31
TUGAS HTN MAKALAH SINGKAT “PERADILAN DI NANGGROE ACEH DARULSALAM (NAD)” OLEH: NADINA RACHMAWATI NIM. 114704038 JURUSAN ILMU HUKUM i

Makalah Peradilan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

TUGAS HTNMAKALAH SINGKATPERADILAN DI NANGGROE ACEH DARULSALAM (NAD)

OLEH:NADINA RACHMAWATINIM. 114704038

JURUSAN ILMU HUKUMFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUMUNIVERSITAS NEGERI SURABAYA2012

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam. Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga makalah dengan judul SISTEM PERADILAN DI DAERAH NANGGROE ACEH DARULSALAM dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini digunakan sebagai tugas dalam mata kuliah Hukum Tata Negara. Keberhasilan penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :1. Bapak Rahmanu selaku Dosen mata kuliah Hukum Tata Negara.2. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, H. Nasruddin dan Rr. Siti Sri Djaya Wisnu Wardhani. Terima kasih atas sejuta kasihmu yang telah menjadi obat penyemangat dikala ku rapuh.3. Teman-teman Jurusan Ilmu Hukum angkatan 2011, terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian. I love u all my friends.4. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.

Surabaya, 18 April 2012

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iiiBAB IPENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 11.2 Rumusan Masalah 1BAB IIPEMBAHASAN 22.1 Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan Aceh ...22.2 Kewenangan dan urusan pemerintah ......32.3 Qanun dan peraturan ...52.4 Pengertian hukum islam ...... 62.5 Pengertian syariat islam .72.6 Hubungan syariat islam dengan hukum adat ........102.7 Keberlakuan syariat islam di Indonesia 102.8 Penerapan syariat islam di Aceh 112.9 Posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup kekuasaan kehakiman .....13

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 17A. Kesimpulan 17

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGPemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

1.2 RUMUSAN MASALAH1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan Aceh?1.2.2 Apa saja kewwnangan dan urusan pemerintah?1.2.3 Mengapa Qanun dan peraturan dibentuk?1.2.4 Apa pengertian hukum islam?1.2.5 Apa pengertian syariat islam?1.2.6 Bagaimana hubungan syariat islam dengan hukum adat?1.2.7 Kapan keberlakuan syariat islam di Indonesia?1.2.8 Bagaimana penerapan syariat islam di Aceh?1.2.9 Bagaimanakah posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup kekuasaan kehakiman?

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan AcehAceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan Bendera Daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.yang bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Pemerintah Aceh dapat menetapkan Himne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususanWilayah Aceh merupakan sebuah kesatuan dengan batas-batas: (a). sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; (b). sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; (c). sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan (d). sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.Susunan wilayah Daerah Aceh dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kabupaten dan Kota adalah bagian dari Daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota. Kabupaten/Kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat. Mukim dibagi atas kelurahan dan Gampong. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Qanun Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam Kabupaten/Kota. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.Kawasan khusus perkotaan Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Dalam pembentukannya Pemerintah Pusat wajib mengikutsertakan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.Pemerintah Aceh bersama pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kawasan khusus setelah mendapat persetujuan DPRA/DPRK. Tata cara penetapan kawasan khusus di Aceh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kawasan perkotaan dapat berbentuk Kota sebagai daerah otonom, bagian Kabupaten yang memiliki ciri perkotaan, maupun bagian dari dua atau lebih Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Ketentuan kawasan perkotaan diatur dengan Qanun.2.2 Kewenangan dan Urusan Pemerintah Kewenangan pemerintahanPemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-undang oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.3. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut harus dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.4. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.5. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan persetujuan DPRA/DPRK, yang pembetukannya diatur dengan Qanun.Urusan pemerintahanPemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh maupun pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syariat Islam antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh:1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;1. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;1. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam;1. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan1. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Urusan wajib yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi:1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;1. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;1. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam; dan1. peran ulama dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan dalam hal:1. menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan dan1. mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan kewenangan ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota2.3 Qanun dan peraturan

Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan Qanun, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Walikota.Qanun, kecuali Qanun mengenai Jinayah (hukum pidana), dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun Syariyah dalam pelaksanaan syariat Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja.2.4 Pengertian Hukum IslamHukum Islam bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam Al Quran dan As Sunnah. Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah, syariah, dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku, baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.Iman dan Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman yang berarti kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-Din). Menurut ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan etika Islam. Adapun iman, amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah syarat-syarat dari Ihsan. Sedangkan tasawuf bertujuan sama dengan ihsan, tetapi menganut cara-cara yang berbeda seperti pada orang sufi yang melakukan panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun cara yang digunakan tidak sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun demikian, tidak semua cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal tersebut diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang menimbulkan aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam2.5 Pengertian Syariat IslamSyariat dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma ilahi tersebut berupa ibadah yang mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung dengan Tuhan, dan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakatIbadah berkaitan dengan rukun Islam, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Dalam norma tersebut, tidak boleh ada penambahan dan pengurangan sebab tata hubungan dengan Tuhan telah pasti ditetapkan oleh Allah SWT sendiri yang dijelaskan kemudian secara rinci oleh rasul-Nya. Dengan demikian, dalam ibadah tidak diperbolehkan adanya pembaruan atau bidah, yaitu proses yang membawa perubahan (penambahan atau pengurangan) mengenai kaidah, susunan, dan tata cara beibadah sesuai dengan perkembangan zaman.Muamalah, hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Quran dan As sunnah, sedangkan perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad untuk mengaturnya lebih lanjut dalam menentukan kaidahnya menurut ruang dan waktu (yang dimanifestasikan berupa hukum positif). Kaidah-kaidah muamalah terbagi atas kaidah yang mengatur hubungan perdata dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik. Dalam hubungan perdata terdapat hukum munakahat atau hukum perkawinan, wirasah atau hukum kewarisan, dan hukum perdata lainnya, sedangkan dalam hubungan publik terdapat hukum jinayat atau hukum pidana, khilafah atau al-ahkam as-sulthaniyah atau hukum tata Negara, syiar atau hukum internasional, serta mukhasamat atau hukum acara.Ilmu khusus yang memahami, mendalami, dan merinci syariat, baik ibadah maupun muamalah, agar dapat dirumuskan menjadi norma hidup (kaidah konkret) yang dapat dilaksanakan manusia muslim baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial, disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih terbagi atas fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Hasil pemahaman tentang syariat yang disebut hukum fiqih dapat berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya. Itulah yang memungkinkan terjadinya syariat Islam di Aceh yang tidak dimiliki oleh syariat yang berkembang di daerah lainSyariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syariyah, dan akhlak. Syariat Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syariat Islam diatur dengan Qanun Aceh.Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.1. Mahkamah SyariyahPeradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syariyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syariyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.Mahkamah Syariyah terdiri atas Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syariyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syariyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.Putusan Mahkamah Syariyah Aceh dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syariyah adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Sengketa wewenang antara Mahkamah Syariyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir.

2. Majelis Permusyawaratan UlamaMPU dibentuk di Aceh/Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas Ulama dan Cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan, yang bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama. MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kota, serta DPRA dan DPRK. Ketentuan struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler, dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.MPU berfungsi menetapkan Fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintahan Daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. MPU mempunyai tugas dan wewenang:a) memberi Fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; danb) memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.

2.6 Hubungan Syariat Islam dengan Hukum AdatSyariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinyapelanggaran.Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.2.7 Keberlakuan Syariat Islam di Indonesia Syariat Islam diterima di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah alasan sejarah dimana Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (berdasarkan catatan Marcopollo) atau sekitar abad ke-11 berdasarkan prasasti yang ada di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam telah mengakar di Indonesia sejak lama sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.Alasan kedua adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09% penduduk Indonesia adalah Islam (sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat Islam mudah diterima di Indonesia.Alasan ketiga adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi hukum positif yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Materi-materi hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh ordonasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama antara lain pada undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974, UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta peraturan-peraturan lainnya.Alasan yang terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam NKRI tidak boleh berlaku sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, dan kaidah Budha bagi umat Budha, serta NKRI wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk menjalankan syariat tersebut diperlukan perantaraan kekuasaan negara2.8 Penerapan syariat Islam di AcehAceh sejak dulu tidak berhubungan dengan Belanda, namun dipaksa melaksanakan hukum pidana (wetboek van straftrecht) dan hukum perdata (burgerlijk wetboek), sebab merupakan hukum nasional bangsa Indonesia dimana Aceh merupakan territorial Indonesia sehingga wajib tunduk pada hukum tersebut. Namun, pancasila dan UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia ternyata berlandaskan agama yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD serta sila pertama dalam pancasila. Selain itu dilatarbelakangi oleh sejarah bahwa hampir semua tokoh pejuang Aceh berasal dari kalangan ulama, menjadikan masyarakat Aceh mampu menjalankan dan mempertahankan kedudukan dan harkat serta ciri khas bangsa Indonesia yang religius dan memegang kuat adat dalam tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD 1945, propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian ditetapkanlah UU No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh. Propinsi Aceh berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat keistimewaan, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaran pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.Pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN menegaskan daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni budaya. Selanjutnya GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya diatur berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.Keppres No.11 tahun 2003 tentang mahkamah syariah dan mahkamah syariah propinsi lahir guna melaksanakan hukum Islam yang menentukan wewenang dari mahkamah syariah yang selanjutnya ditetapkan beberapa peraturan daerah (qanun). Pelaksanaan syariah oleh mahkamah syariah diatur dalam Qonun No.10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam dan Qonun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam yang salah satu ketentuannya adalah kewajiban berbusana Islami bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Namun belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun tersebut. Kedua Qonun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai Qonun formil, sedangkan Qonun materil belum disahkan. Hal ini menunjukkan kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum, sehingga dalam Qonun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap memberlakukan KUHP sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa mahkamah syariah hanya menerapkan setengan syariat Islam di Aceh.Pelaksanaan syariat Islam yang tidak ditetapkan sepenuhnya disebabkan oleh perbedaan pendapat para ahli. Contohnya adalah Qonun jinayat yang tidak konsisten dimana landasan argumentasinya tidak jelas rujukannya, asal dalam mengambil rujukan dari Hukum Pidana islam dan KUHAP. Selain itu yang membuat fatal adalah Qonun ini dikeluarkan di Aceh yang merupakan wilayah Negara republik Indonesia sehingga bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Qonun juga ingin diberlakukan pada orang diluar agama Islam, padahal hal tersebut melanggar hak asasi manusia dalam menjalankan agama sesuai kepercayaannya masing-masing, maka Qonun ini melanggar ayat lakum dinukum wa liya din yang artinya bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.Penerapan hukum pidana Islam pada mahkamah syariah mempengaruhi tatanan pola hukum secara keseluruhan di Indonesia, karena penerapan syariat Islam tanpa dilengkapi ketentuan hukum yang sejajar dan lebih tinggi, hanya menjadi celah para penegak hukum untuk melakukan penyimpangan dalam praktiknya. Aceh merupakan daerah yang mendapat legitimasi untuk menerapkan syariat Islam, sehingga membuat hukuman pidana Islam ditetapkan bukan sekedar simbolis saja, seperti hudud, qishah, dan tazir terhadap pelaku maksiat dan kriminalitas. Namun yang menjadi tantangan selanjutnya bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan syariat Islam adalah berlakunya hukum barat di Indonesia, serta kurangnya minat para ulama dan ahli hukum di Indonesia dalam mengkaji secara mendalam dan terarah mengenai syariat Islam dan keberlakuannya di dalam tatanan hukum nasional Indonesia pada umumnya serta di dalam hukum Aceh pada khususnya.2.9 Posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup kekuasaan kehakimanPengaturan Pengadilan Khusus dalam Perundang-Undangan. Dalam setiap Undang-undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman telah diatur mengenai pengadilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajad penegasan yang berbeda-beda. Dalam UU No 19 Tahun 1964 pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu jelas. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:(1) Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut peradilan administratif dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut peradilan kepegawaian dalam Pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian.Berbeda dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai pengadilan khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam batang tubuh. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan:(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilant ingkat pertama dan tingkat banding.Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai pengadilan khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk dibentuknya pengadilan-pengadilan khusus di semua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas, yaitu UU. Jika dibandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal lingkungan peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan. Jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus yang terdiri dari Peradilan Agama dan Peradilan Militer, dan Peradilan TUN, UU No. 14 Tahun 1970 membaginya hanya menjadi dua, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.Melihat ketentuan Undang-undang tersebut, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa istilah pengadilan khusus ternyata belum dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Selain itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini posisi pengadilan khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian batang tubuh.Pasal 15 (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.Penjelasan:Pasal 15(1) Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas, tampaknya penegasan pengaturan pengadilan khusus dalam bagian batang tubuh dilakukan karena pada saat merumuskan UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelum dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya satu, yaitu pengadilan ekonomi.Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak seperti yang terjadi pada masa sebelumnya, kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 9A UU No. 9 Tahun 2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, yaitu: pertama, untuk dapat membuat pengadilan pajak, dimana menurut UU, pada awalnya didirikan sebagai badan peradilan tersendiri, kemudian menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua, karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap tiga badan/lingkungan peradilan selain peradilan umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru yakni UU No 48 tahun 2009 pada pasal 1 angka 8 terdapat pengertian Pengadilan khusus. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu, yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang diattur dalam Undang-Undang. Pengaturan pengadilan khusus dalam batang tubuh Undang-Undang No 48 Tahun 2009 semakin memperjelas, mempertegas posisi, kedudukan dan legitemasi pengadilan khusus yang tidak disebutkan secara rinci dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya.Melihat lebih jauh lagi kedalam, maka ditemukan dalam lingkungan pengadilan hingga saat ini, terdapat 8 (delapan) pengadilan Khusus. Yang mana 6 (enam) pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, 1 (satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN, dan 1(satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Agama. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dalam pasal 1 angka 8 menyatakan pengadilan Khusus hanya boleh dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan, yaitu pengadilan umum (sekarang terdapat: pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan hubungan industrial, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan perikanan), pengadilan agama (mahkamah syariah), pengadilan militer, dan pengadilan tata Usaha Negara (Pengadilan pajak). Mengenai kriteria pun tidak dicantumkan didalamnya.Pada lingkungan peradilan umum dibentuk : pengadilan anak dengan UU nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Pengadilan niaga dengan nomor 37 Tahun 2003 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Pengadilan HAM dengan UU no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembarantasan Tindak pidana Korupsi, pengadilan Hubungan Industrial dengan UU no.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, dan pengadilan perikanan berdasarkan UU nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.Pada lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dibentuk pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan Peradilan (khusus) Syariah Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berada di lingkungan peradilan agama. Dengan dinamika dalam masyarakat seperti dikemukakan dalam latar belakang dapat memicu bertambahnya pengadilan khusus dalam setiap lingkungan peradilan.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanSyariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun perdata dalam bentuk normaIlahi. Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.Berdasarkan alasan sejarah, penduduk, yuridis, dan konstitusional, Syariat Islam mampu diterima dan diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor diterimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.Belum adanya ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun, menciptakan terjadinya kekosongan hukum, membuat Aceh memberlakukan Qonun No.10 Tahun 2002 yang berisi tetap memberlakukan. KUHP sebagai dasar hukum. Untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh secara total dan menyeluruh adalah dengan membuat hukum acara Qanun oleh pemerintah Aceh agar Mahkamah Syariah dapat total menjalankan tugasnya dengan tidak hanya menerapkan setengah syariat Islam di Aceh. Selain itu diperlukan keterlibatan aktif di dalam masyarakat dalam penerapan syariat Islam agar dapat menegakkan syariat Islam sepenuhnya yang tidak melanggar hukum dan norma lainnya yang berlaku di Indonesia.ii