Upload
masih-andha
View
109
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Perspektif Liberalis dalam Memandang Cina dan WTO
Dalam studi Hubungan Internasional ada satu pendekatan utama terkait rezim, yakni
pendekatan liberalis. Menurut tradisi liberalis, contohnya seperti yang dikemukakan Robert
Keohane, rezim atau institusionalisasi yang dilandasi oleh kerja sama adalah “Institutions
possesing norms, decision rules, and decisionmaking procedures which facilitate a convergence
of expectations.”
Pandangan Dasar Tradisi Pluralisme/Liberalisme Dalam Teori Hubungan Internasional :
No. Dasar asumsi Perspektif Liberalisme/Pluralisme
1. Unit analisis Aktor negara dan aktor non-negara sama pentingnya
2. Cara pandang aktor Aktor negara dipecah ke dalam beberapa komponen,
beberapa di antaranya dapat bertindak secara transnasional
3. Dinamika perilaku aktor Pembuatan kebijakan luar negeri dan proses-proses
transnasional melibatkan konflik, tawar-menawar, koalisi,
dan kompromi
4. Isu utama Sosial ekonomi, tingkat kesejahteraan, dan lain-lain yang
dianggap lebih penting daripada isu keamanan nasional
semata
Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism, (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), hlm. 10.
Seperti yang dijabarkan Keohane, pendekatan liberalis dalam memandang rezim
menekankan tentang pentingnya keberadaan rezim atau institusi (di luar aktor negara) yang dapat
memengaruhi aktor negara atau aktor-aktor internasional lainnya (perspektif negara atau state
sebagai non satu-kesatuan aktor atau non-unitary unit yang bisa dipecah). Asumsi dasarnya
adalah bahwa bentuk kerja sama antar negara merupakan norma, etika atau value yang mendasari
pencapaian kepentingan nasionalnya. Dapat dikatakan, rezim menurut perspektif liberalis adalah
bentuk kerja sama internasional. Sesuai dengan definisi dasarnya, rezim mencakup berbagai
bentuk isu internasional, dan biasanya satu rezim terfokus pada satu isu tertentu dengan anggota-
anggota yang tidak hanya terdiri dari negara.
Berdasarkan pendekatan interest-based liberalis, dalam konteks ini dikatakan bahwa
WTO bisa berjalan tanpa satu kekuatan hegemon tertentu, sebab terdapat “convergence of
expectations” atau yang dapat interpretasikan sebagai “ekspektasi atau harapan dari masing-
masing konstituen rezim yang terkumpul dalam satu wadah pertemuan”. WTO sebagai rezim
memfasilitasi kerja sama dengan menciptakan standar-standar tertentu bagi para anggotanya.
Ketika semua anggota negara berharap agar partisipan lain bekerja sama maka kemungkinan
melangsungkan kerja sama secara konstan dapat terus meningkat. Jadi, tidak sepenuhnya benar
dikatakan bahwa konflik adalah dasar dari sistem anarki dunia yang diyakini oleh kaum realis.
Kaum neoliberal sendiri mengatakan bahwa para realis mengabaikan suatu tahap di mana
negara-negara bersedia berbagi kepentingannya dengan negara lain, dan memiliki sifat
hubungan/interaksi internasional yang dilakukannya berulang-ulang kali.
Terkhusus mengenai kesuksesan Cina dalam rezim internasional, pendekatan liberalis
dalam teori rezim merupakan salah satu kunci dalam menjelaskan kepragmatisan Cina. Cina
sebagai aktor negara tidak menyangkal adanya bentuk kerja sama internasional, terutama dalam
bidang ekonomi, bahkan dengan rezim terdiktator di dunia sekalipun, seperti beberapa negara di
Afrika. Hal ini yang tidak akan dilanggar oleh perusahaan multinasional (MNC) Amerika Serikat
atau Uni Eropa ‘seliberal’ apa pun. Negara-negara barat, terutama Amerika Serikat sangat
“kegerahan” dengan politik luar negeri nasionalis-pragmatis Cina itu. Berkali-kali presiden Hu
Jintao mengelak dari tudingan-tudingan negatif dengan mengeluarkan jargon-jargon seperti
“Tanpa syarat politik apa pun, murni kepentingan bisnis” hingga jargon “hexie shijie atau hexie
shehui (masyarakat dunia yang harmonis)”. Agen-agen pembangun ekonomi China tersebar ke
seluruh dunia, seringkali tanpa pandang bulu latar belakang mitra bisnisnya. Mereka tidak terlalu
ambil pusing dengan embel-embel seperti “demokrasi” yang diusung Amerika Serikat selama
ini. Semangat pragmatis Cina dalam mengejar kekayaan dan kemuliaan (termasuk prestise di
mata internasional) terpatri dalam-dalam di hati rakyat Cina.
Sebenarnya, pengadopsian ideologi dan sistem yang serba baru ini sudah tercermin dari
tiga ujaran populer oleh Deng Xiaoping sejak dua dekade lalu, yaitu “sosialisme tidak berarti
kemiskinan, sosialisme justru melenyapkan kemiskinan”, “tidak peduli kucing hitam atau putih,
selama dia bisa menangkap tikus”, dan “zhi fu shi guangrong (menjadi kaya itu mulia)”. Dengan
dasar-dasar fundamental itu, arah politik domestik dan internasional Cina kemudian berubah
total, khususnya setelah tahun 1978. Dalam dinamikanya, di satu sisi pemerintah Cina tetap
memegang kontrol makro (hongguan tiaokong) dan membangun kerja sama internasional dengan
siapa saja yang penting bagi national interest-nya, dan di satu sisi menghalalkan (bahkan
mendorong) praktik kapitalisme di negaranya.
Contoh konkret lain dapat kita lihat ketika Cina merapatkan kerja sama bilateral secara
ekonomi dengan Taiwan. Tanggal 3 November 2008 akan dikenang sebagai hari yang bersejarah
bagi rakyat Cina dan Taiwan ketika Chen Yunlin dan Ma Ying-jeou untuk kali pertama bertemu
secara diplomatik setelah sejarah 60 tahun yang kelam bagi hubungan bilateral kedua negara.
Pada hari itu juga, Cina dan Taiwan sepakat untuk tidak membicarakan isu politik, dan membuka
kerja sama ekonomi seperti penambahan jalur penerbangan reguler, layanan pos langsung,
penerbangan kargo langsung, isu keamanan produk pangan, hubungan perkapalan, dll.
Akan tetapi, pendekatan liberalis dalam konteks ini bukan tanpa kelemahan. Pemerintah
Cina adalah aktor negara/state actor yang sangat dominan dalam hampir semua aspek. Bahkan
semua perusahaan multinasional (mayoritas adalah BUMN) yang menjadi ujung tombak dan
agen pembangunan ekonomi bukan milik swasta (dikendalikan secara ketat oleh negara).
Pendekatan liberalis dalam teori rezim dan cara memandang kesuksesan Cina hanya
terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan indikator kepragmatisan Cina dalam
memperjuangkan national interest-nya, serta variabel penjelas dalam perspektif liberalis yang
memecah otoritas Cina menjadi beberapa unit yang dapat dipengaruhi pihak-pihak lain. Dalam
konteks kesejarahannya, ada tendensi bahwa Cina melawan kekuatan barat dengan ala barat juga,
sesuatu yang sudah lazim terjadi bahkan sejak sistem dinasti/kekaisaran Cina tumbang.
Apabila ditanyakan, apakah benar bahwa rezim itu (WTO) memengaruhi otoritas Cina?
Ya, tetapi perlu digarisbawahi bahwa terdapat derajat kepentingan tertentu antara rezim
internasional dan state ini. Bagi Cina, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, WTO
hanya sebatas kendaraan yang memfasilitasi politik luar negeri dan national interest-nya. Cina
mungkin bersedia tunduk pada standar-standar yang ditetapkan WTO, tapi Cina yang hingga saat
ini dianggap tidak patuh penuh kepada WTO (uneven and incomplete), ternyata memiliki ambisi
sendiri untuk mengubah rezim WTO ‘dari dalam’ sesuai dengan kepentingan Cina. Cina yang
ditekan oleh anggota WTO lain, terutama AS, tidak akan-akan terburu-buru ‘taat’ pada tekanan
AS atau negara mana pun. Bukan tidak mungkin, Cina yang kekuatan ekonominya semakin
meraksasa dari waktu ke waktu dapat merapatkan barisan negara-negara berkembang dalam
memengaruhi pembuatan pasal-pasal WTO yang selama ini selalu didikte oleh negara-negara
maju.
Sedangkan bagi WTO yang dengan catatan didominasi oleh negara-negara maju (AS, Uni
Eropa, dan Jepang), pertimbangan awal memasukkan Cina ke dalam keanggotaan WTO adalah
agar mereka dapat menikmati barang-barang ekspor Cina yang sangat murah dan juga, potensi
konsumen Cina yang jumlahnya masif itu akan gencar membeli produk-produk impor. Para
investor asing juga mengincar kemungkinan memproduksi produk-produk low-cost di dalam
Cina yang dapat diekspor dan dibuang ke pasar domestik. Dari segi politis, pemerintah asing
memiliki motif tersendiri atas keanggotaan Cina di WTO. Mereka berharap bahwa dengan
mengintegrasikan Cina ke dalam rezim perdagangan secara formal dan juga rezim investasi,
Cina akan duduk pada landasan yang sama sehingga aneka pertikaian/persengketaan dapat
diselesaikan dengan mudah. Kecuali itu, Cina akan didorong untuk menjalankan sistem undang-
undang ekonomi yang lebih transparan. Amerika Serikat, secara khusus, berharap bahwa dengan
integrasi Cina ke dalam ekonomi dunia, Cina juga akan mengalami perubahan dalam sistem
politiknya. Keterbukaan ekonomi akan mendukung lahirnya demokrasi.
http://sinopaxsinica.blogspot.com/2009/05/peran-kaum-reformis-china-dalam_02.html