4
Sertifikasi Guru Bahasa: Sebuah Telaah Komparatif Oleh Widiatmoko E.: [email protected] W.: http://widiatmoko.blog.com Jakarta, Indonesia Pengantar Sertifikasi - istilah yang kini mengemuka yang bertalian dengan kualifikasi guru - memang secara konseptual selalu seiring dengan istilah akreditasi. Baik sertifikasi maupun akreditasi, keduanya melekati ihwal penilaian ( assessment). Akreditasi lebih berorientasi kepada pencapaian kualitas tertentu dengan menggunakan penilaian tertentu pada lingkup makro, sedangkan sertifikasi berorientasi kepada pencapaian kualitas seseorang pada lingkup mikro sesuai dengan ketekunannya di bidang tertentu. Yang terakhir ini kemudian menjadi isu sentral sebab ia bertalian dengan kualitas lulusan sekolah di negeri ini yang belum memuaskan. Kualitas tersebut tentu sebagai salah satu dampak dari faktor kualifikasi guru yang ditengarai secara umum masih jauh dari idealita. Memang, sertifikasi yang kini dipakai mengalami makna meluas yang lazim digunakan di dalam ilmu pendidikan. Ditilik dari sejarahnya, istilah itu sudah dipakai oleh Bullanger pada 1592 dalam karya yang berjudul Decades dan bermakna as when a thing by perswasions is to beate into our minds, that after that we neuer doubt anye more (Old English: sesuatu yang dengan alasan yang kuat telah diyakini dan tidak pernah diragukan lagi). Memang, apabila kualitas guru dibiarkan stagnan, tidak dimungkiri ia akan memantik (menuai) keterpurukan generasi di masa yang akan datang. Ini bermakna akan terjadinya kemandekan kepemimpinan bangsa ke depan sebab pemimpin tersebut hanya akan lahir dari rahim pendidikan yang berkualitas. Ini dapat ditengok secara empirik di negara-negara besar dunia di mana pemimpin mereka berasal dari induk pendidikan berkualitas. Lantas, pendidikan seperti apa yang dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Ditilik dari aras pendidikan global, ternyata mereka yang menyelenggarakan pendidikan tersebut telah memiliki standar kualifikasi infrastruktur dan sumberdaya yang sangat memadai. Ini ditandai dengan adanya kesinambungan penilaian secara komprehensif terhadap aspek sumberdaya manusia, sumber dana, manajemen, dan sebagainya. Sangat lumrah apabila istilah akreditasi (accredited) dan sertifikasi (certified) selalu bersandingan ketika menggunjingkan kualitas pendidikan. Di negeri ini sejak lima tahun lalu, istilah akreditasi telah menjadi isu sentral di kalangan pendidik. Oleh karena itu, lahirlah Badan Akreditasi Nasional dan disusul Badan Akreditasi Sekolah. Istilah tersebut lantas menjadi label bagi lembaga pendidikan yang telah memenuhi pencapaian syarat-syarat tertentu, seperti pemenuhan aspek fisik, pemenuhan kuantitas dan kualitas peserta didik (yang lulus dan aktif), pemenuhan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar, pemenuhan administrasi akademik, dan sebagainya. Semua itu tentu didasarkan atas penggunaan acuan penilaian tertentu. Acuan penilaian ini kemudian menjadi fokus perhatian di kalangan pendidik dan akhirnya merambah juga pada pemunculan istilah sertifikasi guru. Apabila sertifikasi menjadi sebuah keharusan, lantas badan, lembaga, atau konsorsium mana yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya di lapangan. Agar setara dengan kedua badan akreditasi tersebut, dimungkinkan Badan Sertifikasi Nasional sebagai istilah yang tepat digunakan sebagai badan yang mengurusi sertifikasi tenaga pengajar. Idealnya, baik badan akreditasi maupun badan sertifikasi itu nantinya mampu mengurusi lembaga pendidikan negeri dan swasta dan tenaga pengajar negeri dan swasta. Khusus yang bertalian dengan sertifikasi guru,

WIDIATMOKO, WIDYAISWARA: Sertifikasi Guru Bahasa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sertifikasi - istilah yang kini mengemuka yang bertalian dengan kualifikasi guru - memang secara konseptual selalu seiring dengan istilah akreditasi. Baik sertifikasi maupun akreditasi, keduanya melekati ihwal penilaian (assessment). Akreditasi lebih berorientasi kepada pencapaian kualitas tertentu dengan menggunakan penilaian tertentu pada lingkup makro, sedangkan sertifikasi berorientasi kepada pencapaian kualitas seseorang pada lingkup mikro sesuai dengan ketekunannya di bidang tertentu. Yang terakhir ini kemudian menjadi isu sentral sebab ia bertalian dengan kualitas lulusan sekolah di negeri ini yang belum memuaskan. Kualitas tersebut tentu sebagai salah satu dampak dari faktor kualifikasi guru yang ditengarai secara umum masih jauh dari idealita. Memang, sertifikasi yang kini dipakai mengalami makna meluas yang lazim digunakan di dalam ilmu pendidikan. Ditilik dari sejarahnya, istilah itu sudah dipakai oleh Bullanger pada 1592 dalam karya yang berjudul Decades dan bermakna ‘as when a thing by perswasions is to beate into our minds, that after that we neuer doubt anye more’ (Old English: sesuatu yang dengan alasan yang kuat telah diyakini dan tidak pernah diragukan lagi).

Citation preview

Page 1: WIDIATMOKO, WIDYAISWARA: Sertifikasi Guru Bahasa

Sertifikasi Guru Bahasa: Sebuah Telaah Komparatif

Oleh

WidiatmokoE.: [email protected]

W.: http://widiatmoko.blog.comJakarta, Indonesia

PengantarSertifikasi - istilah yang kini mengemuka yang bertalian dengan kualifikasi

guru - memang secara konseptual selalu seiring dengan istilah akreditasi. Baik sertifikasi maupun akreditasi, keduanya melekati ihwal penilaian (assessment). Akreditasi lebih berorientasi kepada pencapaian kualitas tertentu dengan menggunakan penilaian tertentu pada lingkup makro, sedangkan sertifikasi berorientasi kepada pencapaian kualitas seseorang pada lingkup mikro sesuai dengan ketekunannya di bidang tertentu. Yang terakhir ini kemudian menjadi isu sentral sebab ia bertalian dengan kualitas lulusan sekolah di negeri ini yang belum memuaskan. Kualitas tersebut tentu sebagai salah satu dampak dari faktor kualifikasi guru yang ditengarai secara umum masih jauh dari idealita. Memang, sertifikasi yang kini dipakai mengalami makna meluas yang lazim digunakan di dalam ilmu pendidikan. Ditilik dari sejarahnya, istilah itu sudah dipakai oleh Bullanger pada 1592 dalam karya yang berjudul Decades dan bermakna ‘as when a thing by perswasions is to beate into our minds, that after that we neuer doubt anye more’ (Old English: sesuatu yang dengan alasan yang kuat telah diyakini dan tidak pernah diragukan lagi).

Memang, apabila kualitas guru dibiarkan stagnan, tidak dimungkiri ia akan memantik (menuai) keterpurukan generasi di masa yang akan datang. Ini bermakna akan terjadinya kemandekan kepemimpinan bangsa ke depan sebab pemimpin tersebut hanya akan lahir dari rahim pendidikan yang berkualitas. Ini dapat ditengok secara empirik di negara-negara besar dunia di mana pemimpin mereka berasal dari induk pendidikan berkualitas. Lantas, pendidikan seperti apa yang dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Ditilik dari aras pendidikan global, ternyata mereka yang menyelenggarakan pendidikan tersebut telah memiliki standar kualifikasi infrastruktur dan sumberdaya yang sangat memadai. Ini ditandai dengan adanya kesinambungan penilaian secara komprehensif terhadap aspek sumberdaya manusia, sumber dana, manajemen, dan sebagainya. Sangat lumrah apabila istilah akreditasi (accredited) dan sertifikasi (certified) selalu bersandingan ketika menggunjingkan kualitas pendidikan.

Di negeri ini sejak lima tahun lalu, istilah akreditasi telah menjadi isu sentral di kalangan pendidik. Oleh karena itu, lahirlah Badan Akreditasi Nasional dan disusul Badan Akreditasi Sekolah. Istilah tersebut lantas menjadi label bagi lembaga pendidikan yang telah memenuhi pencapaian syarat-syarat tertentu, seperti pemenuhan aspek fisik, pemenuhan kuantitas dan kualitas peserta didik (yang lulus dan aktif), pemenuhan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar, pemenuhan administrasi akademik, dan sebagainya. Semua itu tentu didasarkan atas penggunaan acuan penilaian tertentu. Acuan penilaian ini kemudian menjadi fokus perhatian di kalangan pendidik dan akhirnya merambah juga pada pemunculan istilah sertifikasi guru. Apabila sertifikasi menjadi sebuah keharusan, lantas badan, lembaga, atau konsorsium mana yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya di

Page 2: WIDIATMOKO, WIDYAISWARA: Sertifikasi Guru Bahasa

lapangan. Agar setara dengan kedua badan akreditasi tersebut, dimungkinkan Badan Sertifikasi Nasional sebagai istilah yang tepat digunakan sebagai badan yang mengurusi sertifikasi tenaga pengajar. Idealnya, baik badan akreditasi maupun badan sertifikasi itu nantinya mampu mengurusi lembaga pendidikan negeri dan swasta dan tenaga pengajar negeri dan swasta. Khusus yang bertalian dengan sertifikasi guru, diupayakan adanya pentahapan pencapaian. Ini bermakna bahwa tidak serta merta hanya karena telah memperoleh ijazah, lantas seorang guru secara otomatis menyandang sebutan bersertifikasi. Mengingat kemajemukan etnik, letak geografi, status ekonomi sosial, sebaran teknologi informasi, sebaran kultural, dan sebagainya, pelaksanaan sertifikasi di negeri ini diharapkan dilaksanakan secara berjenjang, sebut saja sertifikasi tingkat dasar, sertifikasi tingkat menengah, dan sertifikasi tingkat tinggi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya modifikasi penjenjangan dalam bentuk lain terhadap pelaksanaan sertifikasi tersebut.

Pelaksanaan sertifikasi guru tersebut kelak diupayakan dengan melibatkan tenaga ahli yang cukup banyak yang membidani masing-masing disiplin keilmuan. Sebut saja, yang bertalian dengan guru bahasa, guru matematika, guru kimia, guru biologi, dan sebagainya. Di bidang bahasa, sebagai perbandingan, menurut hemat penulis, yang paling mudah untuk membuat rumusan bentuk sertifikasi guru bahasa itu adalah dengan menyelusuri sejarah atau isu-isu sertifikasi guru bahasa di negara-negara maju.

Tilikan Perbandingan Sertifikasi Guru BahasaIsu tentang sertifikasi guru bahasa di dunia sesungguhnya telah bergulir

sejak 1970-an, yakni ketika adanya gerakan untuk mengenalkan pendekatan komunikatif di dalam pengajaran bahasa. Ketika itu, karya-karya monumental di bidang pengajaran bahasa mencapai titik kulminasinya dengan terbitnya buku-buku, seperti The Communicative Approach to Language Teaching (karya Brumfit dan Johnson, 1979), Communicative Language Teaching: An Introduction (karya Littlewood, 1981), Communicative Syllabus Design (karya Munby, 1981), dan The Communicative Syllabus (karya Yalden, 1983). Seiring dengan itu, banyak literatur tentang tes bahasa juga muncul, sebut saja Communicative Language Testing: Revolution or Evolution (karya Morrow, 1979) dan Communicative Language Testing (karya Weir, 1990).

Pada 2005 lalu, isu tentang sertifikasi guru bahasa di negara-negara Uni Eropa mengalami perdebatan. Ini disebabkan oleh berbagai faktor yang membedakan di antara negara-negara itu, baik yang bertalian dengan sistem sertifikasi, tujuan sertifikasi, format sertifikasi, pendanaan sertifikasi, penjenjangan sertifikasi, latar sosio-politik, faktor historis dan ekonomi, faktor kultural, sumberdaya, dan sebagainya. Sebagaimana dilaporkan Education Guardian, di Inggris kini kurang lebih terdapat 114 lembaga yang membidani sertifikasi di mana antara lembaga satu dan lainnya memiliki perbedaan acuan sertifikasi. Ini kemudian mengakibatkan perbedaan tafsiran ketika mereka melaksanakan ujian.

Berbeda halnya dengan pelaksanaan sertifikasi guru bahasa di Amerika. Secara khusus para guru bahasa di sana harus menyelesaikan apa yang disebut sebagai ‘approved program’ pendidikan guru selama empat tahun di perguruan tinggi. Selain itu, para guru bahasa diharuskan juga mengambil matakuliah bahasa asing untuk disertifikasi dan memiliki nilai Indeks Prestasi Kumulatif tertentu yang disyaratkan. Untuk memperoleh ‘approved program’, institusi harus mampu menunjukkan kepada Kementerian Pendidikan bahwa mereka telah memenuhi standar yang ditentukan oleh negara-negara bagian. Hampir semua negara bagian di sana mengacu pada pemikiran para ahli pengajaran bahasa asing tahun 1950-an dan 1960-an, yang berjudul ‘Qualifications for Secondary School Teachers of Modern Foreign Languages’ – yang memuat deskripsi singkat tentang derajat pencapaian kompetensi di wilayah menyimak, berbicara, membaca, menulis,

Page 3: WIDIATMOKO, WIDYAISWARA: Sertifikasi Guru Bahasa

linguistik terapan, pengetahuan lintas budaya dan masyarakat, dan pedagogi – dan ‘Guidelines for Teacher Education Programs in Modern Foreign Languages’ – yang memuat gambaran tentang program-program model pengajaran.

Ditengarai juga, kecenderungan mutakhir di dalam sertifikasi guru bahasa telah menyentuh tiga wilayah. Yang pertama bertalian dengan penilaian kompetensi guru. Ini mencakupi penilaian di bidang keterampilan dasar, pengetahuan profesi, dan pengajaran bahasa. Penerapan di lapangan terhadap penilaian ini dapat berupa satu rangkaian dengan asumsi bahwa kompetensi khusus yang esensial untuk keberhasilan pengajaran dapat diidentifikasi melalui analisis pengajaran yang efektif dan dilakukan sebelum pelaksanaan sertifikasi. Yang kedua adalah menyangkut penghargaan atas sertifikasi guru bahasa. Ini bertalian dengan penataan persiapan program dan prosedur sertifikasi. Sebagaimana diketahui, pada 1980 Amerika pernah melakukan ini yang dibuktikan dengan keberhasilan National Conference on Professional Priorities yang dibidani oleh The American Council on the Teaching of Foreign Languages dan The Northeast Conference on the Teaching of Foreign Languages berupa pengakuan negara-negara bagian dengan mengadopsi standar yang baru untuk menyelenggarakan program sertifikasi guru bahasa asing. Yang ketiga bertalian dengan evaluasi kemahiran berbahasa. Ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi atas hasil program sertifikasi. Upaya yang esensial adalah merencanakan jenis tes yang tepat yang dapat digunakan untuk setiap jenjang sertifikasi. Ini sesungguhnya bukan hal baru mengingat Amerika telah memulainya sejak puluhan tahun lalu. Lihat saja, pada awal 1960-an, tes pertama di Amerika yang dikembangkan untuk mengevaluasi program sertifikasi guru bahasa adalah MLA/ETS Foreign Language Proficiency Tests for Teacher and Students. Jenis tes ini meskipun agak usang, namun mampu untuk mengukur kompetensi bahasa asing seorang guru. Perkembangan selanjutnya adalah sejak 1979, The American Council on the Teaching of Foreign Languages dan Educational Testing Service bekerja sama untuk memformulasikan tes kemahiran bahasa. Hasilnya adalah digunakannya tes ACTFL Provisional Proficiency Guidelines yang memuat tes berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan pengetahuan lintas budaya yang lebih berorientasi pada penekanan kemahiran bahasa lisan.

Kini, akselerasi perubahan standar acuan untuk penilaian sertifikasi guru bahasa terus berlangsung. Ini dapat dilihat dari berbagai ragam tes untuk sertifikasi tersebut. Pertama, di Texas alat ukur tes wawancara lisan Proficiency-Based Foreign Language Teacher Certification in Texas menjadi acuan sejak 1984. Kedua, The National Teachers Examination digunakan untuk pengujian sertifikasi di negara-negara bagian, seperti Alabama, Arkansas, California, Mississippi, South Carolina, Tennessee, dan Virginia. Ketiga, Georgia dan Oklahoma mengembangkan tes untuk sertifikasi dengan melibatkan guru-guru bahasa asing dan tim dari National Evaluation Systems of Amherst. Keempat, North Carolina melibatkan beberapa profesor dan guru bahasa untuk mengembangkan tes sertifikasi. Kelima, Massachusetts menggunakan tes sertifikasi yang dikembangkan oleh Massachusetts Language and Culture Assessor Center, demikian halnya dengan negara-negara bagian lainnya, seperti Kentucky dan West Virginia. Oleh karena itu, sesungguhnya standar acuan untuk sertifikasi guru bahasa memang tidak dapat disamaratakan antara negara satu dengan negara lainnya.

Bukanlah aneh, apabila isu sertifikasi guru bahasa juga menjadi gejolak pemikiran di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Namun, dari telaah komparatif itu semua, yang menjadi perhatian tentang sertifikasi guru bahasa adalah bagaimana merumuskan dimensi-dimensi yang ada di dalam sertifikasi tersebut, antara lain desain dan perencanaan pengajaran yang mampu mengembangkan kemampuan siswa; kreativitas penciptaan iklim belajar yang mendukung perkembangan siswa; implementasi pengajaran; penilaian hasil belajar siswa; kolaborasi dengan pihak orang tua siswa, kolega, masyarakat, dan pihak lain untuk mengembangkan program pembelajaran; dan pencapaian prestasi dalam

Page 4: WIDIATMOKO, WIDYAISWARA: Sertifikasi Guru Bahasa

pengajaran. Untuk mencapai pemenuhan dimensi-dimensi tersebut, guru bahasa hendaklah mampu merancang kurikulum yang memuat cara-cara mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik; mengembangkan metoda, materi ajar, dan alat bantu pengajaran; mengadopsi perbedaan aspek fisik, mental, sosial, kultural di dalam pembelajaran; mengedepankan pengalaman belajar yang didasarkan pada keefektifan manajemen kelas; mengembangkan sikap saling menghargai; mendorong iklim disiplin dan tanggung jawab; memfasilitasi pembelajaran kooperatif; mengkomunikasikan harapan yang tinggi dalam pembelajaran; memaksimalisasi strategi pembelajaran yang memenuhi perbedaan kebutuhan pembelajar; mendorong berpikir kritis; memanfaatkan teknologi informasi untuk memperoleh sumber-sumber pembelajaran; memperbaiki pengajaran berdasarkan masukan dan evaluasi peserta didik; mengumpulkan pekerjaan dan capaian siswa secara periodik untuk menentukan penilaian komprehensif; membuat jaringan di luar sekolah yang akan menggunakan alumninya; mengaitkan antara pengetahuan yang diajarkan dan situasi kehidupan nyata; memberikan layanan dan sumber informasi yang siswa butuhkan; memberikan model kepribadian dan kepemimpinan; dan sebagainya.

PenutupIstilah sertifikasi sudah lazim seiring dengan istilah akreditasi. Sertifikasi

yang kini mengedepan sesungguhnya memiliki akar riwayat yang pernah digunakan oleh ilmuwan pada ratusan tahun lalu. Kini, banyak sekali pemikiran baru tentang rumusan sertifikasi itu. Namun ditengarai, di dunia pendidikan, isu sertifikasi guru seolah-olah hanya bertalian dengan pemerolehan ijazah. Seyogyanya, diperlukan kajian komprehensif tentang dimensi-dimensi apa saja yang termasuk di dalam sertifikasi itu sehingga dimungkinkan adanya kejelasan pentahapan pelaksanaannya. Isu sentral tentang bagaimana rumusan sertifikasi yang sesungguhnya justru mengalami distorsi pemaknaan. Oleh karena itu, upaya yang tepat adalah menyelusuri sejarah, isu, dan kecenderungan mutakhir tentang sertifikasi melalui pengalaman praktik dari negara-negara maju di dunia. Dengan telaah komparatif itulah, diharapkan sertifikasi guru, khususnya guru bahasa, menjadi jelas arah dan implementasinya. Tidak menutup kemungkinan, masa depan negeri ini yang lebih baik dapat diraih karena indikator keberhasilan pendidikannya.