21

Click here to load reader

Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

MENERAPKAN RISET AKSI DI PERGURUAN TINGGI

(MUNGKINKAH?)

Oleh:Tua Hasiholan HutabaratMataram, 03 Juni 2010

Siapapun yang pernah mengenal, menikmati dan dibesarkan di dalam

perguruan tinggi di Indonesia seharusnya gelisah. Sebagai institusi yang katanya

dibangun dan dijalankan demi mencetak intelektual, perguruan tinggi telah

mengalami kegagalan total dalam banyak hal, termasuk dalam pengembangan ilmu

1

Page 2: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

pengetahuan. Institusi yang dahulunya lahir untuk menghasilkan pemikiran-

pemikiran besar yang dapat merubah dunia kini hanya menjadi sebuah skrup

pelengkap sistem liberal.

Pengaruh terbesar dari liberalisme terhadap pendidikan adalah terhadap

paradigma riset atau penelitian yang dilaksanakan di perguruan tinggi. Selain

menghamba terhadap liberalisme, riset-riset pendidikan tinggi, khususnya ilmu-

ilmu sosial telah dikerdilkan fungsi dan manfaatnya menjadi sekedar simbol-simbol

kualitas institusi pendidikan tinggi. Begitu kecilnya pemaknaan masyarakat,

penyelenggara pendidikan maupun negara terhadap riset pendidikan tinggi,

sehingga kontribusinya terhadap masyarakat juga hampir sama sekali tidak

dirasakan. Penelitian-penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi sekedar menjadi

formalitas dan prasyarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan, maupun sebagai

simbol-simbol kapabilitas kelembagaan dan individu di perguruan tinggi.

Ada banyak pihak yang turut prihatin dengan kondisi pelaksanaan dan

kapasitas pendidikan tinggi di Indonesia dalam melakukan penelitian ilmiah.

Namun kebanyakan keprihatinan tersebut tidak menyentuh substansi dari penyebab

rendahnya kualitas penelitian, namun cenderung diarahkan pada minimnya dana

yang dianggarkan lembaga penyelenggara, maupun negara. Salah satunya

diungkapkan oleh Prof. Hadi Sutanto dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar

Fakultas Teknik Unika Atmajaya. Menurutnya, salah satu permasalahan besar yang

dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia adalah lemahnya daya saing riset

dalam menunjang ekonomi nasional. Dana yang dianggarkan oleh Pemerintah

Indonesia hanya 0,07 dari total GDP Indonesia. Angka tersebut masih sangat minim

jika dibandingkan dengan standar 3% seperti yang diharapkan oleh UNESCO.

Pernyataan tersebut tentu ada benarnya. Dana atau anggaran dalam melakukan

riset memang sangat dibutuhkan, untuk membiayai kegiatan dan program-program

penelitian yang diasumsikan berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia.

2

Page 3: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

Namun minimnya dana penelitian bukanlah penyebab satu-satunya atau penyebab

utama dari kemunduran ekonomi dan lemahnya pendidikan tinggi dalam

menghasilkan sarjana yang berkualitas. Dana hanya satu aspek yang sebenarnya

dipaksa dan dikondisikan menjadi faktor utama pelaksanaan penelitian, sehingga

penyediaannya dianggap menentukan kualitas pelaksanaan penelitian.

Hubungan antara keberadaan dana dengan kualitas penelitian di perguruan

tinggi sudah sangat berakar di kalangan civitas akademika, bahkan sudah menjadi

motif utama dalam melakukan penelitian. Untuk menstimulasi peningkatan

pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi, kemudian pemerintah menaikkan dana

alokasi penelitian di perguruan tinggi menjadi kurang lebih Rp. 1 triliun pada tahun

2009. Pada tahun 2008 jumlah dana yang disediakan hanya Rp. 173 Miliar (Harian

Waspada, Depdiknas Naikkan Dana Penelitian 1, 57 Triliun, 4 November 2009,

www. Waspada.co.id). Dana tersebut disiapkan untuk pelaksanaan penelitian,

publikasi nasional dan internasional, dan dialokasikan untuk seluruh skim penelitian

(Program Dikti Tahun 2009, Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, 26 Februari 2009, http://dikti.kemdiknas.go.id).

Besarnya dana yang disediakan oleh pemerintah maupun yang diperoleh oleh

dosen, mahasiswa maupun peneliti di perguruan tinggi tentu saja tidak menjamin

kontribusinya terhadap masyarakat. Alih-alih untuk membangun relasi terhadap

pembangunan masyarakat, malah kini banyak perguruan tinggi di Indonesia sekedar

mengejar popularitas di level internasional. Perguruan tinggi kita sekarang

berlomba-lomba untuk masuk pada jajaran universitas terkemuka, dimana salah

satunya adalah melalui produksi karya ilmiah dan penelitian yang dimuat oleh

jurnal-jurnal internasional. Di satu sisi tentu saja hal itu penting, namun tentu saja

target menjadi world class university harus menjadi tujuan pelengkap. Kaki-kaki

perguruan tinggi di Indonesia harus tetap berpijak pada ibu pertiwi, bukan semata-

mata untuk menaikkan peringkat sehingga lupa proses pencerdasan kehidupan

bangsa (Kompas, 2 Juni 2010, World Class University, Haruskah Menjadi Tujuan

3

Page 4: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

Utama Perguruan Tinggi di Indonesia? Nicholaus Prasetya,

http://edukas.kompasiana.com).

Selain kendala dana, riset di perguruan tinggi juga dikhawatirkan akan

terjerembab dalam praktek-praktek plagiarisme. Hal itu terjadi dikarenakan adanya

dorongan yang sangat besar terhadap pelaksanaan penelitian di kalangan civitas

akademika, namun tidak didukung oleh etika dan moral akademik yang cukup.

Kemampuan melakukan penelitian, baik sebagai syarat kualitas dan syarat

eksistensi civitas akademik telah mendorong terjadinya praktek plagiat. Ada banyak

kasus plagiarisme di Indonesia saat ini, bahkan dilakukan oleh dosen ber titel doktor

di perguruan tinggi besar di Indonesia (4 Doktor ITB Diduga Terseret Plagiarisme,

Kamis 14 April 2010, Detiknews, http://www.detiknews.com). Sungguh

memalukan memang, namun begitulah mental kaum pendidik dan peneliti di

Indonesia yang berfikir pendek dan pragmatis terhadap produksi penelitian dan

karya ilmiah di Indonesia.

Mentalitas Peneliti

Salah satu faktor pembentuk rendahnya kualitas penelitian perguruan tinggi di

Indonesia adalah rendahnya mentalitas, etika, dan moral civitas akademika, baik

dosen, pemimpin dan pengelola perguruan tinggi, mahasiswa, bahkan para staff.

Rendahnya mentalitas tersebut menurut Prof. Dr. Imam Buchori Zainuddin sebagai

berhubungan dengan mentalitas orang Asia yang kurang nyali dalam

mempertanyakan hal-hal yang tidak pasti, karena khawatir jika akan kehilangan

pscychological security (Redi Panuju, PR I Unitomo Surabaya, Minggu 17 May

2004, http://www.freelist.org). Sikap tersebut awam dilakukan masyarakat, dimana

kita terbiasa meniru, menjiplak, dan mengikuti jejak, sehingga melahirkan

mentalitas me too.

Keberadaan moral, mentalitas dan etika peneliti sangatlah penting, bukan

karena memenuhi code of conduct, namun sebenarnya berhubungan dengan

4

Page 5: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

bangunan pengetahuan dan masyarakat. Pentingnya moral dan etika bagi scientist

atau ilmuan akan semakin krusial, karena tindakan maupun hasil-hasil penelitian

memiliki dampak yang besar bagi orang lain. Dr. Bahruddin Khan berpendapat,

suatu karya ilmiah yang dihasilkan secara tidak jujur akan akan membahayakan

masyarakat yang menggunakan hasil penelitian tersebut, sehingga dibutuhkan

kejujuran dan kebenaran dalam setiap hasil-hasil kerja ilmiah (Dr. Bahruddin Khan,

Need of Moral Education And Ethics, Articlesbase, 22 Maret 2010,

http://www.articklebase.com). Untuk itu, para ilmuan, khususnya komunitas ilmuan

perlu serangkaian nilai, tradisi, dan standar kejujuran, integritas, objektivitas, dan

Collegiality. Hasil panel Panel tentang tanggungjawab Ilmiah dan Research

Conduct, Muriel J. Bebeau dari University of Minnesota, peneliti harus menerapkan

nilai-nilai ini dalam memformulasikan tanggungjawab penelitian ilmiah (Bebeau,

Muriel J., University of Minnesota, Cases for Teaching and Assessment,

Bloomington, Indiana, 1995).

Standar nilai yang seharusnya dimiliki seorang peneliti tersebut sungguh

sangat bertolak belakang dengan realitas yang ada. Kejujuran, dan integritas jauh

ditinggalkan demi kepentingan sesaat dan kualitas semu yang kerap diagung-

agungkan oleh sistem pendidikan kita. Entah itu mahasiswa, dosen, profesor dan

peneliti tergoda dengan capaian-capaian kabur yang ironisnya memang dibentuk

oleh negara.

Mentalitas yang pragmatis dan menjunjung tinggi capaian kualitas secara

simbolik tersebut membawa konsekuensi pada stagnasi penelitian di perguruan

tinggi. Selain tak berkebang, riset perguruan tinggi, khususnya ilmu-ilmu sosial

kurang memiliki pengaruh terhadap sistem sosial yang lebih luas. Seperti berada

dalam aquarium raksasa, ada dan kelihatannya sibuk, namun tak melebur dengan

lingkungan di sekitarnya, terutama kepada masyarakat sebagai sumber utama

pengembangan pengetahuan. Penelitian dilaksanakan melalui pendekatan proyek,

dimana profesionalitas, inovasi, dan penghargaan menjadi lebih utama daripada

5

Page 6: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

manfaat. Tidak heran kemudian penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi

menjadi salah satu cara menambah tebal dompet para peneliti. Uang menjadi motif

utama, sedangkan kegunaannya bagi masyarakat sering kali terlupakan. Akhirnya,

yang lahir adalah para peneliti-peneliti profesional dengan konsep, teori, dan

metode super rumit yang memproduksi hasil penelitian yang tak dipahami dan

berguna bagi masyarakat.

Paradigma Riset Perguruan Tinggi

Ketika riset sosial perguruan tinggi dianggap sebagai proyek atau bagi

mahasiswa dimaknai sebagai sekedar syarat, maka penelitian kehilangan banyak

makna, salah satunya makna terpentingya terhadap social transformation. Hampir

seluruh personal civitas akademika perguruan tinggi sudah terjebak dalam sistem

dan budaya seperti itu. Bagi yang mencoba keluar jalur dan berusaha

mengembalikan fungsi riset yang sebenarnya, maka ia akan tergilas oleh rekan,

teman, atasan, dan akhirnya oleh institusinya. Hampir tidak ada tempat bagi orang

yang berupaya kerjas untuk mengembalikan fungsi riset. Tekanan paling berat

adalah dari bangunan atau paradigma pengetahuan yang mendasari basis riset di

kampus.

Walaupun dianggap sebagai sebuah institu pengembang ilmu pengetahuan,

ternyata dunia pendidikan tinggi, tidak terkecuali di Indonesia bertindak tidak adil.

Paradigma yang digunakan cenderung mereduksi kemampuan riset sosial dalam

mengungkap realitas sosial. Pendekatan dan paradigma yang dipakai cenderung

menyederhanakan riset sosial sebatas persoalan metodologis semata, tanpa melihat

konsekuensinya terhadapmahasiswa maupun terhadap masyarakat secara luas.

Sebahagian besar riset sosial di perguruan tinggi saat ini didominasi oleh

paradigma positivistik, yakni paradigma dimana pengetahuan dibangun melalui

pendekatan deduktif dan didasarkan pada logika formal dan matematik, dan harus

diuji dan dibuktikan secara empirik (Eichelberger, 1989). Paradigma positivistik

6

Page 7: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

cenderung menganggap realitas sosial sebagai sebuah fakta yang dapat diukur,

sehingga penggunaan metode kuantitatif dianggap paling tepat. Metode kuantitatif

dianggap sebagai upaya pencarian ilmiah (scientific inquiry) yang beroperasi

dengan aturan-aturan yang ketat mengenai logika, kebenaran, hukum-hukum dan

prediksi (Watson dalam Danim, 2002).

Sangat jelas, bahwasannya prinsip-prinsip riset yang berbasis paradigma

positivistik memberi ruang dominan terhadap penggunaan metode dan pendekatan-

pendekatan yang dapat mengukur fakta sosial. Kemampuan pengukuran adalah

yang utama, sehingga keberadaan paramater menjadi penting. Sedangkan parameter

biasanya diperoleh dari pendekatan deduktif yang menempatkan teori, konsep dan

indikator-indikator terdahulu sebagai kewajiban yang harus dirujuk oleh peneliti

atau mahasiswa.

Ada satu hal yang mendorong dunia pendidikan tinggi, khususnya bidang

ilmu sosial cenderung memilih paradigma positivisme. Selain pertarungan makro

yang bersifat teoritis dan ideologis, kuantifikasi fakta sosial dalam riset di

pendidikan tinggi dianggap lebih mudah (walaupun penggunaan statistik dianggap

sulit), cepat, lebih valid dan reliable. Penggunaan riset kuantitatif cocok dengan

corak pendidikan tinggi yang cenderung terbatas dari sisi waktu, dan sesuai dengan

kultur instan sistem pendidikan. Dunia pendidikan sudah kehilangan fungsi

utamanya yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Kini fungsi

bisnis lebih menonjol, sehingga kemampuannya melahirkan lulusan dalam jumlah

besar, cepat, berkualitas (baca:bagi dunia bisnis) adalah capaian terpenting.

Terkesan dunia pendidikan tak lagi memperdulikan mahasiswa untuk meresap

dan mendalami realitas sosial. Kecepatan melakukan riset untuk kemudian meraih

gelar sarjana menjadi kompetisi antar mahasiswa dan perguruan tinggi.

Konsekuensinya, riset sosial pun menjadi instan. Ketika instani-sasi ini menjadi

utama, maka riset kuantitatif yang berbasis paradigma positivislah yang menjadi

pilihan.

7

Page 8: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

Sebenarnya ada perkembangan baru, dimana riset berbasis paradigma

hermeneutik dan fenomenologis yang lebih dianggap membumi, grounded dan tak

melulu berurusan dengan angka. Kedua paradigma tersebut pada intinya memiliki

sifat yang berbeda objektivitas bukan semata-mata cara tunggal untuk mengungkap

realitas sosial. Kedua paradigma tersebut menjadi basis penggunaan metode riset

kualitatif, penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena

sosial dari sudut pandang partisipan, dan digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek secara alamiah, dan menempatkan peneliti sebagai instrumen kunci

(Sugiyono, 2005).

Di satu sisi, kedua paradigma tersebut membawa warna baru, dimana

masyarakat tak lagi dianggap sebagai angka statistik belaka seperti dalam penelitian

kuantitatif. Realisasinya ternyata tak seindah tujuan luhurnya. Paradigma mendasari

pendekatan alamiah dalam memandang realitas sosial juga tereduksi. Sistem

pendidikan tinggi telah menjadi sebuah perusahaan pendidikan yang tak memberi

ruang pada kemurnian pendekatan ini. Riset berbasis subyektivisme dalam

memandang realitas kembali dikerdilkan menjadi sekedar sebuah metode. Padahal,

riset kualitatif yang seharusnya didasari oleh kemampuan memahami (verstehen)

realitas sosial dan memiliki ruang berkontribusi pada perubahan sosial, seharusnya

dilaksanakan secara utuh. Pemahaman, aspek grounded, proses dan subyektivitas

yang seharusnya diterapkan dalam riset kualitatif disederhanakan menjadi sekedar

metode alternatif dari mainstream pendekatan kuantitatif yang sudah berakar dalam

riset sosial.

Peluang Penerapan Riset Aksi di Perguruan Tinggi

Apapun argumentasinya, perguruan tinggi adalah milik masyarakat, sehingga

harus sebesar mungkin berkontribusi terhadap realitas yang tak berpihak kepada

rakyat, melalui upaya perubahan sosial yang dapat menghapus kesenjangan,

ketidakadilan, kemiskinan dan posisi marginal masyarakat. Pendidikan tinggi

8

Page 9: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

sebagai institusi yang dianggap lebih netral karena mengusung pengetahuan empiris

tak seharusnya berdiri di tengah (karena tidak mungkin). Untuk dapat berkontribusi

terhadap masyarakat, maka riset perguruan tinggi harus menjadi bagian dari sosial

transformasi dan social movement. Tanpa itu, perguruan tinggi hanya berproses dan

mencapai tujuannya sendiri, atau sekedar menjadi pelayan pasar ekonomi dan kultur

liberal.

Kontribusi terhadap social transformation dapat diwujudkan melalui

penerapan metode riset yang lebih berpihak dan terintegrasi dengan dinamika

perubahan sosial. Salah satu cara untuk merubah kenyamanan riset pendidikan

tinggi dan keluar dari ruang hampa adalah mulai menerapkan riset aksi dalam

penelitian-penelitiannya. Persoalannya, apakah mungkin dengan sistem pendidikan

tinggi seperti saat ini diterapkan sebuah metode riset yang mengharuskan adanya

keberpihakan dan tindakan praxis seorang peneliti/mahasiswa? Jawabannya;

sangatlah mungkin!

Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, mungkin kita bisa sedikit mengupas

tentang apa itu riset aksi. Menurut Thomas Gilmore, Jim Krantz, dan Rafael

Ramirez (1986), Riset aksi memiliki dua tujuan, yakni sebagai bentuk konsern

praktis terhadap situasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sekaligus

juga menjawab tujuan-tujuan ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, riset aksi

mengkolaborasikan komitmen dari peneliti, yakni selain untuk mengkaji sistem,

juga mengarahkan satu upaya untuk melakukan perubahan, sehingga dituntut

adanya sebuah integrasi atau kolaborasi antara peneliti dengan yang diteliti secara

aktif.

9

Page 10: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

Berdasarkan model yang disusun oleh Gerald I Susman. Berdasarkan alur

berfikir tersebut, riset aksi merupakan sebuah proses yang saling terkait satu sama

lainnya, dan bersifat tidak terputus. Mulai diagnosis, rencana tindak, melakukan

tindakan, evaluasi dan pengidentifikasian yang kemudian berlanjut dalam proses

diagnosis berlangsung terus-menerus hingga proses tersebut mencapai sebuah hasil.

Proses riset seperti itu sangat berbeda dengan riset positivis cenderung linear.

Penekanan terhadap metode dan instrumen menjadi yang utama, sehingga posisi

peneliti sangat minimal. Akibat adanya penekanan terhadap metode dan instrumen,

peneliti cenderung disibukkan dengan kemampuan penyusunan,perencanaan dan

penggunaan instrumen, sedangkan keterlibatan peneliti bersifat pasif. Akhirnya,

10

Page 11: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

akan tercipta jarak yang besar antara peneliti dan realitas yang diteliti. Tidak

demikian dengan riset aksi. Peneliti dan yang diteliti membentuk satu kolaborasi

yang saling melengkapi dalam kerangka mendorong sebuah tindakan perubahan.

Sekarang kita kembali ke pertanyaan sebelumnya. Apakah memungkinkan

untuk menerapkan riset aksi di perguruan tinggi? Jawabannya; mungkin, namun

sangat tergantung dari dilakukannya perubahan terhadap sistem, mekanisme dan

proses penelitian.

Selama ini penelitian di perguruan tinggi sangat terstandarisasi, terbelenggu

oleh waktu, memberi penekanan berlebih terhadap kemampuan metodologi, linear,

dan instan. Prinsip dan standar seperti itu tidak memberi ruang kepada sebuah

proses panjang yang sirkuler. Mahasiswa dan peneliti di dunia pendidikan tinggi

dikejar oleh waktu sehingga tak sempat memiliki waktu untuk mendalami dan

menyatu dengan permasalahan yang diteliti.

Lihat saja bagaimana panduan-panduan penyusunan skripsi di seluruh

universitas dan sekolah-sekolah tinggi di Indonesia. Semuanya terstandar, time

limits, dan terstruktur rapi. Tujuan utamanya adalah menciptakan sebuah

mekanisme yang sama diantara seluruh mahasiswa dan peneliti, sehingga dapat

dinilai dengan standar yang sama pula. Tidak ada ruang untuk fleksibilitas, apalagi

peluang untuk melakukan perubahan. Secara rapi proses pengerjaan skripsi dan

kegiatan penelitian diarahkan untuk mengikuti mekanisme dan standar yang sama,

karena instrumen dan metode menjadi paling utama. Tak penting apakah mahasiswa

atau peneliti benar-benar bisa memahami secara organis dengan masyarakat yang

diteliti. Mahasiswa dibentuk dan dituntut untuk berjarak dengan realitas, karena ada

anggapan, integrasi dengan realitas akan merusak objektivisme dan kemudian

mengancam empirisme sebuah penelitian.

Sebenarnya ada peluang untuk menerapkan riset aksi di perguruan tinggi. Jika

pun tetap menerapkan standar waktu, kendala tersebut bisa diantisipasi dengan

mensyaratkan riset sebagai sebuah kemampuan dan kegiatan awal yang harus

11

Page 12: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

dilakukan oleh mahasiswa. Walaupun selama ini kemampuan penelitian sudah

ditanamkan pada awal perkuliahan, namun tidak disertai dengan tindakan praksis.

Rencana penelitian hanya dibuka pada masa-masa akhir studi, sehingga waktu yang

disediakan untuk melakukan penelitian sangat pendek (paling lama 1 tahun).

Seharusnya, kemampuan riset dan rencana-rencana tindak yang disyaratkan dalam

riset aksi sudah dilakukan di awal-awal studi. Mahasiswa dibekali dengan teori,

konsep, sekaligus kemampuan-kemampuan berintegrasi dengan masyarakat.

Dengan demikian, di awal studi mahasiswa sudah mempersiapkan dirinya untuk

lebih memahami permasalahan, menyusun rencana tindak, melakukan evaluasi dan

menuliskan kegiatan riset yang dilakukannya secara terus-menerus. Sehingga,

ketika sudah mencapai waktu studi yang disyaratkan, mahasiswa tinggal melakukan

penulisan laporan lengkap.

Pola pelaksanaan riset seperti inilah yang sebenarnya tepat untuk dilakukan

oleh mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak sekedar pintar dengan teori riset,

menguasai metode dan instrumen. Pola seperti ini akan menanamkan kepada

mahasiswa tentang bagaimana ilmu pengetahuan dikawinkan dengan masyarakat

untuk bersama-sama mendorong perubahan sosial. Tinggal bagaimana dunia

pendidikan tinggi bisa membuat terobosan. Jika tidak ada keinginan untuk merubah

sistem yang ada, maka riset sosial akan semakin jauh dengan perubahan, dan yang

lebih parah lagi akan menciptakan mahasiswa instan yang tak percaya diri karena

jiwa dan pengetahuannya sudah dirampas oleh instrumen dan metode.

******************************

12

Page 13: Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi

DAFTAR BACAAN

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif . Bandung: Pustaka Setia.

Eichelberger, Tony R. 1989. Disciplined Inquiry : understanding and doing

educational research. New York : Longman Inc.

Gerald I. Susman, "Action Research: A Sociotechnical Systems Perspective," ed. G.

Morgan (London: Sage Publications, 1983) 102.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sutanto, Hadi, 2009. Pengangguran Intelektual Bertambah 20% Setiap Tahun,

Disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar, Unika Atmajaya,

Jakarta.

Thomas Gilmore, Jim Krantz and Rafael Ramirez, Fall 1986. "Action Based Modes

of Inquiry and the Host-Researcher Relationship," Consultation, Dalam Rory

O’Brian, Faculty of Information Studies, University of Toronto, 1988.

13