144
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persinggahan rute perdagangan dunia. Sebagai negara kepulauan, peran pelabuhan sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Kehadiran pelabuhan yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan manusia di negeri ini. Pelabuhan menjadi sarana paling penting untuk menghubungkan antar pulau maupun antar negara dan pengembangan perekonomian wilayah. Wilayah akan berkembang jika ada kegiatan perdagangan interinsuler dari wilayah tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi peningkatan investasi pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi serta perdagangan. Pendapatan yang diperoleh dari hasil ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan eksternal dan perkembangan wilayah lebih lanjut (Damapolii, 2008). Peran pelabuhan di Indonesia sebagai negara maritim sangat dominan dalam pembangunan nasional. Hal tersebut tercermin dalam kegiatan pelabuhan untuk menunjang perdagangan internasional dan domestik secara nasional pada skala sangat besar. Pada tahun 2009, pelabuhan Indonesia menangani 968,4 juta ton muatan yang terdiri atas 560,4 juta ton muatan curah kering (hampir tiga perempatnya adalah batubara), 176,1 juta ton

3. tesis pelabuhan murhum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pelabuhan Murhum Kota Baubau Sulawesi Tenggara

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya

adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di

persinggahan rute perdagangan dunia. Sebagai negara kepulauan, peran

pelabuhan sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Kehadiran pelabuhan

yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan

manusia di negeri ini. Pelabuhan menjadi sarana paling penting untuk

menghubungkan antar pulau maupun antar negara dan pengembangan

perekonomian wilayah.

Wilayah akan berkembang jika ada kegiatan perdagangan interinsuler

dari wilayah tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi peningkatan investasi

pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi serta perdagangan.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil ekspor akan mengakibatkan

berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga

kerja, keuntungan eksternal dan perkembangan wilayah lebih lanjut

(Damapolii, 2008).

Peran pelabuhan di Indonesia sebagai negara maritim sangat dominan

dalam pembangunan nasional. Hal tersebut tercermin dalam kegiatan

pelabuhan untuk menunjang perdagangan internasional dan domestik secara

nasional pada skala sangat besar. Pada tahun 2009, pelabuhan Indonesia

menangani 968,4 juta ton muatan yang terdiri atas 560,4 juta ton muatan

curah kering (hampir tiga perempatnya adalah batubara), 176,1 juta ton

2

muatan curah cair (86 persennya adalah minyak bumi atau produk minyak

bumi dan minyak kelapa sawit), 143,7 juta ton general cargo dan 88,2

muatan peti kemas (Dep. Perhubungan RI).

Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis

untuk pertumbuhan industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha

yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.Hal ini

membawa konsekuensi terhadap pengelolaan segmen usaha pelabuhan

tersebut agar pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif, efisien dan

profesional sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat

dengan biaya yang terjangkau. Pada dasarnya pelayanan yang diberikan oleh

pelabuhan adalah pelayanan terhadap kapal dan pelayanan terhadap muatan

(barang dan penumpang).

Secara teoritis, sebagai bagian dari mata rantai transportasi laut, fungsi

pelabuhan adalah tempat pertemuan (interface) dua moda angkutan atau lebih

serta interface berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang

diangkut dengan kapal akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti

moda darat (truk atau kereta api). Sebaliknya barang yang diangkut dengan

truk atau kereta api ke pelabuhan bongkar akan dimuat lagi ke kapal. Oleh

sebab itu berbagai kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti

perbankan, perusahaan pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar

dan pusat kegiatan lainnya. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa

pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur transportasi, dapat membangkitkan

kegiatan perekonomian suatu wilayah karena merupakan bagian dari mata

rantai dari sistem transportasi maupun logistik.

3

Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai yang sangat penting dari

seluruh proses perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Pelabuhan

bukan sekedar tempat bongkar muat barang maupun naik turunnya

penumpang tetapi juga sebagai titik temu antar moda angkutan dan pintu

gerbang ekonomi bagi pengembangan ekonomi sekitarnya. Sebagai bagian

dari sistem transportasi, pelabuhan memegang peranan penting dalam

perekonomian wilayah.

Pelabuhan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan kegiatan

ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya. Namun

pelabuhan tidak menciptakan kegiatan tersebut, melainkan hanya melayani

tumbuh dan berkembangnya kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti

itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari hanya sebagai tempat

berlabuhnya kapal menjadi pusat kegiatan perekonomian (Soemantri, 2003).

Secara prinsip hubungan kegiatan pembangunan oleh manusia di laut

tidak dapat dipisahkan dengan di pantai bahkan di darat seluruhnya. Dalam

konteks ekonomi keruangan antara laut dan pantai bahkan kota-kota pantai

secara ekonomi menyatu, bahkan bagi sektor pelabuhan akan tergantung tidak

hanya kepada wilayah atau ruang kelautan sebagai wahana transportasi saja,

namun tergantung pula dengan sistem kota-kota dan region yang

mendukungnya, karena fungsi pelabuhan tergantung kepada produk-produk

yang akan diekspor dan diimpor maupun manusia yang akan melakukan

perjalanan dari dan menuju suatu wilayah (Hutagalung, 2004). Sehingga

peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas

sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar.

4

Kawasan pelabuhan terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya tempat

kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, bongkar muat barang yang

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran, kegiatan penunjang

pelabuhan, dan antar moda transportasi (Kramadibrata, 2002).

Pemanfaatan ruang kawasan pelabuhan mempunyai kriteria, yaitu:

Tersedia aksesibilitas yang tinggi ke pusat pelayanan distribusi barang dan

penumpang.

Penataan letak pusat-pusat pelayanan harus efisien dan efektif.

Tersedia system pengolahan limbah.

Pengawasan terhadap tingkat sedimentasi yang berpengaruh terhadap

kedalaman laut terutama di sekitar dermaga dan akses keluar masuk kapal.

Pengembangan teknologi yang menunjang aktivitas pelabuhan untuk

mengantisipasi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap fluktasi

pasang surut, tinggi gelombang laut/perairan dan kecepatan arus

laut/perairan.

Pelabuhan Murhum saat ini menjadi bagian dari perkembangan kota yang

ditandai dengan ramainya aktifitas di sepanjang jalan. Untuk mengarahkan

perkembangannya di masa mendatang, sebuah pelabuhan yang memiliki

prospek perkembangan yang pesat memerlukan suatu konsepsi seluruh

perubahan yang berkelanjutan, yang mampu menampung perkembangan

pelabuhan dengan tetap mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi

kehidupan masyarakat sekitar.

Selain itu Pelabuhan Murhum di Kota Baubau sangat mempengaruhi

dinamika perkembangan kota dari segi sosial dan ekonomi. Perkembangan

5

permukiman pada wilayah kota Baubau cenderung untuk menjauh dari

pelabuhan Murhum, sementara kegiatan perekonomian cenderung untuk

mendekat dengan pelabuhan Murhum. Dengan kata lain, keberadaan

pelabuhan Murhum memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas

perekonomian Kota Baubau pada umumnya.

Dalam sejarahnya, Pelabuhan Murhum memegang peranan yang sangat

penting dalam perkembangan Kota Buton khususnya dan Sulawesi Tenggara

pada umumnya, sebab posisi Pelabuhan Murhum sangat strategis dalam alur

pelayaran laut Indonesia yaitu menjadi penghubung antara Wilayah Indonesia

Bagian Timur dan Wilayah Indonesia Bagan Barat.

Menurut Pires pelayaran orang Portugis menuju ke Maluku tidak melalui

pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke Borneo, ke Pulau Butun

(Buton) lalu ke Maluku. Jalur ke kepualauan Maluku itu dikenal sebagai

jalur yang paling baik dan cocok (Cortesao,1944). Sebelum kedatangan VOC

memang ada tiga jalur perdagangan dan pelayaran rempah-rempah di

sulawesi tenggara. Ketiga jalur itu adalah Burhanuddin, 1978) :

Jalur Makassar - Selat Tiworo - Wawonii - Bungku (Tombuku) –

Banggai - Ternate; dengan kemungkinan singgah diselayar, sinjai,

Kabaena, poleang/Rumbia, Tinanggea, Moramo, Kendari.

Jalur Makassar – Baubau - Lohia (Muna) – Wawonii - seterusnya

Bungku - Banggai - Ternate.

Jalur Makassar – Baubau – Wakatobi – Buru – Ambon - Banda.

Dalam deskripsi Schrieke (1955) menyebutkan bahwa dalam pelayaran

nusantara Pelabuhan Murhum merupakan salah satu mata rantai pelayaran

6

dan perdagangan yang terkait dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,

Nusa Tenggara hingga maluku dan Pilipina. Dari sini sebenarnya peran

pelabuhan Baubau merupakan penghubung antara wilayah barat dengan

wilayah timur Indonesia. (La Malihu : 1998).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan suatu

kajian yang mendalam terhadap Pengaruh Pelabuhan Murhum dalam

Pengembangan Kota Baubau dengan fokus penelitian pada perubahan fungsi

lahan terhadap aktivitas di Pelabuhan Murhum.

B. Perumusan Masalah.

1. Bagaimana konektivitas Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya di

Sulawesi Tenggara berdasarkan arus orientasi barang dan jasa melalui

kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Murhum.

2. Bagaimana peranan Pelabuhan Murhum secara internal terhadap

pengembangan fisik ruang Kota Baubau.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterkaitan Pelabuhan Murhum

dengan pelabuhan lainnya di Sulawesi Tenggara berdasarkan arus orientasi

barang, jasa dan orang melalui kegiatan bongkar muat di Pelabuhan

Murhum.

2. Untuk menganalisis sejauh mana peranan pelabuhan Murhum terhadap

pengembangan fisik ruang Kota Baubau.

7

D. Manfaat Penelitian

Sebagai sumbangan pemikiran bagi perencana dan penentu kebijakan

untuk mengevaluasi serta merumuskan berbagai kebijakan bagi

pengembangan Kota Baubau dimasa yang akan datang, terkait dengan

eksistensi dan perkembangan Pelabuhan Murhum.

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kota

Menurut Bintarto (1983), dari segi geografis kota diartikan sebagai suatu

sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang

tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak

materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang

ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala

pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat

heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya.

Adisasmita (2008) mengatakan bahwa ciri atau sifat esensial dari suatu

kota adalah konsentrasi basis kegiatan ekonomi, sosial, dan politik, penduduk

pada tata ruang. Secara umum diketahui bahwa tempat-tempat dimana terjadi

konsentrasi penduduk sering dinamakan dengan berbagai istilah seperti; kota,

pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul ditribusi barang

dan jasa, wilayah nodal, atau pusat pemukiman. Masing-masing istilah sangat

tergantung dengan asosiasi kita terhadap apa yang akan ditonjolkan terhadap

tempat-tempat konsentrasi tersebut.

Adisasmita (2008) memberikan batasan tentang “kota” diartikan sebagai

suatu permukaan wilayah dimana terdapat konsentrasi penduduk dengan

berbgai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan.

Secara lebih rinci lagi Adisasmita menggambarkan kota meliputi lahan

geografis utamanya untuk pemukiman; berpenduduk dalam jumlah yang

relatif banyak; diatas lahan yang relatif terbatas luasnya; dimana mata

9

pencaharian penduduk didominasi oleh kegiatan non pertanian, sedangkan

pola hubungan individu antar masyarakat lebih bersifat rasional, ekonomis

dan individualistis.

Selanjutnya pengertian kota ditinjau dari berbagi aspek, antara lain aspek

geografis, fisik, demografis, statistik, sosial, ekonomi, dan administrasi.

Pengertian ini merupakan rumusan dari Nia K. Pontoh dan Iwan Kustiwan

(2009). Pengertian kota ditinjau dari aspek fisik adalah suatu wilayah dengan

wilayah terbangun lebih padat dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek

demografis adalah wilayah dengan konsentrasi penduduk yang dicerminkan

oleh jumlah dan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

keadaan wilayah sekitarnya. Aspek sosial adalah suatu wilayah dengan

kelompok-kelompok sosial masyarakat yang heterogen. Aspek geografis

adalah suatu wilayah dengan wilayah terbangun yang lebih padat

dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek statistik adalah suatu wilayah

yang secara statistik besaran atau ukuran jumlah penduduknya sesuai dengan

batasan atau ukuran untuk criteria kota. Aspek ekonomi adalah suatu wilayah

yang memiliki kegiatan usaha sangat beragam dengan dominasi di sektor

nonpertanian seperti perdagangan, perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran,

pengangkutan, dan lain-lain. Dan yang terakhir kota ditinjau dari aspek

administrasi adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh suatu garis batas

kewenangan administrasi pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarakan

peraturan perundang-undangan.

Strategi pembangunan perkotaan harus bersifat komprehensif dan dilihat

dalam konteks yang dinamis sebagai dasar pengembangan lima komponen

10

utama kota yaitu : Pertumbuhan penduduk, Kebutuhan masyarakat,

Pertumbuhan ekonomi, Potensi sumberdaya alam, dan Kualitas lingkungan.

Penentun batas-batas administrasi perkotaan ditentukan oleh beberapa

kriteria yaitu :

(a) Letak geografis.

(b) Pusat-pusat perkembangan dalam lingkup metropolitan.

(c) Fungsi dan peranan ekonomi.

(d) Hal-hal lain yang dapat dijadikan acuan

Menurut Yunus (2001) untuk menyiapkan sumber daya lahan secara dini

yang diharapkan dapat menampung investasi untuk suatu kota, maka

diperlukan suatu peraturan daerah agar dapat menciptakan kondisi permintaan

dan penawaran lahan perkotaan terhadap berbagai kegiatan yang tersebar di

seluruh kawasan perkotaan. Sedangkan Penataan ruang kawasan kota yang

baik, dapat diterima dan dapat dilaksanakan (the best idea, acepted and

implementable) harus memenuhi beberapa azas yaitu : Azas merata, Azas

interaktif, Azas responsif, Azas manfaat, Azas aksesibilitas, dan Azas

berkelanjutan.

B. Kebijakan Rencana Tata Ruang Kota Baubau

Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTRW) Kota Baubau

dikemukakan :

1. Faktor Eksternal

Mengingat fungsinya dalam kebijaksanaan pembangunan wilayah

maka pengembangan sektoral dan tata ruang Baubau perlu diarahkan agar

fungsinya dapat tercapai. Pengarahan yang dimaksud adalah ;

11

a. Pengembangan Kota Baubau diarahkan untuk menjadi simpul koleksi

distribusi dari barang dan jasa “dari” dan “ke” seluruh wilayah

Sulawesi Tenggara dengan orientasi pemasaran produksinya ke Kota

Kendari.

b. Sedapat mungkin Kota Baubau memiliki jenjang diatas kabupaten/kota

lainnya seperti Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, Kab. Buton, Kab.

Buton Utara, Kab. Muna, Kab. Wakatobi, Kab. Konawe, Kab. Konawe

Selatan, Kab. Konawe Utara dan Kab. Bombana.

c. Fasilitas-fasilitas yang akan melayani kegiatan regional khususnya

sektor perekonomian sedapat mungkin diletakan pada lokasi ujung

yaitu lokasi yang mudah dicapai dari daerah belakang (hinterland),

lokasi pemasaran maupun lokasi sumber barang-barang impor bagi

Kota Baubau.

Karena fungsi dan peranannya maka kecenderungan arah

perkembangan fisik Kota Baubau sangat dipengaruhi oleh kedudukan dan

penyebaran lokasi kabupaten/kota yang mempengaruhi dan

dipengaruhinya. Dengan demikian lokasi pintu keluar masuk barang dan

jasa “dari’ dan “ke” Kota Baubau, akan menentukan arah pengembangan

fisik kota dimasa yang akan datang.

2. Faktor Internal

Pengembangan kota secara internal meliputi pengarahan terhadap pola

yang efisien dan optimal dalam sistimatika pengaturan ruang kota. Pola

yang dimaksud secara teoritis sudah banyak dikemukakan oleh ahli tata

12

kota. Pemilihan pola disesuaikan dengan kondisi eksisting meliputi

kecenderungan perkembangan kota berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Kondisi eksisting struktur ruang Kota Baubau dimasa yang akan datang

lebih didominasi oleh model perkembangan kota Multiple Nuclei dengan

penjenjangan kawasan sampai bagian-bagian wilayah kota yang meliputi

kerangka internal (internal structure) terutama luas kawasan yang dapat

dibangun termasuk pola penggunaan lahan.

C. Pengertian Perencanan Pengembangan Wilayah

Perencanaan Pengembangan Wilayah merupakan suatu kebijakan

pembangunan yang lahir karena adanya berbagai ketimpangan dalam

mencapai tujuan pembangunan suatu wilayah yaitu pembangunan ekonomi.

Pembangunan bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta

menjamin tercapainya pemerataan pertumbuhan daerah-daerah dalam suatu

wilayah. Menurut Hirawan, (1995) untuk mengukur secara tepat

pertumbuhan dan pemerataan dalam suatu proses pembangunan merupakan

hal yang sulit dilakukan. Kesulitan ini terutama karena adanya penggunaan

berbagai konsep wilayah dalam kebijaksanan pembangunan ekonomi.

Konsep wilayah homogen menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi

nasional, dan daerah-daerah hanya dianggap sebagai komponen dari

perekonomian banyak sector Issard 1975, Hoover 1977 dalam Matoka (1994).

Analisis seperti ini bersifat tanpa ruang atau space less. Analisis ini sangat

abstrak dan tidak dapat mendiskripsikan apalagi memprediksi pertumbuhan

ekonomi daerah-daerah. Akhirnya Matoka (1994) menyimpulkan analisis ini

secara implisit menjelaskan ketidak seimbangan sektoral.

13

Menurut Adisasmita (2005) analisis wilyah nodal menitik beratkan pada

pertumbuhan daerah tertentu yang diharapkan dapat mampu mendominasi

pengaruhnya keseluruh wilayah. Namun demikian (Howard 1945 dan

Dickhinson 1969). Greenhut (1956), Boss (1965) Eversley (1965), Ferguson

(1966) dan Rondinelly (1985) dalam Matoka (1994) sepakat bahwa analisis

ini tidak mampu menjelaskan pertumbuhan daerah-daerah dalam kerangka

tata ruang yang lebih luas. Demikian pula Cameron (1966), Preed (1967),

Chorley (1969) serta Glabraith (1969) dan Townroe (1971) dalam Matoka

(1994) menyimpulkan analisis tersebut menjelaskan ketidak seimbangan

regional.

Kendala-kendala inilah yang mengakibatkan lahirnya konsep wilayah

perencanaan. Menurut Tarigan, (2005) wilayah perencanaan adalah wilayah

geografik yang memperlihatkan suatu kesatuan keputusan ekonomi yang

memungkinkan terjadinya perubahan penyebaran penduduk dan kesempatan

kerja. Model perencanaan tidak saja digunakan untuk memprediksi perubahan

yang terjadi tetapi juga dapat mengubahnya kearah tertentu melalui suatu

kebijaksanaan yang bertujuan menciptakan keseimbangan pertumbuhan antar

wilayah-wilayah.

Matoka (1994) sependapat bahwa analisis ini hanyalah merupakan

penyederhanaan dari suatu perekonomian, karena wilayah adalah daerah

administratrif yang berbeda masalah dan tujuannya. Struktur model tidak

selalu independen pada tujuan yang hendak dicapai serta optimalisasi satuan

wilayah perencanaan tergantung cakrawala waktu perencanaan. Menurut

Adisasmita (2002) model tersebut dapat menjelaskan kerangka pertumbuhan

14

secara menyeluruh. Penyederhanaan perekonomian yang dimaksud adalah

pertumbuhan suatu daerah diukur dari perkembangan satuan wilayah

pembangunannya dan keseimbangan pertumbuhan antar daerah dicapai

dengan jalan membuat seimbang seluruh satuan wilayah pembangunan yang

tersebar dalam wilayah nasional.

D. Pengertian Pusat-Pusat Wilayah Pembangunan

Dalam Struktur Pengembangan Wilayah Tingkat Nasional dikatakan

Pusat Pembangunan merupakan sub-sistem dari Satuan Wilayah

Pembangunan yang tersebar diseluruh Wilayah Nasional. Setiap wilayah

memiliki pusat-pusat yang tersusun secara hirarkhis. Penerapan sistem

hirarkhis ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi ketimpangan

pembangunan dan perbedaan kemakmuran antar wilayah. Disamping itu

dengan sistem seperti ini pembangunan akan dapat lebih disebar luaskan

sehingga tidak hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu saja. Dengan cara

pembangunan yang berkesinambungan tersebut maka dapatlah terjadi ikatan

pembangunan ekonomi nasional yang kokoh.

Pusat-Pusat pembangunan diharapkan dapat menjadi titik tumpu bagi

tumbuh berkembangnya wilayah. Hal ini disebabkan karena pusat-pusat

tersebut merupakan lokasi atau tempat yang optimal bagi pelaksanaan

berbagai program dan proyek pembangunan, guna memecahkan persoalan

pembangunan.

Dalam Ketentuan Standar Direktorat Cipta Kayra Departemen Pekerjaan

Umum bagi Pembangunan Nasional dinyatakan penentuan besarnya hirarkhi

pusat pembangunan antara lain didasarkan pada kriteria berikut :

15

a) Besaran jumlah penduduk yang dimilikinya.

Untuk Pusat Satuan Wilayah Pembangunan Utama dapat menampung

aktifitas perekonomian dengan jumlah penduduk 5 – 10 juta jiwa dan

minimal 1 – 2 juta jiwa, pusat orde 1 jumlah penduduk 500.000 – 1 juta

jiwa, pusat orde 2 jumlah penduduk 200.000 - 500.000 jiwa, pusat orde

3 jumlah penduduk 100.000 – 200.000 jiwa, pusat orde 4 jumlah

penduduk 25.000 -1000.000 jiwa, pusat orde 5 jumlah penduduk

< 25.000 jiwa .

b) Pertimbangan jarak “efektif” antar Pusat Pembangunan sebagai pusat

pelayanan. Untuk Pusat Pembangunan Orde-1 hubungan angkutan laut

petimbangan jarak tempuh 1 – 2 hari, angkutan udara 1 – 2 jam terbang,

angkutan darat dan penyeberangan berkisar 6 – 20 jam perjalanan dengan

menggunakan teknologi angkutan saat ini. Untuk Pusat Pembangunan

Orde-1 madya angkutan laut 1 hari, angkutan udara ½ - 1 jam terbang,

angkutan darat dan penyeberangan 5 – 10 jam perjalanan, Pusat

Pembangunan Orde-2 angkutan laut 2 – 4 jam perjalanan, angkutan darat

dan penyeberangan 2 - 5 jam perjalanan, sedangkan untuk Pusat

Pembangunan Orde-3 hubungan jalan raya ½ - 2 jam

c) Pertimbangan besaran dan kualitas kegiatan setiap pusat.

d) Besaran dan kualitas tingkat pelayanan fasilitas perkotaan yang

menunjang sebagai pusat pelayanan.

Konsep pusat-pusat pembangunan atau pusat-pusat pertumbuhan atau

sering disebut juga dengan kota diadaptasi dari beberapa teori tentang lokasi

yang telah dicetuskan oleh beberapa ahli terdahulu.

16

E. Peran Pelabuhan Dalam Perkembangan Wilayah

Pelabuhan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan kegiatan

ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya. Namun

pelabuhan tidak menciptakan kegiatan tersebut, melainkan hanya melayani

tumbuh dan berkembangnya kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti

itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari hanya sebagai tempat

berlabuhnya kapal menjadi pusat kegiatan perekonomian. Secara prinsip

hubungan kegiatan pembangunan oleh manusia di laut tidak dapat dipisahkan

dengan di pantai bahkan di darat seluruhnya. Pelabuhan menjadi sarana

bangkitnya perdagangan antar pulau bahkan perdagangan antar negara,

pelabuhan pada suatu daerah akan lebih menggairahkan perputaran roda

perekonomian, berbagai jenis usaha akan tumbuh mulai dari skala kecil

sampai dengan usaha skala internasional, harga-harga berbagai jenis produk

akan lebih terjangkau mulai dari produksi dalam negeri sampai dengan luar

negeri. Pelabuhan yang bertaraf internasional akan mengundang investor

dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal yang bermuara pada

tumbuhnya perekonomian rakyat, mobilitas manusia dari berbagai penjuru

akan hadir dan meninggalkan dana yang banyak.

Beberapa definisi dan fungsi pelabuhan yang diutarakan oleh pada ahli

sebagai berikut, Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan

perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan

Pemerintahan dan kegiatan layanan jasa. Utamanya pelabuhan sebagai tempat

kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat

barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan

17

penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda

transportasi (Raja Oloan Saut Gurning dan Budiyanto, 2007).

Menurut Suranto (2004), yang dikatakan Pelabuhan adalah tempat yang

terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu

sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan ekonomi yang

dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik-turun

penumpang, dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai

tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang,

yang dilengkapai dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga di mana

kapal dapat bertambat untuk bongkar muat barang.

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang

Kepelabuhanan mengatakan bahwa peran pelabuhan adalah :

(a) simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;

(b) pintu gerbang kegiatan perekonomian;

(c) tempat kegiatan alih moda transportasi;

(d) penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;

(e) tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan

(f) mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Untuk menunjang dan memaksimalkan fungsi dan peranannya dari sudut

tinjauannya (Triatmojo,2009) dan menurut kegiatannya pelabuhan dibedakan

atas beberapa kriteria, antara lain :

18

1. Segi penyelengaraan.

(a) Pelabuhan Umum

Pelabuhan umum diselenggarakan dan berperan untuk melayani

kepentingan masyarakat umum. Penyelenggaraannya dilakukan oleh

Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan

usaha milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut.

(b) Pelabuhan khusus

Pelabuhan khusus diselenggarakan dan berperan untuk melayani

kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Pelabuhan

khusus dibangun oleh pemerintah atau oleh perusahan swasta yang

berfungsi untuk mengirimkan prasarana hasil produksi perusahaan

tersebut.

2. Segi pengusahaannya

(a) Pelabuhan yang diusahakan

Pelabuhan ini diusahakan untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang

diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan yang berperan untuk

kegiatan bongkar muat barang, menaik turunkan penumpang dan

kegiatan lainnya. Pemakaian pelabuhan ini dikenai biaya seperti jasa

labuh, jasa tambat, jasa pemanduan, dan sebagainya.

(b) Pelabuhan yang tidak diusahakan

Pelabuhan ini merupakan tempat singgah kapal tanpa bongkar muat

barang, bea cukai dan sebagainya. Pelabuhan ini merupakan

pelabuhan kecil yang disubsidi oleh pemerintah dan dikelola oleh Unit

Pelaksana Teknis Direktorat Jendral Perhubungan Laut.

19

3. Segi fungsi perdagangan nasional dan internasional.

(a) Pelabuhan laut

Pelabuhan ini adalah pelabuhan yang dimasuki oleh kapal berbendera

asing. Pelabuhan ini biasanya merupakan pelabuhan utama di suatu

daerah yang dilabuhi kapal- kapal yang membawa barang untuk

ekspor/impor secara langsung ke dan dari luar negeri .

(b) Pelabuhan pantai

Pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang disediakan untuk

perdagangan dalam negeri oleh karena itu tidak bebas disinggahi oleh

kapal berbendera asing.

4. Segi penggunaannya.

(a) Pelabuhan ikan

Pelabuhan ikan menyediakan fasilitas untuk kapal-kapal ikan

untuk Melakukan kegiatan penangkapan ikan dan memberikan

pelayananyang diperlukan.

(b) Pelabuhan minyak

Untuk keamanan, pelabuhan minyak harus diletakkan agak jauh dari

kepentingan umum dan digunakan untuk melayani kapal tanker yang

berukuran besar.

(c) Pelabuhan barang

Di pelabuhan ini terjadi perpindahan moda transportasi dari laut

kedarat ataupun sebaliknya. Barang dibongkar di termaga

untuk selanjutnya diangkut dengan truk ataupun kereta api ke tempat

20

tujuan atau ke gudang penyimpanan atau tempat penumpukan terbuka

sebelum dikirim.

Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis

untuk pertumbuhan industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha

yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Pada dasarnya

pelayanan yang diberikan oleh pelabuhan adalah pelayanan terhadap kapal

dan pelayanan terhadap muatan (barang dan penumpang). Secara teoritis,

sebagai bagian dari mata rantai transportasi laut, fungsi pelabuhan adalah

tempat pertemuan (interface) dua moda angkutan atau lebih serta interface

berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang diangkut dengan kapal

akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti moda darat (truk atau

kereta api). Sebaliknya barang yang diangkut dengan truk atau kereta api ke

pelabuhan bongkar akan dimuat lagi ke kapal. Oleh sebab itu berbagai

kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti perbankan, perusahaan

pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar dan pusat kegiatan

lainnya.

Wilayah akan berkembang jika ada kegiatan perdagangan interinsuler

dari wilayah tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi peningkatan investasi

pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi serta perdagangan.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil ekspor akan mengakibatkan

berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga

kerja, keuntungan eksternal dan perkembangan wilayah lebih lanjut

(Damapolii, 2008).

21

F. Beberapa Teori yang Mendasari Konsep Pusat Pembangunan

1. Teori Pusat Pertumbuhan

Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara,

yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat

pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang

industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan

sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun

ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah

suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga

menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai

macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat senang

datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun

kemungkinan tidak ada pola interaksi antara usaha-usaha tersebut.

Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus bercirikan: (1)

adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki

nilai ekonomi, (2) adanya unsur pengganda (multiplier effect), (3) adanya

konsentrasi geografis, (4) bersifat mendorong pertumbuhan daerah

belakangnya (Tarigan, 2004). Ciriciri pusat pertumbuhan tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan hubungan

internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan

antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu

sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya,

22

karena saling terkait. Dengan demikian kehidupan kota menciptakan

sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.

b. Adanya unsur pengganda (multiplier effect) keberadaan sektor-sektor

yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek

pengganda. Maknanya bila ada permintaan satu sektor dari luar

wilayah, peningkatan produksi sektor tersebut akan berpengaruh pada

peningkatan sektor lain. Peningkatan ini akan terjadi beberapa kali

putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi dapat beberapa

kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan di luar untuk

sektor tersebut. Unsur efek pengganda memiliki peran yang signifikan

terhadap pertumbuhan kota belakangnya. Hal ini terjadi karena

peningkatan berbagai sektor di kota pusat pertumbuhan akan

membutuhkan berbagai pasokan baik tenaga kerja maupun bahan baku

dari kota belakangnya.

c. Adanya konsentrasi geografis konsentrasi geografis dari berbagai sektor

atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor

yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik

(attraciveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota tersebut

bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan.

Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, biaya, dan

tenaga. Hal ini membuat kota tersebut menarik untuk dikunjungi dan

karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan

economic of scale sehingga tercipta efisiensi lebih lanjut.

23

d. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya sepanjang

terdapat hubungan yang harmonis di antara kota sebagai pusat

pertumbuhan dengan kota belakangnya maka pertumbuhan kota pusat

akan mendorong pertumbuhan kota belakangnya. Kota membutuhkan

bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai

fasilitas atau kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat

mengembangkan diri.

Pusat-pusat yang pada umumnya merupakan kota–kota besar tidak

hanya berkembang sangat pesat, akan tetapi mereka bertindak sebagai

pompa-pompa pengisap dan memiliki daya penarik yang kuat bagi

wilayah-wilayah belakangnya yang relatif statis. Wilayah-wilayah

pinggiran di sekitar pusat secara berangsurangsur berkembang menjadi

masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk, modal, dan sumberdaya ke

luar wilayah belakang yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan

pusat-pusat dimana pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan bersifat

kumulatif. Sebagai akibatnya, perbedaan pendapatan antara pusat dan

wilayah pinggiran cenderung lebih besar (Rahardjo Adisasmita, 2005).

Pemikiran dasar dari konsep titik pertumbuhan ini adalah bahwa

kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung beraglomerasi di

sekitar sejumlah kecil titik fokal (pusat). Di dalam suatu daerah arus

polarisasi akan bergravitasi kearah titik-titik fokal ini, yang walaupun

karena jarak arus tersebut akan berkurang. Di sekitar titik fokal ini dapat

ditentukan garis perbatasan dimana kepadatan arus turun sampai suatu

24

tingkat kritis minimum, pusat tersebut dapat dikatakan titik pertumbuhan

sedangkan daerah di dalam garis perbatasan adalah daerah pengaruhnya.

Menurut Perroux dalam Sihotang (2001) telah mendefinisikan kutub

pertumbuhan regional sebagai seperangkat industri-industri sedang

mengembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong

perkembangan lanjutan dari kegiatan ekonomi daerah pengaruhnya. Kutub

pertumbuhan regional terdiri dari suatu kumpulan industri-industri yang

mengalami kemajuan dan saling berhubungan, serta cenderung

menimbulkan aglomerasi yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor

ekonomi eksternal itu seperti turunnya biaya produksi, pembangunan pasar

bagi pekerja urban dan akses pasar yang lebih besar. Menurut Arsyad

(1999) bahwa inti dari teori Perroux ini adalah sebagai berikut :

a. Dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang

merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah

karena keterkaitan antar industri (forward linkage and backward

linkage), maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi

perkembangan industri lainnya yang berhubungan erat dengan industri

unggulan tersebut.

b. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan

ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi

yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah

akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.

c. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif

aktif (industri unggulan) dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu

25

industri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan.

Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah

yang relatif pasif. Diharapkan dari ide ini adalah munculnya trickle

down effect and spread effect.

Menurut Tarigan (2009) dalam bahasa lain kutub pertumbuhan dapat

diartikan sebagai:

a. Arti fungsional, growth pole digambarkan sebagai suatu kelompok

perusahaan cabang industri atau unsur-unsur dinamis yang merangsang

kehidupan ekonomi. Hal penting disini adalah adanya permulaan dari

serangkaian perkembangan dengan multiplier effect nya.

b. Arti geografis, diartikan sebagai suatu pusat daya tarik (pole attraction)

yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berkumpul

disuatu tempat tanpa adanya hubungan antara usaha-usaha tersebut.

2. Teori Simpul Jasa Distribusi

Seperti teori aglomerasi (Weber), teori tempat sentral (Christaller dan

Losch), teori kutub pertumbuhan (Perroux), dan teori daerah inti dan

pinggiran (Friedman), penemu teori Simpul Jasa Distribusi Purnomosidi

Hadjisaroso menekankan pula pentingnya peranan pusat-pusat, yang

selanjutnya diidentifikasikan sebagai simpul-simpul jasa distribusi pada

umumnya adalah kota

Purnomosidi dalam Matoka (1994) menyatakan bahwa pengembangan

wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang bertumpu

pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alamnya;

pengembangan kedua jenis sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian

26

rupa sehingga menimbulkaan arus barang. Bahan mentah diangkut dari

daerah penghasil ke lokasi pabrik; dan barang hasilnya diangkut dari

produsen ke konsumen. Arus barang dianggapnya sebagai salah satu gejala

ekonomi yang paling menonjol, arus barang merupakan wujud fisik

perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar negara; arus barang

didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan (jasa

distribusi). Jadi jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting

dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik, terutama jika

ditinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya

berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-kemudahan, demikian pula

fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah.

Kriteria yang dipilih untuk menyatakan tingkat pertumbuhan suatu

daerah adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan

kebutuhan-kebutuhannya, baik berupa kebutuhan hidup maupun berupa

kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha; pemakaian kriteria

pendapatan daerah, (perkapita) sangat sukar untuk mencari kaitannya

dengan mekanisme pengembangan wilayah, selain dari pada itu

pendapatan belum memberikan gambaran yang memadai tentang

kebutuhan sebenarnya dari masyarakat, pendapatan tinggi belum berarti

suatu kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh kebutuhannya

(Matoka, 1994).

Kota-kota terdekat umumnya memiliki berbagai kemudahan yang

diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan

manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti

27

semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi

untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahan tersebut jasa

distribusi merupakan unsur yang sangat penting, oleh karena itu kota-kota

pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, yang

selanjutnya oleh Poernomosidi disebutnya simpul jasa distribusi atau

disingkat dengan simpul (Adisasmita, 1994).

Interaksi antara simpul besar dengan simpul-simpul kecil dan daerah

hinterlandnya merupakan unsur yang penting dalam konsepsinya. Tingkat

interaksi ditunjukkan dari tingkat kepadatan arus barang. Semakin kuat

ciri-ciri simpul berarti semakin luas dan jauh jangkauan wilayah

pengaruhnya. Lebih dekat pada simpul berarti lebih banyak jenis barang

yang terjangkau oleh pelayanan pemasaran, yang berarti pula lebih besar

kesempatan yang tersedia untuk perkembangan kegiatan usaha. Interaksi

antar simpul tersebut menunjukkan korelasi yang negatif dengan jarak.

Karena simpul merupakan pula konsentrasi penduduk, maka dapat

dikatakan bahwa interaksi antar simpul berkolerasi negatif terhadap jumlah

penduduk. (Matoka 1994)

Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa

distribusi bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat

ke luar), sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di

simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul

tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas

yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarkhi tiap simpul ditentukan

28

oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul yang

dicerminkan berdasar mekanisme arus distribusi barang.

Simpul orde distribusi I tidak berada dalam sub ordinasi simpul-

simpul lain. Simpul-simpul orde distribusi II berada dalam sub ordinasi

simpul orde distribusi I, dan selanjutnya simpul-simpul orde distribusi III

berada dalam sub ordinasi simpul orde distribusi II. Biasanya pada simpul-

simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang

lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah

ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang

mempunyai tingkatan orde distribusi yang sama ataupun yang berbeda

terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan

ketergantungan antar simpul dapat diketahui dari data arus barang dari

tempat asal ke tempat tujuan. Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta

keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat ditentukan arah

pengembangan pemasarannya secara geografis (Matoka, 1994). Secara

visual model simpul jasa distribusi dapat dilihat pada gambar 2.1.

Berdasarkan teori simpul jasa distribusi Purnomosidi, dapat dianalisis

pola aliran komoditas dari perdesaan atau aliran barang senntral kota.

Dengan asumsi bahwa pusat perdesaan akan berkembang sebagai pusat

pelayanan bilamana menjadi simpul distribusi bagi desa-desa sekitarnya,

baik untuk mendistribusikan hasil-hasil pertanian atau untuk mendapatkan

barang-barang kebutuhan rumah tangga pertanian, maka dengan demikian

dapat dianalisis bahwa bilamana suatu pusat perdesaan tidak memiliki

fungsi sebagai simpul distribusi tidak akan menarik orang untuk

29

melakukan interaksi dengan pusat tersebut. Dengan demikian fungsi-

fungsi yang ada tidak akan beroperasi secara optimal yang pada gilirannya

tidak akan merangsang perkembangan lebih lanjut (Matoka, 1994).

Gambar 2.1. Pola aliran barang menurut teori simpul jasa distribusi

(dimodifikasi dari Adisasmita, 1994).

Menurut Adisasmita dalam suatu kajian tentang Teori Simpul Jasa

Distribusi mengemukakan, penggunaan arus barang sebagai variable

belum sepenuhnya menjelaskan gejala terbentuknya simpul. Volume arus

barang sebagai indikator pengukur besarnya tingkat kepadatan jasa

distribusi (besaran simpul/kota) memberikan informasi arah arus kegiatan

antar kota yang berbeda-beda. Orientasi membeli atau menjual barang

kesatu arah menghasilkan arus barang yang berlainan arah.

Menurut Adisasmita, dalam sistim distribusi arus barang hanyalah

sebagai produk dari proses distribusi sedangkan pertimbangan menyangkut

: jenis, asal dan tujuan maupun jumlah barang terjadi pada proses distribusi

yaitu kegiatan perdagangan. Keputusan hingga terjadinya arus barang

berada ditangan para pedagang sedangkan tingkat pelaksanaan keputusan

berlangsung pada kegiatan pengangkutan.

Simpul Ordo I

Simpul Ordo

II Simpul Ordo

III Unit Desa

30

Berdasarkan pengkajian tersebut Adisasmita menyimpulkan bahwa

“orientasi pedagang” memberikan informasi gejala karakteristik

pembentukan simpul yang selanjutnya disebut orientasi kota. Orientasi

pedagang atau orientasi kota tersebut dapat digunakan sebagai dasar

pengukuran dalam menyatakan besaran simpul, besarnya pengaruh simpul

terhadap pembentukan simpul yang lain, Efisiensi suatu simpul.

Sedangkan unsur-unsur orientasi pedagang menurut Adisasmita terdiri dari

Arah orientasi, bobot pedagang, dan Jumlah pedagang.

Arah orientasi pedagang dapat dilihat dari perilaku para pedagang

dalam melaksanakan kegiatan antar simpul. Perilaku pedagang dalam

mengarahkan kegiatan usahanya memberikan gambaran besarnya arus

barang yang terjadi. Pada umumnya pedagang yang terlibat dalam kegiatan

usaha jasa distribusi barang terdiri dari: pedagang grosier, pedagang

pengumpul dan pengecer. Pedagang pengumpul sifat kegiatan usahanya

menjembatani arus barang dari berbagai kegiatan usaha produksi hasil

pertanian dengan para pedagang gerosir (antar pulau dan eksportir).

Sedangkan pedagang pengecer sifat kegiatan usahanya menjembatani arus

barang dari pedagang grosir dengan masyarakat konsumen barang hasil

kegiatan usaha industri.

G. Interaksi Masyarakat Desa-Kota

Untuk membicarakan tentang interaksi masyarakat desa dengan pusat-

pusat pedesaan dalam keadan sehari-hari sepertinya biasa-biasa saja. Akan

tetapi jika dilihat secra mendalam disini terdapat semacam interaksi, yang

telah melahirkan ketergantungan antara keduanya.

31

Bintarto, (1983) mengemukakan bahwa interaksi ini dapat dilihat sebagai

suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap

perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan baik melalui kontak langsung.

Proses interaksi desa kota dapat berwujud urbanisasi, yang dimaksud adalah

proses pembentukan kota, suatu proses yang digerakkan oleh perubahan-

perubahan dalam masyarakat sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan

suatu daerah pedesaan lambat laun akan melalui proses yang mendadak

memperoleh sifat kehidupan kota.

Lebih lanjut Rondinelly (1985) mengatakan bahwa konsep urbanisasi

juga mencakup pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota (desa menjadi

kota), perpindahan penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi ulang alik)

atau kenaikan presentase penduduk yang tinggal di kota. Proses urbanisasi

ini menurut Keijo dan Collegde dalam Bintaro (1984) melalui empat proses

utama yaitu :

a) Adanya pemusatan kekuatan pemerintah kota sebagai pengambil

keputusan dan sebagai bahan pengawas dalam menyelenggerakan

hubungan kota dengan daerah sekitarnya.

b) Adanya arus modal dan investasi untuk mengukur kemakmuran kota

dengan wilayah sekitarnya, dan selain itu penentuan/pemilihan lokasi

untuk kegiatan ekonomi mempunyai pengaruh terhadap arus bolak balik

desa-kota.

c) Divusi dan inovasi serta perubahan yang berpengaruh terhadap aspek

sosial ekonomi budaya dan politik akan dapat memperluas kota yang

32

lebih kecil bahkan ke daerah pedesaan. Difusi ini dapat mengubah

suasana desa menjadi suasana kota.

d) Migrasi dan pemukiman penduduk baru dapat terjadi apabila pengaruh

kota secara terus menerus masuk ke daerah pedesaan.

Pendapat diatas ini menjelaskan tentang interaksi desa kota yang

berwujud dalam proses urbanisasi ini terjadi karena adanya hubungan desa

kota, adanya hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi (timbal balik)

adanya inovasi dan adanya pengaruh kehidupan kota secara terus menerus ke

pedesaan.

Wujud proses interaksi juga dapat membentuk gerak penduduk secara

ulang alik yaitu dari desa ke desa, dari desa ke kota, dari kota ke desa dan dari

kota ke kota, seperti halnya juga arah gerak penduduk sirkulasi dan komutasi

(Kuncoro, 2002). Pendapat diatas menjelaskan tentang interaksi desa kota

dalm ujud ulang alik, dimana terjadinya interaksi ini karena adanya saling

ketergantungan antara masyrakat desa dan kota. Hal tersebut sejalan dengan

yang dikemukkan oleh Rondinelly (1985) mengenai sifat ketergantungan

antara desa kota dapat dilihat dalam hal sebagai berikut.

a) Karena kota merupakan pemasaran hasil-hasil pertanian dan sekaligus

sebagai tempat mereka mendapatkan benda pemenuhan kebutuhan hidup

yang mereka perlukan.

b) Kota merupakan tempat dimana terdapat sarana-sarana pendidikan yang

dibutuhkan oleh orang-orang desa terutama dalam melanjutkan

pendidikan yang lebih tingi.

c) Kota sebagai tempat memperoleh lapangan kerja bagi orang desa.

33

Sedangkan ketergantunghan kota terhadap desa itu sendiri dapat dilihat

sebagai berikut.

a) Sebagai suplier bahan hasil-hasil pertanian

b) Sebagai suplier bahan mentah atau bahan baku industri

c) Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri

d) Sebagai Suplier tenaga kerja bagi industri pabrik dan jasa lainnya.

Menurut Adisasmita (2005), bahwa interaksi adalah kontak antara dua

wilayah yang dapat menimbulkan gejala baru. Batasan sederhana ini

merupakan analisa lain dari pengertian terminologi interaksi yang bermuara

pada kata yang dipakai untuk menerangkan kontak antara dua atau lebih

wilayah secara ”kausatif” dan “ekonomis’. Kausatif artinya suatu wilayah

berinteraksi dengan wilayah lain karena kebutuhan dalam kegiatan produksi

akan input yang berasal dari wilayah pemasok, sedangkan ekonomis bahwa

dasar yang tercermin dalam aktivitas ekonomi berupa konsumen dan

produksi.

Interaksi dimaksudkan tidak hanya dengan berbatas pada gerak pindah

dari manusia melainkan juga menyangkut uang, barang dan lain-lain. Salah

satu bentuk manifestasi interaksi dalam suatu wilayah adalah nodal itu sendiri

dan wilayah hinterlandnya (kota-desa) dimana bentuk menyebabkan gejala

atau akibat beberapa pengaruh yang menguntungkan dan merugikan.

Pengaruh yang menguntungkan atau merugikan tersebut secara alamiah

sebagai konsekwensi dari adanya hubungan tersebut.

Pengaruh baik adalah jika kota tersebut bersifat kota generatif yaitu kota

yang menjalankan bermacam-macam fungsi baik untuk dirinya sendiri

34

maupun untuk daerah belakangnya, Sedangkan jika kota itu sebagai kota

parasitif yaitu yang ditujukan dengan mengeksploitasi daerah belakang tanpa

memberi jasa perkotaan kepada daerah belakangnya.

H. Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti telah melakukan kajian yang terkait dengan

penelitian terhadap fungsi pelabuhan dalam pengembangan wilayah di

beberapa daerah di Indonesia antara lain :

35

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No. Judul Peneliti Alat Analisis Permasalahan

1. Sistem Pengembangan Trans

portasi Laut pada Era

Globalisasi

Cornelius Suyadi

2007 Pendekatan sistem, Analisis

prospektif partisipatif

menurut Hartisari (2003),

Bourgeois (2002) untuk

menilai tingkat kepentingan

dan penilaian kinerja

Metode deskriptif dan

kuantitatif IPA dengan

diagram kartesius dari

Supranto(2001) untuk

menilai tingkat kepentingan

dan tingkat kinerja

a. Armada nasional hanya mampu

meraih 5% share dari ekspor-impor

dan 52 % domestik., Kerugian

negara sebesar 184 triliun rupiah

pertahun dari share muatan dan loss

of transhipment oppotunities..

b. Tidak seimbang antara kapasitas

armada nasional terhadap kuantitas

muatan.

2. Dampak Pengembangan

Pelabuhan Pekan Baru di

Kawasan Pasar Bawah

Syahrial Hasibuan,

Soemarno, Jenni

Ernawati

Analisis Deskriptif

Kualitatif

Analisis Statistik Deskriptif

a. Bagaimana karakteristik

pengembangan Pelabuhan

Pekanbaru di kawasan Pasar Bawa.

b. Bagaimanakah dampak

pengembangan Pelabuhan

Pekanbaru terhadap Pertumbuhan

kawasan Pasar Bawah.

c. Bagaimanakah arahan

pengembangan Pelabuhan

Pekanbaru dalam mendukung

pertumbuhan kawasan Pasar

Bawah

.

36

3. Dampak Pengembangan

Kawasan Pelabuhan Kuala

Langsa Terhadap

Kesejahteraan masyarakat

Sekitar

Zulfan, 2008 Analisis Deskriptif

Kualitatif

Analisis Statistik Deskriptif

a. Bagaimana dampak pengembangan

kawasan Pelabuhan Kuala Langsa

selama 3 tahun terakhir terhadap

pengembangan wilayah.

b. Bagaimana dampak pengembangan

kawasan Pelabuhan Kuala Langsa

terhadap kesejahteraan masyarakat

sekitar.

37

III. KERANGKA PIKIR

Dalam dimensi wilayah pengembangan pelabuhan merupakan salah satu

sarana distribusi barang dan jasa yang dapat memicu pertumbuhan fisik ruang

suatu kota dan diharapkan mampu menjadi penggerak pada Wilayah

Pembangunan (WP), terutama terhadap kota-kota yang dipengaruhi atau yang

mempengaruhi, sehingga tingkat interaksi yang tinggi antara kota-kota dapat

diciptakan.

Secara konsepsional lemahnya linkages atau keterkaitan suatu kota dengan

daerah hinterlandnya dapat dilihat dari sistim transportasi wilayah yang mengikat

kota-kota. Demikian pula perkembangan kota meliputi pola-pola efisiensi dan

sistimatika pengaturan kota, lemahnya keterkaitan tersebut memberikan gambaran

pola penggunaan ruang yang optimal dan efisien. Dengan demikian ketidak

seimbangan dan ketidak teraturan terhadap intensitas pemanfaatan ruang kota

akan berpengaruh bagi pengembangan kota dan wilayah.

Secara spasial kemampuan perkembangan kota dapat dikaji melalui

kemampuan perkembangannya secara eksternal maupun secra internal.

Kemampuan perkembangan secara eksternal yaitu sedapat mungkin kota menjadi

simpul koleksi distribusi barang dan jasa bagi daerah hinterlannya. Sedangkan

kemampuan perkembangan spasial kota secara internal menggambarkan

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota berdasarkan kondisi

saat ini dengan menggunakan standar kebutuhan pemukiman kota oleh Direktorat

Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. Secara skematis kerangka

pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar berikut.

38

Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

39

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Baubau khususnya pada kawasan

Pelabuhan Murhum. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan terhitung

sejak pembuatan proposal, pengumpulan data sampai dengan penulisan

laporan hasil penelitian.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi maupun wawancara

langsung ke lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui

dokumentasi dari berbagai informasi atau instansi terkait yang berhubungan

dengan ruang lingkup penelitian, yaitu: Pemerintah Kota Baubau, Badan

Pusat Statistik (BPS), Bappeda Kota Baubau, Kapel Baubau, Dinas Tata Kota

dan Bangunan dan instansi terkait lainnya, serta hasil penelitian dan literatur

yang dianggap relevan dalam mendukung penelitian ini.

C. Variabel Penelitian

Sutrisno (1982), mengemukakan bahwa variabel adalah semua keadaan,

faktor, kondisi, perlakuan, atau tindakan yang dapat mempengaruhi hasil

eksperimen, sedangkan Arikunto S. (1998) mengemukakan bahwa variabel

penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu

penelitian.

Adapun variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

dijelaskan pada tabel berikut :

40

Tabel 4.1. Variabel Penelitian

Komponen Data Variabel Sumber Data

1. Fisik Wilayah a. Topografi Wilayah

b. Penggunaan Lahan

c. Jaringan Jalan

Citra Satelit

Bappeda Kota Baubau

Dinas PU

2. Sosial Ekonomi d. Jumlah Penduduk

e. Fasilitas Ekonomi

f. Fasilitas Sosial

g. Fasilitas Umum

h. Orientasi Pedagang

i. Aktivitas Perekonomian

BPS

Survey

Wawancara

3. RTRW j. Peta Dasar

k. Arahan Tata Ruang

l. Kebijakan Tata Ruang

Dinas Tata Kota

Bappeda

4. Kepelabuhanan m. Kondisi Pelabuhan di

sulawesi Tenggara.

n. Status Pelabuhan.

o. Jenis Pelabuhan.

p. Rencana Pengembangan

Dep. Perhubungan RI.

Kanpel Kota Baubau

Sumber : Hasil Analisis, 2014.

D. Populasi dan Sampel

Sugiyono (2010) menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam

pengertian antara “ populasi dan sampel” dalam penelitian kuantitatif dan

kualitatif. Populasi itu misalnya penduduk di wilayah tertentu, jumlah guru

dan murid di sekolah tertentu dan sebagainya. Populasi bukan hanya orang,

tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan

sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi

keseluruhan karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek/subyek itu.

Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi itu, apa yang dipelajari dari

sampel, kesimpulan akan diberlakukan untuk populasi.

41

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi

menggunakan istilah situasi sosial, yang terdiri atas tiga elemen yaitu:

tempat, pelaku dan aktifitas yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial

tersebut, dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin diketahui “apa

yang terjadi” di dalamnya, misalnya rumah berikut keluarga dan aktifitasnya.

Situasi sosial tidak hanya terdiri dari tiga elemen tersebut, tetapi bisa juga

berupa peristiwa alam, binatang, tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya.

Sedangkan sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden,

tetapi sebagai nara sumber, partisipan, informan, teman dan guru dalam

penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel

statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk

menghasilkan teori.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui

pengaruh keberadaan Pelabuhan Murhum terhadap aktivitas perekonomian

dan perubahan lahan pada kawasan pelabuhan, oleh karena itu, pengambilan

sampel dilakukan terhadap masyarakat dan pelaku kegiatan perekonomian

khususnya yag berada pada kawasan Pelabuhan Murhum.

Lebih jauh Roscoe dalam Sugiyono (2006), mengatakan bahwa :

a) Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 – 500.

b) Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya pria-wanita; PNS-Swasta

dsb), maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.

c) Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate

(misalnya korelasi, regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal

42

10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misalnya Variabel penelitiannya

ada 5 (independen+dependen) maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50.

d) Untuk penelitian eksperimen yang sederhana yang menggunakan

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota

sampel masing-masing antara 10 -20.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jumlah sampel pada point (a)

dengan 5 kategori sampel yang meliputi Sejarahwan, Tokoh Masyarakat,

Dinas Tata Kota Baubau, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

(Bappeda) Kota Baubau, serta Dinas Perhubungan Kota Baubau.

E. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

1. Teknik Observasi

Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

peneliti melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Pengamatat

disebut observer yang diamati disebut observe.

Menurut Nawawi & Martini (1990) observasi adalah pengamatan dan

pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam

suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Menurut Patton

(dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan

setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang

yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perpektif

mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut.

43

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan mengamati aktivitas

kegiatan yang terjadi pada Kawasan Pelabuhan Murhum berupa :

Aktivitas dan pola kegiatan yang terjadi dalam kawasan pelabuhan.

Aktivitas dan pola kegiatan yang terjadi di luar kawasan pelabuhan.

Penggunaan lahan yang terjadi akibat dari aktivitas tersebut baik yang

berada pada kawasan pelabuhan, maupun kawasan yang dipengaruhi

oleh keberadaan pelabuhan tersebut.

2. Teknik Wawancara/Interview

Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara

bertanya langsung kepada responden. Orang yang mewawancarai disebut

interviewer dan orang yang diwawancarai disebut interviewee .

Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data

dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya

adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka.Pada penelitian ini

wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.

Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan

pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam

proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini,

interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta

mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit.

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer

mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar

pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas

44

atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan

bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam

kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual

saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998).

3. Teknik Dokumentasi

Arikunto (2002) mengatakan bahwa teknik dokumentasi adalah

mencari data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Selanjutnya

Nawawi (2005) menyatakan bahwa studi dokumentasi adalah cara

pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip

dan termasuk juga buku mengenai pendapat, dalil yang berhubungan

dengan masalah penyelidikan.

Dalam penelitian ini, dokumentasi diperoleh dari instansi pemerintah,

swasta maupun dari pihak-pihak lain dalam bentuk laporan penelitian baik

berupa angka maupun catatan tertulis yang berhubungan dengan penelitian

yang dilakukan.

F. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara diskriptif

kualitatif, analisis geografi, dan analisis spasial dengan menggunakan teknik-

teknik tertentu untuk menghasilkan ketajaman hasil penelitian, metode

analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

45

1. Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama dalam

penelitian ini, yaitu mengetahui posisi Pelabuhan Murhum di Kota Baubau

dengan pelabuhan lainnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis ini

penting untuk dilakukan karena terkait dengan peran dan fungsi pelabuhan

murhum.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975) mengemukakan bahwa metode

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Miles and Huberman (1994) dalam Basrowi dan Sukidin (2002)

metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat

dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam

kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metode penelitian kualitatif juga merupakan metode penelitian yang

lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap

suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian

generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan teknik analisis

mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus

perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu

akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya.

Penelitian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang

bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan

pelaku kegiatan yang terjadi berkaitan dengan keberadaan Pelabuhan

46

Murhum Kota Baubau. Obyek yang diteliti dan diselidiki oleh penelitian

deskriptif kualitatif mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif, serta

dapat juga menjadi sebuah studi korelasional 1 unsur bersama unsur

lainnya. Biasanya kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data,

menganalisis data, meginterprestasi data, dan diakhiri dengan sebuah

kesimpulan yang mengacu pada penganalisisan data tersebut.

2. Analisis Geografi

Analisis geografi ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama

sekaligus mempertajam hasil analisis deskriptif terhadap fungsi dan

peranan pelabuhan Murhum dalam sistim jaringan transportasi laut di

Sulawesi Tenggara, interaksi dan konektivitas Pelabuhan Murhum dengan

pelabuhan lainnya di Sulawesi Tenggara.

Pola alur pelayaran sangat mempengaruhi distribusi barang, jasa dan

orang dan keterkaitan Kota Baubau dengan wilayah lainnya. Analisis ini

menggunakan metode analisa geografi dengan peralatan analisis

koneksitas dan sistim jaringan. Analisis ini menggunakan data Graf atau

jaringan dari hasil interprestasi peta arah orientasi geografis arus barang,

jasa dan orang di Pelabuhan Murhum Baubau. Informasi mengenai arah

orientasi arus barang dan jasa tersebut dimasukkan dalam suatu matriks

koneksitas, kemudian dihitung nilai dispersinya, semakin tinggi nilai

dispersinya semakin besar tingkat penetrasi perkembangan kota terhadap

daerah lainnya yang terkoneksi.

47

3. Analisis Spasial

Analisis spasial dilakukan untuk menjawab tujuan kedua dalam

penelitian ini dan menggambarkan secara keruangan Kota Baubau sesuai

dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Analisis ini diakukan untuk

mengukur perubahan lahan yang diakibatkan oleh aktivitas yang terjadi di

Pelabuhan Murhum.

Analisis spasial merupakan sekumpulan metoda untuk menemukan

dan menggambarkan tingkatan/pola dari sebuah fenomena spasial,

sehingga dapat dimengerti dengan lebih baik. Dengan melakukan analisis

spasial, diharapkan muncul infomasi baru yang dapat digunakan sebagai

dasar pengambilan keputusan di bidang yang dikaji. Metoda yang

digunakan sangat bervariasi, mulai observasi visual sampai ke

pemanfaatan matematika/statistik terapan.

Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang

dapat memadukan antara data grafis (spasial) dan data teks (atribut) objek

yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Disamping itu

SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data, dan menganalisis

data yang akhirnya menghasilkan output yang dapat dijadikan acuan dalam

pengambilan keputusan terhadap masalah yang berhubungan dengan

keruangan (As-syakur, 2009).

Selanjutnya menurut Bernhardsen (2002) SIG sebagai sistem

komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini

diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer

yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data,

48

penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan

pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta

analisa data

Pada saat sistem informasi geografis dimanfaatkan oleh operator, ada

sesuatu yang diharapkan darinya. Salah satu hal yang diperoleh dari sistem

informasi geografis adalah kemampuannya dalam menganalisis data

spasial. Model analisis data spasial ini sering disebut sebagai analisis

spasial. Namun kadang operator sistem informasi geografis tidak

memahami apakah dia sudah melaksanakan suatu analisis spasial ataukah

baru sekedar menjalankan suatu prosedur yang ada dalam sebuah

perangkat lunak sistem informasi geografis. Mungkin pula sebaliknya,

operator mungkin baru sekedar membuat data digitasi hingga layout peta,

namun merasa sudah melakukan analisis spasial dengan menggunakan

Sistem informasi geografis.

Sistem informasi geografis itu sendiri sering disamakan dengan

perangkat lunak sistem informasi geografis yang sebenarnya adalah

sekedar alat bantu. Tidak semua perangkat lunak menyediakan metode

analisis spasial seperti yang dimaksudkan dalam sistem informasi

geografis. Namun tidak bisa disalahkan jika pengguna sistem informasi

geografis merujuk pada berbagai kemampuan perangkat lunak seperti

ArcGis, Arc View dan lain-lainnya, untuk menjelaskan suatu pengertian

tentang analisis spasial. Hal ini dikarenakan perangkat lunak tersebut

dalam pembuatannya sengaja ditujukan salah satunya untuk analisis

spasial.

49

Sebagai sebuah metode, analisis spasial berusaha untuk membantu

perencana dalam menganalisis kondisi permasalahan berdasarkan data dari

wilayah yang menjadi sasaran. Dan konsep-konsep yang paling mendasari

sebuah analisis spasial adalah jarak, arah, dan hubungan. Kombinasi dari

ketiganya mengenai suatu wilayah akan bervariasi sehingga membentuk

perbedaan yang signifikan yang membedakan satu lokasi dengan yang

lainnya. Dengan demikian jarak, arah, dan hubungan antara lokasi suatu

objek dalam suatu wilayah dengan objek di wilayah yang lain akan

memiliki perbedaan yang jelas. Dan ketiga hal tersebut merupakan hal

yang selalu ada dalam sebuah analisis sapasial dengan tahapan-tahapan

tertentu tergantung dari sudut pandang perencana dalam memandang

sebuah permasalahan analisis spasial.

Berdasarkan Tujuannya, secara garis besar metoda dalam melakukan

Analisis Spasial dapat dibedakan menjadi 2 macam:

a. Analisis Spasial Exploratory, digunakan untuk mendeteksi adanya pola

khusus pada sebuah fenomena spasial serta untuk menyusun sebuah

hipotesa penelitian. Metoda ini sangat berguna ketika hal yang diteliti

merupakan sesuatu hal yang baru, dimana peneliti tidak/ belum

memiliki banyak pengetahuan tentang fenomena spasial yang sedang

diamati.

b. Analisis Spasial Confirmatory, Dilakukan untuk mengonfirmasi

hipotesa penelitian. Metoda ini sangat berguna ketika peneliti sudah

memiliki cukup banyak informasi tentang fenomena spasial yang

50

sedang diamati, sehingga hipotesa yang sudah ada dapat diuji

keabsahannya.

Salah satu analisis spasial yang terkenal di bidang SIG dan juga

pengolahan citra digital (penginderaan jauh) adalah klasifikasi, istilah yang

merujuk pada proses interprestasi citra-citra digital (dengan bantuan sistem

komputer) hasil penginderaan jauh. Analisis ini merupakan suatu proses

penyusunan, pengurutan atau pengelompokkan setiap piksel citra digital

multi-spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkan kriteria atau kategori

objek hingga dapat menghasilkan sebuah peta tematik dalam bentuk raster.

GIS juga menyediakan sarana yang fleksibel untuk "menciptakan data

baru," yaitu, untuk mengubah data antara spasial yang berbeda skala

observasi, dan untuk melaksanakan agregasi, partisi, interpolasi, overlay

dan operasi buffering. Tentu saja, seperti "data" tidak lain adalah hasil dari

perhitungan, sendiri berdasarkan algoritma tertentu yang sering

menggunakan estimasi parameter dan model kalibrasi diperoleh dengan

cara statistik. Kemampuan menampilkan kuat yang terkandung dalam GIS

juga menyediakan alat yang sangat baik untuk visualisasi hasil analisis

statistik.

Untuk lebih jelas, tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada

gambar berikut :

51

Gambar 4.1. Skema Tahapan Pelaksanaan Penelitian.

52

G. Konsep Operasional

1. Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari

sebuah kedaulatan.

2. Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan

penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak

kehidupan yang materialistik.

3. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau

untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun

penumpang ke dalamnya.

4. Peranan pelabuhan secara eksternal yaitu peranan pelabuhan terhadap

pengembangan wilayah adalah tingkat keterkaitan antara Kota Baubau

dengan wilayah lebih luas berdasarkan arah orientasi geografis arus

barang dan jasa “dari” dan “ke” pelabuhan murhum Baubau.

5. Peranan pelabuhan secara internal terhadap pengembangan wilayah

adalah peranannya dalam pengembangan fisik ruang kota Baubau yang

diukur dari tingkat perkembangan arus barang dengan tingkat

perkembangan ruang terbangun di Kota Baubau.

6. Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi fokus di dalam

suatu penelitian.

7. Data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan

masih memerlukan adanya suatu pengolahan.

8. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk

angka.

9. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.

53

10. Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber

data.

11. Kemampuan Eksternal adalah potensi yang dimiliki pelabuhan Murhum

Baubau secara fisik geografi sebagai pusat orientasi daerah hinterland

yang diukur dari indeks grafitasi kota Baubau terhadap daerah

hinterlandnya berdasarkan pertimbangan jarak dan jumlah penduduk.

serta tingkat keterkaitan aktivitas kota Baubau dengan daerah

hinterlannya yang diukur dari matiks arus orientasi barang.

12. Kemampun Internal adalah potensi yang dimiliki kota Baubau secara

fisik geografi sebagai pusat pelayanan bagi penduduk di kota Baubau,

yang diukur dari luas lahan untuk menampung kegiatan kota serta

fasilitas pelayanan yang melayani penduduk kota.

13. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan

yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk

Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan

antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.

14. Hinterland adalah daerah belakang suatu pelabuhan, dimana luasnya

relatif dan tidak mengenal batas administratif suatu daerah, provinsi atau

batas suatu negara tergantung kepada ada atau tidaknya pelabuhan yang

berdekatan dengan daerah tersebut.

15. Analisa Spasial adalah sekumpulan metoda untuk menemukan dan

menggambarkan tingkatan/ pola dari sebuah fenomena spasial, sehingga

dapat dimengerti dengan lebih baik.

54

55

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kota Baubau terbentuk secara otonom dan mandiri berdasarkan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2001, secara geografis Kota Baubau terletak di

jazirah Sulawesi Tenggara bagian selatan Pulau Buton pada koordinat antara

50

21’ – 50

30’ Lintang Selatan dan di antara 1220 30’ – 122

0 45’ Bujur Timur,

dengan batas wilayah meliputi :

Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Kapontori

Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Batauga

Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo

Barat : Berbatasan dengan Selat Buton.

Luas wilayah daratannya sekitar 221,00 km2 yang tersebar pada 8

kecamatan dan 43 kelurahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di

bawah :

Tabel 5.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Baubau menurut

Kecamatan, Tahun 2012.

No. Kecamatan Jumlah

Kelurahan

Luas

Wilayah

(km2)

Jumlah

Penduduk

(jiwa)

Kepadatan

Penduduk

(jiwa/km2)

1. Betoambari 5 27,89 16.947 608

2. Murhum 5 4,90 20.046 4.091

3. Batupoaro 6 1,55 26.945 17.384

4. Wolio 7 17,33 39.523 2.281

5. Kokalukuna 6 9,44 17.418 1.845

6. Sorawolio 4 83,25 7.412 89

7. Bungi 5 47,71 7.385 155

8. Lea-Lea 5 28,93 6.900 239

KOTA BAUBAU 43 221,00 142.576 645

Sumber: BPS Kota Baubau, 2012.

56

Wilayah terluas di Kota Baubau berdasarkan tabel 5.1 terdapat di

Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah 83,25 km2 atau 37,67 % dari total

luas wilayah Kota Baubau, sedangkan wilayah terkecil adalah Kecamatan

Batupoaro dengan luas wilayah 1,55 km2 atau hanya 0,70 % dari luas

wilayah Kota Baubau.

Tabel 5.1. memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk tertinggi berada

pada wilayah Kecamatan Batupoaro dimana tingkat kepadatan penduduk

sebesar 17.384 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang memiliki tingkat

kepadatan penduduk terkecil adalah Kecamatan Sorawolio sebesar 89

jiwa/km2.

Berdasarkan tingkat kelandaiannya wilayah Kota Baubau dapat

diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu meliputi wilayah dengan

kemiringan 0 - 8% seluas 2.957,82 Ha atau mencakup 13,38%, kemiringan 8

– 15 % sebesar 8.807,38 Ha (39,85 %), wilayah dengan kemiringan 5 - 25%

sebesar 6.691,39 Ha (30,28 %), kemiringan lahan 25 – 40 % seluas 2.944,51

Ha (13,32 %) dan wilayah dengan kemiringan lahan >40 % sebesar 698,90

Ha (3,16 %), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.3.

Ditinjau dari kondisi penduduk menurut jenis kegiatannya,

perkembangan penduduk Kota Baubau yang berumur 15 tahun ke atas

menurut jenis kelamin dan kegiatannya tahun 2010 – 2012, digambarkan pada

tabel berikut :

57

Tabel 5.2. Penduduk berumur 15 Tahun ke Atas menurut Jenis Kegiatan di

Kota Baubau, Tahun 2010 – 2012.

No. Jenis Kegiatan Tahun

2010 2011 2012

1. Angkatan Kerja 62.115 59.091 57.284

a. Bekerja 56.451 55.777 51.438

b. Mencari Pekerjaan 5.664 3.314 5.846

2. Bukan Angkatan Kerja 29.613 31.404 34.910

a. Sekolah 12.621 5.107 15.292

b. Mengurus Rumah Tangga 15.020 21.513 17.353

c. Lainnya 1.972 4.784 2.265

3. Penduduk 15 Tahun ke Atas 91.728 90.495 92.194

4. % Pekerja Terhadap Angkatan Kerja 90,88 94,39 89,79

5.

% Angkatan Kerja terhadap Penduduk

15 Tahun ke Atas 67,72 65,30 62,13 Sumber : BPS Kota Baubau, 2012.

Tabel di atas menggambarkan bahwa penduduk yang berumur 15 tahun

ke atas di Kota Baubau pada tahun 2012 naik menjadi 92.194 dari 91.728

jiwa pada tahun 2010. Sedangkan persentase terhadap angkatan kerja tahun

2012 mengalami penurunan menjadi 89,79 % dari 90,88 % pada tahun 2010.

Hal ini menggambarkan bahwa jumlah angkatan kerja yang terserap pada

tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2010.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau Tahun

2012, struktur penduduk Kota Baubau berdasarkan kelompok usia kerja

didominasi oleh penduduk yang termasuk dalam usia produktif (15 – 64

tahun) yaitu sebesar 63,34 %, kemudian usia belum produktif (0 – 14 tahun)

sebesar 33,06 %, dan usia kurang produktif (+ 75) yaitu sebesar 3,61 %,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

58

Gambar 5.1. Persentase Penduduk Kota Baubau Berdasarkan Kelompok Usia

(Sumber: BPS Kota Baubau, Diolah)

Ditinjau dari lapangan kerja utama penduduk Kota Bau-Bau, dari

sembilan sektor lapangan usaha, ternyata sektor perdagangan dan jasa

mempunyai andil terbesar dalam menampung tenaga kerja di kota Bau-Bau.

Dari jumlah 51.438 orang dengan status bekerja pada tahun 2012, sebanyak

15.178 orang atau sekitar 29,51 persen bekerja disektor perdagangan,

selanjutnya sektor jasa sebanyak 14.471 orang atau sebesar 28,13 persen. Hal

ini disebabkan karena di Kota Bau-Bau sudah terdapat beberapa infrastruktur

pendukung sektor perdagangan dan jasa seperti keberadaan pelabuhan laut

yang berskala nasional dan bandar udara sehingga memungkinkan lancarnya

distribusi barang dan jasa dari luar, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya

beberapa sektor lainnya.

Belum Produktif33,06 %

Produktif63,34 %

Kurang Produktif

3,61 %

59

Tabel 5.3. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan

Pekerjaan Utama di Kota Baubau, Tahun 2010 – 2012.

Lapangan Usaha Tahun

(%) 2010 2011 2012

Pertanian 10.398 8.984 9.100 17,69

Pertambangan & Penggalian 186 242 490 0,95

Industri Pengolahan 3.671 3.222 2.512 4,88

Listrik, Gas, & Air Bersih 206 147 395 0,77

Konstruksi/Bangunan 4.008 5.219 4.878 9,48

Perdagangan, Hotel, & Restoran 15.320 17.326 15.178 29,51

Transportasi & Komunikasi 5.256 4.873 4.070 7,91

Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 957 1.080 344 0,67

Jasa Lainnya 16.467 14.684 14.471 28,13

Kota Baubau 56.469 55.777 51.438 100,00

Sumber: BPS Kota Baubau, 2012.

Data di atas memperlihatkan bawah sektor perdagangan merupakan

sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 15.178 orang atau

sebesar 29,51 % dari total pekerja di Kota Baubau, sedangkan sektor

keuangan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terkecil yaitu

sebesar 344 orang atau hanya 0,67 % dari jumlah pekerja di Kota Baubau.

60

61

62

B. Sejarah Perkembangan Kota Baubau

Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang

berdiri pada awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam

Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya

Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni

sebagai Negeri (Desa) yang diperintah oleh seorang Raja bergelar Yang

Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton menjadi sebuah kerajaan pertama

kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga,

Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka

berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke- 13.

Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua fase penting yaitu

masa pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke–

16 dengan diperintah oleh 6 orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan

yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa

sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang

istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan

Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948

Hijriah (1542 Masehi) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan

Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai

pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang

berakhir tahun 1960.

Berdasarkan historiografi lokal Buton, kawasan Bau-Bau berkembang

sejak paruh awal abad ke-19. Perkembangan terjadi pasca kebakaran hebat

dalam Benteng Keraton Wolio dimasa pemerintahan Sultan Buton ke-29 La

63

Ode Muh. Aydrus Qaimuddin. Pasca peristiwa tersebut, sebagian keluarga

keraton mengungsi keluar benteng, ada yang menetap di kawasan Baadia,

Bariya, Tarafu, dan sebagian lainnya mendiami kawasan yang terletak di

antara Nganganaumala-Kotamara dan Bonesaala.

Kawasan inilah yang kemudian dinamai Bau-Bau; sebuah kawasan

hunian/kota ”baru” (”bhau” menurut bahasa Wolionya). Kata bhau dalam

pengertian ini juga menunjuk pada fenomena keseharian yang senantiasa

berubah atau baru; bhau – sabhaa-bhaau kadhagia sebagai refleksi dinamika

sosial kemasyarakatan yang terus berkembang dalam kawasan tersebut.

Dalam perkembangannya, kawasan Bau-Bau pun menempati posisi

laksana serambi pusat Kota ”lama” Wolio (kawasan Benteng Keraton).

Keberadaan Pelabuhan Murhum memberikan kontribusi yang sangat besar

dalam perkembangan kota kedepan, karena letaknya yang strategis dalam

jaringan perniagaan laut, kawasan kota baru (bhau-bhau) pun tumbuh pesat

dan menjadi salah satu diantara deretan kota pantai yang turut memainkan

peran dalam jaringan perniagaan laut nusantara.

Seiring dinamika tersebut, di masa pemerintahan Sultan Muh. Aydrus

dibentuk pula jabatan baru dalam hirarki pemerintahan Kesultanan yakni

Lakina Bhau-Bhau untuk mengepalai kawasan ”kota baru” (bhau-bhau)

tersebut. Sebagai Lakina Bhau-Bhau I adalah La Ode Rere (putra Sultan Muh.

Aydrus) yang memerintah sejak awal abad ke-19.

Dalam usianya yang hampir dua abad ini, Kota Bau-Bau telah memberi

andil besar bagi dinamika dan kontinuitas sejarah Buton dan Sulawesi

Tenggara sebagaimana terefleksi dari kedudukannya sebagai: (a) pusat

64

pemerintahan Kerajaan Buton (abad 14 - 16), (b) pusat pemerintahan

Kesultanan Buton (abad 16–20), (c) pusat pemerintahan Afdeling Boetoen en

Laiwoei (sejak 1927), (d) pusat pemerintahan Onder Afdeling Boetoen, (e)

Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara (1950an -1964), dan (f) Ibukota

Kabupaten Buton (1964-2001), Kota Administratif Baubau (1981 – 2001),

serta Daerah Otonom Kota Baubau (2001 – sekarang).

Cikal bakal Kota Baubau berawal dari ditunjuknya Kecamatan Wolio

sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Buton, Pembentukan Kota

Administratif Baubau melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 40 Tahun 1981 merupakan babak baru dalam perkembangan Kota

Baubau. Wilayah Kota Administratif Baubau sebagaimana yang diamanatkan

dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 2 kecamatan (Kecamatan

Wolio dan Kecamatan Betoambari) dan 23 kelurahan.

Seiring dengan perkembangan wilayah kota yang semakin pesat, maka

pada tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001

dibentuklah Daerah Otonom Kota Baubau yang mencakup 4 kecamatan

antara lain Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Surawolio,

dan Kecamatan Bungi. Pembentukan daerah otonom ini memberikan ruang

yang lebih luas terhadap perkembangan Kota Baubau. semenjak tahun 2006

Kota Baubau mekar menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7 (tujuh)

kecamatan di akhir tahun 2008, saat ini Kota Baubau terdiri dari 8 Kecamatan

setelah terbentuknya Kecamatan Batupoaro sebagai pemekaran dari

Kecamatan Murhum. Gambaran perkembangan wilayah Kota Baubau dapat

dilihat pada gambar berikut :

65

66

C. Kebijakan Penataan Ruang Kota Baubau

1. Struktur Ruang Kota Baubau

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau tahun

2011 – 2031, ditetapkan bahwa Tujuan penataan ruang Kota Baubau

adalah mewujudkan Kota Baubau sebagai kota perdagangan dan jasa yang

nyaman, sejahtera, berbudaya dan berkelanjutan sebagai kota pesisir yang

berwawasan lingkungan. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut,

maka diperlukan kebijakankebijakan penataan ruang yang meliputi :

a. perwujudan pusat kegiatan yang memperkuat kegiatan perdagangan,

pariwisata dan kegiatan kota lainnya secara optimal;

b. pemeliharaan dan pelestarian fungsi kawasan lindung;

c. pengembangan kawasan wisata dan pemeliharaan kawasan bersejarah;

d. pengembangan kawasan permukiman;

e. pengembangan sistem transportasi dalam rangka mendukung sistem

pelayanan kegiatan kota;

f. pengembangan sistem prasarana perkotaan lainnya;

g. pengembangan sektor kelautan; dan

h. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Tata ruang wilayah Kota Baubau merupakan wujud struktural dan

pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud

struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona

lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara

hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk

tata ruang.

67

Dalam struktur ruang wilayah Kota Baubau ditetapkan bawah sistim

pusat pelayanan Kota Baubau terdiri dari : (1) Pusat Pelayanan Kota; (2)

sub pusat pelayanan kota; dan (3) pusat lingkungan.

a. Pusat Pelayanan Kota

Pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,

dan/atau administrasi yang melayani seluruh wilayah kota dan/atau

regional. Pusat Pelayanan Kota Baubau terdiri dari Kelurahan Wale di

Kecamatan Wolio yang berfungsi sebagai pusat pelayanan kegiatan

perdagangan dan jasa serta perhubungan laut. Kegiatan perdagangan

dan jasa pada pusat kawasan tersebut meliputi :

kawasan perbelanjaan modern;

hotel dan penginapan;

perkantoran swasta; dan

jasa akomodasi pariwisata lainnya.

Sedangkan pusat kegiatan perhubungan laut meliputi:

pelabuhan laut;

pelabuhan angkutan sungai dan penyeberangan;

pelabuhan lokal; dan

pelabuhan perikanan.

b. Sub Pusat Pelayanan Kota

Sub pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,

dan/atau administrasi yang melayani sub wilayah kota. Sub pusat

pelayanan kota meliputi:

68

Sub pusat pelayanan di Kelurahan Wameo Kecamatan Murhum

yang memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan pemerintahan,

perdagangan dan jasa;

Sub pusat pelayanan di Kelurahan Katobengke Kecamatan

Betoambari memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan

pemerintahan tingkat Kota Baubau pendidikan tinggi, bandar

udara, pariwisata, depot BBM dan perumahan;

Sub pusat pelayanan Kota di Kelurahan Waruruma Kecamatan

Kokalukuna memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan

pemerintahan, industry pariwisata, perikanan, industri pengolahan,

perdagangan, pergudangan dan pemukiman;

Sub pusat pelayanan Kota di Kelurahan Liabuku Kecamatan Bungi

memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan pemerintahan,

perumahan, pertanian tanaman pangan, dan kehutanan;

Sub pusat pelayanan di Kelurahan Kaisabu Baru Kecamatan

Sorawolio memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan

pemerintahan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan

pertambangan; dan

Sub pusat pelayanan Kota Baubau berada di Kelurahan Lowu-

Lowu Kecamatan Lea-Lea dan Kelurahan Kolese memiliki fungsi

sebagai sub pusat pelayanan perumahan, perikanan, fasilitas olah

raga dan prasarana energi/ kelistrikan.

69

c. Pusat Lingkungan

Pusat lingkungan adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial

dan/atau administrasi lingkungan kota, pusat lingkungan mempunyai

peran sebagai pusat pelayanan skala lingkungan yang terdiri dari :

Pusat lingkungan Kelurahan Bataraguru sebagai pusat pelayanan

perdagangan dan jasa;

Pusat lingkungan Kelurahan Nganganaumala sebagai pusat

lingkungan perdagangan dan jasa;

Pusat lingkungan Kelurahan Lipu sebagai pusat pelayanan

pemerintahan, pendidikan dan permukiman;

Pusat lingkungan Kelurahan Liwuto sebagai pusat pelayanan

pemerintahan dan pariwisata;

Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Waliabuku

sebagai pusat pelayanan pemerintahan, pertanian;

Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Karya Baru

sebagai pusat pelayanan pertanian dan perdagangan dan jasa; dan

Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Kalialia

sebagai pusat pelayanan perdagangan dan jasa.

70

71

2. Pola Ruang Wilayah Kota Baubau

Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah

yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan

ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang Kota Baubau ditetapkan

dengan tujuan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara

berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menjaga

keserasian lingkungan alam dan lingkungan buatan. Rencana pola ruang

terdiri atas:

a. Kawasan Lindung

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber

daya alam dan sumberdaya buatan yang terdiri dari ::

Hutan Lindung

Hutan lindung di Kota Baubau seluas 4.554 ha tersebar di

Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari,

Kecamatan Bungi dan kecamatan Lea-lea.

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan

bawahannya;

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan

bawahnya terdiri dari kawasan resapan air yang tersebar di kawasan

sekitar hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Kecamatan

Sorawolio, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Murhum,

Kecamatan Bungi, dan Kecamatan Lea-lea, serta kawasan pantai

berhutan bakau yang berada di Kelurahan Lowu-lowu, Kelurahan

72

Palabusa, Kecamatan Lea-lea, dan di Kelurahan Lakologou,

Kelurahan Kampeonaho, dan Kelurahan Liabuku, Kecamatan Bungi.

Kawasan perlindungan setempat;

Kawasan perlindungan setempat di Kota Baubau meliputi :

(a) Sempadan sungai tidak bertanggul adalah kawasan kiri-kanan

sungai yang lebarnya paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari

tepi sungai, dan sungai bertanggul adalah kawasan di kiri -

kanan sungai yang lebarnya paling sedikit 25 meter dari kaki

tanggul terluar untuk Sungai Baubau dan paling sedikit 15 meter

untuk sungai-sungai lainnya.

(b) Kawasan sekitar mata air yang berada di perbatasan Kecamatan

Betoambari dan Kecamatan Murhum, Kecamatan Kokalukuna,

perbatasan Kecamatan Bungi dan Kecamatan Kokalukuna, dan

di sebelah selatan hutan lindung di Kecamatan Lea-lea.

(c) Sempadan pantai yang berada di sepanjang pantai bagian utara

sampai barat kurang lebih 100 meter sesuai dengan bentuk dan

kondisi fisik pantai meliputi pantai di Kecamatan Betoambari,

Kecamatan Murhum, Kecamatan Wolio, Kecamatan

Kokalukuna, dan Kecamatan Lea-lea.

(d) Kawasan sekitar waduk ditetapkan kurang lebih 50 (lima puluh)

meter untuk kawasan sekitar waduk Wonco berada di Kelurahan

Kampeonaho, Kecamatan Bungi.

Kawasan cagar budaya

Kawasan cagar budaya meliputi :

73

(a) Benteng Keraton Wolio Buton di Kelurahan Melai;

(b) Benteng Sorawolio di Kelurahan Bukit Wolio Indah;

(c) Benteng Baadia di Kelurahan Baadia;

(d) Benteng Lowu-lowu di Kelurahan Lowu-lowu;

(e) Benteng Tobe-tobe di Kelurahan Labalawa;

(f) Benteng Kaisabu di Kelurahan Kaisabu Baru;

(g) Benteng Kalampa di Kelurahan Lipu;

(h) Rumah Adat Khas Buton yang tersebar di Kota Baubau; dan

(i) Bangunan-bangunan lain yang mempunyai nilai sejarah

Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota; dan

Kawasan ruang terbuka hijau meliputi :

(a) Hutan Kota seluas kurang lebih 9.876 Ha yang tersebar di

seluruh Kecamatan.

(b) Jalur Hijau yang direncanakan seluas kurang lebih 99 Ha yang

tersebar di semua Kecamatan.

(c) RTH Bumi perkemahan terdapat di Kelurahan Kaisabu Baru,

Kecamatan Sorawolio seluas kurang lebih 10 Ha.

(d) RTH taman kota seluas kurang lebih 1.192 Ha yang tersebar di

semua Kecamatan.

(e) RTH taman lingkungan seluas kurang lebih 39 Ha di seluruh

kecamatan.

(f) RTH zona penyangga hijau kota di kembangkan seluas kurang

lebih 95 Ha berada di Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari,

Kelurahan Kalialia,

74

(g) Kelurahan Lowu-lowu dan Kelurahan Kolese, Kecamatan Lea-

lea; dan

(h) Ruang Terbuka Hijau lainnya, mencakup tepi kawasan bandar

udara sebagai tutupan hijau dikembangkan seluas kurang lebih

25 Ha terdapat di Kelurahan Katobengke, Kecamatan

Betoambari, Kelurahan Wajo, Kelurahan Lamangga, Kelurahan

Wameo, Kelurahan Melai, dan Kelurahan Baadia, Kecamatan

Murhum, Kelurahan Sukanayo dan Kelurahan Liwuto,

Kecamatan Kokalukuna, Kelurahan Liabuku, Kelurahan Bungi,

Kelurahan Lowu-lowu, Kecamatan Lea-lea.

Kawasan rawan bencana alam

Kawasan rawan bencana di Kota Baubau meliputi : gerakan tanah

berada di Kecamatan Sorawolio, kawasan rawan bencana kebakaran

berada di Kelurahan Wale, Kelurahan Tomba, dan Kelurahan

Bataraguru, Kecamatan Wolio serta kawasan bencara banjir yang

tersebar di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kota

Baubau.

b. Kawasan Budidaya

Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya

alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Hutan produksi terbatas

Hutan produksi terbatas Kota Baubau seluas 5.005 ha tersebar di

Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Bungi.

75

Hutan Produksi

Hutan produksi Kota Baubau pada tahun 2011 seluas 1.901 ha

tersebar di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan

Lea-Lea, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Wolio, Kecamatan

Muhum dan Kecamatan Betoambari.

Kawasan Perumahan/Permukiman

Kawasan perumahan/permukiman di Kota Baubau terdiri dari :

(a) Kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi berada di

Kelurahan Bataraguru, Kelurahan Tomba, dan Kelurahan Wale,

Kelurahan Batulo, Kelurahan Wangkanapi, Kelurahan Kadolo,

Kelurahan Kadolomoko, Kecamatan Wolio, Kelurahan Wameo,

Kelurahan Kaobula, Kelurahan Bone-Bone, dan Kelurahan

Nganganaumala di Kecamatan Murhum.

(b) Kawasan perumahan dengan kapadatan sedang berada di

Kelurahan Bukit Wolio Indah dan Kelurahan Kadolokatapi di

Kecamatan Wolio, Kelurahan Baadia, Kelurahan Melai,

Kelurahan Lamangga, Kelurahan Wajo, Kelurahan

Tanganapada, Kelurahan Tarafu, dan Kelurahan Lanto,

Kecamatan Murhum, Kelurahan Waborobo, Kelurahan

Katobengke, Kelurahan Lipu, Kelurahan Sulaa, dan Kelurahan

Labalawa di Kecamatan Betoambari, Kelurahan Waruruma,

Kelurahan Liwuto, Kelurahan Lakologou, dan Kelurahan

Sukanayo, Kecamatan Kokalukuna.

76

(c) Kawasan perumahan dengan kepadatan rendah berada di

Kelurahan Palabusa, Kelurahan Kantalai, Kelurahan Kalialia,

Kelurahan Kolese, dan Kelurahan Lowulowu Kecamatan Lea-

lea, Kelurahan Tampuna, Kelurahan Kampeonaho, Kelurahan

Waliabuku, Kelurahan Liabuku, dan Kelurahan Ngakringkari di

Kecamatan Bungi Kelurahan Kaisabu Baru, Kelurahan Karya

Baru, Kelurahan Gonda Baru, dan Kelurahan Bugi di

Kecamatan Sorawolio.

Kawasan Perumtukan Lainnya

Kawasan peruntukan lainnya di Kota Baubau meliputi :

(a) Kawasan pertanian

Kawasan pertanian terdiri dari :

kawasan budidaya tanaman pangan meliputi pertanian

tanaman pangan berada di Kelurahan Ngkaringkari dan

Kelurahan Liabuku Kecamatan Bungi, Kelurahan Liabuku,

Kecamatan Lea-lea, Kelurahan Kaisabu Baru, Kecamatan

Sorawolio;

kawasan pertanian holtikultura berada di Kelurahan

Ngkaringkari Kecamatan Bungi dan Kelurahan Kaisabu

Baru, Kecamatan Sorawolio;

kawasan perkebunan berada di Kelurahan Kalialia dan

Kelurahan Palabusa, Kecamatan Lea-lea, Kelurahan

Kampeonaho, Kelurahan Tampuna, Kelurahan Ngkaringkari,

Kelurahan Liabuku, dan Kelurahan Waliabuku, Kecamatan

77

Bungi, Kelurahan kaisabu Baru, Kelurahan Karya Baru,

Kelurahan Gonda Baru, dan Kelurahan Bugi, Kecamatan

Sorawolio, Kelurahan Labalawa dan Kelurahan Baadia,

Kecamatan Murhum;

kawasan peternakan berada di Kelurahan Kaisabu Baru,

Kecamatan Sorawolio dan Liabuku, Kecamatan Bungi,

diarahkan untuk pengembangan komoditas ternak unggulan.

(b) Kawasan pertambangan

Kawasan pertambangan di Kota Baubau meliputi kawasan yang

mempunyai potensi pertambangan meliputi :

Wilayah pencadangan negara (WPN) mineral dan logam.

Wilayah usaha pertambangan (WUP) mineral bukan logam.

Wilayah pertambangan rakyat (WPR).

78

79

D. Kondisi Pelabuhan Murhum

Pelabuhan Murhum di Kota Baubau terletak di Kelurahan Wale

Kecamatan Wolio pada koordinat 122°36'38,56" Bujur Timur dan

5°27'15,486" Lintang Selatan, dan berada pada Selat Buton yang memisahkan

Pulau Buton dan Pulau Muna. Pelabuhan Murhum merupakan pelabuhan

nasional yang berada di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kantor

Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I.

Letak Pelabuhan Murhum berada di Kelurahan Wale Kecamatan Wolio

yang merupakan Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang berfungsi sebagai pusat

perdagangan dan jasa, dan perhubungan laut. Luas Kawasan Pelabuhan

Murhum pada saat ini berdasarkan hasil analisa Citra Satelit dengan

menggunakan Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah seluas 12,69 Ha.

Pengembangan Pelabuhan Murhum telah dilakukan sejak tahun 1987

dengan mengembangkan dermaga/trestel dari konstruksi kayu menjadi beton

pancang sepanjang 180 m, hal ini dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan

volume kapal yang sandar. Selanjutnya pengembangan Trestel/dermaga

dilakukan pada tahun 1990/1991 dengan menambah panjang dermaga sebagai

tempat bongkar muat kapal dalam skala yang lebih besar, pada saat ini, kaal

yang bisa sandar pada dermaga tersebut adalah 1 buah. Kemudian pada tahun

2011/2012 dilakukan perluasan dermaga sandar menjadi 2 kapal, seiring

dengan semakin meningkatnya arus kunjungan kapal, baik kapal penumpang,

maupun kapal petikemas (lihat lampiran 1).

Luas lahan Kawasan Pelabuhan Murhum saat ini adalah sebesar 12,69 Ha

yang terdiri dari tambat labuh kapal seluas 6,43 atau mencakup 50,67 % dari

80

total luas lahan pelabuhan hasil analisa GIS, kolam pelabuhan seluas 2,02 Ha

(15,90 %), Lapangan penumpukan petikemas seluas 1,99 Ha (15,67 %),

Dermaga seluas 0,91 Ha (7,15 %), Bangunan (kantor, ruang tunggu, gudang)

sebesar 0,50 Ha (3,95 %), Jalan seluas 0,36 Ha (2,84 %), Lapangan Parkir

seluas 0,28 Ha (2,23 %), Lahan Kosong seluas 0,12 Ha (0,92 %) dan taman

seluas 0,09 Ha (0,71 %), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.4. Penggunaan Lahan Kawasan Pelabuhan Murhum, 2012.

No. Lahan Pelabuhan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Bangunan 0,50 3,95

2 Kolam Pelabuhan 2,02 15,90

3 Lapangan Parkir 0,28 2,23

4 Lapangan Penumpukan 1,99 15,67

5 Taman 0,09 0,71

6 Dermaga 0,91 7,15

7 Jalan 0,36 2,84

8 Lahan Kosong 0,12 0,92

9 Tambat Labuh Kapal 6,43 50,67

Total 12,69 100,04

Untuk lebih jelasnya, kondisi fasilitas Pelabuhan Murhum dapat dilihat

pada lamapiran 1 dan gambar 5.7.

81

82

E. Tinjauan Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan Kepelabuhanan

1. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan Kepelabuhanan Nasional

Tinjauan tatanan kepelabuhanan nasional dilakukan untuk melihat

posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan kepelabuhanan nasional yang

terkait dengan peran dan fungsi Pelabuhan Murhum dalam mata rantai

transportasi laut nasional.

Tatanan Kepelabuhanan Nasional merupakan dasar dalam

perencanaan pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan

pengoperasian pelabuhan di seluruh Indonesia, baik pelabuhan laut,

pelabuhan penyeberangan, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan

daratan dan pelabuhah khusus yang bertujuan:

a) terjalinnya suatu jaringan infrastruktur pelabuhan secara terpadu,

selaras dan harmonis agar bersaing dan tidak sating mengganggu yang

bersifat dinamis;

b) terjadinya efisiensi transportasi taut secara nasional;

c) terwujudnya penyediaan jasa kepelabuhanan sesuai dengan tingkat

kebutuhan;

d) terwujudnya penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan

berkemampuan

Penetapan Tatanan Kepelabuhanan Nasional dilakukan dengan

memperhatikan:

a) tata ruang wilayah;

b) sistem transportasi nasional;

c) pertumbuhan ekonomi;

83

d) pola/jalur pelayanan angkutan taut nasional dan internasional;

e) kelestarian lingkungan;

f) keselamatan pelayaran; dan

g) standarisast nasional, kriteria dan norma.

Kepmen Nomor KM 53 Tahun 2002 juga telah menggariskan hirarki

peran dan fungsi pelabuhan laut terdiri dari:

a. Pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer,

ditetapkan dengan kriteria :

berperan sebagai pelabuhan internasional hub yang melayani angkutan

alih muat (transhipment) peti kemas nasional dan internasional dengan

skala pelayanan transportasi laut dunia;

berperan sebagai pelabuhan induk yang melayani angkutan peti kemas

nasional dan internasional sebesar 2.500.000 TEU's/tahun atau

angkutan lain yang setara;

berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti kemas nasional dan

internasional dengan pelayanan berkisar dan 3.000.000 - 3.500.000

TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;

berada dekat dengan jalur pelayaran internasional ± 500 mil;

kedalaman minimal pelabuhan : -12 m LWS;

memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 350 m', 4 crane dan

lapangan penumpukan peti kemas seluas 15 Ha;

jarak dengan pelabuhan internasional hub lainnya 500 - 1.000 mil.

b. Pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder;

84

berperan sebagai pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan

angkutan peti kemas internasional;

berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan angkutan peti

kemas;

melayani angkutan peti kemas sebesan 1.500.000 TEU's/tahun atau

angkutan lain yang setara;

berada dekat dengan jalur pelayaran internasional + 500 mil dan jalur

pelayaran nasional ± 50 mil;

kedalaman minimal pelabuhan - 9 m LWS;

memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 250 m', 2 crane dan

lapangan penumpukan kontener seluas 10 Ha;

jarak dengan pelabuhan internasional lainnya 200 - 500 mil.

c. Pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier;

berperan sebagai pengumpan angkutan peti kemas nasional;

berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang umum

nasional;

berperan melayani angkutan peti kemas nasional di seluruh Indonesia;

berada dekat dengan jalur pelayaran nasional + 50 mil.

kedalaman minimal pelabuhan –9 m LWS;

memiliki dermaga multipurpose minimal panjang 150 m', mobile crane

atau skipgear kapasitas 50 ton;

jarak dengan pelabuhan nasional lainnya 50 - 100 mil.

d. Pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer;

85

berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan

internasional dan pelabuhan nasional;

berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke

pelabuhan utarna dan pelabuhan pengumpan;

berperan melayani angkutan taut antar Kabupaten/Kota dalam propinsi;

berada dekat dengan jalur pelayaran antar pulau ± 25 mil;

kedalaman minimal pelabuhan -4 m LWS;

memiliki dermaga minimal panjang 70 m; dan

jarak dengan pelabuhan regional lainnya 20 - 50 mil.

e. Pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder.

berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan

internasional, pelabuhan nasional dan pelabuhan regional;

berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil,

terisolasi, perbatasan, daerah berbatasan yang hanya didukung oleh

mode transportasi laut;

berperan sebagai tempat pelayanan moda transportasi laut untuk

mendukung kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai tempat

multifungsi selain sebagai terminal untuk penumpang juga untuk

melayani bongkar muat kebutuhan hidup masyarakat disekitamya;

berada pada lokasi yang tidak dilalui jalur transportasi laut reguler

kecuali keperintisan;

kedalaman minimal pelabuhan -1,5 m LWS;

memiliki fasilitas tambat;

jarak dengan pelabuhan lokal lainnya 5 - 20 mil.

86

Gambaran hubungan hierarki antar pelabuhan menurut peran dan

fungsinya dalam tatanan kepelabuhanan nasional dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 5.8. Skema Hubungan Antar Pelabuhan Laut Berdasarkan

Hierarki, Peran dan Fungsinya

(Sumber: Keputusan Menhub Nomor KM 53 Tahun 2002)

Posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan kepelabuhanan nasional

berdasarkan hierarki, peran dan fungsinya merupakan pelabuhan nasional,

yang mempunyai peran dan fungsi sebagai pelabuhan utama tersier yang

terhubung dengan pelabuhan-pelabuhan besar lainnya, seperti Pelabuhan

Makassar yang menjadi pelabuhan penghubung dengan kawasan barat

Indonesia, serta menjadi pelabuhan penghubung dengan kawasan Timur

lainnya seperti Pelabuhan Bitung, Pelabuhan Ambon dan Sorong yang

melayani kegiatan dan alih muat angkutan laut nasional dan internasional

dalam jumlah menengah, serta merupakan simpul dalam jaringan transportasi

tingkat provinsi.

87

Tabel 5.5. Kondisi Pelabuhan Murhum Berdasarkan Kriteria Kepmen

Nomor KM 53 Tahun 2002

Peran

Sebagai pengumpan angkutan peti kemas

nasional.

Sebagai tempat alih muat penumpang dan barang

umum nasional.

Skala Pelayanan Melayani angkutan petikemas nasional di

seluruh Indonesia.

Lokasi Pelabuhan

Berada dekat dengan Jalur Pelayaran Nasional

Primer (kurang dari 50 mil dari Laut Flores).

Berada pada Jalur Pelayaran Nasional Sekunder

Kedalaman ± 7 m lws

Fasilitas Dermaga multipurpose sepanjang 180 m

Jarak dengan

Pelabuhan Lainnya

± 20 mil dengan pelabuhan nasional di Raha

Sumber : Hasil Analisis, 2014.

88

89

2. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia

(ALKI)

Tinjauan posisi Pelabuhan Murhum terhadap Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI) sangat penting dilakukan, mengingat ALKI merupakan

arah arus orientasi perdagangan di Indonsia yang sangat berpengaruh

terhadap arus distribusi barang dan jasa dalam sebuah pelabuhan.

Alur Laut Kepulauan Indoensia (ALKI) ditetapkan sebagai

konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS'82 dengan kewajiban Indonesia

sebagai negara kepulauan yang diatur oleh Pasal 47-53 Konvensi Hukum

Laut 1982. Pasal 47 menyatakan bahwa negara kepulauan dapat menarik

garis pangkal lurus kepulauan (arhipelagic baselines) dan aturan ini sudah

ditransformasikan kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 1996, tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor

37 Tahun 2002, tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara

Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur

Laut Kepulauan yang Ditetapkan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2002, tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia.

Pengaturan mengenai hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan

Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, yaitu selain

untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional juga untuk

kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Hasibuan R, 2002). Sehingga pemerintah Indonesia

telah mengajukan 3 jalur ALKI yang diajukan ke IMO (International

90

Maritim Organization). Melalui sidang Maritime Safety Commitee ke-69

(MSC-69) pada tanggal 19 Mei 1998, dan akhirnya rencana ini diterima

oleh IMO. Sebagai Implementasi ditetapkanlah Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 2002, yang isinya memberikan kepastian hukum

penetapan ALKI menjadi 3 jalur (lihat gambar 2).

Pengaturan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sesuai PP Nomor

37 Tahun 2002 adalah sebagau berikut :

a. ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan;

b. ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi;

c. ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)

-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) - Laut Maluku,

Samudera Pasifik; dan

d. ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke

ALKI III-A.

Penetapan ALKI dilakukan dengan mempertimbangkan aspek

pertahanan keamanan negara dan kondisi hidro-oseanografi agar

memungkinkan alur pelayaran yang aman untuk dilayari oleh setiap kapal.

Keberadaan dua ALKI di KTI akan membuka peluang pengembangan

ekonomi kawasan dengan menarik manfaat dari kondisi perekonomian di

kawasan Asia Pasifik dan kerjasama ASEAN yang semakin berkembang,

melalui pengoptimalan oulet/pelabuhan untuk ekspor maupun pembukaan

jalur pelayaran sebagai akses ke pusat pasar dan perdagangan internasional

(khususnya di kawasan Asia Pasifik dan ASEAN).

91

Hasil analisa peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) seperti

yang disajikan pada gambar 5.10, posisi pelabuhan murhum berada dalam

ALKI III dengan outlet di Pelabuhan Makassar sebagai Pelabuhan

Internasional dan Pelabuhan Bitung di Provinsi Sulawesi Utara sebagai

Pelabuhan Internasional Hub yang terhubung dengan Samudera Atlantik

yang merupakan perairan perdagangan internasional, khususnya menuju

kawasan Asia Timur, Amerika Serikat dan Amerika Selatan.

92

93

1. Interaksi dan Konektivitas Pelabuhan Pelabuhan Murhum dengan

Pelabuhan Lainnya dalam Simpul Jaringan Transportasi Nasional

Pelabuhan Murhum Kota Baubau merupakan salah satu mata rantai

yang sangat penting dari seluruh proses perdagangan di Sulawesi

Tenggara, sebagai pelabuhan yang berada dalam jalur perdagangan dalam

negeri maupun luar negeri, sebagai Pelabuhan Utama Tersier dalam sistim

jaringan transportasi laut nasional dan berada dalam alur pelayaran

internasional ALKI III yang mempunyai orientasi pada pasar Asia Timur

(Cina, Jepang, Hongkong dan lain-lain), serta Kawasan Amerika dan

Amerika Selatan. Pelabuhan Murhum bukan sekedar tempat bongkar muat

barang maupun naik turunnya penumpang tetapi juga sebagai titik temu

antar moda angkutan dan pintu gerbang ekonomi bagi pengembangan

ekonomi daerah sekitarnya. Sebagai bagian dari sistem transportasi di

Sulawesi Tenggara, Pelabuhan Murhum memegang peranan penting dalam

perekonomian Sulawesi Tenggara dalam merangsang pertumbuhan

kegiatan ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya.

Keterkaitan jaringan transportasi yang terjadi antar Pelabuhan Murhum

dengan pelabuhan lainnya erat kaitannya dengan ketentuan yang termuat

dalam tatanan kepelabuhanan dan Alur Laut Kepulauan Indonesia

(ALKI). Analisis ini menggunakan data graf atau jaringan transportasi

dari hasil interpretasi peta sistim transportasi antar pelabuhan yang

terkoneksi dengan Pelabuhan Murhum Kota Baubau. Informasi mengenai

jaringan transportasi dimasukkan dalam suatu matriks koneksitas,

kemudian dihitung nilai dispersinya, semakin tinggi nilai dispersinya

semakin besar tingkat penetrasi perkembangan kota yang terjadi, namun

94

karena dalam penelitian ini hanya menggunakan satu wilayah, maka nilai

dispersi ini diabaikan. Analisis ini berdasarkan sifat keterkaitan hubungan

jaringan transportasi laut berdasarkan peta jaringan antar pelabuhan dan

keterkaitan secara fungsional berdasarkan jalur angkutan yang ada saat ini.

Pola konektivitas jaringan transportasi Pelabuhan Murhum dengan

pelabuhan lainnya dibagi dalam dua simpul jaringan konekstivitas, yaitu

simpul konektivitas antara Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan provinsi

sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional, serta simpul

konektivitas antara pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya dalam

lingkup wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai simpul jaringan

transportasi regional. Ilustrasi analisis jaringan konektivitas Pelabuhan

Murhum dengan pelabuhan lainnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 5.11. Ilustrasi Konektivitas Antar Pelabuhan Murhum Dengan

Pelabuhan Lainnya.

(Sumber: Hasil Analisis, 2014)

95

Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa jaringan konektivitas

Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya terdiri dari Pola keterkaitan

hubungan tidak langsung (HTL) yaitu untuk menjangkau Pelabuhan

Murhum harus melalui dan atau transit pada pelabuhan lainnya, Pelabuhan

yang melaluinya dan hubungan langsung (HL) yaitu untuk menjangkau

pelabuhan murhum tanpa melalui transit pada pelabuhan lain.

Konektivitas antar pelabuhan dalam simpul jaringan transportasi laut

nasional telah ditetapkan dalam kebijakan mengenai jaringan trayek

barang dan penumpang telah diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2010

tentang Angkutan di Perairan. Kegiatan angkutan laut tersebut

khususnya angkutan laut dalam negeri dilaksanakan dengan trayek tetap

dan teratur serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak

teratur. Dimana trayek tetap dan teratur (liner/regular) adalah pelayanan

angkutan yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan

menyebutkan pelabuhan singgah. Selain itu angkutan laut dalam negeri

yang melayani trayek tetap dan teratur harus disusun dengan

memperhatikan; a) pengembangan pusat industri, perdagangan,

pariwisata, b) pengembangan wilayah dan/atau daerah, c) rencana umum

tata ruang, d) keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, serta

e) perwujudan Wawasan Nusantara.

Penetapan jaringan trayek tetap dan teratur (liner) angkutan laut

dalam negeri berdasarkan pada keputusan Dirjen Perhubungan laut

Nomor AL.59/1/9-02 dimana didalamnya penetapan jaringan trayek

dibedakan menjadi angkutan laut penumpang, angkutan laut

96

barang/muatan umum dan angkutan laut petikemas. Dalam keputusan

tersebut terdapat 136 jaringan trayek untuk angkutan laut penumpang, 17

jaringan trayek untuk angkutan laut barang/muatan umum, serta 45

jaringan trayek untuk angkutan petikemas.

Dalam penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa peran

pelabuhan Murhum dalam sistim jaringan transortasi nasional merupakan

pelabuhan utama tersier dan berperan sebagai pelabuhan penghubung

antara wilayah Kawasan Timur Indonesia dengan Wilayah Barat. Dalam

simpul jaringan transportasi nasional, pelabuhan murhum menjadi

pelabuhan titik henti palayaran dari dan ke Pelabuhan Ambon dan Papua

(Kawasan Timur) serta dari dan ke Pelabuhan Makassar, Surabaya,

Semarang, Jakarta (Kawasan Barat).

Konektivitas dan jarak antara Pelabuhan Murhum Kota Baubau

dengan pelabuhan lainnya yang terkoneksi dengan sistim jaringan

transportasi laut nasional berdasarkan kapal dan pelabuhan tujuan

pelayaran nasional secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2.

Sedankan jalur transportasi nasional yang terhubung dengan

Pelabuhan Murhum di Kota Baubau dengan kota-kota lainnya di wilayah

Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah.

97

Tabel 5.6. Tabel Jalur Angkutan Penumpang Berdasarkan Kapal

Penumpang dari dan ke Pelabuhan Murhum Kota Baubau,

2014.

Nama Kapal Trayek

KM Bukit Siguntang Pelabuhan Nunukan - Tarakan –

Balikpapan – Pare-Pare – Makassar –

Baubau – Makassar - Maumere – Lewoleba

– Kupang

KM Ciremai Pelabuhan Tanjung Priok – Surabaya –

Makassar – Baubau – Sorong – Manokwari

– Jayapura

KM Dobonsolo Pelabuhan Tanjung Priok – Surabaya –

Makassar – Baubau – Sorong – Manokwari

– Jayapura

KM Nggapulu Pelabuhan Nabire – Serui – Manokwari –

Sorong – Fak-Fak – Ambon – Namlea –

Baubau – Makassar – Balikpapan –

Pantoloan – Toli-Toli

KM Sinabung Pelabuhan Kijang – Tanjung Priok –

Semarang – Surabaya – Makassar –

Baubau – Namlea – Ambon – Ternate –

Bitung

KM Tidar Pelabuhan Fak-Fak – Kaimana – Dobo –

Tual – Banda – Ambon – Baubau –

Makassar – Surabaya – Tanjung Priok

KM Tatamailau Pelabuhan Tanjung Priok – Makassar –

Baubau – Banggai – Bitung – Morotai –

Sorong – Fak-Fak – Kaimana – Timika –

Agats – Merauke

KM Tilongkabila Pelabuhan Bitung – Gorontalo – Luwuk –

Kolonodale – Kendari – Raha – Baubau –

Makassar – Labuan Bajo – Bima –

Ampenan/Lembar – Benoa/Denpasar (Bali) Sumber : PELNI, 2014.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa konektivitas Pelabuhan

Murhum dengan pelabuhan lainnya dalam simpul jaringan transportasi

nasional berdasarkan titik henti dilayani oleh 8 jenis kapal penumpang

yang dikelola oleh PELNI berdasarkan trayek angkutan. Tabel di atas

juga memperlihatkan peranan Pelabuhan Baubau (Pelabuhan Murhum)

yang sangat strategis dalam sistim transportasi nasional, dimana peran

98

Pelabuhan Murhum menjadi penghubung antara kawasan timur dan

kawasan barat (Lihat gambar 5.12).

Berdasarkan data yang didapat, jumlah pelabuhan yang terkoneksi

dengan Pelabuhan Murhum sebanyak 42 Pelabuhan di 14 Provinsi (Lihat

Lampiran 2), sedangkan jumlah arus barang dan penumpang di

Pelabuhan Murhum berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat

Statistik Kota Baubau Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.7. Arus Bongkar Muat Barang dan Penumpang di

Pelabuhan Murhum Kota Baubau, 2012.

Jumlah kunjungan kapal 2.905 kapal

Gross Register Ton 7.986.403 ton

Arus Penumpang

- Penumpang Turun 280.165 orang

- Penumpang Naik 334.889 orang

Arus Barang

- Bongkar 3.200.602 ton

1.078 m3

- Muat 3.972.177 ton

644 m3

Sumber : Kota Baubau Dalam Angka, BPS Tahun 2013.

Data pada lampiran 2 memperlihatkan bahwa hubungan langsung

antar pelabuhan murhum dengan pelabuhan lainnya berdasarkan jalur

transportasi laut nasional sebanyak 6 pelabuhan (Pelabuhan Raha,

Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Banggai, Ambon, Pelabuhan Namlea di

Maluku Utara, dan Pelabuhan Sorong di Papua Barat) hubungan tidak

langsung sebanyak 57 jalur. Pelabuhan dengan jumlah transit terbanyak

yang terhubung dengan pelabuhan Murhum adalah Pelabuhan Jayapura

dengan jumlah pelabuhan transit sebanyak 16 pelabuhan yang berada

99

pada 3 jalur hubungan tidak langsung yang terkoneksi dengan Pelabuhan

Murhum, sedangkan jarak terjauh pelabuhan yang terkoneksi dengan

Pelabuhan Murhum adalah Pelabuhan Kijang di Kepulauan Riau dengan

jarak pelabuhan sebesar 1.200 mil laut.

Sementara itu, Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Ambon

merupakan pelabuhan yang mempunyai intensitas tinggi dalam jaringan

transportasi laut yang terhubung dengan Pelabuhan Murhum Baubau, hal

ini dapat dilihat dari jumlah asal pelabuhan yang singgah di pelabuhan

makassar menuju Pelabuhan Murhum Baubau sebanyak 16 pelabuhan

dan Pelabuhan Ambon sebanyak 15 pelabuhan asal. Dari data tersebut

dapat disimpulkan bahwa secara keruangan, Kota Baubau memiliki

interaksi yang kuat dengan Kota Makassar di Sulawesi Selatan dan Kota

Ambon di Maluku. Selain itu, interaksi ini juga diperkuat dengan

hubungan sejarah antara Kota Baubau dengan Kota Makassar dan Kota

Baubau dengan Ambon yang terjalin sejak dahulu kala, baik hubungan

politik antar kerajaan, maupun hubungan perdagangan (khususnya

rempah-rempah).

Sedangkan untuk arus perdagangan antar pulau yang terkoneksi

dengan Pelabuhan Murhum Kota Baubau antara lain Pelabuhan Tanjung

Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan

Makassar, Pelabuhan Kendari, Pelabuhan Irian Jaya, dan Pelabuhan

lainnya (Ambon, Maluku Utara, Bitung dan lain-lain). Arus perdagangan

antar pulau ini sangat dipengaruhi oleh kesiapan infrastruktur industri

olahan yang tersedia, data pada tabel 5.11 memperlihatkan bahwa arus

100

barang dalam perdagangan antar pulau terbesar terjadi antara Pelabuhan

Murhum dengan Pelabuhan Surabaya dengan nilai total perdagangan

mencapai Rp. 44.436.950.000,-. Atau menyumbang 43,39 % dari total

perdagangan antar pulau, hal ini disebabkan oleh keberadaan industri di

Surabaya dengan jarak yang relatif dekat yaitu 570 mil laut,

dibandingkan dengan pelabuhan Jakarta dengan total perdagangan

mencapai Rp. 25.918.317.000,- (25,31 %) dengan jarak 950 mil laut.

Tabel 5.8. Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut

Pelabuhan Tujuan, 2012.

Pelabuhan Tujuan Satuan Volume Nilai (Rp. 000)

Jakarta ton 3.745,13 25.602.317

m3 - -

ekor - -

biji 15.800 316.000

Surabaya ton 4.517,60 30.306.800

m3 2.779 14.130.150

ekor - -

biji - -

Makassar ton 2.878,78 22.199.699

m3 - -

ekor - -

biji - -

Kendari ton 12,21 4.148.199

m3 - -

ekor - -

biji - -

Irian Jaya ton 0,2 1.200

m3 - -

ekor - -

biji - -

Pelabuhan Lainnya ton 8,34 2.850.600

m3

ekor

biji

Buah 13.298 2.861.475 Sumber: Kota Baubau Dalam Angka, 2013.

101

Pelabuhan Makassar meskipun memiliki keterkaitan yang kuat

dengan Pelabuhan Murhum, baik secara keruangan maupun konektivitas

dan jarak yang relatif dekat (250 mil laut), namun dalam perdagangan

antar pulau, arus barang yang menuju Pelabuhan Makassar hanya

menyumbang Rp. 2.878,78 ton dengan nilai Rp. 22.199.699.000,- atau

hanya 21,68 % dari total nilai perdagangan antar pulau pada tahun 2012.

102

103

2. Konektivitas Pelabuhan Murhum dalam Simpul Jaringan

Transportasi Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sebagai wilayah kepulauan yang terdiri pulau besar dan kecil,

transportasi laut memegang peranan yang sangat penting bagi

pengembangan wilayah Kota Baubau. Peranan tersebut sangat baik bagi

pengembangan intra wilayah maupun antar wilayah. Pengembangan antar

wilayah ditujukan untuk mengembangkan interaksi antar wilayah Kota

Baubau secara eksternal dengan wilayah lainnya di Indonesia serta

interaksi Kota Baubau dengan wilayah sekitarnya maupun secara internal

dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara lainnya. Jaringan transportasi

laut harus dapat mempromosikan pengembangan intra wilayah yang lebih

ditujukan untuk meningkatkan kemudahan hubungan antar pulau dan

sebagai upaya pemerataan pembangunan antara wilayah maju dengan yang

masih terbelakang.

Jaringan transportasi laut dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang

kepelabuhanan yang meliputi :

a. Pelabuhan Utama

Kriteria pelabuhan utama meliputi :

Skala pelayanan mencakup pelayanan dalam Negeri dan Luar negeri;

Melayani pelayaran antar negara dan antar provinsi;

Volume alih muat dalam jumlah besar;

Kedekatan geografis dengan tujuan pasar internasional;

Memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan utama lainnya;

Dekat dengan jalur pelayaran internasional;

104

Memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari

gelombang;

Mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;

Berada pada sistim jaringan jalan nasional dan atau trayek angkutan

perkereta apian nasional.

b. Pelabuhan Pengumpul

Kriteria pelabuhan pengumpul meliputi :

Skala pelayanan dalam negeri;

Melayani pelayaran antar provinsi;

Volume alih muat dalam jumlah menengah;

Ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah yang meliputi

pemerataan pembangunan nasional dan meningkatkan petumbuhan

wilayah;

Berdekatan dengan pusat pertumbuhan wilayah ibukota propinsi dan

kawasan pertumbuhan nasional;

Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpul lainnya;

Mempunyai jarak tertentu dengan jalur pelayaran laut nasional;

Memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari

gelombang;

Mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;

Berada pada sistim jaringan jalan nasional dan atau trayek angkutan

perkereta apian nasional.

c. Pelabuhan Pengumpan Regional

Kriteria pelabuhan pengumpan regional meliputi :

105

Skala pelayanan dalam negeri;

Melayani pelayaran dalam lingkup provinsi;

Volume alih muat terbatas;

merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan

pengumpul;

Kesesuaian dengan Tata ruang wilayah propinsi dan pemerataan

pembangunan antar propinsi serta sesuai dengan Tata ruang wilayah

kabupaten/kota serta pemerataan dan peningkatan pembangunan

kabupaten/kota;

Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah;

Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpan lainnya;

Mempunyai kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal;

Berada pada sistim jaringan jalan provinsi dan atau pada jalur kereta

api antar provinsi.

d. Pelabuhan Pengumpan Lokal

Kriteria pelabuhan pengumpan lokal meliputi :

Skala pelayanan dalam negeri;

Melayani pelayaran dalam kabupaten/kota;

Volume alih muat terbatas;

Merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan

pengumpul;

Kesesuaian dengan Tata Ruang wilayah kabupaten/kota dan

pemerataan serta peningkatan pembangunan kabupaten/kota;

Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah;

106

Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpan lainnya;

Mempunyai kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal;

Berada pada sistim jaringan jalan kabupaten/kota dan atau jalur

kereta api antar kabupaten/kota.

Adapun pola hubungan dan keterkaitan antara pelabuhan laut sesuai

PP Nomor 61 Tahun 2009 dijelaskan pada gambar di bawah :

Gambar 5.13. Pola hubungan dan keterkaitan antara pelabuhan laut

(Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009)

Jaringan transportasi laut ini merupakan simpul jaringan yang

menghubungkan antar wilayah kabupaten/kota melalui pelabuhan dalam

suatu sistim keterkaitan antar wilayah, gambaran pola konektivitas antar

107

pelabuhan dalam jaringan transportasi laut sulawesi tenggara dapat dilihat

pada gambar berikut :

Gambar 5.14. Skema Hubungan Antar Pelabuhan Dalam Sistim Jaringan

Transportasi Laut Sulawesi Tenggara.

(Sumber: Hasil Analisis, 2014)

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa hubungan antar pelabuhan

dalam sistim jaringan transportasi laut wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara, pelabuhan pengumpul lokal merupakan pelabuhan rakyat yang

berfungsi melayani wilayah sekitarnya untuk kemudian diangkut menuju

pelabuhan pengumpul regional yang berada di wilayah Kabupaten/Kota,

selanjutnya dari pelabuhan pengumpan regional diangkut menuju

pelabuhan pengumpul dalam wilayah Provinsi untuk kemudian menuju

pelabuhan utama dalam skala nasional maupun internasional.

Sistim transportasi laut di Sulawesi Tenggara sebagaimana yang

ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara terdiri dari Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan

108

Regional dan Pelabuhan Pengumpan Lokal, untuk lebih jelasnya hierarki

pelabuhan di Sulawesi Tenggara terdiri dari :

a) pelabuhan pengumpul terletak di :

Kota Baubau yaitu Pelabuhan Murhum;

Kota Kendari meliputi Pelabuhan Laut Nusantara Kendari dan

rencana Pelabuhan Kontainer Bungkutoko;

Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Kolaka dan Pelabuhan

Pomalaa;

Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Ranteangin dan

Pelabuhan Watunohu;

Kabupaten Muna yaitu Pelabuhan Laut Nusantara Raha; dan

Kabupaten Wakatobi yaitu Pelabuhan Pangulubelo Wangi-Wangi.

b) pelabuhan pengumpan regional terletak di :

Kabupaten Muna meliputi Pelabuhan Pajala, Pelabuhan Tampo dan

Pelabuhan Maligano;

Kabupaten Buton meliputi Pelabuhan Lasalimu, Pelabuhan

Banabungi dan Pelabuhan Labuhan Belanda;

Kabupaten Wakatobi meliputi Pelabuhan Usuku, Pelabuhan

Kaledupa dan Pelabuhan Popalia-Binongko;

Kabupaten Bombana meliputi Pelabuhan Kasipute, Pelabuhan Sikeli,

Pelabuhan Boepinang dan Pelabuhan Dongkala;

Kabupaten Buton Utara meliputi Pelabuhan Buranga dan Pelabuhan

Waode Buri;

109

Kabupaten Konawe meliputi Pelabuhan Langara dan Pelabuhan

Munse;

Kabupaten Konawe Utara meliputi Pelabuhan Molawe, Pelabuhan

Mandiodo dan Pelabuhan Lameruru;

Kabupaten Konawe Selatan meliputi Pelabuhan Torobulu, Pelabuhan

Lakara, Pelabuhan Lapuko dan Pelabuhan Lainea;

Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Dawi-dawi di Pomalaa,

Pelabuhan Tangketada, Pelabuhan Toari dan Pelabuhan Wollo;

Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Lasusua, Pelabuhan

Malombo dan Pelabuhan Olooloho; dan

Pelabuhan khusus yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di

Provinsi Sulawesi Tenggara.

(c) Pelabuhan Pengumpul Lokal yang tersebar di kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Tenggara

Trayek angkutan laut yang terkoneksi dengan Pelabuhan Murhum

dalam sistim transportasi laut wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara

meliputi :

Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Pelabuhan Laut Nusantara Raha –

Pelabuhan Murhum;

Pelabuhan Murhum – Pelabuhan Pangulubelo;

Pelabuhan Kaledupa – Pelabuhan Murhum;

Pelabuhan Usuku – Pelabuhan Murhum;

Pelabuhan Sikeli – Pelabuhan Murhum;

Pelabuhan Kasipute – Pelabuhan Murhum;

110

Pelabuhan Boepinang – Pelabuhan Murhum;

Sebagai pelabuhan pengumpul sesuai dengan peran dan fungsinya

dalam sistim transportasi laut Provinsi Sulawesi Tenggara, Pelabuhan

Murhum terkoneksi dengan pelabuhan pengumpan lainnya di Sulawesi

Tenggara yang berada di Kota Kendari, Kabupaten Bombana, Kabupaten

Muna, dan Kabupaten Wakatobi (lihat gambar 5.15).

111

112

F. Pengaruh Pelabuhan Murhum Terhadap Perkembangan Wilayah Kota

Baubau

Rabani (2010), menyebutkan bahwa sejarah kota-kota di Indonesia

sebagian besar berkembang di wilayah pantai. Hal ini dikarenakan oleh

aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial banyak dilakukan melalui laut

pada masa lalu. Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan

mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut. Sehingga penduduk

memilih lokasi permukiman disekitar sungai dan pantai. Permukiman itu pada

perkembanganya berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi

penduduk asli dengan pendatang setelah melalui waktu lama. hal ini dapat

dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang

berbeda-beda. Selain itu jenis pekerjaan atau profesi di kota sebagai gejala

kekotaan yang lebih kompleks.

Peranan Pelabuhan Murhum menjadi salah satu faktor determinan yang

menyebabkan terjadinya perubahan kenampakan fisik non kekotaan menjadi

kenampakan fisikal kekotaan. Pergerakkan penduduk pada kawasan

Pelabuhan Murhum menentukan tingkat aksesibilitas yang merupakan ukuran

kemudahan daya hubung antar daerah.

Pergerakkan manusia dan barang di kawasan Pelabuhan Murhum yang

menimbulkan arus lalu lintas (traffic flow) merupakan konsekuensi gabungan

dari aktivitas lahan di dalam kota (permintaan) dan kemampuan sistem

trasportasi (darat dan laut) dalam mengatasi masalah arus lalu lintas

(penawaran). Pergerakkan barang dan manusia yang terjadi pada kawasan

pelabuhan mencerminkan keterhubungan suatu wilayah dengan wilayah

lainnya di dalam Kota Baubau. Hubungan ini memberikan dampak bagi

113

perkembangan Kota Baubau secara keseluruhan. Dengan demikian hubungan

antar wilayah, baik secara eksternal maupun internal yang terjadi pada

kawasan Pelabuhan Murhum mempengaruhi aktivitas keruangan wilayah

Kota Baubau secara keseluruhan.

Pengaruh interaksi antar pelabuhan lain sangat mempengaruhi aktivitas,

pergerakan dan kebutuhan lahan di sekitar kawasan pelabuhan, semakin

tinggi interaksi dan konektivitas pelabuhan dengan pelabuhan lainnya, maka

akan semakin tinggi pula aktivitas yang terjadi pada kawasan pelabuhan

tersebut, hal ini akan mempengaruhi kebutuhuan penggunaan lahan di sekitar

kawasan pelabuhan dari kawasan perumahan/permukiman menjadi kawasan

komersial (perdagangan dan jasa), dan secara tidak langsung akan merubah

struktur penggunaan lahan Kawasan Perkotaan Baubau. Hal ini terjadi karena

desakan perubahan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum yang berorientasi

kekotaan sangat mendominasi kegiatan masyarakat sekitarnya, sehingga

kebanyakan bangunan di sekitar kawasan pelabuhan tersebut tidak lagi

berorientasikan sektor permukiman namum berorientasikan ke sektor

perekonomian, perdagangan dan jasa, dalam hal ini penggunaan lahan

didominasi oleh bangunan ruko, penginapan, pertokoan, pariwisata dan

pegiatan perekonomian lainnya.

Dalam penelitian ini pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap

perkembangan Kota Baubau dibagi menjadi 3 fase perkembang, yaitu (a)

Fase Perkembangan I (masa kerajaan – 1990), (b) Fase Perkembangan II

(Kota Baubau menjadi Ibukota Kabupaten 1990 – 2000), dan (c) Fase

Perkembangan III (Kota Baubau menjadi daerah otonom 2000 – sekarang).

114

1. Fase Perkembangan I (masa kerajaan – 1990)

Fase perkembangan I merupakan fase dimana kawasan murhum

merupakan kawasan perdagangan dan menjadi tempat persinggahan kapal-

kapal dagang dari Kawasan Timur (Maluku/Ambon). Dalam beberapa

dokumen dan informasi yang didapat, pelayaran orang Portugis menuju ke

Maluku tidak melalui pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke

Borneo, ke Pulau Butun (Buton) lalu ke Maluku. Jalur ke kepualauan

Maluku itu dikenal sebagai jalur yang paling baik dan cocok

(Cortesao,1944). Dalam deskripsi yang lain, Schrieke (1955) menyebutkan

bahwa dalam pelayaran nusantara Pelabuhan Murhum merupakan salah

satu mata rantai pelayaran dan perdagangan yang terkait dari Sumatera,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga maluku dan Pilipina.

Kondisi penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum pada

saat itu masih didominasi oleh kawasan perumahan/permukiman yang

merupakan ciri dari kawasan pesisir pantai pada umumnya. Interaksi

keruangan yang diakibatkan oleh keberaan Pelabuhan Murhum saat itu

belum memberikan pengaruh yang besar terhadap aktivitas keruangan

Kota Baubau pada umumnya. Gambar berikut memperlihatkan kondisi

pelabuhan murhum dan aktivitas yang terjadi pada fase perkembangan I

yang didapat dari berbagai sumber.

115

Gambar 5.16. Kondisi Pelabuhan Murhum Tahun 1990an

Gambar di atas memperlihatkan kondisi Pelabuhan Murhum pada saat

itu dimana aktivitas yang terjadi belum seramai sekarang ini. Kondisi

tersebut belum banyak mempengaruhi secara keruangan penggunaan lahan

pada kawasan pelabuhan dan Kota Baubau pada umumnya, meskipun

interaksi dan konektivitas dengan Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan

Ambon sudah terjalin sejak lama, namun hal tersebut belum memberikan

pengaruh yang signifikan dalam perkembangan Kota Baubau secara

keruangan, hal ini disebabkan oleh peran dan fungsi pelabuhan murhum

pada saat itu merupakan pelabuhan pengumpan dan pelabuhan transit yang

melayani perdagangan antar pulau dalam skala yang kecil. Gambaran

kondisi perumahan/permukiman Kota Baubau dalam kurun waktu hingga

tahun 1900an dapat dilihat dalam gambar berikut.

116

Gambar 5.17. Kondisi Kawasan Perumahan/Permukiman di Kota Baubau

Tahun 1901

(Sumber: http://wolio.ucoz.com/photo/bau_bau_thn_1901/1-0-2)

Hingga tahun 1990, penduduk Kota Baubau berjumlah 77.324 jiwa

yang tersebar di 4 kecamatan (Kecamatan Wolio, Betoambari, Sorawolio

dan Bungi), dimana Kecamatan Betoambari merupakan kecamatan dengan

konsentrasi penduduk tertinggi yaitu sebesar 48,87 %.

Tabel 5.9. Jumlah Penduduk Kota Baubau menurut Kecamatan, 1990.

No. Kecamatan Luas (km2) Penduduk

(jiwa)

Konsentrasi

Penduduk

(%)

1. Wolio 67,91 30.788 39,84

2. Betoambari 33,26 33.722 48,87

3. Bungi 122,19 4.366 5,85

4. Sorawolio 83,33 8.370 10,84

Sumber: RPIJM Kota Baubau, Tahun 2003 – 2007.

Konsentrasi penggunaan lahan pada kawasan pelabuhan murhum

tersebut pada masa itu masih didominasi oleh kawasan

perumahan/permukiman, hal ini disebabkan karena aktivitas yang terjadi

117

di Pelabuhan Murhum belum cukup mempengaruhi perkembangan Kota

Baubau secara keruangan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, sampai dengan tahun

1980an, kondisi penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum

masih didominasi oleh lahan perumahan/permukiman dengan panjang

dermaga 180 m, kondisi dermaga tersebut cukup pendek dimana hanya

cukup untuk menampung 1 kapal PELNI, sehingga kapal lain harus keluar

untuk melepas jangkar, hal ini terkait dengan kondisi aktivitas di

Pelabuhan Murhum yang terbatas pada arus kunjungan orang dimana

interaksi antar pelabuhan dan kondisi kapal yang melayani yang terjadi

masih sangat terbatas.

Data dari Kantor Pelabuhan Murhum Baubau memperlihatkan bahwa

hingga akhir tahun 1990an kunjungan kapal di Pelabuhan Murhum

sebanyak 3.330 kali, dimana arus bongkar barang sebanyak 51,360 Ton

dan arus muat barang sebesar 47.377 Ton. Sedangkan arus penumpang

melalui Pelabuhan Murhum sebanyak 142.294 orang yang naik dan

sebanyak 138.325 yg turun.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh

masyarakat terhadap kondisi penggunaan lahan di Kawasan Pelabuhan

Murhum hingga tahun 1990 masih didominasi oleh lahan perumahan dan

permukiman, kondisi ini terkait dengan aktivitas yang terjadi di Pelabuhan

Murhum pada saat itu belum cukup untuk mempengaruhi kondisi

penggunaan lahan secara keruangan Kota Baubau khususnya pada

kawasan Pelabuhan Murhum.

118

Dari hasil wawancara yang dilakukan dari berbagai sumber (tokoh

masyarakat, pemerintahan, pelaku ekonomi) luas kawasan yang

dipengaruhi secara langsung oleh keberadaan Pelabuhan Murhum adalah

24,64 Ha. Keterkaitan secara langsung antara Pelabuhan Murhum dengan

kawasan sekitarnya dilihat dari pola aktivitas dan pengaruh yang

ditimbulkan dengan aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan barang di

Pelabuhan Murhum.

Kondisi Pelabuhan Murhum pada saat itu sudah menggunakan

konstruksi Pancang Baja Lantai Beton dengan panjang dermaga 180 m,

namun hanya disinggahi 2 – 3 kali kapal PELNI. Secara keseluruhan, luas

penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum hingga tahun 1990

adalah sebagai berikut :

Tabel 5.10. Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Pelabuhan Murhum

Hingga Tahun 1990.

Penggunaan Lahan 1990 Luas (Ha) Persentase (%)

Jalan 4,93 20,02

Kawasan Pelabuhan Murhum 0,26 1,06

Lahan Kosong 5,06 20,52

Perdagangan dan Jasa 0,24 0,98

Perkantoran 1,89 7,65

Perumahan/Permukiman 11,57 46,95

RTH 0,15 0,60

Sarana Ibadah 0,54 2,19

T o t a l 24,64 100,00

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Tabel 5.9 di atas memperlihatkan bahwa penggunaan lahan pada

kawasan Pelabuhan Murhum pada akhir tahun 1990 didominasi oleh

119

kawasan perumahan dan permukiman seluas 11,57 ha atau mencakup

46,95 % dari total luas kawasan yang dipengaruhi secara langsung oleh

keberadaan pelabuhan Murhum di Kota Baubau. Kondisi ini terkait dengan

arus bongkar muat barang, orang dan jasa di Pelabuhan Murhum pada

tahun 1990 yaitu arus bongkar barang sebesar 51.360 Ton dan muat

sebesar 47.377 ton. Sedangkan arus penumpang naik sebesar 142,294 dan

turun 138.325.

Sementara itu, aktivitas perdagangan dan jasa yang terkait dengan

keberadaan pelabuhan murhum adalah seluas 0,24 ha atau hanya

menempati lahan sebesar 0,98 %. Sedangkan penggunaan lahan terkecil

adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya menempati luas lahan

sebesar 0,15 Ha (0,60 %).

Untuk lebih jelasnya, kondisi Pelabuhan Murhum pada era tahun 1990

dapat dilihat pada gambar berikut :

120

121

2. Fase Perkembangan II (Tahun 1990 - 2000)

Fase perkembangan II ini mulai memperlihatkan posisi Pelabuhan

Murhum dalam perkembangan wilayah Kota Baubau secara keruangan,

hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang terjadi pada kawasan tersebut.

Perkembangan Pelabuhan Murhum pada fase ini demikian pesat, data yang

diperoleh dari Kantor Pelabuhan Murhum memperlihatkan bahwa arus

bongkar muat barang dan orang pada tahun 1990 - 2000 menunjukkan

trend yg semakin meningkat. Dari data yg didapat dari Kantor Pelabuhan

Baubau kunjungan kapal pada tahun 2000 sebanyak 2.062 kali.

Arus bongkar muat penumpang pada tahun 2000 yang turun sebanyak

222.562 orang dari 138.325 orang pada tahun 1990 (naik sebesar 60,90 %)

dan penumpang naik sebanyak 215.453 orang dari 142.294 orang pada

tahun 1990 (naik sebesar 51,41%), sedangkan untuk arus bongkar barang

adalah sebanyak 51.360 Ton pada tahun 2000 atau naik sebesar 91,53 %

dibanding tahun 1990, sedangkan arus muat barang sebanyak 47.377 Ton

yang dimuat atau naik sebesar 60,11 % dibanding tahun 1990 (Lampiran

3).

Dari perkembangan arus bongkar muat barang, jasa dan penumpang di

Pelabuhan Murhum pada tahun 2000 tersebut, sangat mempengaruhi

secara signifikan, hal ini terlihat dari kondisi penggunaan lahan pada

kawasan Pelabuhan Murhum pada tahun 2001 yang mulai bergeser dari

lahan perumahan ke penggunaan lahan perekonomian. Hal ini terkait

dengan perkembangan kawasan Pelabuhan Murhum yang mengalami

perkembangan dengan ditambahnya dermaga sandar kapal untuk arus

122

bongkar muat barang, serta beberapa fasilitas pelabuhan lainnya seperti

kantor pelabuhan, ruang transit/tunggu, tempat parkir. (Lampiran 1).

Kondisi penggunaan lahan di sekitar kawasan pelabuhan murhum

yang terpengaruh secara langsung dengan aktivitas di Pelabuhan Murhum

pada tahun 1990 - 2000 menunjukkan perubahan yang cukup signifikan.

Hal ini terlihat dari kondisi pertambahan luas kawasan dari 24,64 Ha pada

akhir tahun 1990 menjadi 32,85 Ha pada akhir tahun 2000. Tabel berikut

memperlihatkan perkembangan penggunaan lahan di sekitar Kawasan

Pelabuhan Murhum pada akhir tahun 2000.

Tabel 5.11. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum

Hingga Tahun 1990 - 2000.

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Jalan 5,14 15,64

Pelabuhan Batu 1,35 4,11

Pelabuhan Murhum 6,15 18,73

Lahan Kosong 2,62 7,96

Perdagangan dan Jasa 5,57 16,94

Perkantoran 2,83 8,61

Perumahan/Permukiman 8,02 24,43

RTH 0,15 0,45

Sarana Ibadah 0,54 1,65

Sarana Pendidikan 0,49 1,50

Total 32,85 100,01

Sumber : Hasil Analisa, 2014.

Tabel 5.11 di atas memperlihatkan bahwa terjadi penambahan lahan

sebesar 8,22 Ha atau terdapat 0,33 %, penambahan lahan ini pada kawasan

Pelabuhan Murhum, perubahan penggunaan lahan terbesar terdapat pada

123

penggunaan lahan di Pelabuhan Murhum yaitu sebesar 6,15 Ha atau

bertambah sebesar 5,89 Ha dari tahun 1990.

Pada masa ini, indikasi perkembangan pada Kawasan Pelabuhan

Murhum mulai bergeser dari perumahan dan permukiman ke kawasan

perdagangan dan jasa. Lahan perumahan dan permukiman menjadi

kawasan perdagangan dan jasa mengalami perubahan sebesar 3,55 Ha, dari

11,57 Ha menjadi 8,02 Ha, sementara penggunaan lahan perdagangan dan

jasa bertambah sebesar 5,33 Ha dari 0,24 Ha pada tahun 1990 menjadi

5,57 Ha pada tahun 2000. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar

berikut.

124

125

3. Fase Perkembangan III (Tahun 2000 - 2010)

Sejalan dengan perubahan status pemerintahan dari Kotamadya

Baubau menjadi Kota Baubau pada tahun 2001, Kota Baubau kemudian

mengubah citra wilayahnya secara fisik menjadi bersifat kekotaan. Hal ini

terjadi karena Kota Baubau mempunyai lokasi ekonomi strategis dengan

keberadaan Pelabuhan Murhum berkenaan dengan sumber daya alam,

aksesibilitas yang tinggi, proximitas terhadap kota-kota besar yang ada,

sehingga menarik fungsi-fungsi ekonomi lain untuk mengadakan aktivitas

di Kota Baubau. Tingginya volume dan frekuensi kegiatan telah menarik

berbagai aktivitas kegiatan di sekitar kawasan pelabuhan semakin

bertambah dengan cepat (snow-balling).

Pengaruh sifat kekotaan sangat mendominasi kegiatan pada kawasan

Pelabuhan Murhum, sehingga kebanyakan bangunan pada kawasan ini

tidak lagi berorientasikan sektor permukiman namum berorientasikan ke

sektor perdagangan dan jasa seiring dengan peningkatan status, peran dan

fungsi serta arus kunjungan kapal di Pelabuhan Murhum yang semakin

meningkat, fungsi permukiman lambat laun bergeser ke fungsi yang lebih

bersifat komersial, dan dengan sendirinya mengakibatkan terdesaknya

kawasan perumahan/permukiman di bagian Barat Kota Baubau

(Kecamatan Betoambari), bagian Selatan di sekitar Kel. Bukit Wolio Indah

(Kecamatan Wolio), dan ke arah bagian Timur Kota Baubau di Kecamatan

Kokalukuna, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Lea-Lea, dan Kecamatan

Bungi.

126

Terjadinya perubahan fungsi lahan non komersil menjadi lahan

komersil adalah akibat dari adanya interaksi dan permintaan sistem

kegiatan yang berbasis ekonomi seiring dengan cakupan interaksi dan

konektivitas Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya di Indonesia

yang semakin luas. Perubahan fungsi lahan menjadikan pergeseran lahan

permukiman ke wilayah belakang (hinterland), daya tarik pusat-pusat

kegiatan di kawasan ini mempengaruhi perkembangan fisik kota melalui

kecenderungan pilihan masyarakat yang cenderung mendirikan perumahan

berada di wilayah belakang (hinterland) yang relatif memiliki jarak yang

lebih dekat dengan aktivitas sosial dan ekonomi mereka.

Arus kunjungan kapal pada periode tersebut (2001 – 2010)

menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sangat tinggi, dari data

arus bongkar muat yang terjadi di Pelabuhan Murhum dalam periode

tersebut menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. (Lihat

Lampiran 3)

Penggunaan lahan pada kawasan yang berinteraksi secara langsung

dengan Pelabuhan Murhum adalah sebesar 42,84 Ha atau bertambah

sebesar 9,98 Ha dibanding luas lahan pada tahun 2000. Pertambahan luas

lahan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan pelabuhan murhum saat

itu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

127

Tabel 5.12. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum

Tahun 2000 - 2010.

Penggunaan Lahan 2010 Luas (Ha) Persentase (%)

Jalan 5,55 12,96

Kawasan Pelabuhan Batu 1,35 3,14

Kawasan Pelabuhan Murhum 12,69 29,61

Kawasan Wisata 2,61 6,10

Lahan Kosong 1,02 2,39

Perdagangan dan Jasa 7,86 18,33

Perkantoran 2,77 6,46

Perumahan/Permukiman 7,73 18,05

RTH 0,23 0,54

Sarana Ibadah 0,54 1,26

Sarana Pendidikan 0,49 1,15

T o t a l 42,86 100,00

Sumber : Hasil Analisa, 2014.

Pelabuhan Murhum merupakan kawasan dengan penggunaan lahan

terluas yaitu 12,69 Ha atau mencakup 29,61 % dari luas total penggunaan

lahan yang berada dalam kawasan. Hal ini disebabkan dengan

pengembangan yang dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan lahan

akibat aktivitas bongkar muat barang dan jasa, khususnya dengan semakin

meningkatnya bongar muat peti kemas di Pelabuhan Murhum.

Selain itu, akibat berkembangnya aktivitas di Pelabuhan Murhum,

kawasan perdagangan dan jasa ikut berkembang sesuai dengan kebutuhan

ruang yang di akibatkan dengan meningkatnya aktivitas di Pelabuhan

Murhum tersebut, yang mengakibatkan semakin terdesaknya kawasan

perumahan dan permukiman semakin menjauh dari Pelabuhan Murhum.

128

129

Dari uraian di atas, memperlihatkan pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap

perkembangan ruang wilayah Kota Baubau menunjukkan pengaruh yang sangat

besar, hal ini terlihat dari perkembangan perubahan lahan pada kawasan disekitar

pelabuhan dari kawasan yang didominasi oleh perumahan dan permukiman pada

awal tahun 1990 menjadi kawasan perdagangan dan jasa.

Perubahan lahan tersebut memberikan indikasi bahwa, perkembangan

kawasan perumahan dan permukiman di Kota Baubau semakin terdesak menjauhi

Kawasan Pelabuhan Murhum, sementar kawasan perdagangan dan jasa tumbuh

secara signifikan penggantikan lahan-lahan perumahan dan permukiman di sekitar

kawasan pelabuhan.

Tabel 5.13. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum Tahun

1990 - 2010.

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Perubahan Lahan (Ha)

1990 2000 2010 1990 - 2000 2000 - 2010

Jalan 4,93 5,14 5,55 0,21 0,41

Pelabuhan Batu 0,00 1,35 1,35 1,35 0,00

Pelabuhan Murhum 0,26 6,15 12,69 5,89 6,54

Kawasan Wisata 0,00 0,00 2,61 0,00 2,61

Semak/Belukar 5,06 2,62 1,02 -2,44 -1,60

Perdagangan dan Jasa 0,24 5,57 7,86 5,33 2,29

Perkantoran 1,89 2,83 2,77 0,94 -0,06

Perumahan/Permukiman 11,57 8,02 7,73 -3,55 -0,29

Ruang Terbuka Hijau 0,15 0,15 0,23 0,00 0,08

Sarana Ibadah 0,54 0,54 0,54 0,00 0,00

Sarana Pendidikan 0,00 0,49 0,49 0,49 0,00

Jumlah 24,64 32,86 42,84

Sumber : Hasil Analisis 2014.

Tabel di atas memperlihatkan perubahan penggunaan lahan disekitar kawasan

pelabuhan murhum yang terpengaruh langsung dengan aktivitas arus bongkar

muat barang, jasa dan orang di Pelabuhan Murhum adalah kawasan perumahan

dan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa pada kurun waktu tahun

130

1990 – tahun 2000, dimana luas wilayah kawasan perumahan dan permukiman

pada tahun 1990 sebesar 11,57 Ha, berkurang menjadi 8,02 Ha pada tahun 2000.

Sedangkan kawasan perdagangan dan jasa mengalami pertambahan wilayah dari

0,24 Ha pada tahun 1990 menjadi 5,57 Ha pada tahun 2000 dan meningkat

menjadi 7,86 Ha pada tahun 2010. Pertumbuhan kawasan perdagangan dan jasa

ini sebagai akibat dari perkembangan arus bongkar muat barang, jasa dan orang di

Pelabuhan Murhum seiring dengan bertambahnya jumlah kunjungan kapa yang

terjadi dalam kurun waktu tersebut.

Perkembangan kawasan yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas

pelabuhan murhum dapat dilihat pada gambar berikut :

Fase Perkembangan I Fase Perkembangan II

Fase Perkembangan III

Gambar 5.21. Perkembangan Kawasan yang Dipengaruhi Secara Langsung

Oleh Pelabuhan Murhum Kota Baubau Tahun 1990 - 2010

131

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelabuhan Murhum berperan sebagai pelabuhan pengumpul dalam sistim

transportasi laut di Sulawesi Tenggara dan merupakan pelabuhan yang

terkoneksi dengan simpul transportasi laut nasional yang terhubung

dengan Kawasan Timur dan Kawasan Barat dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2. Perkembangan Pelabuhan Murhum berbanding lurus dengan

perkembangan kawasan disekitarnya yang berimplikasi terhadap semakin

terdesaknya kawasan perumahan dan permukiman yang menjauh dari

Pelabuhan Murhum, sebaliknya kawasan perdagangan dan jasa semakin

mendominasi pemanfaatan ruang pada kawasan pelabuhan yang

mengakibatkan perubahan ruang wilayah Kota Baubau khususnya

disekitar Pelabuhan Murhum dan Kota Baubau pada umumnya.

B. Saran

1. Perlunya dilakukan penataan kawasan sekitar Pelabuhan Murhum agar

tidak menimbulkan dampak kemacetan.

2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendetail terhadap kondisi

pelabuhan murhum terkait dengan semakin tingginya aktivitas bongkar

muat di pelabuhan yang tentunya mengakibatkan kebutuhan ruang

pelabuhan semakin tinggi.

132

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 1994. Beberapa Dimensi Ekonomi Regional. Universitas

Hasanuddin Makassar.

Adisamita, R. 2002. Teori-Teori Lokasi Dalam Pembangunan Ekonomi,

Pertumbuhan Ekonomi dan Teori Pembangunan Wilayah. Penerbit

Erlangga Jogyakarta

Adisamita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah, Universitas Hasanudin

Makasar

Adisamita, R. 2008. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Penerbit Graha Ilmu.

Jakarta.

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka

Cipta. Jakarta.

Arikunto, S. 2002. Metodologi Penelitian. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Arsyad, L. (1999) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,

Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.

As-syakur, A.R. 2009. Hutan Mangrove dan Luasannya di Indonesia.

http://statusvia.web.id/. Diakses 15 Februari 2014.

Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Perspektif Mikro.

Surabaya:Insan Cendekia

Bernhardsen, Tor.(1992). Geographic Information Systems. VIAK IT and

Norwegian Mapping Authority, Norwey.

Bintarto, R. 1983, Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia.

Jakarta.

Bogdan, R. C. dan Taylor, S. J. 1975. Introduction to Qualitative research

Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New

York, John Willey & Sons.

Burhanuddin, B. et.al. 1977/1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Di Sulawesi

Tenggara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Cortesao, Armando.1944. The Suma Oriental of Tome Pires. Hakluyt Society, 2nd

series LXXXIX. Vol. I. London.

133

Damapolii, D. W. 2008. Peran Pelabuhan Labuan Uki Terhadap Pengembanam

Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Masters Thesis Jurusan

Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.

Direktorat Cipta Kayra Departemen Pekerjaan Umum. Ketentuan hirarkhi pusat

pembangunan. Jakarta.

Gurning, R.O.S. Dan Budiyanto, E.H. 2007. Manajemen Bisnis Pelabuhan. PT

Andhika Prasetya Ekawahana. Surabaya.

Hadjisaroso, P. 1994. Konsep Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia,

Prisma No. 8 Agustus. Jakarta.

Hauser. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Terjemahan Oleh Masri

Maris, Yayasan Obor, Jakarta.

Hutagalung, TM 2004. Agropolitan An Alternative Development Sustainable

Rural. Papers. May 31, 2004. Graduate School IPB. Bogor.

Hirawan, S.B. 1995, Pembangunan Perkotaan, Jurnal PWK No.18 Pen. P3WK-

ITB, Bandung.

Jayadinata, T.J. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan,

Perkotaan, dan Wilayah. ITB. Bandung.

Kramadibrata, S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. Penerbit ITB.

Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi aglomerasi dan Kluster

Industri Indonesia. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.

La Malihu, 1998. Buton dan Tradisi Maritim; Kajian Sejarah Tentang Pelayaran

TradisionalDi Buton Timur. Universitas indonesia.

Mappadjantji, A. 1996. Penataan Ruang untuk Pembangunan Wilayah:

Pendekatan dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Dareah yang

Berdimensi Ruang. PSDAL-LP Unhas, Makassar.

Matoka, 1994, Studi Jangkuan Pelayanan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi

Tenggara (Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah

Pasca Sarjana Unhas,1994 tidak dipublikasikan).

Morris, M.D. dan McAlpin, M.B. 1982. Measuring the Condition of India’s Poor:

the Physical Quality of Life Indeks. Promilla & Co. New Delhi. India.

Nawawi H., dan Martini, 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada

Universitas Press, Yogyakarta. 1990.

134

Nawawi, H. 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang

Kompetitif, Cetakan Ke-4, Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009. Tentang Kepelabuhanan. Jakarta.

Poerwandari, E. K. 1998. Metode Penelitian Sosial. Universitas Terbuka. Jakarta.

Pontoh, Nia K. dan Kustiwan, Iwan. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan.

Bandung: ITB Bandung.

Prabowo. 1996. Memahami Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Andi offset.

Richardson, H. W. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi.

Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Rondinelli, D.A, 1985. Applied Methods of Regional Analysis: The Spatial

Dimension of Development Policy. Westview Press. London.

Soemantri, M. 2003. Overview About Care Services Automatically Marketing at

PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II Branch Cirebon. Report Job

Management Department of Marketing, Indonesian Computer University,

Bandung.

Sihotang, Paul, 2001, Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi, Bagian

Penerbitan FE-UI, Jakarta.

Sujarto, D, 1991. Perencanaan Kota dalam Kebijakan Perencanaan Kota di

Indonesia. Dep. Planologi, ITB Bandung.

Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung.

Alfabeta

Supriyono, A. 2009. Hubungan Antara Pelabuhan dengan Daerah-Daerah

Hinterland: Studi Kasus di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial

Belanda Abad 20. Semarang, 2009.

Suranto, 2004. Manajemen Operasional Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Serta

Prosedur Impor Barang, Gramedia Pustaka Utama.

Sutrisno Hadi, 1982, Metodelogi Reseach, Percetakan Universita Gajah Mada,

Yogyakarta.

Tarigan, R, 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. Bumi Aksara.

Tarigan, R. 2009. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara: Jakarta

Triatmodjo, B. 2009. Perencanaan Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta.

135

Yunus, H, S, 2001. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Yunus, H, S, 2005. Manajemen Kota dalam Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

136

LAMPIRAN-LAMPIRAN

137

Lampiran 1. Kondisi Fasilitas dan Peralatan Pelabuhan Murhum Kota Baubau

I. Lokasi Pelabuhan

a. Lokasi Kelurahan Wale, Kec. Wolio

b. Status Pelabuhan Tidak diusahakan

c. Jenis Pelabuhan Nasional

d. Alamat Jl. Yos Sudarso, Kota Baubau

e. Kelas Pelabuhan I

f. Kepanduan Wajib Pandu

g. Letak Geografis 5o 27’ 30” LS – 122

o 37’ 00” BT

h. Pemilik Dinas Perhubungan

II. Fasilitas dan Peralatan Pelabuhan 1990 2000 2010

a. Dermaga Rakyat Nusantara Nusantara

Panjang 180 m 372 m

Lebar 6 m 12 m 12 m

Kedalaman 7 – 10 m LWS 7 – 10 m LWS 7 – 10 m LWS

Konstruksi Kayu Pancang Baja Lantai Beton Pancang Baja Lantai Beton

Kapasitas - - 2 – 3 T/M2

b. Pinggiran Talud 488,5 m

c. Alur Pelayaran

Panjang 6,3 mil laut

Lebar 240,6 m

Kedalaman 28 m LWS

Pasang Tertinggi 31 m LWS

Pasang Terendah 25 m LWS

138

Lanjutan Lampiran 1...

d. Kolam Pelabuhan

Luas 20.200 m2

Kedalaman 10 m LWS

Pasang Tertinggi 10 m LWS

Pasang Terendah 7 m LWS

e. Lapangan Penumpukan 19.900 m2

f. Terminal Penumpang 780 m2

g. Bangunan 5.000 m2

Sumber: Kanpel Baubau, 2014

139

Lampiran 2. Interaksi dan Konektivitas Pelabuhan Murhum Dengan Pelabuhan Lain di Indonesia.

No. Nama Pelabuhan Kota Konektivitas

Titik Singgah

Pelabuhan Jarak (mil

laut) L TL Transit Yang Melalui

1. Kijang Kep. Riau 0 1 3 0 1.200

2. Tanjung Priuk DKI Jakarta 0 2 2 1 950

3. Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur 1 1 1 2 570

4. Benoa Bali 0 1 4 0 475

5. Lembar Ampenan,Mataram 0 1 3 1 430

6. Bima Bima 0 1 2 2 280

7. Labuan Bajo Flores 0 1 1 3 240

8. Maumere Maumere, NTT 0 1 1 2 174

9. Lewoleba Lewoleba, NTT 0 1 2 1 168

10. Tenau Kupang, NTT 0 1 3 0 268

11. Nunukan Nunukan, Kalimantan Timur 0 1 4 0 850

12. Tarakan Tarakan, Kalimantan Timur 0 1 3 1 825

13. Balikpapan Balikpapan, Kalimantan Timur 0 1 2 2 516

14. Toli-Toli Toli-Toli, Sulawesi Tengah 0 2 4 0 680

15. Pantoloan Palu, Sulawesi Tengah 0 2 3 1 580

16. Pare-Pare Pare-Pare, Sulawesi Selatan 0 1 1 3 365

17. Makassar Makassar 1 0 0 16 250

18. Jayapura Jayapura, Papua 0 3 16 0 1185

19. Biak Biak, Papua 0 3 14 1 935

20. Serui Serui, Papua 0 3 13 0 927

21. Nabire Nabire, Papua 0 3 14 1 920

140

Lanjutan Lampiran 2...

22. Wasior Wasior, Papua 0 3 13 2 916

23. Manokwari Manokwari, Papua 0 3 12 4 810

24. Sorong Sorong, Papua Barat 1 2 11 6 590

25. Fak-Fak Fak-Fak, Papua Barat 0 1 2 4 600

26. Kaimana Kaimana, Papua Barat 0 1 3 3 688

27. Pomako Mimika, Papua 0 1 4 2 857

28. Agats Kab. Asmat, Papua 0 1 4 1 920

29. Merauke Merauke, Papua 0 1 5 0 1080

30. Dobo Saumalaki, Maluku Kep. 0 1 4 4 700

31. Tual Tual, Maluku Kep. 0 1 3 5 605

32. Banda Kep. Banda, Maluku Kep. 0 1 2 6 430

33. Ambon Ambon, Maluku 1 1 1 15 350

34. Namlea P. Buru, Maluku 1 1 1 0 335

35. Temate Ternate, Maluku Utara 0 2 7 7 480

36. Morotai Morotai, Maluku Utara 0 1 6 6 630

37. Bitung Manado, Sulawesi Utara 0 1 6 6 465

38. Gorontalo Gorontalo 0 1 4 7 380

39. Banggai

Kab. Banggai, Sulawesi

Tengah 1 1 3 8 280

40. Kolonodale

Kab. Morowali, Sulawesi

Tengah 0 1 2 9 265

41. Kendari Kendari, Sulawesi Tenggara 0 1 1 10 140

42. Raha Muna, Sulawesi Tenggara 1 0 0 11 40

Jumlah 7 57 190 153

Sumber: PT. PELNI Indonesia, 2014.

141

Lampiran 3. Arus Kunjungan Kapal, Bongkar Muat Barang dan Penumpang di Pelabuhan Murhum, 1990 – 2010.

Tahun Kunjungan

Kapal

Penumpang (Orang) Barang (Ton) Barang (m3) Kendaraan (unit)

Turun Naik Bongkar Muat Bongkar Muat Bongkar Muat

2010 8.062 566.360 618.998 787.126 1.034.397 392.089 48.669 105.758 104.714

2008 7.121 370.803 488.851 254.572 429.696 398.129 15.422 24.735 24.489

2007 6.500 393.233 508.816 175.344 2.261.963 79.929 19.363 72.164 78.523

2006 6.435 350.438 409.437 1.016.756 92.099 - 422 67.256 62.391

2003 2.687 241.618 241.894 202.054 24.285 - - - -

2002 2.528 237.780 235.141 145.919 25.136 - - - -

2000 2.062 222.562 215.453 98.372 75.853 - - - -

1990 - 138.325 142.294 51.360 47.377 - - - - Sumber: Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I Baubau, 2014.

142

Lampiran 4. Perusahaan Bongkar Muat (PBM) di Pelabuhan Murhum

No. Nama Perusahaan Status

1. PT. Swadaya Buton Manunggal Pusat

2. PT. Sarana Bandar Nasional Cabang

3. PT. Dian Mandiri Pusat

4. PT. Fajar Baru Pusat

5. PT. Semut Prima Karsa Pusat

6. PT. Wolio Lintas Cargo Pusat

Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.

Lampiran 5. Ekspedisi Muatan Kapal Lokal (EKPL) di Kota Baubau

No. Nama Perusahaan Status

1. PT. Beringin Jaya Prima Pusat

2. PT. Buton Perdana Ekspres Pusat

3. PT. Rabiyatul Adawiah Pusat

4. PT. Sarambu Silolo Pusat

5. PT. Lintas Buton Raya Pusat

6. PT. Wolio Lintas Samudera Pusat

7. T. Fajar Raya Transporindo Pusat

Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.

143

Lampiran 6. Perusahaan Pelayaran Nasional di Kota Baubau.

No. Nama Perusahaan Status

1. PT. PELNI Cabang

2. PT. Armada Mandiri Pusat

3. PT. Salam Pasifik Indo Lines Cabang

4. PT. Indodarma Transport Cabang

5. PT. Anigrah Darma Cabang

6. PT. Bahtera Bestari Shipping Cabang

7. PT. Bintang Timur Baru Bakti Cabang

8. PT. Darma Lautan Utama Cabang

9. PT. Daka Lintas Samudera Cabang

10. PT. Bahtera Adiguna Cabang

11. PT. Global Ekspres Lines Cabang

12. PT. Mitra Cipta Sombu Pusat

13. PT. Aksar Saputra Lines Cabang

Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014

Lampiran 7. Perusahaan Pelayaran Rakyat di Kota Baubau

No. Nama Perusahaan Status

1. PT. Wahyu Samudera Timur Pusat

2. PT. Poleang Indah Pusat

3. PT. Jabal Rahma Jaya Pusat

4. PT. Majang Raya Abadi Pusat

5. PT. Putera Pattiro Bajo Kabaena Pusat

6. PT. Wolio Lintas Samudera Pusat

Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.

144