Upload
lorens-atie
View
33
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
baca saja
Citation preview
MID
PLURASLISME BUDAYA
MAKALAH TENTANG REALITAS PLURALISTIS DAN MULTIKULTURALISTIK
DI NTT DIKAITKAN DENGAN KONDISI POLITIK LOKAL NTT
NAMA : Jusuf Aryanto Modok
NIM : 1003051041
SEMESTER :VI
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2 0 1 3
A. LATAR BELAKANG
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan sebuah provinsi Indonesia yang
terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara lain
Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo dan
Palue. Ibukotanya terletak di Kupang, Timor Barat.
Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama di Nusa
Tenggara Timur adalah Flores, Sumba dan Timor Barat. Dengan luas wilayah
keseluruhan mencapai 48.718,10 km2. Provinsi ini menempati bagian barat pulau
Timor. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas provinsi Indonesia
yang ke-27, yaitu Timor Timur yang merdeka menjadi negara Timor Leste pada
tahun 2002.
Kondisi sosial di NTT masih dalam tatanan yang terawat dimana
penduduknya masih sangat menggubris nilai-nilai sosial seperti hukum, agama
dan aturan-aturan budaya yang berlaku dilingkungan sosial mereka. Namun
penduduk di NTT dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih
tergolong rendah. Contohnya saja dalam beberapa kurun waktu kebelakang NTT
masih termasuk provinsi dengan taraf kemiskinan yang tinggi dan SDMnya yang
rendah.
Kondisi budaya NTT masih sangat dihargai oleh penduduknya dimana
penduduk NTT selalu melestarikan budaya yang dimiliki terlihat dari visualisasi
tatanan masyarakat NTT yang masih sangat kental akan budaya seperti pakian
adat, musik daerah, tata krama budaya serta berbagai kebiasaan lainnya yang
menggambarkan budaya NTT yang murni. Namun belum maksimalnya promosi
budaya NTT pada tingkat nasional sehingga belum menjangkau batasan yang lebih
kuas dari sekarang ini.
Kondisi perpolitikan di Indonesia khususnya NTT masih sangat kental
dengan yang namanya SARA (suku, agama, Ras dan Antar golongan ) dimana para
penguasa yang ada di NTT merupakan hasil dari pemilihan yang bersifat SARA.
Begitu pula cara kepemimpinanya masih berpihak pada SARA yang sejenis
contohnya saja waktu pemilihan pemimpin di NTT masyarakatnya masih
mengutamakan pemimpin yang berasal dari SARA yang sama bukan
memperhatikan pada kualitas pemimpin atau kemampuan dari calon pemimpin
yang diidolakan. Begitu pula pemimpinya juga dalam memperhatikan
masyarakatnya lebih menganak emaskan SARA yang sejenisnya dengannya.
Perpolitikan di NTT masih belum maksimal dalam prakteknya karena masih
banyak masyarakat yang tahu betul tentang arti dari politik dan manfaat dari
politik itu sendiri sehingga masih banyak yang salah pemahaman dan salah
pendapat. Masih banyak juga permainan kotor dalam dunia politik di NTT.
Contohnya saja waktu ada kampanye politik di NTT para calonnya selalu
mengandalkan uang demi mendapatkan dukungan yang banyak dengan cara
menyuap masyarakat. Keadaan politik di NTT masih sangat memprihatinkan
dimana banyak masyarakat dalam memilih pemimpin tidak dilihat dari
reputasinya yang baik dan kandidat yang berbobot tetapi masyarakat masih
memilih berdasarkan suku dan agama. Contohnya pada opini Victory News
“Simpul Krusial Pilgub Putaran Kedua” Tanggal: 04-04-2013, dituliskan bahwa
Pluralisme dan multikulturalisme di NTT merupakan sesuatu yang given
dan memang sudah ada sejak lama; apa pun bentuk dan model dinamika
masyarakatnya. Politik merupakan salah satu bentuk dinamika perubahan sosial
yang memiliki dua implikasi sekaligus yakni memperkuat atau memperlemah
watak solider dan integratif masyarakat NTT. Selama kita, warga NTT, belum
keluar dari bingkai solider dan integratif dan lebih memilih disintegratif maka
selama itu pula NTT akan menjadi negeri percobaan nilai dan budaya bangsa lain
di bumi ini. Jika ditarik ke kanal politik, selama kita dibius oleh primordialisme
politik dan tidak memikirkan NTT sebagai satu keluarga besar Flobamorata maka
pada titik itu pula kita akan tercabik-cabik dan terpecah untuk masuk ke dalam
bingkai kecil peradaban.
Harus diakui bahwa empat fenomena berikut pasti muncul di konteks sosial
politik NTT di putaran kedua. Keempat fenomena itu adalah menguatnya
primordialisme, meningkatnya jumlah golput, fenomena politik uang dan bahaya
kampanye hitam. Munculnya empat gejala itu disebabkan karena beberapa hal
berikut ini. Pertama, dari aspek etnopolitik, kedua pasangan yang maju ke putaran
kedua merupakan wakil dari dua etnis besar di NTT; Timor dan Flores. Kedua, dari
aspek religiopolitik, kedua pasangan itu mewakili dua saudara kandung agama
konvensional yakni Katolik dan Protestan. Ketiga, dari aspek politik pemerintahan,
kedua paket tersebut merupakan incumben yang saat ini sedang memerintah.
Frans sebagai Gubernur NTT dan Esthon sebagai Wakil Gubernur NTT. Kontestasi
politik lokal akan berhadapan langsung dengan tiga aspek itu.
Empat gejala politik seperti digambarkan di atas tentu memberi implikasi
nyata. Implikasinya berhubungan tidak hanya dengan aspek politik tetapi juga
membawa aspek sosial, budaya dan ekonomi. Pertama,semakin mempertegas
polarisasi masyarakat ke dalam sekat-sekat primordial (agama dan etnis). Dua
fakta pertama (etnopolitik dan religiopolitik) tegas menguat di sini. Politik kita,
Indonesia dan NTT jelas berhadapan dengan realitas itu. Kaya akan etnis, budaya
dan agama. Menarik bahwa pemain politik cekat menggunakan aspek itu untuk
mendulang suara guna mendapatkan kekuasaan. Alasanya jelas.
Masyarakat NTT dianggap masih bodoh dan tidak melek politik. Kondisi ini
berhadapan dengan realitas dikotomis politik NTT antar Flores yang Katolik di
satu sisi dengan Timor yang Protestan di sisi lain. Oposisi biner inilah yang perlu
diwaspadai oleh seluruh warga NTT di putaran kedua nanti.
Masih berhubungan dengan implikasi pertama di atas, implikasi kedua
adalah meningkatnya integrasi internal dan melemahkan adaptasi eksternal
masyarakat. Integrasi internal masyarakat Flores atau Timor akan semakin kuat.
Selanjutnya adaptasi eksternal dua saudara itu akan perlahan-lahan melemah.
Karena model politik primordial yang demikian maka orang Flores akan
menganggap orang Timor sebagai musuh dan sebaliknya orang Timor akan
melihat orang Flores sebagai hantu yang akan terus menjajah dan menggerogoti
masyarakat dan tanah Timor. Pernyataan ‘orang Flores harus tetap memerintah’
atau ‘kini saatnya atoin meto memimpin NTT’ merupakan batu asah untuk
memecah belah masyarakat NTT. Ini sangat berbahaya.
Implikasi ketiga adalah politisasi anggaran. Politisasi anggaran terjadi
karena ruang pemerintahan harus mengabdi pada politik. Uang yang dihabiskan
selama masa kampanye harus dikumpul lagi dan sebisa mungkin bertambah
jumlahnya. Maka, jika ada pemimpin politik yang mengatakan bahwa orientasi
kepemimpinannya untuk tujuan kesejahteraan rakyat, nanti dulu. Harus dilacak
rekam jejak dan catatan perjalanan politiknya. Bagi saya, kekuasaan yang dikejar
menjadi fungsi ekonomi. Artinya, setiap yang ikut dalam kontestasi politik hanya
bisa dimengerti sejauh memahami motif mereka untuk mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya. Kalau itu yang terjadi maka motivasi menyejahterakan
rakyat menjadi sesuatu yang utopia dan sulit didapat. Politik anggaran akan
diubah orientasinya dari untuk rakyat ke orientasi individual dan kelompok. Ini
berbahaya.
Dalam konteks politik, implikasi dari fenomena di atas adalah menurunnya
kualitas politik dan demokrasi. Ketiga implikasi yang telah dijelaskan sebelumnya
tentu berhubungkan dengan kadar kualitas demokrasi. Kalau tiga variabel itu
muncul maka kesimpulan utama yang bisa diambil adalah bahwa kualitas
demokrasi kita memang sedang tertatih-tatih dan bermasalah. Kondisi itu
mempertegas tesis banyak ahli yang mengatakan bahwa realitas politik dan
demokrasi di Indonesia masih mencari bentuk dan dalam proses transisi.
NTT harus memilih. Putaran kedua merupakan ajang pembuktian kualitas
sosial dan politik NTT; antara manusia yang masih berkutat dengan perkara
primordial atau malah menjadi manusia rasional. Beberapa catatan berikut harus
diperhatikan. Pertama, NTT itu bukan hanya Flores atau Timor; NTT bukan hanya
Katolik dan Protestan. NTT merupakan kumpulan bangsa Flobamorata. Memilih
mempertahankan solidaritas NTT sebagai saudara adalah jauh lebih bijak dan
menjanjikan ketimbang terjebak dalam sekat-sekat primordial (etnis dan agama).
Maka, jangan pernah memilih pemimpin karena faktor etnis dan agama. Pilihlah
pemimpin karena kualitas kepemimpinannya, rekam jejak atau catatan
perjalannya.
Kedua, KPUD harus serius untuk menjaga netralitas, meningkatkan
frekuensi dan intensitas pendidikan politik. Kualitas penyelenggara pilkada benar-
benar diuji dalam langgam politik pluralis dan multikulturalis seperti ini.
Ketiga, elit politik perlu memberi arahan dan penegasan terus menerus
kepada tim sukses agar siapa pun yang terpilih merupakan keinginan rakyat NTT
dan bukan keinginan satu dua orang, kelompok etnis atau agama. Kalau tidak
dilakukan, saya khawatir NTT akan terus berenang dalam kubangan persoalan di
waktu mendatang. Beberapa gejala di atas bisa diatasi jika semua elemen
masyarakat NTT sadar bahwa NTT merupakan saudara kandung. Etnis, budaya
dan agama hanyalah baju yang memperindah isi NTT itu sendiri.
Budaya politik di NTT masih amburadul. Belum termasuk politik yang murni. Perlu
adanya pembenahan yang signifikan dalam masalah ini oleh pemerintah.
B. PERSPEKTIF TEORITIK
1. Teori kritis
Teori kritis adalah produk sekelompok neo-Marxis Jerman yang tak
puas dengan keadaan teori Marxian (Bernstein, 1995: Keller, 1993: untuk
tinjauan yang lebih luas terhadap teori kritis, lihat Agger, 1998) terutama
kecenderungan nya menuju determinisme ekonomi. Terori kritis sebagian
besar terdiri dari kritik terhadap sebagian aspek kehidupan social dan
intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat
masyarakat secara lebih akurat (Blech, 1997).
Kritik terhadap Teori Marxian. Teori kritis ini merasa sangat
terganggu oleh pemikir Marxis penganut determinisme ekonomi yang
mekanistis (Antonio, 1981: Schroyer, 1973:Sewart,1978). Beberapa orang
diantaranya (misalnya, Habermas,1971) mengkritik determinisme yang
tersirat dibagian tetentu dari pemikiran asli Marx, tetapi kritik mereka
sangat ditekankan pada neo-Marx terutama karena mereka telah
menafsirkan pemikiran Marx terlalu mekanistis. Teoritisi kritis tak
menyatakan bahwa determinis ekonomi keliru, ketika memeusatkan
perhatian pada bidang ekonomi, tetapi karena mereka seharusnya juga
memusatkan perhatian pada aspek kehidupan social yang lain.
Kritik terhadap Positivisme. Terori kritis ini juga memusatkan
perhatian terhadap filsafat yang mendukung penelitian ilmiah terutama
positivism. Kritik terhadap positivisme sekurangnya sebagian berkaitan
dengan kritik terhadap determinisme ekonomi karena beberapa pemikir
deternimisme ekonomi menerima sebagian atau seluruh teori positivism
tentang pengetahuan. Positivisme menerima gagasan bahwa metode ilmiah
tunggal dapat diterapkan pada seluruh bidang studi. Penganut positivisme
yakin bahwa pengetahuan bersifat netral.
Aliran kritis menentang positivisme karena berbagai alasan yaitu:
positivisme cenderung melihat kehidupan social sebagai proses alamiah.
Singkatnya positivisme diangggap mengabaikan aktor. Kritik ini mengarah ke
pandangan bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menentang
sistem yang ada, seperti dikatakan Martin Jay tentang positivism ini,
"Akibatnya adalah mengabsolutkan 'fakta' dan reifikasi tatanan yang ada"
positivism menyebabkan berapa aktor dan ilmuwan social menjadi pasif,
meski ada kritikan terhadap positivisme masih ada beberapa orang yang
mendukung teori dan pandangan ini begitupun juga dengan Marx sendiri.
Kritik terhadap Sosiologi. Sosiologi diserang karena "keiliahannya",
yakni karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan didalam dirinya
sendiri. Aliran kritis ini berpandangan bahwa sosiologi tidak serius
mengkritik masyarakat, tidak berupaya merombak struktur sosial masa kini.
Kritik terhadap Masyarakat Modern. Kebanyakan karya aliran kritis
ditujukan untuk mengkritik masyarakat modern dan berbagai jenis
komponennya. Kebanyakan teori Marxian awal secara tegas tertuju kepada
bidang ekonomi, sedangkan aliran kritis menggeser orientasinya ke tingkat
cultural mengingat kultur dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis
modern. Artinya tempat dominasi dalam masyarakat modern telah bergeser
dari bidang ekonmi ke bidang cultural.
Pemikiran kritis telah dibentuk tak hanya oleh teori Marxian, tetapi
juga oleh teori Weberian. Aliran kritis jelas telah mengadopsi pembedaan
Weber antara rasionalitas formal dan rasionalitas subjektif atau apa yang
oleh teoritisi radikal dipandang sebagai reasom. Menurut teoritisi kritis,
rasionalitas formal tak mencerminkan perhatian mengenai cara yang paling
efektif untuk mencapai tujuan tertentu. meski kehidupan modern kelihatan
rasional, aliran kritis memandang masyarakat modern penuh dengan ketidak
rasionalan, gagasan itu diberi nama "irasionalitas dari rasionalitas formal".
Menurut pandangan Marcuse, meski tampaknya rasionalitas diwujudkan,
masyarakat ini secara keseeluruhan adalah tak rasional secara keseluruhan.
Kritik terhadap Kultur.
Teoritisi kritis melontarkan kritik pedas terhadap apa yang mereka
sebut "industry kultur", yakni struktur yang dirasionalkan dan
dibirokratisasikan. Ada dua hal yang paling dicemaskan oleh pemikir kritis
mengenai industry kutur ini, pertama, mereka mengkhawatirkan mengenai
kepalsuannya. Kedua, teoritisi kritis terganggu oleh pengaruh yang bersifat
menteramkan, menindas dan membius dri industry kultur terhadap rakyat.
Douglas Kellner(1990) dengan kesadaran sendiri menegmukakan
sebuah teori kritis tentang televise. Meski ia mengaitkan karyanya dengan
pemikiran cultural rankfurt, Kellner mengambil tradisi Marxian lain untuk
menyajikan konsepsi yang lebih utuh tentang industry televise. Ia mengkritik
aliran kritis karena "mengabaikan analisi rinci tentang ekonomi politik media
televise, mengonseptuallisasikan kultur massa sebagai sebuah instrument
ideology kapitalis semata".
Aliran kritis Marx terhadap kapitalisme membuatnya berharap pada
massa depan, tetapi banyak teoritisi kritis malah masuk pada pandangan
putus asa dan tanpa harapan. Sebagian teori kritik (seperti rumusan asli
Marx) adalah sejalan dengan analisis kritik, meskipun teori kritik juga
mempunyai sejumlah minat positif, tetapi ia lebih banyak memberi
konstribusi yang lebih kritis ketimbang kontribusi positif, dan karena alasan
ini mereka merasa bahwa teori kritik tak banyak memberi sumbangan pada
teori sosiologi.
Friedman (1981) mengatakan bahwa "teori kritis mengambil tiga hal
karya Freud yaitu : struktur psikologis untuk dipakai mengembangkan teori-
teori mereka, pemahaman psikopatologi yang membuat mereka bisa
memahami dampak negative masyarakat modern dan kegagalannya untuk
mengembangkan kesadaran revolusioner dan kemungkinan liberasi fisik.
Dialetika". Focus positif utama kedua dari teori kritis adalah minat pada
dialektika (ide ini dikritik dari sudut pandang Marxisme analitik).
Kritik terhadap teori kritis
Sejumlah kritik telah diajukan kepada teori kritik pertama, teori kritik
dituduh bersifat ahistoris. Kedua, aliran teorii kritis mengabaikan ekonomi.
Ketga, teoritisi kritik cenderung beragumen bahwa kelas pekerja telah hilang
sebagaimana halnya kekuatan revolusioner, pandangan yang bertentangan
dengan analisi Marxian tradisional. Kritik-kritik tersebut membuat tokoh
Marxis tradisional terkemuka seperti Bottomore berkesimpulan: " aliran
Frankfurt, dalam bentuk orisinilnya, dan aliran Marxisme atau sosiologi, telah
mati" (1984"76), sentiment yang sama diekspresikan oleh Greisman, yang
menyebut teori kritik adalah sebagai "paradigm yang gagal" (1986:273) . jika
ia menjadikan aliran yang berbeda, itu disebabkan banyak dari ide-ide
dasarnya sampai pada Marxisme, sosiologi neo-Marxian, dan bahkan
sosiologi arus utama. Jadi seperti dikatakan Bottomore dalam kasus
Hbermas, aliran kritis telah mengalami penyesuaian dengan Marxisme dan
sosiologi, dan pada saat yang berbeda ide penting aliran Frankfurt dipelihara
dan dikembangkan. (1984:76).
2. Teori Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti:
Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada,
Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri
pengetahuan mereka, Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh
pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran
terdahulu dengan pembelajaran terbaru,
Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi
baru dengan pemahamannya yang sudah ada, Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama, Faktor ini berlaku
apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, Bahan pengajaran yang disediakan perlu
mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat
pelajar.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil
dari konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi
baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka
ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu
mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajara juga dipengaruhi oleh
konteks, keyakinan , dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa
didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka
sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis.
Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun
pengetahauan awal mereka.
Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori
konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang
sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan
istilah konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan konstruktivisme
kognitif (Cognitive Constructivism).
C. ANALISIS
Karena NTT merupakan provisni yang terdiri dari berbagai suku dari
berbagai pulau maka banyak sekali terdapat kebiasaan atau budaya sosial dan
politik yang berbeda-beda sehingga belum adanya kesempurnaan dalam bidang
sosial, budaya maupun politik. Teori Kritis dan Teori Kontruksitisvisme
menjelaskan tentang menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong
kebebasan, keadilan dan persamaan serta tindakan menciptakan sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Maksudnya bahwa setiap tindakan yang ada pada
masyarakat baik itu yang berhubungan dengan sosial, budaya maupun politik
adalah apa yang berhubungan dengan kesamaan maupun apa yang dipelajari atau
pengetahuan tentang lingkungan dimana dia berada. Garis besarnya bahwa segala
tindakan atau apa yang dilakukan oleh manusia selalu bergantung pada kebiasaan
yang ada pada lingkungannya dan selalu berdasarkan SARA atau asal dari individu
itu sendiri. Sehingga dalam mengambil tindakan yang berhubungan dengan sosial,
budaya dan politik, seorang individu selalu menggunakan kebiasaan
lingkungannya sebagai acuan dasar dari setiap tindakan yang dilakukannnya.
Hal ini terlihat dari contoh diatas dimana penduuduk NTT sebagian besar
selalu mengambil keputusan atau tindakan berdasarkan apa yang dipelajarinya
dilingkungan dimana dia berada dan kesamaan dia dengan orang lain. Ini menjadi
PR besar bagi pemerintah dan kita sebagai masyarakat awam. Dimana demi
terciptanya masyarakat NTT yang berkualitas dalam bidang sosial, budaya
maupun politik kita harus belajar menghilangkan segala faktor yang mengikat
untuk mencapai SDM yang berkualitas baik itu dalam pola pikir dan lainnya.
Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural. Yakni,
kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang besar
seperti politik, ekonomi, budaya, wacana, jender, dan ras. Teori sosial kritis
mengungkap struktur ini untuk membantu masyarakat dalam memahami akar
global dan penindasan yang mereka alami. Singkatnya, tujuan Teori Kritis
sesungguhnya diarahkan pada upaya menghilangkan berbagai bentuk dominasi
atas kehidupan manusia salama segala bentuk dan manifestasi dan mendorong
terjadi kebebasan, terwujudnya kehidupan yang berkeadilan dan lahir sikap
melihat sesama sebagai pribadi yang berada pada tingkatan yang sama, adanya
spirit emansipasi persamaan derajat dan hak. Teori ini menggunakan metode
reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau
institusi sosial, politik, ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif atau
terindikasi menafikkan upaya pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Dari penjelasan teori sosial kritis diatas kita dapat melihat bahwa provinsi
NTT terdiri dari beragam suku yang tersebar di berbagai pulau dan kondisi politik
NTT masih sangat jauh dari harapan dimana para elit politik masih mendominasi
hak masyarakat untuk memilih dengan memberikan uang maka masyarakat akan
memilih sang elit politik, tindakan ini disebut budaya politik parokial, rakyat tidak
punya alternatif untuk memilih di luar hal-hal yang bersifat pragmatis. Tidak ada
kesadaran otonom untuk menentukan, mana kandidat yang berbobot, mana yang
berbohong. Dalam pilkada NTT hal yang terjadi adalah, individu manusia dalam
masyarakat, diperlakukan hanya sebagai mesin pemasok suara untuk pemenangan
dan kemenangan bagi para kandidat calon gubernur. Sebaliknya juga, masyarakat
pemilih memposisikan diri sebagai pendukung, tanpa mempertimbangkan secara
mendalam alasan untuk memberikan dukungan. Rakyat pemilih hanya
diperlakukan sebagai angka statistik untuk memprediksi kekuatan masing-masing
kubu.
D. KESIMPULAN
Masyarakat NTT harus banyak berbenah dalam aspek sosial, budaya dan
politik sehingga perkembangan penduduk dalam ketiga aspek tersebut tidak hanya
sekedar menjadi hal yang tabuh melainkan menjadi hal yang mampu
direalisasikan. Yaitu dengan cara meningkatkan SDM, dan memaksimalkan
sosialisasi pengetahuan tentang arti sebenarnya dari sosial, budaya dan politik di
NTT sehingga kondisi ketiga aspek tersebut dapat berkembang dan penduduk
yang ada di NTT tidak terus terjebak pada ketidak pahaman terhadap ketiga hal
tersebut. Dengan adanya pengertian yang seutuhnya tentang ketiga hal tersebut
maka tidak diragukan bahwa masyarakat yang ada di NTT merupakan penduduk
yang cerdas dalam merespon berbagai aspek pendukung aspek kehidupan yang
ada disekitar mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.victorynews-media.com/opini/04/04/2013/simpul-krusial-pilgub-putaran-kedua/
http://kabarsore.com/pendidikan/18738-teori-kritis-dalam-kehidupan-soaial.html
http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/nusa-tenggara-timur-ntt.html