10
TUGAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR Kebudayaan Daerah yang Masih Dilestarikan “Reog Wonogiri” Disusun Oleh: BUDHI SULISTYANTO I0110029

Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

TUGAS

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

Kebudayaan Daerah yang Masih Dilestarikan

“Reog Wonogiri”

Disusun Oleh:

BUDHI SULISTYANTO

I0110029

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2011

Page 2: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

Kesenian reog merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada di

Indonesia dan digemari oleh masyarakat pendukungnya. Selama ini, reog dikenal

sebagai suatu seni pertunjukan tradisional yang berasal dari daerah Ponorogo,

Jawa Timur. Bahkan, Ponorogo telah dikenal atau dapat dikatakan sebagai kota

reog. Reog atau Reyog berasal dari kata Riyet atau kondisi bangunan yang hampir

roboh, dan suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikkan dengan

suara bata roboh. Menurut mitos yang berkembang, reog pertama kali tercipta di

kerajaan Bantarangin, yang sekarang menjadi desa Kauman kecamatan Kauman

Sumoroto, sekitar 10 km ke arah Barat dari pusat kota Ponorogo.

Pada awalnya, reog merupakan bentuk kesenian orang kejawen (Tyang

Ho’e) atau tradisi Hindu yang terpahat jelas di relief candi Panataran abad XIV

atau relief candi Prambanan abad IX., seperti dicatat oleh Jaap Kunst dalam

bukunya Hindi Javanees Musical Instruments (1968). Kemudian dihubungkan

dengan sejarah berdirinya dan ditekankan sebagai kesenian yang diciptakan oleh

pendiri kota Ponorogo, Bathoro Katong, sebagai alat penyebaran agama Islam,

seperti yang termaktub dalam “Buku Kuning”. Lebih jauh dari itu, dalam upaya

memperkuat tatanan bangsa, ajaran itu dibingkai pula dengan “nilai-nilai filosofis,

religius, dan edukatif…dalam hidup berbangsa dan bernegara dengan falsafah

Pancasila dan UUD”.

Pada dasarnya kesenian reog merupakan salah satu jenis seni pertunjukan

rakyat yang berfungsi sebagai hiburan rakyat dalam bentuk tarian bertopeng.

Secara etimologi reog berasal dari kata reg atau yod dan rog, yang berdasarkan

pada akar kata dalam bahasa Jawa disebut tembung wod kang dadi oyode (satu

kata yang mempunyai satu kata atau paling mendasar dan mengandung arti

berguncang). Dalam ensiklopedia Indonesia, reog sama dengan kepang atau

penari yang meniru seseorang mengendarai kuda, penari tersebut memakai atribut

kuda-kudaan yang terbuat dari bahan jalinan atau anyaman. Reog diartikan

sebagai tarian naik kuda lumping/ kuda kepang. Oleh karena itu, reog berarti

pertunjukan sejenis jathil (podho nunggang kudo).

Menurut Pigeaud, tari kuda yang dimaksud adalah pertunjukan orang

yang mengapit anyaman yang dibuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk

Page 3: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

kuda. Jathil yang bertemakan peperangan dengan penampilan tokoh-tokoh secara

umum seperti: barongan, cepetan, penthul, dan tembem atau tokoh binatang

mitologi juga disebut reog. Dalam kamus istilah tari dan kerawitan Jawa, reog

adalah sejenis jathilan tetapi biasanya tidak menggunakan kuda kepang.

Pertunjukan kesenian reog ini biasanya menggambarkan prajurit-prajurit yang

sedang berlatih perang dengan tema yang bersumber pada cerita Panji atau

Ramayana dan Mahabarata.

Pada awal abad XX, ketika pemerintahan kolonial Belanda masih

bercokol kesenian reog dilarang dipentaskan di jalan-jalan. Larangan ini muncul

karena pada waktu itu sering terjadi perkelahian antar warok, bahkan sampai

mengakibatkan kematian pada mereka. Warok merupakan tokoh sentral dalam

kelompok reog dan di masyarakat pertikaian di antara warok dianggap akan

menimbulkan pertikaian lebih lanjut.

Pada masa itu dikenal istilah “reog tempuk” atau pertempuran antara dua

unit reog yang berpapasan. Ditambah lagi dengan masuknya politik adu domba,

pertumpahan darah antarsatuan reog lebih sering terjadi. Pada waktu itu, reog

sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana seni. Selain itu, larangan terhadap reog

terjadi juga karena warok dengan kelompok reognya memiliki pengaruh yang kuat

di masyarakat pedesaan. Apabila kelompok reog dibiarkan berkembang dengan

otomatis banyak pula tokoh-tokoh warok, maka keberadaan para warok tersebut

dianggap berpotensi untuk menggerakkan massa dan melawan pemerintahan

kolonial.

Pada masa penjajahan Jepang, reog kembali dilarang untuk dipentaskan.

Selain itu, masyarakat sudah tidak sempat lagi memainkan kesenian termasuk

reog karena kelaparan, kerja paksa, dan kemiskinan yang menggerogoti mereka.

Pada waktu itu, perkumpulan dan kegiatan kesenian reog dapat dikatakan lenyap

sama sekali.

Kesenian reog sudah ada sejak lama di daerah Wonogiri. Mengenai

kapan pertama kali reog muncul di daerah tersebut tidak diketahui secara pasti.

Setelah masa kemerdekaan tahun 1945, reog kembali muncul, kelompok reog

muncul seperti jamur di musim hujan. Setelah itu, reog semakin populer di

Page 4: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

kalangan masyarakat. Kepopuleran reog dimanfaatkan partai politik, terutama

PKI, untuk kepentingannya. Pada saat itu, PKI menggunakan reog sebagai alat

untuk menjaring anggota dan simpatisan. Oleh karena itu, ketika terjadi

pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 banyak anggota kelompok reog

yang menjadi korban pembunuhan.

Peristiwa yang hampir serupa terulang pada sekitar tahun 1965an, seiring

menguatnya persaingan dan pertikaian antara golongan Nasionalis, Komunis, dan

Islam. Pada saat itu, perkembangan reog di Wonogiri sangat pesat, terdapat

kurang lebih 400 kelompok reog. Masing-masing golongan partai memiliki

kelompok reog. Setelah meletusnya G 30 S, PKI dinyatakan menjadi partai

terlarang. Kesenian reog di Wonogiri mengalami kemunduran, banyak kelompok

reog yang dinilai terlibat PKI dilarang melakukan kegiatan. Bahkan, selama

sekitar empat tahun masyarakat merasa takut untuk memainkan atau menanggap

reog, karena identik dengan PKI.

Baru pada tahun 1969, setelah situasi dan kondisi dinilai memungkinkan,

kelompok-kelompok reog memberanikan diri untuk menghidupkan kembali

kesenian reog. Mulai saat ini kegiatan reog di Wonogiri berangsur-angsur aktif

sampai awal tahun 1970. Hal ini ditandai dengan banyak orang menanggap

kesenian reog untuk keperluan hajatan seperti perkawinan, khitanan, dan pelepas

nadzar. Pada saat itu, kesenian reog di Wonogiri juga mulai difungsikan sebagai

media upacara penyambutan tamu dalam acara resmi pemerintahan. Sejak itulah,

kesenian reog di daerah Wonogiri mulai berkembang dengan berbagai perluasan

pertunjukan maupun fungsinya sejalan dengan perubahan jaman.

Pada sekitar tahun 1975, perkembangan kesenian reog di Wonogiri

semakin pesat dengan semakin banyaknya tanggapan reog. Sejak saat itu,

kesenian reog mulai dikomersialkan. Kondisi ini mempengaruhi munculnya usaha

kerajinan reog di Wonogiri, tepatnya di daerah Purwantoro pada sekitar tahun

1978. Usaha kerajinan tersebut bertujuan untuk mencukupi sendiri “kebutuhan

reog” yang pada saat itu mulai banyak permintaan terhadap segala macam atribut

(perlengkapan) yang digunakan dalam pertunjukan reog.

Page 5: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

Pada sekitar tahun 1981, setelah waduk Gajah Mungkur selesai dibangun

di Wonogiri, kesenian reog juga turut serta di dalam acara peresmiannya.

Pembangunan waduk tersebut selain difungsikan sebagai pendukung sektor

irigasi, pembangkit tenaga listrik, dan perikanan juga difungsikan sebagai salah

satu obyek wisata di Kabupaten Wonogiri. Setelah itu, mulai ada upaya dari

pemerintah daerah Kabupaten Wonogiri memfungsikan kesenian reog sebagai

pendukung program pemerintah dalam bidang pariwisata.

Pada periode tahun 1982-1995, kesenian reog di daerah Wonogiri cukup

berkembang sebagai kesenian rakyat, yang didominasi oleh kelompok reog lokal

dan belum begitu dapat memberikan identitas terhadap Kabupaten Wonogiri. Pada

tahun 1995, terjadi perubahan-perubahan dalam kesenian reog di Wonogiri.

Perubahan tersebut diantaranya adalah mulai dimasukkannya tarian warok dan

dimunculkannya penari jathil perempuan. Munculnya tarian warok di Wonogiri

pada saat itu dipengaruhi oleh diselenggarakannya Festival Reog Nasional di

Ponorogo. Pada waktu itu, kelompok-kelompok reog lokal di Wonogiri sudah

mulai mengikuti event tersebut dan diharuskan memasukkan tarian warok dalam

pertunjukannya. Adapun mulai dimunculkannya penari jathil perempuan dalam

pertunjukan reog pada tahun ini disebabkan oleh mulai sulitnya mendapatkan

orang laki-laki untuk menari jathil.

Kelompok kesenian reog lokal di Wonogiri mengalami perkembangan

yang cukup pesat hingga sebelum masa krisis moneter tahun 1997. Pada saat itu,

kesenian reog di Wonogiri masih melakukan pentas dalam tanggapan-tanggapan.

Akan tetapi, setelah tahun 1997, sudah hampir tidak ada lagi tanggapan. Hal ini

disebabkan oleh salah satunya adalah semakin mahalnya harga perlengkapan reog

yang mempengaruhi mahalnya biaya tanggapan kesenian reog.

Pada tahun-tahun terakhir ini, sejak tahun 2000 sampai sekarang,

perkembangan kesenian reog di Wonogiri tampak lebih pesat karena reog berhasil

memberikan identitas kepada Kabupaten Wonogiri. Hal tersebut ditandai dengan

keberhasilan reog Kabupaten Wonogiri menjadi juara pada Festival Reog

Nasional yang berlangsung di Ponorogo. Selain itu, kesenian reog juga digunakan

sebagai atraksi pariwisata seni di Kabupaten Wonogiri sebagai upaya untuk

Page 6: Kebudayaan Daerah Yang Masih DILESTARIKAN

mempromosikan keberadaan obyek wisata waduk Gajah Mungkur, sekaligus

memberikan identitas (kekhasan) daerah tersebut. Beberapa perubahan dalam

perkembangan kesenian reog di Wonogiri tahun 1980-2005 tersebut

melatarbelakangi penulis mengambil tahun 1980 sebagai pangkal tolak penelitian.

Pengaruh kesenian reog dapat menyebar ke beberapa daerah, termasuk

Wonogiri melalui kontak budaya seperti penyebaran budaya (difusi), kontak

kebudayaan dari budaya yang berbeda (akulturasi). Setelah itu, kesenian reog

berkembang menurut keadaan tempat dan waktu serta bentuk kebudayaan

masyarakat yang mengembangkannya. Sehingga terjadilah bentuk serta fungsi dan

makna pertunjukan seni rakyat yang berbeda-beda antara daerah satu dengan

daerah lain.

Pada dasarnya, penelitian mengenai perkembangan kesenian reog di

Wonogiri ini bermaksud untuk mengetahui tentang keberadaan pertunjukan seni

tradisional reog di Wonogiri yang menyerupai pertunjukan reog yang telah

populer di Jawa Timur, khususnya Ponorogo. Penulis memberikan judul

“Kesenian Tradisional Reog di Wonogiri Tahun 1980-2005” dalam penelitian ini

bertujuan supaya cakupannya lebih luas. Apabila periode akhir perkembangan

reog di Wonogiri (2000-2005) mendapat porsi pembahasan yang lebih banyak

dikarenakan oleh sumber data masih relatif mudah didapatkan, tetapi penulis juga

tidak meninggalkan atau berusaha membahas perkembangan reog pada periode

sebelumnya. Hal ini tentunya dimaksudkan supaya pembahasan terhadap masalah

akan lebih komprehensif.

Di dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk memahami kesenian reog

di Wonogiri sebagai bagian dari suatu realitas sosio-kultural, yakni suatu realitas

yang terkait dengan berbagai macam fenomena sosial-budaya di luar kesenian itu

sendiri. Dalam hal ini, penulis berusaha selain mendeskripsikan mengenai

kesenian reog, sejarah kesenian tersebut, kehidupan kesenian tesebut di Wonogiri,

dan konteks perubahan masyarakat Wonogiri sebagai pemilik kesenian tersebut.