5
POLICY BRIEF IMPLEMENTASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) : PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI Pusat Inovasi Pelayanan Publik Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Ringkasan Adanya perubahan skema jaminan kesehatan menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang ada saat ini, masih terganjal dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan SJSN ternyata tidak semudah apa yang selama ini disosialisasikan melalui media massa. Masih terdapat kesimpangsiuran informasi yang membuat masyarakat bingung, khususnya persoalan proses migrasi dari yang sebelumnya mengakses jaminan kesehatan Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek, dll berpindah ke SJSN. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh pengguna BPJS hingga saat ini adalah belum adanya pedoman yang pasti tentang BPJS. Selain itu minimnya kualitas dan kuantitas (ketersediaan) layanan, dibandingkan dengan panjangnya antrian pengguna. Kenyataan-kenyatan tersebut jelas-jelas merupakan jurang yang butuh dijembatani. Hal ini tentu saja membawa implikasi bahwa ada anggota JKN sebelum era BPJS yang merupakan pengguna rutin, misalnya dalam hal mengakses obat dan layanan kesehatan menjadi terhambat dengan penerapan model layanan BPJS tersebut. Konsep BPJS sebenarnya bagus karena memakai konsep kepesertaan yang artinya bukan sekedar jaminan untuk orang miskin namun sifatnya universal coverage. Hanya saja yang menjadikan SJSN (BPJS) bermasalah adalah pada kesiapan sumber daya manusia yang menjalankannya. Mereka terkesan belum siap untuk mengatasai kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari sebuah tahapan transisi pada sistem terutama level pelaksanaan di lapangan sehingga seringkali tumpang tindih.

Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ringkasan Adanya perubahan skema jaminan kesehatan menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang ada saat ini, masih terganjal dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan SJSN ternyata tidak semudah apa yang selama ini disosialisasikan melalui media massa. Masih terdapat kesimpangsiuran informasi yang membuat masyarakat bingung, khususnya persoalan proses migrasi dari yang sebelumnya mengakses jaminan kesehatan Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek, dll berpindah ke SJSN. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh pengguna BPJS hingga saat ini adalah belum adanya pedoman yang pasti tentang BPJS. Selain itu minimnya kualitas dan kuantitas (ketersediaan) layanan, dibandingkan dengan panjangnya antrian pengguna. Kenyataan-kenyatan tersebut jelas-jelas merupakan jurang yang butuh dijembatani. Hal ini tentu saja membawa implikasi bahwa ada anggota JKN sebelum era BPJS yang merupakan pengguna rutin, misalnya dalam hal mengakses obat dan layanan kesehatan menjadi terhambat dengan penerapan model layanan BPJS tersebut. Konsep BPJS sebenarnya bagus karena memakai konsep kepesertaan yang artinya bukan sekedar jaminan untuk orang miskin namun sifatnya universal coverage. Hanya saja yang menjadikan SJSN (BPJS) bermasalah adalah pada kesiapan sumber daya manusia yang menjalankannya. Mereka terkesan belum siap untuk mengatasai kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari sebuah tahapan transisi pada sistem terutama level pelaksanaan di lapangan sehingga seringkali tumpang tindih.

Citation preview

Page 1: Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

POLICY BRIEF

IMPLEMENTASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) : PERMASALAHAN

DAN ALTERNATIF SOLUSI

Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara

Ringkasan

Adanya perubahan skema jaminan kesehatan menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional

yang ada saat ini, masih terganjal dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan SJSN ternyata tidak

semudah apa yang selama ini disosialisasikan melalui media massa. Masih terdapat

kesimpangsiuran informasi yang membuat masyarakat bingung, khususnya persoalan proses

migrasi dari yang sebelumnya mengakses jaminan kesehatan Jamkesmas, Jamkesda, Askes,

Jamsostek, dll berpindah ke SJSN. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh pengguna BPJS

hingga saat ini adalah belum adanya pedoman yang pasti tentang BPJS. Selain itu minimnya

kualitas dan kuantitas (ketersediaan) layanan, dibandingkan dengan panjangnya antrian

pengguna. Kenyataan-kenyatan tersebut jelas-jelas merupakan jurang yang butuh

dijembatani. Hal ini tentu saja membawa implikasi bahwa ada anggota JKN sebelum era

BPJS yang merupakan pengguna rutin, misalnya dalam hal mengakses obat dan layanan

kesehatan menjadi terhambat dengan penerapan model layanan BPJS tersebut. Konsep BPJS

sebenarnya bagus karena memakai konsep kepesertaan yang artinya bukan sekedar jaminan

untuk orang miskin namun sifatnya universal coverage. Hanya saja yang menjadikan SJSN

(BPJS) bermasalah adalah pada kesiapan sumber daya manusia yang menjalankannya.

Mereka terkesan belum siap untuk mengatasai kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari

sebuah tahapan transisi pada sistem terutama level pelaksanaan di lapangan sehingga

seringkali tumpang tindih.

Page 2: Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

Deskripsi masalah

Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS kesehatan

dioperasikan sejak tanggal 1 Januari 2014 secara umum masih menghadapi berbagai

permasalahan sampai sekarang. Berbagai permasalahan seperti kebijakan yang belum

sinkron, pendanaan, kepesertaan, sumber daya manusia (SDM) serta manajemen operasional

yang belum optimal. Di samping itu, pelaksanaan sosialisasi yang tidak efektif juga telah

mengakibatkan kurang terpahaminya program JKN oleh masyarakat baik menyangkut

konsep JKN, sistem pendanaan, kemanfaatan bagi masyarakat maupun tata cara

pelayanannya. Hal ini di karenakan kurang nya sosialisasi yang telah dilakukan oleh BPJS,

dan terdapat beberapa kendala didalam pelaksanaan sasaran sosialisasi yaitu pertama, BPJS

kesehatan masih belum merata dalam proses sosialisasi terutama untuk wilayah-wilayah

terpencil,kedua komitmen antara manajemen dan penyedia layanan kesehatan dengan

masyarakat masih berbeda sehingga memunculkan perbedaan komitmen terkait mekanisme

JKN, ketiga masih banyak rumah sakit swasta yang belum bergabung pada BPJS kesehatan

terutama di daerah hal ini dikarenakan perhitungan tarif per kelompok penyakit (INA-CBG)

untuk RS masih terlalu rendah, keempat adalah masalah pengadaan obat sejak BPJS

kesehatan diberlakukan pasien hanya di berikan obat dalam jangka waktu 7 hari padahal

sebelumnya pasien diberikan obat untuk jangka waktu 30 hari, kurangnya pelayanan

kesehatan mengakibatkan banyak peserta yang mengantri dan penumpukan tersebut

diakibatkan kurang optimalnya sistem rujukan, dan yang terakhir terkait dengan anggaran

kesehatan bahwa presentase anggaran tersebut dalam APBN masih sangat kecil dan jauh dari

amanat UU dan sekarang alokasi untuk kesehatan baru sekitar 2,33% dari total APBN

sedangkan dalam UU kesehatan anggaran kesehatan minimal 5%(Zuber Safawi) untuk itu

pemerintah harus memperjuangkan anggaran kesehatan sesuai dengan amanat undang-

undang. Dari berbagai permasalahan yang terjadi, untuk itu harus dilakukan evaluasi terkait

dengan sosialisasi BPJS sehingga segala permasalahan tersebut dapat secepatnya

terselesaikan dengan baik.

Pelayanan kesehatan BPJS juga mempunyai sasaran utama didalam pelaksanaannya yaitu

akan sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam

BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam

pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap

system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), system pembayaran (Health

Care Payment System) dan system mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System).

Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur

sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan

dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden

setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.

Page 3: Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

1. System pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)

a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan

PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya

mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011)

orang miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari

pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran

tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun

bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri.

Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk

gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas

(jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang discover

BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi menambah

anggaran dari APBN.

b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I

(Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah.

Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh

oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.

2. System pembayaran (Health Care Payment System)

a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan

pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes

No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan

untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di

lapangan.

b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal.

Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu

dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi dengan

perubahan system dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Pengawasan

eksternal, melalui pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial

Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum jelas area

pengawasannya.

3. System mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)

a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk

menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang

diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai

Page 4: Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27)

mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan

paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus dikomunikasikan

secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat pekerja dan Apindo

sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi menjadi masalah.

b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga

peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.

REKOMENDASI

Rekomendasi solusi yang dapat ditawarkan dalam memperbaiki kualitas pelayanan

kesehatan program JKN terkait dengan sosialisasi dan pengawasan dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Alternatif solusi perbaikan sosialisasi

Masalah kurangnya sosialisasi dapat doptimalkan dengan cara :

1) Melibatkan kementerian/lembaga dan pemda untuk memberikan sosialisasi

kepada seluruh pegawai di masing-masing instansinya

2) Melibatkan seluruh Perguruan Tinggi untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh

mahasiswa dan civitas akademika

3) Memerankan pengurus RT/RW untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh

warga masyarakat untuk menjalankan sosialisasi

4) Memanfaatkan penggunaan media massa baik cetak maupun elektronik yang

dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia

5) Melakukan penyuluhan ke seluruh penjuru tanah air dengan melibatkan elemen

masyarakat. Pelibatan elemen masyarakat dalam sosialisasi dapat meningkatkan

perluasan informasi kepada pengguna layanan. Informasi yang diterima

masyarakat secara baik ikut mendorong pelayanan program JKN menjadi efektif.

6) Menyediakan pendanaan serta sarana dan prasarana yang memadai untuk

menunjang efektivitas pelaksanaan sosialisasi.

b. Alternatif sosialisasi perbaikan pengawasan

Terkait dengan lemahnya pengawasan pelaksanaan program JKN, maka dapat

ditawarkan alternatif solusi antara lain :

1) Perlunya perbaikan kelembagaan pengawasan sebagaimana telah diamanatkan

UU BPJS Pasal 39 ayat 2 dan 3 baik pengawasan internal maupun eksternal.

Page 5: Policy brief bpjs (pusat inovasi pelayanan publik 2014)

2) Berkaitan dengan masalah pengawasan berhubungan erat dengan keberadaan

dewan pengawas (Dewas). Dewan Pengawas harus terpisah dari naungan BPJS.

Dewan Pengawas harus berdiri sendiri sehingga terhindar dari pengaruh BPJS.

Dewan Pengawas harus didukung oleh SDM yang cukup dan kompeten sehingga

mampu mengawasi pelaksanaan JKN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia

Kesimpulan

Bahwa pelaksanaan Program JKN oleh BPJS masih banyak menemukan

permasalahan, terutama terkait masalah sosialisasi dan pengawasan. Untuk

masalah sosialisasi dapat doptimalkan dengan cara melakukan penyuluhan dengan

melibatkan elemen masyarakat. Pelibatan elemen masyarakat dalam sosialisasi

dapat meningkatkan perluasan informasi kepada pengguna layanan, sehingga

informasi yang diterima masyarakat secara baik ikut mendorong pelayanan

program JKN menjadi lebih efektif. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan dapat

diatasi dengan meningkatkan jumlah persebaran fasilitas kesehatan di berbagai

daerah yang disesuaikan dengan karakteristrik daerah tersebut. Sementara

pemenuhan tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan sampai pada tingkat pertama

karena pada pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah berjalan ini

berfokus pada pelayanan kesehatan primer dengan dukungan pemerintah

sepenuhnya baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sementara untuk

mengatasi permasalahan penarikan iuran pada pekerja sektor informal dapat

diatasi dengan melibatkan lembaga pemerintah atau non-pemerintah di tingkat

desa seperti LSM lembaga keuangan mikro. Untuk mencapai tujuan cakupan

universal, sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan

pemerintah), baik terhadap sisi pembiayaan (yakni, revenue collection dan

pooling), maupun sisi penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan (yakni,

purchasing). Pada permasalahan ketidaksesuian jumlah penduduk miskin dapat

diatasi dengan dilakukan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mengenai

kriteria atau standar yang akan diberikan dalam penentuan penerima bantuan

iuran. Selain itu pemerintah pusat menyerahkan mengenai data penduduk miskin

sesuai dengan hasil koordinasi yang telah disepekati. berkaitan dengan masalah

pengawasan berhubungan erat dengan keberadaan dewan pengawas (dewas).

Dewan Pengawas harus terpisah dengan naungan dengan BPJS. Dewan Pengawas

harus berdiri sendiri sehingga pengaruh BPJS sangat kuat sangat kuat dengan

keputusan yang diambil oleh Dewan Pengawas. Dewan Pengawas sendiri

memerlukan banyak tambahan SDM yang lebih banyak lagi mengingat mereka

harus mengawasi proses BPJS yang begitu yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dan yang terakhir harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi

turunan BPJS seperti dalam penetapan cost BPJS dan pengaturan penyaluran dana

ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia

(dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga memudahkan

dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang

dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.