Upload
septy-serenade
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Saat aku menuliskan cerita ini, suasana di sini seperti biasa, sedikit sepi, tenang pasti
sangat berkebalikan dengan tempatmu. Malam belum lama tumbang, tapi di sini, di kota
kecil ini, suasana sudah berkurang dari kata ramai. Hanya sesekali terdengar suara
kendaraan lewat, mulai terdengar suara jangkrik, dan entah suara serangga lain yang
hanya terdengar pada malam hari. Berbeda dengan tempatmu, jam yang masih belum
berjalan jauh dari waktu isya, di tempatmu pasti masih ramai, masih bising, dan juga
dengan kilauan jutaan lampu itu.
Seperti biasa, aku sibuk mengotak-atik laptopku di kamar. Menuliskan rangkuman cerita
hari ini di file yang aku beri nama hidupku. Semua kejadian hari ini, kemarin, dan
kemarinnya lagi selalu aku ceritakan di file itu, diary, orang lebih suka menyebutnya itu.
Layar HP ku berkedip, tanda ada pesan masuk. Senyum, melihat itu darimu. Membalas
pesan yang tadi siang aku kirim. Obrolan sedikit. Membahas hal tidak terlalu penting.
Apa saja. Seperti biasa.
Malam itu hanya sebentar, 4…5 kali balasan lalu senyap. Seperti biasa. Selalu aku
yang terakhir membalas. Setelahnya tidak ada lagi , seperti aku bilang
tadi. Senyap. Membahas sesuatu tanpa kesimpulan, tapi bukankah tanpa kesimpulan
itu juga suatu kesimpulan? Entahlah.
Komunikasi seperti ini berlangsung memang belum terlalu lama, sejak kau memilihku
untuk menjadi pendengar ceritamu. Menjadi tempat sampah masalahmu. Sejak itulah
kita intens berkomunikasi, membahas apa saja.
Mulai dari kisah patah hati mu dengan seorang wanita yang meninggalkanmu, hingga
mengenai pandangan-pandanganmu akan sesuatu. Filsafat amatiran aku
menyebutnya.
Tidak detail memang, tapi aku cukup tahu perasaan itu, ditinggalkan, dicampakkan.
Bagaimana kau berusaha bangkit dari jatuhmu. Mengais sisa-sisa semangat yang
tercecer karena wanita. Mungkin kau terlalu mencintainya, hingga juga terlalu tersakiti
olehnya.
Move on, itu yang pernah kau katakan. Kau ingin move on, berdamai dengan masa lalu
mu, karena tidak mungkin untuk melupakan. Berdamai, menerima, itu lah yang bisa
dilakukan. Dan setelah obrolan tentang keinginanmu itulah kau memintaku untuk tidak
bertanya tentang masa lalumu lagi. Lucu, padahal dari awal kau yang memulai cerita
tentang semua, aku hanya mendengarkan, menjawab seperlunya, memberikan
pendapat sebisaku.
Intensitas komunikasi denganmu ternyata sedikit mengubahku. Beradu
argumentdenganmu, membahas hal tidak penting yang juga tidak menuai
kesimpulan. Menarik. Aku menikmati komunikasi seperti ini. Bukan lagi mengenai rasa
sakit hatimu, hilangnya semangatmu, atau mungkin keinginanmu untuk mengakhiri
hidupmu (yang ini aku tidak tahu pasti, hanya menebak). Tetapi mengenai hobi, musik,
film, pekerjaan, cita-cita, apa saja. Memandang suatu hal dengan cara masing-masing,
menyampaikannya, siapa yang benar? Tidak ada. Apa kesimpulannya? Tidak ada.
Aku berpikir bahwa cerita yang kau ceritakan itu adalah utuh. Sampai suatu ketika aku
mengetahui satu nama. Wanita. Memanggil namamu dengan sapaan mesra di akunmu,
kau membalas dengan tidak kalah mesranya. Ternyata ada satu potongan cerita yang
tidak kau ceritakan. Dan justru ini adalah potongan terpenting dari keseluruhan
ceritamu. Terpenting? Untuk siapa? Untukku. Ya, untukku.
Entah kenyamanan apa yang aku dapat dari komunikasiku denganmu selama sekian
waktu itu. Awal yang hanya menjadi tempat sampah masalahmu, kemudian berubah
menjadi teman bertukar pikiran, teman beradu argument, teman yang bisa memberikan
pandangan lain akan suatu hal atau masalah, kecuali masalahmu dengan wanita yang
mencampakkamu tentunya.
Potongan cerita itu aku tidak tahu, wanita itu juga tidak pernah kau sebut dalam semua
ceritamu. Kau hanya menyebut satu wanita, yaitu wanita yang mencampakkanmu. Tapi
bukan wanita ini, bukan yang meamanggilmu dengan sapaan mesra itu. Ah,
bodoh….siapa pula yang mengharuskannya menceritakan semua kepadaku? Tidak
ada.
Aku ternyata terjebak dalam anyaman mimpiku, harapan-harapan yang aku buat
sendiri. Tentu saja harapan yang membuatku nyaman dan bahagia. Aku lupa satu hal,
aku hanya tempat sampah masalah awalnya. Cerita ku dan ceritamu mungkin dituliskan
secara terpisah. Sehingga kita tidak bisa menjadi satu dalam satu cerita yang sama. Itu
hanya mimpiku, cerita yang aku tuliskan sendiri. Skenario yang aku buat-buat sendiri,
jalan cerita yang aku pilih sendiri dengan bermain tebakan. Tebakan dengan
kenyataan. Yang justru ternyata melelahkan, ya bermain tebakan dengan kenyataan itu
melelahkan, sungguh melelahkan.
Seharusnya jika kau tidak menginginkan tanaman berbunga, jangan kau sirami,
jauhkan dari matahari, atau cabut sampai akarnya lalu biarka kering terpanggang
panasnya matahari kemarau. Itu pintaku. Entah kau mengerti maksudku atau tidak.
Atau sebenarnya akulah yang menyiraminya sendiri? Dengan mimpi dan harapan yang
aku buat sendiri, yang aku anyam sendiri.
Aku tahu akhirnya ada satu potongan cerita yang tidak kau ceritakan tapi aku sudah
tahu sendiri. Lega. Kau telah move on. Mungkin belum sepenuhnya, tapi dari satu
potongan cerita itu aku tahu, usahamu untuk menakhlukkan dirimu sendiri sudah mulai
terlihat hasilnya. Kerja kerasmu untuk berdamai dengan masa lalumu sedikit telah
terlihat hasilnya. Walaupun akhir dari ceritamu itu belum jelas terlihat tapi aku sudah
tahu kemana arah cerita ini. Happy ending untukmu, aku doakan.
Dari awal kau memilihku untuk mendengarkan ceritamu, selanjutnya aku akan tetap
mendengar ceritamu, tetap akan beradu argument denganmu, tetap akan bertukar
pikiran denganmu. Ceritaku? Biar aku tuliskan di laptopku.
*Ilustrasi : http://www.tahupedia.com/content/show/124/Membaca-Kepribadian-Dari-Tulisan-Tangan