Upload
kamushal142
View
1.422
Download
25
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pelabuhan Murhum Kota Baubau Sulawesi Tenggara
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya
adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di
persinggahan rute perdagangan dunia. Sebagai negara kepulauan, peran
pelabuhan sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Kehadiran pelabuhan
yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan
manusia di negeri ini. Pelabuhan menjadi sarana paling penting untuk
menghubungkan antar pulau maupun antar negara dan pengembangan
perekonomian wilayah.
Wilayah akan berkembang jika ada kegiatan perdagangan interinsuler
dari wilayah tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi peningkatan investasi
pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi serta perdagangan.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil ekspor akan mengakibatkan
berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga
kerja, keuntungan eksternal dan perkembangan wilayah lebih lanjut
(Damapolii, 2008).
Peran pelabuhan di Indonesia sebagai negara maritim sangat dominan
dalam pembangunan nasional. Hal tersebut tercermin dalam kegiatan
pelabuhan untuk menunjang perdagangan internasional dan domestik secara
nasional pada skala sangat besar. Pada tahun 2009, pelabuhan Indonesia
menangani 968,4 juta ton muatan yang terdiri atas 560,4 juta ton muatan
curah kering (hampir tiga perempatnya adalah batubara), 176,1 juta ton
2
muatan curah cair (86 persennya adalah minyak bumi atau produk minyak
bumi dan minyak kelapa sawit), 143,7 juta ton general cargo dan 88,2
muatan peti kemas (Dep. Perhubungan RI).
Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis
untuk pertumbuhan industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha
yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.Hal ini
membawa konsekuensi terhadap pengelolaan segmen usaha pelabuhan
tersebut agar pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif, efisien dan
profesional sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat
dengan biaya yang terjangkau. Pada dasarnya pelayanan yang diberikan oleh
pelabuhan adalah pelayanan terhadap kapal dan pelayanan terhadap muatan
(barang dan penumpang).
Secara teoritis, sebagai bagian dari mata rantai transportasi laut, fungsi
pelabuhan adalah tempat pertemuan (interface) dua moda angkutan atau lebih
serta interface berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang
diangkut dengan kapal akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti
moda darat (truk atau kereta api). Sebaliknya barang yang diangkut dengan
truk atau kereta api ke pelabuhan bongkar akan dimuat lagi ke kapal. Oleh
sebab itu berbagai kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti
perbankan, perusahaan pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar
dan pusat kegiatan lainnya. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa
pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur transportasi, dapat membangkitkan
kegiatan perekonomian suatu wilayah karena merupakan bagian dari mata
rantai dari sistem transportasi maupun logistik.
3
Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai yang sangat penting dari
seluruh proses perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Pelabuhan
bukan sekedar tempat bongkar muat barang maupun naik turunnya
penumpang tetapi juga sebagai titik temu antar moda angkutan dan pintu
gerbang ekonomi bagi pengembangan ekonomi sekitarnya. Sebagai bagian
dari sistem transportasi, pelabuhan memegang peranan penting dalam
perekonomian wilayah.
Pelabuhan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan kegiatan
ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya. Namun
pelabuhan tidak menciptakan kegiatan tersebut, melainkan hanya melayani
tumbuh dan berkembangnya kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti
itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari hanya sebagai tempat
berlabuhnya kapal menjadi pusat kegiatan perekonomian (Soemantri, 2003).
Secara prinsip hubungan kegiatan pembangunan oleh manusia di laut
tidak dapat dipisahkan dengan di pantai bahkan di darat seluruhnya. Dalam
konteks ekonomi keruangan antara laut dan pantai bahkan kota-kota pantai
secara ekonomi menyatu, bahkan bagi sektor pelabuhan akan tergantung tidak
hanya kepada wilayah atau ruang kelautan sebagai wahana transportasi saja,
namun tergantung pula dengan sistem kota-kota dan region yang
mendukungnya, karena fungsi pelabuhan tergantung kepada produk-produk
yang akan diekspor dan diimpor maupun manusia yang akan melakukan
perjalanan dari dan menuju suatu wilayah (Hutagalung, 2004). Sehingga
peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas
sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar.
4
Kawasan pelabuhan terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran, kegiatan penunjang
pelabuhan, dan antar moda transportasi (Kramadibrata, 2002).
Pemanfaatan ruang kawasan pelabuhan mempunyai kriteria, yaitu:
Tersedia aksesibilitas yang tinggi ke pusat pelayanan distribusi barang dan
penumpang.
Penataan letak pusat-pusat pelayanan harus efisien dan efektif.
Tersedia system pengolahan limbah.
Pengawasan terhadap tingkat sedimentasi yang berpengaruh terhadap
kedalaman laut terutama di sekitar dermaga dan akses keluar masuk kapal.
Pengembangan teknologi yang menunjang aktivitas pelabuhan untuk
mengantisipasi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap fluktasi
pasang surut, tinggi gelombang laut/perairan dan kecepatan arus
laut/perairan.
Pelabuhan Murhum saat ini menjadi bagian dari perkembangan kota yang
ditandai dengan ramainya aktifitas di sepanjang jalan. Untuk mengarahkan
perkembangannya di masa mendatang, sebuah pelabuhan yang memiliki
prospek perkembangan yang pesat memerlukan suatu konsepsi seluruh
perubahan yang berkelanjutan, yang mampu menampung perkembangan
pelabuhan dengan tetap mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi
kehidupan masyarakat sekitar.
Selain itu Pelabuhan Murhum di Kota Baubau sangat mempengaruhi
dinamika perkembangan kota dari segi sosial dan ekonomi. Perkembangan
5
permukiman pada wilayah kota Baubau cenderung untuk menjauh dari
pelabuhan Murhum, sementara kegiatan perekonomian cenderung untuk
mendekat dengan pelabuhan Murhum. Dengan kata lain, keberadaan
pelabuhan Murhum memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas
perekonomian Kota Baubau pada umumnya.
Dalam sejarahnya, Pelabuhan Murhum memegang peranan yang sangat
penting dalam perkembangan Kota Buton khususnya dan Sulawesi Tenggara
pada umumnya, sebab posisi Pelabuhan Murhum sangat strategis dalam alur
pelayaran laut Indonesia yaitu menjadi penghubung antara Wilayah Indonesia
Bagian Timur dan Wilayah Indonesia Bagan Barat.
Menurut Pires pelayaran orang Portugis menuju ke Maluku tidak melalui
pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke Borneo, ke Pulau Butun
(Buton) lalu ke Maluku. Jalur ke kepualauan Maluku itu dikenal sebagai
jalur yang paling baik dan cocok (Cortesao,1944). Sebelum kedatangan VOC
memang ada tiga jalur perdagangan dan pelayaran rempah-rempah di
sulawesi tenggara. Ketiga jalur itu adalah Burhanuddin, 1978) :
Jalur Makassar - Selat Tiworo - Wawonii - Bungku (Tombuku) –
Banggai - Ternate; dengan kemungkinan singgah diselayar, sinjai,
Kabaena, poleang/Rumbia, Tinanggea, Moramo, Kendari.
Jalur Makassar – Baubau - Lohia (Muna) – Wawonii - seterusnya
Bungku - Banggai - Ternate.
Jalur Makassar – Baubau – Wakatobi – Buru – Ambon - Banda.
Dalam deskripsi Schrieke (1955) menyebutkan bahwa dalam pelayaran
nusantara Pelabuhan Murhum merupakan salah satu mata rantai pelayaran
6
dan perdagangan yang terkait dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara hingga maluku dan Pilipina. Dari sini sebenarnya peran
pelabuhan Baubau merupakan penghubung antara wilayah barat dengan
wilayah timur Indonesia. (La Malihu : 1998).
Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan suatu
kajian yang mendalam terhadap Pengaruh Pelabuhan Murhum dalam
Pengembangan Kota Baubau dengan fokus penelitian pada perubahan fungsi
lahan terhadap aktivitas di Pelabuhan Murhum.
B. Perumusan Masalah.
1. Bagaimana konektivitas Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya di
Sulawesi Tenggara berdasarkan arus orientasi barang dan jasa melalui
kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Murhum.
2. Bagaimana peranan Pelabuhan Murhum secara internal terhadap
pengembangan fisik ruang Kota Baubau.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterkaitan Pelabuhan Murhum
dengan pelabuhan lainnya di Sulawesi Tenggara berdasarkan arus orientasi
barang, jasa dan orang melalui kegiatan bongkar muat di Pelabuhan
Murhum.
2. Untuk menganalisis sejauh mana peranan pelabuhan Murhum terhadap
pengembangan fisik ruang Kota Baubau.
7
D. Manfaat Penelitian
Sebagai sumbangan pemikiran bagi perencana dan penentu kebijakan
untuk mengevaluasi serta merumuskan berbagai kebijakan bagi
pengembangan Kota Baubau dimasa yang akan datang, terkait dengan
eksistensi dan perkembangan Pelabuhan Murhum.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kota
Menurut Bintarto (1983), dari segi geografis kota diartikan sebagai suatu
sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak
materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala
pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat
heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya.
Adisasmita (2008) mengatakan bahwa ciri atau sifat esensial dari suatu
kota adalah konsentrasi basis kegiatan ekonomi, sosial, dan politik, penduduk
pada tata ruang. Secara umum diketahui bahwa tempat-tempat dimana terjadi
konsentrasi penduduk sering dinamakan dengan berbagai istilah seperti; kota,
pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul ditribusi barang
dan jasa, wilayah nodal, atau pusat pemukiman. Masing-masing istilah sangat
tergantung dengan asosiasi kita terhadap apa yang akan ditonjolkan terhadap
tempat-tempat konsentrasi tersebut.
Adisasmita (2008) memberikan batasan tentang “kota” diartikan sebagai
suatu permukaan wilayah dimana terdapat konsentrasi penduduk dengan
berbgai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan.
Secara lebih rinci lagi Adisasmita menggambarkan kota meliputi lahan
geografis utamanya untuk pemukiman; berpenduduk dalam jumlah yang
relatif banyak; diatas lahan yang relatif terbatas luasnya; dimana mata
9
pencaharian penduduk didominasi oleh kegiatan non pertanian, sedangkan
pola hubungan individu antar masyarakat lebih bersifat rasional, ekonomis
dan individualistis.
Selanjutnya pengertian kota ditinjau dari berbagi aspek, antara lain aspek
geografis, fisik, demografis, statistik, sosial, ekonomi, dan administrasi.
Pengertian ini merupakan rumusan dari Nia K. Pontoh dan Iwan Kustiwan
(2009). Pengertian kota ditinjau dari aspek fisik adalah suatu wilayah dengan
wilayah terbangun lebih padat dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek
demografis adalah wilayah dengan konsentrasi penduduk yang dicerminkan
oleh jumlah dan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keadaan wilayah sekitarnya. Aspek sosial adalah suatu wilayah dengan
kelompok-kelompok sosial masyarakat yang heterogen. Aspek geografis
adalah suatu wilayah dengan wilayah terbangun yang lebih padat
dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek statistik adalah suatu wilayah
yang secara statistik besaran atau ukuran jumlah penduduknya sesuai dengan
batasan atau ukuran untuk criteria kota. Aspek ekonomi adalah suatu wilayah
yang memiliki kegiatan usaha sangat beragam dengan dominasi di sektor
nonpertanian seperti perdagangan, perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran,
pengangkutan, dan lain-lain. Dan yang terakhir kota ditinjau dari aspek
administrasi adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh suatu garis batas
kewenangan administrasi pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarakan
peraturan perundang-undangan.
Strategi pembangunan perkotaan harus bersifat komprehensif dan dilihat
dalam konteks yang dinamis sebagai dasar pengembangan lima komponen
10
utama kota yaitu : Pertumbuhan penduduk, Kebutuhan masyarakat,
Pertumbuhan ekonomi, Potensi sumberdaya alam, dan Kualitas lingkungan.
Penentun batas-batas administrasi perkotaan ditentukan oleh beberapa
kriteria yaitu :
(a) Letak geografis.
(b) Pusat-pusat perkembangan dalam lingkup metropolitan.
(c) Fungsi dan peranan ekonomi.
(d) Hal-hal lain yang dapat dijadikan acuan
Menurut Yunus (2001) untuk menyiapkan sumber daya lahan secara dini
yang diharapkan dapat menampung investasi untuk suatu kota, maka
diperlukan suatu peraturan daerah agar dapat menciptakan kondisi permintaan
dan penawaran lahan perkotaan terhadap berbagai kegiatan yang tersebar di
seluruh kawasan perkotaan. Sedangkan Penataan ruang kawasan kota yang
baik, dapat diterima dan dapat dilaksanakan (the best idea, acepted and
implementable) harus memenuhi beberapa azas yaitu : Azas merata, Azas
interaktif, Azas responsif, Azas manfaat, Azas aksesibilitas, dan Azas
berkelanjutan.
B. Kebijakan Rencana Tata Ruang Kota Baubau
Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTRW) Kota Baubau
dikemukakan :
1. Faktor Eksternal
Mengingat fungsinya dalam kebijaksanaan pembangunan wilayah
maka pengembangan sektoral dan tata ruang Baubau perlu diarahkan agar
fungsinya dapat tercapai. Pengarahan yang dimaksud adalah ;
11
a. Pengembangan Kota Baubau diarahkan untuk menjadi simpul koleksi
distribusi dari barang dan jasa “dari” dan “ke” seluruh wilayah
Sulawesi Tenggara dengan orientasi pemasaran produksinya ke Kota
Kendari.
b. Sedapat mungkin Kota Baubau memiliki jenjang diatas kabupaten/kota
lainnya seperti Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, Kab. Buton, Kab.
Buton Utara, Kab. Muna, Kab. Wakatobi, Kab. Konawe, Kab. Konawe
Selatan, Kab. Konawe Utara dan Kab. Bombana.
c. Fasilitas-fasilitas yang akan melayani kegiatan regional khususnya
sektor perekonomian sedapat mungkin diletakan pada lokasi ujung
yaitu lokasi yang mudah dicapai dari daerah belakang (hinterland),
lokasi pemasaran maupun lokasi sumber barang-barang impor bagi
Kota Baubau.
Karena fungsi dan peranannya maka kecenderungan arah
perkembangan fisik Kota Baubau sangat dipengaruhi oleh kedudukan dan
penyebaran lokasi kabupaten/kota yang mempengaruhi dan
dipengaruhinya. Dengan demikian lokasi pintu keluar masuk barang dan
jasa “dari’ dan “ke” Kota Baubau, akan menentukan arah pengembangan
fisik kota dimasa yang akan datang.
2. Faktor Internal
Pengembangan kota secara internal meliputi pengarahan terhadap pola
yang efisien dan optimal dalam sistimatika pengaturan ruang kota. Pola
yang dimaksud secara teoritis sudah banyak dikemukakan oleh ahli tata
12
kota. Pemilihan pola disesuaikan dengan kondisi eksisting meliputi
kecenderungan perkembangan kota berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Kondisi eksisting struktur ruang Kota Baubau dimasa yang akan datang
lebih didominasi oleh model perkembangan kota Multiple Nuclei dengan
penjenjangan kawasan sampai bagian-bagian wilayah kota yang meliputi
kerangka internal (internal structure) terutama luas kawasan yang dapat
dibangun termasuk pola penggunaan lahan.
C. Pengertian Perencanan Pengembangan Wilayah
Perencanaan Pengembangan Wilayah merupakan suatu kebijakan
pembangunan yang lahir karena adanya berbagai ketimpangan dalam
mencapai tujuan pembangunan suatu wilayah yaitu pembangunan ekonomi.
Pembangunan bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta
menjamin tercapainya pemerataan pertumbuhan daerah-daerah dalam suatu
wilayah. Menurut Hirawan, (1995) untuk mengukur secara tepat
pertumbuhan dan pemerataan dalam suatu proses pembangunan merupakan
hal yang sulit dilakukan. Kesulitan ini terutama karena adanya penggunaan
berbagai konsep wilayah dalam kebijaksanan pembangunan ekonomi.
Konsep wilayah homogen menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi
nasional, dan daerah-daerah hanya dianggap sebagai komponen dari
perekonomian banyak sector Issard 1975, Hoover 1977 dalam Matoka (1994).
Analisis seperti ini bersifat tanpa ruang atau space less. Analisis ini sangat
abstrak dan tidak dapat mendiskripsikan apalagi memprediksi pertumbuhan
ekonomi daerah-daerah. Akhirnya Matoka (1994) menyimpulkan analisis ini
secara implisit menjelaskan ketidak seimbangan sektoral.
13
Menurut Adisasmita (2005) analisis wilyah nodal menitik beratkan pada
pertumbuhan daerah tertentu yang diharapkan dapat mampu mendominasi
pengaruhnya keseluruh wilayah. Namun demikian (Howard 1945 dan
Dickhinson 1969). Greenhut (1956), Boss (1965) Eversley (1965), Ferguson
(1966) dan Rondinelly (1985) dalam Matoka (1994) sepakat bahwa analisis
ini tidak mampu menjelaskan pertumbuhan daerah-daerah dalam kerangka
tata ruang yang lebih luas. Demikian pula Cameron (1966), Preed (1967),
Chorley (1969) serta Glabraith (1969) dan Townroe (1971) dalam Matoka
(1994) menyimpulkan analisis tersebut menjelaskan ketidak seimbangan
regional.
Kendala-kendala inilah yang mengakibatkan lahirnya konsep wilayah
perencanaan. Menurut Tarigan, (2005) wilayah perencanaan adalah wilayah
geografik yang memperlihatkan suatu kesatuan keputusan ekonomi yang
memungkinkan terjadinya perubahan penyebaran penduduk dan kesempatan
kerja. Model perencanaan tidak saja digunakan untuk memprediksi perubahan
yang terjadi tetapi juga dapat mengubahnya kearah tertentu melalui suatu
kebijaksanaan yang bertujuan menciptakan keseimbangan pertumbuhan antar
wilayah-wilayah.
Matoka (1994) sependapat bahwa analisis ini hanyalah merupakan
penyederhanaan dari suatu perekonomian, karena wilayah adalah daerah
administratrif yang berbeda masalah dan tujuannya. Struktur model tidak
selalu independen pada tujuan yang hendak dicapai serta optimalisasi satuan
wilayah perencanaan tergantung cakrawala waktu perencanaan. Menurut
Adisasmita (2002) model tersebut dapat menjelaskan kerangka pertumbuhan
14
secara menyeluruh. Penyederhanaan perekonomian yang dimaksud adalah
pertumbuhan suatu daerah diukur dari perkembangan satuan wilayah
pembangunannya dan keseimbangan pertumbuhan antar daerah dicapai
dengan jalan membuat seimbang seluruh satuan wilayah pembangunan yang
tersebar dalam wilayah nasional.
D. Pengertian Pusat-Pusat Wilayah Pembangunan
Dalam Struktur Pengembangan Wilayah Tingkat Nasional dikatakan
Pusat Pembangunan merupakan sub-sistem dari Satuan Wilayah
Pembangunan yang tersebar diseluruh Wilayah Nasional. Setiap wilayah
memiliki pusat-pusat yang tersusun secara hirarkhis. Penerapan sistem
hirarkhis ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan dan perbedaan kemakmuran antar wilayah. Disamping itu
dengan sistem seperti ini pembangunan akan dapat lebih disebar luaskan
sehingga tidak hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu saja. Dengan cara
pembangunan yang berkesinambungan tersebut maka dapatlah terjadi ikatan
pembangunan ekonomi nasional yang kokoh.
Pusat-Pusat pembangunan diharapkan dapat menjadi titik tumpu bagi
tumbuh berkembangnya wilayah. Hal ini disebabkan karena pusat-pusat
tersebut merupakan lokasi atau tempat yang optimal bagi pelaksanaan
berbagai program dan proyek pembangunan, guna memecahkan persoalan
pembangunan.
Dalam Ketentuan Standar Direktorat Cipta Kayra Departemen Pekerjaan
Umum bagi Pembangunan Nasional dinyatakan penentuan besarnya hirarkhi
pusat pembangunan antara lain didasarkan pada kriteria berikut :
15
a) Besaran jumlah penduduk yang dimilikinya.
Untuk Pusat Satuan Wilayah Pembangunan Utama dapat menampung
aktifitas perekonomian dengan jumlah penduduk 5 – 10 juta jiwa dan
minimal 1 – 2 juta jiwa, pusat orde 1 jumlah penduduk 500.000 – 1 juta
jiwa, pusat orde 2 jumlah penduduk 200.000 - 500.000 jiwa, pusat orde
3 jumlah penduduk 100.000 – 200.000 jiwa, pusat orde 4 jumlah
penduduk 25.000 -1000.000 jiwa, pusat orde 5 jumlah penduduk
< 25.000 jiwa .
b) Pertimbangan jarak “efektif” antar Pusat Pembangunan sebagai pusat
pelayanan. Untuk Pusat Pembangunan Orde-1 hubungan angkutan laut
petimbangan jarak tempuh 1 – 2 hari, angkutan udara 1 – 2 jam terbang,
angkutan darat dan penyeberangan berkisar 6 – 20 jam perjalanan dengan
menggunakan teknologi angkutan saat ini. Untuk Pusat Pembangunan
Orde-1 madya angkutan laut 1 hari, angkutan udara ½ - 1 jam terbang,
angkutan darat dan penyeberangan 5 – 10 jam perjalanan, Pusat
Pembangunan Orde-2 angkutan laut 2 – 4 jam perjalanan, angkutan darat
dan penyeberangan 2 - 5 jam perjalanan, sedangkan untuk Pusat
Pembangunan Orde-3 hubungan jalan raya ½ - 2 jam
c) Pertimbangan besaran dan kualitas kegiatan setiap pusat.
d) Besaran dan kualitas tingkat pelayanan fasilitas perkotaan yang
menunjang sebagai pusat pelayanan.
Konsep pusat-pusat pembangunan atau pusat-pusat pertumbuhan atau
sering disebut juga dengan kota diadaptasi dari beberapa teori tentang lokasi
yang telah dicetuskan oleh beberapa ahli terdahulu.
16
E. Peran Pelabuhan Dalam Perkembangan Wilayah
Pelabuhan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan kegiatan
ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya. Namun
pelabuhan tidak menciptakan kegiatan tersebut, melainkan hanya melayani
tumbuh dan berkembangnya kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti
itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari hanya sebagai tempat
berlabuhnya kapal menjadi pusat kegiatan perekonomian. Secara prinsip
hubungan kegiatan pembangunan oleh manusia di laut tidak dapat dipisahkan
dengan di pantai bahkan di darat seluruhnya. Pelabuhan menjadi sarana
bangkitnya perdagangan antar pulau bahkan perdagangan antar negara,
pelabuhan pada suatu daerah akan lebih menggairahkan perputaran roda
perekonomian, berbagai jenis usaha akan tumbuh mulai dari skala kecil
sampai dengan usaha skala internasional, harga-harga berbagai jenis produk
akan lebih terjangkau mulai dari produksi dalam negeri sampai dengan luar
negeri. Pelabuhan yang bertaraf internasional akan mengundang investor
dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal yang bermuara pada
tumbuhnya perekonomian rakyat, mobilitas manusia dari berbagai penjuru
akan hadir dan meninggalkan dana yang banyak.
Beberapa definisi dan fungsi pelabuhan yang diutarakan oleh pada ahli
sebagai berikut, Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
Pemerintahan dan kegiatan layanan jasa. Utamanya pelabuhan sebagai tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat
barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
17
penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi (Raja Oloan Saut Gurning dan Budiyanto, 2007).
Menurut Suranto (2004), yang dikatakan Pelabuhan adalah tempat yang
terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik-turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang,
yang dilengkapai dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga di mana
kapal dapat bertambat untuk bongkar muat barang.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan mengatakan bahwa peran pelabuhan adalah :
(a) simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
(b) pintu gerbang kegiatan perekonomian;
(c) tempat kegiatan alih moda transportasi;
(d) penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
(e) tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
(f) mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.
Untuk menunjang dan memaksimalkan fungsi dan peranannya dari sudut
tinjauannya (Triatmojo,2009) dan menurut kegiatannya pelabuhan dibedakan
atas beberapa kriteria, antara lain :
18
1. Segi penyelengaraan.
(a) Pelabuhan Umum
Pelabuhan umum diselenggarakan dan berperan untuk melayani
kepentingan masyarakat umum. Penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan
usaha milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut.
(b) Pelabuhan khusus
Pelabuhan khusus diselenggarakan dan berperan untuk melayani
kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Pelabuhan
khusus dibangun oleh pemerintah atau oleh perusahan swasta yang
berfungsi untuk mengirimkan prasarana hasil produksi perusahaan
tersebut.
2. Segi pengusahaannya
(a) Pelabuhan yang diusahakan
Pelabuhan ini diusahakan untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan yang berperan untuk
kegiatan bongkar muat barang, menaik turunkan penumpang dan
kegiatan lainnya. Pemakaian pelabuhan ini dikenai biaya seperti jasa
labuh, jasa tambat, jasa pemanduan, dan sebagainya.
(b) Pelabuhan yang tidak diusahakan
Pelabuhan ini merupakan tempat singgah kapal tanpa bongkar muat
barang, bea cukai dan sebagainya. Pelabuhan ini merupakan
pelabuhan kecil yang disubsidi oleh pemerintah dan dikelola oleh Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jendral Perhubungan Laut.
19
3. Segi fungsi perdagangan nasional dan internasional.
(a) Pelabuhan laut
Pelabuhan ini adalah pelabuhan yang dimasuki oleh kapal berbendera
asing. Pelabuhan ini biasanya merupakan pelabuhan utama di suatu
daerah yang dilabuhi kapal- kapal yang membawa barang untuk
ekspor/impor secara langsung ke dan dari luar negeri .
(b) Pelabuhan pantai
Pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang disediakan untuk
perdagangan dalam negeri oleh karena itu tidak bebas disinggahi oleh
kapal berbendera asing.
4. Segi penggunaannya.
(a) Pelabuhan ikan
Pelabuhan ikan menyediakan fasilitas untuk kapal-kapal ikan
untuk Melakukan kegiatan penangkapan ikan dan memberikan
pelayananyang diperlukan.
(b) Pelabuhan minyak
Untuk keamanan, pelabuhan minyak harus diletakkan agak jauh dari
kepentingan umum dan digunakan untuk melayani kapal tanker yang
berukuran besar.
(c) Pelabuhan barang
Di pelabuhan ini terjadi perpindahan moda transportasi dari laut
kedarat ataupun sebaliknya. Barang dibongkar di termaga
untuk selanjutnya diangkut dengan truk ataupun kereta api ke tempat
20
tujuan atau ke gudang penyimpanan atau tempat penumpukan terbuka
sebelum dikirim.
Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis
untuk pertumbuhan industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha
yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Pada dasarnya
pelayanan yang diberikan oleh pelabuhan adalah pelayanan terhadap kapal
dan pelayanan terhadap muatan (barang dan penumpang). Secara teoritis,
sebagai bagian dari mata rantai transportasi laut, fungsi pelabuhan adalah
tempat pertemuan (interface) dua moda angkutan atau lebih serta interface
berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang diangkut dengan kapal
akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti moda darat (truk atau
kereta api). Sebaliknya barang yang diangkut dengan truk atau kereta api ke
pelabuhan bongkar akan dimuat lagi ke kapal. Oleh sebab itu berbagai
kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti perbankan, perusahaan
pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar dan pusat kegiatan
lainnya.
Wilayah akan berkembang jika ada kegiatan perdagangan interinsuler
dari wilayah tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi peningkatan investasi
pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi serta perdagangan.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil ekspor akan mengakibatkan
berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga
kerja, keuntungan eksternal dan perkembangan wilayah lebih lanjut
(Damapolii, 2008).
21
F. Beberapa Teori yang Mendasari Konsep Pusat Pembangunan
1. Teori Pusat Pertumbuhan
Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara,
yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat
pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang
industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan
sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun
ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah
suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga
menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai
macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat senang
datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun
kemungkinan tidak ada pola interaksi antara usaha-usaha tersebut.
Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus bercirikan: (1)
adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki
nilai ekonomi, (2) adanya unsur pengganda (multiplier effect), (3) adanya
konsentrasi geografis, (4) bersifat mendorong pertumbuhan daerah
belakangnya (Tarigan, 2004). Ciriciri pusat pertumbuhan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan hubungan
internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan
antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu
sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya,
22
karena saling terkait. Dengan demikian kehidupan kota menciptakan
sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.
b. Adanya unsur pengganda (multiplier effect) keberadaan sektor-sektor
yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek
pengganda. Maknanya bila ada permintaan satu sektor dari luar
wilayah, peningkatan produksi sektor tersebut akan berpengaruh pada
peningkatan sektor lain. Peningkatan ini akan terjadi beberapa kali
putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi dapat beberapa
kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan di luar untuk
sektor tersebut. Unsur efek pengganda memiliki peran yang signifikan
terhadap pertumbuhan kota belakangnya. Hal ini terjadi karena
peningkatan berbagai sektor di kota pusat pertumbuhan akan
membutuhkan berbagai pasokan baik tenaga kerja maupun bahan baku
dari kota belakangnya.
c. Adanya konsentrasi geografis konsentrasi geografis dari berbagai sektor
atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor
yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik
(attraciveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota tersebut
bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan.
Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, biaya, dan
tenaga. Hal ini membuat kota tersebut menarik untuk dikunjungi dan
karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan
economic of scale sehingga tercipta efisiensi lebih lanjut.
23
d. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya sepanjang
terdapat hubungan yang harmonis di antara kota sebagai pusat
pertumbuhan dengan kota belakangnya maka pertumbuhan kota pusat
akan mendorong pertumbuhan kota belakangnya. Kota membutuhkan
bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai
fasilitas atau kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat
mengembangkan diri.
Pusat-pusat yang pada umumnya merupakan kota–kota besar tidak
hanya berkembang sangat pesat, akan tetapi mereka bertindak sebagai
pompa-pompa pengisap dan memiliki daya penarik yang kuat bagi
wilayah-wilayah belakangnya yang relatif statis. Wilayah-wilayah
pinggiran di sekitar pusat secara berangsurangsur berkembang menjadi
masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk, modal, dan sumberdaya ke
luar wilayah belakang yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan
pusat-pusat dimana pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan bersifat
kumulatif. Sebagai akibatnya, perbedaan pendapatan antara pusat dan
wilayah pinggiran cenderung lebih besar (Rahardjo Adisasmita, 2005).
Pemikiran dasar dari konsep titik pertumbuhan ini adalah bahwa
kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung beraglomerasi di
sekitar sejumlah kecil titik fokal (pusat). Di dalam suatu daerah arus
polarisasi akan bergravitasi kearah titik-titik fokal ini, yang walaupun
karena jarak arus tersebut akan berkurang. Di sekitar titik fokal ini dapat
ditentukan garis perbatasan dimana kepadatan arus turun sampai suatu
24
tingkat kritis minimum, pusat tersebut dapat dikatakan titik pertumbuhan
sedangkan daerah di dalam garis perbatasan adalah daerah pengaruhnya.
Menurut Perroux dalam Sihotang (2001) telah mendefinisikan kutub
pertumbuhan regional sebagai seperangkat industri-industri sedang
mengembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong
perkembangan lanjutan dari kegiatan ekonomi daerah pengaruhnya. Kutub
pertumbuhan regional terdiri dari suatu kumpulan industri-industri yang
mengalami kemajuan dan saling berhubungan, serta cenderung
menimbulkan aglomerasi yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor
ekonomi eksternal itu seperti turunnya biaya produksi, pembangunan pasar
bagi pekerja urban dan akses pasar yang lebih besar. Menurut Arsyad
(1999) bahwa inti dari teori Perroux ini adalah sebagai berikut :
a. Dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang
merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah
karena keterkaitan antar industri (forward linkage and backward
linkage), maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi
perkembangan industri lainnya yang berhubungan erat dengan industri
unggulan tersebut.
b. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan
ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi
yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah
akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.
c. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif
aktif (industri unggulan) dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu
25
industri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan.
Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah
yang relatif pasif. Diharapkan dari ide ini adalah munculnya trickle
down effect and spread effect.
Menurut Tarigan (2009) dalam bahasa lain kutub pertumbuhan dapat
diartikan sebagai:
a. Arti fungsional, growth pole digambarkan sebagai suatu kelompok
perusahaan cabang industri atau unsur-unsur dinamis yang merangsang
kehidupan ekonomi. Hal penting disini adalah adanya permulaan dari
serangkaian perkembangan dengan multiplier effect nya.
b. Arti geografis, diartikan sebagai suatu pusat daya tarik (pole attraction)
yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berkumpul
disuatu tempat tanpa adanya hubungan antara usaha-usaha tersebut.
2. Teori Simpul Jasa Distribusi
Seperti teori aglomerasi (Weber), teori tempat sentral (Christaller dan
Losch), teori kutub pertumbuhan (Perroux), dan teori daerah inti dan
pinggiran (Friedman), penemu teori Simpul Jasa Distribusi Purnomosidi
Hadjisaroso menekankan pula pentingnya peranan pusat-pusat, yang
selanjutnya diidentifikasikan sebagai simpul-simpul jasa distribusi pada
umumnya adalah kota
Purnomosidi dalam Matoka (1994) menyatakan bahwa pengembangan
wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang bertumpu
pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alamnya;
pengembangan kedua jenis sumberdaya tersebut berlangsung sedemikian
26
rupa sehingga menimbulkaan arus barang. Bahan mentah diangkut dari
daerah penghasil ke lokasi pabrik; dan barang hasilnya diangkut dari
produsen ke konsumen. Arus barang dianggapnya sebagai salah satu gejala
ekonomi yang paling menonjol, arus barang merupakan wujud fisik
perdagangan antar daerah, antar pulau, ataupun antar negara; arus barang
didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan (jasa
distribusi). Jadi jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik, terutama jika
ditinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya
berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-kemudahan, demikian pula
fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah.
Kriteria yang dipilih untuk menyatakan tingkat pertumbuhan suatu
daerah adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan
kebutuhan-kebutuhannya, baik berupa kebutuhan hidup maupun berupa
kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha; pemakaian kriteria
pendapatan daerah, (perkapita) sangat sukar untuk mencari kaitannya
dengan mekanisme pengembangan wilayah, selain dari pada itu
pendapatan belum memberikan gambaran yang memadai tentang
kebutuhan sebenarnya dari masyarakat, pendapatan tinggi belum berarti
suatu kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh kebutuhannya
(Matoka, 1994).
Kota-kota terdekat umumnya memiliki berbagai kemudahan yang
diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti
27
semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi
untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahan tersebut jasa
distribusi merupakan unsur yang sangat penting, oleh karena itu kota-kota
pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, yang
selanjutnya oleh Poernomosidi disebutnya simpul jasa distribusi atau
disingkat dengan simpul (Adisasmita, 1994).
Interaksi antara simpul besar dengan simpul-simpul kecil dan daerah
hinterlandnya merupakan unsur yang penting dalam konsepsinya. Tingkat
interaksi ditunjukkan dari tingkat kepadatan arus barang. Semakin kuat
ciri-ciri simpul berarti semakin luas dan jauh jangkauan wilayah
pengaruhnya. Lebih dekat pada simpul berarti lebih banyak jenis barang
yang terjangkau oleh pelayanan pemasaran, yang berarti pula lebih besar
kesempatan yang tersedia untuk perkembangan kegiatan usaha. Interaksi
antar simpul tersebut menunjukkan korelasi yang negatif dengan jarak.
Karena simpul merupakan pula konsentrasi penduduk, maka dapat
dikatakan bahwa interaksi antar simpul berkolerasi negatif terhadap jumlah
penduduk. (Matoka 1994)
Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa
distribusi bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat
ke luar), sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di
simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul
tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas
yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarkhi tiap simpul ditentukan
28
oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul yang
dicerminkan berdasar mekanisme arus distribusi barang.
Simpul orde distribusi I tidak berada dalam sub ordinasi simpul-
simpul lain. Simpul-simpul orde distribusi II berada dalam sub ordinasi
simpul orde distribusi I, dan selanjutnya simpul-simpul orde distribusi III
berada dalam sub ordinasi simpul orde distribusi II. Biasanya pada simpul-
simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang
lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah
ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang
mempunyai tingkatan orde distribusi yang sama ataupun yang berbeda
terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan
ketergantungan antar simpul dapat diketahui dari data arus barang dari
tempat asal ke tempat tujuan. Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta
keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat ditentukan arah
pengembangan pemasarannya secara geografis (Matoka, 1994). Secara
visual model simpul jasa distribusi dapat dilihat pada gambar 2.1.
Berdasarkan teori simpul jasa distribusi Purnomosidi, dapat dianalisis
pola aliran komoditas dari perdesaan atau aliran barang senntral kota.
Dengan asumsi bahwa pusat perdesaan akan berkembang sebagai pusat
pelayanan bilamana menjadi simpul distribusi bagi desa-desa sekitarnya,
baik untuk mendistribusikan hasil-hasil pertanian atau untuk mendapatkan
barang-barang kebutuhan rumah tangga pertanian, maka dengan demikian
dapat dianalisis bahwa bilamana suatu pusat perdesaan tidak memiliki
fungsi sebagai simpul distribusi tidak akan menarik orang untuk
29
melakukan interaksi dengan pusat tersebut. Dengan demikian fungsi-
fungsi yang ada tidak akan beroperasi secara optimal yang pada gilirannya
tidak akan merangsang perkembangan lebih lanjut (Matoka, 1994).
Gambar 2.1. Pola aliran barang menurut teori simpul jasa distribusi
(dimodifikasi dari Adisasmita, 1994).
Menurut Adisasmita dalam suatu kajian tentang Teori Simpul Jasa
Distribusi mengemukakan, penggunaan arus barang sebagai variable
belum sepenuhnya menjelaskan gejala terbentuknya simpul. Volume arus
barang sebagai indikator pengukur besarnya tingkat kepadatan jasa
distribusi (besaran simpul/kota) memberikan informasi arah arus kegiatan
antar kota yang berbeda-beda. Orientasi membeli atau menjual barang
kesatu arah menghasilkan arus barang yang berlainan arah.
Menurut Adisasmita, dalam sistim distribusi arus barang hanyalah
sebagai produk dari proses distribusi sedangkan pertimbangan menyangkut
: jenis, asal dan tujuan maupun jumlah barang terjadi pada proses distribusi
yaitu kegiatan perdagangan. Keputusan hingga terjadinya arus barang
berada ditangan para pedagang sedangkan tingkat pelaksanaan keputusan
berlangsung pada kegiatan pengangkutan.
Simpul Ordo I
Simpul Ordo
II Simpul Ordo
III Unit Desa
30
Berdasarkan pengkajian tersebut Adisasmita menyimpulkan bahwa
“orientasi pedagang” memberikan informasi gejala karakteristik
pembentukan simpul yang selanjutnya disebut orientasi kota. Orientasi
pedagang atau orientasi kota tersebut dapat digunakan sebagai dasar
pengukuran dalam menyatakan besaran simpul, besarnya pengaruh simpul
terhadap pembentukan simpul yang lain, Efisiensi suatu simpul.
Sedangkan unsur-unsur orientasi pedagang menurut Adisasmita terdiri dari
Arah orientasi, bobot pedagang, dan Jumlah pedagang.
Arah orientasi pedagang dapat dilihat dari perilaku para pedagang
dalam melaksanakan kegiatan antar simpul. Perilaku pedagang dalam
mengarahkan kegiatan usahanya memberikan gambaran besarnya arus
barang yang terjadi. Pada umumnya pedagang yang terlibat dalam kegiatan
usaha jasa distribusi barang terdiri dari: pedagang grosier, pedagang
pengumpul dan pengecer. Pedagang pengumpul sifat kegiatan usahanya
menjembatani arus barang dari berbagai kegiatan usaha produksi hasil
pertanian dengan para pedagang gerosir (antar pulau dan eksportir).
Sedangkan pedagang pengecer sifat kegiatan usahanya menjembatani arus
barang dari pedagang grosir dengan masyarakat konsumen barang hasil
kegiatan usaha industri.
G. Interaksi Masyarakat Desa-Kota
Untuk membicarakan tentang interaksi masyarakat desa dengan pusat-
pusat pedesaan dalam keadan sehari-hari sepertinya biasa-biasa saja. Akan
tetapi jika dilihat secra mendalam disini terdapat semacam interaksi, yang
telah melahirkan ketergantungan antara keduanya.
31
Bintarto, (1983) mengemukakan bahwa interaksi ini dapat dilihat sebagai
suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap
perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan baik melalui kontak langsung.
Proses interaksi desa kota dapat berwujud urbanisasi, yang dimaksud adalah
proses pembentukan kota, suatu proses yang digerakkan oleh perubahan-
perubahan dalam masyarakat sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan
suatu daerah pedesaan lambat laun akan melalui proses yang mendadak
memperoleh sifat kehidupan kota.
Lebih lanjut Rondinelly (1985) mengatakan bahwa konsep urbanisasi
juga mencakup pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota (desa menjadi
kota), perpindahan penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi ulang alik)
atau kenaikan presentase penduduk yang tinggal di kota. Proses urbanisasi
ini menurut Keijo dan Collegde dalam Bintaro (1984) melalui empat proses
utama yaitu :
a) Adanya pemusatan kekuatan pemerintah kota sebagai pengambil
keputusan dan sebagai bahan pengawas dalam menyelenggerakan
hubungan kota dengan daerah sekitarnya.
b) Adanya arus modal dan investasi untuk mengukur kemakmuran kota
dengan wilayah sekitarnya, dan selain itu penentuan/pemilihan lokasi
untuk kegiatan ekonomi mempunyai pengaruh terhadap arus bolak balik
desa-kota.
c) Divusi dan inovasi serta perubahan yang berpengaruh terhadap aspek
sosial ekonomi budaya dan politik akan dapat memperluas kota yang
32
lebih kecil bahkan ke daerah pedesaan. Difusi ini dapat mengubah
suasana desa menjadi suasana kota.
d) Migrasi dan pemukiman penduduk baru dapat terjadi apabila pengaruh
kota secara terus menerus masuk ke daerah pedesaan.
Pendapat diatas ini menjelaskan tentang interaksi desa kota yang
berwujud dalam proses urbanisasi ini terjadi karena adanya hubungan desa
kota, adanya hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi (timbal balik)
adanya inovasi dan adanya pengaruh kehidupan kota secara terus menerus ke
pedesaan.
Wujud proses interaksi juga dapat membentuk gerak penduduk secara
ulang alik yaitu dari desa ke desa, dari desa ke kota, dari kota ke desa dan dari
kota ke kota, seperti halnya juga arah gerak penduduk sirkulasi dan komutasi
(Kuncoro, 2002). Pendapat diatas menjelaskan tentang interaksi desa kota
dalm ujud ulang alik, dimana terjadinya interaksi ini karena adanya saling
ketergantungan antara masyrakat desa dan kota. Hal tersebut sejalan dengan
yang dikemukkan oleh Rondinelly (1985) mengenai sifat ketergantungan
antara desa kota dapat dilihat dalam hal sebagai berikut.
a) Karena kota merupakan pemasaran hasil-hasil pertanian dan sekaligus
sebagai tempat mereka mendapatkan benda pemenuhan kebutuhan hidup
yang mereka perlukan.
b) Kota merupakan tempat dimana terdapat sarana-sarana pendidikan yang
dibutuhkan oleh orang-orang desa terutama dalam melanjutkan
pendidikan yang lebih tingi.
c) Kota sebagai tempat memperoleh lapangan kerja bagi orang desa.
33
Sedangkan ketergantunghan kota terhadap desa itu sendiri dapat dilihat
sebagai berikut.
a) Sebagai suplier bahan hasil-hasil pertanian
b) Sebagai suplier bahan mentah atau bahan baku industri
c) Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri
d) Sebagai Suplier tenaga kerja bagi industri pabrik dan jasa lainnya.
Menurut Adisasmita (2005), bahwa interaksi adalah kontak antara dua
wilayah yang dapat menimbulkan gejala baru. Batasan sederhana ini
merupakan analisa lain dari pengertian terminologi interaksi yang bermuara
pada kata yang dipakai untuk menerangkan kontak antara dua atau lebih
wilayah secara ”kausatif” dan “ekonomis’. Kausatif artinya suatu wilayah
berinteraksi dengan wilayah lain karena kebutuhan dalam kegiatan produksi
akan input yang berasal dari wilayah pemasok, sedangkan ekonomis bahwa
dasar yang tercermin dalam aktivitas ekonomi berupa konsumen dan
produksi.
Interaksi dimaksudkan tidak hanya dengan berbatas pada gerak pindah
dari manusia melainkan juga menyangkut uang, barang dan lain-lain. Salah
satu bentuk manifestasi interaksi dalam suatu wilayah adalah nodal itu sendiri
dan wilayah hinterlandnya (kota-desa) dimana bentuk menyebabkan gejala
atau akibat beberapa pengaruh yang menguntungkan dan merugikan.
Pengaruh yang menguntungkan atau merugikan tersebut secara alamiah
sebagai konsekwensi dari adanya hubungan tersebut.
Pengaruh baik adalah jika kota tersebut bersifat kota generatif yaitu kota
yang menjalankan bermacam-macam fungsi baik untuk dirinya sendiri
34
maupun untuk daerah belakangnya, Sedangkan jika kota itu sebagai kota
parasitif yaitu yang ditujukan dengan mengeksploitasi daerah belakang tanpa
memberi jasa perkotaan kepada daerah belakangnya.
H. Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti telah melakukan kajian yang terkait dengan
penelitian terhadap fungsi pelabuhan dalam pengembangan wilayah di
beberapa daerah di Indonesia antara lain :
35
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No. Judul Peneliti Alat Analisis Permasalahan
1. Sistem Pengembangan Trans
portasi Laut pada Era
Globalisasi
Cornelius Suyadi
2007 Pendekatan sistem, Analisis
prospektif partisipatif
menurut Hartisari (2003),
Bourgeois (2002) untuk
menilai tingkat kepentingan
dan penilaian kinerja
Metode deskriptif dan
kuantitatif IPA dengan
diagram kartesius dari
Supranto(2001) untuk
menilai tingkat kepentingan
dan tingkat kinerja
a. Armada nasional hanya mampu
meraih 5% share dari ekspor-impor
dan 52 % domestik., Kerugian
negara sebesar 184 triliun rupiah
pertahun dari share muatan dan loss
of transhipment oppotunities..
b. Tidak seimbang antara kapasitas
armada nasional terhadap kuantitas
muatan.
2. Dampak Pengembangan
Pelabuhan Pekan Baru di
Kawasan Pasar Bawah
Syahrial Hasibuan,
Soemarno, Jenni
Ernawati
Analisis Deskriptif
Kualitatif
Analisis Statistik Deskriptif
a. Bagaimana karakteristik
pengembangan Pelabuhan
Pekanbaru di kawasan Pasar Bawa.
b. Bagaimanakah dampak
pengembangan Pelabuhan
Pekanbaru terhadap Pertumbuhan
kawasan Pasar Bawah.
c. Bagaimanakah arahan
pengembangan Pelabuhan
Pekanbaru dalam mendukung
pertumbuhan kawasan Pasar
Bawah
.
36
3. Dampak Pengembangan
Kawasan Pelabuhan Kuala
Langsa Terhadap
Kesejahteraan masyarakat
Sekitar
Zulfan, 2008 Analisis Deskriptif
Kualitatif
Analisis Statistik Deskriptif
a. Bagaimana dampak pengembangan
kawasan Pelabuhan Kuala Langsa
selama 3 tahun terakhir terhadap
pengembangan wilayah.
b. Bagaimana dampak pengembangan
kawasan Pelabuhan Kuala Langsa
terhadap kesejahteraan masyarakat
sekitar.
37
III. KERANGKA PIKIR
Dalam dimensi wilayah pengembangan pelabuhan merupakan salah satu
sarana distribusi barang dan jasa yang dapat memicu pertumbuhan fisik ruang
suatu kota dan diharapkan mampu menjadi penggerak pada Wilayah
Pembangunan (WP), terutama terhadap kota-kota yang dipengaruhi atau yang
mempengaruhi, sehingga tingkat interaksi yang tinggi antara kota-kota dapat
diciptakan.
Secara konsepsional lemahnya linkages atau keterkaitan suatu kota dengan
daerah hinterlandnya dapat dilihat dari sistim transportasi wilayah yang mengikat
kota-kota. Demikian pula perkembangan kota meliputi pola-pola efisiensi dan
sistimatika pengaturan kota, lemahnya keterkaitan tersebut memberikan gambaran
pola penggunaan ruang yang optimal dan efisien. Dengan demikian ketidak
seimbangan dan ketidak teraturan terhadap intensitas pemanfaatan ruang kota
akan berpengaruh bagi pengembangan kota dan wilayah.
Secara spasial kemampuan perkembangan kota dapat dikaji melalui
kemampuan perkembangannya secara eksternal maupun secra internal.
Kemampuan perkembangan secara eksternal yaitu sedapat mungkin kota menjadi
simpul koleksi distribusi barang dan jasa bagi daerah hinterlannya. Sedangkan
kemampuan perkembangan spasial kota secara internal menggambarkan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota berdasarkan kondisi
saat ini dengan menggunakan standar kebutuhan pemukiman kota oleh Direktorat
Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. Secara skematis kerangka
pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar berikut.
39
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Baubau khususnya pada kawasan
Pelabuhan Murhum. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan terhitung
sejak pembuatan proposal, pengumpulan data sampai dengan penulisan
laporan hasil penelitian.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi maupun wawancara
langsung ke lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui
dokumentasi dari berbagai informasi atau instansi terkait yang berhubungan
dengan ruang lingkup penelitian, yaitu: Pemerintah Kota Baubau, Badan
Pusat Statistik (BPS), Bappeda Kota Baubau, Kapel Baubau, Dinas Tata Kota
dan Bangunan dan instansi terkait lainnya, serta hasil penelitian dan literatur
yang dianggap relevan dalam mendukung penelitian ini.
C. Variabel Penelitian
Sutrisno (1982), mengemukakan bahwa variabel adalah semua keadaan,
faktor, kondisi, perlakuan, atau tindakan yang dapat mempengaruhi hasil
eksperimen, sedangkan Arikunto S. (1998) mengemukakan bahwa variabel
penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian.
Adapun variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
dijelaskan pada tabel berikut :
40
Tabel 4.1. Variabel Penelitian
Komponen Data Variabel Sumber Data
1. Fisik Wilayah a. Topografi Wilayah
b. Penggunaan Lahan
c. Jaringan Jalan
Citra Satelit
Bappeda Kota Baubau
Dinas PU
2. Sosial Ekonomi d. Jumlah Penduduk
e. Fasilitas Ekonomi
f. Fasilitas Sosial
g. Fasilitas Umum
h. Orientasi Pedagang
i. Aktivitas Perekonomian
BPS
Survey
Wawancara
3. RTRW j. Peta Dasar
k. Arahan Tata Ruang
l. Kebijakan Tata Ruang
Dinas Tata Kota
Bappeda
4. Kepelabuhanan m. Kondisi Pelabuhan di
sulawesi Tenggara.
n. Status Pelabuhan.
o. Jenis Pelabuhan.
p. Rencana Pengembangan
Dep. Perhubungan RI.
Kanpel Kota Baubau
Sumber : Hasil Analisis, 2014.
D. Populasi dan Sampel
Sugiyono (2010) menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam
pengertian antara “ populasi dan sampel” dalam penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Populasi itu misalnya penduduk di wilayah tertentu, jumlah guru
dan murid di sekolah tertentu dan sebagainya. Populasi bukan hanya orang,
tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan
sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi
keseluruhan karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek/subyek itu.
Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi itu, apa yang dipelajari dari
sampel, kesimpulan akan diberlakukan untuk populasi.
41
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi
menggunakan istilah situasi sosial, yang terdiri atas tiga elemen yaitu:
tempat, pelaku dan aktifitas yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial
tersebut, dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin diketahui “apa
yang terjadi” di dalamnya, misalnya rumah berikut keluarga dan aktifitasnya.
Situasi sosial tidak hanya terdiri dari tiga elemen tersebut, tetapi bisa juga
berupa peristiwa alam, binatang, tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya.
Sedangkan sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden,
tetapi sebagai nara sumber, partisipan, informan, teman dan guru dalam
penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel
statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk
menghasilkan teori.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui
pengaruh keberadaan Pelabuhan Murhum terhadap aktivitas perekonomian
dan perubahan lahan pada kawasan pelabuhan, oleh karena itu, pengambilan
sampel dilakukan terhadap masyarakat dan pelaku kegiatan perekonomian
khususnya yag berada pada kawasan Pelabuhan Murhum.
Lebih jauh Roscoe dalam Sugiyono (2006), mengatakan bahwa :
a) Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 – 500.
b) Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya pria-wanita; PNS-Swasta
dsb), maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.
c) Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate
(misalnya korelasi, regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal
42
10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misalnya Variabel penelitiannya
ada 5 (independen+dependen) maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50.
d) Untuk penelitian eksperimen yang sederhana yang menggunakan
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota
sampel masing-masing antara 10 -20.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jumlah sampel pada point (a)
dengan 5 kategori sampel yang meliputi Sejarahwan, Tokoh Masyarakat,
Dinas Tata Kota Baubau, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Baubau, serta Dinas Perhubungan Kota Baubau.
E. Teknik Pengumpulan Data.
Teknik Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Teknik Observasi
Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
peneliti melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Pengamatat
disebut observer yang diamati disebut observe.
Menurut Nawawi & Martini (1990) observasi adalah pengamatan dan
pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam
suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Menurut Patton
(dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang
yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perpektif
mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut.
43
Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan mengamati aktivitas
kegiatan yang terjadi pada Kawasan Pelabuhan Murhum berupa :
Aktivitas dan pola kegiatan yang terjadi dalam kawasan pelabuhan.
Aktivitas dan pola kegiatan yang terjadi di luar kawasan pelabuhan.
Penggunaan lahan yang terjadi akibat dari aktivitas tersebut baik yang
berada pada kawasan pelabuhan, maupun kawasan yang dipengaruhi
oleh keberadaan pelabuhan tersebut.
2. Teknik Wawancara/Interview
Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara
bertanya langsung kepada responden. Orang yang mewawancarai disebut
interviewer dan orang yang diwawancarai disebut interviewee .
Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data
dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya
adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka.Pada penelitian ini
wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam
proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini,
interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta
mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit.
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer
mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar
pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas
44
atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan
bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam
kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual
saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998).
3. Teknik Dokumentasi
Arikunto (2002) mengatakan bahwa teknik dokumentasi adalah
mencari data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Selanjutnya
Nawawi (2005) menyatakan bahwa studi dokumentasi adalah cara
pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip
dan termasuk juga buku mengenai pendapat, dalil yang berhubungan
dengan masalah penyelidikan.
Dalam penelitian ini, dokumentasi diperoleh dari instansi pemerintah,
swasta maupun dari pihak-pihak lain dalam bentuk laporan penelitian baik
berupa angka maupun catatan tertulis yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan.
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara diskriptif
kualitatif, analisis geografi, dan analisis spasial dengan menggunakan teknik-
teknik tertentu untuk menghasilkan ketajaman hasil penelitian, metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
45
1. Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama dalam
penelitian ini, yaitu mengetahui posisi Pelabuhan Murhum di Kota Baubau
dengan pelabuhan lainnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis ini
penting untuk dilakukan karena terkait dengan peran dan fungsi pelabuhan
murhum.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) mengemukakan bahwa metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Miles and Huberman (1994) dalam Basrowi dan Sukidin (2002)
metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat
dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam
kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode penelitian kualitatif juga merupakan metode penelitian yang
lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap
suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian
generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan teknik analisis
mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus
perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu
akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya.
Penelitian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang
bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan
pelaku kegiatan yang terjadi berkaitan dengan keberadaan Pelabuhan
46
Murhum Kota Baubau. Obyek yang diteliti dan diselidiki oleh penelitian
deskriptif kualitatif mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif, serta
dapat juga menjadi sebuah studi korelasional 1 unsur bersama unsur
lainnya. Biasanya kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data,
menganalisis data, meginterprestasi data, dan diakhiri dengan sebuah
kesimpulan yang mengacu pada penganalisisan data tersebut.
2. Analisis Geografi
Analisis geografi ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama
sekaligus mempertajam hasil analisis deskriptif terhadap fungsi dan
peranan pelabuhan Murhum dalam sistim jaringan transportasi laut di
Sulawesi Tenggara, interaksi dan konektivitas Pelabuhan Murhum dengan
pelabuhan lainnya di Sulawesi Tenggara.
Pola alur pelayaran sangat mempengaruhi distribusi barang, jasa dan
orang dan keterkaitan Kota Baubau dengan wilayah lainnya. Analisis ini
menggunakan metode analisa geografi dengan peralatan analisis
koneksitas dan sistim jaringan. Analisis ini menggunakan data Graf atau
jaringan dari hasil interprestasi peta arah orientasi geografis arus barang,
jasa dan orang di Pelabuhan Murhum Baubau. Informasi mengenai arah
orientasi arus barang dan jasa tersebut dimasukkan dalam suatu matriks
koneksitas, kemudian dihitung nilai dispersinya, semakin tinggi nilai
dispersinya semakin besar tingkat penetrasi perkembangan kota terhadap
daerah lainnya yang terkoneksi.
47
3. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan untuk menjawab tujuan kedua dalam
penelitian ini dan menggambarkan secara keruangan Kota Baubau sesuai
dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Analisis ini diakukan untuk
mengukur perubahan lahan yang diakibatkan oleh aktivitas yang terjadi di
Pelabuhan Murhum.
Analisis spasial merupakan sekumpulan metoda untuk menemukan
dan menggambarkan tingkatan/pola dari sebuah fenomena spasial,
sehingga dapat dimengerti dengan lebih baik. Dengan melakukan analisis
spasial, diharapkan muncul infomasi baru yang dapat digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan di bidang yang dikaji. Metoda yang
digunakan sangat bervariasi, mulai observasi visual sampai ke
pemanfaatan matematika/statistik terapan.
Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dapat memadukan antara data grafis (spasial) dan data teks (atribut) objek
yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Disamping itu
SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data, dan menganalisis
data yang akhirnya menghasilkan output yang dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan terhadap masalah yang berhubungan dengan
keruangan (As-syakur, 2009).
Selanjutnya menurut Bernhardsen (2002) SIG sebagai sistem
komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini
diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer
yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data,
48
penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan
pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta
analisa data
Pada saat sistem informasi geografis dimanfaatkan oleh operator, ada
sesuatu yang diharapkan darinya. Salah satu hal yang diperoleh dari sistem
informasi geografis adalah kemampuannya dalam menganalisis data
spasial. Model analisis data spasial ini sering disebut sebagai analisis
spasial. Namun kadang operator sistem informasi geografis tidak
memahami apakah dia sudah melaksanakan suatu analisis spasial ataukah
baru sekedar menjalankan suatu prosedur yang ada dalam sebuah
perangkat lunak sistem informasi geografis. Mungkin pula sebaliknya,
operator mungkin baru sekedar membuat data digitasi hingga layout peta,
namun merasa sudah melakukan analisis spasial dengan menggunakan
Sistem informasi geografis.
Sistem informasi geografis itu sendiri sering disamakan dengan
perangkat lunak sistem informasi geografis yang sebenarnya adalah
sekedar alat bantu. Tidak semua perangkat lunak menyediakan metode
analisis spasial seperti yang dimaksudkan dalam sistem informasi
geografis. Namun tidak bisa disalahkan jika pengguna sistem informasi
geografis merujuk pada berbagai kemampuan perangkat lunak seperti
ArcGis, Arc View dan lain-lainnya, untuk menjelaskan suatu pengertian
tentang analisis spasial. Hal ini dikarenakan perangkat lunak tersebut
dalam pembuatannya sengaja ditujukan salah satunya untuk analisis
spasial.
49
Sebagai sebuah metode, analisis spasial berusaha untuk membantu
perencana dalam menganalisis kondisi permasalahan berdasarkan data dari
wilayah yang menjadi sasaran. Dan konsep-konsep yang paling mendasari
sebuah analisis spasial adalah jarak, arah, dan hubungan. Kombinasi dari
ketiganya mengenai suatu wilayah akan bervariasi sehingga membentuk
perbedaan yang signifikan yang membedakan satu lokasi dengan yang
lainnya. Dengan demikian jarak, arah, dan hubungan antara lokasi suatu
objek dalam suatu wilayah dengan objek di wilayah yang lain akan
memiliki perbedaan yang jelas. Dan ketiga hal tersebut merupakan hal
yang selalu ada dalam sebuah analisis sapasial dengan tahapan-tahapan
tertentu tergantung dari sudut pandang perencana dalam memandang
sebuah permasalahan analisis spasial.
Berdasarkan Tujuannya, secara garis besar metoda dalam melakukan
Analisis Spasial dapat dibedakan menjadi 2 macam:
a. Analisis Spasial Exploratory, digunakan untuk mendeteksi adanya pola
khusus pada sebuah fenomena spasial serta untuk menyusun sebuah
hipotesa penelitian. Metoda ini sangat berguna ketika hal yang diteliti
merupakan sesuatu hal yang baru, dimana peneliti tidak/ belum
memiliki banyak pengetahuan tentang fenomena spasial yang sedang
diamati.
b. Analisis Spasial Confirmatory, Dilakukan untuk mengonfirmasi
hipotesa penelitian. Metoda ini sangat berguna ketika peneliti sudah
memiliki cukup banyak informasi tentang fenomena spasial yang
50
sedang diamati, sehingga hipotesa yang sudah ada dapat diuji
keabsahannya.
Salah satu analisis spasial yang terkenal di bidang SIG dan juga
pengolahan citra digital (penginderaan jauh) adalah klasifikasi, istilah yang
merujuk pada proses interprestasi citra-citra digital (dengan bantuan sistem
komputer) hasil penginderaan jauh. Analisis ini merupakan suatu proses
penyusunan, pengurutan atau pengelompokkan setiap piksel citra digital
multi-spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkan kriteria atau kategori
objek hingga dapat menghasilkan sebuah peta tematik dalam bentuk raster.
GIS juga menyediakan sarana yang fleksibel untuk "menciptakan data
baru," yaitu, untuk mengubah data antara spasial yang berbeda skala
observasi, dan untuk melaksanakan agregasi, partisi, interpolasi, overlay
dan operasi buffering. Tentu saja, seperti "data" tidak lain adalah hasil dari
perhitungan, sendiri berdasarkan algoritma tertentu yang sering
menggunakan estimasi parameter dan model kalibrasi diperoleh dengan
cara statistik. Kemampuan menampilkan kuat yang terkandung dalam GIS
juga menyediakan alat yang sangat baik untuk visualisasi hasil analisis
statistik.
Untuk lebih jelas, tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada
gambar berikut :
52
G. Konsep Operasional
1. Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari
sebuah kedaulatan.
2. Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan
penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak
kehidupan yang materialistik.
3. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau
untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun
penumpang ke dalamnya.
4. Peranan pelabuhan secara eksternal yaitu peranan pelabuhan terhadap
pengembangan wilayah adalah tingkat keterkaitan antara Kota Baubau
dengan wilayah lebih luas berdasarkan arah orientasi geografis arus
barang dan jasa “dari” dan “ke” pelabuhan murhum Baubau.
5. Peranan pelabuhan secara internal terhadap pengembangan wilayah
adalah peranannya dalam pengembangan fisik ruang kota Baubau yang
diukur dari tingkat perkembangan arus barang dengan tingkat
perkembangan ruang terbangun di Kota Baubau.
6. Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi fokus di dalam
suatu penelitian.
7. Data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan
masih memerlukan adanya suatu pengolahan.
8. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk
angka.
9. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.
53
10. Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber
data.
11. Kemampuan Eksternal adalah potensi yang dimiliki pelabuhan Murhum
Baubau secara fisik geografi sebagai pusat orientasi daerah hinterland
yang diukur dari indeks grafitasi kota Baubau terhadap daerah
hinterlandnya berdasarkan pertimbangan jarak dan jumlah penduduk.
serta tingkat keterkaitan aktivitas kota Baubau dengan daerah
hinterlannya yang diukur dari matiks arus orientasi barang.
12. Kemampun Internal adalah potensi yang dimiliki kota Baubau secara
fisik geografi sebagai pusat pelayanan bagi penduduk di kota Baubau,
yang diukur dari luas lahan untuk menampung kegiatan kota serta
fasilitas pelayanan yang melayani penduduk kota.
13. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan
yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk
Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan
antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
14. Hinterland adalah daerah belakang suatu pelabuhan, dimana luasnya
relatif dan tidak mengenal batas administratif suatu daerah, provinsi atau
batas suatu negara tergantung kepada ada atau tidaknya pelabuhan yang
berdekatan dengan daerah tersebut.
15. Analisa Spasial adalah sekumpulan metoda untuk menemukan dan
menggambarkan tingkatan/ pola dari sebuah fenomena spasial, sehingga
dapat dimengerti dengan lebih baik.
55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kota Baubau terbentuk secara otonom dan mandiri berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2001, secara geografis Kota Baubau terletak di
jazirah Sulawesi Tenggara bagian selatan Pulau Buton pada koordinat antara
50
21’ – 50
30’ Lintang Selatan dan di antara 1220 30’ – 122
0 45’ Bujur Timur,
dengan batas wilayah meliputi :
Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Kapontori
Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Batauga
Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo
Barat : Berbatasan dengan Selat Buton.
Luas wilayah daratannya sekitar 221,00 km2 yang tersebar pada 8
kecamatan dan 43 kelurahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di
bawah :
Tabel 5.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Baubau menurut
Kecamatan, Tahun 2012.
No. Kecamatan Jumlah
Kelurahan
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km2)
1. Betoambari 5 27,89 16.947 608
2. Murhum 5 4,90 20.046 4.091
3. Batupoaro 6 1,55 26.945 17.384
4. Wolio 7 17,33 39.523 2.281
5. Kokalukuna 6 9,44 17.418 1.845
6. Sorawolio 4 83,25 7.412 89
7. Bungi 5 47,71 7.385 155
8. Lea-Lea 5 28,93 6.900 239
KOTA BAUBAU 43 221,00 142.576 645
Sumber: BPS Kota Baubau, 2012.
56
Wilayah terluas di Kota Baubau berdasarkan tabel 5.1 terdapat di
Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah 83,25 km2 atau 37,67 % dari total
luas wilayah Kota Baubau, sedangkan wilayah terkecil adalah Kecamatan
Batupoaro dengan luas wilayah 1,55 km2 atau hanya 0,70 % dari luas
wilayah Kota Baubau.
Tabel 5.1. memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk tertinggi berada
pada wilayah Kecamatan Batupoaro dimana tingkat kepadatan penduduk
sebesar 17.384 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk terkecil adalah Kecamatan Sorawolio sebesar 89
jiwa/km2.
Berdasarkan tingkat kelandaiannya wilayah Kota Baubau dapat
diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu meliputi wilayah dengan
kemiringan 0 - 8% seluas 2.957,82 Ha atau mencakup 13,38%, kemiringan 8
– 15 % sebesar 8.807,38 Ha (39,85 %), wilayah dengan kemiringan 5 - 25%
sebesar 6.691,39 Ha (30,28 %), kemiringan lahan 25 – 40 % seluas 2.944,51
Ha (13,32 %) dan wilayah dengan kemiringan lahan >40 % sebesar 698,90
Ha (3,16 %), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.3.
Ditinjau dari kondisi penduduk menurut jenis kegiatannya,
perkembangan penduduk Kota Baubau yang berumur 15 tahun ke atas
menurut jenis kelamin dan kegiatannya tahun 2010 – 2012, digambarkan pada
tabel berikut :
57
Tabel 5.2. Penduduk berumur 15 Tahun ke Atas menurut Jenis Kegiatan di
Kota Baubau, Tahun 2010 – 2012.
No. Jenis Kegiatan Tahun
2010 2011 2012
1. Angkatan Kerja 62.115 59.091 57.284
a. Bekerja 56.451 55.777 51.438
b. Mencari Pekerjaan 5.664 3.314 5.846
2. Bukan Angkatan Kerja 29.613 31.404 34.910
a. Sekolah 12.621 5.107 15.292
b. Mengurus Rumah Tangga 15.020 21.513 17.353
c. Lainnya 1.972 4.784 2.265
3. Penduduk 15 Tahun ke Atas 91.728 90.495 92.194
4. % Pekerja Terhadap Angkatan Kerja 90,88 94,39 89,79
5.
% Angkatan Kerja terhadap Penduduk
15 Tahun ke Atas 67,72 65,30 62,13 Sumber : BPS Kota Baubau, 2012.
Tabel di atas menggambarkan bahwa penduduk yang berumur 15 tahun
ke atas di Kota Baubau pada tahun 2012 naik menjadi 92.194 dari 91.728
jiwa pada tahun 2010. Sedangkan persentase terhadap angkatan kerja tahun
2012 mengalami penurunan menjadi 89,79 % dari 90,88 % pada tahun 2010.
Hal ini menggambarkan bahwa jumlah angkatan kerja yang terserap pada
tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2010.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau Tahun
2012, struktur penduduk Kota Baubau berdasarkan kelompok usia kerja
didominasi oleh penduduk yang termasuk dalam usia produktif (15 – 64
tahun) yaitu sebesar 63,34 %, kemudian usia belum produktif (0 – 14 tahun)
sebesar 33,06 %, dan usia kurang produktif (+ 75) yaitu sebesar 3,61 %,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
58
Gambar 5.1. Persentase Penduduk Kota Baubau Berdasarkan Kelompok Usia
(Sumber: BPS Kota Baubau, Diolah)
Ditinjau dari lapangan kerja utama penduduk Kota Bau-Bau, dari
sembilan sektor lapangan usaha, ternyata sektor perdagangan dan jasa
mempunyai andil terbesar dalam menampung tenaga kerja di kota Bau-Bau.
Dari jumlah 51.438 orang dengan status bekerja pada tahun 2012, sebanyak
15.178 orang atau sekitar 29,51 persen bekerja disektor perdagangan,
selanjutnya sektor jasa sebanyak 14.471 orang atau sebesar 28,13 persen. Hal
ini disebabkan karena di Kota Bau-Bau sudah terdapat beberapa infrastruktur
pendukung sektor perdagangan dan jasa seperti keberadaan pelabuhan laut
yang berskala nasional dan bandar udara sehingga memungkinkan lancarnya
distribusi barang dan jasa dari luar, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya
beberapa sektor lainnya.
Belum Produktif33,06 %
Produktif63,34 %
Kurang Produktif
3,61 %
59
Tabel 5.3. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan
Pekerjaan Utama di Kota Baubau, Tahun 2010 – 2012.
Lapangan Usaha Tahun
(%) 2010 2011 2012
Pertanian 10.398 8.984 9.100 17,69
Pertambangan & Penggalian 186 242 490 0,95
Industri Pengolahan 3.671 3.222 2.512 4,88
Listrik, Gas, & Air Bersih 206 147 395 0,77
Konstruksi/Bangunan 4.008 5.219 4.878 9,48
Perdagangan, Hotel, & Restoran 15.320 17.326 15.178 29,51
Transportasi & Komunikasi 5.256 4.873 4.070 7,91
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 957 1.080 344 0,67
Jasa Lainnya 16.467 14.684 14.471 28,13
Kota Baubau 56.469 55.777 51.438 100,00
Sumber: BPS Kota Baubau, 2012.
Data di atas memperlihatkan bawah sektor perdagangan merupakan
sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 15.178 orang atau
sebesar 29,51 % dari total pekerja di Kota Baubau, sedangkan sektor
keuangan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terkecil yaitu
sebesar 344 orang atau hanya 0,67 % dari jumlah pekerja di Kota Baubau.
62
B. Sejarah Perkembangan Kota Baubau
Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang
berdiri pada awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam
Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya
Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni
sebagai Negeri (Desa) yang diperintah oleh seorang Raja bergelar Yang
Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton menjadi sebuah kerajaan pertama
kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka
berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke- 13.
Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua fase penting yaitu
masa pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke–
16 dengan diperintah oleh 6 orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan
yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa
sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang
istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan
Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948
Hijriah (1542 Masehi) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan
Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai
pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang
berakhir tahun 1960.
Berdasarkan historiografi lokal Buton, kawasan Bau-Bau berkembang
sejak paruh awal abad ke-19. Perkembangan terjadi pasca kebakaran hebat
dalam Benteng Keraton Wolio dimasa pemerintahan Sultan Buton ke-29 La
63
Ode Muh. Aydrus Qaimuddin. Pasca peristiwa tersebut, sebagian keluarga
keraton mengungsi keluar benteng, ada yang menetap di kawasan Baadia,
Bariya, Tarafu, dan sebagian lainnya mendiami kawasan yang terletak di
antara Nganganaumala-Kotamara dan Bonesaala.
Kawasan inilah yang kemudian dinamai Bau-Bau; sebuah kawasan
hunian/kota ”baru” (”bhau” menurut bahasa Wolionya). Kata bhau dalam
pengertian ini juga menunjuk pada fenomena keseharian yang senantiasa
berubah atau baru; bhau – sabhaa-bhaau kadhagia sebagai refleksi dinamika
sosial kemasyarakatan yang terus berkembang dalam kawasan tersebut.
Dalam perkembangannya, kawasan Bau-Bau pun menempati posisi
laksana serambi pusat Kota ”lama” Wolio (kawasan Benteng Keraton).
Keberadaan Pelabuhan Murhum memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam perkembangan kota kedepan, karena letaknya yang strategis dalam
jaringan perniagaan laut, kawasan kota baru (bhau-bhau) pun tumbuh pesat
dan menjadi salah satu diantara deretan kota pantai yang turut memainkan
peran dalam jaringan perniagaan laut nusantara.
Seiring dinamika tersebut, di masa pemerintahan Sultan Muh. Aydrus
dibentuk pula jabatan baru dalam hirarki pemerintahan Kesultanan yakni
Lakina Bhau-Bhau untuk mengepalai kawasan ”kota baru” (bhau-bhau)
tersebut. Sebagai Lakina Bhau-Bhau I adalah La Ode Rere (putra Sultan Muh.
Aydrus) yang memerintah sejak awal abad ke-19.
Dalam usianya yang hampir dua abad ini, Kota Bau-Bau telah memberi
andil besar bagi dinamika dan kontinuitas sejarah Buton dan Sulawesi
Tenggara sebagaimana terefleksi dari kedudukannya sebagai: (a) pusat
64
pemerintahan Kerajaan Buton (abad 14 - 16), (b) pusat pemerintahan
Kesultanan Buton (abad 16–20), (c) pusat pemerintahan Afdeling Boetoen en
Laiwoei (sejak 1927), (d) pusat pemerintahan Onder Afdeling Boetoen, (e)
Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara (1950an -1964), dan (f) Ibukota
Kabupaten Buton (1964-2001), Kota Administratif Baubau (1981 – 2001),
serta Daerah Otonom Kota Baubau (2001 – sekarang).
Cikal bakal Kota Baubau berawal dari ditunjuknya Kecamatan Wolio
sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Buton, Pembentukan Kota
Administratif Baubau melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 1981 merupakan babak baru dalam perkembangan Kota
Baubau. Wilayah Kota Administratif Baubau sebagaimana yang diamanatkan
dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 2 kecamatan (Kecamatan
Wolio dan Kecamatan Betoambari) dan 23 kelurahan.
Seiring dengan perkembangan wilayah kota yang semakin pesat, maka
pada tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001
dibentuklah Daerah Otonom Kota Baubau yang mencakup 4 kecamatan
antara lain Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Surawolio,
dan Kecamatan Bungi. Pembentukan daerah otonom ini memberikan ruang
yang lebih luas terhadap perkembangan Kota Baubau. semenjak tahun 2006
Kota Baubau mekar menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7 (tujuh)
kecamatan di akhir tahun 2008, saat ini Kota Baubau terdiri dari 8 Kecamatan
setelah terbentuknya Kecamatan Batupoaro sebagai pemekaran dari
Kecamatan Murhum. Gambaran perkembangan wilayah Kota Baubau dapat
dilihat pada gambar berikut :
66
C. Kebijakan Penataan Ruang Kota Baubau
1. Struktur Ruang Kota Baubau
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau tahun
2011 – 2031, ditetapkan bahwa Tujuan penataan ruang Kota Baubau
adalah mewujudkan Kota Baubau sebagai kota perdagangan dan jasa yang
nyaman, sejahtera, berbudaya dan berkelanjutan sebagai kota pesisir yang
berwawasan lingkungan. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut,
maka diperlukan kebijakankebijakan penataan ruang yang meliputi :
a. perwujudan pusat kegiatan yang memperkuat kegiatan perdagangan,
pariwisata dan kegiatan kota lainnya secara optimal;
b. pemeliharaan dan pelestarian fungsi kawasan lindung;
c. pengembangan kawasan wisata dan pemeliharaan kawasan bersejarah;
d. pengembangan kawasan permukiman;
e. pengembangan sistem transportasi dalam rangka mendukung sistem
pelayanan kegiatan kota;
f. pengembangan sistem prasarana perkotaan lainnya;
g. pengembangan sektor kelautan; dan
h. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
Tata ruang wilayah Kota Baubau merupakan wujud struktural dan
pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud
struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona
lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara
hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk
tata ruang.
67
Dalam struktur ruang wilayah Kota Baubau ditetapkan bawah sistim
pusat pelayanan Kota Baubau terdiri dari : (1) Pusat Pelayanan Kota; (2)
sub pusat pelayanan kota; dan (3) pusat lingkungan.
a. Pusat Pelayanan Kota
Pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,
dan/atau administrasi yang melayani seluruh wilayah kota dan/atau
regional. Pusat Pelayanan Kota Baubau terdiri dari Kelurahan Wale di
Kecamatan Wolio yang berfungsi sebagai pusat pelayanan kegiatan
perdagangan dan jasa serta perhubungan laut. Kegiatan perdagangan
dan jasa pada pusat kawasan tersebut meliputi :
kawasan perbelanjaan modern;
hotel dan penginapan;
perkantoran swasta; dan
jasa akomodasi pariwisata lainnya.
Sedangkan pusat kegiatan perhubungan laut meliputi:
pelabuhan laut;
pelabuhan angkutan sungai dan penyeberangan;
pelabuhan lokal; dan
pelabuhan perikanan.
b. Sub Pusat Pelayanan Kota
Sub pusat pelayanan kota adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial,
dan/atau administrasi yang melayani sub wilayah kota. Sub pusat
pelayanan kota meliputi:
68
Sub pusat pelayanan di Kelurahan Wameo Kecamatan Murhum
yang memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan pemerintahan,
perdagangan dan jasa;
Sub pusat pelayanan di Kelurahan Katobengke Kecamatan
Betoambari memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan
pemerintahan tingkat Kota Baubau pendidikan tinggi, bandar
udara, pariwisata, depot BBM dan perumahan;
Sub pusat pelayanan Kota di Kelurahan Waruruma Kecamatan
Kokalukuna memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan
pemerintahan, industry pariwisata, perikanan, industri pengolahan,
perdagangan, pergudangan dan pemukiman;
Sub pusat pelayanan Kota di Kelurahan Liabuku Kecamatan Bungi
memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan pemerintahan,
perumahan, pertanian tanaman pangan, dan kehutanan;
Sub pusat pelayanan di Kelurahan Kaisabu Baru Kecamatan
Sorawolio memiliki fungsi sebagai sub pusat pelayanan
pemerintahan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan
pertambangan; dan
Sub pusat pelayanan Kota Baubau berada di Kelurahan Lowu-
Lowu Kecamatan Lea-Lea dan Kelurahan Kolese memiliki fungsi
sebagai sub pusat pelayanan perumahan, perikanan, fasilitas olah
raga dan prasarana energi/ kelistrikan.
69
c. Pusat Lingkungan
Pusat lingkungan adalah pusat pelayanan ekonomi, sosial
dan/atau administrasi lingkungan kota, pusat lingkungan mempunyai
peran sebagai pusat pelayanan skala lingkungan yang terdiri dari :
Pusat lingkungan Kelurahan Bataraguru sebagai pusat pelayanan
perdagangan dan jasa;
Pusat lingkungan Kelurahan Nganganaumala sebagai pusat
lingkungan perdagangan dan jasa;
Pusat lingkungan Kelurahan Lipu sebagai pusat pelayanan
pemerintahan, pendidikan dan permukiman;
Pusat lingkungan Kelurahan Liwuto sebagai pusat pelayanan
pemerintahan dan pariwisata;
Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Waliabuku
sebagai pusat pelayanan pemerintahan, pertanian;
Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Karya Baru
sebagai pusat pelayanan pertanian dan perdagangan dan jasa; dan
Pusat lingkungan Kota Baubau berada di Kelurahan Kalialia
sebagai pusat pelayanan perdagangan dan jasa.
71
2. Pola Ruang Wilayah Kota Baubau
Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang Kota Baubau ditetapkan
dengan tujuan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara
berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menjaga
keserasian lingkungan alam dan lingkungan buatan. Rencana pola ruang
terdiri atas:
a. Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam dan sumberdaya buatan yang terdiri dari ::
Hutan Lindung
Hutan lindung di Kota Baubau seluas 4.554 ha tersebar di
Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari,
Kecamatan Bungi dan kecamatan Lea-lea.
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahnya terdiri dari kawasan resapan air yang tersebar di kawasan
sekitar hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Kecamatan
Sorawolio, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Murhum,
Kecamatan Bungi, dan Kecamatan Lea-lea, serta kawasan pantai
berhutan bakau yang berada di Kelurahan Lowu-lowu, Kelurahan
72
Palabusa, Kecamatan Lea-lea, dan di Kelurahan Lakologou,
Kelurahan Kampeonaho, dan Kelurahan Liabuku, Kecamatan Bungi.
Kawasan perlindungan setempat;
Kawasan perlindungan setempat di Kota Baubau meliputi :
(a) Sempadan sungai tidak bertanggul adalah kawasan kiri-kanan
sungai yang lebarnya paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari
tepi sungai, dan sungai bertanggul adalah kawasan di kiri -
kanan sungai yang lebarnya paling sedikit 25 meter dari kaki
tanggul terluar untuk Sungai Baubau dan paling sedikit 15 meter
untuk sungai-sungai lainnya.
(b) Kawasan sekitar mata air yang berada di perbatasan Kecamatan
Betoambari dan Kecamatan Murhum, Kecamatan Kokalukuna,
perbatasan Kecamatan Bungi dan Kecamatan Kokalukuna, dan
di sebelah selatan hutan lindung di Kecamatan Lea-lea.
(c) Sempadan pantai yang berada di sepanjang pantai bagian utara
sampai barat kurang lebih 100 meter sesuai dengan bentuk dan
kondisi fisik pantai meliputi pantai di Kecamatan Betoambari,
Kecamatan Murhum, Kecamatan Wolio, Kecamatan
Kokalukuna, dan Kecamatan Lea-lea.
(d) Kawasan sekitar waduk ditetapkan kurang lebih 50 (lima puluh)
meter untuk kawasan sekitar waduk Wonco berada di Kelurahan
Kampeonaho, Kecamatan Bungi.
Kawasan cagar budaya
Kawasan cagar budaya meliputi :
73
(a) Benteng Keraton Wolio Buton di Kelurahan Melai;
(b) Benteng Sorawolio di Kelurahan Bukit Wolio Indah;
(c) Benteng Baadia di Kelurahan Baadia;
(d) Benteng Lowu-lowu di Kelurahan Lowu-lowu;
(e) Benteng Tobe-tobe di Kelurahan Labalawa;
(f) Benteng Kaisabu di Kelurahan Kaisabu Baru;
(g) Benteng Kalampa di Kelurahan Lipu;
(h) Rumah Adat Khas Buton yang tersebar di Kota Baubau; dan
(i) Bangunan-bangunan lain yang mempunyai nilai sejarah
Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota; dan
Kawasan ruang terbuka hijau meliputi :
(a) Hutan Kota seluas kurang lebih 9.876 Ha yang tersebar di
seluruh Kecamatan.
(b) Jalur Hijau yang direncanakan seluas kurang lebih 99 Ha yang
tersebar di semua Kecamatan.
(c) RTH Bumi perkemahan terdapat di Kelurahan Kaisabu Baru,
Kecamatan Sorawolio seluas kurang lebih 10 Ha.
(d) RTH taman kota seluas kurang lebih 1.192 Ha yang tersebar di
semua Kecamatan.
(e) RTH taman lingkungan seluas kurang lebih 39 Ha di seluruh
kecamatan.
(f) RTH zona penyangga hijau kota di kembangkan seluas kurang
lebih 95 Ha berada di Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari,
Kelurahan Kalialia,
74
(g) Kelurahan Lowu-lowu dan Kelurahan Kolese, Kecamatan Lea-
lea; dan
(h) Ruang Terbuka Hijau lainnya, mencakup tepi kawasan bandar
udara sebagai tutupan hijau dikembangkan seluas kurang lebih
25 Ha terdapat di Kelurahan Katobengke, Kecamatan
Betoambari, Kelurahan Wajo, Kelurahan Lamangga, Kelurahan
Wameo, Kelurahan Melai, dan Kelurahan Baadia, Kecamatan
Murhum, Kelurahan Sukanayo dan Kelurahan Liwuto,
Kecamatan Kokalukuna, Kelurahan Liabuku, Kelurahan Bungi,
Kelurahan Lowu-lowu, Kecamatan Lea-lea.
Kawasan rawan bencana alam
Kawasan rawan bencana di Kota Baubau meliputi : gerakan tanah
berada di Kecamatan Sorawolio, kawasan rawan bencana kebakaran
berada di Kelurahan Wale, Kelurahan Tomba, dan Kelurahan
Bataraguru, Kecamatan Wolio serta kawasan bencara banjir yang
tersebar di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kota
Baubau.
b. Kawasan Budidaya
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Hutan produksi terbatas
Hutan produksi terbatas Kota Baubau seluas 5.005 ha tersebar di
Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Bungi.
75
Hutan Produksi
Hutan produksi Kota Baubau pada tahun 2011 seluas 1.901 ha
tersebar di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan
Lea-Lea, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Wolio, Kecamatan
Muhum dan Kecamatan Betoambari.
Kawasan Perumahan/Permukiman
Kawasan perumahan/permukiman di Kota Baubau terdiri dari :
(a) Kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi berada di
Kelurahan Bataraguru, Kelurahan Tomba, dan Kelurahan Wale,
Kelurahan Batulo, Kelurahan Wangkanapi, Kelurahan Kadolo,
Kelurahan Kadolomoko, Kecamatan Wolio, Kelurahan Wameo,
Kelurahan Kaobula, Kelurahan Bone-Bone, dan Kelurahan
Nganganaumala di Kecamatan Murhum.
(b) Kawasan perumahan dengan kapadatan sedang berada di
Kelurahan Bukit Wolio Indah dan Kelurahan Kadolokatapi di
Kecamatan Wolio, Kelurahan Baadia, Kelurahan Melai,
Kelurahan Lamangga, Kelurahan Wajo, Kelurahan
Tanganapada, Kelurahan Tarafu, dan Kelurahan Lanto,
Kecamatan Murhum, Kelurahan Waborobo, Kelurahan
Katobengke, Kelurahan Lipu, Kelurahan Sulaa, dan Kelurahan
Labalawa di Kecamatan Betoambari, Kelurahan Waruruma,
Kelurahan Liwuto, Kelurahan Lakologou, dan Kelurahan
Sukanayo, Kecamatan Kokalukuna.
76
(c) Kawasan perumahan dengan kepadatan rendah berada di
Kelurahan Palabusa, Kelurahan Kantalai, Kelurahan Kalialia,
Kelurahan Kolese, dan Kelurahan Lowulowu Kecamatan Lea-
lea, Kelurahan Tampuna, Kelurahan Kampeonaho, Kelurahan
Waliabuku, Kelurahan Liabuku, dan Kelurahan Ngakringkari di
Kecamatan Bungi Kelurahan Kaisabu Baru, Kelurahan Karya
Baru, Kelurahan Gonda Baru, dan Kelurahan Bugi di
Kecamatan Sorawolio.
Kawasan Perumtukan Lainnya
Kawasan peruntukan lainnya di Kota Baubau meliputi :
(a) Kawasan pertanian
Kawasan pertanian terdiri dari :
kawasan budidaya tanaman pangan meliputi pertanian
tanaman pangan berada di Kelurahan Ngkaringkari dan
Kelurahan Liabuku Kecamatan Bungi, Kelurahan Liabuku,
Kecamatan Lea-lea, Kelurahan Kaisabu Baru, Kecamatan
Sorawolio;
kawasan pertanian holtikultura berada di Kelurahan
Ngkaringkari Kecamatan Bungi dan Kelurahan Kaisabu
Baru, Kecamatan Sorawolio;
kawasan perkebunan berada di Kelurahan Kalialia dan
Kelurahan Palabusa, Kecamatan Lea-lea, Kelurahan
Kampeonaho, Kelurahan Tampuna, Kelurahan Ngkaringkari,
Kelurahan Liabuku, dan Kelurahan Waliabuku, Kecamatan
77
Bungi, Kelurahan kaisabu Baru, Kelurahan Karya Baru,
Kelurahan Gonda Baru, dan Kelurahan Bugi, Kecamatan
Sorawolio, Kelurahan Labalawa dan Kelurahan Baadia,
Kecamatan Murhum;
kawasan peternakan berada di Kelurahan Kaisabu Baru,
Kecamatan Sorawolio dan Liabuku, Kecamatan Bungi,
diarahkan untuk pengembangan komoditas ternak unggulan.
(b) Kawasan pertambangan
Kawasan pertambangan di Kota Baubau meliputi kawasan yang
mempunyai potensi pertambangan meliputi :
Wilayah pencadangan negara (WPN) mineral dan logam.
Wilayah usaha pertambangan (WUP) mineral bukan logam.
Wilayah pertambangan rakyat (WPR).
79
D. Kondisi Pelabuhan Murhum
Pelabuhan Murhum di Kota Baubau terletak di Kelurahan Wale
Kecamatan Wolio pada koordinat 122°36'38,56" Bujur Timur dan
5°27'15,486" Lintang Selatan, dan berada pada Selat Buton yang memisahkan
Pulau Buton dan Pulau Muna. Pelabuhan Murhum merupakan pelabuhan
nasional yang berada di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kantor
Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I.
Letak Pelabuhan Murhum berada di Kelurahan Wale Kecamatan Wolio
yang merupakan Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang berfungsi sebagai pusat
perdagangan dan jasa, dan perhubungan laut. Luas Kawasan Pelabuhan
Murhum pada saat ini berdasarkan hasil analisa Citra Satelit dengan
menggunakan Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah seluas 12,69 Ha.
Pengembangan Pelabuhan Murhum telah dilakukan sejak tahun 1987
dengan mengembangkan dermaga/trestel dari konstruksi kayu menjadi beton
pancang sepanjang 180 m, hal ini dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan
volume kapal yang sandar. Selanjutnya pengembangan Trestel/dermaga
dilakukan pada tahun 1990/1991 dengan menambah panjang dermaga sebagai
tempat bongkar muat kapal dalam skala yang lebih besar, pada saat ini, kaal
yang bisa sandar pada dermaga tersebut adalah 1 buah. Kemudian pada tahun
2011/2012 dilakukan perluasan dermaga sandar menjadi 2 kapal, seiring
dengan semakin meningkatnya arus kunjungan kapal, baik kapal penumpang,
maupun kapal petikemas (lihat lampiran 1).
Luas lahan Kawasan Pelabuhan Murhum saat ini adalah sebesar 12,69 Ha
yang terdiri dari tambat labuh kapal seluas 6,43 atau mencakup 50,67 % dari
80
total luas lahan pelabuhan hasil analisa GIS, kolam pelabuhan seluas 2,02 Ha
(15,90 %), Lapangan penumpukan petikemas seluas 1,99 Ha (15,67 %),
Dermaga seluas 0,91 Ha (7,15 %), Bangunan (kantor, ruang tunggu, gudang)
sebesar 0,50 Ha (3,95 %), Jalan seluas 0,36 Ha (2,84 %), Lapangan Parkir
seluas 0,28 Ha (2,23 %), Lahan Kosong seluas 0,12 Ha (0,92 %) dan taman
seluas 0,09 Ha (0,71 %), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.4. Penggunaan Lahan Kawasan Pelabuhan Murhum, 2012.
No. Lahan Pelabuhan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Bangunan 0,50 3,95
2 Kolam Pelabuhan 2,02 15,90
3 Lapangan Parkir 0,28 2,23
4 Lapangan Penumpukan 1,99 15,67
5 Taman 0,09 0,71
6 Dermaga 0,91 7,15
7 Jalan 0,36 2,84
8 Lahan Kosong 0,12 0,92
9 Tambat Labuh Kapal 6,43 50,67
Total 12,69 100,04
Untuk lebih jelasnya, kondisi fasilitas Pelabuhan Murhum dapat dilihat
pada lamapiran 1 dan gambar 5.7.
82
E. Tinjauan Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan Kepelabuhanan
1. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan Kepelabuhanan Nasional
Tinjauan tatanan kepelabuhanan nasional dilakukan untuk melihat
posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan kepelabuhanan nasional yang
terkait dengan peran dan fungsi Pelabuhan Murhum dalam mata rantai
transportasi laut nasional.
Tatanan Kepelabuhanan Nasional merupakan dasar dalam
perencanaan pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan
pengoperasian pelabuhan di seluruh Indonesia, baik pelabuhan laut,
pelabuhan penyeberangan, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan
daratan dan pelabuhah khusus yang bertujuan:
a) terjalinnya suatu jaringan infrastruktur pelabuhan secara terpadu,
selaras dan harmonis agar bersaing dan tidak sating mengganggu yang
bersifat dinamis;
b) terjadinya efisiensi transportasi taut secara nasional;
c) terwujudnya penyediaan jasa kepelabuhanan sesuai dengan tingkat
kebutuhan;
d) terwujudnya penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan
berkemampuan
Penetapan Tatanan Kepelabuhanan Nasional dilakukan dengan
memperhatikan:
a) tata ruang wilayah;
b) sistem transportasi nasional;
c) pertumbuhan ekonomi;
83
d) pola/jalur pelayanan angkutan taut nasional dan internasional;
e) kelestarian lingkungan;
f) keselamatan pelayaran; dan
g) standarisast nasional, kriteria dan norma.
Kepmen Nomor KM 53 Tahun 2002 juga telah menggariskan hirarki
peran dan fungsi pelabuhan laut terdiri dari:
a. Pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer,
ditetapkan dengan kriteria :
berperan sebagai pelabuhan internasional hub yang melayani angkutan
alih muat (transhipment) peti kemas nasional dan internasional dengan
skala pelayanan transportasi laut dunia;
berperan sebagai pelabuhan induk yang melayani angkutan peti kemas
nasional dan internasional sebesar 2.500.000 TEU's/tahun atau
angkutan lain yang setara;
berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti kemas nasional dan
internasional dengan pelayanan berkisar dan 3.000.000 - 3.500.000
TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara;
berada dekat dengan jalur pelayaran internasional ± 500 mil;
kedalaman minimal pelabuhan : -12 m LWS;
memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 350 m', 4 crane dan
lapangan penumpukan peti kemas seluas 15 Ha;
jarak dengan pelabuhan internasional hub lainnya 500 - 1.000 mil.
b. Pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder;
84
berperan sebagai pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan
angkutan peti kemas internasional;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan angkutan peti
kemas;
melayani angkutan peti kemas sebesan 1.500.000 TEU's/tahun atau
angkutan lain yang setara;
berada dekat dengan jalur pelayaran internasional + 500 mil dan jalur
pelayaran nasional ± 50 mil;
kedalaman minimal pelabuhan - 9 m LWS;
memiliki dermaga peti kemas minimal panjang 250 m', 2 crane dan
lapangan penumpukan kontener seluas 10 Ha;
jarak dengan pelabuhan internasional lainnya 200 - 500 mil.
c. Pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier;
berperan sebagai pengumpan angkutan peti kemas nasional;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang umum
nasional;
berperan melayani angkutan peti kemas nasional di seluruh Indonesia;
berada dekat dengan jalur pelayaran nasional + 50 mil.
kedalaman minimal pelabuhan –9 m LWS;
memiliki dermaga multipurpose minimal panjang 150 m', mobile crane
atau skipgear kapasitas 50 ton;
jarak dengan pelabuhan nasional lainnya 50 - 100 mil.
d. Pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer;
85
berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan
internasional dan pelabuhan nasional;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke
pelabuhan utarna dan pelabuhan pengumpan;
berperan melayani angkutan taut antar Kabupaten/Kota dalam propinsi;
berada dekat dengan jalur pelayaran antar pulau ± 25 mil;
kedalaman minimal pelabuhan -4 m LWS;
memiliki dermaga minimal panjang 70 m; dan
jarak dengan pelabuhan regional lainnya 20 - 50 mil.
e. Pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder.
berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan
internasional, pelabuhan nasional dan pelabuhan regional;
berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil,
terisolasi, perbatasan, daerah berbatasan yang hanya didukung oleh
mode transportasi laut;
berperan sebagai tempat pelayanan moda transportasi laut untuk
mendukung kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai tempat
multifungsi selain sebagai terminal untuk penumpang juga untuk
melayani bongkar muat kebutuhan hidup masyarakat disekitamya;
berada pada lokasi yang tidak dilalui jalur transportasi laut reguler
kecuali keperintisan;
kedalaman minimal pelabuhan -1,5 m LWS;
memiliki fasilitas tambat;
jarak dengan pelabuhan lokal lainnya 5 - 20 mil.
86
Gambaran hubungan hierarki antar pelabuhan menurut peran dan
fungsinya dalam tatanan kepelabuhanan nasional dijelaskan sebagai berikut :
Gambar 5.8. Skema Hubungan Antar Pelabuhan Laut Berdasarkan
Hierarki, Peran dan Fungsinya
(Sumber: Keputusan Menhub Nomor KM 53 Tahun 2002)
Posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan kepelabuhanan nasional
berdasarkan hierarki, peran dan fungsinya merupakan pelabuhan nasional,
yang mempunyai peran dan fungsi sebagai pelabuhan utama tersier yang
terhubung dengan pelabuhan-pelabuhan besar lainnya, seperti Pelabuhan
Makassar yang menjadi pelabuhan penghubung dengan kawasan barat
Indonesia, serta menjadi pelabuhan penghubung dengan kawasan Timur
lainnya seperti Pelabuhan Bitung, Pelabuhan Ambon dan Sorong yang
melayani kegiatan dan alih muat angkutan laut nasional dan internasional
dalam jumlah menengah, serta merupakan simpul dalam jaringan transportasi
tingkat provinsi.
87
Tabel 5.5. Kondisi Pelabuhan Murhum Berdasarkan Kriteria Kepmen
Nomor KM 53 Tahun 2002
Peran
Sebagai pengumpan angkutan peti kemas
nasional.
Sebagai tempat alih muat penumpang dan barang
umum nasional.
Skala Pelayanan Melayani angkutan petikemas nasional di
seluruh Indonesia.
Lokasi Pelabuhan
Berada dekat dengan Jalur Pelayaran Nasional
Primer (kurang dari 50 mil dari Laut Flores).
Berada pada Jalur Pelayaran Nasional Sekunder
Kedalaman ± 7 m lws
Fasilitas Dermaga multipurpose sepanjang 180 m
Jarak dengan
Pelabuhan Lainnya
± 20 mil dengan pelabuhan nasional di Raha
Sumber : Hasil Analisis, 2014.
89
2. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI)
Tinjauan posisi Pelabuhan Murhum terhadap Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) sangat penting dilakukan, mengingat ALKI merupakan
arah arus orientasi perdagangan di Indonsia yang sangat berpengaruh
terhadap arus distribusi barang dan jasa dalam sebuah pelabuhan.
Alur Laut Kepulauan Indoensia (ALKI) ditetapkan sebagai
konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS'82 dengan kewajiban Indonesia
sebagai negara kepulauan yang diatur oleh Pasal 47-53 Konvensi Hukum
Laut 1982. Pasal 47 menyatakan bahwa negara kepulauan dapat menarik
garis pangkal lurus kepulauan (arhipelagic baselines) dan aturan ini sudah
ditransformasikan kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996, tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 2002, tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur
Laut Kepulauan yang Ditetapkan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2002, tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
Pengaturan mengenai hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, yaitu selain
untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional juga untuk
kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Hasibuan R, 2002). Sehingga pemerintah Indonesia
telah mengajukan 3 jalur ALKI yang diajukan ke IMO (International
90
Maritim Organization). Melalui sidang Maritime Safety Commitee ke-69
(MSC-69) pada tanggal 19 Mei 1998, dan akhirnya rencana ini diterima
oleh IMO. Sebagai Implementasi ditetapkanlah Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2002, yang isinya memberikan kepastian hukum
penetapan ALKI menjadi 3 jalur (lihat gambar 2).
Pengaturan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sesuai PP Nomor
37 Tahun 2002 adalah sebagau berikut :
a. ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan;
b. ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi;
c. ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)
-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) - Laut Maluku,
Samudera Pasifik; dan
d. ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke
ALKI III-A.
Penetapan ALKI dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
pertahanan keamanan negara dan kondisi hidro-oseanografi agar
memungkinkan alur pelayaran yang aman untuk dilayari oleh setiap kapal.
Keberadaan dua ALKI di KTI akan membuka peluang pengembangan
ekonomi kawasan dengan menarik manfaat dari kondisi perekonomian di
kawasan Asia Pasifik dan kerjasama ASEAN yang semakin berkembang,
melalui pengoptimalan oulet/pelabuhan untuk ekspor maupun pembukaan
jalur pelayaran sebagai akses ke pusat pasar dan perdagangan internasional
(khususnya di kawasan Asia Pasifik dan ASEAN).
91
Hasil analisa peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) seperti
yang disajikan pada gambar 5.10, posisi pelabuhan murhum berada dalam
ALKI III dengan outlet di Pelabuhan Makassar sebagai Pelabuhan
Internasional dan Pelabuhan Bitung di Provinsi Sulawesi Utara sebagai
Pelabuhan Internasional Hub yang terhubung dengan Samudera Atlantik
yang merupakan perairan perdagangan internasional, khususnya menuju
kawasan Asia Timur, Amerika Serikat dan Amerika Selatan.
93
1. Interaksi dan Konektivitas Pelabuhan Pelabuhan Murhum dengan
Pelabuhan Lainnya dalam Simpul Jaringan Transportasi Nasional
Pelabuhan Murhum Kota Baubau merupakan salah satu mata rantai
yang sangat penting dari seluruh proses perdagangan di Sulawesi
Tenggara, sebagai pelabuhan yang berada dalam jalur perdagangan dalam
negeri maupun luar negeri, sebagai Pelabuhan Utama Tersier dalam sistim
jaringan transportasi laut nasional dan berada dalam alur pelayaran
internasional ALKI III yang mempunyai orientasi pada pasar Asia Timur
(Cina, Jepang, Hongkong dan lain-lain), serta Kawasan Amerika dan
Amerika Selatan. Pelabuhan Murhum bukan sekedar tempat bongkar muat
barang maupun naik turunnya penumpang tetapi juga sebagai titik temu
antar moda angkutan dan pintu gerbang ekonomi bagi pengembangan
ekonomi daerah sekitarnya. Sebagai bagian dari sistem transportasi di
Sulawesi Tenggara, Pelabuhan Murhum memegang peranan penting dalam
perekonomian Sulawesi Tenggara dalam merangsang pertumbuhan
kegiatan ekonomi, perdagangan, dan industri dari wilayah pengaruhnya.
Keterkaitan jaringan transportasi yang terjadi antar Pelabuhan Murhum
dengan pelabuhan lainnya erat kaitannya dengan ketentuan yang termuat
dalam tatanan kepelabuhanan dan Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI). Analisis ini menggunakan data graf atau jaringan transportasi
dari hasil interpretasi peta sistim transportasi antar pelabuhan yang
terkoneksi dengan Pelabuhan Murhum Kota Baubau. Informasi mengenai
jaringan transportasi dimasukkan dalam suatu matriks koneksitas,
kemudian dihitung nilai dispersinya, semakin tinggi nilai dispersinya
semakin besar tingkat penetrasi perkembangan kota yang terjadi, namun
94
karena dalam penelitian ini hanya menggunakan satu wilayah, maka nilai
dispersi ini diabaikan. Analisis ini berdasarkan sifat keterkaitan hubungan
jaringan transportasi laut berdasarkan peta jaringan antar pelabuhan dan
keterkaitan secara fungsional berdasarkan jalur angkutan yang ada saat ini.
Pola konektivitas jaringan transportasi Pelabuhan Murhum dengan
pelabuhan lainnya dibagi dalam dua simpul jaringan konekstivitas, yaitu
simpul konektivitas antara Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan provinsi
sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional, serta simpul
konektivitas antara pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya dalam
lingkup wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai simpul jaringan
transportasi regional. Ilustrasi analisis jaringan konektivitas Pelabuhan
Murhum dengan pelabuhan lainnya dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 5.11. Ilustrasi Konektivitas Antar Pelabuhan Murhum Dengan
Pelabuhan Lainnya.
(Sumber: Hasil Analisis, 2014)
95
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa jaringan konektivitas
Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya terdiri dari Pola keterkaitan
hubungan tidak langsung (HTL) yaitu untuk menjangkau Pelabuhan
Murhum harus melalui dan atau transit pada pelabuhan lainnya, Pelabuhan
yang melaluinya dan hubungan langsung (HL) yaitu untuk menjangkau
pelabuhan murhum tanpa melalui transit pada pelabuhan lain.
Konektivitas antar pelabuhan dalam simpul jaringan transportasi laut
nasional telah ditetapkan dalam kebijakan mengenai jaringan trayek
barang dan penumpang telah diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2010
tentang Angkutan di Perairan. Kegiatan angkutan laut tersebut
khususnya angkutan laut dalam negeri dilaksanakan dengan trayek tetap
dan teratur serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak
teratur. Dimana trayek tetap dan teratur (liner/regular) adalah pelayanan
angkutan yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan
menyebutkan pelabuhan singgah. Selain itu angkutan laut dalam negeri
yang melayani trayek tetap dan teratur harus disusun dengan
memperhatikan; a) pengembangan pusat industri, perdagangan,
pariwisata, b) pengembangan wilayah dan/atau daerah, c) rencana umum
tata ruang, d) keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, serta
e) perwujudan Wawasan Nusantara.
Penetapan jaringan trayek tetap dan teratur (liner) angkutan laut
dalam negeri berdasarkan pada keputusan Dirjen Perhubungan laut
Nomor AL.59/1/9-02 dimana didalamnya penetapan jaringan trayek
dibedakan menjadi angkutan laut penumpang, angkutan laut
96
barang/muatan umum dan angkutan laut petikemas. Dalam keputusan
tersebut terdapat 136 jaringan trayek untuk angkutan laut penumpang, 17
jaringan trayek untuk angkutan laut barang/muatan umum, serta 45
jaringan trayek untuk angkutan petikemas.
Dalam penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa peran
pelabuhan Murhum dalam sistim jaringan transortasi nasional merupakan
pelabuhan utama tersier dan berperan sebagai pelabuhan penghubung
antara wilayah Kawasan Timur Indonesia dengan Wilayah Barat. Dalam
simpul jaringan transportasi nasional, pelabuhan murhum menjadi
pelabuhan titik henti palayaran dari dan ke Pelabuhan Ambon dan Papua
(Kawasan Timur) serta dari dan ke Pelabuhan Makassar, Surabaya,
Semarang, Jakarta (Kawasan Barat).
Konektivitas dan jarak antara Pelabuhan Murhum Kota Baubau
dengan pelabuhan lainnya yang terkoneksi dengan sistim jaringan
transportasi laut nasional berdasarkan kapal dan pelabuhan tujuan
pelayaran nasional secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2.
Sedankan jalur transportasi nasional yang terhubung dengan
Pelabuhan Murhum di Kota Baubau dengan kota-kota lainnya di wilayah
Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah.
97
Tabel 5.6. Tabel Jalur Angkutan Penumpang Berdasarkan Kapal
Penumpang dari dan ke Pelabuhan Murhum Kota Baubau,
2014.
Nama Kapal Trayek
KM Bukit Siguntang Pelabuhan Nunukan - Tarakan –
Balikpapan – Pare-Pare – Makassar –
Baubau – Makassar - Maumere – Lewoleba
– Kupang
KM Ciremai Pelabuhan Tanjung Priok – Surabaya –
Makassar – Baubau – Sorong – Manokwari
– Jayapura
KM Dobonsolo Pelabuhan Tanjung Priok – Surabaya –
Makassar – Baubau – Sorong – Manokwari
– Jayapura
KM Nggapulu Pelabuhan Nabire – Serui – Manokwari –
Sorong – Fak-Fak – Ambon – Namlea –
Baubau – Makassar – Balikpapan –
Pantoloan – Toli-Toli
KM Sinabung Pelabuhan Kijang – Tanjung Priok –
Semarang – Surabaya – Makassar –
Baubau – Namlea – Ambon – Ternate –
Bitung
KM Tidar Pelabuhan Fak-Fak – Kaimana – Dobo –
Tual – Banda – Ambon – Baubau –
Makassar – Surabaya – Tanjung Priok
KM Tatamailau Pelabuhan Tanjung Priok – Makassar –
Baubau – Banggai – Bitung – Morotai –
Sorong – Fak-Fak – Kaimana – Timika –
Agats – Merauke
KM Tilongkabila Pelabuhan Bitung – Gorontalo – Luwuk –
Kolonodale – Kendari – Raha – Baubau –
Makassar – Labuan Bajo – Bima –
Ampenan/Lembar – Benoa/Denpasar (Bali) Sumber : PELNI, 2014.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa konektivitas Pelabuhan
Murhum dengan pelabuhan lainnya dalam simpul jaringan transportasi
nasional berdasarkan titik henti dilayani oleh 8 jenis kapal penumpang
yang dikelola oleh PELNI berdasarkan trayek angkutan. Tabel di atas
juga memperlihatkan peranan Pelabuhan Baubau (Pelabuhan Murhum)
yang sangat strategis dalam sistim transportasi nasional, dimana peran
98
Pelabuhan Murhum menjadi penghubung antara kawasan timur dan
kawasan barat (Lihat gambar 5.12).
Berdasarkan data yang didapat, jumlah pelabuhan yang terkoneksi
dengan Pelabuhan Murhum sebanyak 42 Pelabuhan di 14 Provinsi (Lihat
Lampiran 2), sedangkan jumlah arus barang dan penumpang di
Pelabuhan Murhum berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat
Statistik Kota Baubau Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.7. Arus Bongkar Muat Barang dan Penumpang di
Pelabuhan Murhum Kota Baubau, 2012.
Jumlah kunjungan kapal 2.905 kapal
Gross Register Ton 7.986.403 ton
Arus Penumpang
- Penumpang Turun 280.165 orang
- Penumpang Naik 334.889 orang
Arus Barang
- Bongkar 3.200.602 ton
1.078 m3
- Muat 3.972.177 ton
644 m3
Sumber : Kota Baubau Dalam Angka, BPS Tahun 2013.
Data pada lampiran 2 memperlihatkan bahwa hubungan langsung
antar pelabuhan murhum dengan pelabuhan lainnya berdasarkan jalur
transportasi laut nasional sebanyak 6 pelabuhan (Pelabuhan Raha,
Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Banggai, Ambon, Pelabuhan Namlea di
Maluku Utara, dan Pelabuhan Sorong di Papua Barat) hubungan tidak
langsung sebanyak 57 jalur. Pelabuhan dengan jumlah transit terbanyak
yang terhubung dengan pelabuhan Murhum adalah Pelabuhan Jayapura
dengan jumlah pelabuhan transit sebanyak 16 pelabuhan yang berada
99
pada 3 jalur hubungan tidak langsung yang terkoneksi dengan Pelabuhan
Murhum, sedangkan jarak terjauh pelabuhan yang terkoneksi dengan
Pelabuhan Murhum adalah Pelabuhan Kijang di Kepulauan Riau dengan
jarak pelabuhan sebesar 1.200 mil laut.
Sementara itu, Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Ambon
merupakan pelabuhan yang mempunyai intensitas tinggi dalam jaringan
transportasi laut yang terhubung dengan Pelabuhan Murhum Baubau, hal
ini dapat dilihat dari jumlah asal pelabuhan yang singgah di pelabuhan
makassar menuju Pelabuhan Murhum Baubau sebanyak 16 pelabuhan
dan Pelabuhan Ambon sebanyak 15 pelabuhan asal. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa secara keruangan, Kota Baubau memiliki
interaksi yang kuat dengan Kota Makassar di Sulawesi Selatan dan Kota
Ambon di Maluku. Selain itu, interaksi ini juga diperkuat dengan
hubungan sejarah antara Kota Baubau dengan Kota Makassar dan Kota
Baubau dengan Ambon yang terjalin sejak dahulu kala, baik hubungan
politik antar kerajaan, maupun hubungan perdagangan (khususnya
rempah-rempah).
Sedangkan untuk arus perdagangan antar pulau yang terkoneksi
dengan Pelabuhan Murhum Kota Baubau antara lain Pelabuhan Tanjung
Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan
Makassar, Pelabuhan Kendari, Pelabuhan Irian Jaya, dan Pelabuhan
lainnya (Ambon, Maluku Utara, Bitung dan lain-lain). Arus perdagangan
antar pulau ini sangat dipengaruhi oleh kesiapan infrastruktur industri
olahan yang tersedia, data pada tabel 5.11 memperlihatkan bahwa arus
100
barang dalam perdagangan antar pulau terbesar terjadi antara Pelabuhan
Murhum dengan Pelabuhan Surabaya dengan nilai total perdagangan
mencapai Rp. 44.436.950.000,-. Atau menyumbang 43,39 % dari total
perdagangan antar pulau, hal ini disebabkan oleh keberadaan industri di
Surabaya dengan jarak yang relatif dekat yaitu 570 mil laut,
dibandingkan dengan pelabuhan Jakarta dengan total perdagangan
mencapai Rp. 25.918.317.000,- (25,31 %) dengan jarak 950 mil laut.
Tabel 5.8. Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut
Pelabuhan Tujuan, 2012.
Pelabuhan Tujuan Satuan Volume Nilai (Rp. 000)
Jakarta ton 3.745,13 25.602.317
m3 - -
ekor - -
biji 15.800 316.000
Surabaya ton 4.517,60 30.306.800
m3 2.779 14.130.150
ekor - -
biji - -
Makassar ton 2.878,78 22.199.699
m3 - -
ekor - -
biji - -
Kendari ton 12,21 4.148.199
m3 - -
ekor - -
biji - -
Irian Jaya ton 0,2 1.200
m3 - -
ekor - -
biji - -
Pelabuhan Lainnya ton 8,34 2.850.600
m3
ekor
biji
Buah 13.298 2.861.475 Sumber: Kota Baubau Dalam Angka, 2013.
101
Pelabuhan Makassar meskipun memiliki keterkaitan yang kuat
dengan Pelabuhan Murhum, baik secara keruangan maupun konektivitas
dan jarak yang relatif dekat (250 mil laut), namun dalam perdagangan
antar pulau, arus barang yang menuju Pelabuhan Makassar hanya
menyumbang Rp. 2.878,78 ton dengan nilai Rp. 22.199.699.000,- atau
hanya 21,68 % dari total nilai perdagangan antar pulau pada tahun 2012.
103
2. Konektivitas Pelabuhan Murhum dalam Simpul Jaringan
Transportasi Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sebagai wilayah kepulauan yang terdiri pulau besar dan kecil,
transportasi laut memegang peranan yang sangat penting bagi
pengembangan wilayah Kota Baubau. Peranan tersebut sangat baik bagi
pengembangan intra wilayah maupun antar wilayah. Pengembangan antar
wilayah ditujukan untuk mengembangkan interaksi antar wilayah Kota
Baubau secara eksternal dengan wilayah lainnya di Indonesia serta
interaksi Kota Baubau dengan wilayah sekitarnya maupun secara internal
dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara lainnya. Jaringan transportasi
laut harus dapat mempromosikan pengembangan intra wilayah yang lebih
ditujukan untuk meningkatkan kemudahan hubungan antar pulau dan
sebagai upaya pemerataan pembangunan antara wilayah maju dengan yang
masih terbelakang.
Jaringan transportasi laut dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
kepelabuhanan yang meliputi :
a. Pelabuhan Utama
Kriteria pelabuhan utama meliputi :
Skala pelayanan mencakup pelayanan dalam Negeri dan Luar negeri;
Melayani pelayaran antar negara dan antar provinsi;
Volume alih muat dalam jumlah besar;
Kedekatan geografis dengan tujuan pasar internasional;
Memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan utama lainnya;
Dekat dengan jalur pelayaran internasional;
104
Memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari
gelombang;
Mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
Berada pada sistim jaringan jalan nasional dan atau trayek angkutan
perkereta apian nasional.
b. Pelabuhan Pengumpul
Kriteria pelabuhan pengumpul meliputi :
Skala pelayanan dalam negeri;
Melayani pelayaran antar provinsi;
Volume alih muat dalam jumlah menengah;
Ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah yang meliputi
pemerataan pembangunan nasional dan meningkatkan petumbuhan
wilayah;
Berdekatan dengan pusat pertumbuhan wilayah ibukota propinsi dan
kawasan pertumbuhan nasional;
Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpul lainnya;
Mempunyai jarak tertentu dengan jalur pelayaran laut nasional;
Memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari
gelombang;
Mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
Berada pada sistim jaringan jalan nasional dan atau trayek angkutan
perkereta apian nasional.
c. Pelabuhan Pengumpan Regional
Kriteria pelabuhan pengumpan regional meliputi :
105
Skala pelayanan dalam negeri;
Melayani pelayaran dalam lingkup provinsi;
Volume alih muat terbatas;
merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan
pengumpul;
Kesesuaian dengan Tata ruang wilayah propinsi dan pemerataan
pembangunan antar propinsi serta sesuai dengan Tata ruang wilayah
kabupaten/kota serta pemerataan dan peningkatan pembangunan
kabupaten/kota;
Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
Mempunyai kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal;
Berada pada sistim jaringan jalan provinsi dan atau pada jalur kereta
api antar provinsi.
d. Pelabuhan Pengumpan Lokal
Kriteria pelabuhan pengumpan lokal meliputi :
Skala pelayanan dalam negeri;
Melayani pelayaran dalam kabupaten/kota;
Volume alih muat terbatas;
Merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan
pengumpul;
Kesesuaian dengan Tata Ruang wilayah kabupaten/kota dan
pemerataan serta peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
106
Mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
Mempunyai kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal;
Berada pada sistim jaringan jalan kabupaten/kota dan atau jalur
kereta api antar kabupaten/kota.
Adapun pola hubungan dan keterkaitan antara pelabuhan laut sesuai
PP Nomor 61 Tahun 2009 dijelaskan pada gambar di bawah :
Gambar 5.13. Pola hubungan dan keterkaitan antara pelabuhan laut
(Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009)
Jaringan transportasi laut ini merupakan simpul jaringan yang
menghubungkan antar wilayah kabupaten/kota melalui pelabuhan dalam
suatu sistim keterkaitan antar wilayah, gambaran pola konektivitas antar
107
pelabuhan dalam jaringan transportasi laut sulawesi tenggara dapat dilihat
pada gambar berikut :
Gambar 5.14. Skema Hubungan Antar Pelabuhan Dalam Sistim Jaringan
Transportasi Laut Sulawesi Tenggara.
(Sumber: Hasil Analisis, 2014)
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa hubungan antar pelabuhan
dalam sistim jaringan transportasi laut wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara, pelabuhan pengumpul lokal merupakan pelabuhan rakyat yang
berfungsi melayani wilayah sekitarnya untuk kemudian diangkut menuju
pelabuhan pengumpul regional yang berada di wilayah Kabupaten/Kota,
selanjutnya dari pelabuhan pengumpan regional diangkut menuju
pelabuhan pengumpul dalam wilayah Provinsi untuk kemudian menuju
pelabuhan utama dalam skala nasional maupun internasional.
Sistim transportasi laut di Sulawesi Tenggara sebagaimana yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara terdiri dari Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan
108
Regional dan Pelabuhan Pengumpan Lokal, untuk lebih jelasnya hierarki
pelabuhan di Sulawesi Tenggara terdiri dari :
a) pelabuhan pengumpul terletak di :
Kota Baubau yaitu Pelabuhan Murhum;
Kota Kendari meliputi Pelabuhan Laut Nusantara Kendari dan
rencana Pelabuhan Kontainer Bungkutoko;
Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Kolaka dan Pelabuhan
Pomalaa;
Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Ranteangin dan
Pelabuhan Watunohu;
Kabupaten Muna yaitu Pelabuhan Laut Nusantara Raha; dan
Kabupaten Wakatobi yaitu Pelabuhan Pangulubelo Wangi-Wangi.
b) pelabuhan pengumpan regional terletak di :
Kabupaten Muna meliputi Pelabuhan Pajala, Pelabuhan Tampo dan
Pelabuhan Maligano;
Kabupaten Buton meliputi Pelabuhan Lasalimu, Pelabuhan
Banabungi dan Pelabuhan Labuhan Belanda;
Kabupaten Wakatobi meliputi Pelabuhan Usuku, Pelabuhan
Kaledupa dan Pelabuhan Popalia-Binongko;
Kabupaten Bombana meliputi Pelabuhan Kasipute, Pelabuhan Sikeli,
Pelabuhan Boepinang dan Pelabuhan Dongkala;
Kabupaten Buton Utara meliputi Pelabuhan Buranga dan Pelabuhan
Waode Buri;
109
Kabupaten Konawe meliputi Pelabuhan Langara dan Pelabuhan
Munse;
Kabupaten Konawe Utara meliputi Pelabuhan Molawe, Pelabuhan
Mandiodo dan Pelabuhan Lameruru;
Kabupaten Konawe Selatan meliputi Pelabuhan Torobulu, Pelabuhan
Lakara, Pelabuhan Lapuko dan Pelabuhan Lainea;
Kabupaten Kolaka meliputi Pelabuhan Dawi-dawi di Pomalaa,
Pelabuhan Tangketada, Pelabuhan Toari dan Pelabuhan Wollo;
Kabupaten Kolaka Utara meliputi Pelabuhan Lasusua, Pelabuhan
Malombo dan Pelabuhan Olooloho; dan
Pelabuhan khusus yang tersebar pada seluruh kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
(c) Pelabuhan Pengumpul Lokal yang tersebar di kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Tenggara
Trayek angkutan laut yang terkoneksi dengan Pelabuhan Murhum
dalam sistim transportasi laut wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
meliputi :
Pelabuhan Laut Nusantara Kendari – Pelabuhan Laut Nusantara Raha –
Pelabuhan Murhum;
Pelabuhan Murhum – Pelabuhan Pangulubelo;
Pelabuhan Kaledupa – Pelabuhan Murhum;
Pelabuhan Usuku – Pelabuhan Murhum;
Pelabuhan Sikeli – Pelabuhan Murhum;
Pelabuhan Kasipute – Pelabuhan Murhum;
110
Pelabuhan Boepinang – Pelabuhan Murhum;
Sebagai pelabuhan pengumpul sesuai dengan peran dan fungsinya
dalam sistim transportasi laut Provinsi Sulawesi Tenggara, Pelabuhan
Murhum terkoneksi dengan pelabuhan pengumpan lainnya di Sulawesi
Tenggara yang berada di Kota Kendari, Kabupaten Bombana, Kabupaten
Muna, dan Kabupaten Wakatobi (lihat gambar 5.15).
112
F. Pengaruh Pelabuhan Murhum Terhadap Perkembangan Wilayah Kota
Baubau
Rabani (2010), menyebutkan bahwa sejarah kota-kota di Indonesia
sebagian besar berkembang di wilayah pantai. Hal ini dikarenakan oleh
aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial banyak dilakukan melalui laut
pada masa lalu. Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan
mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut. Sehingga penduduk
memilih lokasi permukiman disekitar sungai dan pantai. Permukiman itu pada
perkembanganya berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi
penduduk asli dengan pendatang setelah melalui waktu lama. hal ini dapat
dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang
berbeda-beda. Selain itu jenis pekerjaan atau profesi di kota sebagai gejala
kekotaan yang lebih kompleks.
Peranan Pelabuhan Murhum menjadi salah satu faktor determinan yang
menyebabkan terjadinya perubahan kenampakan fisik non kekotaan menjadi
kenampakan fisikal kekotaan. Pergerakkan penduduk pada kawasan
Pelabuhan Murhum menentukan tingkat aksesibilitas yang merupakan ukuran
kemudahan daya hubung antar daerah.
Pergerakkan manusia dan barang di kawasan Pelabuhan Murhum yang
menimbulkan arus lalu lintas (traffic flow) merupakan konsekuensi gabungan
dari aktivitas lahan di dalam kota (permintaan) dan kemampuan sistem
trasportasi (darat dan laut) dalam mengatasi masalah arus lalu lintas
(penawaran). Pergerakkan barang dan manusia yang terjadi pada kawasan
pelabuhan mencerminkan keterhubungan suatu wilayah dengan wilayah
lainnya di dalam Kota Baubau. Hubungan ini memberikan dampak bagi
113
perkembangan Kota Baubau secara keseluruhan. Dengan demikian hubungan
antar wilayah, baik secara eksternal maupun internal yang terjadi pada
kawasan Pelabuhan Murhum mempengaruhi aktivitas keruangan wilayah
Kota Baubau secara keseluruhan.
Pengaruh interaksi antar pelabuhan lain sangat mempengaruhi aktivitas,
pergerakan dan kebutuhan lahan di sekitar kawasan pelabuhan, semakin
tinggi interaksi dan konektivitas pelabuhan dengan pelabuhan lainnya, maka
akan semakin tinggi pula aktivitas yang terjadi pada kawasan pelabuhan
tersebut, hal ini akan mempengaruhi kebutuhuan penggunaan lahan di sekitar
kawasan pelabuhan dari kawasan perumahan/permukiman menjadi kawasan
komersial (perdagangan dan jasa), dan secara tidak langsung akan merubah
struktur penggunaan lahan Kawasan Perkotaan Baubau. Hal ini terjadi karena
desakan perubahan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum yang berorientasi
kekotaan sangat mendominasi kegiatan masyarakat sekitarnya, sehingga
kebanyakan bangunan di sekitar kawasan pelabuhan tersebut tidak lagi
berorientasikan sektor permukiman namum berorientasikan ke sektor
perekonomian, perdagangan dan jasa, dalam hal ini penggunaan lahan
didominasi oleh bangunan ruko, penginapan, pertokoan, pariwisata dan
pegiatan perekonomian lainnya.
Dalam penelitian ini pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap
perkembangan Kota Baubau dibagi menjadi 3 fase perkembang, yaitu (a)
Fase Perkembangan I (masa kerajaan – 1990), (b) Fase Perkembangan II
(Kota Baubau menjadi Ibukota Kabupaten 1990 – 2000), dan (c) Fase
Perkembangan III (Kota Baubau menjadi daerah otonom 2000 – sekarang).
114
1. Fase Perkembangan I (masa kerajaan – 1990)
Fase perkembangan I merupakan fase dimana kawasan murhum
merupakan kawasan perdagangan dan menjadi tempat persinggahan kapal-
kapal dagang dari Kawasan Timur (Maluku/Ambon). Dalam beberapa
dokumen dan informasi yang didapat, pelayaran orang Portugis menuju ke
Maluku tidak melalui pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke
Borneo, ke Pulau Butun (Buton) lalu ke Maluku. Jalur ke kepualauan
Maluku itu dikenal sebagai jalur yang paling baik dan cocok
(Cortesao,1944). Dalam deskripsi yang lain, Schrieke (1955) menyebutkan
bahwa dalam pelayaran nusantara Pelabuhan Murhum merupakan salah
satu mata rantai pelayaran dan perdagangan yang terkait dari Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga maluku dan Pilipina.
Kondisi penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum pada
saat itu masih didominasi oleh kawasan perumahan/permukiman yang
merupakan ciri dari kawasan pesisir pantai pada umumnya. Interaksi
keruangan yang diakibatkan oleh keberaan Pelabuhan Murhum saat itu
belum memberikan pengaruh yang besar terhadap aktivitas keruangan
Kota Baubau pada umumnya. Gambar berikut memperlihatkan kondisi
pelabuhan murhum dan aktivitas yang terjadi pada fase perkembangan I
yang didapat dari berbagai sumber.
115
Gambar 5.16. Kondisi Pelabuhan Murhum Tahun 1990an
Gambar di atas memperlihatkan kondisi Pelabuhan Murhum pada saat
itu dimana aktivitas yang terjadi belum seramai sekarang ini. Kondisi
tersebut belum banyak mempengaruhi secara keruangan penggunaan lahan
pada kawasan pelabuhan dan Kota Baubau pada umumnya, meskipun
interaksi dan konektivitas dengan Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan
Ambon sudah terjalin sejak lama, namun hal tersebut belum memberikan
pengaruh yang signifikan dalam perkembangan Kota Baubau secara
keruangan, hal ini disebabkan oleh peran dan fungsi pelabuhan murhum
pada saat itu merupakan pelabuhan pengumpan dan pelabuhan transit yang
melayani perdagangan antar pulau dalam skala yang kecil. Gambaran
kondisi perumahan/permukiman Kota Baubau dalam kurun waktu hingga
tahun 1900an dapat dilihat dalam gambar berikut.
116
Gambar 5.17. Kondisi Kawasan Perumahan/Permukiman di Kota Baubau
Tahun 1901
(Sumber: http://wolio.ucoz.com/photo/bau_bau_thn_1901/1-0-2)
Hingga tahun 1990, penduduk Kota Baubau berjumlah 77.324 jiwa
yang tersebar di 4 kecamatan (Kecamatan Wolio, Betoambari, Sorawolio
dan Bungi), dimana Kecamatan Betoambari merupakan kecamatan dengan
konsentrasi penduduk tertinggi yaitu sebesar 48,87 %.
Tabel 5.9. Jumlah Penduduk Kota Baubau menurut Kecamatan, 1990.
No. Kecamatan Luas (km2) Penduduk
(jiwa)
Konsentrasi
Penduduk
(%)
1. Wolio 67,91 30.788 39,84
2. Betoambari 33,26 33.722 48,87
3. Bungi 122,19 4.366 5,85
4. Sorawolio 83,33 8.370 10,84
Sumber: RPIJM Kota Baubau, Tahun 2003 – 2007.
Konsentrasi penggunaan lahan pada kawasan pelabuhan murhum
tersebut pada masa itu masih didominasi oleh kawasan
perumahan/permukiman, hal ini disebabkan karena aktivitas yang terjadi
117
di Pelabuhan Murhum belum cukup mempengaruhi perkembangan Kota
Baubau secara keruangan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, sampai dengan tahun
1980an, kondisi penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum
masih didominasi oleh lahan perumahan/permukiman dengan panjang
dermaga 180 m, kondisi dermaga tersebut cukup pendek dimana hanya
cukup untuk menampung 1 kapal PELNI, sehingga kapal lain harus keluar
untuk melepas jangkar, hal ini terkait dengan kondisi aktivitas di
Pelabuhan Murhum yang terbatas pada arus kunjungan orang dimana
interaksi antar pelabuhan dan kondisi kapal yang melayani yang terjadi
masih sangat terbatas.
Data dari Kantor Pelabuhan Murhum Baubau memperlihatkan bahwa
hingga akhir tahun 1990an kunjungan kapal di Pelabuhan Murhum
sebanyak 3.330 kali, dimana arus bongkar barang sebanyak 51,360 Ton
dan arus muat barang sebesar 47.377 Ton. Sedangkan arus penumpang
melalui Pelabuhan Murhum sebanyak 142.294 orang yang naik dan
sebanyak 138.325 yg turun.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh
masyarakat terhadap kondisi penggunaan lahan di Kawasan Pelabuhan
Murhum hingga tahun 1990 masih didominasi oleh lahan perumahan dan
permukiman, kondisi ini terkait dengan aktivitas yang terjadi di Pelabuhan
Murhum pada saat itu belum cukup untuk mempengaruhi kondisi
penggunaan lahan secara keruangan Kota Baubau khususnya pada
kawasan Pelabuhan Murhum.
118
Dari hasil wawancara yang dilakukan dari berbagai sumber (tokoh
masyarakat, pemerintahan, pelaku ekonomi) luas kawasan yang
dipengaruhi secara langsung oleh keberadaan Pelabuhan Murhum adalah
24,64 Ha. Keterkaitan secara langsung antara Pelabuhan Murhum dengan
kawasan sekitarnya dilihat dari pola aktivitas dan pengaruh yang
ditimbulkan dengan aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan barang di
Pelabuhan Murhum.
Kondisi Pelabuhan Murhum pada saat itu sudah menggunakan
konstruksi Pancang Baja Lantai Beton dengan panjang dermaga 180 m,
namun hanya disinggahi 2 – 3 kali kapal PELNI. Secara keseluruhan, luas
penggunaan lahan pada kawasan Pelabuhan Murhum hingga tahun 1990
adalah sebagai berikut :
Tabel 5.10. Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Pelabuhan Murhum
Hingga Tahun 1990.
Penggunaan Lahan 1990 Luas (Ha) Persentase (%)
Jalan 4,93 20,02
Kawasan Pelabuhan Murhum 0,26 1,06
Lahan Kosong 5,06 20,52
Perdagangan dan Jasa 0,24 0,98
Perkantoran 1,89 7,65
Perumahan/Permukiman 11,57 46,95
RTH 0,15 0,60
Sarana Ibadah 0,54 2,19
T o t a l 24,64 100,00
Sumber: Hasil Analisis, 2014.
Tabel 5.9 di atas memperlihatkan bahwa penggunaan lahan pada
kawasan Pelabuhan Murhum pada akhir tahun 1990 didominasi oleh
119
kawasan perumahan dan permukiman seluas 11,57 ha atau mencakup
46,95 % dari total luas kawasan yang dipengaruhi secara langsung oleh
keberadaan pelabuhan Murhum di Kota Baubau. Kondisi ini terkait dengan
arus bongkar muat barang, orang dan jasa di Pelabuhan Murhum pada
tahun 1990 yaitu arus bongkar barang sebesar 51.360 Ton dan muat
sebesar 47.377 ton. Sedangkan arus penumpang naik sebesar 142,294 dan
turun 138.325.
Sementara itu, aktivitas perdagangan dan jasa yang terkait dengan
keberadaan pelabuhan murhum adalah seluas 0,24 ha atau hanya
menempati lahan sebesar 0,98 %. Sedangkan penggunaan lahan terkecil
adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya menempati luas lahan
sebesar 0,15 Ha (0,60 %).
Untuk lebih jelasnya, kondisi Pelabuhan Murhum pada era tahun 1990
dapat dilihat pada gambar berikut :
121
2. Fase Perkembangan II (Tahun 1990 - 2000)
Fase perkembangan II ini mulai memperlihatkan posisi Pelabuhan
Murhum dalam perkembangan wilayah Kota Baubau secara keruangan,
hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang terjadi pada kawasan tersebut.
Perkembangan Pelabuhan Murhum pada fase ini demikian pesat, data yang
diperoleh dari Kantor Pelabuhan Murhum memperlihatkan bahwa arus
bongkar muat barang dan orang pada tahun 1990 - 2000 menunjukkan
trend yg semakin meningkat. Dari data yg didapat dari Kantor Pelabuhan
Baubau kunjungan kapal pada tahun 2000 sebanyak 2.062 kali.
Arus bongkar muat penumpang pada tahun 2000 yang turun sebanyak
222.562 orang dari 138.325 orang pada tahun 1990 (naik sebesar 60,90 %)
dan penumpang naik sebanyak 215.453 orang dari 142.294 orang pada
tahun 1990 (naik sebesar 51,41%), sedangkan untuk arus bongkar barang
adalah sebanyak 51.360 Ton pada tahun 2000 atau naik sebesar 91,53 %
dibanding tahun 1990, sedangkan arus muat barang sebanyak 47.377 Ton
yang dimuat atau naik sebesar 60,11 % dibanding tahun 1990 (Lampiran
3).
Dari perkembangan arus bongkar muat barang, jasa dan penumpang di
Pelabuhan Murhum pada tahun 2000 tersebut, sangat mempengaruhi
secara signifikan, hal ini terlihat dari kondisi penggunaan lahan pada
kawasan Pelabuhan Murhum pada tahun 2001 yang mulai bergeser dari
lahan perumahan ke penggunaan lahan perekonomian. Hal ini terkait
dengan perkembangan kawasan Pelabuhan Murhum yang mengalami
perkembangan dengan ditambahnya dermaga sandar kapal untuk arus
122
bongkar muat barang, serta beberapa fasilitas pelabuhan lainnya seperti
kantor pelabuhan, ruang transit/tunggu, tempat parkir. (Lampiran 1).
Kondisi penggunaan lahan di sekitar kawasan pelabuhan murhum
yang terpengaruh secara langsung dengan aktivitas di Pelabuhan Murhum
pada tahun 1990 - 2000 menunjukkan perubahan yang cukup signifikan.
Hal ini terlihat dari kondisi pertambahan luas kawasan dari 24,64 Ha pada
akhir tahun 1990 menjadi 32,85 Ha pada akhir tahun 2000. Tabel berikut
memperlihatkan perkembangan penggunaan lahan di sekitar Kawasan
Pelabuhan Murhum pada akhir tahun 2000.
Tabel 5.11. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum
Hingga Tahun 1990 - 2000.
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Jalan 5,14 15,64
Pelabuhan Batu 1,35 4,11
Pelabuhan Murhum 6,15 18,73
Lahan Kosong 2,62 7,96
Perdagangan dan Jasa 5,57 16,94
Perkantoran 2,83 8,61
Perumahan/Permukiman 8,02 24,43
RTH 0,15 0,45
Sarana Ibadah 0,54 1,65
Sarana Pendidikan 0,49 1,50
Total 32,85 100,01
Sumber : Hasil Analisa, 2014.
Tabel 5.11 di atas memperlihatkan bahwa terjadi penambahan lahan
sebesar 8,22 Ha atau terdapat 0,33 %, penambahan lahan ini pada kawasan
Pelabuhan Murhum, perubahan penggunaan lahan terbesar terdapat pada
123
penggunaan lahan di Pelabuhan Murhum yaitu sebesar 6,15 Ha atau
bertambah sebesar 5,89 Ha dari tahun 1990.
Pada masa ini, indikasi perkembangan pada Kawasan Pelabuhan
Murhum mulai bergeser dari perumahan dan permukiman ke kawasan
perdagangan dan jasa. Lahan perumahan dan permukiman menjadi
kawasan perdagangan dan jasa mengalami perubahan sebesar 3,55 Ha, dari
11,57 Ha menjadi 8,02 Ha, sementara penggunaan lahan perdagangan dan
jasa bertambah sebesar 5,33 Ha dari 0,24 Ha pada tahun 1990 menjadi
5,57 Ha pada tahun 2000. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut.
125
3. Fase Perkembangan III (Tahun 2000 - 2010)
Sejalan dengan perubahan status pemerintahan dari Kotamadya
Baubau menjadi Kota Baubau pada tahun 2001, Kota Baubau kemudian
mengubah citra wilayahnya secara fisik menjadi bersifat kekotaan. Hal ini
terjadi karena Kota Baubau mempunyai lokasi ekonomi strategis dengan
keberadaan Pelabuhan Murhum berkenaan dengan sumber daya alam,
aksesibilitas yang tinggi, proximitas terhadap kota-kota besar yang ada,
sehingga menarik fungsi-fungsi ekonomi lain untuk mengadakan aktivitas
di Kota Baubau. Tingginya volume dan frekuensi kegiatan telah menarik
berbagai aktivitas kegiatan di sekitar kawasan pelabuhan semakin
bertambah dengan cepat (snow-balling).
Pengaruh sifat kekotaan sangat mendominasi kegiatan pada kawasan
Pelabuhan Murhum, sehingga kebanyakan bangunan pada kawasan ini
tidak lagi berorientasikan sektor permukiman namum berorientasikan ke
sektor perdagangan dan jasa seiring dengan peningkatan status, peran dan
fungsi serta arus kunjungan kapal di Pelabuhan Murhum yang semakin
meningkat, fungsi permukiman lambat laun bergeser ke fungsi yang lebih
bersifat komersial, dan dengan sendirinya mengakibatkan terdesaknya
kawasan perumahan/permukiman di bagian Barat Kota Baubau
(Kecamatan Betoambari), bagian Selatan di sekitar Kel. Bukit Wolio Indah
(Kecamatan Wolio), dan ke arah bagian Timur Kota Baubau di Kecamatan
Kokalukuna, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Lea-Lea, dan Kecamatan
Bungi.
126
Terjadinya perubahan fungsi lahan non komersil menjadi lahan
komersil adalah akibat dari adanya interaksi dan permintaan sistem
kegiatan yang berbasis ekonomi seiring dengan cakupan interaksi dan
konektivitas Pelabuhan Murhum dengan pelabuhan lainnya di Indonesia
yang semakin luas. Perubahan fungsi lahan menjadikan pergeseran lahan
permukiman ke wilayah belakang (hinterland), daya tarik pusat-pusat
kegiatan di kawasan ini mempengaruhi perkembangan fisik kota melalui
kecenderungan pilihan masyarakat yang cenderung mendirikan perumahan
berada di wilayah belakang (hinterland) yang relatif memiliki jarak yang
lebih dekat dengan aktivitas sosial dan ekonomi mereka.
Arus kunjungan kapal pada periode tersebut (2001 – 2010)
menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sangat tinggi, dari data
arus bongkar muat yang terjadi di Pelabuhan Murhum dalam periode
tersebut menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. (Lihat
Lampiran 3)
Penggunaan lahan pada kawasan yang berinteraksi secara langsung
dengan Pelabuhan Murhum adalah sebesar 42,84 Ha atau bertambah
sebesar 9,98 Ha dibanding luas lahan pada tahun 2000. Pertambahan luas
lahan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan pelabuhan murhum saat
itu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
127
Tabel 5.12. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum
Tahun 2000 - 2010.
Penggunaan Lahan 2010 Luas (Ha) Persentase (%)
Jalan 5,55 12,96
Kawasan Pelabuhan Batu 1,35 3,14
Kawasan Pelabuhan Murhum 12,69 29,61
Kawasan Wisata 2,61 6,10
Lahan Kosong 1,02 2,39
Perdagangan dan Jasa 7,86 18,33
Perkantoran 2,77 6,46
Perumahan/Permukiman 7,73 18,05
RTH 0,23 0,54
Sarana Ibadah 0,54 1,26
Sarana Pendidikan 0,49 1,15
T o t a l 42,86 100,00
Sumber : Hasil Analisa, 2014.
Pelabuhan Murhum merupakan kawasan dengan penggunaan lahan
terluas yaitu 12,69 Ha atau mencakup 29,61 % dari luas total penggunaan
lahan yang berada dalam kawasan. Hal ini disebabkan dengan
pengembangan yang dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan lahan
akibat aktivitas bongkar muat barang dan jasa, khususnya dengan semakin
meningkatnya bongar muat peti kemas di Pelabuhan Murhum.
Selain itu, akibat berkembangnya aktivitas di Pelabuhan Murhum,
kawasan perdagangan dan jasa ikut berkembang sesuai dengan kebutuhan
ruang yang di akibatkan dengan meningkatnya aktivitas di Pelabuhan
Murhum tersebut, yang mengakibatkan semakin terdesaknya kawasan
perumahan dan permukiman semakin menjauh dari Pelabuhan Murhum.
129
Dari uraian di atas, memperlihatkan pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap
perkembangan ruang wilayah Kota Baubau menunjukkan pengaruh yang sangat
besar, hal ini terlihat dari perkembangan perubahan lahan pada kawasan disekitar
pelabuhan dari kawasan yang didominasi oleh perumahan dan permukiman pada
awal tahun 1990 menjadi kawasan perdagangan dan jasa.
Perubahan lahan tersebut memberikan indikasi bahwa, perkembangan
kawasan perumahan dan permukiman di Kota Baubau semakin terdesak menjauhi
Kawasan Pelabuhan Murhum, sementar kawasan perdagangan dan jasa tumbuh
secara signifikan penggantikan lahan-lahan perumahan dan permukiman di sekitar
kawasan pelabuhan.
Tabel 5.13. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum Tahun
1990 - 2010.
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Perubahan Lahan (Ha)
1990 2000 2010 1990 - 2000 2000 - 2010
Jalan 4,93 5,14 5,55 0,21 0,41
Pelabuhan Batu 0,00 1,35 1,35 1,35 0,00
Pelabuhan Murhum 0,26 6,15 12,69 5,89 6,54
Kawasan Wisata 0,00 0,00 2,61 0,00 2,61
Semak/Belukar 5,06 2,62 1,02 -2,44 -1,60
Perdagangan dan Jasa 0,24 5,57 7,86 5,33 2,29
Perkantoran 1,89 2,83 2,77 0,94 -0,06
Perumahan/Permukiman 11,57 8,02 7,73 -3,55 -0,29
Ruang Terbuka Hijau 0,15 0,15 0,23 0,00 0,08
Sarana Ibadah 0,54 0,54 0,54 0,00 0,00
Sarana Pendidikan 0,00 0,49 0,49 0,49 0,00
Jumlah 24,64 32,86 42,84
Sumber : Hasil Analisis 2014.
Tabel di atas memperlihatkan perubahan penggunaan lahan disekitar kawasan
pelabuhan murhum yang terpengaruh langsung dengan aktivitas arus bongkar
muat barang, jasa dan orang di Pelabuhan Murhum adalah kawasan perumahan
dan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa pada kurun waktu tahun
130
1990 – tahun 2000, dimana luas wilayah kawasan perumahan dan permukiman
pada tahun 1990 sebesar 11,57 Ha, berkurang menjadi 8,02 Ha pada tahun 2000.
Sedangkan kawasan perdagangan dan jasa mengalami pertambahan wilayah dari
0,24 Ha pada tahun 1990 menjadi 5,57 Ha pada tahun 2000 dan meningkat
menjadi 7,86 Ha pada tahun 2010. Pertumbuhan kawasan perdagangan dan jasa
ini sebagai akibat dari perkembangan arus bongkar muat barang, jasa dan orang di
Pelabuhan Murhum seiring dengan bertambahnya jumlah kunjungan kapa yang
terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Perkembangan kawasan yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas
pelabuhan murhum dapat dilihat pada gambar berikut :
Fase Perkembangan I Fase Perkembangan II
Fase Perkembangan III
Gambar 5.21. Perkembangan Kawasan yang Dipengaruhi Secara Langsung
Oleh Pelabuhan Murhum Kota Baubau Tahun 1990 - 2010
131
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pelabuhan Murhum berperan sebagai pelabuhan pengumpul dalam sistim
transportasi laut di Sulawesi Tenggara dan merupakan pelabuhan yang
terkoneksi dengan simpul transportasi laut nasional yang terhubung
dengan Kawasan Timur dan Kawasan Barat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Perkembangan Pelabuhan Murhum berbanding lurus dengan
perkembangan kawasan disekitarnya yang berimplikasi terhadap semakin
terdesaknya kawasan perumahan dan permukiman yang menjauh dari
Pelabuhan Murhum, sebaliknya kawasan perdagangan dan jasa semakin
mendominasi pemanfaatan ruang pada kawasan pelabuhan yang
mengakibatkan perubahan ruang wilayah Kota Baubau khususnya
disekitar Pelabuhan Murhum dan Kota Baubau pada umumnya.
B. Saran
1. Perlunya dilakukan penataan kawasan sekitar Pelabuhan Murhum agar
tidak menimbulkan dampak kemacetan.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendetail terhadap kondisi
pelabuhan murhum terkait dengan semakin tingginya aktivitas bongkar
muat di pelabuhan yang tentunya mengakibatkan kebutuhan ruang
pelabuhan semakin tinggi.
132
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 1994. Beberapa Dimensi Ekonomi Regional. Universitas
Hasanuddin Makassar.
Adisamita, R. 2002. Teori-Teori Lokasi Dalam Pembangunan Ekonomi,
Pertumbuhan Ekonomi dan Teori Pembangunan Wilayah. Penerbit
Erlangga Jogyakarta
Adisamita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah, Universitas Hasanudin
Makasar
Adisamita, R. 2008. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Penerbit Graha Ilmu.
Jakarta.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
Arikunto, S. 2002. Metodologi Penelitian. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Arsyad, L. (1999) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,
Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
As-syakur, A.R. 2009. Hutan Mangrove dan Luasannya di Indonesia.
http://statusvia.web.id/. Diakses 15 Februari 2014.
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Perspektif Mikro.
Surabaya:Insan Cendekia
Bernhardsen, Tor.(1992). Geographic Information Systems. VIAK IT and
Norwegian Mapping Authority, Norwey.
Bintarto, R. 1983, Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Bogdan, R. C. dan Taylor, S. J. 1975. Introduction to Qualitative research
Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New
York, John Willey & Sons.
Burhanuddin, B. et.al. 1977/1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Di Sulawesi
Tenggara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Cortesao, Armando.1944. The Suma Oriental of Tome Pires. Hakluyt Society, 2nd
series LXXXIX. Vol. I. London.
133
Damapolii, D. W. 2008. Peran Pelabuhan Labuan Uki Terhadap Pengembanam
Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Masters Thesis Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.
Direktorat Cipta Kayra Departemen Pekerjaan Umum. Ketentuan hirarkhi pusat
pembangunan. Jakarta.
Gurning, R.O.S. Dan Budiyanto, E.H. 2007. Manajemen Bisnis Pelabuhan. PT
Andhika Prasetya Ekawahana. Surabaya.
Hadjisaroso, P. 1994. Konsep Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia,
Prisma No. 8 Agustus. Jakarta.
Hauser. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Terjemahan Oleh Masri
Maris, Yayasan Obor, Jakarta.
Hutagalung, TM 2004. Agropolitan An Alternative Development Sustainable
Rural. Papers. May 31, 2004. Graduate School IPB. Bogor.
Hirawan, S.B. 1995, Pembangunan Perkotaan, Jurnal PWK No.18 Pen. P3WK-
ITB, Bandung.
Jayadinata, T.J. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan,
Perkotaan, dan Wilayah. ITB. Bandung.
Kramadibrata, S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. Penerbit ITB.
Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi aglomerasi dan Kluster
Industri Indonesia. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
La Malihu, 1998. Buton dan Tradisi Maritim; Kajian Sejarah Tentang Pelayaran
TradisionalDi Buton Timur. Universitas indonesia.
Mappadjantji, A. 1996. Penataan Ruang untuk Pembangunan Wilayah:
Pendekatan dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Dareah yang
Berdimensi Ruang. PSDAL-LP Unhas, Makassar.
Matoka, 1994, Studi Jangkuan Pelayanan Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi
Tenggara (Tesis, Program Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah
Pasca Sarjana Unhas,1994 tidak dipublikasikan).
Morris, M.D. dan McAlpin, M.B. 1982. Measuring the Condition of India’s Poor:
the Physical Quality of Life Indeks. Promilla & Co. New Delhi. India.
Nawawi H., dan Martini, 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada
Universitas Press, Yogyakarta. 1990.
134
Nawawi, H. 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang
Kompetitif, Cetakan Ke-4, Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009. Tentang Kepelabuhanan. Jakarta.
Poerwandari, E. K. 1998. Metode Penelitian Sosial. Universitas Terbuka. Jakarta.
Pontoh, Nia K. dan Kustiwan, Iwan. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan.
Bandung: ITB Bandung.
Prabowo. 1996. Memahami Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Andi offset.
Richardson, H. W. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rondinelli, D.A, 1985. Applied Methods of Regional Analysis: The Spatial
Dimension of Development Policy. Westview Press. London.
Soemantri, M. 2003. Overview About Care Services Automatically Marketing at
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II Branch Cirebon. Report Job
Management Department of Marketing, Indonesian Computer University,
Bandung.
Sihotang, Paul, 2001, Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi, Bagian
Penerbitan FE-UI, Jakarta.
Sujarto, D, 1991. Perencanaan Kota dalam Kebijakan Perencanaan Kota di
Indonesia. Dep. Planologi, ITB Bandung.
Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung.
Alfabeta
Supriyono, A. 2009. Hubungan Antara Pelabuhan dengan Daerah-Daerah
Hinterland: Studi Kasus di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial
Belanda Abad 20. Semarang, 2009.
Suranto, 2004. Manajemen Operasional Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Serta
Prosedur Impor Barang, Gramedia Pustaka Utama.
Sutrisno Hadi, 1982, Metodelogi Reseach, Percetakan Universita Gajah Mada,
Yogyakarta.
Tarigan, R, 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. Bumi Aksara.
Tarigan, R. 2009. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara: Jakarta
Triatmodjo, B. 2009. Perencanaan Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta.
135
Yunus, H, S, 2001. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Yunus, H, S, 2005. Manajemen Kota dalam Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
137
Lampiran 1. Kondisi Fasilitas dan Peralatan Pelabuhan Murhum Kota Baubau
I. Lokasi Pelabuhan
a. Lokasi Kelurahan Wale, Kec. Wolio
b. Status Pelabuhan Tidak diusahakan
c. Jenis Pelabuhan Nasional
d. Alamat Jl. Yos Sudarso, Kota Baubau
e. Kelas Pelabuhan I
f. Kepanduan Wajib Pandu
g. Letak Geografis 5o 27’ 30” LS – 122
o 37’ 00” BT
h. Pemilik Dinas Perhubungan
II. Fasilitas dan Peralatan Pelabuhan 1990 2000 2010
a. Dermaga Rakyat Nusantara Nusantara
Panjang 180 m 372 m
Lebar 6 m 12 m 12 m
Kedalaman 7 – 10 m LWS 7 – 10 m LWS 7 – 10 m LWS
Konstruksi Kayu Pancang Baja Lantai Beton Pancang Baja Lantai Beton
Kapasitas - - 2 – 3 T/M2
b. Pinggiran Talud 488,5 m
c. Alur Pelayaran
Panjang 6,3 mil laut
Lebar 240,6 m
Kedalaman 28 m LWS
Pasang Tertinggi 31 m LWS
Pasang Terendah 25 m LWS
138
Lanjutan Lampiran 1...
d. Kolam Pelabuhan
Luas 20.200 m2
Kedalaman 10 m LWS
Pasang Tertinggi 10 m LWS
Pasang Terendah 7 m LWS
e. Lapangan Penumpukan 19.900 m2
f. Terminal Penumpang 780 m2
g. Bangunan 5.000 m2
Sumber: Kanpel Baubau, 2014
139
Lampiran 2. Interaksi dan Konektivitas Pelabuhan Murhum Dengan Pelabuhan Lain di Indonesia.
No. Nama Pelabuhan Kota Konektivitas
Titik Singgah
Pelabuhan Jarak (mil
laut) L TL Transit Yang Melalui
1. Kijang Kep. Riau 0 1 3 0 1.200
2. Tanjung Priuk DKI Jakarta 0 2 2 1 950
3. Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur 1 1 1 2 570
4. Benoa Bali 0 1 4 0 475
5. Lembar Ampenan,Mataram 0 1 3 1 430
6. Bima Bima 0 1 2 2 280
7. Labuan Bajo Flores 0 1 1 3 240
8. Maumere Maumere, NTT 0 1 1 2 174
9. Lewoleba Lewoleba, NTT 0 1 2 1 168
10. Tenau Kupang, NTT 0 1 3 0 268
11. Nunukan Nunukan, Kalimantan Timur 0 1 4 0 850
12. Tarakan Tarakan, Kalimantan Timur 0 1 3 1 825
13. Balikpapan Balikpapan, Kalimantan Timur 0 1 2 2 516
14. Toli-Toli Toli-Toli, Sulawesi Tengah 0 2 4 0 680
15. Pantoloan Palu, Sulawesi Tengah 0 2 3 1 580
16. Pare-Pare Pare-Pare, Sulawesi Selatan 0 1 1 3 365
17. Makassar Makassar 1 0 0 16 250
18. Jayapura Jayapura, Papua 0 3 16 0 1185
19. Biak Biak, Papua 0 3 14 1 935
20. Serui Serui, Papua 0 3 13 0 927
21. Nabire Nabire, Papua 0 3 14 1 920
140
Lanjutan Lampiran 2...
22. Wasior Wasior, Papua 0 3 13 2 916
23. Manokwari Manokwari, Papua 0 3 12 4 810
24. Sorong Sorong, Papua Barat 1 2 11 6 590
25. Fak-Fak Fak-Fak, Papua Barat 0 1 2 4 600
26. Kaimana Kaimana, Papua Barat 0 1 3 3 688
27. Pomako Mimika, Papua 0 1 4 2 857
28. Agats Kab. Asmat, Papua 0 1 4 1 920
29. Merauke Merauke, Papua 0 1 5 0 1080
30. Dobo Saumalaki, Maluku Kep. 0 1 4 4 700
31. Tual Tual, Maluku Kep. 0 1 3 5 605
32. Banda Kep. Banda, Maluku Kep. 0 1 2 6 430
33. Ambon Ambon, Maluku 1 1 1 15 350
34. Namlea P. Buru, Maluku 1 1 1 0 335
35. Temate Ternate, Maluku Utara 0 2 7 7 480
36. Morotai Morotai, Maluku Utara 0 1 6 6 630
37. Bitung Manado, Sulawesi Utara 0 1 6 6 465
38. Gorontalo Gorontalo 0 1 4 7 380
39. Banggai
Kab. Banggai, Sulawesi
Tengah 1 1 3 8 280
40. Kolonodale
Kab. Morowali, Sulawesi
Tengah 0 1 2 9 265
41. Kendari Kendari, Sulawesi Tenggara 0 1 1 10 140
42. Raha Muna, Sulawesi Tenggara 1 0 0 11 40
Jumlah 7 57 190 153
Sumber: PT. PELNI Indonesia, 2014.
141
Lampiran 3. Arus Kunjungan Kapal, Bongkar Muat Barang dan Penumpang di Pelabuhan Murhum, 1990 – 2010.
Tahun Kunjungan
Kapal
Penumpang (Orang) Barang (Ton) Barang (m3) Kendaraan (unit)
Turun Naik Bongkar Muat Bongkar Muat Bongkar Muat
2010 8.062 566.360 618.998 787.126 1.034.397 392.089 48.669 105.758 104.714
2008 7.121 370.803 488.851 254.572 429.696 398.129 15.422 24.735 24.489
2007 6.500 393.233 508.816 175.344 2.261.963 79.929 19.363 72.164 78.523
2006 6.435 350.438 409.437 1.016.756 92.099 - 422 67.256 62.391
2003 2.687 241.618 241.894 202.054 24.285 - - - -
2002 2.528 237.780 235.141 145.919 25.136 - - - -
2000 2.062 222.562 215.453 98.372 75.853 - - - -
1990 - 138.325 142.294 51.360 47.377 - - - - Sumber: Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I Baubau, 2014.
142
Lampiran 4. Perusahaan Bongkar Muat (PBM) di Pelabuhan Murhum
No. Nama Perusahaan Status
1. PT. Swadaya Buton Manunggal Pusat
2. PT. Sarana Bandar Nasional Cabang
3. PT. Dian Mandiri Pusat
4. PT. Fajar Baru Pusat
5. PT. Semut Prima Karsa Pusat
6. PT. Wolio Lintas Cargo Pusat
Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.
Lampiran 5. Ekspedisi Muatan Kapal Lokal (EKPL) di Kota Baubau
No. Nama Perusahaan Status
1. PT. Beringin Jaya Prima Pusat
2. PT. Buton Perdana Ekspres Pusat
3. PT. Rabiyatul Adawiah Pusat
4. PT. Sarambu Silolo Pusat
5. PT. Lintas Buton Raya Pusat
6. PT. Wolio Lintas Samudera Pusat
7. T. Fajar Raya Transporindo Pusat
Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.
143
Lampiran 6. Perusahaan Pelayaran Nasional di Kota Baubau.
No. Nama Perusahaan Status
1. PT. PELNI Cabang
2. PT. Armada Mandiri Pusat
3. PT. Salam Pasifik Indo Lines Cabang
4. PT. Indodarma Transport Cabang
5. PT. Anigrah Darma Cabang
6. PT. Bahtera Bestari Shipping Cabang
7. PT. Bintang Timur Baru Bakti Cabang
8. PT. Darma Lautan Utama Cabang
9. PT. Daka Lintas Samudera Cabang
10. PT. Bahtera Adiguna Cabang
11. PT. Global Ekspres Lines Cabang
12. PT. Mitra Cipta Sombu Pusat
13. PT. Aksar Saputra Lines Cabang
Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014
Lampiran 7. Perusahaan Pelayaran Rakyat di Kota Baubau
No. Nama Perusahaan Status
1. PT. Wahyu Samudera Timur Pusat
2. PT. Poleang Indah Pusat
3. PT. Jabal Rahma Jaya Pusat
4. PT. Majang Raya Abadi Pusat
5. PT. Putera Pattiro Bajo Kabaena Pusat
6. PT. Wolio Lintas Samudera Pusat
Sumber : Kanpel Kota Baubau, 2014.