Upload
hanna-syabrina
View
1.777
Download
36
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau
"dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"
atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah
"otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah
atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau
daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah
wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur
dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu
sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan
termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi
adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi
kemampuan pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan
bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak
mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah
berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.
Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan
juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam UUD 1945 antara lain tersurat
bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Namun dalam praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara
proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya
kekuasaan yang terpusat dan lemahnya kekuasaan daerah. Dalam
perkembangannya, pemerintah pusat yang semula dalam posisi kuat,
kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal ini antara lain disebabkan
oleh berbagai permasalahan yang muncul. Salah satunya yang paling rawan
adalah ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah
pusat.
Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah ini, pertimbangan yang sangat strategis adalah perlu
adanya Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di
daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan mengantisipasi
perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan faktor eksistensi,
efektifitas, dan keserasian dengan tujuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau
bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ada akan
ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah yang bersifat otonom akan
diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu walaupun di daerah,
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat UUD Negara RI tahun
1945 maka kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah
terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan
mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia NKRI.
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya
masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam
bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat
yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal
tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun
kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak
Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi
pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Dengan berkembangnya globalisasi, demokratisasi dan transparansi
penyelenggaraan pemerintahan tidak akan terlepas dari pengaruh global
tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan menuntut adanya
pemberian peran serta kepada warga negara dalam sistem pemerintahan,
antara lain perlindungan konsitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak
individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, badan kehakiman
yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan
beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan. Prinsip keistimewaan atau
kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi khusus kepada
daerah tertentu dalam ikatan NKRI.
Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, diperlukan peningkatan dengan
lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan
dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dann tantangan persaingan global dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan NKRI.
Dalam penulisan makalah ini, kami mengkaji mengenai peran Otonomi
daerah yang dinilai mampu mewujudkan tujuan pemerintahan NKRI yaitu
peningkatan kesejahteraan, terkait pelaksanaan sistem pemerintahan dalam
wilayah NKRI.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini ada 4 masalah utama yang perlu dibahas yaitu:
1. Apa landasan hukum sistem otonomi Daerah?
2. Bagaimana karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah?
3. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI?
4. Apa hasil penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI?
1.3. Tujuan
Tujuan penulisan mengenai sistem otonomi daerah di dalam Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI, adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui landasan hukum sistem otonomi Daerah.
2. Mengetahui karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah.
3. Mengetahui realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI.
4. Mengetahui penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI.
1.4. Manfaat
Tulisan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan yang mendukung
proses perenungan serta diskusi untuk mengkaji sistem yang dinilai tepat
digunakan dalam sistem pemerintahan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pewujudan peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan
undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan
pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18
untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5)
tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk
untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi
otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah
pusat kepada daerah atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang 5 Indonesia (b), Undang-
Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125
tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1. mengatur mengenai perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(PP Nomor 6 Tahun 2005).
2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Menurut amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan
dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah
mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari
harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada
di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan publik
dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah
(perda).
Otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa
perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah
menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa
sebelumnya DPRD hanya sebagai simbol dan kedudukannya di bawah
legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar,
bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.
Sebagai contoh dari gambaran tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah
membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan
peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak.
Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk
dibahas di DPRD. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru
disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif
dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik
yang mereka berikan.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan
pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian
tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi
otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan
masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu
banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi
konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan
minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba
mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas.
Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto
membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM),
dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa
(BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan
membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan
saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan
LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi
kebudayaan dan kelompok etnis plural.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas
lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali
pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang
diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal
mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi
kebudayaan dan juga pariwisata.
Dalam kehidupan modern yang kita jalani dewasa ini, eksistensi
pemerintahan tidak dapat dipungkiri lagi. Kehadiran pemerintah menjangkau
hampir semua segi kehidupan, mulai dari kelahiran anak (akte kelahiran),
nikah (harus pakai akte nikah), bahkan sampai seseorang meninggal dunia
(harus mengurus akte kematian).
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu
sistem ketertiban di dalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya
secara wajar. Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada hakekatnya
adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan
untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan
bersama. Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan
mencakup tujuh bidang pelayanan, yaitu :
1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar,
dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat
menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara-cara kekerasan;
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya perselisihan di antara
warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam
masyarakat dapat berlangsung secara damai;
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga
masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi
keberadaan mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus tercermin melalui
keputusan-keputusan pengadilan, dimana kebenaran diupayakan
pembuktiannya secara maksimal, dan dimana konstitusi dan hukum yang
berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan secara adil dan tidak memihak,
serta dimana perselisihan bisa didamaikan;
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-
bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah. Ini
antara lain mencakup pembangunan jalan, penyediaan fasilitas pendidikan
yang terjangkau oleh mereka yang berpendapatan rendah, pelayanan pos
dan pencegahan penyakit menular;
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial :
membantu orang miskin dan memelihara orang-orang cacat, jompo dan
anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para gelandangan ke
sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya;
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas,
seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja
baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan
lain secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan
masyarakat;
7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup, seperti air, tanah, dan hutan. Pemerintah juga
berkewajiban mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk
pemanfaatan sumber daya alam yang mengutamakan keseimbangan antara
eksploitasi dan reservasi.
Sementara itu, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut, pemerintah
mempunyai beberapa fungsi. Pada umumnya pemerintah menjalankan dua
fungsi pokok, fungsi pemerintahan umum. Yaitu mengatur kehidupan politik,
sosial, ketertiban, pertahanan keamanan, termasuk kependudukan. Fungsi
ini merupakan monopoli pemerintah, dalam arti pihak lain tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakannya. Fungsi penyediaan pelayanan
masyarakat dalam arti luas, antara lain, kesehatan, pendidikan, pos,
telekomunikasi, dan sebagainya. Fungsi ini bukan monopoli pemerintah,
terbuka untuk fihak swasta yang melakukannya. Selain dua fungsi tersebut,
dalam negara berkembang pemerintah juga dibebani fungsi ke tiga yaitu
fungsi pembangunan.
Tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang tertera di atas menggambarkan
adanya jangkauan yang luas dan kompleks, dengan tanggung jawab yang
sangat berat, terpikul di atas pundak setiap pemerintahan. Untuk melakukan
tugas pokok dan fungsi tersebut, adalah hal yang sangat sulit jika
dilaksanakan secara terpusat (concentrated) oleh Pemerintah Pusat. Untuk
itu, tugas pokok dan fungsi tersebut harus diserahkan atau didelegasikan
sebagian dalam bentuk kewenangan melalui asas desentralisasi kepada
daerah (otonom) untuk diselenggarakan.
Pilihan terhadap orientasi pemerintahan yang desentralistis didasarkan pada
beberapa alasan yang ditinjau dari beberapa dimensi, yaitu :
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada salah satu
pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani;
2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi;
3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan
daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu
pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama diurus oleh
pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal
yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat;
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat
sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti
geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau
latar belakang sejarahnya;
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan
karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung
membantu pembangunan tersebut.
Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Latin ; “de” lepas, “centrum”
pusat) dapat diartikan melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat
dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan dalam konteks
penyerahan kekuasaan atau kewenangan dari pusat ke daerah. Scligman
mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu proses penyerahan
wewenang (authority) dari pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai
kekuasaan (power) kepada pemerintah yang lebih rendah derajatnya, yang
menyangkut bidang legislatif atau administratif. Senada dengan hal
tersebut, selanjutnya Ruiter meneruskan bahwa kewenangan tersebut untuk
secara mandiri dan berdasarkan kepentingan, sendiri mengambil keputusan
pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal
tersebut.
Format desentralisasi terdapat dalam dua bentuk, yakni : desentralisasi
administratif atau dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang
pelaksanaan kepada tingkat lokal, dan desentralisasi politik atau devolusi,
yang berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu
terhadap sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari Pemerintah
Pusat kepada Daerah Otonom, untuk secara mandiri dapat mengembangkan
kreatifitas dan prakarsa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hak dan
wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government) ini
dikenal dengan otonomi daerah.
Wewenang dalam konsep organisasi dan manajemen diartikan sebagai hak
suatu unit kerja atau seseorang pejabat untuk melakukan sesuatu tugas
dengan penuh tanggung jawab. Terry (2000 : 101) berpendapat bahwa pada
organisasi-organisasi resmi yang berjalan, wewenang harus didelegasikan
atau dibagi dari seorang manajer atau kelompok kerja organisasi pada pihak-
pihak lain untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban khusus. Pendelegasian
wewenang adalah untuk memutuskan perkara yang cenderung menjadi
kewajibannya. Walaupun demikian, manajer yang mendelegasikan
wewenang tidak menyerahkan secara permanen baik wewenang maupun
tanggung jawabnya. Hal-hal yang dilakukan itu merupakan penyerahan hak
untuk mengelola tugas-tugas di dalam batas-batas yang telah ditentukan,
namun wewenang akhir tetap berada pada manajer yang memegang
wewenang untuk mengelola seluruh kegiatan dan memikul tanggung jawab
terakhir.
Lebih lanjut Terry (2000 : 101) mengemukakan bahwa pendelegasian
wewenang merupakan suatu faktor yang vital di dalam organisasi dan
manajemen, karena :
1. Menetapkan hubungan oraganisatoris format di antara anggota-anggota;
2. Memberikan kekuasaan manajerial;
3. Mengembangkan bawahan dengan cara memberi izin kepada mereka
untuk mengambil keputusan.
Dalam melaksanakan pendelegasian wewenang, Nitisemito (1996 : 136-137)
berpendapat bahwa hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Kemampuan mengkategorikan antara tugas yang penting dan yang
kurang penting;
2. Wewenang dan tanggung jawab harus dikemukakan dengan jelas;
3. Dalam pendelegasian wewenang diperlukan tanggapan, rasa tanggung
jawab, inisiatif dan kreatifitas yang diberi wewenang, untuk itu dibutuhkan
kepercayaan dari pemberi wewenang;
4. Dalam pendelegasian wewenang tidak setengah dan dalam batas
kemampuan.
Melengkapi pendapat di atas, menurut Purbopranoto dalam Nihin (1999 :
47), untuk mewujudkan pemerintahan yang dikehendaki “good governance”
adalah melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain sebagai
berikut : asas jangan mencampuradukkan kewenangan, bahwa keputusan
badan-badan pemerintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan dan
kewenangan yang diberikan kepada badan-badan pemerintah itu, atau
dengan perkataan lain, bahwa tidak boleh menggunakan kewenangan untuk
lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan oleh kewenangan
tersebut.
Apabila rambu-rambu tersebut diikuti dengan baik, maka akan memberi
manfaat yang signifikan. Terry (2000 : 105) mengemukakan bahwa manfaat
yang diperoleh dari desentralisasi wewenang, yaitu antara lain : mendorong
efektifitas hubungan, terdapat kesempatan yang lebih besar berkembang.
Penyerahan atau pembagian kewenangan daerah dari Pemerintah Pusat
kepada daerah, membawa konsekuensi pada terbaginya urusan dan tugas
pemerintahan. Beberapa sistem dalam pembagian kewenangan, yaitu antara
lain :
1. Sistem Residu; Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih
dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan
sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah.
2. Sistem Material; Dalam sistem ini tugas Pemerintah Daerah ditetapkan
satu per satu secara limitative atau terinci. Selain dari tugas yang telah
ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat.
3. Sistem Formal; Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan
rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan atau dengan Undang-
Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi daerahnya, asal tidak mencakup urusan yang telah
diatur oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
tingkatnya.
4. Sistem Riil; Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan
kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil,
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan riil dari Daerah maupun
Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.
Faktor yang menjadi dasar pembagian wewenang antara pusat dan daerah
adalah : Fungsi yang sifatnya berskala nasional dan berkaitan dengan
eksistensi negara sebagai kesatuan politik, wewenangnya diserahkan
kepada Pemerintah Pusat; fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat
yang perlu disediakan secara seragam atau standard untuk seluruh daerah,
kewenangan ini lebih sesuai dikelola oleh Pemerintah Pusat mengingat lebih
ekonomis bila diusahakan dalam skala besar (economic of scale); fungsi
pelayanan yang bersifat lokal. Fungsi ini melibatkan masyarakat luas tetapi
tidak memerlukan tingkat pelayanan yang seragam, untuk melaksanakan
fungsi tersebut wewenangnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah.
2.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang
berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan
Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan
berkembang di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam
wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
Pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
1. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertangung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota
tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999
yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan
yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan
beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat
dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga
merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999
tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan
Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki
bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut
seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya
berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena
terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan
rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut.
2.4 Otonomi Daerah dan Masa Depannya
Perhatian dalam prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi
Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut.
Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini
adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup
memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan
Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan
pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi
aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan
pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila
mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan
kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan
menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila
tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan bangsa Indonesia.
Dari aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah
merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada
Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan
dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan
menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah.
Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap
Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat
akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk
pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah
untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan
dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui
kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian
sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah
melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal
kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional
maupun global.
Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan
terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai
sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah.
Pengakuan Pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai
penting bgi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan
merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara.
Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat
ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan
memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan, kebijakan Otonomi
Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk
memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan
Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan
kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan
kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan
separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi,
politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan
Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan
Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam
menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana
jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi
dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa
mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya
yaitu:
• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama
pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan
memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap
implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam
pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi
Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita
berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa
kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
III
PEMBAHASAN
3.1 Landasan Hukum
Di dalam pokok-pokok perubahan UUD 1945 pada bab IV pasal 18 ayat 1
tentang pengaturan pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa negara
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Sebagai negara kesatuan, kita tidak mengenal adanya negara dalam negara,
karena memang bukan negara federal (serikat). Pembagian daerah adalah
sekedar suatu desentralisasi dengan otonomi yang luas untuk melancarkan
jalannya pemerintahan. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur tentang otonomi
pemerintahan daerah. Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan. Selain mengatur tentang otonomi daerah, UUD 1945 hasil
amandemen juga mengakui keistimewaan pemerintahan daerah. Dalam
pasal 18B ayat 1, hubungan pemerintah pusat dan daerah provinsi,
kabupaten dan kota diatur dalam suatu undang-undang dengan
memperhatikan keistimewaan daerah masing-masing. Selain itu, negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yan diatur dalam undang-
undang (pasal 18B ayat2). Hal ini merupakan perwujudan kebinekaan
masyarakat dan wilayah Negara Indonesia dengan segala kekayaan etnis,
budaya, adat istiadat dan karakter masing-masing.
Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa
konsekuensi logis pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala
macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis
diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan
desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan
UU 25/1999. Dua undang-undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-
politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk memperoleh otonomi yang
lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka, serta semangat
demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.
Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir
dengan dua misi utama. Untuk memuaskan semua daerah dengan
memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui ‘desentralisasi
politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan
kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk
menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala
Daerah). Untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang
‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk
menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah
otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar
negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa
kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang
luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara
langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan Desa sebagai perkembangan
baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU
No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan
beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan
sistem yang digunakan di masa Orde Baru.
Semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan
simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati
I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu
Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari
citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa
daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan
badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan
berbeda. UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang
dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan
Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui
perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan
Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota
adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah
pada kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. UU
No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan
posisi wilayah administratif (field administration) pada level Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis
yang digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan
sekedar Unintegrated Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.
UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai
perangkat Daerah otonom, yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai
kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan
bukan sebagai aparat dekonsentrasi.
Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan
pemerintah Propinsi maupun pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999,
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus
bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa
jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi
kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika
dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004,
diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai
politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU
No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan
kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada
Langsung.
Kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh
bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang lain’. Hanya saja, definisi
‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup
perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya
gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi
nasional.
Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan.
Melalui UU No.25/1999 dan UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber
keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip
perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua
provinsi yang memperoleh otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe
Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan penyesuaian. Semua ini dilakukan
untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,
meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan
sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah.
3.2 Karakter Hubungan Pusat dan Daerah
Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit
di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik
otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan
dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.
Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan
secara nasional (Devas 1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur
secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem
politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan
Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru
melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara
terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila
bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang
telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah
disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para
wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain.
Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan
sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat
bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan
nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional,
pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara
nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis
perkebunan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke
Jakarta.
Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal
utama. Pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak
mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional yang
menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari
bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat
untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Pada tingkat daerah,
masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah
sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah
dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.
Cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu
memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal
kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke
permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan
Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan
dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk
tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri.
Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian
wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor
Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden
Habibie.
Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan
melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa
‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini
adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja
konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak.
3.3 Realisasi dalam Pemerintahan NKRI
Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan
rumusan tersebut, dalam otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu
wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah
dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam
penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan
hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan
peningkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi
lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada sengketa hukum yang
menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat
dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-
batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan
daerah yang lainnya.
2. Unsur pemerintahan. Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas
legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang
berwenang mengatur kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah
adalah meliputi pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai suatu elemen pemerintahan
daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, kebiasaan dan adat
istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk
cara berpikir, bertindak dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan
masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain
gotong-royong, permusyawaratan, cara menyampaikan pendapat dan
pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan.
Kebijakan pemerintah memberikan pengakuan keistimewaan Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat
dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam ikut serta
menetapkan kebijakan daerah. Adapun keistimewaan Provinsi Istimewa
Yogyakarta adalah pengangkatan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan
di Papua kekhususan adalah dengan mempertimbangkan tentang peran
kepala adat masyarakat Papua yang mendapat wewenang dalam
keikutsertaannya menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan
masyarakat Papua. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dirasakan kurang menampung aspirasi
masyarakat dan ulama berdasarkan hak keistimewaan Aceh di atas.
Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah di atas, penyelenggaraan
pemerintahan wilayah NKRI dilakukan dengan penetapan strategi sebagai
berikut:
1. Peningkatan pelayanan. Pelayanan di bidang pemerintahan,
kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial
guna mendorong atau menunjang dinamikan interaksi kehidupan
masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun
sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik.
Bentuk pelayanan pemerintahan tersebut antara lain meliputi rekomendasi,
perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan dan
sebagainya.
2. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam
rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol
yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perencana,
pengusaha jasa, pengembang dalam menyusun konsep strategi
pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada
memfasilitasi dan mediasi. Disamping itu dalam kehidupan berpolitik,
berbangsa dan bernegara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik
rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna
tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.
3. Peningkatan daya saing daerah. Peningkatan daya saing daerah ini guna
tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara
nasional akan terwujud resultan daya saing nasional. Disamping itu daya
saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu
pada strategi kebijakan perekonomian rakyat.
Dalam politik hukum, yang paling esensi dalam penyelenggaraan
peemerintahan daerah yang bersifat otonomi ialah pemberian kewenangan
yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban tertentu. Dalam realita di lapangan, ternyata kebijakan ini hanya
tinggal kebijakan belaka, dalam beberapa kewenangan tertentu yang
berpotensial sering ditarik ulur sehingga berpengaruh terhadap efektivitas
dan efisien penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antar
pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dengan pemerintah kabupaten/kota, di era pemberlakuan otonomi
daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sering
terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing kepala
daerah. Adapun hubungan antar pemerintah daerah, khususnya hubungan
antara pemerintah daerah dengan Badan Legislatif Daerah sering terjadi
disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara pemerintah
daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan otonomi daerah
sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.
3.4 Hasil Penerapan Kebijakan
Berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-
lembaga kerjasama antar daerah untuk memfasilitasi manajemen konflik,
pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan efektivitas pelayanan
publik, dan sebagainya. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang
sudah mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul
(kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bantul), Subosuko
Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari),
Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan
Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya,
Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.
Gambaran di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya
yang tersedia di daerah. Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah
daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi
pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam
mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan
daerah. Lembaga-lembaga pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jawa Pos
Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable
Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi
Pemerintahan Daerah (YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil
mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah yang dikembangkan
pada masa implementasi otonomi daerah.
Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin
memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan
masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi yang diberikan oleh pusat.
Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati
desentralisasi fungsi dan fiskal yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-
bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah otonom maupun
pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi
daerah otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran
daerah.
Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia
bertambah menjadi hampir dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari
2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru terdiri dari 7 provinsi baru,
23 kota baru, dan 134 kabupaten baru,
Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari
upaya daerah dalam menarik perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama
daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan, pada era Orde
Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan
loyalitas yang elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon
tuntutan dari daerah dengan lebih terlembaga melalui pemberian rekognisi
politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak merata ke
seluruh bagian daerah.
Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan
bahwa inisiasi pemekaran daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan
ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan publik dengan
menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya
insentif pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya
tarik tersendiri bagi daerah-daerah untuk mengajukan usul pemekaran.
Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut
tidak membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah
mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan.
Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan
identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya
terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan
pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan
ekonominya di tingkat daerah.
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga
riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan
politik kebijakan pemekaran tidak bisa digambarkan secara generik. Sangat
tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak
positif ataukah negatif. Setiap dimensi, sosio-kultural, politik dan
pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak
pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama
juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam
skala yang berbeda dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran
dalam tulisan ini diletakkan dalam pandangan ganda. Menghindari ataupun
meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses
kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.
1. Dampak Sosio Kultural
Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan
sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran,
entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran
yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru.
Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap
kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap
pemerintah nasional.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada
gilirannya juga menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam
masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah
daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali
berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara
masyarakat dengan pemerintah daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara
pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit
rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di
bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk
menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon,
serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan
publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk
pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan
belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah
dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan
birokrasi di daerah hasil pemekaran.
3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi
akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya
infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik
dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang
yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi
pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan
besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan
belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa
diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau
seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap
dimungkinkan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif
masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah
daerah otonom.
4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman
dan masyarakat di wilayah perbatasan merupakan isu politik nasional yang
penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat
dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol
pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran
daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki kenangan politik nasional
di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan
menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Dalam sudut pandang pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat
penting ditempuh dalam kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas
perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan
dan tertinggal, penguatan identitas kenegaraan dengan mendekatkan
pelayanan pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya
sangat riil oleh masyarakat, dan sebagai upaya untuk penjagaan wilayah
aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di wilayah
perbatasan. Namun, biaya politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah
otonom baru ini seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan
politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan
baik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa daerah hasil pemekaran,
ketidakmampuan untuk membangun ornamen politik antar kelompok dalam
masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi
daerah yang baru saja mekar.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Untuk melaksanakan amanat memang tidak mudah, apalagi amanat yang di
dalam Undang-undang dasar 1945. Amandemen kedua tahun 2000
mengatur pelaksanaan sistem pemerintahan khususnya pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan
pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18
untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan
format kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam memperkuat
integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan masyarakat lokal
di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu
oleh pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi
politik dan militer, dan tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan
dengan pola pembangunan yang sentralistis dan otoriter. Gejolak politik
daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa
mencuat ke permukaan belaka.
Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru.
Kekecewaan masyarakat daerah yang muncul dalam bentuk semangat ingin
merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di akhir dekade
1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang
dilakukan oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi,
baik itu desentralisasi politik, desentralisasi fungsi maupun desentralisasi
fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal masyarakat daerah
menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi
pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.
Kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah
usai. Berangkat dari fenomena pambangunan daerah yang tidak merata,
representasi politik yang tidak adil, pembangunan ekonomi yang
diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat
lokal tetap berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk
membentuk daerah-daerah otonom baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini
menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam kekecewaan
masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik,
kebijakan pemekaran tersebut juga bisa membawa menguatnya
regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan untuk
merangkai sinergi lintas daerah.
Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah
atasan ataupun terhadap pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang
ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa koordinasi, serta pusat
yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh
ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah.
Kesalahan pengelolaan yang parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk
yang terjadi secara berkesinambungan akan memperpuruk legitimasi politik
dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal ini
terjadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapatkan dampaknya.
b. Saran
Dalam penulisan makalah ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
mengenai pengukuran dampak terkait penerapan otonomi daerah terhadap
kehidupan rakyat NKRI, dengan menggunakan instrumen penelitian yang
lebih fokus pada usaha mendapatkan deskripsi keadaan yang terjadi,
sehingga dapat menjadi masukan bagi penyelenggaraan pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan yang merupakan amanah dari rakyat NKRI dengan
keanekaragaman karakteristik.
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-
daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945.
Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pembentukan dan Penghapusan
2 Pembagian Urusan
Pemerintahan
3 Urusan Pemerintahan Daerah
o 3.1 Penyelenggara
Pemerintahan
o 3.2 Pemerintah Daerah
o 3.3 Perangkat Daerah
o 3.4 DPRD
o 3.5 Pilkada
4 Kepegawaian Daerah
5 Perda dan Perkada
6 Perencanaan Pembangunan
7 Keuangan Daerah
8 Kerjasama dan Perselisihan
9 Kawasan Perkotaan
10 Desa atau nama lain
11 Pembinaan dan Pengawasan
12 Pertimbangan Otonomi
13 Ketentuan Lain-lain
14 Referensi
[sunting]Pembentukan dan Penghapusan
Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota
ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Daerah
dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang
bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan
dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan
tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat
menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.
[sunting]Pembagian Urusan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:
1. politik luar negeri;
2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;
5. moneter dan fiskal nasional;
6. agama ; dan
7. norma.
[sunting]Urusan Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan
kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten
atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota
meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang
bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan
daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi
dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
[sunting]Penyelenggara Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden,
dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah
adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi
yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Untuk
pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau kota.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan
asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja,
dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan
daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien,
efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan
perundang-undangan.
[sunting]Pemerintah Daerah
Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala
daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten
disebut bupati dan untuk kota adalah wali kota. Kepala daerah dibantu oleh
satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur,
untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota.
Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban
serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian
untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas
dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan
kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat
sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
[sunting]Perangkat Daerah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perangkat Daerah
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak
berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke
dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-
kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan
daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan,
jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah
dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan
yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu
kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah
tidak senantiasa sama atau seragam.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah
kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Susunan
organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan
memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sekretaris daerah
mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun
kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD
mempunyai tugas: (a). menyelenggarakan administrasi kesekretariatan
DPRD; (b). menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD; (c). mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan (d). menyediakan dan
mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam
melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas
daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik
berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan,
kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman
pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati
atau wali kota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan
dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan
tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.
[sunting]DPRD
Artikel utama untuk bagian ini adalah: DPRD
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan
wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi; (b). angket; dan (c).
menyatakan pendapat.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia
musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan (f). alat
kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan
kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat diganti antar
waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku ketentuan Undang-Undang
yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja
yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki
kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD
adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing
sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang
sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu
sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
[sunting]Pilkada
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pilkada
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat tertentu.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan
sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tersebut tidak
terpenuhi,pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara
sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih.
Apabila tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah
suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang
pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden dalam sebuah sidang DPRD Provinsi. Bupati dan wakil bupati atau
wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden
dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten atau Kota.
[sunting]Kepegawaian Daerah
Pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri
sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai
negeri sipil secara nasional. Manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi
penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan
pengendalian jumlah. Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai
negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam
Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur.
[sunting]Perda dan Perkada
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Daerah
Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda
disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah pusat.
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,
kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan
kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh
Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan
Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
[sunting]Perencanaan Pembangunan
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan
pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten atau daerah kota sesuai
dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah.
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan dengan Perda;
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan Perda
3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran
dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dengan mengacu
kepada rencana kerja Pemerintah pusat.
[sunting]Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan
pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan
mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya
disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara
Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap
urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber
keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara
lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai
dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan
bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan
dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-
sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada
dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.
Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat
penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan
pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden
sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota selaku kepala
pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan
daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) adalah
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab
atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah
melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada
para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu
dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang
mengenai Pemerintahan Daerah.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
1. pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak daerah;
(b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
2. dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b). Dana
Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan
pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah
pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah
daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik
Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD
yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau
pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan
perundangundangan.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu)
tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD
disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD
untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang
APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur
tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3
(tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD
sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan
dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh
Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur
lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
[sunting]Kerjasama dan Perselisihan
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling
menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan
kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam
penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak
ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat dan daerah harus
mendapatkan persetujuan DPRD.
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan
antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan
perselisihan dimaksud. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara
provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan
kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan
perselisihan dimaksud. Keputusan Guberneur atau Menteri Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud bersifat final.
[sunting]Kawasan Perkotaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: kota
Kawasan perkotaan dapat berbentuk :
1. Kota sebagai daerah otonom yang dikelola oleh pemerintah kota;
2. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan yang dikelola
oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan
bertanggungjawab kepada pemerintah kabupaten.;
3. bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan
memiliki ciri perkotaan yang dikelola bersama oleh daerah terkait.
Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan
perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat.
[sunting]Desa atau nama lain
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Desa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nagari
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa
yang terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan
memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Landasan pemikiran
dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah
mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya
dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan
ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar
desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang
dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun
karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen,
maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Desa yang
dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera
Barat, Gampong di provinsi NAD,Lembang di Sulawesi
Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Yang
dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya dalam ketentuan ini adalah
perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa,
pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan
seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.
Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara
Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya
diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon
kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala
desa sebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan
kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam
ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat
yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Di
desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan
peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini
seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga
pemberdayaan masyarakat.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-
perundangan diserahkan kepada desa.
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan
kebutuhan dan potensi desa. Desa dapat mengadakan kerja sama untuk
kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan
kepada Bupati/Walikota melalui camat.
[sunting]Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang
dilakukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi
daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di
Daerah. Koordinasi pembinaan dilaksanakan secara berkala pada tingkat
nasional, regional, atau provinsi.
Pembinaan tersebut meliputi
1. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
2. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
3. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan;
4. pendidikan dan pelatihan; dan
5. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan urusan pemerintahan.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan
sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan
adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan
daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan
kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat,
penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik
peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang
ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.
[sunting]Pertimbangan Otonomi
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat
membentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan ini dipimpin oleh
Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan tata
laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dewan tersebut
bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain
mengenai rancangan kebijakan:
1. pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta
pembentukan kawasan khusus;
2. perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah,
[sunting]Ketentuan Lain-lain
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi
khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan
khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Ketentuan dalam Undang-
Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua termasukprovinsi hasil
pemekarannya, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.
Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN
Tahun 2007 Nomor 93; TLN 4744); Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (LN
Tahun 1999 Nomor 172; TLN 3893) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN Tahun 2006 Nomor 62; TLN 4633); dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua (LN Tahun 2001 Nomor 135; TLN 4151). Karena Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki Undang-Undang tersendiri,
maka keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah
yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah.
Instansi vertikal tersebut jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya
ditetapkan Pemerintah. Semua instansi vertikal yang diserahkan dan
menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.
Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah
negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang- undangan dengan
memperhatikan hukum internasional yang pelaksanaannya ditetapkan oleh
Pemerintah.
Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam undang-
undang.