4
Saat aku menuliskan cerita ini, suasana di sini seperti biasa, sedikit sepi, tenang pasti sangat berkebalikan dengan tempatmu. Malam belum lama tumbang, tapi di sini, di kota kecil ini, suasana sudah berkurang dari kata ramai. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan lewat, mulai terdengar suara jangkrik, dan entah suara serangga lain yang hanya terdengar pada malam hari. Berbeda dengan tempatmu, jam yang masih belum berjalan jauh dari waktu isya, di tempatmu pasti masih ramai, masih bising, dan juga dengan kilauan jutaan lampu itu. Seperti biasa, aku sibuk mengotak-atik laptopku di kamar. Menuliskan rangkuman cerita hari ini di file yang aku beri nama hidupku. Semua kejadian hari ini, kemarin, dan kemarinnya lagi selalu aku ceritakan di file itu, diary, orang lebih suka menyebutnya itu. Layar HP ku berkedip, tanda ada pesan masuk. Senyum, melihat itu darimu. Membalas pesan yang tadi siang aku kirim. Obrolan sedikit. Membahas hal tidak terlalu penting. Apa saja. Seperti biasa. Malam itu hanya sebentar, 4…5 kali balasan lalu senyap. Seperti biasa. Selalu aku yang terakhir membalas. Setelahnya tidak ada lagi , seperti aku bilang tadi. Senyap. Membahas sesuatu tanpa kesimpulan, tapi bukankah tanpa kesimpulan itu juga suatu kesimpulan? Entahlah.

Sepotong cerita

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sepotong cerita

Saat aku menuliskan cerita ini, suasana di sini seperti biasa, sedikit sepi, tenang pasti

sangat berkebalikan dengan tempatmu. Malam belum lama tumbang, tapi di sini, di kota

kecil ini, suasana sudah berkurang dari kata ramai. Hanya sesekali terdengar suara

kendaraan lewat, mulai terdengar suara jangkrik, dan entah suara serangga lain yang

hanya terdengar pada malam hari. Berbeda dengan tempatmu, jam yang masih belum

berjalan jauh dari waktu isya, di tempatmu pasti masih ramai, masih bising, dan juga

dengan kilauan jutaan lampu itu.

Seperti biasa, aku sibuk mengotak-atik laptopku di kamar. Menuliskan rangkuman cerita

hari ini di file yang aku beri nama hidupku. Semua kejadian hari ini, kemarin, dan

kemarinnya lagi selalu aku ceritakan di file itu, diary, orang lebih suka menyebutnya itu.

Layar HP ku berkedip, tanda ada pesan masuk. Senyum, melihat itu darimu. Membalas

pesan yang tadi siang aku kirim. Obrolan sedikit. Membahas hal tidak terlalu penting.

Apa saja. Seperti biasa.

Malam itu hanya sebentar, 4…5 kali balasan lalu senyap. Seperti biasa. Selalu aku

yang terakhir membalas. Setelahnya tidak ada lagi , seperti aku bilang

tadi. Senyap. Membahas sesuatu tanpa kesimpulan, tapi bukankah tanpa kesimpulan

itu juga suatu kesimpulan? Entahlah.

Komunikasi seperti ini berlangsung memang belum terlalu lama, sejak kau memilihku

untuk menjadi pendengar ceritamu. Menjadi tempat sampah masalahmu. Sejak itulah

kita intens berkomunikasi, membahas apa saja.

Mulai dari kisah patah hati mu dengan seorang wanita yang meninggalkanmu, hingga

mengenai pandangan-pandanganmu akan sesuatu. Filsafat amatiran aku

menyebutnya.

Page 2: Sepotong cerita

Tidak detail memang, tapi aku cukup tahu perasaan itu, ditinggalkan, dicampakkan.

Bagaimana kau berusaha bangkit dari jatuhmu. Mengais sisa-sisa semangat yang

tercecer karena wanita. Mungkin kau terlalu mencintainya, hingga juga terlalu tersakiti

olehnya.

Move on, itu yang pernah kau katakan. Kau ingin move on, berdamai dengan masa lalu

mu, karena tidak mungkin untuk melupakan. Berdamai, menerima, itu lah yang bisa

dilakukan. Dan setelah obrolan tentang keinginanmu itulah kau memintaku untuk tidak

bertanya tentang masa lalumu lagi. Lucu, padahal dari awal kau yang memulai cerita

tentang semua, aku hanya mendengarkan, menjawab seperlunya, memberikan

pendapat sebisaku.

Intensitas komunikasi denganmu ternyata sedikit mengubahku. Beradu

argumentdenganmu, membahas hal tidak penting yang juga tidak menuai

kesimpulan. Menarik. Aku menikmati komunikasi seperti ini. Bukan lagi mengenai rasa

sakit hatimu, hilangnya semangatmu, atau mungkin keinginanmu untuk mengakhiri

hidupmu (yang ini aku tidak tahu pasti, hanya menebak). Tetapi mengenai hobi, musik,

film, pekerjaan, cita-cita, apa saja. Memandang suatu hal dengan cara masing-masing,

menyampaikannya, siapa yang benar? Tidak ada. Apa kesimpulannya? Tidak ada.

Aku berpikir bahwa cerita yang kau ceritakan itu adalah utuh. Sampai suatu ketika aku

mengetahui satu nama. Wanita. Memanggil namamu dengan sapaan mesra di akunmu,

kau membalas dengan tidak kalah mesranya. Ternyata ada satu potongan cerita yang

tidak kau ceritakan. Dan justru ini adalah potongan terpenting dari keseluruhan

ceritamu. Terpenting? Untuk siapa? Untukku. Ya, untukku.

Entah kenyamanan apa yang aku dapat dari komunikasiku denganmu selama sekian

waktu itu. Awal yang hanya menjadi tempat sampah masalahmu, kemudian berubah

menjadi teman bertukar pikiran, teman beradu argument, teman yang bisa memberikan

pandangan lain akan suatu hal atau masalah, kecuali masalahmu dengan wanita yang

mencampakkamu tentunya.

Potongan cerita itu aku tidak tahu, wanita itu juga tidak pernah kau sebut dalam semua

ceritamu. Kau hanya menyebut satu wanita, yaitu wanita yang mencampakkanmu. Tapi

bukan wanita ini, bukan yang meamanggilmu dengan sapaan mesra itu. Ah,

bodoh….siapa pula yang mengharuskannya menceritakan semua kepadaku? Tidak

ada.

Page 3: Sepotong cerita

Aku ternyata terjebak dalam anyaman mimpiku, harapan-harapan yang aku buat

sendiri. Tentu saja harapan yang membuatku nyaman dan bahagia. Aku lupa satu hal,

aku hanya tempat sampah masalah awalnya. Cerita ku dan ceritamu mungkin dituliskan

secara terpisah. Sehingga kita tidak bisa menjadi satu dalam satu cerita yang sama. Itu

hanya mimpiku, cerita yang aku tuliskan sendiri. Skenario yang aku buat-buat sendiri,

jalan cerita yang aku pilih sendiri dengan bermain tebakan. Tebakan dengan

kenyataan. Yang justru ternyata melelahkan, ya bermain tebakan dengan kenyataan itu

melelahkan, sungguh melelahkan.

Seharusnya jika kau tidak menginginkan tanaman berbunga, jangan kau sirami,

jauhkan dari matahari, atau cabut sampai akarnya lalu biarka kering terpanggang

panasnya matahari kemarau. Itu pintaku. Entah kau mengerti maksudku atau tidak.

Atau sebenarnya akulah yang menyiraminya sendiri? Dengan mimpi dan harapan yang

aku buat sendiri, yang aku anyam sendiri.

Aku tahu akhirnya ada satu potongan cerita yang tidak kau ceritakan tapi aku sudah

tahu sendiri. Lega. Kau telah move on. Mungkin belum sepenuhnya, tapi dari satu

potongan cerita itu aku tahu, usahamu untuk menakhlukkan dirimu sendiri sudah mulai

terlihat hasilnya. Kerja kerasmu untuk berdamai dengan masa lalumu sedikit telah

terlihat hasilnya. Walaupun akhir dari ceritamu itu belum jelas terlihat tapi aku sudah

tahu kemana arah cerita ini. Happy ending untukmu, aku doakan.

Dari awal kau memilihku untuk mendengarkan ceritamu, selanjutnya aku akan tetap

mendengar ceritamu, tetap akan beradu argument denganmu, tetap akan bertukar

pikiran denganmu. Ceritaku? Biar aku tuliskan di laptopku.

*Ilustrasi : http://www.tahupedia.com/content/show/124/Membaca-Kepribadian-Dari-Tulisan-Tangan