68
MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Makalah Sistem Pemerintahan Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau

"dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah

"otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah

atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau

daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah

wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur

dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu

sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan

termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi

adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi

kemampuan pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan

bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak

mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut

tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah

berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan

keanekaragaman.

Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari,

oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan

juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam UUD 1945 antara lain tersurat

bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah. Namun dalam praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara

proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan

pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya

kekuasaan yang terpusat dan lemahnya kekuasaan daerah. Dalam

perkembangannya, pemerintah pusat yang semula dalam posisi kuat,

kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal ini antara lain disebabkan

oleh berbagai permasalahan yang muncul. Salah satunya yang paling rawan

adalah ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah

pusat.

Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan

pemerintahan daerah ini, pertimbangan yang sangat strategis adalah perlu

adanya Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di

daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan mengantisipasi

perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan faktor eksistensi,

efektifitas, dan keserasian dengan tujuan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-

Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah

Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi

pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau

bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ada akan

ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah yang bersifat otonom akan

diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu walaupun di daerah,

pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat UUD Negara RI tahun

1945 maka kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah

terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan

mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan

dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia NKRI. 

Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya

masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam

bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat

yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal

tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun

kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak

Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi

pemenuhan harapan masyarakat tersebut.

Dengan berkembangnya globalisasi, demokratisasi dan transparansi

penyelenggaraan pemerintahan tidak akan terlepas dari pengaruh global

tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan menuntut adanya

pemberian peran serta kepada warga negara dalam sistem pemerintahan,

antara lain perlindungan konsitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak

individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk

memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, badan kehakiman

yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan

beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan. Prinsip keistimewaan atau

kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi khusus kepada

daerah tertentu dalam ikatan NKRI.

Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah, diperlukan peningkatan dengan

lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan

dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,

peluang dann tantangan persaingan global dengan memberikan

kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan

kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan NKRI.

Dalam penulisan makalah ini, kami mengkaji mengenai peran Otonomi

daerah yang dinilai mampu mewujudkan tujuan pemerintahan NKRI yaitu

peningkatan kesejahteraan, terkait pelaksanaan sistem pemerintahan dalam

wilayah NKRI.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini ada 4 masalah utama yang perlu dibahas yaitu:

1. Apa landasan hukum sistem otonomi Daerah?

2. Bagaimana karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah?

3. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI?

4. Apa hasil penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI?

1.3. Tujuan

Tujuan penulisan mengenai sistem otonomi daerah di dalam Sistem

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI, adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui landasan hukum sistem otonomi Daerah.

2. Mengetahui karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah.

3. Mengetahui realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI.

4. Mengetahui penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI.

1.4. Manfaat

Tulisan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan yang mendukung

proses perenungan serta diskusi untuk mengkaji sistem yang dinilai tepat

digunakan dalam sistem pemerintahan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pewujudan peningkatan

kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum Otonomi Daerah

Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan

undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan

daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan

pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal

18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18

untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah

kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5)

tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap

tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan

tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk

untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati

Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi

otonomi daerah sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai

berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi,

dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat di daerah kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah

pusat kepada daerah atau desa dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula

perangkat peraturan perundang-undangan yang 5 Indonesia (b), Undang-

Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125

tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1. mengatur mengenai perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti

dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati,

dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(PP Nomor 6 Tahun 2005).

2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Menurut amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan

dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah

mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari

harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada

di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan publik

dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah

(perda).

Otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa

perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah

menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa

sebelumnya DPRD hanya sebagai simbol dan kedudukannya di bawah

legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar,

bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.

Sebagai contoh dari gambaran tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah,

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah

membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan

peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak.

Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk

dibahas di DPRD. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru

disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif

dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik

yang mereka berikan.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan

pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian

tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi

otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan

masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu

banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi

konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan

minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba

mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas.

Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto

membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM),

dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa

(BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat

(LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan

membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan

saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan

LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi

kebudayaan dan kelompok etnis plural.

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas

lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali

pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam

menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang

diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari

pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal

mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi

kebudayaan dan juga pariwisata.

Dalam kehidupan modern yang kita jalani dewasa ini, eksistensi

pemerintahan tidak dapat dipungkiri lagi. Kehadiran pemerintah menjangkau

hampir semua segi kehidupan, mulai dari kelahiran anak (akte kelahiran),

nikah (harus pakai akte nikah), bahkan sampai seseorang meninggal dunia

(harus mengurus akte kematian).

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu

sistem ketertiban di dalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya

secara wajar. Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada hakekatnya

adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan

untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,

menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan

bersama. Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan

mencakup tujuh bidang pelayanan, yaitu :

1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar,

dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat

menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara-cara kekerasan;

2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya perselisihan di antara

warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam

masyarakat dapat berlangsung secara damai;

3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga

masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi

keberadaan mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus tercermin melalui

keputusan-keputusan pengadilan, dimana kebenaran diupayakan

pembuktiannya secara maksimal, dan dimana konstitusi dan hukum yang

berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan secara adil dan tidak memihak,

serta dimana perselisihan bisa didamaikan;

4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-

bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah. Ini

antara lain mencakup pembangunan jalan, penyediaan fasilitas pendidikan

yang terjangkau oleh mereka yang berpendapatan rendah, pelayanan pos

dan pencegahan penyakit menular;

5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial :

membantu orang miskin dan memelihara orang-orang cacat, jompo dan

anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para gelandangan ke

sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya;

6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas,

seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja

baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan

lain secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan

masyarakat;

7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup, seperti air, tanah, dan hutan. Pemerintah juga

berkewajiban mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk

pemanfaatan sumber daya alam yang mengutamakan keseimbangan antara

eksploitasi dan reservasi.

Sementara itu, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut, pemerintah

mempunyai beberapa fungsi. Pada umumnya pemerintah menjalankan dua

fungsi pokok, fungsi pemerintahan umum. Yaitu mengatur kehidupan politik,

sosial, ketertiban, pertahanan keamanan, termasuk kependudukan. Fungsi

ini merupakan monopoli pemerintah, dalam arti pihak lain tidak mempunyai

kewenangan untuk melaksanakannya. Fungsi penyediaan pelayanan

masyarakat dalam arti luas, antara lain, kesehatan, pendidikan, pos,

telekomunikasi, dan sebagainya. Fungsi ini bukan monopoli pemerintah,

terbuka untuk fihak swasta yang melakukannya. Selain dua fungsi tersebut,

dalam negara berkembang pemerintah juga dibebani fungsi ke tiga yaitu

fungsi pembangunan.

Tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang tertera di atas menggambarkan

adanya jangkauan yang luas dan kompleks, dengan tanggung jawab yang

sangat berat, terpikul di atas pundak setiap pemerintahan. Untuk melakukan

tugas pokok dan fungsi tersebut, adalah hal yang sangat sulit jika

dilaksanakan secara terpusat (concentrated) oleh Pemerintah Pusat. Untuk

itu, tugas pokok dan fungsi tersebut harus diserahkan atau didelegasikan

sebagian dalam bentuk kewenangan melalui asas desentralisasi kepada

daerah (otonom) untuk diselenggarakan.

Pilihan terhadap orientasi pemerintahan yang desentralistis didasarkan pada

beberapa alasan yang ditinjau dari beberapa dimensi, yaitu :

1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi

dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada salah satu

pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani;

2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai

tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam

pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi;

3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan

daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu

pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama diurus oleh

pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal

yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat;

4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat

sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti

geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau

latar belakang sejarahnya;

5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan

karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung

membantu pembangunan tersebut.

Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Latin ; “de” lepas, “centrum”

pusat) dapat diartikan melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat

dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan dalam konteks

penyerahan kekuasaan atau kewenangan dari pusat ke daerah. Scligman

mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu proses penyerahan

wewenang (authority) dari pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai

kekuasaan (power) kepada pemerintah yang lebih rendah derajatnya, yang

menyangkut bidang legislatif atau administratif. Senada dengan hal

tersebut, selanjutnya Ruiter meneruskan bahwa kewenangan tersebut untuk

secara mandiri dan berdasarkan kepentingan, sendiri mengambil keputusan

pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal

tersebut.

Format desentralisasi terdapat dalam dua bentuk, yakni : desentralisasi

administratif atau dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang

pelaksanaan kepada tingkat lokal, dan desentralisasi politik atau devolusi,

yang berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu

terhadap sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal. 

Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari Pemerintah

Pusat kepada Daerah Otonom, untuk secara mandiri dapat mengembangkan

kreatifitas dan prakarsa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hak dan

wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government) ini

dikenal dengan otonomi daerah.

Wewenang dalam konsep organisasi dan manajemen diartikan sebagai hak

suatu unit kerja atau seseorang pejabat untuk melakukan sesuatu tugas

dengan penuh tanggung jawab. Terry (2000 : 101) berpendapat bahwa pada

organisasi-organisasi resmi yang berjalan, wewenang harus didelegasikan

atau dibagi dari seorang manajer atau kelompok kerja organisasi pada pihak-

pihak lain untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban khusus. Pendelegasian

wewenang adalah untuk memutuskan perkara yang cenderung menjadi

kewajibannya. Walaupun demikian, manajer yang mendelegasikan

wewenang tidak menyerahkan secara permanen baik wewenang maupun

tanggung jawabnya. Hal-hal yang dilakukan itu merupakan penyerahan hak

untuk mengelola tugas-tugas di dalam batas-batas yang telah ditentukan,

namun wewenang akhir tetap berada pada manajer yang memegang

wewenang untuk mengelola seluruh kegiatan dan memikul tanggung jawab

terakhir.

Lebih lanjut Terry (2000 : 101) mengemukakan bahwa pendelegasian

wewenang merupakan suatu faktor yang vital di dalam organisasi dan

manajemen, karena :

1. Menetapkan hubungan oraganisatoris format di antara anggota-anggota;

2. Memberikan kekuasaan manajerial;

3. Mengembangkan bawahan dengan cara memberi izin kepada mereka

untuk mengambil keputusan.

Dalam melaksanakan pendelegasian wewenang, Nitisemito (1996 : 136-137)

berpendapat bahwa hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Kemampuan mengkategorikan antara tugas yang penting dan yang

kurang penting;

2. Wewenang dan tanggung jawab harus dikemukakan dengan jelas;

3. Dalam pendelegasian wewenang diperlukan tanggapan, rasa tanggung

jawab, inisiatif dan kreatifitas yang diberi wewenang, untuk itu dibutuhkan

kepercayaan dari pemberi wewenang;

4. Dalam pendelegasian wewenang tidak setengah dan dalam batas

kemampuan.

Melengkapi pendapat di atas, menurut Purbopranoto dalam Nihin (1999 :

47), untuk mewujudkan pemerintahan yang dikehendaki “good governance”

adalah melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain sebagai

berikut : asas jangan mencampuradukkan kewenangan, bahwa keputusan

badan-badan pemerintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan dan

kewenangan yang diberikan kepada badan-badan pemerintah itu, atau

dengan perkataan lain, bahwa tidak boleh menggunakan kewenangan untuk

lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan oleh kewenangan

tersebut.

Apabila rambu-rambu tersebut diikuti dengan baik, maka akan memberi

manfaat yang signifikan. Terry (2000 : 105) mengemukakan bahwa manfaat

yang diperoleh dari desentralisasi wewenang, yaitu antara lain : mendorong

efektifitas hubungan, terdapat kesempatan yang lebih besar berkembang.

Penyerahan atau pembagian kewenangan daerah dari Pemerintah Pusat

kepada daerah, membawa konsekuensi pada terbaginya urusan dan tugas

pemerintahan. Beberapa sistem dalam pembagian kewenangan, yaitu antara

lain :

1. Sistem Residu; Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih

dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan

sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah. 

2. Sistem Material; Dalam sistem ini tugas Pemerintah Daerah ditetapkan

satu per satu secara limitative atau terinci. Selain dari tugas yang telah

ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat. 

3. Sistem Formal; Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan

rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan atau dengan Undang-

Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

dianggap penting bagi daerahnya, asal tidak mencakup urusan yang telah

diatur oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi

tingkatnya.

4. Sistem Riil; Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan

kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil,

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan riil dari Daerah maupun

Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.

Faktor yang menjadi dasar pembagian wewenang antara pusat dan daerah

adalah : Fungsi yang sifatnya berskala nasional dan berkaitan dengan

eksistensi negara sebagai kesatuan politik, wewenangnya diserahkan

kepada Pemerintah Pusat; fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat

yang perlu disediakan secara seragam atau standard untuk seluruh daerah,

kewenangan ini lebih sesuai dikelola oleh Pemerintah Pusat mengingat lebih

ekonomis bila diusahakan dalam skala besar (economic of scale); fungsi

pelayanan yang bersifat lokal. Fungsi ini melibatkan masyarakat luas tetapi

tidak memerlukan tingkat pelayanan yang seragam, untuk melaksanakan

fungsi tersebut wewenangnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah.

2.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah 

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang

berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai

kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas,

nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah

keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup

kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang

politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,

agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan

Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang

tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan

berkembang di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang

bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban

sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam

wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan

pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi,

keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara

Pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah : 

1. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman

daerah. 

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertangung jawab. 

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

kabupaten dan daerah kota. 

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

serta antara Daerah. 

5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian

Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota

tidak ada lagi wilayah administratif. 

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan

fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi

pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah. 

7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam

kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan

pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil

Pemerintah. 

8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari

Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada

Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber

daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. 

Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999

yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan

yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan

beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat

dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga

merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999

tersebut. 

Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan

Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki

bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut

seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya

berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena

terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan

rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. 

2.4 Otonomi Daerah dan Masa Depannya 

Perhatian dalam prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi

Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut.

Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini

adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 

Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup

memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan

Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan

pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi

aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan

negara serta hubungan Pusat dan Daerah. 

Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan

pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila

mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan

kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan

dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan

menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan

Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila

tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek

kehidupan bangsa Indonesia. 

Dari aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah

merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada

Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan

dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan

menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah.

Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap

Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan

bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat

akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah. 

Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk

pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah

untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan

dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang

signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui

kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian

sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah

melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal

kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional

maupun global. 

Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan

terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai

sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah.

Pengakuan Pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai

penting bgi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan

merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat

berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara.

Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat

ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan

memperkaya khasanah budaya nasional. 

Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan, kebijakan Otonomi

Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk

memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan

Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan

kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan

kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan

separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia . 

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi,

politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan

Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan

Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam

menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan

bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara. 

Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana

jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi

dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa

mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya

yaitu: 

• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama

pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan

memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah. 

• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap

implementasi kebijakan Otonomi Daerah. 

• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam

pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah. 

Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi

Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita

berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa

kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah.

III

PEMBAHASAN

3.1 Landasan Hukum

Di dalam pokok-pokok perubahan UUD 1945 pada bab IV pasal 18 ayat 1

tentang pengaturan pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa negara

Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap provinsi, kabupaten dan kota

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Sebagai negara kesatuan, kita tidak mengenal adanya negara dalam negara,

karena memang bukan negara federal (serikat). Pembagian daerah adalah

sekedar suatu desentralisasi dengan otonomi yang luas untuk melancarkan

jalannya pemerintahan. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur tentang otonomi

pemerintahan daerah. Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pemerintahan

daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan. Selain mengatur tentang otonomi daerah, UUD 1945 hasil

amandemen juga mengakui keistimewaan pemerintahan daerah. Dalam

pasal 18B ayat 1, hubungan pemerintah pusat dan daerah provinsi,

kabupaten dan kota diatur dalam suatu undang-undang dengan

memperhatikan keistimewaan daerah masing-masing. Selain itu, negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yan diatur dalam undang-

undang (pasal 18B ayat2). Hal ini merupakan perwujudan kebinekaan

masyarakat dan wilayah Negara Indonesia dengan segala kekayaan etnis,

budaya, adat istiadat dan karakter masing-masing.

Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa

konsekuensi logis pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala

macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis

diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan

desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan

UU 25/1999. Dua undang-undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-

politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk memperoleh otonomi yang

lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka, serta semangat

demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas. 

Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir

dengan dua misi utama. Untuk memuaskan semua daerah dengan

memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui ‘desentralisasi

politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan

kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk

menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala

Daerah). Untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang

‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk

menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.

Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah

otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar

negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa

kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang

luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini

dapat dilihat dari kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara

langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan Desa sebagai perkembangan

baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU

No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan

beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan

sistem yang digunakan di masa Orde Baru.

Semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan

simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati

I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu

Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari

citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa

daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan

badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan

berbeda. UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang

dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan

Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui

perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan

Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota

adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah

pada kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. UU

No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan

posisi wilayah administratif (field administration) pada level Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis

yang digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan

sekedar Unintegrated Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.

UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai

perangkat Daerah otonom, yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai

kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan

bukan sebagai aparat dekonsentrasi.

Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan

pemerintah Propinsi maupun pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999,

Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus

bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa

jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi

kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika

dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004,

diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara

langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai

politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU

No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan

kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada

Langsung.

Kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh

bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter

dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang lain’. Hanya saja, definisi

‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup

perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana

perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga

perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya

gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi

nasional. 

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan.

Melalui UU No.25/1999 dan UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber

keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip

perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua

provinsi yang memperoleh otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe

Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan penyesuaian. Semua ini dilakukan

untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,

meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan

sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah. 

3.2 Karakter Hubungan Pusat dan Daerah

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit

di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik

otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan

dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan

secara nasional (Devas 1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur

secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem

politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan

Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru

melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara

terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila

bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang

telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah

disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para

wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain.

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan

sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat

bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan

nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional,

pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara

nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis

perkebunan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke

Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal

utama. Pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak

mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional yang

menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari

bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat

untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Pada tingkat daerah,

masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah

sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah

dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.

Cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu

memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal

kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke

permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan

Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan

dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk

tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri.

Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian

wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor

Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden

Habibie. 

Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan

melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa

‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini

adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja

konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. 

3.3 Realisasi dalam Pemerintahan NKRI

Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan

rumusan tersebut, dalam otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu

wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah

dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam

penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan

hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan

peningkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi

lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada sengketa hukum yang

menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat

dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-

batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan

daerah yang lainnya.

2. Unsur pemerintahan. Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas

legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang

berwenang mengatur kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah

adalah meliputi pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai suatu elemen pemerintahan

daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, kebiasaan dan adat

istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk

cara berpikir, bertindak dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan

masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain

gotong-royong, permusyawaratan, cara menyampaikan pendapat dan

pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan. 

Kebijakan pemerintah memberikan pengakuan keistimewaan Provinsi

Nangroe Aceh Darussalam berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat

dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam ikut serta

menetapkan kebijakan daerah. Adapun keistimewaan Provinsi Istimewa

Yogyakarta adalah pengangkatan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan

di Papua kekhususan adalah dengan mempertimbangkan tentang peran

kepala adat masyarakat Papua yang mendapat wewenang dalam

keikutsertaannya menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan

masyarakat Papua. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perimbangan

keuangan pusat dan daerah, dirasakan kurang menampung aspirasi

masyarakat dan ulama berdasarkan hak keistimewaan Aceh di atas. 

Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah di atas, penyelenggaraan

pemerintahan wilayah NKRI dilakukan dengan penetapan strategi sebagai

berikut:

1. Peningkatan pelayanan. Pelayanan di bidang pemerintahan,

kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial

guna mendorong atau menunjang dinamikan interaksi kehidupan

masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun

sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik.

Bentuk pelayanan pemerintahan tersebut antara lain meliputi rekomendasi,

perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan dan

sebagainya.

2. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam

rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol

yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perencana,

pengusaha jasa, pengembang dalam menyusun konsep strategi

pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada

memfasilitasi dan mediasi. Disamping itu dalam kehidupan berpolitik,

berbangsa dan bernegara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada

masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik

rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna

tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.

3. Peningkatan daya saing daerah. Peningkatan daya saing daerah ini guna

tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara

nasional akan terwujud resultan daya saing nasional. Disamping itu daya

saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu

pada strategi kebijakan perekonomian rakyat. 

Dalam politik hukum, yang paling esensi dalam penyelenggaraan

peemerintahan daerah yang bersifat otonomi ialah pemberian kewenangan

yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan

kewajiban tertentu. Dalam realita di lapangan, ternyata kebijakan ini hanya

tinggal kebijakan belaka, dalam beberapa kewenangan tertentu yang

berpotensial sering ditarik ulur sehingga berpengaruh terhadap efektivitas

dan efisien penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antar

pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah

provinsi, dengan pemerintah kabupaten/kota, di era pemberlakuan otonomi

daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sering

terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing kepala

daerah. Adapun hubungan antar pemerintah daerah, khususnya hubungan

antara pemerintah daerah dengan Badan Legislatif Daerah sering terjadi

disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara pemerintah

daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, Undang-Undang Nomor 22

tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan

perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan otonomi daerah

sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004. 

3.4 Hasil Penerapan Kebijakan

Berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-

lembaga kerjasama antar daerah untuk memfasilitasi manajemen konflik,

pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan efektivitas pelayanan

publik, dan sebagainya. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang

sudah mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul

(kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bantul), Subosuko

Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,

Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari),

Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan

Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya,

Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.

Gambaran di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya

yang tersedia di daerah. Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah

daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi

pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam

mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan

daerah. Lembaga-lembaga pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jawa Pos

Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable

Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi

Pemerintahan Daerah (YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil

mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah yang dikembangkan

pada masa implementasi otonomi daerah. 

Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin

memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan

masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi yang diberikan oleh pusat.

Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati

desentralisasi fungsi dan fiskal yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-

bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah otonom maupun

pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi

daerah otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran

daerah.

Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia

bertambah menjadi hampir dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari

2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru terdiri dari 7 provinsi baru,

23 kota baru, dan 134 kabupaten baru,

Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari

upaya daerah dalam menarik perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama

daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan, pada era Orde

Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan

loyalitas yang elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon

tuntutan dari daerah dengan lebih terlembaga melalui pemberian rekognisi

politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak merata ke

seluruh bagian daerah.

Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan

bahwa inisiasi pemekaran daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan

ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan publik dengan

menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya

insentif pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya

tarik tersendiri bagi daerah-daerah untuk mengajukan usul pemekaran.

Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut

tidak membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah

mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan.

Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan

identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya

terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan

pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan

ekonominya di tingkat daerah.

Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga

riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan

politik kebijakan pemekaran tidak bisa digambarkan secara generik. Sangat

tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak

positif ataukah negatif. Setiap dimensi, sosio-kultural, politik dan

pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak

pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama

juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam

skala yang berbeda dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional. 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran

dalam tulisan ini diletakkan dalam pandangan ganda. Menghindari ataupun

meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses

kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.

1. Dampak Sosio Kultural

Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan

sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran,

entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran

yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru.

Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap

kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap

pemerintah nasional.

Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada

gilirannya juga menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam

masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah

daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali

berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara

masyarakat dengan pemerintah daerah.

2. Dampak Pada Pelayanan Publik

Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara

pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit

rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di

bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk

menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon,

serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.

Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan

publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk

pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan

belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah

dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan

birokrasi di daerah hasil pemekaran. 

3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi

Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi

akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya

infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik

dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang

yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi

pembangunan ekonomi.

Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan

besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan

belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa

diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau

seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap

dimungkinkan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif

masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa

pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah

daerah otonom.

4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional

Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman

dan masyarakat di wilayah perbatasan merupakan isu politik nasional yang

penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat

dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol

pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran

daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki kenangan politik nasional

di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan

menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.

Dalam sudut pandang pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat

penting ditempuh dalam kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas

perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan

dan tertinggal, penguatan identitas kenegaraan dengan mendekatkan

pelayanan pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya

sangat riil oleh masyarakat, dan sebagai upaya untuk penjagaan wilayah

aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di wilayah

perbatasan. Namun, biaya politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah

otonom baru ini seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan

politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan

baik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa daerah hasil pemekaran,

ketidakmampuan untuk membangun ornamen politik antar kelompok dalam

masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi

daerah yang baru saja mekar. 

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Untuk melaksanakan amanat memang tidak mudah, apalagi amanat yang di

dalam Undang-undang dasar 1945. Amandemen kedua tahun 2000

mengatur pelaksanaan sistem pemerintahan khususnya pemerintahan

daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan

pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal

18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18

untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan

format kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam memperkuat

integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan masyarakat lokal

di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu

oleh pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi

politik dan militer, dan tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan

dengan pola pembangunan yang sentralistis dan otoriter. Gejolak politik

daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa

mencuat ke permukaan belaka.

Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru.

Kekecewaan masyarakat daerah yang muncul dalam bentuk semangat ingin

merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di akhir dekade

1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang

dilakukan oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi,

baik itu desentralisasi politik, desentralisasi fungsi maupun desentralisasi

fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal masyarakat daerah

menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi

pengelolaan sumberdaya semakin terbuka. 

Kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah

usai. Berangkat dari fenomena pambangunan daerah yang tidak merata,

representasi politik yang tidak adil, pembangunan ekonomi yang

diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat

lokal tetap berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk

membentuk daerah-daerah otonom baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini

menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam kekecewaan

masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik,

kebijakan pemekaran tersebut juga bisa membawa menguatnya

regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan untuk

merangkai sinergi lintas daerah.

Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah

atasan ataupun terhadap pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang

ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa koordinasi, serta pusat

yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh

ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah.

Kesalahan pengelolaan yang parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk

yang terjadi secara berkesinambungan akan memperpuruk legitimasi politik

dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal ini

terjadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapatkan dampaknya.

b. Saran

Dalam penulisan makalah ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam

mengenai pengukuran dampak terkait penerapan otonomi daerah terhadap

kehidupan rakyat NKRI, dengan menggunakan instrumen penelitian yang

lebih fokus pada usaha mendapatkan deskripsi keadaan yang terjadi,

sehingga dapat menjadi masukan bagi penyelenggaraan pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan yang merupakan amanah dari rakyat NKRI dengan

keanekaragaman karakteristik. 

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-

daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan

daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-

undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

UUD 1945.

Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai

Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara

demokratis.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,

diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan

keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras

berdasarkan undang-undang.

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-

undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Daftar isi

[sembunyikan]

1   Pembentukan dan Penghapusan

2   Pembagian Urusan

Pemerintahan

3   Urusan Pemerintahan Daerah

o 3.1   Penyelenggara

Pemerintahan

o 3.2   Pemerintah Daerah

o 3.3   Perangkat Daerah

o 3.4   DPRD

o 3.5   Pilkada

4   Kepegawaian Daerah

5   Perda dan Perkada

6   Perencanaan Pembangunan

7   Keuangan Daerah

8   Kerjasama dan Perselisihan

9   Kawasan Perkotaan

10   Desa atau nama lain

11   Pembinaan dan Pengawasan

12   Pertimbangan Otonomi

13   Ketentuan Lain-lain

14   Referensi

[sunting]Pembentukan dan Penghapusan

Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota

ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan daerah dapat berupa

penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan

atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Daerah

dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang

bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.

Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan

dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan

tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat

menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau

kabupaten/kota.

[sunting]Pembagian Urusan Pemerintahan

Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:

1. politik luar negeri;

2. pertahanan;

3. keamanan;

4. yustisi;

5. moneter dan fiskal nasional;

6. agama ; dan

7. norma.

[sunting]Urusan Pemerintahan Daerah

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian

hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan

kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan.

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten

atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota

meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang

bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan

berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan

memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan

daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang,

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber

daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.

Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber

daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi

dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

[sunting]Penyelenggara Pemerintahan

Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden,

dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah

adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi

yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Untuk

pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas

pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau kota.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan

asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan

daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas

pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan

adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari

pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari

pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas

tertentu.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi

vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja

pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja,

dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan

daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien,

efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan

perundang-undangan.

[sunting]Pemerintah Daerah

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala

daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten

disebut bupati dan untuk kota adalah wali kota. Kepala daerah dibantu oleh

satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur,

untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota.

Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban

serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban

kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil

pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian

untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas

dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan

kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat

sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

[sunting]Perangkat Daerah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perangkat Daerah

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi

adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak

berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke

dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-

kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan

daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan,

jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah

dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan

yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu

kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah

tidak senantiasa sama atau seragam.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat

DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah

kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas

daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Susunan

organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan

memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan

Pemerintah.

Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sekretaris daerah

mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun

kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD

mempunyai tugas: (a). menyelenggarakan administrasi kesekretariatan

DPRD; (b). menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD; (c). mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan (d). menyediakan dan

mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam

melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas

daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah

dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik

berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan,

kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut bertanggung jawab kepada

kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman

pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam

pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati

atau wali kota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan

dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan

Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan

tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.

[sunting]DPRD

Artikel utama untuk bagian ini adalah: DPRD

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan

sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi

legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan

wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi; (b). angket; dan (c).

menyatakan pendapat.

Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia

musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan (f). alat

kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan

kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat diganti antar

waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-

Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku ketentuan Undang-Undang

yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja

yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara

bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki

kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini

tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.

Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD

adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk

melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing

sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang

sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu

sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

[sunting]Pilkada

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pilkada

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat tertentu.

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh

suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan

sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tersebut tidak

terpenuhi,pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang

memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara

sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai

pasangan calon terpilih.

Apabila tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah

suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang

pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua

dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama

Presiden dalam sebuah sidang DPRD Provinsi. Bupati dan wakil bupati atau

wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden

dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten atau Kota.

[sunting]Kepegawaian Daerah

Pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri

sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai

negeri sipil secara nasional. Manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi

penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan

kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan

pengendalian jumlah. Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai

negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam

Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur.

[sunting]Perda dan Perkada

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Daerah

Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda

berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.

Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda

disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah

ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah pusat.

Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,

kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan

kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh

Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan

Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

[sunting]Perencanaan Pembangunan

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan

pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan

pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh

pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten atau daerah kota sesuai

dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah.

1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk

jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan dengan Perda;

2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk

jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan Perda

3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran

dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dengan mengacu

kepada rencana kerja Pemerintah pusat.

[sunting]Keuangan Daerah

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara

optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan

pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan

mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya

disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara

Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap

urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber

keuangan daerah.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara

lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai

dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan

mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan

bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan

dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan

mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-

sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada

dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.

Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat

penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan

pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan

pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden

sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota selaku kepala

pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili

pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan

daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) adalah

pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab

atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan

pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah

melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada

para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan

dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu

dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang

mengenai Pemerintahan Daerah.

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

1. pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak daerah;

(b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;

2. dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b). Dana

Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan

3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan

pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah

pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah

daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik

Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD

yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau

pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan

perundangundangan.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan

tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu)

tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31

Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD

disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD

untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang

APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur

tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3

(tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD

sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan

dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh

Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan,

pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur

lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

[sunting]Kerjasama dan Perselisihan

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat

mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada

pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling

menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan

kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam

penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak

ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat dan daerah harus

mendapatkan persetujuan DPRD.

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan

antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan

perselisihan dimaksud. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara

provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan

kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan

perselisihan dimaksud. Keputusan Guberneur atau Menteri Dalam Negeri

sebagaimana dimaksud bersifat final.

[sunting]Kawasan Perkotaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: kota

Kawasan perkotaan dapat berbentuk :

1. Kota  sebagai daerah otonom yang dikelola oleh pemerintah kota;

2. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan yang dikelola

oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan

bertanggungjawab kepada pemerintah kabupaten.;

3. bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan

memiliki ciri perkotaan yang dikelola bersama oleh daerah terkait.

Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan

perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya

pemberdayaan masyarakat.

[sunting]Desa atau nama lain

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Desa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nagari

Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa

yang terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan

memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Landasan pemikiran

dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi,

otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah

mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya

dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan

ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk

melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar

desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang

dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun

karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen,

maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan

berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Desa yang

dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera

Barat, Gampong di provinsi NAD,Lembang di Sulawesi

Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.

Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Yang

dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya dalam ketentuan ini adalah

perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa,

pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan

seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.

Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara

Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya

diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon

kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala

desa sebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan

kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1

(satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam

ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat

yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.

Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa

bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Di

desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan

peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.

Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini

seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga

pemberdayaan masyarakat.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau

pemerintah kabupaten/kota;

4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-

perundangan diserahkan kepada desa.

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan

kebutuhan dan potensi desa. Desa dapat mengadakan kerja sama untuk

kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan

kepada Bupati/Walikota melalui camat.

[sunting]Pembinaan dan Pengawasan

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang

dilakukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi

daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di

Daerah. Koordinasi pembinaan dilaksanakan secara berkala pada tingkat

nasional, regional, atau provinsi.

Pembinaan tersebut meliputi

1. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;

2. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;

3. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan

pemerintahan;

4. pendidikan dan pelatihan; dan

5. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi

pelaksanaan urusan pemerintahan.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses

kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan

sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:

1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;

2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka

pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan

adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan

daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan

kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat,

penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik

peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang

ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah

tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk

kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.

[sunting]Pertimbangan Otonomi

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat

membentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan

pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan ini dipimpin oleh

Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan tata

laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dewan tersebut

bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain

mengenai rancangan kebijakan:

1. pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta

pembentukan kawasan khusus;

2. perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah,

[sunting]Ketentuan Lain-lain

Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi

khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan

khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Ketentuan dalam Undang-

Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua termasukprovinsi hasil

pemekarannya, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak

diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.

Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN

Tahun 2007 Nomor 93; TLN 4744); Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (LN

Tahun 1999 Nomor 172; TLN 3893) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN Tahun 2006 Nomor 62; TLN 4633); dan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua (LN Tahun 2001 Nomor 135; TLN 4151). Karena Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki Undang-Undang tersendiri,

maka keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,

adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah

yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah.

Instansi vertikal tersebut jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya

ditetapkan Pemerintah. Semua instansi vertikal yang diserahkan dan

menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.

Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah

negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang- undangan dengan

memperhatikan hukum internasional yang pelaksanaannya ditetapkan oleh

Pemerintah.

Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam undang-

undang.