Download pdf - salak

Transcript
Page 1: salak

TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan panen dan pasca panen (segar) buah salak

Panen

Buah salak dipanen dengan cara memotong tangkai tandan dengan

menggunakan sabit, pisau yang tajam atau gergaji. Buah salak termasuk buah non

klimaterik sehingga hanya dapat dipanen jika benar-benar telah matang di pohon,

yang ditandai dengan sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman

atau kuning tua, bulu-bulu di kulit telah hilang, bila dipetik mudah terlepas dari

tangkai dan beraroma salak.

Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari

(pukul 9 – 10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada

saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila

luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah

akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada

sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada

malam hari (Sabari, 1983, diacu dalam Mohamad, 1990).

Salak dipanen saat berumur 5 – 6 bulan umur bunga. Untuk salak pondoh,

panen raya terjadi pada periode November – Januari, masa panen sedang terjadi

pada Mei – Juli, masa panen kecil pada periode Februari – April, dan masa

istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus – Oktober. Buah yang masih

dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah slandren (Arief, 2003). Buah

salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (umur bunga)

karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan

diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun

aroma buah salak belum terbentuk optimal (Suhardjo et al., 1995).

Pada salak bali panen raya berlangsung dari bulan Desember hingga

Maret, masa panen kecil yang disebut Gadu terjadi pada periode Juli – Agustus

(Damayanti, 1999). Salak bali disarankan untuk dipanen pada umur 5 bulan

(umur bunga) karena bila dipanen melebihi umur tersebut terdapat bercak kebiru-

biruan pada daging buah salak bali (Suhardjo et al., 1995).

Page 2: salak

4

Salak sidimpuan biasanya dipanen pada umur bunga 5.5 bulan. Salak

diangkut menggunakan kereta sorong (beko) maupun kuda menuju tempat

pengumpulan (Napitupulu et al., 2001). Salak condet dipanen mulai umur bunga

5 bulan karena pada umur tersebut salak condet memiliki kadar gula tertinggi.

Kadar gula ini akan menurun pada umur 6 bulan dan disertai dengan penurunan

kadar asam dan kadar tanin (Suhardjo et al., 1995).

Pengumpulan dan pembersihan

Buah salak yang dipanen dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau peti

kayu yang diberi alas daun-daunan. Beberapa petani maju menggunakan peti

plastik jenis HDPE (high density polyethylene) untuk membawa salak dari kebun

ke kios atau toko yang sekaligus sebagai tempat pengumpulan dan pengemasan.

Buah salak diletakkan di tempat yang teduh, seperti di bawah pohon atau

naungan, untuk melindungi dari sengatan matahari yang dapat meningkatkan suhu

buah salak sehingga mempercepat kerusakan (Suhardjo et al., 1995).

Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak. Tandan

salak sering diletakkan dekat dengan permukaan tanah sehingga kotoran dapat

menempel pada buah salak dan menyebabkan binatang-binatang kecil yang

menyukai tempat lembab sering bersembunyi di antara buah dalam tandan.

Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk

atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik (Suhardjo et al., 1995) sehingga

buah salak bersih dari kotoran dan sisa-sisa duri. Bersamaan dengan pembersihan

dapat dilakukan sortasi dan penggolongan (grading).

Sortasi dan Penggolongan

Sortasi bertujuan memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari

buah yang busuk, pecah, tergores atau tertusuk. Juga berguna untuk

membersihkan buah salak dari kotoran, sisa – sisa duri, tangkai dan ranting.

Khusus pada salak bali dengan tujuan pasar lokal tidak dilakukan sortasi

(Damayanti, 1999).

Penggolongan bertujuan menyeragamkan ukuran dan mutu buah sehingga

mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Sebelum dikemas dalam karung

Page 3: salak

5

anyaman pandan, buah salak sidimpuan digolongkan secara manual ke dalam 2

(dua) kelas yaitu kelas ukuran besar dan kelas ukuran sedang yang dicampur

dengan ukuran kecil (Napitupulu et al., 2001). Penggolongan buah salak bali

didasarkan kepada besar, bentuk, penampilan, warna, corak, bebas penyakit dan

tidak cacat atau luka (Tabel 1)

Tabel 1. Penggolongan buah salak bali (Suhardjo et al., 1995)

Kelas Mutu Ciri – ciri

AA (super) 12 buah/ kg, sehat, warna kulit kekuningan

AB (sedang) 15 – 19 buah/ kg, sehat

C (kecil) 25 – 30 buah/ kg, bahan baku manisan

BS (tidak diperdagangkan) Busuk, pecah

Untuk pasar ekspor, persyaratan mutu lebih tinggi dengan mengikuti

persyaratan yang ditetapkan pembeli luar negeri. Pasar Eropa menetapkan

persyaratan keutuhan buah, kesegaran, kehalusan permukaan kulit buah, bebas

dari kerusakan fisik, mikrobiologis ataupun bau asing, derajat ketuaan yang tepat

dan keadaan yang baik sampai tujuan (Suhardjo et al., 1995).

Penyimpanan

Penyimpanan yang dilakukan petani atau pedagang hanya bersifat

sementara dan dilakukan di lapangan. Petani/ pedagang belum melakukan

kegiatan penyimpanan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah

salak sebelum dipasarkan. Buah yang telah disortasi dan digolongkan dikemas ke

dalam karung anyaman pandan atau keranjang menunggu dimuat ke sarana

pengangkutan.

Pengangkutan (transportasi) dan pengemasan

Biasanya buah salak dikemas dalam keranjang bambu (besek)

berkapasitas 5, 10, dan 20 kilogram. Pada kemasan salak pondoh, buah salak

yang masih utuh pada tandan diletakkan di tengah dan di sekelilingnya diletakkan

butiran salak yang sudah lepas dari tandan. Salak bali biasanya dikemas dalam

peti kayu yang dialasi tikar pandan untuk bantalan. Salak sidimpuan biasanya

Page 4: salak

6

dikemas dalam karung anyaman pandan yang disebut sumpit dengan kapasitas

yang bervariasi sekitar 35 sampai 50 kg/ karung menggunakan kemasan pengisi

(bantalan) berupa serat pelepah kering tanaman salak (Gambar 2).

Gambar 2. Karung anyaman pandan (sumpit).

Pengangkutan salak sidimpuan dari kebun ke tempat pengumpulan

berjarak sekitar 1 km. Untuk penjualan ke pasar lokal setempat, buah salak

diangkut menggunakan sarana angkutan mobil pick – up dan biaya transportasi

ditanggung oleh petani. Untuk pemasaran di luar daerah Padang Sidimpuan,

digunakan truk Fuso dan Colt Diesel yang dilengkapi dengan penutup terpal.

Kapasitas Truk Fuso sekitar 7 ton (± 300 karung anyaman pandan). Untuk pasar

ekspor, buah salak dikemas dengan karton bergelombang yang berkapasitas 10 –

11 kg. Dalam kemasan ini, digunakan daun pisang kering maupun potongan

kertas koran sebagai kemasan pengisi.

Pengemasan buah-buahan

Tujuan dan fungsi pengemasan

Pengemasan dilakukan untuk meningkatkan keamanan produk selama

transportasi, dan melindungi produk dari pencemaran, susut mutu dan susut bobot,

serta memudahkan dalam penggunaan produk yang dikemas. Secara umum,

pengemasan berfungsi untuk pemuatan produk pada suatu wadah (containment),

Page 5: salak

7

perlindungan produk, kegunaan (utility), dan informasi. Untuk keperluan

transportasi, fungsi pengemasan lebih diutamakan untuk pemuatan dan

perlindungan. Sedangkan pengemasan eceran (retail) lebih dititik – beratkan pada

fungsi kegunaan dan informasi produk (Peleg, 1985).

Buah yang akan diangkut dapat dikemas menggunakan berbagai jenis

kemasan, seperti karung goni, kardus, keranjang plastik atau bambu, tray dari

stirofoam dan plastik film, dan peti kayu. Disamping itu, terdapat juga jenis

kemasan yang khas sentra produksi buah, misalnya kemasan karung anyaman

bambu (sumpit) pada transportasi buah salak sidimpuan.

Kerusakan buah dan kemasan selama transportasi

Selama transportasi, buah-buahan yang dikemas mengalami kerusakan,

dapat berupa kerusakan kimiawi, fisik dan mikrobiologis. Kerusakan kimiawi

ditandai dengan adanya perubahan warna buah (discoloration) dan busuk (karat)

pada buah akibat terinfeksi mikroorganisme. Kerusakan fisik ditandai dengan

adanya pecah (kulit terkelupas), memar dan luka pada buah (Waluyo, 1991).

Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan (shock) dan getaran (vibration) selama

transportasi (Maezawa, 1990), beban tekanan yang dialami buah (stress), varietas,

tingkat kematangan, bobot dan ukuran buah, karakteristik kulit buah serta kondisi

lingkungan di sekitar buah (Kays, 1991).

Kerusakan fisik dapat juga disebabkan oleh isi kemasan terlalu penuh

(over packing) ataupun terlalu kurang (under packing) dan penumpukan kemasan

yang terlalu tinggi. Isi kemasan yang terlalu penuh mengakibatkan bertambahnya

tekanan (compression) pada buah, sedangkan isi kemasan yang terlalu kurang

akan menyebabkan buah yang terletak pada bagian atas saling berbenturan dan

terlempar karena getaran maupun benturan yang berlangsung selama transportasi.

Penumpukan kemasan yang terlalu tinggi menyebabkan buah pada lapisan dasar

dalam kemasan yang paling bawah dari tumpukan akan mengalami kerusakan

tekan akibat penambahan tekanan dari tumpukan kemasan (Darmawati, 1994).

Pada pengemasan buah salak, kerusakan yang terjadi umumnya adalah

kerusakan fisik (pememaran, goresan, retak/ pecah dan luka) dan kerusakan

mikrobiologis. Mikroorganisme yang terbawa dari kebun, suasana yang lembab

Page 6: salak

8

dan hangat dalam kemasan selama pengangkutan mendorong pembusukan

berlangsung lebih cepat. Buah yang mengalami luka fisik juga lebih cepat busuk,

sehingga memberikan tampilan yang buruk untuk dijual.

Hasil – hasil penelitian terdahulu

Hasil penelitian Singh dan Xu (1993) menunjukkan bahwa kerusakan fisik

pada buah apel Mc-Intosh dipengaruhi oleh jenis kemasan dan vibrasi kendaraan

transportasi (truk). Dalam penelitian ini tingkat kerusakan fisik diuji dengan

simulasi transportasi menggunakan meja getar elektrohidraulik. Uji mengacu

pada Metode A, ASTM D4728-87 dan merefleksikan transportasi pada 2 (dua)

jenis suspensi truk yaitu suspensi pegas daun (leaf spring suspension) dan

suspensi bantalan udara (air-ride suspension) yang mensimulasikan perjalanan

sejauh 88 km/jam (55 mph) pada jalan tol antar daerah selama 180 menit

menggunakan truk bermuatan 8.172 kg (18,000 lb). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa kemasan FTHS (full telescopic half slotted) berkapasitas 96

buah apel dan menggunakan tray polistiren adalah kemasan yang terbaik dalam

mengurangi kerusakan fisik dengan persentase kememaran sebesar 5.2% jika

diangkut menggunakan truk dengan suspensi pegas daun dan sebesar 1.0% dengan

suspensi bantalan udara. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan

suspensi bantalan udara untuk truk (kendaraan transportasi) lebih optimal dalam

mengurangi kerusakan fisik daripada penggunaan suspensi pegas daun.

Hasil dari penelitian Ögừt et al. (1999) menunjukkan jenis kemasan

bantalan berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas (P < 0.01) setelah

transportasi pada buah peach (Golden Elberta cling). Tingkat perubahan terkecil

(modulus elastisitas sebelum dan sesudah simulasi transportasi) terjadi pada

bantalan papan kertas (paperboard) sedangkan tingkat perubahan modulus

elastisitas terbesar terjadi pada bantalan kayu.

Studman (1999) meneliti pengaruh kemasan terhadap tingkat kerusakan

fisik (memar) akibat transportasi dengan menggunakan metode finite element pada

buah apel di Selandia Baru. Hasil percobaan menunjukkan bahwa persentase

memar buah apel yang disusun dalam kardus berkapasitas 100 buah apel lebih

Page 7: salak

9

rendah daripada buah apel yang disusun dalam kardus berkapasitas 88 buah apel,

masing – masing berkisar 15 – 73% dan 53 - 94%.

Hasil penelitian Waluyo (1990) menunjukkan bahwa kerusakan fisik buah-

buahan selama proses transportasi dipengaruhi oleh varietas buah, jenis kemasan,

pola susunan buah dalam kemasan dan lama transportasi. Penelitian dilakukan

terhadap 3 (tiga) varietas buah jeruk (Citrus sinensis, C. nobilis, dan C.

reticulata). Semakin lama transportasi maka kerusakan fisik yang terjadi juga

makin besar, kerusakan fisik buah jeruk yang mengalami simulasi transportasi

selama 8 (delapan) jam mencapai 4.40% sedangkan pada simulasi selama 4

(empat) jam mencapai 1.99%. Simulasi pengangkutan truk selama 4 (empat) dan

8 (delapan) jam masing – masing setara dengan perjalanan sepanjang 653

kilometer dan 1,307 km dengan amplitudo getaran 1.74 cm pada jalan luar kota.

CGS Noer (1998) memaparkan bahwa pada transportasi jarak dekat, jenis

kemasan tidak berpengaruh nyata dalam mereduksi kerusakan fisik pada komoditi

tomat segar. Dari hasil uji transportasi menggunakan truk selama 6 (enam) jam

sejauh 230 kilometer (Brastagi – Tanjung Balai), dibuktikan bahwa perlakuan

jenis kemasan dan cara penyusunan buah dalam kemasan tidak berpengaruh nyata

terhadap kerusakan fisik, pH, total padatan terlarut dan derajat kematangan tomat

segar. Namun cara penyusunan buah dalam kemasan berpengaruh nyata terhadap

susut bobot dan kekerasan tomat segar.

Suatu program komputer perancangan kemasan karton gelombang untuk

transportasi buah-buahan telah disusun Darmawati (1994). Buah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah buah jeruk siam pontianak. Kemasan hasil rancangan

diuji dengan simulasi transportasi meja getar selama 8 (delapan) jam setara

dengan pengangkutan dengan truk dalam jarak tempuh 2,490 km panjang jalan

beraspal baik atau 905 km panjang jalan buruk berbatu. Hasil percobaan

menunjukkan tingkat kerusakan buah dalam kemasan yang dinyatakan sebagai

persentase penurunan nilai kekerasan dan IKS (Indeks Kememaran Setara)

dipengaruhi oleh tipe flute dan ketebalan karton gelombang.

Shahabasi et. all (1995) telah meneliti pendugaan ketinggian tumpukan

buah apel varietas Jonathan yang disimpan secara curah (bulk). Hasil pendugaan

menunjukkan bahwa apel Jonathan dapat ditumpuk secara curah setinggi 8 meter

Page 8: salak

10

pada umur petik 1 hari dan hanya dapat ditumpuk setinggi 3 meter pada umur

simapn 45 hari dalam penyimpanan dingin.

Chen dan Yazdani (1991) meneliti pengaruh ketinggian benturan dan jenis

bantalan terhadap tingkat kememaran apel varietas Golden Delicious. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa apel Golden Delicious sangat rentan terhadap

memar, karena itu sebaiknya apel tersebut tidak mendapat perlakuan jatuhan

(dropping) bahkan dari ketinggian jatuh yang rendah. Untuk menghindari memar,

yang terbaik adalah menggunakan bantalan setebal 6.35 mm, karena volume

memar yang terjadi hanya berkisar 0 – 0.5 cm3 pada ketinggian jatuh 0 – 40 cm.

Abrar (2000) meneliti tentang pengukuran tingkat kememaran buah Salak

Pondoh menggunakan pengolahan citra. Dari penelitian ini didapatkan persamaan

laju kerusakan memar buah salak pada suhu 26 oC dan suhu penyimpanan 10 oC,

masing – masing adalah M26 = 100e-0.0041t dan M10 = 100e-0.0016t. Kadar gula buah

salak yang memar mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu, dengan

koefisien determinasi hubungan kadar gula dan luas memar untuk suhu 26 oC

adalah 0.5624 dan 0.066 untuk suhu penyimpanan 10 oC. Kekerasan buah salak

yang memar menurun dengan bertambahnya umur simpan dengan koefisien

determinasi hubungan kekerasan dan luas memar untuk suhu 26 oC adalah 0.7289

dan 0.8991 untuk suhu penyimpanan 10 oC.

Suhardjo et al. (1995) memaparkan beberapa informasi mengenai

kerusakan fisik buah salak akibat transportasi di Indonesia yang berkaitan dengan

kondisi transportasi dan jenis kemasan. Pada salak manonjaya, buah salak

dikemas dengan keranjang bambu (besek) yang berkapasitas 30 – 40 kg dan

disusun secara acak. Salak pondoh juga dikemas dalam keranjang bambu

berbobot 5, 10 dan 20 kg dan disusun dengan meletakkan buah salak yang masih

melekat pada tandannya di tengah-tengah kemasan dan di sekelilingnya diletakkan

buah salak yang berbentuk butiran. Buah salak bali disusun sama dengan cara

susun salak pondoh, namun kemasan yang digunakan adalah peti kayu dengan

berat kotor 10 kg (50 x 30 x 30 cm). Kerusakan fisik pada cara susun tersebut

lebih kecil daripada cara susun butiran. Pada salak bali yang disusun dalam peti

kayu dalam bentuk tandan kerusakan fisik yang terjadi sebesar 9.6% sedangkan

pada bentuk butiran mencapai 11.8% setelah transportasi dari Bali ke Malang.

Page 9: salak

11

Pada salak bali, kerusakan fisik dalam bentuk tandan sebesar 6.3% dan dalam

bentuk butiran 6.5% setelah transportasi dari Yogyakarta ke Malang.

Alternatif pengemasan buah salak menggunakan kemasan atmosfir

termodifikasi (MAP) untuk transportasi dengan kereta api telah diteliti oleh

Mohamad (1990). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi konsentrasi gas CO2

dan O2 yang optimal adalah 10% O2 dan 2.0% CO2. Setelah simulasi transportasi,

secara organoleptik buah salak pondoh masih disukai konsumen sampai

penyimpanan hari ke – 20 dan mengandung total padatan terlarut 17.8%.

Hasil penelitian Dalimunthe (2002) menunjukkan bahwa kemasan

transportasi buah salak dapat dibuat dari pelepah-pelepah salak segar, namun di

dalam laporan penelitiannya tidak terdapat informasi tentang dimensi dan

kekuatan (mekanis) kemasan. Kemasan yang dirancang Dalimunthe (2002)

adalah kemasan berbentuk kotak dengan bingkai (kerangka) kemasan dari kayu

dan dinding kemasan dari pelepah-pelepah salak segar. Dari hasil uji transportasi

menggunakan truk selama 10 jam (Padang Sidimpuan – Medan) ditunjukkan

bahwa kerusakan fisik buah salak yang paling rendah yaitu sebesar 8.3 – 9.2%

didapatkan pada kemasan berbobot 10 kg dengan masa penyimpanan 2 (dua) hari

dibandingkan dengan kemasan berbobot 15 kg dan 20 kg dan masa simpan 4

(empat) dan 6 (enam) hari setelah transportasi.

Perancangan kemasan transportasi buah – buahan

Syarat-syarat perancangan

Kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura, khususnya buah, lebih

ditujukan untuk melindungi buah dari kerusakan yang dapat menurunkan mutu

buah, maka aspek teknis menjadi pertimbangan utama dalam perancangan

kemasan tersebut. Aspek teknis perancangan mencakup pemilihan bahan

kemasan, bentuk dan dimensi kemasan, serta uji-uji sifat fisik dan reologi yang

berkaitan dengan aspek tersebut dan tetap mempertimbangkan sifat-sifat kritis

komoditi hortikultura yang mempengaruhi perubahan mutu komoditi tersebut

selama transportasi.

Menurut Maezawa (1990), pengemasan dirancang untuk mengatasi faktor

getaran dan benturan selama transportasi. Pemilihan bahan kemasan juga

Page 10: salak

12

mengutamakan bahan yang dapat melindungi produk dari kerusakan fisik selama

transportasi. Kemasan harus mampu menahan beban tumpukan, dampak

pemuatan dan pembongkaran buah dari sarana transportasi, serta getaran dan

benturan selama perjalanan (Waluyo, 1990). Dengan kata lain, kemasan harus

mampu menahan beban dan bersifat kaku (rigid) sehingga tidak mentransfer

beban apapun kepada buah (Hilton, 1993).

Dalam merancang kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura perlu

diperhatikan persyaratan – persyaratan berikut (Soedibjo, 1972, diacu dalam

Waluyo, 1990) :

1. Kemasan harus benar – benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi

produk.

2. Kemasan harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan.

3. Permukaan bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak

selama pengangkutan.

4. Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil

metabolisme produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga

dapat menahan laju transpirasi dan respirasi dari produk.

5. Bahan untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan),

dan tidak mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.

6. Kemasan harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk,

bahan kemasan juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus.

7. Kemasan harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak – bak alat

angkut dengan sistem pallet (khusus untuk ekspor).

8. Kemasan harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi.

Persyaratan perancangan serupa juga dipaparkan oleh Roswita dan Erma

(1999) untuk kemasan transportasi buah markisa, yaitu :

1. Kemasan cukup kuat sehingga dapat melindungi buah dari memar, getaran

dan tekanan dari tumpukan kemasan.

2. Mempunyai sirkulasi udara yang baik.

3. Mempunyai permukaan yang halus agar buah tidak luka

4. Mudah dipakai dan dapat diangkut (tidak mempersulit penanganan).

5. Tidak beracun dan bereaksi dengan buah yang dikemas.

Page 11: salak

13

Fungsi proteksi terhadap buah dapat dipenuhi dengan baik dalam

penggunaan kemasan peti kayu, stirofoam, dan keranjang plastik yang keras

(crates), sedangkan pada kardus (kotak karton gelombang) hanya mampu bila

ditumpuk setinggi 6 – 7 tumpukan saja. Selain itu jika isi kardus terlalu padat

atau RH lingkungan tinggi, maka kardus tidak mampu lagi menahan beban dan

mentransfer beban tersebut kepada buah. Compressive strength kardus menurun

sekitar 35% jika kadar air meningkat dari 10% ke 15% (Hilton, 1993).

Hal tersebut sejalan dengan Marcondes (1992) yang menyatakan bahwa

RH yang tinggi akan menurunkan compressive strength bahan-bahan dari papan

serat korugasi (corrugated fibreboard). Penurunan kemampuan kardus dalam

menahan beban akibat RH yang tinggi dapat diatasi dengan pemberian lapisan

lilin (waxing) pada bagian dalam dan luar kemasan kardus, atau cukup pada

bagian dalam kemasan agar lebih ekonomis (Hilton, 1993).

Penggunaan keranjang bambu kurang efektif sebagai kemasan

transportasi, karena penampang kemasan yang berbentuk lingkaran, daripada

kemasan lain yang berpenampang segi empat seperti kayu dan kardus. Bentuk

penampang lingkaran pada keranjang bambu menyebabkan keranjang bambu

bersifat fleksibel saat dikenai beban tumpukan terutama bila diisi penuh (padat)

sehingga buah juga akan menerima beban tumpukan tersebut (Gambar 3).

Gambar 3. Keranjang bambu.

Agar keranjang bambu dapat lebih baik melindungi buah, maka pada

bagian atas keranjang ditambahkan penahan sehingga bentuk penampang

keranjang tidak mengalami perubahan (deformasi) saat dikenai beban tekanan

Page 12: salak

14

(Gambar 4). Selain itu pengisian buah diatur sedemikian rupa sehingga keranjang

tidak terlalu padat (overfilled) (Hilton, 1993).

Gambar 4. Keranjang bambu yang diberi penahan pada bagian atas.

Kapasitas kemasan ditentukan berdasarkan sistem penanganan yang akan

digunakan pada transportasi. Menurut Peleg (1985), kapasitas kemasan untuk

penanganan sesuai kemampuan manusia (suitable for carrying man) adalah 15 –

30 kilogram dan sekitar 200 – 500 kilogram untuk sistem penanganan mesin

(suitable for forklift handling).

Menurut Hilton (1993) vibrasi dan benturan selama transportasi dapat

diredam dengan penggunaan kemasan bantalan. Pada jenis kemasan yang terbuat

dari kayu atau plastik (hard plastic), kemasan bantalan harus dirancang

sedemikian rupa sehingga dapat meredam vibrasi dan benturan sekaligus dapat

menjaga posisi buah tidak berubah di dalam wadah kemasan bantalan selama

proses transportasi dan tidak menyentuh dasar kemasan primer (Gambar 5).

Komoditi hortikultura bersifat mudah rusak (perishable) dan masih

melakukan metabolisme sebagai aktivitas hidup maka pemuatan produk dalam

kemasan harus dilakukan secara efisien untuk menghindari kerusakan produk

selama transportasi. Penggunaan 60 – 65% volume kemasan adalah penggunaan

volume kemasan yang baik untuk mengurangi kerusakan produk karena masih

tersedianya ruang dalam kemasan untuk pertukaran gas – gas yang dihasilkan dari

proses metabolisme produk selama dikemas (Peleg, 1985).

Page 13: salak

15

Waluyo (1990) memaparkan produk (buah) yang dikemas akan semakin

rusak bila frekuensi alat angkut (kendaraan transportasi) sesuai dengan natural

frequency buah karena timbul resonansi sehingga buah akan berbenturan dengan

lebih kuat dan sering. Natural frequency adalah getaran yang dialami suatu

sistem massa pegas (spring mass system) pada frekuensi tertentu yang bersifat

tetap setelah sistem massa pegas tersebut (dalam hal ini buah-buahan) diberi

beban tekanan (Maezawa, 1990).

Agar natural frequency buah yang dikemas tidak sama dengan frekuensi

gaya yang diberikan (forced frequency), maka dapat digunakan kendaraan yang

frekuensi suspensinya berbeda dengan natural frequency buah yang diangkut

(Hilton, 1993) atau dengan cara menambah massa buah yang dikemas sehingga

memperkecil damping ratio. Penambahan massa buah harus tetap memperhatikan

beban tumpukan yang diterima buah pada lapisan paling bawah kemasan tidak

melebihi beban maksimum (bioyield) yang dapat diterima buah (Waluyo, 1990).

Nilai natural frequency buah dapat ditentukan dengan menggunakan kurva

relaksasi buah yang menunjukkan sifat viskoelastis buah sebagai salah satu sifat

reologi buah. Apabila sifat tersebut telah diketahui, maka dapat digunakan untuk

mencari nilai tetapan model Maxwell – Kelvin yang disederhanakan (Simplified

Maxwell – Kelvin Model) untuk memperkirakan perilaku buah dalam kemasan.

Gambar 5. Pengaturan posisi buah di dalam kemasan bantalan.

Pada perancangan kemasan transportasi komoditi hortikultura juga

dilakukan serangkaian pengujian untuk menilai kemasan hasil rancangan tersebut.

Secara garis besar, pengujian-pengujian ini dapat digolongkan pada 2 (dua) jenis

kurang tepat

Kemasan primer

tepat berlebihan

Kemasan bantalan

Page 14: salak

16

uji yaitu pengujian terhadap kemasan hasil rancangan dan pengujian terhadap

komoditi hortikultura. Pengujian terhadap kemasan hasil rancangan berupa uji

beban tekan (compression testing) dan uji ketinggian jatuh (dropping testing)

dengan sampel uji tiap kemasan hasil rancangan. Untuk pengujian kemasan hasil

rancangan secara tumpukan, dilakukan uji transportasi baik berupa simulasi di

laboratorium maupun uji langsung di lapangan sesuai jalur transportasi yang

ditentukan (Peleg, 1985). Adapun pengujian terhadap komoditi yang diangkut

bertujuan untuk menganalisis kerusakan yang timbul sebelum dan sesudah proses

transportasi, biasanya berupa pengukuran sifat-sifat kritis komoditi yang

mempengaruhi mutu komoditi, seperti sifat fisik, reologi, kimia, fisiologik dan

organoleptik. Contoh dari sifat fisik dan reologi yang diuji adalah persentase

kememaran, firmness, modulus elastisitas dan susut bobot. Sifat kimia misalnya

total padatan terlarut, pH, dan kadar vitamin C, dan sifat fisiologik misalnya laju

respirasi (Purwanto, 1986; Waluyo, 1990; Mohamad, 1990; Ögừt et al., 1997;

CGS Noer, 1998; Darmawati, 1994; Dalimunthe, 2002; Anwar, 2005).

Pola penyusunan buah dalam kemasan

Secara garis besar, pola penyusunan buah dalam kemasan dapat

digolongkan dalam 2 cara, yaitu pola penyusunan buah secara acak (jumble pack),

dan pola penyusunan secara teratur (pattern pack). Pola penyusunan buah secara

acak adalah pola yang paling umum digunakan, terutama untuk buah – buahan

yang berharga murah. Pola ini adalah pola yang paling tua, paling sederhana dan

berbiaya rendah daripada semua pola penyusunan secara teratur. Namun pola ini

menyebabkan kerusakan buah yang tinggi, kepadatan buah dalam kemasan yang

lebih rendah dan penampilan yang kurang menarik.

Menurut Syaifullah dan Soedibyo (1976), diacu dalam Waluyo (1990),

penyusunan buah dalam kemasan dapat dilakukan dengan beberapa cara (pola),

yaitu pola 2-2, 3-2, 3-3, dan 4-3 (Gambar 6).

Page 15: salak

17

Gambar 6. Pola penyusunan buah jeruk dalam kemasan.

Penelitian Waluyo (1990) terhadap buah jeruk yang dikemas dalam peti

kayu menunjukkan bahwa pola susunan 3-2 lebih unggul daripada pola 3-3.

Setelah simulasi transportasi selama 8 (delapan) jam, kekerasan buah jeruk yang

disusun dengan pola 3-2 sebesar 4.9733 kg/cm2 sedangkan kekerasan buah jeruk

dengan pola 3-3 sebesar 4.0800 kg/cm2.

Peleg (1985) mengembangkan pola penyusunan buah secara teratur

berdasarkan jarak (selang) antara buah dalam 3 (tiga) dimensi atau sesuai dengan

sumbu cartesius (x, y, z) dan disebut sebagai Pola Region I, Pola Region II dan

Pola fcc (face-centered cubic). Di antara ketiga pola tersebut, pola fcc merupakan

pola susun yang optimal. Pola susun fcc adalah suatu cara penyusunan dalam

kemasan dengan bentuk susunan yang mirip kubus. Bentuk kubus ini ditunjukkan

dengan 5 (lima) buah sebagai contoh susunan, dimana 1 (satu) buah sebagai pusat

yang diletakkan di tengah – tengah (titik pusat) kubus dan 4 (empat) buah masing

– masing diletakkan di sudut – sudut kubus (Gambar 7). Pola susunan fcc hanya

berlaku untuk buah yang berbentuk spheroid dan ellipsoid. Mayoritas buah –

buahan memang berbentuk spheroid.

Page 16: salak

18

Gambar 7. Ilustrasi pola penyusunan fcc.

Pola susun fcc diawali dengan menentukan jumlah buah dalam kemasan

(N). Selanjutnya jumlah buah dalam kemasan menjadi acuan dalam menentukan

jumlah buah pada tiap baris/ lajur kemasan (KA, KB, KC). Adapun kombinasi nilai

KA, KB, KC didasarkan pada jenis pola baris buah, yaitu pola baris simetris atau

non simetris.

Rumusan pola baris non simetris: N = (KAKBKC) / 2................................(1)

Disebabkan N harus suatu bilangan bulat, setidaknya salah satu dari KA,

KB dan KC harus suatu bilangan genap agar didapatkan pola baris non simetris

tersebut.

Rumusan pola baris simetris: N = (KAKBKC + 1) / 2.................................(2)

Sedangkan pola baris simetris, KA, KB, dan KC harus termasuk bilangan

ganjil agar N tetap suatu bilangan bulat.

Setelah pola baris KA, KB, dan KC ditentukan, selanjutnya dapat dihitung

ukuran dimensi kemasan dengan rumusan:

A = (1.41 KA + 0.59)a ……………………………..................................(3)

B = (1.41 KB + 0.59)b ………………………….................................….(4)

C = (1.41 KC + 0.59)b …………………………......................................(5)

Dan volume kemasan ditentukan dengan rumus:

V = ABC...................................................................................................(6)

Sedangkan volume total buah dalam kemasan adalah:

cBAk KKKabV2

3

2π= ................................................................................(7)

Page 17: salak

19

Sehingga kepadatan (densitas) kemasan didapatkan:

S = Vk/ V.................................................................................................(8)

Adapun jarak antar buah dalam pola fcc diatur dalam 3 (tiga) dimensi

sesuai 3 (tiga) sumbu cartesius (sumbu x, y, z) ditentukan dengan rumusan:

∆x = 0.82a …………………………………….......................................(9)

∆y = 0.82b …………………………………….....................................(10)

∆z = 0.82b …………………………………….....................................(11)

Salah satu keuntungan dari pola susun fcc ini dibandingkan pola susun

konvensional adalah penggunaan volume kemasan yang lebih baik sehingga dapat

menghemat biaya transportasi, penyimpanan dan bahan kemasan dengan tetap

mempertahankan mutu buah-buahan yang dikemas.

Standar Mutu Salak

Standar mutu salak Indonesia tercantum pada SNI 01 – 3167 – 1992.

Salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu mutu I dan mutu II (Tabel 2). Ukuran

berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per

buah, ukuran sedang berbobot 33 – 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32

gram atau kurang per buah.

Tabel 2. Kelas mutu salak berdasarkan SNI 01–3167–1992

Tingkat Mutu I Mutu II

Ketuaan Seragam tua Kurang seragam

Kekerasan Keras Keras

Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh

Ukuran Seragam Seragam

Busuk (bobot/bobot) 1% 1% Kotoran Bebas Bebas