Pertemuan Ke-6. Gerakan Masyarakat Sipil

Embed Size (px)

Citation preview

Pertemuan Ke-6 GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DAN RELEVANSINYA Oleh : Abdul Kholek. MA 1. Suatu Pengantar Bagian terdahulu telah dikaji dan diskusikan mengenai konsep, teori, pemetaan aktor, dan penerapan strategi serta anatomi gerakan sosial. Pertemuan ini akan mengkaji lebih detail mengenai gerakan masyarakat sipil beserta contoh kasus yang relevan. Kajian masyarakat sipil tentunya sudah dijelaskan pada pertemuan mengenai pemetaan aktor gerakan, karena masyarakat sipil merupakan salah satu aktor yang berperan penting dalam gerakan sosial. Menarik untuk diamati dan dikaji lebih dalam bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam berbagai gerakan sosial, tentunya didukung oleh gelombang demokrastisasi yang terus berjalan. Hal ini sejalan dengan Yusron (2002:19), bahwa demokrasi tidak akan berlangsung jika masyarakat sipil tidak mempunyai ruang atau lemah. Pengertian ini memperkuat asumsi bahwa penguatan masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan sebagai wujud konkrit dari proses menuju demokrasi yang substantif. Berdasarkan realitas tersebut untuk memahami lebih lanjut mengenai gerakan masyarakat sipil, harus dipahami beberapa konsep dasar sebagai berikut; 1) Wacana konsepsi masyarakat sipil dan diskursusnya, 2) Kajian historis mengenai perkembangan gerakan masyarakat sipil khususnya di Indonesia, 3) Kasus perlawanan petani sebagai konstekstualisasi gerakan masyarakat sipil. 2. Konsepsi dan Diskursus Masyarakat Sipil Kemunculan wacana masyarakat sipil jika ditarik dari sejarah lahirnya mempunyai keragaman persfektif. Keragaman persfektif inilah yang

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 1

mendorong konsepsi masyarakat sipil masuk kedalam sebuah diskursus atau perdebatan yang terus bermetamorfosis. Untuk memahami konsepsi masyarakat sipil akan diketengahkan beberapa asumsi dasar dari ilmuan yang pernah melibatkan diri dalam pergumulan wacana masyarakat sipil. Konsepsi masyarakat sipil (civil society) pertama kali dikenalkan oleh Cicero (106-43 SM), yang menterjemahkan komunitas politik (koinonia politike) dalam istilah Ariestoteles. Awalnya Arietoteles tidak memisahkan antara masyarakat sipil dan negara. Pemahaman Negara menurutnya beserta Plato bahwa Negara memiliki kekuasaan mutlak, dan harus dipimpin oleh kaum filsuf karena mereka memiliki kemampuan untuk mengatur dengan standar moral yang jelas. (Arief Budiman, 2002: 8). Konsepsi awal inilah yang memberikan ruang bahwa masyarakat terhimpun dalam komunitas politik. Keterkaitan antara masyarakat sipil dan Negara juga ditunjukkan dan menjadi dasar dari pemikir Negara. Thomas Hubbes (1588-1679) memberikan asumsi dasar bahwa dalam rangka memberikan ruang bagi keadilan dalam masyarakat maka harus dilakukan perjanjian sosial yaitu melalui Negara atau masyarakat sipil. Jhon Locke (1632-1704), memberikan asumsi yang hampir sama dengan pendahulunya bahwa negara terbentuk atas perjanjian bersama masyarakat. Masyarakat sipil terdapat legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Menurut JJ Rouseau (1712-1778) masyarakat menyerahkan kebebasan mereka pada Negara yang memiliki kekuasaan atas kehidupan mereka. Pemikir ini juga belum mencoba untuk memisahkan antara Negara dengan masyarakat sipil. Ilmuan yang memberikan persfektif agak berbeda yaitu Adam Ferguson (1723-1816), memisahkan antara masyarakat sipil dan negara, dalam asumsinya bahwa harus adanya keseimbangan antara negara yang kuat dengan masyarakat sipil yang terorganisir. Tradisi pemisahan dilanjutkan oleh Thomas Paine (1737-1809), semangat liberal yang melandasi bahwa kekuasaan

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 2

negara harus dibatasi dan diberikan ruang yang luas bagi masyarakat sipil. masyarakat sipil sebagai kebaikan yang lengkap, sementara Negara sebagai setan yang dibutuhkan. Hegel (1770-1831), memisahkan keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Masyarakat sipil merupakan perserikatan individu-individudengan kebutuhan mereka untuk mencapai kepentingan bersama dan individu. Negara adalah pelindung. Karl Marx (1818-1883), memberikan pandangan negative terhadap masyarakat sipil yang dikatakan sebagai kaum borjuis, yang bergerak untuk kepentingan sendiri. Antonio Gramsci (1891-1937), dengan konsep hegemoninya

memberikan asumsi mengenai masyarakat sipil sebagai kumpulan institusi yang terletak antara Negara dengan ekonomi, seperti sekolah, media, dan masyarakat secara umum. Counter hegemoni dan intelektual organic !!! (LSM/NGO). Konsep-konsep Gramsci inilah yang cukup besar berpengaruh dalam perjuangan masyarakat. Pemahaman yang lebih ekstrim dan banyak diadopsi oleh kalangan LSM/ornop, yaitu dari Alexis de Touqueville (18051859), masyarakat sipil merupakan kekuatan penyeimbang bagi negara. Bagian asumsi terakhir inilah yang cukup relevan untuk mengkaji gerakan masyarakat sipil, sebagai bagian dari gerakan social. Kuatnya kuasa Negara dan modal merupakan prakondisi bagi munculnya ruang baru bagi masyarakat sipil untuk hadir menstrasformasikan ketidakseimbangan hubungan tersebut, melalui gerakan sosial. 3. Historisasi; Gerakan Masyarakat sipil di Indonesia Berkembangnya wacana masyarakat sipil di Indonesia sekitar 1990-an, ketika gelombang demokrasi mulai masuk kedalam ruang publik didalam masyarakat massa orde baru. Istilah Masyarakat sipil pertama kali dikenalkan oleh MM Billa, dalam membahas agenda LSM dasawarsa 1990. Selain itu ada

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 3

juga konsep pengindonesian civil society dengan masyarakat madani, dan masyarakat warga. Terlepas diskursus masyarakat sipil, madani dan masyarakat warga, dalam mengkaji mengenai historisasi gerakan masyarakat sipil di Indonesia secara tidak langsung merupakan gambaran perkembangan komponen gerakan masyarakat sipil didalamnya. Dalam bahasan ini akan difokuskan pada historisasi gerakan masyarakat sipil terutama organisasi gerakan atau NGO, dalam beberapa fase terakhir : a) NGO pada masa Orde Baru Pada masa Orba berdasarkan pengkatergorian oleh Suharko mengenai perkembang NGO, yaitu : 1) fase 1970-an, misalkan pembentukan YLBHI oleh Adnan Buyung Nasution, YLKI permadi 1973, pembelaan terhadap hak-hak konsumen, walaupun gerakan social NGO pada waktu itu sudah memberikan asumsi kritisnya tetapi dilakukan secara moderat dan non-konfrontasional, kondisi ini berbeda dengan yang dilakukan oleh mahasiswa yang menentang keras berbagai praktek ketidakadilan dalam pengelolaan Negara oleh Orba, hingga di berlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Fase 1980-an, keterlibatan aktif berbagai NGO dalam program pemerintah sebagai wujud mendukung proyek develomentalisme. Isu lingkungan menjadi cukup menarik diadvokasi oleh NGO yang focus pada penyelamatan lingkungan akibat diberlakukannya industrialisasi secara besarbesaran oleh pemerintah. Fase 1990-an, lahirnya NGO prodemokrasi yang memberikan sumbangsih yang cukup sistemik bagi perubahan tata pemerintah melalui reformasi 1998. b) NGO pasca Orde Baru Runtuhnya rezim orde baru setelah kondisi krisis yag tidak teratasi, ditambah munculnya ledakan akumulasi kekecewaan berbagai gerakan

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 4

masyarakat sipil yang melakukan perlawanan secara sistemik. Pasca reformasi pertumbuhan NGO begitu pesat terutama yang berorientasi pada advokasi. Menurut Suharko bahwa NGO pasca reformasi banyak terlibat dalam upaya mereformasi tata pemerintahan daerah (desentralisasi), dan mengatasi berbagai persoalan pembangunan di tingkat lokal, termasuk kerusakan lingkungan yang dratis. Hingga kini telah banyak NGO-NGO sebagai basis perlawanan terhadap ketidakadilan yang melakukan pendampingan dan advokasi terhadap masyarakat yang termarginalkan oleh kebijakan negara maupun oleh masuknya arus modal. Misalkan NGO yang bergerak melakukan advokasi pada pertani, PKL, kaum buruh, miskin kota dan lain sebagainya. Inilah salah satu bnetuk dari kesadaran akan dibutuhkannya kekuatan penyeimbang atas kuat negara dan modal dalam mengatur kehidupan masyarakat hingga hari ini. Fenomena akhir-akhir ini bagaimana tindakan refresip terhadap petani, buruh, anak jalanan, sub culture (punk), terus semakin meningkat intensitasnya, sehingga pilihan yag cukup rasional jika gerakan masyarakat sipil merupakan jawaban dari kondisi anomie hari ini. Sebagai kekuatan penyeimbang gerakan masyarakat sipil yang terhimpun dalam berbagai kekuatan massa masih sangat dibutuhkan untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia. 4. Catatan Akhir; Gerakan Masyarakat Sipil, Kasus Perlawanan Petani Gerakan masyarakat sipil seperti dalam uraian diatas identik dengan lembaga-lembaga yang terstruktur baik secara formal maupun secara alamiah, seperti NGO ataupun Ormas. Untuk melihat kondisi riil dari apa yang dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil tersebut, dibagian akhir ini akan diketengahkan cuplikan Film Dokumenter SPP a People Movement for Agrarian Reform in Indonesia. Film tersebut memberikan gambaran yang jelas bagaimana masyarakat yang dimarginalkan yaitu petani harus menjalin kekuatan yang

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 5

terhimpun dalam suatu wadah gerakan, untuk mendorong penguatan baik internal maupun eksternal (bargaining position). Dikisahkan juga bahwa suatu gerakan prodemokrasi tidak selamanya berjalan mulus, dan terkadang dibenturkan oleh hukum formal yang terkadang memunculkan kriminalisasi terhadap masyarakat/petani. Tetapi kondisi ini tidak menyurutkan langkah petani untuk perlahan mundur kebelakang, tetapi mereka terus berupaya berjuang untuk memperjuangkan reforma agraria dan kedaulatan pangan bagi rakyat. Dan diharapakan rekan-rekan mahasiswa dapat memahami secara lebih holistic/komprehensif dan kritis mengenai gerakan masyarakat sipil sebagai bagian dari gerakan sosial. Selamat memperhatikan, merenungkan dan menganalisis film tersebut. Semoga bermanfaat!!!! Referensi : 1. Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi. Arief Budiman 2. Masyarakat Madani. Adi Suryadi Culla 3. Gerakan Sosial. Fadila Futra 4. Masyarakat Sipil dan Demokrasi. Rustam Ibrahim 5. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial. Mansour Fakih 6. Elit Lokal dan Civil Society. Yusron 7. Birokrasi dan Pembentukan Civil Society. Siti Hidajtul Hadijah

[Gerakan Sosial; Abdul Kholek]

Page 6