133
Kepemimpinan Trisakti Oleh Airlangga Pribadi Kusman PADA awal musim hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua--bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan. Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke depan--yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya--sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda. Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip- prinsipnya masih relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia. Dimensi Trisakti Dalam kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.

Kepemimpinan Trisakti

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kepemimpinan Trisakti

Kepemimpinan TrisaktiOleh Airlangga Pribadi Kusman

PADA awal musim hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua--bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan. Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke depan--yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya--sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda.

Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.

Dimensi Trisakti

Dalam kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.

Terkait kedaulatan warga negara akhir-akhir ini, kita menyaksikan jajak pendapat dari beberapa lembaga survei ternama di Indonesia tentang kepemimpinan nasional di 2014 yang masih didominasi oleh elite-elite lama. Sebutlah seperti Megawati Soekarnoputri (PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).

Munculnya tokoh-tokoh elite lama di ruang publik utama dalam wacana kepemimpinan nasional menunjukkan terjadinya dua krisis politik. Pertama, terjadinya krisis regenerasi kepemimpinan dalam ruang masyarakat politik. Kedua, partai sebagai katalisator politik gagal menampilkan sosok kepemimpinan muda organik yang berasal dari akar rumput dalam pentas politik nasional. Kedaulatan politik warga, yang di dalamnya termasuk kedaulatan untuk menentukan regenerasi kepemimpinan di negeri ini, dihalangi oleh partai politik yang terbonsai oleh aktivitas oligarki elite-elite politik.

Persoalan kemandirian ekonomi muncul dalam bentuk semakin menguatnya ketidakadilan sosial. Empat belas tahun lebih proses reformasi bergulir di Indonesia,

Page 2: Kepemimpinan Trisakti

tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sampai 6 persen pada tahun 2012 hanya dinikmati sekelompok kecil elite ekonomi-politik di Indonesia.

Apabila angka kemiskinan diukur melalui standar Bank Dunia sebesar 2 dollar AS per hari, maka jumlah warga miskin di Indonesia berjumlah 100 juta jiwa atau 42 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Enny Sri Hartati, 2012). Pertumbuhan ekonomi yang tengah menaik tidak berjalan seiring dengan penyerapan lapangan kerja kita.

Dari sekitar 120 juta angkatan kerja, angka pengangguran terbuka tahun 2012 masih 7,61 juta jiwa atau 6, 32 persen. Sementara data MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) memperlihatkan harapan hidup kita memprihatinkan. Sejak tahun 2009 Indonesia mengalami 307 angka kematian setiap 100.000 kelahiran, masih jauh dari target MDG yang 105 kematian dari 100.000 kelahiran pada 2015.

Problem ketimpangan sosial bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Juga terkait persoalan kepemimpinan dan institusi politik yang memproduksi dan bekerja melalui nakhoda kepemimpinan tersebut.

Selama ini rakyat menaruh harapan atas institusi demokrasi untuk membereskan persoalan- persoalan publik. Namun, aktivitas kepemimpinan untuk memproduksi kebijakan pada kenyataannya tak mampu menempatkan negara sebagai pembela bagi mayoritas mereka yang papa, pembendung bagi kerakusan malapraktik korporasi, serta penghukum bagi kekuatan oligarki bisnis-politik yang bekerja melalui mekanisme korupsi dan penjarahan aset publik.

Pada wilayah kebudayaan, kita berhadapan dengan persoalan terkikisnya prinsip hidup bergotong royong. Suatu prinsip hidup yang tak saja menekankan pada pentingnya menghormati pluralisme Indonesia, serta saling menolong dan saling berjuang untuk kemerdekaan yang lainnya sebagai bagian dari warga Indonesia.

Adapun yang kita saksikan saat ini adalah betapa para pemimpin politik hanya menyepakati prinsip-prinsip kebinekaan secara normatif, tetapi tidak sungkan menggunakan isu-isu diskriminatif suku, agama, ras, antargolongan (SARA) ketika berhubungan dengan kepentingan elektoral politik. Kepemimpinan nasional kita terlibat dengan mendiamkan kekerasan sosial saat kalangan minoritas di berbagai wilayah negeri ini kehilangan hak-hak sipilnya. Otoritas hukum sebagai penjamin perlindungan bagi rakyat untuk memiliki kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah tidak bekerja di hadapan suara-suara yang mengklaim sebagai mayoritas.

Kepemimpinan organik

Berhadapan dengan krisis kepemimpinan kita dalam mewujudkan prinsip-prinsip utama dalam gagasan Trisakti di atas, maka ada yang harus kita pertimbangkan dalam menyoal kepemimpinan nasional sebelum menyodorkan tokoh-tokoh alternatif. Penting untuk kita ingat adalah Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi bukan hanya Jakarta.

Page 3: Kepemimpinan Trisakti

Proses seleksi kepemimpinan nasional bukan semata-mata melakukan survei melalui pertanyaan tertutup dengan menyodorkan tokoh-tokoh nasional untuk dipilih oleh responden dari Sabang sampai Merauke. Melakukan seleksi kepemimpinan Indonesia, pertama-tama, bukan hanya soal mencari tokoh, melainkan juga menghimpun detail persoalan yang dihadapi setiap wilayah dengan segenap lokalitasnya sebelum diabstraksikan sebagai persoalan nasional.

Memilih pemimpin republik harus dilakukan melampaui jajak pendapat teknokratis. Caranya dengan mulai melibatkan entitas masyarakat sipil di tingkat lokal untuk membuka pertanyaan dan menemukan figur kepemimpinan organik yang terlibat dengan persoalan keseharian rakyatnya.

Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara kebinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik kita saat ini. (*)

Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Peluncuran Buku

Mungkin yang Berani Kritik Ibu Mega Cuma Saya...JUDUL di atas merupakan pernyataan Taufiq Kiemas seusai perayaan ulang tahunnya yang ke-70, yang ditandai dengan peluncuran buku Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam, Senin (31/12). Sebelumnya, Puan Maharani, anak bungsunya, mengumpamakan keduanya sebagai dwitunggal sepasang sayap yang saling melengkapi, terbang tinggi menuju cita-cita bersama. Kalaupun caranya berbeda, itu untuk mencapai tujuan yang sama. Taufiq mengakui, dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang mengambil keputusan. Namun, sebagai pendamping dalam perjuangan, ia akan mengkritisi sesuatu yang menurut dia salah. Ketika kalangan di sekitar Megawati tidak berani mengkritisi, Taufiq mengambil posisi itu. "Kalau semua orang iya iya saja, lama-lama kejeblos juga," ujar pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942, ini.

Berbagai kalangan hadir dalam acara itu. Tampak Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Ny Sinta Nuriyah, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, dan mantan Menteri Perindustrian Luhut Pandjaitan.

Bagi Taufiq, keberagaman dan perbedaan justru menjadi berkah. Hal itu terlihat dalam

Page 4: Kepemimpinan Trisakti

kegemarannya menjalin hubungan dengan berbagai kalangan. Dari masyarakat sampai birokrasi. Dari politisi, akademisi, hingga agamawan. Bahkan dengan pihak-pihak yang punya garis politik berbeda. Ia pun diterima berbagai kalangan, seperti ketika fraksi-fraksi memberikan kepercayaan secara aklamasi untuk menduduki Ketua MPR 2009-2014. Tentang peristiwa itu, Puan ingat kata-kata ibunya, Megawati. "Siapa lagi yang bisa menjaga NKRI kalau bukan papa kamu," ujar Puan yang dalam pidatonya beberapa kali berkata dengan suara bergetar.

Sebagai politisi, kata Taufiq, dirinya lebih tertarik dalam pembinaan, terutama dalam ide- ologi. Pasalnya, parpol tanpa ideologi sama dengan zombi. "Saya bukan cuma cinta pada PDI-P, tapi pada negara ini," kata mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ini.

Bagi Megawati, perbedaan adalah hal lumrah. Tidak saja dalam konteks hubungannya dengan Taufiq Kiemas, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa. "Dalam kerukunan kita, perbedaan yang selalu ada itu tidak menjadi soal. Yang penting tidak dengan paksaan," katanya. (EDN) Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur

Refleksi Kritis Akhir Tahun 2012TAHUN 2012 kondisi di Jawa Timur masih memprihatinkan. Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur mencatat, setidaknya ada 11 hal yang menjadi refleksi kritis, yakni kesenjangan sosial, sektor pertanian, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, infrastruktur jalan, ekspor-impor, investasi, belanja pegawai, belanja modal, hingga pasar Puspa Agro. "Berbagai catatan ini menunjukkan bahwa slogan pemerintah provinsi untuk pro-poor masih jauh dari kenyataan. Kondisi kesenjangan sosial dan kemiskinan masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Jumlah penganggur justru bertambah. Sektor pertanian tetap saja terpuruk," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, H Ali Mudji, Senin(31/12).

Di sisi ekonomi, jelas Ali Mudji, kinerja defisit perdagangan luar negeri makin membahayakan. Tingginya pertumbuhan ekonomi ternyata disebabkan tingginya konsumsi, bukan investasi. Demikian juga soal infrastruktur jalan, tak kunjung membaik. "Pasar Puspa Agro yang hendak dijadikan ikon keberpihakan pada petani, justru makin sepi," ujarnya.

Dia menyebut, salah satu sumber masalah justru ada pada APBD Jawa Timur. Yakni, rasio belanja pegawai sangat tinggi. Sebaliknya, rasio belanja modal justru terpuruk. Demikian pula dengan anggaran pendidikan yang persentasenya masih saja di bawah angka 20 persen. (pri)

Refleksi kritis Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim selengkapnya sebagai berikut:

Page 5: Kepemimpinan Trisakti

1. Makin Tajamnya Kesenjangan Sosial

Kesenjangan antara kelas miskin dan kelas kaya di Jawa Timur makin membesar. Indeks gini sebagai tolok ukur kesenjangan sosial dalam dua tahun terakhir ini terus naik. Mulai pada angka 0,29 pada tahun 2009, kemudian naik menjadi 0,31 pada tahun 2010 dan naik lebih drastis lagi menjadi 0,34 pada tahun 2011.

Trend atau kecenderungan ini menunjukkan kondisi yang berlawanan dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa yang kaya makin kaya. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di Jawa Timur ini makin lama makin besar.

Pada daerah perkotaan, indeks gini ini bahkan sudah mencapai angka 0,36. Angka ini sudah tergolong level menengah. Artinya, tingkat kesenjangan daerah perkotaan di Jawa Timur sudah mengkhawatirkan.

2. Buruknya Kinerja Sektor Pertanian

Buruknya kinerja sektor pertanian sangat terlihat terutama pada triwulan II tahun 2012. Sektor pertanian menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan negatif yaitu minus 12,25 persen. Akibatnya, struktur kontribusi PDRB sektor pertanian pada periode Januari-September 2012 relatif masih rendah, yaitu 16,45 persen. Padahal, sesuai data per Agustus 2012, sektor pertanian masih menjadi tempat bekerja 7,47 juta warga Jawa Timur atau 39,16 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.

Variabel lain yang mencerminkan buruknya kinerja sektor pertanian ada pada indikator NTP atau Nilai Tukar Petani. Data terakhir yaitu November 2012, NTP Provinsi Jawa Timur masihlah yang terendah dibanding provinsi lainnya di Pulau Jawa. NTP Jawa Timur sebesar 103,25. Ini jauh lebih rendah dibandingkan NTP tertinggi di pulau Jawa yaitu Provinsi Yogyakarta yang sebesar 117,26. NTP Jawa Timur ini juga di bawah rata-rata nasional yaitu 105,72,

Bahkan di dua sub-sektor, yaitu Tanaman Perkebunan Rakyat dan Peternakan, NTP-nya masih di bawah 100, yaitu 97,82 dan 97,44. Artinya, warga Jawa Timur yang bekerja di sub-sektor Tanaman Perkebunan Rakyat dan sub-sektor Peternakan, kesejahteraannya saat ini justru lebih buruk dibanding 5 tahun lalu, tahun 2007, yang NTP-nya sama dengan 100.

3. Menurunnya Jumlah yang Bekerja dan Bertambahnya Jumlah Penganggur.

Pada tahun Februari 2010, jumlah yang bekerja di Jawa Timur mencapai 19,61 juta. Pada Februari 2011, jumlahnya merosot menjadi 19,40 juta dan kembali makin merosot menjadi 19,01 juta pada Februari 2012. Menurunnya jumlah penduduk yang bekerja ini menunjukkan turunnya jumlah lapangan kerja. Meskipun pada Agustus 2012, jumlah yang bekerja naik menjadi 19,08 juta, namun angka ini masih jauh di bawah kondisi di bulan Februari 2010 dan Februari 2011. Masih ada penurunan jumlah yang bekerja

Page 6: Kepemimpinan Trisakti

sebesar 530.000 orang.

Yang lebih memprihatinkan adalah bertambahnya jumlah penganggur. Angka pada Agustus 2012 justru lebih buruk dibanding awal tahun yaitu Februari 2012. Angkanya meningkat dari 819.460 orang menjadi 819.563 penganggur. Jadi, pada 2012 ini, jumlah penganggur tidak berkurang, namun justru bertambah. Kondisi yang memprihatinkan ini berkebalikan dengan situasi nasional. Pada kurun waktu yang sama, jumlah penganggur secara nasional turun sebanyak 370 ribu orang.

4. Tingginya Angka Kemiskinan

Persentase angka kemiskinan di Jawa Timur masih lebih tinggi dari rata-rata kemiskinan di tingkat nasional. Pada bulan Maret 2012, penduduk miskin Jawa Timur masih sebanyak 13,40 persen atau 5,071 juta. Angka ini memang sudah turun dibandingkan dengan data setahun sebelumnya (Maret 2011) yang mencapai 14,23 persen. Namun persentase angka kemiskinan Jawa Timur ini masih relatif jauh di bawah angka nasional. Pada Maret, persentase penduduk miskin secara nasional sudah tinggal 11,96 persen. Bahkan, khusus untuk di Pulau Jawa, pada Maret 2012, angka kemiskinan sudah di angka 11,57 persen.

Tingginya persentase kemiskinan ini ternyata juga sebanding dengan banyaknya orang miskin di Jawa Timur. Jumlah orang miskin di Provinsi Jawa Timur adalah yang paling banyak di Indonesia. Pada bulan Maret 2012, jumlahnya sebesar 5 juta 70 ribu 980 orang atau 17,4 persen dari total orang miskin se Indonesia.

5. Kecilnya Anggaran Pendidikan pada APBD Jawa Timur 2012

Pada APBD tahun 2012, sesuai hasil evaluasi sebagaimana tertuang dalam Surat Mendagri Nomor 903-836 tahun 2011, disebutkan bahwa persentase alokasi anggaran bruto fungsi pendidikan pada APBD murni 2012 adalah sebesar 13,49 persen atau Rp1,648 triliun dari kekuatan APBD murni Jatim 2012 yang besarnya mencapai Rp12,214 triliun.

Besaran persentase anggaran bruto fungsi pendidikan yang dibawa 20 persen ini melanggar PP nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, serta PP nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Termasuk juga melanggar UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi "Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Meskipun demikian, sampai sekarang Pemerintah Provinsi tetap bersikeras menggunakan penghitungan anggaran netto yaitu belanja setelah dikurangi DAK, bagi hasil, cukai, dan DID, sehingga menghasilkan angka di atas 20 persen.

Page 7: Kepemimpinan Trisakti

6. Buruknya Kondisi Infrastruktur Jalan di Jawa Timur

Pada perjalanan tahun 2012, kondisi kemantapan jalan masih memprihatinkan. Tercatat bahwa yang dalam kondisi baik/sedang sebesar 80,1 persen, rusak ringan 13,3 persen, dan rusak berat 6,6 persen. Target terakhir, setelah perubahan APBD bahkan hanya mampu pada kisaran 80,9 persen untuk kondisi jalan yang baik/sedang.

Kondisi tahun 2012 ini tidak jauh berubah dari 2008 yaitu kondisi baik/sedang 80,1 persen, rusak ringan 14,6 persen, dan rusak berat 5,4 persen. Artinya, sampai sekarang, selama 4 tahun, Pemerintah Provinsi Jawa Timur hanya mampu mempertahankan kondisi jalan. Tidak mampu menjadikan kondisi jalan menjadi lebih baik. Bahkan yang rusak berat justru bertambah banyak persentasenya.

Buruknya kondisi infrastruktur jalan ini tidak lepas juga dari minimnya anggaran untuk infrastruktur jalan. Meskipun besaran anggaran pada APBD murni Dinas PU Bina Marga sebesar 603 milyar, namun sebenarnya hanya Rp 444 milyar yang dialokasikan untuk program pembangunan jalan dan jembatan serta program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan.

7. Memburuknya Kinerja Ekspor dan Impor

Selama periode Januari s.d. Oktober 2012, kinerja ekspor Jawa Timur ke luar negeri merosot dibanding tahun sebelumnya. Nilai ekspor menjadi turun. Sebaliknya, impor dari luar negeri justru naik. Secara total, Jawa Timur mengalami defisit, menjadi net importir. Nilai ekspornya hanya sebesar 62 persen dari nilai impor. Persentase ini sangat turun dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu 83 persen.

Pada sisi nilai ekspor, Jawa Timur mengalami penurunan sebesar 19,19 persen dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini diakibatkan oleh turunnya ekspor migas dan non migas masing-masing sebesar minus 44,38 persen dan minus 17,24 persen.

Sebaliknya, impor Jawa Timur makin mengkhawatirkan karena terus melonjak. Secara kumulatif, nilai impor Januari-Oktober 2012 mengalami kenaikan sebesar 7,58 persen dibanding periode yang sama tahun 2011.

Defisit atau net-impor pada periode ini sudah sebesar US $ 7.711,1 juta atau sekitar Rp 75 triliun dengan kurs sekarang. Jika ini dibiarkan, maka Jawa Timur akan makin kebanjiran barang impor yang mengakibatkan sektor ekonomi terpuruk.

8. Rendahnya Kontribusi Investasi pada PDRB

Struktur penggunaan PDRB Jawa Timur masih didominasi komponen konsumsi rumah tangga, sedangkan investasi yang masuk komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) dan ekspor netto belum memberikan sumbangan berarti. Padahal, investasi merupakan salah satu faktor penting untuk menaikkan pendapatan masyarakat.

Page 8: Kepemimpinan Trisakti

Investasi punya fungsi mendorong sekaligus merupakan darah segar bagi ekonomi. Minimnya kontribusi investasi menunjukkan ketidakefisienan lembaga perbankan dan masalah lainnya seperti keamanan, ketenagakerjaan, sarana dan prasarana infrastruktur, serta banyaknya pungutan.

Secara kumulatif sampai dengan triwulan III (Januari-September) tahun 2012, kontribusi PDRB terbesar ada pada konsumsi rumah tangga sebesar 66,44 persen. Sementara kontribusi pembentukan modal tetap bruto sebesar 19,88 persen, konsumsi pemerintah sebesar 6,68 persen, dan ekspor netto (baik perdagangan luar negeri maupun antar daerah) sebesar 3,2 persen.

9. Tingginya Rasio Belanja Pegawai pada APBD Jawa Timur 2012

Rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah digunakan untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai yang digunakan adalah Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini menggambarkan rasio Belanja Pegawai terhadap Belanja Daerah. Semakin rendah angka rasionya berarti semakin kecil proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai dan semakin baik.

Mengacu pada data deskripsi dan analisis APBD 2012 yang dikeluarkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, rasio belanja pegawai Pemerintah Provinsi Jawa Timur ada pada angka 21,5 persen. Angka ini di atas rata-rata nasional yaitu 21 persen. Jawa Timur kalah jauh dibanding provinsi tetangga yaitu provinsi Jawa Barat yang hanya 12,7 persen atau Jawa Tengah yang hanya 14,1 persen.

Tingginya rasio belanja pegawai ini membuat Provinsi Jawa Timur mengalami keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya dalam mendukung layanan publik.

10. Rendahnya Rasio Belanja Modal pada APBD Jawa Timur 2012

Rasio Belanja Modal terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang digunakan untuk membiayai belanja modal. Semakin tinggi angka rasionya berarti semakin besar pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Modal dan semakin baik.

Mengacu pada data deskripsi dan analisis APBD 2012 yang dikeluarkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, rasio belanja modal Pemerintah Provinsi Jawa Timur ada pada angka 19,7 persen. Angka ini tergolong kecil dan jauh ada di bawah rata-rata nasional yaitu 24,1 persen. Apalagi, jika dibandingkan dengan target RPJM Nasional (Perpres No. 5 Tahun 2010) yang mentargetkan proporsi belanja modal APBD tahun 2012 pada angka pada angka 28 persen. Jika dibandingkan daerah lain, Provinsi Jawa Timur bahkan ada di peringkat ke-5 terendah se-Indonesia.

Page 9: Kepemimpinan Trisakti

Peringkat Jawa Timur makin buruk jika belanja modal ini dihitung per kapita. Jawa Timur ada pada posisi terendah ke-2 se-Indonesia. Rasio belanja modal per kapita

Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 27,88 juta. Sangat jauh di bawah rata-rata nasional yaitu Rp 218,63 juta per kapita.

Rendahnya rasio belanja modal ini menjadi salah satu penyebab kurangnya pengaruh APBD terhadap pertumbuhan ekonomi.

11. Memburuknya Kinerja Pasar Puspa Agro

Sebagai catatan akhir, kami juga menyinggung kondisi BUMD PT JGU yang mengelola Pasar Puspa Agro di Jemundo, Kletek, Sidoarjo. Dalam pantauan Fraksi kami, kondisi Pasar Puspa Agro ini makin lama makin sepi. Bahkan, sudah mulai timbul ketidakpercayaan dari para pedagang pasar. Demonstrasi dan ketidakpuasan makin merebak. Ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam hal pengelolaannya. Kucuran dana APBD yang besar tidak diimbangi oleh profesionalitas pengelolanya.

Demikian refleksi kritis Fraksi PDI Perjuangan, sebagai bagian tanggung jawab kami mewakili rakyat Jawa Timur. Semoga ini dapat menjadi masukan bagi kita semua, khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam menapaki tahun mendatang. (*) Refleksi Akhir Tahun

Penegakan Hukum Tak SeriusKETUA Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan menyatakan, penegakan hukum tidak pernah dilakukan serius apabila yang tersangkut hukum menyangkut kekuasaan. Hal itu diungkapkan Trimedya, saat jumpa pers refleksi akhir tahun PDI Perjuangan terkait penegakan hukum dan HAM di Balai Kartini, Jakarta, Minggu (30/12). Dia menjelaskan, seperti yang terjadi dalam kasus sengketa pemilu 2009 yang diduga dilakukan kader Demokrat Andi Nurpati yang pada waktu itu menjabat komisioner KPU. Hingga kini, kata Trimedya, kasus tersebut terkatung-katung di Polri dan tidak jelas sampai di mana penyelesaiannya.

Selain itu, menurut dia, kasus mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang diduga terlibat dalam kasus korupsi vaksin flu burung masih berputar-putar dan tidak ada hasil. "Kasusnya juga bolak-balik. Masih digoreng terus. Kelihatannya tidak ada kesungguhan apabila menyangkut kekuasaan," kata Trimedya, dalam penjelasan persnya kepada wartawan.

Sejak jatuhnya Soeharto dan kembalinya tentara kebarak akibat adanya reformasi, jelas Trimedya, telah menjadikan kasus korupsi menjadi fokus utama di dalam penegakan hukum. Hanhya, dia menyayangkan jika institusi Polri dan Kejaksaan belum mampu sinergis dalam pemberantasan korupsi.

Page 10: Kepemimpinan Trisakti

Anggota Komisi III DPR RI itu menyatakan, hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terlihat bekerja. Meskipun, dia mengakui kinerja KPK belum maksimal. "Dengan segala kewenangannya, seyogianya bisa lebih baik," katanya.

Menurut Trimedya, PDI Perjuangan tidak salah dalam memilih empat pimpinan KPK, meski awalnya masyarakat skeptis dalam pilihan tersebut. Pasalnya dari empat pimpinan yang terpilih, hanya satu yang berasal dari birokrasi yakni Zulkarnain dari unsur kejaksaan. Sementara Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja berasal dari luar birokrasi.

Meski puas dengan kinerja KPK, tambah Trimedya, PDI Perjuangan juga memberikan catatan kepada lembaga pemberantas korupsi itu untuk segera menyelesaikan kasus-kasus besar seperti 'bail out' Century dan Hambalang.

"Kalau lihat dari kinerjanya ya, bagi kami komisi III cukup puas, walaupun kasus Century maupun Hambalang yang belum terpenuhi," ujarnya. (pri)

Drupadi, Kisah Ibu Pertiwi yang Dikorbankan

BUMI merintih saat Drupadi, istri Kuntadewa, salah satu Pandawa Lima, dipertaruhkan di meja judi. Dursasana, salah satu adik Raja Astina, memanfaatkan kesempatan itu dengan menelanjangi Drupadi. Akhirnya, Drupadi memang menjadi korban nafsu judi Pandawa dan Kurawa. Ibu pertiwi pun menangis. Demikian epik yang menggambarkan nafsu kekuasaan menutup mata batin manusia, dari pertunjukan wayang golek yang digagas Gerakan Ekayastra

Unmada (Semangat Satu Bangsa) di Desa Keputren Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Sabtu (22/12) malam lalu.

Ekayastra Unmada adalah gerakan budaya yang dimotori sekelompok wartawan, yang dipimpin KH Maman Imanulhaq dan AM Putut Prabantoro. Mereka bergerak untuk pendidikan dan pemberdayaan warga.

Lakon yang dimainkan untuk menutup tahun 2012 adalah Main Dadu. Cerita itu menggambarkan elite-elite politik Pandawa dan Kurawa asyik bermain judi demi kesenangan pribadi. Pandawa, mewakili kebaikan, lengah tak mengetahui tipu muslihat sehingga kalah. Mata batin mereka tertutup dan diombang-ambingkan dadu judi. Sebagai istri yang setia, Drupadi lalu dikorbankan. Pandawa yang kalah pulang membawa aib.

"Seperti itulah kondisi elite-elite kita sekarang. Semuanya sibuk mengurus kekuasaan yang pragmatis. Kegaduhan mereka tak membawa kebaikan bagi rakyat, tetapi justru membuat gaduh di bawah. Yang paling esensial, dasar, dan pilar negara jadi taruhan," kata Putut.

Page 11: Kepemimpinan Trisakti

Dari konflik hingga pilkada

Konflik horizontal di Lampung, yang belum lama terjadi, ditunjuk salah satu contoh pilar negara yang nyaris tercabik-cabik akibat elite sibuk mengurus diri sendiri. Demikian juga otonomi daerah, yang mendorong etnosentrisme sehingga soal suku, agama, ras, dan antargolongan pun selalu jadi isu krusial pemilihan kepala daerah (pilkada). "Tak ada lagi nasionalisme yang 'nasional', tetapi hanya nasionalisme yang 'lokal'," lanjut Putut. Ia pun ragu, apakah persoalan itu tak disadari atau justru dibiarkan terjadi oleh elite?

Pilkada Jawa Barat, 24 Februari 2013, juga menjadi persoalan krusial. Hal itu karena lima pasang calon gubernur dan wakil gubernur muncul. Empat di antaranya dari partai politik dan satu dari jalur perseorangan. Putut menilai Pilkada Jawa Barat seperti arena judi. Alasannya, pasangan calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Jawa Barat datang pada menit-menit terakhir sehingga terkesan pasangan yang ada hanya asal comot. "Boleh jadi tak ada ideologi yang diusung. Semuanya seperti pragmatis dan transaksional," tuduh Putut.

Melihat kondisi itu, perbaikannya justru harus di tingkat lokal, yakni lewat budaya setempat. "Pertunjukan wayang diharapkan menumbuhkan kesadaran masyarakat soal jati diri. Kejujuran, religiositas yang damai dan toleran, serta persaudaraan harus dibangun," tutur Putut.

Maman, yang juga pemimpin Pesantren Al Mizan, Jatiwangi, Majalengka, membenarkan. "Dari pendaftaran calon, bisa diketahui adanya judi politik. Sebab, salah satu pasangan mendaftarkan pencalonannya tanpa misi dan visi. Itu menunjukkan, pilkada jadi perebutan kekuasaan, dan rakyat di nomor berikutnya," ungkapnya. Ini artinya, rakyat ditinggalkan, dan hanya jadi obyek judi seperti Drupadi, ibu pertiwi, yang dipertaruhkan. (Rini Kustiasih) Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur

4 Catatan Memprihatinkan Selama 2012FRAKSI PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur prihatin dengan kondisi yang memburuk selama 2012. Setidaknya, ada empat hal yang memprihatinkan di Jawa Timur, yakni kesenjangan sosial, sektor pertanian, jumlah lapangan kerja, serta ekspor-impor. Ketua Fraksi PDI Perjuangan H Ali Mudji membeberkan, selama 2012 kesenjangan sosial antara warga miskin dengan yang kaya makin membesar.

Indeks gini sebagai tolok ukur kesenjangan sosial dalam dua tahun terakhir ini terus naik.

"Mulai pada angka 0,29 pada tahun 2009, kemudian naik menjadi 0,31 pada tahun 2010 dan naik lebih drastis lagi menjadi 0,34 pada tahun 2011. Ini menunjukkan bahwa yang kaya makin kaya. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di Jawa Timur ini makin

Page 12: Kepemimpinan Trisakti

lama makin besar," kata Ali Mudji, kemarin.

Di sektor pertanian, ujar Ali Mudji, kondisi memprihatinkan sangat terlihat terutama pada triwulan II tahun 2012. Sektor pertanian menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan negatif yaitu minus 12,25 persen.

Akibatnya, lanjut Ali Mudji, struktur kontribusi PDRB sektor pertanian pada periode Januari-September 2012 relatif masih rendah, yaitu 16,45 %. Padahal, sesuai data per Agustus 2012, sektor pertanian masih menjadi tempat bekerja 7,47 juta warga Jawa Timur atau 39,16 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.

Variabel lain yang mencerminkan buruknya kinerja sektor pertanian, tambah Ali Mudji, ada pada indikator NTP atau Nilai Tukar Petani. Data terakhir yaitu November 2012, NTP Provinsi Jawa Timur masihlah yang terendah dibanding provinsi lainnya di Pulau Jawa. NTP Jawa Timur sebesar 103,25. Ini jauh lebih rendah dibandingkan NTP tertinggi yaitu Provinsi Yogyakarta yang sebesar 117,26.

Bahkan di dua sub-sektor, yaitu tanaman perkebunan rakyat dan peternakan, NTP-nya masih di bawah angka 100, yakni 97,82 dan 97,44. "Artinya, warga Jawa Timur yang bekerja di sub-sektor tanaman perkebunan rakyat dan sub-sektor peternakan, kesejahteraannya lebih buruk dibanding 5 tahun lalu," ungkap pria yang juga Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur itu.

Catatan buruk yang ketiga, urai Ali Mudji, yakni menurunnya jumlah lapangan kerja dan bertambahnya jumlah penganggur. Pada tahun Februari 2010, jumlah yang bekerja di Jawa Timur mencapai 19,61 juta. Pada Februari 2011, jumlahnya merosot menjadi 19,40 juta dan kembali makin merosot menjadi 19,01 juta pada Februari 2012.

Menurunnya jumlah penduduk yang bekerja ini, sebut Ali Mudji, menunjukkan turunnya jumlah lapangan kerja. Meskipun pada Agustus 2012, jumlah yang bekerja naik menjadi 19,08 juta, namun angka ini masih jauh di bawah kondisi di bulan Februari 2010 dan Februari 2011.

Pada indikator jumlah penganggur, angka pada Agustus 2012 justru lebih buruk dibanding awal tahun yaitu Februari 2012. Angkanya meningkat dari 819.460 orang menjadi 819.563 penganggur. "Jadi, pada 2012 ini, jumlah penganggur tidak berkurang, namun justru bertambah," ujarnya.

Terakhir, yakni memburuknya kinerja ekspor dan impor, yang secara kumulatif merosot dibanding tahun sebelumnya. Nilai ekspor menjadi turun, sebaliknya, impornya justru naik.

Selama Januari-Oktober 2012, nilai ekspor Jawa Timur mengalami penurunan sebesar 19,19 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini diakibatkan oleh turunnya ekspor migas dan non migas masing-masing sebesar 44,38 persen dan 17,24 persen.

Page 13: Kepemimpinan Trisakti

Sebaliknya, impor Jawa Timur makin mengkhawatirkan karena terus melonjak. Secara kumulatif, nilai impor Januari-Oktober 2012 mengalami kenaikan sebesar 7,58 persen dibanding periode yang sama tahun 2011. "Jika ini dibiarkan, maka Jawa Timur akan makin kebanjiran barang impor dan sektor ekonomi akan terpuruk," tuturnya. (pri) ajak Pendapat Kompas

Harapkan Pemimpin MerakyatOleh BI Purwantari

SEPANJANG lima tahun terakhir dan memuncak tahun 2012, publik menyaksikan secercah harapan dalam kepemim- pinan politik sejumlah daerah. Sosok pemimpin yang berintegritas dan model kepemimpinan yang sama sekali berbeda dengan arus utama menyeruak ke ranah publik. Para pemimpin ini berangkat dari pengalaman memimpin daerah-daerah yang relatif jauh dari pola hiruk-pikuk siasat "politik Jakarta" dan membuktikan keberhasilan kepemimpinan.

Meskipun arus utama politisi dalam era kebebasan demokrasi adalah sibuk bersiasat politik untuk kepentingan diri dan kelompok politiknya, kepemimpinan demokratis yang sesungguhnya tampak berbeda. Berkebalikan dengan asumsi mainstream model kepemimpinan daerah yang pragmatis dan mengambil keuntungan dari sebuah jabatan publik, kepemimpinan demokratis justru berorientasi pada pelayanan publik, menafikan kepentingan diri sendiri dan kelompok, serta membuka ruang partisipasi publik selebar mungkin.

Beberapa pemimpin di daerah yang sukses membangun wilayahnya terus bergulir ke tingkat nasional. Mereka tidak diangkat berdasarkan politik dinasti atau transaksi tumpukan uang politik, sebaliknya merangkak dari bawah melalui proses pergulatan bersama masyarakat. Yang masih segar dalam ingatan adalah pola kampanye Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam kontestasi pemilihan gubernur DKI pada September 2012. Alih-alih menggunakan baliho, spanduk, dan kampanye massa yang lazim digunakan kandidat kepala daerah, mereka memilih masuk sendiri ke kampung-kampung untuk mengenalkan diri kepada masyarakat sembari merangkul relawan-relawan.

Jajak pendapat yang menyoroti fenomena kemunculan pemimpin-pemimpin daerah semacam ini mendapati jawaban-jawaban publik yang terasa kuat maknanya. Salah satu jawaban yang paling kuat adalah jawaban responden bahwa karakter pemimpin masa kini harus sering turun ke lapangan. Nyaris seluruh responden (98,3 persen) menyatakan, pemimpin harus sering turun ke lapangan untuk mengetahui persoalan konkret.

Turun ke bawah dipraktikkan beberapa kepala daerah setingkat provinsi atau kota. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) ataupun mantan Wali Kota Yogyakarta

Page 14: Kepemimpinan Trisakti

Herry Zudianto dikenal luas memakai pola kepemimpinan turun ke bawah. Saat Jokowi menjabat wali kota Solo, pola itu terbukti efektif memindahkan ratusan pedagang kaki lima. Sementara Herry menghijaukan Yogyakarta, memanfaatkan lahan sesempit apa pun untuk ditanami.

Di samping pola turun ke bawah, sembilan dari sepuluh responden juga mendukung sepenuhnya pola transparansi melalui sarana online. Responden yakin, transparansi akan memperkecil ruang bagi pejabat untuk korupsi. Selain itu, merujuk pada program semacam Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar yang sedang dijalankan Pemerintah Provinsi Jakarta, sebagian besar responden juga menyetujuinya. Sebagian besar responden menyatakan perlunya perubahan pemberian jaminan kesehatan dan pendidikan di tempat tinggal mereka.

Sulit diingkari, kemunculan berbagai program prorakyat di satu daerah bakal memicu keinginan serupa rakyat di daerah lain. Di tengah kegalauan penantian panjang akan kehadiran pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, publik kembali memperoleh optimisme. Dengan melihat berbagai fenomena kepemimpinan daerah, hampir 70 persen responden publik di 12 kota yakin, pemimpin yang berkomitmen kepada rakyat bakal muncul. Hanya sepertiga bagian responden yang pesimistis.

Selama bertahun-tahun, praktik kepemimpinan cenderung tidak diselenggarakan di ruang publik secara memadai. Kekuasaan dikelola secara oligarki berbasis transaksi personal, tidak dilandasi pedoman ideologi kerakyatan, melainkan oportunisme individu. Akibatnya, seluruh sistem pemerintahan yang seharusnya berorientasi pada pelayanan publik berganti menjadi urusan "uang tunai". Kongkalikong antara penyelenggara pemerintahan dengan pihak swasta ataupun anggota legislatif pun tak terelakkan.

Tak mengherankan, hasil politik yang dituai adalah pejabat birokrasi negara menjadi tertuduh penggerus uang negara, pelanggar hak asasi manusia, dan penekan politik bagi kelompok minoritas. Selain itu, struktur anggaran daerah condong membengkak di sisi belanja rutin pejabat dan birokrat ketimbang untuk kesejahteraan rakyat. Model kepemimpinan tak demokratis semacam inilah yang selama ini menisbikan tiga elemen kunci kepemimpinan demokratis, yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Tidak seperti persepsi positif atas kepemimpinan ala Jokowi, Herry Zudianto atau Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), sebagian besar responden di 12 kota itu justru menilai berbagai persoalan dalam kepemimpinan daerah mereka. Porsi terbesar responden memberi penilaian negatif terhadap kinerja kepemimpinan daerah masing-masing meliputi evaluasi terhadap kinerja penegakan hukum, pemberian jaminan rasa aman, dan pemberlakuan transparansi anggaran pembangunan dan penerimaan pajak.

Satu dari tiga responden mengeluhkan tentang sulitnya mengakses informasi tentang anggaran pembangunan yang disusun pemda di wilayah mereka. Bahkan, tujuh dari sepuluh responden menyatakan, masyarakat harus memprotes sikap anggota DPRD yang dinilai menghambat persetujuan terhadap program-program populis pemerintah daerah.

Page 15: Kepemimpinan Trisakti

Kemunculan pola kepemimpinan demokratis ini memberi efek tekanan untuk diterapkan di daerah-daerah lain. Tak kurang dari 83,9 persen responden secara lugas menyatakan perlunya perubahan model kepemimpinan di wilayah tempat tinggal mereka. Sosok pemimpin yang berkubang dengan pragmatisme lama tampaknya akan makin ditinggalkan. (Litbang Kompas)

Tjahjo Kumolo: PDIP di Luar Pemerintahan Sampai 2014!SEKJEN DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo tak ikut bersama Ketua MPR Taufik Kiemas dan Puan Maharani bertemu Presiden SBY di Istana Negara kemarin (Rabu, 26/12). Karena itu, dia tidak bisa mengomentari lebih jauh soal spekulasi bahwa pertemuan itu membicarakan kemungkinan Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani akan diangkat jadi Menteri Pemuda dan Olahraga. "Wah, saya tidak paham ya. Saya kan tidak ikut pertemuan tersebut. Jadi tidak bisa komentar. Menurut saya tidak benar berita tersebut," kata Tjahjo dalam pesan singkat kepada Rakyat Merdeka Online, (Kamis, 27/12).

Tapi yang jelas, Tjahjo menegaskan, partainya tidak akan bergabung dengan pemerintahan SBY-Boediono. "Sikap PDIP kan jelas, di luar pemerintahan sampai 2014," tandasnya.

Kemarin, usai pertemuan, Puan menegaskan, tak ada komunikasi politik antara PDIP dan Partai Demokrat. Menurutnya, PDIP tetap berada di luar pemerintahan hingga akhir masa jabatan SBY.

"Kami mendukung apa pun kebijakan (pemerintah) yang berkaitan dengan rakyat. Tapi, sampai saat ini, kami tetap konsisten. PDIP tetap berada di luar pemerintahan. Kami belum pikiran akan masuk dalam kabinet," tutur Puan.

Ia juga membantah Presiden SBY menawari PDIP bergabung dalam kabinet. Menurutnya, rumor kursi kosong menpora yang akan diisi dirinya sama sekali tidak dibahas dalam pertemuan tersebut. "Tidak ada. Itu (oposisi) semua sudah jadi kesepakatan. Kita tunggu sampai 2014 kalau PDIP mau masuk dalam kabinet," tambahnya.

Puan menjelaskan, kunjungannya bersama sang ayah menemui Presiden SBY, hanya sekadar silaturahim. Ia mewakili keluarga untuk mengantarkan Taufik menyerahkan buku biografinya kepada SBY.

"Insya Allah bukunya diluncurkan 31 Desember nanti. Jadi, saya di sini mewakili keluarga, mendampingi Pak Taufiq. Kedatangan kami ke sini (Istana) dan ke Kantor Wakil Presiden tadi pagi, hanya untuk menyerahkan buku. Karena, kami tidak

Page 16: Kepemimpinan Trisakti

mengundang presiden dan wapres," paparnya.

Di tempat yang sama, Juru Bicara Presiden Julian Aldrian Pasha membantah pertemuan SBY dan Kiemas membicarakan koalisi. Apalagi, kata dia, mengajak PDIP masuk kabinet pemerintahan SBY. Menurut Julian, pertemuan sekitar 30 menit itu hanya menyinggung soal kesehatan Kiemas yang mulai membaik, soal

keberagaman ditengah masyarakat yang mulai membaik dan sebagainya. Sebuah refleksi perjalanan nasionalisme Indonesia dari masa ke masa

Kiri Kanan Nasionalisme IndonesiaOleh Sapto Raharjanto

Revolusilah yang melahirkan negara Indonesia, melahirkan bangsa Indonesia, nasion Indonesia, menghapuskan penjajahan berabad, dan memberikan kembali harga dan nilai dari puluhan juta umat manusia di atas buminya. Dia telah mengubah peta kekuasaan, menambahkan paling sedikit satu kekayaan dalam pikiran umat manusia sedunia. (Pramoedya Ananta Toer). PADA dasarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme, terutama di dalam konteks nasionalisme Indonesia, maka coba kita flash back kembali pada era kolonialisme yang tak lain adalah anak dari proses kapitalisme sendiri yang jelas membutuhkan suatu koloni-koloni baru baik untuk pencarian kekayaan alam, maupun untuk pemasaran suatu hasil produksi dari proses kapitalisme. Dalam hal ini kemudian kita tarik sebuah benang merah pada saat itu, bahwasanya ada suatu proses penghisapan, (Exploitation De'lhhome par lhhome), yang sangat luar biasa dan dilakukan oleh kaum imperialis selama kurang lebih 350 tahun. Dan dari suatu proses penghisapan inilah kemudian muncul apa yang dinamakan sebuah cita-cita untuk bisa membebaskan diri dari proses penghisapan ini. Baik itu secara individu, golongan, maupun secara kolektif, tetapi pada dasarnya adalah sebuah semangat untuk bisa membebaskan diri dari kaum penjajah.

Hal inilah yang kemudian banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional (antara lain Soekarno, Hatta, Malaka, Sjahrir, dan Semaoen), sebagai golongan yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan sebagai hasil dari politik etis yang memungkinkan untuk mengkaji dan menganalisa ideologi-ideologi besar dunia seperti, marxisme, nasionalisme, kapitalisme, dan lainnya. Untuk kemudian melakukan sebuah pergerakan, ya sebuah gerakan untuk menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Proses gerakan untuk mencapai sebuah cita-cita kemerdekaan ini berlanjut pada era fasisme Jepang. Meskipun masih banyak perdebatan yang terjadi disana seperti adanya indikasi dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjadi komprador-komprador Jepang, serta perdebatan-perdebatan lainnya di seputar jaman Jepang, tetapi perjuangan tersebut terus berlanjut terutama untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Di sinilah berbagai macam perdebatan baik ideologi dan politik berlangsung guna mengonsep bagaimana mengatur negeri ini kelak setelah merdeka.

Page 17: Kepemimpinan Trisakti

Puncaknya pada revolusi 17 Agustus ketika teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibaca dan disiarkan ke dunia internasional, maka sejak itulah kita telah menggenggam sebuah cita-cita yang sejak lama kita idam-idamkan yaitu kemerdekaan. Di mana kemudian para founding leader kita menyusun sebuah manifesto politik yang menegaskan mengenai sebuah cita-cita dari pendirian republik ini yaitu:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Alah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari sebuah landasan manifesto politik inilah kemudian dijalankan sebuah model pemerintahan yang sangat populis terhadap nilai-nilai kerakyatan terutama pada periode tahun 1945-1965. Dimana selama masa 20 tahun ini, populisme sangat dominan dan semangat antiimperialisme serta nasionalisme ekonomi menjadi tema-tema pokok dalam pembicaraan politik. Tema-tema itu pertama dinyatakan dalam penolakan revolusioner terhadap usaha-usaha pihak Belanda untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya setelah tahun 1945.

Di dalam periode tersebut kita juga bisa melihat bagaimana cara masalah politik di luar Indonesia dibicarakan terutama pada periode 1945-1965 rakyat Indonesia melihat negara Indonesia menganut sikap bebas aktif dalam Perang Dingin dan sebagai pemimpin di dalam perjuangan semesta melawan kolonialisme dan neokolonialisme. Hampir semua penganut kelompok politik merasa bangga bahwa Indonesia menjadi tuan rumah konferensi kepala-kepala pemerintahan Asia-Afrika (konferensi Asia Afrika) yang diadakan di Bandung, tahun 1955.

Selama tahun-tahun awal 1960-an sebagian besar mereka sangat antusias mendukung peranan Indonesia dalam apa yang disebut Soekarno sebagai perjuangan NEFOS (New

Page 18: Kepemimpinan Trisakti

Emerging Forces) yakni kekuatan-kekuatan baru yang mewakili keadilan dan pembebasan melawan OLDEFOS (Old Established Forces) yakni kekuatan-kekuatan tua dan mapan yang bersifat imperialistis dan neokolonialistis.

OLDEFOS adalah kelompok negara-negara yang kapitalis, imperialis, termasuk di dalam kelompok ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, dan lain-lain. NEFOS adalah kelompok negara-negara terjajah (dan bekas jajahan) yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh OLDEFOS. OLDEFOS adalah sebagai kelompok negara-negara penjajah (kolonial) dan NEFOS adalah kelompok negara-negara yang berjuang untuk merdeka dan negara yang belum lama merdeka. Indonesia sendiri secara tegas menyatakan dirinya termasuk dalam kelompok NEFOS.

Iklim demokrasi dan berbagai kebijakan populis ini seperti UUPA 1960, serta berbagai hal lain harus terhenti oleh sebuah tragedi nasional 1 Oktober (GESTOK) yang diikuti oleh sebuah proses kudeta secara perlahan tapi pasti oleh Soeharto yang di dukung berbagai kekuatan-kekuatan politik pendukungnya termasuk CIA. Proses pergantian kepemimpinan nasional pada saat itu juga diwarnai horor politik yang mengakibatkan kurang lebih 3.000.000 orang harus meregang nyawa. Khusus untuk peristiwa politik ini, setidaknya ada lima teori yang dianggap menjadi latar belakang, yaitu (i) PKI sebagai dalang; (ii) masalah internal TNI AD; (iii) Soekarno yang paling bertanggung jawab; (iv) Soeharto sebagai orang dibalik peristiwa tersebut; (v) Jaringan intelejen dan CIA. (Lihat buku Palu Arit di ladang tebu, karya Hermawan Sulistyo)

Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas penghentian paksa ide-ide populis ini? Dimana ide-ide seperti UUPA, UUPBH, nasionalisasi aset asing, yang telah dilakukan di Indonesia guna memenuhi amanat dan cita-cita dari pendirian republik ini sesuai pembukaan UUD 1945, saat ini telah banyak dilakukan di negara-negara kawasan Amerika Latin. Misalnyai Venezuela, Bolivia, Nicaragua, dimana seorang Chaves sendiri pernah mengatakan bahwa kita harus kembali kepada semangat Bandung, ya semangat Bandung (Konferensi Asia-Afrika).

Setelah tragedi nasional tersebut maka dimulailah sebuah rezim di bawah kekuasaan militer yang memaknai sebuah arti nasionalisme adalah sebuah ketaatan warga negara terhadap setiap kebijakan-kebijakan negara. Meskipun hal tersebut pada akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah ketertundukan rakyat terhadap dominasi lembaga negara dengan berbagai alat penekannya (ABRI, Birokrasi, Golkar). Jadi nasionalisme disini bukan lagi sebuah komitmen untuk memperjuangkan amanat dan tujuan perjuangan pembebasan nasional serta amanat revolusi 17 Agustus serta UUD 1945.

Pondasi untuk mendukung tegaknya rezim politik Orde Baru sendiri adalah sebuah konsensus nasional yang intinya adalah perlunya sebuah stabilisasi kehidupan sosial-politik, rehabilitasi ekonomi, yang diklaim rusak akibat permainan politik selama berkuasanya rezim politik demokrasi terpimpin. Dengan adanya konsensus nasional tersebut mulai dicanangkan pembangunan ekonomi politik dengan lebih berorientasi pada kapitalisme. Konsensus dari dari para pendukung rezim politik Orde Baru secara tegas menolak orientasi pembangunan yang mengarah pada populisme.

Page 19: Kepemimpinan Trisakti

Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis. Dalam praktik politiknya pemerintahan Orde Baru menerapkan tiga hal: Pertama, melakukan proses ideologisasi, yaitu menerapkan ideologi tunggal negara. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya top down, seperti ide pembangunanisme. Kedua, kalaupun terdapat protes dari adanya ideologisasi tersebut, masih menyisakan ketidaksepakatan di tingkat massa rakyat, yang berlaku kemudian adalah proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis dan lain sebagainya. Sedangkan yang ketiga adalah bila terdapat perlawanan yang keras maka pemerintah dengan segera menggunakan pendekatan keamanan. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer.

Semenjak saat itulah perspektif nasionalisme kita seakan telah mengalami sebuah proses pembalikan 180 derajat, dari yang semula nasionalisme yang sangat populis dan penuh dengan ide-ide kerakyatan menjadi sebuah proses hegemoni dan ketertundukan supremasi sipil terhadap lembaga negara. Kesadaran kritis dibungkam. Derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk kebudayaannya ikut meramaikan era ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa mulai dari rezim orba sampai saat ini era reformasi yang sudah hampir 1 dasawarsa (adanya UUPMA serta berbagai penandatanganan kontrak karya adalah salah satu contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing).

Dalam hal ini ketika kita coba untuk mengkaji kembali mengenai kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan. Karena yang terpenting bagi kaum imperialis global ialah bagaimana sebuah pengusaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar. Dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi. Proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern.

Soekarno pun pernah mengatakan bahwa akan ada bahaya dari imperialisme modern yang sangat lebih berbahaya dari model penjajahan dalam bentuk klasik. (akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri lain yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal, misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur, aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta api dan pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lain. Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, dimana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang-undang perburuhan dan sebagainya, dan inilah empat sifat imperialisme modern, pertama Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, kedua Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa, ketiga Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing, keempat Indonesia menjadi

Page 20: Kepemimpinan Trisakti

lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan jutaan rupiah jumlahnya, Soekarno dalam pidato pembelaan di depan pengadilan kolonial Belanda. Bandung 1930).

So, apakah kita akan diam saja dan hanya menjadi sub ordinat dari negara yang saat ini hanya menjadi komprador imperialisme modern dengan perspektif nasionalismenya sebagai sebuah paham ketaatan terhadap segala kebijakan negara, atau dengan perspektif nasionalisme sebagai sebuah semangat untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari proses exploitation de lhomme par lhomme serta exploitation nation par nation (yang terjadi sebagai imbas dari proses kapitalisme modern) sesuai dengan salah satu amanat dari pembukaan manifesto politik bangsa Indonesia yaitu UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Entahlah,.. kapan zaman edan ini berakhir??

*Anggota Departemen Informasi dan Komunikasi DPC PDI-Perjuangan Kabupaten Jember Kepemimpinan Nasional

Pragmatisme Masih Mendominasi PolitikRELASI pragmatis mendominasi aktivitas politik di Indonesia. Siapa yang bermodal kuat akan berkesempatan. "Siapa yang ingin maju pasti ditanya wani piro (berani berapa)?" ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo dalam Seminar Kepemimpinan Nasional dan Tantangan Baru Indonesia dalam rangka Dies Natalis Ke-67 Pemuda Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Minggu (16/12). Hadir pula sebagai narasumber Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Isran Noor, Ketua Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Yustinus Hardjosusanto MSF, dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku pembicara utama.

Menurut Ganjar, pascareformasi, pola kepemimpinan di Indonesia masih paternalistis, oligarkis. Peran media juga dominan. Karena itu, dalam pemilihan presiden, calon-calon yang muncul itu-itu saja.

Menurut Ganjar, kondisi parpol belum kokoh karena kurangnya pendidikan politik, manajemen tidak profesional, anggaran pengelolaan minim, dan banyak kader bermasalah hukum.

"Sebagai tempat untuk melahirkan pemimpin nasional, parpol harus optimal dalam mencetak kader unggul. Seseorang yang ingin maju berpolitik harus benar-benar mempunyai keterpanggilan politik," kata Ganjar.

Keteladanan

Page 21: Kepemimpinan Trisakti

Dalam pidato di awal seminar, Sultan mengatakan, segala formula kepemimpinan tidak bermakna bila tidak ada keteladanan. Saripati kepemimpinan adalah memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan yang sama. "Seorang pemimpin wajib mengedepankan keteladanan dengan menjalankan leadership by example," paparnya.

Sultan mengatakan, seorang pemimpin tidak akan bisa memandu manakala ia sendiri berjalan dalam kegelapan visi, melangkah dengan kelemahan karakter, dan bergerak maju tanpa kacamata strategi yang tepat.

Hardjosusanto mengatakan, seorang pemimpin tak cukup sekadar beragama, tetapi harus beriman. Karena itu, yang ia tampilkan tak hanya ritus, simbol, atau label, tetapi cara hidup. Hal sama dikemukakan Isran. Pemimpin harus benar-benar kompeten dan punya visi jelas. (ABK)

Negarawan PancasilaSayidiman Suryohadiprojo

BEBERAPA hari lalu ada sahabat bertanya: bagaimana keinginan dan harapan saya mengenai presiden yang akan kita pilih pada 2014. Saya menjawab, "Saya harapkan presiden kita yang akan datang seorang negarawan yang berjiwa dan bersemangat Pancasila." Negarawan yang tidak hanya memandang Pancasila sebagai satu ideal dan falsafah, tetapi disertai tekad untuk menjadikan Pancasila satu kenyataan hidup di Indonesia. Untuk itu, kita perlukan seorang presiden yang negarawan, bukan sekadar seorang pemimpin politik.

Pikiran saya ini didorong oleh kenyataan bahwa sekalipun semua orang Indonesia setuju Pancasila menjadi dasar NKRI, tetapi dalam kenyataan amat sukar menemukan implementasinya dalam kehidupan berbangsa. Dengan begitu, kita mudah dicap sebagai bangsa paling munafik, tak hanya bangsa yang korup.

Makna Pancasila yang utama dan perlu segera terwujud adalah kesejahteraan lahir batin, yang tinggi dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan baru itu akan amat membantu untuk menciptakan kondisi lain yang bersangkutan dengan nilai- nilai Pancasila. Kita tak keberatan di Indonesia ada orang kaya, miliarder, tetapi itu harus disertai rendahnya jumlah orang miskin serta sempitnya kesenjangan antara kaya dan miskin.

Untuk itu perlu diciptakan kesempatan kerja penuh bagi rakyat, yang memberikan penghasilan makin baik bagi rakyat seluruhnya. Dengan begitu, lambat laun bagian terbesar rakyat menjadi golongan menengah. Hal itu akan sangat mengurangi pengaruh radikalisme dan daya tarik menjadi teroris, juga kesediaan menjadi agen negara asing.

Page 22: Kepemimpinan Trisakti

Alhasil, yang maju dan sejahtera tak hanya rakyat di kota besar, tetapi juga mereka yang tinggal di desa-desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, baik pertanian maupun perikanan maju dan menghasilkan makanan bagi rakyat secara luas.

Sektor pertambangan dan perindustrian pun maju, khususnya kegiatan industri yang menghasilkan nilai tambah bagi berbagai produk pertanian, perikanan, dan pertambangan yang dihasilkan bangsa kita. Usaha itu selain dilakukan perusahaan besar swasta dan BUMN juga oleh berbagai usaha mikro, kecil, menengah yang besar jumlahnya dan menjadi penyedia kesempatan kerja utama dalam masyarakat.

Negarawan Pancasila itu sadar kesejahteraan harus didukung infrastruktur luas dan efektif. Hubungan darat, laut, dan udara dapat dilaksanakan dengan makin luas dan efektif, seperti kemampuan untuk secara teratur dan sering menyinggahi setiap pulau yang dihuni orang Indonesia. Juga tersedianya listrik yang memadai yang tersebar di wilayah nasional yang luas.

Negara kesejahteraan

Kesejahteraan lahir dan batin perlu pendidikan nasional yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Menjadikan manusia Indonesia makin cerdas, berkarakter kuat, berbudi pekerti luhur, dan mampu berpartisipasi dalam produksi nasional secara efektif. Manusia demikian semoga makin jauh dari perbuatan korupsi dan kuat menolak narkoba. Kesejahteraan juga mengharuskan adanya usaha pemerintah menyediakan jaminan kesehatan dan jaminan sosial lain bagi seluruh rakyat.

Negarawan Pancasila sebagai Presiden RI punya kewibawaan untuk mengajak seluruh masyarakat ikut aktif merealisasikan hal ini, khususnya para pemimpin daerah dan organisasi yang ada dalam masyarakat. Ia cakap menginspirasi semangat dan elan bangsa untuk bersama-sama mewujudkan ini.

Makin tingginya kesejahteraan memungkinkan rakyat berpartisipasi secara aktif dan bermutu dalam kehidupan demokrasi bangsa. Tidak bisa lagi suara dan haknya dibeli dengan uang, dikelabui, atau diintimidasi. Dengan begitu, pengertian kedaulatan rakyat, yaitu rakyat berkuasa, makin jadi kenyataan.

Hal ini semua menjadikan kebangsaan Indonesia satu hal yang konkret bagi rakyat umumnya, termasuk mereka yang tinggal di perbatasan. Demikian pula bagi rakyat Papua yang sekarang mungkin masih banyak yang bertanya untuk apa ia jadi bangsa Indonesia.

Namun, presiden yang negarawan Pancasila juga bersikap tegas dalam menindak berbagai pelanggaran, khususnya terhadap mereka yang mau meruntuhkan NKRI dan Pancasila. Termasuk penggunaan kekerasan ketika berbeda pendapat dalam soal agama dan sosial lainnya, terhadap para koruptor dan penyebar serta pengguna narkoba.

Indonesia dalam wujud itu akan kuat posisinya dalam masyarakat internasional. Apalagi kalau tingginya kesejahteraan rakyat memungkinkan pemerintah membentuk revenue

Page 23: Kepemimpinan Trisakti

makin besar dan dengan itu dapat membiayai perkembangan TNI sebagai kekuatan pertahanan yang andal di darat, laut, dan udara.

Hasil dari kesejahteraan lahir dan batin yang makin tinggi menjadikan kehidupan bangsa Indonesia makin tinggi tingkat peradabannya. Budaya bangsa yang asli selalu dipelihara dan ditingkatkan mutunya, dan makin dapat dilengkapi dengan peradaban sebagai hasil peningkatan mutu pendidikan dan penelitian.

Masyarakat dunia akan mengenal Indonesia tak hanya dari keseniannya yang tersohor, tetapi juga dari makin banyaknya film dan novel Indonesia bermutu, makin banyaknya penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dari prestasi olahraganya. Tidak aneh kalau nanti ada orang Indonesia mendapat Hadiah Nobel, baik sebagai sastrawan atau ilmuwan, atau menjadi juara dunia dalam olahraga.

Namun, dengan segala kemajuan itu, manusia Indonesia selalu tahu diri: itu semua dimungkinkan karena perjuangan hidupnya diridai Tuhan. Sebab itu, ia sadar bahwa tidak ada tempat bagi arogansi, apalagi kegemaran menggunakan tindakan kekerasan. Sebaliknya selalu diusahakan harmoni dan keselarasan, baik dalam hubungan antara berbagai suku dan etnik yang membentuk bangsa Indonesia, antara penganut macam-macam agama, maupun hubungan antarbangsa.

Insya Allah negarawan Pancasila akan memimpin rakyat Indonesia dalam perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Semoga bangsa Indonesia, paling lambat pada tahun 2014, memperoleh karunia Allah itu. (*)

Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas

Menghina RakyatOleh Sri Palupi

TERHADAP tuduhan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terkait mafia narkoba yang merambah Istana, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menegaskan, pihak Istana sangat keberatan dan merasa terhina. Rasa terhina yang dipersoalkan Sudi Silalahi ini membuat saya berpikir, pihak Istana benar-benar keterlaluan. Mereka hanya peduli pada citranya sendiri.

Ketika rakyat direndahkan, dilecehkan, dijual murah, ditembaki, diculik, dan diambil organ tubuhnya, serta diperkosa berulang kali oleh pihak-pihak di luar negeri, pihak Istana tidak merasa terhina. Sampai sekarang mereka tetap bungkam.

Rupanya derita dan penghinaan rakyat oleh pihak-pihak di negara lain bukan prioritas Istana. Berulang kali pihak Istana menegaskan bahwa presiden tidak harus turun tangan untuk semua persoalan. Alasannya, sudah ada menteri yang mengurusi. Sementara itu, saya mencatat, presiden lebih banyak turun tangan untuk hal-hal yang menyangkut

Page 24: Kepemimpinan Trisakti

pujian, penghargaan, seremoni, dan berbagai urusan yang mendukung pencitraan Istana.

Kalaupun presiden turun tangan atas persoalan rakyat, itu terjadi karena tekanan massa. Jangankan merasa terhina terhadap penghinaan yang diderita rakyat, pihak Istana bahkan secara sistematis menghina rakyat dengan berbagai kebijakan dan kebungkamannya.

Tenaga kerja Indonesia

Masyarakat marah dengan berbagai kasus penganiayaan, penembakan brutal, dan pemerkosaan yang terus mendera tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, pihak Istana tetap bungkam. Sudah lama rakyat dijual murah bahkan diobral. Kita bisa temukan iklan jual murah TKI di koran-koran Singapura. TKI yang dikembalikan majikan kepada agen, dijual dan dipajang di pusat belanja. Bahkan, di kawasan Geylang, Singapura, para gadis remaja Indonesia dijual di pinggir jalan sebagai pekerja seks.

Terasa kesiangan ketika pemerintah baru bereaksi setelah iklan "TKI on sale" diangkat Migrant Care. Terhadap jual murah TKI, pihak Istana juga bungkam. Mereka sibuk dengan pesta pemberian gelar kesatria bagi sang presiden.

TKI diakui sebagai penyumbang devisa dan pemberi solusi atas masalah pengangguran. Balasannya bukan subsidi, kemudahan, dan perlindungan optimal yang diterima TKI, melainkan tambahan masalah. Bibir pemerintah mengecam iklan "TKI on sale", tetapi pada saat yang sama tangannya jual murah TKI lewat perusahaan jasa TKI.

Betapa tidak. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengeluarkan aturan tentang kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN) yang wajib dimiliki TKI. Pencetakan kartu dibiayai dari APBN. Anehnya, untuk mendapatkan KTKLN, TKI dipaksa menggunakan jasa komersial PJTKI yang mewajibkan TKI membayar sedikitnya Rp 2 juta.

Kalau tidak, mereka tidak akan mendapatkan KTKLN dan tidak bisa berangkat sebab ada surat edaran BNP2TKI kepada perusahaan maskapai internasional untuk mencekal TKI yang tidak ber-KTKLN.

Akibatnya, banyak calon TKI yang bekerja dengan kontrak mandiri tanpa melalui PJTKI digagalkan keberangkatannya oleh pihak maskapai penerbangan. TKI dirugikan atas tiket pesawat yang dibatalkan dan kehilangan kesempatan kerja dengan gaji jauh lebih tinggi dibandingkan bila bekerja melalui PJTKI.

Sekadar contoh, Triyawati, calon TKI mandiri ke Singapura. Penerbangannya digagalkan AirAsia. Faridah Aini, calon TKI mandiri ke Dubai, penerbangannya digagalkan Garuda Indonesia. Nasib yang sama dialami Feri dan Nana, TKI Hongkong yang lagi cuti.

Masyarakat adat

Penghinaan tak hanya diderita TKI. Petani dan masyarakat adat tak kurang menderita. Di

Page 25: Kepemimpinan Trisakti

Papua, misalnya, tanah rakyat yang diambil untuk perkebunan sawit hanya diganti rugi 0,65 dollar AS per hektar. Kekayaan Papua disedot, sementara hak-hak dasar rakyat Papua, seperti pendidikan dan kesehatan, ditelantarkan. Daerah terkaya, tetapi masyarakatnya paling miskin.

Rakyat dibodohi dan dipermalukan. Sekadar contoh, seorang warga masyarakat adat asal Katingan, Kalimantan Tengah, 5 hektar tanahnya dirampas perusahaan sawit dan dipaksa menerima ganti rugi Rp 1,5 juta.

Merasa diperlakukan tak adil, ia mengadu kepada polisi dan pemerintah. Tidak ada respons, ia nekat mendatangi pihak perusahaan sawit. Dengan sinis perusahaan memintanya membawa surat kelakuan baik dari kepolisian dan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Artinya, mempertanyakan ketidakadilan identik dengan kejahatan dan ketidakwarasan.

Dengan meningkatnya investasi di sektor perkebunan dan pertambangan, penghinaan dan kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat atas nama otoritas negara semakin keterlaluan.

Bayangkan, Freeport yang telah menghancurkan bumi dan rakyat Papua masih juga diberi izin dan difasilitasi untuk mengeksploitasi Kalteng. Anda tidak akan temukan nama Freeport di sana sebab untuk mengelabui rakyat, Freeport sembunyikan diri dengan baju perusahaan lokal.

Rakyat tak diakui eksistensinya. Hutan dan lahan diberikan kepada korporasi seolah-olah wilayah itu tak berpenghuni. Di Kalimantan Timur, misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat luas konsesi untuk korporasi pertambangan, sawit, dan lainnya mencapai 21,7 juta hektar. Sementara itu, luas Kalimantan Timur sendiri hanya 19,88 juta hektar. Di Kalimantan Selatan dan Kalteng kondisinya tak jauh beda.

Penghinaan sistematis terhadap rakyat terlihat dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2010. Tak kurang dari 56 persen aset nasional yang mayoritas berupa tanah dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk.

Pemerintah telah memberikan sedikitnya 42 juta hektar hutan kepada perusahaan HPH, HTI, dan perkebunan. Sementara itu, Jatam mencatat 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.

Sementara itu, lahan yang dimiliki petani kian menyempit. Data BPS menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Selama 2011 jumlah petani berkurang 3,1 juta.

Penghinaan rakyat secara terang-terangan dilakukan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia menyatakan lahan kritis yang luasnya 20.000 hektar akan diberikan kepada rakyat untuk dikelola dan dipinjamkan selama 60 tahun.

Page 26: Kepemimpinan Trisakti

Keterlaluan, hutan dan tanah produktif diserahkan kepada korporasi dan setelah kritis baru diberikan kepada rakyat. Keuntungan dinikmati korporasi, sedangkan limbah, sampah, dan bencananya dibebankan kepada rakyat.

Akhir kata, boleh saja pihak Istana diguyur penghargaan dan dipuja-puji setinggi langit oleh pihak asing, tetapi apalah artinya itu bagi Indonesia kalau rakyat dan bangsanya terus dihina dan tak ada harganya. (*)

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights Jajak Pendapat Kompas

Kongkalikong akibat Mentalitas BirokrasiOLeh Toto Suryaningtyas

MINUSNYA mentalitas bersih dalam aparat birokrasi menciptakan iklim yang menunjang perilaku kongkalikong pejabat negara. Parahnya, aparat pengawasan tak lagi bisa diharapkan. Alih-alih menjadi solusi, publik melihat mereka justru menjadi bagian dari persoalan. Tudingan kongkalikong yang disuarakan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam, antara pejabat di tiga kementerian dan oknum anggota DPR, menguatkan sebuah stereotip lama, yaitu merebaknya "mafia korupsi" pada lapis elite pemerintahan negeri ini. Meskipun tudingan korupsi terhadap penyelenggara negara sudah berkali-kali disuarakan, tercatat baru kali ini tudingan disuarakan dari dalam kabinet. Dipo berkelit itu adalah laporan pegawai negeri sipil di kementerian yang bersangkutan. Apa pun itu, gambaran parahnya pengelolaan sistem politik dan birokrasi di negeri ini sekali lagi disuguhkan kepada publik. Seperti halnya kasus-kasus dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkan elite pemerintahan sebelumnya, kali ini pun penyelesaian hukum tampak terpaksa "tunduk" pada penyelesaian politik. Tindakan Dipo melaporkan dugaan kongkalikong kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pun memicu polemik.

Politisi partai-partai besar menilai tindakan Dipo sebagai upaya pengalihan isu, mencari popularitas, tindakan tak etis, dan sebagainya. Sebaliknya, substansi ketidakberesan pengelolaan anggaran negara tampaknya tak mendapatkan dukungan politik yang memadai dari elite politik.

Terlepas dari kesibukan pejabat kementerian, politisi DPR, dan elite parpol menangkis laporan Dipo, persepsi publik atas perilaku koruptif para penyelenggara negara telanjur menguat. Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini, hampir 90 persen, percaya pada kebenaran substansi tudingan Dipo Alam tersebut.

Di mata publik, kongkalikong dalam menyelewengkan anggaran negara melibatkan kader

Page 27: Kepemimpinan Trisakti

parpol di DPR, pejabat tinggi di kementerian, bahkan kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek. Persepsi publik cenderung sama, yakni menilai kongkalikong semata-mata korupsi yang bersifat langsung atas uang negara.

Dari sisi pelaku, meski berbagai kasus korupsi yang menonjol melibatkan pula pegawai-pegawai di level staf dan struktural lapis bawah (kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika), dua pertiga publik (66,9 persen responden) menganggap korupsi lebih banyak terjadi di level pejabat tinggi, terutama yang menduduki jabatan eselon di institusinya. Sebaliknya, di mata publik, praktik pencurian uang negara di level staf yang tak memiliki jabatan di institusi sangat jarang terjadi.

Berbagai faktor menjadi penyebab penyelewengan uang negara. Di mata publik (68,9 persen responden), sikap mental yang tak ditopang moralitas menjadi penyebab paling besar kongkalikong. Sikap itu dibentuk dari kultur birokrasi yang feodalistis dan minta dilayani ketimbang melayani. Satu di antaranya terindikasi dari pelayanan pejabat ketika berkunjung ke daerah atau instansi tingkat lebih rendah. Sebagian besar responden menilai pejabat ketika berkunjung selalu meminta berbagai fasilitas dan pelayanan yang berlebihan dan di luar urusan kedinasan.

Dari konteks pencurian uang negara yang lebih luas, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia Eko Prasojo menyatakan, banyak faktor yang menyebabkan, tak hanya dalam dimensi penegakan hukum, mengapa Republik ini terus saja tersandera korupsi. Di antaranya kewenangan birokrat yang tak terkontrol, oligarki kekuasaan, sistem hukum dan politik yang tak kompatibel, lemahnya pengawasan pemerintah pusat kepada daerah, dan lemahnya pengawasan oleh masyarakat itu sendiri (Kompas, 24 Januari 2011).

Kontrol lemah

Dari berbagai faktor yang dinyatakan tersebut, aspek kontrol atau pengawasan tampak menjadi benang merah yang penting dalam lima faktor yang dinyatakan. Secara teoretis, peran pengawasan itu mencakup pengawasan oleh DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif, oleh pemerintah pusat sebagai institusi vertikal, dan oleh masyarakat sebagai pengampu sistem sosial. Masalahnya, berbagai perangkat itu tampak lemah berhadapan dengan berbagai praktik penyelewengan, terlebih praktik kongkalikong.

Dalam praktik kongkalikong, agaknya lebih sulit mendeteksi kerugian negara yang terjadi karena dilakukan dengan sangat "halus" dan tampak legal. Apalagi kongkalikong pada level politisi di lembaga legislatif dengan birokrasi pemerintah dan sekaligus penegak hukum. Dalam kasus laporan Dipo Alam, paling tidak ada lima modus praktik kongkalikong yang dinyatakan terjadi antara kementerian/badan usaha milik negara (BUMN) dan oknum anggota DPR.

Modus pertama, oknum anggota DPR meminta jatah kepada BUMN. Dipo mengaku menerima banyak laporan dari beberapa direksi dan karyawan BUMN terkait modus ini. Modus ini mirip dengan yang kini diungkap oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Page 28: Kepemimpinan Trisakti

Modus kedua, penggelembungan APBN Perubahan (APBN-P) 2012 atas inisiatif oknum anggota DPR. Modusnya, beberapa pengajuan anggaran dalam APBN-P diblokir dengan pemberian tanda bintang oleh Kementerian Keuangan.

Modus ketiga, melalui peran staf khusus nonkader parpol dengan mengintervensi anggaran, khususnya terkait calon rekanan pelaksana proyek.

Modus keempat, praktik kongkalikong peran oknum staf khusus menteri kader parpol. Para kader partai di kementerian dan lembaga merekayasa pengadaan barang dan jasa dengan maksud memenangkan oknum rekanan tertentu yang diunggulkan partai.

Modus kelima, melalui usulan pinjaman luar negeri yang belum jelas pelaksanaan dan manfaatnya.

Dengan pola kerja yang hampir mirip pola mafioso itu, tentunya bakal lebih sulit mendeteksi adanya pelanggaran hukum sekadar mendasarkan pada dalildalil aturan hukum positif.

Sering kali terjadinya kongkalikong hanya bisa diketahui oleh para pelaku internal atau individu ketimbang oleh sistem hukum dan administrasi birokrasi.

Sanksi dan teladan

Kasus-kasus penggerogotan dan berbagai kebocoran anggaran negara di negeri ini pernah disinyalir beberapa pihak secara kasar mencapai proporsi hampir sepertiga jumlah anggaran belanja negara. Betapa jumlah yang teramat sangat besar. Dari rilis resmi Badan Pemeriksa Keuangan, angka kerugian negara, baik yang bersifat pasti maupun potensi, totalnya Rp 1 triliun-Rp 3 triliun (semester I 2012). Bandingkan temuan itu dengan total belanja negara dalam APBN-P 2012 yang direncanakan mencapai Rp 1.548,3 triliun.

Tanpa mengabaikan sulitnya menemukan sumber penggerogotan, kongkalikong, dan pengembalian uang negara oleh koruptor, sulit menerima angkaangka yang terlalu timpang tersebut. Di tengah berbagai kasus penggerogotan anggaran negara, publik beranggapan bahwa lembaga-lembaga pengawasan seperti BPK ataupun inspektorat jenderal kurang mampu diharapkan kinerjanya. Dua pertiga responden menyatakan hal itu. Adapun lembaga kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman di mata publik dinilai lebih parah lagi. Tiga perempat responden justru menilai kiprah lembaga-lembaga itu masih jadi bagian dari mata rantai persoalan pencurian uang negara.

Dari sejumlah pendekatan, sebagian besar publik menilai upaya penegakan hukum yang lebih keras, seperti memperberat hukuman, seharusnya bisa dilakukan untuk menekan praktik kongkalikong dan penggerogotan uang negara. Langkah penanganan tampak lebih ditekankan publik daripada sekadar langkah pencegahan dan pengawasan. Upaya hukum itu harus disertai langkah politik, yakni adanya ketegasan dan teladan dari para pemimpin yang memang emoh melakukan penggerogotan uang negara. Sebab, tanpa

Page 29: Kepemimpinan Trisakti

keteladanan para pemimpin, di mata masyarakat Indonesia langkah hukum untuk koruptor akan kehilangan legitimasi kultur birokrasinya. (Litbang Kompas) Analisis Politik

Demokrasi Tanpa Tanggung JawabYudi Latief

BUNG Hatta mengingatkan, "Demokrasi tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab adalah dua serangkai yang tidak dapat dipisah-pisah. Sebagaimana hak dan kewajiban adalah dua segi daripada keutuhan yang satu, demikian pula pemerintahan demokrasi dan tanggung jawab adalah dua segi timbal balik daripada tuntutan moral." Namun, demokrasi kita hari ini dirayakan oleh kegaduhan pencitraan di satu ujung dan ketiadaan responsibilitas di ujung yang lain. Di tengah-tengahnya kita legalisasikan penjarahan kekayaan nasional, kita sucikan kebatilan korupsi, dan kita maafkan pengkhianatan. Nurani yang terpojok cuma bisa menggemakan jeritan Julius Caesar, "O, what a fall was there, my countrymen! Then, I, and you, and all of us fell down, whilst bloody treason flourished over us."

Dalam merebaknya pengkhianatan, negara terjerembap ke dalam genggaman adu kepentingan para sindikat. Akhir-akhir ini publik terenyak oleh baku-bongkar kejahatan antarlembaga negara, yang secara telanjang memperlihatkan cengkeraman jejaring kejahatan di segala lini bersamaan dengan robohnya rasa tanggung jawab penyelenggara negara pada kebajikan publik.

Hulu dari segala kejahatan adalah kejahatan kebijakan. Peraturan semestinya disusun secara berdaulat demi kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Namun, dalam kealpaan tanggung jawab legislator, banyak undang-undang disusun untuk melegalisasikan penjarahan dan pemiskinan rakyat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, setidaknya pada pasal-pasal yang menyangkut kewenangan BP Migas, suatu contoh legalisasi penjarahan kekayaan nasional oleh modal asing. Ironisnya, substansi Perpres No 95/2012 sebagai pengganti undang- undang tersebut dinilai oleh para pemohon uji materi masih mempertahankan pola pengelolaan migas dalam kerangka business to government yang melemahkan kedaulatan negara. Bisa dipahami jika hal itu memunculkan dugaan bahwa perpres tersebut merupakan "Payung Istana untuk Lindungi Mafia Migas" (RMOL, 16/11/2012).

Sementara itu, dari laporan Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, terkuak praktik persekongkolan penjarahan keuangan negara yang melibatkan anggota partai politik di DPR dan yang menjadi pejabat di kementerian. Yang paling mengenaskan, praktik megakorupsi politik ini tak kenal warna asas kepartaian. Bahkan, kementerian yang dikuasai partai bercorak keagamaan pun terindikasi melakukan kejahatan serupa, dengan konsekuensi melakukan sakralisasi tindakan korupsi.

Page 30: Kepemimpinan Trisakti

Dalam demokrasi surplus pengkhianatan, kejahatan besar begitu sulit dihukum, tetapi begitu mudah dimaafkan. Kasus megaskandal Bank Century dan Hambalang terus digantung, sedangkan gembong narkoba kelas kakap begitu mudah diberikan grasi.

Akhirnya, harus disebutkan tentang godaan terakhir sebagai suatu pengkhianatan, yakni melakukan tindakan yang benar untuk tujuan yang salah. Saling bongkar kejahatan antarpejabat negara memang membantu publik mengenali modus korupsi dan pengkhianatan. Namun, motif tersembunyi di balik tindakan itu acap kali menghentikan langkah-langkah pembongkaran kejahatan itu sebatas pencitraan, dengan posisi berdiri yang mudah bergeser. Selebihnya, publik hanya menyaksikan biduk republik yang retak, dengan para awaknya yang bertikai, tanpa kekompakan di bawah garis kepemimpinan sang kapten.

Di setiap penggal sejarah Indonesia selalu ada pengkhianat. Namun, belum pernah nalar dan nurani publik begitu terpuruk seperti saat ini. Krisis demokrasi kita terjadi persis karena nilai-nilai keadaban publik tidak memiliki sarana yang efektif untuk memengaruhi kebijakan politik. Merebaknya tendensi privatisasi dalam ekonomi dan politik menempatkan kepentingan pribadi di atas nilai-nilai kebajikan publik. Timbullah gejala civic schizophrenia yang cenderung meminggirkan segala yang civic dan public.

Dalam situasi seperti itu, meminjam ungkapan Winston Churchill, "Akan menjadi suatu reformasi besar dalam politik sekiranya kearifan bisa tersebar secepat kedunguan." Namun, perembesan kearifan dalam kehidupan politik perlu mendudukkan demokrasi di bawah imperatif etis: cita kerakyatan, per- musyawaratan, dan hikmat-kebijaksanaan.

Dalam imperatif etis ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka musyawarah-mufakat. Dalam prinsip itu, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha (minorokrasi), tetapi dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga negara tanpa pandang bulu.

Di bawah orientasi etis hikmat-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai-nilai persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial. Orientasi etis "hikmat-kebijaksanaan" juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam dengan jangkauan jauh ke depan serta kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan the virtue of civility, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Jika politik memang diabadikan bagi kebaikan hidup bersama, harus ada usaha penataan ulang institusi demokrasi, yang memudahkan orang-orang arif bijaksana mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik dari para pengkhianat. (*)

Page 31: Kepemimpinan Trisakti

Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur

Re-orientasi Konsep Ketahanan PanganFRAKSI PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur menilai, saat ini sudah mendesak dilakukan re-orientasi konsep ketahanan pangan menuju ke kedaulatan pangan. Langkah ini untuk mencegah makin terpuruknya petani gara-gara serbuan bahan makanan impor. Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur, Luluk Mauludiyah mengatakan, saat isu ketahanan pangan terpublikasi deras, seringkali kita memilih langkah mudah dengan melakukan impor. Argumen yang kerap disampaikan, yang penting rakyat tidak kelaparan.

"Akibatnya, petani justru terpuruk. Kesejahteraan petani makin terancam karena serbuan bahan makanan impor. Ini sangat ironis. Ketahanan pangan teratasi namun kita justru kehilangan kedaulatan pangan," tandas Luluk, saat membacakan jawaban fraksi atas Raperda tentang Organisasi dan Tata-Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur, di gedung DPRD Jatim, Senin (19/11/2012).

Fraksi PDI Perjuangan, kata Luluk, berharap Raperda tentang Organisasi dan Tata-Kerja Lembaga Lain ini dapat menjadi salah satu jalan menuju re-orientasi konsep kedaulatan pangan. Mulai saat ini, lanjutnya, kita harus mulai fokus pada upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pangan.

"Kita juga harus mulai merevitalisasi salah satu masalah pokok sektor hulu masalah pangan, yakni bidang penyuluhan," ujarnya.

Dia menambahkan, revitalisasi tata kerja bidang pangan dan bidang penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai upaya mendesak. Sebab, hal itu didasari fakta-fakta yang sangat mempengaruhi produk pangan. Di antaranya, kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian seolah-olah mandeg, dan mengarah pada langkah mundur berada di bawah angka 16 persen. Padahal, sektor pertanian menjadi tempat bekerja 7,68 juta warga Jawa Timur atau 40,41 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.

Juga soal tingginya peralihan lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa Timur, yang pada tahun 2011 mutasi lahan mencapai 1.081,47 hektar. Peralihan ini meliputi 344,99 hektar sawah irigasi teknis, 373,86 hektar sawah irigasi semi teknis, 32,98 hektar sawah irigasi sederhana serta 329,64 hektar sawah tadah hujan.

"Juga pola tanam pertanian serta budidaya perikanan dan kelautan yang belum disesuaikan dengan kondisi musim serta antisipasi keikliman," urainya. (pri)

Page 32: Kepemimpinan Trisakti

Birokrat Penghambat Kemajuan RIINDONESIA berpotensi menjadi negara maju. Namun hambatannya masih banyak yang terbesar disebabkan lambatnya birokrasi. Hal itu dikatakan Dahlan Iskan, Menteri BUMN, saat mengisi seminar yang diadakan DPD Taruna Merah Putih Jatim, di Surabaya, Jumat (9/11) lalu. Dalam pengamatan Dahlan Iskan, Indonesia mau tidak mau akan menjadi negara maju pada 15 tahun mendatang, yakni tahun 2022-2023. Bahkan, kata dia, seandainya elit politiknya tidak mau maju pun, Indonesia tetap akan menjadi negara maju. "Sebab rakyatnya mau maju. Sehingga rakyatnya akan mendesak elit-nya untuk maju," katanya.

Namun, kata dia, hambatannya masih banyak. Dahlan mengistilahkannya sebagai 'penyakit' berupa jebakan-jebakan yang diciptakan kelas menengah yang jumlahnya mencapai 136 juta orang. Mereka ini, kata Dahlan, mempunyai beberapa ciri atau karakter.

Pertama, tidak mau diajak menderita. "Termasuk seandainya diimbau untuk menderita demi nasionalisme, demi bangsa, dan demi negara, mereka tidak mau. Karena itu imbauan hemat listrik, hemat BBM, hidup sederhana tidak bisa, karena mereka," katanya.

"Mereka ini adalah kunci untuk memajukan Indonesia 15 tahun mendatang. Mereka tidak bisa ditahan untuk tidak maju, mereka pengin maju," tambahnya.

Ciri kedua, lanjut Dahlan, kelompok ini berkeinginan serba cepat. Dan, ciri ketiga, bersikap kritis. "Kalau ngomong vokalnya bukan main."

Hambatan berikutnya yang menurut Dahlan adalah sebagai hambatan terbesar. Bahkan, tegas Dahlan, jika hambatan ini tidak berhasil diselesaikan, maka Indonesia gagal menjadi negara maju.

"Hambatan terbesar adalah birokrasi. Birokrasi yang melayani 136 juta orang ini lambatnya bukan main. Ini yang harus diselesaikan. Kalau ini tidak selesai, Indonesai gagal menjadi negara maju, masih di kelas menengah. kita perlu pahlawan-pahlawan baru yang siap membawa Indonesia menjadi negara maju," katanya.

Selain Dahlan Iskan, pemateri lain pada seminar itu adalah Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat NU dan Maruarar Sirait, Ketua DPP Taruna Merah Putih. Seminar dihadiri tiga ratusan peserta itu bertema 'Aktualisasi Nilai-nilai Kepahlawanan Menuju Kepemimpinan Visioner'.

Menghadirkan pemimpin yang bisa menyelesaikan persoalan lambatnya birokrasi juga diamini oleh Khofifah. "Pemimpin yang bagaimana, pemimpin yang starting poinnya dari pembukaan UUD 45," tegas dia. Yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.

Page 33: Kepemimpinan Trisakti

Tak kalah penting, lanjut Khofifah, pemimpin adalah sosok yang bisa melihat dan menyampaikan persoalan secara jujur. Ia menyontohkan, kategori penduduk miskin sesuai definisi bank dunia berpenghasilan kurang dari 2 dolar Amerika. Namun, oleh pemerintah direduksi menjadi hanya 1 dolar.

"Reduksi (dilakukan) supaya nampak jika pemimpin itu berhasil menurukan angka kemiskinan. Dan ini dilakukan dimana-mana, termasuk di Jatim. Kan kasihan," kata Khofifah.

Sementara Maruarar Sirait mengatakan, kebanyakan pemimpin pada saat sekarang hanya melaporkan masalah kepada rakyatnya, bukan menyelesaikan masalah. Padahal, kata dia, negeri ini membutuhkan sosok pemimpin yang mengkatualisasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam perilaku kesehariannya.

"Rela berkorban, mementingkan agenda yang lebih besar di atas diri, keluarga, atau kelompoknya. Pemimpin juga harus memiliki jiwa kepeloporan," katanya. (her)

Yang Paling Sering Intervensi BUMN adalah PenguasaINTERVENSI terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak selalu dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Intervensi oleh anggota Dewan dinilai sangat kecil jika dibandingkan intervensi yang harus dihadapi BUMN dari pihak penguasa. "Saya katakan, intervensi terbesar itu bukan dari anggota DPR. Dari Rp 1.400 triliun yang ada, DPR hanya terkait berapa persennya saja. Saya lihat, bagaimana penguasa sampai orang-orang dekat penguasa mengintervensi direksi BUMN. Ini yang saya bilang intervensi nonkorporasi," ujar mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu, Sabtu (10/11/2012), dalam diskusi di Warung Daun, Cikini.

Permainan di DPR, lanjutnya, hanya bisa dilakukan pada penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun untuk BUMN "sakit", subsidi Rp 200 triliun, dan privatisasi. Untuk privatisasi, Said mengatakan, anggota Dewan biasanya kerap meminta jatah saham. Namun, ketiga praktik pemerasan ini menurut Said masih terbilang kecil jika dibandingkan intervensi yang dilakukan eksekutif.

Said pernah menjabat sebagai Sekretaris Menteri BUMN pada periode 2005-2010. Selama lima tahun itu, ia mengaku melihat langsung bagaimana orang-orang dekat penguasa melakukan intervensi, mulai dari istri penguasa, teman penguasa, hingga birokrat.

Dalam wawancara di studio Kompas TV , Kamis (8/11/2012) lalu, Said mengungkapkan bahwa pihak penguasa dan orang dekat penguasa biasanya berpengaruh dalam menentukan orang mana saja yang bisa menjadi direksi BUMN. Intervensi kuat lainnya

Page 34: Kepemimpinan Trisakti

juga berasal dari pihak asing.

"Saya seorang peneliti, masa pas masuk BUMN, kok kayak begini. Ada pihak-pihak asing juga melakukan intervensi bagaimana supaya bank atau Pertamina kalah sehingga perusahaan tambang dalam negeri tidak maju. Ini oleh mereka diistilahkan lobi, padahal itu intervensi," ujar Said.

Ia juga menyebutkan ada 10 kelompok yang sering melakukan intervensi dan upaya pemerasan terhadap BUMN, yaitu:

1. Orang dekat kekuasaan Orang yang dekat dengan kekuasaan biasanya berpengaruh besar dalam menetapkan direksi BUMN. Jika direksi BUMN sudah diintervensi, maka ada potensi terhadap praktik pemerasan.

2. Lingkungan internal Kementerian BUMN Pejabat-pejabat di Kementerian BUMN, menurut Said, juga tidak lepas dari intervensi di tubuh BUMN itu sendiri. Para pejabat ini sehari-hari berhubungan dengan BUMN. Oleh karenanya, peluang terjadinya intervensi juga bisa terjadi.

3. Anggota DPR Intervensi yang dilakukan anggota DPR, diakui Said, masih terbilang kecil. Hal ini karena DPR hanya mampu memengaruhi pengambilan keputusan BUMN terkait subsidi, privatisasi, penyertaan modal negara (PMN), dan PSO.

4. Tokoh masyarakat Menurut Said, tokoh masyarakat sering menitipkan nama untuk masuk dalam jajaran direksi BUMN.

5. Lembaga swadaya masyarakat

6. Pemerintah daerah

7. Penegak hukum

8. Oknum media Oknum media, disebut Said, melakukan pemerasan terhadap BUMN terkait dengan pemberitaan. BUMN akan membayar oknum media itu untuk menutupi kebobrokan perusahaannya agar tidak diberitakan.

9. Kroni direksi BUMN Uang untuk memberikan jatah kepada pihak yang mengintervensi biasanya dilakukan dari uang pengadaan barang dan jasa. Kroni direksi BUMN pun bermain dalam pengadaan barang dan jasa itu.

10. Intervensi luar negeri

Page 35: Kepemimpinan Trisakti

Menurut Said, intervensi luar negeri biasa dilakukan oleh kombinasi pemerintahan asing dengan pengusaha asing terhadap BUMN dan Pemerintah Indonesia. Salah

satu yang menjadi target intervensi asing adalah PT Pertamina.

Politik Pencitraan Segera BerakhirZAMAN berubah. Kepemimpinan dengan gaya politik pencitraan ada di akhir zaman. Sebaliknya, kepemimpinan berbasis kinerja ditunggu sebagian besar rakyat masa sekarang dan mendatang. Hal itu terungkap dalam Rapat Koordinasi Daerah DPD PDI Perjuangan Jatim, Minggu (11/11). Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim H Sirmadji dalam sambutannya mengatakan, persyaratan kepemimpinan di negeri ini masuk dalam masa transisi. "Dari kepemimpian berbasis pencitraan, yang tak lama lagi akan segera berakhir, menjadi kepemimpinan berbasis kinerja," kata Sirmadji.

Salah satu buktinya, kata Sirmadji, adalah kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI lalu. Pasangan yang diusung PDI Perjuangan tersebut berhasil memenangkan pemilu lantaran kerja-kerja politik yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat.

Periode seperti ini, kata Sirmadji mengutip ajaran Bung Karno, sebagai sebuah masa working ideologi. Yakni, rentang waktu terjadinya kebangkitan kesadaran untuk mengimplementasikan kerja-kerja ideologi yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Lantaran itu Sirmadji berharap agar kader-kader Partai dalam upaya memenangkan pemilu tetap pada garis perjuangan Ideologi. "Tidak bagaimana sekadar merebut kekuasaan, tetapi bagaimana merebut kekuasaan untuk membuat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujarnya.

Ketua Bidang Otonomi Daerah DPP, Komarudin Watubun dalam sambutan membuka rakorda mengatakan, hati rakyat Indonesia saat sekarang tidak bisa dengan uang. "Hati rakyat Indonesia hanya bisa direbut dengan sentuhan dan kerja-kera politik yang nyata. Kader-kader PDI Perjuangan di Jatim tidak boleh ragu sedikitpun dengan ini. Saya yakin kemenangan Pilgub DKI juga akan terjadi di Jatim," tandasnya.

Rakorda kali ini diikuti ketua, sekretaris, dan wakil ketua bidang politik dan hubungan antar lembaga dari 38 DPC se-Jatim. Rakor membahas mekanisme pencalegan dan penjadwalan psikotes untuk caleg juga dihadiri sejumlah pengurus DPP. Selain Komarudin Watubun hadir juga Ketua Bidang Pertanian Perikanan dan Kelautan Mindo Sianipar dan Wasekjen Ahmad Basarah.

Menang 2 dari 3 Pilkada

Di Jatim, beberapa waktu terakhir digelar tiga pilkada, yakni Batu, Kabupaten Probolinggo, dan Bojonegoro. Dari tiga pilkada itu PDI Perjuangan sukses meraih

Page 36: Kepemimpinan Trisakti

kemenangan di Pilkada Batu dan Kabupaten Probolinggo. Sirmadji mengajak seluruh kader untuk memetik pelajaran dari ketiga pilkada itu untuk memenangkan beberapa pilkada yang akan datang.

Sirmadji juga mengungkapkan jika pemilu 2014 mendatang jumlah pemilih di Jatim diperkirakan mencapai 22 hingga 23 juta orang dari sebelumnya sekitar 29 juta orang. "Mencermati peningkatan jumlah pemilih yang akan datang, kondisi pemilih, termasuk pemilih pemula, adalah tugas partai untuk menggarap sebaik-baiknya termasuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan sayap," katanya. (her)

Indonesia Pasca-2014Oleh Budiman Sudjatmiko

JIKA masyarakat bebas tidak mampu menolong banyak rakyat yang miskin, masyarakat tersebut tidak akan dapat menyelamatkan sedikit orang yang kaya

John F Kennedy Tugas pertama pemerintahan pada 2014 adalah menambal perahu retak Indonesia. Selama ini kita hanya membicarakan 2014 dengan mengaitkannya pada popularitas para tokoh calon presiden.

Kita lebih menyukai drama orang-orang terkenal ketimbang kisah dramatis orang-orang biasa. Tulisan ini ingin mengingatkan drama orang-orang biasa dan agenda kebangsaan yang akan dihadapi presiden republik ini.

Mengubah parameter

Pada Hari Investasi di New York beberapa waktu lalu, Presiden SBY menyatakan, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia tahun 2040.

Proyeksi optimistis Presiden ini dikampanyekan hingga memenuhi ruang-ruang diskusi ekonomi politik. Sayang, sosialisasi dilakukan tanpa memberikan pemahaman ruang lingkup dan keterbatasan indikator yang dipakai, yaitu produk domestik bruto (PDB).

PDB mengukur jumlah kegiatan ekonomi dalam negeri (wilayah), berbeda dengan produk nasional bruto (PNB), yang mengukur pendapatan warga negara (manusia). Jika ada orang atau perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia, mereka pun masuk dalam perhitungan PDB, tetapi tidak dalam PNB.

Pada negara dengan arus masuk investasi asing seimbang dengan arus investasi domestik ke luar negeri, nilai PDB cenderung tidak jauh berbeda dengan PNB. Namun, untuk negara yang lebih didominasi arus masuk investasi asing, seperti Indonesia, nilainya bisa sangat berbeda.

Page 37: Kepemimpinan Trisakti

Misalkan, ada perusahaan tambang asing yang berinvestasi di Indonesia. Masyarakat Indonesia hanya memperoleh sedikit bagian melalui gaji, royalti, dan pajak. Sebagian besar hasilnya dinikmati para pemilik saham, yang warga negara asing. Namun, parameter PDB memasukkan semua pendapatan itu.

Akibatnya, PDB dapat menggelembung jauh, melampaui pendapatan aktual yang dinikmati warga negara Indonesia. Joseph Stiglitz, Nobelis Ekonomi 2001, mengulasnya dalam pertemuan The Asia Society 2008.

PDB jadi matriks utama dalam paradigma pembangunan ekonomi Indonesia saat ini. Dari sini dihasilkan sejumlah turunan, seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Jika kita sungguh-sungguh ingin mendapatkan gambaran faktual tentang kesejahteraan umum orang Indonesia, PNB lebih sesuai.

Kesejahteraan umum faktual diinstruksikan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: untuk memajukan kesejahteraan umum. Secara filosofis, kata "umum" bersifat menyeluruh dan tidak dapat direduksi sebagai nilai agregat. Maka, tujuan pembangunan ekonomi tidak boleh diwakili pertumbuhan agregat karena mengabaikan aspek pemerataan pendapatan.

Akibat kesalahan ini, indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi meningkat pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Selama pemerintahan SBY, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011).

Bahkan, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto pernah membeberkan fakta bahwa 0,2 persen penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset nasional. Dari aset yang dikuasai tersebut, 87 persen dalam bentuk tanah.

Ancam demokrasi

Meningkatnya ketimpangan adalah ancaman bagi keberlangsungan demokrasi. Stewart, Brown, dan Langer (2008) menunjukkan bahwa ketimpangan berpengaruh penting terhadap demokrasi. Pengaruh negatif ketimpangan terhadap demokrasi bahkan lebih dominan dibanding pengaruh positif pertumbuhan ekonomi atas demokrasi (Li dan Reuveny, 2003).

Di Thailand, tingkat ketimpangan meningkat pesat dalam dua dekade terakhir. Pada akhirnya terjadi ketegangan antara masyarakat kelas menengah atas perkotaan (kaus kuning) dan kelas menengah bawah pedesaan (kaus merah). Peningkatan ketimpangan

Page 38: Kepemimpinan Trisakti

juga memicu gerakan "Occupy Wall Street" di AS. Inilah yang harus menjadi bahan refleksi agar keretakan perahu Indonesia tidak melebar dan masih bisa ditambal pasca-2014.

Kebijakan ekonomi politik selama pemerintahan SBY jelas didominasi PDB, yang nyata-nyata berpotensi mengelabui. Faktor pemerataan pembangunan cenderung diabaikan sehingga menciptakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia ke depan.

Maka, kebijakan ekonomi politik pasca-2014 seyogianya dikembalikan ke semangat Pembukaan UUD 1945. Untuk itu, saya mengusulkan enam langkah guna menjawab tantangan aktual ekonomi politik tersebut.

Langkah pertama adalah menyusun UU Demokrasi Ekonomi yang bertujuan untuk memberikan arahan pembangunan ekonomi nasional sesuai semangat UUD 1945. Salah satu aspek vital dalam UU itu adalah reformasi matriks pembangunan ekonomi, dari PDB ke PNB.

Kedua, pemberantasan korupsi sebagai tolok ukur komitmen menyelamatkan "uang rakyat hanya untuk kesejahteraan rakyat", peningkatan kapasitas dan kepekaan anggaran melalui reformasi pajak secara menyeluruh, kemitraan antara sektor publik dan swasta, penyebaran anggaran ke level pemerintahan terendah, serta penyusunan anggaran partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat.

Yang ketiga adalah meningkatkan kapasitas produksi masyarakat secara merata melalui reformasi agraria, bantuan perkreditan, dan mendorong sektor koperasi untuk maju.

Langkah keempat penyusunan program pemberdayaan masyarakat yang bersifat permanen oleh undang-undang. Dalam hal ini, UU Desa bisa mengakomodasi semangat tersebut. Tujuannya agar peningkatan kapasitas masyarakat dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Kelima, penerapan program jaminan sosial secara komprehensif, meliputi kesehatan, dana pensiun, dan lain sebagainya.

Semua langkah di atas perlu ditopang sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Untuk itu, langkah keenam yang harus dilakukan adalah reformasi birokrasi. Proses reformasi ini seyogianya bersandarkan prinsip manajemen sibernetik modern, yang sensitif, lentur, dan bereaksi cepat menghadapi dinamika lapangan. Hal tersebut hanya dimungkinkan jika diterapkan sistem birokrasi cerdas dengan teknologi informasi.

Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya kita dalam menyusun enam agenda di atas tergantung dari pemimpin Indonesia yang akan mulai bekerja sejak 2014. Pemimpin yang berani keluar dari zona nyaman dirinya untuk mulai berpikir secara cerdas, bekerja secara keras, dan mau berkorban yang paling banyak untuk kebaikan bersama. (*)

Page 39: Kepemimpinan Trisakti

Budiman Sudjatmiko Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR

Sumber: kompas

Tiga Prasyarat Lahirnya Pemimpin Muda

WAKIL Ketua Bidang Kehormatan Partai DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Drs Bambang DH mengatakan, tantangan demokrasi di masa mendatang adalah persaingan kemampuan partai politik dalam melakukan proses regenerasi kepemimpinan kader-kader muda partai. "Partai politik sebagai salah satu elemen demokrasi di negeri ini memiliki tugas dan tanggung jawab secara nasional dalam melahirkan kepemimpinan

muda di masa mendatang," tandas Bambang DH saat ditemui di kediamannya, kawasan Sedap Malam Surabaya, hari ini.

PDI Perjuangan, kata Bambang DH, merupakan partai politik sejak era reformasi yang secara konsisten melahirkan banyak kader muda partai. Namun, sesuai Kongres III yang menegaskan PDI Perjuangan kembali sebagai partai ideologis, ujrnya, maka alih kepemimpinan ataupun proses regenerasi kepemimpinan muda diharuskan melalui jalur-jalur ideologis partai.

Politisi yang juga Wakil Wali Kota Surabaya ini menjelaskan, keberhasilan alih generasi PDI Perjuangan haruslah melalui tiga prasyarat utama yang merupakan jalur ideologis partai. Pertama, adalah kaderisasi berjenjang. Menurut dia, proses kaderisasi diharapkan mampu melahirkan pemimpin muda yang melalui sebuah proses panjang dan tidak lahir secara spontan.

"Jika kita membaca kembali, lahirnya para tokoh-tokoh di dunia ini, mereka dilahirkan atas sebuah proses panjang baik gagasan, penempaan melalui organisasi dan kecerdasan dalam menjawab berbagai persoalan," ungkap Ketua DPD Taruna Merah Putih Jawa Timur itu.

Sifat kaderisasi, lanjut Bambang DH, haruslah berjenjang dan disesuaikan dengan materi ataupun wawasan yang diperlukan dalam setiap tingkatan. Hal ini juga mengingat bahwa terlalu banyaknya bekal materi yang harus diberikan, sehingga ditata dalam tahapan ataupun jenjang.

Prasyarat yang kedua, yaitu perluasan kesempatan bagi para calon pemimpin muda dalam berbagai kegiatan ataupun aktivitas kepartaian. Melalui berbagai aktivitas tersebut, Bambang DH juga berharap merupakan kawah candradimukanya bagi kader-kader muda partai dalam meningkatkan kualitas kemampuan individu maupun kelompok.

"Dalam berbagai kegiatan partai, setidaknya pihak struktural partai harus lebih banyak

Page 40: Kepemimpinan Trisakti

memberikan peran kader-kader muda partai untuk berpartisipasi, semisal kegiatan seminar, pelatihan dasar ataupun pengorganisasian saat pilkada berlangsung, karena semua kegiatan itu berperan dalam peningkatan kualitas," tegas Bambang.

Yang terakhir, adalah penugasan keorganisasian. Setiap jenjang struktural partai, sesekali diharapkan memberi penugasan-penugasan organisasi kepada kader-kader muda partai. Hanya, penugasan tersebut harus disesuaikan dengan derajat kemampuan kader partai dalam melaksanakannya.

"Para pimpinan partai, hendaknya jangan ragu memberikan penugasan keorganisasian. Kader muda yang memiliki semangat dan kecerdasan adalah potensi bagi kemajuan partai di masa mendatang. Tapi juga harus dilaksanakan proses monitoring dan evaluasi terhadap setiap akhir penugasan," paparnya. (aven)

Patriotisme PemudaOleh Puan Maharani

MENYAMBUT 84 tahun Sumpah Pemuda, kita jadi ingat lirik lagu Alfred Simanjuntak, "Bangun Pemudi Pemuda". Satu baris di situ mengingatkan pemuda Indonesia tentang tanggung jawabnya: "masa yang akan datang

kewajibanmulah". Saat mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928, pemuda Indonesia berkumpul dengan satu spirit menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan jawaban atas tantangan zaman: penjajahan atas bangsa Indonesia.

Atas dasar kesadaran kolektif dan semangat kebersamaan, mereka sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tak ada jalan lain. Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa Indonesia menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah.

Kiprah dan peran pemuda Indonesia pada 1928 itu drastis mengubah pola perjuangan pergerakan nasional dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional. Kini, 84 tahun kemudian, pertanyaan yang relevan untuk kita jawab: apakah peran pemuda yang, menurut data BPS, sekitar 168 juta orang (di bawah umur 40 tahun) sebagai penggerak perubahan bagi bangsanya? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Di segala lini

Jika dulu tantangan nyata pemuda Indonesia melawan penjajahan fisik, sekarang pemuda Indonesia menghadapi tantangan yang tak kalah besar, yaitu krisis multidimensi yang menempatkan Indonesia "terjajah" oleh bangsa lain dalam bentuk baru: ekonomi, sosial, dan budaya. Dahulu pernah berwibawa dan mandiri, Indonesia kini menjadi negeri bergelimang produk impor. Bukan hanya impor barang, melainkan juga impor pemikiran

Page 41: Kepemimpinan Trisakti

dan kebudayaan.

Pada akhirnya arus impor berkecepatan tinggi di segala lini itu memadamkan spirit dan kemampuan kita sebagai bangsa untuk mampu memproduksi barang, ide, dan kebudayaan karena terlena oleh produk impor tadi.

Di sektor ekonomi, produksi dalam negeri sudah kalah bersaing dengan produk bermerek mancanegara. Di bidang pemikiran, intelektual muda lebih merasa gagah mengutip kearifan tokoh bangsa lain ketimbang mengutip kearifan tokoh nasional. Padahal, pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, dan banyak tokoh lagi sudah diakui di dunia internasional.

Bahkan, dalam tataran praktis, gaya demokrasi yang dianut lebih berorientasi Barat ketimbang Indonesia. Bukan demokrasi yang berjiwa nilai luhur bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kini perbedaan pendapat lebih cenderung diselesaikan dengan mekanisme voting daripada dengan musyawarah untuk mufakat.

Sementara itu, dari sisi kebudayaan, arus budaya pop impor semakin memudarkan kecintaan pemuda-pemudi Indonesia melestarikan warisan budaya nasional, seperti wayang, sastra, dan tari-tarian daerah. Padahal, tidak sedikit orang asing yang justru kemudian mempelajari dan membawa warisan budaya leluhur ke pentas internasional.

Saya percaya bahwa keberhasilan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan pemuda- pemudinya dalam berkiprah di bidang keahliannya masing-masing. Negeri ini sesungguhnya dilimpahi tunas-tunas bangsa yang punya potensi besar membawa kejayaan bangsa di pentas internasional.

Kami mencatat begitu banyak prestasi yang telah diraih pemuda-pemudi Indonesia di pentas dunia. Keberhasilan pelajar-pelajar Indonesia asuhan Profesor Yohanes Surya menjadi juara Olimpiade Fisika tingkat dunia menjadi bukti bahwa pemuda-pemudi Indonesia punya kualitas yang tak kalah dari kualitas pemuda-pemudi negara lain.

Publik kebudayaan sangat bersemangat ketika menyaksikan pertunjukan Matah Ati. Bagi kami, Matah Ati adalah sebuah pertunjukan budaya sangat indah dan kuyup dengan nilai-nilai filosofis. Pengakuan batik Indonesia dari UNESCO juga bukti bahwa jika dikembangkan secara sungguh-sungguh, karya budaya asli Indonesia berpotensi besar dikembangkan jadi soft power Indonesia di kancah internasional.

Pengakuan komunitas perfilman internasional yang memuji film "Denias, Senandung di atas Awan" karya sutradara Ari Sihasale dan kiprah para ilmuwan muda Indonesia di lembaga-lembaga riset internasional dengan berbagai temuan penting mereka adalah cermin bahwa sejatinya pemuda-pemudi Indonesia punya potensi besar membawa bangsa kita jadi bangsa maju.

Bayangkan, jika setiap bidang dan sektor kehidupan di negeri ini dipenuhi dengan pemuda beretos baja seperti contoh-contoh sukses tadi, niscaya Republik ini akan lebih

Page 42: Kepemimpinan Trisakti

cepat bangkit dan melesat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia.

Keteladanan

Memang, untuk mengaktualkan potensi-potensi besar itu dibutuhkan sebuah keteladanan yang mampu menggelorakan patriotisme kaum muda dalam konteks kekinian. Namun, jika keteladanan itu tak kunjung datang, semangat Sumpah Pemuda 1928 bisa menjadi teladan bahwa kaum muda bisa menjadi teladan untuk kaumnya sendiri. Bahkan, kaum muda bisa menjadi pelopor atas kebangkitan bangsa di tengah-tengah krisis multidimensi yang mendera di semua lini.

Ingat, kepemudaan berarti spirit. Ia adalah personalisasi dari sosok bersemangat baja: si pantang menyerah, si pekerja keras, si cerdas, dan si pemilik penguasaan terhadap sejumlah keterampilan yang diperlukan. Bila pemuda bangsa pada 1928 menjawab tantangan penjajahan dengan persatuan, pemuda Indonesia masa kini bisa menjawab tantangan krisis multidimensi dengan tampil sebagai pionir-pionir penuh prestasi di bidang keahlian dan bidang kecakapannya masing-masing.

Pemuda Indonesia yang memilih dunia olahraga sebagai atlet, jadilah atlet yang mendalami keatletannya sehingga berprestasi di pentas dunia. Begitu pula pemuda yang berkiprah di bidang kesenian dan kebudayaan, apakah sebagai penari, penyanyi, pelukis, penulis, dan sebagainya, jadilah seniman dan budayawan yang mendalami secara utuh di bidangnya masing-masing hingga diakui dunia.

Juga pemuda yang berprofesi sebagai peneliti, ilmuwan, politisi, dan birokrat hendaknya menekuni profesi masing-masing secara utuh, tulus, dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Seperti kata Bung Karno, "Karmane Vadni Adikaraste Maphalessu Kada Chana" (Laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang sebab jika bukan engkau yang memetik buahnya, maka anakmu yang akan memetik; jika bukan anakmu, pastilah cucumu yang akan memetiknya).

Itulah redefinisi partriotisme pemuda Indonesia masa kini yang tidak kalah agung dari patriotisme pemuda Indonesia pada 1928 ketika mencetuskan Sumpah Pemuda. Melalui redefinisi tersebut, Indonesia akan selangkah lebih dekat mewujudkan impian menjadi bangsa yang besar di pentas dunia dengan berpijak pada kearifan nasional dan keahlian putra-putri bangsa sendiri. (*)

Puan Maharani Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR; Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga DPP PDI-P

Parpol Harus Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat

Page 43: Kepemimpinan Trisakti

PARTAI politik dianggap memiliki peranan penting dalam menurunnya rasa nasionalisme dan sikap apatis terhadap kondisi bangsa. Saat ini, sebagian besar generasi muda acuh tak acuh dalam menyikapi perkembangan bangsa. Papol Harus Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko mengatakan, disadari atau tidak partai politik harus segera berubah, misalnya

tidak lagi memikirkan kekuasaan semata, melainkan bagaimana menjalankan nilai-nilai kedaulatan demi kesejahteraan rakyat.

Partai politik juga harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Pendidikan politik itu harus mencakup soal nilai-nilai keteladanan dan kerja nyata ketika mendapat amanat menjadi pemimpin.

Budiman juga membenarkan adanya sikap apatis terhadap partai politik. Namun untuk kasus-kasus tertentu, seperti upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 yang dimenangkan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama, adalah bukti nyata kalau masyarakat masih menaruh harapan terhadap lembaga maupun pemimpin yang bersih dan berjuang demi rakyat.

"Untuk itulah, saya mengajak seluruh kader PDI Perjuangan agar tetap berjuang demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk golongan-golongan tertentu," ujar Budiman.

Menurut Budiman, dalam persoalan nasionalisme, ada sistem yang harus berjalan secara beriringan. Orang tua memiliki peran yang tidak sekadar menceritakan saja, melainkan menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada generasi muda. Tujuannya hanya satu, bagaimana generasi muda mampu memahami karakter bangsa dan menjalaninya dalam kehidupan.

Generasi yang lebih tua juga harus mampu mencontohkan kepada generasi muda, tentang teori dan praktek nasionalisme. "Yang menjadi persoalan mungkin tidak hanya di generasi mudanya, melainkan bagaimana penyampaian dan contoh yang diberikan oleh kaum lebih tua," terangnya.

Seperti kita ketahui, peran generasi muda dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja. Janji bersama yang diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, adalah bukti peran para generasi muda. Janji yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda ini, adalah tonggak awal bersatunya seluruh komponen bangsa.

Tidak itu saja, Soekarno yang memimpin Partai Nasional Indonesia pada usia 21 tahun adalah bukti nyata, kalau generasi muda juga tidak bisa diremehkan. Dengan pemikiran-pemikiran revolusioner, Soekarno dan Hatta mampu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. (ovTak Ada Mekanisme untuk Kontrol Perilaku Elite

Page 44: Kepemimpinan Trisakti

Rakyat Tercederai Ulah Elite PolitikPASCA-Reformasi, rakyat yang sesungguhnya memiliki kekuasaan penuh justru tercederai oleh ulah perilaku elite politik. Sudah saatnya seleksi elite politik lebih diperketat lagi, termasuk seleksi terhadap wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen. Hal itu mengemuka dalam pidato demokrasi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berjudul "Kuasa Rakyat dan Batas-batasnya", Kamis (18/10) malam di Jakarta. Tema pidato ini bertautan dengan buku Kuasa Rakyat karya Saiful Mujani, R William Liddle, dan Kuskridho Ambardi yang diluncurkan malam itu. Buku terbitan Mirzan ini merupakan analisis perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pasca-Orde Baru.

Pada zaman Orba, kata Mahfud, perolehan suara pemilu diatur penguasa. Kini, kecurangan justru terjadi di antara pemain, bukan lagi tersentral dari pusat. Orang yang ingin menjadi calon anggota legislatif terang-terangan membeli suara dari temannya, mendatangi tempat pemungutan suara lalu dibayar. Kecurangan itu dilaporkan ke MK.

Menurut Mahfud, konsep demokrasi sudah tereduksi. Dari buku Kuasa Rakyat, konsep demokrasi yang ada tinggal berupa "dari rakyat", sedangkan "oleh dan untuk rakyat" tidak ada lagi. Disebut "dari rakyat" karena rakyat memilih di bilik suara. Sisanya, demokrasi hanya berwujud "oleh elite dan untuk elite".

"Demokrasi hasilnya hanya dalam bentuk rebutan dan bancakan para elite dalam bentuk korupsi. Yang tertangkap saat ini belum ada 10 persen dari yang sesungguhnya ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kepolisian, dan kejaksaan," ujar Mahfud.

Unsur korupsi pun dinilai sulit dibuktikan. Misalnya, kasus Century tidak bisa segera menggelandang pelakunya ke pengadilan. Proses pembuktian berupa unsur cara melawan hukum sulit dicapai. Untuk unsur merugikan negara saja harus ada lembaga yang menghitung kerugiannya.

Mahfud mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang harus menghitung kerugian negara. Namun, rupanya BPK tidak berani menghitung kerugian negara atas kasus itu. MK memiliki pemikiran, kerugian negara kelak tak perlu menunggu BPK. Boleh saja, BPKP, inspektur jenderal, bahkan toko bahan bangunan menghitung asalkan bisa secara riil dibuktikan kerugiannya.

Mekanisme kontrol

Dalam demokrasi saat ini, Mahfud berpendapat, tidak tersedia mekanisme yang sistemis untuk mengontrol perilaku elite politik. Rakyat paling hanya bisa unjuk rasa dan jumpa pers. Aspirasi rakyat yang menggumpal begitu kuat menguap begitu saja. Tidak ada satu kewajiban hukum ataupun kewajiban institusi baik DPR maupun presiden mendengar apa yang diinginkan rakyat.

Page 45: Kepemimpinan Trisakti

"Rakyat berteriak, tetap saja keputusannya pada elite. Itulah realitas demokrasi kita saat ini," kata Mahfud.

Cedera rakyat ditunjukkannya dalam proses pemilu. Rakyat hanya menggunakan kekuasaan lima menit di bilik suara, sedangkan elite politik yang berpesta pora dengan suara rakyat memiliki kekuasaan sebesar 2,57 juta menit dalam lima tahun.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung secara terang-terangan menyebutkan, banyak orang berminat masuk ke lembaga legislatif. Tidak tanggung-tanggung, kocek yang disiapkan bisa mencapai Rp 22 miliar. Untuk kalangan pengusaha saja, kocek yang disiapkan bisa Rp 1,8 miliar-Rp 6 miliar, aktivis partai sebesar Rp 800 juta-Rp 1,6 miliar, dan yang paling murah adalah tokoh masyarakat yang dengan keterkenalannya sudah mampu menarik suara rakyat.

"Kuasa kapital kini semakin mewarnai wajah politik Indonesia. Namun, kehadiran Joko Widodo dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta boleh dibilang merupakan anomali," ujar Pramono.

Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mengatakan, rakyat berkuasa. "Ke depan, peneliti pun, bahkan partai politik yang ingin merebut suara rakyat, perlu bertanya-tanya, siapa itu rakyat? Apa kemauan rakyat? Bagaimana hatinya? Dan, bagaimana mengubah hati rakyat dalam proses pemilihan?" ujar Rizal.

Menurut Mahfud, parpol harus menjadi pembuka saluran aspirasi rakyat. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah seleksi ketat terhadap elite politik, bahkan terhadap mereka yang sudah duduk di parlemen.

Cara untuk memperpendek jarak antara kuasa rakyat dan elite, kata Mahfud, adalah memilih calon pemimpin yang bersih, yaitu tidak punya cacat moral dan cacat hukum, kompeten, serta berani menanggung risiko. (osa) Fraksi DPRD Jawa Timur

"SE tentang SPM Perlu Dievaluasi"FRAKSI PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur memandang, Surat Edaran (SE) Gubernur Jatim Nomor 440/4977/03/2012 yang mengalihkan beban biaya pasien SPM (surat pernyataan miskin) kepada pemerintah kabupaten/kota perlu dievaluasi. Sebab, dalam praktiknya, beberapa pemerintah kabupaten/kota menghentikan pelayanan SPM, dan sudah ribuan SPM yang ditolak. "Kami menilai sangat urgen untuk dilakukan evaluasi efektivitas surat edaran tersebut, mengingat hak berobat masyarakat merupakan mandat wajib UUD 1945 pasal 28H ayat 1," tandas Sugiono, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur, kemarin.

Secara tekstual, kata Sugiono, dinyatakan dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang

Page 46: Kepemimpinan Trisakti

Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas), bahwa masyarakat tidak mampu berhak memperoleh layanan kesehatan secara gratis, layak dan profesional serta tanpa diskriminasi. "Masyarakat berhak memperoleh layanan kesehatan secara profesional, tanpa harus dibebani keadministrasian," katanya.

Menurut Sugiono, Fraksi PDI Perjuangan juga memandang perlu segera adanya validasi pendataan ulang jumlah orang miskin pengguna Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Sebab, tambah dia, jangan sampai ada orang yang benar-benar miskin namun tidak tercover jamkesda.

"Pendataan ulang keluarga miskin sangat mendesak dilakukan di tahun 2013, mengingat masih terdapat silang-pendapat tentang klaim jamkesda," ujarnya. (pri) Hari Kesaktian Pancasila

Memaknai dan Menjalankan Pancasila Secara BenarWAKIL Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur, Sirmadji Tjondropragolo mengatakan, peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober seharusnya menjadi saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk melestarikan dan menjalankannya secara murni dan konsekuen."Harapannya ya, kita bersama-sama, baik tua dan muda melestraikan nilai Pancasila secara sungguh-sungguh dengan menjalankannya," ujar Sirmadji, usai mengikuti Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di gedung negara Grahadi, Senin (1/10).

Penerapan nilai-nilai Pancasila menurut Sirmadji, harus selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi penyelenggara pemerintahan dan pembangunan. Agar hasil yang dicapai dapat sungguh-sungguh dirasakan masyarakat.

"Kalau dijalankan dengan sungguh-sungguh, Pancasila akan lesrati. Kalau diingkari maka akan mendatangkan petaka," lanjut Sirmadji, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur itu.

Pancasila, tambah Sirmadji, tidak lagi dirongrong kekuatan politik atau ideologi tertentu, tapi lebih oleh berbagai permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sendiri. Nilai-nilai Pancasila juga dirasakan mulai hilang dan luntur, khususnya dikalangan pelajar. Maraknya aksi tawuran pelajar, kekerasan berbasis agama dan kesukuan, serta kemiskinan yang masih tinggi, merupakan contoh belum terlaksananya cita-cita serta semangat Pancasila.

"Artinya hingga kini masih banyak ketimpangan-ketimpangan di tengah masyarakat, kesenjangan masih menganga, perbedaan antar wilayah, kekuatan asing yang masih sangat mendominsai perekonomian kita, banyak petani yang masih mengeluh, layanan

Page 47: Kepemimpinan Trisakti

kesehatan yang masih sulit. Ini tantangan bagi kita, dimana spirit kesaktian Pancasila kita laksanakan dengan sebaik-baiknya," urai Sirmadji. (ptr)

Pemilu Serentak Bisa Diterapkan pada 2019BAK gayung bersambut, pemilu serentak mulai mendapat respon dari berbagai pihak, tidak terkecuali dari anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arif Wibowo. Namun, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan ini pemilu serentak baik nasional dan lokal baru bisa diwujudkan pada 2019."Saat ini DPR sedang melakukan inisiasi terhadap perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Kami memberi masukan, bagaimana nantinya bisa membangun pemerintahan yang efektif dan stabil," ujar Arif dalam Dialog Interaktif DPD RI dengan tema 'Pemilu Nasional dan Lokal Serentak', di Jakarta, Jumat (18/9).

Pelaksanaan pemilu serentak bisa dilangsungkan pada 2019, lanjut dia, asalkan revisi UU tersebut bisa selesai pada akhir tahun ini. "Kami sedang memikirkan bagaimana cara pelaksanaan yang masuk akal," tambah dia.

Pelaksanaan pilkada serentak tersebut, lanjut dia, akan memancing perdebatan tentang tata cara pelaksanaan pilkada dan pemilu nasional. "Pemilu yang dimungkinkan untuk 2014 adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara serentak. Ini memungkinkan karena sekarang masih ada 18 bulan sebelum pemilu," tuturnya.

Sedangkan untuk pemilu lokal dan nasional baru bisa terwujud pada 2019. Hal tersebut, ditambahkan dia, karena perlunya waktu untuk melakukan transisi kepemimpinan dan penyesuaian lainnya.

Pemilu serentak, kata Arif, juga membawa dampak positif dan negatif bagi parpol. Sisi positif karena parpol yang kalah mempunyai banyak waktu untuk memperbaiki diri, sedangkan negatifnya pemilu serentak merupakan hal yang berat bagi parpol yang kalah.

Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai pelaksanaan pemilu serentak penting untuk segera diwujudkan. Menurut Hadar, ada dua model pelaksanaan pemilu serentak. Pertama adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden yang dilakukan serentak. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah yang juga dilakukan secara serentak. (pri/*)

Ajak Awasi Titik Kritis Tahapan Pemilu

Page 48: Kepemimpinan Trisakti

DEWAN Pimpinan Pusat PDI Perjuangan mengimbau seluruh kader partai di daerah ikut mengawasi proses pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan. Imbauan itu untuk memastikan pelaksanaan pemilu 2014 berjalan jujur dan adil.

Menurut Arif Wibowo dari Badan Pemenangan Pemilu DPP PDI Perjuangan, setidaknya ada 4 tahapan pemilu yang rawan terjadi kecurangan. Yakni, tahap penetapan daftar pemilih tetap (DPT), daftar caleg, pemungutan suara, dan penghitungan suara. "Menurut saya, inilah tahap-tahap yang kritis dan berpotensi terjadinya kecurangan," kata Arif Wibowo, kemarin.

Kekhawatiran Arif beralasan. Tengok saja jumlah sengketa pemilu yang terjadi selama 2 pemilu terakhir yang meningkat pesat seperti data dari Litbang Infokom DPD berikut ini. Pada pemilu 2004 dengan partai peserta pemilu sebanyak 24 telah terjadi sengketa pemilu yang masuk di meja Mahkamah Konstitusi sebanyak 476 kasus. Sedangkan pada Pemilu 2009 yang diikuti 44 partai politik menelurkan sengketa sebanyak 722 kasus.

Lantaran itu pria yang juga anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jatim IV ini berharap agar partai segera menyiapkan tim pengawasan pemilu dari internal partai. "Tim pengawasan bisa dibentuk hingga tingkat kabupaten dan kota, bahkan hingga tingkat kecamatan bila perlu," tambahnya.

Tahap Pendaftaran

KPU pusat dalam rilis resminya hari Senin (10/9) menyebutkan, dari 46 partai yang mendaftarkan diri, 34 partai dinyatakan terdaftar. Sedangkan 12 partai rontok lantaran tidak memenuhi persyaratan pendaftaran yang mencakup 17 item.

KPU juga memberikan tenggat waktu hingga 29 September kepada 34 partai itu untuk melengkapi dokumen persyaratan sebagai syarat melaju ke tahap berikutnya, yakni verifikasi administrasi. (her) Pancasila

PDI Perjuangan Gugat 29 UUPARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan segera mengajukan gugatan uji materi terhadap 29 undang-undang yang dinilai bertentangan dengan Pancasila."Ada 29 UU yang bertentangan dengan Pancasila. PDI Perjuangan akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi," kata Ketua Bidang Keanggotaan, Rekrutmen, dan Kaderisasi DPP PDI Perjuangan Idham Samawi, Minggu (9/9) di Yogyakarta.

Idham prihatin karena Pancasila sebagai ideologi bangsa akhir-akhir ini dikesampingkan. Ia mencontohkan, berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebanyak 86 persen mahasiswa di lima perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa menolak Pancasila.

Page 49: Kepemimpinan Trisakti

"Ini sangat memprihatinkan. Anak-anak tidak mengenal Pancasila bukan kesalahan mereka, tetapi kesalahan kita yang tidak pernah lagi menanamkan nilai-nilai Pancasila," katanya.

Menurut Idham, UU yang akan diajukan uji materi ke MK dinilai tidak berpihak pada masyarakat dan berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Beberapa UU itu adalah UU tentang Perbankan, UU tentang Penanaman Modal, dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Idham menambahkan, tidak semua pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pancasila. Akan tetapi, ada pasal-pasal tertentu yang perlu direvisi agar tidak bertentangan dengan Pancasila.

Menuju kepunahan

Sementara itu, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, penjelajah Nusantara dalam rangka penegakan Pancasila, Liberius Langsinus, membagi pengalamannya setelah 11 bulan mengelilingi 33 provinsi di Indonesia. Ia mengatakan, mahasiswa dan pelajar, elite politik, pemerintah, dan legislatif telah melupakan nilai Pancasila. "Saat mengunjungi beberapa perguruan tinggi, sekolah menengah dan sekolah dasar di Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat, generasi muda tidak tahu melafalkan sila-sila Pancasila. Di Halmahera dan Merauke, Papua juga sama," kata Langsinus.

Putra Sikka ini bertolak dari Ende, Flores, 1 Oktober 2011, dengan titik berangkat di bawah pohon sukun, tempat mantan Presiden Soekarno merenungkan sila-sila Pancasila. Ia dilepas Bupati Ende.

Pada acara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Cris Boro Tokan, mengatakan, Pancasila dicetuskan untuk menyeimbangkan kekuasaan kapitalisme dan sosialisme yang saling bertegangan. (ABK/KOR) A.P. Batubara (75) dalam peluncuran bukunya menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki rencana jangka panjang terhadap pembangunan lingkungan hidup. Sangat jauh dari prestasi penting di bidang lingkungan hidup sehingga tidak mengherankan bila kualitas lingkungan hidup bangsa ini terus merosot.

Lebih jauh A.P. Batubara--peraih penghargaan lingkungan hidup internasional Sahwali Award pada tahun 1997--menyatakan bahwa SBY tidak pernah membicarakan, apalagi membahas kebijakan lingkungan hidup secara khusus. Bahkan, terkesan tidak menganggap penting urusan lingkungan hidup.

"SBY hanya membahas isu lingkungan hidup ketika ada momen tertentu, misalnya, Hari Bumi tiap 22 April, Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tiap 5 Juni, atau menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Pendek kata, jika tidak ada momen, SBY mengunci mulutnya untuk membahas lingkungan hidup," katanya kepada anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI

Page 50: Kepemimpinan Trisakti

Perjuangan, Dewi Aryani.

Ia mengatakan, "Kualitas air, udara, tanah, dan lingkungan hidup kita terus memburuk. World Bank menaksir setiap tahun terjadi pengurangan wilayah hutan (deforestasi) antara 700.000--1.200.000 hektare. Artinya, setiap tahun kita kehilangan hutan seluas 2.461.538 kali lapangan sepak bola."

Seperti diumumkan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), kualitas air sungai di 32 provinsi di Indonesia juga jelek, yakni sebanyak 82 persen tercemar berat, 13 persen tercemar sedang, 3 persen tercemar ringan, dan hanya 2 persen yang memenuhi Kriteria Mutu Air Kelas II. Begitu pula World Health Organization (WHO) menyatakan mutu udara di kota-kota besar Indonesia kebanyakan tercemar polusi udara, kecuali Pekanbaru.

Jalan keluar dari kerusakan lingkungan hidup ini, menurut A.P. Batubara, adalah ideologi pembangunan lingkungan hidup. Anggota Dewan Pertimbangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan ini menjelaskan bahwa aneka rupa kerusakan lingkungan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan kemauan politik (political will) dan kebijakan pemerintah (government policy).

Kerusakan lingkungan hanya dapat ditanggulangi jika pemerintah dan masyarakat menganut ideologi pembangunan lingkungan hidup. Maknanya adalah lingkungan hidup mesti terus-menerus dibangun, bukan hanya dipelihara dan dilestarikan.

Lingkungan hidup harus diposisikan sebagai salah satu leading sektor dalam mengelola berbagai aspek di Indonesia. Berbagai negara sudah menerapkan "sustainable environment", sementara di Indonesia masih sebatas wacana. Environment sebagai salah satu "leading sector" pembangunan ke depan karena "sustanaible environment" adalah kunci dari "sustanaible energy sources and sustanaible food sources".

Batubara mengutarakan bahwa pembangunan lingkungan hidup itu bukan hanya urusan fisik, melainkan juga nonfisik. Kebersihan batin, ketaatan beribadah sesuai dengan agama masing-masing, antikorupsi, suasana kerja yang menyenangkan dan membangkitkan semangat, juga bagian dari lingkungan hidup yang perlu terus-menerus dibangun.

"Mengapa masalah nonfisik juga penting? Sebab, jika lingkungan nonfisik tidak dibangun, dia akan merusak lingkungan fisik," ujarnya.

Tanpa kebersihan batin dan sikap antikorupsi, menurut dia, pembangunan fisik lingkungan yang sudah baik akan dirusak oleh nafsu serakah untuk korupsi. Anggaran dinas kebersihan di pemerintah daerah akan disunat, dimasukkan ke kantong pribadi. Anggaran pemeliharaan sungai juga akan disikat. Begitu pula, anggaran sosialisasi mengenai pembangunan lingkungan hidup bisa raib, dipindahkan ke saku para pegawai yang mengelolanya, katanya.

Akibat tidak adanya pemihakan pada lingkungan hidup itu, SBY dan jajaran menterinya

Page 51: Kepemimpinan Trisakti

tidak mengetahui kejanggalan dan ketidaksinkronan kebijakan mengenai lingkungan hidup. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025 tidak sinkron dengan Prioritas Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010--2014.

Ketidaksinkronan itu, menurut dia, kemudian berlanjut antara RPJMN dan Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) 2010--2014, yang pada gilirannya memunculkan kejanggalan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) KLH. Masalah ini dijelaskan dalam buku yang diluncurkan A.P. Batubara.

Sebagai tokoh senior PDI Perjuangan, A.P. Batubara menuntut pemerintah SBY menyusun perencanaan pembangunan lingkungan hidup yang terarah dan bekerja lebih keras mengimplementasikan rencana tersebut, bukan hanya berwacana.

Sumber: detik, Antara, 1-4 September 2012

Di Mana Peran Negara?PERINGATAN kemungkinan krisis pangan pada tahun depan sudah dikeluarkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dunia sudah terjadi belakangan ini. Kita terus menggugat persiapan negara mengantisipasi krisis pangan itu.Krisis pangan bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak zaman kerajaan dan penjajahan, krisis pangan sudah terjadi. Zaman kemerdekaan hingga zaman pembangunan pun krisis pangan berkali-kali terjadi.

Kita perlu mempelajari penyebab krisis pangan itu. Kita pun perlu belajar bagaimana negara berperan dalam setiap krisis pangan. Ada satu krisis pangan terjadi pada 1948 hingga beberapa tahun kemudian yang menarik untuk dipelajari terkait dengan peran negara itu. Krisis pada waktu itu disebabkan kondisi negara yang kocar-kacir akibat Belanda masih ingin bercokol di negeri ini. Urusan produksi pangan pun terabaikan.

Meski demikian, sejumlah upaya dilakukan. Impor beras terpaksa dilakukan. Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan Ordonansi Beras 1948 Nomor 253. Ordonansi ini merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk mencegah "kaum pentjari untung" yang tak sah. Pada waktu itu, pedagang hanya boleh menyimpan beras sebanyak 1.000 kg dalam waktu enam bulan, dari April sampai Oktober. Pelarangan ini diharapkan bisa mencegah penimbunan. Pedagang kecil dan petani pun tidak boleh menyimpan gabah atau beras secara berlebihan.

Larangan itu ternyata pada praktiknya tidak pernah ditaati. Maka pada tahun 1951, pemerintah melarang penimbunan itu sepanjang tahun.

Saat itu, pemerintah memberi kekuasaan lebih pada Het Voedingsmiddelenfons atau Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) untuk menekan kemungkinan spekulasi.

Page 52: Kepemimpinan Trisakti

Bahkan, JUBM berhak menanyai orang yang diduga menyimpan beras di atas ketentuan. Yayasan ini juga berhak menyita beras yang berlebihan. Namun, lembaga ini membayar beras yang disita sesuai dengan harga patokan.

Saat ancaman krisis pangan di depan mata, sangat wajar apabila masyarakat bertanya soal persiapan pemerintah. Sangat wajar pula apabila rakyat bertanya bagaimana peran pemerintah untuk menanggulangi krisis pangan jika terjadi.

Ordonansi Beras 1948 menunjukkan kesungguhan pemerintah masa itu untuk menangani krisis pangan. Efektivitas peraturan itu mungkin bisa dipertanyakan. Namun apa pun penilaiannya, terlihat ada upaya serius pemerintah untuk menangani krisis pangan melalui penegakan hukum.

Belajar dari ordonansi itu, menghadapi kemungkinan krisis pangan, pemerintah perlu bersiap secara serius, termasuk menyiapkan perangkat hukum untuk mencegah penimbunan dan kejahatan perdagangan. (ANDREAS MARYOTO) Udar Rasa

Siapakah Pemimpin Masa Depan?"PERANG sudah selesai, sekarang sudah merdeka, saatnya menata negara dan melayani rakyat lewat politik, tetapi kalau kamu mau jadi politikus, harus punya mental politik, kalau tidak punya mental politik, ya, hanya jadi benalu negara."Ucapan Soegijapranata pada periode awal merdeka, meski sederhana, terasa begitu aktual dan menggugat pikiran saya, terlebih di situasi bulan Agustus

ini ketika bendera-bendera Merah Putih di jalanan mulai ditawarkan.

Gugatan sederhana Soegija di atas mengingatkan pertanyaan Jakob Oetama di diskusi di kelompok "Kongres Kebangsaan", dua minggu lalu: "Siapakah pemimpin kita di masa depan?"

Pertanyaan ini muncul di tengah diskusi tentang perlunya persemaian pemimpin-pemimpin di sejumlah wilayah Indonesia dalam beragam ruang sosial, politik, partai, dan organisasi masyarakat di tengah dunia politik media yang serba idol.

Bagi saya, pertanyaan Jakob Oetama terasa memberi gugatan pada situasi dan kondisi hari ini dan juga pekerjaan rumah yang tak gampang untuk Pemilu 2014, terlebih tuntutan kepada pemimpin dengan mental politik agar tidak jadi benalu negara.

Hary Tanoe, pemilik media televisi, dalam sebuah iklan layanan masyarakat menyebut bahwa dirinya akan terjun ke dunia politik untuk kesejahteraan bangsa ini. Inilah iklan pertama dalam sejarah Indonesia yang mengisyaratkan bahwa Pemilu 2014 akan menjadi era persemaian pemimpin di tengah relasi korporasi teknologi media, bisnis, dan politik. Sebuah era politik yang terbuka dengan konfigurasi kepentingan yang kompleks. Sebuah

Page 53: Kepemimpinan Trisakti

alfabet baru politik Indonesia.

Gejala di atas mengingatkan saya pada catatan tentang Manifesto Posthuman: "kaum humanis melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk yang berbeda. Kaum Posthuman memandang diri mereka sebagai bagian dari dunia teknologi yang luas. Teknologi akan bermanfaat sekaligus merusak tergantung sampai batas tertentu, pada siapakah dan apakah Anda".

Alfabet politik baru ini menjadikan politik Indonesia akan dipenuhi paradoks yang saling bertentangan sekaligus menghidupi: dunia serba teknologi media versus dunia serba tradisi lisan, dunia serba rasional vs dunia serba magis, dunia serba mental vs dunia serba material, dunia serba analisis vs dunia ramalan, dunia serba partisipasi vs dunia serba bayaran. Namun, harus dicatat, dunia serba paradoks senantiasa berwajah dua, di satu sisi melahirkan kepemimpinan baru sesuai tuntutan zaman, di sisi lain melahirkan kekacauan serba ekstrem sekaligus partisipasi warga dalam beragam bentuk tanpa panduan nilai kepemimpinan

Simak tontonan di televisi. Masyarakat bahkan tidak bisa membedakan antara pelawak dan pemimpin agama, bahkan bisa terjadi tontonan jadi tuntunan dan tuntunan hanya jadi tontonan. Bahkan, lebih ironis lagi, masyarakat tidak paham, panduan nilai pemimpin agama ataukah iklan produk komersial.

Harap mafhum, pada gilirannya para pemimpin politik hanya jadi tontonan, tetapi kehilangan tuntunan. Sementara tontonan hanya jadi pemimpin makna sosial baru dari ruang kemerdekaan dangkal, vulgar, konsumtif yang banal sebagai katarsis kehidupan yang tak berhenti. Sebuah kemerdekaan yang kehilangan panduan etika demokrasi serta pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat dan kritis, sebuah muara yang tandus bagi lahirnya kepemimpinan yang nantinya tidak jadi benalu negara.

"Apa arti merdeka jika kita tidak bisa mendidik diri sendiri." inilah catatan Soegijapranata pascaawal kemerdekaan ketika daerah-daerah di Indonesia penuh penjarahan dan kekerasan disebabkan hilangnya panduan kepemimpinan. Bagi saya, kata "mendidik diri sendiri" terasa menjadi isyarat bahwa persemaian pemimpin di sejumlah wilayah dan dalam beragam ruang lingkup menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini, di tengah beragam paradoks yang dipenuhi rasa kehilangan besar panduan kepemimpinan.

Garin Nugroho

Pramono: Belum Saatnya Pilkada SerentakWAKIL Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pramono Anung menilai belum saatnya pemerintah menerapkan pemilu kepala daerah serentak di seluruh wilayah Indonesia.

Page 54: Kepemimpinan Trisakti

Menurut Pramono, biarkan Pilkada secara langsung berjalan untuk beberapa periode kedepan."Pilkada itu dijalankan dulu saja seperti sekarang. Kemudian baru diatur berikutnya. Ini kan baru satu periode, memasuki periode kedua pilkada langsung. Supaya ada proses pendewasaan kepada pemilih untuk memilih calonnya," kata Pramono di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (7/8/2012).

Pramono mengatakan, dirinya tidak menolak wacana pelaksanaan pilkada serentak. Menurut dia, di negara maju seperti Amerika Serikat saja memerlukan hingga lima kali pilkada langsung baru mengubah sistemnya menjadi serentak.

"Kita kemudian di awal sudah mau mencoba untuk menyerentakkan pilkada. Pasti konstraksi ataupun benturannya akan besar. Ini bukan persoalan siap tidak siap. Tapi persoalannya kita kan masih melihat proses dan pendidikan demokrasi kita itu belum tumbuh menjadi demokrasi yang dewasa," kata politisi PDI Perjuangan itu.

Pramono menambahkan, pemerintah juga tak perlu menunda pilkada yang masa jabatan kepala daerahnya habis di 2014 . Menurut dia, pilkada di daerah pasti bisa berjalan meskipun di tahun yang sama digelar pemilu legislatif dan pemilu presiden.

"Buat apa ditunda? Tidak akan mengganggu pileg dan pilpres. Kita kan sudah punya pengalaman di periode pertama yang lalu. Pada waktu 2009 juga waktunya berdekatan. Kenyataannya harus diakui bahwa demokrasi kita di tahun 2009 berjalan dengan baik, meskipun dengan berbagai perbedaan. Saya harap ini juga terjadi di 2014," katanya. (*)

Kemandirian dan Kedaulatan PanganOleh Siswono Yudo Husodo

KEKHAWATIRAN akan terjadi krisis pangan sudah lama ada. Thomas Malthus menyebutkan bahwa penduduk akan bertambah menurut deret ukur dan produksi makanan bertambah sesuai deret hitung (1798). Dunia akan mengalami kekurangan pangan.Teori Malthus tidak menjadi kenyataan karena jutaan hektar lahan pertanian dibuka dan teknologi produksi berkembang pesat. Program keluarga berencana juga berhasil, bahkan ada negara yang pertumbuhan penduduknya negatif.

Untuk menjaga dunia dari krisis pangan parah, Deklarasi Roma hasil Konferensi Pangan 1996, yang kemudian jadi Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) di bidang pangan, menargetkan jumlah penduduk dunia yang kelaparan berkurang dari 800 juta jiwa tahun 2002 menjadi 400 juta tahun 2015. Namun, tahun 2010 jumlah orang yang kelaparan justru menjadi 1 miliar.

Tampak jelas, masalah peningkatan kebutuhan pangan karena penduduk dunia dan konsumsi per kapita meningkat belum teratasi. Penduduk dunia tahun 2012 sekitar 7

Page 55: Kepemimpinan Trisakti

miliar jiwa, bertambah 1 miliar dari tahun 1999. Ke depan, penduduk dunia akan bertambah 1 miliar setiap 10 tahun dan pangan akan menjadi masalah dunia.

Kondisi pangan Indonesia ke depan menjadi rawan karena pertambahan penduduk 1,3 persen/tahun. Dengan meningkatnya kesejahteraan, rakyat Indonesia menuntut pangan yang lebih banyak dan berkualitas. Tahun 1999, sebanyak 25 persen penduduk Indonesia adalah kelas menengah dengan pengeluaran 2-20 dollar AS/hari. Tahun 2012, kelas menengah ini menjadi 56,5 persen dari 237 juta penduduk.

Ancaman krisis pangan nasional semakin bertambah karena adanya pemanasan global. Musim panas tahun ini, Amerika Serikat, produsen pangan terbesar dunia, mengalami kekeringan di 60 persen wilayah pertaniannya. Dampaknya memengaruhi persediaan pangan dunia sehingga harga melonjak.

AS menghasilkan jagung 400 juta ton/tahun (Indonesia 18 juta ton), kedelai 16 juta ton/tahun (Indonesia 600.000 ton), dan gandum 56 juta/ton. China yang merupakan produsen sekaligus konsumen besar pangan juga menurun produksinya akibat banjir besar. Maka, Indonesia harus bersaing di pasar dunia yang pasokannya menipis.

Bangun kemandirian

Dalam suasana yang demikian, Indonesia yang di wilayah tropis dengan 1,9 juta kilometer persegi daratan, 5,8 juta kilometer persegi lautan, artinya bisa melakukan budidaya sepanjang tahun, harus membangun kemandirian pangan. Artinya mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan rakyatnya.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan potensi sumber daya alam melimpah, kita perlu menyadari bahwa negara lain ingin memanfaatkan Indonesia sebagai sumber bahan mentah sekaligus pasar bagi produksi negaranya. Oleh karena itu, menjadi penting membangun kedaulatan ekonomi, termasuk pangan, dalam arti mengatur sendiri apa yang terbaik bagi negara dan bangsa. Tidak didikte kepentingan luar.

Perlu kita akui, kebijakan pangan Indonesia untuk waktu yang lama hingga sekarang telah salah arah. Kecenderungan yang ada adalah berorientasi jangka pendek, instan, dan terkesan demi popularitas, yang dalam jangka panjang merugikan.

Dari negara eksportir sapi sampai tahun 1970-an, hari ini kita mengimpor sapi setara 900.000 ekor/tahun, termasuk daging. Dari eksportir gula terbesar sebelum merdeka, kini importir 40 persen kebutuhan nasional. Dari swasembada garam sampai tahun 1990, kini impor 50 persen dari kebutuhan nasional.

Dari swasembada kedelai sampai 1995, sekarang mengimpor 70 persen dari kebutuhan nasional. Impor susu terus meningkat, sekarang mengimpor 90 persen kebutuhan susu nasional.

Lebih jauh lagi, buah-buahan dan sayur-sayuran pun angka impornya terus bertambah.

Page 56: Kepemimpinan Trisakti

Defisit neraca perdagangan pangan dan hortikultura terus naik.

Sebenarnya, harga tinggi adalah instrumen paling efektif untuk mendorong peningkatan produksi. Namun, di Indonesia, bila harga pangan tinggi, pemerintah justru melakukan operasi pasar untuk menekan harga. Harga pangan tidak boleh naik, sementara BBM dan biaya hidup meroket.

Saya yakin rakyat Indonesia siap menerima konsekuensi yang berat dari satu kebijakan sepanjang menjanjikan masa depan yang baik. Rakyat bisa menerima ukuran tempe yang mengecil karena harga kedelai naik asal pada saat yang sama pemerintah mendorong perluasan areal tanam kedelai.

Saat Indonesia swasembada kedelai tahun 1985, luas areal tanamnya 1,6 juta hektar dengan bea masuk di atas 30 persen. Hari ini, areal tanam kedelai tinggal 600.000 hektar. Dengan bea masuk kedelai 0 persen, areal tanam akan menyusut lagi.

Petani seolah dihibur ketika pemberlakuan bea masuk kedelai 0 persen diiringi dengan pernyataan pemerintah untuk segera memperluas areal tanam kedelai. Yang paling diuntungkan dengan bea masuk 0 persen adalah importir kedelai. Bukan tak mungkin, hiruk pikuk ini sengaja diciptakan untuk menekan pemerintah.

Pola seperti ini bisa terjadi pada komoditas lain, seperti gula, daging, gandum, dan susu. Kalau harga kedelai naik Rp 1.000/kg dan konsumsi/kapita/tahun sekitar 8 kilogram, dampaknya per hari Rp 22. Berbeda dengan rokok. Naik Rp 1.000/bungkus, habis sehari.

Inti membangun kedaulatan pangan adalah keberanian kita melakukan pilihan-pilihan yang mungkin pada jangka pendek terasa pahit, tetapi membuahkan kondisi yang baik pada jangka panjang. India yang sekarang menjadi eksportir gula, puluhan tahun menjaga harga gula yang tinggi di dalam negeri. Ini untuk merangsang penanaman tebu dan berkembangnya pabrik gula.

Thailand, walaupun produksi berasnya surplus 11 juta ton/tahun, tidak membiarkan harga beras dalam negeri jatuh. Negara membeli beras petani untuk menjaga harga tetap tinggi dan petani terangsang meningkatkan produksi.

Merosotnya produksi pangan tak dapat sepenuhnya disalahkan kepada Kementerian Pertanian, karena terlalu banyak kebijakan di lembaga pemerintah lain.

Kementerian Perdagangan yang merasa bertanggung jawab pada tersedianya pangan yang murah mengambil kebijakan praktis sektoral: membanjiri pasar dengan barang impor.

Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan di negara yang angkatan kerjanya 44 persen di sektor pertanian hanya mengalokasikan kredit untuk pertanian kurang dari 6 persen.

Pemerintah daerah dibiarkan menjual sawah beririgasi teknis yang dibiayai dengan utang

Page 57: Kepemimpinan Trisakti

luar negeri menjadi real estat.

Kementerian Kehutanan juga harus mempermudah pelepasan areal penggunaan lain untuk petani tanaman pangan dan hortikultura. Yang kita lihat sekarang, jutaan hektar dilepas untuk perkebunan besar yang mayoritas milik asing.

Tentu Kementerian Pertanian punya andil, terutama dalam penyaluran anggaran. Tahun 2012 sekitar Rp 20 triliun. Harusnya jumlah itu dapat digunakan untuk memberdayakan petani dan meningkatkan produktivitas aneka produk pertanian.

Melihat luasnya masalah, maka semua pihak yang terlibat perlu bergerak bersama membangun kemandirian dan kedaulatan pangan. Presiden RI sebagai dirigennya. Semoga. (*)

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

Sumber: kompas raksi PDI Perjuangan DPRD JatimDesak Pemprov Jatim Tolak RPP Tembakau

FRAKSI PDI Perjuangan mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tembakau. Desakan itu disampaikan terbuka dalam sidang paripurna di gedung DPRD Jatim, Senin (23/7).Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur, Sugiono, mengatakan, fraksinya tegas menolak RPP Tembakau. Sebab, RPP ini dinilai tidak memihak petani tembakau dan rakyat kecil yang bekerja di sektor industri tembakau dan cengkeh dari hulu hingga hilir.

"Kami juga minta pemerintah provinsi melakukan hal yang sama, yakni menolak RPP Tembakau, demi nasib warga Jawa Timur yang menjadi petani dan buruh pabrik rokok," tandas Sugiono, saat menyampaikan pemandangan umum fraksi terhadap Raperda tentang Perubahan APBD Jawa Timur tahun 2012.

Menurut Sugiono, RPP ini akan mematikan rokok kretek yang merupakan produk dalam negeri. Dan sebaliknya, RPP ini justru menguntungkan asing karena memperbesar impor rokok putih dari luar negeri. Padahal, setidaknya ada 6 juta petani dan buruh tani tembakau, 600.000 buruh linting rokok dan 30,5 juta tenaga kerja di Indonesia yang hidupnya tergantung pada industri kretek.

Dalam RPP tersebut, pemerintah akan mengatur pengujian kadar tar dan nikotin yang muaranya mengarah pada kemungkinan hanya memberi jalan masuknya produk rokok dari luar negeri. Kata Sugiono, tembakau lokal pasti tidak akan mampu memenuhi ambang batas terbawah kadar nikotin yang akan ditetapkan dalam RPP ini.

Page 58: Kepemimpinan Trisakti

Pihaknya mengingatkan, saat ini tak mudah lagi membuat regulasi anti-tembakau, dan pasti pula menimbulkan perlawanan dari kalangan buruh dan petani. Regulasi anti-tembakau itu juga dinilai tidak efektif dalam altar perekonomian. (pri)

Penjelasan perempuan yang akrab disapa Oneng itu untuk menjawab pernyataan seorang buruh asal Gresik saat sesi tanya jawab. Buruh itu mengatakan, pemerintahan di era Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai biang terjadinya perbudakan buruh karena melahirkan aturan outsourcing yang tak kunjung sirna.

"Mengapa sekarang PDI Perjuangan getol mengampanyekan penghapusan outsourcing. Padahal di dalam Undang-undang 13 tahun 2003 terdapat pasal yang mengatur outsourcing. Undang-undang ini diterbitkan pemerintahan Megawati. (Jadi) Apakah kampanye hapus outsourcing sebagai bentuk 'penebusan dosa' dari PDI perjuangan?" kata buruh itu.

Rieke tak langsung menjawab, namun balik bertanya kepada para buruh. "Apakah outsourcing hanya ada di zaman Presiden Megawati? Apakah kerja kontrak hanya ada di zaman Presiden Megawati?" Suasana hening. Tak seorang buruh pun menjawab. Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. "Tidak!" jawab buruh serempak.

UU 13, kata Rieke, dibuat di era Megawati untuk mengatur jenis pekerjaan tertentu dengan batas waktu tertentu pula (singkat) dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Catatannya, pekerjaan yang diserahkan ke perusahaan lain terpisah dari pekerjaan utama.

"Misalnya jenis pekerjaan cleaning service. Itupun ada jangka waktunya. Sebelum Pemerintahan Megawati, semua jenis pekerjaan boleh dialihkan ke perusahaan lain. UU 13 diterbitkan untuk membatasi itu, untuk menghapus perbudakan terhadap buruh," terangnya.

Namun Rieke bersepakat jika praktik yang terjadi saat ini adalah berlangsungnya sistem tenaga kerja outsourcing. Perusahaan menyerahkan semua jenis pekerjaannya kepada perusahaan pengerah jasa pekerja. "Jadi kalau harus dicari dimana kesalahannya adalah bagaimana pengawasan yang dilakukan dinas tenaga kerja, bukan undang-undangnya yang salah," kata Rieke.

Pengaburan makna sistem kerja outsourcing menjadi sistem tenaga kerja outsourcing cuma proses pembusukan politik belaka. Isu berembus kuat saat pemilihan presiden, 2004 dan 2009.

"Megawati yang jadi presiden cuma 2,5 tahun saja, sudah membuat banyak undang-undang untuk kebaikan rakyat. Undang-undang untuk buruh dan Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya. Kalau sekarang, lebih dari 7,5 tahun, kawan-kawan bisa lihat sendiri kan hasilnya," ungkap Rieke.

Indonesia Menggugat dan MARHAEN

Page 59: Kepemimpinan Trisakti

Di akhir dialog Rieke menyerahkan satu paket cenderamata berupa buku Indonesia Menggugat dan Majalah MARHAEN edisi Nasionalisme, Kebangkitan dan Kemiskinan kepada perwakilan buruh. Majalah terbitan Badan Infokom DPD PDI Perjuangan Jatim itu mengupas bentuk-bentuk pelanggaran outsourcing yang dituangkan dalam reportase berjudul Mengepung Pelanggar Outsourcing.

"Kalau buruh ingin bebas dari penghisapan, belajarlah dari Bung Karno. Silakan dibaca. Oneng yang o'on saja membaca koq," seloroh Oneng. (her) Pangan

Panen Padi Melimpah, Indonesia Malah ImporPANEN padi tahun 2012 diperkirakan meningkat tajam. Akan tetapi, pemerintah malah berencana mengimpor beras. Rencana impor ini dilakukan di tengah panen padi yang melimpah di sejumlah daerah.Informasi jumlah beras yang diimpor masih belum diketahui secara persis hingga Kamis (19/7). Namun, impor beras itu, di antaranya, akan dibeli dari Kamboja. Di situs Oryza News, Kementerian Perdagangan Kamboja menyebutkan, Indonesia akan membeli beras dari Kamboja sebanyak 100.000 ton. Nota kesepahaman akan ditandatangani pada Agustus.

Kabar rencana impor ini mengagetkan karena pada Maret lalu Menteri Pertanian Suswono mengatakan tahun 2012 tidak ada impor beras. Apalagi pengadaan beras oleh Perum Bulog tahun ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.

Pengadaan beras tahun ini, hingga Juli, mencapai 2,5 juta ton dan ditargetkan pada akhir 2012 mencapai 3 juta ton. Tahun lalu, pengadaan beras hanya mencapai 1,8 juta ton.

Seusai rapat kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, secara umum ketersediaan bahan kebutuhan pokok cukup. Stok beras di Perum Bulog lebih dari 1 juta ton.

Rencana impor ini dikritik karena Rabu lalu Dewan Ketahanan Pangan bertekad untuk swasembada pangan. Dewan ini juga telah memberikan penghargaan kepada daerah dengan produksi beras meningkat.

"Tahun ini kita, kan, surplus, tetapi kok malah impor. Ada apa ini? Baru kemarin kita menyaksikan ada 10 provinsi dan puluhan kabupaten yang menerima penghargaan karena berhasil meningkatkan produktivitas beras. Namun, mengapa tiba-tiba ada kabar impor beras," kata pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Prof Mochammad Maksum.

Maksum heran dengan rencana impor itu karena data yang ada juga menunjukkan

Page 60: Kepemimpinan Trisakti

produksi padi tahun ini lebih bagus dibandingkan dengan tahun lalu. "Saya berpendapat, kita tidak perlu impor. Tidak ada alasan impor karena data yang ada menunjukkan peningkatan produksi," katanya.

Beras melimpah

Rencana impor dinilai aneh karena panen melimpah di sejumlah tempat. Musim tanam kedua juga mulai terjadi di beberapa tempat. Tahun lalu musim panen kedua tak banyak terjadi.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, stok beras melimpah karena pasokan dari petani dan penggilingan padi terus mengalir. Musim kemarau yang basah di Banyuwangi menyebabkan petani masih bisa menanam dan panen padi.

Berdasarkan data dari Dinas Perdagangan Kabupaten Banyuwangi, stok beras di kabupaten itu yang tersimpan di penggilingan padi ataupun gudang-gudang beras mencapai 13.630 ton. Jumlah itu diperkirakan cukup untuk kebutuhan warga selama 6,5 bulan.

Hary Cahyo, Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Banyuwangi, mengatakan, cadangan beras berasal dari daerah lokal Banyuwangi. Selain diperuntukkan bagi konsumsi lokal, selama ini beras banyuwangi juga dikirim ke sejumlah daerah lain, antara lain Surabaya dan Bali.

Di Purwakarta, Jawa Barat, panen padi musim tanam gadu telah dimulai dan langsung memengaruhi penurunan harga gabah di tingkat petani. Hari Kamis, harga gabah kering giling Rp 4.200 per kilogram, turun Rp 300 dibandingkan dengan dua pekan lalu.

Dakim (68), Ketua Kelompok Tani Sari Mukti di Desa Cikumpay, Kecamatan Campaka, Kabupaten Purwakarta, mengatakan, panen telah berlangsung di sebagian persawahan mulai pekan ini. Namun, seiring dengan meluasnya area panen, harga gabah cenderung turun dan kini berkisar Rp 3.600-Rp 3.700 per kilogram gabah kering panen dan Rp 4.200 per kilogram gabah kering giling.

Aziz Jaelani (56), pedagang beras di Pasar Rebo, mengatakan, kestabilan harga beras dipengaruhi oleh panen yang mulai terjadi di sebagian daerah. Pasokan beras ke pasar terjamin di tengah kecenderungan naiknya permintaan. (WHY/NIT/MKN/MAR)

Sumber: kompas

Waktunya Arah Baru PembangunanPengantar Redaksi

Ekonomi Indonesia tahun 2011 tumbuh tinggi meskipun ada krisis keuangan di Eropa

Page 61: Kepemimpinan Trisakti

dan ekonomi Amerika Serikat belum pulih. Di sisi lain, muncul pertanyaan tentang kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut karena ada kecenderungan kesenjangan kesejahteraan yang melebar. Harian "Kompas" akhir Juni lalu kembali mengadakan diskusi panel ekonomi, kali ini bertema "Arah Baru Pembangunan Ekonomi Indonesia". Panelis adalah Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef; Arianto Patunru, peneliti di LPEM Universitas Indonesia (UI); Benny Soetrisno, pengusaha dan Staf Khusus Menteri Perindustrian; Hendri Saparini, anggota pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Shubham Chaudhuri, ekonom utama Bank Dunia di Jakarta; J Soedradjad Djiwandono, peneliti di S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dan profesor (emeritus) ekonomi UI; Thee Kian Wie, Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI; dan moderator Faisal Basri. Laporan dirangkum oleh Andreas Maryoto, Hamzirwan, Maria Hartiningsih, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Pieter P Gero, disajikan berikut ini serta di halaman 6 dan 7. PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat mematok target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2013 sebesar 6,8-7,2 persen dalam rapat yang membahas RUU APBN 2013. Optimisme itu dibangun setelah tahun 2011 ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen di tengah resesi ekonomi di zona euro dan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat.

Meskipun lemahnya pertumbuhan di dua pusat kegiatan ekonomi dunia tersebut memengaruhi kinerja ekspor Indonesia yang membuat neraca perdagangan minus pada Aril dan Mei lalu, ada banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan mengatakan, sumber pertumbuhan dari investasi yang tumbuh di atas 10 persen, konsumsi domestik, ekspor, dan peningkatan kualitas belanja pemerintah.

Dalam diskusi panel Kompas ada nada optimistis, ekonomi Indonesia dapat tumbuh bahkan di atas 8 persen asalkan sejumlah persyaratan dipenuhi. Namun, lebih dari sekadar pertumbuhan, pertanyaan terbesar yang harus dijawab pemerintah dan DPR adalah pertumbuhan seperti apa yang dikejar dan untuk tujuan apa.

Secara makro dan di mata internasional, Indonesia mencatat prestasi pembangunan meyakinkan. Indonesia menjadi negara demokrasi dan memberi otonomi daerah lebih luas, memiliki kekayaan alam berlimpah, ekonomi tumbuh di atas 6 persen di tengah melemahnya perekonomian global, dan menjadi anggota kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto terbesar (G-20). Dari sisi pengelolaan fiskal, Indonesia sangat hati-hati menerapkan defisit anggaran dengan tidak melebihi 3 persen produk domestik bruto (PDB).

Bila melihat lebih dalam, muncul kecenderungan-kecenderungan yang menuntut perhatian. Jumlah orang miskin turun menjadi 12 persen pada posisi Maret 2012 dan beralih masuk kategori "kelas menengah". Namun, hampir 40 persen kelas menengah tersebut konsumsinya di bawah 1,5 kali garis kemiskinan yang besarnya Rp 248.707 per kapita per bulan sejak Maret 2012.

Meskipun pembangunan juga melahirkan orang kaya, kesenjangan antara kaya dan miskin melebar dengan koefisien gini tertinggi sejak Indonesia merdeka, yaitu 0,41 (nilai nol menunjukkan pemerataan pendapatan sempurna dan nilai 1 terburuk). Posisi

Page 62: Kepemimpinan Trisakti

kelompok kelas menengah yang hampir miskin sangat rentan. Ada 55 persen rumah tangga miskin pada 2010 yang tidak masuk kategori miskin pada 2009. Satu dari empat orang Indonesia setidaknya pernah masuk kelompok miskin pada 2008-2010. Keadaan itu menyiratkan, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tetapi harus berkualitas.

Perlu kualitas

Kualitas pembangunan menjadi semakin penting demi menjawab penciptaan lapangan kerja, penurunan kemiskinan, dan masalah lingkungan. Dalam penciptaan lapangan kerja, meskipun angka pengangguran menurun, jumlah yang bekerja di sektor informal tetap tinggi, yaitu 62-65 persen. Di sisi lain, menurut Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini ada 493.000 sarjana menganggur. Hal ini menunjukkan belum ada arah jelas pembangunan dengan akibat sektor pendidikan dan industri tidak saling terkait.

Ekspor sebagai salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi masih didominasi komoditas mineral, batubara, dan migas. Ditambah hasil pertanian, terutama minyak sawit mentah, ekspor komoditas mencapai lebih 63 persen dari total nilai ekspor. Sementara ekspor produk manufaktur hanya 36,6 persen pada 2010. Dibandingkan dengan negara tetangga, ekspor barang manufaktur Malaysia 68,7 persen, Thailand 88,3 persen, dan Vietnam 50,3 persen.

Padahal, saat ini dan ke depan harga komoditas akan terus bergejolak. Ekspor komoditas akan tidak menguntungkan dari sisi nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja, selain menimbulkan biaya lingkungan yang seharusnya dimasukkan dalam biaya pembangunan.

Ke depan, pembangunan berwawasan lingkungan menjadi keharusan. Bukan hanya untuk mewariskan kekayaan Indonesia kepada generasi mendatang, melainkan juga memecahkan masalah kemiskinan, penyediaan pangan dan energi. Daripada dipakai menyubsidi bahan bakar, misalnya, dana APBN lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur.

Perlu arah baru

Indonesia memiliki pilihan- pilihan untuk menjawab ketimpangan distribusi hasil pembangunan, keberlanjutan pembangunan, dan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Setelah tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan luar biasa dalam kelembagaan ekonomi melalui liberalisasi dan desentralisasi. Namun, perubahan itu tidak didukung reformasi birokrasi, sistem hukum, dan kelembagaan politik. Hal itu memunculkan pemburu rente yang berkelindan dengan partai politik dan kekuasaan. APBN dan APBD jadi rebutan dan sumber korupsi. Akibatnya, biaya izin usaha di Indonesia, misalnya, lebih mahal daripada Timor Leste.

Dengan cara mengelola pembangunan seperti sekarang dan pertumbuhan ekonomi 6

Page 63: Kepemimpinan Trisakti

persen, Bank Dunia memprediksi pada 2030, saat bonus demografi Indonesia berakhir, PDB Indonesia hanya 3.583 dollar AS per kapita. Bila ekonomi tumbuh 10 persen pun, PDB per kapita hanya 7.243 dollar AS. Artinya, penduduk Indonesia akan menjadi tua sebelum sempat mentransformasi diri menjadi negara kaya dan Indonesia kehilangan peluang emas bonus demografi.

Merevitalisasi industri merupakan pilihan untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja formal. Industri manufaktur padat karya menyediakan pendapatan pasti, mempersempit kesenjangan jender karena menyerap banyak tenaga kerja perempuan, serta menyediakan pertumbuhan tinggi dan stabil karena keterkaitan hulu-hilir.

Revitalisasi itu menuntut sejumlah syarat. Pemerintah perlu memperjelas strategi industri yang mengaitkan hulu dan hilir, industri besar dan kecil, industri substitusi impor, serta insentif ekspor dengan instrumen lebih canggih.

Strategi industrialisasi harus mengaitkan dengan pendidikan dan pasar tenaga kerja yang sebagian besar berpendidikan SMP. Kepemilikan industri juga menjadi isu. Industri pangan, perkebunan sawit, dan perbankan, misalnya, sebagian besar dimiliki asing sehingga nilai tambah tidak tercipta di Indonesia.

Untuk mendukung industrialisasi, bank sentral tidak cukup hanya menjaga stabilitas moneter. Independensi bank sentral perlu didefinisi ulang agar juga dapat berperan sebagai agen pembangunan. (*)

Sumber: kompas Semangat "Laissez Faire" dalam RUU Perdagangan

Edy Burmansyah

DI tengah-tengah kecenderungan berbagai negara memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian, DPR dan pemerintah kita justru sepakat menyerahkan pengelolaan perekonomian pada mekanisme pasar.Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang kini tengah dibahas DPR secara jelas dan tegas mereduksi peran pemerintah terbatas hanya sebagai fasilitator. Ini sebuah peran sederhana sebagai penjaga malam (night watchmen state) bagi bekerjanya mekanisme pasar (laissez faire).

Semangat laissez faire tampak pada penjelasan umum dalam RUU tersebut, yang secara gamblang menyatakan bahwa rumusan UU Perdagangan ini merupakan pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran pemerintah di bidang perdagangan yang mengurangi peran dominannya sebagai regulator.

Perlindungan

Bagian lain yang menunjukkan semangat laissez faire pada RUU itu terdapat pada Pasal 2 Ayat 1 Huruf c dan e yang berbunyi: perdagangan diselenggarakan berdasarkan asas

Page 64: Kepemimpinan Trisakti

pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan perlakuan yang sama terhadap produk yang beredar di pasar dalam negeri.

Laissez faire menuntut perlakuan yang sama antara produk impor dan produk nasional yang diperdagangkan di pasar dalam negeri. Sederhananya, jika pemerintah memberikan fasilitas pada industri dalam negeri, fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri pesaingnya dari luar negeri.

Padahal, ditinjau dari berbagai aspek produsen lokal dengan produsen asing berada dalam posisi asimetris (tidak seimbang). Produsen asing jauh lebih unggul, baik dalam aspek permodalan, teknologi, jaringan distribusi, maupun harga jual produk.

Akibatnya, keberadaan RUU Perdagangan dapat mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha lokal, yang semestinya memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang.

Kasus hancurnya industri alas kaki dan garmen akibat penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement) seharusnya menjadi isyarat bagi perlunya campur tangan pemerintah dalam perdagangan, melalui proteksi terhadap produk-produk lokal dalam berbagai bentuk kemudahan dan fasilitas.

Pasar rakyat

Perlindungan itu agaknya semakin jauh bagi pelaku-pelaku usaha lokal, terutama pedagang kecil. Pasar rakyat--tempat bagi usaha bermodal kecil dengan proses jual beli secara tawar-menawar--dimungkinkan dikembangkan swasta (termasuk swasta asing), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 Huruf a.

Pengembangan pasar rakyat oleh swasta akan membuat biaya retribusi dan sewa kios menjadi mahal karena perusahaan pengelola pasar rakyat cenderung berorientasi profit, berbeda ketika pasar rakyat dikelola pemerintah atau asosiasi pedagang pasar, para pedagang mendapat subsidi dan keringanan biaya sewa dan retribusi.

Di sisi lain, tingginya biaya sewa kios dan retribusi jika pasar rakyat dikelola perusahaan swasta akan dikompensasi dengan peningkatan harga barang-barang. Padahal, konsumen utama pasar rakyat adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Ini tentu berlawanan dengan tujuan RUU Perdagangan, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Suasana kebatinan penyusunan RUU Perdagangan agaknya memang bertujuan menjalankan agenda liberalisasi yang menghendaki perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar.

Melawan arus

Pilihan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar berlawanan dengan kecenderungan di banyak negara Eropa dan Amerika beberapa tahun terakhir. Mereka

Page 65: Kepemimpinan Trisakti

kembali memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian sejak krisis melanda kawasan tersebut, yang dituding akibat kegagalan pasar (market failure).

Semangat laissez faire dalam RUU Perdagangan harus dikoreksi karena tidak ada satu pun negara di dunia yang menyerahkan ekonominya pada mekanisme pasar, bahkan di negara paling liberal sekalipun. (*)

Edy Burmansyah Peneliti di Resistance and Alternative to Globalization

Sumber: kompas

Awasi Sayur dan Buah Impor!KETUA DPD PDI Perjuangan Jawa Timur Drs H Sirmadji Tj menyerukan seluruh pengurus DPC, kader maupun simpatisan partai untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran proses transit buah-buahan dan sayuran impor di Jatim. Pasalnya, kalau buah-buahan dan sayur impor masuk Jatim, bisa mengancam produk petani hortikultura lokal."Surplus produksi hortikultura lokal di Jatim mencapai ribuan ton, sehingga Provinsi Jawa Timur tidak membutuhkan injeksi buah-buahan dan sayuran impor," tandas Sirmadji, Minggu (17/6).

Sesuai data Dinas Pertanian Jawa Timur medio Februari 2012, beberapa komoditi hortikultura mengalami surplus untuk memenuhi kebutuhan lokal masyarakat Jatim. Seperti wortel yang jumlah produksinya mencapai 45.096 ton pada 2011 lalu, tapi kebutuhan konsumsi wortel di jatim hanya 25.990 ton. Jenis komoditi kentang mencapai 110.459 ton sedangkan kebutuhan konsumsinya hanya 22.486 ton. Demikian dengan produk bawang merah lokal yang mencapai 217.306 ton, sedangkan tingkat konsumsi hanya 101.185 ton.

Kekhawatiran timbulnya kebocoran ini disampaikan Sirmadji, karena Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ditunjuk pemerintah pusat sebagai salah satu pelabuhan transit buah-buahan dan sayur impor yang resmi diberlakukan 19 Juni depan. "Masyarakat khususnya kader PDI Perjuangan se-Jawa Timur, harus terlibat aktif dalam pengawasan distribusinya agar tidak merambah pasaran hortikultura lokal," ucap Sirmadji.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur itu menambahkan, seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur akan secara konsisten mengawasi kinerja aparat dalam menjamin tidak beredarnya buah-buahan dan sayuran impor. Secara khusus, dia berharap anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi A dan Komisi B segera melakukan koordinasi efektif dengan asosiasi petani hortikultura lokal dan eksekutif daerah dalam mengawal proses transit hortikultura impor itu.

Dia menambahkan, seruan PDI Perjuangan Jawa Timur secara teknis bersifat represif dan persuasif. Dalam tindakan represif, pengurus DPC PDI Perjuangan se-Jawa Timur bisa

Page 66: Kepemimpinan Trisakti

bekerja sama dengan asosiasi petani hortikultura dan pihak berwajib untuk melakukan tindakan terhadap perdagangan buah-buahan dan sayur impor di pasar-pasar lokal.

Sedangkan yang terkait tindakan persuasif, tambah Sirmadji, pihaknya mengajak seluruh pengurus, anggota, kader maupun simpatisan PDI Perjuangan tidak mengonsumsi buah-buahan dan sayur impor.

"Setiap agenda resmi PDI Perjuangan di setiap wilayah diserukan untuk tidak menyajikan buah-buahan dan sayuran impor. Sehingga dalam hal memperjuangkan amanat rakyat, tapi juga dalam tindakan," pungkas Sirmadji. (aven)

10 Pemicu RI Masuk Kategori Negara di Ambang KegagalanPOLITISI senior PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, menyebut beberapa penyebab Indonesia menempati peringkat ke 63 dari 178 di Indeks Negara Gagal (Failed State Index /FSI) 2012 yang dipublikasikan di Washington DC, Amerika Serikat.Pertama, kata Tjahjo, tata kelola kenegaraan buruk dan penyelenggaraan pemerintahan carut- marut. Kedua, kedaulatan yang tidak dilaksanakan dengan baik oleh para pemegang amanah. Ketiga, meningkatnya gelombang gejolak perasaan publik yang semakin tidak terkendali. Keempat, tingginya korupsi birokrasi dan kejahatan yang meresahkan masyarakat.

Kelima, kata Tjahjo,menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. "Keenam, penuntasan kasus skandal Bank Century, mafia perpajakan, mafia suara KPU dan penegakan hukum yang masih tidak berkeadilan serta tebang pilih," kata Tjahjo, Rabu (20/6), di Jakarta.

Ketujuh, lanjutnya, ada kecenderungan memperhadapkan aparat dengan rakyat di berbagai bidang. Kedelapan, menurut Tjahjo, adalah faktor keamanan yang tidak menjamin ketertiban masyarakat.

Kesembilan, lanjut dia, presiden dengan para menteri kabinetnya mengalami kesenjangan dan tidak sinkron dalam memahami arah kebijakan presiden. "Sehingga menteri terkesan hanya memenuhi tugas formalnya saja," tegasnya.

Ke-10, Tjahjo mengungkapkan, setiap pengambilan kepentingan politik pembangunan masih belum mengimplementasikan dari empat pilar kebangsaan khususnya kemajemukan/kebhinekaan.

Dijelaskan Tjahjo, memang secara historis dan sosiologis Indonesia sebagai negara bangsa memiliki kekuatan emosional kebangsaan yang kuat. Karena persolan yang paling utama di Indonesia itu adalah masalah ketidakadilan ekonomi dan proses institusionalisasi demokrasi, bukan persolan kesukubangsaan apalagi agama.

Page 67: Kepemimpinan Trisakti

"Jadi kalau dua hal tersebut dapat diperbaiki yaitu isu ketidakadilan dan institusionalisasi demokrasi, maka Indonesia akan semakin kuat," pungkas Anggota Komisi I DPR itu. (boy/jpnn)Refleksi Peringatan Hari Pancasila 1 Juni

Praktik Ekonomi Pancasila dan Jalan Kerakyatan SoekarnoOleh: Sapto Raharjanto

SEBAGAI tindak lanjut keputusan Kongres III, PDI Perjuangan bertekad mewujudkan dirinya sebagai Partai Ideologi berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945 yang menempuh jalan kerakyatan. Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Trisakti, dijadikan sebagai haluan penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia. Karena itulah PDI Perjuangan berkomitmen untuk menyiapkan diri di dalam pengelolaan negara Indonesia.Komitmen dari penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah komitmen untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan secara politik, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga terwujudlah manusia Indonesia yang merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, serta terpenuhinya seluruh hak sebagai warga negara, khususnya hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Dengan memperhatikan jalannya penyelenggaraan pemerintahan saat ini, maka secara kasat mata, masyarakat bisa menilai bahwa cita-cita mewujudkan demokrasi Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat belum dapat diwujudkan. Lebih-lebih kecenderungan melemahnya peran negara, sehingga cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, semakin jauh dari kenyataan. Hal ini nampak jelas dari ketidakmampuan membela kedaulatan politik atas wilayah; kedaulatan ekonomi atas kekayaan alam Indonesia.

Jika diambil garis merahnya hal ini terjadi adalah karena kondisi ekonomi negara kita yang semakin memburuk karena menganut azas ekonomi neoliberalisme yang sangat menjunjung tinggi individualisme dan mekanisme pasar, sehingga peran negara kalah dengan kelompok capital yang dengan sangat bebas memainkan perekonomian Indonesia, maka alternatif yang seharusnya dipilih dan sesuai prinsip Pancasila adalah melepaskan diri dari ekonomi neoliberal.

Pemahaman kontekstual terhadap strategi berdikari berkaitan dengan keadaan kewilayahan Indonesia yang besar dan didukung dengan sumber daya alam yang melimpah. Persoalannya ialah tinggal bagaimana cara mengelola. Apa yang tercantum Pasal 33 UUD '45, dengan jelas ditunjukkan bagaimana cara mengelola dan

Page 68: Kepemimpinan Trisakti

memanfaatkan sumber -sumber kekayaan alam yang menguasai hidup orang banyak sehingga bisa bermanfaat untuk kemakmuran rakyat.Untuk itu tinggal mencari bagaimana model pembangunan yang tepat untuk pengelolaan itu. Dalam melaksanakan amanat sesuai dengan pasal UUD'45 itu, Sukarno menerapkan strategi "Berdikari" dalam pembangunan ekonomi. Pada pidato 17 Agustus 1965, menyatakan:

"Berdikari dalam ekonomi. Apa yang lebih kokoh daripada ini Saudara-Saudara? Seperti kukatakan di depan MPRS tempo hari, kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita-kita dan menggunakan semaksimal-maksimalnya. Pepatah lama, ayam mati dalam lumbung harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang pangan."

Apabila kita coba untuk menerjemahkan secara sederhana bagaimana pandangan Sukarno mengenai konsep jalan kerakyatan didalam praktik ekonomi berdikari yang berdasarkan pada konsep trisakti didalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang sudah tenggelam dalam kepungan arus neoliberalisme dan fundamentalisme pasar, maka ada beberapa hal yang bisa kita jadikan acuan dalam menata perekonomian Indonesia yang berprinsip pada system ekonomi kerakyatan, yaitu:

Pertama, pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar termasuk berbagai macam investasi asing haruslah dibatasi dan di bawah kontrol ketat Negara, karena model persaingan bebas sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Hal ini karena pemilik modal yang biasanya akan didukung oleh penguasa akan lebih leluasa bersaing di pasar. Masyarakat dengan ekonomi lemah dan kelompok pelaku ekonomi rakyat dengan berbagai keterbatasan modal, keterbatasan akses akan makin terpuruk, karena akses mereka di batasi dan ketika berhadapan dengan pemilik modal dan penguasa dapat dipastikan akan kalah bersaing.

Kedua, didalam sila IV yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", menghendaki pembatasan kepemilikan faktor-faktor produksi, karena faktor produksi yaitu kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak haruslah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi nilai Pancasila mengamanatkan negara yang mengelola faktor produksi agar tercapai kesejahteraan rakyat.

Ketiga, pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Prinsip Pancasila menghendaki kebijakan undang-undang atau pun aturan hukum yang mengatur harga pasar hendaknya lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat. Artinya ekonomi lemah hendaknya mendapatkan subsidi harga untuk memperoleh faktor produksi, dan kebijakan harga pendukung untuk produk yang dihasilkan rakyat. Misalnya, subsidi harga pupuk dan pengawasan kebijakan harga beras sehingga harga beras yang ada tidak merugikan petani. Sementara untuk barang-barang mewah pemerintah dapat mengenakan pajak tinggi. Hal ini sesuai sila V Pancasila yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Page 69: Kepemimpinan Trisakti

Sapto Raharjanto, Pengurus Departemen Informasi dan Komunikasi DPC PDI Perjuangan Kabupaten Jember.

Negarawan Syarat Utama Pemimpin NasionalKETUA Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berpendapat, negarawan merupakan syarat utama untuk menjadi pemimpin nasional. Sosok negarawan itu bisa ditemukan di tengah-tengah masyarakat melalui tiga ciri."Syarat hadirnya negarawan sebetulnya tidaklah sulit. Pertama, bagi saya sosok negarawan hanya bisa lahir kalau ia benar-benar memahami sejarah, memahami Pancasila dan UUD 1945, memahami nature masyarakatnya yang plural, serta setia terhadap NKRI. Ini merupakan syarat Ideologis," ungkap Megawati, saat menjadi pembicara kunci dalam seminar bertajuk 'Merindukan Negarawan' yang digelar Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (24/5).

Kedua, lanjut Megawati, pemimpin tersebut memberikan inspirasi dan mampu menggelorakan kembali kebanggaan sebagai bangsa melalui pembangunan karakter kebangsaan. "Kita seharusnya berdiri kokoh di atas keanekaragaman sebagai bangsa, tapi mengapa kita ini justru semakin mudah terkoyakkan oleh perbedaan agama dan suku?" tanya Mega.

Padahal, lanjut Megawati, falsafah Bhineka Tunggal Ika mestinya dapat merasuk dalam kepribadian bangsa dan menjadi dasar menghargai berbagai perbedaan. "Menurut saya, tiadanya kepemimpinan yang efektif dan lemahnya penegakan hukum adalah akar pokok persoalan ini," tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Mega, siapapun presiden Republik Indonesia nantinya adalah orang yang harus berdiri tegak melaksanakan perintah konstitusi. "Tanpa pernah sejenak pun ragu meskipun berhadapan dengan jutaan massa sekalipun," tambahnya.

Ketiga, lanjut Megawati, pemimpin negarawan adalah 'state building', kemampuan mengurus negara dan rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional. "Di sinilah kepemimpinan dan manajemen bangsa sangat diperlukan. Ini bukan hal yang bersifat teknis. Kepemimpinan dan manajemen bangsa dimulai dari hal ideologis, yakni memberi arah yang jelas atau visioner," terangnya.

Visi yang dimaksud Megawati itu adalah hasil pergulatan pemikiran melihat masa depan dan menuangkannya dalam suatu tujuan yang menciptakan harapan masyarakat. Harapan itu adalah proses dialektis antara subyektivitas pemimpin dan kondisi obyektif masyarakat.

Namun yang terjadi subyektivitas sering disalahartikan karena interest pada pribadi atau

Page 70: Kepemimpinan Trisakti

kelompok. "Seorang negarawan harus mampu melihat secara jernih agar subyektivitasnya sesuai kondisi obyektif bangsanya," ujar Megawati.

Pelajari Sejarah Perjuangan

Seminar 'Merindukan Negarawan' itu dihadiri beberapa tokoh nasional. Di antaranya Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas, Rektor UII Edy Suandi Hamid, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, pengusaha James Riyadi, purnawirawan Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, dan Wakil Jaksa Agung Darmono.

Sejumlah anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan pun hadir seperti Puan Maharani, Sidharto Danusubroto, Bambang Wuryanto, Ahmad Basarah, Rieke Dyah Pitaloka, Arif Budimanta. Mantan anggota DPR RI juga hadir antara lain Hasto Kristiyanto dan Misbakhun.

Pada kesempatan itu, Megawati mengajak semua pihak untuk mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pemikiran para founding fathers di tanah air agar memahami sosok negarawan yang sesungguhnya.

"Kalau kita melihat perjalanan bangsa saat ini, nampak bahwa kepemimpinan visioner itu telah lama hilang. Elan perjuangan untuk menjadikan Indonesia disegani dalam tata pergaulan global sudah lama meredup. Apa yang dikhawatirkan Bung Karno bahwa kita menjadi bangsa kuli di negeri sendiri kini rasanya hampir terbukti," ungkapnya.

Hal paling nyata dirasakan menurut Megawati adalah kebijakan pemerintah yang melakukan impor pangan. Impor pangan per tahun mencapai Rp12,5 triliun. Kebijakan tersebut selain menguras devisa, dianggap membahayakan upaya menciptakan kedaulatan negara di bidang pangan.

"Persoalan pangan ini telah masuk pada tahap kritis dan membahayakan. Kalau untuk persoalan yang elementer saja kita tidak lagi berdaulat, masihkah kita mampu berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi?" kata Mega.

Inilah yang menurut Megawati menjadi tantangan terbesar bagi pemimpin nasional saat ini. "Bagaimana kita menjadikan Indonesia berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, serta disegani kembali di dunia internasional," katanya. (pri/*)

tags: pdip, pdi perjuangan, megawat

Pancasila Versus Liberalisme

Page 71: Kepemimpinan Trisakti

Pembicaraan tentang liberalisme (tepatnya kelemahan dan keruntuhan liberalisme) tambah hari tambah ramai dan meluas, terutama setelah keruntuhan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.Kritik, bahkan cercaan, terhadap liberalisme dan kapitalisme sebagai anak kandungnya pun kian santer dan menjagat karena dilambungkan oleh peristiwa pendudukan Wall Street, simbol kedigdayaan kapitalisme, di AS yang notabene merupa- kan sarang utama liberalisme.

Sejak Revolusi Perancis, liberalisme-kapitalisme telah menguasai dunia selama beberapa abad. Ideologi ini menjadi penguasa tunggal dunia menyusul keruntuh- an komunisme pada awal 1980-an. Virus liberalisme kian perkasa dan merambah ke mana-mana, termasuk Indonesia.

Pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalisme berhasil mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila. Roh Pancasila pun kian lama ki- an pupus dalam dada anak-anak bangsa, terlebih setelah pelajaran tentang Pancasila menghilang atau dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Konon, mata kuliah Sosiologi pun telah dihilangkan dari kurikulum fakultas ekonomi se-Indonesia. Jelas ini merupakan upaya kaum liberal untuk tak mengaitkan liberalisme dengan masalah sosial.

Kini tampaknya keadaan sedang berba- lik arah: liberalisme sedang meredup, kapitalisme dalam proses kejatuhan, terma- suk di negara sumbernya, AS. Ternyata vi- rus liberalisme-kapitalisme telah bergerak tanpa terkendali dan menggerogoti tuan- nya sendiri sehingga terjadi kejatuhan ekonomi global. Mengapa? Ekonom senior AS, Joseph Stiglitz, dalam buku terlarisnya, Globalization and Its Discontents, secara telak menyalahkan teori ekonomi liberal sebagai penyebabnya.

Liberalisme

Karakteristik liberalisme adalah: kompetisi, kebebasan, mekanisme pasar, yang terkuat (baca: kepentingan yang terku- at) sebagai pemenang, sangat mengagungkan hak � �individu (individualisme) sehingga voting mutlak sebagai cara pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, sistem ini memerlukan aturan main atau hukum yang lengkap dan jelas, penegakan hukum yang kuat, disiplin, serta sportivitas yang tinggi.

Apabila syarat atau sebagian dari syarat itu tak terpenuhi, yang akan muncul adalah distorsi sosial yang kerap diwarnai anarkisme, mencederai rasa kemanusiaan, dan memakan banyak korban jiwa. Pengalaman pahit tersebut terjadi di banyak negara, terutama di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, seperti yang sedang kita alami sekarang ini.

Beberapa pakar politik mengatakan bahwa penyimpangan dan kekacauan itu merupakan hal wajar dalam demokratisasi. Ada yang mengatakan diperlukan setidaknya tujuh kali pemilu untuk sampai pada tingkat kematangan berdemokrasi. Pertanyaannya, dapatkah dijamin eksistensi negara dan bangsa ini masih tetap bertahan selama periode

Page 72: Kepemimpinan Trisakti

pematangan yang cukup panjang itu? Sulit dapat dijamin! Kebalikannya, kegagalan negara memenuhi hak dasar warga negaranya (seperti hak mendapat sandang pangan papan yang memadai, hak mendapat pendidikan dan kesehatan dengan mudah dan murah, serta hak melaksanakan ibadah) dapat menimbulkan turbulensi sosial yang potensial bermuara pada perpecahan.

Pancasila

Kebalikan dari liberalisme yang berbi- cara tentang kompetisi adalah Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerja sama, jiwa kekeluargaan, dan kolektivisme. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mengutamakan musyawarah mufakat, mengedepankan kualitas ide, mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam musyawarah. �Rasionalitas�-lah pemenang.

Prinsip demokrasi Pancasila adalah �keterwakilan� dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan �keterpilihan�. Semua terwakili: berbagai kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam; serta berbagai golongan dan kelompok profesi harus terwakili di parlemen agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan. Maka, diperlu- kan sistem penunjukan agar berbagai kelompok minoritas sampai pada masyarakat tradisional pun terwakili. Tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem kompetisi bebas. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.

Basis kulturalis bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, kolektivisme. Karena itu, liberalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Di samping itu, tingkat pendidikan dan kesejahteraan mayoritas rakyat juga masih berada di bawah sehingga, seperti dikatakan Prof Daoed Joesoef, �rakyat pemilih kita adalah rakyat yang pikirannya belum bebas untuk menentukan pendapat atau pilihan masih harus tanya kiri-kanan atau akan terbuka jalannya oleh uang.�

Sebenarnya keadaan jauh lebih buruk karena latar uang dalam menentukan pilihan politik tak hanya menghinggapi masyarakat bawah, tetapi juga sudah merambah luas di kalangan yang maju dalam pendidikan serta mapan secara ekonomi. Maka, pemaksaan sistem liberalisme di Indonesia niscaya akan membuahkan kekacauan berkepanjangan dan dapat berujung pada disintegrasi.

Kini, liberalisme-kapitalisme sedang limbung. Saatnya bangsa Indonesia melaksanakan perubahan, meluruskan kembali jalannya reformasi. Pemimpin MPR, presiden, dan elite politik sudah saatnya menginisiasi perubahan tanpa ragu-ragu. Kembali pada jiwa Pancasila, roh Pembukaan UUD 1945. Tak hanya bicara sloganistik, menyosialisasikan Pancasila lewat ceramah tanpa perubahan sistemik.

Ironi Pasar Bebas

Page 73: Kepemimpinan Trisakti

Beberapa tahun terakhir, pasar bukan lagi tempat bergunjing, melainkan menjadi obyek gunjingan serius. Krisis yang melanda Eropa dan Amerika Utara menunjukkan ada yang ganjil tentang dan di dalam pasar. Keganjilan ini yang kemudian dikemukakan Presiden Brasil Dilma di hadapan Barack Obama.Dilma menuduh Amerika melangsungkan kebijakan ekspansionis. Amerika dituding mematok suku bunga terlalu rendah hingga nyaris mendekati 0 persen. Kebijakan serupa yang juga dilakukan di hampir semua negara maju itu membuat mata uang kuat, seperti dollar dan euro, mengalami depresiasi. Akibatnya, mata uang negara berkembang menguat sehingga menyurutkan ekspor. Menurut Dilma, kebijakan tersebut sejatinya adalah perang kurs dengan basis kepentingan nasional Amerika.

Ironi

Pasar bebas adalah secarik ironi tersendiri. Semula itu dimaksudkan sebagai arena global yang meratakan teritorial dan kepentingan politik. Pasar tidak mengenal nasionalisme. Orang membeli pakaian impor karena harganya lebih murah daripada domestik. Subsidi BBM dipatok sebagai kekeliruan politik yang memiliki konsekuensi ekonomi.

Pasar adalah ruang hampa politik. Tempat orang bertransaksi secara bebas dan tidak berbatas. Sebagai ruang, pasar adalah sesuatu yang berbeda dengan negara. Orang bisa keluar masuk pasar secara bebas, sementara orang tidak bebas keluar masuk negara. Pasar adalah anti-teritorial, sementara negara justru berteritorial.

Namun, pasar ternyata tidak sehampa yang dikira orang. Pasar tidak anonim. Dia tidak mengubah planet ini menjadi dataran raksasa tanpa sekat-sekat politik. Pasar justru menunjukkan gelagat politik yang begitu sangat. Tuduhan Dilma terhadap kebijakan Amerika, misalnya. Dilma menuduh Amerika menyumbat kebebasan negara berkembang melalui kebijakan domestiknya. Dilma juga menyumpahi kebijakan luar negeri Amerika yang memusuhi Iran, Suriah, dan Kuba.

Sanksi ekonomi terhadap Iran justru membuat harga minyak dunia naik tajam. Ini memukul negara berkembang, terutama negara-negara yang menjadi net importir. Amerika dapat berleha-leha karena memiliki cadangan minyak tertinggi di dunia: 22,5 miliar barrel.

Lalu, siapa bilang pasar bersimpang jalan dengan nasionalisme? Segala perjanjian perdagangan bebas hanya kedok dari kepentingan nasional negara-negara maju. Amerika, misalnya, pernah menyerang China yang dituduhnya melakukan pematokan kurs sehingga membuat Amerika dibanjiri barang murah buatan China. Kebijakan tersebut dianggap tidak fair karena menyalahi prinsip perdagangan bebas. Barang-barang buatan Cina menjadi begitu dominan di pasar global akibat kebijakan domestik Pemerintah China.

Ironisnya, Amerika sekarang melakukan hal yang sama. Kebijakan suku bunga rendah oleh Amerika dituduh sebagai biang keladi kemerosotan ekspor negara berkembang. Kombinasi kebijakan dalam dan luar negeri Amerika memaksa negara berkembang

Page 74: Kepemimpinan Trisakti

menjadi importir dan membayar ongkos sosial akibat naiknya harga BBM. Artinya, daya saing negara berkembang tidak ditentukan oleh kapasitas sosial-ekonomi-kultural negara itu sendiri, tetapi hegemoni negara maju. Indonesia yang begitu kaya sumber daya alam pun dipaksa menjadi pengimpor ikan dan garam serta membayar BBM sesuai harga pasar yang disulut secara politik.

Pasar tidak sebebas yang dikira orang. Pasar adalah arena yang, alih-alih melangsungkan deteritorialisasi, justru berbuat sebaliknya. Deteritorialisasi dalam pasar global menyembunyikan arus reteritorialisasi yang begitu tajam. Pasar tidak meratakan teritorial, tetapi memunculkan teritorial-teritorial politik yang hegemonik, tetapi senantiasa berkabut.

Pasar (tidak) bebas

Pasar bebas adalah jargon ilusif sekaligus diskriminatif. Jargon itu selalu ditudingkan pada negara berkembang yang berusaha keras melindungi kepentingan nasionalnya. Namun, jargon serupa tidak pernah dilontarkan kepada negara maju yang melakukan hal serupa. Indonesia, misalnya, dituduh tidak kondusif bagi investasi asing.

Namun, sebaliknya, apakah negara maju juga membuka pintu ekonominya bagi Indonesia? Barang-barang ekspor kita selalu dituduh kumuh, tidak higienis, dan berbahaya berdasarkan tolok ukur yang dibuat (buat) negara maju.

Presiden Dilma mengingatkan kita bahwa globalisasi tidak sama dengan universalisasi. Globalisasi hanya merobohkan pagar-pagar politik negara berkembang. Tembok-tembok baja negara maju dibiarkan tetap tegak tak tersentuh.

Globalisasi tidak membuat konflik politik ternetralisasi secara ekonomi. Sebaliknya, justru ekonomi menyembunyikan pertarungan politik yang sengit berbasis kepentingan nasional. Globalisasi ekonomi menyembunyikan fakta konflik politik yang tak berkesudahan dan tak seimbang. Negara-negara berkembang terus didera sanksi ekonomi, sementara negara maju tak putus menikmati hak-hak istimewanya di pasar gobal.

Pasar bebas, meminjam istilah filsuf Ranciere, adalah epos pasca-politik. Sebuah epos di mana konflik ideologis digantikan oleh kolaborasi para teknokrat yang terus menegosiasikan kepentingan mereka atas nama konsensus universal. Namun, konsensus universal bernama pasar bebas tidak bebas ideologis. Itu adalah kedok dari hegemoni politik negara maju.

Pasar bebas menjungkirbalikkan konsep metapolitik dari Ranciere. Apabila � �metapolitik berarti bersembunyinya kepentingan ekonomi di balik pertarungan � �

politik, yang terjadi di epos pasar bebas justru ekonomi yang menyembunyikan pertarungan politik.

Pasar bebas bukan tempat berpidato tentang universalisme. Dia bukan pekik kosmopolit

Page 75: Kepemimpinan Trisakti

tentang toleransi global dan kesatuan yang serba menyelimuti. Universalis sejati justru bersembunyi pada mereka yang tidak percaya pada sihir universal pasar bebas. � �Universalis sejati tertanam dalam diri wanita besi bernama Dilma. Dia tanpa tedeng aling-aling melibatkan diri dalam pertarungan penuh gairah melawan ketidakadilan global berkedok universalisme.

Sebaliknya, keprihatinan justru menyengat saat menengok sepak terjang pemimpin bangsa sendiri. Alih-alih berjuang melawan mitos pasar bebas, pemimpin kita justru berserah diri pada harga minyak dunia. Saat pasar menjadi ajang pertarungan kepentingan nasional, pemimpin kita justru menyerahkan nasionalisme pada mekanisme pasar. Padahal, pasar tidak se-naif yang dikira orang. Dia bukan medan tempat orang berdagang, melainkan berjuang.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia UU Pemilu

Kuota Versus "Divisor"...SALAH satu materi yang alot diperdebatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah formulasi penetapan perolehan kursi partai politik. Dalam sidang paripurna pengesahan UU Pemilu, Kamis (12/4), materi itu diputuskan melalui voting.Formulasi yang kemudian disepakati mayoritas anggota DPR adalah metode kuota dengan sisa suara terbanyak. Sebelumnya, alternatif yang diusulkan parpol di DPR mengerucut pada metode kuota dengan sisa suara (largest remainder) atau hare quota dan metode divisor varian webster.

Metode kuota telanjur lama dipakai dalam pemilu di Indonesia. Caranya relatif mudah, yakni dengan menetapkan terlebih dulu kuota untuk membagi suara dengan jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan, dilanjutkan dengan penghitungan sisa suara.

Sementara metode divisor webster merujuk pada nama penganjurnya, yakni Daniel Webster, seorang senator Amerika Serikat. Cara pembagian kursi adalah dengan pembagian suara dengan bilangan pembagi tetap berangka 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.

Kursi dibagikan berdasarkan ranking. Pengusul metode divisor terutama disokong argumentasi untuk menciptakan proporsionalitas bahwa perolehan suara parpol bisa tecermin dalam perolehan kursinya.

Di antara beragam varian dalam metode kuota, hare quota dinilai sebagai metode yang paling tinggi derajat proporsionalitasnya. Hanya saja, metode ini cenderung "menguntungkan" parpol kecil-menengah yang bisa mengambil.

Page 76: Kepemimpinan Trisakti

Sementara, dari beragam metode divisor, penghitungan ala Webster/Sainte-Lague pun cenderung membagi kursi kepada parpol peserta pemilu secara proporsional sesuai dengan jumlah suara sah yang diperoleh.

Mirip 2004

Metode kuota yang ditetapkan kali ini mirip dengan yang dipergunakan pada Pemilu 2004, dengan tambahan ada ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT). Jika dalam Pemilu 2004 semua parpol peserta diperhitungkan dalam penghitungan perolehan kursi, untuk Pemilu 2014 hanya parpol yang perolehan suara nasionalnya lebih dari 3,5 persen suara sah nasional yang diikutkan dalam penghitungan.

Merujuk ketentuan Pasal 212 UU Pemilu yang baru disahkan, penghitungan pertama dilakukan membagikan kursi kepada parpol peserta yang perolehan suara sahnya sama dengan atau lebih besar dari bilangan pembagi pemilihan (BPP). Dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan bersangkutan, dilakukan penghitungan tahap kedua. Yang diperhitungkan dalam tahap ini adalah sisa suara parpol yang telah mendapatkan kursi di penghitungan tahap pertama berikut perolehan suara parpol yang perolehan suaranya lebih kecil daripada BPP.

Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama. Penghitungan tahap kedua ini dilakukan dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada parpol peserta pemilu satu demi satu secara berturut-turut sampai habis, dimulai dari parpol yang mempunyai sisa suara terbanyak.

BPP yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah semua parpol yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi parpol peserta pemilu.

Metode kuota yang dipergunakan untuk pemilu mendatang tak sama dengan yang dipergunakan pada Pemilu 2009. Saat itu memang dipergunakan metode kuota dengan sisa suara terbanyak dan sudah berlaku PT sebesar 2,5 persen. Hanya saja, terdapat tiga tahap penghitungan dengan menarik sisa suara ke tingkat provinsi jika memang masih ada sisa kursi yang belum habis terbagi dari daerah pemilihan di provinsi tersebut. Pada perhitungan dua tahap pertama, hanya peserta pemilu dengan perolehan minimal 50 persen BPP yang bisa memperoleh kursi. Hitungan itu dinilai rumit dan tak sepenuh efektif.

Dengan menangnya pengusung hare quota dan tak berhasilnya upaya pengusung metode divisor, siapakah yang bakal menangguk untung di Pemilu 2014? (Sidik Pramono)

Sumber: kompas

Page 77: Kepemimpinan Trisakti

Pemilu Lebih Murah dengan Sistem TertutupWAKIL Ketua DPR Ir Pramono Anung mengatakan, sistem penentuan calon anggota legislatif terpilih melalui nomor urut (sistem tertutup) membuat pemilu lebih murah. Sistem ini, katanya, juga untuk memperbaiki kinerja DPR.Menurut Pramono Anung, PDI Perjuangan ingin sistem tertutup karena biaya Pemilu 2009 lalu sangat mahal. Rata-rata anggota dewan, kata mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan itu, menghabiskan biaya pencalonan sampai di atas Rp 2 miliar.

Penyebabnya, jelas Pram, selain persaingan antarpartai juga terjadi persaingan di internal partai untuk mendapatkan suara terbanyak sebagaimana dipakai dalam sistem terbuka. "Dan itu angkanya fantastis dibandingkan sebelumnya, calon hanya habis Rp 200 sampai Rp 300 juta," kata Pramono Anung di gedung DPR, hari ini.

Meski lebih murah, lanjut Pram, kualitas Pemilu 2004 lebih baik bahkan dibanding Pemilu 1999. "Kalau 2009 dibandingkan yang lalu kurang baiklah," kata legislator asal dapil VI Jawa Timur tersebut.

Proses buruk di Pemilu 2009 itulah, tambah Pram, yang menyebabkan banyak kader terbaik PDI Perjuangan tak mampu secara finansial gagal masuk Senayan. Akibatnya, kerja di parlemen jadi buruk seperti misalnya rapat sering molor, anggota sering absen.

Pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu sendiri, kemungkinan bakal diambil melaui voting dalam sidang paripurna DPR, Rabu (11/4). Pasalnya, fraksi-fraksi di DPR belum sepakat soal sistem pemilu, batas ambang parlemen (parliamentary treshold/PT), alokasi kursi di daerah pemilihan (dapil), dan sistem penghitungan suara.

PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menginginkan sistem pemilu tertutup. Sisanya, Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, memilih sistem pemilu terbuka. Sedangkan Gerindra belum menentukan pilihan. (pr

Saat Pancasila Tak Lagi BertajiOleh Ahmad Syafii Maarif

TAJI adalah sebuah pisau kecil yang sangat tajam, biasa dikalungkan di kaki ayam jantan ketika akan bersabung. Dengan taji ini, si jantan diharapkan akan melumpuhkan lawan laganya sampai berdarah-darah, bahkan bisa membawa kematian.Di dunia sabung ayam, fungsi taji sangat diandalkan agar tuannya keluar sebagai pemenang melalui kemenangan ayam aduannya. Dalam kultur Minangkabau tempo

Page 78: Kepemimpinan Trisakti

doeloe, hobi menyabung ayam bagian dari pekerjaan para parewa yang biasanya berpakaian serba hitam dan kepala diikat selembar kain. Mereka yang juga pendekar ini sangat akrab dengan taji, ayam jantan, dan dunia hitam.

Pancasila jadi barang mainan

Jika taji adalah bagian dari kultur sabung ayam, mengapa Pancasila sebagai dasar filosofi negara dikait-kaitkan di sini? Bukankah kerja ini hanya mengada-ada saja atau malah dipaksakan? Baris-baris berikut akan menjelaskan kepada tuan dan puan tentang apa yang saya maksud.

Ungkapan puitis "tak bertaji lagi" punya pengertian simbolis yang lebih luas, yaitu berupa kehilangan wibawa dan keampuhan. Artinya, Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan selama 40 tahun dengan menguras energi bangsa agar dapat diterima oleh mayoritas mutlak rakyat Indonesia untuk menjadi dasar negara yang permanen telah disingkirkan begitu saja dalam praktik oleh parewa politik, baik di Senayan, di daerah, maupun di lingkungan eksekutif dan yudikatif, dari pucuk sampai tingkat paling bawah.

Pengusaha hitam pun terlibat aktif dalam permainan kumuh ini, baik sebagai cukong maupun konsultan parewa. APBN/APBD selalu jadi incaran untuk diakali, demi pundi-pundi pribadi atau golongan. Nasib rakyat jelata yang lagi terpukul oleh politik BBM tak dihiraukan oleh kaum parewa itu. Penderitaan dan ketidakpastian sudah lama menjadi bagian menyatu dengan perjalanan hidup sebagian besar rakyat kita. Ironisnya, semuanya itu berlaku pada sebuah bangsa dan negara yang bersendikan Pancasila yang secara filosofis sangat pro-keadilan. Di tangan parewa politik, Pancasila sudah lama jadi barang mainan, tuahnya habis dilindas keserakahan yang hampir tanpa batas.

Sumber segala keonaran yang mengepung Republik ini sebenarnya karena taji Pancasila telah ditumpulkan oleh pragmatisme politik sebagai salah satu perwujudan dari sebuah peradaban bangsa yang sedang merosot. Parewa politik-sebagian bahkan bangga jadi agen asing karena di situ banyak rezeki-sedang berada di atas angin di atas panggung perpolitikan kita, pada tingkat nasional sampai ke daerah. Parpol yang semestinya membela bangsa dan negara, kelakuannya malah didikte elite parewa yang antirakyat.

Inilah ucapan Bung Hatta sebelum wafat tahun 1980 tentang tiadanya rasa tanggung jawab politisi: "Peran partai sangat penting dan bersifat asasi dalam masyarakat demokrasi. Tetapi partai-partai di Indonesia ini belum memperlihatkan rasa tanggung jawab yang besar. Mereka lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri atau partainya sehingga nasib rakyat tidak mereka bela." Sudah berjalan 32 tahun sepeninggal Bung Hatta, wajah parpol kita belum juga menampakkan tanda-tanda kewarasan. Kelakuan partai-partai yang berasas agama ataupun yang bukan sudah tidak ada bedanya. Semuanya sibuk menggarong APBN/APBD atau BUMN.

Dalam kondisi yang serba korup ini, taji Pancasila memang sengaja dilumpuhkan agar tercipta peluang yang seluas-luasnya bagi parewa untuk menjalankan aksi imoralnya. Di mana negara? Negara sudah lama kalah di tangan pemerintah yang tak berwibawa. Pasal

Page 79: Kepemimpinan Trisakti

33 UUD 1945 (asli) Ayat 3 yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" kini telah menjadi teks mati ketika kedaulatan ekonomi sudah beralih tuan ke pihak asing yang dibantu oleh agen-agen domestiknya. Bukankah semuanya ini sudah menyimpang terlalu jauh dari jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang anti-penjajahan? Namun, kita sebagai bangsa merdeka tidak boleh kehilangan optimisme. Bangsa dan negara ini jangan sampai menggali kubur masa depannya di tangan anak-anaknya yang tak bertanggung jawab.

Arus kecil jadi tumpuan harapan

Lalu, masih adakah kebanggaan tersisa? Tentu saja masih. Kita belum kehilangan harapan untuk sebuah perubahan yang mendasar dalam cara kita berbangsa dan bernegara untuk waktu-waktu yang akan datang. Arus-arus kecil dalam masyarakat belum seluruhnya ternoda oleh arus besar yang lagi dimabuk kekuasaan. Dalam arus serba kecil itu taji Pancasila masih tajam dan bertuah. Guru-guru di kawasan perbatasan dan di daerah terpencil belum luntur kesetiaan pengabdiannya pada profesi sebagai guru-pendidik dalam upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Di kawasan di mana masalah transportasi dan komunikasi masih sarat kendala, gaji mereka pun belum tentu datang secara teratur setiap bulan, toh mereka tetap menjalankan tugas. Lagi, Bung Hatta kita kutip. Dalam pidato sebagai Wakil Presiden di Pematang Siantar, 22 November 1950, Bung Hatta mengucapkan optimisme ini: "Ke puncak gunung yang paling tinggi di mana ada hidup rakyat kita, hendaknya dapat dialirkan kecerdasan manusia. Cita-cita ini pada satu kali mesti tercapai." Pernyataan Bung Hatta ini harus dijadikan acuan untuk memberi arah yang jelas dalam proses pendidikan Indonesia. Rakyat yang cerdas tidak mudah dijadikan tawanan oleh parewa.

Pengusaha-pengusaha kecil dan menengah yang idealis semakin memberi asa ke arah perbaikan nasib rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar karena mereka-lah sesungguhnya yang menjadi tiang penyangga saat negara ini diterpa krisis 14 tahun yang lalu. Mereka pulalah dengan segala keterbatasannya yang membuka lapangan kerja bagi anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kampus-kampus pun masih belum kehilangan nalar, sekalipun gaung suaranya sering terdengar sayup-sayup sampai karena sebagian besar tidak paham betul apa sebenarnya yang berlaku di negara ini.

Dalam arus kecil ini terdapat pula kaum intelektual, para kiai, pastor, pendeta, biksu, dan pekerja-pekerja sosial-kemanusiaan lain yang tidak mau tersandera oleh kesemrawutan politik para elite yang sudah mati rasa. Mereka inilah sahabat sejati Pancasila dalam teori dan dalam praksisme. Ketika kita menatap wajah manusia pengabdi ini, sekiranya hati nurani tuan dan puan masih berfungsi, tentu akan menarik kesimpulan faktual ini: "Orang baik di negeri ini ternyata belum punah". Mereka tersebar di berbagai suku bangsa di seluruh Nusantara, apa pun agama dan latar belakang kultur mereka.

Bangsa ini pada dasarnya tidaklah miskin dalam hal kearifan, pengabdian, dan semangat setia kawan. Sebagian mereka menjadi rusak dan brutal karena selalu dihantui oleh

Page 80: Kepemimpinan Trisakti

ketidakpastian masa depan dan tiadanya keteladanan.

Budaya dan kearifan lokal telah membentuk karakter anak-anak bangsa idealis ini agar tidak menyerah pada realitas yang serba ganas dan pahit sekalipun. Bukankah fenomena positif semacam ini akan terus menghibur kita untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan yang lebih besar? Biarlah mereka yang "berdaulat" di Senayan terus saja berkicau di sana karena kita sudah maklum tujuan terakhir yang hendak diraih seperti terbaca dalam ungkapan ini: "mengejar kepentingan sesaat dengan mengorbankan tujuan jangka jauh". Kaum idealis tak boleh terpaku dan terpukau oleh kicauan beracun itu.

Sekalipun judul tulisan ini menggambarkan Pancasila sudah kehilangan taji, kenyataan itu hanya berlaku pada arus besar, tidak pada arus kecil yang pada suatu saat harus mengalahkan arus besar yang sudah tidak waras itu. Setelah tertindas selama beberapa tahun belakangan ini dalam kerangkeng neo-liberalisme yang mewakili arus besar kekuasaan, kita sangat percaya di lingkungan arus kecil yang pasti akan semakin membesar, taji Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 akan memulihkan wibawa konstitusi yang sengaja dikebiri demi kekuasaan dan benda yang tak pernah bernilai abadi. Menguatkan dan membesarkan idealisme arus kecil ini jadi tugas mulia sejarah modern Indonesia yang tak boleh sedetik pun dilupakan. (*)

Ahmad Syafii Maarif Pendiri Maarif Institute

Dulu P-4, Kini 4-POleh Masdar Farid Mas'udi

Di era Orba kita disuguhi mantra P-4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kini di Era Reformasi kita disuguhi mantra lain: 4-P.Adalah Bung Taufiq Kiemas, Ketua MPR, bersama jajarannya yang berjasa memopulerkan 4-P, "empat pilar", untuk hidup bernegara dan berbangsa kita. Disebut memopulerkan karena "barang"-nya sudah ada sejak lama: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam dunia dagang, memopulerkan produk tidak kalah penting dengan menciptakannya.

Momentumlah yang menakdirkan konsep 4-P perlu dikampanyekan. Seperti kita tahu, sejak Era Reformasi sebagai antitesis Orba, popularitas Pancasila dan UUD 1945 jatuh terpuruk. Bukan karena bangsa ini hendak mengingkarinya, melainkan karena bosan selama Orba terus-menerus diceramahi dengan P-4.

Waktu terus bergerak maju. Ternyata derap reformasi berjalan sekenanya. Korupsi dan kolusi yang semula dikutuk habis bukannya menghilang, malah semakin jor-joran: pundi-pundi pajak diembat, kekayaan negara dijarah, dan aset bangsa diobral kepada pihak asing. Sementara itu, rakyat jelata dibiarkan semakin tenggelam dalam sengsara lama.

Kita pun kembali tercenung dan bertanya-tanya jengkel. Sesungguhnya bangsa ini oleh

Page 81: Kepemimpinan Trisakti

para petinggi dan elitenya dipandang sebagai apa dan hendak dibawa ke mana?

Ibarat rumah, Indonesia Raya tidak mungkin berdiri sempurna hanya dengan 4-P. Sekokoh apa pun 4-P itu. Di antara pilar-pilar yang empat, mesti ada anak-anak pilar atau tiang-tiang pendukung, ada dinding dan tembok yang memagari dan melindungi segenap penghuninya. Juga musti ada atap yang kokoh dan antibocor. Harus ada lantai yang lebar plus perabot rumah tangga yang lengkap. Bahkan, kebun dan taman di sekelilingnya yang luas dan tertata indah.

Pilar-pilar pembantu plus semua perangkat rumah Indonesia yang kokoh, indah, dan membahagiakan segenap rakyatnya: itulah pengamalan dari empat pilar utama. Semakin sempurna pengamalan 4-P, semakin sempurna pulalah rumah Indonesia. Pada gilirannya semakin berbahagia pula segenap rakyat yang menghuni dan memilikinya.

4-P yang merana

Namun, pengamalan 4-P sebagai ajaran luhur bangsa itulah yang sampai kini tetap belum jelas sosoknya. Alih-alih mengamalkan sebaik-baiknya, justru semakin banyak pihak yang sengaja menggerogoti pilar-pilar yang empat itu. Mari kita lihat satu per satu!

Pertama adalah pilar Pancasila. Sepantasnya lima sila yang terumus sederhana itu tetap melekat dalam ingatan setiap kita. Nyatanya semakin banyak di antara anak bangsa, bahkan pejabat negara, tokoh masyarakat, apalagi warga biasa yang tidak lagi mengingat kalimat-kalimatnya.

Di kalangan komunitas tertentu, sila-sila Pancasila malah hendak diganti substansinya: "Allah Tujuanku, Al-Qur'an Konstitusiku, Muhammad Imamku, Jihad Jalanku, dan Syahid Puncak Impianku". Adalah hak mereka untuk mengambil lima sila tersebut sebagai acuan hidup internalnya. Namun, menyodorkannya sebagai alternatif Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara Indonesia yang bineka adalah hal yang berbeda.

Di pihak lain, dalam kehidupan sehari-hari, sila Ketuhanan Yang Maha Esa praktis sudah diganti menjadi "Keuangan Yang Mahakuasa". Buktinya, di negeri ini nyaris segalanya bisa ditundukkan oleh uang, uang, dan uang. Di ranah legislatif, yudikatif, eksekutif, bahkan pada masyarakat umum berlaku dalil "ada uang, segalanya bisa dibereskan".

Kemudian pilar "Bhinneka Tunggal Ika". Pilar ini pun semakin rawan kondisinya. Berbagai konflik dan kebencian antara kelompok etnisitas, politik, budaya, dan kepentingan semakin gampang tersulut hanya oleh perkara sepele.

Tidak kalah serius ialah konflik sektarian, terutama di kalangan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Adalah hak setiap umat memeluk habis keyakinannya. Akan tetapi, menjadikan perbedaan agama atau keyakinan sebagai alasan untuk saling membenci dan menafikan sesama sungguh tidak bisa diterima.

Juga pilar ketiga, "Negara Kesatuan Republik Indonesia" alias NKRI. Tuntutan otonomi

Page 82: Kepemimpinan Trisakti

daerah yang overdosis, bahkan gelagat separatisme yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, juga semakin mengancam bangunan negara kesatuan kita.

Sejatinya otonomi an sich bukan masalah. Bahkan, afdal apabila tujuannya mempercepat keadilan dan kemakmuran masyarakat luas, terutama di lapis bawah yang terpencil dan jauh dari pusat. Namun, jika yang terjadi dengan otonomi daerah adalah egoisme daerah, bahkan egoisme para pejabat dan elitenya untuk bebas mengorupsi uang negara, persoalannya menjadi lain sama sekali.

Ancaman terhadap integritas NKRI juga datang dari gerakan ideologi subversif lama: NII, Negara Islam Indonesia. Jika di zaman Orba gerakan ini sembunyi-sembunyi, di Era Reformasi ini mereka dibiarkan tampil secara terbuka, bahkan bisa pamer kekuatan di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Terakhir, pilar UUD 1945. Selain pasal-pasal perihal bagi-bagi kekuasaan dan anggaran, UUD kita sedikit sekali yang diamalkan. Paling telantar adalah pasal-pasal perlindungan hak-hak rakyat banyak, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Sudah lama di kalangan masyarakat UUD kita dipelesetkan menjadi "ujung-ujungnya duit" untuk menyindir perilaku pejabat publik di semua lini, khususnya ketika berhubungan dengan masyarakat.

Di pihak lain, pada tataran normatif, ada persoalan amandemen. Sesungguhnya amandemen per se boleh-boleh saja. Bahkan, Al Quran pun mengenal amandemen (nasakh) untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional demi lebih mempercepat tercapainya tujuan, goal, ghoyah.

Tujuan bernegara kita terang: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Amandemen konstitusi yang jelas-jelas menjauhkan kita dari tujuan, terutama yang menggampangkan penjarahan aset bangsa oleh pihak asing, jelas haram dan harus ditolak. Sebaliknya, yang bisa mempercepat tujuan tentu tidak ada masalah, bahkan bisa sunah sampai dengan wajib.

Pemimpin berkarakter

Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan segalanya kepada bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni "tanah air yang begitu luas nan gemah ripah loh jinawi" sebagai perangkat kerasnya plus doktrin "empat pilar" sebagai perangkat lunaknya.

Yang belum kita miliki sampai hari ini hanya satu: "Pemimpin yang berkarakter, visioner, kuat, dan amanah yang mampu menyuguhkan keteladanan luhur kepada rakyat bagaimana mengamalkan 4-P dalam kehidupan nyata".

Atau, empat pilar itu dibiarkan teronggok sepi sendirian dan rumah Indonesia Raya yang megah dan berwibawa hanya tinggal khayalan? (*)

Page 83: Kepemimpinan Trisakti

Masdar Farid Mas'udi Rois Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Penulis Buku Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam

Pasal 7 Ayat (6a) Bertentangan dengan Putusan MK

FRAKSI PDI Perjuangan DPR RI menilai, keberadaan Pasal 7 Ayat (6a) bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.Demikian pernyataan Wakil Ketua Bidang Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari, melalui perangkat komunikasi

kepada Antaradi Semarang, Sabtu (31/3) pagi.

Isi Pasal 28 Ayat (2) yang dianulir Mahkamah Konsititusi (MK), "Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar".

Pasal 7 Ayat (6a) yang telah disepakati dalam Sidang Paripurna DPR RI, Sabtu dini hari, "Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya".

Eva yang juga Anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI itu menyatakan, meski kalah pada Sidang Paripurna dengan agenda pembahasan RUU APBN Perubahan 2012, PDI Perjuangan akan tetap memegang teguh konsistensi sikap pro-kedaulatan energi dalam pembahasan RUU APBN-APBN tahun fiskal mendatang.

"PDI Perjuangan akan tetap memperjuangkan agar BBM diperlakukan sebagai barang publik (bukan barang dagangan) demi kepentingan rakyat," katanya.

Menyinggung "walk out" (meninggalkan) pada sidang paripurna itu, dia menjelaskan bahwa Ketua DPR RI Marzuki Alie yang memimpin sidang mengabaikan sikap politik Fraksi PDI Perjuangan yang menolak adanya Pasal 7 (6a) di dalam RUU APBN Perubahan 2012.

"Penolakan itu semata demi komitmen DPR RI terhadap prinsip konstitusionalisme," kata Eva yang juga wakil rakyat berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.

Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyatakan kecewa dan protes karena pertimbangan dan

Page 84: Kepemimpinan Trisakti

keberatan atas dua opsi pemungutan suara yang tidak mengakomodasi sikap politik fraksi itu.

Ia menjelaskan, penolakan FPDI Perjuangan terhadap kenaikan harga BBM adalah konsekuensi penolakan terhadap pasal selundupan 7 Ayat (6a) dalam RUU APBN Perubahan 2012 yang bertentangan dengan Pasal 7 (6) di UU APBN 2012.

Pasal (7) Ayat (6) UU Nomor 22/2011 tentang APBN Tahun 2012 menyebutkan bahwa harga jual eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan.

Menurut dia, pemungutan suara yang dikonstruksi pimpinan sidang paripurna justru terhenti pada setuju-tidaknya Pasal 7 (6) UU APBN 2012 yang secara substantif sudah menjadi norma karena sudah mendapat kesepakatan semua fraksi, termasuk PDI Perjuangan.

Sementara itu, kata dia, pidato Ketua Badan Anggaran (Banggar) Melchias Marcus Mekeng justru menyebut secara eksplisit bahwa problem utama RUU APBNP 2012 justru pada Pasal 7 (6a) yang belum ada kesepakatan semua fraksi sehingga pantas untuk menjadi agenda pemungutan suara. (okp)

Impor Pangan yang MencemaskanKhudori

Dalam pelbagai diskusi, saya sering ditanya bagaimana kondisi pertanian pangan Indonesia. Saya menjawab, secara agregat kinerja sektor pertanian menggembirakan. Selama puluhan tahun neraca perdagangan pertanian selalu surplus. Tahun lalu nilainya 18,537 miliar dollar AS atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dollar AS). Surplus terjadi karena membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Sebaliknya, neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan negatif. Kinerja ketiga subsektor itu jauh dari menggembirakan.

Dari ketiganya, defisit paling mencemaskan terjadi di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Tahun 2009, defisit terbesar terjadi di subsektor tanaman pangan. Akan tetapi, tahun 2010 dengan defisit 3,505 miliar dollar AS, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (3,416 miliar dollar AS).

Dengan demikian, di luar impor hortikultura, impor pangan dan produk peternakan justru paling mencemaskan. Tahun lalu, defisit subsektor hortikultura 1,197 miliar dollar AS. Kalaupun tahun ini impor meledak (Kompas, 5-6/12/2011), nilainya tak akan melampaui impor tanaman pangan atau peternakan.

Impor pangan

Tahun ini, impor pangan tetap mengalir deras. Pada semester I-2011 (BPS), impor

Page 85: Kepemimpinan Trisakti

pangan mencapai 6,35 miliar dollar AS, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (5,35 miliar dollar AS). Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Dari cakupannya, tampak betapa luasnya komoditas pangan impor ini. Tanpa kita sadari, negeri agraris yang klaimnya kaya sumber daya alam ternyata pangannya bergantung pada impor.

Padahal, dari sisi produksi, Indonesia salah satu negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), untuk peringkat 1-5 dunia, cakupannya meliputi cengkeh (nomor 1), kelapa sawit (1), palem kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1), kelapa (1), daun bawang (1), vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2), kacang hijau (2), beras (3), pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat (3), telur burung (3), cabai dan paprika (4), kopi (4), singkong (4), pepaya, mangga, manggis, jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5).

Untuk sejumlah komoditas pangan penting, ketergantungan kita makin akut dan belum ada tanda-tanda membaik. Sampai kini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.

Logikanya, impor dilakukan apabila produksi domestik tidak mencukupi kebutuhan. Menjadi pertanyaan: mengapa kita mengimpor beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao. Bukankah produksi beras, cengkeh, kelapa sawit, kelapa, lada, pala, karet alam, kopi, dan kakao surplus? Mengapa ada aliran impor dari luar negeri? Mengapa arus impor justru mengalir semakin deras?

Masalahnya memang tidak pada produksi berlebih atau surplus, tetapi pada kebijakan yang tidak memihak. Dalam kasus beras, misalnya, kebijakan yang ada, terutama kebijakan perdagangan, tidak hanya bersifat anomali, tetapi juga lebih pro-impor.

Salah satu anomali adalah kebijakan impor beras (lagi), yang tahun ini kuotanya 1,6 juta ton. Meskipun beleid itu dibungkus argumen untuk menjaga stok beras nasional, publik-terutama petani-pasti bingung. Soalnya, Juli lalu BPS merilis produksi padi pada 2011 diperkirakan 68 juta ton gabah kering giling (GKG), yang kemudian direvisi menjadi 65,4 juta ton. Dengan rendemen gabah 57 persen dan tingkat konsumsi 139 kilogram per kapita, masih ada surplus 3 juta-3,5 juta ton beras. Cukup untuk sebulan konsumsi.

Jika benar surplus, seharusnya tidak perlu impor beras, seperti periode November 2010-Maret 2011 yang tercatat 1,95 juta ton. Apakah instrumennya tidak tepat atau basis akademik dan landasan teorinya tidak lagi mutakhir? Atau ada perburuan rente ekonomi superbesar di balik beleid itu? Publik tidak mendapatkan informasi pasti.

Komplikasi kebijakan

Publik justru disuguhi debat kusir komplikasi kebijakan antarsektor: Kementerian

Page 86: Kepemimpinan Trisakti

Perdagangan versus Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian yakin surplus dan tidak setuju impor beras, tetapi Kementerian Perdagangan bersikap sebaliknya: mendorong impor. Ada apa di balik beleid impor ini?

Selain komplikasi kebijakan, pangan impor mengalir karena pintu penghalang lemah. Misalnya, sesuai kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia menotifikasi tarif bea masuk impor komoditas yang dilindungi. Bea masuk beras, gula, dan susu masing-masing 9-160 persen, 40-95 persen, dan 40-120 persen. Namun, gara-gara liberalisasi agresif lewat aneka perjanjian perdagangan bebas (FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Bahkan, bea masuk kedelai dan jagung 0 persen. Padahal, di WTO bea masuk yang dicatatkan 30-40 persen dan 9-40 persen.

Sebetulnya Indonesia masih memiliki keleluasaan menerapkan bea masuk guna melindungi pasar dan produk petani domestik. Namun, lagi-lagi perlindungan itu diobrak-abrik arus liberalisasi lewat berbagai FTA. Indonesia percaya, perdagangan antarnegara yang tanpa hambatan akan bermanfaat bagi setiap negara lewat spesialisasi komoditas unggul. Padahal, itu hanya teori.

Dalam praktiknya, liberalisasi lewat FTA justru berdampak negatif pada pasar domestik. Ini terjadi karena distorsi harga akibat subsidi negara maju tidak dibahas efektif dalam FTA, termasuk pemaksaan petani miskin untuk mengikuti standar kebersihan internasional (sanitary and phytosanitary, UNDP, 2005).

Adalah ceroboh mengintegrasikan perekonomian dengan perekonomian regional dan global tanpa memperkuat perekonomian nasional lebih dulu. Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai regulasi FTA, tetapi integrasi ekonomi nasional tak dibenahi. Bagaimana mungkin produk kita bersaing jika praktik ekonomi biaya tinggi masih mendera.

Bagaimana mungkin produk dari Sumatera Barat bisa bersaing di Jakarta dengan produk serupa dari luar negeri kalau ongkos angkut Padang-Jakarta 600 dollar AS per kontainer, sedangkan dari Singapura ke Jakarta 185 dollar AS per kontainer. Bagaimana mungkin jeruk pontianak bisa bersaing dengan jeruk dari China kalau ongkos angkut dari China ke Jakarta lebih murah daripada ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta.

Pemerintah agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tetapi abai membangun jaring pengaman pasar. Regulasi Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) dan label berbahasa Indonesia, misalnya, tak pernah ditegakkan dan dengan sanksi tegas.

Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri. Makin ironis lagi karena barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah hasil produksi dari industri kita yang punya keunggulan komparatif. (*)

Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Page 87: Kepemimpinan Trisakti

PDI Perjuangan Beber 20 UU LiberalPRAKTIK politik legislasi di periode ketiga parlemen pascareformasi masih mendapatkan tekanan kuat agar berorientasi pada liberalisme dan berpihak kepentingan modal asing. Nuansa tersebut sangat terasa dalam 38 UU yang telah disahkan DPR sejak 2009 sampai penghujung tahun 2011 ini."Kenyataan itu secara faktual dapat ditunjukkan oleh adanya tarik-menarik yang cukup kuat dalam setiap pembahasan atas substansi pokok sejumlah UU," kata Ketua Kelompok Fraksi PDI Perjuangan di Badan Legislasi (Baleg) DPR Arif Wibowo, di Jakarta, kemarin (26/12). Kesimpulan ini merupakan hasil kajian yang dilakukan Poksi PDI Perjuangan.

Kecenderungan liberalisasi di sektor keuangan, terang Arif, mengarah kepada pengurangan kontrol negara. Spirit ini terdeteksi dalam sejumlah produk perundangan yang lahir sepanjang tahun 2010-2011. Sebut saja UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengurangi kewenangan Bank Indonesia (BI) atas kontrol sektor keuangan. "Begitu juga UU No 5/2011 tentang Akuntan Publik memberikan ruang terhadap kepentingan asing memanfaatkan sektor keuangan," kata Arif.

Liberalisasi juga terjadi di sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA). "UU No 13/2011 tentang Holtikultura dan UU No 20/2011 tentang Rumah Susun juga membuka ruang yang signifikan bagi penanaman modal asing," kritiknya. Bahkan, lanjut dia, UU No 4/2011 tentang Informasi Geospasial menempatkan informasi geospasial sebagai sumber daya yang tradable atau dapat diperjualbelikan.

Nasib UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman juga sama gelapnya. "UU itu memberi ruang besar bagi pembangunan perumahan komersial dengan insentif yang cukup tinggi," ujar pria kelahiran Madiun, Jatim, 29 Juni 1968, itu.

Di tengah menguatnya liberalisme, menurut Arif, masih tersisa beberapa UU yang menunjukkan "perlawanan terbatas" terhadap kecenderungan itu. Arif mencontohkan UU No 9/2011 tentang Sistem Resi Gudang sebagai salah satu usaha untuk perlindungan sektor petani melalui lembaga penjamin. Kemudian ada UU No 13/2011 tentang Fakir Miskin.

Di satu sisi, Arif mengakui UU itu memang diorientasikan untuk percepatan pembangunan infrastruktur yang mensyaratkan terpenuhinya modal yang mencukupi. Namun, di dalamnya juga diakomodasi pasal-pasal yang memberikan perlindungan dan penguatan bagi rakyat yang berhak atas tanah.

Di antaranya, mekanisme konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah dan pembatasan jenis-jenis kepentingan umum secara detil. "Bentuk ganti kerugian juga tidak serta-merta menghilangkan akses rakyat pada kemanfaatan atas tanahnya melalui pemukiman dan kepemilikan saham," tegasnya.

Arif menyampaikan kecenderungan warna politik legislasi sekarang ini sebenarnya fase

Page 88: Kepemimpinan Trisakti

lanjutan dari liberalisasi legislasi yang sudah dilakukan sejak zaman Orba hingga Orde Reformasi. "Hasil studi harmonisasi UU sejak 1945-2011 yang dilakukan Poksi PDIP di Baleg DPR, menuntun kami pada kesimpulan sementara bahwa kecenderungan liberalisme ekonomi terus menguat pasca perubahan politik 1998," kata Arif.

Fenomena ini terlihat jelas dalam UU di sektor ekonomi dan sumber daya alam. Di masa orba ada 9 UU utama membuka pintu liberalisasi. Di era reformasi tersisir 20 UU memberikan "karpet merah" kepada investor. (pri/jpnn)