5
1 Bureaucracy Makeover: Memahami peran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam paradigma ASN Ichwan Santosa Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia E-mail: [email protected] PPPK merupakan sosok pendatang baru dalam ranah kepegawaian negara atau Manajemen Sumber Daya Manusia sektor publik. Sebagai pendatang baru, keberadaannya tidak lepas dari polemik. Hal ini dapat dipahami mengingat begitu banyaknya sumber daya manusia non PNS yang bekerja di instansi pemerintah dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain: pegawai honorer, tenaga tidak tetap, tenaga kontrak, dan sukarelawan. Di awal kemunculannya, PPPK dimaknai secara beragam, diantaranya yaitu: Pertama, konsep PPPK disandingkan sejajar dengan pegawai honorer. Persepsi yang beredar di kalangan honorer adalah pemahaman bahwa PPPK adalah “baju baru” honorer. Implikasinya, pegawai honorer K2 yang tidak terjaring dalam seleksi pengangkatan CPNS menyatakan tuntutannya untuk dapat diangkat sebagai PPPK tanpa melalui proses penyaringan (bisnis.liputan6.com, 13 April 2014). Kedua, masalah kekurangan pegawai di daerah menimbulkan satu persepsi yang mengaitkan PPPK dengan upaya mengatasi kekurangan pegawai dalam birokrasi pemerintah daerah. PPPK dianggap sebagai tenaga pelengkap yang direkrut untuk mengisi kekosongan formasi ataupun jabatan yang sulit untuk dipenuhi melalui rekrutmen PNS konvensional. Pandangan ini muncul lewat wacana pembagian peran antara PPPK dan PNS dalam UU ASN (FGD PPPK, LAN RI, 2014). Ketiga, adanya wacana yang melihat PPPK sebagai pegawai direkrut untuk melaksanakan tugas pemerintahan yang bersifat insidentil, atau terkait dengan pekerjaan tertentu dalam kurun waktu tertentu. Artinya, PPPK diikat dalam kontrak untuk menyelesaikan kegiatan yang bersifat spesifik dengan target waktu yang telah ditetapkan (FGD PPPK, LAN RI, 2014). Berbagai pendapat ini dalam konteks tertentu memiliki nilai kebenarannya sendiri, namun tentu saja tidak sejalan dengan semangat perubahan yang diwacanakan dalam paradigma ASN melalui kemunculan PPPK sebagai bagian dari ASN. Tulisan ini berupaya memberikan gambaran filosofis mengenai PPPK dalam paradigma ASN sebagai salah satu aspek yang sangat dibutuhkan dalam upaya memahami PPPK secara utuh.

Bureaucracy makeover policy brief ichwan san 2014_

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PPPK merupakan sosok pendatang baru dalam ranah kepegawaian negara atau Manajemen Sumber Daya Manusia sektor publik. Sebagai pendatang baru, keberadaannya tidak lepas dari polemik. Hal ini dapat dipahami mengingat begitu banyaknya sumber daya manusia non PNS yang bekerja di instansi pemerintah dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain: pegawai honorer, tenaga tidak tetap, tenaga kontrak, dan sukarelawan

Citation preview

Page 1: Bureaucracy makeover policy brief  ichwan san  2014_

1

Bureaucracy Makeover: Memahami peran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

dalam paradigma ASN

Ichwan Santosa Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur

Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia E-mail: [email protected]

PPPK merupakan sosok pendatang baru dalam ranah kepegawaian negara atau Manajemen Sumber Daya Manusia sektor publik. Sebagai pendatang baru, keberadaannya tidak lepas dari polemik. Hal ini dapat dipahami mengingat begitu banyaknya sumber daya manusia non PNS yang bekerja di instansi pemerintah dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain: pegawai honorer, tenaga tidak tetap, tenaga kontrak, dan sukarelawan.

Di awal kemunculannya, PPPK dimaknai secara beragam, diantaranya yaitu: Pertama, konsep PPPK disandingkan sejajar dengan pegawai honorer. Persepsi yang beredar di kalangan honorer adalah pemahaman bahwa PPPK adalah “baju baru” honorer. Implikasinya, pegawai honorer K2 yang tidak terjaring dalam seleksi pengangkatan CPNS menyatakan tuntutannya untuk dapat diangkat sebagai PPPK tanpa melalui proses penyaringan (bisnis.liputan6.com, 13 April 2014).

Kedua, masalah kekurangan pegawai di daerah menimbulkan satu persepsi yang mengaitkan PPPK dengan upaya mengatasi kekurangan pegawai dalam birokrasi pemerintah daerah. PPPK dianggap sebagai tenaga pelengkap yang direkrut untuk mengisi kekosongan formasi ataupun jabatan yang sulit untuk dipenuhi melalui rekrutmen PNS konvensional. Pandangan ini muncul lewat wacana pembagian peran antara PPPK dan PNS dalam UU ASN (FGD PPPK, LAN RI, 2014).

Ketiga, adanya wacana yang melihat PPPK sebagai pegawai direkrut untuk melaksanakan tugas pemerintahan yang bersifat insidentil, atau terkait dengan pekerjaan tertentu dalam kurun waktu tertentu. Artinya, PPPK diikat dalam kontrak untuk menyelesaikan kegiatan yang bersifat spesifik dengan target waktu yang telah ditetapkan (FGD PPPK, LAN RI, 2014).

Berbagai pendapat ini dalam konteks tertentu memiliki nilai kebenarannya sendiri, namun tentu saja tidak sejalan dengan semangat perubahan yang diwacanakan dalam paradigma ASN melalui kemunculan PPPK sebagai bagian dari ASN. Tulisan ini berupaya memberikan gambaran filosofis mengenai PPPK dalam paradigma ASN sebagai salah satu aspek yang sangat dibutuhkan dalam upaya memahami PPPK secara utuh.

Page 2: Bureaucracy makeover policy brief  ichwan san  2014_

ASN Menyambut abad asia

Paradigma ASN yang membidani kelahiran PPPK merupakan sebuah konsep yang digagas dalam gambaran futuristik bahwa pada abad 21, pusat ekonomi dunia diperkirakan tidak lagi bertumpu pada negara-negara Eropa maupun Amerika, melainkan Asia (Effendi, 2014). Di abad ini, Asia akan menghasilkan kira-kira 53 persen GDP dunia, dimana motor dari pertumbuhan Asia adalah 7 negara, yaitu Jepang, Korea Selatan, Cina, India, Indonesia, Thailand, dan Malaysia (Asian Development Bank, 1911). Dalam perspektif ini, ekonomi Indonesia diperkirakan dapat tumbuh untuk setidaknya menjadi nomor 5 di Asia pada tahun 2045.

Namun demikian, kondisi ini dapat terwujud dengan prasyarat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terjaga pada angka 7% (Effendi, 2014). Hal ini tentu saja menuntut peran dan komitmen yang sangat besar dari pemerintah untuk bekerja keras mewujudkannya. Pemerintah dituntut untuk menciptakan kinerja ekonomi yang mampu menjawab tantangan abad Asia. Untuk itu, diperlukan birokrasi yang mampu men-delivered world class public services terhadap para pelaku ekonomi dan kegiatan ekonomi itu sendiri.

Sayangnya, birokrasi Indonesia dikenal sebagai sebagai birokrasi yang berat, lambat, tidak kreatif, dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, 2006). Refleksi dari kondisi birokrasi Indonesia diantaranya adalah Governance Effectiveness Indexes, dimana Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 7 negara ASEAN dengan nilai yang relatif kecil (World Bank: GGI, 2013). Padahal untuk dapat mewujudkan Indonesia sebagai motor ekonomi Asia, diperlukan birokrasi yang mampu melayani dan memenuhi kebutuhan dari ekonomi yang semakin kuat, efisien, dengan industrialisasi yang makin tinggi. Birokrasi dituntut agar menjadi lincah, cepat berubah, profesional, dan tanggap terhadap perubahan (Effendi, 2014).

Untuk itu, dibutuhkan wajah baru birokrasi yang dapat menjawab tantangan global masa depan, dimana Indonesia diproyeksikan sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi Asia. Paradigma Aparatur Sipil Negara yang menjadi semangat perumusan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN ini adalah desain baru wajah birokrasi Indonesia yang diharapkan mampu memberikan pelayanan berkelas dunia (world class public services).

Paradigma ASN: mengeluarkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari zona nyaman

Starting point inisiasi perubahan birokrasi pemerintah dimulai dengan reformasi PNS, baik secara personal maupun performa kinerja. Hal ini dapat dipahami karena PNS adalah cerminan dari wajah birokrasi Indonesia. Sementara kondisi PNS yang ada saat ini sama sekali tidak mencerminkan sosok birokrasi profesional. Komposisi PNS yang tidak proporsional, jabatan yang asimetris dengan kompetensi, inkompeten, inefisiensi anggaran, moral hazard adalah sebagian dari gambaran PNS yang masih mewarnai birokrasi Indonesia. Image ini tentu saja belum menunjukkan sosok birokrasi yang dapat diharapkan untuk mengemban visi ekonomi Indonesia masa depan.

Kondisi PNS yang demikian merupakan implikasi dari sistem birokrasi tradisional yang meletakkan PNS pada zona nyaman (comfort zone). Rekrutmen yang sarat dengan KKN, manajemen PNS yang sangat rigid, tuntutan pekerjaan yang relatif rendah, mekanisme reward and punishment yang tidak berbasis pada kinerja, belum tegaknya prinsip keadilan, hingga tingkat pengawasan yang relatif rendah pada kinerja PNS menciptakan birokrasi yang patologis. Kemunculan UU ASN memberikan angin segar bagi banyak

Page 3: Bureaucracy makeover policy brief  ichwan san  2014_

pihak untuk mewujudkan transformasi birokrasi tradisional menuju birokrasi modern (profesional). Nafas perubahan yang dihembuskan melalui UU ASN adalah berupaya mengeluarkan PNS dari zona nyamannya. Untuk itu, dilakukanlah pergeseran paradigma pegawai ke paradigma aparatus. Melalui pendekatan ini, PNS tidak lagi ditempatkan sebagai aktor dominan dalam ASN. Pendekatan ini juga mengedepankan penerapan sistem merit sebagai landasan bagi penyelenggaraan manajemen ASN.

Secara garis besar, fokus perubahan paradigma ASN dalam upaya menciptakan professional public service berada pada 3 level perubahan, yaitu: perubahan mindset, perubahan manajemen, dan perubahan sistem nilai.

Di level mindset, fokus perubahan terletak pada bagaimana mengubah pandangan lama mengenai PNS melalui pengenalan konsep ASN sebagai birokrasi modern yang mengedepankan integritas dan profesionalisme. Perubahan ini sekaligus bertujuan menggugah kesadaran publik untuk memiliki pola pikir bahwa ASN adalah profesi terhormat yang menjadi sarana pengabdian kepada bangsa dan negara, bukan lahan untuk mencari pekerjaan semata.

Untuk level manajemen, fokus perubahan adalah mengenai bagaimana mengatasi rigidity manajemen aparatur dengan mereformasi sistem in-out ASN agar fleksibel dan adaptif terhadap dinamika organisasi dan lingkungannya, memperbaiki pola karier dan mekanisme pengembangan ASN, perubahan sistem reward and punishment, hingga pergeseran masa kerja ASN.

Lalu pada level sistem nilai, fokus perubahan adalah bagaimana menerapkan sistem merit secara konsekuen, melalui manajemen ASN berdasarkan kompetensi dan kinerja untuk menciptakan ASN yang profesional dan terlepas dari intervensi politik.

Salah satu strategi penting dalam menginisiasi perubahan ini adalah dengan mengundang peran profesional ke dalam birokrasi. Hal ini dilakukan untuk menciptakan iklim kompetisi di dalam birokrasi. Selain itu, peran para profesional diharapkan dapat memicu akselerasi transformasi birokrasi konvensional menuju birokrasi modern. Dalam konteks inilah PPPK muncul sebagai bagian dari ASN. Keberadaan PPPK diharapkan dapat menjadi katalis bagi reformasi birokrasi menuju profesional aparatus dalam rangka mewujudkan professional public services menuju dynamic public services (sesuai dengan Road Map Reformasi Birokrasi).

Memahami peran PPPK dalam paradigma ASN

Pandangan dasar yang perlu dimiliki sebagai pintu masuk untuk memahami kosep PPPK adalah memahami bahwa PPPK dimunculkan dalam konteks perencanaan makro jangka panjang untuk mendesain birokrasi pemerintah yang mampu men-deliver world class public services. Birokrasi yang dibutuhkan sebagai prasyarat guna menghadapi abad Asia. Dengan kata lain, PPPK dimunculkan dalam gambaran mengenai birokrasi masa depan yang didesain untuk menghadapi tantangan abad Asia (by design). Dalam konteks perencanaan ini, PPPK berperan sebagai agen perubahan menuju birokrasi modern melalui transformasi peran PNS dalam birokrasi, mengatasi patologis budaya birokrasi, dan membangun gambaran baru mengenai birokrasi sektor publik (bureaucracy makeover).

Atas dasar tersebut, membangun pemahaman mengenai PPPK dapat dilakukan melalui 3 pendekatan: Pertama, pendekatan transformasi peran PNS dalam ASN. Untuk melakukan transformasi peran PNS, PPPK dalam paradigma ASN didesain untuk

Page 4: Bureaucracy makeover policy brief  ichwan san  2014_

melaksanakan fungsi pelayanan publik (operational core), sementara PNS ditempatkan pada level manajemen dan administrasi pemerintahan (Effendi, 2014). Dengan mengikuti pola berpikir demikian, desain birokrasi dalam RPP ASN seharusnya dibuat dalam the way of thinking yang menempatkan PPPK sebagai pelaksana fungsi public services (pelayanan ke luar) dan PNS sebagai pelaksana fungsi manajerial dan administratif (pelayanan ke dalam). Melalui pembagian peran seperti ini, keberadaan PPPK secara gradual akan menciptakan rasionalisasi jumlah PNS dalam birokrasi. Bahkan, proporsi jumlah pegawai ASN kedepan akan didominasi oleh PPPK.

Kedua, pendekatan dinamika organisasi dan lingkungannya. Organisasi dan lingkungannya yang sangat dinamis menuntut model pelayanan publik yang adaptif dan responsif terhadap perubahan. Dalam upaya mewujudkan kondisi ini diperlukan birokrasi yang lincah, cepat berubah, dan tanggap terhadap perubahan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru dalam manajemen ASN, yaitu 1) penerapan sistem in-out yang fleksibel sehingga dapat merekrut pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi dan tuntutan lingkungan tanpa terikat waktu, 2) menerapkan sistem pengembangan karir yang dinamis berbasis kompetensi public services terhadap jabatan di level operational core. Model manajemen ASN seperti ini akan sulit diterapkan pada PNS. Maka, PPPK diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi perubahan public services yang profesional, adaptif dan responsif dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam konteks ini, PPPK didesain untuk mendorong akselerasi reformasi birokrasi menuju dyamic public services.

Ketiga, pendekatan sasaran rekrutmen dalam birokrasi. Paradigma ASN membagi sasaran rekruitmen dalam birokrasi ke dalam dua pola, yaitu 1) menjaring potential fresh graduates untuk dikembangkan karirnya dalam Jabatan Administratif, Manajerial, maupun Operational Core, 2) mengundang peran profesional ke dalam birokrasi pada wilayah operational core dengan melakukan pola pengembangan SDM yang menekankan pada peningkatan level kompetensi public services (tidak dipersiapkan untuk menduduki JA maupun JPT, meskipun pada prinsipnya seorang PPPK dapat menduduki nyaris seluruh jabatan dalam ASN). Keberadaan kalangan profesional dalam jumlah massive ini diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi dalam birokrasi, sekaligus mengubah budaya lama birokrasi yang cenderung status quo.

Ketiga pendekatan dalam membangun pemahaman mengenai peran PPPK dalam paradigma ASN memberikan suatu gambaran bahwa PPPK berperan sebagai katalis perubahan birokrasi, dari model konvensional menuju model profesional.

Memaknai PPPK dalam UU ASN

Setelah memahami peran PPPK dalam paradigma ASN, pemaknaan PPPK dalam UU ASN perlu dilakukan dengan meletakannya dalam kerangka pikir filosofis pengusulan PPPK. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir bias konsep maupun gap antara konsep dan realitas implementasinya. Dengan demikian, UU ASN yang menyebutkan PNS sebagai pegawai tetap yang menduduki jabatan pemerintahan, dan PPPK sebagai pegawai dengan perjanjian kerja yang melaksanakan tugas pemerintahan (Pasal 1 Nomor 3 dan Nomor 4) dapat dimaknai dalam konteks pembagian sumber kewenangan antara PNS dan PPPK. PPPK seharusnya didesain untuk menjalankan fungsi public services tertentu dengan kewenangan yang bersifat mandat. Sementara PNS menjalankan kewenangan melalui atribusi dan mandat.

Selanjutnya, perlu dipahami bahwa PPPK merupakan agen perubahan yang menginternalisasi nilai-nilai baru ke dalam birokrasi dalam upaya mewujudkan

Page 5: Bureaucracy makeover policy brief  ichwan san  2014_

birokrasi modern yang siap menghadapi tantangan Abad Asia. Oleh karena itu, meskipun PPPK didesain untuk menjalankan fungsi yang berkaitan dengan public services, UU ASN membuka peluang bagi PPPK untuk menduduki jabatan lainnya dalam ASN (Pasal 20 ayat (1)) kecuali JPT Pratama (tidak diamanatkan dalam UU ASN). Jabatan manajerial maupun administratif dibuka untuk diisi PPPK dengan mempertimbangkan urgensi pengisian jabatan, seperti: inefektifitas kinerja PNS, kekosongan jabatan, dan tuntutan kebutuhan aktual organisasi.

Dengan terbukanya semua jabatan untuk diisi oleh PPPK (meskipun dengan kondisi tertentu seperti tertuang dalam pada Pasal 109 ayat (1)), peluang profesional dari berbagai kalangan non-PNS untuk menggeser PNS di zona ekslusifnya sangat terbuka lebar. Kondisi seperti ini notabene akan memacu adrenalin dalam birokrasi (Prasojo, 2014), sehingga perlahan tapi pasti kultur birokrasi baru (integritas, profesional, dinamis) diharapkan dapat tumbuh menggeser kultur birokrasi konvensional (moral hazard, inkompeten, status quo). Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka Indonesia sebagai bagian dari kekuatan ekonomi Asia adalah sebuah keniscayaan.

Kesimpulan

PPPK muncul by design, didesain sebagai bagian dari strategi dalam paradigma ASN untuk menghadapi abad Asia;

PPPK merupakan agen perubahan birokrasi tradisional menuju birokrasi modern;

Keberadaan PPPK dalam jangka panjang bertujuan untuk melakukan rasionalisasi jumlah PNS melalui pembagian peran dalam ASN (manajerial, administratif, dan public services), dimana PPPK didesain untuk menempati posisi public services tertentu, meski tetap terbuka peluang bagi PPPK untuk menempati posisi apapun (selain jabatan tinggi pratama) dalam ASN;

PPPK merupakan pegawai profesional yang direkrut untuk mendorong akselerasi terciptanya professional public services menuju dynamic public services;

Daftar Pustaka

Biro Hukum, Komunikasi, & Informasi Publik Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. UU ASN Pilar Birokrasi Modern. Majalah Layanan Publik Edisi XLVIII 2014.

Effendi, Sofian. UU No 5/2014; P3K untuk Transformasi Fungsi Pelayanan Publik Pemerintahan. 2014.

Prasojo, Eko. Birokrasi Tambah Berat Pasca Reformasi. admsci.ui.ac.id. 2006.

Prasojo, Eko. PPPK memacu adrenalin dalam birokrasi. www.menpan.go.id. 2014.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Wahyuni, Nurseffi Dwi. Sebelum SBY lengser, Pegawai Honorer Minta Diangkat Jadi PNS. Bisnis.liputan6.com edisi 13 April 2014.