Download pdf - Wine salak

Transcript
Page 1: Wine salak

WINE SALAK ANTARA ‘MORAL’ DAN EKONOMI

November 1999, pertama kali saya mengunjungi Banjar Dukuh, Desa Sibetan di Karangasem, Bali. Sepi, jarang terlihat orang berlalu-lalang di jalan utama banjar, bahkan di siang hari. Satu hal yang membuat saya terkesan adalah ketika saya merasakan minuman yang rasanya manis, tetapi kerongkongan, lambung, dan perut saya langsung terasa hangat. Made Sujana, salah seorang petani salak Dukuh mengatakan bahwa minuman tersebut adalah wine salak, hasil fermentasi buah salak berkadar

alkohol 12%. Ia sendiri yang memproduksinya bersama tujuh petani salak yang lain, tergabung dalam Kelompok Wine Salak Sibetan. Sampai saat ini kelompok tersebut belum berhasil memasarkan produksi mereka secara luas karena belum mendapatkan ijin dari Departemen Kesehatan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Alasannya, kadar alkohol yang dihasilkan di atas 7%, melebihi kadar alkohol yang diijinkan untuk pemasaran. Menurut Made Sujana, “Kalau kadar alkoholnya dikurangi, namanya bukan lagi wine, tapi sari buah.” Kelompoknya pernah mencoba membuat minuman tersebut berkadar alkohol 5-7%, tetapi mereka merasa tidak puas. Hasilnya benar-benar seperti sari buah. Terlalu manis dan tidak menimbulkan rasa hangat sama sekali, karena sebelum diolah pun rasa buah salak sudah manis. Made Sujana tinggal di Banjar Dukuh bersama dengan 88 kepala keluarga lainnya. Sama seperti sebagian besar masyarakat Dukuh, kebutuhan ekonomi keluarganya dipenuhi oleh hasil kebun salak. Lebih dari 90% dari 149,5 ha wilayah Dukuh merupakan kebun salak. Sementara sisanya difungsikan untuk perumahan, pura, dan tempat umum lain. Ketika saya berjalan menyusuri jalan beraspal Banjar Dukuh, hanya kebun salak berpagar yang ada di kiri kanan jalan, selain bale banjar, satu sekolah dasar, dan beberapa warung. Tidak seperti pemukiman pada umumnya yang mengelompok, rumah orang Dukuh tersebar dan berada di tengah kebun salaknya masing-masing. Saya harus berjalan sekitar 500 meter dari jalan beraspal untuk sampai ke rumah Made Sujana, sambil sesekali merunduk karena jalan setapak yang menuju ke rumahnya berada di antara pohon salak yang penuh dengan duri. Berawal dari Jaka Moding Orang Dukuh percaya bahwa keberadaan mereka ‘diawali’ oleh Jero Dukuh Sakti yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya sebagai seorang dukun. Ia membangun pasraman atau rumah tinggal di Moding, Sibetan dan menanam pohon enau yang diberi nama ‘Jaka Moding’, di sebelah Barat pasramannya. Sampai saat ini tanaman tersebut masih bisa kita lihat di Dukuh. Selain Jaka Moding, Jero Dukuh bersama istrinya juga menanam berbagai jenis tanaman lain, salah satu di antaranya adalah salak. Pohon salak tersebut dianggap orang Dukuh sebagai pohon salak pertama di Dukuh, bahkan di Desa Sibetan, saat ini masih dapat dilihat di kebun milik Nengah Sudana yang diperkirakan sudah berumur sekitar 500 tahun.

Page 2: Wine salak

Menurut legenda Dukuh Sakti, sampai istrinya meninggal, Jero Dukuh belum juga mempunyai keturunan. Sampai suatu sore, Jero Dukuh melihat Betara (Dewa) Naga sebesar batang bambu petung dengan panjang kira-kira enam meter. Ia memohon supaya bisa mengikuti perjalanan sang Betara. Hal tersebut dilakukan mengingat Jero Dukuh saat itu tinggal seorang diri karena istrinya sudah meninggal. Namun permohonan tersebut ditolak oleh Betara Naga karena Jero Dukuh masih mempunyai banyak tanaman yang harus dipelihara untuk diwariskan kepada keturunannya. Betara Naga juga mengatakan, jika Jero Dukuh tidak mengikutiNya, Ia akan memberikan sesuatu yang dapat ditemukan di bawah batu bundar yang terletak di sebelah Timur Laut. Setelah Betara Naga menghilang, ia pergi ke tempat yang dimaksud dan ditemukan 130 lembar lontar yang merupakan sumber kesaktian Jero Dukuh. Sampai saat ini pun ke-130 lontar tersebut masih tersimpan di salah satu pura di Dukuh. Kesaktian Jero Dukuh salah satunya dibuktikan oleh Ida Dalem sebagai Raja Klungkung. Ketika itu kaki Ida Dalem terkena penyakit kulit yang sangat parah. Awalnya Ida Dalem ingin mengobati kakinya ke seorang dukun di Amlapura (sekarang menjadi ibukota Karangasem). Namun di tengah perjalanan ia melihat Jero Dukuh yang sedang duduk di atas kiskis, sebuah alat pertanian sejenis cangkul. Menurutnya, hanya orang sakti yang bisa duduk di atas kiskis. Maka Ida Dalem meminta Jero Dukuh untuk mengobati lukanya. Luka Ida Dalem disembuhkan dengan tumbukan batu bundar yang dicampur dengan air liur Jero Dukuh. Sebagai ucapan terima kasih, Ida Dalem memberikan seorang istri kepadanya. Istri yang diberikan adalah selir Ida Dalem yang sedang hamil, sehingga anak yang dilahirkan akan menjadi keturunan Jero Dukuh. Keturunan-keturunan inilah yang sampai saat ini bergelar sebagai Gusti di Banjar Dukuh. Sementara orang Dukuh lainnya adalah keturunan para pelayan Kerajaan Klungkung yang diberikan Ida Dalem, selain istri untuk Jero Dukuh. Ada juga di antara mereka keturunan dari para pendatang yang berhasil diobati Jero Dukuh kemudian bersedia ngayah atau memelihara pura yang ada di Dukuh. Akibat Padi Bibit Unggul Masyarakat Dukuh sempat mengalami kelaparan selama hampir satu tahun, yaitu pada tahun 1963 setelah Gunung Agung meletus. Abu hasil letusan Gunung Agung menutupi semua tanaman yang ada di Banjar Dukuh, sehingga sebagian besar tanaman mati. Salah satu jenis tanaman yang mampu bertahan hidup adalah pohon salak, tetapi tidak berdaun dan tidak berbuah. Setahun setelah Gunung Agung meletus, tanah di Banjar Dukuh mulai subur kembali. Berbagai jenis tanaman mulai tumbuh, lahan sawah sudah bisa ditanami kembali dengan padi gaga dan jenis padi lokal lainnya, seperti padi bali, beras merah, beras ketan, dan ketan hitam. Lebih dari sepertiga lahan Dukuh masih merupakan lahan sawah yang subur. Namun secara perlahan, lahan sawah di Dukuh berubah menjadi perkebunan salak. Made Sujana menceritakan, kejadian tersebut mulai terjadi sejak tahun 1970-an, ketika pemerintah datang ke Dukuh dan memperkenalkan tanaman padi jenis bibit unggul. Ketika itu ia masih duduk

Page 3: Wine salak

di sekolah dasar. Ia hanya ingat bahwa ayahnya pernah mengalami gagal panen setelah menanam jenis padi baru tersebut. Menurut ayahnya, “Bibit unggul yang diperkenalkan waktu revolusi hijau tidak cocok ditanam di Dukuh karena wilayah Dukuh rindang, padahal padi bibit unggul katanya perlu banyak sinar matahari.” Sampai akhirnya ayah Made Sujana memutuskan untuk menanami lahan sawahnya dengan tanaman salak. Selain alasan gagal panen, keberanian ayahnya untuk melakukan hal tersebut karena harga per kilogram salak lebih mahal dari beras. Hanya dengan menjual satu kilogram salak, mereka bisa membeli tiga kilogram beras. Bukan hanya ayah Made Sujana yang menanami lahannya dengan tanaman salak, melainkan hampir semua kepala keluarga di Dukuh. Sampai akhirnya padi gaga hilang sama sekali pada tahun 1980. Di samping itu, ternyata mereka tidak membutuhkan banyak waktu dan mudah untuk memelihara tanaman salak. Sebagai gambaran, kegiatan yang dilakukan Made Sujana pada setiap periode enam bulanan hanyalah menggemburkan tanah dan memperbaiki pagar kebun salak. Kegiatan tersebut dilakukan mulai pukul enam sampai sepuluh pagi selama sekitar dua bulan pertama, setelah musim panen. Dua bulan selanjutnya membersihkan pohon salak dari daun-daun yang kering sambil memetik salak yang matang. Hal inipun hanya dilakukan tidak sampai tengah hari. Dua bulan berikutnya merupakan masa panen yang sudah dilakukan mulai pukul empat pagi karena istrinya harus langsung membawa hasil panen mereka ke pasar. Pada umumnya kegiatan memotong salak sudah selesai dilakukan pada pukul tujuh pagi. Lahan Dukuh mulai ditanami salak secara besar-besaran pada sekitar tahun 1984. Sejak saat itulah, secara perlahan-lahan, 90% wilayah Dukuh ditutupi oleh tanaman salak. Sampai sekitar tahun 1994, masyarakat Dukuh masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari pohon salak. Mereka masih dapat membeli tiga kilogram beras dari satu kilogram salak yang dijual. Bahkan kelebihan penghasilan yang mereka peroleh bisa digunakan untuk memperbaiki rumah dan mengisinya dengan berbagai macam barang, termasuk barang-barang elektronik. Sampai saat itu, tidak ada orang Dukuh yang merasa kekurangan, termasuk mereka yang hanya memiliki kebun salak seluas kurang dari setengah hektar. Dari 1:3 menjadi 3:1 Pilihan terhadap tanaman salak benar-benar dilakukan secara sadar oleh orang Dukuh. “Menurut cerita-cerita orang tua, orang-orang di sini dulu memang tidak begitu memikirkan lahan pertanian bahkan banyak tanah-tanah yang kosong. Hanya beberapa orang saja yang memang ulet mengolah tanah.” Sehingga, Made Sujana menambahkan, tidak terlalu mengherankan kalau banyak orang Dukuh, bahkan orang Sibetan pada umumnya, yang memilih untuk menjadi petani salak dengan alasan waktu, tenaga, dan harga. Maka, ketika persediaan barang melebihi permintaan pasar, harga barang otomatis akan menurun, terutama ketika musim panen. Musim panen salak terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Agustus-September yang disebut panen raya karena hasilnya sangat banyak dan bulan Januari-Februari disebut panen gaduh, tidak sebanyak panen raya. Pada saat panen raya inilah harga salak menurun drastis. Saat ini, mereka harus mampu menjual tiga kilogram, bahkan lima kilogram salak hanya untuk mendapatkan satu kilogram beras. Harga per kilogram salak bisa hanya Rp 500,00 sementara harga per kilogram beras adalah Rp 2.500,00. Mereka masih bisa mengharapkan harga yang tinggi, sekitar Rp 3.000,00 per kilogram salak

Page 4: Wine salak

ketika bukan musim panen. Tetapi saat itu buah salak yang bisa dijual sangat sedikit. Perbandingannya ketika panen dan tidak panen bisa mencapai 10:1. Kondisi yang dialami orang Dukuh tidak terlepas dari perhatian Dinas Pertanian Kabupaten Karangasem yang sudah beberapa kali mengadakan penyuluhan di banjar tersebut. Salah satu permasalahan klasik yang muncul adalah produksi berlebih tetapi harganya murah, jadi bagaimana cara mengolahnya. Karena permasalahan itulah kemudian Dinas Pertanian menghubungi BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang ketika itu bernama IP2TP (Instansi Pengembangan Pendidikan Teknologi Pertanian) untuk mengadakan pelatihan pengolahan salak. Made Sujana menceritakan, “Pak Arya dari IP2TP yang mengajari kita proses membuat wine, tahun 1997.” Hal itu dilakukan bersamaan dengan studi Pak Arya di Bogor dan penelitiannya tentang wine. Percobaan pembuatan wine salak dilakukan berulang kali oleh delapan petani salak Dukuh yang tergabung dalam Kelompok Wine Salak Sibetan, untuk kemudian diteliti oleh Pak Arya, terutama untuk kadar alkohol yang dihasilkan. Awal masa percobaan, rasanya “nggak karuan”, kadang terlalu manis dan kadang kurang manis. Hal tersulit adalah mencari komposisi gula yang tepat. Menurut Made Sujana, gula memegang peranan penting untuk menghasilkan rasa yang ‘pas’ dan kadar alkohol yang dihasilkan. Mereka lebih sering menghasilkan wine salak yang rasanya manis, tetapi tidak terlalu panas di badan. “Rasanya enak. Jadi kadang nyobanya terlalu banyak, sampai mabuk.” Selama masa percobaan, mereka pernah menghasilkan wine salak dengan kadar alkohol 8%, 12%, dan 15%. Mereka juga pernah menghasilkan yang berkadar alkohol 5-7%, tetapi menurut mereka tidak termasuk kategori wine. Hasil yang dirasa paling ‘pas’ adalah yang berkadar alkohol 12%. Salak yang digunakan sebagai bahan percobaan merupakan ‘iuran’ anggota kelompok. Sementara untuk pembelian bahan-bahan lainnya, termasuk alat yang digunakan untuk membuat wine salak didanai oleh Yayasan KEHATI, Jakarta melalui Yastadewa, sebuah lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Ketika itu, dalam waktu yang bersamaan dengan percobaan pembuatan wine, Banjar Dukuh bekerja sama dengan Yastadewa mengidentifikasikan dan meneliti 14 kultivar salak yang ada di Dukuh. Setelah melakukan beberapa kali percobaan, kelompok wine salak dapat menjual wine yang mereka hasilkan dengan harga Rp 4.500,00 per botol berukuran 300 ml. Sambil mengingat-ingat, Made Sujana menceritakan ketika itu mereka bisa menjual puluhan botol, sampai uang keuntungan penjualan dibagikan ke kedelapan orang anggota kelompok. Padahal ketika itu wine salak yang dihasilkan belum bening, masih keruh, karena baru berumur beberapa bulan setelah pembuatan. Mereka membutuhkan waktu 1 – 2 tahun untuk menghasilkan wine salak yang bening.

Page 5: Wine salak

Wine Salak: Dapatkah Meningkatkan Pendapatan Orang Dukuh? Sejak pertama kali wine salak diperkenalkan, pembuatannya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan orang Dukuh, terutama mereka yang tergabung dalam kelompok pembuat wine salak. Tujuan tersebut mulai tercapai, ketika mereka bisa memasarkannya. Terlebih lagi, sejak akhir tahun 2000, wine salak Dukuh mulai berlabel, walaupun belum mengantongi ijin produksi dan ijin kesehatan. Sebagian usaha pengembangannya masih didanai Yayasan KEHATI sampai tahun 2002, namun kali ini melalui Yayasan Wisnu, sebuah LSM lingkungan di Bali. Pendapatan anggota kelompok bisa bertambah karena sudah ada kesepakatan, bahwa mereka yang ikut dalam proses pembuatan wine salak akan mendapatkan ‘ongkos tenaga kerja’. Selain itu, salak yang digunakan sebagai bahan pembuatan wine juga dihargakan. Jumlah anggota kelompok pun semakin bertambah, saat ini berjumlah 16 orang. Namun sampai saat ini mereka belum mendapatkan ijin produksi, kesehatan, dan perdagangan. Ijin sudah diurus sejak tahun 2001, tetapi belum bisa dikeluarkan karena kadar alkohol yang mencapai 12%, sementara ijin baru dapat dikeluarkan jika kadar alkoholnya kurang dari 7%. Minuman yang berkadar alkohol di atas 7% termasuk minuman keras dan tidak boleh diperjualbelikan. Seperti yang diungkapkan Made Sujana di atas, “Kalau kadar alkoholnya dikurangi, namanya bukan lagi wine, tapi sari buah, rasanya sangat manis.” Menurut pendapatnya, harga wine salak sekarang cukup mahal, yaitu Rp 20.000,00 per botol berukuran 350 ml. Kalau untuk mabuk-mabukan, lebih baik mengkonsumsi tuak yang harganya Rp 500,00 atau bir Rp 5.000,00 untuk ukuran yang sama. Rasa wine salak yang manis biasanya tidak terlalu disukai untuk mabuk. Mereka yang mengkonsumsi wine biasanya hanya untuk menghangatkan badan. Made Sujana juga mempertanyakan, bagaimana dengan berbagai jenis minuman keras berkadar alkohol jauh di atas 12% namun memiliki ijin perdagangan, termasuk yang berasal dari luar negeri. Made Sujana tetap optimis bahwa wine salak masih bisa mereka pasarkan. “Sekarang kita harus mencari rekomendasi dari Bupati kemudian bersurat ke Deperindag Kabupaten untuk ijin produksi. Setelah selesai, Deperindag Kabupaten akan meminta POM mengecek ke sini, baru keluar ijin kesehatan. Langkah selanjutnya mengurus ijin perdagangan.” Menurutnya, ijin produksi dan kesehatan bisa diurus oleh kelompok pembuat wine, namun ijin perdagangan sebaiknya diurus oleh koperasi yang ada di Dukuh. Sejak tahun 2002, pemasaran wine salak memang sudah dilakukan melalui KSU (Koperasi Serba Usaha) Banjar Adat Dukuh, Sibetan. Musim panen tahun lalu mereka tidak memproduksi wine salak karena persediaan masih banyak, sementara peralatan untuk menyimpan sudah tidak ada. Jerigen yang ada sudah semuanya digunakan untuk menyimpan wine salak yang belum bisa dipasarkan. Sementara itu mereka mengalami keterbatasan modal untuk membeli botol kemasan. Permasalahan lain yang dikhawatirkan Made Sujana adalah kualitas wine salak yang disimpan dalam jerigen plastik sudah tidak bagus, “Saya tidak jamin wine yang ada masih layak diminum.” Menurut beberapa orang yang dikenalnya, wine tidak boleh disimpan dalam plastik, melainkan dalam wadah keramik atau kaca. Masalah lain lagi, harga keramik atau kaca untuk menyimpan wine sangat mahal. Akhirnya mereka berencana untuk membeli tempat penyimpanan dari baja yang harganya lebih murah dibanding keramik atau kaca, namun tetap bisa digunakan untuk menyimpan wine. Harapan Made Sujana, tahun ini mereka bisa kembali memproduksi wine salak. Karena berdasarkan catatan kelompok, terakhir mereka memproduksi wine salak adalah tanggal 27 Maret 2003 yang menghasilkan 12 galon atau 600-an botol. Hasil yang tampaknya banyak, tetapi jauh lebih sedikit dibanding tahun 2002 yang

Page 6: Wine salak

menghasilkan 41 galon atau 2.200-an botol. Tidak hanya memproduksi, mereka juga harus bisa memasarkan. “Tinggal menunggu ijin, karena sebetulnya kita sudah punya banyak kenalan yang mau membeli wine, salah satunya hotel.” Pertanyaannya kemudian: Apakah usaha orang Dukuh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dilakukan karena dianggap ‘bertentangan dengan moral’?


Recommended