejarah Rasulullah Saw. Ataupun dari sejarah

Peradilan Islam di masa Khalifah Empat/masa Sahabat, ternyata semua

gugatan/permohonan perkara diajukan ke tempat Rasulullah Saw., diam

atau ke tempat Qadi yang ditunjuk oleh beliau yang terdekat letaknya

dengan kediaman penggugat/pemohon. Atau kepada khalifah,

walaupun pada ketika itu belum ada gedung pengadilan tersendiri. Jadi,

asal mula tempat mengajukan gugatan/permohonan adalah ke

pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal pihak

penggugat/pemohon.

Mungkin atas dasar menurut kode etik siding, tempat duduk tergugat

di muka siding selalu di sebelah kanan dari penggugat sedangkan

penggugat di sebelah kirinya.

B. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan di Muka

Pengadilan Agama Bagi Perkara Perkawinan

UU No. 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahw a hukum acara

peradilan agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut,

mempergunakan hukum acara perdata peradilan umum. Pengaturan

tempat mengajukan gugatan/pemohonan yang dimuat dalam UU No. 7

tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan

cerai karena gugatan.

Berpegang kepada aturan tempat mengajukan

gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU No. 1 tahun 1974 dan PP

No. 9 tahun 1975.

Page 16: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 16

Tegasnya: (1) Untuk perkara perkawinan tentang cerai talak dan cerai

karena gugatan berpedoman kepada UU No. 7 tahun 1989, (2) untuk

perkara perkawinan selain (1) berpedoman kepada UU No. 1 tahun1974

dan PP No. 9 tahun 1975, (3) untuk perkara selain (1) dan (2)

berpedoman kepada Acara Perdata Peradilan Negeri.

Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara

perkawinan sebagai berikut.

1. Permohonan suami untuk menceraikan isterinya dengan cerai talak,

diajukan oleh suami (pemohon) ke Peradilan Agama yang mewilayahi

tempat kediaman isteri (termohon).

Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal penguasaan

anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan

bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar

talak diucapkan.

2. Gugatan perceraian diajukan oleh si isteri (penggugat) atau kuasanya ke

Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri

(penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpat izin tergugat (suami), dan atau bila

penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian

diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempay kediaman tergugat.

3. Permohonan untuk beristeri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon

(suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat kediaman suami (pemohon).

4. I zin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi calon

memperlai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan

tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama

yang mewilayahi tempat kediaman tersebut.

5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umu 16

tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari

umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensasi kawin, ia

mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh

orang tua masing-masing.

6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak

memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alas an hukum lainnya,

diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum

dimana perkawinan akan di langsungkan.

7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh

PPN (Pegawai Pencatat Nikah) karena menurut PPN tidak boleh,

sedangkan menurut calon boleh diajukan oleh si calon ke Pengadilan

Agama yang mewilayahi PPN tersebut.

8. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang

mewilayahi di mana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atauke

Page 17: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 17

Pegadilan Agama yang mewilayahi suami-isteri yang bersangkutan, atau

ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang

dari suami isteri tersebut.

9. Gugatan gabungan (kumulasi objektif), misalnya gugatan cerai yang

disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut,

maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok

perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan

seperti telah disebutkan di butir 2. di muka.

Sebagian ditemui aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan

dalam perkara perkawinan, di dalam UU No. 7 tahun 1989 dan sebagian

lagi ditemui dalam UU No. 1 tahun 1974 jo. PP No. 9 tahun 1975.

C. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dalam

Perkara Selain Perkara Perkawinan

Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain

perkara selain perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan

gugatan/permohonan menurut Hukum Acara Perdata Pengadilan

Negeri, yaitu sebagai berikut.

1. Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal tergugat.

2. Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke

Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat

berdiam (berada).

3. Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam suatu wilayah

Pengadilan Agama, diajukann ke Pengadilan Agama yang

mewilayahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yag=ng

dipilih oleh penggugat.

4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan

penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si

perutang pertama.

5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal

atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama

temoat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat.

6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen), di

ajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat benda tetap

itu.

7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara

dengan akta secara tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama yang

telah dipilih itu.

Page 18: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 18

LIMA

Gugatan dan Permohonan

A. Gugatan/Permohonan Sebagai Hak Prive

Hukum Perdata sebagaimana dimaklumi adalah mengatur tentang hak

dan kewajiban antara seseorang dengan pihak lain, sedangkan Hukum

Acara Perdata adalah mengatur tentang cara

mewujudkan/mempertahankan Hukum Perdata itu. Apakah seorang mau

menggugat atau tidak, sekalipun ada haknya yang diperkosa oleh orang

lain, sepenuhnya terserah kepada orang itu sendiri, yang sama sekali tidak

ada sangkut paunya dengan siapa pun, sebab yang demikian itu adalah

hak Prive (Pribadi) nya sendiri. I tu berarti, sekalipun seseorang diperkosa

haknya oleh oranglain, kalau ia diam saja tidak mau menggugat, tidak bisa

dipaksakan supaya ia menggugat. Sebaliknya, sekalipun tidak ada hak

perdata nya yang diperkosa oleh seseorang tetapi ia secara mau coba-

coba menggugat nekad, juga tidak bisa dilarang.

Surat gugatan/permohonan di muka Pengadilan Agama, sebagaimana

juga di muka Pengadilan Negeri, tidak memerlukan surat

pengantar/legalisasi seperti dari Lurah/Kepala Desa/BP4/Kantor urusan

Agama Kecamatan/Kantor Camat dan lain sebagainya, hal di samping

mungkin akan memperlambat proses, juga bertentangan dengan asas hak

perdata sebagai hak prive.

Adapun penggugat/pemohon umpamanya memerlukan berkonsultasi

dengan advokat atau badan penasihat perkawinan dan penyelesaian

perceraian (BP4) dan lain sebagainya, baik sebelum perkaranya terdaftar di

pengadilan ataupun sesudahnya, itupun hal pribadinya, bukan keharusan,

pula bukan merupakan syarat untuk suatu gugatan/permohonan.

B. Pihak-pihak

1. Penggugat dan Tergugat

Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka

Pengadilan perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y

(arab).

2. Pemohon dan Termohon

Page 19: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 19

Di samping peradilan dalam arti sesungguhnya (jurisdictio contentiosa),

ada kemungkinan seseorang memohon kepada pengadilan untuk minta

ditetapkan atau mohon ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang

sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak ada lawan (tidak

berperkara dengan orang lain).

Orang yang memohon di situ disebut dengan istilah “pemohon” atau

introductief request (Belanda), atau al-mudda’y (Arab).

Termohon sebenarnya dalam arti “asli”, bukanlah sebagai pihak tetapi

hanya perlu dihadirkan di depan siding untuk didengar keterangannya untuk

kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum

langsung dengan pemohon. Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperative

hadir di depan sidang seperti halnya tergugat, artinya sekalipun termohon

tidak hadir, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti) maka

permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti ditolak.

UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan

“permohonan” oleh “pemohon”.

Pasal 38 PP No. 9 tahun1975 tentang permohonan pembatalan

perkawinan.

Pasal 40 PP No. 9 1975 tentang permohonan untuk beristeri lebih dari

seorang.

Pasal 65-72 UU No. 7 tahun 1989 tentang pemohonan cerai talak.

3. Kuasa Khusus dan Penasihat Hukum

Tentang kuasa khusus dan penasihat hukum dimaksudkan dalam uraian

di sini karena menyangkut langsung pihak-pihak yang berperkara. Istilah

kuasa khusus selalu dikaitkan dengan perkara pidana. I tu berarti bahwa

istilah penasihat hukum tidak akan diketemukan di muka Peradilan Agama

yang perdata itu dan istilah kuasa khusus tidak akan diketemukan di muka

pengadilan Pidana.

Seorang pihak boleh memberikan kuasa kepada beberapa orang

pemegang kuasa, juga boleh beberapa orang pihak memberikan kuasa

kepada seorang pemegang kuasa. Pemberian kuasa khusus dapat di

tempuh tiga cara, yaitu.

a. Diterakan dalam surat gugat/surat permohonan atau dalam jawaban

gugatan/jawaban permohonan langsung. Penggugat/pemohon dan

tergugat/termohon sama-sama membubuhkan tanda tangannya di atas

surat gugatan/surat permohonan dan surat jawaban gugatan/jawaban

permohonan.

Page 20: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 20

b. Dengan cara membuat surat kuasa khusus tersendiri, dilakukan di muka

pejabat yang berwenang, yang paling tepat adalah di muka

kepaiteraan penadilan atau notaris.

c. Dengan dikemukakan langsung secara lisan oleh penggugat/pemohon,

tergugat/termohon pemberi kuasa, di muka sidang.

C. Bentuk dan Isi Gugatan/Permohonan

Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum islam disebut ad da’wa.

Kata da’wa ini rupanya dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat

diketahui, da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung dengan konteks

kalimat.

Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan/permohonan hanya dipakai

dalam kaitan acara perdata, lagi pula dibedakan maksud dan artinya.

1. Surat gugatan

Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga

komponen, yaitu sebagai berikut.

a. Identitas pihak-pihak

b. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah

pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal).

c. I si tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau “petitum”

(tunggal).

2. Surat permohonan

Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain

dengan surat gugatan. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa di muka

pengadilan agama ada perkara yang sepertinya voluntaria tetapi

kenyataannya adalah contentiosa, sehingga dalam keadaan seperti ini,

walaupun namanya permohonan, namun bentuknya seperti bentuk

gugatan.

Secara nyata perbedaan inti antara surat gugatan dan surat

permohonan bahwa pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat

“berlawanan dengan”, kalimat “duduk perkaranya”, dan kalimat

“permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lawan.”

3. Gugatan/Permohonan Lisan

Page 21: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 21

Gugatan atau permohonan pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh

penggugat atau oleh pemohon atau oleh kuasa sahnya. Tapi kalau

pemohon/penggugat tidak bisa menulis (maksudnya buta huruf) maka

gugatan atau permohonan boleh diajukan secara lisan.

Kalau diajujan secara lisan maka panitera atas nama Ketua

Pengadilan agama membuat catatan yang diterangkan oleh

penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut “catatan gugat

atau catatan permohonan”.

D. Kelengkapan Gugatan/Permohonan

Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk

mendaftarkan di pengadilan agama tentunya harus diperlengkapi dengan

syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada

syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan khusus.

1. Syarat Kelengkapan Umum

Syarat kelengkapan umum (minimal) untuk dapat diterima

didaftarkannya suatu perkara di pengadilan ialah sebagai berikut.

a. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta

huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.

b. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi

penggugat atau pemohon.

c. Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat

membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa yang

disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.

Menurut prinsip hukum acara perdata, apabila tiga hal di aras sudah

dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk menerima

pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan selainnya, sudah

merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin untuk syarat

pembuktian perkara.

2. Syarat Kelengkapan Khusus

Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara,

jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an sich.

Contohnya sebagai berikut.

Page 22: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 22

a. Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan

kepolisan yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan izin

komandan.

b. Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain ABRI , Kepolisian dan

pegawai negeri sipil), harus melampirkan;

1. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada

2. Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya

atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau

penghasilan-penghasilan lainnya, untuk bukti bahwa suami tersebut

mampu beristeri lebih dari seorang,

3. Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap

isteri atau isteri-isterinya dan anak-anaknya.

c. Untuk keperluan tersebut di b. di atas, atau jika mau bercerai, kalau

suami itu pegawai negeri sipil, maka syarat tersebut di b. harus ditambah

lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwena ng (atasannya).

d. Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah,

seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri

dengan cerai talak, gutatan nafkah isteri dan sebagainya.

e. Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus

melampirkan kutipan akta cerai. Seperti perkara gugatan nafkah iddah,

gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri

yang diceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya suami) dan

lain sebagainya.

f. Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan

untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing, yang di sebut

model “Tra.”

g. Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris. Dan

lain-lain sebagainya.

Khusus bagi pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan ke

pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang

menurut PP No. 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat yang

berwenang (atasannya). Oleh mahkamah agung dengan surat edara No. 5

tahun 1984 tanggal 17 April 1984, diberikan petunjuk bahwa kepada

pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang

berwenang tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara terdaftar di

pengadilan.

3. Materai dan Rangkap Surat Gugatan/Permohonan

a. Materai Surat Gugatan/Permohonan

Menurut aturan lama sebagaimana disebutkan dalam: (1) Pasal 7 m

dari ordonantie stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116 dan 610, (2) Pasal 19 dari

Page 23: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 23

ordonantie stbl. 1937-638 dan 639, (3) Pasal 11 ayat (2) dari PP No. 45

tahun 1957, semua surat-surat perkara yang semata-mata untuk

pemeriksaan perkara di muka Peradilan Agama tingkat pertama

maupun tingkat banding, salinan-salinan putusan/penetapan, surat-surat

untuk menjalankan keputusan, surat permohonan tentang perselisihan

kekuasaan mengadili serta keputusan-keputusannya, dibebaskan dari

materai. Tetapi, ordonantie tersebut di (1) yaitu untuk peradilan agama

di pulau Jawa-Madura, tersebut di (2) yaitu untuk peradilan agama di

sebagian daerah Kalimantan-Selatan dan Timur, tersebut di (3) untuk

daerah-daerah Indonesia lain-lainnya, sudah dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku oleh UU No. 7 tahun 1989.

Sekarang, semua aturan materai seperti yang diatur dalam UU No. 13

tahun 1985, LN 1985-69, tentang bea materai, yang menggantikan

Zegelverordening tahun 1921, yang telah berkali-kali diubah, terakhir

dengan UU No. 2 Prp. 1965, LN 1965-21 yang telah ditetapkan menjadi UU

dengan UU No. 7 tahun 1969, LN 1969-38, menjadi berlaku untuk

peradilan agama.

b. Rangkap Surat Gugatan/Permohonan

Surat gugatan atau permohonan, pada prinsipnya cukup satu rangkap

saja. Adapun untuk dilampirkan pada surat panggilan kepada tergugat atau

termohon, atau untuk keperluan banding (kalau ada banding), atau untuk

keperluan kasasi (kalau ada kasasi), atau untuk keperluan peninjauan

kembali (jika terjadi peninjauan kembali), adalah tugas pengadilan yang

bersangkutan untuk menyalinnya sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi

dalam praktik, hal serupa itu sering melambatkan proses, karenanya oleh

pengadilan biasa dimintakan untuk beberapa rangkap, misalnya 5 rangkap

(kalau tergugatnya 1 orang), 6 rangkap (kalau tergugatnya 2 orang) dan

seterusnya. Kagunaannya iaalah, satu rangkap untuk dilampirkan pada surat

panggilan kepada setiap tergugat, tiga rangkap untuk cadangan kalau

nantinya terjadi banding.

Untuk menjamin sah bermaterai cukup dan swah legalisasi, maka perlu di

tempuh sebagai berikut:

Photocopy sebanyak yang diperlukan, bawa lampiran tersebut ke kantor

pos untuk minta si “nachtsegelen” kan oleh kantor pos tiap-tiap lembarnya,

lalu mintakan legalisasi di kepaniteraan pengadilan. Untuk nachtsegelen ini,

wajib bayar per lembarnya sebesar harga materai per lembar surat aslinya.

Page 24: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 24

E. Gugatan Kembali (Reconventie)

Gugatan asal tersebut “gugatan dalam conventie”. Tergugat dalam

conventie (tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus

dalam kesempatan berperkara itu untuk menggugat kembali kepada

penggugat asal (penggugat dalam conventie), sehingga tergugat asal

(dalam conventie) sekaligus beritindak menjadi penggugat dalam conventie

dan dalam reconventie tersebut akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam

perkara itu juga, mungkin hanya dengan “satu putusan” atau bisa juga

dalam “dua putusan.”

Gugatan balik (reconventie) ini hanya ditemui dalam hukum acara

perdatan peradilan umum yang dimuat dalam Pasal 132 a dan b dari HIR

(HIR dibuat dengan stbl. 1941-44). Akan tetapi, di lingkungan peradilan umum

sudah mempergunakannya sejak tahun 1927, berdasarkan analogie (qiyas)

kepada pasal 244-247 Reglement Rechtsvordering (Rsv), yaitu hukum acara

perdata yang berlaku bagi golongan eropa di Indonesia tempo dulu.

Syarat-syarat dibolehkannya gugatan reconventie adalah sebagai

berikut.

1. Mengajukan gugatan reconventie selambatnya bersama dengan

jawaban pertama dari tergugat conventie. Gugatan reconventie

sama dengan gugatan conventie, boleh lisan bagi buta huruf.

2. Di muka pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan reconventie

maka di tingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan gugatan

reconventie.

3. Gugatan reconventie harus juga jenis perkara yang menjadi

kekuasaan dari pengadilan dalam conventie.

Patut diingatkan bahwa gugat balik hanya berlaku dalam perkara yang

terdiri dari dua pihak yang berlawanan, jadi dalam perkara permohonan

(voluntaria) penuh, tidak berlaku reconventie.

Page 25: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 25

ENAM

Pendaftaran Perkara dan

Persiapan Sidang

A. Pendaftaran Perkara di Pengadilan

Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan

syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri

dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, bawa

saja semua syarat-syarat kelengkapan itu ke pengadilan agama,

daftarkanlah di kepaniteraan.

Sewaktu kepaniteraan pengadilan agama menerima berkas, surat

gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut

dua hal: (1) Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar

tidak tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang

petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita sebagainya,

(2) Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik

kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.

Berikut satu contoh dalam perkara pelanggaran ta’liq-talaq yang

petitanya tidak benar:

Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk:

a) Mengabulkan sepenuhnya gugatan penggugat

b) Menceraikan penggugat dari tergugat dengan talaq I bi al ‘iwad Rp

1.000,- (seribu rupiah) karena tergugat melanggar ta’liq talaq

c) Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar ongkos perkara.

Petita yang benar seharusnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menerima gugatan penggugat

2. Mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat

3. Menyatakan sah menurut hukum bahwa ta’liq talaq telah terwujud (telah

melanggar oleh tergugat)

4. Memutuskan cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq I bi al

‘iwad Rp 1.000,- (seribu rupiah) karena pelanggaran ta’liq talaq.

5. Biaya perkara menurut hokum

Petita harus diatur urutannya sedemikian rupa karena pengadilan belum

akan mengabulkan atau menolak gugatan penggugat sebelum dinyatakan

dulu bahwa perkaranya secara formal diterima oleh pengadilan.

Selanjutnya, bila syarat kelengkapan umum gugatan atau permohonan

sudah dipenuhi, penelitian sudah dilakukan dan sudah benar maka

pengadilan dilarang untuk tidak menerima didaftarkannya perkara tersebut,

Page 26: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 26

sebagaimana telah di tunjuk dalam pasal 14 UU Nomorn14 Tahun 1970, yang

berbunyi:

1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu

perkara yang diajukan dengan dialih bahwa hukum tidak kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha

penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Adapaun syarat kelengkapan khusus, karena ia sudah merupakan syarat

kelengkapan material, dapat saja disusulkan kemudian, ketika mulai

pemeriksaan perkara.

B. Penunjukan Majelis Hakim dan Penetapan Hari Sidang

1. Penunjukan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan

Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Penanitera wajib

secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan

Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”, yang kira-kira berbunyi

“sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar itu ketua pengadilan

Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili

masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut “penunjukan majelis

hakim” (model PMH).

Penetapan PMH memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan

isinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara yang

dimaksudkan, siapa hakim ketua dan anggota, mungkin pula sekaligus

menunjuk panitera sidangnya.

Panitera sidang, jika dalam PMH belum ditunjuk, dapat ditunjuk oleh

ketua majelis. Ganti atau tukar Panitera Sidang karena suatu hal, itu boleh

saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, jadi boleh isidental, sebab

panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang. Walaupun

prinsipnya tidak perlu dengan Surat Penetapan, menurut majelis sebaiknya

ada semacam surat tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi panitera

sidang tersebut.

Untuk tidak membingungkan, terutama bagi mereka yang baru

berkenalan dengan pejabat pengadilan, rasanya baik juga dijelaskan

sekaligus sebagai berikut.

a. Ketua pengadilan adalah jabatan structural sebagai Pemimpin

Pengadilan. Yang mewakilinya di bidang itu disebut Wakil Ketua

Pengadilan. Biasa disingkat “Ketua” dan “Wakil Ketua” saja.

Page 27: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 27

Ketua dan Wakil ketua Pengadilan selalu (mesti) hakim dan hakim itu

adalah jabatan fungsionalnya.

Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan belum tentu selalu ikut sidang atau

selalu dalam sidang bertindak sebagai Ketua Majelis sidang.

b. Ketua Majelis sidang adalah hakim yang memimpin sidang, mungkin ia

ketua atau wakil ketua pengadilan, tetapi bisa dan mungkin hakim biasa.

c. Panitera pengadilan selalu tunggal, biasa disebut dengan singkat

“Panitera” saja, ia adalah Panitera kepala di pengadilan tersebut.

Panitera adalah jabatan fungsionalnya dan panitera kepala adalah

jabatan strukturalnya.

d. Menurut UU No. 7 tahun 1989, Panitera merangkap sekretaris pengadilan.

Sebagai panitera, ia dibantu oleh wakil panitera, panitera muda, dan

panitera pengganti. Dalam sidang, mereka disebut panitera sidang dan

bertanggung jawab kepada ketua majelis tetapi di luar sidang

bertanggung jawab menurut hierarkis struktur.

e. Wakil ketua pengadilan, hakim dan panitera pengadilan bertanggung

jawab langsung kepada ketua pengadilan, tetapi di dalam sidang

mereka bertanggung jawab kepada ketua majelis dan ketua majelis

bertanggung jawab kepada ketua pengadilan.

Ketua majelis, setelah ia menerima PMH dari ketua pengadilan

agama, kepadanya diserahkan berkas-berkas perkara yang

bersangkutan dan selanjutnya ia harus membuat penetapan hari sidang

(model PHS), kapan sidang pertama akan dilangsungkan.

2. Penetapan Hari Sidang oleh Ketua Majelis

Ketua Majelis membuat surat penetapan Hari Sidang (model PHS)

untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks

penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalau panitera

sidang belum ditunjuk dalam penetapan sidang belum ditunjuk dalam

penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk pula

panitera sidangnya.

Berdasarkan PHS, juru Sita akan melakukan pemanggilan kepada

pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan

hari, tanggal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam PHS. Penetapan hari

sidang selain “sidang pertama” dapat ditentukan dan dicatat saja

dalam Berita Acara Sidang (tidak perlu dengan PHS lagi).

Page 28: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 28

Penetapan hari Sidang untuk sidang pertama sangat menentukan

sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri. Kita ketahui bila tergugat

sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa

sahnya tidak menghadap , maka ia akan diputus verstek. Jika

penggugat sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak

datang menghadap pada sidang pertama maka perkaranya akan

diputus dengan digugurkan. Nah, landasan yuridis bolehnya “verstek”

dan “digugurkan” dalam hal ini adalah PHS dari ketua majelis tadi.

C. Pemanggilan Pihak-pihak

Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama sekarang

ini, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto PP No. 9 tahun 1975 tetapi hanya

mengenai perkara permohonan cerai talak dan perkara gugatan cerai.

Selain dari kedua jenis perkara tersebut tidak diatur, sehingga masih dikaji

tersendiri.

1. Menurut UU No. 7 tahun 1989 dan PP No. 9 tahun 1975

a. Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (isteri) dalam

perkara termohonan cerai talak, perkara permohonan suami untuk

beristeri lebih dari seorang, dan panggila kepada pengugat (isteri) dan

tergugat (suami) dalam perkara gugat cerai, selambat-lambatnya hari

ke-27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab

siding pertama untuk perkara-perkara itu selambat-lambatnya 30 hari

sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3

hari sebelum sidang, sudah diterima oleh pihak yang dipanggil;

b. Penggugat atau tergugat dalam perkara gugatan cerai akan dipanggil

untuk menghadiri sidang. Panggilan disampikan kepada pribadi yang

bersangkutan dan apabila tidak dijumpai, panggilan disampaikan melalui

lurah/ kepala Desa. Panggilan tersebut dilakukan dengan patut dan

sudah diterma oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya selambat-

lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat

dilampiri dengan salinan gugatan;

c. Apabila tergugat dalam perkara gugat cerai, tidak jelas atau tidak

diketahui tempat kediamannya atau tidak mempunyai tempat kediaman

yang tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkannya pada Papan

Pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan

mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media

lain.

Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan

dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama

Page 29: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 29

dan panggilan kedua, dan antara pangilan kedua dan dengan sidang

ditetapkanya sekurang-kurangnya tiga bulan.

Jika setelah itu tergugat atau kuasa sahnya tidak juga hadir, Pengadilan

Agama dapat memutus dengan verstek;

d. Panggilan kepada tergugat dalam perkara gugatan cerai yang

tergugatnya berada di Luar Negeri, dilakukan melalui Perwakilan Republik

Indonesia setempat. Tetapi secepat-cepatnya sidang pertama adalah

enam bulan sejak perkara terdaftar.

2. Menurut HIR/RBg (Peradilan Umum)

Bilamana diperhatikan dengan teliti pasal-pasal di dalam Het Herziene

InlandscheReglement (HIR) dan pasal-pasal di dalam RBG (Rechts Reglement

Buitengewesten), tentang pemanggilan pihak-pihak yang belum dicukupi

oleh PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 7 tahun 1989 seperti telah diuraikan

terdahulu, adalah tentang:

a. Perkara digugurkan karena penggugat tidak hadir;

b. Tergugat tidak hadir tetapo mempergunakan perlawanan (eksepsi), baik

eksepsi relative maupun eksepsi absolut;

c. Bolehnya memanggil yang kedua kalinya sebelum diputus dengan

verstek atau digugurkan;

d. Kewajiban mengundurkan sidang bila pada panggilan pertama

sebagian tergugat hadir dan sebagian lagi tidak hadir;

e. Panggilan kepada pihak yang tidak dikenal tempat tinggalnya (selain

perkara gugatan cerai);

f. Panggilan kepada pihak yang meninggal dunia.

D. Tata Ruang dan Persiapan Sidang

Sebagaimana diketahui bahwa sidang pengadilan berlainan dengan

sidang-sidang biasa, ia mempunyai aturan-aturan tertentu sebagai diuraikan

dibawah ini.

Meja Sidang segi empat panjang, bertutup kain planel berwarna hijau

lumut, panjang meja diperkirakan minimal untuk kursi hakim ditambah

dengan prinsip administrasi perkantoran modern. Meja sidang ini menurut

surat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1986, tentang pembakuan

perlengkapan kerja dilingkungan departemen Agama, berukuran 150 cm

lebar, 300 cm Panjang. Menurut Direktorat pembinaan badan peradilan

agama islam, dalam buku pedoman kerja pengadilan agama islam

disebutkan lebar 100 cm, dan panjang 175 cm.

Page 30: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 30

Di sebelah kanan meja sidang dipasang bendera merah putih dan di

sebelah kirinya dipasang lambing pengadilan Agama. Tertempel pada

dinding belakang meja adalah lambing Negara garuda. Dalam ruang

sidang tidaklah perlu dipasang gambar presiden karena pada saat

persigangan hakin hanya tunduk pada Negara saja.

Susunan kursi hakim di muka sidang pengadilan agama nampaknya

belum kontan, masih memakai dua macam cara:

1. Ketua ditengah-tengah, kiri kanannya anggota, paling kiri sendiri adalah

panitera sidang;

2. Panitera sidang paling kiri, selanjutnya ke kanan adalah ketua, anggota

yang lebih tua atau lebih muda di sini maksudnya adalah senioritas

dalam jabatan hakim, bukan berdasarkan usia.

Menurut surat edaran mahkamah agung nomor 22 tahun 1969,

susunan majlis sidang perkara perdatamaupun pidana di muka pengadilan

umum adalah: panitera sidang paling kiuri, terus berurutan kekanan adalah

ketua, anggota yang lebih tua dan anggota yang lebih muda, yaitu seperti

versi kedua yang di pakai oleh lingkungan peradilan agama kini.

Untuk perkara pidana, surat edaran ini tidak berlaku lagi karena sidang

perkara pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, LN

1981-76, Tentang hukum acara pidana, sudah diatur tersendiri, yaitu: ketua

ditengah-tengah, di kiri kanannya adalah anggota, sedangkan panitera

adalah antara ketua dan anggota (di sebelah kiri ketua) agak mundur

sederet ke belakang, memakai meja sendiri.

Berdasarkan aturan ini, peradilan umum perdata juga sudah banyak

yang menerapkan susunan majelis hakim menurut acara pidana tersebut. Di

lingkungan peradilan agama juga, jika ruang sidangnya sudah

memungkinkan, dapat menerapkan yang sama.

Di dalam ruang sidang ada kursi/bangku secukupnya untuk pihak-

pihak, saksi-saksi, pemegang kuasa, pengunjung dan sebagainya. Deretan

kursi paling depan adalah untuk pihak yang jaraknya dari meja sidang

diperkirakan secukupnya. Pihak penggugat ditempatkan di sebelah kiri

tergugat sedangkan tergugat di sebelah kanannya. (ini kode eti yang baik).

Page 31: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 31

TUJUH

Pemeriksaan di Muka sidang

A. Sidang Pertama dan Pengertiannya

Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan

menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut.

1. jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil

dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang

pertama, ia akan diputus verstek.

2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau

kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan

diputus dengan digugurkan perkaranya.

3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama.

Kalau diajukan sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi.

4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama.

Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya,

supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi.

Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera

dalam penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau

dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat

panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat.

B. Jalannya Sidang Pertama

1. Tugas Panitera Sesaat Sebelum Sidang

Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah

ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang.

Setelah siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang

siap menunggu diruang sidang pada tempat duduk yang disediakan

baginya dan telah siap memakai baju panitera sidang.

Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang

khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu

majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera mempersilahkan hadirin

berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk

duduk. Tugas ini bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam

segala persidangan.

Page 32: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 32

2. Ketua Majelis Membuka Sidang

Ketua majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk

umum dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus untuk peradilan agama

sebagai peradilan islam, sebaliknya dibuka dengan membaca basmalah,

misal “sidang pengadilan agama ... dalam perkara ... antara penggugat ...

berlawanan dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama membaca

basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.”

UU Nomor 14 tahun 1970 pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang

pemeriksaan perkara dipengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan

lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan itu menyebabkan

putusan batal demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua

lingkungan peradilan di indonesia.

Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan

sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk

penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan

dalam sidang tertutup.

Menurut UU No 14tahun 1985, LN 1985-73 tentangmahkamah agung, tidak

dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan

sebagai salah satu alasan memohon kasasi.

Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh

mengikuti/mendengarkanjalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal

tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-

pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalannya

sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak

sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya.

Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada

alasan khusus yang diajukan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut

majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan

khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang

permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam

sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut,

pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup

untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut,

pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang

dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranyatersebut sangat

berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan

dan kehormatan pihak atau pihak-pihak.

Page 33: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 33

Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan

penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang saja,

tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ tidak

mempengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis)

Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada

yang berkepentingan langsung atau nyang diizinkan oleh majelis hakim,

harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh

petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan

speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan.

Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis,

ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas

izin ini, panitera sidang atau petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-

pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang disediakan untuknya.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik,

penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya, ketua majelis

akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak.

3. Ketua Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak

Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana

tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan

menanyakan identitas pihak-pihak, dimualai dari penggugat, seterusnya

tergugat, yang meliputi nama, bin/binti, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur

agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir.

Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal, artinya

sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat gugatan

sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu

(mutlak).

Perlu dikemukakan dua hal disini:

a. menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang

bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua

majelis, sebab ketua majelislah yang bertanggung jawab akan

arahanya pemeriksaan/sidang.

b. hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama,

hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga

mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan

yang sebenarnya.

Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para

pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda

dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara.

Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada

Page 34: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 34

kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya

hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak

yang berperkara.

4. Anjuran Damai

Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang

pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional,

sebab bagaimana hakim tahudan bisa menganjurkan damai jika hakim

sendiribelum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat

membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat mengubah

gugatannya.

Anjuran damai sebenarnyadapat dilakukan kapan saja sepanjang

perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang

pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam

berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian,

walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah juga

terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama.

Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka

pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara

yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali

tentang hal-hal baru diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding

sebab akta perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi

perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang

akan dilanjutkan.

5. Pembacaan Surat Gugatan

Pembacaan surat gugatan ini, sebagaimana sudah dikemukakan,

sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat

gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau

penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di

tingkat banding dan di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala

berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi

dimuka sidang.

Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak

tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat,

apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab

tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu.

Bila keadaannya sepertiterakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup,

akan dilanjutkan di kali yang lain.

Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi

sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkandengan mendengarkan jawaban

tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini

Page 35: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 35

disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jawaban penggugat atas jawaban

itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya, replik-duplik, replik-

duplik.

Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak

keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang pertama itu

berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai

pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung

sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru

boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi

(walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan

Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot.

Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada

tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih

ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah

ngawur alias tidak relevan. I tu berarti segala pemeriksaan dalam semua

tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat,

tidak putar balik, apalagi terbalik.

C. Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang, Terutama

dalam Sidang Pertama

Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi

pada sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak, di

antaranya akan diterangkan di bawah ini satu persatu.

1. Pihak-pihak Tidak Hadir di Muka Sidang

Dalam perkara perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah di

antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan

teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. I tulah sebabnya pihak-pihak pada

prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di

dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali (dalam sidang

pertama), sebelum ua memutus verstek atau digugurkan.

2. Penggugat Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan)

Konsekuensinya adalah perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat

yang tidak hadir ini disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib”

sedangkan putusan digugurkan disebut “al qada’u al masqut.

3. Tergugat Tidak Hadir (akan diputus verstek)

Jika tergugat tidak hadir dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui

maka majelis hakim memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam

kita fiqh islam memutus dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”.

Page 36: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 36

4. Tergugat Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir

HIR Pasal 127 mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain.

Terhadap penggugat dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung

kapan sidang selanjutnya, sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir

diperintahkan untuk dipanggil lagi dengan surat panggilan.

Pemeriksaan terhadap perkara yang tergugatnya tidak hadir di sini

berlangsung tanpa bantuan tergugat, disebut pemeriksaan “contradictoir” atau

“op tegenspraak”.

5. Penggugat/Tergugat Hanya Hadir di Sidang Pertama

Pada sidang pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang sidang

selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan

keputusan juga tidak hadir.

Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang pertama, sekalipin sidang-

sidang selanjutnya atau bahkan pada waktu pengucapan keputusan tidak

hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi berjalanlah seperti biasa,

hanya saja tanpa bantuan penggugat. Jika keadaan seperti itu terjadi pada

tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) maka perkaranya tidak

bisa lagi diputus verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa bantuan

tergugat atau termohon.

6. Suatu Permasalahan

Sebagaimana sudah sering dikemukakan bahwa di lingkungan Peradilan

Agama ada perkara permohonan yang melahirkan adanya pemohon dan

termohon tetapi perkara terebut dianggap perkara peradilan yang

sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk peradilan agama terhadap

perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala penerapan.

Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi, reconventie,

maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan termohon harus

dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama mungkin penetapan.

I tu sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh turut ke dalam proses,di mana

ia berhak banding dan atau seterusnya kasasi.

7. Exceptie (Eksepsi)

Eksepsi adalah tangkisan dari tergugat. Jenis eksepsi terkait dengan materi

perkara disebut sebagai “verweer ten principale” (dalam bahasa belanda) atau

bantahan pokok perkara yakni terdiri atas dua macam :

a. Dilatoir eksepsi yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat

dikabulkan, seperti dalam perkara gugatan cerai karena pelanggaran ta’liq

talaq yang diajukan oleh pihak istri (penggugat) padahal suami (tergugat)

Page 37: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 37

belum cukup 3 bulan tidak memberikan nafkah,sedangkan dalam lafadz

ta’liq talaq akan jatuh talaq jika pihak suami tidak memberikan nafkah

selama 3 bulan.

b. Peremtoir eksepsi bantahan yang menghalangi dikabulkannya gugatan.

Kalau dalam contoh a. di atas, si isteri (penggugat) Nusyuz (tidak taat

kepada suami) menjadi penghalang hak nafkah isteri.

8. Proses dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring)

a. Intervensi

Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut

dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu.

Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya

disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan

intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila

permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa

bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.

b. Vrijwaring

Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab

(untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat).

Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan

perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat

oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung

cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak

ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut

bertanggung jawab atas cacat itu.

9. Gugatan Kembali (Reconventie)

Tentang hal ini lihatlah kembali Bab V E. terdahulu. Reconventie adalah

salah-satu di antara hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama

tergugat.

10. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh

saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari

beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan

hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan

Jika pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan

tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih

boleh diajukan ke pengadilan di kali yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur

perkara baru.

Page 38: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 38

Dengan dicabutnya permohonan banding dan atau kasasi maka perkara

banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding

atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir.

11. Perubahan Gugatan

Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur

dalam HIR atau RBg. Oleh karena itu, menurut Prof. Subekti, S.H. (mantan ketua

Mahkamah Agung), cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk

penambahan dan pengurangan gugatan diperkenankan, asal perubahan

tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak.

Arti kata lain dari Perubahan gugatan ialah :

a. Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan

mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain daripada yang

semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan syarat dengan

persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga ditambah

dengan persetujuan tergugat.

b. Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada

yang semula, yang merupakan hal/tuntutan baru sama sekali, tidak

diperkenankan.

c. Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah

melihat kasus demi kasus.

12. Pihak Meninggal dunia

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968 tertanggal

11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang diajukan

oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat keterangan

keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang mewilayahi pihak yang meniggal

dunia tersebut.

Menurut Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA tersebut tidak berlaku bagi

pihak yang beragama islam. Tidak sah surat keterangan keahli-warisan yang

dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan sebagai berikut.

a. Menetapkan sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama

islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah

berlakunya UU No. 7 tahun 1989.

b. Lurah/kepala desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya tidak

tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris menurut islam.

Dan menurutnya, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu beragama

islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya

yang sah melalui penetapan pengadilan agama.

Page 39: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 39

D. Majelis Hakim

1. Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang

2. Pergantian Hakim Majelis

3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar

4. Sidang Keliling dan Berkamar

5. Susunan Tempat Duduk Hakim

6. Toga Hakim dan Baju Panitera

E. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara

Pada sidang pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan

sangat berpengaruh terhadap proses perkara, seperti eksepsi, reconventie,

intervensi dan sebagainya, bahkan mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir

tanpa alasan.

1. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik)

Hal yang perlu diingat disini:

a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir;

b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan

yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak;

c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui

dan izin dari ketua majelis;

d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy

arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis.

Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti jawaban atau

pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses

perkara akan cepat, singkat dan tepat.

2. Tahap pembuktian

Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah:

a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak

lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan,

hakim juga harus member kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau

ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh pihak lawan tersebut kepada saksi;

b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan kepada

ketua majelis lalu ketua majlis memperlihatkannya kepada para hakim dan

pihak lawan dari yang mengajukan bukti;

c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas

pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta tolong oleh pihak,

seperti memanggil saksi.

Page 40: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 40

3. Tahap penyusunan konklusi

Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim,

pihak-pihak boleh mengajukan konklusi ( kesimpulan-kesimpulan dari sidang-

sidang menurut pihak yang bersangkutan ). Karena konklusi ini sifatnya

membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi perkara-

perkara yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya.

Kita ingat bahwa hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya

terbatas, di samping mungkin ada diantara sidang-sidang yang hakim

anggotanya berganti dan itulah perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa

berperkara, biasanya selalu membuat catatan-catatan penting setiap suatu

sidang berakhir, dan itulah nanti yang akan diajukannya sebagai konklusi

terakhir.

4. Musyawarah majelis hakim

Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara

rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh

meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam

musyawarah majelis hakim adalah atas izin majelis.

Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya,

kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh

dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk

umum.

5. Pengucapan keputusan

Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai

terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang.

Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan

kepada pihak, baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka

menerima keputusan ataukah tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan

menerima keputusan maka baginya tertutup upaya hukum banding, bagi

pihak yang tidak menerima dan pikir-pikir dahulu baginya masih terbuka.

Page 41: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 41

DELAPAN

PEMBUKTIAN

Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting

dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan

keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum Pembuktian termasuk

dari bagian Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan

Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan umum.

A. Pengertian, Asas dan Sistem Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau

dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang berdasarkan alat-alat bukti

yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

2. Tujuan Pembuktian

Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu

peristiwa/fakta/dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar terjadi guna

mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

3. Asas Pembuktian

Berdasarkan pasal 1865 BW, Pasala 163 HIR dan Pasal 283 RBg, barang

siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya

hak atau peristiwa tersebut. Dengan demikian beban pembuktian

dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu:

a. Pihak yang mengaku mempunyai hak;

b. Pihak yang mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk

menguatkan haknya atau membantah hak orang lain, maka ia harus

membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

4. Penilaian Pembuktian

Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa

ialah hakim yang memeriksa duduk perkaranya yaitu hakim tingkat pertama

dan hakim banding.

Page 42: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 42

B. Macam-macam Alat Bukti dan kekuatannya

Dalam pembuktian dikenal bermacam-macam alat bukti, yaitu:

1. Alat bukti tertulis atau surat;

2. Alat bukti saksi;

3. Alat bukti persangkaan;

4. Alat bukti pengakuan;

5. Alat bukti sumpah Kekuatan Alat bukti:

1. Bukti mengikat, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup

bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa

membutuhkan alat bukti yang lain. Hakim terikat dengan bukti tersebut,

sehingga tidak dapat memutus lain daripada yang telah terbukti dengan

satu alat bukti tersebut. Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti

lain. (Contoh: sumpah decisoir, pengakuan.)

2. Bukti sempurna, artinya meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup

bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak

memerlukan adanya alat bukti lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut

kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga dapat dibuktikan dengan

bukti lawan.

3. Bukti bebas, artinya hakim bebas menilai dengan pertimangan yang logis,

tidak terikat dan terserah keyakinan hakim untuk menilai, dapat

mengesampingkan dan dapat dilumpuhkan, misalnya:saksi yang

disumpah,saksi ahli dan pengakuan di luar sidang.

4. Bukti permulaan, artinya meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya

kebenarannya, tetapi belum memenuhi syarat formil sebagai alat bukti yang

cukup. Bukti ini harus ditambah alat bukti lain agar menjadi sempurna.

Terhadap alat bukti ini, hakim bebas dan tidak terikat, misalnya akta di

bawah tangan yang tanda tanan dan isinya diingkari oleh yang

bersangkutan.

5. Bukti bukan bukti, artinya sesuatu yang nampaknya memberikan

keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa, tetapi ia tidak

memenuhi syarat formal sebagai alat bukti.

Page 43: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 43

SEMBILAN

Produk Pengadilan Agama

Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka ia harus

mengadilinya atau membeikan putusan dan mengeluarkan produknya.

Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada prinsipnya

dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya

sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang

mengaturnya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama

menjelaskan bahwa pengadilan agama hanya mengenal dua macam

produk hukum, yaitu: (1) Putusan dan (2) Penetapan. Sebelumnya ada

produk ke (3) yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang

kini tidak ada lagi.

A. Putusan

1. Pengertian Putusan

Putusan disebut vonnis (Belanda) atau Al Qadha’ (Arab). yaitu produk

Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam

perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini

dapat diistilahkan dengan “produk pengadilan yang sesungguhnya” atau

jurisdictio cententiosa.

Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah peradilan

perdata) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah

untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk

melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu

memiliki salah satu di antara dua sifat: (1) Condemnatoir, artinya

menghukum, (2) Constitutoir, artinya menciptakan.

Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak diturut dengan sukarela, dapat

diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa disebut eksekusi.

2. Bentuk dan Isi Putusan

Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi

putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut;

a. Bagian kepala putusan

b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara

c. Identitas pihak-pihak

d. Duduk perkaranya (bagian posita)

e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum

f. Dasar hukum

Page 44: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 44

g. Diktum atau amar putusan

h. Bagian kaki putusan

i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.

a. Bagian kepala putusan

Bagian ini memuat kata “PUTUSAN” atau kalau salinan, adalah “SALINAN

PUTUSAN”. Baris di bawah dari kata itu adalahNomor Putusan, yaitu menurut

nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran

perkara. Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua berbunyi

“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” untuk memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2) UU

Nomor 7 Tahun1989.

b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara

Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan pada baris

selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus sekaligus disertai

menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Karanganyar,

yanag telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara

gugat cerai.”

c. Identitas pihak-pihak

Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, kemudian

identitas tergugat. Penyebutan keduanya dipisahkan dengan tulisan pada

alenia tersendiri yang berbunyi “berlawanan dengan “.

Identitas pihak ini meliputi; nama, bin/binti siapa, alias atau julukan, umur,

agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, sebagi penggugat atau

tergugat.

d. Duduk perkaranya (bagian posita)

Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat,

keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya, namun

dikutip secara singkat, jelas dan tepat serta kronologis.

e. Tentang pertimbangan hukum dan dasar hukum

Di dalamnya dicantumkan alasan memutus (pertimbangan) yang

biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Di dalam bagian ini

diutarakan “duduk perkaranya” tedahulu, yaitu keteranganpihak-pihak

berikut dalil-dalilnya, alat bukti dll.

Page 45: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 45

Dasar memutus biasanya dimulai dengan kata “mengingat”. Di dalam

bagian ini disebutkan dasar hukum putusan baik yang bersumber dari

perundang-undangan negara maupun dasar hukum syara’.

f. Diktum atau amar putusan

Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti

petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal

yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima.

g. Bagian kaki putusan

Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata

“demikianlah putusan pengadilan agama ….”.

h. Tanda tangan hakim dan panitera dan perincian biaya

Pada asli Putusan, semua hakim dan panitera harus bertanda tangan

tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda)

atau “dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir.

Salinan Putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirm ke

tingkat banding (jika terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikrim ke

Mahkamah Agung (jika terjadi kasasi atau peninjuan kembali). Asli Putusan

tetap disimpan pada Pengadilan Agama dan disatukan dalam berkas

perkara yang sudah diminitur.

Adapun yang dimaksud dengan perincian biaya disini adalah perincian

biaya yang tercantum dibagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang

tercantum dalam diktum. Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total

sedangkan yang disebut terdahulu itu adalah rinciannya.

Menurut pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, rincian biaya tersebut

meliputi:

Biaya kepaniteraan dan materai

Biaya untuk para saksi , saksi ahli, penerjemah, dan pengambil

sumpah

Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang

diperlukan

Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah

Pengadilan.

3. Putusan Sela

Apa yang telah diuraikan di butir 2. Di muka, adalah tentang putusan

akbir atau eind-vonnis, tetapi sebelum sampai kepada putusan akhir

kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu,

Page 46: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 46

karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang

menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis.

Perlunya putusan sela ini misalnya:

a. Adanya eksepsi dari tergugat;

b. Pihak mengajukan hak ingkarnya;

c. Adanya permintaan dari pihak agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam

proses yang sedang berjalan (vrijwaring) atau ada pihak ketiga yang mau

campur ke dalam proses yang sedang berjalan (intervensi);

d. Adanya permohonan sita (beslag);

e. Adanya gugatan/permohonan provisional, seperti istri dalam gugatan

cerai minta ditetapkan nafkah anak atau berpisah rumah dari suaminya

selama perkara sedang berlangsung;

f. Dan lain-lain.

Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada siding pertama maka

hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan

atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan tetapi, jika

majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat, hal mana berarti pemeriksaan

terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela di situ

akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas

putusan tersebut.

Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya diperiksa oleh hakim atau

panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena hakim atau

panitera ada di antaranya yang terhalang oleh peraturan perundang-

undangan untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil

putusan sela.

Jika permohonan sita diajukan setelah siding berjalan maka hakim harus

mengambil keputusan sela apakah permohonan sita tersebut dikabulkan

atau ditolak.”

Jika perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak

meminta kepada hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses

maka hakim harus mengambil keputusan apakah permohonan itu

dikabulkan atau tidak. Begitu juga kalau ada pihak ketiga yang mengajukan

permohonan untuk turut ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring).

Jika seorang istri sedang menggugat suaminya untuk cerai misalnya

tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke Pengadilan Agama

agar diizinkan Suami_istri tidak tinggal serumah dengan pertimbangan

kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus

mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau

ditolak.

Page 47: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 47

Putusan sela wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

sebagaimana mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan

sela dibuatkan tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang.

Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali

bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara).

4. Kekuatan Putusan

Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat

(bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan (3) kekuatan

eksekusi (executoriale kracht).

Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan

bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hokum yang

tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila upaya

hokum seperti verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang

waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum

tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in

kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke

Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangat tertentu

sekali.

Putusan yang sudah in kracht, sekalipun ada dimohonkan peninjauan

kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang

dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.

Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan

cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai.

B. Penetapan

1. Pengertian Penetapan

Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu

produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya,

yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang

sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk

ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.

Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas

permohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan

tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat

menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).

Page 48: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 48

2. Bentuk dan Isi Penetapan

Bentuk dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi

putusan walaupun ada juga sedikit perbedaannya sebagai berikut:

a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya

memuat identitas pemohon. Kalaupun di situ dimuat identitas termohon,

tapi termohon disitu bukanlah pihak.

b. Tidak akan ditemui kata-kata”berlawanan dengan” seperti pada

putusan.

c. Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang duduk perkaranya” seperti pada

putusan,melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.

d. Amar penetapan paling-paling bersifat declaratoire atau constitutoire.

e. Kalau pada putusan didahului kata-kata “memutuskan” maka pada

penetapan dengan kata “menetapkan”.

f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon,sedangkan pada putusan

dibebankan kepada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung

bersama-sama oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam

perkara perkawinan tetap selalu kepada penggugat atau pemohon.

g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau

vrijwaring.

Ketika membuat penetapan, tentu saja prinsip-prinsip perbedaan ini

disesuaikan saja.

3. Kekuatan Penetapan

Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun

untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk

pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak

daripadanya.

Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pension

Pegawai Negeri Sipil dari suami-isteri yang tidak ada sengketa antara

keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib

pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta nikah.

4. Suatu Catatan

Apa yang terurai pada butir B. 1, 2, dan 3 diatas adalah penetapan

dalam bentuk murni voluntaria. Di lingkungan Peradilan Agama ada

beberapa jenis perkara di bidang perkawinan yang produk Pengadilan

Agama berupa Penetapan, ada pemohon dan termohon, tetapi ternyata

bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di

situ harus dianggap putusan, pemohon dan termohon harus dianggap

sebagai penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, teori umum penetapan

terurai di B. 1, 2, dan 3 tidak berlaku melainkan diberlakukan teori umum

yang tersebut di A. 1, 2, 3, dan 4 sebelumnya.

Page 49: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 49

C. Produk Khusus

Sebelum berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989, di samping produk Putusan

dan Penetapan, ada produk Pengadilan Agama yang disebut SKT3 (Surat

Keterangan Tentang Terjadinya Talak) sebagai realisasi dari bunyi Pasal 17 PP

Nomor 9 tahun 1975. Pasal ini telah dicabut/digantikan oleh Pasal 71 ayat (2)

UU Nomor 7 tahun 1989, sehingga SKT3 sudah bertukar dengan penetapan

yang tidak berlaku banding seperti disebutkan pada Pasal 71 ayat (2)

tersebut.

Page 50: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 50

SEPULUH

Penyitaan, Pengukuhan

dan Eksekusi

A. Sita (Beslag)

Permohonan sita dapat diajukan sebelum perkara diputus, bahkan dapat

juga diajukan setelah perkara diputus sepanjang belum in kracht, artinya

sekalipun perkara itu banding dan/atau kasasi, masih dapat diajukan.

Namun biasanya sudah diajukan bersama-sama dengan gugatan. Bila

permohonan sita dikabulkan dan ternyata nanti pemohon tersebut menang

dalam perkara maka sita tersebut akan dinyatakan sah dan berharga dalam

dictum keputusan dan pada waktu eksekusi, sita tersebut akan berubah

akan berubah menjadi sita eksekusi. Demikian juga sebaliknya, kalau

gugatan penggugat ditolak, dengan sendirinya harus dinyatakan di dalam

dictum keputusan untuk diangkat (dicabut).

Ada macam-macam sita yang dikenal di lingkungan Peradilan Umum:

1. Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslagh)

Sita yang dilakukan oleh Pengadilan terhadap benda bergerak milik

sendiri yang berada di tangan orang lain atau terhadap benda milik sendiri

yang telah dijual tetapi belum dibayar harganya oleh pembeli/ Permohonan

kepada Pengadilan untuk dilakukan Sita Revindicatoir tidak memerlukan

kepada adanya dugaan beralasan terlebih dahulu bahwa si tersita akan

menggelapkan atau akan melenyapkan barangb yang dimohonkan sita.

Barang yang disita boleh dititipkan kepada si tersita sendiri dengan

konsekuensi ia harus memeliharanya, tidak boleh

rusak/hilang/dipindahtangankan, tetapi boleh juga disimpan ditempat lain,

misalnya di Pengadilan sendiri, asal aman dan terpelihara dari kerusakan.

2. Sita Marital Atau Matrimonial

Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg. Melainkan hanya

dijumpai di dalam BW (Buergerlijke Wetboek) dan Rsv (Reglement op de

Burgerlijke Rechtsvordering) yang sekarang ini sering dipakai di lingkungan

Peradilan Umum. Sita Marital yaitu istri (yang tunduk kepada hukum perdata

BW) boleh mengajukan permohonan ke Pengadilan agar selama dalam

masa sengketa perceraian yang sekaligus harta bersama di muka

Pengadilan, agar si suami tidak memindahkan atau mentransfer harta

kekayaan milik besama tersebut. Sita Marital ini dimohonkan oleh istri, karena

menurut BW si istri tidak mungkin menjualkan sebab ia tidak mampu

bertindak hukum kecuali atas bantuan suaminya, sehingga yang mungkin

menjual/mentransfer hanyalah suami.

Page 51: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 51

3. Sita Jaminan (Conservatoir Beslagh)

Sita Jaminan atau Conservatoir Beslagh adalah sita yang dilakukan oleh

Pengadilan atas permohonan dari pihak penggugat atas milik orang lain

(yakni milik tergugat) agar hak penggugat terjamin akan dipenuhi oleh

tergugat setelah penggugat diputus menang dalam perkaranya nanti.

Permohonan sita jaminan harus adanya dugaan beralasan bahwa pihak

tergugat akan menggelapkan atau melepaskan barangnya sehingga

nantinya tidak mampu membayar menurut yang diputuskan oleh

Pengadilan, sehingga putusan itu hanya sia-sia. Oleh karena itu, sebelum

permohonan conservatoir beslagh dikabulkan, harus dipertimbangkan dulu

oleh hakim apakah dapat dikabulkan atau tidak, Putusan hakim disitu akan

berupa putusan sela. Jika permohonan sita dikabulkan maka perintah

penyitaan tidak boleh oleh Hakim Ketua Majelis tetapi mesti oleh Ketua

Pengadilan.

B. Juru Sita (Deurwaarder)

Menurut Pasal 103, juru sita berwenang melakukan tugasnya hanya di

dalam daerah hukum Pengadilan Agama tempatnya diangkat, dengan

tugas-tugas:

(1) Juru Sita bertugas :

a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;

b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan

pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara

cara berdasarkan ketentuan undang-undang,

c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;

d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan

yang bersangkutan.

C. Pengukuhan Putusan Peradilan Agama

Salah satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan

mewujudkan keadilan dengan melalui putusan Hakim. Putusan Hakim

tersebut bersifat mengikat orang yang berperkara di hadapan Persidangan.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, maka setiap Putusan yang diketuk palu oleh Hakim

Peradilan Agama belum bisa dieksekusi dimata hukum. Putusan itu mestilah

mendapat pengakuan (fiat eksekusi) dari Peradilan Umum yang sudah

memiliki Hukum Formil sejak lama.

Page 52: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 52

Fiat Eksekusi adalah pemberian kuasa untuk pelaksanaan putusan

executorial (bersifat dapat dilaksanakan). Sistem Fiat Eksekusi merupakan

wujud kedudukan Peradilan Agama yang Inferieur dihadapan Peradilan

Umum. Dan perlu diketahui di awal bahwa Pengukuhan Eksekusi Peradilan

Agama oleh Peradilan Umum sudah dikubur dalam-dalam oleh Undang-

Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

I stilah pengukuhan baru muncul bersamaan dengan Undang-Undang No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan, psal 63 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah

No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Menurut

pasal itu, pengukuhan oleh Peradilan Umum terhadap putusan Peradilan

Agama, stelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pengukuhan tersebut hanya bersifat administrstif prosedural, Peradilan

Umum tidak berkewenangan melakukan pemeriksaan ulang terhadap

Putusan Peradilan Agama. Walaupun Undang-Undang No.14 tahun 1970

telah memberi dasar-dasar perkembang Peradilan Agama, tetapi tidak ada

perubahan yurisdiksi atau kompetensi Peradilan Agama.

Semenjak zaman pendudukan kolonial Belanda (tahun 1882), terus

samapi kepada zaman awal Indonesia merdeka (tahun 1951 samapi 1957),

berikutnya zaman Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

(sebelum Undang-Undang No. 7 tahun 1989), bila Peradilan Agama akan

mengeksekusi sebuah Putusan Hakim, maka Peradilan Agama harus minta

tolong kepada Peradilan Umum dikenal dengan istilah “executoir-

verklaaring”. Kenyataan ini adalah akibat dari keberadaan Peradilan Agama

yang belum memiliki Hukum Formil.

Kemestian executoir verklaring itu terbukti dibunyikan dalam undang-

undang berikut :

a. Pasal 2 a ayat (3), (4), (5) dari Ordonantie Stbl. 1882-152 jis. Stbl. 1937-116

dan 610.

b. Pasal 3 ayat (3), (4), (5) dari Ordonantie Stbl. 1937-638 dan 639.

c. Pasal 4 ayat (3), (4), (5), dari PP No. 45 tahun 1957,LN 1957-99.

d. Pasal 5 ayat (3) sub c, dari Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, LN

1951-9.

Sejak tahun 1882 sampai saat berlakunya Undang-Undang No.7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama (satu abad lewat tujuh tahun), Peradilan

Agama tidak dapat mengeksekusi Putusannya sendiri. Kenyataan itu

dipersedih lagi dengan adanya kewajiban bahwa semua perkara

perkawinan yang tercantum dalam UU No 1 yahun 1974 dikukuhkan oleh

Peradilan Umum.

Page 53: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 53

D. Eksekusi

Fiat eksekusi pengadilan negeri terhadap putusan peradilan agama yang

dahulunya ditunjuk dalam UU Darurat No. 1 tahun 1951 dan UU ini telah

dicabut oleh UU No. 8 tahun 1981, LN 1981-76 tentang hukum acara pidana.

Peraturan perundang-undangan lainnya tentang fiat eksekusi (tertera pada

C, a, b, d, di muka) telah dicabut oleh UU No.7 tahun 1989, Pasal 107 ayat (1).

Selain itu, menurut Pasal 95, 98 dan 103 UU No. 7 tahun 1989, peradilan

agama sudah dapat melaksanakan secara paksa (eksekusi) atas putusan

dan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan segala macam

bentuk sita (beslag) yang diperlukan. Timbulah sekarang bagaimana

melakukan eksekusi putusan atau penetapan peradilan agama itu. Untuk itu,

acuannya ialah aturan eksekusi yang dipergunakan di lingkungan peradilan

umum.

Dictum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat

condemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar

sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya.

Jadi eksekusi atas putusan yang diktumnya bersifat declaratoir dan atau

constitutoir boleh dikatakan tidak mungkin. Declaratoir artinya menyatakan

seperti sah dan berharga sita jaminan, sah ta’liq talaq yang telah diucapkan

oleh suami dam sebagainya constitutoir artinya menciptakan atau

menghapuskan seperti mengesahkan seorang anak, menyeraikan A dari B

dan sebagainya. Oleh karena itu, dictum putusan, termasuk penetapan

(yang mirip putusan, artinya juga merupakan hasil dari jurisdiction

contentiosa) harus benar dan terarah, supaya dapat di eksekusi.

Jika ingin disimpulkan, eksekusi putusan dan penetapan peradilan agama

itu akan lancer tergantung dari kesalingterkaitannya antara;

(1) Kepandaian penggugat/pemohon dalam menyusun petita dalam

gugatan/permohonan.

(2) Penelitian surat gugatan/permohonan sebelum terdaftar di

kepaniteraan pengadilan agama.’

(3) Ketelitian pemeriksaan hakim di muka sidang.

(4) Benar dan jelas serta rinciannya dictum putusan/penetapan.

(5) Pelaksanaan di lapangan.

(6) Biaya eksekusi.

Page 54: Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)

Natasha Rastie Aulia – Tugas makalah Hk. Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.) Page 54

SEBELAS

Verzet, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali

A. Verzet

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan

oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang diajukan oleh

tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke

Pengadilan Agama yang memutus itu juga.

B. Banding

Banding yang disebut juga appel ialah permohonan pemeriksaan kembali

terhadap putusan atau penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan

Agama) karena merasa tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut, ke

pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) yang mewilayahi

pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan, melalui pengadilan tingkat

pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu tertentu dan dengan

syarat-syarat tertentu.

C. Kasasi

Kasasi artinya memohon pembatalan terhafap putusan/penetapan

pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) atau terhadap putusan

pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi agama) ke Mahkamah Agung

di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) yang

dahulunya memutus karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu

dengan syarat-syarat tertentu.

D. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali yang dimaksudkan adalah terhadap

putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) yang

telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atau terhadap putusan

pengadilan tingkat banding (pengadilan tinggi agama) yang telah

memperoleh kekuatan hukum yan tetap, atau terhadap putusan mahkamah

agung, karenanya sering disebut dipanjangkan menjadi “peninjauan kembali

terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”