15
Analisis Kompensasi Tanaman Masyarakat didalam Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros Sulawesi Selatan ( Studi Kasus Pak Patu ) Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study) Muh. Ichwan K Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Email : [email protected] ABSTRACT This research aimed to identify (1) the value of compensation for the utilization of the National Park by Pak Patu (2) analyzing the compensation system for the utilization of the National Park by Pak Patu. The research was conducted at Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros in August to October 2012. Data was collected through the inventory stands, interviews and focused discussions. Research analysis of Quantitative descriptive analysis and Approach of Rehabilitation Cost. The results showed that its analysis of costs and revenues total cost for the construction of tree stands of Pak Patu Rp. 369 519 038, - and a revenue of Rp. 935 157 500, - and the calculation of Land Rent, where Pak Patu paid land lease for 16 years at Rp. 491,734,655, - if Pak Patu harvest the results of his efforts, however, if Pak Patu can not harvest his efforts to build a tree stand, the government should provide compensation to Mr. Patu, Alternative 1 is Rp. 443 422 845, - from the costs of Pak Patu for 16 years and alternative 2 Rp. 812 941 883, - where the total cost plus the total revenue minus the land lease. 1

Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Analisis Kompensasi Tanaman Masyarakat didalam Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros Sulawesi

Selatan ( Studi Kasus Pak Patu )

Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi

(Pak Patu’s case study)

Muh. Ichwan KFakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Email : [email protected]

ABSTRACT

This research aimed to identify (1) the value of compensation for the utilization of the National Park by Pak Patu (2) analyzing the compensation system for the utilization of the National Park by Pak Patu. The research was conducted at Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros in August to October 2012. Data was collected through the inventory stands, interviews and focused discussions. Research analysis of Quantitative descriptive analysis and Approach of Rehabilitation Cost. The results showed that its analysis of costs and revenues total cost for the construction of tree stands of Pak Patu Rp. 369 519 038, - and a revenue of Rp. 935 157 500, - and the calculation of Land Rent, where Pak Patu paid land lease for 16 years at Rp. 491,734,655, - if Pak Patu harvest the results of his efforts, however, if Pak Patu can not harvest his efforts to build a tree stand, the government should provide compensation to Mr. Patu, Alternative 1 is Rp. 443 422 845, - from the costs of Pak Patu for 16 years and alternative 2 Rp. 812 941 883, - where the total cost plus the total revenue minus the land lease.

Key words :the value of compensation, the National, Pak Patu, Quantitative descriptive

PENDAHULUAN

Sumberdaya hutan memiliki fungsi yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan manusia (life support system). Untuk mendukung fungsi tersebut, pemerintah telah menata kawasan hutan dengan fungsi utamanya masing-masing, yaitu, (1) hutan konservasi untuk tujuan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, (2) hutan lindung unuk tujuan mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah dan (3) hutan produksi untuk tujuan memproduksi hasil hutan (Supratman,2008)

Penggunaan kawasan hutan seperti tersebut di atas, pada banyak kasus, mengabaikan karakteristik sumberdaya hutan sebagai ekosistem sehingga menimbulkan kontradiksi (incompatible) antara penggunaan kawasan hutan dengan fungsi utama yang melekat pada kawasan hutan tersebut berdasarkan tata guna kawasan hutan yang ada. Bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor di musim penghujan serta kekeringan di musim kemarau adalah fakta-fakta ekologisyang terjadi setiap tahun sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas penggunaan

1

Page 2: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

kawasan hutan yang bersifat incompatible tersebut. Bencana ekologis tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap perekonomian wilayah.

Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena sumberdaya alam ini diperlukan oleh setiap kegiatan manusia. Penggunaan kawasan hutan pada umumnya ditentukan oleh kemampuan kawasan hutan tersebut untuk aktivitas pertanian dan lokasi ekonomi kawasan hutan mencakup: jarak lahan dari pusat pasar, pemukiman, dan lain-lain (Suparmoko, 1989).

Sewa lahan merupakan konsep yang penting dalam mempelajari sistem kompensasi atas penggunaan lahan kawasn hutan (Rosa, dkk, 2005). Sewa lahan merupakan surplus pendapatan atas biaya yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Besarnya nilai sewa lahan sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan lahan dan lokasi. Semakin dekat dari pasar dan semakin subur akan semakin tinggi sewa lahannya (Barlow, 1978).

Penggunaan sumberdaya non lahan dapat menghadapi resiko sewa lahan yang tinggi. Contoh, rumah yang berada dekat pusat kota berhadapan dengan sewa lahan yang tinggi sekaligus memungkinkan lahan disubtitusi oleh input lainnya. Menghadapi keadaan demikian, pilihan subtitusinya antara lain konstruksi bangunan bertingkat, perlengkapan penyejuk udara atau perabot hemat ruang (Nugroho, 2004).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah salah satu kawasan hutan konservasi di Sulawesi Selatan dengan luas 43.750 ha. Kawasan taman nasional tersebut didesain dengan menggabungkan beberapa kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lainnya yaitu: Taman Wisata Alam Bantimurung seluas 1.624,25 ha, Cagar Alam Karaenta seluas 1.226 ha, Cagar Alam Bantimurung seluas 1000 ha, Cagar Alam Bulusaraung seluas 8.056,65 ha, serta sebagian hutan lindung dan hutan produksi yang ada di sekitarnya.

Sebelum ditetapkan sebagai areal Taman Nasional, sebagian areal tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal usaha tani semusim, ladang berpindah, kebun, dan hutan rakyat pola agroforestry. Selain itu, pada bagian kawasan taman nasional yang sebelumnya berstatus hutan produksi merupakan bekas areal Pilot Project Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 500 ha yang dibangun pada tahun 1999 atas bantuan OECF.

Pak Patu adalah salah seorang anggota Kelompok Tani HKm yang telah memanfaatkan kawasan hutan pada areal Taman Nasional sejak tahun 2000, jumlah pohon yang telah ditanam oleh Pak Patu sebanyak 7400 pohon terdiri atas jenis gmelina arborea dan pohon jati (tectona garndis). Pada saat ini pohon yang telah ditanam oleh Pak Patu sudah membentuk tegakan hutan seumur dan bahkan secara teknis sudah dapat ditebang untuk tujuan pemanfaatan tertentu. Masalahnya adalah Pak Patu tidak dapat memanen hasil jerih payahnya karena terkendala oleh kebijakan larangan menebang di dalam areal Taman Nasional.Berdasarkan uraian di atas, diperlukan penelitian untuk mengkaji besarnya nilai investasi tanaman Pak Patu sebagai dasar penentuan kompensasi pemerintah terhadap tanaman Pak Patu.

Kompensasi adalah kewajiban pengguna/peminjam kawasan hutan untuk menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan yang direboisasi untuk dijadikan kawasan hutan atau sejumlah dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Departemen Kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 14/Menhut-II/2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai kompensasi atas pemanfaatankawasan Taman Nasional oleh Pak Patu dan Menganalisis sistem kompensasi atas pemanfaatan kawasan Taman Nasional oleh Pak Patu.

2

Page 3: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan Agustus-Oktober yang bertempat di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.Indikator/parameter yang digunakan untuk mengetahui besarnya nilai kompensasi atas pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan adalah nilai rente ekonomi kawasan hutan (Forest Economic Rent) dan indikator/parameter yang digunakan untuk menganalisis pengembangan sistem kompensasi atas pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan adalah mekanisme kompensasi yang telah diatur dalam kebijakan makro seperti UU No. 41/1999, Kepmenhut No. P.14/Kpts-II/2006, PP No.6/2007, PP No. 2/2008, dan PP No. 3/2008.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan partisipatif, untuk mendapatkan masukan/informasi dari stakeholders tentang nilai dan mekanisme sistem kompensasi pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan.Pendekatan ini dilakukan melalui inventarisasi tegakan, wawancara mendalam dan penelusuran dokumen/literature.

Model analisis yang digunakan adalah Quantitative descriptive analysis dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis nilai kompensasi yang wajar atas penggunaan kawasan Taman Nasional oleh Pak Patu. Nilai kompensasi dihitung dengan pendekatan valuasi ekonomi sumberdaya hutan, yaitu:

Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui nilai sewa lahan kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh Pak Patu untuk menanam pohon. Rumus yang digunakan adalah (Darusman, 2001):

LR = TR – TC (1 + a)dimana: LR = rente lahan (Rp/ha)TR = total nilai tegakan berdiri (Rp/ha)TC = total biaya membangun tegakan (Rp/ha)a = keuntungan normal dari aktivitas penggunaan kawasan hutan (minimal 20%, tergantung tingkat resiko unit usaha)

untuk mencari TR = V x HkDimana :

V = Volume Tegakan Berdiri (m3/ha)Hk = Harga Kayu Berdiri (Rp/m3)

Pendekatan Biaya membangun tegakan (Rehabilitation Cost)Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui nilai kompensasi kawasan Taman Nasional

berdasarkan besarnya biaya investasi yang telah dikeluarkan oleh Pak Patu menanam dan memelihara pohon.

Qualitative-descriptive analysis dilakukan untuk mendeskripsikan mekanisme kompensasi penggunaan kawasan Taman Nasional oleh Pak Patu berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, FGD, penelusuran dokumen/literature serta hasil Quantitative-descriptive Analysis.Prosedur Pelaksanaan Kegiatana. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data komponen-komponen penyusun nilai rente ekonomi sumberdaya hutan dan pandangan para pihak mengenai sistem kompensasi pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan.

3

Page 4: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Data sekunder terdiri atas data pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan dan kebijakan-kebijakan yang terkait. Data ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu: institusi kehutanan dan institusi terkait lainnya, serta studi pustaka.b. Pengolahan dan Analisis Data

Sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah Qualitative-Descriptive Analysis dan Quantitative-Descriptive Analysis serta analisis tabulasi frekwensi dan tabulasi silang.c. Penyusunan Laporan

Data yang telah dikumpulkan, diolah dan dianalisis selanjutnya ditulis dalam bentuk laporan hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahun 1999, Pemerintah telah membangun Pilot Project Hutan Kemasyarakatan (HKm), bantuan OECF seluas 500 ha di Desa Labuaja. Status fungsi areal HKm tersebut adalah hutan produksi seluas 100 ha dan hutan lindung seluas 400 ha. Pada tahun 2004, seiring dengan penetapan areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, areal HKm seluas 500 ha tersebut seluruhnya masuk dalam wilayah taman nasional. Hal ini berimplikasi terhadap hilangnya akses masyarakat mengelola areal HKm.

Pak Patu mulai membangun tegakan pohon pada tahun 1997-2012 dengan luas area 12,19 ha, dimana area tahun 1997 memiliki luas 3,74 ha, tahun 1998, tahun 1999 dan tahun 2000 seluas 2,77 ha, tahun 2001 seluas 4,04 ha, dan tahun 2002 seluas 1,48 ha dengan jenis pohon gmelina arborea dan pohon jati (tectonagarndis) dengan status kawasan hutan waktu itu sebagai hutan Lindung. Dalam pembangunan hutan Pak Patu, ada kegiatan teknis yang dilakukan antara lain :

Sebelum diadakan penanaman, terlebih dahulu dilakukan persiapan lahan berupa pembersihan lahan dari semak dan rumput-rumputan yang akan mengganggu parang dan cangkul. Sisa-sisa dari pembersihan tersebut dibakar karena sisa pembakaran ini dapat berguna untuk kesuburan tanah.Kegiatan ini dilakukan selama 1-2 minggu setiap tahun tanam sebelum melakukan penanaman, tenaga kerja yang digunakan adalah 1 orang.

Pembuatan pagar batas berupa bambu yang memiliki panjang 372 m dengan jumlah babu 372 batang, selain berfungsi sebagai pembatas area pagar tersebut berfungsi sebagai pagar pelindung bagi tanaman dari hama penganggu yaitu hewan ternak dan Babi. Pagar batas tersebut dibuat pada tahun 1997 oleh pak patu dan setiap tahunnya dilakukan pembaharuan pagar batas.

Pengadaan bibit dilakukan pada setiap area tahun tanam. Tahun 1997 dengan 200 bibit jati lokal, tahun 1998 dengan 100 bibit jati putih, tahun 1999 dengan 100 bibit jati putih, tahun 2000 dengan 100 bibit jati putih dan 210 bibit jati lokal, tahun 2001 dengan 1790 bibit jati putih dan 1000 jati lokal, dan tahun 2002 dengan 2000 bibit jati putih dan 2000 jati lokal, jumlah keseluruhan bibit yang disebar sebanyak 7400 bibit dari tahun 1997-2002.

Bibit yang diperoleh pak patu dalam membangun tegakan pohon merupakan bibit sisa-sisa pembagiaan dari pemerintah terhadap para kelompok tani, selain pemungutan bibit pak patu mengambil dari anakan pohon berdiri. Jumlah bibit yang telah ditanam pak Patu sebanyak 7400 bibit terdiri dari 4190 bibit Jati Putih dan 3210 bibit Jati Lokal.

Setelah dilakukan persiapan lahan, kegiatan selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam, lubang tanam yang telah dibuat sesuai dengan jumlah bibit yang ada yaitu 7400 lubang tanam.Pembuatan lubang tanam ini sesuai dengan kapan datangnya bibit dan sesuai kemampuan Pak Patu sehingga waktu yang diperlukan untuk membuat lubang tanam dimasing-masing tahun tanam bervariasi.

Setelah dilakukan pembuatan lubang tanam diadakan kegiatan penanaman.Penanaman dilakukan tergantung dari kapan adanya bibit yang dapat ditanam yang biasanya pada awal tahun

4

Page 5: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Pak Patu melakukan penanaman sehingga waktu penanaman dapat dilakukan kapan saja dengan jarak tanam 4x4 m.

PemeliharaanPada pembangunan tegakan pohon Pak Patu, pemeliharaan merupakan hal yang sangat

penting. Adapun kegiatan pemeliharaan yang dilakukan Pak Patu dalam membangun tegakan pohon yaitu :a) Penyiraman

Kegiatan penyiraman dilakukan oleh Pak Patu setelah penanaman apabila tidak ada hujan.Penyiraman ini bertujuaan untuk mencegah kekeringan pada tanaman sehingga mengakibatkan kematiaan. Air yang digunakan untuk menyiram diambil dari sungai dengan menggunakan alat bantu berupa ember.

b) Perlindungan dari hamaKegiatan perlindungan dari hama dalam hal ini hewan ternak pemakan dedaunan dan Babi merupakan salah-satu kegiatan yang penting dalam membangun tegakan pohon, hal tersebut dibuktikan dengan pembuatan pagar batas dengan panjang 372 m..

Potensi Tegakan Pak PatuLuas area yang dikelola oleh Pak Patu sebesar 12,19 ha tersebar dienam lokasi tahun tanam.

Luas area tahun 1997 adalah 3,74 ha dan 0,05 ha pada lokasi ke-2 dengan tahun tanam yang sama, tahun (1998,1999, dan 2000) memiliki luas 2,77 ha, tahun 2000 pada lokasi ke-2 memiliki luas 0,11 ha, tahun 2001 memiliki luas 4,04 ha dan tahun 2002 memiliki luas 1,48 ha. Pembangunan tegakan pohon Pak Patu dengan penyebaran bibit sebanyak 7400 yang disebar kesetiap lokasi tahun tanam yang berbeda-beda.

Tabel 7. Potensi Tegakan pohon Pak Patu Tahun Luas Luas V̅ PB (m3/Ha) V̅ TPB (m3/Ha) +̅D+ /Plot

Tanam Area (Ha)

Plot (Ha)

Jati Putih

Jati Lokal

Jati Putih

Jati Lokal (cm)

1997 (I) 3,74 0,04 16,15 - 1510,025 - 431997

(II)0,05 0,04 8,68 - 10,85 -

381998 0,92 0,04 1,75 - 40,25 - 271999 0,92 0,04 4,88 - 112,24 - 252000 1,03 0,04 5,14 3,36 132,355 86,52 292001 4,04 0,04 3,71 3,31 374,71 334,31 382002 1,48 0,04 12,02 3,7 444,74 136,9 28

Tabel 7, menunjukkan bahwa potensi tegakan pohon Pak Patu dari tahun tanam 1997-2002 dimana pada tahun 1997 pada lokasi tanam pertama memiliki diameter rata-rata paling besar diantara tahun tanam lainya. Luas area 12,19 ha dan Luas 1 plot setiap tahun tanam 20x20 m, dengan tujuaan mengetahui potensi tegakkan pohon pada setiap tahun tanam yang berbeda-beda.

5

Page 6: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Analisis Biaya Investasi Pembangunan Tegakan Pohon Pak PatuBiaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk jangka panjang pembangunan

hutan.Pengadaan biaya tersebut biasanya dilakukan pada tahun pertama atau sebelum pembangunan hutan dilakukan. Biaya-biaya yang digunakan pada pembuatan tegakan pohon oleh Pak Patu yaitu biaya investasi :a. Biaya pembuatan pagar batas

Pagar batas digunakan untuk memetakkan area-area pengelolaan hutan oleh petani dan sebagai pagar pengaman dari hama penganggu tanaman. Panjang pagar tersebut 372 m dimana pagar tersebut terbuat dari susunan batu gunung dan bamboo sehingga bamboo yang diperlukan sebanyak 372 batang / Tahun dengan harga pertahunnya beraneka ragam, karena Pak Patu setiap tahun melakukan renovasi pagar batas, pembuatan pagar batas tersebut dikerjakan oleh Pak Patu dengan biaya Rp. 27.278.000,-

b. Biaya pengadaan bibitBiaya pengadaan bibit dengan jumlah bibit 7400 yang disebar kesetiap tahun tanam, dapat dilihat pada table 8.

Tabel 8. Rincian biaya pengadaan bibitJenis Tanaman Tahun tanam Harga/bibit Jumlah Jumlah

(bibit) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 (Rp) Bibit (Rp)

Jati Putih 100 100 100 100 1790 2000 50 4190 102.190

Jati Lokal       210 1000 2000 50 3210 101.210

Total 7400 203.400

Berdasarkan tabel diatas, jenis tanaman yang disebar Pak Patu selama 6 tahun adalah 7400 bibit, dimana Jati Putih 4190 bibit dan Jati Lokal 3210 bibit. Pada tahun 1997-1999 tidak ada penyebaran bibit Jati Lokal, harga bibit Rp.50,-/bibit sehingga total biaya pengadaan bibit sebesar Rp. 203,400,- .

c. Biaya penanaman dan pemeliharaanBiaya penanaman dan pemeliharaan adalah biaya yang dikeluarkan selama proses penanaman dan setelah penanaman. Biaya tersebut terdiri atas :1) Biaya pembuatan lubang tanam

Jumlah lubang tanam 7400 lubang dari tahun 1997-2002, biaya lubag tanam setiap tahunnya berbeda-beda mulai dari harga Rp.2000,-/lubang tanam hingga Rp.10,000,-/lubang tanam, sehingga biaya pembuatan lubang tanam yang dikerjakan oleh Pak Patu selama 6 tahun dengan total biaya Rp. 72.270.000,-

2) Biaya pemeliharaanBiaya pemeliharaan dalam hal ini merupakan biaya persiapan lahan dan penanaman dalam membangun tegakan pohon, dimana kegiatan tersebut dilakukan secara beransur-ansur selama 12 tahun dari tahun 1997-2012. Aktifitas penanaman Pak Patu dalam memebangun tegakan pohon dari tahun 1997-2002 dan aktifitas pemeliharaan dari tahun 1997-2012, sehingga pada tahun 2002-2012 aktifitas penanaman tidak ada namun aktifitas pemeliharaan tetap dilakukan oleh Pak Patu.

6

Page 7: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Tabel 9. Biaya aktifitas pemeliharaan tegakan pohon Pak Patu

Aktifitas Tahun tanam Tahun Tanamsatuan

harga Jumlah Nilai total

pemeliharaan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 (1997-2002) satuan satuan

1997 • HOK 1.344.000 1 1.344.000

1998 • • HOK 1.344.000 2 2.688.000

1999 • • • HOK 1.548.000 3 4.644.000

2000 • • • HOK 2.400.000 3 7.200.000

2001 • • • HOK 3.600.000 3 10.800.000

2002 • • • HOK 3.600.000 3 10.800.000

2003 • • HOK 3.600.000 2 7.200.000

2004 • HOK 5.460.000 1 5.460.000

2005 • HOK 6.120.000 1 6.120.000

2006 • HOK 7.344.000 1 7.344.000

2007 • HOK 8.040.000 1 8.040.000

2008 • HOK 9.126.000 1 9.126.000

2009 • HOK 10.912.800 1 10.912.800

2010 • HOK 11.330.400 1 11.330.400

2011 • HOK 12.240.000 1 12.240.000

2012 • HOK 12.240.000 1 12.240.000

Jumlah 127.489.200

Berdasarkan tabel diatas, biaya pemeliharaan setiap tahun tanam memiliki 3 tahun masa pemeliharaan setelah tahun tanam dan pada tahun 2005-2012 Pak Patu melakukan pemeliharaan secara menyeluruh. Biaya pemeliharaan terbesar pada tahun 2012 sebanyak Rp. 12,240,000,- hal ini dikarenakan biaya tenaga kerja setiap tahunnya bertambah naik. Total biaya pemeliharaan selama 16 tahun adalah Rp. 127,489,200,-

Analisis PendapatanPendapatan yang diperoleh dari pembangunan tegakan pohon Pak Patu dimana Volume

tegakan berdiri dikali dengan harga pohon berdiri.

Tabel 10. Analisis pendapatan Pak Patu selama 16 tahunTahun Luas Luas V̅+ PB (m3/Ha) V̅ TPB (m3/Ha) TR (Rp)

TanamArea (Ha)

Plot (Ha)

Jati Putih

Jati Lokal

Jati Putih

Jati Lokal

Jati Putih Jati Lokal

1997 (I) 3,74 0,04 16,15 - 1510,025 - 377.506.250 -1997 (II)

0,05 0,04 8,68 - 10,85 - 2.712.500 -

1998 0,92 0,04 1,75 - 40,25 - 10.062.500 -1999 0,92 0,04 4,88 - 112,24 - 28.060.000 -2000 1,03 0,04 5,14 3,36 132,355 86,52 33.088.750 43.260.0002001 4,04 0,04 3,71 3,31 374,71 334,31 93.677.500 167.155.0002002 1,48 0,04 12,02 3,7 444,74 136,9 111.185.000 68.450.000

Jumlah 52,33 10,37 2625,17 557,73 656.292.500 278.865.000

Total Jumlah 935.157.500

7

Page 8: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

Berdasarkan tabel diatas, diamana volume tegakan berdiri untuk jati putih 2625,17 m3 dan jati Lokal 557,73 m3, sehingga total volume tegakan pohon berdiri selama 6 tahun adalah 3182,29 m3dan harga pohon berdiri untuk jati Putih Rp. 250,000,-/m3 dan Jati Lokal Rp.500,000,-/m3, sehingga total pendapatan yang dihasilkan dari rumus Land Rent dalam mencari total nilai tegakan berdiri adalah Rp. 935.157.500.

Analisis Kompensasi

Land Rent merupakan salah satu rumus sewa lahan dimana biaya pendapatan dikurang biaya investasi. Dari hasil wawancara, inventarisasi dan pengolahan data menghasilkan :

LR : TR - TC (1+a) : Rp. 935.157.500 - Rp. 369.519.038 (1+0,2) : Rp. 491.734.655,-

Jadi, Land Rent yang harus dibayar Pak Patu bila memanen tegakan pohon yang selama ini ia bangun adalah Rp. 491.734.655,- dan apabila pihak Taman Nasional BABUL tidak memberikan izin melakukan penebangan maka Taman Nasional BABUL harus memberikan Kompensasi kepada Pak Patu yaitu :

TC (1+a): Rp. 369.519.038 (1+0,2) : Rp. 443.422.845,-

Berdasarkan uraian diatas kompensasi yang harus diberikan kepada Pak Patu, biaya investasi dikali 1 ditambah 20% dari biaya investasi sehingga nilai kompensasi yang dihasilkanadalah Rp. 443.422.845,

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan asumsi yang digunakan, dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang kompensasi tanaman diarea Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan( study khasus Pak Patu ) sebagai berikut :1. Pak Patu telah berhasil membangun tegakan pohon berdiri seluas 12,19 ha dalam kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tegakan pohon berdiri tersebut terdiri atas tegakan Jati Putih (Gmelina arborea) sebanyak 4190 pohondan Jati Lokal (Tectona garandis) sebanyak 3210 pohon Jati Putih dan Jati Lokal ditanam tercampur dalam areal seluas 12,19 ha.

2. Hasil analisis finansialmenunjukkan bahwa total biaya untuk pembangunan tegakan pohon Pak Patu adalahRp. 369.519.038, total pendapatan sebesarRp.935.157.500,- dan Land Rent selama 16 tahun sebesar Rp. 491.734.655,-

3. Alternatif I Apa bila Pak Patu diberikan izin oleh yang berwenang menebang dan memperoleh hasil kayu usahanya membangun tegakan pohon dalam kawasan hutan maka Pak Patu besedia membayar Land Rent sebesar Rp. 491.734.655,- dan Alternatif II Apa bila Pak Patu tidak diberikan izin oleh yang berwenang menebang dan memperoleh hasil kayu usahanya membangun tegakan pohon dalam kawasan hutan maka Pak Patu berpendapat bahwa dia wajar memperoleh segala biaya-biaya yang dia telah keluarkan, termasuk biaya imbalan pengelolaan sesuai dengan analisis finansial yang lazim sebesar (total cost+0,2 total cost) yaitu Rp.443.422.845,-

8

Page 9: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)

DAFTAR PUSTAKA

Kehutanan, 2006. Peraturan Menteri Kehutanan no 14 tahun 2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jakarta.

Barlow. R. 1978. Land Resource Economics: The Economics of Real Estate. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Nugroho, I, Dahuri, R. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.

Rosa N, S. Kandel, L: Dimas. 2005. Kompensasi Jasa Lingkungan dan Masyaraklat Pedesaan. ICRAF. Bogor

Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE. Yogyakarta.

Supratman. 2008. Pengembangan Sistem Kompensasi Areal Hutan yang Dialihfungsikan. Balitbangda Provinsi Selawesi Selatan. Makassar

Darusman, 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Debut Press. Yogyakarta

9

Page 10: Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)