12
1 Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Oleh : Muhammad Mustofa Abstrak Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan dari bagian dari usaha penanggulangan penyimpangan perilaku. Dalam hal ini, maka program pembinaan generasi muda yang dirancang secara konseptual dan komprehensif menjadi penting. Usaha tersebut, secara internal merupakan usaha membangun moralitas dan etika individu untuk menjadi orang dewasa yang matang kepribadiannya dan matang secara sosial. Secara eksternal merupakan usaha membangun struktur masyarakat yang kondusif bagi usaha penghindaran generasi muda dari godaan dan pengaruh narkoba atau perilaku menyimpang lainnya. Pendahuluan Penyalahgunaan narkoba telah dipandang sebagai suatu perilaku menyimpang yang serius di tanah air ini. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya dua undang- undang yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkoba dan diberikannya sanksi yang berat bagi pelaku pelanggarannya. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Jenderal Polisi Dai Bachtiar, ketika ia menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Narkotika Nasional, data penyalahguna narkoba sampai dengan tahun 2000 yang tercatat dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 1996 tercatat 1.779 orang, tahun 1997 sebanyak 3.653 orang, tahun 1998 sebanyak 5.008 orang, tahun 1999 sebanyak 8.823 orang, dan tahun 2000 hingga bulan Juni sudah tercatat 3.185 orang. Sementara itu dalam data RSKO tersebut tercatat bahwa kelompok usia muda (antara 15 tahun hingga 29 tahun) yang tercatat sebagai pengguna merupakan 94 % dari keseluruhan pengguna narkoba (Dai Bachtiar, 2001). Menurut perkiraan Dr.dr Salamun, SpM, salah seorang aktivis rehabilitasi pengguna narkoba, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sebanyak 1,6 juta orang (Salamun, 2001). Terdapat politik hukum yang menarik dan baru dalam kedua undang-undang yang mengatur tentang narkoba tersebut di atas. Pertama untuk memastikan bahwa sanksi

Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan dari bagian dari usaha penanggulangan penyimpangan perilaku. Dalam hal ini, maka program pembinaan generasi muda yang dirancang secara konseptual dan komprehensif menjadi penting. Usaha tersebut, secara internal merupakan usaha membangun moralitas dan etika individu untuk menjadi orang dewasa yang matang kepribadiannya dan matang secara sosial. Secara eksternal merupakan usaha membangun struktur masyarakat yang kondusif bagi usaha penghindaran generasi muda dari godaan dan pengaruh narkoba atau perilaku menyimpang lainnya.

Citation preview

Page 1: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

1

Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba:

Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

Oleh : Muhammad Mustofa

Abstrak

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan dari bagian dari

usaha penanggulangan penyimpangan perilaku. Dalam hal ini, maka program

pembinaan generasi muda yang dirancang secara konseptual dan komprehensif

menjadi penting. Usaha tersebut, secara internal merupakan usaha membangun

moralitas dan etika individu untuk menjadi orang dewasa yang matang

kepribadiannya dan matang secara sosial. Secara eksternal merupakan usaha

membangun struktur masyarakat yang kondusif bagi usaha penghindaran

generasi muda dari godaan dan pengaruh narkoba atau perilaku menyimpang

lainnya.

Pendahuluan

Penyalahgunaan narkoba telah dipandang sebagai suatu perilaku menyimpang

yang serius di tanah air ini. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya dua undang-

undang yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkoba dan diberikannya

sanksi yang berat bagi pelaku pelanggarannya. Undang-undang yang dimaksud adalah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-undang Nomor

22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Jenderal Polisi Dai Bachtiar, ketika ia

menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Narkotika Nasional, data

penyalahguna narkoba sampai dengan tahun 2000 yang tercatat dirawat di Rumah Sakit

Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun

ke tahun. Tahun 1996 tercatat 1.779 orang, tahun 1997 sebanyak 3.653 orang, tahun 1998

sebanyak 5.008 orang, tahun 1999 sebanyak 8.823 orang, dan tahun 2000 hingga bulan

Juni sudah tercatat 3.185 orang. Sementara itu dalam data RSKO tersebut tercatat bahwa

kelompok usia muda (antara 15 tahun hingga 29 tahun) yang tercatat sebagai pengguna

merupakan 94 % dari keseluruhan pengguna narkoba (Dai Bachtiar, 2001). Menurut

perkiraan Dr.dr Salamun, SpM, salah seorang aktivis rehabilitasi pengguna narkoba,

jumlah pengguna narkoba di Indonesia sebanyak 1,6 juta orang (Salamun, 2001).

Terdapat politik hukum yang menarik dan baru dalam kedua undang-undang yang

mengatur tentang narkoba tersebut di atas. Pertama untuk memastikan bahwa sanksi

Page 2: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

2

hukuman sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat dirumuskan adanya hukuman

mininal atau denda minimal sebagai pembatas minimal hukuman yang dapat dijatuhkan

hakim. Kedua, bagi pengguna narkotika dan psikotropika, hakim yang mengadili selain

menjatuhkan hukuman kepada pelaku pelanggaran ia juga dapat memerintahkan yang

bersangkutan untuk menjalani pengobatan (Lihat pasal 47, UU No. 22/1977, dan pasal 41

UU No. 5/1977). Ketiga, kepada masyarakat diberi kesempatan untuk berperan serta

dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

Dilihat dari aspek perlindungan masyarakat dan pencegahan dini penyalahgunaan

narkoba, ketentuan perintah pengobatan kepada pengguna menjadi penting untuk

didiskusikan. Kalau perintah pengobatan tersebut merupakan keputusan pengadilan,

maka segala sarana dan prasarana pengobatan haruslah diselenggarakan oleh negara.

Seharusnya pengobatan sudah harus dilakukan sejak seorang tersangka pelanggaran

narkoba ditahan polisi. Kalau hanya bertumpu kepada rumusan undang-undang tersebut,

maka pengobatan terhadap pengguna narkoba baru dimulai setelah hal itu diputuskan

oleh pengadilan. Usaha pengobatan yang tidak mudah dan tidak murah yang akan

menjadi konsentrasi dari keputusan hakim, sesungguhnya akan dapat menjadi kontra-

produktif. Biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi terhadap 1,6 juta pengguna narkoba

(yang diperkirakan oleh Salamun) dalam jangka waktu dua tahun akan membutuhkan

dana sebesar Rp 38 trilyun, dengan perhitungan setiap pengguna membutuhkan dana Rp

1 juta per bulan (1.600.000 orang X 24 bulan X Rp 1 juta). Apabila penguna narkoba

tersebut tidak dirawat, mereka membutuhkan konsumsi narkoba sebesar Rp 50.000/hari,

dan akan mencapai jumlah Rp 80 milyar/hari hanya untuk kebutuhan narkoba. Sementara

itu masih terdapat kontroversi terhadap efektifitas pengobatan terhadap pencandu

narkoba. Apalagi sebanyak 30% pengguna narkoba dalam mengkonsumsi narkoba

mempergunakan jarum suntik yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS, dan 80 % dari

pengguna jarum suntik tersebut tertular HIV/AIDS yang memerlukan pemeriksaan

laboratorium paling sedikit dua kali setahun dengan biaya Rp 2 juta/orang. Biaya

pengobatan HIV/AIDS yang diperlukan perorang dengan obat generik adalah Rp 10

juta/tahun (Salamun, 2001). Betapa dilihat dari segi pembiayaan untuk mengobati atau

memasok kebutuhan pengguna narkoba memerlukan biaya yang luar biasa besar. Dan ini

jelas suatu pengeluaran untuk aktivitas yang sesungguhnya mubazir.

Page 3: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

3

Ada pendapat yang sangat pesimis yang mengatakan bahwa tingkat pengulangan

penggunaan narkoba (relapse) pasca penyembuhan mencapai angka 99,99 %, namun

adapula yang memberikan angka sekitar 70 %. Berapapun angka relapse penggunaan

narkoba menunjukkan bahwa usaha pengobatan terhadap pecandu narkoba dapat

dikatakan sebagai usaha yang mubazir. Kalaupun perintah pengobatan kepada pecandu

narkoba tersebut akan dipertahankan, seharusnya perintah itu tidak menjadi beban negara

tetapi beban dari terhukum atau pengguna sendiri. Alangkah lebih baik biaya yang besar

untuk usaha pengobatan tersebut dipergunakan untuk keperluan lain yang lebih penting

bagi hajat hidup masyarakat banyak. Dan kalau kita telaah secara lebih obyektif, ketika

seseorang mengkonsumsi narkoba, tiada orang lain yang dirugikan kecuali dirinya

sendiri. Oleh karena itu tidaklah pantas kalau kemudian beban penanggulangan

penyalahgunaan narkoba menjadi beban rakyat melalui anggaran belanja negara.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam rangka menanggulangi

penyalahgunaan narkoba kita perlu membuat prioritas-prioritas yang realistis.

Pencegahan dini adalah pilihan yang tepat. Dalam hal ini pengertian pencegahan dini

diartikan sebagai memberikan perhatian kepada generasi muda sejak dini agar tidak

terjebak dalam penyalahgunaan narkoba. Kalau pengguna sudah dewasa secara hukum,

kita dapat mengabaikan perhatian dan meletakkan tanggungjawab pengobatan kepada

yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mewujudkan

pencegahan dini tersebut. Makalah ini akan menyoroti usaha pencegahan dini

penyalahgunaan narkoba ditinjau secara sosiologi hukum.

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba.

Penyalahgunaan narkoba sesungguhnya merupakan bentuk perilaku menyimpang

karena tidak sesuai dengan perasaan moralitas masyarakat. Dalam kaitan ini

sesungguhnya penyalahgunaan narkoba hanyalah merupakan salah satu dari isu

penyimpangan perilaku. Oleh karena itu usaha membangun ketangguhan masyarakat

untuk mempertahankan diri dari gangguan penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan

sebagai bagian integral dari usaha masyarakat dalam menghadapi berbagai bentuk

penyimpangan perilaku. Sebagai pencegahan dini maka usaha membuat masyarakat

mempunyai ketangguhan menghadapi gangguan penyimpangan perilaku adalah usaha

Page 4: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

4

untuk membuat generasi muda tidak terpengaruh untuk melakukan penyimpangan

perilaku.

Membuat masyarakat aman dari gangguan penyimpangan perilaku seharusnya

sudah merupakan mekanisme yang melekat dalam masyarakat itu sendiri dalam bentuk

pengendalian sosial. Pengendalian sosial terhadap penyimpangan perilaku yang efektif

harus merupakan perwujudan sejumlah asas pengendalian sosial secara sinergis yang

meliputi:

a. Adanya regulasi yang jelas.

b. Adanya sosialisasi regulasi yang terencana.

c. Adanya fasilitasi untuk mengikuti regulasi.

d. Penerapan sanksi merupakan upaya akhir.

Aspek regulasi.

Memang benar bahwa UU No.5/1997 dan UU NO.22/1997 merupakan regulasi

yang cukup jelas tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan sanksi apa yang akan

dikenakan bagi pelanggarnya. Namun demikian kalau kedua undang-undang ini secara

konsekuen dilaksanakan, yang terjadi adalah adanya pemborosan dana dan tenaga untuk

melakukan pengobatan bagi pengguna yang dihukum. Padahal tingkat relapse

penggunaannya tinggi. Dengan demikian perlu adanya penyempurnaan terhadap kedua

undang-undang tersebut. Misalnya biaya pengobatan bagi pengguna (dewasa) yang

dihukum harus ditanggung oleh terhukum sendiri. Selain itu karena tingkat relapse yang

tinggi pula maka para pengguna yang pernah dihukum akan besar kemungkinannya

menjadi residivis. Oleh karena itu barangkali perlu dipertimbangkan apakah tidak lebih

baik menyediakan “rumah madat” saja bagi pengguna yang sudah dewasa dengan

menerapkan pengawasan yang ketat terhadap rumah madat tersebut. Terdapat pandangan

kritis bahwa pada dasarnya klinik atau rumah sakit rehabilitasi ketergantungan narkoba

yang semakin banyak didirikan belakang ini lebih banyak bertindak sebagai penyedia

narkoba karena tidak menunjukkan tingkat pengurangan pengguna. Tingkat relapse yang

tinggi dari pengguna yang pernah mengalami rehabilitasi, antara lain yang menghasilkan

kritik yang pedas ini. Berkaitan dengan ini pencegahan dini penyalahgunaan narkoba

Page 5: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

5

dapat difokuskan kepada generasi muda agar tidak terpengaruh untuk menyalahgunakan

narkoba.

Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba yang difokuskan kepada generasi muda

tidak cukup hanya dalam bentuk larangan-larangan, tetapi yang lebih penting adalah

merancang aktivitas penghindaran. Aktivitas penghindaran yang dimaksud di sini adalah

suatu program sosial bagi generasi muda sesuai dengan status usianya. Dalam kaitan ini

kita perlu memiliki undang-undang pembinaan generasi muda yang terencana yang

mengatur hak dan kewajiban mereka sesuai dengan kelompok usianya. Misalnya pada

usia 0 hingga 5 tahun, merupakan masa awal pertumbuhan seorang insan sebagai mahluk

hidup dan mahluk sosial yang belum dapat menentukan kehendak terbaik bagi dirinya.

Kelompok usia ini secara sosial dan hukum perlu diberi status di bawah perlindungan

orang tua. Artinya harus ada peraturan perundangan yang memastikan bahwa anak dalam

usia 0 – 5 tahun berkembang di bawah naungan orang-tuanya, sedapat mungkin orang tua

kandungnya. Demi perlindungan anak ini maka apabila kita menemukan bahwa orang tua

anak tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan peran orang tua secara sosial, maupun

secara psikologis, dapat diciptakan hukum untuk mencabut hak perlindungan dari orang

tua tersebut dan negara menyerahkan perlindungan anak kepada “orang tua” lain yang

cakap.

Setelah anak melampaui usia 5 tahun hingga mencapai usia dewasa (muda),

misalnya 18 tahun (sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun

1997), generasi ini diberi status berada di bawah pengawasan orang dewasa. Kepada

kelompok usia ini perlu dirancang program-program sosial untuk menghindarkan

keterlibatan mereka dalam perilaku menyimpang, termasuk menyalahgunakan narkoba.

Sebab pada usia ini mereka sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat, namun mereka

belum sepenuhnya dapat mandiri. Oleh karena itu mereka harus selalu berada di bawah

pengawasan orang dewasa. Dalam hal ini lembaga pendidikan formal dan non formal

akan memegang peranan penting.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjalankan fungsi pengawasan

dalam rangka melaksanakan fungsi utamanya menyelenggarakan pendidikan. Untuk

memastikan bahwa sebagian besar waktu anak selalu berada dalam pengawasan orang

dewasa, maka lembaga pendidikan formal harus diselenggarakan sejak pagi hingga sore.

Page 6: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

6

Sebab kalau sekolah hanya diselenggarakan sampai siang hari saja atau setengah hari

saja (seperti sekarang ini), akan terdapat waktu luang yang cukup banyak yang

menempatkan anak tidak berada di bawah pengawasan siapapun. Keadaan ini tentu saja

akan merupakan keadaan rawan terhadap pengaruh penyimpangan perilaku. Berdasarkan

pengamatan, penyalahgunaan narkoba dan penyimpangan sosial yang lain terjadi karena

kurangnya pengawasan terhadap kelompok usia ini ketika berada di luar pengawasan

orang tua (keluarga) maupun berada di luar lingkup sekolah.

Dalam usia hingga 18 tahun ini perlu diberlakukan undang-undang tentang

perilaku anak (semacam “Juvenile Act” yang diberlakukan di Amerika Serikat) yang

mengatur apa yang harus dilakukan anak (yaitu belajar dan menjalani proses sosialisasi

nilai dan norma sosial serta nilai dan norma keagamaan) dan apa yang tidak boleh

dilakukan (misalnya membolos sekolah, merokok, mengkonsumsi narkoba, alkohol,

pornografi, berada di tempat-tempat hiburan malam dsb). Agar ketentuan tersebut dapat

lebih efektif dilaksanakan, maka regulasi tersebut harus secara tegas pula menyebutkan

agar orang dewasa dilarang menyuruh membeli rokok, menjual rokok dsb. kepada

mereka yang berusia anak, lengkap dengan sanksinya.

Setelah usia 18 tahun dilampaui masih perlu pula adanya pengaturan tentang

kapan seseorang akan dibiarkan kalau yang bersangkutan memilih untuk melakukan

kemaksiatan seperti merokok, minum minuman keras termasuk mengkonsumsi narkoba

dan pornografi. Terkait dengan itu perlu pula diatur di tempat-tempat mana saja

kemaksiatan tersebut boleh dilakukan. Negara seperti Amerika Serikat saja yang sering

dijadikan acuan modernisasi memiliki perangkat hukum yang ketat terhadap generasi

muda. Sebagai contoh konkrit beberapa waktu yang lalu putri Presiden Amerika Serikat

ditangkap dan dihukum karena membeli minuman beralkohol sebelum mencapai usia

yang dibolehkan oleh hukum. Bahkan ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat

menyebutkan bahwa untuk dapat memasuki tempat-tempat hiburan malam, seperti

nightclub, discotheque, casino seseorang harus sudah berusia 21 tahun. Hal itu dilakukan

karena tempat-tempat hiburan seperti yang tersebut tadi pada umumnya adalah tempat

maksiat. Kita sendiri, sebagai bangsa yang mengagungkan filosofi Pancasila tidak

mempunyai peraturan perundangan seperti itu. Dengan demikian, apabila kita

mengahadapi tingkat penyimpangan perilaku yang tinggi di kalangan generasi muda, hal

Page 7: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

7

itu antara lain karena kita tidak mempunyai peraturan perundangan yang baik yang

mengatur proses sosialisasi dan pengendalian sosial generasi muda untuk mempersiapkan

mereka menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Yang terjadi

sesungguhnya adalah proses pembiaran terhadap masa depan generasi muda tersebut.

Aspek sosialisasi dari regulasi

Membuat undang-undang relatif mudah, tetapi membuat undang-undang yang

dapat terlaksana secara efektif tidaklah mudah. Aspek penting bagi efektivitas regulasi

antara lain adalah apabila ada upaya sosialisasi yang terencana tentang adanya regulasi.

Sosialisasi ini harus dilaksanakan sesuai kemampuan intelektualitas sasaran sosialisasi.

Apabila lembaga pendidikan formal diberi peran menjadi pengawas utama dari anak usia

5–18 tahun sebagaimana diusulkan di atas, maka lembaga pendidikan juga harus

merupakan lembaga yang efektif untuk melakukan sosialisasi atas regulasi. Namun

demikian sosialisasi regulasi tidak berarti harus ada mata pelajaran tertentu yang

membahas regulasi tersebut. Dalam hal ini melalui pelaksanaan “hidden curriculum”

sosialisasi regulasi akan lebih efektif.

Sosialisasi tentang dampak negatif penyalahgunaan narkoba dapat juga diberikan

dalam bentuk bahan bacaan untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Dulu, pernah terdapat

suatu bahan bacaan di sekolah yang menceritakan tentang bagaimana negatifnya

penggunaan candu. Dalam bahan bacaan tersebut diceritakan ada seorang petani yang

menjual ternaknya ke kota karena memerlukan uang untuk membeli bibit tanaman.

Sepulang dari pasar menjual ternak, petani tersebut melewati suatu “rumah madat”. Ada

seorang pegawai rumah madat yang bertugas mencari konsumen seperti seorang sales

promotion. Petugas sales promotion membujuk petani yang habis menjual ternaknya

tersebut dengan mengatakan bahwa kalau ingin menikmati keindahan surga maka rumah

madat tersebut tempatnya. Akhirnya si petani terbujuk dan terperangkap menjadi pecandu

madat. Bibit tanaman yang akan dibeli tidak terbeli, rumah tangganya berantakan. Bahan

bacaan seperti itu yang tidak secara indoktrinatif menggambarkan pengaruh negatif

madat, akan lebih mudah dicerna oleh akal sehat anak usia sekolah daripada

menyebarluaskan poster dan slogan-slogan anti narkoba.

Page 8: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

8

Aspek fasilitasi untuk mengikuti regulasi.

Aspek fasilitasi ini merupakan berbagai usaha yang dilakukan untuk membuat

agar generasi muda usia sekolah betul-betul terhindar dari kemungkinan

menyalahgunakan narkoba. Penyelenggaraan wajib belajar dengan pengertian bahwa

sampai dengan usia tertentu (18 tahun) negara wajib menyelenggarakan pendidikan

secara cuma-cuma dengan kualitas yang sama di mana saja di tanah air ini merupakan

salah satu bentuk konkrit dari fasilitasi tersebut. Dengan demikian peraturan perundangan

yang menjamin penyelenggaraan wajib belajar tersebut juga merupakan bentuk fasilitasi,

padahal sampai sekarang ini kita belum mempunyai undang-undang wajib belajar.

Demikian pula alokasi anggaran pendidikan pada APBN dan APBD juga harus secara

proporsional mencukupi bagi penyelenggaraan wajib belajar.

Fasilitasi yang tidak kalah pentingnya dari penyelenggaraan wajib belajar adalah

perwujudan dari konstitusi, misalnya: bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang

layak bagi kemanusiaan; dan bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh

negara. Kalau janji-janji konstitusi tersebut tidak terselenggara, akan sulit rasanya

menyelenggarakan program penghindaran generasi muda dari kemungkinan terlibat

penyalahgunaan narkoba. Di Indonesia ini masih terdapat anggapan bahwa anak

merupakan aset keluarga, sehingga apabila orang tuanya miskin maka anak harus

membantu keluarganya untuk mencari nafkah. Dengan demikian menyelenggarakan

wajib belajar saja tanpa diikuti dengan menyejahterakan orang tuanya akan merupakan

usaha yang tidak efektif.

Aspek fasilitasi ini akan lebih mudah dicerna melalui analogi di bawah ini. Dalam

rangka menerapkan nilai-nilai kebersihan dibuat peraturan (regulasi) “dilarang

membuang sampah sembarangan”. Kemudian untuk membuat agar peraturan tersebut

diketahui oleh orang banyak dibuat berbagai poster dan himbauan “buanglah sampah

ditempatnya”, atau “bersih pangkal sehat’, “kebersihan pangkal dari keimanan” dst.

Pembuatan poster adanya larangan dan himbauan tersebut adalah bentuk sosialisasi dari

nilai dan aturan tentang kebersihan. Namun demikian regulasi dan sosialisasi tersebut

belum menjamin bahwa nilai-nilai kebersihan akan terwujud. Dalam hal ini perlu adanya

fasilitasi dalam bentuk menyediakan tempat sampah dan tempat pembuangan sampah

yang memadai. Kalau fasilitasi tempat sampah dan tempat pembuangan sampah tidak

Page 9: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

9

tersedia, maka menerapkan sanksi bagi seseorang yang membuang sampah sembarangan

bukanlah merupakan tindakan bijaksana.

Penerapan sanksi sebagai upaya akhir

Apabila kita sudah mempunyai program-program regulasi, sosialisasi dan

fasilitasi dalam pembinaan generasi muda yang merupakan perwujudan pencegahan dini

penyalahgunaan narkoba, maka sudah pada tempatnya kita berpikir dan bertindak

terhadap pelaku pelanggaran. Meskipun demikian penghukuman terhadap pelaku

pelanggaran harus merupakan upaya yang paling akhir untuk dilaksanakan. Sementara itu

apabila penerapan sanksi ini terpaksa harus dilaksanakan, maka penerapannya harus

selektif. Artinya apabila pelaku pelanggaran adalah mereka yang masih tergolong usia

muda, maka segala daya harus diupayakan untuk membuat pelaku yang berusia muda ini

dapat betul-betul terintegrasi kembali ke masyarakat.

Penyembuhan secara fisik dan psikologis terhadap pecandu narkoba tidak akan

ada gunanya, apabila tidak disertai dengan usaha terapi dan rehabilitasi sosial. Menyebut

mereka yang berusia muda yang melakukan penyalahgunaan narkoba sebagai korban

penyalahgunaan narkoba merupakan langkah awal yang simpatik. Dengan cara seperti itu

kita mengisyaratkan bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk diterima kembali

sebagai bagian dari warga masyarakat seperti semula.

Dalam cara kerja pengedar narkoba, mereka berusaha keras menjaga

“konsumennya”. Korban dari pengedar narkoba ini akan selalu dimonitor keberadaannya.

Apabila “konsumen” mereka menghilang, para pengedar tersebut akan berusaha keras

mencarinya. Dan biasanya, apabila seorang pecandu narkoba yang sudah dinyatakan

sembuh dari ketergantungan narkoba bertemu dengan pengedar atau kembali ke

lingkungan tempat ia biasa mengkonsumsi narkoba, kemungkinan terjadinya relapse

penggunaan menjadi besar. Oleh karena itu, ketahanan sosial lingkungan untuk

mengidentifikasi pengedar yang berusaha menghubungi bekas konsumennya menjadi

penting. Lingkungan sosial tempat tinggal bekas pecandu narkoba dapat didayagunakan

untuk membentengi korban penyalahgunaan narkoba tersebut agar tidak kembali menjadi

pengguna. Seringkali, karena kewalahan terhadap gangguan dan godaan pengedar

narkoba, ada keluarga yang anggotanya baru saja disembuhkan dari ketergantungan

Page 10: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

10

narkoba terpaksa pindah tempat tinggal yang cukup jauh dari tempat tinggal semula.

Namun tidak semua keluarga korban penyalahgunaan narkoba mempunyai kemampuan

mobilitas seperti itu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka melakukan

pencegahan dini agar supaya generasi muda tidak terjebak dalam penyalahgunaan

narkoba, maka perlu adanya usaha untuk membangun benteng eksternal individu yang

kondusif bagi usaha penghindaran dari pengaruh narkoba. Serentak dengan itu dilakukan

penguatan internal individu agar tumbuh sikap rasional anti narkoba, melalui pemahaman

konkrit atas dampak yang merugikan dari narkoba.

Secara teoritis, uraian di atas dapat dijelaskan dengan mempergunakan kerangka

teori yang dikemukakan oleh Walter Reckless “A Non-causal Explanation: Containment

Theeory” (1962). Reckless berasumsi bahwa dalam struktur sosial terdapat benteng yang

dapat melindungi orang dari tindakan yang menyimpang dan melanggar hukum.

Sedangkan dalam diri individu terdapat juga benteng yang selaras dengan benteng

eksternal tersebut. Kedua benteng tersebut berfungsi sebagai penghalang agar seseorang

tidak melakukan penyimpangan norma dan penyimpangan hukum, mengisolasi individu

dari pengaruh dan rangsangan demoralisasi (Reckless, 1962: 131-134). Namun demikian

agar supaya kedua benteng tersebut berfungsi secara efektif, menurut Reckless

diperlukan sejumlah kondisi, yaitu:

a. Pada tingkat struktur sosial harus terdapat komponen:

1. Struktur peran yang jelas dari setiap individu.

2. Adanya batas tanggung jawab yang rasional bagi setiap individu.

3. Adanya kesempatan bagi setiap individu untuk meraih suatu status.

4. Adanya keakraban masyarakat, termasuk aktivitas bersama dan

kebersamaan.

5. Adanya perasaan kebersamaan (identifikasi diri terhadap kelompok).

6. Identifikasi terhadap beberapa orang dalam kelompok.

7. Tersedia alternatif bagi cara-cara pencarian kepuasan (bila karena

suatu hal terhambat).

Page 11: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

11

b. Pada tingkat individu harus dapat dihasilkan:

1. Citra diri yang baik ketika berhubungan dengan orang lain, kelompok

dan lembaga kemasyarakatan.

2. Kesadaran dalam diri sebagai orang yang mempunyai tujuan.

3. Toleransi yang tinggi terhadap keadaan frustasi.

4. Moral dan etika yang mendarah daging.

5. Ego dan superego yang matang (Reckless, 1962:131-134).

Secara skematis, usaha untuk membangun benteng struktur sosial dalam rangka

pembinaan generasi muda dapat digambarkan sebagai berikut:

USIA STATUS SOSIAL TG JAWAB HUKUM PROGRAM PEMBINAAN

0-5 Th Di bawah lindungan

orang tua

Tidak dapat dimintai

tanggung jawab

Perlindungan & kesejahteraan anak

Kesehatan ibu dan anak

6-18 Th Di bawah pengawasan

orang dewasa

Tanggung jawab pidana

sebagian

Partisipasi sosial seba-

gian

Wajib belajar

Sosialisasi nilai norma sosial dan

agama

19-21Th Di bawah pembinaan

masyarakat, dengan pe-

ngawasan sebagian

Tanggung jawab pidana

penuh

Partisipasi sosial seba-

gian

Persiapan kerja

Pembentukan citra diri

21 Th dst Orang dewasa penuh Tanggung jawab pidana

dan partisipasi sosial

secara penuh

Fasilitasi kerja dan pembinaan

karir

Perlu diakui bahwa secara partial sudah terdapat beberapa peraturan perundangan

yang dapat dikaitkan dengan program pembinaan generasi muda yang diusulkan. Namun

peraturan-peraturan perundangan tadi tidak secara komprehensif merupakan bagian

integral yang secara konseptual dirancang untuk mempersiakan generasi muda untuk

menjadi orang dewasa yang mempunyai kematangan kepribadian dan kematangan sosial.

Oleh karena itu program pembinaan generasi muda sebagai upaya dini penanggulangan

penyimpangan perilaku (termasuk penyalahgunaan narkoba) menjadi tidak dapat

diabaikan.

Page 12: Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum

12

Bacaan

Bachtiar, Dai

2001 “Kebijakan Pemerintah Tentang Narkoba”, Makalah, Lokakarya Nasional

Peran Lembaga Pendidikan dan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini

Penyalahgunaan Narkoba, LPM UI- Yayasan Panca Sejahtera, 29-30 Oktober.

Reckless, Walter C.

1962 “Non-Causal Explanation: Containtment Theory”, Excerpta

Crimiologica, March/April.

Salamun

2001 “Dampak Penyalahgunaan Narkoba Dari Perspektif Ekonomi Mikro”,

Makalah, Lokakarya Nasional Peran Lembaga Pendidikan dan

Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba,

LPM UI- Yayasan Panca Sejahtera, 29-30 Oktober.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.