24
Dicky Ramadhan (07) Farisa Ramadhani (10) Mugianti Puspita Sari (21) Nurul Mawaddah (28) Poppi Fiqig Ingerti (29) NAMA KELOMPOK XII-IPA 1

Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ISLAM TIME

Citation preview

Page 1: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Dicky Ramadhan (07) Farisa Ramadhani (10) Mugianti Puspita Sari (21) Nurul Mawaddah (28) Poppi Fiqig Ingerti (29)

NAMA KELOMPOK

XII-IPA 1

Page 2: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Sumber

Huku

m

Islam

yan

g

Disepak

ati

Ulama

Sumber Hukum

Islam yang

Tidak

Disepakati

Ulama

Sumber-Sumber Hukum Islam

Page 3: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Sumber Hukum yang Tidak

Disepakati Ulama

Istihan

Maslahah

Mursalah

Istishab

‘UrfMazhab Sahabi

Syar’u Man

Qablana

Saddu az-

Zari’ah

Page 4: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Secara etimologi ‘urf berarti “ sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi kata ‘urf mangandung makna:

تعاوفوا لفظ أو ، بينهم شاع فعل Dكل من وسارواعايه الناس مااعتادهعندسماعه يتبادرغيره وال اللغة التألفة خاص معنى على .إطالقة

Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

‘Urf

Page 5: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Adat adalah sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar. Adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Tetapi para ulama’ ushul fiqih membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannyasebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut musthafa ahmad al-zarqa’ ( guru besar fiqh islam di universitas ‘amman, jordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf.

‘Urf

Page 6: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

‘Urf

  Dari segi objeknya ‘urf dibagi menjadi dua :a.       Al-‘urf al-lafdzi ( kebiasaan yang menyangkut ungkapan )Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,

sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.Contoh : ungkapan “daging” yang berarti sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.

Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu kilogram “, pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b.      Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan )Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang

dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.

Contoh : kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang di beli itu di antarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang di beli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa di bebani biaya tambahan.

Page 7: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

‘Urf

 Dari segi cakupan nya ‘urf di bagi menjadi dua yaitu :a. Al-‘urf al-‘am ( kebiasaan yang bersifat umum )

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.Contoh : kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.

b. Al-‘urf al-khas ( kebiasaan yang bersifat khusus )Adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu.Contoh :dikalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat yang lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

Page 8: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

‘Urf

 Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ ‘urf di bagi menjadi dua yaitu :a. Al-‘urf al-shokhih ( kebiasaan yang dianggap sah )

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan nash ( ayat atau hadist ), tidak menghilangkan kemaslakhatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.Contoh : dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

b. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak )Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.Contoh : dalam “penyuapan “ . untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang mengenai urusannya.

Page 9: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

SYARAT-SYARAT ‘URFPara ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat di jadikan sebagai salah satu dalil dalam

menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :1. ‘urf itu ( baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan ),

berlaku secara umum. Artinya, “ ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya di anut oleh mayoritas masyarakat tersebut.

2. ‘urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

3. ‘urf itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli es, di sepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang  kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.

4.‘urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. ‘urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’, karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

‘Urf

Page 10: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Setelah rasulullah saw. wafat, maka tampilah para sahbat untuk memberi fatwa dan membentuk hukum bagi kaum muslim. Apa yang dikatakan oleh para sahabat tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnyaa dari

rasulullah saw.

Ucapan sahabat yang tidak mendapat reaksi dari sahabat lain adalah menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab, penyesuain mereka dalam masalahpada masa mereka hidup masih dekat dengan hidup rasulullah saw. Dan pengetahuan mereka mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’l dari rasulullah saw. Misalnya, keputusan abu bakar ra. Perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersam sama adalah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata atas mereka.

Mazhab Sahabi

Page 11: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Mazhab Sahabi

Dalam pandangan Abu Zahrah, fatwa sahabat bisa terdiri dari beberapa bentuk:a. Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia tidak

menyatakan bahwa berita itusabagai sunnah Nabi SAW.b. Apa yang diberitakan sahabt itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah

mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut tidak memperjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.

c. Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al Qur’an yang orang lain tidak memahami.

d. Sesuatu yang disampaikan sahabat terlalu disepakati lingkugannya, namun, yang menyampaikannya hanya sahabat itu seorang diri.

e. Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kemapuannya dalam bahasa an dalam pengguaan dalil lafal.

Page 12: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Mazhab Sahabi

Kehujjahan Mazhab Sahabi dan Pandangan Para Ulama

Dari uraian di atas, tidak diragukan bagi bahwa pendapt para sahabat dianggap sabagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang terlaksana dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber lansung dari Rasulullah SAW. Seperti ucapan Aisyah; “ Tidak berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar urutan yang dapat mengubah bayangan alat tenun”. Keterangan tersebut tidaklah sah untuk dijadikan lapangan. Ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasul. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.Maksud kehujjahan adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sabagaiana berdosanya meninggalkan perintah Rasul.

Page 13: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Mazhab Sahabi

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:1) Pendapat sahabat yang berbeda di luar lingkup ijtihad (di luar masalah ta’abbudi atau hal lain yang

secara qath’i berasal dari Nabi), dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara/metode yang lazim (berlaku).

2)Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu, diperlukan. Pada ulama sepakat bahwa sahabt lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul, diantaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu: Ibnu Subki dan Asnawi yang mengajukan argumentasi sebagai berikut:

3)Bila sahabat yang lain itu adalah mujtahid,maka pendapat seorang sahabat tidak dapat diberlakukan bagi shabt lain itu, karena seorang mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada yang sesame sahabat lainnya. Kalau sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqalid (bertaqlid), namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang mujtahid.

4)Ada ijma’ kalangan sahabat yang membolehkan seorang sahabat berbeda pendapat dengan sahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap sahabat lainnya. Tiak ada celaan dari seorang sahabat terhadap sahabat lain. Bila ia tidak sependapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mepunyai kekuatan yang mengikat bagi sahabat lainnya.

Page 14: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Menurut al-Ghazali (2000: 165), al-Amidi (1996, IV: 294; 2003: 239), asy-Syaukani (tt.: 345), Qannuraji (2003: 346), yang semuanya mengatakan bahwa

hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari’at terdahulu sebelum syari’at Nabi

Muhammad (Islam).

 Khallaf (1978: 93) menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu). Sedangkan Zahrah (t.t.: 241) membatasi bahwa syari’at-syari’at yang diturunkan tersebut adalah syari’at samawiyyah. Hasballah (1997: 63) juga mengungkapkan bahwa Syar’u man Qablana adalah “al-syara’i’ al-sabiqah” (syari’at-syari’at sebelum Islam). Definisi syar’u man qablanatampak jelas dalam ungkapan Zaidan (1998: 263) yang mengatakan bahwa ia adalah “al-ahkam allati syara’aha Allah Ta’ala liman sabaqana min al-umam, wa anzalaha ‘ala anbiyaihi wa rusulihi litablighiha litilka al-umam” (hukum-hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu).

Syar’u Man

Qablana

Page 15: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili (2001, II: 867) menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.

Syar’u Man

Qablana

Page 16: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Syar’u Man

Qablana

Memposisikan Kembali Syar’u Man Qablana dalam Hukum Islam di Zaman Sekarang

Upaya menafsirkan kembali syar’u man qablana dengan jalan mengkonstekstualisasikannya di zaman sekarang merupakan suatu keniscayaan, agar orientasi syar’u man qablana dapat diperlebar ruang lingkupnya pada hal-hal lain yang tampaknya jauh lebih dibutuhkan daripada sekedar pembatas, pembatal atau pengganti hukum umat terdahulu. Dengan demikian ia akan lebih layak disebut sebagai metode daripada posisinya di masa lalu yang hanya digunakan untuk menentukan berlaku atau tidaknya syari’at nabi-nabi terdahulu dalam syari’at Nabi Muhammad.

Page 17: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Dari segi etimlogi dzariah berart wasila (perantaraan), sedangkan dzariah menurut istilah ahli hukum islam, ialah sesuatu yang menjadi

perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzariah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya.jelasnya perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah, perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram dan perbuatan yang menjad perantara atas terlaksanaya perbuatan wajib adalah wajib, misalnya zina adalah haram maka melihata aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga.

Contoh : Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini untuk menutup jalan agar jangan sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.

Saddu az-

Zari’ah

Page 18: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Saddu az-

Zari’ah

 Dasar hukum :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu berkata ro’ina, tetapi katakanlah ‘undhurna (dan dengarlah)” (al –baqarah 104)

 Dasar sunnah : Nabi melarang penimbunan karena penimmbunan itu menjadi dzariah kepada kesempitan atau kesulitan

manusia.

Page 19: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Saddu az-

Zari’ah

 Menurut Imam Asy Syatibi, terbagi atas 4 jenis, yaitu:a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur

di depan rumah orang lainpada waktu malam dan menyebabkan pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.

b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kemafsadatan.

c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya menjual senjata kepada musuh.

d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Seperti bay’ al ajal yaitu jual beli dengan harga lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan.

Page 20: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Saddu az-

Zari’ah

Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagiannya ada 2 jenis, yaitu:a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang

mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan mafsadatb) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan

untuk melakukan suatu perbuatan haram, baik disengaja ataupun tidak. Seperti seorang lelaki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bias kembali pada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil)

Page 21: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Saddu az-

Zari’ah

Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa saad dzari’ahdapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, dengan alasan hal tersebut berdasarkan pada:

1). Surat Al-An’am 6:108

“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan”

Page 22: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Saddu az-

Zari’ah

2). Sabda Rasulullah SAW“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat keduaorang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab, ‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicacimaki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)Hadis ini menunjukkan bahwa saad dzari’ah termasuk salah satu alas an untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasulullah tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu, Rasulullah melarangnya.Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad dzari’ahsebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada kasus-kasus lain. Imam Syafi’I memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan makan didepan orang lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah.Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syakk (akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi bila ia seorang mufti.

Page 23: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

Sumber Hukum yang Tidak

Disepakati Ulama

Istihan

Maslahah

Mursalah

Istishab

‘UrfMazhab Sahabi

Syar’u Man

Qablana

Saddu az-

Zari’ah

Page 24: Sumber hukum islam yang tidak disepakati oleh ulama’ 2

SEKIAN, TERIMA KASIH

WASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.