Upload
researcher-syndicate68
View
310
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ringkasan Adanya perubahan skema jaminan kesehatan menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang ada saat ini, masih terganjal dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan SJSN ternyata tidak semudah apa yang selama ini disosialisasikan melalui media massa. Masih terdapat kesimpangsiuran informasi yang membuat masyarakat bingung, khususnya persoalan proses migrasi dari yang sebelumnya mengakses jaminan kesehatan Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek, dll berpindah ke SJSN. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh pengguna BPJS hingga saat ini adalah belum adanya pedoman yang pasti tentang BPJS. Selain itu minimnya kualitas dan kuantitas (ketersediaan) layanan, dibandingkan dengan panjangnya antrian pengguna. Kenyataan-kenyatan tersebut jelas-jelas merupakan jurang yang butuh dijembatani. Hal ini tentu saja membawa implikasi bahwa ada anggota JKN sebelum era BPJS yang merupakan pengguna rutin, misalnya dalam hal mengakses obat dan layanan kesehatan menjadi terhambat dengan penerapan model layanan BPJS tersebut. Konsep BPJS sebenarnya bagus karena memakai konsep kepesertaan yang artinya bukan sekedar jaminan untuk orang miskin namun sifatnya universal coverage. Hanya saja yang menjadikan SJSN (BPJS) bermasalah adalah pada kesiapan sumber daya manusia yang menjalankannya. Mereka terkesan belum siap untuk mengatasai kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari sebuah tahapan transisi pada sistem terutama level pelaksanaan di lapangan sehingga seringkali tumpang tindih.
Citation preview
POLICY BRIEF
IMPLEMENTASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) : PERMASALAHAN
DAN ALTERNATIF SOLUSI
Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Ringkasan
Adanya perubahan skema jaminan kesehatan menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional
yang ada saat ini, masih terganjal dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan SJSN ternyata tidak
semudah apa yang selama ini disosialisasikan melalui media massa. Masih terdapat
kesimpangsiuran informasi yang membuat masyarakat bingung, khususnya persoalan proses
migrasi dari yang sebelumnya mengakses jaminan kesehatan Jamkesmas, Jamkesda, Askes,
Jamsostek, dll berpindah ke SJSN. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh pengguna BPJS
hingga saat ini adalah belum adanya pedoman yang pasti tentang BPJS. Selain itu minimnya
kualitas dan kuantitas (ketersediaan) layanan, dibandingkan dengan panjangnya antrian
pengguna. Kenyataan-kenyatan tersebut jelas-jelas merupakan jurang yang butuh
dijembatani. Hal ini tentu saja membawa implikasi bahwa ada anggota JKN sebelum era
BPJS yang merupakan pengguna rutin, misalnya dalam hal mengakses obat dan layanan
kesehatan menjadi terhambat dengan penerapan model layanan BPJS tersebut. Konsep BPJS
sebenarnya bagus karena memakai konsep kepesertaan yang artinya bukan sekedar jaminan
untuk orang miskin namun sifatnya universal coverage. Hanya saja yang menjadikan SJSN
(BPJS) bermasalah adalah pada kesiapan sumber daya manusia yang menjalankannya.
Mereka terkesan belum siap untuk mengatasai kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari
sebuah tahapan transisi pada sistem terutama level pelaksanaan di lapangan sehingga
seringkali tumpang tindih.
Deskripsi masalah
Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS kesehatan
dioperasikan sejak tanggal 1 Januari 2014 secara umum masih menghadapi berbagai
permasalahan sampai sekarang. Berbagai permasalahan seperti kebijakan yang belum
sinkron, pendanaan, kepesertaan, sumber daya manusia (SDM) serta manajemen operasional
yang belum optimal. Di samping itu, pelaksanaan sosialisasi yang tidak efektif juga telah
mengakibatkan kurang terpahaminya program JKN oleh masyarakat baik menyangkut
konsep JKN, sistem pendanaan, kemanfaatan bagi masyarakat maupun tata cara
pelayanannya. Hal ini di karenakan kurang nya sosialisasi yang telah dilakukan oleh BPJS,
dan terdapat beberapa kendala didalam pelaksanaan sasaran sosialisasi yaitu pertama, BPJS
kesehatan masih belum merata dalam proses sosialisasi terutama untuk wilayah-wilayah
terpencil,kedua komitmen antara manajemen dan penyedia layanan kesehatan dengan
masyarakat masih berbeda sehingga memunculkan perbedaan komitmen terkait mekanisme
JKN, ketiga masih banyak rumah sakit swasta yang belum bergabung pada BPJS kesehatan
terutama di daerah hal ini dikarenakan perhitungan tarif per kelompok penyakit (INA-CBG)
untuk RS masih terlalu rendah, keempat adalah masalah pengadaan obat sejak BPJS
kesehatan diberlakukan pasien hanya di berikan obat dalam jangka waktu 7 hari padahal
sebelumnya pasien diberikan obat untuk jangka waktu 30 hari, kurangnya pelayanan
kesehatan mengakibatkan banyak peserta yang mengantri dan penumpukan tersebut
diakibatkan kurang optimalnya sistem rujukan, dan yang terakhir terkait dengan anggaran
kesehatan bahwa presentase anggaran tersebut dalam APBN masih sangat kecil dan jauh dari
amanat UU dan sekarang alokasi untuk kesehatan baru sekitar 2,33% dari total APBN
sedangkan dalam UU kesehatan anggaran kesehatan minimal 5%(Zuber Safawi) untuk itu
pemerintah harus memperjuangkan anggaran kesehatan sesuai dengan amanat undang-
undang. Dari berbagai permasalahan yang terjadi, untuk itu harus dilakukan evaluasi terkait
dengan sosialisasi BPJS sehingga segala permasalahan tersebut dapat secepatnya
terselesaikan dengan baik.
Pelayanan kesehatan BPJS juga mempunyai sasaran utama didalam pelaksanaannya yaitu
akan sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam
BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam
pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap
system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), system pembayaran (Health
Care Payment System) dan system mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System).
Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur
sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan
dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden
setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
1. System pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)
a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan
PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya
mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011)
orang miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari
pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran
tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun
bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri.
Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk
gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas
(jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang discover
BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi menambah
anggaran dari APBN.
b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I
(Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah.
Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh
oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.
2. System pembayaran (Health Care Payment System)
a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan
pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes
No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan
untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di
lapangan.
b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal.
Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu
dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi dengan
perubahan system dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Pengawasan
eksternal, melalui pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum jelas area
pengawasannya.
3. System mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)
a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk
menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang
diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai
dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27)
mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan
paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus dikomunikasikan
secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat pekerja dan Apindo
sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi menjadi masalah.
b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga
peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.
REKOMENDASI
Rekomendasi solusi yang dapat ditawarkan dalam memperbaiki kualitas pelayanan
kesehatan program JKN terkait dengan sosialisasi dan pengawasan dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Alternatif solusi perbaikan sosialisasi
Masalah kurangnya sosialisasi dapat doptimalkan dengan cara :
1) Melibatkan kementerian/lembaga dan pemda untuk memberikan sosialisasi
kepada seluruh pegawai di masing-masing instansinya
2) Melibatkan seluruh Perguruan Tinggi untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh
mahasiswa dan civitas akademika
3) Memerankan pengurus RT/RW untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh
warga masyarakat untuk menjalankan sosialisasi
4) Memanfaatkan penggunaan media massa baik cetak maupun elektronik yang
dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia
5) Melakukan penyuluhan ke seluruh penjuru tanah air dengan melibatkan elemen
masyarakat. Pelibatan elemen masyarakat dalam sosialisasi dapat meningkatkan
perluasan informasi kepada pengguna layanan. Informasi yang diterima
masyarakat secara baik ikut mendorong pelayanan program JKN menjadi efektif.
6) Menyediakan pendanaan serta sarana dan prasarana yang memadai untuk
menunjang efektivitas pelaksanaan sosialisasi.
b. Alternatif sosialisasi perbaikan pengawasan
Terkait dengan lemahnya pengawasan pelaksanaan program JKN, maka dapat
ditawarkan alternatif solusi antara lain :
1) Perlunya perbaikan kelembagaan pengawasan sebagaimana telah diamanatkan
UU BPJS Pasal 39 ayat 2 dan 3 baik pengawasan internal maupun eksternal.
2) Berkaitan dengan masalah pengawasan berhubungan erat dengan keberadaan
dewan pengawas (Dewas). Dewan Pengawas harus terpisah dari naungan BPJS.
Dewan Pengawas harus berdiri sendiri sehingga terhindar dari pengaruh BPJS.
Dewan Pengawas harus didukung oleh SDM yang cukup dan kompeten sehingga
mampu mengawasi pelaksanaan JKN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
Kesimpulan
Bahwa pelaksanaan Program JKN oleh BPJS masih banyak menemukan
permasalahan, terutama terkait masalah sosialisasi dan pengawasan. Untuk
masalah sosialisasi dapat doptimalkan dengan cara melakukan penyuluhan dengan
melibatkan elemen masyarakat. Pelibatan elemen masyarakat dalam sosialisasi
dapat meningkatkan perluasan informasi kepada pengguna layanan, sehingga
informasi yang diterima masyarakat secara baik ikut mendorong pelayanan
program JKN menjadi lebih efektif. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan dapat
diatasi dengan meningkatkan jumlah persebaran fasilitas kesehatan di berbagai
daerah yang disesuaikan dengan karakteristrik daerah tersebut. Sementara
pemenuhan tenaga kesehatan juga perlu ditingkatkan sampai pada tingkat pertama
karena pada pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah berjalan ini
berfokus pada pelayanan kesehatan primer dengan dukungan pemerintah
sepenuhnya baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sementara untuk
mengatasi permasalahan penarikan iuran pada pekerja sektor informal dapat
diatasi dengan melibatkan lembaga pemerintah atau non-pemerintah di tingkat
desa seperti LSM lembaga keuangan mikro. Untuk mencapai tujuan cakupan
universal, sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi (peraturan
pemerintah), baik terhadap sisi pembiayaan (yakni, revenue collection dan
pooling), maupun sisi penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan (yakni,
purchasing). Pada permasalahan ketidaksesuian jumlah penduduk miskin dapat
diatasi dengan dilakukan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mengenai
kriteria atau standar yang akan diberikan dalam penentuan penerima bantuan
iuran. Selain itu pemerintah pusat menyerahkan mengenai data penduduk miskin
sesuai dengan hasil koordinasi yang telah disepekati. berkaitan dengan masalah
pengawasan berhubungan erat dengan keberadaan dewan pengawas (dewas).
Dewan Pengawas harus terpisah dengan naungan dengan BPJS. Dewan Pengawas
harus berdiri sendiri sehingga pengaruh BPJS sangat kuat sangat kuat dengan
keputusan yang diambil oleh Dewan Pengawas. Dewan Pengawas sendiri
memerlukan banyak tambahan SDM yang lebih banyak lagi mengingat mereka
harus mengawasi proses BPJS yang begitu yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dan yang terakhir harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi
turunan BPJS seperti dalam penetapan cost BPJS dan pengaturan penyaluran dana
ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia
(dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga memudahkan
dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang
dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.